CONTOH PENGUJIAN UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR 1945 (JUDICIAL REVIEW) DI MAHKAMAH KONSTITUSI

 

Jakarta,  23 April 2014

Nomor       :   05/Tim 11/HakimAd Hoc/IV/2014

Perihal        :   Perbaikan Permohonan Pengujian Pasal 122 huruf e Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014  tentang Aparatur Sipil Negara  Terhadap Undang-Undang Dasar 1945

Lampiran   : 1 (satu) berkas

 

Kepada Yth.

Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Di

Jakarta

Dengan Hormat,

Yang bertanda tangan dibawah ini, kami :

  1. Nama : DR. GAZALBA SALEH, SH., MH.

Tempat/tgl lahir      : Bone, 15 April 1968

Agama                     : Islam

Pekerjaan                : Hakim Ad Hoc Tipikor pada Pengadilan Negeri Surabaya

Kewarganegaraan : Indonesia

Alamat                     : Jl. Setra Dago I No. 12 Antapani, Bandung

Selanjutnya disebut sebagai ————————————————– Pemohon I

  1. Nama :  DR. LUFSIANA, SH., MH.

Tempat/tgl lahir      : Sekayu, 29 Nopember 1965

Agama                     : Islam

Pekerjaan                : Hakim Ad Hoc Tipikor pada Pengadilan Negeri Palembang

Kewarganegaraan : Indonesia

Alamat                     : Jl. Sugihwaras E 2 nomor 13 Candi Sidoarjo, Jawa Timur

Selanjutnya disebut sebagai ————————————————– Pemohon II

  1. Nama : SUMALI, SH., MH.

Tempat/tgl lahir      : Malang, 12 Desember 1962

Agama                     : Islam

Pekerjaan                : Hakim Ad Hoc Tipikor pada Pengadilan Negeri Denpasar

Kewarganegaraan : Indonesia

Alamat                     : Perum IKIP Tegalgondo Asri F/19, Malang, Jawa Timur

Selanjutnya disebut sebagai ————————————————-  Pemohon III

  1. Nama : SUGENG SANTOSO PN, SH., MH., M.M.  

Tempat/tgl lahir      : Yogyakarta, 09 Maret 1968

Agama                     : Islam

Pekerjaan                : Hakim Ad Hoc PHI pada PN. Surabaya

Kewarganegaraan : Indonesia

Alamat                     : Taman Pondok I FG IVA – 17, Pepelegi, Sidoarjo

Selanjutnya disebut sebagai ———————————————— Pemohon IV

  1. Nama : DR. IR. MOH. INDAH GINTING, MM

Tempat/tgl lahir      : Kaban Jahe, 15 Maret 1947

Agama                     : Islam

Pekerjaan                : Hakim Ad Hoc Perikanan pada PN. Jakarta Utara

Kewarganegaraan : Indonesia

Alamat                      : Ruko Cempaka Mas Blok L No. 39 RT.007/008 Jl. Cempaka

Mas Tengah Kel. Sumur Batu, Kec. Kemayoran, Jakarta

Pusat

Selanjutnya disebut sebagai ————————————————–  Pemohon V

  1. Nama : ELIAS HAMONANGAN  PURBA, SE, S.H.

Tempat/tgl lahir     : Jakarta, 10 Maret 1966

Agama                     : Kristen

Pekerjaan                : Hakim Ad Hoc PHI pada Pengadilan Negeri  Samarinda

Kewarganegaraan : Indonesia

Alamat                     : Jl.  Kapas 14 Nomor 35 Desa Mangga, Medan Tuntungan, Medan

Selanjutnya disebut sebagai ————————————————-  Pemohon VI

  1. Nama : SAHALA  ARITONANG, SH, AM.Pd

Tempat/tgl lahir      : S. Langge, 30 Agustus 1965

Agama                     : Kristen

Pekerjaan                : Hakim Ad Hoc PHI pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang

Kewarganegaraan : Indonesia

Alamat                      : Jl. Perkebunan III No. 9, RT.007/06 Kel. Pondok Bambu,    Kec.Duren Sawit, Jakarta Timur

Selanjutnya disebut sebagai ————————————————  Pemohon VII

  1. Nama : ABDUR RAZAK , SH, MH

Tempat/tgl lahir      : Masalembu, 27 April 1967

Agama                     : Islam

Pekerjaan                : Hakim Ad Hoc Tipikor pada Pengadilan Negeri Makassar

Kewarganegaraan : Indonesia

Alamat                     : Jl.  Tupai 9 Nomor 5 Makassar

Selanjutnya disebut sebagai ————————————————  Pemohon VIII

  1. Nama : ARMYN RUSTAM EFFENDY, SH, MH.

Tempat/tgl lahir      : Surabaya, 27 Januari 1958

Agama                     : Islam

Pekerjaan                : Hakim Ad Hoc Perikanan pada PN. Jakarta Utara

Kewarganegaraan : Indonesia

Alamat                     : Jl.  Komp. Bea Cukai Nomor 11 Pisangan Ciputat Timur,

Tangerang Selatan

Selanjutnya disebut sebagai ———————————————   Pemohon IX

  1. Nama : LUKMAN AMIN, SH.MH.

Tempat/tgl lahir      : Galesong, 12 Juli 1969

Agama                     : Islam

Pekerjaan                : Hakim Ad Hoc Perikanan pada Pengadilan Negeri Tual

Kewarganegaraan : Indonesia

Alamat                     : Komp. Tirta Nusantara Blok B.2 nomor 3 Karampuang, Panakkukang, Makassar

Selanjutnya disebut sebagai —————————————————  Pemohon X

  1. Nama : SUWITO,  SH. MH

Tempat/tgl lahir      : Wonogiri, 14 Januari 1971

Agama                     : Islam

Pekerjaan                : Hakim Ad Hoc Tipikor pada Pengadilan Negeri Jayapura

Kewarganegaraan : Indonesia

Alamat                     : Jl. Jaya Asri Blok AD No. 9 ENTROP Jayapura

Selanjutnya disebut sebagai ————————————————-   Pemohon XI

Bahwa dalam hal ini para pemohon dapat bertindak secara sendiri-sendiri  dan/atau secara bersama-sama,  yang selanjutnya memilih Alamat Jl. Raya Juanda No. 82-84 Sidoarjo 61253, Tlp. 031-70381809 Surabaya – Jawa Timur; HP. 0818764364  sebagai domisili hukum para Pemohon;

Bahwa  perkenankanlah Kami Para Pemohon  memohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk melakukan pengujian konstitusionalitas frasa kecuali hakim ad hoc  pada Pasal 122 huruf e  Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara, yang selengkapnya  berbunyi: “Pejabat negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 yaitu:    “Ketua, wakil ketua, ketua muda dan hakim agung pada Mahkamah Agung serta ketua, wakil ketua, dan hakim pada semua badan peradilan kecuali hakim ad hoc” terhadap UUD 1945;

Bahwa selanjutnya perkenankanlah kami  mengemukakan dalil-dalil diajukannya  permohonan uji konstitusionalitas (consttitutional review/ judicial review)  frasa kecuali hakim ad hoc yang tercantum dalam Pasal 122 huruf  e Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014  terhadap UUD 1945, yakni sebagai berikut:

  1. PENDAHULUAN

Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 telah membawa perubahan yang sangat mendasar dalam sistem ketatanegraan Republik Indonesia. Banyak aspek perubahan yang telah dirasakan dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara, salah satu aspek yang berubah yakni terhadap kelembagaan negara. Negara Indonesia dalam menjalankan reformasi tidak cukup dengan hanya mengandalkan lembaga-lembaga yang berdiri di pilar konstitusi karena pada hakikatnya kurang mampu mengakomodasi berbagai kompleksitas yang dihadapi oleh masyarakat. Merupakan hal yang tak terhindarkan bahwa dengan kebutuhan reformasi ini, Indonesia membutuhkan organ penunjang atau state auxiliary body, sehingga dengan kehadiran state auxiliary body mampu menjawab kompleksitas publik dan untuk menunjang berfungsinya sistem hukum didalam sektor kenegaraan dan penyelenggaraan negara berdasarkan prinsip negara hukum.

Ketika kebutuhan akan kehidupan bermasyarakat semakin meningkat dan kompleks, maka tidak dapat dipungkiri juga bahwa kebutuhan akan penegakan hukum juga akan semakin tinggi. Model pemisahan kekuasaan Negara konvesional hanya mengansumsikan adanya tiga cabang kekuasaan. Kekuasaan eksekutif, legislatif, yudikatif. Dalam sistem ketatanegaraan ternyata sudah tidak mampu lagi menjawab kompleksitas Negara modern. Karena itu diperlukan Independent Regulatory Agencis atau Lembaga Negara yang bersifat Ad Hoc yang merupakan state auxiliary organ untuk melengkapi institusi ketatanegaraan modern. Maka berdasarkan realitas inilah ada 3 landasan argumentasi tentang dasar lahirnya/pemikiran lembaga Negara ad hoc Indonesia yaitu: (Wahyudi Djafar, Makalah – Komisi Negara Antara Latah dan Keharusan Transisional” dimuat dalam ASASI ELSAM, Edisi September-Oktober 2009.)

  1. Secara Sosiologis

Secara sosiolaogis dasar lahirnya suatu lembaga Negara ad hoc telah menunjukan kinerja yang cukup bagus dalam upaya penegakan hukum. Ekspektasi masyarakat masih sangat besar untuk peningkatan kipral lembaga Negara Ad hoc. Hal ini menunjukan bahwah kehadiran lembaga Negara Ad hoc mampu menjawab kebutuhan reformasi dan tuntutan zaman serata mengoptimalkan fungsi Negara dalam memberikan pelayanan publik.

  1. Secara Konseptual Teoritik

Lembaga Negara Ad hoc merujuk pada dua konsep/teori :

  1. Delegation Doktrin (teori doktrin pendelegasian wewenang)
  2. The new separation of power (Teori pemisahan kekuasaan baru)
  1. Secara Yuridis Konstitusional

Lembaga Negara Ad hoc merujuk pada ketentuan Pasal 24 ayat(3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan demikian keberadaan lembaga Negara Ad Hoc memiliki landasan yang kokoh sehingga pada akhirnya mampu menjawab kompleksitas Negara modern yaitu dalam perlindungan dan penegakan hukum.

Oleh karena itu negara Indonesia dalam menjalankan reformasi tidak cukup dengan hanya mengandalkan lembaga-lembaga yang berdiri dipilar konstitusi karena pada hakikatnya, tidak mampu mengakomodasi berbagai kompleksitas yang dihadapi oleh masyarakat. Merupakan hal yang tak terhindarkan bahwa dengan kebutuhan reformasi ini, Indonesia membutuhkan organ penunjang atau state auxiliary body, sehingga dengan kehadiran state auxiliary body mampu menjawab kompleksitas publik dan untuk menunjang berfungsinya sistem hukum didalam sektor kenegaraan dan penyelenggaraan negara berdasarkan prinsip negara hukum. Selain itu keberadaan lembaga-lembaga hukum ad hoc tersebut ternyata mendapat tempat di hati masyarakat sehingga diakui atau tidak semakin memperburuk citra lembaga-lembaga konvensional yang lebih dulu lahir. Dalam beberapa hal, sepak terjang lembaga-lembaga ad hoc tersebut bersentuhan dengan tugas dan kewenangan lembaga-lembaga konvensional sehingga melahirkan persepsi yang baik pada masyarakat.

Selain itu urgensi lembaga yang bersifat Ad Hoc menurut (Sri Sumantri MLembaga Negara dan State Auxiliary Bodies dalam Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD NRI 1945” dalam Departemen Hukum Tata Negara Universitas Airlangga, Dinamika Perkembangan Hukum Tata Negara dan Hukum Lingkungan, Airlangga University Press, Surabaya, hlm. 204.), secara nasional state auxiliary bodies mempunyai kedudukan dan peranan penting dalam mewujudkan tujuan nasional. Hal ini juga diakui oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 005/PUU-IV/2000 tentang judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, bahwa diatur atau tidaknya suatu lembaga negara dalam undang-undang dasar, tidak dapat ditafsirkan sebagai satu-satunya faktor yang menentukan derajat konstitusional lembaga negara yang bersangkutan. Dengan demikian kondisi yang demikian menurut Sri Sumantri M, bahwa untuk mengetahui perkembangan auxiliary body perlu diketahui terlebih dahulu tujuan didirikanya suatu negara. Setelah itu baru ditetapkan berbagai lembaga dalam undang-undang dasarnya. Selanjutnya Sri Sumantri M. mengatakan, bahwa dalam negara yang menganut sistem pemerintahan presidensial seperti Indonesia, presidenlah yang pertama mengetahui, lembaga macam apa yang diperlukan untuk menangani masalah-masalah tertentu dalam mewujudkan tujuan nasional (negara). Seperti digambarkan oleh Sri Sumantri M, sebagai berikut :

 

Berdasarkan bagan diatas dapat diketahui, bahwa kedudukan dan peranan lembaga negara utama dan lembaga-lembaga negara yang melayani adalah permanent institutions, sedangkan lembaga-lembaga yang melayani (state auxiliary bodies) dapat tumbuh, berkembang, dan mungkin dihapus. Hal ini tergantung dari situasi dan kondisi Negara itu. Yang perlu diperhatikan adalah agar pemerintah dalam hal ini Presiden dalam membentuk state auxiliary body harus memerhatikan lembaga yang sudah ada. Untuk itu secara umum alat perlengkapan negara yang berupa state auxiliaries bodies ini muncul karena:

  1. Adanya tugas-tugas kenegaraan yang semakin kompleks yang memerlukan independensi yang cukup untuk operasionalisasinya.
  2. Adanya upaya empowerment terhadap tugas lembaga negara yang sudah ada melalui cara membentuk lembaga baru yang lebih spesifik.

Selain itu pembentukan lembaga Ad Hoc ini dilandasi oleh lima hal penting, diantaranya : (T.M. Luthfi Yazid, “ Komisi-komisi Nasional dalam Konteks Cita-cita Negara Hukum”, Makalah disampaikan dalam Diskusi Terbatas dengan tema: „ Eksistensi Sistem Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD NRI 1945, diselenggarakan oleh Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, di Hotel Aryaduta, Jakarta, 9 September 2004, hlm.2 )

  1. Pertama, tidak adanya kredibilitas lembaga yang telah ada sebelumnya akibat adanya asumsi (dan bukti) mengenal korupsi yang sistemik, mengakar, dan sulit untuk diberantas.
  2. Kedua, tidak independenya lembaga-lembaga negara yang karena alas an tertentu tunduk di bawah pengaruh suatu kekuasaan tertentu.
  3. Ketiga, ketidakmampuan lembaga-lembaga negara yang telah ada untuk melakukan dalam masa transisi menuju demokrasi baik karena persolan internal maupun eksternal.
  4. Keempat, adanya pengaruh global yang menunjukan adanya kecenderungan beberapa negara untuk membentuk lembaga-lembaga negara ekstra yang disebut lembaga negara mandiri (state auxiliary agency) atau lembaga pengawas (institutionsl watchdog) yang dianggap sebagai suatu kebutuhan dan keharusan karena lembaga-lembaga yang telah ada telah menjadi bagian dari sistem yang harus diperbaiki.
  5. Kelima, adanya tekanan dari lembaga-lembaga internasional untuk membentuk lembaga-lembaga tersebut sebagai prasyarat bagi era baru menuju demokratisasi.
  1. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI
  2. Perubahan UUD NRI 1945 telah menciptakan sebuah lembaga baru yang berfungsi untuk mengawal konstitusi, yaitu Mahkamah Konstitusi, selanjutnya disebut “MK”, sebagaimana tertuang dalam Pasal 7B, Pasal 24 Ayat (1) dan Ayat (2), serta Pasal 24C UUD NRI 1945, yang diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5266), selanjutnya disebut “UU MK”.
  1. Bahwa salah satu kewenangan yang dimiliki oleh MK adalah melakukan pengujian undang-undang terhadap konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 24C Ayat (1) UUD NRI 1945 yang berbunyi:

Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar…

  1. Selanjutnya, Pasal 10 ayat (1) huruf a UU MK menyatakan:

“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:

  1. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ….

Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5076), selanjutnya disebut “UU KK” menyatakan:

“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:

  1. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”
  1. Bahwa ketentuan Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyatakan “Dalam hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi”;
  2. Berdasarkan uraian angka 1 sampai 4  di atas, maka tidak ada keraguan sedikitpun bagi Pemohon  menyimpulkan, bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang untuk mengadili permohonan pengujian undang-undang ini pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final.
  1. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PARA PEMOHON:
  1. Bahwa Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi mengatakan bahwa  pemohon pengujian undang-undang adalah “pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang” yang dalam huruf a menyebutkan “perorangan warga negara Indonesia”. Selanjutnya dalam Penjelasan atas Pasal 51 ayat (1) undang-undang a quo, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan hak konstitusional” adalah “hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”;
  2. Bahwa Yurisprudensi Tetap Mahkamah Konstitusi sebagaimana tertuang dalam Putusan No 006/PUU-III/2005 jo Putusan No 11/PUU-V/2007 dan putusan-putusan selanjutnya telah memberikan pengertian dan batasan komulatif tentang apa yang dimaksud dengan “kerugian konstitusional” dengan berlakunya suatu norma undang-undang, yaitu: (1) Adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (2) Bahwa hak konstitusional tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji; (3) Kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual, atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; (4) Adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk dijui; dan (5) Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi;
  3. Bahwa sebagai perorangan warganegara Republik Indonesia, Pemohon mempunyai hak-hak konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945, baik yang bersifat tidak langsung seperti hak untuk tidak diperlakukan sewenang-wenang sebagai konsekuensi dari pernyataan bahwa Negara Republik Indonesia adalah sebuah “negara hukum” sebagaimana  normanya diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, maupun hak-hak konstitisional yang bersifat langsung yang normanya dirumuskan dalam Bab XA yang diberi judul “HAK ASASI MANUSIA”,  dan secara spesifik dirumuskan dalam Pasal 28D ayat (1) yang bunyinya “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum” dan Pasal 28G ayat (1), “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”;
  1. Bahwa para Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia yang berprofesi sebagai Hakim Ad Hoc  masing-masing pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)  Surabaya,  Palembang, Denpasar, Makassar dan Jaya Pura (Pemohon I, II, III, VIII, XI); dan  pada Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Surabaya, Samarinda, dan Tanjung Karang (Pemohon IV, VI, VII); serta pada Pengadilan Perikanan Jakarta Utara dan Tual  (Pemohon V, IX,  X)   yang mempunyai kepentingan hukum dalam permohonan ini karena para Pemohon menganggap hak dan kewenangan konstitusional Pemohon dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara, khususnya yang     berkaitan dengan frasa  “kecuali hakim ad hoc  ” yang diatur dalam Bab.  X Pasal 122 huruf e Undang-undang aquo. Dengan berlakunya Pasal tersebut secara potensial maupun senyatanya telah menimbulkan kerugian pada para Pemohon      sebagai Hakim Ad Hoc  selaku pelaksana kekuasaan kehakiman pada peradilan khusus di bawah Mahkamah Agung;
  2. Bahwa dengan berlakunya Pasal 122 huruf e Undang-undang Aparatur Sipil Negara tersebut menimbulkan kerugian pada para Pemohon sebagai Hakim ad hoc, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor: 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, yang menyebutkan “Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan Peradilan Umum, kemudian Pasal 9 ayat (2) Undang-undang tersebut menetapkan Ketua dan Wakil ketua Pengeadilan Negeri karena jabatannya menjadi Ketua dan Wakil ketua Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Dengan demikian pengadilan tindak pidana korupsi merupakan satu kesatuan sistem peradilan umum  yang berada di bawah Mahkamah Agung Republik Indonesia.
  1. Bahwa ketentuan yang diuraikan pada huruf b di atas sangat berkaitan dengan Undang-undang Nomor 46 Tahun 2009:

– Pasal 1 angka 1 menyatakan “Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan “Hakim adalah Hakim Karier dan Hakim ad hoc.

– Pasal 1 angka 3 disebutkan “Hakim ad hoc seseorang yang diangkat berdasarkan persyaratan yang ditentukan dalam undang-undang ini sebagai hakim tindak pidana korupsi;

– Pasal 5 dinyatakan “Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan satu-satunya pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi;

