SENGKARUT TAFSIR MK TENTANG LGBT

Publik kembali diramaikan dengan adanya Putusan MK No. 46/PUU-XIV/2016 pada tanggal 14 Desember 2017 yang pada intinya menolak permohonan terkait dengan perzinaan (Pasal 284 KUHP), pemerkosaan (Pasal 285 KUHP) dan homoseksual (Pasal 292 KUHP).

 

Pemohon beranggapan pasal-pasal tersebut sangat mengancam ketahanan keluarga di Indonesia sehingga pada akhirnya mengancam Ketahanan Nasional. Selain itu Pemohon mendalilkan bahwa seluruh agama di Indonesia pada dasarnya juga melarang perzinaan di luar perkawinan, melarang pemerkosaan kepada siapa saja dan melarang hubungan sesama jenis.

 

Oleh karena itu menurut Pemohon, tidak ada kebutuhan untuk mempertahankan pasal-pasal tersebut (yang merupakan produk kolonial dari zaman kolonial yang sudah lama berlalu) selain itu harus ditegaskannya kembali nilai-nilai agama sebagai salah satu pedoman hidup bermasyarakat yang tertuang dalam Pancasila dan UUD 1945.

 

Namun atas dalil-dalil Pemohon itulah, MK menegaskan menolak dalil Pemohon dengan setidaknya terdapat berbagai pertimbangan, Pertama permohonan para Pemohon bukan lagi sekadar memohon kepada MK untuk memberi pemaknaan tertentu terhadap norma undang-undang yang dimohonkan pengujian. Juga bukan pula sekadar memperluas pengertian yang terkandung dalam norma undang-undang yang dimohonkan pengujian, melainkan benar-benar merumuskan tindak pidana baru (criminal policy), sehingga yang demikian hanya merupakan kewenangan pembentuk undang-undang yang dapat melakukannya karena MK tidak dapat mengambil-alih wewenang pembentuk undang-undang tersebut.

 

Kedua, kedudukan Putusan MK yang sejajar dengan UU hanya sebagai negative legislator, bukan dalam pemahaman sebagai pembentuk undang-undang (positive legislator). Dalam hal yang menyangkut norma hukum pidana, MK dituntut untuk tidak boleh memasuki wilayah kebijakan pidana atau politik hukum pidana (criminal policy). Pengujian undang-undang yang pada pokoknya berisikan permohonan kriminalisasi maupun dekriminalisasi terhadap perbuatan tertentu tidak dapat dilakukan oleh MK karena hal itu merupakan salah satu bentuk kewenangan eksklusif pembentuk undang-undang.

 

Ketiga, menurut MK hukum pidana harus ditempatkan sebagai “obat terakhir” (ultimum remedium). Hukum hanyalah salah satu kaidah sosial atau kaidah kemasyarakatan yang bertujuan menciptakan sekaligus memelihara tertib sosial dalam kehidupan masyarakat. Masih banyak kaidah sosial atau kaidah kemasyarakatan lainnya yang juga bertujuan menciptakan dan memelihara tertib sosial dimaksud, yaitu kaidah kesusilaan, kaidah kesopanan, dan kaidah agama. Tugas hukum akan menjadi jauh lebih ringan manakala kaidah kesusilaan, kaidah kesopanan, dan kaidah agama itu ditaati oleh masyarakat yang lahir dari kesadaran bahwa kaidah-kaidah itu dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat sehingga menimbulkan rasa wajib moral untuk mentaatinya.

 

Pandangan yang berbeda (dissenting opinion) menurut 4 (empat) Hakim Konstitusi lainnya, yang pada intinya menyatakan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 menegaskan jati diri dan identitasnya sebagai konstitusi yang berketuhanan (Godly Constitution) sehingga terlihat jelas bahwa nilai agama dan ketertiban umum diberi posisi dan fungsi oleh konstitusi sebagai salah satu rambu atau pedoman yang harus dipatuhi dalam membentuk norma undang-undang. Selain itu mengembalikan kembali konsep zina sesuai dengan nilai hukum dan keadilan menurut berbagai nilai agama dan hukum yang hidup dalam masyarakat di Indonesia merupakan ijtihad dengan melakukan moral reading of the Constitution dan bukan justru menerapkan prinsip judicial restraint.

 

Perdebatan dan perbedaan pendapat di kalangan Hakim Konstitusi (dissenting opinions) lebih banyak dipengaruhi oleh perbedaan tafsir antara 2 (dua) pendekatan, yakni antara “pembatasan yudisial” (judicial restraint), dengan pendekatan “aktivisme yudisial” (judicial activism).

 

Judicial restraint lahir atas keinginan adanya pembatasan atas kewenangan yang diberikan kepada ekskutif dan legislatif sebagai bagian dari pembentuk UU. Sedangkan Judicial Activism lebih menekankan pada pendekatan hakim dalam mengambil pertimbangan dalam putusan yang bersifat mengontrol atau memengaruhi bahkan mengoreksi pada institusi baik di legislatif maupun eksekutif dalam membuat keputusan dan kebijakan. Dalam beberapa putusan MK keduanya sering digunakan secara campur aduk dan tidak ada konsistensi penggunaan antar keduanya.

 

Langkah Mundur

 

Menaggapi atas putusan MK tentang LGBT diatas, hemat penulis Hakim Konstitusi perlu membuka kembali sejarah judicial review yang pertama kali timbul dalam praktik hukum di Amerika Serikat melalui putusan Supreme Court Amerika Serikat dalam perkara “Marbury Vs Madison” tahun 1803. Meskipun ketentuan judicial review tidak tercantum dalam Undang-Undang Dasar Amerika Serikat, Supreme Court Amerika Serikat membuat sebuah putusan yang ditulis John Marshall dan didukung 4 Hakim Agung lainnya yang menyatakan bahwa pengadilan berwenang membatalkan undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi.

 

Selain itu perlu juga menyimak dan memahami sejarah pembentukan MK pertama kali di Austria yang diberi nama Verfassungsgerichtshoft atau MK (Constitutional Court) yang dipelopori oleh Hans Kelsen, yang menurut Kelsen tujuan MK salah satunya adalah membentuk hukum dalam arti negatif. Artinya MK dapat membentuk hukum guna mengisi kekosongan hukum dalam masyarakat sesuai dengan Konstitusi yang hidup dalam masyarakat. Bahkan dala perjalanannya MK di berbagai negara telah terdapat pergeseran dari semula fungsi MK yang hanya bersifat negative legislator dalam hal tertentu juga bersifat  positive legislator atau bahkan kearah temporary legislator.

 

Berdasarkan kedua uraian diatas, sejarah sebenarnya telah mencatat tentang adanya fungsi pembentukan hukum oleh MK, baik melalui Marbury Vs Madison maupun pembentukan MK pertama kali oleh Hans Kelsen. Sehingga apabila dikaitkan dengan ditolaknya permohonan tentang pelarangan LGBT sebagaimana tersebut diatas, dapat dikatakan merupakan langkah mundur MK, dimana dalam sejarah perjalanannya MK yang semula sangat dipenuhi oleh semangat pembentukan hukum yang progresif, namun semua itu sirna dengan pemaknaan hukum hanya sebatas tekstual. Sehingga tidak salah apabila dikatakan oleh sebagian kalangan bahwa MK telah kehilangan momentum untuk dapat membentuk terobosan hukum yang dapat bermanfaat bagi seluruh kalangan.

Link : Sengkarut Tafsir MK tentang LGBT

Continue Reading

ADVOKAT MUDA PERBAIKI PERMOHONAN PENEGASAN KEWAJIBAN MEMATUHI PUTUSAN MK

Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan uji materiil UU No 8 Tahun 2011 Tentang MK, UU No 48 tahun 2009 Kekuasaan Kehakiman, dan UU No 30 tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, Senin (5/12) dengan agenda perbaikan permohonan. Perkara dengan registrasi No. 105/PUU-XIV/2016 ini diajukan oleh sejumlah advokat muda yang tergabung dalam organisasi Forum Advokat Muda Indonesia (FAMI).

Kuasa Hukum Pemohon Saeful Anam menjelaskan beberapa poin perubahan. Pertama, terkait kedudukan hukum pihaknya. Yakni sudah menjelaskan satu per satu dan sudah dikurangi bagi yang berkomitmen untuk hadir di sidang siapa saja.

Kemudian, kata dia, tentang kewenangan MK sebagaimana masukan Hakim Konstitusi Suhartoyo pada sidang sebelumnya, pihaknya sudah memasukkan tentang pasal-pasal yang diujikan. “Pada poin 5, berdasarkan uraian angka 1 sampai dengan 4 di atas, maka tidak ada keraguan sedikit pun bagi Pemohon untuk menyimpulkan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang untuk mengadili permohonan Pemohon,” jelasnya.

Terakhir, pihaknya juga kami sudah melakukan revisi tentang kedudukan hukum (legal standing). Dimana telah memasukkan beberapa kerugian konstitusional yang berkaitan dengan hal-hal yang pernah dialaminya. Misal mendampingi klien dalam hal melakukan praperadilan . Dimana penuntut umum menyatakan praperadilan bukan merupakan bagian dari objek penetapan tersangka dan juga objek dari praperadilan.

Sebelumnya, para Pemohon ini meminta agar Mahkamah memberikan penegasan pada Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 47 untuk UU MK, Pasal 29 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman, dan Pasal 7 ayat (2) huruf I UU Administrasi Pemerintahan tentang kewajiban mematuhi putusan MK. Para Pemohon menilai selama ini fakta di lapangan Putusan MK banyak yang bersifat non-excutiable (tidak dapat dijalankan) sehingga tidak cukup apabila tetap menekankan pada asas self respect dan kesadaran hukum kepada pihak manapun (baik pemerintah, pejabat publik, perseorangan, badan hukum dan lain sebagainya) MK untuk melaksanakan putusan MK. Untuk itu perlu upaya paksa dalam usaha melaksanakan Putusan MK. Yakni mesti tercantum secara langsung melalui pasal-pasal yang berkaitan kekuatan mengikat Putusan MK. (ARS)

Link : ADVOKAT MUDA PERBAIKI PERMOHONAN PENEGASAN KEWAJIBAN MEMATUHI PUTUSAN MK

Continue Reading

ADVOKAT MUDA MINTA MK TEGASKAN KEWAJIBAN MEMATUHI PUTUSAN MK

Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana uji materiil UU No 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman), dan UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU Administrasi Pemerintahan), Selasa (22/11) di ruang sidang MK. Pemohon perkara teregistrasi Nomor 105/PUU-XIV/2016  tersebut adalah Forum Advokat Muda Indonesia (FAMI).

Para pemohon mengajukan uji materiil Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 47 UU MK, Pasal 29 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman, dan Pasal 7 ayat (2) huruf l UU Administrasi Pemerintahan. Menurut pemohon, pasal-pasal tersebut terkait dengan kewajiban mematuhi putusan MK.

Pasal 10 ayat (1) UU MK menyatakan,

“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk : a. Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; c. Memutus pembubaran partai politik; dan d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.

Pasal 47 UU MK menyatakan,

“Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum”;

Pasal 29 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman menyatakan,

“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk : a. Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; c. Memutus pembubaran partai politik; dan d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Pasal 7 ayat (2) huruf l UU Administrasi Pemerintahan menyatakan,

Pejabat Pemerintahan memiliki kewajiban: l. Mematuhi Putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Salah satu Pemohon, Saeful Anam, menyatakan asas putusan MK adalah res judicata (putusan hakim harus dianggap benar). Selain itu, putusan MK juga bersifat res judicata pro veritate habetur (apa yang diputus hakim harus dianggap benar dan harus dilaksanakan).

Namun, menurutnya,  fakta di lapangan Putusan MK banyak yang bersifat non-excutiable (tidak dapat dijalankan). Pemohon menilai tidak cukup apabila hanya menekankan pada asas self respect dan kesadaran hukum kepada pihak manapun, baik pemerintah, pejabat publik, perseorangan, badan hukum, dan pihak lain yang terkait untuk melaksanakan putusan MK.

“Untuk itu, perlu upaya paksa dalam usaha melaksanakan Putusan MK. Mesti tercantum secara langsung melalui pasal-pasal yang berkaitan kekuatan mengikat Putusan MK,” jelasnya dalam sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams.

Nasihat Hakim

Menanggapi permohohonan tersebut, Hakim Konstitusi Suhartoyo mengkritisi jumlah pemohon yang tidak hadir seluruhnya dalam persidangan. Menurutnya, FAMI terdiri dari 26 advokat, namun yang hadir tak sampai sejumlah itu. “Ini bisa saya maknai sebagai ketidakseriusan dalam proses permohonan. Karena anda  tidak memakai kuasa hukum sehingga semua Pemohon mesti hadir,” ujarnya.

Apabila semua pemohon tidak dapat hadir, Suhartoyo menyarankan agar permohonan diperbaiki sehingga tidak semua anggota FAMI menjadi pemohon prinsipil. “Bisa dibagi ada yang menjadi pemohon prinsipil dan ada menjadi kuasa hukum. Sehingga nanti tak semua mesti hadir dan cukup diwakilkan pada kuasa hukumnya,” imbuhnya.

Adapun Wahiduddin meminta Pemohon mempertajam legal standing-nya dengan memperjelas kerugian konstitusional yang dialami. “Misal FAMI ini apa, tujuannya apa. Kenapa bisa concern dalam hal seperti ini?” jelasnya.

Link : ADVOKAT MUDA MINTA MK TEGASKAN KEWAJIBAN MEMATUHI PUTUSAN MK

 

Continue Reading

POLEMIK AMBANG BATAS SUARA DALAM SENGKETA PILKADA

JAKARTA, GRESNEWS.COM — Sejumlah pihak mempersoalkan ketentuan ambang batas suara dalam pengajuan sengketa pemilihan kepala daerah (Pilkada) ke Mahkamah Konstitusi. Sebab adanya ketentuan itu gugatan perkara Penyelesaian Hasil Pilkada (PHP) di MK kerap digugurkan dari persoalan yang tak substantif dan hanya secara prosedural.

“Penting bagi MK untuk mempertimbangkan keadilan substantif, bukan semata keadilan prosedural,” kata kandidat doktor Hukum Tata Negara UI, Saiful Anam kepada gresnews.com, Selasa (21/2).

Saiful mengungkapkan, di dalam putusan PHP terdahulu, MK selalu mempertimbangkan keadilan substantif. Namun hal tersebut tidak lagi berlaku pada putusan PHP yang dikeluarkan MK pada tahun 2015 lalu. Alasannya, kata Saiful, MK menilai persoalan Pilkada tidak sama dengan Pemilu. Dalam sengketa hasil Pemilu, MK bisa memeriksa hasil suara jika disinyalir ada kecurangan yang dilakukan secara Terstruktur, Sistematis, dan Massif (TSM). Sementara dalam konteks sengketa Pilkada, ada aturan ketat bahwa MK baru bisa memeriksa dan memutus perkara yang dimohonkan jika selisih suara hasil Pilkada tersebut sesuai ambang batas. Saiful pun menilai hal tersebut sebagai suatu kemunduran.

“Sudah tidak ada lagi pertimbangan mengenai kecurangan yang dilakukan secara TSM. Jelas itu merupakan kemunduran. Jika bukan ke MK, ke mana lagi orang-orang yang dirugikan oleh hasil Pilkada akan mencari keadilan?” papar Saiful.

Saiful pun menyayangkan bahwa dalam beberapa perkara, ada sejumlah kasus yang sudah dinyatakan terjadi pelanggaran oleh DKPP, tapi saat perkara tersebut dibawa ke MK, MK menolak. “Ini ngeri. Keadilan prosedural lebih diutamakan ketimbang keadilan substansif,” pungkasnya.

Senada dengan Saiful, beberapa waktu lalu, Ketua DKPP sekaligus Mantan Hakim konstitusi Jimly Assiddiqie juga menyampaikan kekecewaannya terkait ketentuan ambang batas suara. Menurut Jimly, persoalan ambang batas suara sebaiknya ditiadakan. Alasannya, kedatangan orang-orang ke lembaga peradilan—dalam hal ini ke MK—haruslah dilihat sebagai upaya kanalisasi mencari penyaluran atas kekecewaan dan ketidakpuasan mereka terhadap hasil Pilkada.

“Jadi jangan ditutup oleh pembatasan itu. Biar nanti ada proses pembuktian sehingga jika ada pihak yang tidak bisa membuktikan bagaimana dia menang, ya harus dikalahkan (oleh MK-red). Begitu juga sebaliknya. Jika dia bisa membuktikan bahwa dia menang, ya dimenangkan,” kata Jimly.

Jimly menambahkan, aturan soal ambang batas suara memang dibuat dengan landasan bahwa pembuktian menang-kalahnya calon pasangan tertentu akan lebih mudah dilakukan jika selisih suaranya tidak terpaut begitu jauh. Namun demikian, kata Jimly, biarlah persoalan kalah-menang itu dibuktikan lebih lanjut di persidangan. Bagaimanapun, MK harus mampu menampung kekecewaan publik.

“Orang-orang itu kan ingin mengeluhkan keluh kesahnya. Ada yang berlebihan. Ada yang tidak punya bukti dan hanya ingin marah saja. Daripada dibiarkan meledak-ledak sehingga membakar kantor KPUD seperti di Intan Jaya, lebih baik ditangani. Sehingga tidak perlu ada pembatasan begini” papar Jimly.

Untuk diketahui, sepanjang MK menggelar sidang PHP dengan agenda mendengar keterangan termohon, nyaris seluruh termohon menyasar legal standing para pemohon agar MK menolak permohonan mereka. Dan hal yang kerap jadi sasaran empuk atas hal tersebut adalah ketentuan ambang batas suara.

“Selisih kami 12,3%. Dengan jumlah penduduk 100.993 jiwa, pasangan calon kepala daerah Kabupaten Mappi sebetulnya hanya bisa mengajukan permohonan dengan selisih suara sebesar 2%,” papar Efrem Fangohoy, Kuasa Hukum pasangan calon kepala daerah kabupaten Mappi, Papua Barat, Jumame-Yermogoin, kepada gresnews.com, Senin (20/3) lalu.

Efrem menyebut bahwa pihaknya sengaja datang ke MK demi memperjuangkan keadilan. Pun, di saat bersamaan pihaknya sadar bahwa secara prosedural perkara yang dimohonkan ke MK tidak memenuhi ketentuan ambang batas.

“Itu bukan soal bagi kami. Yang penting, kami sampaikan dulu ke MK bahwa ada pelanggaran TSM di Mappi. Siapa pun tidak akan menang kalau belum apa-apa sudah dicurangi,” sambungnya.

Terlepas dari soal kerugian-kerugian yang didapat peserta Pilkada lantaran ketentuan ambang batas, Jimly juga menyebut bahwa terkait hal tersebut MK tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Alasannya, aturan mengenai hal tersebut sudah lebih dulu diatur di dalam Pasal 158 UU Pilkada.

“Ketentuannya memang sudah dimulai oleh Undang-undang. Meskipun oleh MK lebih dibatasi lagi,” katanya. Karena itulah Jimly berharap, UU Pilkada segera kembali direvisi. Menurutnya, hal itu penting dilakukan agar MK bisa menyesuaikan diri dengan proses demokrasi yang terus berkembang, juga dengan persoalan faktual negeri ini.

“Nanti kalimat di UU tinggal diubah saja. Diganti. Karena, kalau Pilkada bukan Pemilu, berarti penyelenggaranya juga bukan KPU. Harus bikin lembaga baru lagi. Dan itu gak efisien,” pungkasnya.

Hal demikian juga disampaikan juru bicara MK Fajar Nugroho. Terlepas dari putusan hakim nanti, menurutnya, jika saat ini ada pihak-pihak yang mengharapkan MK tidak terlalu berpaku pada ketentuan ambang batas suara, maka hal yang harus dilakukan lebih dulu adalah merevisi UU Pilkada.

“Jangan MK diminta untuk melanggar konstitusi. Ibarat sebuah pertandingan, aturannya sudah disepakati lalu MK diminta jadi wasit. Nah, setelah pertandingannya digelar, ini malah wasitnya yang diminta melanggar aturan,” katanya.

Terlepas dari proses persidangan perkara yang kini tengah berlangsung di MK, untuk diketahui, berdasar hasil penelitian yang disampaikan lembaga Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif awal Maret lalu, dilihat dari ketentuan ambang batas suara, dari 50 perkara sengketa Pilkada yang masuk ke MK hanya 7 perkara yang kemungkinan besar bakal berlanjut ke tahapan pleno.

Berikut ketujuh perkara tersebut

1. Kabupaten Takalar, selisih perolehan suara pasangan calon Burhanuddin B-Natsir Ibrahim dari pesaingnya, Syamsari-Achmad Dg Se’re, sebesar 1,16 persen.

2. Kabupaten Gayo Lues, selisih perolehan suara pasangan calon Abdul Rasad-Rajab Marwan dari pasangan calon Muhammad Amru-Said Sani, sebesar 1,43 persen.

3. Kota Salatiga, selisih perolehan suara pasangan calon Agus Rudianto-Dance Ishak dari pesaingnya, Yuliyanto-Muhammad Haris, sebesar 0,94 persen.

4. Kabupaten Bombana, selisih perolehan suara pasangan calon Kasra Jaru-Man Arfah dari pesaingnya, Tafdil-Johan Salim sebesar 1,56 persen.

5. Kota Yogyakarta, selisih perolehan suara pasangan calon Imam Priyono-Achmad Fadli dari pesaingnya, Haryadi Suyut-Heroe Poerwadi, sebesar 0,59 persen.

6. Kabupaten Maybrat, selisih perolehan suara pasangan calon Karel Murafer-Yance Way dari pesaingnya, Bernard Sagrim-Paskalis Kocu, sebesar 0,33 persen.

7. Provinsi Sulawesi Barat, selisih perolehan suara pasangan calon Suhardi Duka-Kalima Katta dari pasangan calon Ali Baal-Enny Anggraeny Anwar, sebesar 0,75 persen.

Rencananya, setelah agenda sidang pemeriksaan pendahuluan selesai, MK akan menggelar sidang dengan agenda pengucapan putusan sela pada 30 Maret-5 April 2017 mendatang. Perkara-perkara yang terbukti tidak memenuhi persyaratan peraturan perundang-undangan akan langsung diputus.

“Sehingga akan diketahui perkara-perkara mana yang akan masuk ke tahap pemeriksaan selanjutnya,” kata Ketua MK Arief Hidayat, akhir Februari lalu. (Zulkifli Songyanan).

Continue Reading

PENYELESAIAN SENGKETA PILKADA DI MK

PENYELESAIAN SENGKETA PILKADA DI MK

Sebanyak 101 daerah yang terdiri dari 7 provinsi, 18 kota, dan 76 kabupaten telah menggelar Pemilihan Kepala Daerah serentak gelombang kedua pada Rabu, 15 Februari 2017. Pilkada serentak tahun ini merupakan yang kedua kalinya setelah gelombang pertama dilaksanakan pada 9 Desember 2015 oleh Komisi Pemilihan Umum.

Komisi Pemilihan Umum telah menjadwalkan mengumumkan rekapitulasi, penetapan, dan pengumuman hasil penghitungan pilkada serentak tahun 2017 tingkat kabupaten/kota untuk pemilihan bupati dan wakil bupati atau wali kota dan wakil wali kota adalah pada 22 Februari hingga 24 Februari 2017. Sementara rekapitulasi, penetapan, dan pengumuman hasil penghitungan suara tingkat provinsi untuk pemilihan gubernur dan wakil gubernur dilaksanakan pada 25 Februari hingga 27 Februari 2017.

Atas pelaksanaan pilkada serentak tersebut, pasti terdapat pihak-pihak yang merasa tidak puas terhadap hasil yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum. Ketidakpuasan tersebut tentu dilandasi oleh berbagai macam kecurangan, seperti politik uang, jual beli suara, intimidasi, pengerahan massa, serta manipulasi suara dan hasil suara, baik yang terjadi sebelum pemilihan, pada saat pemilihan, maupun setelah pemilihan berlangsung.

Terhadap pihak-pihak yang merasa tidak puas atas rekapitulasi, penetapan, dan pengumuman hasil penghitungan suara, baik pada tingkat kabupaten/kota maupun tingkat provinsi, terdapat sarana yang dapat ditempuh, yakni melalui permohonan perselisihan hasil pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota kepada Mahkamah Konstitusi terhitung paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil pemilihan, baik oleh KPU provinsi maupun KPU kabupaten/kota.

Selain itu, Mahkamah Konstitusi juga telah menyusun jadwal pengajuan permohonan sengketa pilkada untuk pasangan calon bupati dan wakil bupati atau wali kota dan wakil wali kota adalah pada 22 Februari hingga 28 Februari 2017, sedangkan untuk pasangan calon gubernur dan wakil gubernur pada 27 Februari 2017 hingga 1 Maret 2017.

