PERMOHONAN PENGUJIAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG
MAHKAMAH KONSTITUSI
SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2011
TENTANG PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG
MAHKAMAH KONSTITUSI
SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2014
TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG
MAHKAMAH KONSTITUSI
UNDANG-UNDANG NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG
KEKUASAAN KEHAKIMAN
DAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG
ADMINISTRASI PEMERINTAHAN
TERHADAP
UNDANG-UNDANG DASAR
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
Oleh Pemohon :
FORUM ADVOKAT MUDA INDONESIA (FAMI)
DI MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
(MK-RI)
Perihal : Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan Terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945
Lampiran : 1 (satu) eks
Kepada Yth.
Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Di
Jakarta
Dengan Hormat,
Perkenankanlah kami :
- (can) SAIFUL ANAM, SH., MH., ZENURI MAKHRODJI, SH, RUDY GUNAWAN, SH, EDI WIRAHADI, SH, RAY WAHYU MURNI YULIANTI, SH, RADEN ASMORO WENING, SH, CAKRA HERU SANTOSA, SH, RUDI PURNAWAN, SH, MUSLIADI, SH, SUTARJO, SH, SUHARTA, SH., MH, NURDIN DESRIWAN GUMAY, SH, DIKI ZULKARNAEN, SH, GUNTHAR HAMING YUDHA, SH, BAMBANG HERI SUPRIYANTO, SH., MH, FUAD ABDULLAH, SH., MSi, HENDRA PANJAITAN, SH, MUHAMMAD DANIES KURNIARTHA, SH, BENNY HARIS NAINGGOLAN, SH, BAKRI, SH, FAIJAL SIREGAR, SH, Drs. HM. SANI ALAMSYAH, SH., MBL, JOKO PRIYATNO, SH, SYAKHRUDDIN, SH, HFR. GHANTY SJAHABUDIN, SH. Kesemuanya adalah pada Advokat / Penasehat Hukum dan Konsultan Hukum tergabung dalam “FORUM ADVOKAT MUDA INDONESIA (FAMI)”, dalam hal ini memilih domisili hukum yang beralamat di Jl. HR. Rasuna Said, Kawasan Epicentrum Utama, Mall Epicentrum Walk, Office Suites A529, Kuningan – Jakarta Selatan 12940, Telp. (021) 5682703, HP. 08128577799, Email : saifulanam@lawyer.com. Dalam hal ini bertindak baik secara bersama-sama ataupun sendiri-sendiri untuk dan atas nama “FORUM ADVOKAT MUDA INDONESIA (FAMI)” selanjutnya disebut sebagai —————————————————————————————————— PEMOHON;
Bahwa perkenankanlah Kami Pemohon memohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk melakukan pengujian konstitusionalitas Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 29 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Dan Pasal 7 ayat (2) huruf “l” Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut :
- Pasal 10 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk :
- Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- Memutus pembubaran partai politik; dan
- Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
- Pasal 47 UU Mahkamah Konstitusi
Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum;
- Pasal 29 Ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk :
- Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- Memutus pembubaran partai politik; dan
- Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
- Pasal 7 ayat (2) huruf “l” UU Administrasi Pemerintahan
Pejabat Pemerintahan memiliki kewajiban :
- Mematuhi Putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Bahwa selanjutnya perkenankanlah kami mengemukakan dalil-dalil diajukannya permohonan uji konstitusionalitas (consttitutional review/ judicial review) Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 29 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Dan Pasal 7 ayat (2) huruf “l” Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, yakni sebagai berikut:
- OPENING STATEMENT
Ilmu hukum tata negara (constitutional law) pada umumnya (verfassungsrechtlehre) mengakui berbagai macam sumber hukum, yaitu (i) Undang-dang Dasar dan peraturan perundang-undangan tertulis, (ii) Jurisprudensi peradilan, (iii) Kebiasaan ketatanegaraan atau constitutional conventions, dan (iv) Hukum Internasional tertentu. Dalam pandangan John Alder, rincian sumber-sumber hukum tata negara itu, meliputi 7 (tujuh) hal, yaitu (i) Prinsip Dasar (The Basic Prinsiple), (ii) Nilai-nilai moral dan politik (General political and moral values), (iii) hukum yang Mutlak (Strick Law) yang menurutnya meliputi (a) hukum yang ditegakkan atau diputuskan oleh pengadilan, (The law enforced through the courts), dan (b) hukum yang ditetapkan oleh parlemen dan kebiasaan parlemen (The law and custom of Parliament), (iv) Konvensi atau kebiasaan ketatanegaraan (Conventions of the Constitution), (v) Praktek-praktek yang baik yang terjadi dalam praktek penyelenggaraan kegiatan politik ketatanegaraan (Political practices), (vi) Tata aturan partai politik (The rules of the political parties), dan (vii) Hukum Internasional (International Law).
Dalam konteks tata hukum Indonesia pun sesungguhnya Yurisprudensi pun masuk sebagai salah satu sumber hukum. Akan tetapi tidak ada rumusan yuridis yang pasti mengatur hal tersebut. Hanyalah beberapa doktrin di kalangan para sarjana hukum di Indonesia yang secara sendiri-sendiri menempatkan Yurisprudensi, termasuk Putusan Mahkamah Konstitusi dalam tata urutan sumber hukum di Indonesia. Karena memang, putusan Mahkamah Konstitusi jika dilihat dari sifatnya yang final dan mengikat, maka ia dapat menjadi dasar bagi pembentukan norma dan aturan hukum di Indonesia, termasuk pula bagi pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan. Singkatnya, bisa dikatakan bahwa putusan MK menjadi patron konstitusional segala bentuk aturan hukum di bawah UUD 1945, tak terkecuali pembentukan undang-undang oleh lembaga legislasi.
Untuk menentukan produk suatu lembaga negara adalah produk hukum yang mengikat tidak semata-mata ditentukan oleh logika politik keterwakilan. Yang mengikat sebagai norma hukum tidak harus selalu lahir dari proses politik. Yang lebih menentukan adalah apakah produk itu memang ditempatkan sebagai hukum yang mengikat menurut ketentuan yang lebih tinggi dan dibuat sesuai dengan mekanisme hukum yang berlaku. Untuk mengetahui apa saja produk hukum dalam sistem hukum nasional, tentu saja rujukannya adalah UUD 1945 sebagai hukum tertinggi. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa Putusan MK bersifat final. Hal itu berarti Putusan MK telah memiliki kekuatan hukum tetap sejak dibacakan dalam persidangan MK. Putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap memilki kekuatan hukum mengikat untuk dilaksanakan.
Berbeda dengan putusan pengadilan biasa yang hanya mengikat para pihak, Putusan MK dalam perkara pengujian UU mengikat semua komponen bangsa, baik penyelenggara negara maupun warga negara. Dalam perkara pengujian UU, yang diuji adalah norma UU yang bersifat abstrak dan mengikat umum. Walaupun dasar permohonan pengujian adalah adanya hak konstitusional pemohon yang dirugikan, namun sesungguhnya tindakan tersebut adalah mewakili kepentingan hukum seluruh masyarakat, yaitu tegaknya konstitusi. Kedudukan pembentuk UU, DPR dan Presiden, bukan sebagai tergugat atau termohon yang harus bertanggungjawab atas kesalahan yang dilakukan. Pembentuk UU hanya sebagai pihak terkait yang memberikan keterangan tentang latar belakang dan maksud dari ketentuan UU yang dimohonkan. Hal itu dimaksudkan agar ketentuan yang diuji tidak ditafsirkan menurut pandangan pemohon atau MK saja, tetapi juga menurut pembentuk UU, sehingga diperoleh keyakinan hukum apakah bertentangan atau tidak dengan konstitusi.