  1. Bahwa ketentuan yang diuraikan dalam Pasal 122 huruf e Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tersebut yang mengecualikan hakim Ad Hoc bukan sebagai pejabat negara, sesungguhnya secara obyektif empiris telah memasung hak-hak konstitusional Pemohon sebagai warga negara untuk memperoleh kepastian hukum dan terbebas dari rasa cemas, bimbang dan ketakutan di dalam menjalankan kewajibannya dan pemenuhan haknya sebagai pejabat negara di bidang kekuasaan kehakiman pada pengadilan khusus di bawah  Mahkamah Agung;
  2. Bahwa Pemohon menganggap dengan berlakunya Pasal 122  huruf e Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara yang megecualikan Hakim Ad Hoc bukan merupakan Pejabat Negara, maka sangat merugikan seluruh hakim Ad Hoc yang ada di Indonesia. Mengingat hal yang demikian bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”;
  3. Bahwa secara faktual atau senyatanya kerugian yang telah dialami para Pemohon selaku Hakim Ad Hoc yang tidak diakui sebagai pejabat negara selama ini adalah dikenakannya Pajak atas Penghasilan (Pph 21) terhadap tunjangan tetap pada setiap bulannya, dan besaran prosentase pengenaan pajak tersebut berbeda-beda antara satu pengadilan dengan pengadilan lainnya. Kondisi agak mengherankan kenapa  suatu  Kantor Perbendaharaan Negara yang di bawah Kementrian  yang sama (Kemenkeu) bisa berbeda-beda penerapan pajaknya  terhadap subyek pajak yang sama, padahal Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan (NKRI) . Bahkan mulai awal Bulan Maret 2014  muncul surat Dirjen Peberbendaharaan RI yang ditujukan kepada Sekretaris MA untuk segera mengenakan pajak Pph 21 terhadap tunjangan tetap Hakim Ad Hoc  sebesar 15 %. Inilah ironi sebuah negara hukum yang dikelola secara asal-asalan, Kami Pemohon yang berstatus Hakim Ad Hoc Tipikor jadi merenung, sejatinya Kami ingin memiskinkan para koruptar, namun yang terjadi  justru yang duluan miskin adalah Hakim Tipikor;
  4. Bahwa pembayaran Pajak atas Penghasilan (Pph 21) terhadap tunjangan tetap pada setiap bulannya kepada seluruh Hakim Ad Hoc sangat merugikan Hakim Ad Hoc seluruh Indonesia, mengingat hal tersebut merupakan bagian dari konsekwensi lahirnya Pasal 122 huruf e Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara yang mengecualikan Hakim Ad Hoc bukanlah sebagai pejabat Negara, sehingga pembayaran Pajak atas Penghasilan (Pph 21) tidak ditanggung oleh Negara. Dengan demikian seluruh Hakim Ad Hoc harus menyediakan anggaran untuk kebutuhan pembayaran Pajak atas Penghasilan (Pph 21) tersebut, dengan menyisihkan dari sebagian tunjangan tetap yang diterima oleh Para Penggugat.
  5. Bahwa apabila melihat dan membandingkan dengan hakim karir pada umumnya, maka terdapat perbedaan yang sangat signifikan, baik terhadap mekanisme dan pemenuhan pembayaran Pajak atas Penghasilan (Pph 21) terhadap hakim karir, pembayaran Pajak atas Penghasilan (Pph 21) merupakan tanggung jawab dan dipenuhi oleh Negara, hal itu merupakan konskwensi dari kedudukan hakim karir pada umumnya yakni sebagai Pejabat Negara. Padahal baik secara Filosofis, Yuridis dan Filosofis tidak terdapat perbedaan yang nyata dari segi wewenang dan tanggung jawab antara hakim Ad Hoc dengan hakim karir pada umumnya, sehingga selayaknyalah tidak dibedakan antara kedudukan hakim karir dengan hakim Ad Hoc pada semua tingkatan badan peradilan di Indonesia.
  6. Bahwa selain itu dengan tidak diakuinya Hakim Ad Hoc sebagai pejabat Negara sebagaimana tertuang dalam Pasal 122 huruf e Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, maka telah merendahkan kewibawaan dan kehormatan Hakim Ad Hoc sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman yang merdeka dan memiliki wibawa dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman yang sama-sama berada dalam ruang lingkup lembaga Mahkamah Agung Republik Indonesia. Tentu dalam hal ini akan menimbulkan kecemburuan antara hakim Ad Hoc terhadap hakim karir, mengingat apabila dilihat dari segi wewenang dan tanggung jawab tidak terdapat perbedaan yang signifikan, akan tetapi dari segi hak yang harus diperoleh oleh hakim Ad Hoc tidak didapat sebagaimana hakim karir pada umumnya.
  7. Bahwa kerugian lainnya yang dialami Pemohon yang statusnya tidak diakui sebagai pejabat negara, adalah  hingga saat ini sejumlah hak-hak normatif berupa tunjangan transportasi, fasilitas keamanan , fasilitas tunjangan kesehatan belum sempat terealisasi. Apabila melihat tunjangan dan fasilitas yang diberikan Negara kepada pejabat Negara, maka hak-hak normatif berupa tunjangan transportasi, fasilitas keamanan , fasilitas tunjangan kesehatan merupakan bagian dari hak yang harus diberikan kepada seluruh pejabat publik yang kedudukannya sebagai pejabat Negara. Akan tetapi berbeda dengan hakim Ad Hoc, atas dasar Pasal  122  huruf e Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara tersebut, hak-hak yang seharusnya menjadi bagian dari hakim Ad Hoc tidak secara merta diberikan oleh Negara seperti halnya hakim karir pada umumnya.
  8. Bahwa konsekwensi yuridis lain terhadap berlakunya Pasal 122 huruf e Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara tersebut, maka terhadap para penggugat, juga telah menghilangkan hak-hak para pemohon berupa tunjangan perumahan yang layak serta tunjangan remunerasi yang harusnya diberikan sejak diangkatnya para pemohon sebagai hakim Ad Hoc pada seluruh tingkatan badan peradilan di Indonesia. Akan tetapi hingga kini mengingat Pasal  122  huruf e Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara tersebut, maka harapan dan keinginan seluruh hakim Ad Hoc untuk mendapatkan hak-hak para pemohon berupa tunjangan perumahan yang layak serta tunjangan remunerasi menjadi jauh dari harapan.
  9. Bahwa dengan adanya Pasal 122 huruf e Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara tersebut, yang mengecualikan Hakim Ad Hoc bukan merupakan pejabat Negara, serta membeda-bedakan kedudukan hakim Ad Hoc dengan hakim karir pada umumnya, maka secara tidak langsung juga mengurangi semangat para hakim Ad Hoc diseluruh Indonesia dalam upaya menjalankan beban tugas dan tanggung jawab sebagai hakim, serta upaya penegakan hukum yang sedang gencar-gencarnya dilakukan oleh bangsa Indonesia.
  10. Bahwa kerugian lain dan sangat vital adalah tidak jelasnya kedudukan hakim Ad Hoc dalam Pemerintahan. Mengingat apabila posisi Hakim Ad Hoc bukanlah sebagai Pejabat Negara sebagaimana Pasal 122 huruf e Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara tersebut, maka dimana sebenarnya posisi hakim Ad Hoc dalam Pemerintahan ? Ketidakjelasan posisi dan kedudukan hakim Ad Hoc dalam pemerintahan ini mengakibatkan kewibawaan serta produk-produk yang dihasilkan menjadi kehilangan marwahnya. Mengingat posisi terhormat Hakim Ad Hoc sebagai bagian dari pejabat Negara dicabut berdasarkan Pasal  122  huruf e Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
  11. Bahwa apabila dibandingkan dengan lembaga yang bersifat Ad Hoc lainnya, yakni sebagai contoh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), maka sebenarnya tidaklah jauh berbeda dengan kedudukan Hakim Ad Hoc, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam hal ini jelas posisinya juga bersifat Ad Hoc, akan tetapi kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) jelas merupakan pejabat Negara. Padahal apabila dicermati lahirnya lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak jauh berbeda semangat yang melatarbekangi lahirnya hakim Ad Hoc di seluruh Indonesia. Untuk itu tidak ada alasan bahwa hakim Ad Hoc kedudukannya dikecualikan dan bukan merupakan Pejabat Negara.
  12. Bahwa berdasarkan uraian di atas, kedudukan hukum dan kepentingan hukum atau legal standing Pemohon I sampai dengan XI di dalam permohonan uji materiil Pasal 122 huruf e Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara  terhadap UUD 1945 adalah sudah sesuai dengan ketentuan Pasal 51 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 juncto Pasal 3 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005;
  1. Alasan-alasan Permohonan Pengujian terhadap Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara Pasal 122 huruf e :   
  2. Bahwa doktrin pemisahan kekuasaan (separation of powers), kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan bagian dari upaya untuk menjamin kebebasan dan mencegah kesewenang-wenangan. Dengan kata lain, kekuasaan kehakiman yang merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah, sebagai upaya untuk menjamin dan melindungi kebebasan rakyat dari kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari pemerintah. Dengan demikian, kehadiran kekuasaan kehakiman yang merdeka tidak lagi ditentukan oleh stelsel pemisahan kekuasaan (separation of power) atau stelsel pembagian kekuasaan (distributionof power), tetapi sebagai suatu ‘conditio sine quanon’ bagi terwujudnya Negara hukum, terjaminnya kebebasan serta pengendalian atas jalannya pemerintahan Negara. Apabila kekuasaan kehakiman digabungkan dengan kekuasaan legislatif, maka kehidupan dan kebebasan seseorang akan berada dalam suatu kendali yang dilakukan secara sewenang-wenang. Di lain pihak, kalau kekuasaan kehakiman bersatu dengan kekuasaan eksekutif, maka hakim mungkin akan selalu bertindak semena-mena dan menindas. Dengan demikian, ditinjau dari ajaran pemisahan kekuasaan (separation of power), kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan bagian dari upaya untuk menjamin kebebasan dan mencegah kesewenang-wenangan.
  3. Bahwa untuk menjamin kekuasaan kehakiman yang merdeka dan berwibawa serta dapat menyelenggarakan kekuasaan kehakiman yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka wibawa dan kedudukan hakim perlu ditempatkan pada suatu tempat yang layak, salah satunya adalah dengan menempatkan hakim pada semua tingkatan badan peradilan baik yang berasal dari hakim karir maupun hakim non karir sebagai Pejabat Negara. Sehingga kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial dapat bersifat mutlak, terlepas dari campur tangan lembaga lainnya baik ekskutif maupun legislatif. Hal itu seperti pendapat Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, SH. yang mengatakan ‘‘Kekuasaan kehakiman yang merdeka berarti kekuasaan kehakiman yang bebasa dari campur tangan pihak kekuasaan Negara atau kekuasaan ekstra yudisial lainnya.(2008:135)
  4. Bahwa pengertian pejabat menurut kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu pegawai pemerintah yang memegang jabatan penting (unsur) pimpinan. Menurut C.F. Strong bahwa Arti pemerintah dalam arti luas sebgai organisasi Negara yang utuh dengan  segala alat kelengkapan Negara yang memiliki fungsi legislative, eksekutif dan yudikatif. Arti pemerintah dalam arti sempit hanya mengacu pada fungsi eksekutif saja. Mengacu pada pengertian itu, maka pengertian pejabat Negara mengacu pada arti yang luas. Lalu bagaimana seorang pejabat dikatakan pejabat Negara atau bukan ?. Menurut Bagir Manan bahwa untuk menjawab itu maka perlu melihat fungsi lembaga Negara yaitu 1. Lembaga Negara yang menjalankan fungsi Negara secara langsung atau bertindak atas nama Negara seperti DPR, Presiden, Lembaga Kehakiman.  (disebut alat kelengkapan Negara).  2.  Lembaga Negara yang menjalankan fungsi  administrasi Negara bertindak untuk dan atas nama Negara menjalankan tugas tidak bersifat ketatanegaraan. 3. Lembaga Negara penunjang.  Berdasarkan hal tersebut, maka pejabat Negara adalah pejabat yang lingkungan kerjanya berada pada lembaga Negara yang merupakan alat kelengkapan Negara beserta derivate pendukungnya seperti DPR, Presiden, Hakim.  Pejabat tersebut menjalankan fungsinya bertindak dan untuk atas nama Negara.

Selanjutnya Bagir manan menyebutkan bahwa : jabatan dalam Negara dibedakan atas   a). dibedakan atas Jabatan alat kelengkapan Negara (jabatan organ dan jabatan lembaga Negara) serta jabatan penyelenggara administrasi Negara, b). dibedakan atas jabatan politik dan non politik (pemilihan), c).jabatan yang bertanggungjawab langsung dan diawasi public dan tidak langsung diawasi public, d) jabatan pelayanan public secara langsung atau tidak.

  1. Bahwa Hakim ad hoc pejabat negara filosofinya adalah bahwa dalam doktrin, kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan untuk mengadili yang meliputi wewenang memeriksa, memutus dan membuat ketetapan yudisial (Bagir Manan: 2009).  Kekuasaan kehakiman dilaksanakan  oleh badan peradilan/badan yidisial yang merupakan alat kelengkapan negara karena bertindak dan memutus untuk dan atas nama negara.
  2. Bahwa berdasarkan konstitusi UUD 1945 bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh MA dan badan peradilan di bawah MA serta MK sesuai  bunyi pasal 24 ayat (2).  Seperti diketahui bahwa MA dan badan peradilan dibawahnya serta MK adalah  badan yudisial sebagai alat kelengkapan negara sehingga menjalankan fungsi ketatanegaraan dalam artian bertindak untuk dan atas nama Negara.
  3. Bahwa oleh karena menjalankan fungsi ketatanegaraan bertindak untuk dan atas nama negara dan hakim adalah pejabat yang diberi wewenang oleh UU untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara, maka konsekwensinya adalah hakim pada semua jenis dan tingkatan  pada badan yudisial berkedudukan sebagai pejabat negara sebagaimana ditegaskan oleh UU Kekuasaan Kehakiman seperti dimuat pada pasal 19 dan pasal 31.
  4. Bahwa apakah hakim ad hoc termasuk hakim sebagaimana maksud UU Kekuasaan kehakiman ?. Berdasarkan  Pasal 5 angka 1 UU Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa hakim adalah hakim pada MA dan hakim yang berada pada badan peradilan di bawah MA yaitu lingkungan peradilan umum, agama, militer, TUN dan pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut (hakim ad hoc  merupakan hakim pada pengadilan khusus pada MA dan badan peradilan bawah MA).  Berdasarkan ketentuan UU kekuasaan kehakiman tersebut, maka hakim ad hoc adalah pejabat negara.
  5. Bahwa Norma yang terkandung dalam Pasal 122 huruf e Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara, yang redaksinya  berbunyi: “Pejabat negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 yaitu:

Ketua, wakil ketua, ketua muda dan hakim agung pada Mahkamah Agung serta ketua, wakil ketua, dan hakim pada semua badan peradilan kecuali hakim ad hoc;”

Dengan demikian membuka peluang terhadap ketidak jelasan kedudukan Hakim Ad Hoc dalam struktur badan peradilan di Indonesia, serta apabila dikaji lebih lanjut Pasal 122 huruf e  Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara bertentangan dengan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi :

“Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”

Berdasarkan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 tersebut, kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya, serta Mahkamah Konstitusi (vide Pasal 24 ayat (2)). Dalam hal ini, Mahkamah Agung termasuk juga badan peradilan di bawahnya serta Mahkamah Konstitusi adalah badan yudisial yang merupakan alat kelengkapan negara, sehingga menjalankan fungsi ketatanegaraan (bertindak untuk dan atas nama negara). Konsekuensinya, hakim pada seluruh jenis dan tingkatan badan yudisial, berkedudukan sebagai “pejabat negara”.

  1. Bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 9Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (“UU Kekuasaan Kehakiman”), Hakim Ad Hoc adalah:

“hakim yang bersifat sementara yang memiliki keahlian dan pengalaman di bidang tertentu untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang pengangkatannya diatur dalam undang-undang.”

            Berdasarkan makna yang terkandung dalam Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman tersebut diatas, maka perbedaan antara hakim Ad Hoc dengan hakim karir pada umumnya adalah hanya berkaitan dengan sifatnya yang dibatasi oleh masa periode tertentu serta memiliki keahlian dan pengalaman dibidang tertentu, sehingga kemudian dianggap memenuhi kriteria untuk diangkat menjadi Hakim Ad Hoc pada lingkungan badan peradilan di Indonesia. Selain itu Hakim Ad Hoc sendiri diangkat pada pengadilan khusus, yang merupakan pengadilan dalam salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, baik dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Misalnya Hakim Ad Hoc pada Pengadilan HAM, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Perikanan, Pengadilan Hubungan Industrial, atau Pengadilan Niaga.

  1. Bahwa menurut doktrin atau pendapat ahli hukum, Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan untuk mengadili, yang meliputi wewenang memeriksa, memutus, membuat ketetapan yustisial (Bagir Manan: 2009). Selain itu Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, SH, memberikan definisi tentang Kekuasaan Kehakiman dan peradilan adalah kekuasaan untuk memeriksa dan mengadili serta memberikan putusan atas perkara-perkara yang diserahkan kepadanya untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan perundang-undangan” (Moh.Mahfud MD : 1999). Dengan demikian Kekuasaan kehakiman dilaksanakan badan peradilan/badan yudisial (judiciary) yang merupakan alat kelengkapan negara karena bertindak dan memutus untuk dan atas nama negara. Lebih lanjut Prof. Sudikno Mertokusumo, SH. juga menguraikan maksud mengenai ketentuan kebebasan dalam melaksanakan kewenagan yudisial tidak mutlak sifatnya ‘‘Karena tugas daripada hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila dengan jalan menafsirkan hukum dan mencari dasar hukum serta asas-asas yang jadi landasannya, melalui perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya, sehingga keputusannya mencerminkan perasaan keadilan bangsa dan rakyat indonesia’’ (Mertokusumo.2002:20).

Selanjutnya mengenai pengertian kekuasaan Negara yang merdeka, dimaksudkan bahwa kekuasaan kehakiman terpisah dari kekuasaan pemerintahan dan Kekuasaan Perundang-undangan serta merdeka dari pengaruh kedua kekuasaan lembaga-lembaga Negara lainnya, sehingga kedudukannya sudah semestinya adalah sebagai pejabat Negara.

  1. Dalam hukum positif, kedudukan hakim sebagai “pejabat negara” ditegaskan dalam UUKekuasaan Kehakiman sebagai berikut:

Hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut” (Pasal 1 angka 5).

Hakim dan hakim konstitusi adalah pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang” (Pasal 19).

Berdasarkan penjelasan mengenai makna Hakim sebagaimana UU Kekuasaan Kehakiman tersebut diatas, maka jelas kedudukan Hakim Ad Hoc merupakan hakim pada Mahkamah Agung (pada pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung). Untuk itu tidak terdapat perbedaan baik Hakim Karir maupun Hakim Ad Hoc adalah berkedudukan sebagai “pejabat negara”. Seperti yang telah diuraikan pada poin sebelumnya, bahwa Perbedaan Hakim Ad Hoc dengan hakim umumnya, terutama dalam hal masa tugasnya yang sementara/dibatasi untuk waktu tertentu, di samping harus memiliki keahlian dan pengalaman tertentu di bidangnya.

  1. Bahwa Pengadilan khusus yang menjadi tempat pelaksanaan tugas Hakim Ad Hoc sendiri tidak selalu bersifat Ad Hoc (sementara). Sebagian besar adalah pengadilan khusus yang bersifat tetap. Pengadilan khusus yang bersifat Ad Hoc, yaitu Pengadilan Ad Hoc HAM yang dibentuk untuk menyelesaikan perkara pelanggaran HAM berat, sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Dengan kata lain, Pengadilan Ad Hoc HAM dibentuk untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu dalam kerangkatransitional justice(keadilan transisional).

Dengan demikian Pengadilan khusus lainnya bersifat permanen, termasuk Pengadilan HAM untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat setelah Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 berlaku. Artinya, apabila terjadi dugaan pelanggaran HAM berat, penyelesaiannya dilakukan oleh Pengadilan HAM yang berada pada lingkungan peradilan umum di bawah Mahkamah Agung. Selain Pengadilan HAM, pengadilan khusus lainnya yang bersifat permanen, misalnya Pengadilan Niaga, Pengadilan Perikanan, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

  1. Bahwa Hakim pada pengadilan-pengadilan khusus tersebut, tidak selalu Hakim Ad Hoc, namun juga hakim pada umumnya sesuai lingkungan peradilannya. Dalam suatu perkara yang diadili dalam pengadilan khusus, majelis hakim yang bertugas terdiri dari hakim pada umumnya (hakim pada Mahkamah Agung) dan Hakim Ad Hoc. Dalam Pengadilan HAM, baik Ad Hoc maupun permanen, misalnya, majelis hakim berjumlah 5 (lima) orang, terdiri atas 2 (dua) orang hakim pada Pengadilan HAM yang bersangkutan dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc (Pasal 27 ayat (2) UU No. 26 Tahun 2000). Demikian pula, misalnya dalam majelis hakim dalam Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, berjumlah ganjil sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakim dan sebanyakbanyaknya 5 (lima) orang hakim, terdiri dari Hakim Karier dan Hakim ad hoc (videPasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi).

Dengan demikian, kedudukan Hakim Ad Hoc pada umumnya bertugas pada pengadilan khusus yang bersifat permanen. Sama halnya dengan pengadilan pada berbagai lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung lainnya, pengadilan khusus menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman, untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara–perkara khusus sesuai peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, Hakim Ad Hoc, sama halnya dengan hakim pada umumnya menjalankan fungsi ketatanegaraan (kekuasan kehakiman), sehingga sangat tepat dikategorikan sebagai pejabat negara.

  1. Kedudukan hakim ad hoc yang menjalankan fungsi ketatanegaraan pada badan yudisial sebagai alat kelengkapan Negara bertindak untuk dan atas nama negara sehingga merupakan pejabat negara
  2. Muatan materi UU ASN adalah muatan yang mengatur profesi PNS dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) dalam artian hanya mengatur pegawai pemerintah dilingkungan eksekutif di pusat dan daerah, sedangkan pejabat Negara mempunyai kedudukan yang lebih luas dibanding pegawai lingkungan pemerintah karena mencakup lingkungan kekuasaan  lain seperti yudiktif dan legislative
  3. Muatan materi UU ASN Bab 10 yang mencakup pasal 121 sampai 125 adalah pengaturan mengenai pegawai ASN yang menjadi pejabat Negara yaitu jika menjadi pejabat Negara yang diangkat maka harus melepas jabatan ASN dan status PNS non aktif sedangkan jika menjadi pejabat Negara yang dipilih lewat Pemilu maka harus mengundurkan diri sebagai PNS.
  4. Bahwa Pasal 122 huruf e UU No. 5 Tahun 2014 bertentangan dengan UUD Dasar Negara RI 1945 khususnya pasal 21 yang mengatur kekuasaan kehakiman.
  5. Bahwa Pengaturan dalam Pasal 122 huruf eUndang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN), yang mengecualikan Hakim Ad Hoc sebagai pejabat negara,menurut hemat Pemohon adalah tidak tepat. Selain tidak tepat, karena kedudukan Hakim Ad Hoc yang menjalankan salah satu fungsi ketatanegaraan sehingga merupakan pejabat negara, pengaturan mengenai pejabat negara dalam UU ASN tidak sesuai dengan materi muatan (materi yang seharusnya) yang diatur undang-undang tersebut. Dalam UU ASN, diatur pengertian sebagai berikut:

“Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disingkat ASN adalah profesi bagi pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi pemerintah” (Pasal 1 angka 1).

“Pegawai Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disebut Pegawai ASN adalah pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian dan diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintahan atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan (Pasal 1 angka 2)

Berdasarkan kedua pengertian di atas, UU ASN semestinya hanya mengatur tentang tata kelola Aparatur Sipil Negara (ASN), yang dalam konteks kategori kepegawaian, hanya mengatur mengenai PNS dan “pegawai pemerintah” (pegawai di bawah lingkungan kekuasaan eksekutif, baik pusat maupun daerah).

  1. Bahwa selanjutnya pengertian penyelenggara Negara berdasarkan pasal 1 angka 1 UU No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN adalah pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislative atau yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perUU yang berlaku
  2. Pada pasal 2 dijelaskan siapa saja yang termasuk penyelenggara Negara yaitu :
  3. Pejabat Negara pada lembaga tertinggi Negara
  4. Pejabat Negara pada lembaga tinggi Negara
  5. Menteri
  6. Gubernur
  7. Hakim
  8. Pejabat Negara lain sesuai ketentuan peraturan dan perUU yang berlaku
  9. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan Negara sesuai dengan ketentuan perUU
  10. Bahwa pengertian pejabat Negara pada UU yang pernah berlaku di Indonesia yaitu UU No. 43 tahun 1999 atasUU No. 8 Tahun 1974 tentang pokok-pokok kepegawaian yaitu pada pasal 1 angka4, selanjutnya pasal 11 ayat 1.
  11. Bahwa makna dan istilah “pejabat negara” lebih luas dibandingkan pegawai di lingkungan pemerintahan, karena mencakup pejabat pada lingkungan kekuasaan lainnya, seperti legislatif, yudisial dan kekuasaan derivative lainnya yang dijalankan oleh lembaga-lembaga negara pendukung (auxiliary state bodies/ agencies). Pengaturan tentang “pejabat negara” dalam UU ASN hanya dapat dilakukan dalam hal, pengaturan Pegawai ASN yang menjadi “pejabat negara” (vide judul BAB X UU ASN). Namun demikian, Pasal 122 merupakan ketentuan yang berlebihan, karena mengatur materi di luar ASN. Pengaturan mengenai “pejabat negara”, termasuk Hakim Ad Hoc, seharusnya tunduk pada UUD 1945 dan undang-undang yang mengatur kekuasaan lembaga negara, dalam hal ini, untuk Hakim Ad Hoc, mengacu pada Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
  12. Bahwa Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH dalam bukunya “Perihal Undang-Undang” hal. 373 memberikan memberikan batasan pengertian serta perbedaan tentang makna Pejabat Negara dan Pegawai Negeri. Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa: “para pejabat negara merupakan “political appointee” sedangkan pejabat negeri merupakan “administrative appointee”. Artinya para pejabat negara itu diangkat atau dipilih karena pertimbangan yang bersifat politik, sedangkan para pejabat negeri dipilih murni karena alasan administratif. Semua pejabat yang diangkat karena pertimbangan politik (political appointment) haruslah bersumber dan dalam rangka pelaksanaan prinsip kedaulatan rakyat. Karena rakyatlah yang pada pokoknya memegang kedaulatan atau kekuasaan tertinggi dalam bidang politik kenegaraan. Pejabat yang diangkat atas pertimbangan yang demikian itulah yang biasa disebut sebagai pejabat negara yang dipilih atau “elected official”. Namun Prof. Jimly mengecualikan terhadap Hakim, Hakim menurut Prof. Jimly kedudukannya adalah sebagai Pejabat Negara, hal itu berkaitan dengan beban tugas dan tanggung jawabnya sebagai lembaga yang independen, yang harus lepas dari segala bentuk intervensi dari lembaga manapun, sehingga posisi dan kedudukannya adalah sebagai Pejabat Negara.
  13. Selain itu Pasal 122 huruf e tersebut, juga berbenturan dengan Pasal 11 ayat (1) huruf d Undang-Undang No. 43 tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 tahun 1974 tentang pokok-pokok kepegawaian, yang menyatakan :

“(1) Pejabat Negara Terdiri dari atas :

  1. Ketua, Wakil Ketua, dan Ketua Muda, dan Hakim Agung pada Mahkamah Agung, serta ketua, Wakil Ketua, dan Hakim pada semua Badan Peradilan;

Berdasarkan Pasal 11 ayat (1) huruf d Undang-Undang No. 43 tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 tahun 1974 tentang pokok-pokok kepegawaian terdapat disharmonisasi hukum dengan Pasal 122 huruf e UU ASN.

  1. Selain itu Jimly Asshiddiqie mengemukakan, corak dan struktur organisasi Negara dewasa ini mengalami dinamika perkembangan yang sangat pesat. Hal itu dapat dibuktikan pasca reformasi tahun 1998, banyak sekali lembaga-lembaga dan organ negara dibentuk. Sesuai dengan asas negara hukum, setiap penggunaan wewenang harus mempunyai dasar legalitasnya. Sama halnya dengan lembaga-lembaga negara dimana dalam menggunakan wewenanganya harus mempunyai dasar atau pijakan yang jelas apalagi dasar pembentukanya. Dasar pembentukan lembaga negara jika dilihat dari dasar pembentukanya dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori, yaitu: Lembaga negara yang dibentuk dan mendapat kewenangan dari UUD NRI 1945 dan lembaga negara yang mendapat kewenagan dari selain UUD NRI 1945. (Jimly Asshiddiqie : 2006)

Untuk memahami pengertian organ atau lembaga secara lebih dalam, kita dapat mendekatinya dari pandangan Hans Kelsen mengenai the concept of the state-organ dalam bukunya General Theory of Law and State. Hans Kelsen menguraikan bahwa – Whoever fulfills a fanction determined by the legal order is an organ” (Hans Kelsen , General Theory of Law and State, (New York: Russell& Russell, 1961),hal 192). Siapa saja yang menjalankan suatu fungsi yang ditentukan oleh suatu tata-hukum (legal order) adalah suatu organ. Artinya organ-organ itu tidak selalu berbentuk organik. Disamping organ yang berbentuk organik, lebih luas lagi, setiap jabatan yang ditentukan oleh hukum dapat pula disebut organ, asalkan fungsi-fungsinya itu bersifat menciptakan norma (normcreating) dan/atau bersifat menjalankan norma (norm applying). “These functions , be they of a norm-creating or of a norm-applying character , are all ultimately aimed at the dexecution of a legal sanction.” Menurut Kelsen, parlemen yang menetapkan undang-undang dan warga negara yang memilih para wakilnya melalui pemilihan umum sama-sama merupakan organ negara dalam arti yang luas. Demikian pula hakim yang mengadili dan menghukum penjahat dan terpidana yang menjalankan hukuman tersebut dilembaga pemasyarakatan, adalah juga merupakan organ negara. Pendek kata, dalam pengertian yang luas, organ negara itu identik dengan organ individu yang menjalankan fungsi atau jabatan publik atau jabatan umum (public officials). Dikatakan oleh Hans Kelsen, ”An organ , in this sense, is an individual fulfilling a specific function”. Kualitas individu itu sebagai organ negara ditentukan oleh fungsinya. Individu tersebut dapat disebut sebagai organ negara, karena ia menjalankan fungsi yang menciptakan hukum (law–creating function) atau fungsi yang menerapkan hokum (law applying function).

Disamping pengertian yang luas itu, Hans Kelsen juga menguraikan adanya pengertian organ negara dalam arti yang sempit, yaitu pengertian organ dalam arti meteril. Individu dikatakan organ negara hanya apabila ia secara pribadi memiliki kedudukan hukum yang tertentu (…be personally has a specific legal position). Lembaga negara terkadang disebut dengan istilah lembaga pemerintahan non-departemen, atau lembaga negara saja. Dalam setiap pembicaraan mengenai organisasi negara, ada duaunsur pokok yang saling berkaitan, yaitu organ dan functie, organ adalah bentuk atau wadahnya, sedangkanfunctie adalah isinya; organadalah status bentuknya (Inggris;form,Jerman:Vorm), sedangkan functie adalah gerakan wadah itu sesuai maksud pembentukanya. Dalam naskah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, organ-organ yang dimaksud ada yang disebut secara eksplisit namanya, dan ada pula yang disebutkan secara eksplisit fungsinya. Ada pula lembaga atau organ yang disebut bahwa baik namanya maupun fungsinya atau kewenangannya akan diatur dengan peraturan yang lebih rendah.

