PEMBUBARAN PARPOL KORUPTIF

PEMBUBARAN PARPOL KORUPTIF

Sangat mengejutkan, melalui sidang perdana pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta dengan agenda dakwaan Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi dalam kasus dugaan korupsi e-KTP atas nama terdakwa Irman dan Sugiharto, muncul nama-nama besar yang patut diduga ikut menerima suap dalam pengadaan e-KTP. Dalam dakwaannya, Jaksa menyebut setidaknya terdapat 38 pihak yang diduga sebagai penerima dana pengadaan e-KTP dari terdakwa Irman dan Sugiharto. Nama-nama tersebut terdiri dari berbagai macam kalangan profesi seperti para pejabat negara, puluhan politisi, Menteri, Kepala Daerah, Korporasi dan kalangan swasta sebagai penerima suap.

Banyaknya politisi yang sebagian besar sebagai penerima suap sungguh sangat memprihatinkan, terlebih lagi politisi tersebut memiliki otoritas dan jabatan baik dalam struktur organisasi partai politik maupun dalam jabatan pemerintahan. Untuk itu memunculkan harapan publik bagi aparat penegak hukum dan pemerintah yakni tidak hanya dapat menjerat orang perorang dari kalangan parpol, akan tetapi juga muncul harapan dari sebagian masyarakat agar aparat penegak hukum dan pemerintah dapat menjerat partai politik secara institusi untuk dapat dibubarkan.

Atas wacana tersebut tentu terdapat pertanyaan mendasar, dapatkah membubarkan parpol yang terlibat dalam tindakan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme ? Bagaimana prosedur dan tata caranya ? dan bagaimana pula peluang dan tantangannya ?

Prosedur

Secara konstitusional Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 memberikan kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memutus pembubaran partai politik. Adapun yang memiliki Legal Standing sebagai Pemohon dalam Pembubaran partai politik menurut Pasal 68 Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi adalah Pemerintah.

Kemudian ditegaskan bahwa Pemohon Pembubaran partai politik menurut Pasal 3 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 12 Tahun 2008 tentang Prosedur beracara dalam Pembubaran Partai Politik adalah Pemerintah yang dapat diwakili oleh Jaksa Agung dan/atau Menteri yang ditugasi oleh Presiden. Sedangkan Termohon menurut Pasal 3 ayat (2) PMK No. 12 tahun 2008 adalah partai politik yang diwakili oleh pimpinan partai politik yang dimohonkan atau dapat didampingi oleh kuasa hukumnya.

Pemohon harus dapat menguraikan permohonannya dengan didasarkan pada ideologi, asas, tujuan, program partai politik yang dimohonkan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, serta kegiatan atau akibat yang ditimbulkan oleh partai politik yang dimohonkan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Selain itu Pemohon harus mendasarkan pada alat-alat bukti pendukung atas permohonan pembubaran parpol yang dimohonkan.

Terhadap permohonan yang telah dinyatakan lengkap, MK akan menetapkan hari sidang perdana paling lambat 7 hari kerja sejak permohonan dinyatakan lengkap, sedangkan Termohon wajib menyerahkan jawaban paling lama 1 hari sebelum sidang perdana dimulai. Kemudian MK akan memeriksa dan mengadili serta wajib mengambil putusan dalam jangka waktu paling lambat 60 hari kerja sejak permohonan dicatat dalam buku registrasi perkara konstitusi.

Peluang dan Tantangan

Dewasa ini parpol telah memiliki peranan yang sangat penting terhadap pertumbuhan dan perkembangan suatu negara. Bahkan, dalam beberapa aspek tertentu peranan parpol telah melebihi peran dan pengaruh suatu negara. Namun dalam perkembangannya, parpol seringkali melakukan tindakan-tindakan yang mengarah pada pelanggaran hukum bahkan pelanggaran terhadap hak asasi manusia, salah satunya turut andilnya parpol dalam praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Kondisi yang demikian tentu akan berdampak negatif bagi perkembangan bernegara.

Kedudukan Parpol sebagai ujung tombak sistem demokrasi bukan berarti parpol dalam menjalankan aktivitasnya menjadi kebal hukum atau tidak dapat dibubarkan. Parpol yang nyata-nyata terlibat dalam praktek/kegiatan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme maka jelas telah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, sehingga tidak alasan untuk tidak dapat dibubarkan.

Berdasarkan analisa penulis terhadap peluang dan tantangan pembubaran parpol yang terlibat dalam kegiatan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme setidaknya terdapat beberapa hal, Pertama KPK harus dapat membuktikan bahwa aliran dana yang bersumber dari praktek Koruptif tersebut juga dinikmati atau mengalir kepada Parpol dalam menjalankan aktivitas organisasinya. Untuk itu diperlukan sinergi antara KPK dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) serta lembaga terkait lainnya, guna mencari dan membuktikan apakah memang terdapat aliran dana hasil dari praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme kepada Parpol.

Kedua, apabila berdasarkan putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkrach) terbukti terdapat aliran dana dari hasil praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme kepada parpol, maka diharapkan KPK merapatkan barisan untuk berkoordinasi dengan Pemerintah dalam hal ini Presiden yang memiliki legal standing untuk dapat mengajukan permohonan pembubaran Partai Politik kepada Mahkamah Konstitusi. KPK dalam hal ini juga dapat berkoordinasi dengan lembaga penegak hukum terkait lainnya guna mendapat dukungan baik moral dan politik demi tegaknya hukum dan keadilan.

Ketiga, Pemerintah dalam hal ini Presiden harus objektif menilai terhadap urgensi penyelenggaraan Negara yang bersih bebas dari praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Sehingga apabila terdapat partai politik yang juga turut andil atau turut serta dan merasakan dalam kegiatan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, maka diharapkan tidak ragu untuk mengambil langkah-langkah hukum utamanya berkenaan dengan Permohonan Pembubaran Parpol yang terlibat dalam kegiatan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme kepada Mahkamah Konstitusi.

Keempat, masyarakat juga harus mengawal semangat berdemokrasi yang berkwalitas dan bersih dari praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Selain itu untuk memberikan sanksi yang tegas terhadap parpol yang secara nyata turut andil atau turut serta dan merasakan dalam kegiatan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, maka tidak ada sedikitpun keraguan untuk mendukung aparat penegak hukum dan Pemerintah guna memproses secara hukum dengan cara mengajukan permohonan pembubaran atas parpol tersebut kepada Mahkamah Konstitusi.

Kelima, Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pengawal konstitusi yang salah satunya diberikan kewenangan secara konstitusional untuk memeriksa dan mengadili Permohonan Pembubaran Partai Politik, harus tetap menjaga independensinya dalam memutus berkaitan dengan permohonan pembubaran partai politik oleh Pemerintah. MK harus menjadi harapan lembaga yang dapat menegakkan konstitusi yang salah satunya dengan cara objektif mengambil putusan yang seadil-adilnya terhadap partai politik yang nyata-nyata merugikan keuangan Negara dan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.

Tentu pembubaran partai politik ini bukanlah perkara yang mudah, mengingat dalam pratek dilapangan akan sangat bersinggungan dan tarik-menarik kepentingan antara penegakan hukum dan politik didalamnya. Apalagi apabila parpol yang dimohonkan merupakan parpol yang cukup besar dan merupakan parpol pendukung pemerintah. Akan tetapi biarlah waktu yang akan membuktikan sejauh mana antara pemegang kepentingan dapat mempersonifikasikan dirinya sebagai abdi masyarakat dalam hal ini, sehingga mampu memberikan nilai-nilai keadilan bagi penegakan hukum di Indonesia.

Link : Pembubaran Parpol Koruptif

Continue Reading

PROBLEM SELEKSI KOMISIONER OJK

PROBLEM SELEKSI KOMISIONER OJK

Panitia Seleksi (Pansel) Pemilihan Calon Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (DK OJK) periode 2017-2022 telah selesai menyelenggarakan tahapan demi tahapan seleksi mulai dari tahap I (seleksi administratif), tahap II (penilaian masukan dari masyarakat, rekam jejak, dan makalah), tahap III (assessment center dan pemeriksaan kesehatan) dan tahap IV (afirmasi/wawancara). Seleksi tersebut dilakukan guna mengisi jabatan Dewan Komisioner OJK periode 2012-2017 yang akan segera berakhir pada pada 23 Juli 2017 mendatang.

Proses berikutnya sesuai Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, Pansel akan menyampaikan 21 nama kepada Presiden. Presiden kemudian menyaring kembali menjadi 14 nama untuk diajukan kepada DPR guna memilih 7 nama untuk selanjutnya diangkat dan ditetapkan oleh Presiden sebagai calon terpilih Anggota Dewan Komisioner OJK.

Sebagaimana diketahui Dewan Komisioner OJK terdiri dari 9 anggota, 7 anggota dipilih oleh DPR berdasarkan calon yang diusulkan oleh Presiden. Sedangkan 2 anggota masing-masing diangkat dan ditetapkan Presiden berdasarkan usulan Gubernur Bank Indonesia dan Menteri Keuangan, yang keduanya merupakan Ex-officio dari Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan.

Menurut pandangan dan analisa penulis, pelibatan campur tangan DPR dalam pengisian dan pemilihan Dewan Komisioner OJK sangatlah berlebihan, hal itu setidaknya dipengaruhi 3 hal, Pertama OJK merupakan lembaga independen yang lepas dari campur tangan dari pihak manapun termasuk kepentingan politik didalamnya, karena fungsi dan peran OJK sebagai lembaga yang bersifat mengatur, mengawasi, memeriksa terhadap keseluruhan kegiatan dalam sektor jasa keuangan. Sehingga dengan demikian pelibatan DPR dalam hal pemilihan Dewan Komisioner OJK sangatlah tidak dibutuhkan sama sekali, terkecuali dalam hal pengawasan dalam rangka menjalankan fungsi OJK dalam praktek dilapangan.

Kedua, OJK bukanlah lembaga Negara utama (primer) sebagaimana diatur oleh Undang-Undang Dasar 1945. OJK hanya merupakan bagian dari lembaga negara penunjang atau badan penunjang yang berfungsi untuk menunjang fungsi alat kelengkapan Negara lainnya, atau lembaga dimaksud sering disebut sebagai States auxiliary organ/agency. Sehingga dalam sistem pemerintahan Presidensil proses seleksinya murni merupakan hak dan kewenangan Presiden sebagai Kepala Pemerintahan untuk mengadakannya.