Tantangan

Selain syarat formal sebagaimana tersebut di atas, yakni pengajuan gugatan paling lama 3 x 24 jam sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil pemilihan oleh KPU setempat, juga ada syarat selisih perolehan suara antara pemohon dan pasangan lainnya paling banyak 0,5 persen sampai 2 persen sebagaimana diatur dalam Pasal 158 Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.

Pasal 158 UU No 8/2015 menjadi tantangan sendiri bagi pemohon yang akan memilih jalur sengketa pilkada di Mahkamah Konstitusi, mengingat dengan berdasar pada permohonan gugatan perselisihan hasil pemilihan pilkada pada tahun 2015, Mahkamah Konstitusi hanya menerima tujuh dari 147 permohonan sengketa pilkada dengan pertimbangan konsisten menerapkan Pasal 158 UU No 8/2015 dalam memeriksa dan mengadili syarat formal pengajuan sengketa hasil pilkada ke Mahkamah Konstitusi.

Adapun alasan Mahkamah Konstitusi konsisten menggunakan Pasal 158 UU No 8/2015 sebagai dasar pijakan di antaranya sebagai berikut. Pertama, pilkada berdasarkan UU Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota bukan merupakan rezim pemilu. Perbedaan tersebut bukan hanya dari segi istilah, melainkan juga meliputi perbedaan konsepsi yang menimbulkan perbedaan konsekuensi hukum.

Ketika pilkada sebagai rezim pemilu, Mahkamah Konstitusi memiliki keleluasaan melaksanakan kewenangan konstitusinya, yakni tunduk pada ketentuan UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Atas dasar itulah, putusan Mahkamah Konstitusi pada masa lalu dalam perkara perselisihan hasil pilkada tidak hanya meliputi perselisihan hasil, tetapi juga mencakup pelanggaran dalam proses pemilihan untuk mencapai hasil yang dikenal dengan pelanggaran bersifat terstruktur, sistematis, dan masif.

Kedua, telah terdapat putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51/PUU-XIII/2015 berkaitan dengan tafsir konstitusional atas Pasal 158 UU No 8/2015. Melalui putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi menyatakan konstitusional dan menolak permohonan uji materi terhadap Pasal 158 UU No 8/2015 disebabkan merupakan kebijakan hukum terbuka oleh pembentuk undang-undang (open legal policy) sehingga Mahkamah Konstitusi menganggap tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Ketiga, demi kepastian hukum, Mahkamah Konstitusi harus tunduk pada ketentuan yang secara expressis verbis digariskan dalam Undang-Undang Pilkada. Dengan melaksanakan Pasal 158 UU Pilkada dan aturan turunannya secara konsisten, Mahkamah Konstitusi turut ambil bagian dalam upaya mendorong agar lembaga-lembaga yang terlibat dalam proses pilkada berperan dan berfungsi secara optimal sesuai dengan proporsi kewenangan di tiap-tiap tingkatan.

Peluang

Apabila melihat perbedaan selisih hasil yang diperoleh pasangan calon dengan pasangan calon lainnya, baik di media cetak maupun media elektronik, menurut penulis, banyak pilkada yang tidak akan berlanjut pada gugatan di Mahkamah Konstitusi mengingat persentase selisih suara yang sangat jauh di atas 2 persen.

Hal ini tentu akan mengakibatkan adanya penurunan jumlah gugatan sengketa hasil pilkada di Mahkamah Konstitusi.

Namun, yang pasti, terhadap pasangan calon yang persentase selisih perolehan suaranya sesuai dengan Pasal 158 UU No 8/2015, bukan tidak mungkin mereka berpeluang untuk memenangi sengketa atau Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan perselisihan hasil pilkada yang diajukan oleh pasangan calon.

Hal itu tentunya jika didukung oleh argumentasi dan bukti-bukti yang memadai berkaitan dengan kedudukan hukum, obyek permohonan, dan pokok permohonan yang dimohonkan.

Di sisi lain, Mahkamah Konstitusi juga diharapkan tidak mengabaikan tuntutan keadilan substantif, yakni dengan tetap memeriksa secara menyeluruh perkara yang telah memenuhi persyaratan tenggang waktu, kedudukan hukum, obyek permohonan, dan jumlah persentase selisih perolehan suara antara pemohon, termohon, dan pihak terkait lainnya.

Dengan adanya sarana hukum yang baik dalam hal ini melalui permohonan perselisihan hasil pilkada kepada Mahkamah Konstitusi, diharapkan pelaksanaan demokrasi di daerah menjadi semakin kondusif dan jauh dari segala bentuk kerusuhan dan main hakim sendiri. Semoga.

Link : Penyelesaian Sengketa Pilkada di MK

Continue Reading

PELUANG PENYELESAIAN SENGKETA PILKADA

PELUANG PENYELESAIAN SENGKETA PILKADA

Sebanyak 101 daerah yang terdiri dari 7 provinsi, 18 kota, dan 76 kabupaten telah menggelar pilkada serentak gelombang kedua pada hari ini Rabu tanggal 15 februari 2017. Pilkada serentak tahun ini merupakan kedua kalinya setelah gelombang pertama berhasil dilaksanakan pada tanggal 9 Desember 2015 oleh Komisi Pemilihan Umum.

Komisi Pemilihan Umum telah menjadwalkan akan mengumumkan rekapitulasi, penetapan dan pengumuman hasil perhitungan pilkada serentak tahun 2017 tingkat Kabupaten/Kota untuk pemilihan Bupati dan Wakil Bupati atau Walikota dan Wakil Walikota adalah pada tanggal 22 s/d 24 Februari 2017. Sedangkan rekapitulasi, penetapan dan pengumuman hasil perhitungan suara tingkat Provinsi untuk pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur adalah dilaksanakan pada tanggal 25 s/d 27 februari 2017.

Atas pelaksanaan pilkada serentak tersebut pasti terdapat pihak-pihak yang merasa tidak puas terhadap hasil yang ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum. Ketidak puasan tersebut tentu dilandasi oleh berbagai macam kecurangan seperti seperti politik uang, jual beli suara, intimidasi, pengerahan massa, manipulasi suara dan hasil suara, baik yang terjadi sebelum pemilihan, pada saat pemilihan ataupun setelah pemilihan berlangsung.

Terhadap pihak-pihak yang merasa tidak puas atas rekapitulasi, penetapan dan pengumuman hasil perhitungan suara baik pada tingkat Kabupaten/Kota maupun tingkat Provinsi, terdapat sarana yang dapat ditempuh yakni melalui Permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota kepada Mahkamah Konstitusi terhitung paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil pemilihan baik oleh KPU Provinsi maupun KPU Kabupaten/Kota.

Selain itu Mahkamah Konstitusi juga telah menyusun jadwal Pengajuan Permohonan Sengketa Pilkada untuk pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati atau Walikota dan Wakil Walikota adalah pada tanggal 22 s/d 28 februari 2017, sedangkan untuk pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur pada tanggal 27 februari 2017 s/d 1 maret 2017.

Tantangan

Selain syarat formil sebagaimana tersebut diatas, yakni pengajuan gugatan paling lama 3 x 24 jam sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil pemilihan oleh Komisi Pemilihan Umum setempat, juga mensyaratkan selisih perolehan suara antara pemohon dengan pasangan lainnya paling banyak sebesar 0.5 % sampai dengan 2 % sebagaimana diatur dalam Pasal 158 UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.

Pasal 158 UU Nomor 8 Tahun 2015 menjadi tantangan sendiri bagi Pemohon yang akan memilih jalur sengketa Pilkada di MK, mengingat dengan berdasar pada permohonan gugatan Perselisihan Hasil Pemilihan (PHP) Pilkada pada tahun 2015, Mahkamah Konstitusi hanya menerima 7 dari 147 permohonan sengketa Pilkada dengan pertimbangan konsisten menerapkan Pasal 158 UU Nomor 8 Tahun 2015 dalam memeriksa dan mengadili syarat formal pengajuan sengketa hasil pilkada ke MK.

Adapun alasan MK konsisten menggunakan Pasal 158 UU Nomor 8 Tahun 2015 sebagai dasar pijakan diantaranya, Pertama Pilkada berdasarkan UU Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota bukan merupakan rezim Pemilu, perbedaan tersebut bukan hanya dari segi istilah, melainkan juga meliputi perbedaan konsepsi yang menimbulkan perbedaan konsekuensi hukum. Ketika pilkada sebagai rezim Pemilu, Mahkamah memiliki keleluasaan melaksanakan kewenangan konstitusinya, yakni tunduk pada ketentuan UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Atas dasar itulah, putusan Mahkamah pada masa lalu dalam perkara perselisihan hasil Pilkada tidak hanya meliputi perselisihan hasil, melainkan mencakup pula pelanggaran dalam proses pemilihan untuk mencapai hasil yang dikenal dengan pelanggaran bersifat terstruktur, sistematis, dan massif.

Kedua, telah terdapat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51/PUU-XIII/2015 berkaitan dengan tafsir konstitusional atas Pasal 158 UU Nomor 8 Tahun 2015.  Melalui putusan tersebut, MK menyatakan Konstitusional dan menolak permohonan uji materi terhadap Pasal 158 UU Nomor 8 Tahun 2015, dikarenakan merupakan kebijakan hukum terbuka oleh Pembentuk Undang-Undang (Open legal Policy), sehingga MK menganggap tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.

Ketiga, demi kepastian hukum MK harus tunduk pada ketentuan yang secara expressis verbis digariskan dalam UU Pilkada. Dengan melaksanakan Pasal 158 UU Pilkada dan aturan turunannya secara konsisten, maka Mahkamah turut ambil bagian dalam upaya mendorong agar lembaga-lembaga yang terlibat dalam proses pilkada berperan dan berfungsi secara optimal sesuai dengan proporsi kewenangan di masing-masing tingkatan.

Peluang

Apabila melihat perbedaan selisih hasil yang diperoleh pasangan calon dengan pasangan calon lainnya baik di media cetak dan media elektronik, maka menurut penulis banyak pilkada yang tidak akan berlanjut pada gugatan di Mahkamah Konstitusi mengingat prosentasi selisih suara yang sangat jauh diatas 2 %. Hal ini tentu akan mengakibatkan adanya penurunan jumlah gugatan sengketa hasil Pilkada di MK.

Namun yang pasti terhadap pasangan calon yang persentase selisih perolehan suaranya sesuai dengan sebagaimana Pasal 158 UU Nomor 8 Tahun 2015, maka bukan tidak mungkin berpeluang untuk memenangkan atau MK mengabulkan permohonan perselisihan hasil pilkada yang diajukan oleh pasangan calon, tentunya apabila didukung oleh argumentasi serta bukti-bukti yang memadai berkaitan dengan kedudukan hukum, obyek pemohonan dan pokok permohonan yang dimohonkan.

Disisi yang lain MK juga diharapkan tidak mengabaikan tuntutan keadilan substantif, yakni dengan tetap melakukan pemeriksaan secara menyeluruh terhadap perkara yang telah memenuhi persyaratan tenggang waktu, kedudukan hukum, obyek pemohonan, serta jumlah persentase selisih perolehan suara antara pemohon, termohon dan pihak terkait lainnya.

Dengan adanya sarana hukum yang baik dalam hal ini melalui permohonan perselisihan hasil Pilkada kepada Mahkamah Konstitusi, maka diharapkan pelaksanaan demokrasi di daerah menjadi semakin kondusif dan jauh dari segala bentuk kerusuhan, dan main hakim sendiri. Semoga…

Link : PELUANG PENYELESAIAN SENGKETA PILKADA

Continue Reading

SOLUSI PENGISIAN JABATAN HAKIM KONSTITUSI

SOLUSI PENGISIAN JABATAN HAKIM KONSTITUSI

Publik kembali dikejutkan atas adanya penangkapan salah satu Hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar oleh Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Menurut informasi yang beredar Patrialis Akbar diduga telah menerima pemberian suap terkait pengurusan perkara Judicial Review (Uji Materi) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, yang menurut pemeriksaan awal KPK telah menemukan indikasi bahwa Patrialis menyetujui untuk membantu agar permohonan uji materi perkara nomor 129/PUU/XII/2015 tersebut dapat dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi.

Apabila melihat kebelakang, Patrialis Akbar merupakan Hakim Konstitusi dari unsur pemerintah, yang ditunjuk oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berdasarkan Keputusan Presiden No 87/P Tahun 2013 tentang pemberhentian Maria Farida Indrati dan Achmad Sodiki sebagai hakim konstitusi sekaligus mengangkat Maria Farida Indrati dan Patrialis Akbar menjadi hakim konstitusi untuk masa jabatan lima tahun hingga 2018.

Atas peristiwa tersebut muncul beberapa kritik terhadap sistem dan mekanisme rekrutment Patrialis Akbar sebagai hakim konstitusi yang dinilai syarat dengan persoalan. Persoalan itu muncul atas proses seleksi Patrialis yang dinilai tidak dilakukan secara transparan dan mengabaikan peran serta masyarakat.

Hingga pada akhirnya muncullah Gugatan Tata Usaha Negara terhadap Keppres 87/P Tahun 2013 oleh Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan Mahkamah Konstitusi yang diwakili oleh (ICW dan YLBHI).

Atas gugatan tersebut, Pengadilan Tata Usaha Negara DKI Jakarta mengabulkan gugatan terhadap Keppres 87/P Tahun 2013, karena dianggap bertentangan dengan Pasal 19 UU Mahkamah Konstitusi yang mensyaratkan pemilihan secara transparan dan partisipatif.

Kemudian Pemerintah mengajukan banding atas putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) DKI Jakarta mengabulkan banding Pemerintah dan membatalkan keputusan PTUN Jakarta, dengan dalil Penggugat tidak memiliki legal standing (tidak mempunyai kepentingan) untuk melakukan gugatan dikarenakan kerugian yang dialami Penggugat tidak bersifat langsung dan secara objektif tidak dapat ditentukan bentuk kerugiannya.

Penggugat dalam hal ini ICW dan YLBHI mengajukan Kasasi atas putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) DKI Jakarta, akan tetapi Majelis Hakim tingkat Kasasi menguatkan Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) DKI Jakarta.

Namun hal yang menarik dalam Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) DKI Jakarta dan Putusan Mahkamah Agung dalam perkara A Quo adalah Majelis Hakim baik pada tingkat banding dan kasasi tidak mempertimbangkan aspek yang menjadi pokok persoalan yang sebenarnya dalam gugatan yang diajukan oleh ICW dan YLBHI tersebut, majelis hakim hanya mempertimbangkan Eksepsi yang diajukan oleh Pemerintah perihal legal standing Penggugat.

Artinya Majelis Hakim pada tingkat banding dan kasasi belum menilai perihal keabsahan Keppres 87/P Tahun 2013 apakah telah sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik, atau malah sebaliknya. Dengan demikian makna Pasal 19 UU Mahkamah Konstitusi hingga saat ini masih multitafsir dan selalu diperdebatkan.

Problem Yuridis

Secara konstitusional Undang-Undang Dasar 1945 tidak mengatur tentang mekanisme Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim Konstitusi. Undang-Undang Dasar 1945 hanya mengatur bahwa Mahkamah Konstitusi memiliki Sembilan orang anggota hakim yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh DPR dan tiga orang oleh Presiden. Selain itu Hakim Konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tercela, adil, negarawan yang menguasasi konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat Negara.

Kemudian apabila melihat ketentuan dalam Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) UU MK, tata cara seleksi, pemilihan dan pengajuan Hakim Konstitusi diatur oleh masing-masing lembaga yang berwenang, namun harus dilaksanakan secara obyektif dan akuntabel. Apabila dicermati mekanisme seleksi hakim konstitusi dalam Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) UU MK diserahkan sepenuhnya kepada masing-masing lembaga pengaju, dalam hal ini Mahkamah Agung, DPR dan Presiden. Namun tetap harus dilaksanakan secara transparan dan partisipatif sebagaimana Pasal 19 UU Mahkamah Konstitusi.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa UU MK tidak mengatur secara tegas dan jelas tentang mekasnisme pengisian jabatan Hakim Konstitusi, UU MK menyerahkan sepenuhnya kepada masing-masing lembaga untuk menerapkan metodenya sendiri tanpa mendalami potensi masalah yang terjadi.

Sehingga dalam praktik dilapangan, penerapan mekanisme seleksi hakim konstitusi seringkali menimbulkan sejumlah kelemahan dan menuai persoalan, hal itu dipengaruhi oleh belum adanya aturan teknis yang mengatur mengenai standar seleksi dan mekanisme seleksi yang mengatur secara rinci dan komprehensif tentang rekrutmen hakim konstitusi, sehingga mekanisme dan tata cara seleksi hakim konstitusi cenderung ditafsirkan secara berbeda-beda sesuai dengan lembaga pengaju yang menafsirkannya.

Shared Responsibility System

Menurut Logemann Pengisian jabatan (staatsorganen, staatsambten) merupakan salah satu unsur penting dalam mempelajari Hukum Tata Negara. Hal itu dikarenakan tanpa adanya pejabat (ambtsdrager), fungsi-fungsi jabatan (ambt) negara tidak mungkin dapat dijalankan sebagaimana mestinya. Untuk itu diperlukan sistem mekanisme dan tata cara pengisian jabatan yang mengatur secara rinci dan komprehensif, sehingga pejabat (ambtsdrager) yang menduduki jabatan (ambt) benar-benar dapat diandalkan.

Pengisian jabatan hakim konstitusi tidak dapat diserahkan sepenuhnya kepada lembaga pengaju dalam hal ini Mahkamah Agung, DPR dan Presiden. Akan tetapi diperlukan panitia seleksi yang secara adil dan terbuka melakukan menyaringan secara ketat terhadap calon hakim konstitusi baik yang melamar maupun yang diundang untuk melamar.

Panitia seleksi juga dapat meminta lembaga-lembaga terkait seperti Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Masyarakat Umum atau lembaga lainnya guna memastikan calon hakim konstitusi benar-benar berintegritas dan berkepribadian yang tercela, adil, negarawan yang menguasasi konstitusi dan ketatanegaraan.

Untuk menjawab tuntutan tersebut, maka sangat diperlukan sebuah sistem rekrutmen yang berbasis Shared Responsibility System, artinya terdapat komposisi panitia seleksi yang terdiri dari berbagai kalangan, seperti misalnya Mantan Hakim MK, Komisi Yudisial, Akademisi, Praktisi Hukum dan Tokoh Masyarakat, sebelum diajukan dan ditentukan oleh lembaga pengusul.

Kedukan Panitia Seleksi tentunya hanya sebatas membantu tugas lembaga pengusul untuk dapat memberikan gambaran terhadap beberapa calon untuk selanjutnya yang menentukan atas beberapa orang tersebut sepenuhnya menjadi hak perogratif lembaga pengusul.

Sistem pengisian jabatan yang demikian tentunya hanya satu dari sekian cara untuk menjamin kwalitas dan integritas hakim konstitusi terpilih. Pada akhirnya adalah bergantung pada komitmen dan integritas personal hakim konstitusi sejauh mana dapat menjalankan tugas dan wewenangnya sesuai sumpah jabatan hakim konstitusi.

Harapan besar penulis, melalui Shared Responsibility System dalam rekrutmen hakim konstitusi, semoga hakim konstitusi terpilih benar-benar memiliki kualifikasi, kompetensi dan kinerja sesuai dengan yang diharapkan. Sehingga kasus Akil Mochtar dan Patrialis Akbar merupakan kasus terakhir yang akan menimpa MK. Semoga…

Link : Solusi Pengisian Jabatan Hakim Konstitusi

Continue Reading

CONTOH PENGUJIAN UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 DI MAHKAMAH KONSTITUSI (CONTOH PERMOHONAN UJI MATERI DI MK)

PERMOHONAN PENGUJIAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG

MAHKAMAH KONSTITUSI

SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2011

TENTANG PERUBAHAN ATAS

UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG

MAHKAMAH KONSTITUSI

SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2014

TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG

MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG

KEKUASAAN KEHAKIMAN

DAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG

ADMINISTRASI PEMERINTAHAN

TERHADAP

UNDANG-UNDANG DASAR

REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

Oleh Pemohon :

FORUM ADVOKAT MUDA INDONESIA (FAMI)

DI MAHKAMAH KONSTITUSI

REPUBLIK INDONESIA

(MK-RI)

Perihal               :  Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan Terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945

Lampiran               : 1 (satu) eks

 

Kepada Yth.

Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Di

Jakarta

Dengan Hormat,

Perkenankanlah kami :

  1. (can) SAIFUL ANAM, SH., MH., ZENURI MAKHRODJI, SH, RUDY GUNAWAN, SH, EDI WIRAHADI, SH, RAY WAHYU MURNI YULIANTI, SH, RADEN ASMORO WENING, SH, CAKRA HERU SANTOSA, SH, RUDI PURNAWAN, SH, MUSLIADI, SH, SUTARJO, SH, SUHARTA, SH., MH, NURDIN DESRIWAN GUMAY, SH, DIKI ZULKARNAEN, SH, GUNTHAR HAMING YUDHA, SH, BAMBANG HERI SUPRIYANTO, SH., MH, FUAD ABDULLAH, SH., MSi, HENDRA PANJAITAN, SH, MUHAMMAD DANIES KURNIARTHA, SH, BENNY HARIS NAINGGOLAN, SH, BAKRI, SH, FAIJAL SIREGAR, SH, Drs. HM. SANI ALAMSYAH, SH., MBL, JOKO PRIYATNO, SH, SYAKHRUDDIN, SH, HFR. GHANTY SJAHABUDIN, SH. Kesemuanya adalah pada Advokat / Penasehat Hukum dan Konsultan Hukum tergabung dalam “FORUM ADVOKAT MUDA INDONESIA (FAMI)”, dalam hal ini memilih domisili hukum yang beralamat di Jl. HR. Rasuna Said, Kawasan Epicentrum Utama, Mall Epicentrum Walk, Office Suites A529, Kuningan – Jakarta Selatan 12940, Telp. (021) 5682703, HP. 08128577799, Email : saifulanam@lawyer.com. Dalam hal ini bertindak baik secara bersama-sama ataupun sendiri-sendiri untuk dan atas nama “FORUM ADVOKAT MUDA INDONESIA (FAMI)” selanjutnya disebut sebagai —————————————————————————————————— PEMOHON;

Bahwa  perkenankanlah Kami Pemohon  memohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk melakukan pengujian konstitusionalitas Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 29 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Dan Pasal 7 ayat (2) huruf “l” Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, yang selengkapnya  berbunyi sebagai berikut :

  1. Pasal 10 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk :

  1. Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  3. Memutus pembubaran partai politik; dan
  4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
  1. Pasal 47 UU Mahkamah Konstitusi

Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum;

  1. Pasal 29 Ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman

Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk :

  1. Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  3. Memutus pembubaran partai politik; dan
  4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
  1. Pasal 7 ayat (2) huruf “l” UU Administrasi Pemerintahan

Pejabat Pemerintahan memiliki kewajiban :

  1. Mematuhi Putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Bahwa selanjutnya perkenankanlah kami  mengemukakan dalil-dalil diajukannya  permohonan uji konstitusionalitas (consttitutional review/ judicial review)  Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 29 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Dan Pasal 7 ayat (2) huruf “l” Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, yakni sebagai berikut:

  1. OPENING STATEMENT

Ilmu hukum tata negara (constitutional law) pada umumnya (verfassungsrechtlehre) mengakui berbagai macam sumber hukum, yaitu (i) Undang-dang Dasar dan peraturan perundang-undangan tertulis, (ii) Jurisprudensi peradilan, (iii) Kebiasaan ketatanegaraan atau constitutional conventions, dan (iv) Hukum Internasional tertentu. Dalam pandangan John Alder, rincian sumber-sumber hukum tata negara itu, meliputi 7 (tujuh) hal, yaitu (i) Prinsip Dasar (The Basic Prinsiple), (ii) Nilai-nilai moral dan politik (General political and moral values), (iii) hukum yang Mutlak (Strick Law) yang menurutnya meliputi (a) hukum yang ditegakkan atau diputuskan oleh pengadilan, (The law enforced through the courts), dan (b) hukum yang ditetapkan oleh parlemen dan kebiasaan parlemen (The law and custom of Parliament), (iv) Konvensi atau kebiasaan ketatanegaraan (Conventions of the Constitution), (v) Praktek-praktek yang baik yang terjadi dalam praktek penyelenggaraan kegiatan politik ketatanegaraan (Political practices), (vi) Tata aturan partai politik (The rules of the political parties), dan (vii) Hukum Internasional (International Law).

