PENGISIAN JABATAN YANG KORUPTIF

PENGISIAN JABATAN YANG KORUPTIF

Beberapa waktu yang lalu ramai pemberitaan tentang adanya jual beli jabatan di lingkungan jabatan publik dalam pemerintahan. Apabila menengok kebelakang, tentu hal itu bukanlah suatu hal yang baru, mengingat dalam beberapa kasus yang pernah terjadi, banyak motif dan cara yang digunakan dalam upaya memperdagangkan jabatan publik di pemerintahan.

Mengutip seperti yang dikatakan oleh Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarief, bahwa perdagangan jabatan hampir terjadi di setiap level pemerintahan. Meskipun tidak mudah untuk membongkar praktik ilegal itu, salah satu kesulitan mendasar dalam membongkar kejahatan itu dikarenakan pihak pemberi maupun penerima suap saling berjanji untuk menutupi kejahatan masing-masing. Pejabat yang berkeinginan untuk mendapatkan promosi jabatan atau ditempatkan di jabatan strategis tertentu harus menyetor sejumlah uang. Tentunya semakin tinggi dan strategis jabatan, semakin tinggi dan besar pula uang yang harus disetorkan.

Motif dan cara jual beli pengisian jabatan dalam pemerintahan dapat terjadi tidak hanya pada saat promosi jabatan, akan tetapi juga terjadi pada tahapan awal rekrutmen, pengangkatan, penempatan dan mutasi jabatan. Menjadi sangat miris sekali apabila hal demikian berulangkali terjadi, karena tidak mungkin dengan harga jabatan yang diperoleh, seseorang yang duduk dalam jabatan tersebut dapat menjalankan amanah dengan atau tanpa melakukan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Tentu pejabat yang demikian akan berfikir tentang untung rugi atas jabatan yang disandangnya.

Kondisi yang demikian sungguh sangat memprihatinkan, mengingat dengan adanya praktik jual beli jabatan, maka selamanya tidak akan dapat memutus mata rantai perilaku koruptif yang nyata-nyata bertentangan dengan semangat agenda Reformasi Birokrasi, utamanya dalam upaya membangun Aparatur Sipil Negara yang berintegritas, professional, netral dan bebas dari intervensi politik, bersih dari KKN serta mampu menyelenggarakan pelayanan publik dengan baik sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.

Sehingga tidak salah apabila Pemerintah melalui agenda Reformasi Birokrasi yang tertuang dalam Roadmap Reformasi Birokrasi yang disusun dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) hingga 2024, Reformasi Birokrasi periode 2004-2014 adalah menekankan pada penegakan Hukum dan Disiplin PNS, perbaikan sistem kepegawaian dan tata kelola Pemerintahan yg baik. Periode 2014-2019, menekankan pd sistem rekruitmen dan Promosi Jabatan ASN yang bersih/profesional, SDM aparatur yg Berkualitas dan Bebas KKN. Periode 2019-2024, menekankan kemapanan bisnis proses penyelenggaraan Pemerintahan/Clean & Good Governance, penggunaan E-Govermant yang terintegrasi.

Tiga Problem

Persoalan tentang adanya jual beli jabatan merupakan satu dari sekian banyak problem pengisian jabatan di pemerintahan. Melalui tulisan ini penulis setidaknya mencatat terdapat 3 (tiga) problem besar dalam pengisian jabatan di pemerintahan. Pertama, problematika prosedur, model dan tata cara seleksi, dimana belum ada aturan baku yang mengatur mengenai standar prosedur dan mekanisme seleksi yang rinci dan komprehensif, sehingga dalam setiap pengisian jabatan publik cenderung ditafsirkan secara otoriter oleh pemegang otoritas kekuasaan dalam pemerintahan.

Kedua, problem berkenaan dengan lembaga yang berwenang melakukan seleksi pejabat dalam pemerintahan, hal ini dapat terlihat dalam setiap proses pengisian jabatan dalam pemerintahan yang selalu berbeda-beda dan berubah-ubah antar periode yang satu dengan yang lainnya, padahal rujukan pengaturannya sama atau belum terdapat perubahan.

Ketiga, problem pengawasan dalam pengisian jabatan dalam pemerintahan. Problem ini pada tingkatan pemerintah pusat sering difungsikan oleh lembaga Parlemen/DPR, akan tetapi dalam pelaksanaanya justeru banyak menuai kritik terhadap adanya campur tangan DPR dalam proses pengisian jabatan dalam pemerintahan. Pada tingkatan daerah juga menganut sistem pengawasan berlapis, yakni pengawasan internal yang dilakukan oleh inspektorat dan pengawasan eksternal yang dilakukan oleh Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN). Namun dalam perkembangannya baik inspektorat maupun KASN dinilai kurang begitu berfungsi optimal dalam usaha pengawasan dalam pengisian jabatan dalam pemerintahan.

Tiga Pilar

Dalam setiap Negara tentunya berkeinginan untuk mencapai tujuan-tujuan bernegara, untuk itulah sangat dibutuhkan suatu Aparatur Pemerintahan yang kompeten, sehingga dengan adanya Aparatur Pemerintahan yang baik, maka kelancaran dan penjewantahan tujuan-tujuan Negara dapat berjalan dengan maksimal.

Untuk mencapai tujuan bernegara itulah maka perlu diprioritaskan terhadap pembangunan 3 (tiga) Pilar kekuatan, yakni Hukum (rule), Jabatan  (ambt) dan Pemegang Jabatan (ambtsdrager). Hukum (rule) bertujuan untuk mengatur hubungan antara kelembagaan  dalam Negara berserta fungsi hubungan Negara dengan rakyatnya, sedangkan Jabatan (ambt) dan Pemegang Jabatan (ambtsdrager) bertujuan untuk mengatur batas-batas kewenangan dan tanggung jawab jabatan yang diemban. Untuk itu menjadi sangat penting sekali Pejabat dalam Pemerintahan untuk dapat membedakan antara Hukum (rule), Jabatan (ambt) dan Penjabat/Pemegang Jabatan (ambtsdrager).

Dalam konsep penyelenggaraan Birokrasi yang ideal, Hukum harus dijadikan panglima dalam dinamika kehidupan kenegaraan, bukan Jabatan (ambt) apalagi Penjabat/Pemegang Jabatan (ambtsdrager). Sehingga dengan demikian seseorang yang memegang jabatan dalam pemerintahan menjadi paham dan sadar tentang batas-batas kewenangan dan apa yang harus dilakukan serta tidak boleh dikerjakan.

Untuk itu sangat penting sekali bagi Pemegang Jabatan dalam Pemerintahan untuk merefleksikan kembali semangat ‘the rule of law and ethics, not of man’, yakni hukum dan etika sebagai suatu sistem, bukan orang per orang (jabatan atau penjabat) yang mengaturnya. Sehingga apabila hukum dan etika dijadikan ukuran dan pijakan dalam setiap pelaksanaan kewenangan dalam Pemerintahan, maka akan sangat kecil kemungkinan terjadinya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dalam penyelenggaran Pemerintahan, utamanya dalam upaya memperkecil kemungkinan adanya jual beli jabatan dalam pemerintahan.

Link : Pengisian Jabatan Yang Koruptif

Continue Reading

TAFSIR MA ATAS PEMBATASAN KASASI DALAM PERKARA TUN

Salah satu unsur Negara Hukum (Rechtstaat) adalah adanya Peradilan Tata Usaha Negara, yang tujuannya untuk melindungi rakyat dari Perbuatan Melawan Hukum oleh Penguasa (Onrechtmatige Overheidsdaad). Pembahasan mengenai Perkara dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) selalu menarik untuk dikaji, hal ini mengingat dalam sengketa TUN pihak Tergugat selalu adalah Badan/Pejabat Tata Usaha Negara, sedangkan pihak Penggugat adalah Orang/Badan Hukum Perdata.

Muncul prolematika dan perdebatan hukum pasca diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, utamanya Pasal 45 A ayat (2) huruf c tentang pembatasan hak pengajuan kasasi terhadap perkara tata usaha Negara. Perdebatan itu didasarkan pada Pasal 131 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang masih mengatur upaya hukum Kasasi terhadap Putusan tingkat terakhir Pengadilan.

Terhadap adanya konflik Norma antara Pasal 45 A ayat (2) huruf c UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang MA dengan Pasal 131 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN, pernah dilakukan uji materi yang terregister dengan perkara No. 23/PUU-V/2007. Namun atas uji materi tersebut Mahkamah Konstitusi pada tanggal 14 Januari 2008 menyatakan menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya, dengan pertimbangan dalil pemohon yang menyatakan pemberlakuan pasal itu telah menimbulkan perlakuan diskriminatif adalah tidak tepat, pembatasan kasasi dalam perkara TUN tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai peraturan yang menimbulkan perlakuan diskriminatif, pembatasan perkara TUN yang hanya sampai tingkat banding tidak melanggar hak asasi warga negara untuk mendapat keadilan. Sebab, putusan tingkat banding perkara TUN masih dapat diajukan upaya hukum luar biasa berupa Peninjauan Kembali (PK).

Apabila melihat naskah pembahasan UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang MA utamanya Pasal 45 A ayat (2) huruf c tentang pembatasan hak pengajuan kasasi terhadap perkara Tata Usaha Negara, maka tidak dijelaskan mengenai tafsir terhadap diaturnya ketentuan Pasal 45 A ayat (2) huruf c tersebut, yang ada hanya dasar sosiologis diaturnya atas Pasal tersebut, diantaranya (1) adanya kecenderungan pengajuan upaya hukum ke tingkat kasasi yang tidak diimbangi dengan kecepatan putusan perkara, (2) kelambanan dan kurang profesionalnya aparatur peradilan di MA, (3) terdapatnya indikasi Kolusi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dan (4) belum adanya peraturan yang tegas mengenai pembatasan perkara kasasi.

Terhadap berlakunya ketentuan UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang MA utamanya Pasal 45 A ayat (2) huruf c tentang pembatasan hak pengajuan kasasi terhadap perkara Tata Usaha Negara, dalam praktik hukum setidaknya terdapat 3 (tiga) tafsir hukum. Pertama, terhadap Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh Pejabat Daerah dalam hal ini Gubernur/Bupati/Walikota beserta struktural dibawahnya, maka berlakulah ketentuan Pasal 45 A ayat (2) huruf c UU No. 5 Tahun 2004, artinya menganut sistem 2 (dua) tingkat yakni tingkat Pertama dan Banding, sedangkan dalam hal Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh Pejabat Pusat (Nasional) maka ketentuan Pasal 45 A ayat (2) huruf c UU No. 5 Tahun 2004 tidak dapat diterapkan, artinya tetap berlaku 3 (tiga) tingkat yakni Pertama, Banding dan Kasasi.

Tafsir Kedua, didasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, apabila Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh Pejabat Daerah dalam hal ini Gubernur/Bupati/Walikota dengan mendasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Daerah dalam hal ini Peraturan Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota atau Peraturan Kepala Daerah lainnya, maka berlakulah ketentuan Pasal 45 A ayat (2) huruf c UU No. 5 Tahun 2004, artinya menganut sistem 2 (dua) tingkat yakni tingkat Pertama dan Banding, sedangkan dalam hal Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh Pejabat Daerah atau Pejabat Pusat (Nasional) yang mendasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat dalam hal ini Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Peraturan Perundang-Undangan lainnya yang dikelurkan oleh Pejabat Pusat (tingkat Nasional) maka ketentuan Pasal 45 A ayat (2) huruf c UU No. 5 Tahun 2004 tidak dapat diterapkan, artinya tetap berlaku 3 (tiga) tingkat yakni Pertama, Banding dan Kasasi.

Tafsir Ketiga, yang juga merupakan tafsir Penulis pada saat itu adalah didasarkan pada kewenangan dalam hal menjalankan urusan Pemerintahan, apabila Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh Badan/Pejabat Pejabat TUN didasarkan pada kewenangan yang bersifat Desentralisasi, maka berlakulah ketentuan Pasal 45 A ayat (2) huruf c UU No. 5 Tahun 2004, artinya menganut sistem 2 (dua) tingkat yakni tingkat Pertama dan Banding, sedangkan dalam hal Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh Badan/Pejabat TUN dalam rangka menjalankan kewenangan Dekonsentrasi atau Tugas Pembantuan, maka ketentuan Pasal 45 A ayat (2) huruf c UU No. 5 Tahun 2004 tidak dapat diterapkan, artinya tetap berlaku 3 (tiga) tingkat yakni Pertama, Banding dan Kasasi.

Ketiga tafsir itulah yang terjadi dilapangan, tidak hanya bagi Penggugat dalam hal ini Orang/Badan Hukum Perdata, maupun Tergugat dalam hal ini Badan/Pejabat Tata Usaha Negara, Hakimpun dalam Putusannya tidak jarang sering berbeda pandangan mengenai Pemberlakukan ketentuan Pasal 45 A ayat (2) huruf c UU No. 5 Tahun 2004. Hingga pada akhirnya terdapat Putusan Mahkamah Agung Nomor 213 K/TUN/2007 tertanggal 6 November 2007 mengenai Pembatasan Upaya Hukum Kasasi berdasarkan Pasal 45A ayat (2) huruf c UU No. 5 Tahun 2004, yang pada intinya dalam pertimbangannya menyatakan Bahwa untuk menetukan apakah suatu Keputusan Pejabat jangkauannya berlaku hanya pada daerah yang bersangkutan atau tidak, haruslah dilihat dari kasus demi kasus, apabila kewenangan Pejabat yang bersangkutan a quo memang didasarkan pada suatu peraturan yang murni bersifat regional (daerah) atas dasar desentralisasi dan otonomi daerah yang secara atributif memberikan kewenangan pada daerah yang bersangkutan, misalnya berdasarkan kepada Peraturan Daerah, maka dalam hal tersebut Keputusan Pejabat yang bersangkutan memang hanya menjangkau daerahnya, sehingga kasus demikian Pasal 45A ayat (2) huruf c UU No. 5 tahun 2004 dapat diterapkan.

Akan tetapi sebaliknya apabila kewenangan pejabat yang bersangkutan itu bersifat derivative (turunan) dari peraturan yang berlaku nasional, tidak hanya bersifat regional, maka jangkauan tidak bersifat terbatas dalam daerahnya saja, tetapi juga bersifat keluar melampaui batas-batas wilayah daerahnya. Maka dalam hal demikian Pasal 45A ayat (2) huruf c tersebut tidak dapat diterapkan, sehingga ukuran tidak hanya dilihat bahwa pejabat yang menerbitkan Keputusan itu adalah seorang Bupati atau Walikota atau Gubernur, yang kewenangannya hanya mempunyai jangkauan daerah saja, tetapi dilihat dari sumber kewenangannya, apakah berdasarkan pada Peraturan daerah atau yang setingkat, ataukah pada suatu peraturan yang dapat menjangkau wilayah Nasional. Bahwa untuk menentukan objek Gugatan berupa Keputusan Pejabat Daerah tersebut memenuhi syarat untuk diajukan upaya hukum kasasi, pada prinsipnya adalah apabila keputusan pejabat daerah dalam rangka melaksanakan kewenangan Pemerintah Pusat, hal ini harus dilihat pada peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Keputusan Pejabat Daerah yang merupakan objek gugatan tersebut.

Akan tetapi dengan adanya Putusan Mahkamah Agung Nomor 213 K/TUN/2007 tertanggal 6 November 2007 mengenai Pembatasan Upaya Hukum Kasasi berdasarkan Pasal 45A ayat (2) huruf c UU No. 5 Tahun 2004 masih dirasa tidak cukup, mengingat tetap saja dilapangan timbul persoalan hukum utamanya berkaitan dengan prosedur dan tata cara pelaksanaan Pasal 45A ayat (2) huruf c UU No. 5 Tahun 2004 berkaitan dengan pembatasan upaya hukum kasasi Perkara TUN tersebut. Yang mana sebelumnya ketentuan mengenai Permohonan Kasasi yang tidak memenuhi syarat formal, tidak diatur secara secara seragam dan tepat oleh Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan, untuk menjawab keraguan itulah kemudian Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penjelasan Ketentuan Pasal 45A Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung dan Surat Edaran Nomor 08 tahun 2011 tentang Perkara Yang Tidak Memenuhi Syarat Kasasi dan Peninjauan Kembali, yang pada intinya mengatur teknis prosedur dan tata cara Permohonan Kasasi yang tidak memenuhi syarat formal yakni dengan dikeluarkan Surat Penetapan Pengadilan Tingkat Pertama yang menyatakan bahwa Permohonan Kasasi tersebut tidak diterima dan berkas perkara tidak dikirim ke Mahkamah Agung. Tentunya Penulis disini tidak atau tanpa mempersoalkan kedudukan Surat Edaran dalam hierarki Peraturan Perundang-Undangan, mengingat pada kenyataan dilapangan produk Surat Edaran Mahkamah Agung jauh lebih dipatuhi oleh segenap lembaga Peradilan dalam setiap tingkatan.

Apabila melihat ketentuan sebagaimana Surat Edaran Nomor 11 Tahun 2010 dan Surat Edaran Nomor 08 tahun 2011, maka dapat disimpulkan belum menentukan batas-batas pemaknaan atau tafsir terhadap Pasal 45A ayat (2) huruf c UU No. 5 Tahun 2004, sehingga dalam praktek dilapangan masih sering dijumpai baik Penggugat maupun Tergugat masih menggunakan argumentasi hukum Pasal 45A ayat (2) huruf c UU No. 5 Tahun 2004 untuk dijadikan senjata pamungkas guna mengganjal upaya hukum Kasasi yang diajukan oleh salah satu pihak.

Kemudian di akhir tahun 2016 Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran Nomor 4 tahun 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung tahun 2016 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan, yang salah satunya memberikan Tafsir terhadap Pasal 45A ayat (2) huruf c UU No. 5 Tahun 2004, yang berdasarkan Rumusan Hukum Kamar Tata Usaha Negara angka 6 pada halaman 14 memberikan kriteria terhadap Pembatasan Upaya Hukum Kasasi dalam Pasal 45A ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 adalah bagi Keputusan pejabat daerah yang berasal dari sumber kewenangan desentralisasi. Tetapi terhadap Keputusan Pejabat daerah yang bersumber dari kewenangan dekonsentrasi ataupun bersumber dari kewenangan pembantuan terhadap pemerintah pusat (medebewin) tetap bisa dilakukan upaya hukum kasasi.

Dengan berdasar pada Surat Edaran Nomor 4 tahun 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung tahun 2016 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan tersebut, maka berakhirlah tafsir liar yang selama ini berlaku di masyarakat, sehingga perdebatan mengenai makna atas Pasal 45 A ayat (2) huruf c UU No. 5 tahun 2004 tentang MA, mengenai pembatasan hak pengajuan kasasi terhadap perkara Tata Usaha Negara menjadi jelas dan tidak dapat ditafsirkan secara parsial. Meskipun hemat penulis hal tersebut perlu dituangkan dalam sebuah dasar hukum yang tegas dan jelas yakni berupa Undang-Undang, sehingga keberlakuannya dapat mengikat secara umum, hal itu dikarenakan tafsir yang dilakukan Mahkamah Agung bukan merupakan tafsir konstitutional ataupun Penafsiran Autentik yang resmi diberikan oleh pembuat undang-undang. Penafsiran Mahkamah Agung hanya merupakan Penafsiran sistematis atas persoalan hukum (question of laws), yang merupakan hasil dari menghubungkan pasal yang satu dengan pasal-pasal yang lain dalam suatu perundang-undangan yang bersangkutan atau pada perundang-undangan hukum lainnya. Namun yang pasti semoga dengan adanya tafsir atas Pasal 45 A ayat (2) huruf c UU No. 5 tahun 2004 tentang MA tersebut kepastian dan keadilan hukum dapat ditegakkan, utamanya dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.

Link : Tafsir MA Atas Pembatasan Kasasi Dalam Perkara TUN

Continue Reading

DILEMA PEMBENTUKAN LEMBAGA PEMANTAPAN IDEOLOGI PANCASILA

DILEMA PEMBENTUKAN

LEMBAGA PEMANTAPAN IDEOLOGI PANCASILA

Seperti dikutip dalam situs Kementerian Sekretariat Negara dan diberitakan oleh beberapa media cetak dan elektronik lainnya, bahwa Presiden Jokowi akan membentuk Lembaga Pemantapan Ideologi Pancasila yang bertujuan agar Pancasila dapat diemplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, serta Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa yang tidak cukup hanya dibaca, diketahui, dihafalkan, akan tetapi harus betul-betul diwujudkan dalam pola pikir, sikap mental, gaya hidup dan perilaku nyata sehari-hari.

Selain itu menurut Menteri Koordinator bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan, Lembaga Pemantapan Pancasila akan berbentuk Unit Kerja Presiden bidang Pemantapan Ideologi Pancasila (UKP PIP), yang berkedudukan langsung di bawah Presiden dan setara dengan Kementerian Negara, yakni hampir sama dengan organisasi Kepala Staf Kepresidenan, sehingga kedudukan, hak keuangan, fasilitasnya setara dengan Kementerian Negara.

Lintasan Sejarah

Dalam beberapa lintasan sejarah kelembagaan dalam usaha penghayatan dan pengamalan Pancasila di Indonesia, setidaknya terdapat sebuah Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila yang ditetapkan oleh MPR dalam Sidang umumnya pada tanggal 22 Maret 1978 yang menghasilkan TAP MPR-RI No.II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa) atau biasa disebut dengan P4. Pedoman ini berisi (1) bahwa P-4 diperuntukkan sebagai penuntun dan pegangan hidup bagi setiap warganegara Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, (2) Presiden bersama-sama DPR ditugasi untuk melaksanakan dengan sebaik-baiknya.

Kemudian guna menjalankan P-4 tersebut, Presiden menerbitkan Instruksi Presiden No. 10 tahun 1978, sekaligus sebagai langkah awal penyelenggaraan penataran P-4 bagi pejabat pemerintahan.  Selanjutnya guna mengefektifkan lebih luas dan besar untuk menjangkau upaya Penghayatan dan Pengamalan Pancasila bagi masyarakat umum, dibentuklah suatu Lembaga Pemerintah Non Departemen yang disebut Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila disingkat BP-7 dengan surat Keputusan Presiden No.10 tahun 1979.

Keberadaan BP-7 diefektifkan tidak hanya ditingkatan Pemerintah Pusat, akan tetapi juga pada tataran Pemerintah Daerah serta lembaga-lembaga Pendidikan, baik tingkat dasar, menengah dan tinggi. Adapun Muatan P-4 sendiri terdiri dari Pancasila, UUD 1945 dan GBHN yang dikemas dalam bentuk bahan ajar dan diintegrasikan dalam kurikulum pendidikan dasar, menengah dan tinggi.

Pada era reformasi muncullah beberapa kritik terhadap penyelenggaraan penataran P-4, karena dianggap oleh berbagai pihak bahwa P-4 hanya dijadikan alat oleh Pemerintah untuk melanggengkan kekuasaan, serta P-4 dianggap tidak dapat membendung terjadinya Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN) di Indonesia. Untuk itu dengan berdasar pada Ketetapan MPR-RI No. XVIII/MPR/1998, MPR mencabut dan menyatakan tidak berlaku Ketetapan MPR-RI Nomor II/MPR/1978. Dengan dicabutnya Ketetapan MPR yang mengatur tentang P-4 tersebut, lembaga yang melaksanakannya yakni BP-7 juga dibubarkan pula.

Kemudian guna menjalankan fungsi ketentuan mengenai implementasi Pancasila yang merupakan pengganti BP-7, pada era reformasi dibentuklah Badan Pengembangan Kehidupan Bernegara (BPKB) berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 85 Tahun 1999 yang pada intinya memiliki tugas mengkaji dan membudayakan Pancasila sebagai dasar Negara dalam kehidupan bernegara dan berdemokrasi. Namun pada kenyataannya lembaga ini tidak berjalan dengan sebagaimana mestinya, sehingga sampai saat ini tidak jelas keberadaannya.

Problem Kelembagaan

Pada dasarnya Lembaga Pemantapan Ideologi Pancasila yang digagas oleh Presiden Jokowi memiliki tujuan yang mulia, yakni sebagai upaya membendung paham intoleransi, radikalisme dan terosisme di Indonesia, untuk itu sudah selayaknyalah didukung oleh semua kalangan, akan tetapi tentu dengan berbagai macam catatan diantaranya, Pertama, Publik harus diberikan garansi  (public guarantee), artinya lembaga tersebut harus benar-benar mampu memberikan manfaat bagi segenap rakyat guna keberlangsungan pemantapan rasa cinta tanah air dan bela Negara, tentunya dengan tetap berpegang pada prinsip dan nilai-nilai Pancasila. Dengan demikian kekhawatiran akan hal-hal yang dimungkinkan terjadi pada era-era sebelumnya dapat ditepis dan dibendung, sehingga pembentukan lembaga dimaksud bukan hanya sekedar wacana akan tetapi mampu berperan memberikan pendidikan yang baik bagi publik.

Kedua, Sistem Pengisian Jabatan Lembaga Pemantapan Ideologi Pancasila tersebut harus berdasar pada standart seleksi yang mengatur sistem mekanisme seleksi, dan persyaratan secara rinci, komprehensif, ketat serta transparan. Sehingga dengan demikian diharapkan akan menghasilkan orang-orang yang duduk dalam jabatan dimaksud benar-benar memiliki integritas dan tingkat kenegarawanan yang baik, yang dapat diandalkan dan dipertanggungjawabkan secara professional guna mengawal demi tegaknya wibawa Ideologi Pancasila (the guardian of Pancasila).

Ketiga, Struktur kelembagaannya harus diperjelas, sebagaimana dinyatakan lembaga ini akan dibentuk dengan dasar hukum berupa Perpres, artinya dalam menjalankan tugasnya lembaga dimaksud hanya sebagai Lembaga Negara penunjang atau disebut sebagai state auxiliary organ/agency, sehingga kedudukannya menjadi tidak jelas, meskipun dalam hal hak tunjangan fasilitas keuangannya disamakan/setingkat dengan Menteri, akan tetapi dalam perspektif kelembagaan justeru lembaga Pemantapan Ideologi Pancasila tersebut akan cenderung dipandang sebelah mata dikarenakan kedudukannya tidak dibentuk oleh Undang-Undang dan struktur kelembagaannya yang bukan merupakan Pejabat Negara.

Keempat, lembaga tersebut tentu akan menjalankan fungsi yang sangat luas, serta akan berhubungan langsung dengan 3 (tiga) fungsi cabang kekuasaan sekaligus, baik Ekskutif (Bestur), Legislatif (Regeling) dan Yudisial (Rechtspraak). Untuk itu perlu ditekankan tentang fungsi-fungsi yang akan dijalankan oleh lembaga Pemantapan Ideologi Pancasila tersebut, apakah memang lebih menekankan kepada fungsi pengaturan, pengawasan atau penindakan. Sehingga dengan demikian akan semakin jelas kedudukannya dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.

Kelima, perlu diatur pola hubungan kewenangan yang jelas dan bersifat konkrit guna membendung adanya kekuatan ego sektoral antar lembaga-lembaga terkait lainnya yang memiliki kewenangan yang sejenis atau hampir sama dengan lembaga dimaksud. Selain itu diperlukan harmonisasi kewenangan antar lembaga-lembaga yang sudah ada sebelumnya, sehingga tidak terjadi konflik kewenangan antar institusi yang satu dengan yang lainnya.

Terakhir sekaligus yang menjadi harapan dan saran dari penulis, semoga Pancasila bukan hanya sebagai sumber hukum (source of law) semata, akan tetapi Pancasila juga dapat dijadikan sebagai sumber etika (source of ethics). Kedua perspektif itu harus dijadikan sumber referensi normative dan operasional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga Pancasila yang mengandung nilai-nilai universal inklusif tersebut dapat mempersatukan kita semua sebagai bangsa dalam satu kesatuan system ideology, falsafah, kehidupan berbangsa dan bernegara dalam usaha membangun demokrasi yang ditopang oleh semangat the rule of law and rule of ethics secara berkesinambungan.

Link : Dilema Pembentukan Lembaga Pemantapan Ideologi Pancasila

Continue Reading

PIMPINAN DPR DALAM SISTEM PRESIDENSIL

PIMPINAN DPR DALAM SISTEM PRESIDENSIL

Sejarah membuktikan bahwa the founding fathers telah mengidealkan sistem pemerintahan Presidensil, hal itu dapat tercermin dalam perumusan UUD 1945 yang menyatakan bahwa kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar dipegang oleh seorang Presiden dengan dibantu oleh satu orang Wakil Presiden selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan (Pasal 4 ayat (1) dan (2) jo. Pasal 7 UUD 1945). Selain itu apabila mendasarkan pada Undang-Undang Dasar yang dirancang oleh BPUPKI (Badan Usaha Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia) yang kemudian disahkan oleh PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada tanggal 18 Agustus 1945, dalam sistem pemerintahan yang diidealkan, juga tidak dikenal dengan adanya jabatan Perdana Menteri dalam pemerintahan Indonesia merdeka. Itulah kemudian yang menjadi alasan mendasar dalam agenda Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, yakni mengupayakan penguatan sistem presidensil secara murni, dengan cara Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat. Hal itulah yang merupakan ciri penting dalam upaya penguatan sistem pemerintahan Presidensil, dimana Presiden dan Wakil Presiden hanya tunduk dan bertanggung jawab kepada rakyat yang memilihnya.