Ketiga, kedudukan OJK yang bukan merupakan bagian dari Pejabat Negara sebagaimana diatur oleh Pasal 122 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara maupun Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK. Kedudukan OJK yang bukan merupakan Pejabat Negara mengandung konsekwensi hukum bahwa baik dalam rekrutment, pengangkatan dan pertanggungjawabannya merupakan kekuasaan Presiden sebagai Kepala Pemerintahan.

Dengan berdasar pada 3 pertimbangan diatas, maka hemat penulis tidak perlu pelibatan DPR dalam pengisian jabatan Dewan Komisioner OJK, selain 3 alasan sebagaimana telah disebutkan diatas, OJK juga bukanlah lembaga yang berkaitan dengan Politik secara langsung seperti halnya lembaga-lembaga ekskutif lainnya, sehingga dalam proses rekrutmennyapun tidak perlu pelibatan DPR apalagi dalam penentuan Dewan Komisioner OJK peran dan fungsi DPR sangat signifikan yakni memilih anggota Dewan Komisioner OJK  yang diajukan oleh Presiden.

Mencari Sistem Seleksi

Menurut Logemann Pengisian jabatan (staatsorganen, staatsambten) merupakan salah satu unsur penting dalam mempelajari Hukum Tata Negara. Hal itu dikarenakan tanpa adanya pejabat (ambtsdrager), fungsi-fungsi jabatan (ambt) negara tidak mungkin dapat dijalankan sebagaimana mestinya. Untuk itu diperlukan sistem mekanisme dan tata cara pengisian jabatan yang mengatur secara rinci dan komprehensif, sehingga pejabat (ambtsdrager) yang menduduki jabatan (ambt) benar-benar dapat diandalkan.

Pengisian dan penentuan jabatan Dewan Komisioner OJK tidak dapat diserahkan kepada lembaga DPR sepenuhnya. Akan tetapi diperlukan panitia seleksi yang secara adil dan terbuka melakukan menyaringan secara ketat terhadap calon Dewan Komisioner OJK, baik yang melamar maupun yang diundang untuk melamar, untuk selanjutnya yang berhak memilih dan menetapkan adalah Presiden sebagai kepala Negara dan Pemerintahan.

Panitia seleksi juga dapat meminta lembaga-lembaga terkait seperti Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Masyarakat Umum atau lembaga lainnya guna memastikan calon Dewan Komisioner OJK benar-benar berintegritas dan berkepribadian yang tercela, adil, negarawan serta ahli di sektor Jasa keuangan.

Untuk menjawab tuntutan tersebut, maka sangat diperlukan sebuah sistem rekrutmen yang berbasis Shared Responsibility System, artinya terdapat komposisi panitia seleksi yang terdiri dari berbagai kalangan, seperti misalnya Mantan Dewan Komisiner OJK, Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Akademisi, Praktisi Keuangan dan Tokoh Masyarakat, sebelum diajukan dan ditentukan oleh Presiden. Kedudukan Panitia Seleksi tentunya hanya sebatas membantu tugas Presiden untuk dapat memberikan gambaran terhadap beberapa calon untuk selanjutnya yang menentukan atas beberapa orang tersebut sepenuhnya menjadi hak perogratif Presiden.

Kalaupun ingin dipaksakan terhadap Keterlibatan DPR dalam seleksi Dewan Komisioner OJK, maka kewenangan DPR hanya diberikan hak untuk memberikan atau tidak memberikan persetujuan ataupun pertimbangan, atau sering dikenal dengan istilah sebagai hak untuk konfirmasi (right to confirm) lembaga legislatif, bukan sebagai hak untuk memilih dan menentukan (right to select) terhadap anggota Dewan Komisioner OJK.

Sistem pengisian jabatan yang demikian tentunya hanya satu dari sekian cara untuk menjamin kwalitas dan integritas Dewan Komisioner OJK terpilih. Pada akhirnya adalah bergantung pada komitmen dan integritas personal Dewan Komisioner OJK sejauh mana dapat menjalankan tugas dan wewenangnya sesuai sumpah jabatan Dewan Komisioner OJK.

Harapan besar penulis, melalui sistem rekrutmen Dewan Komisioner OJK sebagaimana tersebut diatas, semoga Dewan Komisioner OJK terpilih benar-benar memiliki kualifikasi, kompetensi dan kinerja sesuai dengan yang diharapkan.

Link : Problem Seleksi Komisioner OJK

Continue Reading

MEMBANGUN ETIKA PENYELENGGARA NEGARA

MEMBANGUN ETIKA PENYELENGGARA NEGARA

Sejak digulirkannya Rancangan Undang-Undang tentang Etika Penyelenggara Negara oleh DPR pada tahun 2014 silam, nasib RUU tersebut mengalami pasang surut antara kebutuhan dan kebuntuan akan tegaknya semangat reformasi birokrasi penyelenggara Negara di berbagai bidang.

Tuntutan terhadap perwujudan penyelenggaraan pemerintahan yang baik, etis, amanah dan berakhlak mulia serta mencegah niat dan praktik perbuatan yang meyimpang dari nilai, norma, dan aturan dalam menjalan tugas pemerintahan menjadi salah satu tujuan dalam upaya mewujudkan etika penyelenggaraan Negara yang sesuai dengan prinsip dan cita-cita bangsa.

Dalam rapat kerja Komite I DPD RI dengan Kementrian PAN dan RB, ditegaskan akan pentingnya pengaturan dan penyusunan materi RUU Etika Penyelenggara Negara untuk segera dibahas kembali antara DPR bersama Pemerintah guna memberikan rambu-rambu yang tegas dan jelas dalam berperilaku bagi para aparatur penyelenggara Negara.

Perdebatan

Menurut pengamatan penulis setidak terdapat tiga problematika kebuntuan yang berakibat terhadap molornya dalam pembahasan RUU Etika Penyelenggara Negara. Pertama terdapat ambiguitas ruang lingkup dan batasan pengertian Penyelenggara Negara. Apabila mengacu kepada definisi Penyelenggara Negara menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, maka cakupan dan batasan makna Penyelenggara Pemerintahan sangat luas sekali, karena mencakup tiga cabang kekuasaan ekskutif, legislatif, yudikatif serta lembaga Negara lainnya termasuk BUMN dan pejabat profesi.

Kedua, perdebatan berkaitan dengan lembaga yang berwenang menegakkan kode etik dan perilaku Penyelenggara Negara. Apakah kewenangan penegakan kode etik akan diserahkan kepada masing-masing internal penyelenggara Negara, atau akan dibentuk satu lembaga penegak kode etik yang dapat menerima laporan atau pengaduan atas seluruh pelanggaran kode etik baik bagi pejabat Negara, pejabat negeri maupun pejabat profesi.

Dua diantara pilihan tersebut tentu akan mengandung konsekwensi hukum yang berbeda-beda, terhadap pilihan pembentukan lembaga etik pada masing-masing penyelenggara Negara, maka akan cenderung menimbulkan standart dan kriteria yang berbeda-beda pula antar lembaga yang satu dengan lainnya, selain itu tingkat independensi lembaga tersebut dapat diragukan obyektifitasnya.

Sebaliknya apabila dibentuk satu lembaga penegak kode etik yang dapat menerima laporan atau pengaduan atas seluruh pelanggaran kode etik, maka menjadi keharusan bagi Penyelengara Negara yang telah membentuk dan memiliki lembaga penegak kode etik untuk membubarkan diri, sehingga tidak menimbulkan dualisme kewenangan berkaitan dengan lembaga yang bertugas menjaga dan menegakkan kode etik penyelenggara Negara.

Ketiga, hampir seluruh lembaga baik pejabat Negara, pejabat negeri maupun pejabat profesi telah memiliki aturan yang termuat dalam Peraturan Perundang-Undangan yang mengatur tentang kewajiban menjaga etika dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hanya saja dalam tingkatan implementasinya kurang dapat dijalankan dengan sebagaimana mestinya. Dalam beberapa peraturan perundang-undangan seperti TAP  MPR Nomor XI/MPR/1998, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014, Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014 dan Undang-Undang berkaitan dengan bidang profesi tertentu telah mengatur tentang kode etik masing-masing. Sehingga terdapat sebagian kelompok yang kurang sependapat dengan adanya pengaturan Etika Penyelenggara Negara yang menaungi seluruh Penyelenggara Negara.

Mewujudkannya

Pengawasan terhadap Etika Penyelenggara Negara menjadi sangat penting mengingat kondisi bangsa saat ini. Lemahnya Etika Penyelenggara Negara menjadi pintu masuk terhadap penyelenggaraan pemerintahan koruptif yang jauh dari prinsip good governance dan clean governance.

Guna membendung perilaku yang demikian, maka diperlukan pola pikir dan cara pandang yang professional serta kesadaran untuk merubah menuju pengembangan praktik governance yang baik yang dilandasi oleh kesadaran akan nilai-nilai moral dan etika birokrasi yang berorientasi pada kepentingan publik.

Untuk mewujudkan Etika Penyelenggara yang berintegritas selain melalui pembangunan mental manusianya juga dapat dibangun melalui sistem penegakan etika penyelenggara Negara, untuk itu diperlukan penajaman kembali terhadap beberapa perdebatan baik yang berkenaan dengan makna dan ruang lingkup cakupan pengertian penyelenggara Negara, lembaga yang memiliki otoritas menegakkan kode etik, serta harmonisasi peraturan perundang-undangan yang mengatur etika penyelenggara Negara lintas sektoral.

Selain itu perlu memberikan pemahaman terhadap segenap Penyelenggara Negara bahwa dalam penyelenggaran pemerintahan selain harus berdasar pada the Rule of Law, tidak kalah pentingnya juga memperhatikan the Rule of Ethics.  Dalam konsepsi The Rule of Law tercakup pengertian tentang kode hukum (code of law) atau kitab Undang-Undang (book of law) yang menjadi landasan dalam penyelenggaraan birokrasi pemerintahan, sedangkan dalam konsepsi The Rule of Ethics tercakup pengertian kode etik (code of ethics) atau kode perilaku (code of conduct) yang juga harus sejalan dengan pemahaman the Rule of Law.