Dengan demikian semakin jelas bahwa Hakim Ad Hoc merupakan bagian dari organ Negara hukum yang melaksanakan sebuah kekuasaan kehakiman dibawah lembaga Mahkamah Agung yang membawahi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara.

  1. Bahwa dengan adanya Pasal 122 huruf e tersebut, terutama bunyi frasa kecuali hakim Ad Hoc, maka Pasal 122 huruf e tersebut telah menimbulkan KETIDAK PASTIAN HUKUM, mengingat Pasal 19 UU Kekuasaan Kehakiman Juncto  Pasal 122 huruf e UU Pokok-Pokok Kepegawaian menyatakan bahwa Hakim dalam hal ini termasuk Hakim Ad Hoc merupakan Pejabat Negara. Dengan demikian membuktikan bahwa Pembentuk Undang-Undang ASN kurang cermat dalam upaya pembentukan dan harmonisasi peraturan perundang-undangan yang sedang digalakkan baik oleh Eksekutif maupun Legislatif.
  2. Bahwa Pemohon memahami dan memaknai materi Pasal 122 huruf e tersebut, terutama bunyi frasa kecuali hakim Ad Hoc , dengan pengertian yaitu bahwa hakim Ad Hoc pada semua tingkat peradilan di lingkungan dan di bawah Mahkamah Agung bukanlah pejabat negara, sedangkan Hakim yang bukan Ad Hoc adalah pejabat negara;
  3. Bahwa pemohon tidak mengetahui secara persis apakah pijakan hukum (legal reasoning / ratio decidendi) dikecualikannya Hakim Ad Hoc sebagai pejabat negara oleh Pasal 122 huruf e UU aquo. Pasalnya berdasarkan penelusuran terhadap teks rancangan undang-undang tersebut (RUU ASN) kalimat atau frasa kecuali hakim Ad Hoc tersebut tidak pernah ada. Apakah ini sebuah keteledoran ataukah suatu kesengajaan, tentunya jawabannya akan  diperoleh  melalui uji materi  (constitutional  review / judicila review)  di  Mahkamah Konstitusi. Yang jelas Pemohon menilai UU ASN ini adalah  produk UU yang  dikatagorikan  buruk ataupun  imperfecta dan juga improper,  dengan argumen bahwa materi muatan yang diatur oleh UU ASN tersebut adalah berkenaan dengan aparatur sipil negara (PNS) dalam domain eksekutif, sedangkan Hakim Ad Hoc  yang masuk        dalam domain yudikatif sudah diatur oleh UU Kekuasaan            Kehakiman beserta derivasi regulasi organiknya. Sehingga dengan demikian tidak seharusnya  UU No. 5 Tahun  I aquo ini mengatur jabatan hakim apalagi menegasikannya sebagai pejabat Negara;
  4. Bahwa inisiator RUU Aparatur Sipil Negara dan legislator UU No. 5 Tahun 2014 tersebut tidak menyadari betapa eksesifnya pencantuman frasa  Kecuali  Hakim Ad Hoc tersebut. mengingat legitimasi dan legalitas kewenanganHakim Ad Hoc  dalam memeriksa dan memutus suatu perkara secara essensial berkaitan dengan statusnya sebagai pejabat negara atau bukan. Bisa dibayangkan apa jadinya andaikata Hakim Ad Hoc bukan sebagai Pejabat Negara, maka tak pelak  seluruh proses pemeriksaan dan produk putusan pengadilan khusus yang majelis hakimnya beranggotakan Hakim Ad hoc menjadi illegal  dan  batal demi hukum, sebagai konsekuensi dari tidak dimilikanya legitimasi dan legalitas kewenangan  untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara. Hal demikian ini jelas berpotensi menciptakan situasi anomali hukum atau law disorder bahkan menjurus pada situasi chaos;
  5. Bahwa lebih jauh dilekatkannya frasa kecuali hakim Ad Hoc pada Pasal 122 huruf e UU aquo, juga tidak menegaskan status Hakim Ad Hoc itu sendiri. Jika bukan pejabat negara  lantas  statusnya sebagai apa? Apakah Hakim out sourcing, atau Hakim KW atau Hakim Abal-abal? . Yang paling runyam , jika Pasal 122 huruf e tersebut dipatuhi, maka konsekuensinya adalah Hakim Ad Hoc boleh menerima gratifikasi dari para pihak yang berperkara tanpa harus lapor KPK, sebab penerimaan gratifikasi terlarang bagi pegawai negeri dan pejabat negara atau penyelenggara negara. Sementara itu  rekrutmen dan pengisian jabatan  Hakim Ad Hoc  sebagaian besar bukan berasal dari PNS ;
  6. Bahwa secara kelembagaan eksistensi Hakim Ad Hoc merupakan conditio sine quanon  terhadap kebutuhan hukum dan konsekuensi dibentuknya  pengadilan  khusus  di luar empat institusi peradilan di  lingkungan/ di bawah  Mahkamah Agung (Peradilan Umum; Peradilan Agama; Peradilan TUN; dan Peradilan  Militer),. Di samping itu secara tegas amanat Konstitusi RI Pasal 24 A ayat (5) telah mengamanatkan bahwa: ”Susunan kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan Peradilan di bawahnya diatur dengan undang-undang”. Begitu pula halnya dengan  Pasal 25 UU. No. 48 Tahun 2009  tentang Kekuasaan  Kehakiman, yang menghendaki pembentukan pengadilan khusus diatur dengan undang-undang;
  7. Bahwa yang dimaksud dengan pengadilan khusus menurut ketentuan Pasal 1 angka 8 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman adalah pengadilan yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tertentu     yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang  diatur dalam Undang-Undang”,
  8. Bahwa Keberadaan Pengadilan Tipikor, PHI, Perikanan sebagai pengadilan khusus pijakan legalitasnya ditemukan pada  ketentuan  antara lain: Pasal 2 UU No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi telah ditetapkan bahwa “Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan Pengadilan khusus yang berada dilingkungan Peradilan Umum”, kemudian Penjelasan Pasal 2 tersebut adalah “ketentuan ini mengingat ketentuan Pasal 24 A ayat (5) UUD RI Tahun 1945 dan Pasal 15 UU. No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman,yang menghendaki pembentukan pengadilan khusus diatur dengan undang-undang;. Sementara itu mengenai  ketentuan  Pasal 1 angka 17 UU No. 2 Tahun 2004  tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial disebutkan:“Pengadilan Hubungan Industrial adalah pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan pengadilan     negeri  yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial”. Selanjutnya Pasal 71 ayat (1 dan  2) UU No. 31 Tahun 2004 jo UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan ditegaskan bahwa: “Pengadilan Perikanan berada di lingkungan Peradilan Umum”; UU No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum.
  9. Bahwa selanjutnya hal- ihwal pengertian jabatan hakim, dapat dijumpai pada Pasal 1 angka 5 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada pengadilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan  hakim khusus yang berada di lingkungan peradilan tersebut.”;
  10. Bahwa Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung RI (LN-RI Tahun 1985 Nomor 73 – TLN Tahun 1985 Nomor 3316):

–         Pasal 4, menyatakan bahwa susunan Mahkamah Agung terdiri dari Pimpinan, Hakim Anggota, Panitra, dan Sekretaris (Jenderal) Mahkamah Agung.

–         Pasal 5 ayat (2), menegaskan bahwa Hakim Anggota Mahkamah Agung adalah Hakim Agung. Pasal 6 ayat (1), bahwa “… Hakim Anggota Mahkamah Agung adalah Pejabat Negara yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman.  Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (LN- RI – Tahun 2004 Nomor 9 – TLN-RI Nomor 4359):

–         Pasal 4 ayat (1) dan (2):  Ayat (1) Sususnan Mahkamah Agung terdiri atas pimpinan, hakim anggota, panitera, dan seorang sekretaris. Ayat (2) Pimpinan dan hakim anggota Mahkamah Agung adalah Hakim Agung.

–         Pasal 7 ayat (2) dan (3): Ayat (2) Apabila dibutuhkan, hakim agung dapat diangkat tidak berdasarkan sistem karier dengan syarat  huruf a s/d huruf d;  Ayat (3) Pada Mahkamah Agung dapat diangkat hakim ad hoc yang diatur dalam undang-undang.

–         Penjelasan Pasal 7 ayat (3) menyatakan, Hakim agung ad hoc antara lain Hakim agung  ad hoc HAM dan hakim agung ad hoc dalam perkara tindak pidana korupsi.

–         Pasal 9 ayat (1) dan (4): Ayat (1) Sebelum memangku jabatannya, hakim agung wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya; Ayat (4) Hakim anggota Mahkamah Agung diambil sumpah atau janjinya oleh Ketua Mahkamah Agung.

–         Pasal 30 (2), Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim agung wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan. 

  1. Bahwa Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (LN- RI Tahun 2009 Nomor 155 – TLN – RI Nomor 5074).

–         Pasal 1 angka 1, 2 dan angka 3: Angka 1 menyatakan, Hakim adalah Hakim Karier dan Hakim ad hoc; Angka 2, Hakim Karier adalah hakim pada pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung yang ditetapkan sebagai hakim tindak pidana korupsi;  Angka 3 menyatakan, Hakim ad hoc adalah seseorang yang diangkat berdasarkan persyaratan yang ditentukan dalam Undang-Undang ini sebagai hakim tindak pidana korupsi.

–         Pasal 10 ayat (1) dan (4): Ayat (1) menyatakan, “Dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung terdiri atas Hakim Karier dan Hakim ad hoc.  Ayat (4) bahwa Hakim ad hoc pada … Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung.         

–         Pasal 12 mengatur bahwa Untuk dapat diangkat sebagai Hakim ad hoc, calon harus memenuhi persyaratan (lihat huruf a s/d huruf k.

–         Pasal 13 ayat (1) menegaskan bahwa Untuk memilih dan mengusulkan calon Hakim ad hoc pada … Mahkamah Agung, Ketua Mahkamah Agung membentuk panitia seleksi terdiri dari unsur Mahkamah Agung dan masyarakat yang mandiri dan transparan.

–         Pasal 14 ayat (1) menyatakan, Sebelum memangku jabatan, Hakim ad hoc pada Mahkamah Agung diambil sumpah atau janji menurut agamanya oleh Ketua Mahkamah Agung.

–  Pasal 21 ayat (2), bahwa Hak Keuangan dan administratif… diberikan tanpa membedakan kedudukan hakim.

36.Bahwa   berdasarkan ketentuan Pasal 12 ayat (1) UU No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum disebutkan bahwa “Hakim Pengadilan adalah pejabat yang melakukan tugas kekuasaan kehakiman”,selain itu Pasal 12 UU No. 9 Tahun 2004 jo. UU No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara juga menyebutkan bahwa, ”Hakim Pengadilan adalah pejabat yang melakukan tugas kekuasaan kehakiman”. Apabila  dicermati kedua undang-undang tersebut tidak menyebutkan secara eksplisit bahwa hakimpada peradilan umum dan hakim pada peradilan tata usaha negara adalah PejabatNegara;

  1. Bahwa jabatan hakim adalah pejabat negara tanpa dibedakan asal rekrutmen ataupun cara pengisian jabatan nya, melainkan didasarkan atas fungsinya sebagai  pelaksana kekuasaan kehakiman.  Tegasnya status / kedudukan Hakim sebagai Pejabat Negara tidak ditentukan oleh latar belakangnya apakah berasal dari karir atau ad hoc melainkan pada fungsinya, yaitu sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yangmerupakan salah satu fungsi dasar dalam penyelenggaraan kehidupan bernegarasebagaimana ditentukan dalam Undang – Undang Dasar 1945
  2. Bahwa penegasan Hakim dan Hakim Ad Hoc sebagai pejabat negara dapat dirujuk pada Pasal 1 angka 1 UU No. 46 tentang Pengadilan Tipikor yang berbunyi : “bahwa yang dimaksud Hakim adalah Hakim Karier dan Hakim Ad Hoc”; Kemudian  dikaitkan dengan ketentuan Pasal 31 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009  tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan bahwa: “hakim di bawah Mahkamah Agung adalah pejabat negara’,  hal ini sehubungan dengan tugas pokok dan fungsinya untuk menjalankan kekuasaan kehakiman yang diamanatkan oleh konstitusi dan undang-undang tentang kekuasaan kehakiman;
  3. Bahwa Ketua Mahkamah Agung melalui suratnya No. 035/KMA/HK.01/III/2012, Perihal Penjelasan tentang Hakim Ad Hoc Tipikor Sebagai Pejabat Negara atau Bukan, tertanggal 22 Maret 2012, yang ditujukan kepada Menteri Pendayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, menyatakan bahwa Mahkamah Agung RI berpendapat bahwa Hakim Ad Hoc sebagaimana dimaksud di atas adalah Pejabat Negara;
  4. Bahwa yang dimaksud Pejabat Negara berdasarkan Peraturan Menteri Sekretaris Negara No. 6 Tahun 2007 tentang Jenis dan Dasar Hukun Pejabat Negara danPejabat Lainnya, yaitu pejabat yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden berdasarkan UUD 1945 atau berdasarkan Undang-Undang dinyatakan sebagai pejabat Negara. Sementara itu Pejabat lainnya adalah pejabat yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden yang tidak termasuk sebagai Pejabat Negara, tetapi mewakili kepentingan Negara RI di luar negeri, atau menyangkut hubungan antar lembaga negara dalam penetapanpengangkatannya memerlukan persetujuan DPR;

41.Bahwa dalam BAB II Lampiran Peraturan MenteriSekretaris Negara No. 6 Tahun 2007 tentang Jenis dan Dasar Hukun Pejabat Negara danPejabat Lainnya huruf A menyebutkan secara tegas bahwa yang dimaksud Pejabat Negaralainnya dalam Pasal 11 Undang – Undang Nomor 43 Tahun 1999  antara lain :(1).Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Mahkamah Konstitusi; (2)Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Komisi Yudisial; (3).Hakim Pengadilan Pajak; (4)Hakim Ad Hoc Peradilan Tindak Pidana Korupsi; (5)Hakim Ad Hoc Pengadilan Niaga; (6)Hakim Ad Hoc Peradilan Hak Asasi Manusia; (7) Hakim Ad Hoc pada Peradilan Perikanan; (8)Hakim Ad Hoc Perselisihan Perburuhan;  dan (9)Hakim Mahkamah Syariah;

  1. Bahwa jabatan Pemohon sebagai Hakim Ad Hoc masing-masing pada Pengadilan Tipikor, Pengadilan PHI dan Pengadilan Perikanan adalah berdasarkan pengangkatan dan  dan pemberhentian Hakim Ad Hoc  dilakukan oleh Presiden. Hal mana kewenangan Presiden tersebut bersumber dari Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 jo. Pasal 10 ayat (4) UU No. 46 Tahun 2009 jo. Pasal 63 UU No. 2 Tahun 2004  jo Pasal  78 UU No. 31 Tahun 2004  jo. UU No. 45 Tahun 2009. Selanjutnya  kedudukan Hakim Ad Hoc   adalah hakim pada pengadilan khusus di lingkungan Peradilan Umum atau   Pengadilan Negeri  yang  berada di bawah Mahkamah Agung, maka dengan demikian  Hakim Ad Hoc termasuk pengertian Pejabat Negara;
  2. Bahwa membatasi makna “Hakim” pada Pasal 24B UUD 1945 sebagaimana berdasarkan pada Pasal 122 butir e Undang-undang Nomor: 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara adalah bertentangan dengan prinsip hukum yang berlaku secara universal yakni prinsip Lex Certa, suatu materi dalam peraturan perundang-undangan tidak dapat ditafsirkan lain selain yang tertulis dalam peraturan perundangan (Lex Stricta), atau dengan kata lain prinsip suatu ketentuan atau perundang-undangan tidak dapat diberikan pembatasan atau perluasan penafsiran selain ditentukan secara tegas dan jelas menurut peraturan perundang-undangan. Selain itu, pembatasan penafsiran makna tersebut tidak berdasarkan prinsip Lex Superior Derogate Legi Inferiori, suatu perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Begitu pula dalam kaitan “ frasa kecuali hakim ad hoc” pada Pasal 122 huruf e Undang-undang No.5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, adalah bertentangan dengan asas Lex Certa dan Lex Superior Derogate Legi Inferiori;
  3. Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, maka ketentuan Pasal 122 huruf e UU No. 5 Tahuin 2014 tentang ASN khususnya frasa Kecuali Hakim Ad Hoc yang identik dengan makna bahwa Hakim ad hoc  bukanlah  Pejabat Negara  adalah sungguh -sungguh telah bertentangan dengan Pasal 24 ayat (2), Pasal 28 D ayat (1) dan 28 G ayat (1) UUD RI 1945,  oleh karena Hakim Ad Hoc  senyatanya  adalah Pejabat Negara ;
  1. Provisi :
  2. Bahwa secara yuridis UU MK tidak mengatur secara spesifik tentang  ihwal Putusan Provisi dalam perkara pengujian UU terhadap UUD 1945, akan tetapi Putusan provisi tersebut justru dikenal di dalam perkara sengketa kewenangan lembaga Negara, sebagaimana bunyi Pasal 63 UU MK, yaitu: “Mahkamah Konstitusi dapat mengeluarkan penetapan yang memerintahkan pada Pemohon dan/atau Termohon untuk menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi”.
  3. Bahwa dalam praktiknya MK telah membuat jurisprudensi dikabulkannya permohonan putusan provisi dalam perkara permohonan pengujian UU No.30 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Korupsi terhadap Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 melalui Putusan Nomor 133/PUU-VII/2009.
  4. Bahwa sebagaimana ketentuan Pasal 58 UU MK yang menegaskan putusan Mahkamah Konstitusi tidak berlaku surut, maka untuk mengantisipasi dan mencegah terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak konstitusional para Pemohon, maka para Pemohon memohon agar Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi menerbitkan Putusan Sela atau Putusan Provisi yang memerintahkan Sekretaris Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Direktorat Perbendaharaan Kementrian Keunangan Republik Indonesia untuk menunda dan atau menghentikan pemotongan pajak penghasilan atau PPh Pasal 21 terhadap uang kehormatan Hakim Ad Hoc di seluruh tingkat peradilan, baik yang berada di Mahkamah Agung RI dan di bawah Mahkamah Agung RI, sampai ada putusan MK dalam perkara aquo;
  5. Bahwa selanjutnya untuk menjamin kepastian hukum dan sekaligus mengantisipasi terjadinya upaya hukum berupa keberatan (eksepsi) dari para pihak yang berperkara di semua tingkatan peradilan khusus yang susunan majelis hakimnya beranggotakan Hakim Ad Hoc, maka para Pemohon memohon agar Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi menerbitkan Putusan Sela atau Putusan Provisi yang menyatakan Hakim Ad Hoc pada semua tingkat peradilan, baik di lingkungan Mahkamah Agung RI dan yang berada di bawah Mahkamah Agung adalah  Pejabat Negara.
  1. Petitum :

Bahwa selanjutnya  berdasarkan alasan-alasan hukum di atas, maka mohon kiranya Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berkenan memutuskan :

Dalam Provisi:

  1. Mengabulkan permohonan Provisi para Pemohon;
  2. Memerintahkan kepada Sekretaris Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Direktorat Perbendaharaan Kementrian Keuangan Republik Indonesia untuk menunda dan atau menghentikan pemotongan pajak penghasilan atau PPh Pasal 21 terhadap uang kehormatan Hakim Ad Hoc di seluruh tingkat peradilan, baik yang berada di lingkungnan Mahkamah Agung RI maupun peradilan khusus di tingkat bawahnya  (pengadilan tingkat  banding dan pengadilan  tingkat pertama), sampai ada putusan MK dalam perkara aquo;
  3. Menetapkan Hakim Ad Hoc pada semua tingkat peradilan, baik di lingkungan Mahkamah Agung RI dan yang berada di bawah Mahkamah Agung adalah  Pejabat Negara.

Dalam Pokok Perkara:

  1. Mengabulkan seluruh permohonan para Pemohon;
  2. Menyatakan Pasal 122 huruf e UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara khususnya  frasa “kecuali hakim Ad Hoc” bertentangan dengan UUD RI 1945;
  3. Menyatakan ketentuan Pasal 122 huruf e UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur   Sipil Negara   khususnya frasa “kecuali hakim Ad Hoc” tidak mempunyai kekuatan mengikat;
  4. Memerintahkan untuk memuat putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;

 

Atau mohon putusan yang seadil-adilnya  (Ex Aquo et Bono);

Bahwa selanjutnya untuk menguatkan dalil-dalil permohonan, para Pemohon telah mengajukan barang bukti berupa naskah UUD, UU, dan surat-surat  yang diberi tanda P- 1 sampai dengan P – 17 sebagaimana terlampir ;

Demikian Permohonan Kami, atas perhatian dan perkenannya, diucapkan terima kasih.

Kami Para Pemohon:

1.  DR. GAZALBA SALEH, S.H. ,M.H.

 

 

……………………………………….
2.  DR. LUFSIANA, S.H.,MH.

 

……………………………………….
3.  SUMALI, S.H,.M.H.        

             

……………………………………….
4.  SUGENG SANTOSO, SH, M.H. ,M.M.                     ……………………………………….
5.  DR. IR. MOH. INDAH GINTING            ……………………………………….
6.  ELIAS HAMONANGAN  PURBA, SE, S.H.                ……………………………………….
7.  SAHALA  ARITONANG, SH, MP.AD   ……………………………………….
8.  ABDUR RAZAK , SH, M.H                        ……………………………………….
9.  ARMYN RUSTAM EFFENDY, SH, MH. ……………………………………….
10. LUKMAN AMIN,  S.H,. M.H.                 ……………………………………….
11. SUWITO,  SH. MH ……………………………………….

Lampiran:  DAFTAR  ALAT BUKTI

No. DAFTAR ALAT BUKTI KETERANGAN
1. Copy Identitas Pemohon (P – 1)
2. Copy SK Pengangkatan Hakim Ad Hoc (P –  2)
3. Copy UUD 1945 (P –  3)
4. Copy UU No.   5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara (P –  4)
5. Copy Naskah RUU ASPN (P – 5 )
6. Copy  UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (P – 6 )
7. Copy UU No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum (P – 7 )
8. Copy UU No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (P – 8 )
9. Copy  UU No. 48 No. 2 Tahun 2004  tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (P – 9 )
10. Copy  UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (P – 10 )
11. Copy UU No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (P – 11 )
12. Copy Perpres No. 5 Tahun 2013 Tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim Ad Hoc (P – 12 )
13. Copy Surat KMA No. 035/KMA/HK.01/III/2012  Perihal Hakim Ad Hoc Tipikor sebagai Pejabat Negara atau Bukan Pejabat Negara (P – 13 )
14. Copy Permensesneg RI No. 6 Tahun 2007 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penanganan Administrasi Pejabat Negara (P – 14 )
15. Copy Surat Sekjen Kemendikbud No. 23053/A4/KP/2013 Perihal: PNS Yang Menjadi Pejabat Negara (P – 15 )
16. Copy   Surat KMA No. 096/KMA/HK.01/VII/2011 Perihal Pajak Penghasilan Hakim Ad Hoc (P – 16 )
17. Copy Surat Sekretaris MA No. 044-1/SEK/KU.01/01/2014 Tentang Teknis Pelaksanaan Pembayaran dan Pemotongan  PPh Pasal 21 Uang Kehormatan atau Tunjangan Bagi Hakim Ad Hoc (P – 17 )
18. Copy Surat Dirjen, Direktur Pelaksanaan Anggara No. S-7704/PB/2013 perihal Pelaksanaan Pembayaran dan Pemotongan PPh Ps 21 Uang Kehormatan atau Tunjangan Bagi Hakim Ad Hoc (P – 18 )
19. Copy Surat Direktur Jenderal Depkeu No. S-295/PJ-03/2008 Perihal: PPh Ps. 21 atas Penghasilan Pejabat Negara (P – 19 )
Continue Reading

UPAYA PAKSA DALAM EKSEKUSI PUTUSAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA

UPAYA PAKSA DALAM EKSEKUSI PUTUSAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA

 

Pranata eksekusi yang berlaku dalam hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara selama ini, yakni system eksekusi yang lebih menyandarkan pada kerelaan pejabat atau dengan perorangan secara hierarki ( vide pasal 116 UU No. 5 Tahun 1986 ), ternyata tidak cukup efektif untuk membuat pejabat melaksanakan/mematuhi putusan hakim Peratun. Hal mana membawa akibat, eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara sebagai lembaga kontrol ekstern (judicial control) terhadap pemerintah dalam rangka terciptanya good government nyaris kurang berfungsi. Oleh karena itu pemberlakuan lembaga upaya paksa berupa : Uang Paksa (dwangsom/astreinte), sanksi administratif dan pengumuman Putusan Hakim yang diatur dalam Undang-undang No. 09 Tahun 2004 tentang Perubahan UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara adalah merupakan tonggak sejarah baru dalam hukum acara Peratun, khususnya menyangkut eksekusi Putusan Hakim Peratun.

Yang menjadi permasalahan kemudian adalah, bagaimana aplikasi lembaga paksa tersebut dalam praktek, karena belum ada produk hukum yang mengatur tentang prosedur dan mekanisme cara pembayaran uang paksa tersebut.

Untuk itu, dalam tulisan ini akan  ditawarkan gagasan sebagai salah satu bentuk pilihan tentang bagaimana implementasi lembaga paksa tersebut di Peradilan Tata Usaha Negara.

  1. Aplikasi Dwangsom di Peratun

Permasalahan bagaimana penerapan /aplikasi uang paksa di Peradilan Tata Usaha Negara menurut penulis adalah menyangkut hal-hal sebagai berikut :

  1. Jenis putusan apa saja yang dapat dikenai hukuman uang paksa.
  2. Kepada siapa uang paksa dibebankan.
  3. sejak kapan uang paksa tersebut diberlakukan.

Ad. 1.