Oleh karena itu yang terikat melaksanakan Putusan MK tidak hanya dan tidak harus selalu pembentuk UU, tetapi semua pihak yang terkait dengan ketentuan yang diputus oleh MK. Karena putusan MK mengikat umum, pihak-pihak yang terkait dengan pelaksanaan ketentuan UU yang telah diputus MK harus melaksanakan putusan itu. Namun demikian, mengingat norma dalam UU adalah satu kesatuan sistem ada pelaksanaan putusan yang harus melalui tahapan-tahapan tertentu, bergantung pada substansi putusan. Ada putusan yang dapat dilaksanakan langsung tanpa harus dibuat peraturan baru atau perubahan, ada pula yang memerlukan pengaturan lebih lanjut terlebih dahulu.
Menurut K. C. Wheare, interpretasi hakim MK merupakan salah satu cara perubahan konstitusi secara informal. Artinya putusan-putusan MK atas pengujian suatu undang-undang merupakan konstitusi baru yang memiliki kekuatan hukum mengikat. Tidak ada alasan bagi penyelenggara negara untuk tidak menjalankan putusan MK, karena kekuatan hukum putusan itu adalah sama dengan perintah konstitusi. Maruarar Siahaan menyebutkan putusan demikian sebagai putusan yang bersifat Constitutif. Sifat constitutif putusan MK berarti melahirkan satu keadaan hukum atau menciptakan satu hukum baru. Putusan MK yang menyatakan suatu undang-undang bertentangan dengan UUD berarti telah meniadakan keadaan hukum yang timbul karena undang-undang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan demikian putusan MK telah membentuk hukum baru sebagai Negative Legislator.
Setidaknya ada 3 kekuatan hukum putusan MK. Pertama kekuatan mengikat, bahwa putusan itu mengikat semua orang, lembaga negara dan badan hukum dalam yurisdiksi Indonesia. Kedua kekuatan pembuktian, bahwa putusan itu dapat digunakan sebagai alat bukti dengan kekuatan pasti secara positif. Ketiga kekuatan eksekutorial, bahwa putusan MK berlaku sebagai undang-undang dengan tanpa perlu adanya perubahan atas bagian undang-undang, ayat dan atau pasal yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Hal itu sejalan dengan dasar pemikiran bahwa keberadaan MK sebagai The Guardian of Constitution. Disebut sebagai penjaga konstitusi karena pada dasarnya konstitusi merupakan “wujud mati” dan tidak akan dapat berbuat apapun tanpa ada lembaga yang dapat menegakkan prinsip-prinsip dasar yang ada. Oleh karena itu sebagai penjaga konstitusi, MK diberikan kewenangan melakukan penafsiran, apakah suatu undang-undang bertentangan dengan konstitusi atau tidak.
Sifat final tersebut juga berarti bahwa putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dalam persidangan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh (inkracht van gewijsde). Sifat mengikat putusan Mahkamah Konstitusi berbeda dengan putusan peradilan pada umumnya. Jika di Peradilan Umum putusan hanya mengikat bagi para pihak berperkara (interparties) maka putusan Mahkamah Konstitusi juga mengikat bagi semua orang dan badan hukum yang ada di Indonesia. Sehingga putusan Mahkamah Konstitusi dikatakan sebagai negatif legislator yang bersifat erga omnes.
Makna mengikat berarti memiliki akibat hukum bahwa para pihak yang berperkara harus menanggung akibat putusan tersebut. Terkait dengan prinsip negara hukum dimana tujuan utama dari suatu negara adalah terwujudnya supremasi hukum (supremacy of law), dimana untuk mewujudkannya salah satunya adalah dengan menggunakan putusan hakim sebagai tolak ukur moral dan yuridis. Oleh karena Putusan Mahkamah Konstitusi adalah putusan yang mengikat dan final maka putusan tersebut haruslah didasari oleh nilai-nilai filosofi dan mempunyai nilai kepastian hukum yang mengikat, yang bertenggger pada nilai–nilai keadilan. Sehingga putusan Mahkamah Konstitusi selalu menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan serta bermuara pada keadilan dan kepastian hukum. Keadilan menjadi substansi utama yang idealnya menentukan putusan Mahkamah Konstitusi.
Mengacu pada pendapat Van Apeldoorn sebagaimana yang telah dikemukakan di atas yang menyatakan bahwa wujud hukum tidak hanya sebatas peraturan perundang-undangan yang berlaku mengikat namun juga menjelma dalam putusan-putusan hakim yang juga bersifat mengatur dan memaksa maka tepat pula jika dikatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat.
- KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI
- Perubahan UUD NRI 1945 telah menciptakan sebuah lembaga baru yang berfungsi untuk mengawal konstitusi, yaitu Mahkamah Konstitusi, selanjutnya disebut “MK”, sebagaimana tertuang dalam Pasal 7B, Pasal 24 Ayat (1) dan Ayat (2), serta Pasal 24C UUD NRI 1945, yang diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5266), selanjutnya disebut “UU MK”.
- Bahwa salah satu kewenangan yang dimiliki oleh MK adalah melakukan pengujian undang-undang terhadap konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 24C Ayat (1) UUD NRI 1945 yang berbunyi:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar…”
- Selanjutnya, Pasal 10 ayat (1) huruf a UU MK menyatakan:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
- menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ….”
Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5076), selanjutnya disebut “UU KK” menyatakan:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
- menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”
- Bahwa ketentuan Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyatakan “Dalam hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi”;
- Berdasarkan uraian angka 1 sampai 4 di atas, maka tidak ada keraguan sedikitpun bagi Pemohon menyimpulkan, bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang untuk mengadili permohonan pengujian undang-undang ini pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final.
- KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON:
- Bahwa Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi mengatakan bahwa pemohon pengujian undang-undang adalah “pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang” yang dalam huruf a menyebutkan “perorangan warga negara Indonesia”. Selanjutnya dalam Penjelasan atas Pasal 51 ayat (1) undang-undang a quo, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan hak konstitusional” adalah “hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”;
- Bahwa Yurisprudensi Tetap Mahkamah Konstitusi sebagaimana tertuang dalam Putusan No 006/PUU-III/2005 jo Putusan No 11/PUU-V/2007 dan putusan-putusan selanjutnya telah memberikan pengertian dan batasan komulatif tentang apa yang dimaksud dengan “kerugian konstitusional” dengan berlakunya suatu norma undang-undang, yaitu:
- Adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- Bahwa hak konstitusional tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji;
- Kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual, atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
- Adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk dijui; dan
- Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi;
- Apabila mendasarkan pada 5 (lima) parameter berdasarkan Putusan No 006/PUU-III/2005 jo Putusan No 11/PUU-V/2007, maka Pemohon memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan ini, dengan alasan :
- Sebagai warga Negara Pemohon memiliki hak konstitusional atas “pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil” dan hak konstitusional atas due process of law sebagaimana diberikan oleh Pasal 28 D ayat (1) dan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945
- Hak konstitusional Pemohon atas “pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil” dan hak konstitusional atas due process of law sebagaimana diberikan oleh Pasal 28 D ayat (1) dan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 tersebut telah dirugikan dengan berlakunya sejumlah pasal yang diuji melalui permohonan ini.