Dalam perspektif Negara hukum Pancasila, maka harus dipahami pula bahwa pancasila bukan hanya merupakan sumber hukum (source of law), akan tetapi Pancasila juga sebagai sumber etika (source of ethics).  Kedua perspektif hukum dan etika ini harus dijadikan sumber referensi normative dan operasional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pancasila mengandung nilai-nilai universal dalm inklusif yang dapat mempersatukan kita semua sebagai bangsa dalam satu kesatuan system ideologi  dan falsafah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk itu dalam usaha membangun birokrasi yang melayani harus ditopang oleh the rule of law and rule of ethics secara bersamaan.

Dengan adanya kesadaran akan norma hukum dan norma etika penyelenggara Negara yang tercermin melalui sikap, perilaku, tindakan dan ucapan yang etis, maka akan menghasilkan penyelenggara negara yang amanah, disiplin, teladan dan berakhlak mulia sesuai dengan cita-cita Bangsa.

Link : MEMBANGUN ETIKA PENYELENGGARA NEGARA

Continue Reading

PELUANG PENYELESAIAN SENGKETA PILKADA

PELUANG PENYELESAIAN SENGKETA PILKADA

Sebanyak 101 daerah yang terdiri dari 7 provinsi, 18 kota, dan 76 kabupaten telah menggelar pilkada serentak gelombang kedua pada hari ini Rabu tanggal 15 februari 2017. Pilkada serentak tahun ini merupakan kedua kalinya setelah gelombang pertama berhasil dilaksanakan pada tanggal 9 Desember 2015 oleh Komisi Pemilihan Umum.

Komisi Pemilihan Umum telah menjadwalkan akan mengumumkan rekapitulasi, penetapan dan pengumuman hasil perhitungan pilkada serentak tahun 2017 tingkat Kabupaten/Kota untuk pemilihan Bupati dan Wakil Bupati atau Walikota dan Wakil Walikota adalah pada tanggal 22 s/d 24 Februari 2017. Sedangkan rekapitulasi, penetapan dan pengumuman hasil perhitungan suara tingkat Provinsi untuk pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur adalah dilaksanakan pada tanggal 25 s/d 27 februari 2017.

Atas pelaksanaan pilkada serentak tersebut pasti terdapat pihak-pihak yang merasa tidak puas terhadap hasil yang ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum. Ketidak puasan tersebut tentu dilandasi oleh berbagai macam kecurangan seperti seperti politik uang, jual beli suara, intimidasi, pengerahan massa, manipulasi suara dan hasil suara, baik yang terjadi sebelum pemilihan, pada saat pemilihan ataupun setelah pemilihan berlangsung.

Terhadap pihak-pihak yang merasa tidak puas atas rekapitulasi, penetapan dan pengumuman hasil perhitungan suara baik pada tingkat Kabupaten/Kota maupun tingkat Provinsi, terdapat sarana yang dapat ditempuh yakni melalui Permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota kepada Mahkamah Konstitusi terhitung paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil pemilihan baik oleh KPU Provinsi maupun KPU Kabupaten/Kota.

Selain itu Mahkamah Konstitusi juga telah menyusun jadwal Pengajuan Permohonan Sengketa Pilkada untuk pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati atau Walikota dan Wakil Walikota adalah pada tanggal 22 s/d 28 februari 2017, sedangkan untuk pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur pada tanggal 27 februari 2017 s/d 1 maret 2017.

Tantangan

Selain syarat formil sebagaimana tersebut diatas, yakni pengajuan gugatan paling lama 3 x 24 jam sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil pemilihan oleh Komisi Pemilihan Umum setempat, juga mensyaratkan selisih perolehan suara antara pemohon dengan pasangan lainnya paling banyak sebesar 0.5 % sampai dengan 2 % sebagaimana diatur dalam Pasal 158 UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.

Pasal 158 UU Nomor 8 Tahun 2015 menjadi tantangan sendiri bagi Pemohon yang akan memilih jalur sengketa Pilkada di MK, mengingat dengan berdasar pada permohonan gugatan Perselisihan Hasil Pemilihan (PHP) Pilkada pada tahun 2015, Mahkamah Konstitusi hanya menerima 7 dari 147 permohonan sengketa Pilkada dengan pertimbangan konsisten menerapkan Pasal 158 UU Nomor 8 Tahun 2015 dalam memeriksa dan mengadili syarat formal pengajuan sengketa hasil pilkada ke MK.

Adapun alasan MK konsisten menggunakan Pasal 158 UU Nomor 8 Tahun 2015 sebagai dasar pijakan diantaranya, Pertama Pilkada berdasarkan UU Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota bukan merupakan rezim Pemilu, perbedaan tersebut bukan hanya dari segi istilah, melainkan juga meliputi perbedaan konsepsi yang menimbulkan perbedaan konsekuensi hukum. Ketika pilkada sebagai rezim Pemilu, Mahkamah memiliki keleluasaan melaksanakan kewenangan konstitusinya, yakni tunduk pada ketentuan UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Atas dasar itulah, putusan Mahkamah pada masa lalu dalam perkara perselisihan hasil Pilkada tidak hanya meliputi perselisihan hasil, melainkan mencakup pula pelanggaran dalam proses pemilihan untuk mencapai hasil yang dikenal dengan pelanggaran bersifat terstruktur, sistematis, dan massif.

Kedua, telah terdapat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51/PUU-XIII/2015 berkaitan dengan tafsir konstitusional atas Pasal 158 UU Nomor 8 Tahun 2015.  Melalui putusan tersebut, MK menyatakan Konstitusional dan menolak permohonan uji materi terhadap Pasal 158 UU Nomor 8 Tahun 2015, dikarenakan merupakan kebijakan hukum terbuka oleh Pembentuk Undang-Undang (Open legal Policy), sehingga MK menganggap tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.

Ketiga, demi kepastian hukum MK harus tunduk pada ketentuan yang secara expressis verbis digariskan dalam UU Pilkada. Dengan melaksanakan Pasal 158 UU Pilkada dan aturan turunannya secara konsisten, maka Mahkamah turut ambil bagian dalam upaya mendorong agar lembaga-lembaga yang terlibat dalam proses pilkada berperan dan berfungsi secara optimal sesuai dengan proporsi kewenangan di masing-masing tingkatan.

Peluang

Apabila melihat perbedaan selisih hasil yang diperoleh pasangan calon dengan pasangan calon lainnya baik di media cetak dan media elektronik, maka menurut penulis banyak pilkada yang tidak akan berlanjut pada gugatan di Mahkamah Konstitusi mengingat prosentasi selisih suara yang sangat jauh diatas 2 %. Hal ini tentu akan mengakibatkan adanya penurunan jumlah gugatan sengketa hasil Pilkada di MK.

Namun yang pasti terhadap pasangan calon yang persentase selisih perolehan suaranya sesuai dengan sebagaimana Pasal 158 UU Nomor 8 Tahun 2015, maka bukan tidak mungkin berpeluang untuk memenangkan atau MK mengabulkan permohonan perselisihan hasil pilkada yang diajukan oleh pasangan calon, tentunya apabila didukung oleh argumentasi serta bukti-bukti yang memadai berkaitan dengan kedudukan hukum, obyek pemohonan dan pokok permohonan yang dimohonkan.

Disisi yang lain MK juga diharapkan tidak mengabaikan tuntutan keadilan substantif, yakni dengan tetap melakukan pemeriksaan secara menyeluruh terhadap perkara yang telah memenuhi persyaratan tenggang waktu, kedudukan hukum, obyek pemohonan, serta jumlah persentase selisih perolehan suara antara pemohon, termohon dan pihak terkait lainnya.

Dengan adanya sarana hukum yang baik dalam hal ini melalui permohonan perselisihan hasil Pilkada kepada Mahkamah Konstitusi, maka diharapkan pelaksanaan demokrasi di daerah menjadi semakin kondusif dan jauh dari segala bentuk kerusuhan, dan main hakim sendiri. Semoga…

Link : PELUANG PENYELESAIAN SENGKETA PILKADA

Continue Reading

CONFLICT OF INTEREST MA DALAM PERMOHONAN FATWA TENTANG STATUS AHOK

CONFLICT OF INTEREST MA

DALAM PERMOHONAN FATWA TENTANG STATUS AHOK

Muncul banyak sekali perdebatan pasca Ahok kembali menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, setelah selama 3,5 bulan Ahok menjalani cuti di luar tanggungan Negara untuk kepentingan Kampanye dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta.

Perdebatan itu berpangkal pada adanya tafsir ganda atas makna yang terkandung dalam Pasal 83 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Setidaknya menurut pengamatan penulis terdapat 3 (tiga) tafsir yang berbeda atas Pasal 83 ayat (1) UU 23/2014 tersebut apabila dihubungkan dengan status Ahok yang hingga saat ini menyandang sebagai Terdakwa dalam dugaan penodaan agama sebagaimana diatur dalam Pasal 156 dan Pasal 156a KUHP.

Tafsir pertama adalah versi Kemendagri yang pada intinya pemberhentian sementara Ahok adalah menunggu sampai adanya tuntutan resmi oleh Jaksa Penuntut Umum, mengingat (Ahok) didakwa dengan 2 (dua) pasal yakni Pasal 156 dan 156a KUHP, yang masing-masing ancaman hukumannya berbeda-beda. Pada pasal 156 menyebutkan ancaman penjara paling lama 4 (empat) tahun, sedangkan 156a menyebutkan pidana penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun. Sehingga pelaksanaan Pasal 83 ayat (1) UU 23/2014 harus menunggu sampai adanya Tuntutan Jaksa Penuntut Umum, apabila Jaksa mendakwa pasal 156, maka Ahok tidak diberhentikan sementara, akan tetapi apabila Jaksa mendakwa Ahok dengan Pasal 156a, maka ahok akan diberhentikan.

Tafsir kedua adalah menurut Mahfud MD yang juga hampir sama dengan Denny Indrayana dan Zainal Arifin Mochtar, yang pada intinya dengan berdasar pada Pasal 83 ayat (1) UU 23/2014 setuju dan sepakat untuk memberhentikan sementara Ahok, meskipun Mahfud MD menambahkan dengan pilihan Perpu bagi Presiden. Adapun yang menjadi alasan ketiganya adalah Pasal 83 ayat (1) UU 23/2014, telah jelas dan tidak dapat diftafsirkan lagi, bahwa kepala daerah berstatus terdakwa diberhentikan sementara jika ancaman hukuman atas kasusnya paling singkat lima tahun.

