Jakarta, 23 April 2014
Nomor : 05/Tim 11/HakimAd Hoc/IV/2014
Perihal : Perbaikan Permohonan Pengujian Pasal 122 huruf e Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara Terhadap Undang-Undang Dasar 1945
Lampiran : 1 (satu) berkas
Kepada Yth.
Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Di
Jakarta
Dengan Hormat,
Yang bertanda tangan dibawah ini, kami :
- Nama : DR. GAZALBA SALEH, SH., MH.
Tempat/tgl lahir : Bone, 15 April 1968
Agama : Islam
Pekerjaan : Hakim Ad Hoc Tipikor pada Pengadilan Negeri Surabaya
Kewarganegaraan : Indonesia
Alamat : Jl. Setra Dago I No. 12 Antapani, Bandung
Selanjutnya disebut sebagai ————————————————– Pemohon I
- Nama : DR. LUFSIANA, SH., MH.
Tempat/tgl lahir : Sekayu, 29 Nopember 1965
Agama : Islam
Pekerjaan : Hakim Ad Hoc Tipikor pada Pengadilan Negeri Palembang
Kewarganegaraan : Indonesia
Alamat : Jl. Sugihwaras E 2 nomor 13 Candi Sidoarjo, Jawa Timur
Selanjutnya disebut sebagai ————————————————– Pemohon II
- Nama : SUMALI, SH., MH.
Tempat/tgl lahir : Malang, 12 Desember 1962
Agama : Islam
Pekerjaan : Hakim Ad Hoc Tipikor pada Pengadilan Negeri Denpasar
Kewarganegaraan : Indonesia
Alamat : Perum IKIP Tegalgondo Asri F/19, Malang, Jawa Timur
Selanjutnya disebut sebagai ————————————————- Pemohon III
- Nama : SUGENG SANTOSO PN, SH., MH., M.M.
Tempat/tgl lahir : Yogyakarta, 09 Maret 1968
Agama : Islam
Pekerjaan : Hakim Ad Hoc PHI pada PN. Surabaya
Kewarganegaraan : Indonesia
Alamat : Taman Pondok I FG IVA – 17, Pepelegi, Sidoarjo
Selanjutnya disebut sebagai ———————————————— Pemohon IV
- Nama : DR. IR. MOH. INDAH GINTING, MM
Tempat/tgl lahir : Kaban Jahe, 15 Maret 1947
Agama : Islam
Pekerjaan : Hakim Ad Hoc Perikanan pada PN. Jakarta Utara
Kewarganegaraan : Indonesia
Alamat : Ruko Cempaka Mas Blok L No. 39 RT.007/008 Jl. Cempaka
Mas Tengah Kel. Sumur Batu, Kec. Kemayoran, Jakarta
Pusat
Selanjutnya disebut sebagai ————————————————– Pemohon V
- Nama : ELIAS HAMONANGAN PURBA, SE, S.H.
Tempat/tgl lahir : Jakarta, 10 Maret 1966
Agama : Kristen
Pekerjaan : Hakim Ad Hoc PHI pada Pengadilan Negeri Samarinda
Kewarganegaraan : Indonesia
Alamat : Jl. Kapas 14 Nomor 35 Desa Mangga, Medan Tuntungan, Medan
Selanjutnya disebut sebagai ————————————————- Pemohon VI
- Nama : SAHALA ARITONANG, SH, AM.Pd
Tempat/tgl lahir : S. Langge, 30 Agustus 1965
Agama : Kristen
Pekerjaan : Hakim Ad Hoc PHI pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang
Kewarganegaraan : Indonesia
Alamat : Jl. Perkebunan III No. 9, RT.007/06 Kel. Pondok Bambu, Kec.Duren Sawit, Jakarta Timur
Selanjutnya disebut sebagai ———————————————— Pemohon VII
- Nama : ABDUR RAZAK , SH, MH
Tempat/tgl lahir : Masalembu, 27 April 1967
Agama : Islam
Pekerjaan : Hakim Ad Hoc Tipikor pada Pengadilan Negeri Makassar
Kewarganegaraan : Indonesia
Alamat : Jl. Tupai 9 Nomor 5 Makassar
Selanjutnya disebut sebagai ———————————————— Pemohon VIII
- Nama : ARMYN RUSTAM EFFENDY, SH, MH.
Tempat/tgl lahir : Surabaya, 27 Januari 1958
Agama : Islam
Pekerjaan : Hakim Ad Hoc Perikanan pada PN. Jakarta Utara
Kewarganegaraan : Indonesia
Alamat : Jl. Komp. Bea Cukai Nomor 11 Pisangan Ciputat Timur,
Tangerang Selatan
Selanjutnya disebut sebagai ——————————————— Pemohon IX
- Nama : LUKMAN AMIN, SH.MH.
Tempat/tgl lahir : Galesong, 12 Juli 1969
Agama : Islam
Pekerjaan : Hakim Ad Hoc Perikanan pada Pengadilan Negeri Tual
Kewarganegaraan : Indonesia
Alamat : Komp. Tirta Nusantara Blok B.2 nomor 3 Karampuang, Panakkukang, Makassar
Selanjutnya disebut sebagai ————————————————— Pemohon X
- Nama : SUWITO, SH. MH
Tempat/tgl lahir : Wonogiri, 14 Januari 1971
Agama : Islam
Pekerjaan : Hakim Ad Hoc Tipikor pada Pengadilan Negeri Jayapura
Kewarganegaraan : Indonesia
Alamat : Jl. Jaya Asri Blok AD No. 9 ENTROP Jayapura
Selanjutnya disebut sebagai ————————————————- Pemohon XI
Bahwa dalam hal ini para pemohon dapat bertindak secara sendiri-sendiri dan/atau secara bersama-sama, yang selanjutnya memilih Alamat Jl. Raya Juanda No. 82-84 Sidoarjo 61253, Tlp. 031-70381809 Surabaya – Jawa Timur; HP. 0818764364 sebagai domisili hukum para Pemohon;
Bahwa perkenankanlah Kami Para Pemohon memohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk melakukan pengujian konstitusionalitas frasa kecuali hakim ad hoc pada Pasal 122 huruf e Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara, yang selengkapnya berbunyi: “Pejabat negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 yaitu: “Ketua, wakil ketua, ketua muda dan hakim agung pada Mahkamah Agung serta ketua, wakil ketua, dan hakim pada semua badan peradilan kecuali hakim ad hoc” terhadap UUD 1945;
Bahwa selanjutnya perkenankanlah kami mengemukakan dalil-dalil diajukannya permohonan uji konstitusionalitas (consttitutional review/ judicial review) frasa kecuali hakim ad hoc yang tercantum dalam Pasal 122 huruf e Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 terhadap UUD 1945, yakni sebagai berikut:
- PENDAHULUAN
Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 telah membawa perubahan yang sangat mendasar dalam sistem ketatanegraan Republik Indonesia. Banyak aspek perubahan yang telah dirasakan dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara, salah satu aspek yang berubah yakni terhadap kelembagaan negara. Negara Indonesia dalam menjalankan reformasi tidak cukup dengan hanya mengandalkan lembaga-lembaga yang berdiri di pilar konstitusi karena pada hakikatnya kurang mampu mengakomodasi berbagai kompleksitas yang dihadapi oleh masyarakat. Merupakan hal yang tak terhindarkan bahwa dengan kebutuhan reformasi ini, Indonesia membutuhkan organ penunjang atau state auxiliary body, sehingga dengan kehadiran state auxiliary body mampu menjawab kompleksitas publik dan untuk menunjang berfungsinya sistem hukum didalam sektor kenegaraan dan penyelenggaraan negara berdasarkan prinsip negara hukum.
Ketika kebutuhan akan kehidupan bermasyarakat semakin meningkat dan kompleks, maka tidak dapat dipungkiri juga bahwa kebutuhan akan penegakan hukum juga akan semakin tinggi. Model pemisahan kekuasaan Negara konvesional hanya mengansumsikan adanya tiga cabang kekuasaan. Kekuasaan eksekutif, legislatif, yudikatif. Dalam sistem ketatanegaraan ternyata sudah tidak mampu lagi menjawab kompleksitas Negara modern. Karena itu diperlukan Independent Regulatory Agencis atau Lembaga Negara yang bersifat Ad Hoc yang merupakan state auxiliary organ untuk melengkapi institusi ketatanegaraan modern. Maka berdasarkan realitas inilah ada 3 landasan argumentasi tentang dasar lahirnya/pemikiran lembaga Negara ad hoc Indonesia yaitu: (Wahyudi Djafar, Makalah – Komisi Negara Antara Latah dan Keharusan Transisional” dimuat dalam ASASI ELSAM, Edisi September-Oktober 2009.)
- Secara Sosiologis
Secara sosiolaogis dasar lahirnya suatu lembaga Negara ad hoc telah menunjukan kinerja yang cukup bagus dalam upaya penegakan hukum. Ekspektasi masyarakat masih sangat besar untuk peningkatan kipral lembaga Negara Ad hoc. Hal ini menunjukan bahwah kehadiran lembaga Negara Ad hoc mampu menjawab kebutuhan reformasi dan tuntutan zaman serata mengoptimalkan fungsi Negara dalam memberikan pelayanan publik.