Dalam konteks tata hukum Indonesia pun sesungguhnya Yurisprudensi pun masuk sebagai salah satu sumber hukum. Akan tetapi tidak ada rumusan yuridis yang pasti mengatur hal tersebut. Hanyalah beberapa doktrin di kalangan para sarjana hukum di Indonesia yang secara sendiri-sendiri menempatkan Yurisprudensi, termasuk Putusan Mahkamah Konstitusi dalam tata urutan sumber hukum di Indonesia.  Karena memang, putusan Mahkamah Konstitusi jika dilihat dari sifatnya yang final dan mengikat, maka ia dapat menjadi dasar bagi pembentukan norma dan aturan hukum di Indonesia, termasuk pula bagi pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan. Singkatnya, bisa dikatakan bahwa putusan MK menjadi patron konstitusional segala bentuk aturan hukum di bawah UUD 1945, tak terkecuali pembentukan undang-undang oleh lembaga legislasi.

Untuk menentukan produk suatu lembaga negara adalah produk hukum yang mengikat tidak semata-mata ditentukan oleh logika politik keterwakilan. Yang mengikat sebagai norma hukum tidak harus selalu lahir dari proses politik. Yang lebih menentukan adalah apakah produk itu memang ditempatkan sebagai hukum yang mengikat menurut ketentuan yang lebih tinggi dan dibuat sesuai dengan mekanisme hukum yang berlaku. Untuk mengetahui apa saja produk hukum dalam sistem hukum nasional, tentu saja rujukannya adalah UUD 1945 sebagai hukum tertinggi. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa Putusan MK bersifat final. Hal itu berarti Putusan MK telah memiliki kekuatan hukum tetap sejak dibacakan dalam persidangan MK. Putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap memilki kekuatan hukum mengikat untuk dilaksanakan.

Berbeda dengan putusan pengadilan biasa yang hanya mengikat para pihak, Putusan MK dalam perkara pengujian UU mengikat semua komponen bangsa, baik penyelenggara negara maupun warga negara. Dalam perkara pengujian UU, yang diuji adalah norma UU yang bersifat abstrak dan mengikat umum. Walaupun dasar permohonan pengujian adalah adanya hak konstitusional pemohon yang dirugikan, namun sesungguhnya tindakan tersebut adalah mewakili kepentingan hukum seluruh masyarakat, yaitu tegaknya konstitusi. Kedudukan pembentuk UU, DPR dan Presiden, bukan sebagai tergugat atau termohon yang harus bertanggungjawab atas kesalahan yang dilakukan. Pembentuk UU hanya sebagai pihak terkait yang memberikan keterangan tentang latar belakang dan maksud dari ketentuan UU yang dimohonkan. Hal itu dimaksudkan agar ketentuan yang diuji tidak ditafsirkan menurut pandangan pemohon atau MK saja, tetapi juga menurut pembentuk UU, sehingga diperoleh keyakinan hukum apakah bertentangan atau tidak dengan konstitusi.

Oleh karena itu yang terikat melaksanakan Putusan MK tidak hanya dan tidak harus selalu pembentuk UU, tetapi semua pihak yang terkait dengan ketentuan yang diputus oleh MK. Karena putusan MK mengikat umum, pihak-pihak yang terkait dengan pelaksanaan ketentuan UU yang telah diputus MK harus melaksanakan putusan itu. Namun demikian, mengingat norma dalam UU adalah satu kesatuan sistem ada pelaksanaan putusan yang harus melalui tahapan-tahapan tertentu, bergantung pada substansi putusan. Ada putusan yang dapat dilaksanakan langsung tanpa harus dibuat peraturan baru atau perubahan, ada pula yang memerlukan pengaturan lebih lanjut terlebih dahulu.

Menurut K. C. Wheare, interpretasi hakim MK merupakan salah satu cara perubahan konstitusi secara informal. Artinya putusan-putusan MK atas pengujian suatu undang-undang merupakan konstitusi baru yang memiliki kekuatan hukum mengikat. Tidak ada alasan bagi penyelenggara negara untuk tidak menjalankan putusan MK, karena kekuatan hukum putusan itu adalah sama dengan perintah konstitusi. Maruarar Siahaan menyebutkan putusan demikian sebagai putusan yang bersifat Constitutif. Sifat constitutif putusan MK berarti melahirkan satu keadaan hukum atau menciptakan satu hukum baru. Putusan MK yang menyatakan suatu undang-undang bertentangan dengan UUD berarti telah meniadakan keadaan hukum yang timbul karena undang-undang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan demikian putusan MK telah membentuk hukum baru sebagai Negative Legislator.

Setidaknya ada 3 kekuatan hukum putusan MK. Pertama kekuatan mengikat, bahwa putusan itu mengikat semua orang, lembaga negara dan badan hukum dalam yurisdiksi Indonesia. Kedua kekuatan pembuktian, bahwa putusan itu dapat digunakan sebagai alat bukti dengan kekuatan pasti secara positif. Ketiga kekuatan eksekutorial, bahwa putusan MK berlaku sebagai undang-undang dengan tanpa perlu adanya perubahan atas bagian undang-undang, ayat dan atau pasal yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Hal itu sejalan dengan dasar pemikiran bahwa keberadaan MK sebagai The Guardian of Constitution. Disebut sebagai penjaga konstitusi karena pada dasarnya konstitusi merupakan “wujud mati” dan tidak akan dapat berbuat apapun tanpa ada lembaga yang dapat menegakkan prinsip-prinsip dasar yang ada. Oleh karena itu sebagai penjaga konstitusi, MK diberikan kewenangan melakukan penafsiran, apakah suatu undang-undang bertentangan dengan konstitusi atau tidak.

Sifat final tersebut juga berarti bahwa putusan Mahkamah Konstitusi  langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dalam persidangan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh (inkracht van gewijsde). Sifat mengikat putusan Mahkamah Konstitusi berbeda dengan putusan peradilan pada umumnya. Jika di Peradilan Umum putusan hanya mengikat bagi para pihak berperkara (interparties) maka putusan Mahkamah Konstitusi juga mengikat bagi semua orang dan badan hukum yang ada di Indonesia. Sehingga putusan Mahkamah Konstitusi dikatakan sebagai negatif legislator yang bersifat erga omnes.

Makna mengikat berarti memiliki akibat hukum bahwa para pihak yang berperkara harus menanggung akibat putusan tersebut. Terkait dengan prinsip negara hukum dimana tujuan utama dari suatu negara adalah terwujudnya supremasi hukum (supremacy of law), dimana untuk mewujudkannya salah satunya adalah dengan menggunakan putusan hakim sebagai tolak ukur moral dan yuridis. Oleh karena Putusan Mahkamah Konstitusi adalah putusan yang mengikat dan final maka putusan tersebut haruslah didasari oleh nilai-nilai filosofi dan mempunyai nilai kepastian hukum yang mengikat, yang bertenggger pada nilai–nilai keadilan. Sehingga putusan Mahkamah Konstitusi selalu menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan serta bermuara pada keadilan dan kepastian hukum. Keadilan menjadi substansi utama yang idealnya menentukan putusan Mahkamah Konstitusi.

Mengacu pada pendapat Van Apeldoorn sebagaimana yang telah dikemukakan di atas yang menyatakan bahwa wujud hukum tidak hanya sebatas peraturan perundang-undangan yang berlaku mengikat namun juga menjelma dalam putusan-putusan hakim yang juga bersifat mengatur dan memaksa maka  tepat pula jika dikatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat.

  1. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI
  2. Perubahan UUD NRI 1945 telah menciptakan sebuah lembaga baru yang berfungsi untuk mengawal konstitusi, yaitu Mahkamah Konstitusi, selanjutnya disebut “MK”, sebagaimana tertuang dalam Pasal 7B, Pasal 24 Ayat (1) dan Ayat (2), serta Pasal 24C UUD NRI 1945, yang diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5266), selanjutnya disebut “UU MK”.
  3. Bahwa salah satu kewenangan yang dimiliki oleh MK adalah melakukan pengujian undang-undang terhadap konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 24C Ayat (1) UUD NRI 1945 yang berbunyi:

Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar…

  1. Selanjutnya, Pasal 10 ayat (1) huruf a UU MK menyatakan:

“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:

  1. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ….

Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5076), selanjutnya disebut “UU KK” menyatakan:

“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:

  1. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”
  1. Bahwa ketentuan Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyatakan “Dalam hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi”;
  2. Berdasarkan uraian angka 1 sampai 4  di atas, maka tidak ada keraguan sedikitpun bagi Pemohon  menyimpulkan, bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang untuk mengadili permohonan pengujian undang-undang ini pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final.
  1. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON:
  1. Bahwa Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi mengatakan bahwa  pemohon pengujian undang-undang adalah “pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang” yang dalam huruf a menyebutkan “perorangan warga negara Indonesia”. Selanjutnya dalam Penjelasan atas Pasal 51 ayat (1) undang-undang a quo, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan hak konstitusional” adalah “hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”;
  2. Bahwa Yurisprudensi Tetap Mahkamah Konstitusi sebagaimana tertuang dalam Putusan No 006/PUU-III/2005 jo Putusan No 11/PUU-V/2007 dan putusan-putusan selanjutnya telah memberikan pengertian dan batasan komulatif tentang apa yang dimaksud dengan “kerugian konstitusional” dengan berlakunya suatu norma undang-undang, yaitu:
  1. Adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Bahwa hak konstitusional tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji;
  3. Kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual, atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
  4. Adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk dijui; dan
  5. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi;
  1. Apabila mendasarkan pada 5 (lima) parameter berdasarkan Putusan No 006/PUU-III/2005 jo Putusan No 11/PUU-V/2007, maka Pemohon memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan ini, dengan alasan :
  1. Sebagai warga Negara Pemohon memiliki hak konstitusional atas “pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil” dan hak konstitusional atas due process of law sebagaimana diberikan oleh Pasal 28 D ayat (1) dan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945
  2. Hak konstitusional Pemohon atas “pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil” dan hak konstitusional atas due process of law sebagaimana diberikan oleh Pasal 28 D ayat (1) dan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 tersebut telah dirugikan dengan berlakunya sejumlah pasal yang diuji melalui permohonan ini.
  3. Kerugian Konstitusional Pemohon tersebut secara spesifik (khusus) dan actual karena Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 29 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Dan Pasal 7 ayat (2) huruf “l” Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan telah diberlakukan dalam Praktek dilapangan.
  4. Dengan demikian terdapat hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak konstitusional pemohon dengan berlakunya pasal-pasal yang dimohonkan dalam perkara ini yang telah menyebabkan hak konstitusional Pemohon atas “pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil” dan hak konstitusional atas due process of law sebagaimana diberikan oleh Pasal 28 D ayat (1) dan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 telah dirugikan.
  5. Apabila permohonan ini dikabulkan, maka jelas pasal-pasal yang dimohonkan dalam perkara ini tidak dapat diterapkan lagi kepada pemohon, sehingga hak konstitusional pemohon tidak dirugikan lagi karena pasal-pasal tersebut dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi.
  1. Bahwa kelima syarat sebagaimana dimaksud diatas dijelaskan lagi oleh Mahkamah melalui Putusan Mahkamah No. 27/PUU-VII/2009 dalam pengujian formil Perubahan Kedua Undang-Undang Mahkamah Agung (hlm 59), yang menyatakan: “dari praktik Mahkamah (2003-2009), perorangan WNI, terutama pembayar pajak (tax payer); vide Putusan Nomor 003/PUU-I/2003) berbagai asosiasi dan NGO/LSM, yang concern terhadap suatu Undang-Undang demi kepentingan publik, badan hukum, Pemerintah Daerah, lembaga negara, dan lain-lain, oleh Mahkamah dianggap memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan pengujian, baik formil maupun materiil, Undang-Undang terhadap UUD 1945”.
  2. Bahwa Para Pemohon mempunyai hak konstitusional yang diberikan oleh UUD NRI 1945, sebagai berikut:

Hak untuk memajukan diri dalam melakukan usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan, memperjuangkan hak secara kolektif berdasar atas azas kekeluargaan, hak untuk mendapatkan perlakuan yang adil dan layak berdasarkan Pasal 28C Ayat (2) UUD NRI 1945 yang berbunyi:

Pasal 28C Ayat (2) UUD NRI 1945

Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.

  1. Bahwa Pemohon adalah warga negara Indonesia yang memiliki pekerjaan sebagai Advokat dan Penasehat hukum yang memiliki tugas memberi pendampingan hukum, membela, memberi bantuan hukum berupa nasehat dan atau konsultasi hukum, mendampingi, mewakili dan atau membela hak-hak serta kepentingan-kepentingan serta memastikan bahwa seorang klien mendapatkan hak-haknya dalam menjalankan proses hukum baik dalam persidangan maupun di luar persidangan.
  2. Bahwa Pasal 5 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat dan penjelasannya menyatakan bahwa Advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan. Kemudian dalam penjelasan Pasal 5 ayat (1): “Yang dimaksud dengan “Advokat berstatus sebagai penegak hukum” adalah Advokat sebagai salah satu perangkat dalam proses peradilan yang mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan.” Peranan advokat sebagai salah satu penegak hukum ini tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan penegak hukum lainnya seperti Hakim, Jaksa, dan Polisi. Keempat aparat penegak hukum tersebut sangat berperan dalam upaya penegakan hukum di Indonesia. Selain itu Advokat dianggap sebagai penegak hukum, advokat juga merupakan profesi hukum yang berkewajiban melindungi dan bertindak sebagai wakil kliennya
  3. Bahwa dalam menjalankan profesinya Advokat sebagai penegak hukum kadangkala terbentur dengan adanya aparat penegak hukum lainnya, pejabat publik dan warga Negara yang tidak patuh terhadap putusan Mahakamah Konstitusi yang telah berkekuatan hukum tetap dengan berbagai macam alasan. Ada yang menyatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat Positif Legislator tidak wajib untuk dipatuhi, selain itu berdasar pada makalah Yudi Kristiana (Jaksa) yang disampaikan dalam seminar “Implikasi Putusan MK No. 33 Tahun 2016 terkait Hak Mengajukan Peninjauan Kembali dalam perkara Pidana, di UI Tangal 10 Agustus 2016Putusan Mahkamah Konstitusi yang mencerminkan 3 (tiga) hal : (1) Putusannya tidak membumi; (2) Hakim MK telah gagal memahami bekerjanya hukum di masyarakat; (3) MK gagal menjadi living inteperator, tidak akan diikuti oleh Jaksa Penuntut Umum.
  4. Bahwa salah satu contoh Konkrit tidak dipatuhinya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 adalah dapat dilihat dalam beberapa Jawaban Jaksa dalam permohonan Praperadilan baik Jaksa pada Kejaksaan Agung maupun Jaksa pada Komisi Pemberantasan Korupsi diantaranya dalam Permohonan Praperadilan oleh Komisaris Jenderal Polisi Drs. Budi Gunawan, SH., MSi, Hadi Poernomo, Prof. Dr. Otto Cornelis Kaligis, SH., MH. Dahlan Iskan dan banyak perkara Praperadilan lainnya yang menyatakan “Penetapan Tersangka Bukan Merupakan Obyek Praperadilan”, hal itu dikarenakan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 bersifat Positif Legislator, sehingga tidak untuk dipatuhi oleh Jaksa baik pada Kejaksaan Agung maupun pada Komisi Pemberantasan Korupsi.
  5. Bahwa hal demikian juga terjadi tidak hanya pada lembaga Kejaksaan dan KPK, akan tetapi juga terjadi pada lembaga Mahkamah Agung, dimana berdasar pada Surat Edaran MA (SEMA) No. 7 Tahun 2014 yang menyatakan Peninjauan Kembali (PK) hanya satu kali. SEMA ini sekaligus mengesampingkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 34/PUU-XI/2013, dimana berdasarkan putusan nomor 34/PUU-XI/2013 tersebut, MK telah membatalkan Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang membatasi pengajuan PK hanya sekali, MK telah membatalkan Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang dimohonkan mantan Ketua KPK Antasari Azhar yang menyatakan PK boleh diajukan berkali-kali sepanjang memenuhi syarat yang ditentukan Pasal 268 ayat (2) KUHAP.
  6. Bahwa tidak hanya Kejaksaan, KPK dan Mahkamah Agung yang telah melakukan pembangkangan (disobedience) atas putusan MK, berdasarkan catatan Pemohon terdapat beberapa Putusan MK yang tidak dipatuhi oleh Lembaga Negara, diantaranya adalah :
NO. PUTUSAN MK NOMOR LEMBAGA YANG MEMBANGKANG MODUS
1. Putusan Nomor 7/PUU-XII/2014 telah mengabulkan tiga pasal, yakni Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8), dan Pasal 66 ayat (4) UU Nomor 13 Tahun 2003. Sejak diputus tanggal 4 November 2015, pemerintah dalam hal ini Kementerian Ketenagakerjaan belum melakukan pencabutan Keputusan Menteri tersebut. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Masih tetap memberlakukan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 100 Tahun 2004 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) diamanatkan Pasal 59 ayat (8) UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (yang telah dinyatakan tidak berkekuatan hukum tetap oleh MK)
2. Putusan Nomor 3/PUU-XIII/2015 menyatakan Penjelasan Pasal 47 ayat (2) huruf e bagian c UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan inkonstitusional. Kementerian Perhubungan masih berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2012 tentang Kendaraan dan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 133 Tahun 2015 tentang Pengujian Berkala Kendaraan Bermotor.

Berdasarkan putusan MK tersebut, kendaraan khusus yang merupakan alat produksi bukan bagian dari kendaraan bermotor yang terdapat dalam pengertian UU LLAJ. Aturan untuk melakukan pengujian berkala kendaraaan bermotor untuk kendaraan khusus yang berfungsi alat produksi ternyata masih berlaku secara teknis. Fakta tersebut membuktikan satu hal, bahwa belum ada tindak lanjut dari pemerintah, untuk mencabut, atau merevisi Permen atau PP tersebut sejak putusan dibacakan pada 31 Maret 2016.

3. Putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013 yang mencabut Pasal 263 ayat (3) UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP Mahkamah Agung Mahkamah Agung (MA). MA seakan menyimpangi putusan tersebut dengan menerbitkan SEMA Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pembatasan Peninjauan Kembali
4. Putusan MK Nomor 36/PUU-X/2012 tentang Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Kementerian ESDM pembentukan SKK Migas yang secara substansi menjalankan fungsi yang sama dengan BP Migas yang mana kedudukan BP Migas telah dinyatakan inkonstitusional
5. Putusan MK Nomor No. 92-PUU-X-2012 Presiden dan DPR Atas putusan tersebut Presiden dan DPR merevisi UU MD3 menjadi UU No. 17 Tahun 2014 yang memungut kembalinorma yang telah inkonstitusional.
6. Putusan MK Nomor 006/PUU-II/2004 terkait dengan konstitusionalitas peran LBH Kampus Pengadilan Negeri Faktanya masih terdapat LBH Kampus dilarang berpraktik dengan alasan merujuk Pasal 31 UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat
7. Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 Kejaksaan Agung dan KPK Penetapan Tersangka Bukan Merupakan Obyek Praperadilan”, hal itu dikarenakan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 bersifat Positif Legislator, sehingga tidak untuk dipatuhi oleh Jaksa baik pada Kejaksaan Agung maupun pada Komisi Pemberantasan Korupsi

Adapun apabila mendasarkan pada riset yang dialkukan oleh Setara Institute (tahun 2016) setidaknya terdapat 19 (Sembilan belas) putusan yang harus masih ditindaklanjuti atau belum dilaksanakan, diantaranya :

Putusan Mahkamah Konstitusi yang Harus Ditindaklanjuti

No. Putusan Undang-Undang Norma Bentuk Amar Kabul Bentuk Kepatuhan Institusi
1. 7/PUU-XII/2014 UU 13/2003 tentang Ketenaga-kerjaan Pasal 59 ayat (7), 65 ayat (8), 66 ayat (4)
Perubahan PKWT menjadi PKWTT
Inkonstitusional bersyarat Perubahan Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Terkait Ketenaga-kerjaan Pemerintah dan DPR (ketika melaku-kan revisi uu), Presiden, menteri terkait
2. 58/PUU-XII/2014 UU 30/2009 tentang Ketenagalis-trikan Hilangnya sanksi pidana dalam pelangga-raan pemasang-an instalasi listik non-SLO Inkonstitusi-onal bersyarat Pemben-tuk UU
3. 76/PUU-XII/2014 UU 17/2014 tentang MD3 Izin tertulis dari MKD berubah menjadi izin tertulis dari Presiden untuk penyidikan anggota DPR Inkonstitusional Penyidik dalam melakukan penyidikan terhadap anggota DPR meminta izin Presiden Penyidik (langsung menjalankan putusan) dan Pemben-tuk uu saat merevisi UU.
4. 79/PUU-XII/2014 UU 17/2014 tentang MD3 Kewenang-an DPD dalam membahas UU dan kemandi-rian anggaran Inkonstitusi-onal bersyarat Mengubah Tatib DPR Perubahan skema kerja DPD
Pemben-tuk UU dalam merevisi UU MD3
5. 112/PUU-XII/2014 UU 18/2003 tentang Advokad Sumpah Advokat Inkonstitusi-onal bersyarat Revisi uu dan melakukan sumpah jabatan advokat tanpa mengaitkan dengan organisasi advokat Pengadil-an Negeri dan Pemben-tuk UU dalam merevisi UU
6. 3/PUU-XIII/2015 UU 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kategori-sasi kendaraan bermotor Inkonstitusi-onal Kepolisian Kemen-terian Perhu-bungan dan Pemben-tuk UU saat merevisi UU
7. 7/PUU-XIII/2015 UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah Penetapan jumlah kursi DPRD pada daerah baru dibentuk Inkonstitusional bersyarat KPU
8. 8/PUU-XIII/2015 UU 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara Pasal 124 ayat (2): “dalam hal tidak tersedia lowongan jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 2 tahun pns yang bersangkutan diberhentikan secara hormat”. Inkonstitusional bersyarat Revisi uu Seluruh instansi pemerintahan
9. 21/PUU-XIII/2015 UU 20/2011 tentang Rumah Susun Pelaku Pembangunan wajib memfasilitasi terbentuknya PPPSRS paling lambat 1 tahun tanpa dikaitkan dengan terjualnya sarusun Konstitusional bersyarat Revisi UU, membentuk PP. Pembentuk UU dan Presiden (untuk pembentukan PP)
10. 31/PUU-XIII/2015 KUHP Penghinaan pada pejabat negara menjadi delik aduan Inkonstitusional Revisi UU Pembentuk UU (revisi) dan Kepolisian
11. 36/PUU-XIII/2015 UU 18/2003 tentang Advokad Sumpah jabatan advokat Inkonstitusional bersyarat Revisi uu dan melakukan sumpah jabatan advokat tanpa mengaitkan dengan organisasi advokat Pengadilan Negeri dan pembentuk UU dalam melakukan revisi
12. 43/PUU-XIII/2015 UU Peradilan Umum, PTUN, PA Seleksi hakim tanpa keterlibatan KY Inkonstitusional Revisi UU, Peraturan Teknis Seleksi Hakim (revisi) Pembentuk UU, MA, KY
13. 60/PUU-XIII/2015 UU Pilkada Bilangan pembagi syarat calon independen menjadi eligible voters Inkonstitusional bersyarat Revisi UU dan PKPU KPU dan Pembentuk UU
14. 68/PUU-XIII/2015 UU 2/2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Anjuran dalam mediasi dalam bentuk risalah penyelesaian melalui mediasi Inkonstitusional bersyarat Revisi UU Mediator, Konsiliator dan Pembentuk UU
15. 100/PUU-XIII/2015 UU Pilkada Calon tunggal Inkonstitusional bersyarat Revisi UU dan PKPU KPU dan pembentuk UU
16. 105/PUU-XIII/2015 UU Pilkada Makna hari dalam menjadi hari kerja Inkonstitusional bersyarat Revisi uu MK dan Pembentuk UU dalam revisi
17. 107/PUU-XII/2015 UU 5/2010 tentang Perubahan Atas UU 22/2002 tentang Grasi Hilangnya batas waktu pengajuan grasi Inkonstitusional Revisi uu Kejaksaan dan Pembentuk UU dalam revisi
18. 6/PUU-XIV/2016 UU 14/2002 tentang Pengadilan Pajak Tidak ada periodisasi masa jabatan hakim pajak dan usia pension menjadi 67 tahun Inkonstitusional bersyarat Revisi UU Pembentuk UU dalam revidi dan Kementerian Keuangan
19. 33/PUU-XIV/2016 UU 8/1981 tentang Hukum Acara Pidana Penegasan objek PK Inkonstitusional bersyarat Kejaksaan

Sumber: Riset SETARA Institute (2016)