Dalam beberapa hari terakhir muncul aspirasi yang berkembang salah satunya guna memperkuat sistem pemerintahan presidensil, maka terdapat wacana penambahan atau perubahan struktur pimpinan DPR, yang mana PDIP notabene fraksi terbesar di parlemen, justeru tidak terwakilkan kadernya pada posisi jabatan Pimpinan DPR. Terhadap wacana tersebut, setidaknya Penulis terdapat 3 (tiga) pandangan, Pertama, secara hukum, wacana penambahan pimpinan DPR bukan merupakan isu konstitusional, hal itu dikarenakan tidak ada dalam Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatur struktur dan komposisi susunan Pimpinan DPR, Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 hanya mengatur susunan DPR diatur dengan Undang-Undang, artinya pengaturan perihal struktur dan komposisi susunan Pimpinan DPR merupakan open legal policy atau bergantung pada pembentuk Undang-Undang untuk mengaturnya. Kedua, dalam praktek ketatanegaraan yang ada didunia (comparative research study), tidak pernah terjadi Negara yang memilih sistem pemerintahan Presidensil, pimpinan parlemenya tidak dikendalikan atau dipegang oleh partai penguasa atau pemenang pemilu, hal ini tentu selaras dengan tujuan sistem pemerintahan Presidensil yakni menciptakan pemerintahan (executive) yang relatif stabil, yang jauh dari ancaman kekuasaan parlemen. Ketiga, secara sosio politik apabila benar terjadi keinginan untuk penambahan kursi pimpinan DPR, maka tentu yang demikian kemungkinan akan menjadi isu kurang baik bagi publik, dan akan menimbulkan kesan atau persepsi publik bahwa penambahan pimpinan DPR hanya merupakan bagian dari bagi-bagi kekuasaan di parlemen, meskipun mungkin tujuannya tidak demikian. Selain itu penambahan kursi pimpinan DPR juga berpeluang terhadap adanya perubahan UU Susduk secara periodik, yakni bergantung pada jumlah komposisi kekuatan fraksi yang berkuasa di DPR setiap 5 (lima) tahun sekali. Untuk membendung hal-hal nengatif tersebut, maka perlu dicarikan solusi jalan tengah guna mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan sebagaimana tersebut pada alinea sebelumnya.

POLARISASI SISTEM DUA POROS

Ada sebagian yang menyatakan bahwa upaya penambahan pimpinan DPR merupakan akibat dari dianutnya sistem multi partai di Indonesia, namun Penulis kurang sependapat dengan pendapat yang demikian, mengingat pembatasan jumlah partai politik merupakan bagian dari pelanggaran terhadap prinsip kemerdekaan berserikat (freedom of association), selain itu biarlah sejarah yang menseleksi partai politik mana yang survive dan mendapat mandat dari rakyat, tanpa membatasi jumlah partai politik di Indonesia. Selain itu perlu dikenalkan sistem baru dalam upaya penyederhanaan pengambilan Keputusan di DPR, yakni dengan melembagakan dari berbagai fraksi dan partai politik menjadi 2 (dua) poros kekuatan, poros pertama merupakan himpunan fraksi dan partai politik pendukung pemerintah, sedangkan poros kedua merupakan kumpulan fraksi dan partai politik non-pemerintahan, sehingga dalam pengambilan keputusan jauh lebih mudah, sederhana dan cepat.

Kedua poros itu juga harus terlembagakan dalam unsur pimpinan DPR, yakni terdapat 2 (dua) unsur pimpinan DPR, unsur pimpinan DPR pertama adalah mewakili partai dan fraksi pendukung pemerintah, sedangkan unsur pimpinan kedua adalah mewakili partai dan fraksi non-pemerintahan. Sehingga hal demikian akan mencerminkan 2 (dua) kelompok kekuatan seperti yang biasa kita lihat dalam tradisi Kongres di Amerika Serikat, yakni Speaker of the House atau pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat, yakni cukup terdiri dari 2 (dua) orang saja, yakni pertama mewakili partai dan fraksi pendukung pemerintah, sedangkan yang kedua mewakili partai dan fraksi non-pemerintahan, perwakilan dari kelompok mayoritas sebagai Ketua DPR, sedangkan kelompok yang lebih sedikit sebagai Wakil Ketua DPR. Selain itu apabila kita pahami mendalam, maka sebenarnya tugas dari Ketua dan Wakil Ketua DPR hanya sebagai pimpinan sidang paripurna dan sebagai juru bicara lembaga DPR di muka Publik, sehingga Pimpinan DPR tidak perlu terlalu banyak, cukup 2 (dua) perwakilan yang mencerminkan keterwakilan parlemen dalam upaya menjalankan fungsinya. Untuk itu tidak perlu penambahan anggota Pimpinan DPR sebagaimana pemberitaan dalam beberapa berita melalui media massa pada akhir-akhir ini.

Sehingga dengan demikian melalui sistem ini diharapkan mekanisme pengambilan keputusan di DPR akan lebih sederhana, efektif dan efisien, tujuannya adalah tercipta hubungan antara cabang kekuasaan ekskutif dan legislatif lebih maksimal, sehingga pada akhirnya tujuan Negara sebagaimana tertuang dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dapat tercapai sesuai yang diharapkan.

Link : Pimpinan DPR Dalam Sistem Presidensil

Continue Reading

UNDANG-UNDANG No. 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN (Relevansinya Terhadap Disiplin Penegakan Hukum Administrasi Negara dan Penegakan Hukum Pidana)

UNDANG-UNDANG No. 30 TAHUN 2014

TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN

(Relevansinya Terhadap Disiplin Penegakan Hukum Administrasi Negara dan Penegakan Hukum Pidana)

  1. HUKUM PIDANA SEBAGAI SARANA HUKUM ULTIMUM REMEDIUM

Ultimum Remedium merupakan salah satu azas yang terdapat didalam hukum pidana kita yang menyatakan bahwa hukum pidana hendaklah dijadikan upaya terakhir dalam hal penegakan hukum. Hal ini mempunyai makna apabila suatu tindak pidana dapat diselesaikan melalui jalur lain hendaklah jalan tersebut terlebih dahulu dilalui. Jalan lain yang dimaksud adalah penyelesaian secara kekeluargaan, negosiasi, mediasi perdata ataupun hukum administrasi. Dalam hukum pidana, kita mengenal istilah ultimum remidium”. Artinya bahwa sanksi pidana dipergunakan manakala sanksi-sanksi yang lain sudah tidak berdaya. Dengan perkataan lain, dalam suatu undang-undang sanksi pidana dicantumkan sebagai sanksi yang terakhir,setelah sanksi perdata, maupun sanksi administratif.

Mengapa mekanisme ini dipergunakan. Agar selain memberikan kepastian hukum juga agar proses hukum pidana yang cukup panjang dapat memberikan keadilan baik terhadap korban maupun terhadap pelaku itu sendiri. Dalam perkembangan ilmu hukum pidana yang sudah jauh maju, upaya “ultimum remedium’ merupakan senjata terakhir dipergunakan. Senjata terakhir (ultimum remedium) merupakan upaya-upaya lain sudah ditempuh. Baik gugatan perdata, sanksi administrasi maupun upaya-upaya lain. Hoenagels[1] menekankan kembali penting mempertimbangan berbagai faktor untuk melakukan kriminalisasi agar tetap menjaga dalil Ultimum Remedium dan tidak terjadi over criminalization antara lain :

  1. Jangan menggunakan Hukum Pidana dengan cara emosional;
  2. Jangan menggunakan hukum pidana untuk mempidana perbuatan yang tidak jelas korban atau kerugiannya;
  3. Jangan menggunakan hukum pidana, apabila kerugian yang ditimbulkan dengan pemidanaan akan lebih besar daripada kerugian oleh tindak pidana yang akan dirumuskan;
  4. Jangan menggunakan hukum pidana apabila tidak didukung oleh masyarakat secara kuat;
  5. Jangan menggunakan hukum pidana apabila penggunaannya diperkirakan tidak akan efektif;
  6. Hukum pidana dalam hal-hal tertentu harus mempertimbangkan secara khusus skala prioritas kepentingan pengaturan;
  7. Hukum pidana sebagai sarana represif harus didayagunakan secara serentak dengan sarana pencegahan.

Karakteristik Hukum Pidana dalam konteks ultimum remedium ini dapat diartikan bahwa keberadaan pengaturan sanksi pidana diletakkan atau diposisikan sebagai sanksi terakhir.[2] Artinya, dalam suatu UU yang pertama kali diatur adalah sanksi administratif atau sanksi perdata, kemudian baru diatur tentang sanksi pidana. Jadi  apabila sanksi administrasi dan sanksi perdata belum mencukupi untuk mencapai tujuan memulihkan kembali keseimbangan di dalam masyarakat, maka baru diadakan juga sanksi pidana sebagai senjata terakhir atau ultimum remedium. Penerapan ultimum remedium ini dapat mengakomodasi kepentingan pelaku tindak pidana, mengingat sanksi pidana itu keras dan tajam jadi selalu diusahakan menjadi pilihan terakhir setelah sanksi lain dirasakan kurang.[3]

Bersimpul dari hal di atas sebenarnya dapat kita artikan bahwa Pemidanaan adalah merupakan alternatif terakhir bagi suatu perbuatan hukum pidana (delik). Sama halnya bahwa untuk suatu tindak pidana tertentu Asas Ultimum Remedium itu mewajibkan syarat harus dilakukan upaya pemberian sanksi lain (non pidana) baik itu denda, peringatan, sanksi administrasi atau hal lainnya sebelum dilakukannya upaya Pidana baik berupa penjara/kurungan. Penegakan Hukum Pidana tetap memperhatikan asas Ultimum Remedium yang mewajibkan penerapan penegakan hukum  pidana sebagai upaya terakhir setelah penerapan penegakan hukum administratif dianggap tidak berhasil.  Sudut pandang pragmatism hukum dapat menyimpulkan bahwa Ultimum Remedium memberikan ruang bagi masyarakat luas akan upaya perbaikan, koreksi, dan upaya lainnya sebelum pemidanaan diberikan. No Criminal Penalty before Adminsitrative Correction is implemented.[4]

  1. KEPUTUSAN BADAN/PEJABAT TATA USAHA NEGARA DILINDUNGI ASAS PRAESUMPTIO IUSTAE CAUSA

Asas presumptio juatae causa adalah salah satu asas yang terdapat dalam hokum acara Pengadilan Tata Usaha Negara. Bila diartikan kata-perkata, maka akan diperoleh pengertian sebagai berikut:[5]

  1. Presumptio       : an inference required or permitted by law as to the existence of one fact   from proof of the existence of other facts or a conclusion derived from a particular set of facts based on law, rather than probable reasoning.
  2. Justae   : justice, the law and its administration.
  3. Causa   : (in the abl.) on account of, for the sake of ; case at law, case, law-suit /situation, condition ; cause /reason, motive, pretext /interest.

Bila diartikan dalam bahasa Indonesia, maka secara presumptio justae causa diartikan sebagai keputusan pemerintah harus selalu dianggap benar dan sah sebelum ada keputusan hukum tetap yang menyatakan bahwa keputusan itu tidak berlaku. Berdasarkan Asas praduga Rechmatiq/Praesumptio iustae causa bahwa keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) harus dianggap sah secara hukum sampai dengan adanya keputusan Pengadilan yang menyatakan sebaliknya, hal ini agar tugas pemerintahan khususnya dalam rangka memberikan perlindungan (protection), pelayanan umum (public servis) dan mewujudkan kesejahteraan (welfase) bagi masyarakat dapat berjalan, namun sebagai penyeimbang guna memberikan perlindungan hukum terhadap kepentingan penggugat, hakim dapat mengeluarkan penundaan pelaksanaan (Scorsing). Penetapan merupakan  Produk hukum yang lahir dari permohonan (tidak ada sengketa) tapi dalam hal ini terdapat sengketa Tata Usaha Negara, namun hakim dapat mengeluarkan penetapan penundaan/scorsing.

Pemberian perlindungan kepada rakyat merupakan amanat dari Pembukaan (Preambule) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alInea ke 4 (empat) yang menyebutkan, … untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia[6] (kursif dari penulis) Perlindungan terhadap segenap bangsa indonesia[7] tidak hanya dari ancaman pihak luar yang bersifat eksternal,  akan tetapi termasuk pula dari tindakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang melanggar hukum  yang berimplikasi menimbulkan kerugian bagi rakyat.

Pemberian penghargaan amat penting terhadap penundaan pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dikatakan oleh Adrian B. Webner,menurut penulis dapat dipahami, oleh karena :

  1. Penundaan pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara mengakibatkan daya laku (gelding) terhadap Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat terhenti untuk sementara waktu (tijdelijk);
  2. Penundaan pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara mengakibatkan suasana/keadaan hukumnya (rechtstoestand) kembali pada keadaan atau posisi semula (restitutio in integrum) sebelum adanya Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan;
  3. Penundaan pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara memberi batasan (restricteren) berlakunya asas praduga Sah (praesumtio iustae causa/vermoeden van rechtmatigheid).

Dengan memperhatikan 3 (tiga) aspek hukum yang ditimbulkan bilamana penundaan pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara dikeluarkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara, seyogyanya menurut Supandi:

lembaga penangguhan (schorsing) maksudnya penudaan pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara harus dijabarkan secara sangat hati-hati karena semata-mata hanya untuk memberikan kualitas keseimbangan perlindungan kepentingan umum dengan kepentingan individu warganegara (Penggugat). Namun, manakala dalam rangka melindungi kepentingan individu warganegara (Penggugat) tersebut berakibat terlantarnya kepentingan umum, maka Pengadilan (hakim) wajib mengutamakan kepentingan umum.[8]

Didalam ilmu hukum bahwa suatu “keputusan” dikatakan sah menurut hukum (rechsmatig) apabila keputusan tersebut memenuhi persyaratan tertentu yang ditentukan oleh hukum. Dengan dipenuhinya persyaratan yang ditentukan oleh hukum maka keputusan tersebut mempunyai kekuatan hukum (rechtskrach) untuk dilaksanakan. sebaliknya apabila suatu keputusan tersebut tidak memenuhi persyaratan maka menurut hukum ketetapan atau keputusan tersebut menjadi ” tidak sah” yang berakibat hukum menjadi ” batal” (nietig). Menurut Van der Pot, ada 4 syarat yang harus di penuhi agar ketetapam administrasi sebagai ketetapan sah dan apabila salah satunya tidak dipenuhi dapat menimbulkan akibat bahwa ketetapan administrasi tersebut menjadi ketetapan tidak sah: 1. bevoedgheid ( kewenangan ) organ administrasi yang membuat keputusan; 2. geen juridische gebreken in de wilsvorming ( tidak ada kekurangan yuridis dalam pembentukan kehendak ); 3. vorm dan procedure yakni keputusan dituangkan dalam bentuk yang telah diketapkan dan dibuat menurut tata cara yang telah ditetapkan; Isi dan tujuan keputusan sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasar.[9]

Philipus M. Hadjon mengutarakan wewenang, prosedur dan substansi, ketiga aspek hukum merupakan landasan hukum untuk dapat dikatakan suatu ketetapan atau keputusan tersebut sah. Pertama, aspek wewenang dalam hal ini artinya bahwa pejabat yang mengeluarkan ketetapan tersebut memang mempunyai kewenangan sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk itu; kedua, aspek prosedur, berarti bahwa ketetapan atau keputusan tersebut dikeluarkan sesuai dengan tatacara yang disyaratkan dan bertumpu kepada asas keterbukaan pemerintah; ketiga, aspek substansi, artinya menyangkut obyek ketetapan atau keputusan tidak ada ” Error in re“. selanjutnya dijelaskan bahwa istilah keabsahan adalah terjemahan dari istilah Belanda ” rechtmatigheid” ( van bestuur). Rechtmatigheid = legalitas = legality.[10] Ruang lingkup keabsahan meliputi : 1. wewenang; 2. prosedur; 3. Substansi. Butir 1 dan 2 ( wewenang dan substansi ) merupakan landasan bagi legalitas formal. Atas dasar legalitas formal lahirlah asas presumptio iustae causa. Atas dasar asas itulah ketentuan pasal 67 ayat (1) UU. No. 5 Th. 1986 menyatakan: Gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya Keputusan Badan atau Tata Usaha negara serta tindakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang digugat.

  1. PENYALAHGUNAAN WEWENANG OLEH BADAN/PEJABAT TATA USAHA NEGARA

Penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) merupakan konsep hukum administrasi negara yang banyak menimbulkan salah paham dalam memaknainya. Dalam praktik detournement de pouvoir dicampuradukkan dengan perbuatan sewenang-wenang (willekeur/abus de droit), penyalahgunaan sarana dan kesempatan, melawan hukum (wederrechtelijkheid, onrechmatige daad), atau bahkan memperluasnya dengan setiap tindakan yang melanggar aturan atau kebijakan apapun dan di bidang apapun. Dengan penggunakan konsep luas dan bebas ini akan mudah menjadi senjata penyalahgunaan wewenang yang lain dan justru dan kebebasan bertindak pemerintah dalam menghadapi situasi konkret (freies ermessen) tiada artinya.

Di dalam hukum administrasi asas legalitas/keabsahan (legaliteit beginsel/wetmatigheid van bestuur)[11] mencakup tiga aspek yaitu: wewenang, prosedur dan substansi. Artinya wewenang, prosedur maupun substansi harus berdasarkan peraturan perundang-undangan (asas legalitas), karena pada peraturan perundang-undangan tersebut sudah ditentukan tujuan diberikannya wewenang kepada pejabat administrasi, bagaimana prosedur untuk mencapai suatu tujuan serta menyangkut tentang substansinya.

Di atas telah dikemukakan bahwa penyalahgunaan wewenang dapat terjadi pada jenis wewenang terikat dan juga bisa terjadi pada jenis wewenang bebas (diskresi). Indikator atau tolok ukur penyalahgunaan wewenang pada jenis wewenang terikat adalah asas legalitas (tujuan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan); sedangkan pada jenis wewenang bebas (diskresi) mempergunakan parameter asas-asas umum pemerintahan yang baik, karena asas “wetmatigheid” tidaklah memadai. Di dalam praktek peradilan sering dipertukarkan/ dicampuradukan antara penyalahgunaan wewenang dan cacat prosedur yang seolah-olah cacat prosedur itu in heren dengan penyalahgunaan wewenang.[12]

Untuk mengetahui kepada siapa yang harus bertanggungjawab secara yuridis terhadap penggunaan wewenang yang melanggar hukum (penyalahgunaan wewenang) harus dilihat dari segi sumber atau lahirnya wewenang. Hal tersebut sesuai dengan konsep hukum “geen bevoegdheid zonder verantwoordelijkheid atau there is no authority without responslibility”. Di dalam setiap pemberian wewenang kepada pejabat pemerintahan tertentu tersirat pertanggungjawaban dari pejabat yang bersangkutan.

Pertanggungjawaban mandat bersumber dari persoalan wewenang, karena wewenang tetap berada pada mandans (pemberi wewenang) sedangkan mandataris (penerima wewenang) hanya dilimpahi wewenang bertindak untuk dan atas nama mandans. Pada mandat tidak terjadi penyerahan wewenang, artinya mandans tetap dapat bertindak sendiri atas namanya. Tidak adanya penyerahan wewenang pada mandat maka yang bertanggung jawab secara yuridis tetap pada mandans (pemberi wewenang).

Pada atribusi wewenang pertanggungjawaban secara yuridis oleh si penerima wewenang, tergantung pada di penerima wewenang melakukan mandat atau delegasi. Jika yang dilakukan adalah pemberian mandat maka si mandans (pemberi wewenang/ penerima wewenang dalam atribusi) tetap bertanggung jawab. Hal tersebut berbeda kalau dengan cara delegasi, maka pemberi wewenang tidak bertanggung jawab, pertanggung jawaban sudah beralih pada delegatoris.[13]

Pada delegasi, pekerjaan yang didelegasikan diserahkan sebagian atau seluruh wewenang kepada penerima delegasi (delegatoris) untuk bertindak melaksanakan pekerjaan tersebut atas namanya sendiri. Pada delegasi disertai dengan penyerahan wewenang, oleh karenanya jika terjadi penyalahgunaan wewenang oleh delegatoris maka yang bertanggungjawab adalah delegatoris.

  1. PTUN SEBAGAI LEMBAGA PENGUJI PENYALAHGUNAAN WEWENANG OLEH BADAN/PEJABAT TATA USAHA NEGARA

Penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) merupakan konsep hukum administrasi negara yang banyak menimbulkan salah paham dalam memaknainya. Dalam praktik detournement de pouvoir dicampuradukkan dengan perbuatan sewenang-wenang (willekeur/abus de droit), penyalahgunaan sarana dan kesempatan, melawan hukum (wederrechtelijkheid, onrechmatige daad), atau bahkan memperluasnya dengan setiap tindakan yang melanggar aturan atau kebijakan apapun dan di bidang apapun. Dengan penggunakan konsep luas dan bebas ini akan mudah menjadi senjata penyalahgunaan wewenang yang lain dan justru dan kebebasan bertindak pemerintah dalam menghadapi situasi konkret (freies ermessen) tiada artinya.

Konsep detournement de pouvoir sendiri dalam hukum administrasi tidak dimaknai sama para ahli dan praktik penerapannya oleh peradilan administrasi dan pengadilan pidana (korupsi). Detournement de pouvoir menurut Winarsih Arifin dan Farida Sumargono dalam Kamus Perancis-Indonesia Dictionnaire Francais-Indonesie, bahwa detourne adalah menyimpang, berputar, tidak langsung, mengambil jalan yang menyimpang untuk mencapai tujuan.[14] Sedangkan, Detournement adalah penyimpangan, pembelokan, penyelewenangan, penggelapan. Pouvoir adalah kemampuan, kekuasaan menurut hukum.

Asas detournement de pouvoir oleh Kunjoro Purbopranoto (1981) diartikan asas “jangan mencampuradukkan kewenangan” ini dipahaminya sebagai badan-badan pemerintahan yang mempunyai kewenangan untuk mengambil suatu keputusan menurut hukum tidak boleh menggunakan kewenangan tersebut untuk tujuan selain dari tujuan yang telah ditetapkan untuk kewenangan itu.

Indroharto[15] sendiri menyetujui rumusan Pasal 53 ayat (2) No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara merupakan penyalahgunaan wewenang, yaitu kalau ada Badan atau Pejabat TUN menggunakan wewenang yang diberikan kepadanya menyimpang dari maksud dan tujuan tersebut. Dalam praktik, dikatakan oleh Indroharto, jarang sekali pembatalan dengan dasar ini karena berbagai rintangan yang akan dihadapi dalam pembuktian di persidangan. Karena dengan dasar ini seseorang hakim harus memastikan dalam membuat KTUN dengan itikad buruk, menyimpang dari maksud dan tujuan dari wewenang tersebut, dan mempunyai niat yang berbeda dengan maksud dan tujuan diberikannya wewenang kepadanya.

Indroharto juga berpendapat, sebenarnya dasar detournement de pouvoir tidak begitu perlu. Instansi yang mengeluarkan keputusan dapat menggunakan konstruksi lain, yaitu dengan alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jika pertimbangan keputusan tidak memadai bisa membatalkannya dengan dasar alasan bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Selanjutnya Philipus M. Hadjon dkk dalam Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to The Indonesian Administrative Law ), cet ke-10 (2008) juga senada. Asas suatu wewenang tidak boleh digunakan untuk tujuan lain selain untuk tujuan ia diberikan yang di dalam hukum Belanda tidak banyak diketemukan bagaimana contoh aturan ini yang menyebabkan pembatalan. “Pada umumnya penyalahgunaan suatu wewenang juga akan bertentangan dengan suatu peraturan perundang-undangan,” tulisnya di halaman 277. Menurut definisi Prins, sebagaimana dikemukakan E. Utrecht sebagai definisi yang terang yang intinya detournement de pouvoir terjadi manakala suatu alat negara menggunakan kekuasaannya untuk menyelenggarakan kepentingan umum yang lain dari pada kepentingan umum yang dimaksud oleh peraturan yang menjadi dasar kekuasaan itu. Detournement de pouvoir tidak hanya gejala dalam membuat ketetapan tetapi juga dalam lapangan pemerintahan dalam arti luas, termasuk legislasi dan mengadili (Utrecht, 1986: 150-151).

Dalam Verklarend Woordenboek OPENBAAR BESTUUR, detournement de pouvoir dirumuskan sebagai penggunaan wewenang tidak sebagaimana mestinya. Dalam hal ini pejabat menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain yang menyimpang dari tujuan yang telah diberikan kepada wewenang itu. Dengan ini pejabat melanggar asas spesialitas. Menurut Philipus M. Hadjon dkk dalam Hukum Administrasi Negara dan Good Governance (2012) berdasarkan pengertian tersebut, penyalahgunaan wewenang dilakukan bukan karena kealpaan, tetapi secara sadar mengalihkan tujuan yang telah diberikan kepadanya. Pengalihan ini bisa karena interes pribadi, untuk kepentingan diri sendiri atau orang lain.

Pendapat ini saat ini paling banyak diikuti. Lebih jauh, Anna Erliyana sesuai penelitiannya diatas dengan membandingkan konsep di negara yang menganut sistem kontinental dan common law, administrasi negara dikatakan melanggar larangan detournement de pouvoir, manakala wewenang administrasi negara dilaksanakan untuk tujuan yang lain atau berbeda dengan tujuan semula diberikannya wewenang tersebut oleh undang-undang. Pengertian ini dianut oleh Belanda, Perancis dan Indonesia. Perancis memperkaya konsep tersebut dengan istilah abuse of power (penggunaan wewenang melampui batas, tidak layak dan tidak sesuai peraturan). Di negara common law dikatakan menyalahgunakan wewenang apabila tindakan pemerintah dalam membuat keputusan yang dilaksanakan tanpa wewenang atau yurisdiksi maka disebut ultra vires. Doktrin ultra vires meliputi abuse of power.

Yang penting dikemukakan Erliyana, dalam penanganan kasus menunjukkan kesamaaan bahwa di Perancis, Belanda, Indonesia dan Inggris, yaitu dengan penyalahgunaan wewenang maka keputusan yang dibuat menguntungkan kepentingan pejabat dan kelompok tertentu, oleh karenanya keputusan administrasi negara tersebut bertentangan dengan kepentingan umum. Hakim administrasi di Perancis mengalami kesulitan dalam mengungkap motivasi pembuatan keputusan. Oleh karenanya penilaiannya kemdian dipermudah dengan  hakim melihat sebagai berikut: (1) adanya serangkaian petunjuk yang dapat meyakinkan hakim bahwa terjadi detournement de pouvoir dan (2) adanya petunjuk dan prasangka yang serius dan hal tersebut tidak dibantah oleh administrasi negara.

Secara Yuridis untuk mengetahui penyalahgunaan wewenang (penggunaan wewenang yang melanggar hukum) harus dilihat dari segi sumber atau lahirnya wewenang. Ini sejalan dengan konsep hukum, “Di dalam setiap pemberian wewenang kepada pejabat pemerintahan tertentu tersirat pertanggungjawaban dari pejabat yang bersangkutan” (geen bevoegdheis zonder verantwoordelikjkheid atau  there is no authoritu without responbility).[16] Ini membuktikan bahwa dalam hukum administrasi di setiap penggunaan wewenang di dalamnya terkandung pertanggungjawaban, namun tidak semua pejabat yang menjalankan wewenang itu secara otomatis memikul tanggung jawab karena harus dapat melihat apakah pejabat yang bersangkutan yang memikul jabatan tersebut, baik dilihat dari cara memperoleh dan menjalankan wewenang. Atau menurut L.J.A Damen, yang mengatakan bahwa “ada tidaknya unsur penyalahgunaan wewenang diuji dengan asas spesialitas (specialiteitsbeginsel) yakni asas yang menentukan bahwa wewenang itu diberikan kepada organ pemerintahan dengan tujuan tertentu”.[17] Jika menyimpang dari tujuan diberikannya wewenang ini dianggap sebagai penyalahgunaan wewenang.

Di dalam hukum administrasi asas legalitas/keabsahan (legaliteit beginsel/wetmatigheid van bestuur) mencakup tiga aspek, yaitu: wewenang, prosedur, dan substansi. Artinya wewenang, prosedur maupun substansi harus berdasarkan peraturan perundang–undangan (asas legalitas), karena pada peraturan perundang-undangan tersebut sudah ditentukan tujuan diberikannya wewenang kepada pejabat administrasi, bagaimana prosedur untuk mencapai suatu tujuan serta menyangkut tentang substansinya.