- Secara Konseptual Teoritik
Lembaga Negara Ad hoc merujuk pada dua konsep/teori :
- Delegation Doktrin (teori doktrin pendelegasian wewenang)
- The new separation of power (Teori pemisahan kekuasaan baru)
- Secara Yuridis Konstitusional
Lembaga Negara Ad hoc merujuk pada ketentuan Pasal 24 ayat(3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan demikian keberadaan lembaga Negara Ad Hoc memiliki landasan yang kokoh sehingga pada akhirnya mampu menjawab kompleksitas Negara modern yaitu dalam perlindungan dan penegakan hukum.
Oleh karena itu negara Indonesia dalam menjalankan reformasi tidak cukup dengan hanya mengandalkan lembaga-lembaga yang berdiri dipilar konstitusi karena pada hakikatnya, tidak mampu mengakomodasi berbagai kompleksitas yang dihadapi oleh masyarakat. Merupakan hal yang tak terhindarkan bahwa dengan kebutuhan reformasi ini, Indonesia membutuhkan organ penunjang atau state auxiliary body, sehingga dengan kehadiran state auxiliary body mampu menjawab kompleksitas publik dan untuk menunjang berfungsinya sistem hukum didalam sektor kenegaraan dan penyelenggaraan negara berdasarkan prinsip negara hukum. Selain itu keberadaan lembaga-lembaga hukum ad hoc tersebut ternyata mendapat tempat di hati masyarakat sehingga diakui atau tidak semakin memperburuk citra lembaga-lembaga konvensional yang lebih dulu lahir. Dalam beberapa hal, sepak terjang lembaga-lembaga ad hoc tersebut bersentuhan dengan tugas dan kewenangan lembaga-lembaga konvensional sehingga melahirkan persepsi yang baik pada masyarakat.
Selain itu urgensi lembaga yang bersifat Ad Hoc menurut (Sri Sumantri M “Lembaga Negara dan State Auxiliary Bodies dalam Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD NRI 1945” dalam Departemen Hukum Tata Negara Universitas Airlangga, Dinamika Perkembangan Hukum Tata Negara dan Hukum Lingkungan, Airlangga University Press, Surabaya, hlm. 204.), secara nasional state auxiliary bodies mempunyai kedudukan dan peranan penting dalam mewujudkan tujuan nasional. Hal ini juga diakui oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 005/PUU-IV/2000 tentang judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, bahwa diatur atau tidaknya suatu lembaga negara dalam undang-undang dasar, tidak dapat ditafsirkan sebagai satu-satunya faktor yang menentukan derajat konstitusional lembaga negara yang bersangkutan. Dengan demikian kondisi yang demikian menurut Sri Sumantri M, bahwa untuk mengetahui perkembangan auxiliary body perlu diketahui terlebih dahulu tujuan didirikanya suatu negara. Setelah itu baru ditetapkan berbagai lembaga dalam undang-undang dasarnya. Selanjutnya Sri Sumantri M. mengatakan, bahwa dalam negara yang menganut sistem pemerintahan presidensial seperti Indonesia, presidenlah yang pertama mengetahui, lembaga macam apa yang diperlukan untuk menangani masalah-masalah tertentu dalam mewujudkan tujuan nasional (negara). Seperti digambarkan oleh Sri Sumantri M, sebagai berikut :
Berdasarkan bagan diatas dapat diketahui, bahwa kedudukan dan peranan lembaga negara utama dan lembaga-lembaga negara yang melayani adalah permanent institutions, sedangkan lembaga-lembaga yang melayani (state auxiliary bodies) dapat tumbuh, berkembang, dan mungkin dihapus. Hal ini tergantung dari situasi dan kondisi Negara itu. Yang perlu diperhatikan adalah agar pemerintah dalam hal ini Presiden dalam membentuk state auxiliary body harus memerhatikan lembaga yang sudah ada. Untuk itu secara umum alat perlengkapan negara yang berupa state auxiliaries bodies ini muncul karena:
- Adanya tugas-tugas kenegaraan yang semakin kompleks yang memerlukan independensi yang cukup untuk operasionalisasinya.
- Adanya upaya empowerment terhadap tugas lembaga negara yang sudah ada melalui cara membentuk lembaga baru yang lebih spesifik.
Selain itu pembentukan lembaga Ad Hoc ini dilandasi oleh lima hal penting, diantaranya : (T.M. Luthfi Yazid, “ Komisi-komisi Nasional dalam Konteks Cita-cita Negara Hukum”, Makalah disampaikan dalam Diskusi Terbatas dengan tema: „ Eksistensi Sistem Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD NRI 1945, diselenggarakan oleh Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, di Hotel Aryaduta, Jakarta, 9 September 2004, hlm.2 )
- Pertama, tidak adanya kredibilitas lembaga yang telah ada sebelumnya akibat adanya asumsi (dan bukti) mengenal korupsi yang sistemik, mengakar, dan sulit untuk diberantas.
- Kedua, tidak independenya lembaga-lembaga negara yang karena alas an tertentu tunduk di bawah pengaruh suatu kekuasaan tertentu.
- Ketiga, ketidakmampuan lembaga-lembaga negara yang telah ada untuk melakukan dalam masa transisi menuju demokrasi baik karena persolan internal maupun eksternal.
- Keempat, adanya pengaruh global yang menunjukan adanya kecenderungan beberapa negara untuk membentuk lembaga-lembaga negara ekstra yang disebut lembaga negara mandiri (state auxiliary agency) atau lembaga pengawas (institutionsl watchdog) yang dianggap sebagai suatu kebutuhan dan keharusan karena lembaga-lembaga yang telah ada telah menjadi bagian dari sistem yang harus diperbaiki.
- Kelima, adanya tekanan dari lembaga-lembaga internasional untuk membentuk lembaga-lembaga tersebut sebagai prasyarat bagi era baru menuju demokratisasi.
- KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI
- Perubahan UUD NRI 1945 telah menciptakan sebuah lembaga baru yang berfungsi untuk mengawal konstitusi, yaitu Mahkamah Konstitusi, selanjutnya disebut “MK”, sebagaimana tertuang dalam Pasal 7B, Pasal 24 Ayat (1) dan Ayat (2), serta Pasal 24C UUD NRI 1945, yang diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5266), selanjutnya disebut “UU MK”.
- Bahwa salah satu kewenangan yang dimiliki oleh MK adalah melakukan pengujian undang-undang terhadap konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 24C Ayat (1) UUD NRI 1945 yang berbunyi:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar…”
- Selanjutnya, Pasal 10 ayat (1) huruf a UU MK menyatakan:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
- menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ….”
Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5076), selanjutnya disebut “UU KK” menyatakan:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
- menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”
- Bahwa ketentuan Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyatakan “Dalam hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi”;
- Berdasarkan uraian angka 1 sampai 4 di atas, maka tidak ada keraguan sedikitpun bagi Pemohon menyimpulkan, bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang untuk mengadili permohonan pengujian undang-undang ini pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final.
- KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PARA PEMOHON:
- Bahwa Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi mengatakan bahwa pemohon pengujian undang-undang adalah “pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang” yang dalam huruf a menyebutkan “perorangan warga negara Indonesia”. Selanjutnya dalam Penjelasan atas Pasal 51 ayat (1) undang-undang a quo, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan hak konstitusional” adalah “hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”;
- Bahwa Yurisprudensi Tetap Mahkamah Konstitusi sebagaimana tertuang dalam Putusan No 006/PUU-III/2005 jo Putusan No 11/PUU-V/2007 dan putusan-putusan selanjutnya telah memberikan pengertian dan batasan komulatif tentang apa yang dimaksud dengan “kerugian konstitusional” dengan berlakunya suatu norma undang-undang, yaitu: (1) Adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (2) Bahwa hak konstitusional tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji; (3) Kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual, atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; (4) Adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk dijui; dan (5) Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi;
- Bahwa sebagai perorangan warganegara Republik Indonesia, Pemohon mempunyai hak-hak konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945, baik yang bersifat tidak langsung seperti hak untuk tidak diperlakukan sewenang-wenang sebagai konsekuensi dari pernyataan bahwa Negara Republik Indonesia adalah sebuah “negara hukum” sebagaimana normanya diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, maupun hak-hak konstitisional yang bersifat langsung yang normanya dirumuskan dalam Bab XA yang diberi judul “HAK ASASI MANUSIA”, dan secara spesifik dirumuskan dalam Pasal 28D ayat (1) yang bunyinya “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum” dan Pasal 28G ayat (1), “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”;
- Bahwa para Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia yang berprofesi sebagai Hakim Ad Hoc masing-masing pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Surabaya, Palembang, Denpasar, Makassar dan Jaya Pura (Pemohon I, II, III, VIII, XI); dan pada Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Surabaya, Samarinda, dan Tanjung Karang (Pemohon IV, VI, VII); serta pada Pengadilan Perikanan Jakarta Utara dan Tual (Pemohon V, IX, X) yang mempunyai kepentingan hukum dalam permohonan ini karena para Pemohon menganggap hak dan kewenangan konstitusional Pemohon dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara, khususnya yang berkaitan dengan frasa “kecuali hakim ad hoc ” yang diatur dalam Bab. X Pasal 122 huruf e Undang-undang aquo. Dengan berlakunya Pasal tersebut secara potensial maupun senyatanya telah menimbulkan kerugian pada para Pemohon sebagai Hakim Ad Hoc selaku pelaksana kekuasaan kehakiman pada peradilan khusus di bawah Mahkamah Agung;
- Bahwa dengan berlakunya Pasal 122 huruf e Undang-undang Aparatur Sipil Negara tersebut menimbulkan kerugian pada para Pemohon sebagai Hakim ad hoc, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor: 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, yang menyebutkan “Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan Peradilan Umum, kemudian Pasal 9 ayat (2) Undang-undang tersebut menetapkan Ketua dan Wakil ketua Pengeadilan Negeri karena jabatannya menjadi Ketua dan Wakil ketua Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Dengan demikian pengadilan tindak pidana korupsi merupakan satu kesatuan sistem peradilan umum yang berada di bawah Mahkamah Agung Republik Indonesia.