Seperti halnya penerapan dwangsom dalam Putusan Hakim Peradilan Umum, maka tidak semua Putusan Hakim Peratun dapat diterapkan dwangsom. Hanya Putusan yang beisi penghukuman/kewajiban melakukan tindakan tertentu kepada pihak yang kalah (putusan condemnatoir), yang dapat dikenai/diterpkan dwangsom. Jadi untuk putusan yang sifatnya declaratoir (yang bersifat menerangkan) dan constitutief putusan yang bersifat meniadakan atau menimbulkan keadaan hukum yang), tidak dapat dikenai/diterapkan dwangsom. Dalam konteks Undang-undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata usaha Negara, putusan yang bersifat condemnatoir adalah berupa :

  1. Kewajibat mencabut keputusan TUN yang dinyatakan batal/tidak sah.
  2. Kewajiban menerbitkan keputusan TUN pengganti/baru.
  3. Kewajjiban mencabut dan menerbitkan keputusan TUN baru.
  4. Kewajiban membayar ganti rugi, dan
  5. Kewajiban melaksanakan rehabilitasi, dalam sengketa kepegawaian.

Jadi untuk putusan hakim yang hanya berisi : Menyatakan batal atau tidak sah suatu Keputusan TUN ( vide pasal 53 ayat 1 UU No.5 Tahun 1986), karena ini bukan merupakan jenis putusan yang versifat condemnatoir, maka tidak dapat dikenakan upaya paksa.

Ad. 2.

Dwangsom baru diterapkan apabila Pejabat yang dihukum untuk melakukan tindakan tertentu berdasarkan putusan hakim, ia tidak mematuhinya. Jadi dwangsom diterpakan (dipaksakan) kepada pejabat apabila ia melawan putusan hakim.

Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah, kepada siapa dwangsom tersebut harus dibebankan ?. Pembayaran sejumlah uang itu akan ditanggung oleh keuangan negara, ataukah oleh pribadi orang yang sedang menjabat tersebut. Sejauh ini ada dua pendapat yang berkembang menyangkut hal ini yakni :

Pendapat I.

Sesuai Azas kewenangan, hanyalah jabatan TUN yang berwenang menerbitkan, memperbaiki(mengoreksi), mencabut atau membatalkan KTUN, bukan Tergugat pribadi. Konsekwensi hukum dari azas tersebut adalah hanya pemegang jabatan (dhi. Tergugat) yang pada saat putusan dilaksanakan yang bersangkutan memegang wewenang untuk melaksanakan putusan pengadilan tetapi atas dasar wewenangnya tersebut Tergugat tidak bersedia menggunakan wewenangnya untuk melaksanakan putusan (dhi. Mencabut dan menerbitkan KTUN atau menerbitka KTUN). Oleh karena itu menurut hemat kami lembaga upaya paksa hanya dapat dikenakan terhadap jabatan Tergugat bukan terhadap pribadi Tergugat. (Kadar Slamet,SH. Kajian Terhadap beberapa Pasal UU No. 9 tahun 2004, Makalah. Jakarta, 7 Juni 2004).

Pendapat II.

Secara teori, seorang pejabat yang sedang menjalankan tugasnya, maka ia adalah sedang melaksanakan peran negara. Oleh karenanya manakala di dalam menjalankan peran /tugasnya tersebut mengakibatkan timbulnya kerugian bagi orang/masyarakat, sepanjang tugas-tugas tersebut dilaksanakan menurut peraturan perundang-undangan (hukum), maka adalah benar apabila kerugian yang diderita orang/masyarakat tersebut dibebankan pembayarannya kepada keuangan negara.

Hal mana adalah berbeda dengan ketika seorang pejabat tidak mematuhi putusan  hakim (yang dapat disamakan tidak mematuhi hukum), maka pada saat itu justru ia tidak sedang menjalankan peran negara, karena secara ideal, menjalankan peran negara itu adalah melaksanakan ketentuan hukum, oleh karenanya resiko dari ketidak patuhan terhadap hukum tadi tidak dapat dibebankan kepada keuangan negara, tetapi harus ditanggung secara pribadi.Hal mana adalah sejalan dengan teori “kesalahan” yang dikembangkan dari Yurisprudensi Conseil d`Etat yang pada pokoknya membedakan antara “kesalahan dinas” (faute de serve) dan “kesalahan pribadi” (faute personelle). (lihat Paulus Effendi Lotulung, Prof. DR.SH,bebarapa sistem tentang kontrol segihukum terhadap pemerintahan, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 1986. hal.15).

Oleh karena itu, bertolak dari dasar pemikiran diatas, maka adalah tepat apabila seorang pejabat tidak mematuhi/melaksanakan putusan hakim Peratun, pembebanan uang paksa (dwangsom/astreinte) dibebankan/dibayar dari uang pribadi orang yang sedang menjabat/pejabat saat itu.

Kemudian dari uang/harta yang mana yang bisa dipaksakan kepada Tergugat untuk mematuhi dwangsom ?.

Menurut hemat penulis, karena yang dihukum untuk melaksanakan putusan Peratun adalah selalu Badan/Pejabat TUN yang masih aktif, tentunya secara rutin ia mendapatkan gaji setiap bulannya. Oleh karenanya apabila pejabat tersebut tidak melaksanakan amar putusan, maka adalah lebih efektif dan efisien apabila pengenaan dwangsom dambil/dipotong dari gaji bulanan yang bersanagkutan. Dan perintah pemotongan gaji diperintahkan kepada Kepala Kamtor Perbendaharaan Negara (KPN) atau Pejabat lain yang berwenang semacam itu, selanjutnya uang dwnagsom tersebut diserahkan kepada Penggugat dan pemotongan sampai dengan dipatuhinya amar putusan.

Sehingga nantinya kurang lebih (dalam konsep/gagasan penulis) amar dwangsom putusan hakim Peratun adalah berbunyi sebagai berikut :

“ Menghukum Tergugat untuk membayar uang paksa sebesar Rp ……. Dan memerintahkan Kepala KPN (atau Pejabat yang berwenang lainnya) untuk memotong gaji Tergugat sebesar beban uang paksa tersebut untuk diserahkan kepada Penggugat, setiap bulan kelambatan Tergugat melaksanakan putusan ini”.

Pertanyaan yang mungkin muncul adalah, bagaimana apabila terjadi penggantian Pejabat ?

Apabila Pejabat baru ini langsung mematuhi putusan hakim tersebut, maka ia tentunya tidak dikenai dwangsom, tetapi apabila ia juga tidak mematuhi.melaksanakan putusan, maka pemotongan gaji berlanjut pada gaji pejabat baru tersebut sampai ia mematuhi putusan itu.

Kekhawatiran yang muncul kemudian adalah, bagaimana kalau Kepala KPN atau Pejabat lain yang punya kewenangan semacamnya, tidak mematuhi perintah tersebut.

Sebaiknya kita tidak perlu pesimis, karena dalam praktek Peradilan pidana, ternyata Jaksa hampir selalu mematuhi perintah hakim pidana. Disini disebabkan karena Jaksa tidak punya interest/kepentingan pribadi terhadap putusan tersebut. Oleh karenanya kita berharap, Kepala KPN atau Pejabat yang lain yang punya kewenangan semacam, karena tidak ada kepentingan/interest terhadap keputusan yang diadili Hakim, maka ia akan mematuhi putusan tersebut. Kecuali dalam kasus-kasus tertentu yang mungkin melibatkan Pejabat pembayar tersebut. Tentunya hal tersebut sama dengan sedikit kasus pidana yang karena adanya kepentingan pihak Jaksa/Kejaksaan,sehingga eksekusinya sedikit terlambat.( Bambang Heriyanto, Para Pejabat, this is Dwangsom. Makalah. Jakarta, Mei 2004).

Ad. 3.

Untuk menentukan saat kapan seharusnya pembebanan uang paksa tadi diberlakukan, maka menurut penulis hal tersebut harus bertolak dari ketentuan pasak 116 UU No. 09  Tahun 2004 sebagai berikut :

(1) Dst.

(2) Dalam hal empat bulan setelah Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikirimkan, tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a, Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.

(3) Dalam hal Tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajibannya sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) hurug b dan c, dan dilaksanakannya, Penggugat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) agar Pengadilan memerintahkan Tergugat melaksanakan putusan pengadilan tersebut.

(4) Dalam hal Tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif.

(5) Dst.

Berpedoman pada ketentuan Pasal tersebut, maka menurut hemat penulis, pemberlakuan pengenaan uang paksa adalah sejak saat berakkhirnya masa penegoran/perintah Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud oleh Pasal 116 ayat (3) UU No. 9 Tahun 2004(- untuk itu dalam surat perintah/penetapan ketua harus disebutkan limit waktu-).

Jadi karena menurut gagasan ini, uang paksa tersebut dipotongkan dari gaji Tergugat setiap bulannya, maka pada hari berikutnya sejak berakhirnya masa penegoran oleh Ketua Pengadilan, Ketua Pengadilan harus segera mengirimkan Surat Penetapan yang ditujukan kepada Kepala KPN atau Pejabat yang mempunyai kewenangan semacam itu, yang berisi perintah agar Kepala KPN memotong gaji Tergugat setiap bulan sebesar yang ditentukan dalam amar  putusan, sampai dengan Tergugat mematuhi isi putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap tersebut. (Bambang Heriyanto, Ibid).

  1. Aplikasi Sanksi Administrasi.

Bagaimana menerpkan/mengaplikasikan sanksi administrasi dalam putusan hakim Peratun adalah menyangkut permasalahan-permasalahan sebagai berikut :

1.Sanksi administrasi apa saja yang dapat dijatuhkan.

  1. Bagaimana pencantuman sanksi dalam putusan hakim.
  2. Kepada siapa perintah penjatuhan sanksi administrasi diperintahkan.
  3. Mulai kapan sanksi administrasi diterpkan/diberlakukan.

Ad. 1. Jenis Sanksi Administrasi yang dapat dijatuhkan.

Menurut peraturan pemerintah No. 30 Tahun 1980 tentang Disiplin Pegawai      Negeri Sipil diatur, bahwa kepada PNS yang melakukan pelanggaran disiplin, kepadanya dapat dikenakan sanksi administratif antara lain berupa :

  1. Penurunan pangkat.
  2. Pembebasan dari jabatan.
  3. Pemberhrentian dengan hormat, dan

4.Pemberhentian tidak dengan hormat. (lihat PP No. 30 Tahun 1980 dan peraturan terkait lainnya).

Dari beberapa jenis sanksi tersebut dapat dipiliih, mana yang paling tepat diterapkan dalam penjatuhan sanksi. Penulis sendiri berpendapat, sanksi administratif pembebasan dari jabatan adalah paling tepat, karena pada saat pejabat tidak mematuhi putusan peradilan Peratun, maka pada saat itu tidak mau menggunakan kewenangan jabatannya. Atau dengan kata lain pada saat itu ia sedang menggunakan jabatannya untuk melawan putusan peradilan, sehingga adalah tepat apabila ancaman pembebasan dari jabatan diterapkan apabila seorang pejabat tidak mematuhi putusan.

Ad.2. Bagaimana pencantuman Sanksi dalam putusan hakim, dan kepada siapa perintah penjatuhan sanksi administrasi diperintahkan.

Perintah penjatuhan sanksi tentunya ditujukan kepada pejabat yang berwenang menghukum terhadap Tergugat. Jadi untuk sanksi terhadap Pejabat yang termasuk kategori PNS  tentunya mengacu pada PP N0. 30 Tahun 1980, dan bagi pejabat TUN lainnya/diluar PNS, berlaku ketentuan/peraturan dasar kepegawaian pada lembaga itu.

Selanjutnya ada dua kemungkinan pilihan cara enjatuhan sanksi administratif yakni :

  1. Apabila sanksinya dituangkan dalam amar putusan hakim.

Eg.- Memerintahkan kepada …..(nama jabatan dari pejabat yang berwenang   menghukum), untuk menjatuhkan hukuman berupa- misal pembebasan dari jabatan atas nama …..(nama asli Terugat), apabila Tergugat tidak mematuhi putusan ini.

  1. Apabila tidak disebutkan jenis sanksinya.

Eg.- Memerintahkan kepada ….. (nama jabatan dari pejabat yang berwenang menghukum), untuk menjatuhkan hukuman disiplin atas nama ….(nama asli Tergugat), apabila Tergugat tidak mematuhi putusan ini.

Ad.3. Saat kapan sanksi admiistratif diberlakukan.

Seperti halnya dalam penjatuhan uang paksa, dengan mengacu pada ketentuan Pasal116 ayat (3) UU no. 9 Tahun 2004, maka sanksi administratif diberlakukan setelah berakhirnya masa penegoran/perintah Ketua Pengadilan. (perintah/penegoran Ketua Pengadilan harus ditentukan limit waktu).

Jadi begitu berakhir masa penegoran/aanmaning Ketua Pengadilan harus sudah menerbitkan Penetapan yang beisis perintah kepada pejabat yang berwenang menghukum untuk menjatuhkan sanksi administratif terhadap Tergugat yang tidak mematuhi putusan hakim.

  1. Pengumuman/Publikasi.

Ada beberapa permasalah yang harus dijawab, berkaitan dengan aplikasi Lembaga Paksa berupa pengumuman/publikasi, yakni menyangkut hal-hal sebagai berikut :

  1. Dimana dituangkan Penghukuman Publikasi.
  2. Bagaimana bentuk pengumuman.
  3. Apa saja yang dimuat dalam Pengumuman Publikasi.
  4. Kapan Publikasi tersebut mulai dilaksanakan.
  5. Kepada siapa biaya Pengumuman dibebankan.

Ad. 1. Dimana harus dituangkan/disebutkan Penghukuman Publikasi.

Menurut Penulis, Lembaga Upaya Paksa Pengumuman dapat diterapkan dengan dua pilihan, sebagai berikut :

  1. Jika mengacu bunyi Pasal 116 ayat (5) UU No.9 Tahun 2004, yang berbunyi : “ Pajabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diumumkan pada media massa cetak setempat oleh Penitera sejak tidak terpenuhinya ketentuan pada ayat (3).

Maka perintah publikasi tidak perlu dicantumkan dalam amar putusan hakim hakim, karena sesuai dengan ketentuan tersebut apabila Tergugat tidak mematuhi putusan, maka berdasarkan perintah Pasal 116 ayat (5) tersebut panitera pengumuman hal tersebut kemedia massa.

  1. Kan tetapiapabila Pasal 116 ayat (5) dibaca/dipahami bahwa pengumuman oleh Panitera bukan sesuatu keharusan, maka perintah pengumuman harus dicantumkan dalam amar putusan, dengan redaksi amar kurang lebih sebagai berikut :

“ Memerintahkan kepada Penitera untuk mengumumkan Putusan ini dalam media cetak ……..(nama media masa), apabila Tergugat tidak melaksanakan putusan ini”.

Ad. 2. Bentuk Pengumuman/Publikasi.

Pasal 116 UU No.9 Tahun 2004 tidak secara eksplisit menyebutkan, apa yang harus diumumkan dalam media masa cetak, sehingga dalam implementasi dapat menimbulkan pertanyaan : “yang harus diumumkan, amar putusan hakim atau pejabat yang tidak mematuhi putusan tersebut, atau harus dua-duanya.

Untuk menghindari keraguan, maka diusulkan agar Publikasi dalam media massa adalah berisi amar putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap, disertai catatan bahwa putusan tersebut belum dilaksanakan oleh Tergugat.

Ad. 3. Kapan Publikasi tersebut dilaksanakan.

Mengacu pada ketentuan Pasal 116 UU No. 9 Tahun 2004, maka publikasi dilaksanakan diumumkan  dengan sebuah Penetapan Ketua Pengadilan yang harus diterbitkan pada hari berikutnya setelah berakhirnya tenggang waktu peneguran dari Ketua Pengadilan (vide Pasal 116 ayat (3) UU No.9 Tahun 2004).

Ad. 4. Kepada siapa biaya pengumuman dibebankan.

Ada beberapa kemungkinan pilihan, kepada siapa biaya pengumuman dibebankan:

  1. Dibebankan kepada pemohon eksekusi/Penggugat, (pilihan ini sangat mudah diterapkan karena Penggugat sangat berkepentingan terhadap eksekusi putusan, tetapi ini tentunya ini sangat memberatkan Penggugat), atau;
  2. dibebankan kepada Tergugat pribadi, karena pada hakikatnya ketidakpatuhan terhadap putusan adalah bersifat pribadi Tergugat.(pilihan ini agak sulit dilaksanakan, karena pada dasarnya Tergugat memang sudah membandel, sehingga dapat dibayangkan betapa sulitnya meminta uang kepada pribadi orang yang nota bene akan diumumkan aibnya) atau;
  3. Dibebankan kepada negara/keuangan negara. (pilihan ini mungkin dapat diterapkan, apabila ketentuan Pasal 116 ayat (5) dipahami, bahwa pengumuman adalah merupakan keharusan/kewajiban Panitera apabila Tergugat tidak mematuhi Putusan Peradilan TUN.

P e n u t u p    

Sebagai penutup perlu dikemukakan disini, bahwa ketentuan gagasan yang terurai diatas, diakui atau tidak adalah berangkat dari asumsi negatif/suudzon kita kepada pejabat, bahwa “biang” dari tidak dilaksanakannya putusan Peratun adalah karena kurang kesadaran hukumnya pejabat, atau kebandelan pejabat. Padahal kalau kita mau jujur, faktor penting lain yang menyebabkan tidak dilaksanakan putusan Peratun adalah kurang atau tidak berkwalitasnya putusan hakim Peratun itu sendiri. Seperti misalnya : Putusan yang salah/tidak benar, karena ketidakmampuan hakim atau adanya faktor “x”, ataupun putusan yang tidak dapat dilaksanakan karena amarnya tidak jelas atau salah, dll. Oleh karena itu, bersamaan dalam rangka mempersiapkan peraturan pelaksanaan ketentuan dalam upaya paksa, maka secara intern hakim harus melaksanakan atau dilakukan pembenahan, yang bisa ditempuh dengan mengintensifkan pelatihan-pelatihan, terutam berisiskan materi pembuatan/penyusunan putusan hakim yang berkwalitas. (disusun secara baik dengan pertimbang yang cukup, mengandung kebenaran dan keadilan serta dapat dilaksanakan/executable).

Dan yang penting juga diingat bahwa Lembaga Upaya Paksa adalah bukan merupakan hukuman pokok, tetapi lebih merupakan alat eksekusi. Jadi bersifat pressie middle, artinya suatu upaya tekanan (secara psikologis), agar terhukum mau mematuhi atau melaksanakan hukuman pokok. Disamping itu karena ia merupakan sebuah lembaga paksa, maka penerapannya oleh hakim haruslah sangat hati-hati setelah melalui pertimbangan yang matang.

Demikian tulisan singkat yang masih bersifat “gagasan” ini sengaja disusun, diharapkan dapat bermanfaat bagi penyusunan peraturan pelaksanaan ketentuan tentang upaya paksa sebagaiman diatur dalam Pasal 116 Perubahan UU No. 9 Tahun 2004 tentang perubahan UU No.5 Tahun 1986 tentang Peradilan tata Usaha Negara. Sehingga harapan Peradilan Tata Usaha Negara menjadi sebuah lembaga kontrol ekstern (judicial control) yang sfektif terhadap pemerintah dapat segera terwujud, dan sekaligus dapat menghapus stigma “ macan ompong “ pada putusan hakim Peratun. Akhirnya “para pejabat this is dwangsom”.

Daftar Bacaan.

  1. Djazuli Bachar,SH.EksekusiPutusan Perkara Perdata, Akademika Pressindo, Jakarta, 1995.
  2. Indroharto,SH, Usaha Memahami Undang-undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. (buku I dan II), Pustaka sinar Harapan, Jakarta, 1994.

3.Irfan Fachrudin, DR.SH.MH.Konsekwensi Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap tindakan Pemerintah,Disertasi, Universitas Padjadjaran, Bandung, 2003.

4.Lilik Mulyadi,SH.,MH, Tuntutan uang Paksa (Dwangsom) dalam Teori dan  Praktik,Djambatan, Jakarta, 2001.

5.M. Yahya Harahap,SH, Ruang lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang  Perdata. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,1995.

6.Paulus Effendi Lotulung,Prof.DR.SH. Beberapa Sistem tentang Kontrol Segi Hukum Terhadap Pemerintahan, PT. Ilmu Bhuana Populer, Jakarta 1986.

7.Roihan A. Rasyid, Drs.SH, Hukum Acara Peradila Agama,CV. Rajawali.Jakarta 1991.

8.Retwulan Sutanto,Sh dan Iskandar Oeripkartawinata,SH, Hukum Acara Perdata Teori dan Praktek. Alumni Bandung 1986.

  1. Kadar Slamet,SH. Kajian Terhadap beberapa Pasal UU No.9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peratun, Makalah, Semarang, 7 Juni 2004.

10.Bambang Heriyanto,SH.,MH. Para Pejabat This is Dwangsom, Makalah Jakarta, 2004.

11.Undang-undang RI. No.8 Tahun 1981, tentang Hukum Acara Pidana.

12.Undang-undang RI. No.5 Tahun 1986, tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

  1. Undang-undang RI. No.7 Tahun 1989, tentang Peradilan Agama.
Continue Reading

URGENSI LEMBAGA PERADILAN PEMILU DI INDONESIA

PERAN MAHKAMAH AGUNG DALAM PENYELESAIAN PERSELISIHAN HASIL PILKADA DI INDONESIA

  1. PENDAHULUAN

Pemilu merupakan hal memiliki resistensi tinggi dan memiliki peluang untuk memecah persatuan dan kesatuan dalam tataran masyarakat, meski bersifat parsial. Kondisi seperti ini secara otomatis mewarnai even 5 tahunan di Indonesia. Tidak terkecuali pilkada, meski hanya lingkup daerah tetapi gesekan-gesekan horisontal antar calo dan pendukung kerap terjadi. Implementasi demokrasi belum seutuhnya merepresentasikan keadilan yang seadil-adilnya bagi semua pihak malah justru merusak tatanan demokrasi yang sedang dibangun oleh bangsa Indonesia.

Demokrasi sejatinya mampu merepresentasikan keadilan yang seadil-adilnya bagi semua lapisan masyarakat Indonesia. Konteks demokrasi yang begitu luas dan mampu diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan benegara memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk memahami dan mengkontemplasikan demokrasi sebagai isu fundamental bagi integrasi bangsa. Pemilihan kepala daerah merupakan salah satu implementasi demokrasi meski hanya normatif dan prosedural.[1] Dibalik semua itu demokrasi justru berjalan beriringan dengan pelanggaran HAM dan konflik. Hal ini mengakibatkan pilkada tidak merepresentasikan demokrasi yang sejalan dengan cita-cita demokrasi yang ada dimana keadilan dan HAM menjadi unsur terpenting dalam mewujudkan demokrasi konstitusional.

Suasana pilkada saat ini yang sedang marak di beberapa daerah belum merepresentasikan demokrasi yang seutuhnya. Kecurangan-kecurangan dalam pilkada dilakukan berdasarkan kondisi psikis calon pemimipn daerah hanya untuk meraih jabatan dan mayoritas dilakukan dengan money poltics. Cerminan demokrasi yang ada selain pemilihan kepala daerah secara langsung adalah terbukanya kesempatan bagi siapapun untuk maju menjadi calon kepala daerah. Ini membuktikan adanya aprsiasi dan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Meski berefek positif terhadap demokrasi, tetapi implementasi Pilkada sendiri masih jauh dari cita-cita demokrasi yang sehat.[2] Jabatan telah menjadi incaran siapapun dan pihak-pihak yang cenderung pragmatis menghalalkan segala cara agar menjadi pemimpin di daerahnya. Money politics, black champaign, kolusi dsb kerap mewarnai pilkada di sejumlah daerah. Melihat cara-cara yang seperti ini, demokrasi hanya akan melahirkan pemimpin karbitan yang memenangkan pilkada bukan karena kapabilitas dan kompetensinya melainkan uang yang berbicara. Black champaign yang sering kali menjatuhkan pesiang dalam pilkada juga merepresentasikan persaingan yang tidak sehat dan menimbulkan konflik horizontal antar masing-masing calon. Konflik yang dikarenakan perebutan jabatan ini seperti psy war (perang urat syaraf) demi jabatan yang temporer dan berefek luas terhadap suasana daerah karena bukan hanya masing-masing calon saja yang berkonflik tetapi juga para pendukung mereka yang mengakibatkan konflik horizontal di masyarakat.[3] Untuk perlu kepastian hukum untuk mengatur tata cara dan mekanisme penyelesaian perselisihan hasil pilkada di Indonesia.

  1. PILKADA BUKANLAH SEBAGAI REZIM PEMILU

Sesungguhnya kalau kita lihat keputusan MK No.97/PUU-XI/2013 yang telah mengabulkan semua permohonan Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) tentang kewenangan Mahkama Konstitusi sudah sangat jelas dan gamblang. Diperkuat lagi komentar anggota Hakim konstitusi Patrialis “RUU Pilkada sesungguhnya sudah sangat jelas di Putusan MK No.97 yakni MK tidak berhak menangani perkara Pilkada karena Pilkada bukan pemilihan UMUM seperti yang diamanatkan didalan UUD 1945.

Jika kita kembali melihat awal pembentukan Mahkamah Konstitusi, sangat jelas bahwa yang menjadi tugasutama Mahkamah Konstitusi adalah menguji Undang-Undang (UU) yang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), dan kewenangan-kewenangan lainnya ialah memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, seperti yang di atur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum Berdasarkan amanat Konstitusi pada BAB VIIB tentang Pemilihan Umum, Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 dikatakan bahwa: “Pemilihan Umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presidendan Dewan Perwakilan Daerah”,dalam hal ini penyelenggaraan Pemilu yangdiatur dalam konstitusi tidak menyebutkan untuk memilih kepala daerah.