- Kerugian Konstitusional Pemohon tersebut secara spesifik (khusus) dan actual karena Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 29 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Dan Pasal 7 ayat (2) huruf “l” Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan telah diberlakukan dalam Praktek dilapangan.
- Dengan demikian terdapat hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak konstitusional pemohon dengan berlakunya pasal-pasal yang dimohonkan dalam perkara ini yang telah menyebabkan hak konstitusional Pemohon atas “pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil” dan hak konstitusional atas due process of law sebagaimana diberikan oleh Pasal 28 D ayat (1) dan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 telah dirugikan.
- Apabila permohonan ini dikabulkan, maka jelas pasal-pasal yang dimohonkan dalam perkara ini tidak dapat diterapkan lagi kepada pemohon, sehingga hak konstitusional pemohon tidak dirugikan lagi karena pasal-pasal tersebut dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi.
- Bahwa kelima syarat sebagaimana dimaksud diatas dijelaskan lagi oleh Mahkamah melalui Putusan Mahkamah No. 27/PUU-VII/2009 dalam pengujian formil Perubahan Kedua Undang-Undang Mahkamah Agung (hlm 59), yang menyatakan: “dari praktik Mahkamah (2003-2009), perorangan WNI, terutama pembayar pajak (tax payer); vide Putusan Nomor 003/PUU-I/2003) berbagai asosiasi dan NGO/LSM, yang concern terhadap suatu Undang-Undang demi kepentingan publik, badan hukum, Pemerintah Daerah, lembaga negara, dan lain-lain, oleh Mahkamah dianggap memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan pengujian, baik formil maupun materiil, Undang-Undang terhadap UUD 1945”.
- Bahwa Para Pemohon mempunyai hak konstitusional yang diberikan oleh UUD NRI 1945, sebagai berikut:
Hak untuk memajukan diri dalam melakukan usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan, memperjuangkan hak secara kolektif berdasar atas azas kekeluargaan, hak untuk mendapatkan perlakuan yang adil dan layak berdasarkan Pasal 28C Ayat (2) UUD NRI 1945 yang berbunyi:
Pasal 28C Ayat (2) UUD NRI 1945
Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.
- Bahwa Pemohon adalah warga negara Indonesia yang memiliki pekerjaan sebagai Advokat dan Penasehat hukum yang memiliki tugas memberi pendampingan hukum, membela, memberi bantuan hukum berupa nasehat dan atau konsultasi hukum, mendampingi, mewakili dan atau membela hak-hak serta kepentingan-kepentingan serta memastikan bahwa seorang klien mendapatkan hak-haknya dalam menjalankan proses hukum baik dalam persidangan maupun di luar persidangan.
- Bahwa Pasal 5 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat dan penjelasannya menyatakan bahwa Advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan. Kemudian dalam penjelasan Pasal 5 ayat (1): “Yang dimaksud dengan “Advokat berstatus sebagai penegak hukum” adalah Advokat sebagai salah satu perangkat dalam proses peradilan yang mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan.” Peranan advokat sebagai salah satu penegak hukum ini tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan penegak hukum lainnya seperti Hakim, Jaksa, dan Polisi. Keempat aparat penegak hukum tersebut sangat berperan dalam upaya penegakan hukum di Indonesia. Selain itu Advokat dianggap sebagai penegak hukum, advokat juga merupakan profesi hukum yang berkewajiban melindungi dan bertindak sebagai wakil kliennya
- Bahwa dalam menjalankan profesinya Advokat sebagai penegak hukum kadangkala terbentur dengan adanya aparat penegak hukum lainnya, pejabat publik dan warga Negara yang tidak patuh terhadap putusan Mahakamah Konstitusi yang telah berkekuatan hukum tetap dengan berbagai macam alasan. Ada yang menyatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat Positif Legislator tidak wajib untuk dipatuhi, selain itu berdasar pada makalah Yudi Kristiana (Jaksa) yang disampaikan dalam seminar “Implikasi Putusan MK No. 33 Tahun 2016 terkait Hak Mengajukan Peninjauan Kembali dalam perkara Pidana, di UI Tangal 10 Agustus 2016” Putusan Mahkamah Konstitusi yang mencerminkan 3 (tiga) hal : (1) Putusannya tidak membumi; (2) Hakim MK telah gagal memahami bekerjanya hukum di masyarakat; (3) MK gagal menjadi living inteperator, tidak akan diikuti oleh Jaksa Penuntut Umum.
- Bahwa salah satu contoh Konkrit tidak dipatuhinya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 adalah dapat dilihat dalam beberapa Jawaban Jaksa dalam permohonan Praperadilan baik Jaksa pada Kejaksaan Agung maupun Jaksa pada Komisi Pemberantasan Korupsi diantaranya dalam Permohonan Praperadilan oleh Komisaris Jenderal Polisi Drs. Budi Gunawan, SH., MSi, Hadi Poernomo, Prof. Dr. Otto Cornelis Kaligis, SH., MH. Dahlan Iskan dan banyak perkara Praperadilan lainnya yang menyatakan “Penetapan Tersangka Bukan Merupakan Obyek Praperadilan”, hal itu dikarenakan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 bersifat Positif Legislator, sehingga tidak untuk dipatuhi oleh Jaksa baik pada Kejaksaan Agung maupun pada Komisi Pemberantasan Korupsi.
- Bahwa hal demikian juga terjadi tidak hanya pada lembaga Kejaksaan dan KPK, akan tetapi juga terjadi pada lembaga Mahkamah Agung, dimana berdasar pada Surat Edaran MA (SEMA) No. 7 Tahun 2014 yang menyatakan Peninjauan Kembali (PK) hanya satu kali. SEMA ini sekaligus mengesampingkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 34/PUU-XI/2013, dimana berdasarkan putusan nomor 34/PUU-XI/2013 tersebut, MK telah membatalkan Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang membatasi pengajuan PK hanya sekali, MK telah membatalkan Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang dimohonkan mantan Ketua KPK Antasari Azhar yang menyatakan PK boleh diajukan berkali-kali sepanjang memenuhi syarat yang ditentukan Pasal 268 ayat (2) KUHAP.
- Bahwa tidak hanya Kejaksaan, KPK dan Mahkamah Agung yang telah melakukan pembangkangan (disobedience) atas putusan MK, berdasarkan catatan Pemohon terdapat beberapa Putusan MK yang tidak dipatuhi oleh Lembaga Negara, diantaranya adalah :
NO. | PUTUSAN MK NOMOR | LEMBAGA YANG MEMBANGKANG | MODUS |
1. | Putusan Nomor 7/PUU-XII/2014 telah mengabulkan tiga pasal, yakni Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8), dan Pasal 66 ayat (4) UU Nomor 13 Tahun 2003. Sejak diputus tanggal 4 November 2015, pemerintah dalam hal ini Kementerian Ketenagakerjaan belum melakukan pencabutan Keputusan Menteri tersebut. | Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi | Masih tetap memberlakukan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 100 Tahun 2004 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) diamanatkan Pasal 59 ayat (8) UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (yang telah dinyatakan tidak berkekuatan hukum tetap oleh MK) |
2. | Putusan Nomor 3/PUU-XIII/2015 menyatakan Penjelasan Pasal 47 ayat (2) huruf e bagian c UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan inkonstitusional. | Kementerian Perhubungan | masih berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2012 tentang Kendaraan dan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 133 Tahun 2015 tentang Pengujian Berkala Kendaraan Bermotor.