Tafsir yang ketiga adalah oleh Refly Harun yang pada intinya menyatakan Pertama, Pasal 83 ayat (1) UU 23/2014 tidak dapat diterapkan kepada Ahok, dikarenakan makna paling singkat dalam Pasal 83 ayat (1) UU 23/2014 tidak mencakup Pasal 156a KUHP yang didakwakan kepada Ahok, mengingat pengertian makna paling singkat lima tahun sudah pasti termasuk jenis kejahatan atau tindak pidana berat, bukan tindak pidana ringan atau tindak pidana menengah yang ancaman hukumannya kurang dari atau paling lama lima tahun.

Selain itu yang Kedua menurut Refly, Rumusan Pasal 83 ayat (1) UU 23/2014 berkenaan dengan frasa “perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia” bersifat multitafsir, sehingga tidak dapat dikenakan kepada Ahok, mengingat menurut Refly Pasal tersebut bersifat subjektif dan hingga saat ini belum ada institusi yang bisa menilai dan mengatakan hal tersebut.

Namun atas perbedaan pendapat tersebut, Mahfud MD dan Refly Harun sependapat terhadap alasan dan argumentasi Kemendagri yang menyatakan tidak memberhentikan sementara Ahok karena menunggu sampai adanya tuntutan resmi oleh Jaksa Penuntut Umum adalah alasan yang tidak tepat dan keliru. Hal itu mengingat menurut keduanya sudah jelas Pasal 83 ayat (1) UU 23/2014  kepala daerah berstatus “Terdakwa” bukan “Tertuntut”. Sehingga dengan demikian alasan Kemendagri menurut hukum tidak dapat dibenarkan menurut keduanya.

Kemudian disisi yang lain, juga terdapat beberapa usulan Permintaan Fatwa terhadap adanya perbedaan tafsir atas Pasal 83 ayat (1) UU 23/2014 kepada Mahkamah Agung RI. Ternyata melalui usulan ini direspon dengan cepat oleh Pemerintah, terbukti muncul beberapa pemberitaan di media bahwa Presiden mengintruksikan kepada Mendagri untuk meminta pendapat hukum terkait dugaan kasus yang menjerat Ahok. Hingga pada akhirnya Mendagri Tjahjo Kumolo pada hari Selasa tangal 14 februari 2017 bertemu dengan Ketua Mahkamah Agung (MA) Hatta Ali untuk menyampaikan surat permohonan pendapat hukum kepada MA tersebut.

Bola Panas Berpindah

Atas permohonan Fatwa MA oleh Mendagri tersebut tentu bola panas akan berpindah kepada MA, mengingat atas inisiatif tersebut berdasarkan analisa penulis setidaknya akan menimbulkan beberapa problem hukum. Pertama, Pemerintah dalam hal ini diwakili oleh Kemendagri akan dinilai ragu-ragu dan tidak konsisten, sehingga akan menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap kebijakan yang diambil sebelumnya terkait dengan pemberhentian sementara Ahok yang menyatakan menunggu sampai adanya tuntutan resmi oleh Jaksa Penuntut Umum sebagaimana telah diurai diatas. Padahal jelas menurut Pasal 9 ayat (4) UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan menyatakan “Ketiadaan atau ketidakjelasan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana dimaksud ayat (2) huruf b, tidak menghalangi Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang berwenang untuk menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan sepanjang memberikan kemanfaatan umum dan sesuai dengan AUPB

Kedua, Mahkamah Agung dalam hal ini juga harus berhati-hati terhadap permohonan Fatwa oleh Kemendagri, mengingat terhadap sikap Kemendagri sebelumnya yang mengaktifkan kembali Ahok sebagai Gubernur, juga telah digugat oleh Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, yang terregister dengan Nomor Perkara 36/G/2017/PTUN.JKT tertanggal 13 Februari 2017. Atas gugatan tersebut tentu akan memunculkan konsekwensi hukum apabila Mahkamah Agung mengeluarkan Fatwa terkait permohonan yang dimohonkan oleh Kemendagri, hal itu tentu akan mengganggu independensi dan beban psikologis Hakim PTUN Jakarta yang akan memeriksa dan mengadili atas perkara 36/G/2017/PTUN.JKT, mengingat antara Fatwa MA yang akan mungkin dikeluarkan dengan pokok perkara yang dipersoalkan dalam perkara 36/G/2017/PTUN.JKT adalah hampir sama, sehingga akan menimbulkan konflik kepentingan (conflict of interest) MA dalam mengeluarkan Fatwa yang dimintakan oleh Kemendagri terhadap status Gubernur Ahok.

Ketiga, Apabila Mahkamah Agung mengeluarkan fatwa yang diminta oleh Kemendagri, maka akan dinilai telah melakukan penyalahgunaan wewenang dengan cara melampaui wewenang sebagaimana diatur dalam Pasal 17 UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Sehingga apabila hal tersebut terjadi, maka akan berpotensi terhadap adanya gugatan oleh pihak yang berkepentingan atas penyalahgunaan wewenang dengan cara melampaui wewenang oleh MA, atau hal lain juga berpeluang dilakukannya kontrol oleh lembaga Parlemen ataupun people power atas penyalahgunaan wewenang oleh MA tersebut.

Jalan Keluar

Pemerintah dalam hal ini Kemendagri menurut saya harus konsisten atas tindakan yang diambilnya terkait pemberhentian sementara Ahok. Apabila memang Pemerintah meyakini atas pandangan yang pada intinya pemberhentian sementara Ahok adalah menunggu sampai adanya tuntutan resmi oleh Jaksa Penuntut Umum, maka biarlah hal tersebut menjadi pijakan dan pilihan hukum pemerintah dengan segala konsekwensi hukumnya.

Selain itu terhadap banyaknya tafsir yang diberikan masyarakat luas, maka tafsir tersebut  harus diposisikan sebagai Doktrin (pendapat) hukum yang tidak bersifat mengikat.  Kemudian terhadap adanya rencana hak angket yang dilakukan oleh DPR, maka hal tersebut harus dipandang merupakan hak DPR, yang mau tidak mau harus dihadapi dengan argumentasi hukum Pemerintah sebagaimana telah diambil sebelumnya.

Terhadap adanya gugatan ke PTUN oleh Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) atas status Ahok tersebut, maka biarlah percayakan kepada Pengadilan untuk menilai atas gugatan tersebut. Pada saatnya nanti akan ada Putusan resmi Pengadilan yang memiliki kekuatan hukum yang mengikat yang harus dihormati oleh semua kalangan.

Selain itu terhadap banyaknya tafsir liar atas Pasal 83 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah tersbut, maka saya menyarankan agar menyudahi perdebatan dengan cara menempuh jalur uji materi (Judicial Review) kepada Mahkamah Konstitusi, untuk dapat memastikan kebenaran atas tafsir konstitusional atas Pasal 83 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah tersebut.

Harapannya melalui jalan keluar sebagaimana tersebut diatas, yakni dengan mempercayakan kepada lembaga-lembaga yang berwenang sesuai dengan kewenangannya, tentunya dengan tidak menghilangkan kontrol sosial atas kewenangan yang dijalankan oleh lembaga berwenang tersebut, diharapkan keributan, saling tuduh, saling menyalahkan dan saling marah dapat terhindarkan. Bukankah kita hidup untuk mencari kebahagiaan…

Link : Conflict of Interest MA dalam Permohonan Fatwa Tentang Status Ahok

Continue Reading

PERDEBATAN PEMBERHENTIAN SEMENTARA GUBERNUR AHOK

PERDEBATAN PEMBERHENTIAN SEMENTARA GUBERNUR AHOK

Jabatan Gubernur DKI Jakarta kembali dijabat oleh Basuki Tjahja Purnama (Ahok) per tanggal 12 Februari 2017, hal itu dikuatkan dengan adanya Serah-terima jabatan (sertijab) antara  Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Djarot Saiful Hidayat dengan Plt Gubernur DKI Sumarsono yang digelar di Balai Kota DKI Jakarta, pada hari Sabtu tanggal 11 februari 2017.

Atas peristiwa tersebut, muncul beberapa perdebatan baik ditingkatan masyarakat maupun kalangan pemerhati hukum serta beberapa kalangan anggota DPR, mengingat status Ahok yang hingga saat ini menyandang sebagai Terdakwa dalam dugaan penodaan agama sebagaimana diatur dalam Pasal 156 dan Pasal 156a KUHP.

Adapun alasan hukum yang digunakan oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengapa tidak memberhentikan sementara Ahok adalah menunggu sampai adanya tuntutan resmi oleh Jaksa Penuntut Umum dalam persidangan, hal itu dikarenakan (Ahok) didakwa dengan 2 (dua) pasal yakni Pasal 156 dan 156a KUHP, yang masing-masing ancaman hukumannya berbeda-beda. Pada pasal 156 menyebutkan ancaman penjara paling lama 4 (empat) tahun, sedangkan 156a menyebutkan pidana penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun.

Kemendagri beralasan telah mengambil keputusan yang sudah benar secara aturan, serta tidak spekulatif dengan tetap berpedoman pada Pasal 83 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Selain itu menurut Kemendagri akan menjadi blunder apabila pemerintah mengambil sikap dengan memberhentikan sementara Ahok, ternyata JPU nantinya memberikan tuntutan mengacu Pasal 156 dengan ancaman pidana paling lama 4 tahun penjara, sehingga Kemendagri akan dinilai tidak patuh pada peraturan perundang-undangan, bahkan dinilai cenderung tak netral. Sehingga dengan dua dakwaan tersebut, Kemendagri menyatakann masih perlu menunggu kepastian pasal mana yang akan digunakan oleh Jaksa Penuntut Umum.

Disisi yang lain terdapat perdebatan atau berpedaan pandangan dalam hal ini antara Mahfud MD dengan Refly Harun berkaitan dengan pemaknaan Pemberhentian Sementara Kepala Daerah berdasar Pasal 83 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut :

“Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana  penjara paling singkat 5 (lima) tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia.”

