DILEMA PEMBENTUKAN LEMBAGA PEMANTAPAN IDEOLOGI PANCASILA

DILEMA PEMBENTUKAN

LEMBAGA PEMANTAPAN IDEOLOGI PANCASILA

Seperti dikutip dalam situs Kementerian Sekretariat Negara dan diberitakan oleh beberapa media cetak dan elektronik lainnya, bahwa Presiden Jokowi akan membentuk Lembaga Pemantapan Ideologi Pancasila yang bertujuan agar Pancasila dapat diemplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, serta Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa yang tidak cukup hanya dibaca, diketahui, dihafalkan, akan tetapi harus betul-betul diwujudkan dalam pola pikir, sikap mental, gaya hidup dan perilaku nyata sehari-hari.

Selain itu menurut Menteri Koordinator bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan, Lembaga Pemantapan Pancasila akan berbentuk Unit Kerja Presiden bidang Pemantapan Ideologi Pancasila (UKP PIP), yang berkedudukan langsung di bawah Presiden dan setara dengan Kementerian Negara, yakni hampir sama dengan organisasi Kepala Staf Kepresidenan, sehingga kedudukan, hak keuangan, fasilitasnya setara dengan Kementerian Negara.

Lintasan Sejarah

Dalam beberapa lintasan sejarah kelembagaan dalam usaha penghayatan dan pengamalan Pancasila di Indonesia, setidaknya terdapat sebuah Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila yang ditetapkan oleh MPR dalam Sidang umumnya pada tanggal 22 Maret 1978 yang menghasilkan TAP MPR-RI No.II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa) atau biasa disebut dengan P4. Pedoman ini berisi (1) bahwa P-4 diperuntukkan sebagai penuntun dan pegangan hidup bagi setiap warganegara Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, (2) Presiden bersama-sama DPR ditugasi untuk melaksanakan dengan sebaik-baiknya.

Kemudian guna menjalankan P-4 tersebut, Presiden menerbitkan Instruksi Presiden No. 10 tahun 1978, sekaligus sebagai langkah awal penyelenggaraan penataran P-4 bagi pejabat pemerintahan.  Selanjutnya guna mengefektifkan lebih luas dan besar untuk menjangkau upaya Penghayatan dan Pengamalan Pancasila bagi masyarakat umum, dibentuklah suatu Lembaga Pemerintah Non Departemen yang disebut Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila disingkat BP-7 dengan surat Keputusan Presiden No.10 tahun 1979.

Keberadaan BP-7 diefektifkan tidak hanya ditingkatan Pemerintah Pusat, akan tetapi juga pada tataran Pemerintah Daerah serta lembaga-lembaga Pendidikan, baik tingkat dasar, menengah dan tinggi. Adapun Muatan P-4 sendiri terdiri dari Pancasila, UUD 1945 dan GBHN yang dikemas dalam bentuk bahan ajar dan diintegrasikan dalam kurikulum pendidikan dasar, menengah dan tinggi.

Pada era reformasi muncullah beberapa kritik terhadap penyelenggaraan penataran P-4, karena dianggap oleh berbagai pihak bahwa P-4 hanya dijadikan alat oleh Pemerintah untuk melanggengkan kekuasaan, serta P-4 dianggap tidak dapat membendung terjadinya Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN) di Indonesia. Untuk itu dengan berdasar pada Ketetapan MPR-RI No. XVIII/MPR/1998, MPR mencabut dan menyatakan tidak berlaku Ketetapan MPR-RI Nomor II/MPR/1978. Dengan dicabutnya Ketetapan MPR yang mengatur tentang P-4 tersebut, lembaga yang melaksanakannya yakni BP-7 juga dibubarkan pula.

Kemudian guna menjalankan fungsi ketentuan mengenai implementasi Pancasila yang merupakan pengganti BP-7, pada era reformasi dibentuklah Badan Pengembangan Kehidupan Bernegara (BPKB) berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 85 Tahun 1999 yang pada intinya memiliki tugas mengkaji dan membudayakan Pancasila sebagai dasar Negara dalam kehidupan bernegara dan berdemokrasi. Namun pada kenyataannya lembaga ini tidak berjalan dengan sebagaimana mestinya, sehingga sampai saat ini tidak jelas keberadaannya.