Sementara tentang pemilihan kepala daerah dalam UUD 1945, dituliskan pada BAB yang berbeda, yaitu BAB IV tentangPemerintahan Daerah, pada Pasal 18 ayat (4) yang berbunyi: “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemeintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis”. Artinya konstitusi sendiri tidak memasukkan Pemilihan KepalaDaerah kedalam bab yang mengatur tentang Pemilu.Dapat dikatakan pemilihan kepala daerah (Pemilukada) tidak tergolong dalam rezim Pemilu.Itu sebabnya dalam Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 tidak memasukan frasa kepala daerah dalam BAB Pemilihan Umum.Sehinggapada awal penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pemilukada) kewenangan untuk menangani sengketa Pemilukada diserahkan kepada Mahkamah Agung, dan saat itu Mahkamah Konstitusi masih terus fokus pada kewenangannya dalam menguji UU terhadap UUD 1945.

Baru kemudian, setelah munculnya UU Nomor 22 Tahun 2007 sebagaimana telah dirubah dengan UU Nomor15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, menggolongkan Pemilihan Kepala Daerah ke dalam rezim Pemilu yang terdapat pada Pasal1 ayat (4) Ketentuan Umum berbunyi: “Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Pemilu untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Kemudian dilakukanlah perubahan hingga munculah UU Nomor12Tahun 2008 tentang Perubahan Atas UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Undang-Undang ini penanganan sengketa pemilukada telah dialihkan dari Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi. Peralihan kewenangan penyelesaian sengketa tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 236C yang menyatakan bahwa: Penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan”. Yang ditindaklanjuti dengan dibuatnya nota kesepahaman (MoU) pada tahun 2008 tentang pelimpahan kewenangan penanganan penyelesaian sengketa Pemilukadadari Mahkamah Agung kepada Mahkamah Konstitusi. Sementara dalam UU Mahkamah Konstitusi (UU Nomor 24 Tahun 2003 dan perubahannya UU Nomor8 Tahun 2011), tidak ada frasa yang menambahkan kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam mengadili terhadap perkara sengketa pemilihan kepala daerah. Namun penambahan kewenangan itu diatur dalam Pasal29 ayat (1) huruf e UU Nomor48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dikatakan bahwa “kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang”. Kemudian terdapat frasa tentang penambahan kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam penjelasan dari Pasal 29 ayat (1) huruf e yang mengatakan bahwa kewenangan memeriksa, dan memutus sengketa hasil pemilihan kepala daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”,yang menjadi legal standingpara Pemohon perselisihan hasil kepala daerah. Implikasi dari pengalihan kewenangan itulah yang kemudian memaksa Mahkamah Konstitusi berbagi fokus antara wewenang yang diberikan UUD 1945, terutama pengujian Undang-Undang, dengan ketatnya batas waktu penyelesaian sengketa Pemilukadayang diatur dalam UU Nomor24 Tahun 2003 pada Pasal78 huruf ayaitu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Mahkamah Konstitusi.

Awalnya Mahkamah Konstitusi hanya cukup menangani sengketa Pemilu Presiden dan DPR, DPD dan DPPRD untuk 5 (lima) tahun sekali, semenjak dilimpahkannya kewenangan terhadap penyelesaian perselisihan tentang hasil pemilihan umum tersebut, saat ini Mahkamah Konstitusi jadi disibukan oleh penanganan penyelesaian PHPU secara rutin terus menerus. Banyaknya gugatan yang masuk, akibat penyelenggaraan pemilihan kepala daerahyang tidak serentak yang membuat Mahkamah Konstitusi disibukan oleh perkara Pemilukadadan sempitnya waktu sidang 14 (empat belas) hari membuat Mahkamah Konstitusi tidak dapat maksimal secara cermat memeriksa kasus sengketa Pemilukada, dan menjadi celah dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk memainkan kepada kepala daerah yang berambisi untuk bisa menang di Mahkamah Konstitusi, karena itu akan menjadi upayanya yang pertama dan yang terakhir dalam mencari keadilan.[4]

Runtuhnya keadilan hukum kita akibat perilaku corrupt yang dilakukan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi harus kita jadikan momentum untuk mengevaluasi perjalanan Mahkamah Konstitusi 10 tahun terakhir. Jika kita kembali melihat awal pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK), sangat jelas bahwa yang menjadi tugas utama MK adalah menguji Undang-Undang (UU) yang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945), dan kewenangan-kewenangan lainnya ialah memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, seperti yang di atur dalam pasal 24C ayat (1) UUD 1945.

Mencermati kewenangan MK dalam memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum (PHPU), berdasarkan amanat Konstitusi pada BAB VIIB tentang Pemilihan Umum,  pasal 22E ayat (2) UUD 1945 dikatakan bahwa : “Pemilihan Umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Daerah”, tidak ada dalam BAB VIIB tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum soal pemilihan Kepala Daerah. Sementara tentang pemilihan Kepala Daerah dalam UUD 1945, dituliskan pada bab yang berbeda, yaitu BAB IV tentang Pemerintahan Daerah, pada pasal 18 ayat (4) yang berbunyi : “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemeintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis”.

Artinya konstitusi sendiri tidak memasukan Pemilihan Kepala Daerah kedalam BAB yang mengatur tentang PEMILU. Artinya Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tidak tergolong dalam Rezim Pemilu. Itu sebabnya dalam pasal 22E ayat (2) UUD 1945 tidak memasukan frasa Kepala Daerah dalam BAB Pemilihan Umum. Sehingga pada awal penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) kewenangan untuk menangani sengketa pilkada diserahkan kepada Mahkamah Agung, dan saat itu Mahkamah Konstitusi masih terus fokus pada kewenangannya dalam menguji UU terhadap UUD 1945.

Kemudian  setelah munculnya UU No. 22 Tahun 2007 sebagaimana telah dirubah dengan UU No. 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum (UU 22 Tahun 2007 sudah dinyatakan tidak berlaku lagi), menggolongkan Pemilihan Kepala Daerah ke dalam Rezim Pemilu yang terdapat pada pasal 1 ayat (4) Ketentuan Umum berbunyi : “Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Pemilu untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.

Dimasukannya Pilkada dalam rezim pemilu menjadi Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) oleh UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum jelas bertentangan dengan Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 yang secara eksplisit menyatakan bahwa Pemilihan Umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Daerah.

Implikasi dimasukannya Pilkada kedalam rezim pemilihan umum oleh UU No. 22 Tahun 2007 adalah terjadinya pelimpahan kewenangan terhadap perselisihan tentang hasil pemilihan umum dari MA cq PT ke MK. Pengalihan kewenangan itu kemudian memaksa MK berbagi fokus antara wewenang yang diberikan UUD 1945, terutama pengujian UU, dengan ketatnya batas waktu penyelesaian sengketa pilkada yang diatur dalam UU No. 24 Tahun 2003 pada pasal 78 huruf (a) yaitu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi. Awalnya MK Konstitusi hanya cukup menangani sengketa pemilu Presiden dan DPR, DPD dan DPPRD untuk 5 (lima) tahun sekali, semenjak dilimpahkannya kewenangan terhadap Penyelesaian Perselisihan tentang Hasil Pemilihan Umum tersebut, saat ini fokus MK menjadi teralihkan oleh penanganan penyelesaian sengketa Pilkada secara rutin terus menerus.

Selain itu permasalahan lainnya akibat pelimpahan kewenangan ini adalah putusan MK yang bersifat final dan mengikat (upaya pertama dan terakhir) dalam penyelesaian perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Artinya setelah MK memutus tidak ada lagi upaya lain yang dapat ditempuh. Banyaknya gugatan yang masuk, sempitnya waktu penyelenggaraan (14 hari), dan sifat putusan yang final dan mengikat inilah yang membuat MK tidak dapat maksimal secara cermat memeriksa kasus sengketa pemilukada, dan menjadi celah dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk memainkan kepada kepala daerah yang berambisi untuk bisa menang di MK, karena itu akan menjadi upayanya yang pertama dan yang terakhir dalam mencari keadilan.[5] Posisi inilah yang mengakibatkan potensi terjadinya tindakan Corupt dari oknum hakim Konstitusi semakin besar, di dukung dengan tidak adanya lembaga pengawas yang mengawasi jalannya setiap persidangan perselisihan tentang hasil pemilihan umum di MK. Akhirnya masyarakat yang kembali menjadi korban dibawah kepemimpinan daerah dari produk putusan MK yang sudah terpengaruh dengan tindakan Corupt hakim konstitusi selama 5 (lima) tahun. dan berpotensi menjadikan MK menjadi peradilan yang tidak dapat diharapkan sebagai tempat pencari keadilan.

III.   URGENSI PEMBENTUKAN PERADILAN KHUSUS PEMILU DI INDONESIA

Alangkah eloknya gagasan Pembentukan Pengadilan Khusus Pemilu dapat segera diimplemantasikan untuk menangani persoalan pelik yang selalu diahadapi dalam penyelesaian sengketa Pilkada di Indonesia.[6] Pemasalahan-Permasalahan Pemilu yang sekarang ini terjadi tidak diselesaikan begitu saja di melalui lembaga yang sudah ada, karena bukan ranah hukum yang ditangani oleh lembaga tersebut telah banyak sekali. Melihat beban berat Pengadilan Negeri dalam menangani perkara pidana dan perdata, seyogyanya dibentuk Pengadilan Khusus Pemilu yang bersifat add hoc di bawah kewenangan Mahkamah Agung Republik Indonesia tentunya dengan format sistem peradilan yang Lex Specialis.  Dengan melihat format sistem Pengadilan add hoc Tindak Pidana Korupsi. Kedudukan Hukum Peradilan Khusus Pemilu dapat dibentuk ditingkatan Ibukota Propinsi

Jika Pengadilan Khusus Pemilu dapat dilaksanakan, Mahkamah Agung sebagai lembaga Peradilan tertinggi, seharusnya dapat  menyiapkan hakim-hakim Pengadilan Khusus Pemilu yang handal   dan memiliki kompetensi dalam bidang kepemiluan dan hukum adminitrasi pemilu. Hakim-hakim tersebut dapat diambilkan dari hakim karier dan non karier, untuk hakim karier dapat diambilkan dari hakim-hakim peradilan umum yang sudah memiliki sertifikat pendidikan dan pelatihan yang diadakan oleh Mahkamah Agung sedangkan hakim non karier harus dipersyaratkan khusus misalnya : Sarjana Hukum dan Magister Hukum, berumur sekurang-kurangnya 35 Tahun, serta memiliki pengalaman dibidang kepemiluan sekurang-kurangnya 10 Tahun. Kemudian hakim-hakim non karier tersebut harus mendapat sertifikasi Pendidikan dan Latihan dari Mahkamah Agung, untuk hakim non karier memiliki masa tugas selama 5 (lima) Tahun dan dapat dipilih kembali satu periode.

Disamping penyiapan hakim pengadilan khusus Pemilu, juga sangat penting adalah Hukum Acara Pengadilan Khusus Pemilu, dimana Pengadilan Khusus Pemilu hanya memutuskan sengketa tindak pidana pemilu pada proses tahapan, program dan jadwal waktu oleh Penyelenggara Pemilu dalam hal ini KPU, tidak memutuskan persengketaan hasil pemilu. Dalam Hukum Acara Pengadilan Khusus Pemilu proses penyelesaiannya lebih cepat, mudah dan murah  dibandingkan dengan perkara lain. Dengan tetap memberikan azas kepastian hukum, kepada para pihak yang sedang berperkara dalam penyelenggaran Pemilu

Kemudian timbul suatu pertanyaan, bagaimana khusus untuk administrasi kepemiluan, misalnya: KPU Kabupaten melakukan penetapan Daftar Calon Tetap sesuai dengan Tahapan Pemilu Legislatif, kemudian ada di lain pihak memprotes keputusan KPU Kabupaten tersebut mengenai salah satu Caleg yang menurut bersangkutan ijazah yang digunakan palsu. Tapi KPU Kabupaten sebelumnya sudah mengklarifikasi kepada Dinas Pendidikan Kabupaten dan ternyata ijazah tersebut benar-benar asli, akantetapi dari pihak memprotes tersebut tidak puas, kemudian dari persoalan tersebut, apakah ranah hukum Pengadilan Khusus Pemilu mengadili hal tersebut diatas? Padahal sah dan tidak sahnya suatu ijazah yang menentukan hanya Pengadilan Tata Usaha Negara.

Bisa saja peranan dan wewenang Pengadilan Khusus Pemilu, ditambah mengenai persoalan-persoalan administratif Pemilu, karena Pengadilan Khusus Pemilu berhubungan erat dengan permasalahan-permasalahan kepemiluan termasuk persoalan administratif Pemilu.[7] Kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara menurut SEMA  RI No 11 Tahun 2010 seyogyanya dapat diubah, ketika Pengadilan Khusus Pemilu diberlakukan.  Jika SEMA RI No 11 Tahun 2010 masih berlaku, maka akan terjadi tumpang tindih dalam kewenangan penanganan kasus kepemiluan, dimana akan terjadi dua institusi hukum yang akan menangani kasus pemilu yang sama. Yaitu Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Khusus Pemilu.

Sistem demokrasi tanpa ada kepastian hukum, akan menimbulkan anarkisme demokrasi. Anarkisme demokrasi akan mengakibatkan kesengsaraan rakyat dan berakibat perang saudara, oleh karena itu demokrasi harus memberikan kepastian hukum kepada semua pihak yang terlibat dalam proses demokrasi.  Pemilu sebagai sarana kedaulatan rakyat, dan sebagai salah satu prasyarat sebagai Negara Demokrasi, maka rule of law harus di kedepankan. Tidak ada salahnya jika Pengadilan Khusus Pemilu merupakan  bagian terpenting dalam mengawal proses demokrasi, disamping Mahkamah Konstitusi

Pengadilan khusus Pemilu sebenarnya salah satu komponen terpenting dalam azas-azas penyelengaran pemilu diantaranya adalah  “kepastian hukum”. Dalam konteks kepastian hukum, adalah bahwa antara penyelenggara pemilu, pengawas pemilu, pemantau pemilu dan peserta pemilu menerima secara baik dari proses tahapan, program dan jadwal waktu penyelenggaran pemilu. Apabila ada pihak-pihak yang belum puas atas hasil kerja yang diberikan oleh Komisi Pemilihan Umum sebagai Penyelenggara Pemilu, dapat mengajukan sengketanya di Pengadilan Khusus Pemilu .[8]

Adapun dampak yang dapat dilihat secara signifikan Pengadilan Khusus Pemilu adalah memberikan ruang hukum kepada pihak-pihak yang dirugikan dalam penyelenggaraan Pemilu untuk mendapatkan kepastian hukum dalam kehidupan negara demokrasi. Memang didalam Hukum Ketatanegeraan Republik Indonesia sekarang ini,

Oleh Karena itu diperlukan Pengadilan Khusus Pemilu yang dalam penanganan hukumnya berbeda dengan tugas dan kewenangan Mahkamah Konstitusi, dimana Pengadilan Pemilu dapat memberikan pencerahan hukum ketata negaraan di republik indonesia. Oleh karena itu menurut hemat penulis, Pertama solusi Pengadilan Khusus Pemilu ditingkat Ibukota Kabupaten/Kota tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Khusus Pemilu pada tingkat banding yang berkedudukan di Ibukota Propinsi merupakan solusi tepat, dalam menangani setiap sengketa Pemilu di tingkat daerah, karena Mahkamah Konstitusi dalam kewenanganya hanya sebatas sengketa Perselisihan Hasil Pemilu, bukan sengketa pidana pemilu dan administrasi pemilu pada proses Tahapan, Program dan Jadwal Waktu Penyelenggaraan Pemilu.[9] Kedua dengan dibentuknya Pengadilan Khusus Pemilu ditingkat Ibukota Kabupaten/Kota tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Khusus Pemilu pada tingkat banding yang berkedudukan di Ibukota Propinsi  maka para pencari keadilan yang berasal di daerah luar jawa, tidak berbondong-bondong ke Ibukota Jakarta, akantetapi cukup di Ibukota Kabupaten/kota atau Propinsi yang akan menjadikan Pengadilan Khusus Pemilu lebih efektif dan efisien dalam mengadili kasus-kasus Pemilu, Ketiga Pembentukan Pengadilan Khusus Pemilu memang membutuhkan investasi yang cukup besar, akantetapi dilihat investasi hukum jangka panjang, maka Pengadilan Khusus Pemilu akan memberikan alternatif hukum dalam menangani kasus-kasus pemilu agar  lebih cepat, murah dan mudah serta memberikan kepastian hukum kepada semua pihak, keempat  Pengadilan Khusus Pemilu merupakan salah satu komponen dasar terciptanya kepastian hukum menuju negara demokrasi yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dibawah naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia .

  1. PERAN MAHKAMAH AGUNG DALAM PENYELESAIAN PERSELISIHAN HASIL PILKADA DI INDONESIA

Badan Yudikatif Indonesia berfungsi menyelenggarakan kekuasaan kehakiman dengan tujuan menegakkan hukum dan keadilan.[10] Kekuasaan kehakiman di Indonesia, menurut konstitusi, berada di tangan Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya (peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, peradilan tatausaha negara) serta sebuah Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Agung – sesuai Pasal 24A UUD 1945 – memiliki kewenangan mengadili kasus hukum pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lain yang diberikan oleh undang-undang. Sebagai sebuah lembaga yudikatif, Mahkamah Agung memiliki beberapa fungsi. Fungsi-fungsi tersebut adalah:

  1. Fungsi Peradilan (Yustiele Fungctie). Pertama, membina keseragaman dalam penerapan hukum melalui putusan kasasi dan peninjauan kembali. Kedua, memeriksa dan memutuskan perkara tingkat pertama dan terakhir semua sengketa tentang kewenangan mengadili, permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, sengketa akibat perampasan kapal asing dan muatannya oleh kapal perang RI. Ketiga, memegang hak uji materiil, yaitu menguji ataupun menilai peraturan perundangan di bawah undang-undang apakah bertentangan dengan peraturan dari tingkat yang lebih tinggi. Sebagai Pengadilan Negara Tertinggi, Mahkamah Agung merupakan pengadilan kasasi yang bertugas membina keseragaman dalam penerapan hukum melalui putusan kasasi dan peninjauan kembali menjaga agar semua hukum dan undang-undang diseluruh wilayah negara RI diterapkan secara adil, tepat dan benar.
  2. Fungsi Pengawasan (Toeziende Fungctie). Pertama, Mahkamah Agung adalah pengawas tertinggi terhadap jalannya peradilan di semua lingkungan peradilan. Kedua, Mahkamah Agung adalah pengawas pekerjaan pengadilan dan tingkah laku para hakim dan perbuatan pejabat pengadilan dalam menjalankan tugas yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pokok kekuasaan kehakiman, yaitu menerima, memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan. Ketiga, Mahkamah Agung adalah pengawas Penasehat Hukum (Advokat) dan Notaris sepanjang yang menyangkut peradilan.
  3. Fungsi Mengatur (Regelende Fungctie). Dalam fungsi ini, Mahkamah Agung mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum diatur dalam Undang-undang tentang Mahkamah Agung.
  4. Fungsi Nasehat (Advieserende Fungctie). Pertama, Mahkamah Agung memberikan nasehat ataupun pertimbangan dalam bidang hukum kepada Lembaga Tinggi Negara lain. Kedua, Mahkamah Agung memberi nasehat kepada Presiden selaku Kepala Negara dalam rangka pemberian/penolakan Grasi dan Rehabilitasi.
  5. Fungsi Administratif (Administrative Fungctie). Pertama, mengatur badan-badan Peradilan (Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara) sesuai pasal 11 ayat 1 Undang-undang nomor 35 tahun 1999. Kedua, mengatur tugas dan tanggung jawab, susunan organisasi dan tata kerja Kepaniteraan Pengadilan.

Saat ini, Mahkamah Agung memiliki sebuah sekretariat yang membawahi Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Tata Usaha Negara, Badan Pengawasan, Badan Penelitian dan Pelatihan dan Pendidikan, serta Badan Urusan Administrasi. Badan Peradilan Militer kini berada di bawah pengaturan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Tata Usaha Negara. Mahkamah Agung memiliki sebelas orang pimpinan yang masing-masing memegang tugas tertentu. Daftar tugas pimpinan tersebut tergambar melalui jabatan yang diembannya yaitu: (1) Ketua; (2) wakil ketua bidang yudisial; (3) wakil ketua bidang non yudisial; (4) ketua muda urusan lingkungan peradilan militer/TNI; (5) ketua muda urusan lingkungan peradilan tata usaha negara; (6) ketua muda pidana mahkamah agung RI; (7) ketua muda pembinaan mahkamah agung RI; (8) ketua muda perdata niaga mahkamah agung RI; (9) ketua muda pidana khusus mahkamah agung RI, dan; (10) ketua muda perdata mahkamah agung RI.

Negara Indonesia adalah negara hukum, demikian bunyi Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Konsekwensi pernyataan itu menunjukkan bahwa hakim sebagai pejabat negara dalam mengemban tugasnya haruslah juga didasarkan kepada aturan-aturan hukum yang berklaku. Dalam menyelesaikan perkara melalui pengadilan tentunya harus mempedomani ketentuan-ketentuan hukum acara yang berlaku di Pengadilan,  baik  itu yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Segala alur proses pemeriksaan harus pula sesuai dengan hukum. Hakim tidak boleh menyimpangi ketentuan-ketentuan hukum acara kecuali yang dibenarkan oleh hukum itu sendiri.

Setiap perkara yang diajukan oleh masyarakat ke pengadilan tidak ada alasan bagi hakim untuk menolaknya, disamping itu hakim diwajibkan pula untuk membantu masyarakat pencari keadilan agar proses pemeriksaan perkaranya dapat dilakukan dengan lancar, tanpa berpihak kepada salah satu pihak yang berperkara. Seperti membantu pembuatan dan penyusunan surat gugatan. Keberadaan peradilan bertujuan untuk menyelesaikan sengketa yang timbul di antara anggota masyarakat. Sengketa yang terjadi, berbagai ragam. Ada yang berkenaan dengan pengingkaran atau pemecahan perjanjian (breach of contract), perceraian, pailit, sengketa perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad), sengketa hak milik (property right), penyalahgunaan wewenang oleh penguasa yang merugikan pihak-pihak tertentu. Semuanya ini mengharapkan suatu penyelesaian dari hakim agar dapat memberikan suatu putusan yang adil dan dapat diterima oleh semua pihak.

Untuk memberikan suatu putusan dalam suatu perkara tidak semudah membalikkan telapak tangan, sebelum pengambilan putusan hakim haruslah terlebih dahulu melakukan proses pemeriksaan perkara sesuai dengan ketentuan hukum acara, yang salah satunya adalah acara pembuktian. Proses pembuktian adalah sangat menentukan dalam hakim untuk sampai pada kesimpulannya dalam hal pengambilan suatu  putusan, mulai dari beban pembuktian sampai alat-alat bukti yang dikemukakan oleh para pihak adalah merupakan persoalan hukum, yang harus diperhatikan oleh hakim karena beban pembuktian itu merupakan persoalan yang tidak mudah, karena tidak ada satu pasal pun di dalam hukum acara yang mengatur secara tegas tentang pembagian beban pembuktian.

Dalam praktek, para hakim memerlukan ketelitian dan kebijaksanaan untuk menentukan pihak mana yang perlu diberi beban pembuktian lebih dahulu dan selanjutnya. Ada satu pasal yang mengatur beban pembuktian, yaitu pasal 163 HIR, 283 RBg. Tetapi ketentuan pasal ini tidak begitu jelas, karena itu sulit untuk diterapkan secara tegas, apakah beban pembuktian itu ada pada pihak penggugat atau pada pihak tergugat. Kesalahan dalam memberikan beban pembuktian adalah menjerumuskan pihak yang dibebani pembuktian  kejurang kekalahan, hal ini pasti keadilan tidak akan pernah tercapai, akibatnya putusan hakim menjadi putusan yang tidak adil.

Kesalahan-kesalahan hakim dalam pengambilan putusan dalam suatu perkara mengakibatkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan sangat rendah. Banyak sekali putusan hakim yang sudah memiliki kekuatan pasti tidak dapat dilaksanakan eksekusinya, karena mendapat perlawanan dari masyarakat. Kridibilitas lembaga peradilan kita dalam pandang masyarakat memang sangat rendah dalam beberapa tahun belakang ini, ini disebabkan oleh beberapa paktor, antara lain yang sangat dominan adalah faktor perilaku penegak hukum itu sendir termasuk di dalamnya hakim itu sendiri disamping penegak hukum yang lainnya, baik hakim pada tingkat Pengadilan Negeri maupun ditingkat tertinggi sekali yaitu Mahkamah Agung.

Mafia peradilan tidak asing lagi bagi telinga masyarakat, kepercayaan terhadap keadilan yang diciptakan melalui badan peradilan yang dinamakan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung itu terasa sirna bila kita mendengar, melihat dan mebaca berita yang disuguhkan melalui masmedia. Mahkamah Agung sebagai tameng terakhir untuk mendapat keadilan tercemar oleh sekelompok pedagang keadilan yang tidak bertanggung jawab. Kesadaran hukum adalah suatu tuntutan dalam penegakan hukum, tidak hanya tuntutan ini ditujukan kepada masyarakat saja,  tetapi juga kepada penegak hukum itu sendiri. Kesadaran hukum masyarakat tidak ada gunanya bila tidak diimbangi dengan pengetahuan hukum itu sendiri, demikian pula sebaliknya pengetahuan hukum sudah cukup dan kesadaran hukum sudah tinggi tidak ada artinya kalau tidak dimbangi oleh perilaku yang tidak manis dari petugas hukum itu sendiri.

Kita menyadari bahwa kesadaran dan pengetahuan hukum masyarakat kita sangat rendah, terutama di daerah-daerah. Terlepas dari itu seyogianya setiap aparatur hukum yang terkait di dalam penegakan hukum haruslah memberikan penjelasan yang benar atas setiap persoalan hukum yang terjadi di dalam masyarakat yang awam akan mengerti serta memahami tentang hukum yang mengikat setiap tingkah laku mereka sehari-hari. Pekerjaan ini tidak mudah dan tidak pula murah.Tetapi  masyarakat harus diberikan penyuluhan terhadap hukum, agar rakyat tahu tentang hukum itu.

Dalam suatu lingkungan masyarakat tidak jarang para anggotanya memiliki berbagai kepentingan yang satu sama lain saling bertentangan, sehingga dalam mempertahankan kepentingannya itu mereka dapat terlibat dalam pertentangan-pertentangan yang dapat membahayakan ketertiban dan keamanan masyarakat. Dengan begitu eksistensi, dan pengetahuan hukum masyarakat  diperlukan untuk mencegah timbulnya bahaya-bahaya yang mampu meresahkan kehidupan masyarakat sehingga setiap anggota masyarakat merasa aman dan tentram karena memperoleh suatu perlindungan hukum.

Hukum yang baik belum tentu dapat dilaksanakan dengan baik apabila pelaksana hukumnya tidak menguasai hukum dengan baik, demikian juga jika pelaksana hukum memiliki penguasaan hukum yang sangat baik juga tidak akan menghasilkan keputusan hukum yang baik jika mental atau moral penegak hukumnya tidak baik. Akan sempurna jika penegak hukum menguasai materi hukum dengan baik dan memiliki moral yang baik, inilah hakim yang didambakan oleh masyarakat.

Kemampuan untuk menguasai hukum akan terpenuhi jika pelaksana hukum dalam kehidupan sehari-harinya selalu mentaati hukum. Ketidak taatan kepada hukum hanya akan menghasilkan penegak-penegak hukum yang otoriter, yang dengan kekuasaannya menekan anggota masyarakat untuk mentaati hukum menurut seleranya sendiri. Sikap yang demikian jelas bertentangan dengan hukum. Oleh karena itu untuk meningkatkan citra dan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan ditanah air ini, penegak-penegak hukum haruslah orang-orang yang mengusai hukum sendiri, dan juga bermoral  dan beriman. Sehingga dalam penerapan hukum ia dapat berlaku adil jujur serta mau mengindahkan hukum yang berlaku.

Akan tetapi dalam kenyataannya, keinginan masyarakat untuk mendapatkan keadilan dan perlindungan hukum sering merasa kecewa karena apa yang diharapkan melalui lembaga peradilan tidak mencerminkan lembaga peradilan, tetapi tidak lain dari lembaga jual beli hukum. Untuk memperbaiki citra badan peradilan ini tentu tidak mudah, harus dilakukan perbaikan-perbaikan dalam segala hal, seperti gaji, sarana dan prasarana penunjang dan terutama adalah sumber daya manusianya. Kesejahteraan adalah merupakan kambing hitam yang utama yang dijadikan alasan mengapa para penegak hukum menjadi tidak bermoral. Di samping itu tentu juga adalah pembenahan lembaga peradilan itu sendiri, agar menjadi lembaga yang mandiri terlepas dari pengaruh kekuasaan negara lainnya, yang mempengaruhi kemandirian hakim dalam melaksanakan tugasnya sebagai hakim.

Di dalam dunia peradilan, prinsip-prinsip dasar kekuasaan kehakiman yang mandiri yang harus dihormati oleh setiap negara yang melakukan rule of law, adalah  meliputi:[11]

  1. Judicial Indefendence, lembaga peradilan harus merupakan suatu lembaga yang memberikan manfaat sangat besar bagi setiap masyarakat, dimana setiap orang berhak untuk mendapatkan peradilan yang terbuka untuk umum yang dilaksnakan oleh pengadilan yang berwenang, adil dan tidak memihak. Peradilan yang mandiri merupakan syarat mutlak untuk melaksanakan hak tersebut yang mensyaratkan bahwa peradilan akan memeriksa perkara dengan adil dan menerapkan hukum yang baik.
  2. Objectieve of the judiciary, tujuan peradilan adalah :
  3. Menjamin setiap orang dapat hidup dengan aman di bawah the rule of law.
  4. Meningkatkan penghormatan dan pelaksanaan hak asasi manusia.
  5. Melaksanakan hukum secara adil dalam sengketa antara sesama warga masyarakat dan antar warga masyarakat dengan negara.
  6. Appoinment of judges. Para hakim harus diangkat berdasarkan kemampuannya yang nyata, integritas yang tinggi dan mandiri, dan harus dilaksanakan sedemikian rupa sehingga akan menjamin bahwa hanya yang terbaik yang dapat menduduki jabatan tersebut. Prosedur pengangkatannya harus transparan dan tanpa diskriminasi (suku, warna kulit, agama, gender, aliran politik, dan sebagainya).
  7. Tenure, yaitu bahwa masa jabatan hakim harus dijamin, baik melalui pemilihan kembali atau prosedur resmi lainnya. Tetapi diusulkan agar Hakim hanya akan pensiun/diberhentikan setelah mencapai usia tertentu dan ketentuan batas usia tersebut tidak boleh dirubah sehingga merugikan Hakim yang sedang melaksanakan tugasnya. Hakim hanya boleh diberhentikan  sebelum batas usia pensiun karena terbukti tidak mampu, dijatuhi pidana, atau mempunyai kelakuan yang tidak sesuai dengan kedudukannya sebagai Hakim, dan harus berdasarkan prosedur yang jelas.
  8. Judicial Condition, yaitu para hakim harus menerima penggajian yang memadai dan diberikan persyaratan kerja dan jaminan yang wajar.
  9. Jurisdiction, dimana kewenangan penyerahan perkara kepada hakim merupakan administrasi pengadilan dan pengawasan utama berada pada ketua pengadilan yang bersangkutan.
  10. Judicial Administration, yaitu bahwa administrasi pengadilan yang meliputi pengangkatan, pengawasan, dan penjatuhan disiplin kepada pejabat administrasi dan petugas pengadilan lainnya, serta anggaran pengadilan haruslah diberikan tanggung jawabnya kepada badan peradilan, atau oleh suatu badan di mana judiciary mempunyai peranan penting.
  11. Realitionship with the executive, yaitu bahwa kewenangan yang dimiliki oleh Eksekutif yang berdampak terhadap Hakim dalam melaksanakan tugasnya, gaji atau sumber pendapatannya, tidak boleh digunakan untuk mengancam atau menekan para Hakim, perlindungan Hakim dan keluarganya.
  12. Recources, yaitu bahwa agar para hakim dapat melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya, kepada mereka harus diberikan jaminan yang cukup.
  13. Emergency, bahwa dalam hal sedang terjadi kesulitan/krisis ekonomi di mana negara tidak memungkin memberi biaya yang memadai bagi Hakim, tetapi untuk tegaknya the rule of law dan perlindungan hak asasi manusi, pengadilan harus diberikan prioritas dalam pembiayaan.
  1. PENUTUP

Berdasarkan uraian singkat diatas, maka sangat perlu dibentuk suatu lembaga yang menangani pelanggaran maupun sengketa Pemilu. Hal itu dikarenakan persoalan pemilu sangat kompleks karena  dalam proses penegakan hukum Pemilu dan Pemilukada yang meliputi berbagai aspek hukum yaitu tata Negara, administrasi Negara, pidana dan  perdata menyebabkan penanganannyapun melibatkan beberapa lembaga peradilan yaitu Mahkamah Konstitusi, Pengadilan Tata Usaha Negara dan Peradilan umum. Hal ini menyebabkan dapat terjadi putusan satu lembaga peradilan bertentangan dengan putusan lembaga peradilan lain atau dapat terjadi juga putusan suatu lembaga peradilan  misalnya putusan MK tentang penggelembungan suara yang melibatkan penyelenggara Pemilu yang jelas juga merupakan tindak pidana pemilu tidak terproses secara pidana.

Dari gambaran tersebut memperlihatkan  betapa rumitnya penegakan hukum dalam proses pemilu dan pemilukada. Dilain sisi lembaga pengawas Pemilu yaitu Bawaslu dan jajarannya tidak lebih dari tukang pos yang tugasnya dalam penegakan hukum pemilu dan Pemilukada  meneruskan kasus yang mengandung unsur pidana ke polisi dan pelanggaran administrasi ke KPU. Hal ini menambah rumit penegakan hukum dalam Pemilu dan Pemilukada.

Dalam rangka memperbaiki dan menata ulang penegakan hukum Pemilu dan Pemilukada dimasa mendatang perlu dipikirkan pembentukan peradilan khusus Pemilu dan Pemilukada atau paling tidak adanya peradilan terpadu  yang  menangani  pelanggaran pemilu baik itu pelanggaran pidana, pelanggaran administrasi serta sengketa TUN. Selain itu Bawaslu dan jajarannya  perlu diberi kewenangan lebih dalam penegakan hukum dalam arti Bawaslu dan jajarannya diberi kewenangan untuk menjatuhkan sanksi administrasi serta perlu adanya aparat kepolisian dan kejaksaan yang bertugas khusus di pengawas pemilu dalam rangka melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap kasus pelanggaran pemilu.

DAFTAR PUSTAKA

Gaffar, Janedjri M., 2013. Politik Hukum Pemilu, cetakan kedua, Jakarta:  Konstitusi Press.

Gaffar, Janedjri M., 2013. Demokrasi dan Pemilu di Indonesia, cetakan pertama, Jakarta:  Konstitusi Press.

Indonesia, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.

Lutfi, Mustafa, 2010. Hukum Sengketa Pemilukada di Indonesia- gagasan perluasan kewenangan konstitusinal Mahkamah Konstitusi, cetakan Pertama, Yogyakarta: UII Press.

Mulyadi, Dedi,2013. Perbandingan Tindak Pidana Pemilu Legislatif – dalam perspektif hukum di Indonesia, cetakan Kesatu, Bandung : Refika Aditama.

Santoso, Topo, 2006. Penegakan Hukum Pemilu – praktik Pemilu 2004, kajian Pemilu 2009-2014, Jakarta : Perludem-US AID-DRSP.

Sardini, Nur Hidayat, 2011. Restorasi Penyelenggaraan Pemilu di Indonesia, cetakan Pertama, Yogyakarta : Fajar Media Press

Sahdan, Gregorius dkk, 2008. Politik Pilkada-tantangan merawat demokrasi, Yogyakarta: IPD-Konrad Adenauer Stiftung.

Wibowo, Arif, 2013. Menata ulang Sistem Penyelesaian dan Pelanggaran Pemilukada, dalam buku : Demokrasi Lokal-evaluasi Pemilukada di Indonesia,  cetakan kedua, Jakarta : Konstitusi Press.

Ismail Suny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Aksara Baru, Jakarta, 1986; Jimly Ashiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Kostitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, 1994.

Jimly Asshiddiqie, “Struktur Ketatanegraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar 1945”, Makalah disampaikan dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasioanal VIII dengan tema penegakan Hukum dalam Era Pembangunan Berkelanjutan, diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum NASIONAL Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Denpasar.

John Alder, Constitutional & Administrative Law, London: Macmillan Profes-sional Masters 1989.

J.C.T. Simorangkir, Penetapan UUD Dilihat Dari Segi Hukum Tata Negara Indonesia, Gunung Agung, Jakarta, 1984.

  1. Scheltema, De Rechtsstaat, dalam J.W.M. Engels (et.al), 1989, De Rechtsstaat Herdacht, Zwolle:TjeenWillink
  1. Tolchah Mansoer , Pembahasan beberapa Aspek Kekuasaan Eksekutif dan Legislatif di Indonesia, Jakarta : Pradnya Paramita, 1983.

Ofer Raban, Modern Legal Theory and Judicial Impartiality, 2003

Padmo Wahjono, Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984.

Pergulatan Tanpa Henti Menabur Benif Reformasi (Jakarta: Otoboigrafi , Aksara Karunia ,2004

Refly Harun ,dkk Menjaga Denyut Konstitusi: Refleksi Satu Tahun Mahkamah Konstitusi , Jakarta; Konstitusi Pers.

Romi Librayanto, 2008, Trias Politica Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia, PuKAP-Indonesia, Makassar.

Richard Susskind, The future of law, facing the challenges of information technology. New Russel.

Sri Soemantri, Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD NRI 1945, Cetakan VI, Bandung: Citra Aditya Bakti,1989.

Syahran Basah, Fungsi Hukum Dalam Kehidupan Masyarakat, Dalam Tiga Tulisan Tentang Hukum, Amrico, 1986

Satjito Raharjo, Membedah Hukum Progresif, Alumni, Bandung, 2008

T.M. Luthfi Yazid, “ Komisi-komisi Nasional dalam Konteks Cita-cita Negara Hukum”, Makalah disampaikan dalam Diskusi Terbatas dengan tema: „Eksistensi Sistem Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD NRI 1945, diselenggarakan oleh Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, di Hotel Aryaduta, Jakarta, 9 September 2004.

Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Tata Negara di Indonesia, Cet. VI, Penerbit Dian Rakyat, Jakarta, 1989.

[1] Topo Santoso, Penegakan Hukum Pemilu – praktik Pemilu 2004, Kajian Pemilu 2009-2014 (Jakarta : PerludemUS-AID, DRSP), hlm. 5

[2] Ibid, hlm. 176

[3] Janedjri M. Gaffar, Politik Hukum Pemilu, (Jakarta : Konstitusi Press, 2013), hlm. 77.

[4] Mustafa Lutfi, Hukum Sengketa Pemilukada di Indonesia ( Yogyakarta : UII, 2010) hlm. 113

[5]  Ibid, hlm. 78.

[6] Arif Wibowo, Menata Ulang Sistem Penyelesaian Sengketa dan Pelanggaran Pemilukada- dlm buku Demokrasi local, (Jakarta, Konstitusi Press, 2013) hlm. 117.

[7] Dedi Mulyadi, Perbandingan Tindak Pidana Pemilu Legislatif – dalam perspektif hukum di Indonesia, Cetakan Kesatu, (Bandung : PT Refika Aditama, 2013), hlm. 276.

[8] Janedjri M. Gaffar, Demokrasi dan Pemilu di Indonesia, (Jakarta : Konstitusi Press, 2013) hlm. 175

[9] Nur Hidayat Sardini,  Restorasi Penyelenggaraan Pemiludi Indonesis,  (Yogyakarta : Fajar Media Press, 2011), hlm. 233.

[10] Padmo Wahjono, Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984. Hal 112

[11] M. Scheltema, De Rechtsstaat, dalam J.W.M. Engels (et.al), 1989, De Rechtsstaat Herdacht, Zwolle:TjeenWillink, Hal.15-17)

 

Continue Reading

CONTOH PERMOHONAN PERSELISIHAN HASIL PILKADA KABUPATEN / KOTA / PROVINSI

PERMOHONAN PERSELISIHAN HASIL

PILKADA KABUPATEN …………

 

PERMOHONAN KEBERATAN

ATAS HASIL PENGHITUNGAN SUARA

PEMILIHAN KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH

KABUPATEN …………….. TAHUN 2015

Antara :

………………………….. dan …………………………..

Calon Bupati & Wakil Bupati …………………………..

Pasangan Calon No. Urut 1  ……………………………..    selaku PEMOHON I

………………………….. dan …………………………..

Calon Bupati & Wakil Bupati …………………………..

Pasangan Calon No. Urut 2   …………………………….   selaku PEMOHON II

M e l a w a n :

KPU Kabupaten ………..   …………………………. selaku TERMOHON

Di

MAHKAMAH KONSTITUSI  REPUBLIK INDONESIA

Jakarta,  21 Desember 2015

Kepada Yth,

Ketua Mahkamah Konstitusi

di-

Jl. Medan Merdeka Barat No. 6

Jakarta 10110.

Perihal:    Permohonan Keberatan Atas Perselisihan Hasil Pemilihan

Kepala Daerah (Pilkada) ………………, Provinsi ……….. Tahun 2015.

Dengan hormat,

Bersama ini :

  1.   N a m a   :

Alamat    :

No. KTP :

N a m a   :

Alamat    :

No. KTP :

adalah Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati ………………………….. masa jabatan 2015 – 2020  Nomor Urut ………………………….. dalam Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada) ………………………….. Tahun 2015 selanjutnya disebut sebagai PEMOHON I.

  1.   N a m a   :

Alamat    :

No. KTP :

N a m a   :

Alamat    :

No. KTP :

adalah Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati ………………………….. masa jabatan 2015 – 2020  Nomor Urut ………………………….. dalam Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada) ………………………….. Tahun 2015 selanjutnya disebut sebagai PEMOHON I.

Pemohon I dan Pemohon II secara bersama-sama disebut sebagai PARA PEMOHON.

Masing-masing Pemohon I dan Pemohon II berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal ………………. memberikan Kuasa kepada ……………….. dan …………….. adalah para advokat pada …………………………….., Yang beralamat di …………………………………….., baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama bertindak untuk dan atas kepentingan Pemohon I,  dan II  sepakat untuk memilih domisili hukum dalam mengajukan Permohonan PHP ini di Kantor ……………………………………….

Para Pemohon mengajukan Permohonan Keberatan atas Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di Tingkat Kabupaten oleh Komisi Pemilihan Umum ………….. dan Keputusan Komisi Pemilihan Umum ………………………. Nomor ……………………. tentang penetapan Hasil dan Calon Terpilih Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten …………………. Tahun 2015 tanggal ……………., yang dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum Kabupaten ………………., beralamat di ……………………………, untuk selanjutnya disebut sebagai; TERMOHON

Adapun alasan dan argumen hukum permohonan keberatan a quo sebagaimana terurai di bawah ini :

  1.    Kewenangan Mahkamah

Bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 junctis Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan Pasal 157 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang, dan Pasal 2 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Mahkamah Konstitusi berwenang memeriksa dan mengadili Perkara Perselisihan Penetapan Perolehan Suara Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota sampai dibentuknya badan peradilan Khusus;

  1. Kedudukan Hukum (Legal Standing)

Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 157 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang, serta Pasal 3 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota diatur ketentuan antara lain:

  1. Pengajuan Permohonan pembatalan Penetapan hasil perhitungan dengan perolehan suara oleh KPU/KIP Propinsi dan KPU/KIP Kabupaten/Kota dapat diajukan oleh para pasangan calon peserta Pemilihan;
  2. Selain dapat diajukan oleh Pasangan Calon Peserta Pemilihan sebagaimana dimaksud ayat (1), Permohonan dapat diajukan oleh Pemantau Pemilihan.

Bahwa, Pemohon I adalah Pasangan Calon Pilkada …………………. Tahun 2015 dengan Nomor Urut 1 dan Pemohon II adalah Pasangan Calon Pilkada ……………….. Tahun 2015 dengan Nomor Urut 2, maka sesuai uraian beberapa pasal tersebut di atas, Para Pemohon dapat dikualifikasi memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di Kabupaten ………………… Tahun 2015;

III. Tenggang Waktu Pengajuan Permohonan

Bahwa Termohon telah membuat Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah pada tanggal …………….;

Permohonan Keberatan yang diajukan oleh PEMOHON atas Berita Acara a quo tersebut di atas telah diajukan dalam suatu berkas permohonan keberatan kepada Mahkamah Konstitusi R.I. pada tanggal  ……………………;

Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 157 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang, serta Pasal 10 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menentukan, permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan suara Pilkada diajukan ke Mahkamah paling lambat batas waktu 3×24 jam sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil Pemilihan oleh masing-masing KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 157 ayat (5) UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Keputusan Termohon tersebut ditetapkan hari ……………………….., dan PEMOHON telah mengajukan permohonan kebaratan dimaksud pada hari  ……………………. sehingga dapat dikualifikasi sebagai memenuhi ketentuan yang tersebut di dalam Pasal 157 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang, serta Pasal 10 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, sehingga Permohonan yang diajukan oleh PEMOHON masih dalam tenggang waktu sebagaimana ditentukan oleh peraturan perundangan a quo.

  1. Pokok Permohonan:
  2. Bahwa, berdasarkan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di oleh Komisi Pemilihan Umum ………….. tanggal …………….. (Bukti P – 1).
  3. Bahwa, berdasarkan Keputusan Termohon tanggal …………………. Nomor …………………………… (Bukti P – 2) tentang Penetapan Hasil dan calon Terpilih Pemilihan Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah ………………….. Tahun 2015, telah menetapkan Hasil Pemilihan Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah ……………. Tahun 2015, berdasarkan peringkat perolehan suara sah sebagai berikut:
NO. NAMA PASANGAN PEROLEHAN SUARA PERSENTASE KETERANGAN
1.
2.
3.
  1. Bahwa, pelaksanaan pemungutan suara Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada) Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Bupati ………… Periode 2015-2020 telah dilaksanakan oleh Termohon pada hari  tanggal …………………………;
  2. Bahwa Pemohon mengajukan keberatan dan permohonan penyelesaian perselisihan atas hasil penghitungan suara berdasarkan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah oleh Komisi Pemilihan Umum ………………. tanggal ………………. yang kemudian ditetapkan oleh Termohon dengan Surat Keputusan Nomor …………………. dan Berita Acara tertanggal ……………………..;
  3. Bahwa alasan Pemohon mengajukan Permohonan ini disebabkan adanya pelanggaran secara sistematis, terstruktur dan masif baik yang dilakukan oleh Termohon maupun yang dilakukan oleh Pasangan Nomor Urut ……………….
  4. Bahwa, pelanggaran-pelaranggaran tersebut telah dipersiapkan secara terencara sejak awal, mulai dari proses pembuatan Daftar Pemilih Tetap, proses kampanye dan masa tenang, saat pencoblosan hingga proses rekapitulasi penghitungan suara di tingkat Kabupaten.
  1. Adanya Upaya Penghalangan Penggunaan Hak Pilih Oleh Termohon Secara  Secara Sistematis, Terstruktur dan Masif Mengakibatkan Banyak Pemilih Tidak Dapat Menggunakan Hak Pilihnya.

PELANGGARAN – PELANGGARAN SEBELUM DAN SAAT PENCOBLOSAN.

  • Termohon Tidak Pernah Melakukan Rapat Pleno Penetapan DPT dengan Para Pemohon Sebagai  Peserta Pilkada.
  • Termohon Sengaja Tidak Menyampaikan Undangan Untuk Memilih pada Para Pemilih.
  • Termohon Sengaja Tidak Secara Benar Mensosilisasikan Pemilih Dapat Memilih Dengan Menunjukkan KTP.
  • Pemasangan DPT oleh Termohon di banyak TPS yang Tidak Sesuai dengan Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan.
  • Adanya Pelanggaran-Pelanggaran yang Dilakukan Termohon beserta Jajaran Petugas Pelaksana Pilkada yang Menguntungkan Salah Satu Calon.

PELANGGARAN – PELANGGARAN SETELAH PENCOBLOSAN

  • Banyaknya Pelanggaran Penyalahgunaan Wewenang Dilakukan Oleh Termohon Dalam Penyelenggaraan Pilkada di Kabupaten ………….
  • Adanya Pemilih di Bawah Umur di Banyak TPS.
  • Tentang Upaya Penghilangan Hak Pilih Secara Sistematis, Terstruktur dan Massif yang dilakukan oleh Termohon
  • Pelanggaran Administrasi  Pilkada
  1. Adanya Praktek Politik Uang (Money Politics) Dilakukan Oleh Tim Pasangan Calon Nomor Urut ………………
  2. Adanya Intimidasi yang Dilakukan oleh Tim Pasangan Calon Nomor Urut …………………..
  1. Adanya Upaya Penghalangan Penggunaan Hak Pilih Oleh Termohon Secara  Secara Sistematis, Terstruktur dan Masif Mengakibatkan Banyak Pemilih Tidak Dapat Menggunakan Hak Pilihnya.

Ø  PELANGGARAN – PELANGGARAN SEBELUM DAN SAAT PENCOBLOSAN.

  1. Bahwa, Termohon yang bertindak tidak netral telah memanfaatkan proses pembuatan DPT untuk kepentingan Pasangan Nomor Urut ………..

Termohon Tidak Membuat DPT Secara Benar yang Berakibat Hilangnya Hak Pilih

  1. Bahwa, Termohon sengaja tidak memasukkan hasil pemutakhiran data pemilih yang dirimkan oleh petugas pemutakhiran data yang diperoleh dari RT-RW ke dalam DPT. Akibatnya, ketika pemilihan berlangsung, banyak penduduk yang memiliki hak pilih namun namanya tidak tercatat dalam DPT dan akhirnya tidak dapat menggunakan hak pilihnya. Selain itu, ketika pelaksanaan Pilkada, baru kemudian diketahui banyak nama yang sudah meninggal dipergunakan namanya oleh orang lain untuk memilih dan banyak pemilih di bawah umur yang dapat memilih karena namanya ada di DPT.
  2. Banyaknya penduduk yang kehilangan hak pilih dan adanya nama yang sudah meningal dipergunakan untuk memilih serta pemilih di bawah umur telah membuat proses pilkada …………. tahun 2015 menjadi cacat.

Termohon Tidak Pernah Melakukan Rapat Pleno Penetapan DPT dengan Para Pemohon Sebagai  Peserta Pilkada.