  1. Bahwa terhadap pembangkangan dan ketidakpatuhan terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana tersebut diatas telah menimbulkan kerugian konstitusional bagi para Pemohon yang ruang lingkup kerjanya adalah melakukan pembelaan baik dalam persidangan maupun diluar persidangan terhadap hak-hak yang menjadi klien dari Pemohon yang sebagian besar hak-hak tersebut secara konstitusional diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan terjewantahkan melalui Putusan Mahkamah Konstitusi, namun dikarenakan ketidakpatuhan dan pembangkangan terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana tersebut diatas, prinsip Rule of Law, Equality Before The Law, dan Penegakan Hak Asasi Manusia sebagaimana dilindungi oleh Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 tidak tercapai secara maksimal.
  2. Bahwa ketidakpatuhan terhadap putusan MK menjadi problem serius dikarenakan selain merugikan hak-hak warga Negara juga telah merugikan Pemohon sebagai Advokat dan Konsultan Hukum yang sering menegakkan hukum yang salah satunya melalui Judicial Review di Mahkamah Konstitusi, selain itu juga akan merusak tatanan penegakan hukum yang akan berdampak terhadap tertundanya keadilan yang diputus MK lewat putusannya.
  3. Bahwa apabila kondisi ini terus berlanjut, maka kerugian konstitusional yang sangat besar adalah tidak tegaknya prinsip Equality before the law (persamaan dihadapan hukum), yakni seseorang ataupun badan hukum publik/privat dapat dengan serta merta mengesampingkan Putusan Mahkamah Konstitusi, sehingga UUD 1945 yang secara tegas telah memberikan jaminan bahwa “segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya Pasal 27 ayat (1) menjadi kehilangan Ruh dan tujuannya, yang mana melalui Pasal 27 ayat (1) ini berkeinginan memberikan makna bahwa setiap warga negara tanpa harus melihat apakah dia penduduk asli atau bukan, berasal dari golongan terdidik atau rakyat jelata yang buta huruf, golongan menengah ke atas atau kaum  yang bergumul dengan kemiskinan harus dilayani sama di depan hukum. Kedudukan berarti menempatkan warga negara mendapatkan perlakuan yang sama dihadapan hukum. Sehingga dengan kedudukan yang setara, maka warga negara dalam berhadapan dengan hukum tidak ada yang berada diatas hukum. ‘No man above the law’, artinya  tidak keistimewaan yang diberikan oleh hukum pada subyek hukum, kalau ada subyek hukum yang memperoleh keistimewaan menempatkan subyek hukum tersebut berada diatas hukum.
  4. Kerugian Konstitusional lainnya apabila Putusan MK tidak dihormati maka MK telah kehilangan tujuannya yakni sebagai lembaga Negara yang bertugas mengawal (to guard) konstitusi. Sehingga tujuan agar Putusan MK dilaksanakan dan dihormati baik dalam penyelenggaraan kekuasaan negara maupun warga Negara, dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan cita-cita demokrasi dan kehendak rakyat dapat dinilai belum tercapai. Sehingga keberadaan mahkamah konstitusi yang sekaligus untuk menjaga terselenggaranya suatu pemerintahan negara yang stabil dan sebagai koreksi terhadap pengalaman kehidupan ketatanegaraan di masa lalu yang menimbulkan tafsir ganda terhadap konstitusi dapat dikatakan belum tercapai secara maksimal.
  5. Berdasarkan argument dan uraian singkat Pemohon diatas, maka jelas Pemohon memenuhi kapasitas dan syarat untuk mengajukan permohonan uji konstitusionalitas (consttitutional review/ judicial review)  Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 29 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Dan Pasal 7 ayat (2) huruf “l” Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
  1. Alasan-alasan Permohonan : 
  1. Negara Indonesia pada hakikatnya menganut prinsip “Rule of Law, and not of Man”, yang sejalan dengan pengertian nomocratie, yaitu kekuasaan yang dijalankan oleh hukum atau nomos. Dalam negara hukum yang demikian ini, harus diadakan jaminan bahwa hukum itu sendiri dibangun dan ditegakkan menurut prinsip-prinsip demokrasi. Hukum tidak boleh dibuat, ditetapkan, ditafsirkan dan ditegakkan dengan tangan besi berdasarkan kekuasaan belaka atau machtsstaat. Karena itu perlu ditegaskan pula bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat yang dilakukan menurut UUD atau constitutional democracy yang diimbangi dengan penegasan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum yang berkedaulatan rakyat atau demokratis (democratische rechtsstaat).
  2. Dengan demikian inti rule of law adalah jaminan adanya keadilan bagi masyarakat terutama keadilan sosial. Penjabaran prinsip-prinsip rule of law secara formal termuat didalam pasal-pasal UUD 1945, yaitu a. Negara Indonesia adalah negara hukum (pasal 1 ayat 3), b. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggaraakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan (pasal 24 ayat 1), c. Setiap warga Negara bersamaan kedudukanya didalam hukum dan pemerintahan, serta menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya (pasal 27 ayat 1), d. Dalam Bab X A Tentang Hak Asasi Manusia, memuat 10 pasal, antara lain bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama dihadapan hukum (pasal 28 D ayat 1), dan e. Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja (pasal 28 D ayat 2).
  3. Equality Before the Law adalah salah satu unsur dari The Rule of Law Principle menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Elemen-elemen “the rule of law principles” menurut PBB tersebut selengkapnya adalah: 1) supremacy of law; 2). equality before the law; accountability to the law; fairness in the application of the law; separation of power; legal certainty; avoidance of arbitrary; dan procedural of legal certainty. Persamaan dalam hukum (equality before the law) adalah salah satu penyangga berdiri tegaknya satu Negara hukum. Menurut Jimly Asshiddiqie, terdapat 12 prinsip pokok Negara Hukum (Rechstaat) yang menyangga berdiri tegaknya satu Negara hukum (The Rule of Law/Rechtstaat) dalam arti yang sebenarnya, yakni: 1) Supremasi hukum (supremacy of Law); 2) Persamaan dalam Hukum (equality before the Law); 3) Asas Legalitas (due process of law); 4) Pembatasan Kekuasaan; 5) Organ-Organ Eksekutif Independen; 6) Peradilan bebas dan tidak memihak; 7) Peradilan Tata Usaha Negara; 8) Peradilan Tata Negara (constitutional court); 9) Perlindungan Hak Asasi Manusia; 10) Bersifat Demokratis (democratisch rechtstaat); 11) Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara (welfare rechtsstaat); serta 12). Transparansi dan Kontrol sosial. Jimly Asshiddiqie, menegaskan terkait “Persamaan dalam Hukum (equality before the law), adanya persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan pemerintahan, yang diakui secara normatif dan dilaksanakan secara empirik. Dalam rangka prinsip persamaan ini, segala sikap dan tindakan diskriminatif dalam segala bentuk dan manifestasinya diakui sebagai sikap dan tindakan yang terlarang, kecuali tindakan-tindakan yang bersifat khusus dan sementara yang dinamakan affirmative actions guna mendorong dan mempercepat kelompok masyarakat tertentu untuk mengejar kemajuan sehingga mencapai tingkat perkembangan yang sama dan setara dengan kelompok masyarakat yang sudah jauh lebih maju. Secara yuridis Undang-Undang Dasar 1945 memberikan jaminan semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1) dan 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
  4. Ide pembentukan MK dilandasi upaya serius memberikan perlindungan terhadap hak-hak konstitusional warga negara dan semangat penegakan konstitusi sebagai “grundnorm” atau “highest norm”, yang artinya segala peraturan perundang-undangan yang berada dibawahnya tidak boleh bertentangan dengan apa yang sudah diatur dalam konstitusi. Konstitusi merupakan bentuk pelimpahan kedaulatan rakyat (the sovereignity of the people) kepada negara, melalui konstitusi rakyat membuat statement kerelaan pemberian sebagian hak-haknya kepada negara. Oleh karena itu, konstitusi harus dikawal dan dijaga. Sebab, semua bentuk penyimpangan, baik oleh pemegang kekuasaan maupun aturan hukum di bawah konstitusi terhadap konstitusi, merupakan wujud nyata pengingkaran terhadap kedaulatan rakyat.
  5. Bahwa pada dasarnya eksistensi advokat telah ada pada sekitar satu setengah abad yang lalu. Namun pengakuan terhadap Advokat tidak diatur dalam suatu peraturan seperti halnya Undang-undang namun hanya tertuang secara sporadis pada pasal-pasal peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan sejak masa pemerintah kolonial Belanda. Namun setelah diundangkannya UU No. 18 tahun 2003, Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2003 Nomor 49, tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4228 maka istilah advokat telah menjadi baku dan status advokat telah mendapat pengakuan sebagai penegak hukum sehingga dikenal catur wangsa (polisi, jaksa, hakim, dan advokat). Artinya, advokat telah diakui dan mempunyai kedudukan yang sama dengan penegak hukum lainnya, bahkan advokat merupakan satu-satunya penegak hukum yang bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum serta wilayah kerjanya meliputi seluruh wilayah negara RI yang dapat memperjuangkan demi tegaknya Keadilan dan Equality Before The Law sesuai dengan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
  6. Ketentuan Pasal 5 Ayat (1) UU Advokat memberikan status kepada Advokat sebagai penegak hukum yang mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan. Kedudukan tersebut memerlukan suatu organisasi yang merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 Ayat (1) UU Advokat, yaitu ”Organisasi Advokat merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat yang bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi Advokat”. Oleh karena itu, Organisasi Advokat, pada dasarnya adalah organ negara dalam arti luas yang bersifat mandiri (independent state organ) yang juga melaksanakan fungsi Negara yang menjalankan fusngsi sebagai: (a) advokat sebagai penyedia jasa hukum dan pemberi bantuan hukum, (b) advokat sebagai pengawas dan pengawal integritas peradilan, (c) advokat sebagai penyeimbang terhadap dominasi penegak hukum, (d) advokat sebagai pembela atas harkat dan martabat manusia. Dengan adanya empat urgensi kedudukan advokat sebagai penegak hukum, diharapkan mampu mempertegas dan memperkuat peran advokat sebagai salah satu komponen didalam sistem peradilan di Indonesia, sehingga Asas Kesamaan Dihadapan Hukum mampu dan dapat berjalan sesuai nilai-nilai Kepastian, Keadilan dan Kemanfaatan Hukum.
  7. Bahwa dengan diberlakukannya Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 29 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Dan Pasal 7 ayat (2) huruf “l” Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan akan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 24C ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28 G ayat (1) dan Pasal 28 I ayat (2)  Undang-Undang Dasar 1945.

Ø  MENGENAI PENGUJIAN PASAL 10 AYAT (1) UU MAHKAMAH KONSTITUSI dan PASAL 29 AYAT (1) UU KEKUASAAN KEHAKIMAN

  1. Bahwa sebagaimana bunyi Pasal 10 Ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi dan Pasal 29 Ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman adalah sebagai berikut :

Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk :

  1. Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  3. Memutus pembubaran partai politik; dan
  4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
  1. Bahwa makna yang terkandung dalam Pasal 10 Ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi dan Pasal 29 Ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa “kewenangan Mahkamah Konstitusi mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final” adalah tidak cukup, mengingat apabila mecara harfiah, maka yang terkandung pada bunyi pasal diatas tidak memberikan kewajiban kepada pihak manapun (baik pemerintah, pejabat publik, perseorangan, badan hukum dan lain sebagainya) untuk melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi yang telah berkekuatan hukum tetap (inkrach).
  2. Bahwa sesuai dengan Prinsip dalam Hukum yakni Putusan Mahkamah Konstitusi harus dipandang sebagai Putusan yang berlaku asas Res Judicata (Putusan Hakim Mahkamah Konsitusi Harus dianggap benar), menurut Sudikno Mertokusumo dalam bukunya berjudul Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, bahwa Putusan Pengadilan berlaku asas res judicata pro veritate habetur, yang berarti apa yang diputus hakim harus dianggap benar dan harus dilaksanakan. Untuk itu perlu menjadi perhatian bersama bahwa upaya paksa dalam usaha melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi harus tercantum secara langsung melalui pasal-pasal yang berkaitan kekuatan mengikat Putusan Mahkamah Konstitusi.
  3. Bahwa selain itu dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi tidak cukup menyerahkan secara sukarela kepada kepada pihak manapun (baik pemerintah, pejabat publik, perseorangan, badan hukum dan lain sebagainya) untuk melaksanakan secara otomatis (Patuh dan Tunduk) terhadap Putusan Mahkamah Mahkamah Konstitusi yang telah berkekuatan Hukum Tetap (inkrach), hal ini sangat tidak sejalan dengan kenyataan yang ada dilapangan masih banyak Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat non ekskutiutable (tidak dapat dijalankan), sehingga apabila tetap menekankan pada Asas Self Respect dan kesadaran hukum dari kepada pihak manapun (baik pemerintah, pejabat publik, perseorangan, badan hukum dan lain sebagainya) terhadap isi putusan MK untuk melaksanakannya dengan sukarela tanpa adanya upaya mewajibkan untuk mematuhi oleh Mahkamah Konstitusi, maka akan banyak Putusan-Putusan yang akan disimpangi dan tidak dijalankan oleh Pihak manapun, sehingga fungsi dan kedudukan Mahkamah Konstitusi tidak berjalan optimal sebagaimana yang telah dicita-citakan.
  1. Bahwa putusan Mahkamah Konstitusi adalah Putusan Publik, yang berarti putusan Mahkamah Konstitusi tersebut berlaku juga bagi pihak-pihak yang berada diluar sengketa (erga omnes), selanjutnya putusan Mahkamah Konstitusi sebagai Constitutional Control dengan mengidentifikasi tindakan kepada pihak manapun (baik pemerintah, pejabat publik, perseorangan, badan hukum dan lain sebagainya), untuk melakukan upaya corrective, disiplinery, dan remedial (perbaikan) terhadap tindakan hukum yang tidak sesuai dengan Konsitusi. Bahwa kepada pihak manapun (baik pemerintah, pejabat publik, perseorangan, badan hukum dan lain sebagainya) yang tidak melaksanakan hukum/putusan Mahkamah Konsitusi, sama artinya dengan tidak mampu mempersonifikasikan hukum dalam jabatan dan kedudukannya (utamanya Pejabat Publik), dan sama pula artinya bahwa pejabat tersebut telah ingkar terhadap perintah jabatan yang disandangnya saat itu, sehingga sebagai konsekuensinya yang bersangkutan tidak layak menduduki jabatan publik itu, oleh karenanya segera diberhentikan dari jabatan publik yang sedang dipangkunya. Oleh karena itu setiap orang termasuk pejabat publik harus sadar, patuh dan taat pada Putusan Mahkamah Konstitusi, manakala ada pejabat yang secara terang-terangan membangkang (tidak melaksanakan) Putusan Mahkamah Konstitusi, maka sesungguhnya pejabat publik tersebut tidak layak lagi sebagai pengemban pejabat publik, dan sebagai konsekwensinya harus diberhentikan dari jabatan publik tersebut.
  1. Bahwa perintah untuk melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi mutlak diperlukan dalam usaha optimalisasi fungsi, tugas, kedudukan dan kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam upaya mendorong terciptanya Wibawa Mahkamah Konsitusi atas lembaga-lembaga lainnya yang selama ini acuh tak acuh dan cenderung menafikan atas Putusan Mahkamah Konstitusi, tujuannya adala dalam rangka menjaga kehormatan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang secara spesifik menjaga dan mengawal tegaknya Konstitusi di Indonesia.
  2. Bahwa dengan diberlakukannya Pasal 10 Ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi dan Pasal 29 Ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 24C ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28 G ayat (1) dan Pasal 28 I ayat (2)  Undang-Undang Dasar 1945. Bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 dikarenakan Indonesia merupakan Negara Hukum, yang mana Putusan Mahkamah Konstitusi juga merupakan Hukum yang harus dan wajib dipatuhi oleh siapapun, bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 dikarenakan Mahkamah Konstitusi merupakan bagian dari kekuasaan Kehakiman yang bertujuan untuk menegakkan hukum dan keadilan yang salah satunya tercermin melalui Putusan-Putusannya, bertentangan dengan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dikarenakan makna “mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final” dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 tersebut juga mengandung asas res judicata pro veritate habetur, asas erga omnes dan Constitutional Control yang harus memberikan kepastian dan keadilan Hukum dalam setiap Putusannya, bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (1) , Pasal 28 G ayat (1) dan Pasal 28 I ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 dikarenakan setiap Warga Negara dilindungi oleh asas Equality Before The Law termasuk kewajiban dalam mematuhi Putusan MK.
  3. Frasa mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final pada Pasal 10 Ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi dan Pasal 29 Ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman harus dinyatakan konstitusional bersyarat, sepanjang tidak diartikan harus dilaksanakan oleh siapapun, hal itu dikarenakan Putusan Mahkamah Konstitusi sering digunakan sebagai alasan oleh Pihak Manapun untuk tidak mematuhi dan memenuhi terhadap Putusan Mahkamah Konsitusi.

Ø  MENGENAI PENGUJIAN  PASAL 47 UU MAHKAMAH KONSTITUSI

  1. Bahwa dengan memaknai Pasal 47 UU Mahkamah Konstitusi “Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum;
  2. Bahwa terhadap makna pasal Pasal 47 UU Mahkamah Konstitusi sebagaimana tersebut diatas mengandung polemic, dimana sama dengan yang kami jelaskan sebelumnya dimana Putusan Mahkamah Konstitusi cenderung diabaikan oleh pihak manapun (baik pemerintah, pejabat publik, perseorangan, badan hukum dan lain sebagainya), hal ini dikarenakan dalam Pasal tersebut mengandung ambiguitas, utamanya terhadap kewajiban untuk melaksanakan Putusan Mahkamah Konsitusi dan pelaksanaan Ekskusi Putusan Mahkamah Konstitusi.
  3. Bahwa secara umum Putusan akhir menurut sifat amarnya (diktumnya) dapat dibedakan atas 3 (tiga) macam, yaitu putusan condemnatoir, putusan constitutief, dan putusan declaratoir. Putusan condemnatoir adalah putusan yang bersifat menghukum pihak yang kalah untuk memenuhi prestasi, putusan constitutief adalah putusan yang menciptakan suatu keadaan hukum yang baru dan putusan declaratoir adalah putusan yang menyatakan suatu keadaan sebagai suatu keadaan yang sah menurut hukum. Putusan Mahkamah Konstitusi ada yang menyatakan bersifat deklaratoir, yaitu menyatakan, karena sifatnya yang hanya menyatakan, maka otomatis putusan Mahkamah Konstitusi langsung berlaku dan tidak perlu dieksekusi. “Putusan itu final dan binding, sehingga untuk UU tidak perlu ada pencabutan lagi. Namun pada kenyataannya Putusan Mahkamah Konstitusi tidak berdaya atas kekuasaan Negara, kekuatan kelompok, kekuataan kekuasaan, hal ini mengingat tidak adanya perintah ekskusi atau pelaksanaan atas Putusan MK tersebut, untuk diperlukan penjelasan lebih mendalam terhadap makna kekuatan Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum, sebagaimana Pasal 47 UU Mahkamah Konstitusi.
  4. Bahwa dalam putusan MK, belum ada aturan apabila putusan MK terkait dengan wewenang lembaga negara, yang bersinggungan dengan lembaga negara lain, maka  menjadi sulit dalam penegakannya, karena ego kelembagaan yang masih kuat karena tidak ingin eksistensi dan wewenangnya diabaikan  dan diperankan oleh lembaga lain. Kondisi penegakan hukum seperti ini membuat ketidak pastian dalam proses penegakan hukum, dan menimbulkan masalah hukum baru yang membutuhkan jalan keluar dengan memberikan ruang kepada Mahkamah Konsitusi untuk memberikan jalan keluar agar MK memberikan kewajiban pihak manapun (baik pemerintah, pejabat publik, perseorangan, badan hukum dan lain sebagainya) untuk melaksanakan Putusan MK.
  5. Bahwa dengan diberlakukannya Pasal 47 UU Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 24C ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28 G ayat (1) dan Pasal 28 I ayat (2)  Undang-Undang Dasar 1945. Bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 dikarenakan Indonesia merupakan Negara Hukum, yang mana Putusan Mahkamah Konstitusi juga merupakan Hukum yang harus dan wajib dipatuhi oleh siapapun, bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 dikarenakan Mahkamah Konstitusi merupakan bagian dari kekuasaan Kehakiman yang bertujuan untuk menegakkan hukum dan keadilan yang salah satunya tercermin melalui Putusan-Putusannya, bertentangan dengan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dikarenakan makna “mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final” dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 tersebut juga mengandung asas res judicata pro veritate habetur, asas erga omnes dan Constitutional Control yang harus memberikan kepastian dan keadilan Hukum dalam setiap Putusannya, bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (1) , Pasal 28 G ayat (1) dan Pasal 28 I ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 dikarenakan setiap Warga Negara dilindungi oleh asas Equality Before The Law termasuk kewajiban dalam mematuhi Putusan MK.
  6. Bahwa dengan demikian frasa Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada Pasal 47 UU Mahkamah Konstitusi harus dinyatakan konstitusional bersyarat, sepanjang tidak diartikan harus dilaksanakan oleh siapapun, hal itu dikarenakan Putusan Mahkamah Konstitusi sering digunakan sebagai alasan oleh Pihak Manapun untuk tidak mematuhi dan memenuhi terhadap Putusan Mahkamah Konsitusi.

 

Ø  MENGENAI PENGUJIAN PASAL 7 AYAT (2) HURUF “L” UU ADMINISTRASI PEMERINTAHAN

  1. Bahwa dengan memaknai Pasal 7 Ayat (2) Huruf “L” UU Administrasi Pemerintahan “Pejabat Pemerintahan memiliki kewajiban : Mematuhi Putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
  2. Bahwa apabila melihat ketidakpatuhan terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi lebih banyak dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan, hal mana sebenarnya kewajiban untuk melaksanakan Putusan Pengadilan telah tercantum dalam Pasal 7 Ayat (2) Huruf “L” UU Administrasi Pemerintahan. Akan tetapi apabila mengacu pada Pasal 1 angka 18 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, maksud dari Pengadilan tersebut adalah Pengadilan Tata Usaha Negara. Untuk itu makna Pengadilan dalam Pasal 1 angka 18 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan telah membatasi hanya terbatas pada  Pengadilan Tata Usaha Negara, dalam hal ini tidak termasuk Mahkamah Konsitusi.
  3. Apabila kita lihat dalam Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan oleh Sebuah Mahkamah Konstitusi, maka jelas seharusnya Pasal 7 Ayat (2) Huruf “L” UU Administrasi Pemerintahan tidak hanya membatasi dengan memberikan kewajiban kepada Pejabat Pemerintahan untuk mematuhi putusan (vonnis) hanya kepada Pengadilan Tata Usaha Negara dalam hal ini, akan tetapi juga memberikan kewajiban kepada Pejabat Pemerintahan untuk patuh dan tunduk kepada Putusan Mahkamah Konstitusi.
  4. Bahwa dengan diberlakukannya Pasal 7 Ayat (2) Huruf “L” UU Administrasi Pemerintahan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 24C ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28 G ayat (1) dan Pasal 28 I ayat (2)  Undang-Undang Dasar 1945. Bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 dikarenakan Indonesia merupakan Negara Hukum, yang mana Putusan Mahkamah Konstitusi juga merupakan Hukum yang harus dan wajib dipatuhi oleh siapapun, bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 dikarenakan Mahkamah Konstitusi merupakan bagian dari kekuasaan Kehakiman yang bertujuan untuk menegakkan hukum dan keadilan yang salah satunya tercermin melalui Putusan-Putusannya, bertentangan dengan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dikarenakan makna “mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final” dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 tersebut juga mengandung asas res judicata pro veritate habetur, asas erga omnes dan Constitutional Control yang harus memberikan kepastian dan keadilan Hukum dalam setiap Putusannya, bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (1) , Pasal 28 G ayat (1) dan Pasal 28 I ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 dikarenakan setiap Warga Negara dilindungi oleh asas Equality Before The Law termasuk kewajiban dalam mematuhi Putusan MK.
  5. Bahwa dengan demikian frasa “Pejabat Pemerintahan memiliki kewajiban : Mematuhi Putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.” pada Pasal 7 Ayat (2) Huruf “L” UU Administrasi Pemerintahan harus dinyatakan konstitusional bersyarat, sepanjang tidak diartikan hanya diberikan kewajiban atas Putusan Tata Usaha Negara saja, akan tetapi juga bagi Putusan Mahkamah Konstitusi, hal itu dikarenakan Putusan Mahkamah Konstitusi sering digunakan sebagai alasan oleh Pihak Manapun untuk tidak mematuhi dan memenuhi terhadap Putusan Mahkamah Konsitusi.
  1. PETITUM

Bahwa selanjutnya  berdasarkan alasan-alasan hukum di atas, maka mohon kiranya Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berkenan memutuskan :

  1. Menerima seluruh permohonan Pemohon;
  2. Menyatakan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan UUD RI 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final serta harus dilaksanakan untuk :…..;
  3. Menyatakan Pasal 47 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan UUD RI 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap dan harus dilaksanakan sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum;;
  4. Menyatakan Pasal 29 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman bertentangan dengan UUD RI 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final serta harus dilaksanakan untuk :…..;
  5. Menyatakan Pasal 7 ayat (2) huruf “l” Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan bertentangan dengan UUD RI 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai Pejabat Pemerintahan memiliki kewajiban : Mematuhi Putusan Mahkamah Konstitusi dan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.;
  6. Memerintahkan untuk memuat putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;

Atau mohon putusan yang seadil-adilnya  (Ex Aquo et Bono);

Bahwa selanjutnya untuk menguatkan dalil-dalil permohonan, Pemohon telah mengajukan barang bukti berupa naskah UUD, UU, dan surat-surat  lainnya sebagaimana terlampir ;

Demikian Permohonan Kami, atas perhatian dan perkenannya, diucapkan terima kasih.

