TEORI HUKUM MURNI DAN PERMASALAHANNYA

  1. Perkembangan Aliran Positivisme

Lahirnya teori hukum ini sebenarnya diawali oleh berkembangnya pemikiran hukum Legisme yang berbentuk in optima forma[1]. Perkembangan Teori hukum ini berkembang semenjak abad pertengahan[2] dan perbengaruh terhadap semua lapisan Negara-negara yang ada di dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Posivisme Hukum ini untuk pertama kalinya dikukuhkan dalam bentuk rumusan yang sistematikal dan konseptual oleh John Austin dalam The Province of jurisprudence (1832) melalui pernyataan atau klaim positif mengenai hukum bahwa :

“hukum dalam tema yang paling generic dan menyeluruh… diartikan sebagai aturan yang diterbitkan untuk member pedoman perilaku kepada seseorang manusia selaku makhluk intelegen… dari seorang manusia lainnya (makhluk intelegen lain) yang ditangannya ada kekuasaan (otoritas) terhadap makhluk intelegen pertama itu”[3]

Selain itu Austin mengatakan bahwa hukum merupakan perintah penguasa-dalam arti bahwa perintah dari mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan.[4] Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa teori ini hanya bersumber pada hukum yang tertulis yang disahkan oleh kekuasaan pemerintahan atau suatu Negara. Untuk itu kemudian muncul unsur-unsur hukum menurut Austin diantaranya :[5]

  1. Adanya penguasa (souvereghnity)
  2. Suatu perintah (command)
  3. Kewajiban untuk menaati (duty)
  4. Sanksi bagi mereka yang tidak taat (sanction)

Aliran hukum ini pada intinya adalah mengidentikkan hukum dengan undang-undang, tidak ada hukum diluar undang-undang. Di Jerman pandangan ini dianut oleh Paul Laband, Jellineck, Rudolf von Jering, Han Naviasky, Hans Kelsen dan lain-lain. Sedangkan di Inggris dikenal dengan aliran hukum positif yang pelopori oleh John Austin seperti telah dijabarkan diatas.

Pada tahun 1798 hingga 1857 teori ini juga dikembangkan oleh August Comte yakni seorang sarjana Perancis yang hidup pada jaman itu. August Comte[6] menyatakan bahwa positivism merupakan sebuah sikap ilmiah, yang menolak spekulasi-spekulasi apriori dan berusaha membangun dirinya pada data pengalaman. Untuk itu filsafat menurut mazhab ini adalah suatu system filsafat yang mengakui hanya fakta-fakta positif dan fenomena-fenomena yang dapat diobservasi.

Pada abad Pertengahan kedua (abad ke-19) positivism menjalar kedalam segala cabang ilmu pengetahuan social, termasuk ilmu hukum, ia berusaha mendepak pertimbangan-pertimbangan nilai-nilai dari yurisprudensi dan membatasi tugas ilmu-ilmu ini pada analisa, dan mendobrak tatanan hukum positif. Pada saat itu diajarkan bahwa hukum positiflah yang merupakan hukum yang berlaku, dan hukum positif adalah norma-norma yang diakui oleh Negara. Sehingga dapat dikatakan bahwa teori hukum ini hanya merupakan Ilmu Hukum dalam arti sempit, yang hanya mempelajari hal-hal yang bersifat normative saja.[7] Untuk itu yang terpenting dalam teori ini adalah Undang-undang.[8]

Pada abad ke-19 pula muncul sikap kritis masyarakat terhadap masalah-masalah yang dihadapi, apalagi pada saat itu tradisi keilmuan baru berkembang, yang semula bersifat tertutup dan tradisionil berubah menjadi sedikit terbuka sehingga menghasilkan pandangan-pandangan kritis terhadap pandangan hukum alam yang dianggap tidak memiliki dasar dan merupakan hasil dari penalaran yang bersifat palsu belaka. Hukum diartikan sebagai perintah dari kekuasaan politik yang berdaulat dalam suatu Negara.[9]