Indriyanto Seno Adji, memberikan pengertian penyalahgunaan wewenang dengan mengutip pendapatnya Jean Rivero danWaline dalam kaitannya “detournement de pouvoir” dengan “Freis Ermessen”, penyalahgunaan wewenang dalam hukum administrasi dapat diartikan dalam 3 (tiga) wujud yaitu :[18]

  1. Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum untuk menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok atau golongan
  2.  Penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut adalah benar diajukan untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari tujuan apa kewenangan tersebut diberikan oleh undang-undang atau peraturan-peraturan lainnya,
  3. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah menggunakan prosedur lain agar terlaksana

Sjachran Basah mengartikan penyalahgunaan wewenang atau “detournement de pouvoir”[19] adalah perbuatan pejabat yang tidak sesuai dengan tetapi masih dalam lingkungan ketentuan peraturan perundang-undangan.[20]

Melampaui wewenang

Menurut Wiktionary, “melampaui wewenang adalah melakukan tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan berdasarkan perundang-undangan tertentu. Berdasarkan pengertian dalam pasal 1 angka 3 Undang-undang No. 37 Tahun 2008 yang menguraikan unsur dari pemenuhan suatu tindakan administrasi point kedua: “yang melampaui wewenang, atau menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, atau termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik”.

Mencampuradukkan wewenang

Pengertian kedua ini sejalan dengan asas larangan untuk mencampuradukkan kewenangan dimana asas tersebut memberikan petunjuk bahwa “pejabat pemerintah atau alat administrasi negara tidak boleh bertindak atas sesuatu yang bukan merupakan wewenangnya atau menjadi wewenang pejabat atau badan lain”. Dengan demikian apabila instansi pemerintah atau pejabat pemerintah atau alat administrasi negara diberi kekuasaan untuk memberikan keputusan tentang suatu kasus (masalah konkrit), maka keputusan yang dibuat tidak boleh digunakan untuk maksud-maksud lain terkecuali untuk maksud dan tujuan yang berhubungan dengan diberikan kekuasaan/wewenang tersebut.

Bertindak sewenang-wenang

Menurut Sjachran Basah “abus de droit” (tindakan sewenang-wenang), yaitu perbuatan pejabat yang tidak sesuai dengan tujuan di luar lingkungan ketentuan perundang-undangan. Pendapat ini mengandung pengertian bahwa untuk menilai ada tidaknya penyalahgunaan wewenang dengan melakukan pengujian dengan bagaiamana tujuan dari wewenang tersebut diberikan (asas spesialitas). Bertindak sewenang-wenang juga dapat diartikan menggunakan wewenang (hak dan kekuasaan untuk bertindak) melebihi apa yang sepatutnya dilakukan sehingga tindakan dimaksud bertentangan dengan ketentuan.

Dalam Pasal 21 UU RI Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan diatur tentang penyalahgunaan wewenang sebagaimana juga diatur dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diatur dalam pasal 3 UU 31/1999 yang diubah dengan UU 20/2001. Pasal 21 ayat (1) UU Administasi Pemerintahan tersebut, yaitu menyatakan sebagai berikut:

“Pengagadilan berwenang menerima, memeriksa, dan memutuskan ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan Wewenang yang dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan”

Sedang UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diatur dalam pasal 3 UU 31/1999 yang diubah dengan UU 20/2001 penyalahgunaan wewenang adalah :

“Setiap orang yang bertujuan menguntungkan diri sendiri ataupun orang lain atau suatu korporasi, apabila Ia menyalahgunakan WEWENANG, KESEMPATAN ATAU SARANA YANG MELEKAT PADANYA KARENA JABATAN ATAU KEDUDUKANNYA, dan perbuatannya itu dapat merugikan negara atau perekonomian negara dijatuhi pidana”

Dengan demikian unsur “menyalahgunakan kewenangan” sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diartikan memiliki pengertian yang berbeda dengan “penyalahgunaan kewenangan” sebagaimana disebut dalam Pasal 21 ayat (1) UU RI Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, atau lebih jauh lagi bahwa ketentuan dalam Pasal 21 ayat (1) UU RI Nomor 30 Tahun 2014 tersebut dianggap telah mencabut kewenangan yang dimiliki penyidik dalam melakukan penyidikan dalam rangka mengetahui apakah telah terjadi penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh seorang tersangka selaku pejabat pemerintahan yang mana menurut hal tersebut seharusnya menjadi objek untuk diuji terlebih dahulu di Peradilan Tata Usaha Negara.

Sesungguhnya diskursus ini hanya mengulang kembali perdebatan lama di antara para ahli hukum tentang adanya keterkaitan antara hukum administrasi negara dengan hukum pidana yang dalam hal ini khususnya mengenai tindak pidana korupsi. Keterkaitan tersebut menimbulkan kesulitan dalam membedakan kapan seorang aparatur negara itu melakukan perbuatan melawan hukum yang masuk dalam ruang lingkup hukum pidana dan kapan dapat dikatakan melakukan penyalahgunaan wewenang yang masuk dalam ruang lingkup hukum administrasi negara.

Penyalahgunaan kewenangan mempunyai karakter atau ciri :

  1. Menyimpang dari tujuan atau maksud dari suatu pemberian kewenangan;
  2. Menyimpang dari tujuan atau maksud dalam kaitannya dengan asas legalitas;
  3. Menyimpang dari tujuan atau maksud dalam kaitannya dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik;

Secara substansial, asas spesialitas (specialialiteit beginsel) mengandung makna bahwa setiap kewenangan memiliki tujuan tertentu. Penyimpangan terhadap asas ini akan melahirkan penyalahgunaan kewenangan (detournement de pouvoir). Parameter peraturan perundang-undangan maupun asas-asas umum pemerintahan yang baik dipergunakan untuk membuktikan instrumen atau modus penyalahgunaan kewenangan (penyalahgunaan kewenangan dalam Pasal 3 UUPTPK), sedangkan penyalahgunaan kewenangan baru dapat diklasifikasikan sebagai tindak pidana apabila berimplikasi terhadap kerugian negara atau perekonomian negara (kecuali untuk tindak pidana korupsi suap, gratifikasi, dan pemerasan), Tersangka mendapat keuntungan, masyarakat tidak dilayani, dan perbuatan tersebut merupakan tindakan tercela.

Dengan demikian tidak terjadi disharmonisasi antara pengertian penyalahgunaan wewenang antara yang terdapat dalah UU Tindak Pidana Korupsi dengan UU Administrasi Pemerintahan. Akan tetapi konsep penyalahgunaan wewenang merupakan konsep yang berlaku dalam hukum administrasi Negara, untuk itu penyelesaiannya harus berlaku dan melalui prosedur hukum administrasi Negara. Hal itu sebagaimana asas hukum yang berlaku dalam hukum administrasi Negara bahwa badan/pejabat Tata Usaha Negara dilindungi berdasarkan asas presumptio juatae causa, dimana Keputusan yang diambil oleh badan/pejabat Tata Usaha Negara harus dianggap benar sebelum adanya Putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Bahwa selain itu juga untuk mempertahankan prinsip Ultimum Remedium terhadap penegakan hukum Pidana, sehingga tidak semua kebijakan dapat dipidana, sebelum diupayakan menurut kaidah-kaidah hukum yang berlaku dalam hal ini adalah Hukum Administrasi Negara.

Kebijakan atau keputusan setelah diambil dapat dievaluasi. Kebijakan bisa dianggap benar jika membuahkan hal yang positif. Sebaliknya kebijakan dianggap salah jika membuahkan hasil yang tidak diharapkan dan cenderung merugikan. Bagi pengambil kebijakan yang tepat akan mendapat penghargaan dan promosi. Tidak demikian tentunya bila pengambil kebijakan dianggap telah salah mengambil kebijakan. Satu hal yang pasti, para pengambil kebijakan bukanlah peramal yang dapat menerawang ke depan. Kebijakan benar atau salah hanya dapat diketahui pascapengambilan kebijakan (post factum). Kebijakan salah tidak sepatutnya diberi sanksi pidana. Bila ini yang terjadi, para pengambil kebijakan tidak akan ada yang berani mengambil keputusan kecuali kebijakan yang diambil benar-benar dapat dipastikan tidak salah.

Untuk itu harus terdapat mekanisme untuk menguji apakah perbuatan yang telah dilakukan Badan/Pejabat Tata Usaha Negara telah menimbulkan penyalahgunaan wewenang atau tidak. Dengan demikian perlu sebuah lembaga yang berwenang untuk menguji apakah suatu keputusan telah menimbulkan penyalahgunaan wewenang atau tidak. Dalam hal ini melalui Pasal 21 ayat (1) UU RI Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan diatur tentang upaya menguji apakah sebuah keputusan mengandung unsur penyalahgunaan wewenang atau tidak. Tentu hal ini harus diapresiasi mengingat selama ini banyak sekali kebijakan langsung dikenakan hukum pidana. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa badan/pejabat Tata Usaha Negara dilindungi berdasarkan asas presumptio juatae causa, dimana Keputusan yang diambil oleh badan/pejabat Tata Usaha Negara harus dianggap benar sebelum adanya Putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Bahwa selain itu juga untuk mempertahankan prinsip Ultimum Remedium terhadap penegakan hukum Pidana, sehingga tidak semua kebijakan dapat dipidana, sebelum diupayakan menurut kaidah-kaidah hukum yang berlaku dalam hal ini adalah Hukum Administrasi Negara.

Pasal 21 ayat (1) UU RI Nomor 30 Tahun 2014 mengatur bahwa Pengadilan (Tata Usaha Negara) berwenang menerima, memeriksa dan memutuskan ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan (Tata Usaha Negara) untuk menilai ada atau tidak ada unsur Penyalahgunaan Wewenang dalam Keputusan dan/atau Tindakan. Pengadilan Tata Usaha Negara wajib memutus permohonan paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak permohonan diajukan. Upaya hukum terhadap Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara  dapat diajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara wajib memutus permohonan banding paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak permohonan banding diajukan. Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara bersifat final dan mengikat.

  1. PENUTUP

Salah satu tujuan dari diundangkannya UU RI Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan adalah ke depan tidak ada lagi kriminalisasi kebijakan. Kehadiran UU RI Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan diharapkan bisa menjadi landasan hukum untuk mengenali sebuah keputusan dan atau tindakan sebagai kesalahan administrasi atau penyalahgunaan wewenang yang berujung pada tindak pidana. Pembuat keputusan tidak mudah dikriminalisasi yang melemahkan mereka dalam melakukan inovasi pemerintahan. Selain itu, kehadiran undang-undang tentang Administrasi Pemerintahan sekaligus menjaga agar badan atau pejabat pemerintahan tidak mengambil keputusan atau tindakan sewenang-wenang. Masyarakat terlindungi dari kesewenang-wenangan dan praktek mal-administrasi yang dilakukan pejabat. Selain itu UU RI Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan juga memuat kejelasan jenis-jenis kewenangan atribusi, delegasi, dan mandat, kejelasan tanggung jawab terhadap kewenangan agar terdapat kejelasan tanggung jawab dan tanggung gugat terhadap pelaksanaan kewenangan. Selain itu, UU RI Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan mengatur larangan penyalahgunaan wewenang, sehingga badan atau pejabat pemerintahan dalam membuat keputusan atau tindakan sesuai dengan batas kewenangan yang dimiliki. Terkait dengan diskresi, UU RI Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan memberikan keleluasaan pengambilan keputusan dan tindakan berdasarkan pertimbangan pejabat dengan tujuan untuk mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu, guna kemanfaatan dan kepentingan umum. Dari aspek hukum administrasi negara, Undang-Undang tentang Administrasi Pemerintahan ini akan menjadi dasar hukum materiil sebagai pelengkap hukum formil UU tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Kehadiran UU RI Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan semakin memperkuat pilar reformsi birokrasi.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Aziz Hakim, Negara Hukum dan Demokrasi di Indonesia, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2011)

Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, (PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006)

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana. Cetakan I. Jakarta : PT Rajagrafindo. 2005.

  1. Dicey, Introduction to the study of the law of the constitution, (London : Mc Millanand CO, 1952)

Azhary, Negara Hukum Indonesia, analisis yuridis normatif tentang unsur-unsurnya, (Jakarta : UI Press, 1995)

Benny M Yunus, Intisari Hukum Administrasi Negara, (Bandung : Alumni, 1980)

  1. Pieter Hoenagels, The Other Side of Criminology An Inversion of The Concept of Crime, Holland : Kluwer, Deventer, 1963

H.B. Vos , leerboek van Nederlands Strafrecht, Haarlem; H.D.Tjeenk Willink, 1950

Hendra Nurtjahjo, Filsafat Demokrasi, (Jakarta : Bumi Aksara, 2006)

Henry B. Mayo, An Introduction to Democratic Theory, (New York : Oxford University press, 1960)

Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta : Gramedia, edisi revisi, 2010),

Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum suatu study tentang prinsip-prinsipnya dilihat dari segi hukum Islam, Implementasi pada periode Negara Madinah, (Jakarta : Kencana, 2004)

Mustamin DG. Matutu.dkk, Mandat, Delegasi, Atribusi dan Implementasinya di Indonesia, (UII Press, Yogyakarta, 2004)

N.E. Algra, et. al. Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae Belanda-Indonesia, Binacipta, 1983, cet. Pertama

Nur Basuki Minarno, 2009. Penyalahgunaan Wewenang Dan Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah. Palangkaraya : Laksbang Mediatama.

Philipus M. Hadjon dkk, Hukum Administrasi Negara dan Good Governance, (Jakarta : Penerbit Universitas Trisakti, 2012)

_____________, Tentang Wewenang, (Makalah Univ. Airlangga, Tanpa Tahun)

_____________, dkk, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, (Gajah Mada University Press, 2002)

Prajudi Atmosudirdjo menjelaskan dalam bukunya Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1966)

Sjachran Basah. 1985. Eksistensi dan Tolak Ukur Peradilan Administrasi di Indonesia. Alumni, Bandung

Supandi, Ganti Rugi Akibat Tindakan Pejabat Pemerintah Dalam RUU Administrasi Pemerintahan Dan Prospek Peradilan Tata Usaha Negara, dalam Sophia Hadyanto (editor) Peradigma Kebijakan Hukum Pasca Refprmasi Dalam Rangka Ultah ke-80 Prof. Solly Lubis,  PT. Sofemdia, Medan, cet. 2010

Yulies  Masriani Tiena, Pengantar Hukum Indonesia, Cetakan II,  Jakarta: Sinar Grafika, 2006

[1] G. Pieter Hoenagels, The Other Side of Criminology An Inversion of The Concept of Crime, Holland : Kluwer, Deventer, 1963, Hal. 231

[2] Yulies  Masriani Tiena, Pengantar Hukum Indonesia, Cetakan II,  Jakarta: Sinar Grafika, 2006, Hal 63

[3] Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana. Cetakan I. Jakarta : PT Rajagrafindo. 2005. Hal. 53

[4] H.B. Vos , leerboek van Nederlands Strafrecht, Haarlem; H.D.Tjeenk Willink, 1950,Hal.10

[5] N.E. Algra, et. al. Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae Belanda-Indonesia, Binacipta, 1983, cet. pertama

[6]Pembukaan (Preambule) Undang-Undang Dasar Negara RI, alinea ke 4 (empat)

[7] Beberapa pilar Negara Hukum dibahas secara berbeda oleh beberapa Pakar hukum Indonesia, baik dari segi sejarah hukum maupun dari berbagai unsur-unsur Negara hukum yang dijadikan acuan atau patokan dalam menentukan kadar dan batas Negara hukum yang dimaksud. Untuk mengetahui mengenai unsur-unsur Negara hukum yang dimaksud, dapat membaca Jimly Asshiddiqie, Op Cit, Hal. Hal. 151-161. Bandingkan  Abdul Aziz Hakim, Negara Hukum dan Demokrasi di Indonesia, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2011), hal. 10. Bandingkan AV. Dicey, Introduction to the study of the law of the constitution, (London : Mc Millanand CO, 1952), hal. 31. Bandingkan Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta : Gramedia, edisi revisi, 2010), Hal. 116. Bandingkan Henry B. Mayo, An Introduction to Democratic Theory, (New York : Oxford University press, 1960), Hal. 70. bandingkan Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum suatu study tentang prinsip-prinsipnya dilihat dari segi hukum Islam, Implementasi pada periode Negara Madinah, (Jakarta : Kencana, 2004), hal.85-86. Bandingkan Azhary, Negara Hukum Indonesia, analisis yuridis normatif tentang unsur-unsurnya, (Jakarta : UI Press, 1995), hal. 153. Dan yang terakhir bandingkan Hendra Nurtjahjo, Filsafat Demokrasi, (Jakarta : Bumi Aksara, 2006), Hal.71.

[8]Supandi, Ganti Rugi Akibat Tindakan Pejabat Pemerintah Dalam RUU Administrasi Pemerintahan Dan Prospek Peradilan Tata Usaha Negara, dalam Sophia Hadyanto (editor) Peradigma Kebijakan Hukum Pasca Refprmasi Dalam Rangka Ultah ke-80 Prof. Solly Lubis,  PT. Sofemdia, Medan, cet. 2010, hal. 317-318.

[9] Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, (PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006), hal. 211.

[10] Mustamin DG. Matutu.dkk, Mandat, Delegasi, Atribusi dan Implementasinya di Indonesia, (UII Press, Yogyakarta, 2004), hal. 109-159

[11] Philipus M. Hadjon. dkk, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, (Gajah Mada University Press, 2002), hal. 130.

[12] Komponen kewenangan badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang membuat peraturan kebijakan (‘bleidsregel’) tidak memiliki kewenangan perundang-undangan (‘geen bevoegdheid tot wetgeving’), namun secara tidak langsung mengikat para warga, sebagaimana halnya dengan kaidah-kaidah juridische regels. Baca Laica Marzuki, Peraturan Kebijakan (‘Bleidregel’) : Hakikat serta fungsinya selaku sarana Hukum Pemerintahan, dalam Philipus M. Hadjon dkk, Hukum Administrasi Negara dan Good Governance, (Jakarta : Penerbit Universitas Trisakti, 2012), hal 58

[13] Lebih lanjut Prajudi Atmosudirdjo menjelaskan dalam bukunya Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1966), Hal. 78

[14] Anna Erliyana dalam Disertasinya Analisis Keputusan Presiden Republik Indonesia Kurun Waktu Tahun 1977-1998, Tinjauan Asas Larangan Melampau Wewenang (2004)

[15] Indroharto dalam Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku II (cet ke-9, 2005)

[16] Nur Basuki Minarno, 2009. Penyalahgunaan Wewenang Dan Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah. Palangkaraya : Laksbang Mediatama. Hal. 75-76

[17] Sjachran Basah. 1985. Eksistensi dan Tolak Ukur Peradilan Administrasi di Indonesia. Alumni, Bandung, hal. 54

[18] Benny M Yunus, Intisari Hukum Administrasi Negara, (Bandung : Alumni, 1980), Hal. 35

[19] Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang, (Makalah Univ. Airlangga, Tanpa Tahun), hal. 1

[20] Ibid

Continue Reading

CONTOH PENGUJIAN UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 DI MAHKAMAH KONSTITUSI (CONTOH PERMOHONAN UJI MATERI DI MK)

PERMOHONAN PENGUJIAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG

MAHKAMAH KONSTITUSI

SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2011

TENTANG PERUBAHAN ATAS

UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG

MAHKAMAH KONSTITUSI

SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2014

TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG

MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG

KEKUASAAN KEHAKIMAN

DAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG

ADMINISTRASI PEMERINTAHAN

TERHADAP

UNDANG-UNDANG DASAR

REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

Oleh Pemohon :

FORUM ADVOKAT MUDA INDONESIA (FAMI)

DI MAHKAMAH KONSTITUSI

REPUBLIK INDONESIA

(MK-RI)

Perihal               :  Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan Terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945

Lampiran               : 1 (satu) eks

 

Kepada Yth.

Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Di

Jakarta

Dengan Hormat,

Perkenankanlah kami :

  1. (can) SAIFUL ANAM, SH., MH., ZENURI MAKHRODJI, SH, RUDY GUNAWAN, SH, EDI WIRAHADI, SH, RAY WAHYU MURNI YULIANTI, SH, RADEN ASMORO WENING, SH, CAKRA HERU SANTOSA, SH, RUDI PURNAWAN, SH, MUSLIADI, SH, SUTARJO, SH, SUHARTA, SH., MH, NURDIN DESRIWAN GUMAY, SH, DIKI ZULKARNAEN, SH, GUNTHAR HAMING YUDHA, SH, BAMBANG HERI SUPRIYANTO, SH., MH, FUAD ABDULLAH, SH., MSi, HENDRA PANJAITAN, SH, MUHAMMAD DANIES KURNIARTHA, SH, BENNY HARIS NAINGGOLAN, SH, BAKRI, SH, FAIJAL SIREGAR, SH, Drs. HM. SANI ALAMSYAH, SH., MBL, JOKO PRIYATNO, SH, SYAKHRUDDIN, SH, HFR. GHANTY SJAHABUDIN, SH. Kesemuanya adalah pada Advokat / Penasehat Hukum dan Konsultan Hukum tergabung dalam “FORUM ADVOKAT MUDA INDONESIA (FAMI)”, dalam hal ini memilih domisili hukum yang beralamat di Jl. HR. Rasuna Said, Kawasan Epicentrum Utama, Mall Epicentrum Walk, Office Suites A529, Kuningan – Jakarta Selatan 12940, Telp. (021) 5682703, HP. 08128577799, Email : saifulanam@lawyer.com. Dalam hal ini bertindak baik secara bersama-sama ataupun sendiri-sendiri untuk dan atas nama “FORUM ADVOKAT MUDA INDONESIA (FAMI)” selanjutnya disebut sebagai —————————————————————————————————— PEMOHON;

Bahwa  perkenankanlah Kami Pemohon  memohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk melakukan pengujian konstitusionalitas Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 29 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Dan Pasal 7 ayat (2) huruf “l” Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, yang selengkapnya  berbunyi sebagai berikut :

  1. Pasal 10 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk :

  1. Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  3. Memutus pembubaran partai politik; dan
  4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
  1. Pasal 47 UU Mahkamah Konstitusi

Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum;

  1. Pasal 29 Ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman

Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk :

  1. Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  3. Memutus pembubaran partai politik; dan
  4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
  1. Pasal 7 ayat (2) huruf “l” UU Administrasi Pemerintahan

Pejabat Pemerintahan memiliki kewajiban :

  1. Mematuhi Putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Bahwa selanjutnya perkenankanlah kami  mengemukakan dalil-dalil diajukannya  permohonan uji konstitusionalitas (consttitutional review/ judicial review)  Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 29 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Dan Pasal 7 ayat (2) huruf “l” Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, yakni sebagai berikut:

  1. OPENING STATEMENT

Ilmu hukum tata negara (constitutional law) pada umumnya (verfassungsrechtlehre) mengakui berbagai macam sumber hukum, yaitu (i) Undang-dang Dasar dan peraturan perundang-undangan tertulis, (ii) Jurisprudensi peradilan, (iii) Kebiasaan ketatanegaraan atau constitutional conventions, dan (iv) Hukum Internasional tertentu. Dalam pandangan John Alder, rincian sumber-sumber hukum tata negara itu, meliputi 7 (tujuh) hal, yaitu (i) Prinsip Dasar (The Basic Prinsiple), (ii) Nilai-nilai moral dan politik (General political and moral values), (iii) hukum yang Mutlak (Strick Law) yang menurutnya meliputi (a) hukum yang ditegakkan atau diputuskan oleh pengadilan, (The law enforced through the courts), dan (b) hukum yang ditetapkan oleh parlemen dan kebiasaan parlemen (The law and custom of Parliament), (iv) Konvensi atau kebiasaan ketatanegaraan (Conventions of the Constitution), (v) Praktek-praktek yang baik yang terjadi dalam praktek penyelenggaraan kegiatan politik ketatanegaraan (Political practices), (vi) Tata aturan partai politik (The rules of the political parties), dan (vii) Hukum Internasional (International Law).

Dalam konteks tata hukum Indonesia pun sesungguhnya Yurisprudensi pun masuk sebagai salah satu sumber hukum. Akan tetapi tidak ada rumusan yuridis yang pasti mengatur hal tersebut. Hanyalah beberapa doktrin di kalangan para sarjana hukum di Indonesia yang secara sendiri-sendiri menempatkan Yurisprudensi, termasuk Putusan Mahkamah Konstitusi dalam tata urutan sumber hukum di Indonesia.  Karena memang, putusan Mahkamah Konstitusi jika dilihat dari sifatnya yang final dan mengikat, maka ia dapat menjadi dasar bagi pembentukan norma dan aturan hukum di Indonesia, termasuk pula bagi pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan. Singkatnya, bisa dikatakan bahwa putusan MK menjadi patron konstitusional segala bentuk aturan hukum di bawah UUD 1945, tak terkecuali pembentukan undang-undang oleh lembaga legislasi.

Untuk menentukan produk suatu lembaga negara adalah produk hukum yang mengikat tidak semata-mata ditentukan oleh logika politik keterwakilan. Yang mengikat sebagai norma hukum tidak harus selalu lahir dari proses politik. Yang lebih menentukan adalah apakah produk itu memang ditempatkan sebagai hukum yang mengikat menurut ketentuan yang lebih tinggi dan dibuat sesuai dengan mekanisme hukum yang berlaku. Untuk mengetahui apa saja produk hukum dalam sistem hukum nasional, tentu saja rujukannya adalah UUD 1945 sebagai hukum tertinggi. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa Putusan MK bersifat final. Hal itu berarti Putusan MK telah memiliki kekuatan hukum tetap sejak dibacakan dalam persidangan MK. Putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap memilki kekuatan hukum mengikat untuk dilaksanakan.

Berbeda dengan putusan pengadilan biasa yang hanya mengikat para pihak, Putusan MK dalam perkara pengujian UU mengikat semua komponen bangsa, baik penyelenggara negara maupun warga negara. Dalam perkara pengujian UU, yang diuji adalah norma UU yang bersifat abstrak dan mengikat umum. Walaupun dasar permohonan pengujian adalah adanya hak konstitusional pemohon yang dirugikan, namun sesungguhnya tindakan tersebut adalah mewakili kepentingan hukum seluruh masyarakat, yaitu tegaknya konstitusi. Kedudukan pembentuk UU, DPR dan Presiden, bukan sebagai tergugat atau termohon yang harus bertanggungjawab atas kesalahan yang dilakukan. Pembentuk UU hanya sebagai pihak terkait yang memberikan keterangan tentang latar belakang dan maksud dari ketentuan UU yang dimohonkan. Hal itu dimaksudkan agar ketentuan yang diuji tidak ditafsirkan menurut pandangan pemohon atau MK saja, tetapi juga menurut pembentuk UU, sehingga diperoleh keyakinan hukum apakah bertentangan atau tidak dengan konstitusi.

Oleh karena itu yang terikat melaksanakan Putusan MK tidak hanya dan tidak harus selalu pembentuk UU, tetapi semua pihak yang terkait dengan ketentuan yang diputus oleh MK. Karena putusan MK mengikat umum, pihak-pihak yang terkait dengan pelaksanaan ketentuan UU yang telah diputus MK harus melaksanakan putusan itu. Namun demikian, mengingat norma dalam UU adalah satu kesatuan sistem ada pelaksanaan putusan yang harus melalui tahapan-tahapan tertentu, bergantung pada substansi putusan. Ada putusan yang dapat dilaksanakan langsung tanpa harus dibuat peraturan baru atau perubahan, ada pula yang memerlukan pengaturan lebih lanjut terlebih dahulu.

Menurut K. C. Wheare, interpretasi hakim MK merupakan salah satu cara perubahan konstitusi secara informal. Artinya putusan-putusan MK atas pengujian suatu undang-undang merupakan konstitusi baru yang memiliki kekuatan hukum mengikat. Tidak ada alasan bagi penyelenggara negara untuk tidak menjalankan putusan MK, karena kekuatan hukum putusan itu adalah sama dengan perintah konstitusi. Maruarar Siahaan menyebutkan putusan demikian sebagai putusan yang bersifat Constitutif. Sifat constitutif putusan MK berarti melahirkan satu keadaan hukum atau menciptakan satu hukum baru. Putusan MK yang menyatakan suatu undang-undang bertentangan dengan UUD berarti telah meniadakan keadaan hukum yang timbul karena undang-undang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan demikian putusan MK telah membentuk hukum baru sebagai Negative Legislator.