Jakarta, 19 Oktober 2016

 

Hormat kami,

FORUM ADVOKAT MUDA INDONESIA

(FAMI)

  1. (can) SAIFUL ANAM, SH., MH.

Ketua

ZENURI MAKHRODJI, SH.

Sekretaris

(RUDY GUNAWAN, SH.) (EDI WIRAHADI, SH.)
(RAY WAHYU MURNI YULIANTI, SH.) (SUHARTA, SH., MH.)
(CAKRA HERU SANTOSA, SH., MH.) (RUDI PURNAWAN, SH.)
(MUSLIADI, SH.) (SUTARJO, SH.)
(RADEN ASMORO WENING, SH.) (NURDIN DESRIWAN GUMAY, SH.)
(DIKI ZULKARNAEN, SH.) (GUNTHAR HAMING YUDHA, SH.)
(BAMBANG HERI SUPRIYANTO, SH., MH.) (FUAD ABDULLAH, SH., MSi.)
(HENDRA PANJAITAN, SH.) (MOH. DANIES KURNIARTHA, SH.)
(BENNY HARIS NAINGGOLAN, SH.) (BAKRI, SH.)
(FAIJAL SIREGAR, SH.) (Drs. HM. SANI ALAMSYAH, SH., MBL.)
(JOKO PRIYATNO, SH.) (RMRP. JOKO PURBOYO, SH.)
(SYAKHRUDDIN, SH.) (HFR. GHANTY SJAHABUDIN, SH.)
Continue Reading

CONTOH PENGUJIAN UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR 1945 (JUDICIAL REVIEW) DI MAHKAMAH KONSTITUSI

 

Jakarta,  23 April 2014

Nomor       :   05/Tim 11/HakimAd Hoc/IV/2014

Perihal        :   Perbaikan Permohonan Pengujian Pasal 122 huruf e Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014  tentang Aparatur Sipil Negara  Terhadap Undang-Undang Dasar 1945

Lampiran   : 1 (satu) berkas

 

Kepada Yth.

Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Di

Jakarta

Dengan Hormat,

Yang bertanda tangan dibawah ini, kami :

  1. Nama : DR. GAZALBA SALEH, SH., MH.

Tempat/tgl lahir      : Bone, 15 April 1968

Agama                     : Islam

Pekerjaan                : Hakim Ad Hoc Tipikor pada Pengadilan Negeri Surabaya

Kewarganegaraan : Indonesia

Alamat                     : Jl. Setra Dago I No. 12 Antapani, Bandung

Selanjutnya disebut sebagai ————————————————– Pemohon I

  1. Nama :  DR. LUFSIANA, SH., MH.

Tempat/tgl lahir      : Sekayu, 29 Nopember 1965

Agama                     : Islam

Pekerjaan                : Hakim Ad Hoc Tipikor pada Pengadilan Negeri Palembang

Kewarganegaraan : Indonesia

Alamat                     : Jl. Sugihwaras E 2 nomor 13 Candi Sidoarjo, Jawa Timur

Selanjutnya disebut sebagai ————————————————– Pemohon II

  1. Nama : SUMALI, SH., MH.

Tempat/tgl lahir      : Malang, 12 Desember 1962

Agama                     : Islam

Pekerjaan                : Hakim Ad Hoc Tipikor pada Pengadilan Negeri Denpasar

Kewarganegaraan : Indonesia

Alamat                     : Perum IKIP Tegalgondo Asri F/19, Malang, Jawa Timur

Selanjutnya disebut sebagai ————————————————-  Pemohon III

  1. Nama : SUGENG SANTOSO PN, SH., MH., M.M.  

Tempat/tgl lahir      : Yogyakarta, 09 Maret 1968

Agama                     : Islam

Pekerjaan                : Hakim Ad Hoc PHI pada PN. Surabaya

Kewarganegaraan : Indonesia

Alamat                     : Taman Pondok I FG IVA – 17, Pepelegi, Sidoarjo

Selanjutnya disebut sebagai ———————————————— Pemohon IV

  1. Nama : DR. IR. MOH. INDAH GINTING, MM

Tempat/tgl lahir      : Kaban Jahe, 15 Maret 1947

Agama                     : Islam

Pekerjaan                : Hakim Ad Hoc Perikanan pada PN. Jakarta Utara

Kewarganegaraan : Indonesia

Alamat                      : Ruko Cempaka Mas Blok L No. 39 RT.007/008 Jl. Cempaka

Mas Tengah Kel. Sumur Batu, Kec. Kemayoran, Jakarta

Pusat

Selanjutnya disebut sebagai ————————————————–  Pemohon V

  1. Nama : ELIAS HAMONANGAN  PURBA, SE, S.H.

Tempat/tgl lahir     : Jakarta, 10 Maret 1966

Agama                     : Kristen

Pekerjaan                : Hakim Ad Hoc PHI pada Pengadilan Negeri  Samarinda

Kewarganegaraan : Indonesia

Alamat                     : Jl.  Kapas 14 Nomor 35 Desa Mangga, Medan Tuntungan, Medan

Selanjutnya disebut sebagai ————————————————-  Pemohon VI

  1. Nama : SAHALA  ARITONANG, SH, AM.Pd

Tempat/tgl lahir      : S. Langge, 30 Agustus 1965

Agama                     : Kristen

Pekerjaan                : Hakim Ad Hoc PHI pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang

Kewarganegaraan : Indonesia

Alamat                      : Jl. Perkebunan III No. 9, RT.007/06 Kel. Pondok Bambu,    Kec.Duren Sawit, Jakarta Timur

Selanjutnya disebut sebagai ————————————————  Pemohon VII

  1. Nama : ABDUR RAZAK , SH, MH

Tempat/tgl lahir      : Masalembu, 27 April 1967

Agama                     : Islam

Pekerjaan                : Hakim Ad Hoc Tipikor pada Pengadilan Negeri Makassar

Kewarganegaraan : Indonesia

Alamat                     : Jl.  Tupai 9 Nomor 5 Makassar

Selanjutnya disebut sebagai ————————————————  Pemohon VIII

  1. Nama : ARMYN RUSTAM EFFENDY, SH, MH.

Tempat/tgl lahir      : Surabaya, 27 Januari 1958

Agama                     : Islam

Pekerjaan                : Hakim Ad Hoc Perikanan pada PN. Jakarta Utara

Kewarganegaraan : Indonesia

Alamat                     : Jl.  Komp. Bea Cukai Nomor 11 Pisangan Ciputat Timur,

Tangerang Selatan

Selanjutnya disebut sebagai ———————————————   Pemohon IX

  1. Nama : LUKMAN AMIN, SH.MH.

Tempat/tgl lahir      : Galesong, 12 Juli 1969

Agama                     : Islam

Pekerjaan                : Hakim Ad Hoc Perikanan pada Pengadilan Negeri Tual

Kewarganegaraan : Indonesia

Alamat                     : Komp. Tirta Nusantara Blok B.2 nomor 3 Karampuang, Panakkukang, Makassar

Selanjutnya disebut sebagai —————————————————  Pemohon X

  1. Nama : SUWITO,  SH. MH

Tempat/tgl lahir      : Wonogiri, 14 Januari 1971

Agama                     : Islam

Pekerjaan                : Hakim Ad Hoc Tipikor pada Pengadilan Negeri Jayapura

Kewarganegaraan : Indonesia

Alamat                     : Jl. Jaya Asri Blok AD No. 9 ENTROP Jayapura

Selanjutnya disebut sebagai ————————————————-   Pemohon XI

Bahwa dalam hal ini para pemohon dapat bertindak secara sendiri-sendiri  dan/atau secara bersama-sama,  yang selanjutnya memilih Alamat Jl. Raya Juanda No. 82-84 Sidoarjo 61253, Tlp. 031-70381809 Surabaya – Jawa Timur; HP. 0818764364  sebagai domisili hukum para Pemohon;

Bahwa  perkenankanlah Kami Para Pemohon  memohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk melakukan pengujian konstitusionalitas frasa kecuali hakim ad hoc  pada Pasal 122 huruf e  Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara, yang selengkapnya  berbunyi: “Pejabat negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 yaitu:    “Ketua, wakil ketua, ketua muda dan hakim agung pada Mahkamah Agung serta ketua, wakil ketua, dan hakim pada semua badan peradilan kecuali hakim ad hoc” terhadap UUD 1945;

Bahwa selanjutnya perkenankanlah kami  mengemukakan dalil-dalil diajukannya  permohonan uji konstitusionalitas (consttitutional review/ judicial review)  frasa kecuali hakim ad hoc yang tercantum dalam Pasal 122 huruf  e Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014  terhadap UUD 1945, yakni sebagai berikut:

  1. PENDAHULUAN

Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 telah membawa perubahan yang sangat mendasar dalam sistem ketatanegraan Republik Indonesia. Banyak aspek perubahan yang telah dirasakan dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara, salah satu aspek yang berubah yakni terhadap kelembagaan negara. Negara Indonesia dalam menjalankan reformasi tidak cukup dengan hanya mengandalkan lembaga-lembaga yang berdiri di pilar konstitusi karena pada hakikatnya kurang mampu mengakomodasi berbagai kompleksitas yang dihadapi oleh masyarakat. Merupakan hal yang tak terhindarkan bahwa dengan kebutuhan reformasi ini, Indonesia membutuhkan organ penunjang atau state auxiliary body, sehingga dengan kehadiran state auxiliary body mampu menjawab kompleksitas publik dan untuk menunjang berfungsinya sistem hukum didalam sektor kenegaraan dan penyelenggaraan negara berdasarkan prinsip negara hukum.

Ketika kebutuhan akan kehidupan bermasyarakat semakin meningkat dan kompleks, maka tidak dapat dipungkiri juga bahwa kebutuhan akan penegakan hukum juga akan semakin tinggi. Model pemisahan kekuasaan Negara konvesional hanya mengansumsikan adanya tiga cabang kekuasaan. Kekuasaan eksekutif, legislatif, yudikatif. Dalam sistem ketatanegaraan ternyata sudah tidak mampu lagi menjawab kompleksitas Negara modern. Karena itu diperlukan Independent Regulatory Agencis atau Lembaga Negara yang bersifat Ad Hoc yang merupakan state auxiliary organ untuk melengkapi institusi ketatanegaraan modern. Maka berdasarkan realitas inilah ada 3 landasan argumentasi tentang dasar lahirnya/pemikiran lembaga Negara ad hoc Indonesia yaitu: (Wahyudi Djafar, Makalah – Komisi Negara Antara Latah dan Keharusan Transisional” dimuat dalam ASASI ELSAM, Edisi September-Oktober 2009.)

  1. Secara Sosiologis

Secara sosiolaogis dasar lahirnya suatu lembaga Negara ad hoc telah menunjukan kinerja yang cukup bagus dalam upaya penegakan hukum. Ekspektasi masyarakat masih sangat besar untuk peningkatan kipral lembaga Negara Ad hoc. Hal ini menunjukan bahwah kehadiran lembaga Negara Ad hoc mampu menjawab kebutuhan reformasi dan tuntutan zaman serata mengoptimalkan fungsi Negara dalam memberikan pelayanan publik.

  1. Secara Konseptual Teoritik

Lembaga Negara Ad hoc merujuk pada dua konsep/teori :

  1. Delegation Doktrin (teori doktrin pendelegasian wewenang)
  2. The new separation of power (Teori pemisahan kekuasaan baru)
  1. Secara Yuridis Konstitusional

Lembaga Negara Ad hoc merujuk pada ketentuan Pasal 24 ayat(3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan demikian keberadaan lembaga Negara Ad Hoc memiliki landasan yang kokoh sehingga pada akhirnya mampu menjawab kompleksitas Negara modern yaitu dalam perlindungan dan penegakan hukum.

Oleh karena itu negara Indonesia dalam menjalankan reformasi tidak cukup dengan hanya mengandalkan lembaga-lembaga yang berdiri dipilar konstitusi karena pada hakikatnya, tidak mampu mengakomodasi berbagai kompleksitas yang dihadapi oleh masyarakat. Merupakan hal yang tak terhindarkan bahwa dengan kebutuhan reformasi ini, Indonesia membutuhkan organ penunjang atau state auxiliary body, sehingga dengan kehadiran state auxiliary body mampu menjawab kompleksitas publik dan untuk menunjang berfungsinya sistem hukum didalam sektor kenegaraan dan penyelenggaraan negara berdasarkan prinsip negara hukum. Selain itu keberadaan lembaga-lembaga hukum ad hoc tersebut ternyata mendapat tempat di hati masyarakat sehingga diakui atau tidak semakin memperburuk citra lembaga-lembaga konvensional yang lebih dulu lahir. Dalam beberapa hal, sepak terjang lembaga-lembaga ad hoc tersebut bersentuhan dengan tugas dan kewenangan lembaga-lembaga konvensional sehingga melahirkan persepsi yang baik pada masyarakat.

Selain itu urgensi lembaga yang bersifat Ad Hoc menurut (Sri Sumantri MLembaga Negara dan State Auxiliary Bodies dalam Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD NRI 1945” dalam Departemen Hukum Tata Negara Universitas Airlangga, Dinamika Perkembangan Hukum Tata Negara dan Hukum Lingkungan, Airlangga University Press, Surabaya, hlm. 204.), secara nasional state auxiliary bodies mempunyai kedudukan dan peranan penting dalam mewujudkan tujuan nasional. Hal ini juga diakui oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 005/PUU-IV/2000 tentang judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, bahwa diatur atau tidaknya suatu lembaga negara dalam undang-undang dasar, tidak dapat ditafsirkan sebagai satu-satunya faktor yang menentukan derajat konstitusional lembaga negara yang bersangkutan. Dengan demikian kondisi yang demikian menurut Sri Sumantri M, bahwa untuk mengetahui perkembangan auxiliary body perlu diketahui terlebih dahulu tujuan didirikanya suatu negara. Setelah itu baru ditetapkan berbagai lembaga dalam undang-undang dasarnya. Selanjutnya Sri Sumantri M. mengatakan, bahwa dalam negara yang menganut sistem pemerintahan presidensial seperti Indonesia, presidenlah yang pertama mengetahui, lembaga macam apa yang diperlukan untuk menangani masalah-masalah tertentu dalam mewujudkan tujuan nasional (negara). Seperti digambarkan oleh Sri Sumantri M, sebagai berikut :

 

Berdasarkan bagan diatas dapat diketahui, bahwa kedudukan dan peranan lembaga negara utama dan lembaga-lembaga negara yang melayani adalah permanent institutions, sedangkan lembaga-lembaga yang melayani (state auxiliary bodies) dapat tumbuh, berkembang, dan mungkin dihapus. Hal ini tergantung dari situasi dan kondisi Negara itu. Yang perlu diperhatikan adalah agar pemerintah dalam hal ini Presiden dalam membentuk state auxiliary body harus memerhatikan lembaga yang sudah ada. Untuk itu secara umum alat perlengkapan negara yang berupa state auxiliaries bodies ini muncul karena:

  1. Adanya tugas-tugas kenegaraan yang semakin kompleks yang memerlukan independensi yang cukup untuk operasionalisasinya.
  2. Adanya upaya empowerment terhadap tugas lembaga negara yang sudah ada melalui cara membentuk lembaga baru yang lebih spesifik.

Selain itu pembentukan lembaga Ad Hoc ini dilandasi oleh lima hal penting, diantaranya : (T.M. Luthfi Yazid, “ Komisi-komisi Nasional dalam Konteks Cita-cita Negara Hukum”, Makalah disampaikan dalam Diskusi Terbatas dengan tema: „ Eksistensi Sistem Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD NRI 1945, diselenggarakan oleh Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, di Hotel Aryaduta, Jakarta, 9 September 2004, hlm.2 )

  1. Pertama, tidak adanya kredibilitas lembaga yang telah ada sebelumnya akibat adanya asumsi (dan bukti) mengenal korupsi yang sistemik, mengakar, dan sulit untuk diberantas.
  2. Kedua, tidak independenya lembaga-lembaga negara yang karena alas an tertentu tunduk di bawah pengaruh suatu kekuasaan tertentu.
  3. Ketiga, ketidakmampuan lembaga-lembaga negara yang telah ada untuk melakukan dalam masa transisi menuju demokrasi baik karena persolan internal maupun eksternal.
  4. Keempat, adanya pengaruh global yang menunjukan adanya kecenderungan beberapa negara untuk membentuk lembaga-lembaga negara ekstra yang disebut lembaga negara mandiri (state auxiliary agency) atau lembaga pengawas (institutionsl watchdog) yang dianggap sebagai suatu kebutuhan dan keharusan karena lembaga-lembaga yang telah ada telah menjadi bagian dari sistem yang harus diperbaiki.
  5. Kelima, adanya tekanan dari lembaga-lembaga internasional untuk membentuk lembaga-lembaga tersebut sebagai prasyarat bagi era baru menuju demokratisasi.
  1. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI
  2. Perubahan UUD NRI 1945 telah menciptakan sebuah lembaga baru yang berfungsi untuk mengawal konstitusi, yaitu Mahkamah Konstitusi, selanjutnya disebut “MK”, sebagaimana tertuang dalam Pasal 7B, Pasal 24 Ayat (1) dan Ayat (2), serta Pasal 24C UUD NRI 1945, yang diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5266), selanjutnya disebut “UU MK”.
  1. Bahwa salah satu kewenangan yang dimiliki oleh MK adalah melakukan pengujian undang-undang terhadap konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 24C Ayat (1) UUD NRI 1945 yang berbunyi:

Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar…

  1. Selanjutnya, Pasal 10 ayat (1) huruf a UU MK menyatakan:

“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:

  1. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ….

Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5076), selanjutnya disebut “UU KK” menyatakan:

“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:

  1. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”
  1. Bahwa ketentuan Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyatakan “Dalam hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi”;
  2. Berdasarkan uraian angka 1 sampai 4  di atas, maka tidak ada keraguan sedikitpun bagi Pemohon  menyimpulkan, bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang untuk mengadili permohonan pengujian undang-undang ini pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final.
  1. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PARA PEMOHON:
  1. Bahwa Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi mengatakan bahwa  pemohon pengujian undang-undang adalah “pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang” yang dalam huruf a menyebutkan “perorangan warga negara Indonesia”. Selanjutnya dalam Penjelasan atas Pasal 51 ayat (1) undang-undang a quo, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan hak konstitusional” adalah “hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”;
  2. Bahwa Yurisprudensi Tetap Mahkamah Konstitusi sebagaimana tertuang dalam Putusan No 006/PUU-III/2005 jo Putusan No 11/PUU-V/2007 dan putusan-putusan selanjutnya telah memberikan pengertian dan batasan komulatif tentang apa yang dimaksud dengan “kerugian konstitusional” dengan berlakunya suatu norma undang-undang, yaitu: (1) Adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (2) Bahwa hak konstitusional tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji; (3) Kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual, atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; (4) Adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk dijui; dan (5) Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi;
  3. Bahwa sebagai perorangan warganegara Republik Indonesia, Pemohon mempunyai hak-hak konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945, baik yang bersifat tidak langsung seperti hak untuk tidak diperlakukan sewenang-wenang sebagai konsekuensi dari pernyataan bahwa Negara Republik Indonesia adalah sebuah “negara hukum” sebagaimana  normanya diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, maupun hak-hak konstitisional yang bersifat langsung yang normanya dirumuskan dalam Bab XA yang diberi judul “HAK ASASI MANUSIA”,  dan secara spesifik dirumuskan dalam Pasal 28D ayat (1) yang bunyinya “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum” dan Pasal 28G ayat (1), “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”;
  1. Bahwa para Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia yang berprofesi sebagai Hakim Ad Hoc  masing-masing pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)  Surabaya,  Palembang, Denpasar, Makassar dan Jaya Pura (Pemohon I, II, III, VIII, XI); dan  pada Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Surabaya, Samarinda, dan Tanjung Karang (Pemohon IV, VI, VII); serta pada Pengadilan Perikanan Jakarta Utara dan Tual  (Pemohon V, IX,  X)   yang mempunyai kepentingan hukum dalam permohonan ini karena para Pemohon menganggap hak dan kewenangan konstitusional Pemohon dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara, khususnya yang     berkaitan dengan frasa  “kecuali hakim ad hoc  ” yang diatur dalam Bab.  X Pasal 122 huruf e Undang-undang aquo. Dengan berlakunya Pasal tersebut secara potensial maupun senyatanya telah menimbulkan kerugian pada para Pemohon      sebagai Hakim Ad Hoc  selaku pelaksana kekuasaan kehakiman pada peradilan khusus di bawah Mahkamah Agung;
  2. Bahwa dengan berlakunya Pasal 122 huruf e Undang-undang Aparatur Sipil Negara tersebut menimbulkan kerugian pada para Pemohon sebagai Hakim ad hoc, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor: 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, yang menyebutkan “Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan Peradilan Umum, kemudian Pasal 9 ayat (2) Undang-undang tersebut menetapkan Ketua dan Wakil ketua Pengeadilan Negeri karena jabatannya menjadi Ketua dan Wakil ketua Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Dengan demikian pengadilan tindak pidana korupsi merupakan satu kesatuan sistem peradilan umum  yang berada di bawah Mahkamah Agung Republik Indonesia.
  1. Bahwa ketentuan yang diuraikan pada huruf b di atas sangat berkaitan dengan Undang-undang Nomor 46 Tahun 2009:

– Pasal 1 angka 1 menyatakan “Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan “Hakim adalah Hakim Karier dan Hakim ad hoc.