- Bahwa ketentuan yang diuraikan pada huruf b di atas sangat berkaitan dengan Undang-undang Nomor 46 Tahun 2009:
– Pasal 1 angka 1 menyatakan “Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan “Hakim adalah Hakim Karier dan Hakim ad hoc.
– Pasal 1 angka 3 disebutkan “Hakim ad hoc seseorang yang diangkat berdasarkan persyaratan yang ditentukan dalam undang-undang ini sebagai hakim tindak pidana korupsi;
– Pasal 5 dinyatakan “Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan satu-satunya pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi;
- Bahwa ketentuan yang diuraikan dalam Pasal 122 huruf e Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tersebut yang mengecualikan hakim Ad Hoc bukan sebagai pejabat negara, sesungguhnya secara obyektif empiris telah memasung hak-hak konstitusional Pemohon sebagai warga negara untuk memperoleh kepastian hukum dan terbebas dari rasa cemas, bimbang dan ketakutan di dalam menjalankan kewajibannya dan pemenuhan haknya sebagai pejabat negara di bidang kekuasaan kehakiman pada pengadilan khusus di bawah Mahkamah Agung;
- Bahwa Pemohon menganggap dengan berlakunya Pasal 122 huruf e Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara yang megecualikan Hakim Ad Hoc bukan merupakan Pejabat Negara, maka sangat merugikan seluruh hakim Ad Hoc yang ada di Indonesia. Mengingat hal yang demikian bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”;
- Bahwa secara faktual atau senyatanya kerugian yang telah dialami para Pemohon selaku Hakim Ad Hoc yang tidak diakui sebagai pejabat negara selama ini adalah dikenakannya Pajak atas Penghasilan (Pph 21) terhadap tunjangan tetap pada setiap bulannya, dan besaran prosentase pengenaan pajak tersebut berbeda-beda antara satu pengadilan dengan pengadilan lainnya. Kondisi agak mengherankan kenapa suatu Kantor Perbendaharaan Negara yang di bawah Kementrian yang sama (Kemenkeu) bisa berbeda-beda penerapan pajaknya terhadap subyek pajak yang sama, padahal Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan (NKRI) . Bahkan mulai awal Bulan Maret 2014 muncul surat Dirjen Peberbendaharaan RI yang ditujukan kepada Sekretaris MA untuk segera mengenakan pajak Pph 21 terhadap tunjangan tetap Hakim Ad Hoc sebesar 15 %. Inilah ironi sebuah negara hukum yang dikelola secara asal-asalan, Kami Pemohon yang berstatus Hakim Ad Hoc Tipikor jadi merenung, sejatinya Kami ingin memiskinkan para koruptar, namun yang terjadi justru yang duluan miskin adalah Hakim Tipikor;
- Bahwa pembayaran Pajak atas Penghasilan (Pph 21) terhadap tunjangan tetap pada setiap bulannya kepada seluruh Hakim Ad Hoc sangat merugikan Hakim Ad Hoc seluruh Indonesia, mengingat hal tersebut merupakan bagian dari konsekwensi lahirnya Pasal 122 huruf e Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara yang mengecualikan Hakim Ad Hoc bukanlah sebagai pejabat Negara, sehingga pembayaran Pajak atas Penghasilan (Pph 21) tidak ditanggung oleh Negara. Dengan demikian seluruh Hakim Ad Hoc harus menyediakan anggaran untuk kebutuhan pembayaran Pajak atas Penghasilan (Pph 21) tersebut, dengan menyisihkan dari sebagian tunjangan tetap yang diterima oleh Para Penggugat.
- Bahwa apabila melihat dan membandingkan dengan hakim karir pada umumnya, maka terdapat perbedaan yang sangat signifikan, baik terhadap mekanisme dan pemenuhan pembayaran Pajak atas Penghasilan (Pph 21) terhadap hakim karir, pembayaran Pajak atas Penghasilan (Pph 21) merupakan tanggung jawab dan dipenuhi oleh Negara, hal itu merupakan konskwensi dari kedudukan hakim karir pada umumnya yakni sebagai Pejabat Negara. Padahal baik secara Filosofis, Yuridis dan Filosofis tidak terdapat perbedaan yang nyata dari segi wewenang dan tanggung jawab antara hakim Ad Hoc dengan hakim karir pada umumnya, sehingga selayaknyalah tidak dibedakan antara kedudukan hakim karir dengan hakim Ad Hoc pada semua tingkatan badan peradilan di Indonesia.
- Bahwa selain itu dengan tidak diakuinya Hakim Ad Hoc sebagai pejabat Negara sebagaimana tertuang dalam Pasal 122 huruf e Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, maka telah merendahkan kewibawaan dan kehormatan Hakim Ad Hoc sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman yang merdeka dan memiliki wibawa dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman yang sama-sama berada dalam ruang lingkup lembaga Mahkamah Agung Republik Indonesia. Tentu dalam hal ini akan menimbulkan kecemburuan antara hakim Ad Hoc terhadap hakim karir, mengingat apabila dilihat dari segi wewenang dan tanggung jawab tidak terdapat perbedaan yang signifikan, akan tetapi dari segi hak yang harus diperoleh oleh hakim Ad Hoc tidak didapat sebagaimana hakim karir pada umumnya.
- Bahwa kerugian lainnya yang dialami Pemohon yang statusnya tidak diakui sebagai pejabat negara, adalah hingga saat ini sejumlah hak-hak normatif berupa tunjangan transportasi, fasilitas keamanan , fasilitas tunjangan kesehatan belum sempat terealisasi. Apabila melihat tunjangan dan fasilitas yang diberikan Negara kepada pejabat Negara, maka hak-hak normatif berupa tunjangan transportasi, fasilitas keamanan , fasilitas tunjangan kesehatan merupakan bagian dari hak yang harus diberikan kepada seluruh pejabat publik yang kedudukannya sebagai pejabat Negara. Akan tetapi berbeda dengan hakim Ad Hoc, atas dasar Pasal 122 huruf e Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara tersebut, hak-hak yang seharusnya menjadi bagian dari hakim Ad Hoc tidak secara merta diberikan oleh Negara seperti halnya hakim karir pada umumnya.
- Bahwa konsekwensi yuridis lain terhadap berlakunya Pasal 122 huruf e Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara tersebut, maka terhadap para penggugat, juga telah menghilangkan hak-hak para pemohon berupa tunjangan perumahan yang layak serta tunjangan remunerasi yang harusnya diberikan sejak diangkatnya para pemohon sebagai hakim Ad Hoc pada seluruh tingkatan badan peradilan di Indonesia. Akan tetapi hingga kini mengingat Pasal 122 huruf e Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara tersebut, maka harapan dan keinginan seluruh hakim Ad Hoc untuk mendapatkan hak-hak para pemohon berupa tunjangan perumahan yang layak serta tunjangan remunerasi menjadi jauh dari harapan.
- Bahwa dengan adanya Pasal 122 huruf e Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara tersebut, yang mengecualikan Hakim Ad Hoc bukan merupakan pejabat Negara, serta membeda-bedakan kedudukan hakim Ad Hoc dengan hakim karir pada umumnya, maka secara tidak langsung juga mengurangi semangat para hakim Ad Hoc diseluruh Indonesia dalam upaya menjalankan beban tugas dan tanggung jawab sebagai hakim, serta upaya penegakan hukum yang sedang gencar-gencarnya dilakukan oleh bangsa Indonesia.
- Bahwa kerugian lain dan sangat vital adalah tidak jelasnya kedudukan hakim Ad Hoc dalam Pemerintahan. Mengingat apabila posisi Hakim Ad Hoc bukanlah sebagai Pejabat Negara sebagaimana Pasal 122 huruf e Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara tersebut, maka dimana sebenarnya posisi hakim Ad Hoc dalam Pemerintahan ? Ketidakjelasan posisi dan kedudukan hakim Ad Hoc dalam pemerintahan ini mengakibatkan kewibawaan serta produk-produk yang dihasilkan menjadi kehilangan marwahnya. Mengingat posisi terhormat Hakim Ad Hoc sebagai bagian dari pejabat Negara dicabut berdasarkan Pasal 122 huruf e Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
- Bahwa apabila dibandingkan dengan lembaga yang bersifat Ad Hoc lainnya, yakni sebagai contoh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), maka sebenarnya tidaklah jauh berbeda dengan kedudukan Hakim Ad Hoc, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam hal ini jelas posisinya juga bersifat Ad Hoc, akan tetapi kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) jelas merupakan pejabat Negara. Padahal apabila dicermati lahirnya lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak jauh berbeda semangat yang melatarbekangi lahirnya hakim Ad Hoc di seluruh Indonesia. Untuk itu tidak ada alasan bahwa hakim Ad Hoc kedudukannya dikecualikan dan bukan merupakan Pejabat Negara.