Berdasarkan putusan MK tersebut, kendaraan khusus yang merupakan alat produksi bukan bagian dari kendaraan bermotor yang terdapat dalam pengertian UU LLAJ. Aturan untuk melakukan pengujian berkala kendaraaan bermotor untuk kendaraan khusus yang berfungsi alat produksi ternyata masih berlaku secara teknis. Fakta tersebut membuktikan satu hal, bahwa belum ada tindak lanjut dari pemerintah, untuk mencabut, atau merevisi Permen atau PP tersebut sejak putusan dibacakan pada 31 Maret 2016. |
3. | Putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013 yang mencabut Pasal 263 ayat (3) UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP | Mahkamah Agung | Mahkamah Agung (MA). MA seakan menyimpangi putusan tersebut dengan menerbitkan SEMA Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pembatasan Peninjauan Kembali |
4. | Putusan MK Nomor 36/PUU-X/2012 tentang Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas | Kementerian ESDM | pembentukan SKK Migas yang secara substansi menjalankan fungsi yang sama dengan BP Migas yang mana kedudukan BP Migas telah dinyatakan inkonstitusional |
5. | Putusan MK Nomor No. 92-PUU-X-2012 | Presiden dan DPR | Atas putusan tersebut Presiden dan DPR merevisi UU MD3 menjadi UU No. 17 Tahun 2014 yang memungut kembalinorma yang telah inkonstitusional. |
6. | Putusan MK Nomor 006/PUU-II/2004 terkait dengan konstitusionalitas peran LBH Kampus | Pengadilan Negeri | Faktanya masih terdapat LBH Kampus dilarang berpraktik dengan alasan merujuk Pasal 31 UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat |
7. | Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 | Kejaksaan Agung dan KPK | Penetapan Tersangka Bukan Merupakan Obyek Praperadilan”, hal itu dikarenakan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 bersifat Positif Legislator, sehingga tidak untuk dipatuhi oleh Jaksa baik pada Kejaksaan Agung maupun pada Komisi Pemberantasan Korupsi |
Adapun apabila mendasarkan pada riset yang dialkukan oleh Setara Institute (tahun 2016) setidaknya terdapat 19 (Sembilan belas) putusan yang harus masih ditindaklanjuti atau belum dilaksanakan, diantaranya :
Putusan Mahkamah Konstitusi yang Harus Ditindaklanjuti
No. | Putusan | Undang-Undang | Norma | Bentuk Amar Kabul | Bentuk Kepatuhan | Institusi |
1. | 7/PUU-XII/2014 | UU 13/2003 tentang Ketenaga-kerjaan | Pasal 59 ayat (7), 65 ayat (8), 66 ayat (4) Perubahan PKWT menjadi PKWTT |
Inkonstitusional bersyarat | Perubahan Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Terkait Ketenaga-kerjaan | Pemerintah dan DPR (ketika melaku-kan revisi uu), Presiden, menteri terkait |
2. | 58/PUU-XII/2014 | UU 30/2009 tentang Ketenagalis-trikan | Hilangnya sanksi pidana dalam pelangga-raan pemasang-an instalasi listik non-SLO | Inkonstitusi-onal bersyarat | Pemben-tuk UU | |
3. | 76/PUU-XII/2014 | UU 17/2014 tentang MD3 | Izin tertulis dari MKD berubah menjadi izin tertulis dari Presiden untuk penyidikan anggota DPR | Inkonstitusional | Penyidik dalam melakukan penyidikan terhadap anggota DPR meminta izin Presiden | Penyidik (langsung menjalankan putusan) dan Pemben-tuk uu saat merevisi UU. |
4. | 79/PUU-XII/2014 | UU 17/2014 tentang MD3 | Kewenang-an DPD dalam membahas UU dan kemandi-rian anggaran | Inkonstitusi-onal bersyarat | Mengubah Tatib DPR | Perubahan skema kerja DPD Pemben-tuk UU dalam merevisi UU MD3 |
5. | 112/PUU-XII/2014 | UU 18/2003 tentang Advokad | Sumpah Advokat | Inkonstitusi-onal bersyarat | Revisi uu dan melakukan sumpah jabatan advokat tanpa mengaitkan dengan organisasi advokat | Pengadil-an Negeri dan Pemben-tuk UU dalam merevisi UU |
6. | 3/PUU-XIII/2015 | UU 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan | Kategori-sasi kendaraan bermotor | Inkonstitusi-onal | Kepolisian Kemen-terian Perhu-bungan dan Pemben-tuk UU saat merevisi UU | |
7. | 7/PUU-XIII/2015 | UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah | Penetapan jumlah kursi DPRD pada daerah baru dibentuk | Inkonstitusional bersyarat | KPU | |
8. | 8/PUU-XIII/2015 | UU 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara | Pasal 124 ayat (2): “dalam hal tidak tersedia lowongan jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 2 tahun pns yang bersangkutan diberhentikan secara hormat”. | Inkonstitusional bersyarat | Revisi uu | Seluruh instansi pemerintahan |
9. | 21/PUU-XIII/2015 | UU 20/2011 tentang Rumah Susun | Pelaku Pembangunan wajib memfasilitasi terbentuknya PPPSRS paling lambat 1 tahun tanpa dikaitkan dengan terjualnya sarusun | Konstitusional bersyarat | Revisi UU, membentuk PP. | Pembentuk UU dan Presiden (untuk pembentukan PP) |
10. | 31/PUU-XIII/2015 | KUHP | Penghinaan pada pejabat negara menjadi delik aduan | Inkonstitusional | Revisi UU | Pembentuk UU (revisi) dan Kepolisian |
11. | 36/PUU-XIII/2015 | UU 18/2003 tentang Advokad | Sumpah jabatan advokat | Inkonstitusional bersyarat | Revisi uu dan melakukan sumpah jabatan advokat tanpa mengaitkan dengan organisasi advokat | Pengadilan Negeri dan pembentuk UU dalam melakukan revisi |
12. | 43/PUU-XIII/2015 | UU Peradilan Umum, PTUN, PA | Seleksi hakim tanpa keterlibatan KY | Inkonstitusional | Revisi UU, Peraturan Teknis Seleksi Hakim (revisi) | Pembentuk UU, MA, KY |
13. | 60/PUU-XIII/2015 | UU Pilkada | Bilangan pembagi syarat calon independen menjadi eligible voters | Inkonstitusional bersyarat | Revisi UU dan PKPU | KPU dan Pembentuk UU |
14. | 68/PUU-XIII/2015 | UU 2/2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial | Anjuran dalam mediasi dalam bentuk risalah penyelesaian melalui mediasi | Inkonstitusional bersyarat | Revisi UU | Mediator, Konsiliator dan Pembentuk UU |
15. | 100/PUU-XIII/2015 | UU Pilkada | Calon tunggal | Inkonstitusional bersyarat | Revisi UU dan PKPU | KPU dan pembentuk UU |
16. | 105/PUU-XIII/2015 | UU Pilkada | Makna hari dalam menjadi hari kerja | Inkonstitusional bersyarat | Revisi uu | MK dan Pembentuk UU dalam revisi |
17. | 107/PUU-XII/2015 | UU 5/2010 tentang Perubahan Atas UU 22/2002 tentang Grasi | Hilangnya batas waktu pengajuan grasi | Inkonstitusional | Revisi uu | Kejaksaan dan Pembentuk UU dalam revisi |
18. | 6/PUU-XIV/2016 | UU 14/2002 tentang Pengadilan Pajak | Tidak ada periodisasi masa jabatan hakim pajak dan usia pension menjadi 67 tahun | Inkonstitusional bersyarat | Revisi UU | Pembentuk UU dalam revidi dan Kementerian Keuangan |
19. | 33/PUU-XIV/2016 | UU 8/1981 tentang Hukum Acara Pidana | Penegasan objek PK | Inkonstitusional bersyarat | Kejaksaan |
Sumber: Riset SETARA Institute (2016)
- Bahwa terhadap pembangkangan dan ketidakpatuhan terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana tersebut diatas telah menimbulkan kerugian konstitusional bagi para Pemohon yang ruang lingkup kerjanya adalah melakukan pembelaan baik dalam persidangan maupun diluar persidangan terhadap hak-hak yang menjadi klien dari Pemohon yang sebagian besar hak-hak tersebut secara konstitusional diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan terjewantahkan melalui Putusan Mahkamah Konstitusi, namun dikarenakan ketidakpatuhan dan pembangkangan terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana tersebut diatas, prinsip Rule of Law, Equality Before The Law, dan Penegakan Hak Asasi Manusia sebagaimana dilindungi oleh Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 tidak tercapai secara maksimal.
- Bahwa ketidakpatuhan terhadap putusan MK menjadi problem serius dikarenakan selain merugikan hak-hak warga Negara juga telah merugikan Pemohon sebagai Advokat dan Konsultan Hukum yang sering menegakkan hukum yang salah satunya melalui Judicial Review di Mahkamah Konstitusi, selain itu juga akan merusak tatanan penegakan hukum yang akan berdampak terhadap tertundanya keadilan yang diputus MK lewat putusannya.
- Bahwa apabila kondisi ini terus berlanjut, maka kerugian konstitusional yang sangat besar adalah tidak tegaknya prinsip Equality before the law (persamaan dihadapan hukum), yakni seseorang ataupun badan hukum publik/privat dapat dengan serta merta mengesampingkan Putusan Mahkamah Konstitusi, sehingga UUD 1945 yang secara tegas telah memberikan jaminan bahwa “segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya Pasal 27 ayat (1) menjadi kehilangan Ruh dan tujuannya, yang mana melalui Pasal 27 ayat (1) ini berkeinginan memberikan makna bahwa setiap warga negara tanpa harus melihat apakah dia penduduk asli atau bukan, berasal dari golongan terdidik atau rakyat jelata yang buta huruf, golongan menengah ke atas atau kaum yang bergumul dengan kemiskinan harus dilayani sama di depan hukum. Kedudukan berarti menempatkan warga negara mendapatkan perlakuan yang sama dihadapan hukum. Sehingga dengan kedudukan yang setara, maka warga negara dalam berhadapan dengan hukum tidak ada yang berada diatas hukum. ‘No man above the law’, artinya tidak keistimewaan yang diberikan oleh hukum pada subyek hukum, kalau ada subyek hukum yang memperoleh keistimewaan menempatkan subyek hukum tersebut berada diatas hukum.
- Kerugian Konstitusional lainnya apabila Putusan MK tidak dihormati maka MK telah kehilangan tujuannya yakni sebagai lembaga Negara yang bertugas mengawal (to guard) konstitusi. Sehingga tujuan agar Putusan MK dilaksanakan dan dihormati baik dalam penyelenggaraan kekuasaan negara maupun warga Negara, dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan cita-cita demokrasi dan kehendak rakyat dapat dinilai belum tercapai. Sehingga keberadaan mahkamah konstitusi yang sekaligus untuk menjaga terselenggaranya suatu pemerintahan negara yang stabil dan sebagai koreksi terhadap pengalaman kehidupan ketatanegaraan di masa lalu yang menimbulkan tafsir ganda terhadap konstitusi dapat dikatakan belum tercapai secara maksimal.
- Berdasarkan argument dan uraian singkat Pemohon diatas, maka jelas Pemohon memenuhi kapasitas dan syarat untuk mengajukan permohonan uji konstitusionalitas (consttitutional review/ judicial review) Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 29 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Dan Pasal 7 ayat (2) huruf “l” Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
- Alasan-alasan Permohonan :
- Negara Indonesia pada hakikatnya menganut prinsip “Rule of Law, and not of Man”, yang sejalan dengan pengertian nomocratie, yaitu kekuasaan yang dijalankan oleh hukum atau nomos. Dalam negara hukum yang demikian ini, harus diadakan jaminan bahwa hukum itu sendiri dibangun dan ditegakkan menurut prinsip-prinsip demokrasi. Hukum tidak boleh dibuat, ditetapkan, ditafsirkan dan ditegakkan dengan tangan besi berdasarkan kekuasaan belaka atau machtsstaat. Karena itu perlu ditegaskan pula bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat yang dilakukan menurut UUD atau constitutional democracy yang diimbangi dengan penegasan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum yang berkedaulatan rakyat atau demokratis (democratische rechtsstaat).
- Dengan demikian inti rule of law adalah jaminan adanya keadilan bagi masyarakat terutama keadilan sosial. Penjabaran prinsip-prinsip rule of law secara formal termuat didalam pasal-pasal UUD 1945, yaitu a. Negara Indonesia adalah negara hukum (pasal 1 ayat 3), b. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggaraakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan (pasal 24 ayat 1), c. Setiap warga Negara bersamaan kedudukanya didalam hukum dan pemerintahan, serta menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya (pasal 27 ayat 1), d. Dalam Bab X A Tentang Hak Asasi Manusia, memuat 10 pasal, antara lain bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama dihadapan hukum (pasal 28 D ayat 1), dan e. Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja (pasal 28 D ayat 2).