– Pasal 1 angka 3 disebutkan “Hakim ad hoc seseorang yang diangkat berdasarkan persyaratan yang ditentukan dalam undang-undang ini sebagai hakim tindak pidana korupsi;

– Pasal 5 dinyatakan “Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan satu-satunya pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi;

  1. Bahwa ketentuan yang diuraikan dalam Pasal 122 huruf e Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tersebut yang mengecualikan hakim Ad Hoc bukan sebagai pejabat negara, sesungguhnya secara obyektif empiris telah memasung hak-hak konstitusional Pemohon sebagai warga negara untuk memperoleh kepastian hukum dan terbebas dari rasa cemas, bimbang dan ketakutan di dalam menjalankan kewajibannya dan pemenuhan haknya sebagai pejabat negara di bidang kekuasaan kehakiman pada pengadilan khusus di bawah  Mahkamah Agung;
  2. Bahwa Pemohon menganggap dengan berlakunya Pasal 122  huruf e Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara yang megecualikan Hakim Ad Hoc bukan merupakan Pejabat Negara, maka sangat merugikan seluruh hakim Ad Hoc yang ada di Indonesia. Mengingat hal yang demikian bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”;
  3. Bahwa secara faktual atau senyatanya kerugian yang telah dialami para Pemohon selaku Hakim Ad Hoc yang tidak diakui sebagai pejabat negara selama ini adalah dikenakannya Pajak atas Penghasilan (Pph 21) terhadap tunjangan tetap pada setiap bulannya, dan besaran prosentase pengenaan pajak tersebut berbeda-beda antara satu pengadilan dengan pengadilan lainnya. Kondisi agak mengherankan kenapa  suatu  Kantor Perbendaharaan Negara yang di bawah Kementrian  yang sama (Kemenkeu) bisa berbeda-beda penerapan pajaknya  terhadap subyek pajak yang sama, padahal Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan (NKRI) . Bahkan mulai awal Bulan Maret 2014  muncul surat Dirjen Peberbendaharaan RI yang ditujukan kepada Sekretaris MA untuk segera mengenakan pajak Pph 21 terhadap tunjangan tetap Hakim Ad Hoc  sebesar 15 %. Inilah ironi sebuah negara hukum yang dikelola secara asal-asalan, Kami Pemohon yang berstatus Hakim Ad Hoc Tipikor jadi merenung, sejatinya Kami ingin memiskinkan para koruptar, namun yang terjadi  justru yang duluan miskin adalah Hakim Tipikor;
  4. Bahwa pembayaran Pajak atas Penghasilan (Pph 21) terhadap tunjangan tetap pada setiap bulannya kepada seluruh Hakim Ad Hoc sangat merugikan Hakim Ad Hoc seluruh Indonesia, mengingat hal tersebut merupakan bagian dari konsekwensi lahirnya Pasal 122 huruf e Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara yang mengecualikan Hakim Ad Hoc bukanlah sebagai pejabat Negara, sehingga pembayaran Pajak atas Penghasilan (Pph 21) tidak ditanggung oleh Negara. Dengan demikian seluruh Hakim Ad Hoc harus menyediakan anggaran untuk kebutuhan pembayaran Pajak atas Penghasilan (Pph 21) tersebut, dengan menyisihkan dari sebagian tunjangan tetap yang diterima oleh Para Penggugat.
  5. Bahwa apabila melihat dan membandingkan dengan hakim karir pada umumnya, maka terdapat perbedaan yang sangat signifikan, baik terhadap mekanisme dan pemenuhan pembayaran Pajak atas Penghasilan (Pph 21) terhadap hakim karir, pembayaran Pajak atas Penghasilan (Pph 21) merupakan tanggung jawab dan dipenuhi oleh Negara, hal itu merupakan konskwensi dari kedudukan hakim karir pada umumnya yakni sebagai Pejabat Negara. Padahal baik secara Filosofis, Yuridis dan Filosofis tidak terdapat perbedaan yang nyata dari segi wewenang dan tanggung jawab antara hakim Ad Hoc dengan hakim karir pada umumnya, sehingga selayaknyalah tidak dibedakan antara kedudukan hakim karir dengan hakim Ad Hoc pada semua tingkatan badan peradilan di Indonesia.
  6. Bahwa selain itu dengan tidak diakuinya Hakim Ad Hoc sebagai pejabat Negara sebagaimana tertuang dalam Pasal 122 huruf e Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, maka telah merendahkan kewibawaan dan kehormatan Hakim Ad Hoc sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman yang merdeka dan memiliki wibawa dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman yang sama-sama berada dalam ruang lingkup lembaga Mahkamah Agung Republik Indonesia. Tentu dalam hal ini akan menimbulkan kecemburuan antara hakim Ad Hoc terhadap hakim karir, mengingat apabila dilihat dari segi wewenang dan tanggung jawab tidak terdapat perbedaan yang signifikan, akan tetapi dari segi hak yang harus diperoleh oleh hakim Ad Hoc tidak didapat sebagaimana hakim karir pada umumnya.
  7. Bahwa kerugian lainnya yang dialami Pemohon yang statusnya tidak diakui sebagai pejabat negara, adalah  hingga saat ini sejumlah hak-hak normatif berupa tunjangan transportasi, fasilitas keamanan , fasilitas tunjangan kesehatan belum sempat terealisasi. Apabila melihat tunjangan dan fasilitas yang diberikan Negara kepada pejabat Negara, maka hak-hak normatif berupa tunjangan transportasi, fasilitas keamanan , fasilitas tunjangan kesehatan merupakan bagian dari hak yang harus diberikan kepada seluruh pejabat publik yang kedudukannya sebagai pejabat Negara. Akan tetapi berbeda dengan hakim Ad Hoc, atas dasar Pasal  122  huruf e Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara tersebut, hak-hak yang seharusnya menjadi bagian dari hakim Ad Hoc tidak secara merta diberikan oleh Negara seperti halnya hakim karir pada umumnya.
  8. Bahwa konsekwensi yuridis lain terhadap berlakunya Pasal 122 huruf e Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara tersebut, maka terhadap para penggugat, juga telah menghilangkan hak-hak para pemohon berupa tunjangan perumahan yang layak serta tunjangan remunerasi yang harusnya diberikan sejak diangkatnya para pemohon sebagai hakim Ad Hoc pada seluruh tingkatan badan peradilan di Indonesia. Akan tetapi hingga kini mengingat Pasal  122  huruf e Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara tersebut, maka harapan dan keinginan seluruh hakim Ad Hoc untuk mendapatkan hak-hak para pemohon berupa tunjangan perumahan yang layak serta tunjangan remunerasi menjadi jauh dari harapan.
  9. Bahwa dengan adanya Pasal 122 huruf e Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara tersebut, yang mengecualikan Hakim Ad Hoc bukan merupakan pejabat Negara, serta membeda-bedakan kedudukan hakim Ad Hoc dengan hakim karir pada umumnya, maka secara tidak langsung juga mengurangi semangat para hakim Ad Hoc diseluruh Indonesia dalam upaya menjalankan beban tugas dan tanggung jawab sebagai hakim, serta upaya penegakan hukum yang sedang gencar-gencarnya dilakukan oleh bangsa Indonesia.
  10. Bahwa kerugian lain dan sangat vital adalah tidak jelasnya kedudukan hakim Ad Hoc dalam Pemerintahan. Mengingat apabila posisi Hakim Ad Hoc bukanlah sebagai Pejabat Negara sebagaimana Pasal 122 huruf e Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara tersebut, maka dimana sebenarnya posisi hakim Ad Hoc dalam Pemerintahan ? Ketidakjelasan posisi dan kedudukan hakim Ad Hoc dalam pemerintahan ini mengakibatkan kewibawaan serta produk-produk yang dihasilkan menjadi kehilangan marwahnya. Mengingat posisi terhormat Hakim Ad Hoc sebagai bagian dari pejabat Negara dicabut berdasarkan Pasal  122  huruf e Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
  11. Bahwa apabila dibandingkan dengan lembaga yang bersifat Ad Hoc lainnya, yakni sebagai contoh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), maka sebenarnya tidaklah jauh berbeda dengan kedudukan Hakim Ad Hoc, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam hal ini jelas posisinya juga bersifat Ad Hoc, akan tetapi kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) jelas merupakan pejabat Negara. Padahal apabila dicermati lahirnya lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak jauh berbeda semangat yang melatarbekangi lahirnya hakim Ad Hoc di seluruh Indonesia. Untuk itu tidak ada alasan bahwa hakim Ad Hoc kedudukannya dikecualikan dan bukan merupakan Pejabat Negara.
  12. Bahwa berdasarkan uraian di atas, kedudukan hukum dan kepentingan hukum atau legal standing Pemohon I sampai dengan XI di dalam permohonan uji materiil Pasal 122 huruf e Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara  terhadap UUD 1945 adalah sudah sesuai dengan ketentuan Pasal 51 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 juncto Pasal 3 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005;
  1. Alasan-alasan Permohonan Pengujian terhadap Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara Pasal 122 huruf e :   
  2. Bahwa doktrin pemisahan kekuasaan (separation of powers), kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan bagian dari upaya untuk menjamin kebebasan dan mencegah kesewenang-wenangan. Dengan kata lain, kekuasaan kehakiman yang merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah, sebagai upaya untuk menjamin dan melindungi kebebasan rakyat dari kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari pemerintah. Dengan demikian, kehadiran kekuasaan kehakiman yang merdeka tidak lagi ditentukan oleh stelsel pemisahan kekuasaan (separation of power) atau stelsel pembagian kekuasaan (distributionof power), tetapi sebagai suatu ‘conditio sine quanon’ bagi terwujudnya Negara hukum, terjaminnya kebebasan serta pengendalian atas jalannya pemerintahan Negara. Apabila kekuasaan kehakiman digabungkan dengan kekuasaan legislatif, maka kehidupan dan kebebasan seseorang akan berada dalam suatu kendali yang dilakukan secara sewenang-wenang. Di lain pihak, kalau kekuasaan kehakiman bersatu dengan kekuasaan eksekutif, maka hakim mungkin akan selalu bertindak semena-mena dan menindas. Dengan demikian, ditinjau dari ajaran pemisahan kekuasaan (separation of power), kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan bagian dari upaya untuk menjamin kebebasan dan mencegah kesewenang-wenangan.
  3. Bahwa untuk menjamin kekuasaan kehakiman yang merdeka dan berwibawa serta dapat menyelenggarakan kekuasaan kehakiman yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka wibawa dan kedudukan hakim perlu ditempatkan pada suatu tempat yang layak, salah satunya adalah dengan menempatkan hakim pada semua tingkatan badan peradilan baik yang berasal dari hakim karir maupun hakim non karir sebagai Pejabat Negara. Sehingga kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial dapat bersifat mutlak, terlepas dari campur tangan lembaga lainnya baik ekskutif maupun legislatif. Hal itu seperti pendapat Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, SH. yang mengatakan ‘‘Kekuasaan kehakiman yang merdeka berarti kekuasaan kehakiman yang bebasa dari campur tangan pihak kekuasaan Negara atau kekuasaan ekstra yudisial lainnya.(2008:135)
  4. Bahwa pengertian pejabat menurut kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu pegawai pemerintah yang memegang jabatan penting (unsur) pimpinan. Menurut C.F. Strong bahwa Arti pemerintah dalam arti luas sebgai organisasi Negara yang utuh dengan  segala alat kelengkapan Negara yang memiliki fungsi legislative, eksekutif dan yudikatif. Arti pemerintah dalam arti sempit hanya mengacu pada fungsi eksekutif saja. Mengacu pada pengertian itu, maka pengertian pejabat Negara mengacu pada arti yang luas. Lalu bagaimana seorang pejabat dikatakan pejabat Negara atau bukan ?. Menurut Bagir Manan bahwa untuk menjawab itu maka perlu melihat fungsi lembaga Negara yaitu 1. Lembaga Negara yang menjalankan fungsi Negara secara langsung atau bertindak atas nama Negara seperti DPR, Presiden, Lembaga Kehakiman.  (disebut alat kelengkapan Negara).  2.  Lembaga Negara yang menjalankan fungsi  administrasi Negara bertindak untuk dan atas nama Negara menjalankan tugas tidak bersifat ketatanegaraan. 3. Lembaga Negara penunjang.  Berdasarkan hal tersebut, maka pejabat Negara adalah pejabat yang lingkungan kerjanya berada pada lembaga Negara yang merupakan alat kelengkapan Negara beserta derivate pendukungnya seperti DPR, Presiden, Hakim.  Pejabat tersebut menjalankan fungsinya bertindak dan untuk atas nama Negara.

Selanjutnya Bagir manan menyebutkan bahwa : jabatan dalam Negara dibedakan atas   a). dibedakan atas Jabatan alat kelengkapan Negara (jabatan organ dan jabatan lembaga Negara) serta jabatan penyelenggara administrasi Negara, b). dibedakan atas jabatan politik dan non politik (pemilihan), c).jabatan yang bertanggungjawab langsung dan diawasi public dan tidak langsung diawasi public, d) jabatan pelayanan public secara langsung atau tidak.

  1. Bahwa Hakim ad hoc pejabat negara filosofinya adalah bahwa dalam doktrin, kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan untuk mengadili yang meliputi wewenang memeriksa, memutus dan membuat ketetapan yudisial (Bagir Manan: 2009).  Kekuasaan kehakiman dilaksanakan  oleh badan peradilan/badan yidisial yang merupakan alat kelengkapan negara karena bertindak dan memutus untuk dan atas nama negara.
  2. Bahwa berdasarkan konstitusi UUD 1945 bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh MA dan badan peradilan di bawah MA serta MK sesuai  bunyi pasal 24 ayat (2).  Seperti diketahui bahwa MA dan badan peradilan dibawahnya serta MK adalah  badan yudisial sebagai alat kelengkapan negara sehingga menjalankan fungsi ketatanegaraan dalam artian bertindak untuk dan atas nama Negara.
  3. Bahwa oleh karena menjalankan fungsi ketatanegaraan bertindak untuk dan atas nama negara dan hakim adalah pejabat yang diberi wewenang oleh UU untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara, maka konsekwensinya adalah hakim pada semua jenis dan tingkatan  pada badan yudisial berkedudukan sebagai pejabat negara sebagaimana ditegaskan oleh UU Kekuasaan Kehakiman seperti dimuat pada pasal 19 dan pasal 31.
  4. Bahwa apakah hakim ad hoc termasuk hakim sebagaimana maksud UU Kekuasaan kehakiman ?. Berdasarkan  Pasal 5 angka 1 UU Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa hakim adalah hakim pada MA dan hakim yang berada pada badan peradilan di bawah MA yaitu lingkungan peradilan umum, agama, militer, TUN dan pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut (hakim ad hoc  merupakan hakim pada pengadilan khusus pada MA dan badan peradilan bawah MA).  Berdasarkan ketentuan UU kekuasaan kehakiman tersebut, maka hakim ad hoc adalah pejabat negara.
  5. Bahwa Norma yang terkandung dalam Pasal 122 huruf e Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara, yang redaksinya  berbunyi: “Pejabat negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 yaitu:

Ketua, wakil ketua, ketua muda dan hakim agung pada Mahkamah Agung serta ketua, wakil ketua, dan hakim pada semua badan peradilan kecuali hakim ad hoc;”

Dengan demikian membuka peluang terhadap ketidak jelasan kedudukan Hakim Ad Hoc dalam struktur badan peradilan di Indonesia, serta apabila dikaji lebih lanjut Pasal 122 huruf e  Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara bertentangan dengan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi :

“Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”

Berdasarkan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 tersebut, kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya, serta Mahkamah Konstitusi (vide Pasal 24 ayat (2)). Dalam hal ini, Mahkamah Agung termasuk juga badan peradilan di bawahnya serta Mahkamah Konstitusi adalah badan yudisial yang merupakan alat kelengkapan negara, sehingga menjalankan fungsi ketatanegaraan (bertindak untuk dan atas nama negara). Konsekuensinya, hakim pada seluruh jenis dan tingkatan badan yudisial, berkedudukan sebagai “pejabat negara”.

  1. Bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 9Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (“UU Kekuasaan Kehakiman”), Hakim Ad Hoc adalah:

“hakim yang bersifat sementara yang memiliki keahlian dan pengalaman di bidang tertentu untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang pengangkatannya diatur dalam undang-undang.”

            Berdasarkan makna yang terkandung dalam Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman tersebut diatas, maka perbedaan antara hakim Ad Hoc dengan hakim karir pada umumnya adalah hanya berkaitan dengan sifatnya yang dibatasi oleh masa periode tertentu serta memiliki keahlian dan pengalaman dibidang tertentu, sehingga kemudian dianggap memenuhi kriteria untuk diangkat menjadi Hakim Ad Hoc pada lingkungan badan peradilan di Indonesia. Selain itu Hakim Ad Hoc sendiri diangkat pada pengadilan khusus, yang merupakan pengadilan dalam salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, baik dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Misalnya Hakim Ad Hoc pada Pengadilan HAM, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Perikanan, Pengadilan Hubungan Industrial, atau Pengadilan Niaga.

  1. Bahwa menurut doktrin atau pendapat ahli hukum, Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan untuk mengadili, yang meliputi wewenang memeriksa, memutus, membuat ketetapan yustisial (Bagir Manan: 2009). Selain itu Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, SH, memberikan definisi tentang Kekuasaan Kehakiman dan peradilan adalah kekuasaan untuk memeriksa dan mengadili serta memberikan putusan atas perkara-perkara yang diserahkan kepadanya untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan perundang-undangan” (Moh.Mahfud MD : 1999). Dengan demikian Kekuasaan kehakiman dilaksanakan badan peradilan/badan yudisial (judiciary) yang merupakan alat kelengkapan negara karena bertindak dan memutus untuk dan atas nama negara. Lebih lanjut Prof. Sudikno Mertokusumo, SH. juga menguraikan maksud mengenai ketentuan kebebasan dalam melaksanakan kewenagan yudisial tidak mutlak sifatnya ‘‘Karena tugas daripada hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila dengan jalan menafsirkan hukum dan mencari dasar hukum serta asas-asas yang jadi landasannya, melalui perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya, sehingga keputusannya mencerminkan perasaan keadilan bangsa dan rakyat indonesia’’ (Mertokusumo.2002:20).

Selanjutnya mengenai pengertian kekuasaan Negara yang merdeka, dimaksudkan bahwa kekuasaan kehakiman terpisah dari kekuasaan pemerintahan dan Kekuasaan Perundang-undangan serta merdeka dari pengaruh kedua kekuasaan lembaga-lembaga Negara lainnya, sehingga kedudukannya sudah semestinya adalah sebagai pejabat Negara.

  1. Dalam hukum positif, kedudukan hakim sebagai “pejabat negara” ditegaskan dalam UUKekuasaan Kehakiman sebagai berikut:

Hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut” (Pasal 1 angka 5).

Hakim dan hakim konstitusi adalah pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang” (Pasal 19).

Berdasarkan penjelasan mengenai makna Hakim sebagaimana UU Kekuasaan Kehakiman tersebut diatas, maka jelas kedudukan Hakim Ad Hoc merupakan hakim pada Mahkamah Agung (pada pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung). Untuk itu tidak terdapat perbedaan baik Hakim Karir maupun Hakim Ad Hoc adalah berkedudukan sebagai “pejabat negara”. Seperti yang telah diuraikan pada poin sebelumnya, bahwa Perbedaan Hakim Ad Hoc dengan hakim umumnya, terutama dalam hal masa tugasnya yang sementara/dibatasi untuk waktu tertentu, di samping harus memiliki keahlian dan pengalaman tertentu di bidangnya.

  1. Bahwa Pengadilan khusus yang menjadi tempat pelaksanaan tugas Hakim Ad Hoc sendiri tidak selalu bersifat Ad Hoc (sementara). Sebagian besar adalah pengadilan khusus yang bersifat tetap. Pengadilan khusus yang bersifat Ad Hoc, yaitu Pengadilan Ad Hoc HAM yang dibentuk untuk menyelesaikan perkara pelanggaran HAM berat, sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Dengan kata lain, Pengadilan Ad Hoc HAM dibentuk untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu dalam kerangkatransitional justice(keadilan transisional).

Dengan demikian Pengadilan khusus lainnya bersifat permanen, termasuk Pengadilan HAM untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat setelah Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 berlaku. Artinya, apabila terjadi dugaan pelanggaran HAM berat, penyelesaiannya dilakukan oleh Pengadilan HAM yang berada pada lingkungan peradilan umum di bawah Mahkamah Agung. Selain Pengadilan HAM, pengadilan khusus lainnya yang bersifat permanen, misalnya Pengadilan Niaga, Pengadilan Perikanan, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

  1. Bahwa Hakim pada pengadilan-pengadilan khusus tersebut, tidak selalu Hakim Ad Hoc, namun juga hakim pada umumnya sesuai lingkungan peradilannya. Dalam suatu perkara yang diadili dalam pengadilan khusus, majelis hakim yang bertugas terdiri dari hakim pada umumnya (hakim pada Mahkamah Agung) dan Hakim Ad Hoc. Dalam Pengadilan HAM, baik Ad Hoc maupun permanen, misalnya, majelis hakim berjumlah 5 (lima) orang, terdiri atas 2 (dua) orang hakim pada Pengadilan HAM yang bersangkutan dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc (Pasal 27 ayat (2) UU No. 26 Tahun 2000). Demikian pula, misalnya dalam majelis hakim dalam Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, berjumlah ganjil sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakim dan sebanyakbanyaknya 5 (lima) orang hakim, terdiri dari Hakim Karier dan Hakim ad hoc (videPasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi).

Dengan demikian, kedudukan Hakim Ad Hoc pada umumnya bertugas pada pengadilan khusus yang bersifat permanen. Sama halnya dengan pengadilan pada berbagai lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung lainnya, pengadilan khusus menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman, untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara–perkara khusus sesuai peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, Hakim Ad Hoc, sama halnya dengan hakim pada umumnya menjalankan fungsi ketatanegaraan (kekuasan kehakiman), sehingga sangat tepat dikategorikan sebagai pejabat negara.

  1. Kedudukan hakim ad hoc yang menjalankan fungsi ketatanegaraan pada badan yudisial sebagai alat kelengkapan Negara bertindak untuk dan atas nama negara sehingga merupakan pejabat negara
  2. Muatan materi UU ASN adalah muatan yang mengatur profesi PNS dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) dalam artian hanya mengatur pegawai pemerintah dilingkungan eksekutif di pusat dan daerah, sedangkan pejabat Negara mempunyai kedudukan yang lebih luas dibanding pegawai lingkungan pemerintah karena mencakup lingkungan kekuasaan  lain seperti yudiktif dan legislative
  3. Muatan materi UU ASN Bab 10 yang mencakup pasal 121 sampai 125 adalah pengaturan mengenai pegawai ASN yang menjadi pejabat Negara yaitu jika menjadi pejabat Negara yang diangkat maka harus melepas jabatan ASN dan status PNS non aktif sedangkan jika menjadi pejabat Negara yang dipilih lewat Pemilu maka harus mengundurkan diri sebagai PNS.
  4. Bahwa Pasal 122 huruf e UU No. 5 Tahun 2014 bertentangan dengan UUD Dasar Negara RI 1945 khususnya pasal 21 yang mengatur kekuasaan kehakiman.
  5. Bahwa Pengaturan dalam Pasal 122 huruf eUndang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN), yang mengecualikan Hakim Ad Hoc sebagai pejabat negara,menurut hemat Pemohon adalah tidak tepat. Selain tidak tepat, karena kedudukan Hakim Ad Hoc yang menjalankan salah satu fungsi ketatanegaraan sehingga merupakan pejabat negara, pengaturan mengenai pejabat negara dalam UU ASN tidak sesuai dengan materi muatan (materi yang seharusnya) yang diatur undang-undang tersebut. Dalam UU ASN, diatur pengertian sebagai berikut:

“Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disingkat ASN adalah profesi bagi pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi pemerintah” (Pasal 1 angka 1).

“Pegawai Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disebut Pegawai ASN adalah pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian dan diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintahan atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan (Pasal 1 angka 2)

Berdasarkan kedua pengertian di atas, UU ASN semestinya hanya mengatur tentang tata kelola Aparatur Sipil Negara (ASN), yang dalam konteks kategori kepegawaian, hanya mengatur mengenai PNS dan “pegawai pemerintah” (pegawai di bawah lingkungan kekuasaan eksekutif, baik pusat maupun daerah).

  1. Bahwa selanjutnya pengertian penyelenggara Negara berdasarkan pasal 1 angka 1 UU No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN adalah pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislative atau yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perUU yang berlaku
  2. Pada pasal 2 dijelaskan siapa saja yang termasuk penyelenggara Negara yaitu :
  3. Pejabat Negara pada lembaga tertinggi Negara
  4. Pejabat Negara pada lembaga tinggi Negara
  5. Menteri
  6. Gubernur
  7. Hakim
  8. Pejabat Negara lain sesuai ketentuan peraturan dan perUU yang berlaku
  9. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan Negara sesuai dengan ketentuan perUU
  10. Bahwa pengertian pejabat Negara pada UU yang pernah berlaku di Indonesia yaitu UU No. 43 tahun 1999 atasUU No. 8 Tahun 1974 tentang pokok-pokok kepegawaian yaitu pada pasal 1 angka4, selanjutnya pasal 11 ayat 1.
  11. Bahwa makna dan istilah “pejabat negara” lebih luas dibandingkan pegawai di lingkungan pemerintahan, karena mencakup pejabat pada lingkungan kekuasaan lainnya, seperti legislatif, yudisial dan kekuasaan derivative lainnya yang dijalankan oleh lembaga-lembaga negara pendukung (auxiliary state bodies/ agencies). Pengaturan tentang “pejabat negara” dalam UU ASN hanya dapat dilakukan dalam hal, pengaturan Pegawai ASN yang menjadi “pejabat negara” (vide judul BAB X UU ASN). Namun demikian, Pasal 122 merupakan ketentuan yang berlebihan, karena mengatur materi di luar ASN. Pengaturan mengenai “pejabat negara”, termasuk Hakim Ad Hoc, seharusnya tunduk pada UUD 1945 dan undang-undang yang mengatur kekuasaan lembaga negara, dalam hal ini, untuk Hakim Ad Hoc, mengacu pada Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
  12. Bahwa Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH dalam bukunya “Perihal Undang-Undang” hal. 373 memberikan memberikan batasan pengertian serta perbedaan tentang makna Pejabat Negara dan Pegawai Negeri. Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa: “para pejabat negara merupakan “political appointee” sedangkan pejabat negeri merupakan “administrative appointee”. Artinya para pejabat negara itu diangkat atau dipilih karena pertimbangan yang bersifat politik, sedangkan para pejabat negeri dipilih murni karena alasan administratif. Semua pejabat yang diangkat karena pertimbangan politik (political appointment) haruslah bersumber dan dalam rangka pelaksanaan prinsip kedaulatan rakyat. Karena rakyatlah yang pada pokoknya memegang kedaulatan atau kekuasaan tertinggi dalam bidang politik kenegaraan. Pejabat yang diangkat atas pertimbangan yang demikian itulah yang biasa disebut sebagai pejabat negara yang dipilih atau “elected official”. Namun Prof. Jimly mengecualikan terhadap Hakim, Hakim menurut Prof. Jimly kedudukannya adalah sebagai Pejabat Negara, hal itu berkaitan dengan beban tugas dan tanggung jawabnya sebagai lembaga yang independen, yang harus lepas dari segala bentuk intervensi dari lembaga manapun, sehingga posisi dan kedudukannya adalah sebagai Pejabat Negara.
  13. Selain itu Pasal 122 huruf e tersebut, juga berbenturan dengan Pasal 11 ayat (1) huruf d Undang-Undang No. 43 tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 tahun 1974 tentang pokok-pokok kepegawaian, yang menyatakan :

“(1) Pejabat Negara Terdiri dari atas :

  1. Ketua, Wakil Ketua, dan Ketua Muda, dan Hakim Agung pada Mahkamah Agung, serta ketua, Wakil Ketua, dan Hakim pada semua Badan Peradilan;

Berdasarkan Pasal 11 ayat (1) huruf d Undang-Undang No. 43 tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 tahun 1974 tentang pokok-pokok kepegawaian terdapat disharmonisasi hukum dengan Pasal 122 huruf e UU ASN.