- Bahwa berdasarkan uraian di atas, kedudukan hukum dan kepentingan hukum atau legal standing Pemohon I sampai dengan XI di dalam permohonan uji materiil Pasal 122 huruf e Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara terhadap UUD 1945 adalah sudah sesuai dengan ketentuan Pasal 51 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 juncto Pasal 3 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005;
- Alasan-alasan Permohonan Pengujian terhadap Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara Pasal 122 huruf e :
- Bahwa doktrin pemisahan kekuasaan (separation of powers), kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan bagian dari upaya untuk menjamin kebebasan dan mencegah kesewenang-wenangan. Dengan kata lain, kekuasaan kehakiman yang merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah, sebagai upaya untuk menjamin dan melindungi kebebasan rakyat dari kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari pemerintah. Dengan demikian, kehadiran kekuasaan kehakiman yang merdeka tidak lagi ditentukan oleh stelsel pemisahan kekuasaan (separation of power) atau stelsel pembagian kekuasaan (distributionof power), tetapi sebagai suatu ‘conditio sine quanon’ bagi terwujudnya Negara hukum, terjaminnya kebebasan serta pengendalian atas jalannya pemerintahan Negara. Apabila kekuasaan kehakiman digabungkan dengan kekuasaan legislatif, maka kehidupan dan kebebasan seseorang akan berada dalam suatu kendali yang dilakukan secara sewenang-wenang. Di lain pihak, kalau kekuasaan kehakiman bersatu dengan kekuasaan eksekutif, maka hakim mungkin akan selalu bertindak semena-mena dan menindas. Dengan demikian, ditinjau dari ajaran pemisahan kekuasaan (separation of power), kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan bagian dari upaya untuk menjamin kebebasan dan mencegah kesewenang-wenangan.
- Bahwa untuk menjamin kekuasaan kehakiman yang merdeka dan berwibawa serta dapat menyelenggarakan kekuasaan kehakiman yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka wibawa dan kedudukan hakim perlu ditempatkan pada suatu tempat yang layak, salah satunya adalah dengan menempatkan hakim pada semua tingkatan badan peradilan baik yang berasal dari hakim karir maupun hakim non karir sebagai Pejabat Negara. Sehingga kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial dapat bersifat mutlak, terlepas dari campur tangan lembaga lainnya baik ekskutif maupun legislatif. Hal itu seperti pendapat Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, SH. yang mengatakan ‘‘Kekuasaan kehakiman yang merdeka berarti kekuasaan kehakiman yang bebasa dari campur tangan pihak kekuasaan Negara atau kekuasaan ekstra yudisial lainnya.(2008:135)
- Bahwa pengertian pejabat menurut kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu pegawai pemerintah yang memegang jabatan penting (unsur) pimpinan. Menurut C.F. Strong bahwa Arti pemerintah dalam arti luas sebgai organisasi Negara yang utuh dengan segala alat kelengkapan Negara yang memiliki fungsi legislative, eksekutif dan yudikatif. Arti pemerintah dalam arti sempit hanya mengacu pada fungsi eksekutif saja. Mengacu pada pengertian itu, maka pengertian pejabat Negara mengacu pada arti yang luas. Lalu bagaimana seorang pejabat dikatakan pejabat Negara atau bukan ?. Menurut Bagir Manan bahwa untuk menjawab itu maka perlu melihat fungsi lembaga Negara yaitu 1. Lembaga Negara yang menjalankan fungsi Negara secara langsung atau bertindak atas nama Negara seperti DPR, Presiden, Lembaga Kehakiman. (disebut alat kelengkapan Negara). 2. Lembaga Negara yang menjalankan fungsi administrasi Negara bertindak untuk dan atas nama Negara menjalankan tugas tidak bersifat ketatanegaraan. 3. Lembaga Negara penunjang. Berdasarkan hal tersebut, maka pejabat Negara adalah pejabat yang lingkungan kerjanya berada pada lembaga Negara yang merupakan alat kelengkapan Negara beserta derivate pendukungnya seperti DPR, Presiden, Hakim. Pejabat tersebut menjalankan fungsinya bertindak dan untuk atas nama Negara.
Selanjutnya Bagir manan menyebutkan bahwa : jabatan dalam Negara dibedakan atas a). dibedakan atas Jabatan alat kelengkapan Negara (jabatan organ dan jabatan lembaga Negara) serta jabatan penyelenggara administrasi Negara, b). dibedakan atas jabatan politik dan non politik (pemilihan), c).jabatan yang bertanggungjawab langsung dan diawasi public dan tidak langsung diawasi public, d) jabatan pelayanan public secara langsung atau tidak.
- Bahwa Hakim ad hoc pejabat negara filosofinya adalah bahwa dalam doktrin, kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan untuk mengadili yang meliputi wewenang memeriksa, memutus dan membuat ketetapan yudisial (Bagir Manan: 2009). Kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh badan peradilan/badan yidisial yang merupakan alat kelengkapan negara karena bertindak dan memutus untuk dan atas nama negara.
- Bahwa berdasarkan konstitusi UUD 1945 bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh MA dan badan peradilan di bawah MA serta MK sesuai bunyi pasal 24 ayat (2). Seperti diketahui bahwa MA dan badan peradilan dibawahnya serta MK adalah badan yudisial sebagai alat kelengkapan negara sehingga menjalankan fungsi ketatanegaraan dalam artian bertindak untuk dan atas nama Negara.
- Bahwa oleh karena menjalankan fungsi ketatanegaraan bertindak untuk dan atas nama negara dan hakim adalah pejabat yang diberi wewenang oleh UU untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara, maka konsekwensinya adalah hakim pada semua jenis dan tingkatan pada badan yudisial berkedudukan sebagai pejabat negara sebagaimana ditegaskan oleh UU Kekuasaan Kehakiman seperti dimuat pada pasal 19 dan pasal 31.
- Bahwa apakah hakim ad hoc termasuk hakim sebagaimana maksud UU Kekuasaan kehakiman ?. Berdasarkan Pasal 5 angka 1 UU Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa hakim adalah hakim pada MA dan hakim yang berada pada badan peradilan di bawah MA yaitu lingkungan peradilan umum, agama, militer, TUN dan pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut (hakim ad hoc merupakan hakim pada pengadilan khusus pada MA dan badan peradilan bawah MA). Berdasarkan ketentuan UU kekuasaan kehakiman tersebut, maka hakim ad hoc adalah pejabat negara.
- Bahwa Norma yang terkandung dalam Pasal 122 huruf e Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara, yang redaksinya berbunyi: “Pejabat negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 yaitu:
“Ketua, wakil ketua, ketua muda dan hakim agung pada Mahkamah Agung serta ketua, wakil ketua, dan hakim pada semua badan peradilan kecuali hakim ad hoc;”
Dengan demikian membuka peluang terhadap ketidak jelasan kedudukan Hakim Ad Hoc dalam struktur badan peradilan di Indonesia, serta apabila dikaji lebih lanjut Pasal 122 huruf e Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara bertentangan dengan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi :
“Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”
Berdasarkan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 tersebut, kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya, serta Mahkamah Konstitusi (vide Pasal 24 ayat (2)). Dalam hal ini, Mahkamah Agung termasuk juga badan peradilan di bawahnya serta Mahkamah Konstitusi adalah badan yudisial yang merupakan alat kelengkapan negara, sehingga menjalankan fungsi ketatanegaraan (bertindak untuk dan atas nama negara). Konsekuensinya, hakim pada seluruh jenis dan tingkatan badan yudisial, berkedudukan sebagai “pejabat negara”.
- Bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 9Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (“UU Kekuasaan Kehakiman”), Hakim Ad Hoc adalah:
“hakim yang bersifat sementara yang memiliki keahlian dan pengalaman di bidang tertentu untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang pengangkatannya diatur dalam undang-undang.”
Berdasarkan makna yang terkandung dalam Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman tersebut diatas, maka perbedaan antara hakim Ad Hoc dengan hakim karir pada umumnya adalah hanya berkaitan dengan sifatnya yang dibatasi oleh masa periode tertentu serta memiliki keahlian dan pengalaman dibidang tertentu, sehingga kemudian dianggap memenuhi kriteria untuk diangkat menjadi Hakim Ad Hoc pada lingkungan badan peradilan di Indonesia. Selain itu Hakim Ad Hoc sendiri diangkat pada pengadilan khusus, yang merupakan pengadilan dalam salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, baik dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Misalnya Hakim Ad Hoc pada Pengadilan HAM, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Perikanan, Pengadilan Hubungan Industrial, atau Pengadilan Niaga.
- Bahwa menurut doktrin atau pendapat ahli hukum, Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan untuk mengadili, yang meliputi wewenang memeriksa, memutus, membuat ketetapan yustisial (Bagir Manan: 2009). Selain itu Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, SH, memberikan definisi tentang Kekuasaan Kehakiman dan peradilan adalah kekuasaan untuk memeriksa dan mengadili serta memberikan putusan atas perkara-perkara yang diserahkan kepadanya untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan perundang-undangan” (Moh.Mahfud MD : 1999). Dengan demikian Kekuasaan kehakiman dilaksanakan badan peradilan/badan yudisial (judiciary) yang merupakan alat kelengkapan negara karena bertindak dan memutus untuk dan atas nama negara. Lebih lanjut Prof. Sudikno Mertokusumo, SH. juga menguraikan maksud mengenai ketentuan kebebasan dalam melaksanakan kewenagan yudisial tidak mutlak sifatnya ‘‘Karena tugas daripada hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila dengan jalan menafsirkan hukum dan mencari dasar hukum serta asas-asas yang jadi landasannya, melalui perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya, sehingga keputusannya mencerminkan perasaan keadilan bangsa dan rakyat indonesia’’ (Mertokusumo.2002:20).