Setidaknya ada 3 kekuatan hukum putusan MK. Pertama kekuatan mengikat, bahwa putusan itu mengikat semua orang, lembaga negara dan badan hukum dalam yurisdiksi Indonesia. Kedua kekuatan pembuktian, bahwa putusan itu dapat digunakan sebagai alat bukti dengan kekuatan pasti secara positif. Ketiga kekuatan eksekutorial, bahwa putusan MK berlaku sebagai undang-undang dengan tanpa perlu adanya perubahan atas bagian undang-undang, ayat dan atau pasal yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Hal itu sejalan dengan dasar pemikiran bahwa keberadaan MK sebagai The Guardian of Constitution. Disebut sebagai penjaga konstitusi karena pada dasarnya konstitusi merupakan “wujud mati” dan tidak akan dapat berbuat apapun tanpa ada lembaga yang dapat menegakkan prinsip-prinsip dasar yang ada. Oleh karena itu sebagai penjaga konstitusi, MK diberikan kewenangan melakukan penafsiran, apakah suatu undang-undang bertentangan dengan konstitusi atau tidak.

Sifat final tersebut juga berarti bahwa putusan Mahkamah Konstitusi  langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dalam persidangan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh (inkracht van gewijsde). Sifat mengikat putusan Mahkamah Konstitusi berbeda dengan putusan peradilan pada umumnya. Jika di Peradilan Umum putusan hanya mengikat bagi para pihak berperkara (interparties) maka putusan Mahkamah Konstitusi juga mengikat bagi semua orang dan badan hukum yang ada di Indonesia. Sehingga putusan Mahkamah Konstitusi dikatakan sebagai negatif legislator yang bersifat erga omnes.

Makna mengikat berarti memiliki akibat hukum bahwa para pihak yang berperkara harus menanggung akibat putusan tersebut. Terkait dengan prinsip negara hukum dimana tujuan utama dari suatu negara adalah terwujudnya supremasi hukum (supremacy of law), dimana untuk mewujudkannya salah satunya adalah dengan menggunakan putusan hakim sebagai tolak ukur moral dan yuridis. Oleh karena Putusan Mahkamah Konstitusi adalah putusan yang mengikat dan final maka putusan tersebut haruslah didasari oleh nilai-nilai filosofi dan mempunyai nilai kepastian hukum yang mengikat, yang bertenggger pada nilai–nilai keadilan. Sehingga putusan Mahkamah Konstitusi selalu menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan serta bermuara pada keadilan dan kepastian hukum. Keadilan menjadi substansi utama yang idealnya menentukan putusan Mahkamah Konstitusi.

Mengacu pada pendapat Van Apeldoorn sebagaimana yang telah dikemukakan di atas yang menyatakan bahwa wujud hukum tidak hanya sebatas peraturan perundang-undangan yang berlaku mengikat namun juga menjelma dalam putusan-putusan hakim yang juga bersifat mengatur dan memaksa maka  tepat pula jika dikatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat.

  1. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI
  2. Perubahan UUD NRI 1945 telah menciptakan sebuah lembaga baru yang berfungsi untuk mengawal konstitusi, yaitu Mahkamah Konstitusi, selanjutnya disebut “MK”, sebagaimana tertuang dalam Pasal 7B, Pasal 24 Ayat (1) dan Ayat (2), serta Pasal 24C UUD NRI 1945, yang diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5266), selanjutnya disebut “UU MK”.
  3. Bahwa salah satu kewenangan yang dimiliki oleh MK adalah melakukan pengujian undang-undang terhadap konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 24C Ayat (1) UUD NRI 1945 yang berbunyi:

Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar…

  1. Selanjutnya, Pasal 10 ayat (1) huruf a UU MK menyatakan:

“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:

  1. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ….

Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5076), selanjutnya disebut “UU KK” menyatakan:

“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:

  1. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”
  1. Bahwa ketentuan Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyatakan “Dalam hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi”;
  2. Berdasarkan uraian angka 1 sampai 4  di atas, maka tidak ada keraguan sedikitpun bagi Pemohon  menyimpulkan, bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang untuk mengadili permohonan pengujian undang-undang ini pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final.
  1. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON:
  1. Bahwa Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi mengatakan bahwa  pemohon pengujian undang-undang adalah “pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang” yang dalam huruf a menyebutkan “perorangan warga negara Indonesia”. Selanjutnya dalam Penjelasan atas Pasal 51 ayat (1) undang-undang a quo, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan hak konstitusional” adalah “hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”;
  2. Bahwa Yurisprudensi Tetap Mahkamah Konstitusi sebagaimana tertuang dalam Putusan No 006/PUU-III/2005 jo Putusan No 11/PUU-V/2007 dan putusan-putusan selanjutnya telah memberikan pengertian dan batasan komulatif tentang apa yang dimaksud dengan “kerugian konstitusional” dengan berlakunya suatu norma undang-undang, yaitu:
  1. Adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Bahwa hak konstitusional tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji;
  3. Kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual, atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
  4. Adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk dijui; dan
  5. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi;
  1. Apabila mendasarkan pada 5 (lima) parameter berdasarkan Putusan No 006/PUU-III/2005 jo Putusan No 11/PUU-V/2007, maka Pemohon memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan ini, dengan alasan :
  1. Sebagai warga Negara Pemohon memiliki hak konstitusional atas “pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil” dan hak konstitusional atas due process of law sebagaimana diberikan oleh Pasal 28 D ayat (1) dan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945
  2. Hak konstitusional Pemohon atas “pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil” dan hak konstitusional atas due process of law sebagaimana diberikan oleh Pasal 28 D ayat (1) dan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 tersebut telah dirugikan dengan berlakunya sejumlah pasal yang diuji melalui permohonan ini.
  3. Kerugian Konstitusional Pemohon tersebut secara spesifik (khusus) dan actual karena Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 29 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Dan Pasal 7 ayat (2) huruf “l” Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan telah diberlakukan dalam Praktek dilapangan.
  4. Dengan demikian terdapat hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak konstitusional pemohon dengan berlakunya pasal-pasal yang dimohonkan dalam perkara ini yang telah menyebabkan hak konstitusional Pemohon atas “pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil” dan hak konstitusional atas due process of law sebagaimana diberikan oleh Pasal 28 D ayat (1) dan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 telah dirugikan.
  5. Apabila permohonan ini dikabulkan, maka jelas pasal-pasal yang dimohonkan dalam perkara ini tidak dapat diterapkan lagi kepada pemohon, sehingga hak konstitusional pemohon tidak dirugikan lagi karena pasal-pasal tersebut dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi.
  1. Bahwa kelima syarat sebagaimana dimaksud diatas dijelaskan lagi oleh Mahkamah melalui Putusan Mahkamah No. 27/PUU-VII/2009 dalam pengujian formil Perubahan Kedua Undang-Undang Mahkamah Agung (hlm 59), yang menyatakan: “dari praktik Mahkamah (2003-2009), perorangan WNI, terutama pembayar pajak (tax payer); vide Putusan Nomor 003/PUU-I/2003) berbagai asosiasi dan NGO/LSM, yang concern terhadap suatu Undang-Undang demi kepentingan publik, badan hukum, Pemerintah Daerah, lembaga negara, dan lain-lain, oleh Mahkamah dianggap memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan pengujian, baik formil maupun materiil, Undang-Undang terhadap UUD 1945”.
  2. Bahwa Para Pemohon mempunyai hak konstitusional yang diberikan oleh UUD NRI 1945, sebagai berikut:

Hak untuk memajukan diri dalam melakukan usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan, memperjuangkan hak secara kolektif berdasar atas azas kekeluargaan, hak untuk mendapatkan perlakuan yang adil dan layak berdasarkan Pasal 28C Ayat (2) UUD NRI 1945 yang berbunyi:

Pasal 28C Ayat (2) UUD NRI 1945

Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.

  1. Bahwa Pemohon adalah warga negara Indonesia yang memiliki pekerjaan sebagai Advokat dan Penasehat hukum yang memiliki tugas memberi pendampingan hukum, membela, memberi bantuan hukum berupa nasehat dan atau konsultasi hukum, mendampingi, mewakili dan atau membela hak-hak serta kepentingan-kepentingan serta memastikan bahwa seorang klien mendapatkan hak-haknya dalam menjalankan proses hukum baik dalam persidangan maupun di luar persidangan.
  2. Bahwa Pasal 5 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat dan penjelasannya menyatakan bahwa Advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan. Kemudian dalam penjelasan Pasal 5 ayat (1): “Yang dimaksud dengan “Advokat berstatus sebagai penegak hukum” adalah Advokat sebagai salah satu perangkat dalam proses peradilan yang mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan.” Peranan advokat sebagai salah satu penegak hukum ini tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan penegak hukum lainnya seperti Hakim, Jaksa, dan Polisi. Keempat aparat penegak hukum tersebut sangat berperan dalam upaya penegakan hukum di Indonesia. Selain itu Advokat dianggap sebagai penegak hukum, advokat juga merupakan profesi hukum yang berkewajiban melindungi dan bertindak sebagai wakil kliennya
  3. Bahwa dalam menjalankan profesinya Advokat sebagai penegak hukum kadangkala terbentur dengan adanya aparat penegak hukum lainnya, pejabat publik dan warga Negara yang tidak patuh terhadap putusan Mahakamah Konstitusi yang telah berkekuatan hukum tetap dengan berbagai macam alasan. Ada yang menyatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat Positif Legislator tidak wajib untuk dipatuhi, selain itu berdasar pada makalah Yudi Kristiana (Jaksa) yang disampaikan dalam seminar “Implikasi Putusan MK No. 33 Tahun 2016 terkait Hak Mengajukan Peninjauan Kembali dalam perkara Pidana, di UI Tangal 10 Agustus 2016Putusan Mahkamah Konstitusi yang mencerminkan 3 (tiga) hal : (1) Putusannya tidak membumi; (2) Hakim MK telah gagal memahami bekerjanya hukum di masyarakat; (3) MK gagal menjadi living inteperator, tidak akan diikuti oleh Jaksa Penuntut Umum.
  4. Bahwa salah satu contoh Konkrit tidak dipatuhinya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 adalah dapat dilihat dalam beberapa Jawaban Jaksa dalam permohonan Praperadilan baik Jaksa pada Kejaksaan Agung maupun Jaksa pada Komisi Pemberantasan Korupsi diantaranya dalam Permohonan Praperadilan oleh Komisaris Jenderal Polisi Drs. Budi Gunawan, SH., MSi, Hadi Poernomo, Prof. Dr. Otto Cornelis Kaligis, SH., MH. Dahlan Iskan dan banyak perkara Praperadilan lainnya yang menyatakan “Penetapan Tersangka Bukan Merupakan Obyek Praperadilan”, hal itu dikarenakan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 bersifat Positif Legislator, sehingga tidak untuk dipatuhi oleh Jaksa baik pada Kejaksaan Agung maupun pada Komisi Pemberantasan Korupsi.
  5. Bahwa hal demikian juga terjadi tidak hanya pada lembaga Kejaksaan dan KPK, akan tetapi juga terjadi pada lembaga Mahkamah Agung, dimana berdasar pada Surat Edaran MA (SEMA) No. 7 Tahun 2014 yang menyatakan Peninjauan Kembali (PK) hanya satu kali. SEMA ini sekaligus mengesampingkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 34/PUU-XI/2013, dimana berdasarkan putusan nomor 34/PUU-XI/2013 tersebut, MK telah membatalkan Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang membatasi pengajuan PK hanya sekali, MK telah membatalkan Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang dimohonkan mantan Ketua KPK Antasari Azhar yang menyatakan PK boleh diajukan berkali-kali sepanjang memenuhi syarat yang ditentukan Pasal 268 ayat (2) KUHAP.
  6. Bahwa tidak hanya Kejaksaan, KPK dan Mahkamah Agung yang telah melakukan pembangkangan (disobedience) atas putusan MK, berdasarkan catatan Pemohon terdapat beberapa Putusan MK yang tidak dipatuhi oleh Lembaga Negara, diantaranya adalah :
NO. PUTUSAN MK NOMOR LEMBAGA YANG MEMBANGKANG MODUS
1. Putusan Nomor 7/PUU-XII/2014 telah mengabulkan tiga pasal, yakni Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8), dan Pasal 66 ayat (4) UU Nomor 13 Tahun 2003. Sejak diputus tanggal 4 November 2015, pemerintah dalam hal ini Kementerian Ketenagakerjaan belum melakukan pencabutan Keputusan Menteri tersebut. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Masih tetap memberlakukan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 100 Tahun 2004 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) diamanatkan Pasal 59 ayat (8) UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (yang telah dinyatakan tidak berkekuatan hukum tetap oleh MK)
2. Putusan Nomor 3/PUU-XIII/2015 menyatakan Penjelasan Pasal 47 ayat (2) huruf e bagian c UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan inkonstitusional. Kementerian Perhubungan masih berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2012 tentang Kendaraan dan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 133 Tahun 2015 tentang Pengujian Berkala Kendaraan Bermotor.

Berdasarkan putusan MK tersebut, kendaraan khusus yang merupakan alat produksi bukan bagian dari kendaraan bermotor yang terdapat dalam pengertian UU LLAJ. Aturan untuk melakukan pengujian berkala kendaraaan bermotor untuk kendaraan khusus yang berfungsi alat produksi ternyata masih berlaku secara teknis. Fakta tersebut membuktikan satu hal, bahwa belum ada tindak lanjut dari pemerintah, untuk mencabut, atau merevisi Permen atau PP tersebut sejak putusan dibacakan pada 31 Maret 2016.

3. Putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013 yang mencabut Pasal 263 ayat (3) UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP Mahkamah Agung Mahkamah Agung (MA). MA seakan menyimpangi putusan tersebut dengan menerbitkan SEMA Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pembatasan Peninjauan Kembali
4. Putusan MK Nomor 36/PUU-X/2012 tentang Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Kementerian ESDM pembentukan SKK Migas yang secara substansi menjalankan fungsi yang sama dengan BP Migas yang mana kedudukan BP Migas telah dinyatakan inkonstitusional
5. Putusan MK Nomor No. 92-PUU-X-2012 Presiden dan DPR Atas putusan tersebut Presiden dan DPR merevisi UU MD3 menjadi UU No. 17 Tahun 2014 yang memungut kembalinorma yang telah inkonstitusional.
6. Putusan MK Nomor 006/PUU-II/2004 terkait dengan konstitusionalitas peran LBH Kampus Pengadilan Negeri Faktanya masih terdapat LBH Kampus dilarang berpraktik dengan alasan merujuk Pasal 31 UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat
7. Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 Kejaksaan Agung dan KPK Penetapan Tersangka Bukan Merupakan Obyek Praperadilan”, hal itu dikarenakan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 bersifat Positif Legislator, sehingga tidak untuk dipatuhi oleh Jaksa baik pada Kejaksaan Agung maupun pada Komisi Pemberantasan Korupsi

Adapun apabila mendasarkan pada riset yang dialkukan oleh Setara Institute (tahun 2016) setidaknya terdapat 19 (Sembilan belas) putusan yang harus masih ditindaklanjuti atau belum dilaksanakan, diantaranya :

Putusan Mahkamah Konstitusi yang Harus Ditindaklanjuti

No. Putusan Undang-Undang Norma Bentuk Amar Kabul Bentuk Kepatuhan Institusi
1. 7/PUU-XII/2014 UU 13/2003 tentang Ketenaga-kerjaan Pasal 59 ayat (7), 65 ayat (8), 66 ayat (4)
Perubahan PKWT menjadi PKWTT
Inkonstitusional bersyarat Perubahan Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Terkait Ketenaga-kerjaan Pemerintah dan DPR (ketika melaku-kan revisi uu), Presiden, menteri terkait
2. 58/PUU-XII/2014 UU 30/2009 tentang Ketenagalis-trikan Hilangnya sanksi pidana dalam pelangga-raan pemasang-an instalasi listik non-SLO Inkonstitusi-onal bersyarat Pemben-tuk UU
3. 76/PUU-XII/2014 UU 17/2014 tentang MD3 Izin tertulis dari MKD berubah menjadi izin tertulis dari Presiden untuk penyidikan anggota DPR Inkonstitusional Penyidik dalam melakukan penyidikan terhadap anggota DPR meminta izin Presiden Penyidik (langsung menjalankan putusan) dan Pemben-tuk uu saat merevisi UU.
4. 79/PUU-XII/2014 UU 17/2014 tentang MD3 Kewenang-an DPD dalam membahas UU dan kemandi-rian anggaran Inkonstitusi-onal bersyarat Mengubah Tatib DPR Perubahan skema kerja DPD
Pemben-tuk UU dalam merevisi UU MD3
5. 112/PUU-XII/2014 UU 18/2003 tentang Advokad Sumpah Advokat Inkonstitusi-onal bersyarat Revisi uu dan melakukan sumpah jabatan advokat tanpa mengaitkan dengan organisasi advokat Pengadil-an Negeri dan Pemben-tuk UU dalam merevisi UU
6. 3/PUU-XIII/2015 UU 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kategori-sasi kendaraan bermotor Inkonstitusi-onal Kepolisian Kemen-terian Perhu-bungan dan Pemben-tuk UU saat merevisi UU
7. 7/PUU-XIII/2015 UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah Penetapan jumlah kursi DPRD pada daerah baru dibentuk Inkonstitusional bersyarat KPU
8. 8/PUU-XIII/2015 UU 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara Pasal 124 ayat (2): “dalam hal tidak tersedia lowongan jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 2 tahun pns yang bersangkutan diberhentikan secara hormat”. Inkonstitusional bersyarat Revisi uu Seluruh instansi pemerintahan
9. 21/PUU-XIII/2015 UU 20/2011 tentang Rumah Susun Pelaku Pembangunan wajib memfasilitasi terbentuknya PPPSRS paling lambat 1 tahun tanpa dikaitkan dengan terjualnya sarusun Konstitusional bersyarat Revisi UU, membentuk PP. Pembentuk UU dan Presiden (untuk pembentukan PP)
10. 31/PUU-XIII/2015 KUHP Penghinaan pada pejabat negara menjadi delik aduan Inkonstitusional Revisi UU Pembentuk UU (revisi) dan Kepolisian
11. 36/PUU-XIII/2015 UU 18/2003 tentang Advokad Sumpah jabatan advokat Inkonstitusional bersyarat Revisi uu dan melakukan sumpah jabatan advokat tanpa mengaitkan dengan organisasi advokat Pengadilan Negeri dan pembentuk UU dalam melakukan revisi
12. 43/PUU-XIII/2015 UU Peradilan Umum, PTUN, PA Seleksi hakim tanpa keterlibatan KY Inkonstitusional Revisi UU, Peraturan Teknis Seleksi Hakim (revisi) Pembentuk UU, MA, KY
13. 60/PUU-XIII/2015 UU Pilkada Bilangan pembagi syarat calon independen menjadi eligible voters Inkonstitusional bersyarat Revisi UU dan PKPU KPU dan Pembentuk UU
14. 68/PUU-XIII/2015 UU 2/2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Anjuran dalam mediasi dalam bentuk risalah penyelesaian melalui mediasi Inkonstitusional bersyarat Revisi UU Mediator, Konsiliator dan Pembentuk UU
15. 100/PUU-XIII/2015 UU Pilkada Calon tunggal Inkonstitusional bersyarat Revisi UU dan PKPU KPU dan pembentuk UU
16. 105/PUU-XIII/2015 UU Pilkada Makna hari dalam menjadi hari kerja Inkonstitusional bersyarat Revisi uu MK dan Pembentuk UU dalam revisi
17. 107/PUU-XII/2015 UU 5/2010 tentang Perubahan Atas UU 22/2002 tentang Grasi Hilangnya batas waktu pengajuan grasi Inkonstitusional Revisi uu Kejaksaan dan Pembentuk UU dalam revisi
18. 6/PUU-XIV/2016 UU 14/2002 tentang Pengadilan Pajak Tidak ada periodisasi masa jabatan hakim pajak dan usia pension menjadi 67 tahun Inkonstitusional bersyarat Revisi UU Pembentuk UU dalam revidi dan Kementerian Keuangan
19. 33/PUU-XIV/2016 UU 8/1981 tentang Hukum Acara Pidana Penegasan objek PK Inkonstitusional bersyarat Kejaksaan

Sumber: Riset SETARA Institute (2016)

  1. Bahwa terhadap pembangkangan dan ketidakpatuhan terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana tersebut diatas telah menimbulkan kerugian konstitusional bagi para Pemohon yang ruang lingkup kerjanya adalah melakukan pembelaan baik dalam persidangan maupun diluar persidangan terhadap hak-hak yang menjadi klien dari Pemohon yang sebagian besar hak-hak tersebut secara konstitusional diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan terjewantahkan melalui Putusan Mahkamah Konstitusi, namun dikarenakan ketidakpatuhan dan pembangkangan terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana tersebut diatas, prinsip Rule of Law, Equality Before The Law, dan Penegakan Hak Asasi Manusia sebagaimana dilindungi oleh Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 tidak tercapai secara maksimal.
  2. Bahwa ketidakpatuhan terhadap putusan MK menjadi problem serius dikarenakan selain merugikan hak-hak warga Negara juga telah merugikan Pemohon sebagai Advokat dan Konsultan Hukum yang sering menegakkan hukum yang salah satunya melalui Judicial Review di Mahkamah Konstitusi, selain itu juga akan merusak tatanan penegakan hukum yang akan berdampak terhadap tertundanya keadilan yang diputus MK lewat putusannya.
  3. Bahwa apabila kondisi ini terus berlanjut, maka kerugian konstitusional yang sangat besar adalah tidak tegaknya prinsip Equality before the law (persamaan dihadapan hukum), yakni seseorang ataupun badan hukum publik/privat dapat dengan serta merta mengesampingkan Putusan Mahkamah Konstitusi, sehingga UUD 1945 yang secara tegas telah memberikan jaminan bahwa “segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya Pasal 27 ayat (1) menjadi kehilangan Ruh dan tujuannya, yang mana melalui Pasal 27 ayat (1) ini berkeinginan memberikan makna bahwa setiap warga negara tanpa harus melihat apakah dia penduduk asli atau bukan, berasal dari golongan terdidik atau rakyat jelata yang buta huruf, golongan menengah ke atas atau kaum  yang bergumul dengan kemiskinan harus dilayani sama di depan hukum. Kedudukan berarti menempatkan warga negara mendapatkan perlakuan yang sama dihadapan hukum. Sehingga dengan kedudukan yang setara, maka warga negara dalam berhadapan dengan hukum tidak ada yang berada diatas hukum. ‘No man above the law’, artinya  tidak keistimewaan yang diberikan oleh hukum pada subyek hukum, kalau ada subyek hukum yang memperoleh keistimewaan menempatkan subyek hukum tersebut berada diatas hukum.
  4. Kerugian Konstitusional lainnya apabila Putusan MK tidak dihormati maka MK telah kehilangan tujuannya yakni sebagai lembaga Negara yang bertugas mengawal (to guard) konstitusi. Sehingga tujuan agar Putusan MK dilaksanakan dan dihormati baik dalam penyelenggaraan kekuasaan negara maupun warga Negara, dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan cita-cita demokrasi dan kehendak rakyat dapat dinilai belum tercapai. Sehingga keberadaan mahkamah konstitusi yang sekaligus untuk menjaga terselenggaranya suatu pemerintahan negara yang stabil dan sebagai koreksi terhadap pengalaman kehidupan ketatanegaraan di masa lalu yang menimbulkan tafsir ganda terhadap konstitusi dapat dikatakan belum tercapai secara maksimal.
  5. Berdasarkan argument dan uraian singkat Pemohon diatas, maka jelas Pemohon memenuhi kapasitas dan syarat untuk mengajukan permohonan uji konstitusionalitas (consttitutional review/ judicial review)  Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 29 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Dan Pasal 7 ayat (2) huruf “l” Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
  1. Alasan-alasan Permohonan : 
  1. Negara Indonesia pada hakikatnya menganut prinsip “Rule of Law, and not of Man”, yang sejalan dengan pengertian nomocratie, yaitu kekuasaan yang dijalankan oleh hukum atau nomos. Dalam negara hukum yang demikian ini, harus diadakan jaminan bahwa hukum itu sendiri dibangun dan ditegakkan menurut prinsip-prinsip demokrasi. Hukum tidak boleh dibuat, ditetapkan, ditafsirkan dan ditegakkan dengan tangan besi berdasarkan kekuasaan belaka atau machtsstaat. Karena itu perlu ditegaskan pula bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat yang dilakukan menurut UUD atau constitutional democracy yang diimbangi dengan penegasan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum yang berkedaulatan rakyat atau demokratis (democratische rechtsstaat).
  2. Dengan demikian inti rule of law adalah jaminan adanya keadilan bagi masyarakat terutama keadilan sosial. Penjabaran prinsip-prinsip rule of law secara formal termuat didalam pasal-pasal UUD 1945, yaitu a. Negara Indonesia adalah negara hukum (pasal 1 ayat 3), b. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggaraakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan (pasal 24 ayat 1), c. Setiap warga Negara bersamaan kedudukanya didalam hukum dan pemerintahan, serta menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya (pasal 27 ayat 1), d. Dalam Bab X A Tentang Hak Asasi Manusia, memuat 10 pasal, antara lain bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama dihadapan hukum (pasal 28 D ayat 1), dan e. Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja (pasal 28 D ayat 2).
  3. Equality Before the Law adalah salah satu unsur dari The Rule of Law Principle menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Elemen-elemen “the rule of law principles” menurut PBB tersebut selengkapnya adalah: 1) supremacy of law; 2). equality before the law; accountability to the law; fairness in the application of the law; separation of power; legal certainty; avoidance of arbitrary; dan procedural of legal certainty. Persamaan dalam hukum (equality before the law) adalah salah satu penyangga berdiri tegaknya satu Negara hukum. Menurut Jimly Asshiddiqie, terdapat 12 prinsip pokok Negara Hukum (Rechstaat) yang menyangga berdiri tegaknya satu Negara hukum (The Rule of Law/Rechtstaat) dalam arti yang sebenarnya, yakni: 1) Supremasi hukum (supremacy of Law); 2) Persamaan dalam Hukum (equality before the Law); 3) Asas Legalitas (due process of law); 4) Pembatasan Kekuasaan; 5) Organ-Organ Eksekutif Independen; 6) Peradilan bebas dan tidak memihak; 7) Peradilan Tata Usaha Negara; 8) Peradilan Tata Negara (constitutional court); 9) Perlindungan Hak Asasi Manusia; 10) Bersifat Demokratis (democratisch rechtstaat); 11) Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara (welfare rechtsstaat); serta 12). Transparansi dan Kontrol sosial. Jimly Asshiddiqie, menegaskan terkait “Persamaan dalam Hukum (equality before the law), adanya persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan pemerintahan, yang diakui secara normatif dan dilaksanakan secara empirik. Dalam rangka prinsip persamaan ini, segala sikap dan tindakan diskriminatif dalam segala bentuk dan manifestasinya diakui sebagai sikap dan tindakan yang terlarang, kecuali tindakan-tindakan yang bersifat khusus dan sementara yang dinamakan affirmative actions guna mendorong dan mempercepat kelompok masyarakat tertentu untuk mengejar kemajuan sehingga mencapai tingkat perkembangan yang sama dan setara dengan kelompok masyarakat yang sudah jauh lebih maju. Secara yuridis Undang-Undang Dasar 1945 memberikan jaminan semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1) dan 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
  4. Ide pembentukan MK dilandasi upaya serius memberikan perlindungan terhadap hak-hak konstitusional warga negara dan semangat penegakan konstitusi sebagai “grundnorm” atau “highest norm”, yang artinya segala peraturan perundang-undangan yang berada dibawahnya tidak boleh bertentangan dengan apa yang sudah diatur dalam konstitusi. Konstitusi merupakan bentuk pelimpahan kedaulatan rakyat (the sovereignity of the people) kepada negara, melalui konstitusi rakyat membuat statement kerelaan pemberian sebagian hak-haknya kepada negara. Oleh karena itu, konstitusi harus dikawal dan dijaga. Sebab, semua bentuk penyimpangan, baik oleh pemegang kekuasaan maupun aturan hukum di bawah konstitusi terhadap konstitusi, merupakan wujud nyata pengingkaran terhadap kedaulatan rakyat.
  5. Bahwa pada dasarnya eksistensi advokat telah ada pada sekitar satu setengah abad yang lalu. Namun pengakuan terhadap Advokat tidak diatur dalam suatu peraturan seperti halnya Undang-undang namun hanya tertuang secara sporadis pada pasal-pasal peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan sejak masa pemerintah kolonial Belanda. Namun setelah diundangkannya UU No. 18 tahun 2003, Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2003 Nomor 49, tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4228 maka istilah advokat telah menjadi baku dan status advokat telah mendapat pengakuan sebagai penegak hukum sehingga dikenal catur wangsa (polisi, jaksa, hakim, dan advokat). Artinya, advokat telah diakui dan mempunyai kedudukan yang sama dengan penegak hukum lainnya, bahkan advokat merupakan satu-satunya penegak hukum yang bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum serta wilayah kerjanya meliputi seluruh wilayah negara RI yang dapat memperjuangkan demi tegaknya Keadilan dan Equality Before The Law sesuai dengan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
  6. Ketentuan Pasal 5 Ayat (1) UU Advokat memberikan status kepada Advokat sebagai penegak hukum yang mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan. Kedudukan tersebut memerlukan suatu organisasi yang merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 Ayat (1) UU Advokat, yaitu ”Organisasi Advokat merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat yang bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi Advokat”. Oleh karena itu, Organisasi Advokat, pada dasarnya adalah organ negara dalam arti luas yang bersifat mandiri (independent state organ) yang juga melaksanakan fungsi Negara yang menjalankan fusngsi sebagai: (a) advokat sebagai penyedia jasa hukum dan pemberi bantuan hukum, (b) advokat sebagai pengawas dan pengawal integritas peradilan, (c) advokat sebagai penyeimbang terhadap dominasi penegak hukum, (d) advokat sebagai pembela atas harkat dan martabat manusia. Dengan adanya empat urgensi kedudukan advokat sebagai penegak hukum, diharapkan mampu mempertegas dan memperkuat peran advokat sebagai salah satu komponen didalam sistem peradilan di Indonesia, sehingga Asas Kesamaan Dihadapan Hukum mampu dan dapat berjalan sesuai nilai-nilai Kepastian, Keadilan dan Kemanfaatan Hukum.
  7. Bahwa dengan diberlakukannya Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 29 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Dan Pasal 7 ayat (2) huruf “l” Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan akan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 24C ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28 G ayat (1) dan Pasal 28 I ayat (2)  Undang-Undang Dasar 1945.

Ø  MENGENAI PENGUJIAN PASAL 10 AYAT (1) UU MAHKAMAH KONSTITUSI dan PASAL 29 AYAT (1) UU KEKUASAAN KEHAKIMAN

  1. Bahwa sebagaimana bunyi Pasal 10 Ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi dan Pasal 29 Ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman adalah sebagai berikut :

Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk :

  1. Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  3. Memutus pembubaran partai politik; dan
  4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
  1. Bahwa makna yang terkandung dalam Pasal 10 Ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi dan Pasal 29 Ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa “kewenangan Mahkamah Konstitusi mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final” adalah tidak cukup, mengingat apabila mecara harfiah, maka yang terkandung pada bunyi pasal diatas tidak memberikan kewajiban kepada pihak manapun (baik pemerintah, pejabat publik, perseorangan, badan hukum dan lain sebagainya) untuk melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi yang telah berkekuatan hukum tetap (inkrach).
  2. Bahwa sesuai dengan Prinsip dalam Hukum yakni Putusan Mahkamah Konstitusi harus dipandang sebagai Putusan yang berlaku asas Res Judicata (Putusan Hakim Mahkamah Konsitusi Harus dianggap benar), menurut Sudikno Mertokusumo dalam bukunya berjudul Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, bahwa Putusan Pengadilan berlaku asas res judicata pro veritate habetur, yang berarti apa yang diputus hakim harus dianggap benar dan harus dilaksanakan. Untuk itu perlu menjadi perhatian bersama bahwa upaya paksa dalam usaha melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi harus tercantum secara langsung melalui pasal-pasal yang berkaitan kekuatan mengikat Putusan Mahkamah Konstitusi.
  3. Bahwa selain itu dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi tidak cukup menyerahkan secara sukarela kepada kepada pihak manapun (baik pemerintah, pejabat publik, perseorangan, badan hukum dan lain sebagainya) untuk melaksanakan secara otomatis (Patuh dan Tunduk) terhadap Putusan Mahkamah Mahkamah Konstitusi yang telah berkekuatan Hukum Tetap (inkrach), hal ini sangat tidak sejalan dengan kenyataan yang ada dilapangan masih banyak Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat non ekskutiutable (tidak dapat dijalankan), sehingga apabila tetap menekankan pada Asas Self Respect dan kesadaran hukum dari kepada pihak manapun (baik pemerintah, pejabat publik, perseorangan, badan hukum dan lain sebagainya) terhadap isi putusan MK untuk melaksanakannya dengan sukarela tanpa adanya upaya mewajibkan untuk mematuhi oleh Mahkamah Konstitusi, maka akan banyak Putusan-Putusan yang akan disimpangi dan tidak dijalankan oleh Pihak manapun, sehingga fungsi dan kedudukan Mahkamah Konstitusi tidak berjalan optimal sebagaimana yang telah dicita-citakan.
  1. Bahwa putusan Mahkamah Konstitusi adalah Putusan Publik, yang berarti putusan Mahkamah Konstitusi tersebut berlaku juga bagi pihak-pihak yang berada diluar sengketa (erga omnes), selanjutnya putusan Mahkamah Konstitusi sebagai Constitutional Control dengan mengidentifikasi tindakan kepada pihak manapun (baik pemerintah, pejabat publik, perseorangan, badan hukum dan lain sebagainya), untuk melakukan upaya corrective, disiplinery, dan remedial (perbaikan) terhadap tindakan hukum yang tidak sesuai dengan Konsitusi. Bahwa kepada pihak manapun (baik pemerintah, pejabat publik, perseorangan, badan hukum dan lain sebagainya) yang tidak melaksanakan hukum/putusan Mahkamah Konsitusi, sama artinya dengan tidak mampu mempersonifikasikan hukum dalam jabatan dan kedudukannya (utamanya Pejabat Publik), dan sama pula artinya bahwa pejabat tersebut telah ingkar terhadap perintah jabatan yang disandangnya saat itu, sehingga sebagai konsekuensinya yang bersangkutan tidak layak menduduki jabatan publik itu, oleh karenanya segera diberhentikan dari jabatan publik yang sedang dipangkunya. Oleh karena itu setiap orang termasuk pejabat publik harus sadar, patuh dan taat pada Putusan Mahkamah Konstitusi, manakala ada pejabat yang secara terang-terangan membangkang (tidak melaksanakan) Putusan Mahkamah Konstitusi, maka sesungguhnya pejabat publik tersebut tidak layak lagi sebagai pengemban pejabat publik, dan sebagai konsekwensinya harus diberhentikan dari jabatan publik tersebut.
  1. Bahwa perintah untuk melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi mutlak diperlukan dalam usaha optimalisasi fungsi, tugas, kedudukan dan kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam upaya mendorong terciptanya Wibawa Mahkamah Konsitusi atas lembaga-lembaga lainnya yang selama ini acuh tak acuh dan cenderung menafikan atas Putusan Mahkamah Konstitusi, tujuannya adala dalam rangka menjaga kehormatan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang secara spesifik menjaga dan mengawal tegaknya Konstitusi di Indonesia.
  2. Bahwa dengan diberlakukannya Pasal 10 Ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi dan Pasal 29 Ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 24C ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28 G ayat (1) dan Pasal 28 I ayat (2)  Undang-Undang Dasar 1945. Bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 dikarenakan Indonesia merupakan Negara Hukum, yang mana Putusan Mahkamah Konstitusi juga merupakan Hukum yang harus dan wajib dipatuhi oleh siapapun, bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 dikarenakan Mahkamah Konstitusi merupakan bagian dari kekuasaan Kehakiman yang bertujuan untuk menegakkan hukum dan keadilan yang salah satunya tercermin melalui Putusan-Putusannya, bertentangan dengan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dikarenakan makna “mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final” dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 tersebut juga mengandung asas res judicata pro veritate habetur, asas erga omnes dan Constitutional Control yang harus memberikan kepastian dan keadilan Hukum dalam setiap Putusannya, bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (1) , Pasal 28 G ayat (1) dan Pasal 28 I ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 dikarenakan setiap Warga Negara dilindungi oleh asas Equality Before The Law termasuk kewajiban dalam mematuhi Putusan MK.
  3. Frasa mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final pada Pasal 10 Ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi dan Pasal 29 Ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman harus dinyatakan konstitusional bersyarat, sepanjang tidak diartikan harus dilaksanakan oleh siapapun, hal itu dikarenakan Putusan Mahkamah Konstitusi sering digunakan sebagai alasan oleh Pihak Manapun untuk tidak mematuhi dan memenuhi terhadap Putusan Mahkamah Konsitusi.

Ø  MENGENAI PENGUJIAN  PASAL 47 UU MAHKAMAH KONSTITUSI

  1. Bahwa dengan memaknai Pasal 47 UU Mahkamah Konstitusi “Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum;
  2. Bahwa terhadap makna pasal Pasal 47 UU Mahkamah Konstitusi sebagaimana tersebut diatas mengandung polemic, dimana sama dengan yang kami jelaskan sebelumnya dimana Putusan Mahkamah Konstitusi cenderung diabaikan oleh pihak manapun (baik pemerintah, pejabat publik, perseorangan, badan hukum dan lain sebagainya), hal ini dikarenakan dalam Pasal tersebut mengandung ambiguitas, utamanya terhadap kewajiban untuk melaksanakan Putusan Mahkamah Konsitusi dan pelaksanaan Ekskusi Putusan Mahkamah Konstitusi.
  3. Bahwa secara umum Putusan akhir menurut sifat amarnya (diktumnya) dapat dibedakan atas 3 (tiga) macam, yaitu putusan condemnatoir, putusan constitutief, dan putusan declaratoir. Putusan condemnatoir adalah putusan yang bersifat menghukum pihak yang kalah untuk memenuhi prestasi, putusan constitutief adalah putusan yang menciptakan suatu keadaan hukum yang baru dan putusan declaratoir adalah putusan yang menyatakan suatu keadaan sebagai suatu keadaan yang sah menurut hukum. Putusan Mahkamah Konstitusi ada yang menyatakan bersifat deklaratoir, yaitu menyatakan, karena sifatnya yang hanya menyatakan, maka otomatis putusan Mahkamah Konstitusi langsung berlaku dan tidak perlu dieksekusi. “Putusan itu final dan binding, sehingga untuk UU tidak perlu ada pencabutan lagi. Namun pada kenyataannya Putusan Mahkamah Konstitusi tidak berdaya atas kekuasaan Negara, kekuatan kelompok, kekuataan kekuasaan, hal ini mengingat tidak adanya perintah ekskusi atau pelaksanaan atas Putusan MK tersebut, untuk diperlukan penjelasan lebih mendalam terhadap makna kekuatan Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum, sebagaimana Pasal 47 UU Mahkamah Konstitusi.
  4. Bahwa dalam putusan MK, belum ada aturan apabila putusan MK terkait dengan wewenang lembaga negara, yang bersinggungan dengan lembaga negara lain, maka  menjadi sulit dalam penegakannya, karena ego kelembagaan yang masih kuat karena tidak ingin eksistensi dan wewenangnya diabaikan  dan diperankan oleh lembaga lain. Kondisi penegakan hukum seperti ini membuat ketidak pastian dalam proses penegakan hukum, dan menimbulkan masalah hukum baru yang membutuhkan jalan keluar dengan memberikan ruang kepada Mahkamah Konsitusi untuk memberikan jalan keluar agar MK memberikan kewajiban pihak manapun (baik pemerintah, pejabat publik, perseorangan, badan hukum dan lain sebagainya) untuk melaksanakan Putusan MK.
  5. Bahwa dengan diberlakukannya Pasal 47 UU Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 24C ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28 G ayat (1) dan Pasal 28 I ayat (2)  Undang-Undang Dasar 1945. Bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 dikarenakan Indonesia merupakan Negara Hukum, yang mana Putusan Mahkamah Konstitusi juga merupakan Hukum yang harus dan wajib dipatuhi oleh siapapun, bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 dikarenakan Mahkamah Konstitusi merupakan bagian dari kekuasaan Kehakiman yang bertujuan untuk menegakkan hukum dan keadilan yang salah satunya tercermin melalui Putusan-Putusannya, bertentangan dengan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dikarenakan makna “mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final” dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 tersebut juga mengandung asas res judicata pro veritate habetur, asas erga omnes dan Constitutional Control yang harus memberikan kepastian dan keadilan Hukum dalam setiap Putusannya, bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (1) , Pasal 28 G ayat (1) dan Pasal 28 I ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 dikarenakan setiap Warga Negara dilindungi oleh asas Equality Before The Law termasuk kewajiban dalam mematuhi Putusan MK.
  6. Bahwa dengan demikian frasa Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada Pasal 47 UU Mahkamah Konstitusi harus dinyatakan konstitusional bersyarat, sepanjang tidak diartikan harus dilaksanakan oleh siapapun, hal itu dikarenakan Putusan Mahkamah Konstitusi sering digunakan sebagai alasan oleh Pihak Manapun untuk tidak mematuhi dan memenuhi terhadap Putusan Mahkamah Konsitusi.

 

Ø  MENGENAI PENGUJIAN PASAL 7 AYAT (2) HURUF “L” UU ADMINISTRASI PEMERINTAHAN

  1. Bahwa dengan memaknai Pasal 7 Ayat (2) Huruf “L” UU Administrasi Pemerintahan “Pejabat Pemerintahan memiliki kewajiban : Mematuhi Putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
  2. Bahwa apabila melihat ketidakpatuhan terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi lebih banyak dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan, hal mana sebenarnya kewajiban untuk melaksanakan Putusan Pengadilan telah tercantum dalam Pasal 7 Ayat (2) Huruf “L” UU Administrasi Pemerintahan. Akan tetapi apabila mengacu pada Pasal 1 angka 18 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, maksud dari Pengadilan tersebut adalah Pengadilan Tata Usaha Negara. Untuk itu makna Pengadilan dalam Pasal 1 angka 18 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan telah membatasi hanya terbatas pada  Pengadilan Tata Usaha Negara, dalam hal ini tidak termasuk Mahkamah Konsitusi.
  3. Apabila kita lihat dalam Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan oleh Sebuah Mahkamah Konstitusi, maka jelas seharusnya Pasal 7 Ayat (2) Huruf “L” UU Administrasi Pemerintahan tidak hanya membatasi dengan memberikan kewajiban kepada Pejabat Pemerintahan untuk mematuhi putusan (vonnis) hanya kepada Pengadilan Tata Usaha Negara dalam hal ini, akan tetapi juga memberikan kewajiban kepada Pejabat Pemerintahan untuk patuh dan tunduk kepada Putusan Mahkamah Konstitusi.
  4. Bahwa dengan diberlakukannya Pasal 7 Ayat (2) Huruf “L” UU Administrasi Pemerintahan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 24C ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28 G ayat (1) dan Pasal 28 I ayat (2)  Undang-Undang Dasar 1945. Bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 dikarenakan Indonesia merupakan Negara Hukum, yang mana Putusan Mahkamah Konstitusi juga merupakan Hukum yang harus dan wajib dipatuhi oleh siapapun, bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 dikarenakan Mahkamah Konstitusi merupakan bagian dari kekuasaan Kehakiman yang bertujuan untuk menegakkan hukum dan keadilan yang salah satunya tercermin melalui Putusan-Putusannya, bertentangan dengan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dikarenakan makna “mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final” dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 tersebut juga mengandung asas res judicata pro veritate habetur, asas erga omnes dan Constitutional Control yang harus memberikan kepastian dan keadilan Hukum dalam setiap Putusannya, bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (1) , Pasal 28 G ayat (1) dan Pasal 28 I ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 dikarenakan setiap Warga Negara dilindungi oleh asas Equality Before The Law termasuk kewajiban dalam mematuhi Putusan MK.
  5. Bahwa dengan demikian frasa “Pejabat Pemerintahan memiliki kewajiban : Mematuhi Putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.” pada Pasal 7 Ayat (2) Huruf “L” UU Administrasi Pemerintahan harus dinyatakan konstitusional bersyarat, sepanjang tidak diartikan hanya diberikan kewajiban atas Putusan Tata Usaha Negara saja, akan tetapi juga bagi Putusan Mahkamah Konstitusi, hal itu dikarenakan Putusan Mahkamah Konstitusi sering digunakan sebagai alasan oleh Pihak Manapun untuk tidak mematuhi dan memenuhi terhadap Putusan Mahkamah Konsitusi.
  1. PETITUM

Bahwa selanjutnya  berdasarkan alasan-alasan hukum di atas, maka mohon kiranya Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berkenan memutuskan :

  1. Menerima seluruh permohonan Pemohon;
  2. Menyatakan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan UUD RI 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final serta harus dilaksanakan untuk :…..;
  3. Menyatakan Pasal 47 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan UUD RI 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap dan harus dilaksanakan sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum;;
  4. Menyatakan Pasal 29 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman bertentangan dengan UUD RI 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final serta harus dilaksanakan untuk :…..;
  5. Menyatakan Pasal 7 ayat (2) huruf “l” Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan bertentangan dengan UUD RI 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai Pejabat Pemerintahan memiliki kewajiban : Mematuhi Putusan Mahkamah Konstitusi dan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.;
  6. Memerintahkan untuk memuat putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;

Atau mohon putusan yang seadil-adilnya  (Ex Aquo et Bono);

Bahwa selanjutnya untuk menguatkan dalil-dalil permohonan, Pemohon telah mengajukan barang bukti berupa naskah UUD, UU, dan surat-surat  lainnya sebagaimana terlampir ;

Demikian Permohonan Kami, atas perhatian dan perkenannya, diucapkan terima kasih.

Jakarta, 19 Oktober 2016

 

Hormat kami,

FORUM ADVOKAT MUDA INDONESIA

(FAMI)

  1. (can) SAIFUL ANAM, SH., MH.

Ketua

ZENURI MAKHRODJI, SH.

Sekretaris

(RUDY GUNAWAN, SH.) (EDI WIRAHADI, SH.)
(RAY WAHYU MURNI YULIANTI, SH.) (SUHARTA, SH., MH.)
(CAKRA HERU SANTOSA, SH., MH.) (RUDI PURNAWAN, SH.)
(MUSLIADI, SH.) (SUTARJO, SH.)
(RADEN ASMORO WENING, SH.) (NURDIN DESRIWAN GUMAY, SH.)
(DIKI ZULKARNAEN, SH.) (GUNTHAR HAMING YUDHA, SH.)
(BAMBANG HERI SUPRIYANTO, SH., MH.) (FUAD ABDULLAH, SH., MSi.)
(HENDRA PANJAITAN, SH.) (MOH. DANIES KURNIARTHA, SH.)
(BENNY HARIS NAINGGOLAN, SH.) (BAKRI, SH.)
(FAIJAL SIREGAR, SH.) (Drs. HM. SANI ALAMSYAH, SH., MBL.)
(JOKO PRIYATNO, SH.) (RMRP. JOKO PURBOYO, SH.)
(SYAKHRUDDIN, SH.) (HFR. GHANTY SJAHABUDIN, SH.)
Continue Reading

CONTOH GUGATAN DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA (TUN)

Jakarta, 10 Maret 2014

Kepada Yth. :

Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta

Jl. Sentra Primer Baru Timur, Pulo Gebang, 13950 Jakarta Timur

JAKARTA

Hal : Gugatan Tata Usaha Negara.

Dengan hormat,

  1. Nama : NOEROEL KOMARIJAH

Tempat/Tgl. Lahir        : Pamekasan, 14 Juni 1969

Kewarganegaraan         : Warga Negara Indonesia

Agama                        : Islam

Pekerjaan                   : Karyawan Honorer/Tenaga Harian Lepas

Pemerintah  Kabupaten Bangkalan

Alamat                        : Jl. Trunojoyo VII / 62 D RT. 03/RW. 01 Pejagan

Bangkalan

  1. Nama : RAHAJU WILUDJENG

Tempat/Tgl. Lahir        : Madiun, 24 Agustus 1969

Kewarganegaraan         : Warga Negara Indonesia

Agama                        : Islam

Pekerjaan                   : Karyawan Honorer/Tenaga Harian Lepas

Pemerintah Kabupaten Bangkalan

Alamat                        : Jl. Raya Kesek No. 04 Desa Kesek, Kecamatan

Labang Bangkalan.

  1. Nama : TAYYIB

Tempat/Tgl. Lahir        : Sumenep, 16 Agustus 1976

Kewarganegaraan         : Warga Negara Indonesia

Agama                        : Islam

Pekerjaan                   : Karyawan Honorer/Tenaga Harian Lepas

Pemerintah Kabupaten Bangkalan

Alamat                        : Jl. Telang Indah V / 49 RT 03/RW 03 Desa Telang

Kamal Bangkalan 69162

Berdasarkan Surat Kuasa Khusus, tertanggal 07 Maret 2014, baik sendiri-sendiri, diantaranya, maupun bersama-sama memberikan kuasa kepada : ANSORUL HUDA, SH.MH., SYAFI’, SH.MH., dan SAIFUL ANAM, SH., MH., Kesemuanya adalah advokat dan konsultan  hukum  pada Kantor Hukum ANSORUL AND PARTNERS (A & P) Law Firm, Advocate and Legal Consultant, beralamat di Jl. Ciliwung 74 D  Surabaya, Tlp. 031-5616777, Fax. 031-5614699, HP. 081235995318, dan 081231389949, alamat email: ansorul_andpartners@yahoo.com., dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa, dan untuk selanjutnya disebut sebagai ……………………………………………………………….PARA PENGGUGAT.

Dengan ini mengajukan Gugatan Tata Usaha Negara kepada :

  1. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia, berkedudukan di Jl. Jenderal Sudirman Kav. 69. Jakarta Selatan 12190. Telp. 021-7398381-7398382, fax. 021-7398323, Situs : http://www.menpan.go.id. Selanjutnya disebut sebagai …..TERGUGAT I.
  1. Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN), berkedudukan di Jl. Letjen Sutoyo No. 12 Cililitan Telp. 021-8093008 Jakarta Timur Selanjutnya disebut sebagai ………………………………………………. TERGUGAT II.

Selanjutnya Tergugat I dan Tergugat II dapat disebut sebagai PARA TERGUGAT

 

  1. OBJEK GUGATAN

Bahwa adapun yang menjadi Obyek Sengketa dalam perkara ini adalah :

  1. Surat Keputusan Menteri PAN dan RB Nomor 31 Tahun 2013, tanggal 1 Maret 2013 tentang Pembentukan Tim Audit Tujuan Tertentu Dugaan Penyimpangan Proses Penentuan Tenaga Honorer Kategori I Yang Dapat Diangkat Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil;
  1. Surat Menteri PAN dan RB Nomor B-2838/M.PAN-RB/09/2013, tanggal 10 September 2013 tentang Laporan Hasil Audit Tujuan Tertentu dan Laporan Hasil Evaluasi Usulan Tenaga Honorer Kabupaten Raja Ampat ; dan
  1. Surat Kepala BKN beserta lampirannya, No. K.26-30/V.156-3/51, tanggal 26 September 2013, perihal : Hasil Audit Tujuan Tertentu (ATT) Tenaga Honorer Kategori I.
  1. GUGATAN DALAM PERKARA A QUO DISAMPAIKAN/DISERAHKAN DALAM TENGGANG WAKTU YANG DITENTUKAN OLEH HUKUM YANG BERLAKU

Mengingat gugatan ini Penggugat daftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta pada hari Senin, 10 Maret 2014, maka sesuai ketentuan Pasal 55 Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara Jo. Bagian V angka 3 SEMA No. 2 Tahun 1991 Tentang Petunjuk Pelaksanaan beberapa ketentuan dalam UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN, yang menyatakan bahwa pengajuan gugatan sengketa TUN harus diajukan dalam dalam tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari sejak diumumkan, diketahui serta diterimanya Obyek Sengketa.

Para Peggugat baru mengetahui, menerima dan mendapatkan salinan atau hard copy ketiga Obyek sengketa tersebut diatas pada tanggal 17 Februari 2014 berdasarkan informasi yang diberikan oleh Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Kabupaten Bangkalan, maka tidak ada halangan bagi gugatan ini untuk dapat diterima.

  1. KEWENANGAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA
  2. Bahwa ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang RI No 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara jo Pasal 1 angka 9 Undang-Undang RI No  51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang No 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara mendefenisikan Keputusan Tata Usaha Negara adalah “suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat kongkret, individual, dan final, yang membawa akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata”.
  1. Bahwa berdasarkan definisi dalam angka 1 di atas, maka Surat Keputusan Menteri PAN dan RB Nomor 31 Tahun 2013 tanggal 1 Maret 2013, Surat Menteri PAN dan RB Nomor B-2838/M.PAN-RB/09/2013 tanggal 10 September 2013 dan Surat Kepala BKN beserta lampirannya, No. K.26-30/V.156-3/51 tanggal 26 September 2013 adalah terang benderang sebuah keputusan tertulis yang berisi penetapan (beschikking) dan langsung berlaku sejak dikeluarkan oleh pejabat yang membuatnya (einmalig);
  1. Bahwa Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, disingkat Kemeneg PAN, adalah kementerian dalam Pemerintah Indonesia yang membidangi urusan aparatur negara dan reformasi birokrasi. Sedangkan Badan Kepegawaian Negara, disingkatBKN adalah Lembaga Pemerintah Non Kementerian Indonesia yang bertugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang manajemen kepegawaian Negara. Dengan demikian, nyatalah bahwa Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi serta Kepala BKN adalah “badan atau pejabat tata usaha negara” sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 1 angka 8 Undang-Undang No 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara;
  1. Bahwa Surat Surat Keputusan Menteri PAN dan RB Nomor 31 Tahun 2013 tanggal 1 Maret 2013, Surat Menteri PAN dan RB Nomor B-2838/M.PAN-RB/09/2013 tanggal 10 September 2013 dan Surat Kepala BKN beserta lampirannya, No. K.26-30/V.156-3/51 tanggal 26 September 2013 jelas adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
  1. Bahwa Surat Keputusan Menteri PAN dan RB Nomor 31 Tahun 2013 tanggal 1 Maret 2013, Surat Menteri PAN dan RB Nomor B-2838/M.PAN-RB/09/2013 tanggal 10 September 2013 dan Surat Kepala BKN beserta lampirannya, No. K.26-30/V.156-3/51 tanggal 26 September 2013 bersifat konkrit, individual dan final dengan alasan sebagai berikut:
  • Bahwa Surat Keputusan Para Tergugata-quo bersifat konkrit karena objek yang disebutkan dalam Surat Keputusan itu tidak abstrak, tetapi berwujud dan nyata-nyata secara tegas menyebutkan  “nama Para Penggugat sebagai subyeknya  hukumnya”;
  • Bahwa Surat Keputusan Para Tergugata-quo bersifat individual karena tidak ditujukan untuk umum, tetapi berwujud dan nyata-nyata secara tegas menyebut nama Para Penggugat salah satu sebagai subjek hukum didalamnya;
  • Bahwa Surat Keputusan Para Tergugata-quo telah bersifat final karena tidak lagi memerlukan persetujuan dari instansi tertentu baik bersifat horizontal maupun vertikal. Dengan demikian Surat Keputusan Para Tergugat tersebut telah bersifat definitif dan telah menimbulkan akibat hukum;
  • Bahwa Surat Keputusan Para Tergugata-quo telah menimbulkan akibat hukum, yakni Para Penggugat telah nyata-nyata dicabut status, kedudukan, harkat dan martabatnya sebagai Tenaga Honorer Kategori I Yang Memenuhi Kriteria (MK) untuk selanjutnya diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Pemerintah Kabupaten Bangkalan ;
  1. Bahwa Para Penggugat, dengan alasan-alasan yuridis sebagaimana akan diuraikan nanti, dengan tegas menolak Surat Keputusan Para Tergugat a-quo dan menganggapnya sebagai tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Penolakan Para Penggugat ini sebagaimana didefinisikan dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara jo Pasal 1 angka 10 Undang-Undang RI No 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara, adalah “sengketa tata usaha negara” ;
  1. Bahwa ketentuan Pasal 47 Undang-Undang RI No 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara menegaskan bahwa Pengadilan Tata Usaha Negara “bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara”;
  1. Berdasarkan argumentasi sebagaimana diuraikan dalam angka 1 sampai angka 7 di atas, Para Penggugat menyimpulkan bahwa Pengadilan Tata Usaha Negara, dalam hal ini Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, yang yurisdiksinya mencakupi tempat kedudukan Para Tergugat sebagaimana telah diuraikan di awal Surat Gugatan ini, adalah berwenang untuk memeriksa dan memutus sengketa sebagaimana tertuang dalam Surat Gugatan ini.
  1. ALASAN DAN DASAR GUGATAN

Adapun urarian fakta, dalil-dalil, dan alasan hukum dari gugatan ini adalah sebagai berikut :

  1. Bahwa Penggugat atas nama NOEROEL KOMARIJAH adalah Tenaga Harian Lepas Pemerintah Kabupaten Bangkalan, dengan Nomor Urut: 23, sejak tanggal 29 November 2004 sampai saat ini, berdasarkan Surat Keputusan Bupati Bangkalan, No. 814/310/433.031/2004 tentang Pengangkatan Tenaga Harian Lepas di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Bangkalan, dan terakhir berdasarkan Keputusan Bupati Bangkalan No. 814/184/433.206/2013  tentang Perpanjangan Tenaga Harian Lepas, tertanggal 30 Desember 2013 dengan nomor urut 2267;
  1. Bahwa demikian pula Penggugat atas nama RAHAJU WILUDJENG adalah Tenaga Harian Lepas Pemerintah Kabupaten Bangkalan, dengan Nomor Urut: 44, sejak tanggal 27 Desember 2004 sampai saat ini, berdasarkan Surat Keputusan Bupati Bangkalan, No. 814/465/433.031/2004 tentang Pengangkatan Tenaga Harian Lepas di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Bangkalan, dan terakhir berdasarkan Keputusan Bupati Bangkalan No. 814/184/433.206/2013 tentang Perpanjangan Tenaga Harian Lepas, tertanggal 30 Desember 2013, dengan nomor urut 2318;
  1. Bahwa demikian pula Penggugat atas nama TAYYIB adalah Tenaga Harian Lepas Pemerintah Kabupaten Bangkalan, dengan Nomor Urut: 36, sejak tanggal 31 Desember 2004 sampai saat ini, berdasarkan Surat Keputusan Bupati Bangkalan, No. 814/467/433.031/2004 tentang Pengangkatan Tenaga Harian Lepas di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Bangkalan, dan terakhir berdasarkan Keputusan Bupati Bangkalan No. 814/184/433.206/2013 tentang Perpanjangan Tenaga Harian Lepas, tertanggal 30 Desember 2013, dengan nomor urut 1084;
  1. Bahwa Sesuai dengan surat edaran Menteri PAN dan RB Nomor 05 Tahun 2010 tanggal 28 Juni 2010 tentang Pendataan Tenaga Honorer yang Bekerja di Lingkungan Instansi Pemerintah maka melalui Surat Bupati Bangkalan Nomor: 800/1939/433.206/2010 tanggal 23 Agustus 2010 Pemerintah Kabupaten Bangkalan menyampaikan usulan Tenaga Honorer Kategori I sebanyak 1935 (seribu Sembilan ratus tiga puluh lima) orang termasuk didalamnya adalah Para Penggugat;
  1. Bahwa sesuai dengan penjelasan dari pihak Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Bangkalan, berdasarkan Hasil pengecekan Compact Disk (CD) tenaga honorer pada saat penyampaian usulan di BKN Jakarta, terdapat 4 orang yang tidak terbaca oleh aplikasi sehingga usulan menjadi 1931 (seribu Sembilan ratus tiga puluh satu) orang;
  1. Bahwa Berdasarkan usulan dimaksud pada point 4 dan 5 diatas, telah dilakukan verifikasi dan validasi pada bulan Oktober 2010 dan pada bulan Maret 2012 oleh Tim Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dan sesuai dengan Surat Edaran Menteri PAN dan RB Nomor 03 Tahun 2012 tertanggal 12 maret 2012 beserta lampirannya yang dikeluarkan oleh Kepala BKN pada tanggal 22 Maret 2012, maka terdapat 1354 tenaga honorer Kategori I Pemerintah Kabupaten Bangkalan yang dinyatakan memenuhi ketentuan (MK), termasuk Para Penggugat didalamnya, yaitu Penggugat atas nama NOEROEL KOMARIJAH terdapat pada halaman 55 nomor urut 1095, Penggugat atas nama RAHAJU WILUDJENG terdapat pada halaman 56 dan nomor urut 1107, dan Penggugat atas nama TAYYIB terdapat pada halaman 17 nomor urut 333 ;
  1. Bahwa data Tenaga Honorer yang Telah dinyatakan Memenuhi Kriteria Kategori I sebagaimana pada poin 6 diatas, telah diumumkan secara resmi oleh Tergugat II di websitenya, yaitu : www.bkn.go.id, serta diserahkan kepada Pemerintah Kabupaten Kabupaten Bangkalan pada tanggal 4 Mei 2012 untuk diberitahukan kepada yang bersangkutan (termasuk Para Penggugat didalamnya), serta untuk diumumkan dan dilakukan Uji Publik Sesuai dengan ketentuan Surat Edaran Menteri PAN dan RB Nomor 03 Tahun 2012;
  1. Bahwa Pemerintah Daerah Kabupaten Bangkalan telah mengumumkan dan melakukan uji publik terhadap nama-nama THL yang telah dinyatakan Memenuhi Kriteria (MK) sebagaimana pada poin 6 diatas mulai pada tanggal 7 s/d tanggal 20 Mei 2012, dan dinyatakan tidak ada masalah;
  1. Bahwa Berdasarkan hasil pengumuman dan uji publik tersebut, sama sekali tidak terdapat pengaduan atau permasalahan dari masyarakat melainkan justru surat ucapan terima kasih kepada Pemerintah Kabupaten Bangkalan melalui Bupati karena mereka telah masuk dalam database tenaga honorer kategori I yang Memenuhi Kriteria sehingga berhak untuk diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dan terhadap hasil pengumuman dan uji publik tersebut, Pemerintah kabupaten Bangkalan telah melaporkannya kepada Tergugat I dan Tergugat II, pada tanggal 23 Mei 2012;
  1. Bahwa dari jumlah 1354 yang diumumkan terdapat pengurangan 3 orang tenaga honorer yang dikarenakan meninggal dunia sebanyak 2 orang dan 1 orang nama ganda, sehingga total akhir menjadi 1351 tenaga honorer sebagaimana laporan Pemerintah Kabupaten Bangkalan melalui surat Bupati Bangkalan Nomor: 800/389/433.206/2012 tanggal 23 Mei 2012;
  1. Bahwa sesuai dengan ketentuan pasal 4 dan pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Pemerintah (PP) No. 56 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil, Nama-Nama yang telah dinyatakan Memenuhi Kriteria sebagaimana pada poin 6,7,8, 9 dan 10 diatas, diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil pada tahun anggaran berjalan, yaitu pada tahun tahun 2012;
  1. Bahwa pada kenyataannya, Tergugat I dan Tergugat II telah melalaikan kewajiban hukumnya untuk mengangkat Para Penggugat dan Nama-nama lainnya yang telah dinyatakan memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada point 6,7,8, 9 dan 10 diatas menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil sebagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan yang telah diuraikan pada poin 11 datas;
  1. Bahwa yang dilakukan Tergugat I justru adalah tindakan yang berlawanan dengan kewajiban hukumnya, yaitu dengan menerbitkan Surat Keputusan Menteri PAN dan RB Nomor 31 Tahun 2013, tanggal 1 Maret 2013 tentang Pembentukan Tim Audit Tujuan Tertentu Dugaan Penyimpangan Proses Penentuan Tenaga Honorer Kategori I Yang Dapat Diangkat Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil, yang kemudian ditindak lanjuti dengan Surat Tugas Kementerian PAN dan RB tertanggal 2 Mei 2013, No. ST-11/INSP.PAN-RB/05/2013 yang ditanda tangani oleh Inspektur Kementerian PAN dan RB, yang pada intinya menugaskan kepada nama-nama yang tertera dalam surat tugas tersebut untuk melaksanakan Audit Tujuan Tertentu (ATT) selama 6 (enam) hari kerja;
  1. Bahwa Sesuai dengan Surat Inspektur Kementrian PAN dan RB Nomor: S/85/INSP.PAN-RB/05/2013 tanggal 2 Mei 2013 tentang Audit dengan Tujuan Tertentu Tenaga Honorer Kategori I sebagaimana disebutkan pada poin 12 diatas, maka telah dilakukan kembali pemeriksaan dokumen dan klarifikasi terkait Tenaga Honorer Kategori I pada Kabupaten Bangkalan sebanyak 1.337 orang yang dimulai pada tanggal 6 Mei 2013;
  1. Bahwa Berdasarkan jumlah sebagaimana tersebut dalam poin 6 diatas, maka terdapat 17 orang Tenaga Honorer yang dinyatakan tidak memenuhi ketentuan (TMK), sedangkan alasan tidak memenuhi ketentuan terhadap 17 orang Tenaga Honorer dimaksud tertuang dalam Surat Kepala BKN Nomor: K.26-30/Kol.51-2/51 tanggal 27 Mei 2013 tentang Alasan Tidak Memenuhi Kriteria (TMK) Tenaga Honorer Kategori I hasil QA BPKP, yaitu yang pada intinya karena terdapat keterputusan penggajiannya yang bersumberkan dari APBD;
  1. Bawa Sesuai Surat Menteri PAN dan RB Nomor B-2838/M.PAN-RB/09/201, tanggal 10 September 2013 tentang Laporan Hasil Audit Tujuan Tertentu dan Laporan Hasil Evaluasi Usulan Tenaga Honorer Kabupaten Raja Ampat, yang selanjutnya ditindak lanjuti oleh Tergugat II dengan menerbitkan Surat Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor: K.26-30/V.156-3/51 tanggal 26 September 2013 perihal Hasil Audit Tujuan Tertentu (ATT) Tenaga Honorer Kategori I dimana disampaikan dalam surat dimaksud bahwa Tenaga Honorer Kategori I pada Pemerintah Kabupaten Bangkalan berdasarkan hasil verifikasi dan validasi oleh Tim Nasional dinyatakan memenuhi kriteria sebanyak 1.337 orang. Namun berdasarkan hasil Audit Tujuan Tertentu (ATT) terhadap data hasil Quality Assurance (QA) sejumlah 1.337 orang tersebut maka diperoleh hasil sebagai berikut:
  2. Tenaga Honorer kategori I yang memenuhi kriteria (MK) sejumlah 8 orang;
  3. Tenaga Honorer kategori I yang tidak memenuhi kriteria (TMK) dengan alasan Non APBN/APBD dan masuk dalam Tenaga Honorer Kategori II sejumlah 1.326 orang;
  4. Tenaga Honorer kategori I yang tidak memenuhi kriteria (TMK) sejumlah 3 orang ;
  1. Bahwa data nama-nama sebagaimana pada poin angka 15 diatas, baik pada huruf a, b, dan c sampai saat ini tidak pernah diumumkan di website resmi Tergugat I maupun Tergugat II, yaitu www.menpan.go.id dan www.bkn.go.id, maupun pemberitahuan secara langsung kepada Para Penggugat dan nama-nama lainnya terkait;
  1. Bahwa Para Penggugat baru mendapatkan data-data tersebut diatas sebagaimana diterangkan pada angka 15, pada tanggal 17 Pebruari 2014 setelah Para Penggugat dan teman-teman lainnya yang senasib beberapa kali mendatangi dan meminta kepada BKD Kabupaten Bangkalan, dan itupun hanya Surat dari Tergugat II yang kami dapat salinannya, sedangkan Surat Tergugat I tidak kami dapatkan, dengan alasan karena BKD kabupaten Bangkalan juga tidak memilikinya;
  1. Bahwa dari data yang Para Penggugat terima, justru lampiran I yang berisi nama-nama yang Memenuhi Kriteria sebanyak 8 orang tidak ada, yang ada justru nama-nama yang Tidak Memenuhi Kriteria, yaitu lampiran II menjadi lampiran I, dan Lampiran III menjadi lampiran II;
  1. Bahwa dalam surat Tergugat II sebagaimana pada poin 15 diatas, tidak disebut alasan-alasan mengapa yang pada awalnya Para Penggugat Memenuhi Kriteria sebagai Kategori I, menjadi Tidak Memenuhi Kriteria;
  1. Bahwa berdasarkan Surat Edaran Mentri PAN dan RB Nomor 5 Tahun 2010 tentang pendataan Tenaga Honorer yang bekerja di lingkungan instansi Pemerintah, pada angka 2 (dua) huruf a :

“adapun tenaga honorer dimaksud terdiri dari : kategori a. Kategori I ; Tenaga honorer yang penghasilannya dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dengan kriteria ;

1). Diangkat oleh Pejabat berwenang,

2). Bekerja di Instansi Pemerintah,

3). Masa kerja minimal 1 (satu) tahun pada 31 Desember 2005 dan sampai saat ini bekerja secara terus-menerus,

4). Berusia sekurang-kurangnya 19 Tahun dan tidak boleh lebih dari 46 Tahun perJanuari 2006”;

  1. Bahwa Para Penggugat masing-masing :

NOEROEL KOMARIJAH, RAHAJU WILUDJENG dan TAYYIB adalah Memenuhi Kriteria sebagaimana ketentuan pada poin diatas, karena masing-masing Para Penggugat mendapatkan gaji yang berasal dari APBD Kabupaten Bangkalan, masing-masing Para Penggugat adalah diangkat secara resmi oleh Bupati Kabupaten Bangkalan  sebagai Honorer di lingkungan Pemerintah Kabupaten Bangkalan terhitung sejak Tahun 2004 dan saat ini masih aktif berkerja sebagai Tenaga Harian Lepas di lingkungan Pemerintah Kabupaten Bangkalan secara terus menerus serta berusia lebih dari 19 Tahun serta kurang dari 46 Tahun per Januari 2006, sehingga seharusnya tidak alasan secara hukum yang dapat dibenarkan bagi Para Tergugat yang  telah menyatakan Para Penggugat adalah tenaga honorer Kategori 1 yang tidak Memenuhi Kriteria karena secara faktual Para Penggugat telah memenuhi Kriteria ;

  1. Bahwa dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri PAN dan RB Nomor 31 Tahun 2013, tanggal 1 Maret 2013 tentang Pembentukan Tim Audit Tujuan Tertentu Dugaan Penyimpangan Proses Penentuan Tenaga Honorer Kategori I Yang Dapat Diangkat Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil, selain bertentangan dengan kewajiban hukum Tergugat I dan Tergugat II yang telah menetapkan Para Penggugat dan Nama-nama lainnya Memenuhi Kriteria sebagai Kategori I sebagaimana pada poin 6 diatas, juga tidak berdasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku, karena pada pada saat diterbitkannya Surat Edaran Menteri PAN dan RB Nomor 03 Tahun 2012 tertanggal 12 maret 2012 beserta lampirannya yang dikeluarkan oleh Kepala BKN pada tanggal 22 Maret 2012 sebagaimana diuraikan pada poin 6 diatas, tidak ada satupun ketentuan yang mengatur tentang pelaksanaan Audit Tujuan Tertentu, baik dalam UU, PP, maupun Permen PAN & RB dan PerKa BKN khususnya yang terkait dengan pengangkatan Tenaga Honorer menjadi CPNS;
  1. Bahwa pembatalan Surat Edaran Menteri PAN dan RB Nomor 03 Tahun 2012 tertanggal 12 maret 2012 beserta lampirannya yang dikeluarkan oleh Kepala BKN pada tanggal 22 Maret 2012, melalui Surat Menteri PAN dan RB Nomor : B-2838/M.PAN-RB/09/2013, tanggal 10 September 2013 tentang Laporan Hasil Audit Tujuan Tertentu dan Laporan Hasil Evaluasi Usulan Tenaga Honorer Kabupaten Raja Ampat, yang selanjutnya ditindak lanjuti oleh Tergugat II dengan menerbitkan Surat Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor : K.26-30/V.156-3/51 tanggal 26 September 2013 perihal Hasil Audit Tujuan Tertentu (ATT) Tenaga Honorer Kategori I atau Obyek Snegketa, adalah tindakan yang melanggar dan bertentangan kewajiban hukum bagi Para Tergugat untuk mengangkat Para Penggugat sebagai Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Pemerintah Kabupaten Bangkalan sebagaimana diatur dalam Peraturan Perundang-undangan terutama pada Pasal 4 ayat (1) dan (2) Jo. Pasal 6 ayat (1), (2) dan (3) Peraturan Pemerintah No. 56 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil;
  1. Bahwa selain itu, pembatalan Surat Edaran Menteri PAN dan RB Nomor 03 Tahun 2012 tertanggal 12 maret 2012 beserta lampirannya yang dikeluarkan oleh Kepala BKN pada tanggal 22 Maret 2012, melalui Surat Menteri PAN dan RB Nomor : B-2838/M.PAN-RB/09/2013, tanggal 10 September 2013 tentang Laporan Hasil Audit Tujuan Tertentu dan Laporan Hasil Evaluasi Usulan Tenaga Honorer Kabupaten Raja Ampat, yang selanjutnya ditindak lanjuti oleh Tergugat II dengan menerbitkan Surat Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor : K.26-30/V.156-3/51 tanggal 26 September 2013 perihal Hasil Audit Tujuan Tertentu (ATT) Tenaga Honorer Kategori I, adalah tindakan yang melanggar prinsip dan asas hukum administrasi Negara, yaitu khususnya asas KEPASTIAN HUKUM dan asas Het Vermoden van Rechtmatigheid atau asas Presumtio Justea Causa atau Asas Praduga Rechmatig, dengan penjelasan sebagai berikut :
  1. Bahwa sesungguhnya maksud dan tujuan dari Prinsip Kepastian Hukum tersebut adalah bahwa dalam banyak keadaan, asas kepastian hukum menghalangi badan pemerintahan untuk menarik kembali suatu keputusan atau mengubahnya untuk kerugian yang berkepentingan. Dengan kata lain, asas ini menghendaki dihormatinya hak yang telah diperoleh seseorang berdasarkan suatu keputusan pemerintah. Jadi demi kepastian hukum, setiap keputusan yang telah dikeluarkan pemerintah tidak untuk dicabut kembali sampai dibuktikan sebaliknya dalam proses pengadilan;
  1. Bahwa adapaun asas Het Vermoden van Rechtmatigheid atau asas Presumtio Justea Causa atau Asas Praduga Rechmatig, maksudnya adalah bahwa demi kepastian hukum, setiap keputusan tata usaha Negara yang dikeluarkan harus dianggap benar menurut hukum, karenanya dapat dilaksanakan lebih dulu selama belum dibuktikan sebaliknya dan dinyatakan oleh hakim administrasi sebagai keputusan yang bersifat melawan hukum. Asas ini membawa konsekuensi bahwa setiap ketetapan yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak untuk dicabut kembali, kecuali setelah ada pembatalan (vernietiging) dari pengadilan. sedangkan terhadap perkara aquo belum pernah ada proses peradilan sebelumnya apalagi berupa pembatalan;
  1. Bahwa selain itu Surat Tergugat I Nomor : K.26-30/V.156-3/51 tanggal 26 September 2013 perihal Hasil Audit Tujuan Tertentu (ATT) Tenaga Honorer Kategori I, dan Surat Tergugat II yaitu surat Nomor: K.26-30/V.156-3/51 tanggal 26 September 2013 perihal Hasil Audit Tujuan Tertentu (ATT) Tenaga Honorer Kategori I beserta lampirannya telah melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik, yaitu karena dalam surat-surat tersebut sama sekali tidak disebutkan alasan pembatalan Para Penggugat yang telah Memenuhi Kriteria manjadi Tidak Memenuhi Kriteria, serta kesalahan serius dari lampiran surat Tergugat II, yang dalam isi suratnya terdapat tiga lampiran, yaitu lampiran I : berisi daftar nama-nama yang Memenuhi Kriteria sebanyak 8 oangt, Lampiran II : berisi daftar nama-nama yang Tidak Memenuhi Kriteria sebanyak 1.326 orang, dan Lampiran III : berisi daftar nama-nama yang tidak memenuhi kriteria karena meninggal dunia sebanyak 3 orang. Tetapi faktanya lampiran surat tersebut hanya ada dua lampiran, yaitu : lapiran I berisi daftar nama-nama yang tidak memenuhi kriteria sebanyak 1.326 orang (padahal seharusnya berisi nama-nama yang Memenuhi Kriteria), dan lampiran II berisi daftar nama-nama yang tidak memenuhi ketentuan karena meninggal dunia sebanyak 3 orang (padahal seharusnya berisi daftar nama-nama yang Tidak Memenuhi Kriteria sebanyak 1.326);
  1. Bahwa selain itu, semua obyek sengketa tidak pernah diumumkan dan diberikan kepada Para Penggugat selaku pihak yang berkepentingan secara langsung, baik melaui pengumuman di website resmi Tergugat I dan Tergugat II, atau pemberitahuan tertulis melalui Pemkab/BKD Bangkalan. Padahal dalam penetapan Tenaga Honorer sebagai Kategori I yang berhak diangkat menjadi CPNS pada tahun 2012, Tergugat II mengumumkan secara resmi dalam websitenya, www.bkn.go.id, serta pemberitahuan secara tertulis melalui pengumuman di Pemkab/BKD kabupaten Bangkalan. Dengan demikian tindakan Tergugat I dan Tergugat II tersebut telah melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik, yaitu asas keterbukaan/transparansi;
  1. Bahwa berdasarkan uraian diatas, sudah jelas dan tegas secara hukum bahwa keputusan Tergugat I dan Tergugat II yang telah menerbitkan obyek sengketa adalah perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan asas-asas umum pemerintahan yang baik, sehingga sudah seharusnya untuk dibatalkan dan dinyatakan tidak sah ;
  1. Bahwa karena ketiga obyek sengketa tersebut diatas telah terbukti secara sah telah melanggar serta bertentangan dengan perturan perundang-undangan serta asas-asas umum pemerintahan yang baik, maka tidak ada halangan bagi Para Penggugat serta pegawai THL Pemerintah Kabupaten Bangkalan berjumlah 1323 (seribu tigaratus dua puluh tiga) orang lainnya yang telah dinyatakan sebagai Tenaga Honorer Pemerintah Kabupaten Bangkalan Kategori I yang Tidak Memenuhi Kriteria (TMK) berdasarkan terbitnya Obyek sengketa, untuk mendapatkan rehabilitasi berupa dikembalikannya status, kedudukan, harkat dan martabatnya semula sebagai Tenaga Honorer Kategori I Pemerintah Kabupaten Bangkalan yang Memenuhi Ketentuan (MK) dan selanjutnya diangkat sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Pemerintah Kabupaten Bangkalan;
  1. Bahwa selanjutnya Tergugat I dan Tergugat II wajib untuk menerbitkan Surat Keputusan yang berisi tentang rehabilitasi kepada Para Penggugat serta pegawai THL berjumlah 1323 (seribu tigaratus dua puluh tiga) orang lainnya, yang telah telah dinyatakan sebagai Tenaga Honorer Pemerintah Kabupaten Bangkalan Kategori I yang Tidak Memenuhi Kriteria (TMK) ke dalam status, kedudukan, harkat dan martabatnya semula sebagai Tenaga Honorer Kategori I yang Memenuhi Ketentuan (MK) untuk selanjutnya diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Pemerintah Kabupaten Bangkalan.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka Para Penggugat mohon kepada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta agar memutuskan sebagai berikut :

  1. Mengabulkan gugatan Para Penggugat untuk seluruhnya;
  1. Menyatakan Batal atau Tidak Sah :

–      Surat Keputusan Menteri PAN dan RB Nomor 31 Tahun 2013, tanggal 1 Maret 2013 tentang Pembentukan Tim Audit Tujuan Tertentu Dugaan Penyimpangan Proses Penentuan Tenaga Honorer Kategori I Yang Dapat Diangkat Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil;

–      Surat Menteri PAN dan RB Nomor B-2838/M.PAN-RB/09/2013, tanggal 10 September 2013 tentang Laporan Hasil Audit Tujuan Tertentu dan Laporan Hasil Evaluasi Usulan Tenaga Honorer Kabupaten Raja Ampat; dan

–      Surat Kepala BKN beserta lampirannya, No. K.26-30/V.156-3/51, tanggal 26 September 2013, perihal : Hasil Audit Tujuan Tertentu (ATT) Tenaga Honorer Kategori I.

  1. Memerintahkan Para Tergugat untuk mencabut :

–      Surat Keputusan Menteri PAN dan RB Nomor 31 Tahun 2013, tanggal 1 Maret 2013 tentang Pembentukan Tim Audit Tujuan Tertentu Dugaan Penyimpangan Proses Penentuan Tenaga Honorer Kategori I Yang Dapat Diangkat Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil;

–      Surat Menteri PAN dan RB Nomor B-2838/M.PAN-RB/09/2013, tanggal 10 September 2013 tentang Laporan Hasil Audit Tujuan Tertentu dan Laporan Hasil Evaluasi Usulan Tenaga Honorer Kabupaten Raja Ampat; dan

–      Surat Kepala BKN beserta lampirannya, No. K.26-30/V.156-3/51, tanggal 26 September 2013, perihal : Hasil Audit Tujuan Tertentu (ATT) Tenaga Honorer Kategori I.

  1. Memerintahkan kepada Tergugat I dan II untuk menerbitkan Surat Keputusan yang berisi tentang rehabilitasi Para Penggugat kedalam status, kedudukan, harkat dan martabatnya semula sebagai Tenaga Honorer Kategori I Yang Memenuhi Kriteria (MK) untuk selanjutnya diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Pemerintah Kabupaten Bangkalan.
  1. Menghukum Tergugat I dan II untuk membayar biaya perkara ini.

Atau apabila Pengadilan dalam perkara ini berpendapat lain, Mohon Putusan yang seadil-adilnya.

Hormat Kami

Kuasa Hukum Para Penggugat,

Continue Reading

DISPARITAS MAKNA “DIAM” PEJABAT PEMERINTAHAN

DISPARITAS MAKNA “DIAM” PEJABAT PEMERINTAHAN

Opini pada Gresnews.com pada tanggal 8 Desember 29 2016

Pada suatu hari saat bersantai di teras rumah, saya ditanya oleh seorang tetangga didepan rumah saya, dia bertanya “Pak apabila saya memohon suatu Keputusan atas suatu hal kepada Pejabat Pemerintahan, akan tetapi sampai dengan 40 hari sejak dimohonkan belum ada respon oleh Pejabat Pemerintahan yang bersangkutan, apa yang harus saya lakukan”. Sepintas pertanyaan itu agak mudah untuk saya jawab, karna saya ingat betul dalam hukum administrasi dikenal dengan ajaran “Fiktif Negatif” yang berarti apabila Pejabat Pemerintahan diam atau  tidak mengeluarkan keputusan yang dimohonkan oleh subjek hukum, maka hal yang demikian sama halnya dengan Pejabat Pemerintahan tersebut dianggap telah menolak untuk mengeluarkan keputusan atau telah dianggap mengeluarkan keputusan penolakan atas pemohonan yang diajukan oleh pemohon, hal yang demikian diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Terhadap Keputusan Fiktif Negatif tersebut, berdasar Yurisprudensi MA melalui Putusan No. 95/K/TUN/2000 tanggal putusan 11 mei 2001, maka pemohon dapat dapat mengajukan Gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara terhadap keputusan penolakan (keputusan fiktif negatif) yang dilakukan oleh Tergugat adalah 90 hari dihitung setelah lewatnya batas waktu 4 bulan yang dihitung sejak tanggal diterimanya permohonan keberatan dari Penggugat.

Namun hal itu berbeda apabila kita memahami secara seksama melalui Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, dimana juga mengatur secara tentang makna sikap diam pejabat Pemerintahan. Yang mana makna tersebut sangatlah jauh berseberangan dengan makna diam pejabat pemerintahan sebagaimana tertuang Pasal 3 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Makna Diam Pejabat Pemerintahan dalam Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan mengandung makna apabila subjek hukum melakukan permohonan, akan tetapi Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan, maka permohonan tersebut  dianggap dikabulkan secara hukum. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan menganut ajaran “Fiktif Positif”, yang berarti apabila Pejabat Pemerintahan diam atau  tidak mengeluarkan keputusan yang dimohonkan oleh subjek hukum, maka hal yang demikian sama halnya dengan Pejabat Pemerintahan tersebut dianggap telah menyetujui untuk mengeluarkan keputusan. Terhadap Objek Fiktif Positif tersebut, menurut Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara Untuk Memperoleh Putusan atas Penerimaan Permohonan Guna Mendapatkan Keputusan dan/atau Tindakan Badan atau Pejabat Pemerintahan, juga dapat diajukan permohonan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan, dan pengadilan tata usaha negara wajib memutus atas permohonan tersebut paling lama 21 (dua puluh satu hari) sejak permohonan diajukan, serta pejabat pemerintahan wajib melaksanakan Putusan Pengadilan paling lama 5 (hari) sejak putusan pengadilan ditetapkan.

Perbedaan-perbedaan itulah tentu membuat bingung masyarakat, apakah memang dalam penentuan diamnya pejabat pemerintahan menganut ajaran  “Fiktif Negatif” sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, ataukah menganut ajaran “Fiktif Positif” sebagaimana diatur dalam Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Hal ini menjadi sangat penting sekali, mengingat kewajiban untuk menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau tindakan merupakan bagian dari tujuan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan yakni salah satunya adalah memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat. Dampak yang timbul atas disharmonisasi norma antara ajaran  “Fiktif Negatif” sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dengan ajaran “Fiktif Positif” sebagaimana diatur dalam Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan adalah menimbulkan ketidak pastian hukum bagi masyarakat dalam upaya mendapatkan hak pelayanan dari dan oleh Pejabat Pemerintahan.

Secara ilmu perundang-undangan dapat saja menggunakan asas  Lex specialis derogat legi generali adalah asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis) atau asas hukum Lex Posterior Derogat Legi Priori yaitu pada peraturan yang sederajat, peraturan yang paling baru melumpuhkan peraturan yang lama. Akan tetapi hal tersebut tidak cukup, mengingat dari kedua pengaturan makna diam pejabat Pemerintahan baik dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara maupun Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan akan dijadikan dasar yang paling menguntungkan bagi pejabat pemerintahan untuk tidak melaksanakan kewajibannya untuk menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau tindakan yang semestinya menjadi kewajibannya atas dasar disharmonisasi norma hukum yang terjadi atas Pasal 3 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dengan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Untuk itu diperlukan harmonisasi norma hukum dan konsistensi hukum dalam upaya pengaturan makna diam Pejabat Pemerintahan, sehingga kepastian hukum masyarakat dalam upaya memperoleh pelayanan yang baik oleh dan dari Pejabat Pemerintahan dapat tercapai secara optimal, sebagaimana tujuan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan. Meskipun menurut hemat saya memang idealnya Indonesia mengarah dan menggunakan secara konsisten ajaran “Fiktif Positif” agar pejabat pemerintahan dalam menjalankan tugas, fungsi dan kedudukannya cenderung tidak sewenang-wenang dan dapat merespon dengan cepat permohonan yang dimohonkan oleh subjek hukum apakah dikabul atau sebaliknya ditolak, sehingga akan tercipta kepastian bagi pemohon pelayanan, yang pada akhirnya penyelenggaraan tujuan Pemerintahan yang baik (Good Governance) dapat tercapai dengan maksimal.

Link :  Disparitas Makna “Diam” Pejabat Pemerintahan

Continue Reading

CONTOH PERMOHONAN UJI MATERI DI MAHKAMAH AGUNG (UJI MATERI PERATURAN DIBAWAH UU TERHADAP UU)

Jakarta,  … Februari   2016

Nomor                        :   …………………………..

Perihal                       :  Permohonan Pengujian Peraturan Kementerian

  Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia

  Nomor 2 /Permen KP/2015 tentang Larangan

  Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela

  (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah

   Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia

   TERHADAP Undang-Undang Republik Indonesia

   Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

Lampiran                    : ………………….

 

Kepada Yth.

Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia

Di

Jakarta

Dengan Hormat,

Perkenankanlah kami :

  1. (can) SAIFUL ANAM, SH., MH. adalah Advocate & Legal Consultant pada “SAIFUL ANAM & PARTNERS” yang beralamat di Jl. HR. Rasuna Said, Kawasan Epicentrum Utama, Mall Epicentrum Walk, Office Suites A529, Kuningan – Jakarta Selatan 12940, HP. 08128577799, Website : www.saplaw.top Email : saifulanam@lawyer.com, berdasarkan surat kuasa khusus Nomor ……………… tertanggal ….. Februari 2016, dalam hal ini bertindak bersama-sama ataupun sendiri-sendiri untuk dan atas nama:
  1. …………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………

Untuk selanjutnya disebut sebagai —————————– Pemohon I

  1. ………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………

Untuk selanjutnya disebut sebagai —————————– Pemohon II

  1. ………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………

Untuk selanjutnya disebut sebagai —————————- Pemohon III

Untuk selanjutnya secara keseluruhan Pemohon tersebut disebut sebagai PARA PEMOHON

Dengan ini Para Pemohon memohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Agung untuk melakukan Pengujian Peraturan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 2/Permen KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia Terhadap Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan;

Bahwa selanjutnya perkenankanlah kami mengemukakan dalil-dalil diajukannya  permohonan pengujian Peraturan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 2/Permen KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia Terhadap Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, yakni sebagai berikut :

  1. PENDAHULUAN

Pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya perikanan pada dasarnya memiliki tujuan untuk meningkatkan kesejahtreraan seluruh masyarakat.  Oleh karena itu kelestarian sumber daya harus dipertahankan sebagai landasaan utama untuk mencapai kesejahteraan tersebut. Dalam konteks otonomi daerah Pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya perikanan diharapkan juga mampu memberikan kontribusi terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah dan pendapatan asli daerah (PAD) sehingga mampu mewujudkan kemandirian dan keadilan ekonomi.  Berkembangnya kemandirian dan keadilan ekonomi di daerah merupakan perwujudan demokrasi ekonomi.  Hal ini akan tercermin pada pemerataan alokasi dan distribusi sumber daya ikan secara efisien dan berkelanjutan kepada masyarakat tanpa memprioritaskan suatu kelompok masyarakat dengan memarginalkan kelompok lainnya. Untuk mendukung hal ini, pemerintah diharapkan mampu memperbaiki aspek kelembagaan. Misalkan, penetapan kebijakan publik, insentif, disinsentif, peraturan yang kondusif bagi pengembangan kegiatan ekonomi perikanan di daerah yang berbasis pada keterlibatan masyarakat setempat dalam pemanfaatan sumber daya alam lokal.

Pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya perikanan akan dapat berjalan dengan baik jika melibatkan partisipasi semua pihak yang terkait, yaitu pemerintah daerah, kalangan dunia usaha, serta masyarakat nelayan kecil didaerah. Adanya partisipasi seluruh pemangku kepentingan akan mewujudkan rasa memiliki dan tanggung jawab untuk bersama-sama menjaga kelestarian sumber daya perikanan tersebut.  Dengan demikian, aspek pengelolaan, pemanfaatan, pengawasan, dan kelestarian menjadi tanggungjawab bersama dari semua komponen masyarakat. Pengelolaan dan pemanfatan sumber daya perikanan harus memperhatikan juga aspek akuntabilitas dan transparansi dalam pelaksanaannya.  Arti prinsip akuntabilitas adalah segala kebijakan dan pengaturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan harus dapat dipertanggungjawabkan kepada publik sehingga masyarakat dapat memberikan penilaian dan evaluasi.  Adapun prinsip transparansi adalah segala keputusan politik, kebijakan publik dan peraturan yang dibuat Pemerintah dan Pemerintah Daerah, diketahui dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam seluruh lapisan masyarakat dilapangan, khususnya yang berkaitan dengan distribusi dan alokasi pemanfaatan sumber daya perikanan.  Hal ini penting agar terwujud pemerintahan yang bersih, bebas kolusi, korupsi dan nepotisme, serta mendapatkan dukungan dari masyarakat luas dalam pelaksanaan otonomi daerah di wilayah laut.

Dalam pelaksanaanya di Indonesia, pemerintah mempunyai peranan yang sangat penting untuk mengelola sumberdaya ikan, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 (Pasal 33) maupun Undang-Undang Perikanan No. 31 tahun 2004, yang intinya memberikan mandat kepada Pemerintah didalam mengelola sumberdaya perikanan untuk kesejahteraan rakyat. Keterlibatan pemerintah didalam pengelolaan sumberdaya ikan ini, menurut (Nikijuluw, 2002) diwujudkan dalam 3 (tiga fungsi), yaitu :

  1. Fungsi Alokasi, yang dijalankan melalui regulasi untuk membagi sumberdaya sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.
  2. Fungsi Distribusi, dijalankan oleh pemerintah agar terwujud keadilan dan kewajaran sesuai pengorbanan dan biaya yang dipikul oleh setiap orang, disamping adanya keberpihakan pemerintah kepada mereka yang tersisih atau yang lemah.
  3. Fungsi Stabilisasi, ditujukan agar kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan tidak berpotensi menimbulkan instabilitas yang dapat merusak dan menghancurkan tatanan social ekonomi masyarakat.

Dalam menjalankan fungsi-fungsi diatas, maka kiranya pemerintah perlu mempertimbangkan cara pandang teleologik sebagaimana diungkapkan oleh Hull dalam Nasoetion (1999), yaitu dengan selalu melihat tujuan atau akibat dari suatu tindakan. Dengan demikian, dalam etika teleologi suatu tindakan dinilai baik apabila tindakan tersebut mempunyai tujuan baik dan mendatangkan akibat yang baik pula (Keraf, 2002). Etika teleology sendiri dikelompokkan menjadi 2 (dua), dimana salah satunya adalah utilitarianisme yang banyak dipergunakan sebagai pegangan didalam menilai sebuah kebijakan yang bersifat public. Selanjutnya (Keraf, 2002) juga mengemukakan terdapat 3 (tiga) kriteria yang dipergunakan dalam teori utilitarianisme sebagai dasar tujuannya, yaitu :

  1. Manfaat, yaitu kebijakan atau tindakan itu mendatangkan manfaat tertentu.
  2. Manfaat terbesar, yaitu kebijakan atau tindakan tersebut mendatangkan manfaat lebih besar atau terbesar bila dibandingkan dengan kebijakan atau tindakan alternatif lain. Dalam kaitan ini, apabila semua alternatif yang ada ternyata sama-sama mendatangkan kerugian, maka tindakan atau kebijakan yang baik adalah yang mendatangkan kerugian terkecil.
  3. Manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang, artinya suatu kebijakan atau tindakan dinilai baik apabila manfaat terbesar yang dihasilkan berguna bagi banyak orang. Semakin banyak orang yang menikmati akibat baik tadi, maka semakin baik kebijakan atau tindakan tersebut.

Di Indonesia pada dasarnya pengelolaan perikanan lebih berkaitan dengan masalah manusia (people problem) dari pada masalah sumberdaya (resources problem). Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa lebih dari 60% produksi perikanan Indonesia dihasilkan oleh perikanan skala kecil, yang banyak menyerap tenaga kerja yang dikenal dengan nelayan kecil. Kaiser dan Forsberg (2001) memberikan beberapa hal yang harus diperhatikan didalam pengelolaan perikanan, yaitu :

  1. Jumlah stakeholder perikanan adalah banyak
  2. Kebijakan pengelolaan harus dapat diterima oleh semua masyarakat
  3. Hormati sebanyak mungkin nilai-nilai yang berkembang di masyarakat
  4. Kebijakan harus mempertimbangkan aspek social, politik dan ekonomi

Cara pandang pengelolaan sumberdaya perikanan seperti ini pada hakekatnya telah dipahami oleh sebagian besar masyarakat perikanan Indonesia. Hanya saja, pada saat ini sebagian besar daerah di Indonesia pengelolaan sumberdaya perikanan lautnya masih berbasis pada campur tangan pemerintah pusat (Government Based Management). Apabila dihubungkan Peraturan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 2/Permen KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia, maka kebijakan tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) tidak sesuai dengan nilai-nilai dan perkembangan masyarakat yang terjadi sesungguhnya dilapangan, mengingat dalam kenyataannya masyarakat sangat berkeberatan dengan adanya pelarangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) seperti dalam Peraturan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 2/Permen KP/2015 tersebut. Sehingga konsep sumberdaya perikanan yang dimaknai sebagai kekayaan alam milik bersama (common property) dan siapapun boleh memanfaatkannya (open access) belum tercapai. Yang apabila dipahami secara utuh, paradigma ini menginginkan dipahaminya pengelolaan sumberdaya perikanan yang bersifat tidak terbatas, sehingga fungsi sumber daya perikanan sebagai tujuan untuk peningkatan taraf hidup masyarakat nelayan kecil dapat diimplementasikan dengan baik sesuai dengan asas pengelolaan perikanan yang berdasarkan pada asas kemanfaatan, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, efisiensi dan kelestarian yang berkelanjutan sesuai dengan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.

  1. KEWENANGAN MAHKAMAH AGUNG
  2. Perubahan UUD NRI 1945 telah menciptakan sebuah kewenangan baru bagi Mahkamah Agung yang berfungsi untuk menguji peraturan perundang-undangan dibawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang, sebagaimana tertuang dalam Pasal 24A Undang-Undang Dasar Negara RI 1945, yang diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Selain itu juga diatur lebih lanjut melalui Undang-Undang nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
  1. Bahwa salah satu kewenangan yang dimiliki oleh MA adalah menguji peraturan perundang-undangan dibawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang sebagaimana diatur dalam Pasal 24A Ayat (1) UUD NRI 1945 yang berbunyi:

Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat Kasasi, menguji peraturan perundang-undangan dibawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang…

  1. Selanjutnya, Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung menyatakan:

“ (1) Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji peraturan perundang-undangan dibawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang.

  (2) Mahkamah Agung menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan dibawah Undang-Undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku…”

Pasal 20 ayat (2) huruf b Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, menyatakan:

“(2) Mahkamah Agung berwenang :

  1. menguji peraturan perundang-undangan dibawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang; dan…”
  1. Bahwa ketentuan Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyatakan “Dalam hal suatu Peraturan Perundang-undangan dibawah Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung”;
  2. Berdasarkan uraian angka 1 sampai 4  di atas, maka tidak ada keraguan sedikitpun bagi para Pemohon  menyimpulkan, bahwa Mahkamah Agung berwenang untuk mengadili permohonan pengujian Peraturan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 2/Permen KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia Terhadap Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final.
  1. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING)
  1. Bahwa Pasal 31A ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung mengatakan bahwa :

“(1) Permohonan pengujian peraturang perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang diajukan langsung oleh pemohon atau kuasanya kepada Mahkamah Agung dan dibuat secara tertulis dalam Bahasa Indonesia

 (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh pihak yang menganggap haknya dirugikan oleh berlakunya peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang, yaitu :

  1. Perorangan Warga Negara Indonesia
  2. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; atau
  3. badan hukum publik atau badan hukum privat
  1. Bahwa sebagai perorangan warganegara Republik Indonesia, Pemohon mempunyai hak-hak konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945, baik yang bersifat tidak langsung seperti hak untuk tidak diperlakukan sewenang-wenang sebagai konsekuensi dari pernyataan bahwa Negara Republik Indonesia adalah sebuah “negara hukum” sebagaimana  normanya diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, maupun hak-hak konstitusional yang bersifat langsung yang normanya dirumuskan dalam Bab XA yang diberi judul “HAK ASASI MANUSIA”,  dan secara spesifik dirumuskan dalam Pasal 28D ayat (1) yang bunyinya “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum” dan Pasal 28E ayat (1), khususnya frasa yang mengatakan “setiap orang bebas…memilih tempat tinggal di wilayah  negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali”.
  1. Bahwa para Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia yang  berprofesi sebagai Nelayan Kecil ……………………….   yang mempunyai kepentingan hukum dalam permohonan ini karena para Pemohon menganggap hak Pemohon dirugikan oleh berlakunya Peraturan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 2/Permen KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia;
  2. Bahwa dengan berlakunya Peraturan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 2/Permen KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia telah menimbulkan kerugian bagi para pemohon, dimana para pemohon tidak lagi dapat menjalankan aktifitas mencari ikan sebagai mata pencaharian sehari-hari dengan dibatasinya hak Para pemohon dengan adanya Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.
  3. Bahwa Pemohon sangat dirugikan dengan pemberlakukan Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia, mengingat selama ini yang Pemohon lakukan dengan melakukan penangkapan ikan menggunakan alat-alat yang sangat sederhana, sehingga hasilnyapun juga hanya untuk dapat menghidupi keluarga masyarakat kecil nelayan, bukan untuk mendapatkan keuntungan yang besar sehingga dapat mensejahterakan masyarakat nelayan kecil di lapangan.
  4. Bahwa dengan diberlakukan Peraturan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 2/Permen KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia, maka sebagian besar masyarakat kecil nelayan yang selama ini menggantungkan diri hidupnya dari hasil nelayan, terancam akan kehilangan mata pencahariannya, sehingga dapat mengganggu kelangsungan kehidupan masyarakat nelayan yang selama ini telah hidup dibawah standart layak, apalagi dengan adanya pembatasan-pembatasan penggunaan alat tangkap dengan tanpa mempertimbangkan aspek daya guna dan aspirasi masyarakat kecil nelayan dilapangan.
  5. Bahwa apabila Pemerintah tetap akan memberlakukan Peraturan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 2/Permen KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia, maka akan mengakibatkan jumlah pengangguran akan bertambah, mengingat mata pencaharian masyarakat kecil perikanan bertumpu pada hasil laut serta menjadi tulang punggung keluarga untuk dapat hidup dan menghidupi seluruh sanak keluarga masyarakat nelayan di lapangan.
  6. Bahwa berdasarkan uraian di atas, kedudukan hukum dan kepentingan hukum atau legal standing Para Pemohon di dalam permohonan pengujian Peraturan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 2/Permen KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia terhadap Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan adalah sudah sesuai dengan ketentuan Pasal 31A Undang-Undang Nomor 3 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung;
  1. ALASAN PERMOHONAN PENGUJIAN

Ø PENGUJIAN FORMIL

  1. Bahwa dalam pembentukan suatu peraturan perundang-undangan, selain harus memenuhi syarat materiil juga harus memenuhi syarat formil. Secara umum konsepsi pengujian secara formil (formele toetsing) dapat dimaknai sebagai sejauh mana peraturan perundang-undangan tersebut ditetapkan dalam bentuk yang tepat (appropriate form), oleh institusi yang tepat (appropriate institution), dan menurut prosedur yang tepat (approtiate prosedure). Dengan demikian sebuah produk peraturan perundang-undangan wajib dengan bentuk yang tepat, institusi yang tepat dan prosedur yang tepat.
  2. Bahwa sesuai Pasal 31A ayat (3) huruf b Undang-Undang Nomor 3 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung menyatakan:
  3. Uraian mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan dan menguraikan dengan jelas bahwa :
  4. materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; dan/atau
  5. pembentukan peraturan perundang-undangan tidak memenuhi ketentuan yang berlaku; dan
  6.     hal-hal yang diminta untuk diputus

Bahwa berdasar pada Pasal 31A ayat (3) huruf b Undang-Undang Nomor 3 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung diatas, maka pengujian secara formil juga diakui dan menjadi bagian dari objek kewenangan pengujian oleh Mahkamah Agung RI

  1. Bahwa selain itu dalam Asas-asas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik salah satunya harus sesuai dengan asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat. Hal itu sebagaimana tertuang dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Yang dimaksud dengan asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-Undangan harus dibuat oleh lembaga Negara atau pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang. Apabila terdapat peraturan perundang-undangan yang dalam pembentukannya tidak sesuai dengan lembaga atau pejabat pembentuk yang tepat, maka peraturan perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat oleh lembaga Negara atau pejabat yang tidak berwenang.
  2. Bahwa apabila dihubungkan dengan Peraturan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 2/Permen KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia, maka bertentangan dengan Pasal 8 ayat (6) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang menyatakan :

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat/dan atau cara, dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), diatur oleh Peraturan Pemerintah.

Berdasarkan Pasal 8 ayat (6) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan diatas, maka tidak tepat Kementerian Kelautan dan Perikanan mengatur tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) melalui norma hukum berupa Peraturan Kementerian Kelautan dan Perikanan, akan tetapi sesuai dengan perintah Pasal 8 ayat (6) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, sesungguhnya pengaturan mengenai Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan harus diatur melalui norma hukum berupa Peraturan Pemerintah. Sehingga dengan demikian secara formil Peraturan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 2/Permen KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia dapat dikatakan cacat Formil dikarenakan dikeluarkan melalui institusi yang tidak tepat (appropriate institution), sehingga Peraturan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 2/Permen KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia dapat dibatalkan.

  1. Bahwa selain itu sesuai dengan asas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, maka juga harus sesuai dengan asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan dalam peraturan perundang-undangan. Seperti diketahui bersama Peraturan Pemerintah merupakan Peraturan Perundang-Undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang-Undang dengan sebagaimana mestinya. Dengan demikian jelas bahwa Kementerian Kelautan dan Perikanan tidak berhak secara yuridis mengeluarkan produk hukum berupa Peraturan Kementerian Kelautan dan Perikanan tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan.
  2. Bahwa berdasarkan argumentasi hukum diatas, maka cukup alasan bagi Majelis Hakim dalam memeriksa dan memutus Permohonan Pengujian Peraturan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 2/Permen KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia secara formil tidak sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan jo Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Ø PENGUJIAN MATERIIL

  1. Bahwa pada hakekatnya tujuan dan fungsi Negara Republik Indonesia adalah menghendaki kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. Fungsi ini sangat penting, hal ini tercermin dalam usaha pemerintah untuk membangun kehidupan bangsa dan negara. Setiap negara, termasuk Indonesia mencoba untuk melaksanakan dan mempertinggi taraf hidup rakyatnya, memperluas taraf ekonomi dan kehidupan masyarakat. Selain menjaga ketertiban pemerintah juga mengusahakan agar setiap anggota masyarakat dapat menikmati kemakmuran secara adil dan merata. Tak terkecuali dalam setiap kebijakan yang diambil oleh Pemerintah harus mampu dan mempertimbangkan aspek tujuan bernegara, yakni mengupayakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
  2. Bahwa sesuai dengan asas pengelolaan perikanan sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan adalah dilakukan berdasarkan asas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, efisiensi dan kelestarian yang berkelanjutan. Makna asas manfaat adalah asas yang menunjukkan bahwa pengelolaan perikanan harus mampu memberikan keuntungan dan manfaat yang sebesar-besarnya bagi peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Sedangkan asas keadilan bahwa pengelolaan perikanan harus mampu memberikan peluan dan kesempatan yang sama secara proporsional bagi seluruh warga tanpa kecuali. Asas kemitraan berarti Pengelolaan perikanan dilakukan dengan mengggunakan jaringan pelaku usaha dan sumber daya yang ada dengan menonjolkan aspek kesetaraan dalam melakukan usaha. Yang dimaksud dengan asas pemerataan adalah pengelolaan perikanan dilakukan secara seimbang dan merata, dengan memperhatikan nelayan kecil dan pembudi daya ikan kecil. Untuk asas keterpaduan dikehendaki, bahwa pengelolaan perikanan dilakukan secara terpadu dari hulu sampai hilir dalam upaya meningkatkan efesiensi dan produktivitas. Asas efesiensi, mengkhendaki bahwa pengelolaan perikanan dilakukan dengan tepat, cermat dan berdaya guna untuk memperoleh hasil yang maksimal. Mengenai masalah efesiensi dalam pengelolaan perikanan sebenarnya sudah tercakup di dalam asas keterpaduan diatas, karena keterpaduan tidak dapat dilepaskan dari efesiensi. Sedangkan Asas kelestarian menginginkan bahwa pengelolaan perikanan dilakukan seoptimal mungkin dengan tetap memperhatikan aspek kelestarian sumber daya alam. Bahwa selain terdapat asas pengelolaan perikanan, juga terdapat tujuan pengelolaan perikanan, utamanya berdasarkan pada Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan adalah untuk meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil.
  3. Bahwa berdasar pada asas dan tujuan pengelolaan perikanan sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, maka sesungguhnya pengelolaan perikanan merupakan penjewantahan dari nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, dimana posisi Negara mengutamakan kepentingan rakyatnya diatas kepentingan kelompok atau golongan. Hal itu dapat dibuktikan dengan adanya kesesuaian tujuan Pengusaan sumber daya dalam oleh Negara yakni dengan mendayagunakan hasil perikanan untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat, dalam hal ini masyarakat nelayan kecil. Untuk itu secara filosofis nilai-nilai yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan telah sejalan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, sehingga harus didukung dan dipertahankan keberadaannya. Berbeda dengan Peraturan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 2/Permen KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia yang cenderung tidak sejalan dengan asas dan tujuan pengelolaan perikanan sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dimana menjauhkan posisi rakyat (masyarakat nelayan) sebagai bagian terpenting guna mencapai hakekat tujuan Negara. Untuk itu terdapat disparitas dan pertentangan antara asas dan tujuan pengelolaan perikanan sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dengan Peraturan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 2/Permen KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.
  4. Bahwa dengan adanya Peraturan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 2/Permen KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia, maka akan mengganggu tingkat perekonomian masyarakat mikro utamanya masyarakat nelayan kecil, yang selama ini hidup dari sector perikanan, sehingga apabila dipaksakan terhadap pemberlakuan Peraturan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 2/Permen KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia, maka akan berimbas pada hilangnya beribu-ribu mata pencaharian masyarakat nelayan kecil.
  5. Bahwa apabila dipahami secara seksama dan telah diakui oleh Pemerintah bahwa potensi hilang dan rusaknya sumber daya hayati laut dan perikanan sebenarnya lebih besar volumenya disebabkan oleh adanya illegal fishing yang banyak dilakukan oleh kalangan pemilik modal atau oleh pencuri-pencuri ikan yang berasal dari luar daerah territorial Indonesia, untuk itu kebijakan dengan mengeluarkan Peraturan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 2/Permen KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia dirasa kurang tepat, mengingat nilai kemanfaatannya lebih kecil daripada akibat yang akan diderita oleh masyarakat nelayan kecil.
  6. Bahwa secara sosiologis, Pemerintah dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan tidak pernah melakukan audit dan terjun langsung ke lapangan terkait dengan alat yang digunakan oleh nelayan kecil. Dalam kenyataannya nelayan dalam upaya melakukan penangkapan ikan tidak pernah menggunakan alat-alat secanggih seperti yang dimaksud dalam Peraturan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 2/Permen KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia, akan tetapi dengan kreatifitas nelayan kecil memodifikasi alat-alat sederhana sehingga memungkinkan untuk membantu dalam melakukan aktifitas penangkapan ikan. Namun melalui Peraturan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 2/Permen KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia, Kementerian kelautan dan Perikanan memperluas cakupan, jenis alat yang dimaksud Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) dengan memasukkan beberapa alat yang sebenarnya telah sejak lama digunakan oleh para nelayan kecil dalam menjalankan aktifitasnya sebagai nelayan serta tidak pernah sekalipun dapat merusak sumber daya hayati laut dan perikanan.
  7. Bahwa upaya memaksimalkan peran pemerintah dalam membantu masyarakat nelayan kecil untuk peningkatan ekonomi masyarakat nelayan, seyogyanya tidak dengan membatasi penggunaan alat penangkapan ikan seperti yang tertuang dalam Peraturan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 2/Permen KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Akan tetapi secara komprehensif melihat akar persoalan dari keseluruhan simpul permasalahan dari berbagai aspek tingkat kebutuhan masyarakat nelayan kecil, sehingga kebijakan yang diambil justeru akan memberikan kemanfaatan bagi seluruh kalangan utamanya masyarakat nelayan kecil yang hidup dan kehidupannya sangat tergantung pada sumber daya hayati laut dan perikanan.
  8. Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, maka Peraturan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 2/Permen KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia bertentangan dengan asas dan tujuan pengelolaan perikanan sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, oleh karena itu harus dibatalkan dan tidak mempunyai kekuatan   mengikat ;
  1. PETITUM

Bahwa selanjutnya  berdasarkan alasan-alasan hukum di atas, maka mohon kiranya Majelis Hakim Mahkamah Agung berkenan memutuskan :

  1. Menerima seluruh permohonan para Pemohon;
  2. Menyatakan Peraturan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 2/Permen KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan;
  3. Menyatakan Peraturan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 2/Permen KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia tidak mempunyai kekuatan   mengikat ;
  4. Menyatakan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) dapat digunakan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia;
  5. Memerintahkan untuk memuat putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;

Atau mohon putusan yang seadil-adilnya  (Ex Aquo et Bono);

Bahwa selanjutnya untuk menguatkan dalil-dalil permohonan, para Pemohon telah mengajukan barang bukti berupa naskah UU, Permen dan surat-surat  yang diberi tanda P- 1 sampai dengan P…………..  sebagaimana terlampir ;

Demikian Permohonan Kami, atas perhatian dan kerjasamanya, kami ucapkan terima kasih.

Hormat Kami

Kuasa Hukum Para Pemohon:

1. 

 

……………………………………….
2.         

             

……………………………………….
3.                      ……………………………………….
4.          ……………………………………….
5.                           ……………………………………….

Lampiran:  DAFTAR  ALAT BUKTI

No. DAFTAR ALAT BUKTI KETERANGAN
1. (P – 1)
2. (P –  2)
3. (P –  3)
4. (P –  4)
5. (P – 5 )
Continue Reading

CONTOH PROPOSAL SKRIPSI

Contoh Proposal Skripsi

KEDUDUKAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA (KPPU) DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang dan Permasalahan

Kedudukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia menimbulkan ketidakjelasan, hal itu mengingat Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)  sesuai dengan tugas dan kewenangannya berkaitan dengan kewenangan lembaga Ekskutif, Yudikatif dan juga Legislatif. Dalam hal yang demikian sebenarnya Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)  sebagai lembaga Ekskutif, Legislatif atau Yudikatif. Dalam kenyataannya Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) selain dapat membuat putusan (vonis),[1] juga sebagai pembentuk regulasi atau peraturan perundang-undangan (regeling), selain itu juga sebagai pelaksana dari peraturan-perundang-undangan yang dibentuknya sendiri yang pada akhirnya mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang bersifat (beschikking).[2]

Komisi Pengawas Persaingan Usaha, KPPU, adalah lembaga independen yang dibentuk untuk mengawasi pelaksanaan Undang-Undang tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Terlepas dari pengaruh dan kekuasaan Pemerintah serta pihak lain, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)  selain berfungsi menyusun peraturan pelaksanaan dan memeriksa berbagai pihak yang diduga melanggar UU No.5/1999 tersebut serta memberi putusan mengikat dan menjatuhkan sanksi terhadap para pelanggarnya. Untuk itu disini terdapat beberapa persoalan dimanakah letak Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)  dalam sistem ketata negaraan di Indonesia, apakah lembaga ekskutif, legislative atau yudisial.

Konsep mendasar tentang teori pemisahan kekuasaan pernah dikemukakan oleh Pemikir Inggris John Locke mengemukakan konsepnya mengenai pemisahan kekuasaan dalam bukunya Two Treaties on Civil Government.[3] Menurut Locke kekuasaan negara dibagi menjadi tiga yakni: kekuasaan legislatif (membuat peraturan undang-undang), kekuasaan eksekutif (melaksanakan undang-undang yang di dalamnya termasuk kekuasaan mengadili), dan kekuasaan federatif (kekuasaan yang meliputi segala tindakan untuk mengamankan negara).

Sedangkan Van Vollenhoven membagi fungsi kekuasaan negara menjadi empat bagian yang dikenal dengan “catur praja”, yakni:[4]

  1. Regeling (fungsi legislatif);
  2. Bestuur (fungsi eksekutif);
  3. Rechtspraak (fungsi judikatif); dan
  4. Politie (fungsi keamanan dan ketertiban negara)

Ketiga kekuasaan tersebut (eksekutif, judikatif, dan legislatif) secara ideal melakukan sinergi sehingga akan menciptakan pemerintahan yang demokratis dan equal. Akan kurang tepat ketika kita memandang konsep trias politika sebagai konsep pemisahan kekuasaan. Hal ini dapat menimbulkan penafsiran yang berbahaya ketika masing-masing cabang kekuasan merasa mandiri dan dapat berubah menjadi superioritas antar lembaga. Pada akhirnya akan menciptakan absolutisme baru di tiap lembaga.

Istilah yang digunakan dalam bahasa indonesia sebagai penerjemahan konsep trias politika adalah pemisahan kekuasaan. Namun jika kita menilik pada pelaksanaan trias politica sebagai yang dicitakan ideal oleh Montesquieu di Inggris ternyata tiap-tiap kekuasaan tidak dapat terpisah. Akan lebih tepat jika konsep ini disebut sebagai pembagian kekuasaan (distribution of power).[5] Sebab tak ada kekuasaan yang berdiri sendiri. Kekuasaan eksekutif pun memiliki kekuasaan legislatif maupun judikatif. Sebagaimana dinyatakan oleh Kelsen yang hanya melihat pelaksanaan kekuasan dalam pemerintahan hanya ada dua yakni membentuk undang-undang dan menjalankan undang. Kekuasaan yang ada tidak dipisahkan melainkan didistribusikan ke tiap-tiap cabang kekuasaan. Setiap cabang kekuasaan menjalankan tugas dan fungsi masing-masing tanpa harus menimbulkan absolutisme di tiap cabang. Seperti yang diberlakukan di Amerika, separation of power antara presiden, supreme court, dan senat.[6]

Dalam sebuah praktek ketatanegaraan tidak jarang terjadi pemusatan kekuasaan pada satu tangan, sehingga terjadi pengelolaan sistem pemerintahan yang dilakukan secara absolut atau otoriter, sebut saja misalnya seperti dalam bentuk monarki dimana kekuasaan berada ditangan seorang raja. Maka untuk menghindari hal tersebut perlu adanya pembagian/pemisahan kekuasaan, sehingga terjadi kontrol dan keseimbangan diantara lembaga pemegang kekuasaan. Konsep dasarnya adalah kekuasaan di suatu negara tidak boleh dilimpahkan pada satu struktur kekuasaan politik melainkan harus terpisah di lembaga-lembaga negara yang berbeda. Konsep ini bertujuan agar semua tugas atau kekuasaan tidak hanya dilimpahkan pada suatu kekuasaan tertinggi di suatu negara, melainkan kekuasaan tersebut dibagi lagi kedalam beberapa lembaga lembaga yang terorganisir dalam sebuah struktur pemisahan kekuasaan. Salah satu yang mendasari pemisahan kekuasaan dalam suatu negara adalah menghindari suatu pihak yang berkuasa untuk menyalahgunakan kekuasaan yang telah diberikan.

Dalam rangka menjamin bahwa masing- masing kekuasaan tidak melampaui batas kekuasaannya maka diperlukan suatu sistem checks and balances system (sistem pengawasan dan keseimbangan).[7] Dalam checks and balances system, masing-masing kekuasaan saling mengawasi dan mengontrol. Checks and balances system merupakan suatu mekanisme yang menjadi tolak ukur kemapanan konsep negara hukum dalam rangka mewujudkan demokrasi.[8] Pemikiran pentingnya pembatasan kekuasaan mendasari lahirnya konsep check and balances, karena kekuasaan yang tidak dibatasi akan selalu cenderung untuk disalah gunakan.[9] Dalam rangka pembatasan kekuasaan, maka dikembangkanlah teori pemisahan kekuasaan yang pertama kali dikenalkan oleh John Locke. Pemisahan kekuasaan dilakukan dengan memisahkan kekuasaan politik menjadi 3 bentuk, yaitu kekuasaan legislative (legislative power), kekuasaan eksekutif (executive power), dan kekuasaan federatif (federative power).[10]

Apabila kita melihat kewenangan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) maka disini tampak beberapa kerancuan mengenai lembaga Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), apakah sebagai lembaga legislative, ekskutif atau legislative. Berdasarkan itulah penulis tertarik untuk menganalisis mengenai kedudukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, mengingat masih belum jelasnya posisi dan kedudukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.

1.2  Perumusan Masalah

Berdasarkan analisis singkat diatas, maka rumusan masalah dalam skripsi ini diantaranya :

  1. Bagaimana kewenangan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) apabila dihubungkan dengan konsep pemisahan kekuasaan ?
  2. Bagaimanakah kedudukan dan hubungan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dengan lembaga ekskutif, legislatif dan yudikatif di Indonesia ?

1.3  Tujuan Penulisan dan Manfaat Penelitian

            1.3.1 Tujuan

Adapun yang menjadi tujuan dalam penulisan skripsi ini diantaranya adalah :

  1. Untuk mengetahui kewenangan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) apabila dihubungkan dengan konsep pemisahan kekuasaan.
  2. Untuk menguraikan kedudukan dan hubungan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dengan lembaga ekskutif, legislatif dan yudikatif di Indonesia.

1.3.2 Manfaat

Adapun yang menjadi manfaat dalam melakukan penulisan skripsi ini diantaranya adalah :

  1. Apabila dihubungkan dengan nilai-nilai teoritis dan kopseptual dapat menambah pengetahuan penulis dalam mempelajari ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Ilmu Hukum.
  2. Secara praksis dapat dijadikan gambaran bagi masyarakat umum dan Pemerintah dalam upaya ius constituendum merancang fungsi dan kedudukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) kedepan.

1.4  Kerangka Teoritis

Teori Pemisahan Kekuasaan

Trias Politica (pertama kali dikembangkan oleh John Locke, kemudian ‘disempurnakan’ oleh Montesquieu) dilandasi oleh pemikiran bahwa kekuasaan yang memusat padapihak tertentu akan cenderung disalahgunakan.[11] Oleh karena itu, muncul ide agar kekuasaan negara dipilah, dipisah, dan dibagikan kepada lembaga negara yang berbeda, sehingga ada mekanisme kontrol secara sistemik.  Trias Politica (pemisahan kekuasaan)[12] adalah sebuah ide bahwa sebuah pemerintahan berdaulat harus dipisahkan antara dua atau lebih kesatuan kuat yang bebas, mencegah satu orang atau kelompok mendapatkan kuasa yang terlalu banyak. Pemisahan kekuasaan merupakan suatu cara pembagian dalam tubuh pemerintahan agar tidak ada penyelahgunaan kekuasaan, antara legislatif, eksekutif dan yudikatif. Pemisahan kekuasaan juga merupakan suatu prinsip normative bahwa kekuasaan-kekuasaan itu sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama, untuk mencegah penyalahugunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Contoh negara yang menerapkan pemisahan kekuasaan ini adalah Amerika Serikat.

Trias politica adalah anggapan bahwa kekuasaan negara terdiri dari tiga macam kekuasaan yaitu :[13]

  1. kekuasaan legislative (membuat undang-undang).
  2. kekuasaan eksekutif (melaksanakan undang-undang).
  3. kekuasaan yudikatif (kekuasaan mengadili).

Trias politica memiliki prinsip normatif bahwa kekuasaan-kekuasaan ini sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Doktrin ini pertama kali dikenalkan oleh John Locke (1632-1704) dan Montesquie (1689-1755) dan ditafsirkan sebagai pemisahan kekuasaan.[14] Ada perbedaan antara mereka berdua. John Locke memasukkan kekuasaan yudikatif ke dalam kekuasaan eksekutif, sedangkan Montesquuie memandang kekuasaan pengadilan sebagai kekuasaan yang berdiri sendiri.

Dalam perkembangannya, meskipun ketiga kekuasaan ini sudah dipisah satu dengan lainnya ada kalanya diperlukan check and balance (pengawasan dan keseimbangan) diantara mereka, dimana setiap cabang kekuasaan dapat mengawasi dan mengimbangi cabang kekuasan lainnya. Trias Politica merupakan konsep pemerintahan yang kini banyak dianut diberbagai negara di aneka belahan dunia. Konsep dasarnya adalah, kekuasaan di suatu negara tidak boleh dilimpahkan pada satu struktur kekuasaan politik melainkan harus terpisah di lembaga-lembaga negara yang berbeda. Pada abad Pertengahan (kira-kira tahun 1000-1500 M), kekuasaan politik menjadi persengketaan antara Monarki (raja/ratu), pimpinan gereja, dan kaum bangsawan. Kerap kali Eropa kala itu dilanda perang saudara akibat sengketa kekuasaan antara tiga kekuatan politik ini. Sebagai koreksi atas ketidakstabilan politik ini, pada tahun 1500 M mulai muncul semangat baru di kalangan intelektual Eropa untuk mengkaji ulang filsafat politik yang bertujuan melakukan pemisahan kekuasaan.

Tokoh-tokoh seperti John Locke, Montesquieu, Rousseau, Thomas Hobbes,[15] merupakan contoh dari intelektual Eropa yang melakukan kaji ulang seputar bagaimana kekuasaan di suatu negara harus diberlakukan. Meski pemikiran mereka saling bertolak-belakang, tetapi tinjauan ulang mereka atas relasi kekuasaan negara cukup berharga untuk diperhatikan. Sejarah Trias Politica. Pada masa lalu, bumi dihuni masyrakat pemburu primitif yang biasanya mengidentifikasi diri sebagai suku. Masing-masing suku dipimpin oleh seorang kepala suku yang biasanya didasarkan atas garis keturunan ataupun kekuatan fisik atau nonfisik yang dimiliki. Kepala suku ini memutuskan seluruh perkara yang ada di suku tersebut.

Pada perkembangannya, suku-suku kemudian memiliki sebuah dewan yang diisi oleh para tetua masyarakat. Contoh dari dewan ini yang paling kentara adalah pada dewan-dewan Kota Athena (Yunani).[16] Dewan ini sudah menampakkan 3 kekuasaan Trias Politika yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Bahkan di Romawi Kuno, sudah ada perwakilan daerah yang disebut Senat, lembaga yang mewakili aspirasi daerah-daerah. Kesamaan dengan Indonesia sekarang adalah Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Namun, keberadaan kekuasaan yang terpisah, misalnya di tingkat dewan kota tersebut mengalami pasang surut. Tantangan yang terbesar kalangan intelektual Eropa untuk mengkaji ulang filsafat politik yang berupa melakukan pemisahan kekuasaan. Tokoh-tokoh seperti John Locke, Montesquieu, Rousseau, Thomas Hobbes, merupakan contoh dari intelektual Eropa yang melakukan kaji ulang seputar bagaimana kekuasaan di suatu negara/kerajaan harus diberlakukan.

  1. Pengawasan terhadapTrias Politica 

            Dalam rangka menjamin bahwa masing- masing kekuasaan tidak melampaui batas kekuasaannya maka diperlukan suatu sistem checks and balances system (sistem pengawasan dan keseimbangan). Dalam checks and balances system, masing-masing kekuasaan saling mengawasi dan mengontrol. Checks and balances system merupakan suatu mekanisme yang menjadi tolak ukur kemapanan konsep negara hukum dalam rangka mewujudkan demokrasi. Prinsip Check and Balance Upaya pengawasan dan keseimbangan antara badan-badan yang mengatur Trias Politicamemiliki prinsip-prinsip dengan berbagai macam fariasi, misalnya:[17] a) The four branches: legislatif, eksekutif, yudikatif, dan media. Di sini media di gunakan sebagai bagian kekuatan demokrasi keempat karena media memiliki kemampuan kontrol, dan memberikan informasi. b) Di Amerika Serikat, tingkat negara bagian menganut Trias Politica sedangkat tingkat negara adalah badan yudikatif. c) Di Korea Selatan, dewan lokal tidak boleh intervensid)Sementara itu, di Indonesia, Trias Politica tidak di tetapkan secara keseluruhan. Legislatif di isi dengan DPR, eksekutif di isi dengan jabatan presiden, dan yudikatif oleh mahkamah konstitusi dan mahkamah agung.

  1. Konsep Trias Politica

Konsep Trias Politika merupakan ide pokok dalam Demokrasi Barat, yang mulai berkembang di Eropa pada abad XVII dan XVIII. Trias Politika adalah anggapan bahwa kekuasaan negara terdiri dari tiga macam kekuasaan :[18] pertama, kekuasaan legislatif atau membuat undang-undang; kedua, kekuasaan eksekutif atau kekuasaan melaksanakan undang-undang; ketiga, kekuasaan yudikatif atau kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang. Trias Politica menganggap kekuasaan-kekuasaan ini sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Dengan demikian diharapkan hak-hak asasi warga negara dapat lebih terjamin. Konsep ini pertama kali diperkenalkan dibukunya yang berjudul, L’Esprit des Lois (The Spirit of Laws). Sebelumnya konsep ini telah diperkenalkan oleh John Locke. Filsuf Inggris  mengemukakan konsep tersebut dalam bukunya Two Treatises on Civil Government (1690), yang ditulisnya sebagai kritik terhadap kekuasaan absolut raja-raja Stuart di Inggris serta untuk membenarkan Revolusi Gemilang tahun 1688 (The Glorious Revolution of 1688) yang telah dimenangkan oleh Parlemen Inggris.[19]

Ide pemisahan kekuasaan tersebut, menurut Montesquieu, dimaksudkan untuk memelihara kebebasan politik, yang tidak akan terwujud kecuali bila terdapat keamanan masyarakat dalam negeri. Montesquieu menekankan bahwa seseorang akan cenderung untuk mendominasi kekuasaan dan merusak keamanan masyarakat tersebut bila kekuasaan terpusat pada tangannya. Oleh karenanya, dia berpendapat bahwa agar pemusatan kekuasaan tidak terjadi, haruslah ada pemisahan kekuasaan yang akan mencegah adanya dominasi satu kekuasaan terhadap kekuasaan lainnya Karya Montesqiueau ini hampir diterapkan diseluruh Negara didunia yang menganut Demokrasi termasuk juga Indonesia.[20] Di Negara Komunis yang hanya mempunya satu partai cenderung menjauhi konsep Trias Politica terlihat jelas bahwa bentuk pemerintahan hanya dipegang oleh kalangan partai tunggal tersebut saja, sebut saja China, Korea Utara dan Uni Soviet (masa perang dingin) adalah sejumlah Negara yang menjauhi Trias Politica tak heran jika bentuk pemerintahannya bersifat otoriterian karna tidak adanya  pembagian kekuasaan. Beda dengan Negara yang mengenakan sistim Trias Politica. Dengan adanya lembaga Legislatif, kepentingan rakyat dapat terwakili secara baik karma merupakan cermin kedaulatan rakyat. Selain itu lembaga ini juga mempunyai fungsi sebagai check and balance terhadap dua lembaga lainnya agar tidak terjadi penyelewengan kekuasaan dengan begitu jalannya pemerintahan bisa berjalan efektif dan efisien.

  1. John Locke (1632-1704)

Pemikiran John Locke mengenai Trias Politika ada di dalam Magnum Opus (karya besar) dengan judul Two Treatises of Government yang terbit tahun 1690.[21] Dalam karyanya tersebut, Locke menyebut bahwa fitrah dasar manusia adalah “bekerja (mengubah alam dengan keringat sendiri)” dan “memiliki milik (property).” Oleh sebab itu, negara yang baik harus dapat melindungi manusia yang bekerja dan juga melindungi milik setiap orang yang diperoleh berdasarkan hasil pekerjaannya tersebut.  Negara ada dengan tujuan utama melindungi milik pribadi dari serangan individu lain, demikian tujuan negara versi Locke. Untuk memenuhi tujuan tersebut, perlu adanya kekuasaan terpisah, kekuasaan yang tidak selalu di tangan satu orang. Menurut Locke, kekuasaan yang harus dipisah tersebut adalah Legislatif, Eksekutif dan Federatif.

  • Kekuasaan Legislatif adalah kekuasaan untuk membuat undang-undang. Hal penting yang harus dibuat di dalam undang-undang adalah bahwa masyarakat ingin menikmati miliknya secara damai. Untuk situasi ‘damai’ tersebut perlu terbit undang-undang yang mengaturnya. Namun, bagi John Locke, masyarakat yang dimaksudkannya bukanlah masyarakat secara umum melainkan kaum bangsawan. Rakyat jelata tidak masuk ke dalam kategori stuktur masyarakat yang dibela olehnya. Perwakilan rakyat versi Locke adalah perwakilan kaum bangsawan untuk berhadapan dengan raja/ratu Inggris.
  • Eksekutif adalah kekuasaan untuk melaksanakan amanat undang-undang. Dalam hal ini kekuasaan Eksekutif berada di tangan raja/ratu Inggris. Kaum bangsawan tidak melaksanakan sendiri undang-undang yang mereka buat, melainkan diserahkan ke tangan raja/ratu.
  • Federatif adalah kekuasaan menjalin hubungan dengan negara-negara atau kerajaan-kerajaan lain. Kekuasaan ini mirip dengan Departemen Luar Negara di masa kini. Kekuasaan ini antara lain untuk membangun liga perang, aliansi politik luar negeri, menyatakan perang dan damai, pengangkatan duta besar, dan sejenisnya. Kekuasaan ini oleh sebab alasan kepraktisan, diserahkan kepada raja/ratu Inggris, sebagai kekuasaan eksekutif.

Dari pemikiran politik John Locke dapat ditarik satu simpulan, bahwa dari 3 kekuasaan yang dipisah, 2 berada di tangan raja/ratu dan 1 berada di tangan kaum bangsawan. Pemikiran Locke ini belum sepenuhnya sesuai dengan pengertian Trias Politika di masa kini. Pemikiran Locke kemudian disempurkan oleh rekan Perancisnya, Montesquieu.

  1. Montesquieu (1689-1755)

Montesqueieu (nama aslinya Baron Secondat de Montesquieu) mengajukan pemikiran politiknya setelah membaca karya John Locke. Buah pemikirannya termuat di dalam magnum opusnya, Spirits of the Laws, yang terbit tahun 1748. Sehubungan dengan konsep pemisahan kekuasaan, Montesquieu menulis sebagai berikut : “Dalam tiap pemerintahan ada tiga macam kekuasaan: kekuasaan legislatif; kekuasaan eksekutif, mengenai hal-hal yang berkenan dengan dengan hukum antara bangsa; dan kekuasan yudikatif yang mengenai hal-hal yang bergantung pada hukum sipil. Dengan kekuasaan pertama, penguasa atau magistrat mengeluarkan hukum yang telah dikeluarkan. Dengan kekuasaan kedua, ia membuat damai atau perang, mengutus atau menerima duta, menetapkan keamanan umum dan mempersiapkan untuk melawan invasi. Dengan kekuasaan ketiga, ia menghukum penjahat, atau memutuskan pertikaian antar individu-individu. Yang akhir ini kita sebut kekuasaan yudikatif, yang lain kekuasaan eksekutif negara.”

  • Legislatif adalah struktur politik yang fungsinya membuat undang-undang. Di masa kini, lembaga tersebut disebut dengan Dewan Perwakilan Rakyat (Indonesia), House of Representative (Amerika Serikat), ataupun House of Common (Inggris).
  • Eksekutif adalah kekuasaaan untuk melaksanakan undang-undang yang dibuat oleh Legislatif. Fungsi-fungsi kekuasaan eksekutif ini garis besarnya adalah : Chief of state, Head of government, Party chief, Commander in chief, Chief diplomat, Dispenser of appointments, dan Chief legislators.
  • Kekuasaan Yudikatif berwenang menafsirkan isi undang-undang maupun memberi sanksi atas setiap pelanggaran atasnya. Fungsi-fungsi Yudikatif yang bisa dispesifikasikan kedalam daftar masalah hukum berikut : Criminal law (petty offense, misdemeanor, felonies); Civil law (perkawinan, perceraian, warisan, perawatan anak); Constitution law (masalah seputan penafsiran kontitusi); Administrative law (hukum yang mengatur administrasi negara); International law (perjanjian internasional).

1.5  Metode Penelitian

Penulisan dalam tulisan ini akan menggunakan metode penelitian hukum normatif[22] yakni mengkaji tentang hal-hal yang berkaitan dengan Kedudukan dan Kewenangan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)  yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), baik dalam rangka penormaannya maupun dalam rangka implementasinya dilapangan.

Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan dua bentuk metode penelitian. Yang Pertama dengan metode penelitian library research, melalui penelitian kepustakaan ini penulis berusaha mengkaji buku-buku serta tulisan ilmiah yang berkaitan dengan masalah yang dibahas dalam tulisan ini.[23] Kedua dengan metode penelitian lapangan (Field Research), yaitu penelitian yang dilakukan secara langsung ke obyeknya melalui pengamatan kejadian sehari-hari, yaitu serangkaian pertanyaan yang harus dijawab oleh penulis terhadap kenyataan-kenyataan yang terjadi di lapangan.

Berdasarkan permasalahan yang diteliti oleh penulis, maka metode penelitian hukum normatif. Metode penelitian hukum normatif atau metode penelitian hukum kepustakaan adalah metode atau cara yang dipergunakan di dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada. Tahapan pertama penelitian hukum normatif adalah penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan hukum obyektif (norma hukum),[24] yaitu dengan mengadakan penelitian terhadap masalah hukum. Tahapan kedua penelitian hukum normatif adalah penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan hukum subjektif (hak dan kewajiban).

Adapun pendekatan penelitian yang dilakukan dalam tulisan ini adalah pendekatan analisis korelasional, yaitu menguji hubungan antara Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dengan Lembaga Ekskutif, Legislatif dan yudikatif apabila dihubungkan dengan tugas dan kewenangan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) di Indonesia berdasarkan teori Pemisahan Kekuasaan di Indonesia.

1.6. Sistematika Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah yang menjadi dasar dalam pembahasan penulis dalam melakukan skripsi ini, maka penulis mencoba memberikan gambaran tentang isi penelitian tulisan ini melalui sistematika yang telah dirancang sedemikian rupa menjadi sistematika sebagai berikut :

BAB 1

PENDAHULUAN

Pada bab ini akan diceritakan tentang latar belakang persoalan dan        permasalahan yang akan dilakukan penelitian dalam tulisan ini. Dalam bab            ini juga dilakukan batasan-batasan penelitian yang dirangkum dalam           pertanyaan-pertanyaan penelitian yang akan menajadi bahan analisis      dalam pembahasan pada bab-bab berikutnya.

Dengan demikian akan terjadi kesinambungan antara keinginan dalam rumusan masalah dan dalam pembahasan. Dalam bab ini juga ditentukan tujuan dan manfaat penelitian, selain juga dijelaskan dasar teoritik yang menjadi dasar dalam menentukan pisau analisa yang akan dijawab dalam tulisan ini, sehingga terdapat kesesuaian antara yang diharapkan dengan yang dilakukan penelitian. Kemudian juga disinggung tentang beberapa nilai-nilai teoritik yang menjadi dasar penulis dalam melakukan analisis yang berhubungan dengan teori-teori yang berhubungan dengan tema penulisan tulisan ini.

BAB 2

TINJAUAN KEWENANGAN KPPU DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA

Pada bab ini akan dibahas tentang sejarah berlakunya dasar hukum        peraturan perundang-undangan tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) maupun upaya-upaya sinergitas untuk meningkatkan tugas dan wewenang Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) di Indonesia. Disini akan membahas secara normatif sejarah perundang-undangan     tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mulai dari hukum materiilnya sampai penegakan hukum Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) di Indonesia. Melalui ini kita dapat mengetahui tentang beberapa rujukan yang menjadi dasar dalam melakukan upaya peningkatan peran dan fungsi Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) di Indoenesia. Serta akan dibahas secara umum mengenai Undang-Undang Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) di Indonesia sejak disahkannya Undang-Undang tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).

BAB 3

KEDUDUKAN KPPU DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA

Pada bab ini akan berupaya menjawab rumusan masalah kedua, yang merupakan jawaban dari hubungan ketatanegaraan antara Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dengan lembaga Negara lainnya yang berfungsi sebagai lembaga ekskutif, legislative dan yudusial, dengan demikian dapat disimpulkan mengenai kedudukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), sehingga pada akhirnya dapat guna dicarikan solusi alternative yang lebih baik sebagai acuan ius constituendum dan perbaikan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) pada masa-masa berikutnya.

BAB 4

PENUTUP

            Pada bab ini akan disimpulkan dari keseluruhan pembahasan yang telah             dibatasi melalui rumusan masalah, sekaligus juga akan dituliskan saran-saran yang berkaitan dengan penulisan tulisan ini. Sehingga secara komprehensif mampu memberikan gambaran secara umum mengenai isi dan harapan dari tulisan yang penulis akan teliti.

                [1] Kata vonnis yang diterjemahkan sebagai putusan, sangat berkaitan dengan kata gevonden yang berasal dari kata vinden-vond-gevonden, artinya menemukan dan berpendapat.

                [2] Jimly Asshidiqie, Model-Model Pengujian konstisional di Berbagai Negara,  Jakarta, konstitusi Press, 2005, hal 5.

                [3] Jutta Limbach, The Concept of the Supremacy of the Constitution, dalam “The Modern Law Review”, Vol. 64,  No. 1, Januari 2001, hal. 3.

                [4] Miriam Budiardjo, 2005, Dasar- Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Tama, Jakarta, hlm. 50.

                [5] Herman Schwartz, The Struggle For Constitutional Justice in Post Communist Europe, 2002, hal 13.

                [6] Carl Schmitt,Constitutional Theory, Translated and edited by Jeffrey Seitzer, Duke University Press, Durham and London, 2008,  hal  230.

                [7] Lawrence Baum, (The Implementation of  United States Supreme Court Decisions, dalam Constitutionsal Courts In Comparison, The US Supreme Court and the German Federal Constitutional Court, Ralf Ragowsky & Thomas Gawron eds, op.cit. hal  226.

                [8] Jimly Asshiddiqie, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, hlm. 13.

                [9] Moh. Mahfud MD, 2010, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 69.

                [10] I Dewa Gede Atmadja, 2010, Hukum Kostitusi Problematika Konstitusi Indonesia Sesudah Perubahan UUD 1945, Setara Press, Malang, hlm.158.

                [11] Michael G. Roskin,et al., Political Science: An Introduction, Bab 13, 14

                [12] Bachsan Mustafa, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990, hlm.1

                [13] Logeman, Over de theorie van een stellig staatsrecht, diterjemahkan oleh Makkatutu menjadi Tentang Teori Suatu Hukum Tata Negara Positif, Ichtiar Baru – Van Hoeve, Jakarta, tanpa tahun, hlm. 95.

                [14] Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni, Bandung, 2006, hlm. 59

                [15] Montesquieu, The Spirit of Laws, Dasar-Dasar Ilmu Hukum dan Ilmu Politik, diterjemahkan oleh M. Khoiril Anam, Nusamedia, Bandung, 2007, hlm. 62.

                [16] Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, FH UII PRESS, Yogyakarta, 2005, hlm. 37.

                [17] Bachsan Mustafa, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990, hlm.1

                [18] Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI, Jakarta, 1988, hlm. 140

                [19] C.F. Strong, Modern Political Constitution: An Introduction to the Comparative Study of Their History and Existing Form, diterjemahkan menjadi Konstitusi-Konstitusi Politik Modern, Kajian Tentang Sejarah dan Bentuk-Bentuk Konstitusi Dunia oleh SPA Teamwork, Nuansa dan Nusamedia, Bandung, 2004, hlm. 330.

                [20] Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Konstitusi Press, Jakarta, 2006, hlm. 34

                [21] Jimly Assiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, 2006, hlm. 166.

                [22] Sri Mamuji, Penelitian Hukum, Bahan Kuliah Penelitian Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

                [23] Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek (Edisi Revisi IV). Jakarta: Rineka Cipta. 1998. Hal. 54

                [24] Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif  Suatu Tinjauan Singkat, Cetakan ke – 11. (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2009), hal. 13–14.

Continue Reading