  1. Selain itu Jimly Asshiddiqie mengemukakan, corak dan struktur organisasi Negara dewasa ini mengalami dinamika perkembangan yang sangat pesat. Hal itu dapat dibuktikan pasca reformasi tahun 1998, banyak sekali lembaga-lembaga dan organ negara dibentuk. Sesuai dengan asas negara hukum, setiap penggunaan wewenang harus mempunyai dasar legalitasnya. Sama halnya dengan lembaga-lembaga negara dimana dalam menggunakan wewenanganya harus mempunyai dasar atau pijakan yang jelas apalagi dasar pembentukanya. Dasar pembentukan lembaga negara jika dilihat dari dasar pembentukanya dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori, yaitu: Lembaga negara yang dibentuk dan mendapat kewenangan dari UUD NRI 1945 dan lembaga negara yang mendapat kewenagan dari selain UUD NRI 1945. (Jimly Asshiddiqie : 2006)

Untuk memahami pengertian organ atau lembaga secara lebih dalam, kita dapat mendekatinya dari pandangan Hans Kelsen mengenai the concept of the state-organ dalam bukunya General Theory of Law and State. Hans Kelsen menguraikan bahwa – Whoever fulfills a fanction determined by the legal order is an organ” (Hans Kelsen , General Theory of Law and State, (New York: Russell& Russell, 1961),hal 192). Siapa saja yang menjalankan suatu fungsi yang ditentukan oleh suatu tata-hukum (legal order) adalah suatu organ. Artinya organ-organ itu tidak selalu berbentuk organik. Disamping organ yang berbentuk organik, lebih luas lagi, setiap jabatan yang ditentukan oleh hukum dapat pula disebut organ, asalkan fungsi-fungsinya itu bersifat menciptakan norma (normcreating) dan/atau bersifat menjalankan norma (norm applying). “These functions , be they of a norm-creating or of a norm-applying character , are all ultimately aimed at the dexecution of a legal sanction.” Menurut Kelsen, parlemen yang menetapkan undang-undang dan warga negara yang memilih para wakilnya melalui pemilihan umum sama-sama merupakan organ negara dalam arti yang luas. Demikian pula hakim yang mengadili dan menghukum penjahat dan terpidana yang menjalankan hukuman tersebut dilembaga pemasyarakatan, adalah juga merupakan organ negara. Pendek kata, dalam pengertian yang luas, organ negara itu identik dengan organ individu yang menjalankan fungsi atau jabatan publik atau jabatan umum (public officials). Dikatakan oleh Hans Kelsen, ”An organ , in this sense, is an individual fulfilling a specific function”. Kualitas individu itu sebagai organ negara ditentukan oleh fungsinya. Individu tersebut dapat disebut sebagai organ negara, karena ia menjalankan fungsi yang menciptakan hukum (law–creating function) atau fungsi yang menerapkan hokum (law applying function).

Disamping pengertian yang luas itu, Hans Kelsen juga menguraikan adanya pengertian organ negara dalam arti yang sempit, yaitu pengertian organ dalam arti meteril. Individu dikatakan organ negara hanya apabila ia secara pribadi memiliki kedudukan hukum yang tertentu (…be personally has a specific legal position). Lembaga negara terkadang disebut dengan istilah lembaga pemerintahan non-departemen, atau lembaga negara saja. Dalam setiap pembicaraan mengenai organisasi negara, ada duaunsur pokok yang saling berkaitan, yaitu organ dan functie, organ adalah bentuk atau wadahnya, sedangkanfunctie adalah isinya; organadalah status bentuknya (Inggris;form,Jerman:Vorm), sedangkan functie adalah gerakan wadah itu sesuai maksud pembentukanya. Dalam naskah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, organ-organ yang dimaksud ada yang disebut secara eksplisit namanya, dan ada pula yang disebutkan secara eksplisit fungsinya. Ada pula lembaga atau organ yang disebut bahwa baik namanya maupun fungsinya atau kewenangannya akan diatur dengan peraturan yang lebih rendah.

Dengan demikian semakin jelas bahwa Hakim Ad Hoc merupakan bagian dari organ Negara hukum yang melaksanakan sebuah kekuasaan kehakiman dibawah lembaga Mahkamah Agung yang membawahi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara.

  1. Bahwa dengan adanya Pasal 122 huruf e tersebut, terutama bunyi frasa kecuali hakim Ad Hoc, maka Pasal 122 huruf e tersebut telah menimbulkan KETIDAK PASTIAN HUKUM, mengingat Pasal 19 UU Kekuasaan Kehakiman Juncto  Pasal 122 huruf e UU Pokok-Pokok Kepegawaian menyatakan bahwa Hakim dalam hal ini termasuk Hakim Ad Hoc merupakan Pejabat Negara. Dengan demikian membuktikan bahwa Pembentuk Undang-Undang ASN kurang cermat dalam upaya pembentukan dan harmonisasi peraturan perundang-undangan yang sedang digalakkan baik oleh Eksekutif maupun Legislatif.
  2. Bahwa Pemohon memahami dan memaknai materi Pasal 122 huruf e tersebut, terutama bunyi frasa kecuali hakim Ad Hoc , dengan pengertian yaitu bahwa hakim Ad Hoc pada semua tingkat peradilan di lingkungan dan di bawah Mahkamah Agung bukanlah pejabat negara, sedangkan Hakim yang bukan Ad Hoc adalah pejabat negara;
  3. Bahwa pemohon tidak mengetahui secara persis apakah pijakan hukum (legal reasoning / ratio decidendi) dikecualikannya Hakim Ad Hoc sebagai pejabat negara oleh Pasal 122 huruf e UU aquo. Pasalnya berdasarkan penelusuran terhadap teks rancangan undang-undang tersebut (RUU ASN) kalimat atau frasa kecuali hakim Ad Hoc tersebut tidak pernah ada. Apakah ini sebuah keteledoran ataukah suatu kesengajaan, tentunya jawabannya akan  diperoleh  melalui uji materi  (constitutional  review / judicila review)  di  Mahkamah Konstitusi. Yang jelas Pemohon menilai UU ASN ini adalah  produk UU yang  dikatagorikan  buruk ataupun  imperfecta dan juga improper,  dengan argumen bahwa materi muatan yang diatur oleh UU ASN tersebut adalah berkenaan dengan aparatur sipil negara (PNS) dalam domain eksekutif, sedangkan Hakim Ad Hoc  yang masuk        dalam domain yudikatif sudah diatur oleh UU Kekuasaan            Kehakiman beserta derivasi regulasi organiknya. Sehingga dengan demikian tidak seharusnya  UU No. 5 Tahun  I aquo ini mengatur jabatan hakim apalagi menegasikannya sebagai pejabat Negara;
  4. Bahwa inisiator RUU Aparatur Sipil Negara dan legislator UU No. 5 Tahun 2014 tersebut tidak menyadari betapa eksesifnya pencantuman frasa  Kecuali  Hakim Ad Hoc tersebut. mengingat legitimasi dan legalitas kewenanganHakim Ad Hoc  dalam memeriksa dan memutus suatu perkara secara essensial berkaitan dengan statusnya sebagai pejabat negara atau bukan. Bisa dibayangkan apa jadinya andaikata Hakim Ad Hoc bukan sebagai Pejabat Negara, maka tak pelak  seluruh proses pemeriksaan dan produk putusan pengadilan khusus yang majelis hakimnya beranggotakan Hakim Ad hoc menjadi illegal  dan  batal demi hukum, sebagai konsekuensi dari tidak dimilikanya legitimasi dan legalitas kewenangan  untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara. Hal demikian ini jelas berpotensi menciptakan situasi anomali hukum atau law disorder bahkan menjurus pada situasi chaos;
  5. Bahwa lebih jauh dilekatkannya frasa kecuali hakim Ad Hoc pada Pasal 122 huruf e UU aquo, juga tidak menegaskan status Hakim Ad Hoc itu sendiri. Jika bukan pejabat negara  lantas  statusnya sebagai apa? Apakah Hakim out sourcing, atau Hakim KW atau Hakim Abal-abal? . Yang paling runyam , jika Pasal 122 huruf e tersebut dipatuhi, maka konsekuensinya adalah Hakim Ad Hoc boleh menerima gratifikasi dari para pihak yang berperkara tanpa harus lapor KPK, sebab penerimaan gratifikasi terlarang bagi pegawai negeri dan pejabat negara atau penyelenggara negara. Sementara itu  rekrutmen dan pengisian jabatan  Hakim Ad Hoc  sebagaian besar bukan berasal dari PNS ;
  6. Bahwa secara kelembagaan eksistensi Hakim Ad Hoc merupakan conditio sine quanon  terhadap kebutuhan hukum dan konsekuensi dibentuknya  pengadilan  khusus  di luar empat institusi peradilan di  lingkungan/ di bawah  Mahkamah Agung (Peradilan Umum; Peradilan Agama; Peradilan TUN; dan Peradilan  Militer),. Di samping itu secara tegas amanat Konstitusi RI Pasal 24 A ayat (5) telah mengamanatkan bahwa: ”Susunan kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan Peradilan di bawahnya diatur dengan undang-undang”. Begitu pula halnya dengan  Pasal 25 UU. No. 48 Tahun 2009  tentang Kekuasaan  Kehakiman, yang menghendaki pembentukan pengadilan khusus diatur dengan undang-undang;
  7. Bahwa yang dimaksud dengan pengadilan khusus menurut ketentuan Pasal 1 angka 8 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman adalah pengadilan yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tertentu     yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang  diatur dalam Undang-Undang”,
  8. Bahwa Keberadaan Pengadilan Tipikor, PHI, Perikanan sebagai pengadilan khusus pijakan legalitasnya ditemukan pada  ketentuan  antara lain: Pasal 2 UU No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi telah ditetapkan bahwa “Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan Pengadilan khusus yang berada dilingkungan Peradilan Umum”, kemudian Penjelasan Pasal 2 tersebut adalah “ketentuan ini mengingat ketentuan Pasal 24 A ayat (5) UUD RI Tahun 1945 dan Pasal 15 UU. No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman,yang menghendaki pembentukan pengadilan khusus diatur dengan undang-undang;. Sementara itu mengenai  ketentuan  Pasal 1 angka 17 UU No. 2 Tahun 2004  tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial disebutkan:“Pengadilan Hubungan Industrial adalah pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan pengadilan     negeri  yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial”. Selanjutnya Pasal 71 ayat (1 dan  2) UU No. 31 Tahun 2004 jo UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan ditegaskan bahwa: “Pengadilan Perikanan berada di lingkungan Peradilan Umum”; UU No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum.
  9. Bahwa selanjutnya hal- ihwal pengertian jabatan hakim, dapat dijumpai pada Pasal 1 angka 5 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada pengadilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan  hakim khusus yang berada di lingkungan peradilan tersebut.”;
  10. Bahwa Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung RI (LN-RI Tahun 1985 Nomor 73 – TLN Tahun 1985 Nomor 3316):

–         Pasal 4, menyatakan bahwa susunan Mahkamah Agung terdiri dari Pimpinan, Hakim Anggota, Panitra, dan Sekretaris (Jenderal) Mahkamah Agung.

–         Pasal 5 ayat (2), menegaskan bahwa Hakim Anggota Mahkamah Agung adalah Hakim Agung. Pasal 6 ayat (1), bahwa “… Hakim Anggota Mahkamah Agung adalah Pejabat Negara yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman.  Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (LN- RI – Tahun 2004 Nomor 9 – TLN-RI Nomor 4359):

–         Pasal 4 ayat (1) dan (2):  Ayat (1) Sususnan Mahkamah Agung terdiri atas pimpinan, hakim anggota, panitera, dan seorang sekretaris. Ayat (2) Pimpinan dan hakim anggota Mahkamah Agung adalah Hakim Agung.

–         Pasal 7 ayat (2) dan (3): Ayat (2) Apabila dibutuhkan, hakim agung dapat diangkat tidak berdasarkan sistem karier dengan syarat  huruf a s/d huruf d;  Ayat (3) Pada Mahkamah Agung dapat diangkat hakim ad hoc yang diatur dalam undang-undang.

–         Penjelasan Pasal 7 ayat (3) menyatakan, Hakim agung ad hoc antara lain Hakim agung  ad hoc HAM dan hakim agung ad hoc dalam perkara tindak pidana korupsi.

–         Pasal 9 ayat (1) dan (4): Ayat (1) Sebelum memangku jabatannya, hakim agung wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya; Ayat (4) Hakim anggota Mahkamah Agung diambil sumpah atau janjinya oleh Ketua Mahkamah Agung.

–         Pasal 30 (2), Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim agung wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan. 

  1. Bahwa Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (LN- RI Tahun 2009 Nomor 155 – TLN – RI Nomor 5074).

–         Pasal 1 angka 1, 2 dan angka 3: Angka 1 menyatakan, Hakim adalah Hakim Karier dan Hakim ad hoc; Angka 2, Hakim Karier adalah hakim pada pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung yang ditetapkan sebagai hakim tindak pidana korupsi;  Angka 3 menyatakan, Hakim ad hoc adalah seseorang yang diangkat berdasarkan persyaratan yang ditentukan dalam Undang-Undang ini sebagai hakim tindak pidana korupsi.

–         Pasal 10 ayat (1) dan (4): Ayat (1) menyatakan, “Dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung terdiri atas Hakim Karier dan Hakim ad hoc.  Ayat (4) bahwa Hakim ad hoc pada … Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung.         

–         Pasal 12 mengatur bahwa Untuk dapat diangkat sebagai Hakim ad hoc, calon harus memenuhi persyaratan (lihat huruf a s/d huruf k.

–         Pasal 13 ayat (1) menegaskan bahwa Untuk memilih dan mengusulkan calon Hakim ad hoc pada … Mahkamah Agung, Ketua Mahkamah Agung membentuk panitia seleksi terdiri dari unsur Mahkamah Agung dan masyarakat yang mandiri dan transparan.

–         Pasal 14 ayat (1) menyatakan, Sebelum memangku jabatan, Hakim ad hoc pada Mahkamah Agung diambil sumpah atau janji menurut agamanya oleh Ketua Mahkamah Agung.

–  Pasal 21 ayat (2), bahwa Hak Keuangan dan administratif… diberikan tanpa membedakan kedudukan hakim.

36.Bahwa   berdasarkan ketentuan Pasal 12 ayat (1) UU No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum disebutkan bahwa “Hakim Pengadilan adalah pejabat yang melakukan tugas kekuasaan kehakiman”,selain itu Pasal 12 UU No. 9 Tahun 2004 jo. UU No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara juga menyebutkan bahwa, ”Hakim Pengadilan adalah pejabat yang melakukan tugas kekuasaan kehakiman”. Apabila  dicermati kedua undang-undang tersebut tidak menyebutkan secara eksplisit bahwa hakimpada peradilan umum dan hakim pada peradilan tata usaha negara adalah PejabatNegara;

  1. Bahwa jabatan hakim adalah pejabat negara tanpa dibedakan asal rekrutmen ataupun cara pengisian jabatan nya, melainkan didasarkan atas fungsinya sebagai  pelaksana kekuasaan kehakiman.  Tegasnya status / kedudukan Hakim sebagai Pejabat Negara tidak ditentukan oleh latar belakangnya apakah berasal dari karir atau ad hoc melainkan pada fungsinya, yaitu sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yangmerupakan salah satu fungsi dasar dalam penyelenggaraan kehidupan bernegarasebagaimana ditentukan dalam Undang – Undang Dasar 1945
  2. Bahwa penegasan Hakim dan Hakim Ad Hoc sebagai pejabat negara dapat dirujuk pada Pasal 1 angka 1 UU No. 46 tentang Pengadilan Tipikor yang berbunyi : “bahwa yang dimaksud Hakim adalah Hakim Karier dan Hakim Ad Hoc”; Kemudian  dikaitkan dengan ketentuan Pasal 31 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009  tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan bahwa: “hakim di bawah Mahkamah Agung adalah pejabat negara’,  hal ini sehubungan dengan tugas pokok dan fungsinya untuk menjalankan kekuasaan kehakiman yang diamanatkan oleh konstitusi dan undang-undang tentang kekuasaan kehakiman;
  3. Bahwa Ketua Mahkamah Agung melalui suratnya No. 035/KMA/HK.01/III/2012, Perihal Penjelasan tentang Hakim Ad Hoc Tipikor Sebagai Pejabat Negara atau Bukan, tertanggal 22 Maret 2012, yang ditujukan kepada Menteri Pendayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, menyatakan bahwa Mahkamah Agung RI berpendapat bahwa Hakim Ad Hoc sebagaimana dimaksud di atas adalah Pejabat Negara;
  4. Bahwa yang dimaksud Pejabat Negara berdasarkan Peraturan Menteri Sekretaris Negara No. 6 Tahun 2007 tentang Jenis dan Dasar Hukun Pejabat Negara danPejabat Lainnya, yaitu pejabat yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden berdasarkan UUD 1945 atau berdasarkan Undang-Undang dinyatakan sebagai pejabat Negara. Sementara itu Pejabat lainnya adalah pejabat yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden yang tidak termasuk sebagai Pejabat Negara, tetapi mewakili kepentingan Negara RI di luar negeri, atau menyangkut hubungan antar lembaga negara dalam penetapanpengangkatannya memerlukan persetujuan DPR;

41.Bahwa dalam BAB II Lampiran Peraturan MenteriSekretaris Negara No. 6 Tahun 2007 tentang Jenis dan Dasar Hukun Pejabat Negara danPejabat Lainnya huruf A menyebutkan secara tegas bahwa yang dimaksud Pejabat Negaralainnya dalam Pasal 11 Undang – Undang Nomor 43 Tahun 1999  antara lain :(1).Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Mahkamah Konstitusi; (2)Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Komisi Yudisial; (3).Hakim Pengadilan Pajak; (4)Hakim Ad Hoc Peradilan Tindak Pidana Korupsi; (5)Hakim Ad Hoc Pengadilan Niaga; (6)Hakim Ad Hoc Peradilan Hak Asasi Manusia; (7) Hakim Ad Hoc pada Peradilan Perikanan; (8)Hakim Ad Hoc Perselisihan Perburuhan;  dan (9)Hakim Mahkamah Syariah;

  1. Bahwa jabatan Pemohon sebagai Hakim Ad Hoc masing-masing pada Pengadilan Tipikor, Pengadilan PHI dan Pengadilan Perikanan adalah berdasarkan pengangkatan dan  dan pemberhentian Hakim Ad Hoc  dilakukan oleh Presiden. Hal mana kewenangan Presiden tersebut bersumber dari Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 jo. Pasal 10 ayat (4) UU No. 46 Tahun 2009 jo. Pasal 63 UU No. 2 Tahun 2004  jo Pasal  78 UU No. 31 Tahun 2004  jo. UU No. 45 Tahun 2009. Selanjutnya  kedudukan Hakim Ad Hoc   adalah hakim pada pengadilan khusus di lingkungan Peradilan Umum atau   Pengadilan Negeri  yang  berada di bawah Mahkamah Agung, maka dengan demikian  Hakim Ad Hoc termasuk pengertian Pejabat Negara;
  2. Bahwa membatasi makna “Hakim” pada Pasal 24B UUD 1945 sebagaimana berdasarkan pada Pasal 122 butir e Undang-undang Nomor: 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara adalah bertentangan dengan prinsip hukum yang berlaku secara universal yakni prinsip Lex Certa, suatu materi dalam peraturan perundang-undangan tidak dapat ditafsirkan lain selain yang tertulis dalam peraturan perundangan (Lex Stricta), atau dengan kata lain prinsip suatu ketentuan atau perundang-undangan tidak dapat diberikan pembatasan atau perluasan penafsiran selain ditentukan secara tegas dan jelas menurut peraturan perundang-undangan. Selain itu, pembatasan penafsiran makna tersebut tidak berdasarkan prinsip Lex Superior Derogate Legi Inferiori, suatu perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Begitu pula dalam kaitan “ frasa kecuali hakim ad hoc” pada Pasal 122 huruf e Undang-undang No.5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, adalah bertentangan dengan asas Lex Certa dan Lex Superior Derogate Legi Inferiori;
  3. Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, maka ketentuan Pasal 122 huruf e UU No. 5 Tahuin 2014 tentang ASN khususnya frasa Kecuali Hakim Ad Hoc yang identik dengan makna bahwa Hakim ad hoc  bukanlah  Pejabat Negara  adalah sungguh -sungguh telah bertentangan dengan Pasal 24 ayat (2), Pasal 28 D ayat (1) dan 28 G ayat (1) UUD RI 1945,  oleh karena Hakim Ad Hoc  senyatanya  adalah Pejabat Negara ;
  1. Provisi :
  2. Bahwa secara yuridis UU MK tidak mengatur secara spesifik tentang  ihwal Putusan Provisi dalam perkara pengujian UU terhadap UUD 1945, akan tetapi Putusan provisi tersebut justru dikenal di dalam perkara sengketa kewenangan lembaga Negara, sebagaimana bunyi Pasal 63 UU MK, yaitu: “Mahkamah Konstitusi dapat mengeluarkan penetapan yang memerintahkan pada Pemohon dan/atau Termohon untuk menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi”.
  3. Bahwa dalam praktiknya MK telah membuat jurisprudensi dikabulkannya permohonan putusan provisi dalam perkara permohonan pengujian UU No.30 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Korupsi terhadap Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 melalui Putusan Nomor 133/PUU-VII/2009.
  4. Bahwa sebagaimana ketentuan Pasal 58 UU MK yang menegaskan putusan Mahkamah Konstitusi tidak berlaku surut, maka untuk mengantisipasi dan mencegah terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak konstitusional para Pemohon, maka para Pemohon memohon agar Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi menerbitkan Putusan Sela atau Putusan Provisi yang memerintahkan Sekretaris Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Direktorat Perbendaharaan Kementrian Keunangan Republik Indonesia untuk menunda dan atau menghentikan pemotongan pajak penghasilan atau PPh Pasal 21 terhadap uang kehormatan Hakim Ad Hoc di seluruh tingkat peradilan, baik yang berada di Mahkamah Agung RI dan di bawah Mahkamah Agung RI, sampai ada putusan MK dalam perkara aquo;
  5. Bahwa selanjutnya untuk menjamin kepastian hukum dan sekaligus mengantisipasi terjadinya upaya hukum berupa keberatan (eksepsi) dari para pihak yang berperkara di semua tingkatan peradilan khusus yang susunan majelis hakimnya beranggotakan Hakim Ad Hoc, maka para Pemohon memohon agar Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi menerbitkan Putusan Sela atau Putusan Provisi yang menyatakan Hakim Ad Hoc pada semua tingkat peradilan, baik di lingkungan Mahkamah Agung RI dan yang berada di bawah Mahkamah Agung adalah  Pejabat Negara.
  1. Petitum :

Bahwa selanjutnya  berdasarkan alasan-alasan hukum di atas, maka mohon kiranya Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berkenan memutuskan :

Dalam Provisi:

  1. Mengabulkan permohonan Provisi para Pemohon;
  2. Memerintahkan kepada Sekretaris Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Direktorat Perbendaharaan Kementrian Keuangan Republik Indonesia untuk menunda dan atau menghentikan pemotongan pajak penghasilan atau PPh Pasal 21 terhadap uang kehormatan Hakim Ad Hoc di seluruh tingkat peradilan, baik yang berada di lingkungnan Mahkamah Agung RI maupun peradilan khusus di tingkat bawahnya  (pengadilan tingkat  banding dan pengadilan  tingkat pertama), sampai ada putusan MK dalam perkara aquo;
  3. Menetapkan Hakim Ad Hoc pada semua tingkat peradilan, baik di lingkungan Mahkamah Agung RI dan yang berada di bawah Mahkamah Agung adalah  Pejabat Negara.