Menurut Mahfud MD Pasal 83 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, telah jelas dan tidak dapat diftafsirkan lagi, bahwa kepala daerah berstatus terdakwa diberhentikan sementara jika ancaman hukuman atas kasusnya paling singkat lima tahun. Selain itu menurut Mahfud, alasan yang dipakai Kemendagri bahwa harus menunggu tuntutan itu pun tidak beralasan, dikarenakan dalam dakwaan sudah jelas terkait ancaman pidana kepada Ahok yakni pasal 156 atau pasal 156a dengan ancaman masing-masing empat dan lima tahun.

Namun menurut Mahfud apabila Pemerintah tetap berkeinginan mempertahankan Ahok sebagai Gubernur, maka Pemerintah harus mencabut Pasal 83 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dan Presiden mengeluarkan Perpu sesuai dengan hak subjektifnya tentunya dengan segala akibat politik yang akan dipertanggungjawabkannya.

Berbeda dengan Refly Harun yang secara tegas berbeda pandangan dengan Mahfud MD dengan menyatakan Tak Ada Alasan untuk Menonaktifkan Ahok. Adapun alasan yang menjadi argumentasi hukum Refly terdiri 2 (bagian), Pertama, Pasal 83 ayat (1) UU 23/2014 tidak dapat diterapkan kepada Ahok, dikarenakan dalam Pasal tersebut mengandung Frasa “tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun, sehingga makna paling singkat tersebut menurut Refly tidak mencakup Pasal 156a KUHP yang didakwakan kepada Ahok, mengingat pengertian makna paling singkat lima tahun sudah pasti termasuk jenis kejahatan atau tindak pidana berat, bukan tindak pidana ringan atau tindak pidana menengah yang ancaman hukumannya kurang dari atau paling lama lima tahun.

Selain itu yang Kedua menurut Refly, Rumusan Pasal 83 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah berkenaan dengan frasa “perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia” bersifat multitafsir, sehingga tidak dapat dikenakan kepada Ahok, mengingat menurut Refly Pasal tersebut bersifat subjektif dan hingga saat ini belum ada institusi yang bisa menilai dan mengatakan hal tersebut.

Namun yang pasti baik pendapat hukum Mahfud MD dan Refly Harun sebagaimana tersebut diatas, keduanya sama-sama menilai terhadap alasan dan argumentasi Kemendagri yang menyatakan tidak memberhentikan sementara Ahok karena menunggu sampai adanya tuntutan resmi oleh Jaksa Penuntut Umum adalah alasan yang tidak tepat dan keliru. Hal itu mengingat menurut keduanya sudah jelas Pasal 83 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah kepala daerah berstatus “Terdakwa” bukan “Tertuntut”. Sehingga dengan demikian alasan Kemendagri menurut hukum tidak dapat dibenarkan.

Kontrol Parlemen dan Peradilan

Perdebatan diatas baik oleh Kemendagri, Ahli Hukum dan Masyarakat luas tentunya bukan merupakan Putusan Hukum yang dapat dikategorikan sebagai tafsir yang bersifat mengikat secara mutlak. Keputusan Kemendagri yang menyatakan tidak memberhentikan sementara Ahok karena menunggu sampai adanya tuntutan resmi oleh Jaksa Penuntut Umum, sementara harus dianggap benar sesuai dengan Prinsip Praduga Rechtmatig/Presumtio Iustia Causa.

Selain itu terhadap tafsir yang diberikan baik oleh Mahfud MD maupun Refly Harun maupun masyarakat luas harus diposisikan sebagai Doktrin (pendapat) hukum yang tidak bersifat mengikat. Doktrin-doktrin tersebut tidak lebih hanya sebagai argumentasi hukum untuk memperkaya dan memberikan pemahaman tentang problematika perkembangan hukum yang terus berkembang seiring perkembangan zaman.

Namun diluar itu tentu terdapat fungsi pengawasan DPR apabila kuat dugaan atas Keputusan Kemendagri terhadap status aktif Gubernur Ahok tersebut diduga bertentangan atau melanggar ketentuan Peraturan Perundang-Undangan. Sehingga DPR dapat menggunakan fungsi pengawasan yang sah menurut hukum (baik berupa hak angket dan hak interpelasi) utamanya berkaitan dengan pengawasan mengenai sejauhmana pelbagai kebijakan yang tertuang secara mengikat dalam bentuk undang-undang itu dijabarkan sebagaimana mestinya dalam pelbagai peraturan pelaksanaannya, dan dalam praktik di lapangan oleh Pemerintah (ekskutif).

Selain itu masyarakat yang memiliki kepentingan secara langsung dan dirugikan atas Keputusan Kemendagri terhadap status aktif Gubernur Ahok tersebut, maka dapat melakukan Gugatan Tata Usaha Negara dengan tenggang waktu 90 (Sembilan puluh) hari sejak Keputusan Kemendagri mengaktifkan kembali Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta. Dengan segala macam kekurangannya, upaya hukum ini tentu akan memakan waktu yang cukup lama untuk sampai adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht).

Selain itu terhadap banyaknya tafsir liar atas Pasal 83 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah tersbut, masyarakat yang memiliki legal standing dan terdapat kerugian konstitusional atas berlakunya Pasal tersebut dapat menempuh jalur uji materi (Judicial Review) kepada Mahkamah Konstitusi, untuk dapat memastikan kebenaran atas tafsir konstitusional atas Pasal 83 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah tersebut.

Harapannya melalui 2 (dua) jalur tersebut baik melalui Pengawasan Fungsi Parlemen dan Pengawasan Fungsi Lembaga Peradilan dalam hal ini melalui jalur Peradilan Tata Usaha Negara dan Mahkamah Konstitusi dapat meminimalisir adanya perdebatan yang kurang sehat seperti adanya saling tuduh dan saling curiga antar pihak pro dan kontra yang akhirnya akan mengikis rasa kebihnnekaan dan persatuan dan kesatuan bangsa.

Link : Pemberhentian Sementara Gubernur Ahok

Continue Reading

KERAWANAN DI MASA TENANG PILKADA SERENTAK

KERAWANAN DI MASA TENANG PILKADA SERENTAK

Tahapan demi tahapan jadwal Pilkada Serentak tahun 2017 telah dilalui, mulai sejak penyerahan syarat dukungan perseorangan, pendaftaran calon, verifikasi calon, penetapan calon, pengundian dan pengumuman nomor urut, masa kampanye dan debat publik serta tibalah saatnya sekarang masa tenang. Masa tenang sendiri telah ditetapkan oleh KPU dalam Pilkada Serentak tahun 2017 adalah selama 3 (tiga) hari sejak tanggal 12 sampai dengan 14 Februari 2017.

Masa tenang dapat diartikan sebagai waktu dimana para kandidat pasangan calon, tim sukses, atau pihak lainnya dilarang melakukan kampanye baik secara terbuka maupun secara tertutup guna menjaring dan mempengaruhi pemilih.

Dalam beberapa Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang masa tenang, baik yang tercamtum dalam Pasal 67 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota menjadi Undang-Undang, maupun dalam Pasal 49 ayat (2) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 7 Tahun 2015 tentang Kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati dan/atau Walikota dan Wakil Walikota, sama-sama melarang segala kegiatan kampanye politik 3 (tiga) hari menjelang pemungutan suara.

Adapun pelanggaran terhadap segala kegiatan kampanye dalam masa tenang akan dikenakan sanksi pidana sebagaimana tertuang dalam Pasal 187 ayat (1) Perpu Nomor 1 tahun 2014  yang menyatakan, “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kampanye di luar jadwal waktu yang telah ditetapkan oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota untuk masing-masing calon, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 15 (lima belas) hari atau paling lama 3 (tiga) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah).”

Apabila melihat ketentuan sanksi terhadap siapapun yang melakukan kampanye di luar jadwal waktu yang telah ditetapkan oleh KPU sebagaimana tersebut diatas, maka dapat dikategorikan sanksi kampanye pada saat masa tenang tersebut merupakan tergolong sanksi dalam kategori tindak pidana ringan, hal itu disebabkan terhadap pelanggarnya hanya dapat diberikan sanksi pidana paling lama 3 (tiga) bulan dan/atau denda paling hanyak hanya Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah).

Dengan demikian kampanye pada saat masa tenang merupakan bagian yang tidak dapat dihindarkan, mengingat kategori sanksi yang diberikan hanya merupakan kategori sanksi ringan dalam Pilkada, ataupun bukan menjadi bagian dari sanksi yang paling ditakuti atau dihindari oleh pasangan calon berserta tim suksesnya, yakni sanksi berupa pembatalan pasangan calon sebagai peserta pada Pilkada.

Pasal 88 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 9 Tahun 2016 mengatur sanksi pembatalan sebagai perserta pemilihan oleh KPU Kabupaten/Kota/Provinsi diantaranya adalah, Pertama apabila Pasangan Calon dan/atau Tim Kampanye terbukti menjanjikan dan/atau memberikan  uang atau materi lainnya untuk memengaruhi pemilih berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, sebelum hari pemungutan suara. Kedua Pasangan Calon terbukti melakukan tindak  pidana kejahatan yang diancam pidana penjara  paling singkat 5 (lima) tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, sebelum hari pemungutan suara.

Ketiga Pasangan Calon terbukti menerima dan/atau memberikan imbalan dalam proses pencalonan  berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Keempat Pasangan Calon terbukti melakukan kampanye di media cetak atau elektronik, berdasarkan rekomendasi Bawaslu Provinsi atau Panwas Kabupaten/Kota atau Keputusan KPU Provinsi/KIP Aceh. Kelima melakukan penggantian pejabat sejak ditetapkan sebagai Pasangan Calon sampai dengan akhir masa jabatan, bagi Calon atau Pasangan Calon yang berstatus sebagai Petahana.

Keenam, menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan Pemerintah Daerah untuk kegiatan pemilihan sejak ditetapkan sebagai Pasangan Calon sampai dengan penetapan Pasangan Calon Terpilih, bagi Calon atau Pasangan Calon yang berstatus sebagai Petahana. Ketujuh tidak menyerahkan surat izin cuti kampanye, bagi Calon yang berstatus sebagai Petahana.