Selanjutnya mengenai pengertian kekuasaan Negara yang merdeka, dimaksudkan bahwa kekuasaan kehakiman terpisah dari kekuasaan pemerintahan dan Kekuasaan Perundang-undangan serta merdeka dari pengaruh kedua kekuasaan lembaga-lembaga Negara lainnya, sehingga kedudukannya sudah semestinya adalah sebagai pejabat Negara.
- Dalam hukum positif, kedudukan hakim sebagai “pejabat negara” ditegaskan dalam UUKekuasaan Kehakiman sebagai berikut:
“Hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut” (Pasal 1 angka 5).
“Hakim dan hakim konstitusi adalah pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang” (Pasal 19).
Berdasarkan penjelasan mengenai makna Hakim sebagaimana UU Kekuasaan Kehakiman tersebut diatas, maka jelas kedudukan Hakim Ad Hoc merupakan hakim pada Mahkamah Agung (pada pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung). Untuk itu tidak terdapat perbedaan baik Hakim Karir maupun Hakim Ad Hoc adalah berkedudukan sebagai “pejabat negara”. Seperti yang telah diuraikan pada poin sebelumnya, bahwa Perbedaan Hakim Ad Hoc dengan hakim umumnya, terutama dalam hal masa tugasnya yang sementara/dibatasi untuk waktu tertentu, di samping harus memiliki keahlian dan pengalaman tertentu di bidangnya.
- Bahwa Pengadilan khusus yang menjadi tempat pelaksanaan tugas Hakim Ad Hoc sendiri tidak selalu bersifat Ad Hoc (sementara). Sebagian besar adalah pengadilan khusus yang bersifat tetap. Pengadilan khusus yang bersifat Ad Hoc, yaitu Pengadilan Ad Hoc HAM yang dibentuk untuk menyelesaikan perkara pelanggaran HAM berat, sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Dengan kata lain, Pengadilan Ad Hoc HAM dibentuk untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu dalam kerangkatransitional justice(keadilan transisional).
Dengan demikian Pengadilan khusus lainnya bersifat permanen, termasuk Pengadilan HAM untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat setelah Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 berlaku. Artinya, apabila terjadi dugaan pelanggaran HAM berat, penyelesaiannya dilakukan oleh Pengadilan HAM yang berada pada lingkungan peradilan umum di bawah Mahkamah Agung. Selain Pengadilan HAM, pengadilan khusus lainnya yang bersifat permanen, misalnya Pengadilan Niaga, Pengadilan Perikanan, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
- Bahwa Hakim pada pengadilan-pengadilan khusus tersebut, tidak selalu Hakim Ad Hoc, namun juga hakim pada umumnya sesuai lingkungan peradilannya. Dalam suatu perkara yang diadili dalam pengadilan khusus, majelis hakim yang bertugas terdiri dari hakim pada umumnya (hakim pada Mahkamah Agung) dan Hakim Ad Hoc. Dalam Pengadilan HAM, baik Ad Hoc maupun permanen, misalnya, majelis hakim berjumlah 5 (lima) orang, terdiri atas 2 (dua) orang hakim pada Pengadilan HAM yang bersangkutan dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc (Pasal 27 ayat (2) UU No. 26 Tahun 2000). Demikian pula, misalnya dalam majelis hakim dalam Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, berjumlah ganjil sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakim dan sebanyakbanyaknya 5 (lima) orang hakim, terdiri dari Hakim Karier dan Hakim ad hoc (videPasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi).
Dengan demikian, kedudukan Hakim Ad Hoc pada umumnya bertugas pada pengadilan khusus yang bersifat permanen. Sama halnya dengan pengadilan pada berbagai lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung lainnya, pengadilan khusus menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman, untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara–perkara khusus sesuai peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, Hakim Ad Hoc, sama halnya dengan hakim pada umumnya menjalankan fungsi ketatanegaraan (kekuasan kehakiman), sehingga sangat tepat dikategorikan sebagai pejabat negara.
- Kedudukan hakim ad hoc yang menjalankan fungsi ketatanegaraan pada badan yudisial sebagai alat kelengkapan Negara bertindak untuk dan atas nama negara sehingga merupakan pejabat negara
- Muatan materi UU ASN adalah muatan yang mengatur profesi PNS dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) dalam artian hanya mengatur pegawai pemerintah dilingkungan eksekutif di pusat dan daerah, sedangkan pejabat Negara mempunyai kedudukan yang lebih luas dibanding pegawai lingkungan pemerintah karena mencakup lingkungan kekuasaan lain seperti yudiktif dan legislative
- Muatan materi UU ASN Bab 10 yang mencakup pasal 121 sampai 125 adalah pengaturan mengenai pegawai ASN yang menjadi pejabat Negara yaitu jika menjadi pejabat Negara yang diangkat maka harus melepas jabatan ASN dan status PNS non aktif sedangkan jika menjadi pejabat Negara yang dipilih lewat Pemilu maka harus mengundurkan diri sebagai PNS.
- Bahwa Pasal 122 huruf e UU No. 5 Tahun 2014 bertentangan dengan UUD Dasar Negara RI 1945 khususnya pasal 21 yang mengatur kekuasaan kehakiman.
- Bahwa Pengaturan dalam Pasal 122 huruf eUndang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN), yang mengecualikan Hakim Ad Hoc sebagai pejabat negara,menurut hemat Pemohon adalah tidak tepat. Selain tidak tepat, karena kedudukan Hakim Ad Hoc yang menjalankan salah satu fungsi ketatanegaraan sehingga merupakan pejabat negara, pengaturan mengenai pejabat negara dalam UU ASN tidak sesuai dengan materi muatan (materi yang seharusnya) yang diatur undang-undang tersebut. Dalam UU ASN, diatur pengertian sebagai berikut:
“Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disingkat ASN adalah profesi bagi pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi pemerintah” (Pasal 1 angka 1).
“Pegawai Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disebut Pegawai ASN adalah pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian dan diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintahan atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan (Pasal 1 angka 2)
Berdasarkan kedua pengertian di atas, UU ASN semestinya hanya mengatur tentang tata kelola Aparatur Sipil Negara (ASN), yang dalam konteks kategori kepegawaian, hanya mengatur mengenai PNS dan “pegawai pemerintah” (pegawai di bawah lingkungan kekuasaan eksekutif, baik pusat maupun daerah).
- Bahwa selanjutnya pengertian penyelenggara Negara berdasarkan pasal 1 angka 1 UU No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN adalah pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislative atau yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perUU yang berlaku
- Pada pasal 2 dijelaskan siapa saja yang termasuk penyelenggara Negara yaitu :
- Pejabat Negara pada lembaga tertinggi Negara
- Pejabat Negara pada lembaga tinggi Negara
- Menteri
- Gubernur
- Hakim
- Pejabat Negara lain sesuai ketentuan peraturan dan perUU yang berlaku
- Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan Negara sesuai dengan ketentuan perUU
- Bahwa pengertian pejabat Negara pada UU yang pernah berlaku di Indonesia yaitu UU No. 43 tahun 1999 atasUU No. 8 Tahun 1974 tentang pokok-pokok kepegawaian yaitu pada pasal 1 angka4, selanjutnya pasal 11 ayat 1.
- Bahwa makna dan istilah “pejabat negara” lebih luas dibandingkan pegawai di lingkungan pemerintahan, karena mencakup pejabat pada lingkungan kekuasaan lainnya, seperti legislatif, yudisial dan kekuasaan derivative lainnya yang dijalankan oleh lembaga-lembaga negara pendukung (auxiliary state bodies/ agencies). Pengaturan tentang “pejabat negara” dalam UU ASN hanya dapat dilakukan dalam hal, pengaturan Pegawai ASN yang menjadi “pejabat negara” (vide judul BAB X UU ASN). Namun demikian, Pasal 122 merupakan ketentuan yang berlebihan, karena mengatur materi di luar ASN. Pengaturan mengenai “pejabat negara”, termasuk Hakim Ad Hoc, seharusnya tunduk pada UUD 1945 dan undang-undang yang mengatur kekuasaan lembaga negara, dalam hal ini, untuk Hakim Ad Hoc, mengacu pada Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
- Bahwa Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH dalam bukunya “Perihal Undang-Undang” hal. 373 memberikan memberikan batasan pengertian serta perbedaan tentang makna Pejabat Negara dan Pegawai Negeri. Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa: “para pejabat negara merupakan “political appointee” sedangkan pejabat negeri merupakan “administrative appointee”. Artinya para pejabat negara itu diangkat atau dipilih karena pertimbangan yang bersifat politik, sedangkan para pejabat negeri dipilih murni karena alasan administratif. Semua pejabat yang diangkat karena pertimbangan politik (political appointment) haruslah bersumber dan dalam rangka pelaksanaan prinsip kedaulatan rakyat. Karena rakyatlah yang pada pokoknya memegang kedaulatan atau kekuasaan tertinggi dalam bidang politik kenegaraan. Pejabat yang diangkat atas pertimbangan yang demikian itulah yang biasa disebut sebagai pejabat negara yang dipilih atau “elected official”. Namun Prof. Jimly mengecualikan terhadap Hakim, Hakim menurut Prof. Jimly kedudukannya adalah sebagai Pejabat Negara, hal itu berkaitan dengan beban tugas dan tanggung jawabnya sebagai lembaga yang independen, yang harus lepas dari segala bentuk intervensi dari lembaga manapun, sehingga posisi dan kedudukannya adalah sebagai Pejabat Negara.
- Selain itu Pasal 122 huruf e tersebut, juga berbenturan dengan Pasal 11 ayat (1) huruf d Undang-Undang No. 43 tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 tahun 1974 tentang pokok-pokok kepegawaian, yang menyatakan :
“(1) Pejabat Negara Terdiri dari atas :
- Ketua, Wakil Ketua, dan Ketua Muda, dan Hakim Agung pada Mahkamah Agung, serta ketua, Wakil Ketua, dan Hakim pada semua Badan Peradilan;”
Berdasarkan Pasal 11 ayat (1) huruf d Undang-Undang No. 43 tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 tahun 1974 tentang pokok-pokok kepegawaian terdapat disharmonisasi hukum dengan Pasal 122 huruf e UU ASN.
- Selain itu Jimly Asshiddiqie mengemukakan, corak dan struktur organisasi Negara dewasa ini mengalami dinamika perkembangan yang sangat pesat. Hal itu dapat dibuktikan pasca reformasi tahun 1998, banyak sekali lembaga-lembaga dan organ negara dibentuk. Sesuai dengan asas negara hukum, setiap penggunaan wewenang harus mempunyai dasar legalitasnya. Sama halnya dengan lembaga-lembaga negara dimana dalam menggunakan wewenanganya harus mempunyai dasar atau pijakan yang jelas apalagi dasar pembentukanya. Dasar pembentukan lembaga negara jika dilihat dari dasar pembentukanya dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori, yaitu: Lembaga negara yang dibentuk dan mendapat kewenangan dari UUD NRI 1945 dan lembaga negara yang mendapat kewenagan dari selain UUD NRI 1945. (Jimly Asshiddiqie : 2006)
Untuk memahami pengertian organ atau lembaga secara lebih dalam, kita dapat mendekatinya dari pandangan Hans Kelsen mengenai the concept of the state-organ dalam bukunya General Theory of Law and State. Hans Kelsen menguraikan bahwa – Whoever fulfills a fanction determined by the legal order is an organ” (Hans Kelsen , General Theory of Law and State, (New York: Russell& Russell, 1961),hal 192). Siapa saja yang menjalankan suatu fungsi yang ditentukan oleh suatu tata-hukum (legal order) adalah suatu organ. Artinya organ-organ itu tidak selalu berbentuk organik. Disamping organ yang berbentuk organik, lebih luas lagi, setiap jabatan yang ditentukan oleh hukum dapat pula disebut organ, asalkan fungsi-fungsinya itu bersifat menciptakan norma (normcreating) dan/atau bersifat menjalankan norma (norm applying). “These functions , be they of a norm-creating or of a norm-applying character , are all ultimately aimed at the dexecution of a legal sanction.” Menurut Kelsen, parlemen yang menetapkan undang-undang dan warga negara yang memilih para wakilnya melalui pemilihan umum sama-sama merupakan organ negara dalam arti yang luas. Demikian pula hakim yang mengadili dan menghukum penjahat dan terpidana yang menjalankan hukuman tersebut dilembaga pemasyarakatan, adalah juga merupakan organ negara. Pendek kata, dalam pengertian yang luas, organ negara itu identik dengan organ individu yang menjalankan fungsi atau jabatan publik atau jabatan umum (public officials). Dikatakan oleh Hans Kelsen, ”An organ , in this sense, is an individual fulfilling a specific function”. Kualitas individu itu sebagai organ negara ditentukan oleh fungsinya. Individu tersebut dapat disebut sebagai organ negara, karena ia menjalankan fungsi yang menciptakan hukum (law–creating function) atau fungsi yang menerapkan hokum (law applying function).
Disamping pengertian yang luas itu, Hans Kelsen juga menguraikan adanya pengertian organ negara dalam arti yang sempit, yaitu pengertian organ dalam arti meteril. Individu dikatakan organ negara hanya apabila ia secara pribadi memiliki kedudukan hukum yang tertentu (…be personally has a specific legal position). Lembaga negara terkadang disebut dengan istilah lembaga pemerintahan non-departemen, atau lembaga negara saja. Dalam setiap pembicaraan mengenai organisasi negara, ada duaunsur pokok yang saling berkaitan, yaitu organ dan functie, organ adalah bentuk atau wadahnya, sedangkanfunctie adalah isinya; organadalah status bentuknya (Inggris;form,Jerman:Vorm), sedangkan functie adalah gerakan wadah itu sesuai maksud pembentukanya. Dalam naskah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, organ-organ yang dimaksud ada yang disebut secara eksplisit namanya, dan ada pula yang disebutkan secara eksplisit fungsinya. Ada pula lembaga atau organ yang disebut bahwa baik namanya maupun fungsinya atau kewenangannya akan diatur dengan peraturan yang lebih rendah.
Dengan demikian semakin jelas bahwa Hakim Ad Hoc merupakan bagian dari organ Negara hukum yang melaksanakan sebuah kekuasaan kehakiman dibawah lembaga Mahkamah Agung yang membawahi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara.
- Bahwa dengan adanya Pasal 122 huruf e tersebut, terutama bunyi frasa kecuali hakim Ad Hoc, maka Pasal 122 huruf e tersebut telah menimbulkan KETIDAK PASTIAN HUKUM, mengingat Pasal 19 UU Kekuasaan Kehakiman Juncto Pasal 122 huruf e UU Pokok-Pokok Kepegawaian menyatakan bahwa Hakim dalam hal ini termasuk Hakim Ad Hoc merupakan Pejabat Negara. Dengan demikian membuktikan bahwa Pembentuk Undang-Undang ASN kurang cermat dalam upaya pembentukan dan harmonisasi peraturan perundang-undangan yang sedang digalakkan baik oleh Eksekutif maupun Legislatif.
- Bahwa Pemohon memahami dan memaknai materi Pasal 122 huruf e tersebut, terutama bunyi frasa kecuali hakim Ad Hoc , dengan pengertian yaitu bahwa hakim Ad Hoc pada semua tingkat peradilan di lingkungan dan di bawah Mahkamah Agung bukanlah pejabat negara, sedangkan Hakim yang bukan Ad Hoc adalah pejabat negara;
- Bahwa pemohon tidak mengetahui secara persis apakah pijakan hukum (legal reasoning / ratio decidendi) dikecualikannya Hakim Ad Hoc sebagai pejabat negara oleh Pasal 122 huruf e UU aquo. Pasalnya berdasarkan penelusuran terhadap teks rancangan undang-undang tersebut (RUU ASN) kalimat atau frasa kecuali hakim Ad Hoc tersebut tidak pernah ada. Apakah ini sebuah keteledoran ataukah suatu kesengajaan, tentunya jawabannya akan diperoleh melalui uji materi (constitutional review / judicila review) di Mahkamah Konstitusi. Yang jelas Pemohon menilai UU ASN ini adalah produk UU yang dikatagorikan buruk ataupun imperfecta dan juga improper, dengan argumen bahwa materi muatan yang diatur oleh UU ASN tersebut adalah berkenaan dengan aparatur sipil negara (PNS) dalam domain eksekutif, sedangkan Hakim Ad Hoc yang masuk dalam domain yudikatif sudah diatur oleh UU Kekuasaan Kehakiman beserta derivasi regulasi organiknya. Sehingga dengan demikian tidak seharusnya UU No. 5 Tahun I aquo ini mengatur jabatan hakim apalagi menegasikannya sebagai pejabat Negara;
- Bahwa inisiator RUU Aparatur Sipil Negara dan legislator UU No. 5 Tahun 2014 tersebut tidak menyadari betapa eksesifnya pencantuman frasa Kecuali Hakim Ad Hoc tersebut. mengingat legitimasi dan legalitas kewenanganHakim Ad Hoc dalam memeriksa dan memutus suatu perkara secara essensial berkaitan dengan statusnya sebagai pejabat negara atau bukan. Bisa dibayangkan apa jadinya andaikata Hakim Ad Hoc bukan sebagai Pejabat Negara, maka tak pelak seluruh proses pemeriksaan dan produk putusan pengadilan khusus yang majelis hakimnya beranggotakan Hakim Ad hoc menjadi illegal dan batal demi hukum, sebagai konsekuensi dari tidak dimilikanya legitimasi dan legalitas kewenangan untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara. Hal demikian ini jelas berpotensi menciptakan situasi anomali hukum atau law disorder bahkan menjurus pada situasi chaos;
- Bahwa lebih jauh dilekatkannya frasa kecuali hakim Ad Hoc pada Pasal 122 huruf e UU aquo, juga tidak menegaskan status Hakim Ad Hoc itu sendiri. Jika bukan pejabat negara lantas statusnya sebagai apa? Apakah Hakim out sourcing, atau Hakim KW atau Hakim Abal-abal? . Yang paling runyam , jika Pasal 122 huruf e tersebut dipatuhi, maka konsekuensinya adalah Hakim Ad Hoc boleh menerima gratifikasi dari para pihak yang berperkara tanpa harus lapor KPK, sebab penerimaan gratifikasi terlarang bagi pegawai negeri dan pejabat negara atau penyelenggara negara. Sementara itu rekrutmen dan pengisian jabatan Hakim Ad Hoc sebagaian besar bukan berasal dari PNS ;
- Bahwa secara kelembagaan eksistensi Hakim Ad Hoc merupakan conditio sine quanon terhadap kebutuhan hukum dan konsekuensi dibentuknya pengadilan khusus di luar empat institusi peradilan di lingkungan/ di bawah Mahkamah Agung (Peradilan Umum; Peradilan Agama; Peradilan TUN; dan Peradilan Militer),. Di samping itu secara tegas amanat Konstitusi RI Pasal 24 A ayat (5) telah mengamanatkan bahwa: ”Susunan kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan Peradilan di bawahnya diatur dengan undang-undang”. Begitu pula halnya dengan Pasal 25 UU. No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menghendaki pembentukan pengadilan khusus diatur dengan undang-undang;
- Bahwa yang dimaksud dengan pengadilan khusus menurut ketentuan Pasal 1 angka 8 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman adalah pengadilan yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang diatur dalam Undang-Undang”,
- Bahwa Keberadaan Pengadilan Tipikor, PHI, Perikanan sebagai pengadilan khusus pijakan legalitasnya ditemukan pada ketentuan antara lain: Pasal 2 UU No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi telah ditetapkan bahwa “Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan Pengadilan khusus yang berada dilingkungan Peradilan Umum”, kemudian Penjelasan Pasal 2 tersebut adalah “ketentuan ini mengingat ketentuan Pasal 24 A ayat (5) UUD RI Tahun 1945 dan Pasal 15 UU. No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman,yang menghendaki pembentukan pengadilan khusus diatur dengan undang-undang;. Sementara itu mengenai ketentuan Pasal 1 angka 17 UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial disebutkan:“Pengadilan Hubungan Industrial adalah pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan pengadilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial”. Selanjutnya Pasal 71 ayat (1 dan 2) UU No. 31 Tahun 2004 jo UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan ditegaskan bahwa: “Pengadilan Perikanan berada di lingkungan Peradilan Umum”; UU No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum.