  1. Termohon tidak pernah melakukan pleno dengan para Pemohon sebagai  Peserta Pilkada Kabupaten ……….. dalam Menetapkan Daftar Pemilih Tetap ( DPT ) dan tidak pernah menyerahkan DPT kepada para Peserta Pilkada dalam hal ini pada Para Pemohon.
  2. Bahwa tindakan yang dilakukan Termohon dikualifikasi sebagai pelanggaran yang disengaja karena Termohon memang menghalang-halangi akses Para Pemohon terhadap DPT.
  3. Bahwa, tindakan Termohon tidak melakukan rapat pleno Penetapan DPT yang dihadiri dan ditandatangani oleh Para Pemohon dan/atau Tim Sukses Para Pemohon sebagai Peserta Pilkada adalah merupakan tindakan  awal Termohon yang perlu ditengarai sebagai tindakkan Termohon yang secara sistematis, terstruktur dan massif bermaksud menghilangkan hak pemilih dengan cara yang tidak transparan dan akutabel terhadap penetapan DPT sehingga  mengakibatkan  banyak nama –nama yang ada di dalam DPT tidak dapat dikontrol kebenarannya baik oleh peserta Pilkada maupun para  pemilih,akibatnya banyak pemilih yang  tidak dapat menggunakan hak pilihnya.
  4. Tindakan sistematis Termohon selanjutnya adalah tidak pernah memberikan daftar DPT kepada Para Pemohon dan atau Tim Suksesnya sebagai pasangan calon nomor urut 1, 2 dan 3 walaupun  telah berulang- ulangkali diminta Para Pemohon, namun baru kemudian Termohon berikan DPT setelah tanggal Pemilihan /pencoblosan dilakukan. Dengan demikian sampai pelaksanaan pemilihan Para Pemohon tidak mengetahui berapa jumlah pemilih yang ada di DPT. Tindakan Termohon a quo merupakan tindakan yang bertentangan dengan azas LUBER JURDIL sebagai penyelenggara Pilkada di ………………. Serangkaian tindakan Termohon tidak secara terbuka mengumumkan daftar pemilih sementara, daftar pemilih tambahan dan daftar pemilih tetap melanggar azas pemilu
  5. Bahwa atas pelanggaran yang dilakukan oleh Termohon terhadap DPT tersebut mengakibatkan terjadinya ketidakpastian hukum atas DPT yang digunakan sebagai dasar dalam Rekapitulasi Perhitungan Hasil Perolehan Suara Pilkada …………………. oleh Termohon karena faktanya penetapan DPT tidak pernah dilakukan Termohon dengan melibatkan Para Pemohon sebagai Peserta Pilkada …………… Tahun ………………
  6. Bahwa, dengan tidak adanya keterlibatan para Pemohon dalam penetapan DPT dan para Pemohon tidak pernah menerima turunan /soft copy DPT maka para Pemohon tidak mengetahui adanya perubahan-perubahan yang ada didalam DPT dan para Pemohon meragukan Termohon telah melakuan pemutakhiran data dari Daftar Pemilih Sementara (DPS) menjadi Daftar Pemilih Tetap (DPT) setelah menerima DP4 (Daftar Penduduk Pemilih Potensial Pemilu) yang diserahkan oleh Pemerintah ………………………..,  karena masih  banyak nama orang yang sudah meninggal masih tercantum dalam DPT tanpa ada catatan dan banyak pemilih dibawah umur.
  7. Bahwa tindakan Termohon tidak melakukan pemutakhiran data a quo adalah merupakan kesengajaan untuk   menghilangkan hak pilih wajib pilih, tidakan Temohon tersebut  tidak sesuai dengan Peraturan KPU Nomor 12 Tahun 2010, sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (1) yang menyatakan :

“Pemutakhiran dan penyusunan daftar pemilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, dilakukan terhadap penduduk dan/atau pemilih, dengan ketentuan :

  1. telah memenuhi syarat usia pemilih, yaitu sampai dengan hari dan tanggal pemungutan suara Pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah sudah genap berumur 17 tahun atau lebih;
  2. belum berumur 17 (tujuh belas) tahun, tetapi sudah/ pernah kawin;
  3. perubahan status anggota tentara nasional Indonesia dan kepolisian Negara Republik Indonesia menjadi status sipil atau purnatugas atau sebaliknya;
  4. tidak terdaftar dalam data pemilih yang digunakan untuk penyusunan daftar pemilih dalam Pemilu kepala daerah dan Wakil kepala Daerah berdasarkan data kependudukan yang disampaikan pemerintah daerah atau Pemilu terakhir;
  5. telah meningal dunia;
  6. pindah domisili/ sudah tidak berdomisili di desa / kelurahan tersebut;
  7. yang terdaftar pada dua kali lebih domisili yang berbeda;
  8. perbaikan identitas pemilih;
  9. Yang sudah terdaftar tetapi sudah tidak memenuhi syarat sebagai pemilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2).
  1. Hilangnya Hak  Pemilih Karena Tidak Dimasukkannya Nama Pemilih Dalam DPT. Bahwa terdapat banyak masyarakat yang namanya tidak tercatat dalam DPT padahal mereka telah memenuhi syarat sebagai pemilih.
  2. Bahwa hilangnya hak pilih ini terjadi di beberapa TPS,terutama di ………………., antara lain yang berhasil dicatat : (Bukti P – 3)
No. TPS Kelurahan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
  1. Bahwa di beberapa TPS, petugas TPS masih menggunakan DPT yang belum diperbaharui dan DPT yang tidak sesuai dengan keadaan di lapangan sehingga berpotensi terjadi penggelembungan dan pengurangan suara (Bukti P – 4). Sebagai contoh hal ini antara lain terjadi di :
  • Di TPS ……………, Distrik …………….,  terdapat pelanggaran yang dilakukan oleh termohon dimana DPT yang digunakan masih DPT yang berdasarkan pada DPT Pemilu Nasional Pilpres dan Legislatif 2009.
  • Di TPS …………….., Distrik …………, terdaftar di No ……. dengan NIK ……………… dengan nama pemilih …………… ternyata sudah meninggal pada tahun ………….
  • Di TPS …………….., Distrik …………, terdaftar di No urut ……………. dengan pemilih bernama ……………., ternyata merupakan anak yang masih bersekolah di SD  namun telah dapat memilih.
  • Di TPS ………….. Kelurahan …………, Distrik ………, terdapat dalam DPT nama orang yang sudah meninggal.
  • Di TPS ……………, Distrik ……….., terdapat penyelewengan data DPT dengan adanya pemilih dengan usia dibawah umur namun dapat mencoblos.
  1. Bahwa terdapat kejanggalan – kejanggalan mengenai DPT yang mana data tersebut tidak diambil dari data sebelumnya yang mencakup data pemilih sementara (DPS), DPT Pileg maupun PILPRES sehingga menyebabkan keanehan berupa banyaknya pemilih yang terdaftar sebagai DPT di PILEG dan PILPRES namun pada saat Pilkada ……………………, nama mereka tidak lagi terdapat dalam DPT.
  2. Bahwa berkaitan dengan DPT yang bermasalah dan tidak akurat tersebut di atas, ternyata dapat dibuktikan oleh Pemohon bahwa perbuatan tersebut dilakukan secara sengaja oleh Termohon, terstruktur, sistemik  dan secara massif, sangat potensial dan de facto memberikan keuntungan kepada Pasangan Calon Nomor Urut ………….. karena hal tersebut membuat Pasangan Calon Nomor Urut …………. ditetapkan oleh Termohon sebagai Pasangan Calon Terpilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah ……………………….;
  3. Keberadaan para pemilih banyak tidak dapat menggunakan hak pilihnya seperti tersebut di atas, adalah tidak lain campur tangan dari Termohon yang juga sesungguhnya mempunyai ”kedekatan” yang beraroma nepotisme dengan pasangan calon nomor urut ………., Pasangan dimaksud karena kapasitas pengaruhnya dapat lebih leluasa berkomunikasi dan mempengaruhi secara langsung dalam pengangkatan aparat penyelenggara pemilu lainnya. Dimana Pengangkatan KPPS, PPS tidak melibatkan Kepala Desa dan pengangkatan PPK tidak melibatkan Camat.
  4. Karena banyaknya pelanggaran yang dilakukan Termohon dalam pengangkatan  aparat penyelenggara pemilu lainnya di Kabupaten ……………….., sehingga keberpihakannya sangat kentara, terutama dalam tidak menyebarkan undangan memilih, menolak pemilih yang hanya membawa KTP dan pengerahan masa pemilih yang tidak sah.

Termohon Sengaja Tidak Menyampaikan Undangan Untuk Memilih pada Para Pemilih.

  1. Adanya kesengajaan dari Termohon untuk  menghalangi  banyak pemilik suara untuk memilih, dilakukan oleh Termohon dan jajaran penyelenggara dibawahnya dengan cara tidak menyampaikan undangan untuk memilih pada para pemilih, ini dapat dibuktikan dengan banyaknya undangan dan kartu pemilih yang ditemukan tidak disampaikan pada para pemilih. Beberapa di antaranya bentuk fisiknya berhasil ditemukan oleh warga, antara lain: (Bukti P – 5)
 No. KELURAHAN/

KAMPUNG

DISTRIK TPS JUMLAH YANG TIDAK DIBAGIKAN JUMLAH DPT
1.
2.
3.
4.
TOTAL
  1. Bahwa undangan memilih ini sengaja tidak dibagikan kepada simpatisan atau pendukug Para Pemohon. Sebaliknya, Surat undangan memilih ini hanya dibagikan kepada orang-orang yang mendukung Pasangan Nomor Urut …….. atau yang diperkirakan dapat diarahkan untuk memilih Pasangan Nomor Urut …………
  2. Bahwa akibat tidak mendapat undangan, calon pemilih yang diketahui merupakan simpatisan Para Pemohon tidak dapat memilih. Hal ini dapat pula terlihat dari angka partisipasi pemilih dan banyaknya calon pemilih yang tidak jadi memilih karena tidak dapat kartu pemilih.
  3. Bahwa bukti-bukti yang ditemukan oleh Para Pemohon merupakan sebagian dari bukti-bukti yang berhasil dikumpulkan karena memang tidak dibagikannya surat undangan merupakan perbuatan yang sudah direncanakan demi kepentingan Pasangan Calon Nomor Urut 4 (empat).

Termohon Sengaja Tidak Secara Benar Mensosilisasikan Pemilih Dapat Memilih Dengan Menunjukkan KTP.

  1. Bahwa, para Pemohon banyak menerima masukan dari masyarakat di beberapa wilayah antara lain …………………………………. banyak undangan untuk memilih tidak disampaikan pada Pemilih. Pemohon telah mengajukan protes dan mendesak pada Termohon agar Termohon membuat pemberitahuan berupa Surat Edaran   kepada Seluruh petugas penyelenggara Pilkada di ………….. ditingkat PPK dan KPPS, pemilih yang tidak dapat undangan memilih agar tetap datang ke TPS untuk memilih/mencoblos dengan menunjukkan KTP. Permintaan Pemohon tersebut ditolak oleh Termohon dengan alasan yang tidak jelas. Keesokan harinya ………………. Pemohon mendesak kembali pada Termohon untuk mengeluarkan surat edaran a quo, setelah didesak berulangkali Termohon ………………… tetap tidak mau mengeluarkan Surat Edaran
  2. Tindakan Termohon a quo telah merugikan para pendukung yang akan memilih Para  Pemohon, karena …………. tidak ada bukti tertulis dari  KPU ………. memperbolehkan pemilih memilih tanpa surat undangan memilih. Akibatnya banyak pemilih di ……….. tidak bisa menggunakan hak pilihnya. Dan tindakan Termohon tersebut disengaja dengan tujuan untuk memenangkan Pasangan Calon Nomor Urut …………..

Pemasangan DPT oleh Termohon yang Tidak Sesuai dengan Ketentuan Perundang – Undangan.

  1. Tindakan sistematis Termohon untuk menghilangkan banyak suara pemilih dilakukan dengan sengaja Termohon dan penyelenggara dibawahnya ditingkat TPS banyak tidak memasang DPT di TPS –TPS .
  2. Bahwa selain banyaknya masyarakat yang tidak terdaftar dalam DPT, pada saat pencoblosan KPPS tidak membagikan DPT kepada para saksi resmi dari setiap pasangan calon, dan tidak pula ditempelkan di TPS.

Bahwa hal ini antara lain terjadi di: (Bukti P – 6)

–          TPS … dan TPS … Kelurahan ……………..;

–          TPS  ………………….; dan

–          TPS  ……………….

–          TPS ……………………..

  1. Bahwa akibat tidak adanya DPT yang dipegang oleh para saksi resmi maupun yang ditempel, maka mempersulit para saksi untuk memeriksa apakah pemilih yang menggunakan hak pilihnya, adalah sesuai dengan DPT atau tidak.

 Adanya Pelanggaran-Pelanggaran yang Dilakukan Termohon beserta Jajaran Petugas Pelaksana Pilkada yang Menguntungkan Salah Satu Calon

  1. Bahwa Termohon beserta jajarannya telah berlaku tidak netral dan tidak profesional yang telah merugikan Para Pemohon.

28.Terjadi pelanggaran-pelanggaran yang terstruktur, sistematis dan massif yang dilakukan Termohon beserta jajarannya yang menguntungkan Pasangan Calon Nomor Urut ……………..

29.Bahwa jajaran pihak termohon (…………………….) telah menemui pasangan calon nomor urut ……… untuk menggelar suatu rapat yang mana rapat tersebut dirahasiakan oleh jajaran pihak termohon dan Pasangan Calon Nomor Urut ……….. Bahwa di beberapa tempat, antara lain di ……………………….. telah terjadi pengarahan yang dilakukan oleh anggota PPS di dalam TPS kepada pemilih untuk memilih Pasangan Nomor Urut ………….. ketika mencoblos di bilik suara.

30.Bahwa kemudian terjadi penghalang – halangan kepada saksi TPS salah satu calon di …………………. untuk mendapatkan akses kepada berita acara penghitungan suara. Saksi diintimidasi oleh petugas TPS ketika mau meminta haknya mendapatkan C-1 KWK untuk saksi. Akhirnya saksi bisa mendapatkan setelah memfotokopi formulir tersebut.

  1. Bahwa di ………………….. Panitia Pemilihan di TPS mencoblos sendiri surat –surat suara untuk kepentingan Nomor Urut …………. Saksi tidak boleh mengikuti proses pencoblosan karena dihalang-halangi PPS.

Adanya Pemilih di Bawah Umur di Banyak TPS.

  1. Bahwa ditemukan adanya pemilih di bawah umur yaitu ………. orang anak di bawah umur …………. tahun di TPS ……………….
  2. Bahwa di TPS ………………….., juga ditemukan pemilih di bawah umur yaitu …………… orang anak yang kira-kira masih …………… Mereka diberikan undangan memilih dan menggunakannya untuk memilih.
  3. Bahwa pemilih di bawah umur juga ditemukan di TPS …………………………..
  4. Bahwa temuan mengenai pemilih di bawah umur juga berdasarkan laporan-laporan tertulis sebagai berikut (Bukti P – 9):
  • Laporan tertulis atas nama …………….. tertanggal …………
  • Laporan tertulis atas nama …………….. tertanggal …………
  • Laporan tertulis atas nama …………….. tertanggal …………

PELANGGARAN –PELANGGARAN SETELAH PENCOBLOSAN

Banyaknya Pelanggaran Penyalahgunaan Wewenang Dilakukan Oleh Termohon Dalam Penyelenggaraan Pilkada di Kabupaten …………….

36.Bahwa terdapat pelanggaran yang sangat serius dalam proses pemilihan di ……………. Kotak suara yang dikirimkan dari ………….. ke …………… ternyata kosong, tidak ada surat suaranya. Akibatnya, seluruh suara …………… bermasalah.

  1. Bahwa pada saat dilakukannya hasil perhitungan suara pada Rapat Pleno tingkat kabupaten …………… oleh pihak Termohon pada tanggal …………….., terdapat kesalahan – kesalahan dan ketidaksesuaian  penghitungan.
  2. Kesalahan-kesalahan dan ketidaksesuaian ini berulangkali terjadi, terutama yang menjadi masalah krusial di ………………. Setelah mencoba melakukan perbaikan, tidak dapat disepakati oleh saksi-saksi Para Pemohon.

39.Bahwa kesalahan yang terjadi diatas karena terdapatnya kesalahan dari penghitungan suara tingkat TPS yang terjadi secara meluas (pengisian form C-1 dan rekapitulasi suara yang tidak sesuai dengan prosedur) di ………………, terstruktur dan masif di seluruh kabupaten ……………. sehingga pada saat rapat pleno, kesalahan tersebut dilanjutkan dari tingkat TPS sampai ke penghitungan suara di kabupaten.

  1. Bahwa saksi-saksi Para Pemohon mengajukan keberatan dan meminta penghitungan suara diulang kembali dari awal untuk …………., karena perbedaan tersebut merugikan Para Pemohon, namun keberatan tersebut tidak diakomidir sama sekali oleh Termohon.

41.Bahwa selain keberatan mengenai penghitungan suara …………, saksi-saksi Para Pemohon juga berkeberatan atas pelanggaran-pelanggaran yang sistematis, terstruktur dan massif yang terjadi di berbagai tempat di ………………..

42.Proses penghitungan suara yang dipenuhi pelanggaran dan penolakan pendatanganan formulir keberatan oleh Termohon telah merugikan Para Pemohon, dan merupakan pelanggaran serius.

Tentang Upaya Penghilangan Hak Pilih Secara Sistematis, Terstruktur dan Massif yang dilakukan oleh Termohon

  1. Bahwa terdapat fakta yang ditemukan oleh Pemohon dimana Termohon dengan secara sengaja dan nyata telah melakukan modus lain dalam penghilangan hak pilih pemilih di beberapa TPS di wilayah beberapa kecamatan dengan cara menempatkan pemilih tersebut untuk memilih di tempat yang jauh dari domisilinya, sehingga Pemilih tidak dapat menggunakan hak pilihnya dikarenakan harus melakukan perjalanan yang cukup jauh dari tempat tinggalnya, padahal terdapat beberapa TPS yang lebih dekat dengan tempat tinggal pemilih tersebut;
  2. Bahwa perbuatan Termohon tersebut sangat merugikan Pemohon, yaitu hilangnya potensi penambahan suara Pemohon dalam jumlah yang cukup banyak dan mengakibatkan Pemohon kalah selisih suara dengan Pasangan Calon Nomor Urut ……. berdasarkan rekapitulasi perhitungan perolehan suara oleh Termohon;
  3. Bahwa perbuatan Termohon tersebut telah melanggar Asas Dalam Penyelenggaraan Pemilu ”TPS ditentukan lokasinya di tempat yang mudah dijangkau, termasuk orang penyandang cacat serta menjamin setiap pemilih dapat memberikan suaranya secara langsung bebas dan rahasia”.
  4. Bahwa dengan demikian upaya pelanggaran terstruktur, sistematis dan massif terbukti dilakukan oleh Termohon selaku Penyelenggara Pilkada yang seharusnya taat azas dan aturan serta bersikap profesional, dan menjaga independensi Termohon sehingga pada akhirnya merugikan kepentingan Pemohon.

Pelanggaran Administrasi  Pilkada

  1. Bahwa seluruh tindakan atau perbuatan Termohon selaku penyelenggara Pilkada …………….. telah melanggar prinsip penting di dalam pemilu yang meliputi asas LUBER dan JURDIL dan sekaligus telah merusak sendi-sendi demokrasi, yaitu meliputi: melakukan pelanggaran dalam Rapat Pleno Rekapitulasi Pengitungan Perolehan Suara di Tingkat Kabupaten, Perubahan Dokumen Berita Acara, keberpihakan kepada salah satu pasangan calon, khusunya Pasangan Calon Nomor Urut ………, dan/atau telah berbuat curang terhadap pembuatan DPT yang menguntungkan kepada salah satu pasangan calon, penghilangan hak pilih dan pelanggaran adminsitratif lainnya. Hal tersebut telah melanggar Pasal 2 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 12 Tahun 2010 menyatakan, ”Penyelenggara Pemilu berpedoman kepada asas, mandiri, jujur, adil, kepastian hukum, tertib penyelenggara pemilu, kepentingan umum, keterbukaan, proposionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, efisien dan ekfektivitas”;
  1. Adanya Praktek Politik Uang (Money Politics) yang Dilakukan Oleh Tim Pasangan Calon Nomor Urut ………………….

48.Bahwa Termohon membiarkan Pasangan Calon Nomor Urut …………. melakukan praktek politik uang dalam pelaksanaan Pilkada di ………………… tahun ………….

  1. Bahwa pola praktek money politics yang dilakukan Pasangan Calon Nomor Urut ………. dilakukan sejak sebelum hingga setelah berlangsungnya pemungutan suara, terutama selama masa kampanye dan pada masa tenang, dengan cara-cara antara lain sebagai berikut:
  • Tim Pasangan Calon Nomor Urut ………. membawa beras dan BBM dengan kapal motor yang bertujuan untuk dibagi-bagikan kepada masyarakat Kampung ……………….
  • Salah satu Pasangan Calon Nomor urut …………. turun langsung di ………….. untuk membagi-bagikan uang.
  • Tim sukses dan tim pendukung Pasangan Nomor Urut ………… membagikan BBM gratis kepada para penduduk di berbagai tempat dan meminta penduduk memilih Pasangan Nomor Urut ……….., hal ini terutama terjadi …………….
  • Tim Sukses Pasangan Nomor Urut …………. membagikan uang dengan jumlah mulai dari …………… sampai dengan Rp ………………. per orang dengan cara antara lain membagikan uang dalam amplop pada calon pemilih yang di dalamnya terdapat tulisan pilih nomor ………….
  • Tim Sukses Pasangan Nomor Urut …………. juga memberikan membagi-bagikan uang kepada warga yang diakui sendiri oleh Tim Sukses Pasangan Nomor Urut ……….. dan petugas TPS di depan umum ………………
  • Bahwa Ketentuan Pasal 73 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undangtelah menegaskan larangan politik uang, sebagai berikut:

Calon dan/atau Tim Kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk untuk mempengaruhi pemilih”

  1. Bahwa Bahwa praktek politik uang yang dilakukan secara langsung oleh Tim Sukses Pasangan Nomor Urut …………dan bersama dengan tim pendukungnya tersebut, memang merupakan bagian dari upaya sistematis pemenangan dan dukungan terhadap Pasangan Nomor Urut ……….. sampai menggunakan cara-cara yang tidak patut yang dapat merusak sendi-sendi demokrasi.
  1. Adanya Banyak Intimidasi yang Dilakukan oleh Tim Pasangan Calon Nomor Urut 4 (Empat).
  1. Bahwa pada tanggal ………….. di , pada saat pemungutan suara ada beberapa orang yang mengancam pemilih yang hendak mencoblos. Pemilih merupakan pendukung Pasangan Calon Nomor Urut ……….., namun harus memilih Pasangan Calon Nomor Urut ………… dan setelah itu akan diberikan uang.
  2. Bahwa setelah pemungutan suara yang berlangsung di Kampung Sabon Distrik Waan, Kepala Kampung Sabon………………. melakukan intimidasi terhadap pendukung Pasangan Calon Nomor ……………….
  3. Bahwa di beberapa tempat, Tim Pendukung Pasangan Nomor ………. memasang sasi (tanda adat sebagai larangan) untuk melarang pendukung Pasangan Calon Nomor Urut lain untuk masuk, dan hanya tim Pasangan Calon Nomor Urut ……..yang boleh masuk. Namun demikian, hal ini tidak dilarang oleh Termohon beserta jajarannya.
  4. Bahwa terdapat berbagai ancaman dan intimidasi oleh Tim Pendukung pasangan calon nomor …………. dan menakut-nakuti warga serta Tim Pendukun Para Pemohon.
  5. ………………………………, dapat dikatakan merupakan daerah yang dihuni oleh multi etnis, intimidasi yang dilakukan oleh Tim Pemenang  calon nomor ………….. adalah selalu menyatakan  antara lain adalah ”kalau tidak memilih calon nomor ………… silahkan meninggalkan ……………….” Pernyataan tersebut merupakan intimdasi bagi para Pemilih yang berasal dari luar ………………. padahal banyak pendatang yang telah menjadi penduduk sah di  Kabupaten …………….. Tindakan Tim Sukses a aquo jelas bertentangan azas Pemilu Luber Jurdil.
  6. Bahwa selain Pilkada harus sesuai dengan “asas luber dan jurdil” pelaksanaan Pilkada juga tidak boleh ada tekanan atau intimidasi dari pihak manapun yang dapat mencederai demokrasi. Masyarakat sebagai warga negara mempunyai hak pilih yang merupakan hak asasi harus terhindar dari rasa takut, tertekan dan terancam dalam mengikuti proses demokratisasi, karena hal tersebut sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 45 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”, dan bersesuaian dengan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas rasa aman dan tentram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu”.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, Tindakan Termohon Tidak Melakukan Pleno DPT, Tidak Memberikan Undangan Pada Banyak Pemilih, Tidak Menginstruksikan Secara Benar Pemilih Dapat Menggunakan KTP, Tidak Memasang DPT di TPS  adalah merupakan Tindakan Termohon melanggar azas Pemilu yang LUBER JURDIL terjadi Secara Sistematis, Terstruktur dan Masif  dengan Tujuan Memenangkan Pasangan Calon Nomor Urut ……………………

  1. Bahwa pelanggaran-pelanggaran tersebut di atas yang dilakukan oleh Termohon sangat serius dan signifikan yang mempengaruhi perolehan suara dan bahkan telah mengingkari prinsip penting dari konstitusi, demokrasi dan hak-hak warga negara (Vide Pasal 18 ayat (4) dan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 serta peraturan perundang-undangan lainnya, yang tidak dibenarkan terjadi di Negara Hukum Republik Indonesia;
  2. Bahwa pelanggaran-pelanggaran yang sangat serius dan signifikan tersebut mempunyai dampak dan pengaruh terhadap perolehan suara, menggelembungkan suara Pasangan Calon Nomor Urut ………… dan mengurangi Pasangan Calon Nomor Urut  …….. dan …………. sehingga adalah patut dan wajar untuk dilakukan pemungutan suara ulang dan/atau  menetapkan perolehan suara Pasangan calon setidaknya sebagai berikut:
Peringkat Nama dan Nomor Urut Pasangan Calon Perolehan Suara
1 (Nomor Urut 3)
2 (Nomor Urut 1)
3 (Nomor Urut 2)
TOTAL :
  1. Bahwa dengan adanya pelanggaran-pelanggaran yang serius dan signifikan sehingga dapat dikualifikasi sebagai massif, sistematis dan terstruktur yang dilakukan oleh Termohon, Mahkamah berwenang membatalkan Penetapan Hasil Perolehan Suara yang Diperoleh Setiap Pasangan Calon Atas Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kabupaten ………………….., Sesuai Surat Keputusan Nomor …………………………………..

Berkenaan dengan seluruh uraian di atas maka sudilah kiranya Mahkamah Konstitusi menyatakan dan menetapkan:

kesatu, untuk dilakukan pemungutan suara ulang di seluruh …………………….; atau

kedua, pemungutan suara ulang, khususnya di kecamatan dimana terdapat para pemilih yang tidak mendapat surat undangan,tidak bisa menggunakan hak pilihnya walaupun sudah menunjukkan KTP dan DPT tidak dipasang di TPS –TPS sehingga surat suara leluasa digunakan oleh orang yang namanya tidak tercantum dalam DPT yaitu  khususnya di Kecamatan………………………………………………..