Problem Kelembagaan

Pada dasarnya Lembaga Pemantapan Ideologi Pancasila yang digagas oleh Presiden Jokowi memiliki tujuan yang mulia, yakni sebagai upaya membendung paham intoleransi, radikalisme dan terosisme di Indonesia, untuk itu sudah selayaknyalah didukung oleh semua kalangan, akan tetapi tentu dengan berbagai macam catatan diantaranya, Pertama, Publik harus diberikan garansi  (public guarantee), artinya lembaga tersebut harus benar-benar mampu memberikan manfaat bagi segenap rakyat guna keberlangsungan pemantapan rasa cinta tanah air dan bela Negara, tentunya dengan tetap berpegang pada prinsip dan nilai-nilai Pancasila. Dengan demikian kekhawatiran akan hal-hal yang dimungkinkan terjadi pada era-era sebelumnya dapat ditepis dan dibendung, sehingga pembentukan lembaga dimaksud bukan hanya sekedar wacana akan tetapi mampu berperan memberikan pendidikan yang baik bagi publik.

Kedua, Sistem Pengisian Jabatan Lembaga Pemantapan Ideologi Pancasila tersebut harus berdasar pada standart seleksi yang mengatur sistem mekanisme seleksi, dan persyaratan secara rinci, komprehensif, ketat serta transparan. Sehingga dengan demikian diharapkan akan menghasilkan orang-orang yang duduk dalam jabatan dimaksud benar-benar memiliki integritas dan tingkat kenegarawanan yang baik, yang dapat diandalkan dan dipertanggungjawabkan secara professional guna mengawal demi tegaknya wibawa Ideologi Pancasila (the guardian of Pancasila).

Ketiga, Struktur kelembagaannya harus diperjelas, sebagaimana dinyatakan lembaga ini akan dibentuk dengan dasar hukum berupa Perpres, artinya dalam menjalankan tugasnya lembaga dimaksud hanya sebagai Lembaga Negara penunjang atau disebut sebagai state auxiliary organ/agency, sehingga kedudukannya menjadi tidak jelas, meskipun dalam hal hak tunjangan fasilitas keuangannya disamakan/setingkat dengan Menteri, akan tetapi dalam perspektif kelembagaan justeru lembaga Pemantapan Ideologi Pancasila tersebut akan cenderung dipandang sebelah mata dikarenakan kedudukannya tidak dibentuk oleh Undang-Undang dan struktur kelembagaannya yang bukan merupakan Pejabat Negara.

Keempat, lembaga tersebut tentu akan menjalankan fungsi yang sangat luas, serta akan berhubungan langsung dengan 3 (tiga) fungsi cabang kekuasaan sekaligus, baik Ekskutif (Bestur), Legislatif (Regeling) dan Yudisial (Rechtspraak). Untuk itu perlu ditekankan tentang fungsi-fungsi yang akan dijalankan oleh lembaga Pemantapan Ideologi Pancasila tersebut, apakah memang lebih menekankan kepada fungsi pengaturan, pengawasan atau penindakan. Sehingga dengan demikian akan semakin jelas kedudukannya dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.

Kelima, perlu diatur pola hubungan kewenangan yang jelas dan bersifat konkrit guna membendung adanya kekuatan ego sektoral antar lembaga-lembaga terkait lainnya yang memiliki kewenangan yang sejenis atau hampir sama dengan lembaga dimaksud. Selain itu diperlukan harmonisasi kewenangan antar lembaga-lembaga yang sudah ada sebelumnya, sehingga tidak terjadi konflik kewenangan antar institusi yang satu dengan yang lainnya.

Terakhir sekaligus yang menjadi harapan dan saran dari penulis, semoga Pancasila bukan hanya sebagai sumber hukum (source of law) semata, akan tetapi Pancasila juga dapat dijadikan sebagai sumber etika (source of ethics). Kedua perspektif itu harus dijadikan sumber referensi normative dan operasional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga Pancasila yang mengandung nilai-nilai universal inklusif tersebut dapat mempersatukan kita semua sebagai bangsa dalam satu kesatuan system ideology, falsafah, kehidupan berbangsa dan bernegara dalam usaha membangun demokrasi yang ditopang oleh semangat the rule of law and rule of ethics secara berkesinambungan.

Link : Dilema Pembentukan Lembaga Pemantapan Ideologi Pancasila

You may also like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Verifikasi Bukan Robot *