Franz Magnis Suseno[10] mengatakan bahwa adanya hubungan hukum kodrat dan hukum positif yang saling berhubungan karena keabsahan social menempatkan hukum positif dalam kodrat manusia, artinya produk hukum positif hanya sah kalau sesuai dengan tuntunan-tuntunan dasar dan kecenderungan kodrati manusia. Berawal dari Pendapat hukum kodrat bahwa manusia dibangun dengan berbagai struktur social, hal ini sejalan dengan kebutuhan masyarakat yang semakin kompleks, beserta kelemahan-kelemahan yang terjadi dalam hukum kodrat. Tiga kelemahan mendasar hukum kodrat adalah kekaburan paham kodrat, dualism metodis dan masalah kepastian.[11] Dalam upaya mengantisipasi kelemahan tersebut, maka hukum positif mengambil peranan yang sangat penting, bahwa hukum positif sesungguhnya adalah pengalihan terhadap positivasi hukum kodrat terhadap manusia. Artinya dengan demikian hukum positif dapat mencerminkan dan mendasarkan hukum kodrat dalam tatanan hukum positif.[12]

Bertolak pada kelemahan-kelemahan hukum kodrat yang telah diurai tadi, serta meningkatnya kebutuhan dalam masyarakat sipil yang memerlukan perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan yang bersifat invidu, maka diperlukan hukum positif yang didukung oleh kekuasaan yang memaksa dalam suatu Negara. Dalam karakter hukum kodrat bahwa manusia ditempatkan sebagai makhluk yang bermoral, padahal dalam tataran social manusia lebih merupakan makhluk ekonomi, dan dalam hal tertentu dan terdesak akan menggunakan akal budinya yang justru berseberangan dengan akal budinya. Sehingga konsep Utility Bentham[13] dapat dilaksanakan dengan baik dalam bingkai hubungan Negara dengan masyarakatnya.

  1. Terminologi dan Dasar Pemikiran Positivisme

Sebelum membahas lebih jauh tentang pemahaman legal positivism, Hans Kelsen menegaskan bahwa terdapat 3 (tiga kemungkinan) interpretasi terhadap istilah itu, diantaranya :[14]

  1. Legal Positivisme Sebagai Metode

Cara mempelajari hukum sebagai fakta yang kompleks, fenomena atau data social dan bukan sebagai system nilai, sebagai metode yang minsetting pusat inquiri problem-problem formal dari keabsahan hukum, bukan aksiologi suatu keadilan dari suatu konten norma/aturan.

  1. Legal Positivisme yang dipahami sebagai Teori

Teori legal positivism berkembang pada era kodifiakasi sampai pada abad ke-19. Dalam konsepsi ini dikembangkan dari ecole de l’exegese sampai ke Jerman Rechtwissenschaft, hukum dikemas sempurna dengan positive order yang berasal dari kegiatan legislative suatu Negara. Paham ini merupakan disebut kelompok imperativist, coercivis, legalis conception yang ditegakkan melalui hukum yang literal (tertulis), interpretasi norma tertulis secara mekanis oleh penerjemah, khususnya hakim.

  1. Legal Positivisme sebagai ideology

Merupakan ide bahwa hukum Negara ditaati secara absolute yang disimpulkan kedalam suatu statement gesetz ist gesetz atau the law is the law. Hans Kelsen selalu menolak positivism, khususnya dalam konteks teoritikal dan aspek ideology walaupun saya telah menerimanya dari pandangan metodologis.[15]

Seperti yang telah dijelaskan diatas, bahwa aliran positivism merupakan aliran yang mencoba melakukan kritik terhadap kelemahan-kelemahan hukum kodrat. Dalam aliran ini terdapat berbagai cabang pemahaman positivism berlainan antar satu dengan yang lainnya. Namun pada dasarnya yang diangkat tema sentralnya adalah :[16]

Issues of legal validity must be strictly separated from question of morality what the law ought to be has nothing to do with what the law actually is. There are irreducible fact about political society can only be expressed in the vocabulary of the law. The study of law is autonomous

Dalam perkembangannya terdapat 2 (dua) aliran positivism, yakni hard positivism dan soft positivism, yang membedakan antara keduanya adalah : