PELUANG PENYELESAIAN SENGKETA PILKADA
Sebanyak 101 daerah yang terdiri dari 7 provinsi, 18 kota, dan 76 kabupaten telah menggelar pilkada serentak gelombang kedua pada hari ini Rabu tanggal 15 februari 2017. Pilkada serentak tahun ini merupakan kedua kalinya setelah gelombang pertama berhasil dilaksanakan pada tanggal 9 Desember 2015 oleh Komisi Pemilihan Umum.
Komisi Pemilihan Umum telah menjadwalkan akan mengumumkan rekapitulasi, penetapan dan pengumuman hasil perhitungan pilkada serentak tahun 2017 tingkat Kabupaten/Kota untuk pemilihan Bupati dan Wakil Bupati atau Walikota dan Wakil Walikota adalah pada tanggal 22 s/d 24 Februari 2017. Sedangkan rekapitulasi, penetapan dan pengumuman hasil perhitungan suara tingkat Provinsi untuk pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur adalah dilaksanakan pada tanggal 25 s/d 27 februari 2017.
Atas pelaksanaan pilkada serentak tersebut pasti terdapat pihak-pihak yang merasa tidak puas terhadap hasil yang ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum. Ketidak puasan tersebut tentu dilandasi oleh berbagai macam kecurangan seperti seperti politik uang, jual beli suara, intimidasi, pengerahan massa, manipulasi suara dan hasil suara, baik yang terjadi sebelum pemilihan, pada saat pemilihan ataupun setelah pemilihan berlangsung.
Terhadap pihak-pihak yang merasa tidak puas atas rekapitulasi, penetapan dan pengumuman hasil perhitungan suara baik pada tingkat Kabupaten/Kota maupun tingkat Provinsi, terdapat sarana yang dapat ditempuh yakni melalui Permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota kepada Mahkamah Konstitusi terhitung paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil pemilihan baik oleh KPU Provinsi maupun KPU Kabupaten/Kota.
Selain itu Mahkamah Konstitusi juga telah menyusun jadwal Pengajuan Permohonan Sengketa Pilkada untuk pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati atau Walikota dan Wakil Walikota adalah pada tanggal 22 s/d 28 februari 2017, sedangkan untuk pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur pada tanggal 27 februari 2017 s/d 1 maret 2017.
Tantangan
Selain syarat formil sebagaimana tersebut diatas, yakni pengajuan gugatan paling lama 3 x 24 jam sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil pemilihan oleh Komisi Pemilihan Umum setempat, juga mensyaratkan selisih perolehan suara antara pemohon dengan pasangan lainnya paling banyak sebesar 0.5 % sampai dengan 2 % sebagaimana diatur dalam Pasal 158 UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.
Pasal 158 UU Nomor 8 Tahun 2015 menjadi tantangan sendiri bagi Pemohon yang akan memilih jalur sengketa Pilkada di MK, mengingat dengan berdasar pada permohonan gugatan Perselisihan Hasil Pemilihan (PHP) Pilkada pada tahun 2015, Mahkamah Konstitusi hanya menerima 7 dari 147 permohonan sengketa Pilkada dengan pertimbangan konsisten menerapkan Pasal 158 UU Nomor 8 Tahun 2015 dalam memeriksa dan mengadili syarat formal pengajuan sengketa hasil pilkada ke MK.
Adapun alasan MK konsisten menggunakan Pasal 158 UU Nomor 8 Tahun 2015 sebagai dasar pijakan diantaranya, Pertama Pilkada berdasarkan UU Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota bukan merupakan rezim Pemilu, perbedaan tersebut bukan hanya dari segi istilah, melainkan juga meliputi perbedaan konsepsi yang menimbulkan perbedaan konsekuensi hukum. Ketika pilkada sebagai rezim Pemilu, Mahkamah memiliki keleluasaan melaksanakan kewenangan konstitusinya, yakni tunduk pada ketentuan UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Atas dasar itulah, putusan Mahkamah pada masa lalu dalam perkara perselisihan hasil Pilkada tidak hanya meliputi perselisihan hasil, melainkan mencakup pula pelanggaran dalam proses pemilihan untuk mencapai hasil yang dikenal dengan pelanggaran bersifat terstruktur, sistematis, dan massif.
Kedua, telah terdapat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51/PUU-XIII/2015 berkaitan dengan tafsir konstitusional atas Pasal 158 UU Nomor 8 Tahun 2015. Melalui putusan tersebut, MK menyatakan Konstitusional dan menolak permohonan uji materi terhadap Pasal 158 UU Nomor 8 Tahun 2015, dikarenakan merupakan kebijakan hukum terbuka oleh Pembentuk Undang-Undang (Open legal Policy), sehingga MK menganggap tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Ketiga, demi kepastian hukum MK harus tunduk pada ketentuan yang secara expressis verbis digariskan dalam UU Pilkada. Dengan melaksanakan Pasal 158 UU Pilkada dan aturan turunannya secara konsisten, maka Mahkamah turut ambil bagian dalam upaya mendorong agar lembaga-lembaga yang terlibat dalam proses pilkada berperan dan berfungsi secara optimal sesuai dengan proporsi kewenangan di masing-masing tingkatan.
Peluang
Apabila melihat perbedaan selisih hasil yang diperoleh pasangan calon dengan pasangan calon lainnya baik di media cetak dan media elektronik, maka menurut penulis banyak pilkada yang tidak akan berlanjut pada gugatan di Mahkamah Konstitusi mengingat prosentasi selisih suara yang sangat jauh diatas 2 %. Hal ini tentu akan mengakibatkan adanya penurunan jumlah gugatan sengketa hasil Pilkada di MK.
Namun yang pasti terhadap pasangan calon yang persentase selisih perolehan suaranya sesuai dengan sebagaimana Pasal 158 UU Nomor 8 Tahun 2015, maka bukan tidak mungkin berpeluang untuk memenangkan atau MK mengabulkan permohonan perselisihan hasil pilkada yang diajukan oleh pasangan calon, tentunya apabila didukung oleh argumentasi serta bukti-bukti yang memadai berkaitan dengan kedudukan hukum, obyek pemohonan dan pokok permohonan yang dimohonkan.
Disisi yang lain MK juga diharapkan tidak mengabaikan tuntutan keadilan substantif, yakni dengan tetap melakukan pemeriksaan secara menyeluruh terhadap perkara yang telah memenuhi persyaratan tenggang waktu, kedudukan hukum, obyek pemohonan, serta jumlah persentase selisih perolehan suara antara pemohon, termohon dan pihak terkait lainnya.
Dengan adanya sarana hukum yang baik dalam hal ini melalui permohonan perselisihan hasil Pilkada kepada Mahkamah Konstitusi, maka diharapkan pelaksanaan demokrasi di daerah menjadi semakin kondusif dan jauh dari segala bentuk kerusuhan, dan main hakim sendiri. Semoga…