- Bahwa selanjutnya hal- ihwal pengertian jabatan hakim, dapat dijumpai pada Pasal 1 angka 5 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada pengadilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan hakim khusus yang berada di lingkungan peradilan tersebut.”;
- Bahwa Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung RI (LN-RI Tahun 1985 Nomor 73 – TLN Tahun 1985 Nomor 3316):
– Pasal 4, menyatakan bahwa susunan Mahkamah Agung terdiri dari Pimpinan, Hakim Anggota, Panitra, dan Sekretaris (Jenderal) Mahkamah Agung.
– Pasal 5 ayat (2), menegaskan bahwa Hakim Anggota Mahkamah Agung adalah Hakim Agung. Pasal 6 ayat (1), bahwa “… Hakim Anggota Mahkamah Agung adalah Pejabat Negara yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (LN- RI – Tahun 2004 Nomor 9 – TLN-RI Nomor 4359):
– Pasal 4 ayat (1) dan (2): Ayat (1) Sususnan Mahkamah Agung terdiri atas pimpinan, hakim anggota, panitera, dan seorang sekretaris. Ayat (2) Pimpinan dan hakim anggota Mahkamah Agung adalah Hakim Agung.
– Pasal 7 ayat (2) dan (3): Ayat (2) Apabila dibutuhkan, hakim agung dapat diangkat tidak berdasarkan sistem karier dengan syarat huruf a s/d huruf d; Ayat (3) Pada Mahkamah Agung dapat diangkat hakim ad hoc yang diatur dalam undang-undang.
– Penjelasan Pasal 7 ayat (3) menyatakan, Hakim agung ad hoc antara lain Hakim agung ad hoc HAM dan hakim agung ad hoc dalam perkara tindak pidana korupsi.
– Pasal 9 ayat (1) dan (4): Ayat (1) Sebelum memangku jabatannya, hakim agung wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya; Ayat (4) Hakim anggota Mahkamah Agung diambil sumpah atau janjinya oleh Ketua Mahkamah Agung.
– Pasal 30 (2), Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim agung wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.
- Bahwa Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (LN- RI Tahun 2009 Nomor 155 – TLN – RI Nomor 5074).
– Pasal 1 angka 1, 2 dan angka 3: Angka 1 menyatakan, Hakim adalah Hakim Karier dan Hakim ad hoc; Angka 2, Hakim Karier adalah hakim pada pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung yang ditetapkan sebagai hakim tindak pidana korupsi; Angka 3 menyatakan, Hakim ad hoc adalah seseorang yang diangkat berdasarkan persyaratan yang ditentukan dalam Undang-Undang ini sebagai hakim tindak pidana korupsi.
– Pasal 10 ayat (1) dan (4): Ayat (1) menyatakan, “Dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung terdiri atas Hakim Karier dan Hakim ad hoc. Ayat (4) bahwa Hakim ad hoc pada … Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung.
– Pasal 12 mengatur bahwa Untuk dapat diangkat sebagai Hakim ad hoc, calon harus memenuhi persyaratan (lihat huruf a s/d huruf k.
– Pasal 13 ayat (1) menegaskan bahwa Untuk memilih dan mengusulkan calon Hakim ad hoc pada … Mahkamah Agung, Ketua Mahkamah Agung membentuk panitia seleksi terdiri dari unsur Mahkamah Agung dan masyarakat yang mandiri dan transparan.
– Pasal 14 ayat (1) menyatakan, Sebelum memangku jabatan, Hakim ad hoc pada Mahkamah Agung diambil sumpah atau janji menurut agamanya oleh Ketua Mahkamah Agung.
– Pasal 21 ayat (2), bahwa Hak Keuangan dan administratif… diberikan tanpa membedakan kedudukan hakim.
36.Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 12 ayat (1) UU No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum disebutkan bahwa “Hakim Pengadilan adalah pejabat yang melakukan tugas kekuasaan kehakiman”,selain itu Pasal 12 UU No. 9 Tahun 2004 jo. UU No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara juga menyebutkan bahwa, ”Hakim Pengadilan adalah pejabat yang melakukan tugas kekuasaan kehakiman”. Apabila dicermati kedua undang-undang tersebut tidak menyebutkan secara eksplisit bahwa hakimpada peradilan umum dan hakim pada peradilan tata usaha negara adalah PejabatNegara;
- Bahwa jabatan hakim adalah pejabat negara tanpa dibedakan asal rekrutmen ataupun cara pengisian jabatan nya, melainkan didasarkan atas fungsinya sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman. Tegasnya status / kedudukan Hakim sebagai Pejabat Negara tidak ditentukan oleh latar belakangnya apakah berasal dari karir atau ad hoc melainkan pada fungsinya, yaitu sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yangmerupakan salah satu fungsi dasar dalam penyelenggaraan kehidupan bernegarasebagaimana ditentukan dalam Undang – Undang Dasar 1945
- Bahwa penegasan Hakim dan Hakim Ad Hoc sebagai pejabat negara dapat dirujuk pada Pasal 1 angka 1 UU No. 46 tentang Pengadilan Tipikor yang berbunyi : “bahwa yang dimaksud Hakim adalah Hakim Karier dan Hakim Ad Hoc”; Kemudian dikaitkan dengan ketentuan Pasal 31 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan bahwa: “hakim di bawah Mahkamah Agung adalah pejabat negara’, hal ini sehubungan dengan tugas pokok dan fungsinya untuk menjalankan kekuasaan kehakiman yang diamanatkan oleh konstitusi dan undang-undang tentang kekuasaan kehakiman;
- Bahwa Ketua Mahkamah Agung melalui suratnya No. 035/KMA/HK.01/III/2012, Perihal Penjelasan tentang Hakim Ad Hoc Tipikor Sebagai Pejabat Negara atau Bukan, tertanggal 22 Maret 2012, yang ditujukan kepada Menteri Pendayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, menyatakan bahwa Mahkamah Agung RI berpendapat bahwa Hakim Ad Hoc sebagaimana dimaksud di atas adalah Pejabat Negara;
- Bahwa yang dimaksud Pejabat Negara berdasarkan Peraturan Menteri Sekretaris Negara No. 6 Tahun 2007 tentang Jenis dan Dasar Hukun Pejabat Negara danPejabat Lainnya, yaitu pejabat yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden berdasarkan UUD 1945 atau berdasarkan Undang-Undang dinyatakan sebagai pejabat Negara. Sementara itu Pejabat lainnya adalah pejabat yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden yang tidak termasuk sebagai Pejabat Negara, tetapi mewakili kepentingan Negara RI di luar negeri, atau menyangkut hubungan antar lembaga negara dalam penetapanpengangkatannya memerlukan persetujuan DPR;
41.Bahwa dalam BAB II Lampiran Peraturan MenteriSekretaris Negara No. 6 Tahun 2007 tentang Jenis dan Dasar Hukun Pejabat Negara danPejabat Lainnya huruf A menyebutkan secara tegas bahwa yang dimaksud Pejabat Negaralainnya dalam Pasal 11 Undang – Undang Nomor 43 Tahun 1999 antara lain :(1).Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Mahkamah Konstitusi; (2)Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Komisi Yudisial; (3).Hakim Pengadilan Pajak; (4)Hakim Ad Hoc Peradilan Tindak Pidana Korupsi; (5)Hakim Ad Hoc Pengadilan Niaga; (6)Hakim Ad Hoc Peradilan Hak Asasi Manusia; (7) Hakim Ad Hoc pada Peradilan Perikanan; (8)Hakim Ad Hoc Perselisihan Perburuhan; dan (9)Hakim Mahkamah Syariah;
- Bahwa jabatan Pemohon sebagai Hakim Ad Hoc masing-masing pada Pengadilan Tipikor, Pengadilan PHI dan Pengadilan Perikanan adalah berdasarkan pengangkatan dan dan pemberhentian Hakim Ad Hoc dilakukan oleh Presiden. Hal mana kewenangan Presiden tersebut bersumber dari Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 jo. Pasal 10 ayat (4) UU No. 46 Tahun 2009 jo. Pasal 63 UU No. 2 Tahun 2004 jo Pasal 78 UU No. 31 Tahun 2004 jo. UU No. 45 Tahun 2009. Selanjutnya kedudukan Hakim Ad Hoc adalah hakim pada pengadilan khusus di lingkungan Peradilan Umum atau Pengadilan Negeri yang berada di bawah Mahkamah Agung, maka dengan demikian Hakim Ad Hoc termasuk pengertian Pejabat Negara;
- Bahwa membatasi makna “Hakim” pada Pasal 24B UUD 1945 sebagaimana berdasarkan pada Pasal 122 butir e Undang-undang Nomor: 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara adalah bertentangan dengan prinsip hukum yang berlaku secara universal yakni prinsip Lex Certa, suatu materi dalam peraturan perundang-undangan tidak dapat ditafsirkan lain selain yang tertulis dalam peraturan perundangan (Lex Stricta), atau dengan kata lain prinsip suatu ketentuan atau perundang-undangan tidak dapat diberikan pembatasan atau perluasan penafsiran selain ditentukan secara tegas dan jelas menurut peraturan perundang-undangan. Selain itu, pembatasan penafsiran makna tersebut tidak berdasarkan prinsip Lex Superior Derogate Legi Inferiori, suatu perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Begitu pula dalam kaitan “ frasa kecuali hakim ad hoc” pada Pasal 122 huruf e Undang-undang No.5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, adalah bertentangan dengan asas Lex Certa dan Lex Superior Derogate Legi Inferiori;
- Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, maka ketentuan Pasal 122 huruf e UU No. 5 Tahuin 2014 tentang ASN khususnya frasa Kecuali Hakim Ad Hoc yang identik dengan makna bahwa Hakim ad hoc bukanlah Pejabat Negara adalah sungguh -sungguh telah bertentangan dengan Pasal 24 ayat (2), Pasal 28 D ayat (1) dan 28 G ayat (1) UUD RI 1945, oleh karena Hakim Ad Hoc senyatanya adalah Pejabat Negara ;
- Provisi :
- Bahwa secara yuridis UU MK tidak mengatur secara spesifik tentang ihwal Putusan Provisi dalam perkara pengujian UU terhadap UUD 1945, akan tetapi Putusan provisi tersebut justru dikenal di dalam perkara sengketa kewenangan lembaga Negara, sebagaimana bunyi Pasal 63 UU MK, yaitu: “Mahkamah Konstitusi dapat mengeluarkan penetapan yang memerintahkan pada Pemohon dan/atau Termohon untuk menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi”.