- Equality Before the Law adalah salah satu unsur dari The Rule of Law Principle menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Elemen-elemen “the rule of law principles” menurut PBB tersebut selengkapnya adalah: 1) supremacy of law; 2). equality before the law; accountability to the law; fairness in the application of the law; separation of power; legal certainty; avoidance of arbitrary; dan procedural of legal certainty. Persamaan dalam hukum (equality before the law) adalah salah satu penyangga berdiri tegaknya satu Negara hukum. Menurut Jimly Asshiddiqie, terdapat 12 prinsip pokok Negara Hukum (Rechstaat) yang menyangga berdiri tegaknya satu Negara hukum (The Rule of Law/Rechtstaat) dalam arti yang sebenarnya, yakni: 1) Supremasi hukum (supremacy of Law); 2) Persamaan dalam Hukum (equality before the Law); 3) Asas Legalitas (due process of law); 4) Pembatasan Kekuasaan; 5) Organ-Organ Eksekutif Independen; 6) Peradilan bebas dan tidak memihak; 7) Peradilan Tata Usaha Negara; 8) Peradilan Tata Negara (constitutional court); 9) Perlindungan Hak Asasi Manusia; 10) Bersifat Demokratis (democratisch rechtstaat); 11) Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara (welfare rechtsstaat); serta 12). Transparansi dan Kontrol sosial. Jimly Asshiddiqie, menegaskan terkait “Persamaan dalam Hukum (equality before the law), adanya persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan pemerintahan, yang diakui secara normatif dan dilaksanakan secara empirik. Dalam rangka prinsip persamaan ini, segala sikap dan tindakan diskriminatif dalam segala bentuk dan manifestasinya diakui sebagai sikap dan tindakan yang terlarang, kecuali tindakan-tindakan yang bersifat khusus dan sementara yang dinamakan affirmative actions guna mendorong dan mempercepat kelompok masyarakat tertentu untuk mengejar kemajuan sehingga mencapai tingkat perkembangan yang sama dan setara dengan kelompok masyarakat yang sudah jauh lebih maju. Secara yuridis Undang-Undang Dasar 1945 memberikan jaminan semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1) dan 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
- Ide pembentukan MK dilandasi upaya serius memberikan perlindungan terhadap hak-hak konstitusional warga negara dan semangat penegakan konstitusi sebagai “grundnorm” atau “highest norm”, yang artinya segala peraturan perundang-undangan yang berada dibawahnya tidak boleh bertentangan dengan apa yang sudah diatur dalam konstitusi. Konstitusi merupakan bentuk pelimpahan kedaulatan rakyat (the sovereignity of the people) kepada negara, melalui konstitusi rakyat membuat statement kerelaan pemberian sebagian hak-haknya kepada negara. Oleh karena itu, konstitusi harus dikawal dan dijaga. Sebab, semua bentuk penyimpangan, baik oleh pemegang kekuasaan maupun aturan hukum di bawah konstitusi terhadap konstitusi, merupakan wujud nyata pengingkaran terhadap kedaulatan rakyat.
- Bahwa pada dasarnya eksistensi advokat telah ada pada sekitar satu setengah abad yang lalu. Namun pengakuan terhadap Advokat tidak diatur dalam suatu peraturan seperti halnya Undang-undang namun hanya tertuang secara sporadis pada pasal-pasal peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan sejak masa pemerintah kolonial Belanda. Namun setelah diundangkannya UU No. 18 tahun 2003, Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2003 Nomor 49, tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4228 maka istilah advokat telah menjadi baku dan status advokat telah mendapat pengakuan sebagai penegak hukum sehingga dikenal catur wangsa (polisi, jaksa, hakim, dan advokat). Artinya, advokat telah diakui dan mempunyai kedudukan yang sama dengan penegak hukum lainnya, bahkan advokat merupakan satu-satunya penegak hukum yang bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum serta wilayah kerjanya meliputi seluruh wilayah negara RI yang dapat memperjuangkan demi tegaknya Keadilan dan Equality Before The Law sesuai dengan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
- Ketentuan Pasal 5 Ayat (1) UU Advokat memberikan status kepada Advokat sebagai penegak hukum yang mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan. Kedudukan tersebut memerlukan suatu organisasi yang merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 Ayat (1) UU Advokat, yaitu ”Organisasi Advokat merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat yang bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi Advokat”. Oleh karena itu, Organisasi Advokat, pada dasarnya adalah organ negara dalam arti luas yang bersifat mandiri (independent state organ) yang juga melaksanakan fungsi Negara yang menjalankan fusngsi sebagai: (a) advokat sebagai penyedia jasa hukum dan pemberi bantuan hukum, (b) advokat sebagai pengawas dan pengawal integritas peradilan, (c) advokat sebagai penyeimbang terhadap dominasi penegak hukum, (d) advokat sebagai pembela atas harkat dan martabat manusia. Dengan adanya empat urgensi kedudukan advokat sebagai penegak hukum, diharapkan mampu mempertegas dan memperkuat peran advokat sebagai salah satu komponen didalam sistem peradilan di Indonesia, sehingga Asas Kesamaan Dihadapan Hukum mampu dan dapat berjalan sesuai nilai-nilai Kepastian, Keadilan dan Kemanfaatan Hukum.
- Bahwa dengan diberlakukannya Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 29 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Dan Pasal 7 ayat (2) huruf “l” Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan akan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 24C ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28 G ayat (1) dan Pasal 28 I ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.
Ø MENGENAI PENGUJIAN PASAL 10 AYAT (1) UU MAHKAMAH KONSTITUSI dan PASAL 29 AYAT (1) UU KEKUASAAN KEHAKIMAN
- Bahwa sebagaimana bunyi Pasal 10 Ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi dan Pasal 29 Ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman adalah sebagai berikut :
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk :
- Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- Memutus pembubaran partai politik; dan
- Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
- Bahwa makna yang terkandung dalam Pasal 10 Ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi dan Pasal 29 Ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa “kewenangan Mahkamah Konstitusi mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final” adalah tidak cukup, mengingat apabila mecara harfiah, maka yang terkandung pada bunyi pasal diatas tidak memberikan kewajiban kepada pihak manapun (baik pemerintah, pejabat publik, perseorangan, badan hukum dan lain sebagainya) untuk melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi yang telah berkekuatan hukum tetap (inkrach).
- Bahwa sesuai dengan Prinsip dalam Hukum yakni Putusan Mahkamah Konstitusi harus dipandang sebagai Putusan yang berlaku asas Res Judicata (Putusan Hakim Mahkamah Konsitusi Harus dianggap benar), menurut Sudikno Mertokusumo dalam bukunya berjudul Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, bahwa Putusan Pengadilan berlaku asas res judicata pro veritate habetur, yang berarti apa yang diputus hakim harus dianggap benar dan harus dilaksanakan. Untuk itu perlu menjadi perhatian bersama bahwa upaya paksa dalam usaha melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi harus tercantum secara langsung melalui pasal-pasal yang berkaitan kekuatan mengikat Putusan Mahkamah Konstitusi.
- Bahwa selain itu dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi tidak cukup menyerahkan secara sukarela kepada kepada pihak manapun (baik pemerintah, pejabat publik, perseorangan, badan hukum dan lain sebagainya) untuk melaksanakan secara otomatis (Patuh dan Tunduk) terhadap Putusan Mahkamah Mahkamah Konstitusi yang telah berkekuatan Hukum Tetap (inkrach), hal ini sangat tidak sejalan dengan kenyataan yang ada dilapangan masih banyak Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat non ekskutiutable (tidak dapat dijalankan), sehingga apabila tetap menekankan pada Asas Self Respect dan kesadaran hukum dari kepada pihak manapun (baik pemerintah, pejabat publik, perseorangan, badan hukum dan lain sebagainya) terhadap isi putusan MK untuk melaksanakannya dengan sukarela tanpa adanya upaya mewajibkan untuk mematuhi oleh Mahkamah Konstitusi, maka akan banyak Putusan-Putusan yang akan disimpangi dan tidak dijalankan oleh Pihak manapun, sehingga fungsi dan kedudukan Mahkamah Konstitusi tidak berjalan optimal sebagaimana yang telah dicita-citakan.