Sehingga dengan demikian berbagai macam pelanggaran berpotensi akan tetap dilakukan oleh pasangan calon beserta timnya dengan memanfaatkan masa tenang, hal ini mengingat pelanggaran yang dilakukan tidak dapat diberikan sanksi berat berupa pembatalan pasangan calon, sehingga potensi-potensi kecurangan yang seringkali terjadi pada saat masa tenang akan tetap terjadi sebagaimana pilkada-pilkada sebelumnya. Padahal menurut penulusuran penulis sangat banyak sekali potensi kecurangan yang dimanfaatkan oleh pasangan calon maupun timnya dengan memanfaatkan masa tenang guna mendapatkan dukungan suara baik secara sah maupun secara melawan hukum.

Kecurangan di Masa Tenang

Banyak motif dan cara pelanggaran dan kecurangan yang akan berpotensi terjadi pada saat Pilkada. Namun menurut catatan dan analisa penulis setidaknya terdapat 5 (lima) potensi kecurangan yang kemungkinan akan terjadi pada saat masa tenang dalam Pilkada, diantaranya adalah Pertama, Adanya alat peraga yang sengaja dibiarkan atau bahkan dengan sengaja disebar pada saat masa tenang untuk mempengaruhi calon pemilih dalam pilkada, hal ini tentu akan menimbulkan kecemburuan antar calon yang satu dengan yang lainnya, selain itu juga akan menimbulkan potensi saling tuduh-menuduh antar pendukung pasangan calon yang satu dengan yang lainnya.

Kedua, adanya potensi upaya intimidasi atau pemaksaan terhadap calon pemilih agar dapat memilih dengan cara mengarahkan suara pemilih terhadap pasangan calon tertentu. Intimidasi dan pemaksaan ini berpotensi tidak hanya dilakukan oleh tim sukses pasangan calon tertentu, akan tetapi juga dapat dilakukan oleh aparat/pejabat setempat yang berkuasa ataupun oleh penyelenggara pemilihan yang ada di sekitar masing-masing RT atau RW setempat, sehingga dengan adanya intimidasi dan pemaksaan tersebut akan berujung pada terjadinya kecurangan dalam Pilkada.

Ketiga, potensi fitnah atau berita yang tidak benar (pemberitaan bohong) dan tidak dapat dipertanggung jawabkan (hoax). Dengan perkembangan dan kemajuan teknologi seperti sekarang ini, berita hoax dengan sangat mudah sekali dikembangkan atau disebar. Melalui media-media sosial yang ada seperti facebook, twitter, whatsapp serta media sosial lainnya seseorang dapat dengan mudah melakukan penyebaran berita hoax pada saat masa tenang dalam Pilkada Serentak.

Keempat, adanya potensi bahan dan logistik pilkada yang dibuat bermasalah. Hal ini sangat sering terjadi pada saat sebelum atau pada saat masa tenang pelaksanaan pilkada didaerah-daerah, sebagai contoh misalnya petugas pemilihan dengan sengaja tidak memberikan undangan pemilihan kepada calon pemilih, atau dengan sengaja mengacak calon pemilih dengan cara memberikan undangan pemilih yang secara geografis jarak antara rumah calon pemilih dengan TPS sangat berjauhan, serta dengan motif kecurangan lainnya seperti surat suara dan logistik pilkada tidak sesuai atau belum siap, bisa dikarenakan rusak atau kurang sehingga dapat mengganggu calon pemilih yang akan melakukan pemilihan.

Berdasar pada beberapa persoalan diatas, baik dari segi pengaturan sanksi kampanye di masa tenang yang masih menuai persoalan dikarenakan sanksi yang diberikan hanya merupakan sanksi yang bersifat ringan, maupun problematika terhadap potensi-potensi kecurangan yang kemungkinan akan terjadi pada masa tenang, harapan penulis adalah selain Pemerintah dan DPR dapat meninjau ulang terhadap pengaturan sanksi kampanye di masa tenang yang lebih tegas dan berat dengan memperhatikan potensi-potensi kecurangan yang dimungkinkan akan timbul atau dimanfaatkan pada masa tenang oleh segenap tim atau pasangan calon.

Selain itu juga diharapkan baik pasangan calon dan tim sukses pasangan calon dapat menahan diri terhadap perbuatan-pebuatan yang akan menciptakan kegaduhan dalam Pilkada Serentak, serta diharapkan seluruh komponen bangsa dapat bersinergi bersama baik antara Penyelenggara Pemilu, Aparat Kepolisian, Pasangan Calon dan tim suksesnya beserta seluruh lapisan masyarakat untuk bersama-sama secara aktif mengawasi dan melaporkan segala bentuk kecurangan dalam penyelenggaraan Pilkada Serentak tahun 2017. Sehingga Pilkada Serentak yang akan dilaksanakan merupakan bagian dari salah satu cara untuk menentukan pemimpin masa depan daerah sesuai dengan yang dicita-citakan.

Link : Kerawanan Di Masa Tenang Pilkada Serentak

Continue Reading

SOLUSI PENGISIAN JABATAN HAKIM KONSTITUSI

SOLUSI PENGISIAN JABATAN HAKIM KONSTITUSI

Publik kembali dikejutkan atas adanya penangkapan salah satu Hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar oleh Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Menurut informasi yang beredar Patrialis Akbar diduga telah menerima pemberian suap terkait pengurusan perkara Judicial Review (Uji Materi) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, yang menurut pemeriksaan awal KPK telah menemukan indikasi bahwa Patrialis menyetujui untuk membantu agar permohonan uji materi perkara nomor 129/PUU/XII/2015 tersebut dapat dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi.

Apabila melihat kebelakang, Patrialis Akbar merupakan Hakim Konstitusi dari unsur pemerintah, yang ditunjuk oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berdasarkan Keputusan Presiden No 87/P Tahun 2013 tentang pemberhentian Maria Farida Indrati dan Achmad Sodiki sebagai hakim konstitusi sekaligus mengangkat Maria Farida Indrati dan Patrialis Akbar menjadi hakim konstitusi untuk masa jabatan lima tahun hingga 2018.

Atas peristiwa tersebut muncul beberapa kritik terhadap sistem dan mekanisme rekrutment Patrialis Akbar sebagai hakim konstitusi yang dinilai syarat dengan persoalan. Persoalan itu muncul atas proses seleksi Patrialis yang dinilai tidak dilakukan secara transparan dan mengabaikan peran serta masyarakat.

Hingga pada akhirnya muncullah Gugatan Tata Usaha Negara terhadap Keppres 87/P Tahun 2013 oleh Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan Mahkamah Konstitusi yang diwakili oleh (ICW dan YLBHI).

Atas gugatan tersebut, Pengadilan Tata Usaha Negara DKI Jakarta mengabulkan gugatan terhadap Keppres 87/P Tahun 2013, karena dianggap bertentangan dengan Pasal 19 UU Mahkamah Konstitusi yang mensyaratkan pemilihan secara transparan dan partisipatif.

Kemudian Pemerintah mengajukan banding atas putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) DKI Jakarta mengabulkan banding Pemerintah dan membatalkan keputusan PTUN Jakarta, dengan dalil Penggugat tidak memiliki legal standing (tidak mempunyai kepentingan) untuk melakukan gugatan dikarenakan kerugian yang dialami Penggugat tidak bersifat langsung dan secara objektif tidak dapat ditentukan bentuk kerugiannya.

Penggugat dalam hal ini ICW dan YLBHI mengajukan Kasasi atas putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) DKI Jakarta, akan tetapi Majelis Hakim tingkat Kasasi menguatkan Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) DKI Jakarta.

Namun hal yang menarik dalam Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) DKI Jakarta dan Putusan Mahkamah Agung dalam perkara A Quo adalah Majelis Hakim baik pada tingkat banding dan kasasi tidak mempertimbangkan aspek yang menjadi pokok persoalan yang sebenarnya dalam gugatan yang diajukan oleh ICW dan YLBHI tersebut, majelis hakim hanya mempertimbangkan Eksepsi yang diajukan oleh Pemerintah perihal legal standing Penggugat.

Artinya Majelis Hakim pada tingkat banding dan kasasi belum menilai perihal keabsahan Keppres 87/P Tahun 2013 apakah telah sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik, atau malah sebaliknya. Dengan demikian makna Pasal 19 UU Mahkamah Konstitusi hingga saat ini masih multitafsir dan selalu diperdebatkan.

Problem Yuridis

Secara konstitusional Undang-Undang Dasar 1945 tidak mengatur tentang mekanisme Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim Konstitusi. Undang-Undang Dasar 1945 hanya mengatur bahwa Mahkamah Konstitusi memiliki Sembilan orang anggota hakim yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh DPR dan tiga orang oleh Presiden. Selain itu Hakim Konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tercela, adil, negarawan yang menguasasi konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat Negara.

Kemudian apabila melihat ketentuan dalam Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) UU MK, tata cara seleksi, pemilihan dan pengajuan Hakim Konstitusi diatur oleh masing-masing lembaga yang berwenang, namun harus dilaksanakan secara obyektif dan akuntabel. Apabila dicermati mekanisme seleksi hakim konstitusi dalam Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) UU MK diserahkan sepenuhnya kepada masing-masing lembaga pengaju, dalam hal ini Mahkamah Agung, DPR dan Presiden. Namun tetap harus dilaksanakan secara transparan dan partisipatif sebagaimana Pasal 19 UU Mahkamah Konstitusi.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa UU MK tidak mengatur secara tegas dan jelas tentang mekasnisme pengisian jabatan Hakim Konstitusi, UU MK menyerahkan sepenuhnya kepada masing-masing lembaga untuk menerapkan metodenya sendiri tanpa mendalami potensi masalah yang terjadi.

Sehingga dalam praktik dilapangan, penerapan mekanisme seleksi hakim konstitusi seringkali menimbulkan sejumlah kelemahan dan menuai persoalan, hal itu dipengaruhi oleh belum adanya aturan teknis yang mengatur mengenai standar seleksi dan mekanisme seleksi yang mengatur secara rinci dan komprehensif tentang rekrutmen hakim konstitusi, sehingga mekanisme dan tata cara seleksi hakim konstitusi cenderung ditafsirkan secara berbeda-beda sesuai dengan lembaga pengaju yang menafsirkannya.