- Bahwa dalam praktiknya MK telah membuat jurisprudensi dikabulkannya permohonan putusan provisi dalam perkara permohonan pengujian UU No.30 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Korupsi terhadap Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 melalui Putusan Nomor 133/PUU-VII/2009.
- Bahwa sebagaimana ketentuan Pasal 58 UU MK yang menegaskan putusan Mahkamah Konstitusi tidak berlaku surut, maka untuk mengantisipasi dan mencegah terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak konstitusional para Pemohon, maka para Pemohon memohon agar Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi menerbitkan Putusan Sela atau Putusan Provisi yang memerintahkan Sekretaris Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Direktorat Perbendaharaan Kementrian Keunangan Republik Indonesia untuk menunda dan atau menghentikan pemotongan pajak penghasilan atau PPh Pasal 21 terhadap uang kehormatan Hakim Ad Hoc di seluruh tingkat peradilan, baik yang berada di Mahkamah Agung RI dan di bawah Mahkamah Agung RI, sampai ada putusan MK dalam perkara aquo;
- Bahwa selanjutnya untuk menjamin kepastian hukum dan sekaligus mengantisipasi terjadinya upaya hukum berupa keberatan (eksepsi) dari para pihak yang berperkara di semua tingkatan peradilan khusus yang susunan majelis hakimnya beranggotakan Hakim Ad Hoc, maka para Pemohon memohon agar Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi menerbitkan Putusan Sela atau Putusan Provisi yang menyatakan Hakim Ad Hoc pada semua tingkat peradilan, baik di lingkungan Mahkamah Agung RI dan yang berada di bawah Mahkamah Agung adalah Pejabat Negara.
- Petitum :
Bahwa selanjutnya berdasarkan alasan-alasan hukum di atas, maka mohon kiranya Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berkenan memutuskan :
Dalam Provisi:
- Mengabulkan permohonan Provisi para Pemohon;
- Memerintahkan kepada Sekretaris Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Direktorat Perbendaharaan Kementrian Keuangan Republik Indonesia untuk menunda dan atau menghentikan pemotongan pajak penghasilan atau PPh Pasal 21 terhadap uang kehormatan Hakim Ad Hoc di seluruh tingkat peradilan, baik yang berada di lingkungnan Mahkamah Agung RI maupun peradilan khusus di tingkat bawahnya (pengadilan tingkat banding dan pengadilan tingkat pertama), sampai ada putusan MK dalam perkara aquo;
- Menetapkan Hakim Ad Hoc pada semua tingkat peradilan, baik di lingkungan Mahkamah Agung RI dan yang berada di bawah Mahkamah Agung adalah Pejabat Negara.
Dalam Pokok Perkara:
- Mengabulkan seluruh permohonan para Pemohon;
- Menyatakan Pasal 122 huruf e UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara khususnya frasa “kecuali hakim Ad Hoc” bertentangan dengan UUD RI 1945;
- Menyatakan ketentuan Pasal 122 huruf e UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara khususnya frasa “kecuali hakim Ad Hoc” tidak mempunyai kekuatan mengikat;
- Memerintahkan untuk memuat putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
Atau mohon putusan yang seadil-adilnya (Ex Aquo et Bono);
Bahwa selanjutnya untuk menguatkan dalil-dalil permohonan, para Pemohon telah mengajukan barang bukti berupa naskah UUD, UU, dan surat-surat yang diberi tanda P- 1 sampai dengan P – 17 sebagaimana terlampir ;
Demikian Permohonan Kami, atas perhatian dan perkenannya, diucapkan terima kasih.
Kami Para Pemohon:
1. DR. GAZALBA SALEH, S.H. ,M.H.
|
………………………………………. |
2. DR. LUFSIANA, S.H.,MH.
|
………………………………………. |
3. SUMALI, S.H,.M.H.
|
………………………………………. |
4. SUGENG SANTOSO, SH, M.H. ,M.M. | ………………………………………. |
5. DR. IR. MOH. INDAH GINTING | ………………………………………. |
6. ELIAS HAMONANGAN PURBA, SE, S.H. | ………………………………………. |
7. SAHALA ARITONANG, SH, MP.AD | ………………………………………. |
8. ABDUR RAZAK , SH, M.H | ………………………………………. |
9. ARMYN RUSTAM EFFENDY, SH, MH. | ………………………………………. |
10. LUKMAN AMIN, S.H,. M.H. | ………………………………………. |
11. SUWITO, SH. MH | ………………………………………. |
Lampiran: DAFTAR ALAT BUKTI
No. | DAFTAR ALAT BUKTI | KETERANGAN |
1. | Copy Identitas Pemohon | (P – 1) |
2. | Copy SK Pengangkatan Hakim Ad Hoc | (P – 2) |
3. | Copy UUD 1945 | (P – 3) |
4. | Copy UU No. 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara | (P – 4) |
5. | Copy Naskah RUU ASPN | (P – 5 ) |
6. | Copy UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman | (P – 6 ) |
7. | Copy UU No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum | (P – 7 ) |
8. | Copy UU No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi | (P – 8 ) |
9. | Copy UU No. 48 No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial | (P – 9 ) |
10. | Copy UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan | (P – 10 ) |
11. | Copy UU No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara | (P – 11 ) |
12. | Copy Perpres No. 5 Tahun 2013 Tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim Ad Hoc | (P – 12 ) |
13. | Copy Surat KMA No. 035/KMA/HK.01/III/2012 Perihal Hakim Ad Hoc Tipikor sebagai Pejabat Negara atau Bukan Pejabat Negara | (P – 13 ) |
14. | Copy Permensesneg RI No. 6 Tahun 2007 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penanganan Administrasi Pejabat Negara | (P – 14 ) |
15. | Copy Surat Sekjen Kemendikbud No. 23053/A4/KP/2013 Perihal: PNS Yang Menjadi Pejabat Negara | (P – 15 ) |
16. | Copy Surat KMA No. 096/KMA/HK.01/VII/2011 Perihal Pajak Penghasilan Hakim Ad Hoc | (P – 16 ) |
17. | Copy Surat Sekretaris MA No. 044-1/SEK/KU.01/01/2014 Tentang Teknis Pelaksanaan Pembayaran dan Pemotongan PPh Pasal 21 Uang Kehormatan atau Tunjangan Bagi Hakim Ad Hoc | (P – 17 ) |
18. | Copy Surat Dirjen, Direktur Pelaksanaan Anggara No. S-7704/PB/2013 perihal Pelaksanaan Pembayaran dan Pemotongan PPh Ps 21 Uang Kehormatan atau Tunjangan Bagi Hakim Ad Hoc | (P – 18 ) |
19. | Copy Surat Direktur Jenderal Depkeu No. S-295/PJ-03/2008 Perihal: PPh Ps. 21 atas Penghasilan Pejabat Negara | (P – 19 ) |
1 Comment