Berdasarkan perhitungan tersebut di atas maka PEMOHON seharusnya yang ditetapkan sebagai Pasangan Calon Terpilih dalam Pilkada Kabupaten ………………. Tahun 2015.

PETITUM :

  1. Menerima dan mengabulkan permohonan keberatan yang diajukan oleh Pemohon untuk seluruhnya;
  2. Menyatakan tidak sah dan tidak mengikat Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah ………… oleh Komisi Pemilihan Umum …………. tanggal ……………..
  3. Membatalkan  Keputusan Komisi Pemilihan Umum …………… tanggal ………….. Nomor ………………. dan Berita Acara tanggal ……………. tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Pemlihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah …………… Tahun 2015.
  4. Menyatakan tidak sah dan batal penetapan  ……………….. dan …………….. sebagai Pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah ……………. Tahun ………….. Nomor Urut …………. berdasarkan Keputusan Komisi Pemilihan Kabupaten …………. Nomor : …………………………. tanggal ………………. dan Berita Acara   tanggal ……………. tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Pemlihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten …………. Tahun …………… .
  5. Menyatakan agar Komisi Pemilihan Umum Kabupaten ………………. melakukan Pemungutan Suara Ulang Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten ………………….. Tahun 2015 di seluruh  Kabupaten ……………..dalam waktu selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sejak putusan Mahkamah ditetapkan;
  6. Memerintahkan Termohon untuk memperbaiki Daftar Pemilih Tetap yang bermasalah atau tidak akurat untuk dimutakhirkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
  7. Memerintahkan Termohon mendiskualifikasi dan mencabut hak Pasangan Calon Nomor Urut …………….. yaitu ……………. dan …………….. sebagai Calon Peserta Pasangan Calon Pilkada dalam pelaksanaan Pemungutan Suara Ulang Pilkada Kabupaten ……….. karena terbukti telah melakukan pelanggaran ketentuan Pilkada.

ATAU,

  1. Menyatakan agar Komisi Pemilihan Umum Kabupaten ………………melakukan: Pemungutan Suara Ulang Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah …………………….Tahun 2015, khususnya di …………. Distrik  di  Kabupaten ………….. yaitu Distrik, …………………………; dalam waktu selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sejak Putusan Mahkamah ditetapkan;
  2. Memerintahkan Termohon untuk memperbaiki Daftar Pemilih Tetap yang bermasalah atau tidak akurat untuk dimutakhirkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
  3. Memerintahkan Termohon mendiskualifikasi dan mencabut hak Pasangan Calon Nomor Urut ………….. sebagai Calon Peserta Pasangan Calon Pilkada dalam pelaksanaan Pemungutan Suara Ulang Pilkada Kabupaten ………. karena terbukti telah melakukan pelanggaran ketentuan Pilkada;

ATAU,

  1. Menetapkan Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten ……………. Tahun 2015 bahwa Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati ………………………….. dengan Nomor Urut 3 atas nama ……………….. dan ………………………., sebagai pasangan yang memperoleh suara terbanyak dalam Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten ………….. Tahun 2015 yang rincian hasil penghitungan perolehan suara yang benar adalah sebagai berikut:
Peringkat Nama dan Nomor Urut Pasangan Calon Perolehan Suara
1 (Nomor Urut 3)
2 (Nomor Urut 1)
3 (Nomor Urut 2)
TOTAL :
  1. Menyatakan dan menetapkan Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Pemilihan Kabupaten ………………….. dengan Nomor Urut …………….. atas nama ……………………. dan …………………………… sebagai Pasangan Calon Terpilih dalam Pemilihan Kepala Daerah ……………. Tahun ………………….;
  2. Memerintahkan Termohon menerbitkan Surat Keputusan Hasil Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah ………………. Tahun 2015 berdasarkan Keputusan Mahkamah Konstitusi ini;

Atau, apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain mohon putusan yang seadil-adilnya berdasarkan prinsip ex aequo et bono

Demikian permohonan ini  atas segenap perhatian Bapak Majelis Hakim dihaturkan terima kasih.

Jakarta, 21 Desember 2015

Hormat kami

Kuasa Hukum Para Pemohon,

Continue Reading

ANCAMAN BENCANA PEMILU 2014

Seperti yang sering terjadi belakangan, bencana alam terjadi hampir diseluruh belahan bumi Indonesia yang tanpa terduga sebelumnya oleh indera penglihatan manusia, tentunya juga akan berakibat pada pelaksanaan Pemilihan Umum baik pemilu legislatif yang akan dilaksanakan pada tanggal 9 April 2014 maupun terhadap pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang akan dilaksanakan pada tanggal 9 Juli 2014 mendatang, apabila dimungkinkan terjadinya bencana pada saat Pemilu digelar. Ancaman terhadap terjadinya bencana alam saat ini harus menjadi perhatian serius bagi penyelengara pemilu demi terciptanya kondisi yang aman dan tenteram serta menghasilkan pemimpin-pemimpin bangsa yang amanah sesuai dengan tujuan bernegara sebagaimana tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

Salah satu dampak yang sangat memprihatinkan apabila pemilu tidak dapat diselenggarakan sesuai dengan tahapan yang telah ditentukan yang diakibatkan oleh keadaan dimana terdapat suatu kondisi diluar daya nalar manusia yang tidak memungkinkan untuk diselenggarakannya pemilu, yakni salah satunya diakibatkan oleh terjadinya bencana alam, baik dalam ruang lingkup kecil, sedang maupun besar sehingga berdampak pada keselamatan dan keamanan nasional, sehingga demi kepentingan umum baik pemilu legislatif dan Presiden serta Wakil Presiden belum dapat dilaksanakan sebagaimana tahapan yang telah ditentukan sebelumnya. Tentu berdasarkan kondisi demikian akan berdampak tehadap terjadinya suatu kejadian atau peristiwa yang dinamakan krisis konstitusional di Indonesia.

ANCAMAN KRISIS KONSTITUSIONAL

Krisis Konstitusional merupakan kondisi dimana konstitusi atau Undang-Undang Dasar yang sah dan berlaku secara umum dalam suatu Negara tidak mampu menjawab tantangan yang terjadi dalam peristiwa konkrit dilapangan, hal itu disebabkan oleh tidak mengaturnya konstitusi dalam suatu Negara atau terdapat kekosongan hukum mengenai peristiwa tertentu yang diluar daya nalar atau kemampuan pembentuk Konstitusi atau Undang-Undang Dasar untuk menuangkan ke dalam aturan dasar Negara/Aturan Pokok Negara (Staatsgrundgesetz). Dalam kondisi demikian terjadi suatu kondisi yang luar biasa dimana terdapat kegentingan yang luar biasa dalam penyelenggaran Negara dan Pemerintahan, sehingga harus dicarikan jalan keluar yang baik guna mengantisipasi krisis konstitusional yang kemungkinan akan terjadi di Indonesia.

Apabila dianalisis secara mendalam melalui Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen, maka terdapat beberapa hal yang dapat mengakibatkan Indonesia akan berpeluang terhadap terjadinya suatu kondisi krisis konstitusional. Potensi krisis konstitusional di Indonesia lebih diakibatkan oleh adanya kekosongan Jabatan (vacum of power) baik Presiden mapun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), padahal masa Jabatan yang bersangkutan telah selesai (selama 5 tahun)  dan belum terdapat hasil yang sah dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk melanjutkan masa atau periode berikutnya. Potensi atas kondisi tersebut dilatarbelakangi oleh adanya ketidakmampuan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk melaksanakan pemilihan umum sesuai dengan tahapan yang telah ditentukan diakibatkan oleh peristiwa tertentu diluar akal dan nalar manusia, sehingga terdapat suatu kondisi kekosongan dan kevakuman kekuasaan lembaga Presiden mapun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Sedangkan tidak terdapat kewenangan dalam lembaga Negara manapun untuk memperpanjang masa jabatan Presiden mapun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tersebut. Kondisi demikian yang dapat mengakibatkan terjadinya krisis konstitusional.

Selain itu dimungkinkan terjadinya suatu krisis konstitusional yakni apabila  karena satu atau beberapa alasan, Presiden dan Wakil Presiden berhalangan tetap, misalnya dimakzulkan (impeachment) oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Pada saat keadaan normal, aturan yang dikenal dalam Pasal 8 Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen adalah lahirnya lembaga yang disebut Triumvirat, yakni Menteri Pertahanan, Menteri Luar Negeri dan Menteri Dalam Negeri melanjutkan pemerintahan sampai terselenggaranya pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang baru. Persoalannya, apabila sebelum dimakzulkan, Presiden menyatakan Kabinet Demisioner, maka tidak akan pernah ada Triumvurat. Untuk itu akan terdapat suatu kondisi dimana terdapat kekosongan Jabatan Presiden, sekaligus kekosongan konstitusional yang tidak mampu menjawab persoalan sebagaimana tersebut diatas.

Pada saat kondisi Negara dalam keadaan krisis konstitusional, yakni krisis yang terjadi pada sebuah negara tapi tidak ada jalan keluar konstitusional untuk mengatasinya, maka akan sangat rentan sekali terhadap perebutan kekuasaan. Untuk itu dimungkinkan terjadinya suatu kondisi Negara dalam keadaan darurat (state emergency) atau istilah lainnya (staatsnoodercht) sehingga mengancam terhadap keutuhan bangsa dan Negara. Dengan demikian akan sangat membahayakan bagi keberlangsungan penyelenggaraan pemerintahan dikarenakan terdapat kekosongan jabatan lembaga Negara yang memegang peranan penting dalam upaya mencapai tujuan Negara sebagaimana tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Kondisi yang demikian bukan tidak mungkin akan terjadi, mengingat seiring perjalanan waktu tidak terdapat seorangpun yang menjamin terhadap kondisi Negara dalam keadaan normal (ordinary condition) atau (normal condition), kadangkala akan timbul atau terjadi keadaan tidak normal yang tidak dapat diprediksi sebelumnya.

JALAN KELUAR

Altelnatif solusi terhadap peluang terjadinya Krisis Konstitusional paling tidak terdapat 3 (tiga) macam pilihan solusi, diantanya : (1) Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 dengan mencantumkan perihal yang berkaitan dengan jalan keluar terhadap kemungkinan terjadinya Krisis Konsitusional, yakni dengan memfungsikan kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk dapat memperpanjang atau memilih Kepala Negara dan Pemerintahan atau DPR, DPD serta MPR untuk sementara waktu sampai dengan pemilihan umum dapat diselenggarakan, sehingga secara definitif terpilih secara sah baik Presiden, Wakil Presiden, DPR, DPD dan MPR. Tentu pilihan ini membutuhkan kemauan dan keinginan yang kuat dari pembentuk Undang-Undang Dasar untuk mengamandemen Undang-Undang Dasar 1945. (2) Presiden dapat mengeluarkan Dekrit untuk memperpanjang masa jabatannya atau masa jabatan DPR, DPD serta MPR sampai dengan pemilihan umum dapat diselenggarakan, namun pilihan ini tentu akan menciptakan iklim politik yang tidak kondusif, mengingat apabila terdapat beberapa orang yang tidak sependapat dengan dekrit, maka akan terjadi perebutan kekuasaan dengan jalan peperangan, kudeta dan lain sebagainya. (3) Mengadakan Referendum atau melaksanakan pemerintahan yang didasarkan pada pengawasan secara langsung oleh rakyat, terutama terhadap kebijaksanaan yang telah, sedang, atau yang akan dilaksanakan oleh badan legislatif atau eksekutif. Dengan demikian rakyatlah yang menentukan arah kebijakan yang akan diambil untuk mengatasi Krisis Konstitusional, akan tetapi langkah yang demikian sangat rentan dengan adanya konflik kepentingan, mengingat daerah dan geografis rakyat Indonesia yang begitu luas, maka dimungkinkan akan terdapat beberapa perbedaan-perbedaan yang tidak dapat dibendung.

Dengan demikian menjadi harapan bersama semoga Pemilu 2014 berjalan dengan lancar sesuai dengan tahapan yang telah ditentukan, sehingga ancaman Krisis Konstitusional sebagaimana ulasan diatas, hanya merupakan antisipasi sekaligus upaya mencari jalan keluar dalam hal Krisis Konstitusional benar-benar terjadi.

Continue Reading

KEPENTINGAN DPR, PEMERINTAH DAN KPK DALAM RUU KUHAP

Perjalanan panjang Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) sejak tahun 2004 hingga saat ini menuai perdebatan serius baik oleh kalangan Praktisi, Akademisi, Aktivis Anti Korupsi maupun antar lembaga Negara yang kian hangat diperbincangkan sehari-hari. Akar persoalannya sebenarnya terletak pada beberapa persoalan yang dianggap atau mampu memberikan efek negatif bagi penegakan hukum, utamanya pemberantasan tindak pidana korupsi yang sedang gencar dilakukan oleh aparat penegak hukum utamanya oleh KPK yang mendapat dukungan massive dari masyarakat luas, hal itu mengingat dampak negatif dari perilaku Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang sangat besar bagi keberlangsungan penyelenggaraan Negara untuk mencapai tujuannya sebagaimana tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

Seperti diketahui bersama bahwa sebelumnya komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi melalui Bambang Bambang Widjojanto meminta DPR untuk menghentikan pembahasan RUU KUHAP, paling tidak terdapat 3 (tiga) alasan kenapa pembahasan RUU KUHAP harus dihentikan, pertama, masa jabatan DPR yang tinggal beberapa hari lagi dan tidak sesuai dengan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang harus dibahas, yakni terdapat kurang lebih sekitar 1.169 masalah yang harus dibahas. Kedua, terdapat naskah tandingan yang diajukan KPK, yang dianggap lebih memadai dibandingkan naskah yang diserahkan Kementerian Hukum dan HAM kepada DPR beberapa waktu lalu, yakni Naskah yang diajukan KPK lebih secara utuh menjawab dan menjelaskan masalah fundamental KUHAP mendatang serta solusinya . Ketiga, pembahasan RUU KUHAP di DPR tidak melibatkan KPK sebagai user yang akan menjalankan RUU KUHP setelah disahkan dikemudian hari.

Selain itu terdapat beberapa persoalan fundamental yang hingga kini menuai pro dan kontra, hal itu dikarenakan berhubungan erat dengan kewenangan dari aparat penegak hukum guna melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya yang selama ini telah mendarah daging dan melekat pada aparat penegak hukum dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi utamanya yang dilakukan oleh KPK. Paling tidak terdapat 12 point yang disinyalir berpotensi melemahkan KPK. Diantaranya adalah dihapuskannya ketentuan penyelidikan, KUHAP berlaku terhadap tindak pidana yang diatur di luar KUHP, Penghentian penuntutan suatu perkara, tidak memiliki kewenangan perpanjangan penahanan pada tahap penyidikan, masa penahanan tersangka lebih singkat, Hakim Komisaris dapat menangguhkan penahanan yang dilakukan penyidik dengan jaminan uang atau orang, penyitaan harus seizin dari hakim, penyadapan harus mendapat izin hakim, penyadapan (dalam keadaan mendesak) dapat dibatalkan oleh hakim, putusan bebas tidak dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung, Putusan Mahkamah Agung tidak boleh lebih berat dari putusan Pengadilan Tinggi dan Ketentuan pembuktian terbalik tidak diatur. Berdasarkan point tersebut, maka disinyalir akan melemahkan kewenangan KPK dalam upaya pemberantasan tindak pidana KKN di Indonesia.

Secara sosiologis harus diakui bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 telah tidak sesuai dengan perkembangan zaman dan harus segera dilakukan perubahan, mengingat terdapat beberapa pasal yang masih menimbulkan multitafsir dan terdapat beberapa hal yang belum diatur serta dalam penyelenggaraannya jauh dari rasa keadilan dan kemanfaatan, untuk itu kemudian terdapat keinginan dari pembentuk Undang-Undang dan beberapa kalangan yang berkepentingan untuk segera melakukan perubahan terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tersebut. Tentu perubahan (ius constituendum) kearah yang lebih baik menjadi harapan semua kalangan, untuk itu kemudian sejak 2004 telah dibentuk panitia perumus RUU KUHAP serta berulangkali tertuang dalam Program Legislasi Nasional (Proregnas), namun hingga kini RUU KUHAP belum disahkan oleh DPR, dikarenakan dalam setiap pembahasannya selalu terdapat tarik-menarik kepentingan yang berkaitan dengan kewenangan yang akan diatur dalam RUU KUHAP tersebut.

Apabila diurai, maka terdapat beberapa kepentingan baik dari DPR, Pemerintah maupun KPK dalam hal ini, mengingat terdapat kondisi tidak seperti biasanya, dimana DPR bersama Pemerintah menginginkan agar RUU KUHAP segera dilakukan pembahasan agar segera di sahkan menjadi Undang-Undang, hal itu dikarenakan selain telah menjadi suatu target dalam program legislasi, serta juga menjadi kebutuhan bersama akan hadirnya suatu Hukum Acara Pidana yang mampu memberikan Kepastian, Keadilan dan Kemanfaatan bagi semua kalangan. Sedangkan KPK dalam hal ini merasa dengan adanya percepatan pembahasan RUU KUHAP serta terdapat point-point Pasal yang mengarah pada suatu kondisi yang berpotensi terhadap pelemahan kewenangan KPK dalam upaya pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia. Untuk itu dapat dikatakan disatu sisi secara sosiologis memang RUU KUHAP sudah seharusnyalah dilakukan pembahasan dan segera disahkan, akan tetapi terdapat beberapa persoalan yang membutuhkan pembahasan secara mendalam berkaitan dengan point-point yang disinyalir akan melemahkan kewenangan KPK dalam menyelenggarakan tugas dan wewenangnya.

Dengan demikian dibutuhkan kearifan bersama guna mencari solusi terhadap beberapa point yang disinyalir akan melemahkan kewenangan KPK dalam menyelenggarakan tugas dan wewenangnya. Dibutuhkan partisipasi semua kalangan guna mengkaji, menganalisis serta memberi masukan terhadap draf RUU KUHAP demi terciptanya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang mampu memberikan kepastian Hukum, Keadilan dan Kemanfaatan, serta tidak terdapat suatu lembaga Negara manapun yang merasa dirugikan dengan hadirnya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang akan disahkan nantinya. Terhadap beberapa usulan draft RUU KUHAP yang berasal dari KPK atau lembaga lainnya juga perlu mendapat respon serta tindak lanjut sebagai bahan masukan untuk proses pembahasan pasal demi pasal dengan tanpa menghentikan proses pembahasan RUU KUHAP yang telah berjalan di DPR. Dengan demikian akan tercapai solusi yang baik antar lembaga Negara, bukan saling klaim yang saling memperkeruh suasana tanpa ada jalan keluar yang baik demi tercapainya tujuan program legislasi serta pemantapan kewenangan KPK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya yang sesuai dengan hukum tanpa mengesampingkan Hak Asasi Manusia dalam proses penegakannya.

Continue Reading

DANA HIBAH BUKANLAH SUATU TINDAK PIDANA KORUPSI

ANALISIS : DANA HIBAH

BUKANLAH SUATU TINDAK PIDANA KORUPSI

  1. Bahwa Pengadaan dan Pemasangan Pompa air oleh saudara Priyono Sanjoyo pendanaannya bersumber dari BANTUAN DANA HIBAH dari badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) kepada Pemerintah Kota Semarang tahun Anggaran 2009;
  1. Bahwa karena kegiatan yang dilaksanakan oleh terdakwa bersumber dari BANTUAN DANA HIBAH dari badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) kepada Pemerintah Kota Semarang tahun Anggaran 2009, maka dalam pelaksanaannya harus mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang DANA HIBAH atau HIBAH DAERAH;
  1. Bahwa Peraturan Perundang-Undangan yang mengatur tentang DANA HIBAH atau HIBAH DAERAH diantaranya adalah :
  1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW);
  2. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57 Tahun 2005 tentang Hibah Kepada Daerah;
  3. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah;
  4. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas PP Nomor 6 tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara / Daerah;
  5. Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Permendagri Nomor 59 tahun 2007;
  6. Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) Nomor : 168/PMK.07/2008 tentang Hibah Daerah;
  7. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 169/PMK.07/2008 tentang Tata Cara Penyaluran Hibah Kepada Pemerintah Daerah;
  1. Bahwa dalam beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut diatas, diatur tentang pengertian atau definisi HIBAH, diantaranya sebagai berikut :
  1. Pasal 1666 KUHPerdata, yang berbunyi : Hibah adalah Suatu Perjanjian dengan mana si penghibah, diwaktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu”.
  2. Pasal 1 angka 18 PP No. 38 Th. 2008, yang berbunyi : ”Hibah adalah pengalihan kepemilikan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, dari pemerintah daerah kepada pemerintah pusat, antar pemerintah daerah, atau dari pemerintah pusat/pemerintah daerah kepada pihak lain, tanpa memperoleh penggantian”.
  3. Peraturan Menteri Keuangan No. 168/PMK.07/2008 tentang Hibah Daerah, yaitu :

Pasal 1 angka 10, yang berbunyi :

“Hibah adalah pemberian sukarela dengan pengalihan hak atas sesuatu”.

Pasal 1 angka 11, yang berbunyi :

“Hibah Daerah adalah bantuan dari Pemerintah atau pihak lain kepada Pemerintah Daerah atau sebaliknya yang tidak perlu dibayar kembali”.

  1. Bahwa berdasarkan beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana pada angka 4 diatas, dapat disimpulkan bahwa HIBAH adalah Perbuatan / perjanjian keperdataan antara pemberi dan penerima hibah yang mempunyai konsekwensi hukum pengalihan hak atas sesuatu barang / benda atau uang dari pemberi hibah kepada penerima hibah mulai pada saat hibah itu diberikan serta tidak dapat ditarik kembali. Artinya barang/benda atau uang yang sudah dihibahkan menjadi hak sepenuhnya penerima hibah.
  1. Bahwa berdasarkan pertimbangan pada angka 4 dan angka 5 diatas, BANTUAN DANA HIBAH dari badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) kepada Pemerintah Kota Semarang tahun Anggaran 2009 selaku Pemberi Hibah kepada Terdakwa selaku Penerima Hibah, maka pada saat itu pula Dana Hibah tersebut sepenuhnya menjadi hak (milik) sepenuhnya terdakwa selaku Penerima Hibah.
  1. Bahwa dalil sebagaimana pada angka 6 diperkuat dengan fakta dianggarkannya BANTUAN DANA HIBAH dari badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) kepada Pemerintah Kota Semarang tahun Anggaran 2009 dalam Pos Belanja Daerah Tidak Langsung sebagaimana belanja gaji pegawai, yang mempunyai implikasi hukum bahwa Uang / Dana Hibah tersebut sejak dibelanjakan / diberikan kepada Penerima Hibah tidak dicatat lagi (dihapus) sebagai kekayaan daerah.
  1. Bahwa dengan demikian, pada dasarnya dana hibah yang telah diterima oleh penerima hibah menjadi hak sepenuhnya penerima hibah untuk penggunaan dan pemanfaatannya, hal tersebut dapat dilihat dari beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan pada angka 3 diatas, tidak ada satupun ketentuan yang secara detail mengatur penggunaan / pemanfaatan dana hibah yang diberikan oleh pemerintah/pemerintah daerah kepada masyarakat kecuali dana hibah yang diterima oleh pemerintah / pemerintah daerah, karena dana negara/daerah yang telah dihibahkan kepada masyarakat selaku penerima hibah telah berpindah hak kepemilikan dari negara/daerah selaku pemberi hibah  kepada masyarakat selaku penerima hibah;
  2. Bahwa untuk BANTUAN DANA HIBAH dari badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) kepada Pemerintah Kota Semarang tahun Anggaran 2009 sebagaimana diantaranya telah diterima oleh terdakwa, selain tunduk pada ketentuan peraturan perundangan-undangan yang diantaranya sebagaimana disebutkan pada angka 3 diatas, juga telah didahului dengan sebuah Perjanjian / Perikatan antara Pemberi Hibah yaitu ……………………………………………………………………………………………………………………………………………… (Semua dana hibah pasti ada perjanjian Hibah (NPHD));
  1. Bahwa dengan dibuatnya perjanjian /perikatan keperdataan antara Pemerintah Propinsi Jawa Tengah melalui ……………………………………….. dengan Terdakwa selaku Penerima Hibah dalam bentuk Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD), maka dana hibah yang telah diterima oleh terdakwa harus digunakan dan dimanfaatkan untuk kegiatan-kegiatan sebagaimana telah disepakati bersama dalam Naskah Perjanjian Hibah Daerah, yang pada Intinya NPHD tersebut berisi, antara lain :

–          …………………

–          …………………

–          …………………

(Untuk lebih jelasnya mengenai Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) ini kami lampirkan).

Continue Reading

UNSUR-UNSUR PERJANJIAN (YANG HARUS ADA DALAM PERJANJIAN)

Menurut advokat Brigitta Imam Rahayoe, poin-poin yang pada umumnya ada dalam suatu perjanjian antara lain meliputi (namun tidak terbatas pada):

  • Para pihak;
  • Pendahuluan;
  • Definisi;
  • Pernyataan dan Jaminan;
  • Isi Kontrak;
  • Harga;
  • Ketentuan Pembayaran;
  • Metode Pembayaran;
  • Kewajiban pembayaran;
  • Waktu;
  • Penyerahan;
  • Hak/title;
  • Tanggung jawab;
  • Ganti rugi;
  • Perpajakan;
  • Keadaan memaksa /kahar/force majeur;
  • Jangka waktu berlakunya perjanjian;
  • Wanprestasi;
  • Akibat dari wanprestasi;
  • Pengalihan;
  • Pengujian inspeksi dan Sertifikasi;
  • Kerahasiaan;
  • Litigasi/Arbitrasi /Alternative Dispute Resolution;
  • Hukum yang Berlaku;
  • Yurisdiksi;
  • Pengesampingan;
  • Lampiran;
  • Penutup.
Continue Reading