Shared Responsibility System

Menurut Logemann Pengisian jabatan (staatsorganen, staatsambten) merupakan salah satu unsur penting dalam mempelajari Hukum Tata Negara. Hal itu dikarenakan tanpa adanya pejabat (ambtsdrager), fungsi-fungsi jabatan (ambt) negara tidak mungkin dapat dijalankan sebagaimana mestinya. Untuk itu diperlukan sistem mekanisme dan tata cara pengisian jabatan yang mengatur secara rinci dan komprehensif, sehingga pejabat (ambtsdrager) yang menduduki jabatan (ambt) benar-benar dapat diandalkan.

Pengisian jabatan hakim konstitusi tidak dapat diserahkan sepenuhnya kepada lembaga pengaju dalam hal ini Mahkamah Agung, DPR dan Presiden. Akan tetapi diperlukan panitia seleksi yang secara adil dan terbuka melakukan menyaringan secara ketat terhadap calon hakim konstitusi baik yang melamar maupun yang diundang untuk melamar.

Panitia seleksi juga dapat meminta lembaga-lembaga terkait seperti Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Masyarakat Umum atau lembaga lainnya guna memastikan calon hakim konstitusi benar-benar berintegritas dan berkepribadian yang tercela, adil, negarawan yang menguasasi konstitusi dan ketatanegaraan.

Untuk menjawab tuntutan tersebut, maka sangat diperlukan sebuah sistem rekrutmen yang berbasis Shared Responsibility System, artinya terdapat komposisi panitia seleksi yang terdiri dari berbagai kalangan, seperti misalnya Mantan Hakim MK, Komisi Yudisial, Akademisi, Praktisi Hukum dan Tokoh Masyarakat, sebelum diajukan dan ditentukan oleh lembaga pengusul.

Kedukan Panitia Seleksi tentunya hanya sebatas membantu tugas lembaga pengusul untuk dapat memberikan gambaran terhadap beberapa calon untuk selanjutnya yang menentukan atas beberapa orang tersebut sepenuhnya menjadi hak perogratif lembaga pengusul.

Sistem pengisian jabatan yang demikian tentunya hanya satu dari sekian cara untuk menjamin kwalitas dan integritas hakim konstitusi terpilih. Pada akhirnya adalah bergantung pada komitmen dan integritas personal hakim konstitusi sejauh mana dapat menjalankan tugas dan wewenangnya sesuai sumpah jabatan hakim konstitusi.

Harapan besar penulis, melalui Shared Responsibility System dalam rekrutmen hakim konstitusi, semoga hakim konstitusi terpilih benar-benar memiliki kualifikasi, kompetensi dan kinerja sesuai dengan yang diharapkan. Sehingga kasus Akil Mochtar dan Patrialis Akbar merupakan kasus terakhir yang akan menimpa MK. Semoga…

Link : Solusi Pengisian Jabatan Hakim Konstitusi

Continue Reading

PERLUKAH KASN DIBUBARKAN ?

Perlukah KASN Dibubarkan ?

Salah satu hasil kesepakatan dari Badan Legislasi (Baleg) DPR menyepakati 49 RUU Prolegnas Prioritas tahun 2017. Satu diantara sekian hasil kesepakatan tersebut adalah usul dari DPR tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Wacana yang bergulir adalah membubarkan Lembaga Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), karena dianggap Fungsi pengawasan KASN tidak optimal dan tidak jauh berbeda dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB).

Rencana pembubaran itu tertera dalam Pasal 27 s/d Pasal 42 draf revisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara yang menghapus pengaturan perihal tugas, wewenang, dan Kedudukan KASN.

Terhadap wacana pembubaran Lembaga KASN tersebut setidaknya terdapat 2 (dua) perbedaan pandangan dari berbagai kalangan baik DPR sebagai leading sector/penggagas terhadap rencana pembubaran Lembaga KASN ataupun dari pihak-pihak lainnya yang konsen terhadap pembenahan birokrasi di Pemerintahan.

Adapun perbedaan pandangan tersebut diantaranya adalah, Pertama pihak-pihak yang menginginkan mempertahankan Lembaga KASN, atau bahkan memperkuat kedudukan, fungsi dan tanggung jawab KASN dalam upaya menciptakan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang professional dan berkinerja, memberikan pelayanan secara adil dan netral serta menjadi perekat dan pemersatu bangsa.

Kedua adalah mewakili pihak-pihak yang berkeinginan untuk membubarkan lembaga KASN. Alasan besar dari pihak-pihak yang berada pada barisan kelompok ini adalah kurang efektifnya ruang dan lingkup kerja lembaga KASN selama ini dalam upaya mengawasi setiap tahapan proses pengisian Jabatan dalam Pemerintahan.

Terhadap 2 (dua) pandangan tersebut, maka timbul pertanyaan besar yakni Benarkah KASN dibutuhkan? Atau bahkan perlu untuk dibubarkan ?

Untuk menjawab problem atas pertanyaan diatas, maka perlu kiranya melihat dari perspektif teori kelembagaan Negara. Secara teoritis KASN merupakan bagian dari lembaga negara penunjang atau badan penunjang yang berfungsi untuk menunjang fungsi alat kelengkapan Negara lainnya, atau lembaga dimaksud sering disebut sebagai States auxiliary organ/agency.

Keberadaan States auxiliary organ/agency bertujuan untuk menghadapi perkembangan Negara yang semakin komplek disatu sisi, disisi yang lain Negara harus memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat, untuk itu dibutuhkan lembaga penunjang yang sebagian besar lembaga tersebut adalah lembaga-lembaga yang mempunyai fungsi pembantu dan bukan lembaga yang memiliki fungsi utama dalam Pemerintahan.

Dalam negara yang menganut sistem pemerintahan presidensial seperti Indonesia, Presidenlah yang pertama mengetahui, lembaga macam apa yang diperlukan untuk menangani masalah-masalah tertentu dalam mewujudkan tujuan nasional (negara), sehingga keberadaan Keberadaan lembaga-lembaga yang bersifat States auxiliary organ/agency merupakan murni berdasarkan analisa dan hak Presiden sebagai Kepala Pemerintahan untuk mengadakannya, meskipun tetap organ Negara lainnya dalam hal ini lembaga Yudikatif dapat mengawasi terhadap pembentukan lembaga-lembaga dimaksud.

Perlu Pengetatan

Bergulirnya Reformasi juga ditandai dengan berkembangnya kelembagaan Negara yang tidak dilandasi sebuah perencanaan yang jelas, sehingga muncullah anekdot “Peraturan baru, Lembaga baru”. Dalam catatan penulis sampai dengan tahun 2016 setidaknya terdapat 687 Kelembagaan Negara di Indonesia. Tentu dari sekian banyak lembaga tersebut terdapat lembaga-lembaga baru tersebut lahir sebagai jawaban atas problematika persoalan bagsa yang tidak atau bahkan belum dapat diselesaikan oleh lembaga-lembaga yang telah ada sebelumnya.

Munculnya lembaga-lembaga baru yang menjalankan fungsi sebagai States auxiliary organ/agency ini tentu selain sering menimbulkan benturan kewenangan dengan lembaga-lembaga yang sudah ada sebelumnya, juga menyebabkan membengkaknya pembiayaan yang harus dikeluarkan oleh Negara, sehingga berakibat terhadap pembiayaan yang membebani Keuangan Negara.

Atas dasar itulah sangat diperlukan upaya penataan kembali dalam usaha pembentukan kelembagaan Negara, melakukan  peleburan terhadap lembaga-lembaga yang tidak berfungsi secara optimal atau memiliki fungsi yang hampir sama, dan melakukan pengetatan terhadap pembentukan lembaga-lembaga Negara baru serta memfungsikan lembaga-lembaga yang telah ada sebelumnya dengan sebaik-baiknya.

KASN dibubarkan ?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita harus mengetahui dasar dan tujuan awal dibentuknya KASN. Tujuan penting dibentuknya KASN sebenarnya terletak pada harapan akan terciptanya birokrasi yang professional dengan berbasis pada merit sistem (kualifikasi, kompetensi dan kinerja). Merit sistem sendiri memiliki tujuan untuk dapat menghasilkan birokrasi yang professional dan berkwalitas serta jauh dari intervensi dan tekanan politik dalam pemerintahan. Sehingga apabila kita melihat pada Tujuan awal dibentuknya KASN, maka tentu tujuannya bersifat mulia, yakni berupaya meningkatkan kwalitas birokrasi dalam melayani kepada masyarakat.

Dari segi kelembagaan juga banyak dipertentangkan, utamanya kedudukan KASN terhadap lembaga sejenis lainnya seperti pengawasan oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB), Badan Kepegawaian Negara (BKN), dan Inspektorat yang ada pada tiap masing-masing daerah. Problem hubungan kelembagaan  antara KASN dengan Kemenpan RB harus diposisikan sebagai mitra kerja yang dalam hal ini sama-sama bertujuan menciptakan reformasi birokrasi dalam pemerintahan, meskipun posisi dan kedudukan Menteri PAN RB sebagai Pejabat Negara dan KASN bukan sebagai Pejabat Negara akan tetapi diharapkan tercipta kesinambungan dalam pelaksanaan kewenangan antar keduanya. Begitu juga hubungan antara KASN dengan BKN, harus terdapat hubungan sinergis antara kedua lembaga dimaksud.

Sedangkan yang menjadi perhatian serius dan menarik adalah kedudukan, peran dan fungsi Inspektorat dalam melakukan pengawasan Birokrasi yang ada didaerah. Fungsi pengawasan Inspektorat selama ini kurang begitu optimal, hal ini dikarenakan Inspektorat dibentuk dan bertanggung jawab kepada Kepala Daerah, sehingga dalam menjalankan tugas dan wewenangnya tunduk dan patuh kepada Kepala Daerah, untuk itu sangat jarang sekali Inspektorat berani dan menentang terhadap kebijakan Daerah yang tidak pro terhadap pelaksanaan reformasi tata kelola pemerintahan yang bersih dari praktik KKN (good governance).

Untuk menghindari hal yang demikian, penulis mengusulkan agar kedudukan Inspektorat secara hierarkis dapat diangkat dan bertanggung jawab kepada KASN, sehingga Inspektorat merupakan kepanjangan tangan dari KASN yang ada di daerah. Tujuannya adalah fungsi dan peran baik KASN dan Inspektorat dapat berfungsi dengan optimal dalam menjalankan fungsi pengawasan birokrasi yang ada didaerah.