Dalam Pokok Perkara:

  1. Mengabulkan seluruh permohonan para Pemohon;
  2. Menyatakan Pasal 122 huruf e UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara khususnya  frasa “kecuali hakim Ad Hoc” bertentangan dengan UUD RI 1945;
  3. Menyatakan ketentuan Pasal 122 huruf e UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur   Sipil Negara   khususnya frasa “kecuali hakim Ad Hoc” tidak mempunyai kekuatan mengikat;
  4. Memerintahkan untuk memuat putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;

 

Atau mohon putusan yang seadil-adilnya  (Ex Aquo et Bono);

Bahwa selanjutnya untuk menguatkan dalil-dalil permohonan, para Pemohon telah mengajukan barang bukti berupa naskah UUD, UU, dan surat-surat  yang diberi tanda P- 1 sampai dengan P – 17 sebagaimana terlampir ;

Demikian Permohonan Kami, atas perhatian dan perkenannya, diucapkan terima kasih.

Kami Para Pemohon:

1.  DR. GAZALBA SALEH, S.H. ,M.H.

 

 

……………………………………….
2.  DR. LUFSIANA, S.H.,MH.

 

……………………………………….
3.  SUMALI, S.H,.M.H.        

             

……………………………………….
4.  SUGENG SANTOSO, SH, M.H. ,M.M.                     ……………………………………….
5.  DR. IR. MOH. INDAH GINTING            ……………………………………….
6.  ELIAS HAMONANGAN  PURBA, SE, S.H.                ……………………………………….
7.  SAHALA  ARITONANG, SH, MP.AD   ……………………………………….
8.  ABDUR RAZAK , SH, M.H                        ……………………………………….
9.  ARMYN RUSTAM EFFENDY, SH, MH. ……………………………………….
10. LUKMAN AMIN,  S.H,. M.H.                 ……………………………………….
11. SUWITO,  SH. MH ……………………………………….

Lampiran:  DAFTAR  ALAT BUKTI

No. DAFTAR ALAT BUKTI KETERANGAN
1. Copy Identitas Pemohon (P – 1)
2. Copy SK Pengangkatan Hakim Ad Hoc (P –  2)
3. Copy UUD 1945 (P –  3)
4. Copy UU No.   5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara (P –  4)
5. Copy Naskah RUU ASPN (P – 5 )
6. Copy  UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (P – 6 )
7. Copy UU No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum (P – 7 )
8. Copy UU No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (P – 8 )
9. Copy  UU No. 48 No. 2 Tahun 2004  tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (P – 9 )
10. Copy  UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (P – 10 )
11. Copy UU No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (P – 11 )
12. Copy Perpres No. 5 Tahun 2013 Tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim Ad Hoc (P – 12 )
13. Copy Surat KMA No. 035/KMA/HK.01/III/2012  Perihal Hakim Ad Hoc Tipikor sebagai Pejabat Negara atau Bukan Pejabat Negara (P – 13 )
14. Copy Permensesneg RI No. 6 Tahun 2007 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penanganan Administrasi Pejabat Negara (P – 14 )
15. Copy Surat Sekjen Kemendikbud No. 23053/A4/KP/2013 Perihal: PNS Yang Menjadi Pejabat Negara (P – 15 )
16. Copy   Surat KMA No. 096/KMA/HK.01/VII/2011 Perihal Pajak Penghasilan Hakim Ad Hoc (P – 16 )
17. Copy Surat Sekretaris MA No. 044-1/SEK/KU.01/01/2014 Tentang Teknis Pelaksanaan Pembayaran dan Pemotongan  PPh Pasal 21 Uang Kehormatan atau Tunjangan Bagi Hakim Ad Hoc (P – 17 )
18. Copy Surat Dirjen, Direktur Pelaksanaan Anggara No. S-7704/PB/2013 perihal Pelaksanaan Pembayaran dan Pemotongan PPh Ps 21 Uang Kehormatan atau Tunjangan Bagi Hakim Ad Hoc (P – 18 )
19. Copy Surat Direktur Jenderal Depkeu No. S-295/PJ-03/2008 Perihal: PPh Ps. 21 atas Penghasilan Pejabat Negara (P – 19 )
Continue Reading

HUBUNGAN DAN KEDUDUKAN MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN LEMBAGA NEGARA LAINNYA

  1. Latar Belakang

            Penyelenggaraan Negara yang menyimpang dari ideologi Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 telah mengakibatkan ketidakseimbangan kekuasaan diantara lembaga-lembaga Negara. Ketidakseimbangan ini terlihat dari corak kekuasaan Presiden yang berlebihan dan absolut. Hal ini diperparah dengan tidak berfungsinya lembaga-lembaga Negara lainnya sebagaimana mestinya. Misalnya, lembaga Legislatif yang terkesan hanya sebagai lembaga legislator bagi kesewenang-wenangan Presiden, dan juga lembaga Peradilan yang tidak mendapatkan kemerdekaan dan kemandirian dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Hal ini pada akhirnya melahirkan budaya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) sehingga terjadi krisis multi dimensional pada hampir seluruh aspek kehidupan.

Reformasi pada akhirnya membawa perubahan mendasar dalam sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, tidak terkecuali dalam bidang kehidupan hukum dan politik. Perubahan yang demikian seakan-akan telah membawa Indonesia kealam yang yang lebih demokratis dan konstitusional, meskipun pada tataran praktis masih banyak terdapat kesemrawutan kehidupan yang telah dianggap demokratis dan konstitusional.

Amandemen Undang-Undang Dasar Tahun 1945 telah menghasilkan beberapa perubahan struktural dalam bidang format kelembagaan negara.1) Format kelembagan lembaga yang dimaksud diantaranya yakni dengan dibentuknya lembaga baru yang disebut Mahkamah Konstitusi yang berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenagannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan hasil pemilu dan wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Kewenangan konstitusional yang dimiliki Mahkamah Konstitusi merupakan pelaksanaan dari prinsip checks and balance yang menempatkan semua lembaga Negara dalam kedudukan setara sehingga terdapat keseimbangan dalam penyelenggaraan Negara, sehingga tidak ada lembaga Negara yang merasa paling tinggi, dan tidak ada suatu lembaga Negara yang merasa paling rendah.

Fenomena keberadaan Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court) itu sendiri, didalam dunia ketatanegaraan dewasa ini, secara umum memang dapat dikatakan merupakan suatu yang baru. Di seluruh dunia Mahkamah Konstitusi hanya dikenal di 45 (empat puluh lima) Negara. Mahkamah Konstitusi menjadi trend terutama di Negara-negara yang baru mengalami perubahan rezim dari otoriterian ke rezim demokratis.2)

Sejalan dengan subtansi penting perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang berfungsi menangani perkakara tertentu di bidang ketatanegaraan. Perkara-perkara yang dimaksud adalah melaksanakan peradilan dalam sistem konstitusi, sebagai The Guardian of Constitution (penjaga konstitusi), dan sebagai penafsir konstitusi.3) Fungsi-fungsi yang ada diatas merupakan representasi dari kewenangan yang dimiliki oleh Mahakamh Konstitusi yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 maupun dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi.

Dalam menjalankan tugas konstitusionalnya, Mahkamah Konstitusi berupaya mewujudkan visi kelembagaannya yang terus dijunjung tinggi demi tegaknya konstitusi yang ada, yaitu: “Tegaknya Konstitusi dalam rangka mewujudkan cinta Negara hukum dan demokrasi demi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yag bermantabat”.4) Visi tersebut menjadi pedoman bagi Mahakamah Konstitusi dalam menjalankan kekuasaan kehakiman yang yang diembannya secara merdeka dan bertanggung jawab sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Gagasan pembentukan Mahakamh Konstitusi pada dasarnya tidak lain adalah merupakan dorongan dalam penyelenggaraan kekuasaan dan ketatanegaraan yang lebih baik, dan dapat diterima oleh semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat pada umumnya. Paling tidak ada empat hal yang melatar belakangi dan menjadi pijakan dalam pembentukan Mahkamah Konstitusi, yakni sebagai implikasi dari paham konstitusionalisme, mekanisme checks and balances, penyelenggaraan Negara yang bersih (good governance), serta prinsip demokrasi dan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).5)

Mahkamah Konstitusi selalu membuka diri untuk menerima pengaduan dari masyarakat yang merasa hak-hak konstitusionalnya dilanggar.6) Namun agaknya ungsi ini belum dapat dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat. Hal ini dapat disebabkan oleh ketidak pahaman masyarakat awam akan fungsi konstitusi dan juga mungkin disebabkan oleh ketidak tahuan masyarakat akan keberadaan dan fungsi mahkamah konstitusi . oleh karenanya masuknya pengduan masyarakat yang hak konstitusionalnya dilanggar sangat terkait dengan pemahaman dan kesadaran masyarakat terhadap konstitusi dan sosialisasi peran, fungsi, kedudukan maupun hubungan Mahkamah Konstitusi dengan lembaga Negara lainnya kepada masyarakat secara luas.

Kewenangan-kewenangan yang dimiliki beberapa lembaga Negara seringkali terdapat pertentangan antar lembaga Negara yang satu dengan lembaga Negara yang lainnya. Namun semua itu dapat terhindari apabila aparatur Negara paham dan mengetahui tentang peran, fungsi dari kedudukan yang digeluti. Apabila masing-masing lembaga Negara memahami akan wewenang yang ada pada dirinya yang temtunya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada, maka sangat kecil kemungkinan untuk adanya suatu sengketa antar lembaga Negara, begitupun sebaliknya. Wewenang dan kedudukan yang dimiliki setiap lembaga Negara tentu terdapat hubungan dengan lembaga Negara yang lain, tidak terkecuali terhadap hubungan dan kedudukan Mahkamah Konstitusi dengan lembaga lainnya. Karena dapat dipastikan kewenangan-kewenangan yang dimiliki oleh setiap lembaga Negara dibatasi, dan saling melengkapi, untuk itu lembaga yang satu merupakan bagian dari lembaga yang lainnya.

Hubungan dan kedudukan Mahkamah Konstitusi dengan lembaga Negara lainnya akan sangat penting untuk diketahui agar lebih mehamahami dan mengetahui seberapa jauh proses checks and balance yang dijalankan oleh masing-masing lembaga Negara.7) Pemahaman tentang hubungan dan kedudukan Mahkamah Konstitusi dengan lembaga Negara lainnya cukup sulit dipahami, karena memang belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur secara spesialis dan spesifik tentang hubungan dan kedudukan Mahkamah Konstitusi dengan lembaga Negara yang lainnya. Namun hal itu dapat dipahami dan dikaji dari Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sebagai norma dasar (grundnorm) dan Undang-Undang sebagai aturan-aturan dasar Negara (staatgrundgesetz) yang mengatur tentang peran, fungsi, kedudukan lembaga Negara yang bersangkutan.

Uraian maupun penjelasan yang menyangkut mengenai hubungan dan kedudukan Mahkamah Konstitusi dengan lembaga Negara lainnya belum banyak dibahas oleh para pakar Hukum Tata Negara atau bahkan boleh dikatakan tidak ada. Padahal mengingat dari kegunaan dari pemahaman akan hubungan dan kedudukan Mahkamah Konstitusi dengan lembaga Negara lainnya sangat diperlukan guna mengantisipasi adanya sengketa kewenangan yang dimiliki oleh masing-masing lembaga Negara terutama sengketa salah satu lembaga Negara dengan Mahkamah Konstitusi. Karena disatu sisi Mahkamah Konstitusi berwenang memutus sengketa antar lembaga Negara, disisi yang lain Mahkamah Konstitusi juga merupakan lembaga Negara yang tidak menutup kemungkinan untuk adanya sengketa dengan lembaga Negara lainnya.

  1. Rumusan Masalah
  1. Bagaimana hubungan dan kedudukan Mahkamah Konstitusi dengan lembaga Negara lainnya?
  2. Lembaga apa yang berhak menyelesaikan sengketa antara Mahkamah Konstitusi dengan lembaga Negara lainnya?

III. Penjelasan Judul

Dalam proposal penelitian yang berjudul “HUBUNGAN DAN KEDUDUKAN MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN LEMBAGA NEGARA LAINNYA” penulis memberikan penjelasan judul sebagai berikut:

  1. Hubungan adalah keterkaitan tata kerja Mahkamah Konstitusi dengan lembaga Negara yang lainnya.
  2. Kedudukan adalah tingkatan dalam kelembagaan Negara.
  3. Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  4. Lembaga Negara lainnya adalah lembaga Negara selain Mahkamah Konstitusi yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  1. Alasan Pemilihan Judul

Dasar pemilihan judul penelitian ini adalah seringkali terdapat kesalahan persepsi tentang pemahaman hubungan dan kedudukan Mahkamah Konstitusi dengan lembaga Negara lainnya oleh aparatur Negara maupun oleh kalangan masyarakat, sehingga terdapat persepsi bahwa suatu lembaga Negara tidak ada hubungannya dengan Mahkamah Konstitusi dan juga terdapat pemahaman bahwa suatu lembaga Negara lebih tinggi kedudukannya dengan lembaga yang lainnya.

Alasan yang cukup kuat adalah bahwa belum ditemukannya suatu lembaga yang dapat memutus sengketa antara suatu lembaga Negara dengan Mahkamah Konstitusi yang salah satu kewenangannya memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahunm 1945. Apakah dapat dibenarkan apabila Mahkamah Konstitusi yang bersengketa, maka Mahkamah Konstitusi sendiri yang memutus sengketa yang bersangkutan.

  1. Tujuan Penulisan

            Adapun yang menjadi tujuan dalam penulisan penelitian ini adalah:

  1. Untuk menjelaskan hubungan dan kedudukan Mahkamah Konstitusi dengan lembaga Negara lainnya.
  2. Untuk menganalisis Lembaga yang berhak menyelesaikan apabila terdapat sengketa antara Mahkamah Konstitusi dengan lembaga Negara lainnya.
  1. Manfaat Penulisan

Adapun manafat yang dapat diperoleh penulis dalam pembuatan proposal penelitian ini, yakni:

  1. Secara teoritis dapat menambah keilmuan dalam bidang Hukum Tata Negara yang berkaitan dengan Lembaga Negara
  2. Manafat Praktis adalah untuk membangun kesadaran dan pemahaman kepada publik akan hubungan dan kedudukan Mahkamah Konstitusi dengan lembaga Negara lainnya.
  3. Dapat menyelesaikan tugas yang diberikan Indah Purbasari, S.H., S.Pd selaku dosen mata kuliah Metode Penelitian Hukum

VII. Kajian Pustaka

            Setelah Undang-Undang Dasar 1945 diamandemen, banyak pergeseran yang terjadi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Salah satunya adalah bergesernya kelembagaan Negara.8)

Dalam hal ini, hubungan dan kedudukan Mahkamah Konstitusi terhadap lembaga Negara lainnya tidak termaktub dalam suatu peraturan perundang-undangan yang jelas, hanya sebagian terdapat dalam konstitusi. Namun pada umumnya satu hal yang paling pokok adalah Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman adalah bahwa:

“Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”(Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945)

Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 telah ditegaskan bahwa:

“Negara Indonesia adalah Negara hukum”

Dalam negara hukum yang pokok adalah adanya pembatasan oleh hukum. Dalam arti bahwa segala sikap, tingkah laku dan perbutan baik yang dilakukan oleh para penguasa negara maupun oleh para warga negaranya harus berdasarkan hukum.9)

            Untuk membatasi kekuasaan pemerintah, seluruh kekuasaan dalam pemerintah haruslah dipisahkan dan dibagi ke dalam kekuasaan yang mengenai bidang tertentu.10) Karena kalau kekuasaan tidak dipisahkan maka kekuasaan yang dimiliki akan cendrung semenang-menang.

Mengenai pemisahan kekuasaan ada doktrinyang sangat populer, yaitu doktrin trias politika. Trias politika adalah suatu prinsip normatif bahwa kekuasaan-kekuasaan negara sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa.11) Dalam dokrin ini kekuasaan dipisah menjadi 3 (tiga) bagian kekuasaan, yaitu: Kekuasaan Ekskutif, Kekuasaan Legislatif, dan Kekuasaan Yudikatif. Dokrin ini yang banyak dianut dan dikembangkan oleh hampir seluruh negara di dunia dengan berbagai varian yang ada.

Dari segi kelembagaan, prinsip trias politika biasanya diorganisasikan melalui dua cara, yaitu melalui sistem pemisahan kekuasaan (separation of power) atau pembagian kekuasaa (distribution of power).12) pemisahan kekuasaan bersiat horizontal dalam arti kekuasaan dipisah-pisahkan ke dalam fungsi-fungsi yang tercermin dalam lembaga-lembaga negara yang yang sederajat saling mengimbangi (checks and balance). Sedangkan pembagian kekuasaan bersiat vertical dalam arti perwujudan kekuasaan itu dibagikan secara vertical kebawah kepada lembaga-lembaga tinggi negara di bawah lembaga pemeganga kedaulatan rakyat.

Seperti yang dikatakan sebelumnya , bahwa Indonesia di bawah Undang-Undang Dasar 1945 teramandemen menganut teori pemisahan kekuasaan (pemisahan fungsi) yang di dalamnya terdapat mekanisme checks and balance. Fungsi oleh Hasan Zaini diartikan sebagai suatu lingkungan kerja untuk mencapai tujuan tertentu. Kedudukan suatu lembaga negara ditentukan oleh fungsinya. Menurut Undang-Undang Dasar 1945, suatu fungsi dapat dipegang oleh lebih dari 1 (satu) lembaga negara dan sebaliknya 1 (satu) lembaga negara dapat memegang (mempunyai) lebih dari 1 (satu fungsi) . untuk menjalankan fungsinya lembaga negara harus dilengkapi dengan wewenang (kekuasaan). Sebagai negara hukum, maka segala lembaga negara tunduk dan berada di bawah Undang-Undang Dasar.13)

Berdasarkan Pasal 24C ayat (1), salah satu kewenangan dari Mahkamah Konstitusi adalah memutus sengketa kewenangan antara lembaga negara, yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar. Penegasan ini yang cukup multitafsir dan banyak diperdebatkan oleh kalangan praktisi hukum.14) Hal ini disebabkan pasca amandeman, konstitusi tidak memberikan kejelasan konsepsi tentang lembaga negara. Sedangkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi ternyata juga tidak memberikan kejelasan konsepsi tentang lembaga negara. Tidak adanya kejelasan konsepsi tentang lembaga negara menjadi kompetensi Mahkamah Konstitusi memang dapat menimbulkan penasiran yang beragam.

Pergeseran format kelembagaan negara yang ditandai dengan direduksinya status Majelis Permusyawaratan Rakyat yang kini tidak lahi sebagai pelaku sepenuhnya kedaulatan rakyat. Dengan demikian tidak dikenal lembaga tertinggi negara dan lembaga tinggi negara, yang ada hanyalah lembaga negara. Disamping itu ada beberapa lembaga yang sebelumnya merupakan bagian dari kekuasaan ekskuti, namun setelah amandemen Undang-Undang Dasar 1945 lembaga tersebut independensinya dijamin oleh konstitusi.

Dalam menjalankan ungsi-fungsinya serinkali lembaga negara melakukan hubungan atau kerja sama, hubungan-hubungan itu memungkinkan untuk adanya konlik, yakni manakala suatu lambaga negara tidak bekerja dengan sebagaimana mestinya. Agar sistem itu tetap bekerja sesuai dengan yang dituju, konflik harus diselesaikan.15) disitulah peran Mahkamah Konstitusi sangat diperlukan dalam kerangkan mekanisme checks and balance.

            Namun akan menjadi permasalahan apabila yang bersengketa adalah Mahkamah Konstitusi dengan lembaga lembaga negara yang lainnya, maka lembaga apa yang dapat menyelesaikan sengketa tersebut. Akankah Mahkamah Konstitusi juga yang akan memutus sengketa kewenangan tersebut.

VIII. Metodologi

  1. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penulisan penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 junto Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

  1. Bahan Hukum

Bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini meliputi:

  1. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang berupa peraturan perundang-undangan seperti Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 junto Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

  1. Bahan Hukum Skunder

Bahan hukum skunder adalah bahan hukum yang berupa buku-buku referensi, media-media informasi yang berkaitan langsung maupun tidak dengan pembahasan.

  1. Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan adalah teknik dokumentasi yakni mengumpulkan dan mengkaji bahan-bahan hukum yang ada baik hukum primer maupun bahan hukum skunder. Sedangkan pengolahan bahan hukum yang digunakan adalah dengan menginventarisasi bahan-bahan hukum yang ada kemudian disinkronkan dengan permasalahan-permasalahan yang berkembang terutama hal-hal yang berkaitan dengan pelayanan publik.

  1. Metode Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan dalam pembuatan penelitian ini adalah metode induksi, yakni mengkaji dari hal-hal yang bersifat khusus untuk menghasilkan kesimpulan yang bersifat umum.

  1. Penutup

            Demikian proposal penelitian ini penulis buat, dengan harapan semoga dapat diterima dan dipergunakan dengan sebagai mana mestinya, atas perhatiannya penulis sampaikan terima kasih.

DAFTAR PUSTAKA

Buku Referensi

Bambang Sutiyoso. 2005. Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia. Yogyakarta. UII Press

_______________. 2006. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Bandung. Citra Aditya Bakti.

Fatkhurohman, dkk. 2004. Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia. Citra Aditya Bakti. Bandung.

Hasan Zaini. 1999. Pengantar Hukum Tata Negara. Bandung. Alumni.

Jimly Asshiddiqie. 2005. Format Kelembagaan Negara Dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945. Yogyakarta. UII Press.

Mahfud MD. 1999. Pergulatan Politik dan Hukum. Yogyakarta. Gama Media.

Miriam Budiardjo. 2002. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta. Gramedia.

Soehino. 1985. Hukum Tata Negara. Yogyakarta. Liberty.

Zairin Harahap. 2005. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Jakarta KonPres.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPDRD

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD

Makalah

  1. Muktie Fajar. Lembaga Negara Menurut Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen. Makalah pada seminar Lembaga Negara yang diadakan PP-Otoda FH Brawijaya. 22 Oktober 2004.

KRHN. “Gagasan Pembentukan Mahkamah Konstitusi” Suatu Analisis Kritis. Makalah pada Semiloka “Rancangan Undang-Undang (RUU) Mahkamah Konstitusi” yang diselenggrakan oleh PP-Otoda FH Unibraw bekerja sama dengan KRHN. Batu, 18-19 Desember 2002.

Internet

Prakata dalam Home Page Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, http://mahkamah konstitusi.gi.id/

*****

1) Jimly Asshiddiqie. 2005. Format Kelembagaan Negara Dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945. Yogyakarta. UII Press. Hal. 4

2) KRHN. “Gagasan Pembentukan Mahkamah Konstitusi” Suatu Analisis Kritis. Makalah pada Semiloka “Rancangan Undang-Undang (RUU) Mahkamah Konstitusi” yang diselenggrakan oleh PP-Otoda FH Unibraw bekerja sama dengan KRHN. Batu, 18-19 Desember 2002. Hal 3

3) Fatkhurohman, dkk. 2004. Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia. Citra Aditya Bakti. Bandung. Hal 78

4) Prakata dalam Home Page Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,

http://mahkamah konstitusi.gi.id/

5) Bambang Sutiyoso. 2006. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Bandung. Citra Aditya Bakti. Hal. 8

6) Bambang Sutiyoso. 2005. Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia. Yogyakarta. UII Press . Hal. 50

7) A. Muktie Fajar. Lembaga Negara Menurut Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen. Makalah pada seminar Lembaga Negara yang diadakan PP-Otoda FH Brawijaya. 22 Oktober 2004. Hal. 4

8) Fatkhurohman, dkk. Ibid. Hal.59

9)     Soehino. 1985. Hukum Tata Negara. Yogyakarta. Liberty. Hal.9

10)   Mahfud MD. 1999. Pergulatan Politik dan Hukum. Yogyakarta. Gama Media. Hal.280

11)   Miriam Budiardjo. 2002. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta. Gramedia. Hal. 151

12) Jimly Asshiddiqie. Ibid. Hal. 35

13) Hasan Zaini. 1999. Pengantar Hukum Tata Negara. Bandung. Alumni. Hal. 261

14) Zairin Harahap. 2005. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Jakarta KonPres. Hal.36

15) Zairin Harahap. Ibid. Hal. 277

Continue Reading