- Bahwa putusan Mahkamah Konstitusi adalah Putusan Publik, yang berarti putusan Mahkamah Konstitusi tersebut berlaku juga bagi pihak-pihak yang berada diluar sengketa (erga omnes), selanjutnya putusan Mahkamah Konstitusi sebagai Constitutional Control dengan mengidentifikasi tindakan kepada pihak manapun (baik pemerintah, pejabat publik, perseorangan, badan hukum dan lain sebagainya), untuk melakukan upaya corrective, disiplinery, dan remedial (perbaikan) terhadap tindakan hukum yang tidak sesuai dengan Konsitusi. Bahwa kepada pihak manapun (baik pemerintah, pejabat publik, perseorangan, badan hukum dan lain sebagainya) yang tidak melaksanakan hukum/putusan Mahkamah Konsitusi, sama artinya dengan tidak mampu mempersonifikasikan hukum dalam jabatan dan kedudukannya (utamanya Pejabat Publik), dan sama pula artinya bahwa pejabat tersebut telah ingkar terhadap perintah jabatan yang disandangnya saat itu, sehingga sebagai konsekuensinya yang bersangkutan tidak layak menduduki jabatan publik itu, oleh karenanya segera diberhentikan dari jabatan publik yang sedang dipangkunya. Oleh karena itu setiap orang termasuk pejabat publik harus sadar, patuh dan taat pada Putusan Mahkamah Konstitusi, manakala ada pejabat yang secara terang-terangan membangkang (tidak melaksanakan) Putusan Mahkamah Konstitusi, maka sesungguhnya pejabat publik tersebut tidak layak lagi sebagai pengemban pejabat publik, dan sebagai konsekwensinya harus diberhentikan dari jabatan publik tersebut.
- Bahwa perintah untuk melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi mutlak diperlukan dalam usaha optimalisasi fungsi, tugas, kedudukan dan kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam upaya mendorong terciptanya Wibawa Mahkamah Konsitusi atas lembaga-lembaga lainnya yang selama ini acuh tak acuh dan cenderung menafikan atas Putusan Mahkamah Konstitusi, tujuannya adala dalam rangka menjaga kehormatan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang secara spesifik menjaga dan mengawal tegaknya Konstitusi di Indonesia.
- Bahwa dengan diberlakukannya Pasal 10 Ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi dan Pasal 29 Ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 24C ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28 G ayat (1) dan Pasal 28 I ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 dikarenakan Indonesia merupakan Negara Hukum, yang mana Putusan Mahkamah Konstitusi juga merupakan Hukum yang harus dan wajib dipatuhi oleh siapapun, bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 dikarenakan Mahkamah Konstitusi merupakan bagian dari kekuasaan Kehakiman yang bertujuan untuk menegakkan hukum dan keadilan yang salah satunya tercermin melalui Putusan-Putusannya, bertentangan dengan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dikarenakan makna “mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final” dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 tersebut juga mengandung asas res judicata pro veritate habetur, asas erga omnes dan Constitutional Control yang harus memberikan kepastian dan keadilan Hukum dalam setiap Putusannya, bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (1) , Pasal 28 G ayat (1) dan Pasal 28 I ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 dikarenakan setiap Warga Negara dilindungi oleh asas Equality Before The Law termasuk kewajiban dalam mematuhi Putusan MK.
- Frasa mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final pada Pasal 10 Ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi dan Pasal 29 Ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman harus dinyatakan konstitusional bersyarat, sepanjang tidak diartikan harus dilaksanakan oleh siapapun, hal itu dikarenakan Putusan Mahkamah Konstitusi sering digunakan sebagai alasan oleh Pihak Manapun untuk tidak mematuhi dan memenuhi terhadap Putusan Mahkamah Konsitusi.
Ø MENGENAI PENGUJIAN PASAL 47 UU MAHKAMAH KONSTITUSI
- Bahwa dengan memaknai Pasal 47 UU Mahkamah Konstitusi “Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum;”
- Bahwa terhadap makna pasal Pasal 47 UU Mahkamah Konstitusi sebagaimana tersebut diatas mengandung polemic, dimana sama dengan yang kami jelaskan sebelumnya dimana Putusan Mahkamah Konstitusi cenderung diabaikan oleh pihak manapun (baik pemerintah, pejabat publik, perseorangan, badan hukum dan lain sebagainya), hal ini dikarenakan dalam Pasal tersebut mengandung ambiguitas, utamanya terhadap kewajiban untuk melaksanakan Putusan Mahkamah Konsitusi dan pelaksanaan Ekskusi Putusan Mahkamah Konstitusi.
- Bahwa secara umum Putusan akhir menurut sifat amarnya (diktumnya) dapat dibedakan atas 3 (tiga) macam, yaitu putusan condemnatoir, putusan constitutief, dan putusan declaratoir. Putusan condemnatoir adalah putusan yang bersifat menghukum pihak yang kalah untuk memenuhi prestasi, putusan constitutief adalah putusan yang menciptakan suatu keadaan hukum yang baru dan putusan declaratoir adalah putusan yang menyatakan suatu keadaan sebagai suatu keadaan yang sah menurut hukum. Putusan Mahkamah Konstitusi ada yang menyatakan bersifat deklaratoir, yaitu menyatakan, karena sifatnya yang hanya menyatakan, maka otomatis putusan Mahkamah Konstitusi langsung berlaku dan tidak perlu dieksekusi. “Putusan itu final dan binding, sehingga untuk UU tidak perlu ada pencabutan lagi. Namun pada kenyataannya Putusan Mahkamah Konstitusi tidak berdaya atas kekuasaan Negara, kekuatan kelompok, kekuataan kekuasaan, hal ini mengingat tidak adanya perintah ekskusi atau pelaksanaan atas Putusan MK tersebut, untuk diperlukan penjelasan lebih mendalam terhadap makna kekuatan Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum, sebagaimana Pasal 47 UU Mahkamah Konstitusi.
- Bahwa dalam putusan MK, belum ada aturan apabila putusan MK terkait dengan wewenang lembaga negara, yang bersinggungan dengan lembaga negara lain, maka menjadi sulit dalam penegakannya, karena ego kelembagaan yang masih kuat karena tidak ingin eksistensi dan wewenangnya diabaikan dan diperankan oleh lembaga lain. Kondisi penegakan hukum seperti ini membuat ketidak pastian dalam proses penegakan hukum, dan menimbulkan masalah hukum baru yang membutuhkan jalan keluar dengan memberikan ruang kepada Mahkamah Konsitusi untuk memberikan jalan keluar agar MK memberikan kewajiban pihak manapun (baik pemerintah, pejabat publik, perseorangan, badan hukum dan lain sebagainya) untuk melaksanakan Putusan MK.
- Bahwa dengan diberlakukannya Pasal 47 UU Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 24C ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28 G ayat (1) dan Pasal 28 I ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 dikarenakan Indonesia merupakan Negara Hukum, yang mana Putusan Mahkamah Konstitusi juga merupakan Hukum yang harus dan wajib dipatuhi oleh siapapun, bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 dikarenakan Mahkamah Konstitusi merupakan bagian dari kekuasaan Kehakiman yang bertujuan untuk menegakkan hukum dan keadilan yang salah satunya tercermin melalui Putusan-Putusannya, bertentangan dengan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dikarenakan makna “mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final” dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 tersebut juga mengandung asas res judicata pro veritate habetur, asas erga omnes dan Constitutional Control yang harus memberikan kepastian dan keadilan Hukum dalam setiap Putusannya, bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (1) , Pasal 28 G ayat (1) dan Pasal 28 I ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 dikarenakan setiap Warga Negara dilindungi oleh asas Equality Before The Law termasuk kewajiban dalam mematuhi Putusan MK.
- Bahwa dengan demikian frasa Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada Pasal 47 UU Mahkamah Konstitusi harus dinyatakan konstitusional bersyarat, sepanjang tidak diartikan harus dilaksanakan oleh siapapun, hal itu dikarenakan Putusan Mahkamah Konstitusi sering digunakan sebagai alasan oleh Pihak Manapun untuk tidak mematuhi dan memenuhi terhadap Putusan Mahkamah Konsitusi.
Ø MENGENAI PENGUJIAN PASAL 7 AYAT (2) HURUF “L” UU ADMINISTRASI PEMERINTAHAN
- Bahwa dengan memaknai Pasal 7 Ayat (2) Huruf “L” UU Administrasi Pemerintahan “Pejabat Pemerintahan memiliki kewajiban : Mematuhi Putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.”
- Bahwa apabila melihat ketidakpatuhan terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi lebih banyak dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan, hal mana sebenarnya kewajiban untuk melaksanakan Putusan Pengadilan telah tercantum dalam Pasal 7 Ayat (2) Huruf “L” UU Administrasi Pemerintahan. Akan tetapi apabila mengacu pada Pasal 1 angka 18 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, maksud dari Pengadilan tersebut adalah Pengadilan Tata Usaha Negara. Untuk itu makna Pengadilan dalam Pasal 1 angka 18 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan telah membatasi hanya terbatas pada Pengadilan Tata Usaha Negara, dalam hal ini tidak termasuk Mahkamah Konsitusi.
- Apabila kita lihat dalam Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan oleh Sebuah Mahkamah Konstitusi, maka jelas seharusnya Pasal 7 Ayat (2) Huruf “L” UU Administrasi Pemerintahan tidak hanya membatasi dengan memberikan kewajiban kepada Pejabat Pemerintahan untuk mematuhi putusan (vonnis) hanya kepada Pengadilan Tata Usaha Negara dalam hal ini, akan tetapi juga memberikan kewajiban kepada Pejabat Pemerintahan untuk patuh dan tunduk kepada Putusan Mahkamah Konstitusi.
- Bahwa dengan diberlakukannya Pasal 7 Ayat (2) Huruf “L” UU Administrasi Pemerintahan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 24C ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28 G ayat (1) dan Pasal 28 I ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 dikarenakan Indonesia merupakan Negara Hukum, yang mana Putusan Mahkamah Konstitusi juga merupakan Hukum yang harus dan wajib dipatuhi oleh siapapun, bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 dikarenakan Mahkamah Konstitusi merupakan bagian dari kekuasaan Kehakiman yang bertujuan untuk menegakkan hukum dan keadilan yang salah satunya tercermin melalui Putusan-Putusannya, bertentangan dengan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dikarenakan makna “mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final” dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 tersebut juga mengandung asas res judicata pro veritate habetur, asas erga omnes dan Constitutional Control yang harus memberikan kepastian dan keadilan Hukum dalam setiap Putusannya, bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (1) , Pasal 28 G ayat (1) dan Pasal 28 I ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 dikarenakan setiap Warga Negara dilindungi oleh asas Equality Before The Law termasuk kewajiban dalam mematuhi Putusan MK.
- Bahwa dengan demikian frasa “Pejabat Pemerintahan memiliki kewajiban : Mematuhi Putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.” pada Pasal 7 Ayat (2) Huruf “L” UU Administrasi Pemerintahan harus dinyatakan konstitusional bersyarat, sepanjang tidak diartikan hanya diberikan kewajiban atas Putusan Tata Usaha Negara saja, akan tetapi juga bagi Putusan Mahkamah Konstitusi, hal itu dikarenakan Putusan Mahkamah Konstitusi sering digunakan sebagai alasan oleh Pihak Manapun untuk tidak mematuhi dan memenuhi terhadap Putusan Mahkamah Konsitusi.
- PETITUM
Bahwa selanjutnya berdasarkan alasan-alasan hukum di atas, maka mohon kiranya Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berkenan memutuskan :
- Menerima seluruh permohonan Pemohon;
- Menyatakan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan UUD RI 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final serta harus dilaksanakan untuk :…..”;
- Menyatakan Pasal 47 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan UUD RI 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap dan harus dilaksanakan sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum;”;
- Menyatakan Pasal 29 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman bertentangan dengan UUD RI 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final serta harus dilaksanakan untuk :…..”;
- Menyatakan Pasal 7 ayat (2) huruf “l” Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan bertentangan dengan UUD RI 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Pejabat Pemerintahan memiliki kewajiban : Mematuhi Putusan Mahkamah Konstitusi dan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.”;
- Memerintahkan untuk memuat putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
Atau mohon putusan yang seadil-adilnya (Ex Aquo et Bono);
Bahwa selanjutnya untuk menguatkan dalil-dalil permohonan, Pemohon telah mengajukan barang bukti berupa naskah UUD, UU, dan surat-surat lainnya sebagaimana terlampir ;
Demikian Permohonan Kami, atas perhatian dan perkenannya, diucapkan terima kasih.
Jakarta, 19 Oktober 2016
Hormat kami,
FORUM ADVOKAT MUDA INDONESIA
(FAMI)
- (can) SAIFUL ANAM, SH., MH.
Ketua
ZENURI MAKHRODJI, SH.
Sekretaris
(RUDY GUNAWAN, SH.) | (EDI WIRAHADI, SH.) | |||
(RAY WAHYU MURNI YULIANTI, SH.) | (SUHARTA, SH., MH.) | |||
(CAKRA HERU SANTOSA, SH., MH.) | (RUDI PURNAWAN, SH.) | |||
(MUSLIADI, SH.) | (SUTARJO, SH.) | |||
(RADEN ASMORO WENING, SH.) | (NURDIN DESRIWAN GUMAY, SH.) | |||
(DIKI ZULKARNAEN, SH.) | (GUNTHAR HAMING YUDHA, SH.) | |||
(BAMBANG HERI SUPRIYANTO, SH., MH.) | (FUAD ABDULLAH, SH., MSi.) | |||
(HENDRA PANJAITAN, SH.) | (MOH. DANIES KURNIARTHA, SH.) | |||
(BENNY HARIS NAINGGOLAN, SH.) | (BAKRI, SH.) | |||
(FAIJAL SIREGAR, SH.) | (Drs. HM. SANI ALAMSYAH, SH., MBL.) | |||
(JOKO PRIYATNO, SH.) | (RMRP. JOKO PURBOYO, SH.) | |||
(SYAKHRUDDIN, SH.) | (HFR. GHANTY SJAHABUDIN, SH.) | |||