Selain itu Kemenpan RB harus ditempatkan sebagai lembaga yang bersifat mengatur, sedangkan BKN adalah lembaga supporting yang bersifat administratif dalam pelaksanaan reformasi birokrasi, sedangkan KASN harus ditempatkan sebagai lembaga yang berfungsi sebagai lembaga pengawas dan penindakan atas penerapan asas, nilai dasar serta kode etik dan kode perilaku Pegawai ASN, bahkan apabila diperlukan KASN juga dapat bersinergi dengan aparat penegak hukum lainnya dalam hal melakukan penindakan baik yang bersifat pidana maupun administrasi.

Berdasar pada pertimbangan diatas, maka hemat penulis tidak perlu untuk melaksanakan pembubaran lembaga KASN, selain usianya masih relatif muda (berjalan 2 tahun) dan belum menunjukkan eksistensi peran dan fungsinya, diperlukan juga pemantapan fungsi KASN sebagai lembaga pengawas dan penindakan atas kode etik dan kode perilaku Pegawai ASN diseluruh Indonesia. Sehingga keadilan untuk mendapatkan pelayanan publik yang baik benar-benar dapat dirasakan oleh segenap masyarakat di Indonesia.

LINK : Perlukah KASN Dibubarkan ?

Continue Reading

MENYOAL BATASAN WEWENANG PLT KEPALA DAERAH

Menyoal Batasan Wewenang Plt Kepala Daerah

Bicara tentang wewenang (bevoegdheid) selalu menarik untuk dikaji, hal ini mengingat pelanggaran terhadap Kewenangan yang bersifat tertulis (rechmatigheid), maka akan dapat dikategorikan sebagai tindakan Penyalahgunaan Wewenang (de tournament de pouvoir).

Dalam hukum administrasi Negara penyalahgunaan wewenang dibagi menjadi 3 (tiga) bagian, yakni melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang dan bertindak sewenang-wenang. Untuk itu dalam setiap pelaksanaan wewenang Pemerintahan, maka menuntut adanya pertanggung jawaban hukum dan moral.

Muncul pertanyaan Bagaimana dengan kewenangan Plt Kepala Daerah ? Apakah sama dengan kewenangan Kepala Daerah non aktif atau sedang menjalani cuti di luar tanggungan Negara ?

Pertanyaan itu sekaligus menjawab munculnya petisi online yang meminta “Usut dan Pidanakan Plt Gubernur DKI Jakarta Sumarsono atas Penyalahgunaan Wewenang” yang dibuat Indra Krishnamurti di website change.org

Untuk menjawab pertanyaan diatas, kita harus melihat konsep tentang pengisian jabatan dalam pemerintahan. Secara teoritis pengisian jabatan dapat dibagi menjadi 2 (dua) bagian, Pertama  pengisian jabatan dengan Pemilihan (elected) dan yang Kedua pengisian jabatan dengan pengangkatan (appointment).

Menurut Hans Kelsen, kualitas individu sebagai organ negara ditentukan oleh fungsinya.  Pejabat yang dipilih dengan model Pemilihan (elected) atau dikarenakan atas pertimbangan yang bersifat politik maka dapat dikategorikan sebagai Pejabat Negara “political appointee”, sedangkan pejabat yang pengisian jabatannya atas dasar pengangkatan/penunjukan (appointment) atau dikarenakan murni karena alasan administratif, maka dikategorikan sebagai pejabat negeri “administrative appointee”.

Berdasar pada teori itulah maka sangat berbeda antara Jabatan Kepala Daerah dengan Plt Kepala Daerah. Perbedaan itulah yang juga mengakibatkan perbedaan atas kewenangan antar keduanya. Kepala Daerah sebagai Pejabat Negara berwenang penuh atas kewenangan yang diberikan oleh Peraturan Perundang-Undangan, sedangkan Plt Kepala Daerah berkedudukan sebagai Pejabat Administratif, yang bertindak tidak penuh atau terbatas pada hal-hal yang bersifat administratif dalam melaksanakan wewenang Kepala Daerah non aktif.

Secara normatif Pasal 34 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan memberikan kewenangan kepada Atasan Pejabat yang bersangkutan untuk menunjuk Pejabat Pemerintahan yang memenuhi persyaratan untuk bertindak sebagai pelaksana harian (Plh) atau pelaksana tugas (Plt) apabila terdapat Pejabat yang berhalangan menjalankan tugasnya. Akan tetapi Pasal 34 ayat (3) UU No. 30 Tahun 2014, tidak memberikan pembatasan secara tegas terhadap tugas dan wewenang baik Plt maupun Plh.

Guna mempertegas batasan wewenang Plt Kepala Daerah itulah, Pemerintah dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri telah mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor: 74 Tahun 2016 tentang Cuti di Luar Tanggungan Negara Bagi Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota. Sedangkan Badan Kepegawaian Negara juga mengeluarkan Surat Kepala BKN No. K.26-30/V.20-3/99 tentang Kewenangan Pelaksana Harian (PLH) dan Pelaksana Tugas (PLT) dalam Aspek Kepegawaian.

Adapun point penting Surat Kepala BKN No. K.26-30/V.20-3/99 adalah diaturnya batasan wewenang Plt/Plh, yakni terhadap Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh wewenang melalui Mandat tidak berwenang mengambil keputusan dan/atau tindakan yang bersifat strategis yang berdampak pada perubahan status hukum pada aspek organisasi, kepegawaian, dan alokasi anggaran.

‘Keputusan dan/atau tindakan yang bersifat strategis’ menurut UU Administrasi Pemerintahan diartikan sebagai Keputusan dan/atau Tindakan yang memiliki dampak besar seperti penetapan perubahan rencana strategis dan rencana kerja pemerintah. Sedangkan maksud ‘perubahan status hukum kepegawaian’ adalah melakukan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pegawai’.

Rincian pembatasan bagi Plt atau Plh sesuai Surat Kepala BKN No. K.26-30/V.20-3/99  diantaranya Pertama, tidak berwenang mengambil keputusan dan/atau tindakan yang bersifat strategis yang berdampak pada perubahan status hukum pada aspek kepegawaian. Kedua, tidak berwenang mengambil keputusan dan/atau tindakan dalam aspek kepegawaian yang meliputi pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pegawai.

Ketiga, kewenangan Plh atau Plt adalah (i) menetapkan sasaran kerja pegawai dan penilaian prestasi kerja; (ii) menetapkan kenaikan gaji berkala; (iii) menetapkan cuti selain cuti di luar tanggungan negara; (iv) menetapkan surat penugasan pegawai; (v) menyampaikan usul mutasi kepegawaian kecuali perpindahan antar instansi; dan (vi) memberikan izin belajar, izin mengikuti seleksi jabatan pimpinan tinggi/administrasi, dan izin tidak masuk kerja.

Berbeda dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor: 74 Tahun 2016, dimana Plt Kepala Daerah memiliki tugas dan wewenang a.            memimpin pelaksanaan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang ditetapkan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; b. memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat; c. memfasilitasi penyelenggaraan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota yang definitif serta menjaga netralitas Pegawai Negeri Sipil; d. menandatangani Perda tentang APBD dan Perda tentang Organisasi Perangkat Daerah setelah mendapat persetujuan tertulis dari Menteri; dan e. melakukan pengisian dan penggantian pejabat berdasarkan Perda Perangkat Daerah setelah mendapat persetujuan tertulis dari Menteri.

Apabila dilihat secara seksama, maka kewenangan Plt Kepala Daerah dalam Permendagri No. 74 Tahun 2016 bertentangan atau terjadi disharmonisasi norma/konflik norma dengan Surat Kepala BKN No. K.26-30/V.20-3/99, dimana melalui Surat Kepala BKN No. K.26-30/V.20-3/99, Plt/Plh dinyatakan tidak berwenang mengambil keputusan dan/atau tindakan yang bersifat strategis yang berdampak pada perubahan status hukum pada aspek kepegawaian, dan tidak berwenang mengambil keputusan dan/atau tindakan dalam aspek kepegawaian yang meliputi pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pegawai.

Akan tetapi melalui Permendagri No. 74 Tahun 2016 pelaksanaan kewenangan yang bersifat strategis, dan kewenangan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pegawai dapat dilakukan oleh Plt Kepala Daerah setelah mendapat persetujuan tertulis dari Menteri.

Mana yang lebih tepat Permendagri No. 74 Tahun 2016 atau Surat Kepala BKN No. K.26-30/V.20-3/99? Secara konsep hukum kewenangan Plt Kepada Daerah merupakan bagian dari pelaksanaan kewenangan Mandat, yang berarti  kewenangan yang dijalankan merupakan pelimpahan wewenang dari atasan kepada bawahan (dalam hal ini dari Mendagri kepada Plt Kepala Daerah), sehingga tanggung jawab hukum dan tanggung gugat tetap berada pada pemberi mandat (mandataris).

Dengan demikian apabila merujuk pada konsep pembatasan kewenangan Plt Kepala Daerah sebagaimana tertuang dalam 2 (dua) pengaturan baik Permendagri No. 74 Tahun 2016 dan Surat Kepala BKN No. K.26-30/V.20-3/99, maka hemat penulis yang paling tepat adalah konsep pengaturan pembatasan kewenangan Plt Kepala Daerah sesuai dengan Permendagri No. 74 Tahun 2016.

Hal itu mengingat Plt Kepala Daerah merupakan Pejabat yang memperoleh wewenang Mandat dari Mendagri untuk melaksanakan tugas dan wewenang Kepala Daerah yang sedang berhalangan, yang dalam menjalan tugas dan wewenangnya bertanggung jawab kepada Menteri selaku Pejabat Pemberi Mandat, sehingga secara otomatis dalam menjalankan tugas dan wewenang yang bersifat strategis, maka Plt Kepala Daerah wajib mendapat persetujuan tertulis dari Menteri (Pemberi Mandat).

Namun tentu yang menjadi catatan bagi kita semua, utamanya pembentuk peraturan perundang-undangan adalah diperlukan sinergi dan duduk bersama dalam upaya harmonisasi pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia, sehingga disharmonisasi hukum seperti yang terjadi diatas dapat dihindari, tujuannya adalah untuk menghindari kebingungan hukum bagi masyarakat luas.

Link : Menyoal Batasan Wewenang Plt Kepala Daerah

Continue Reading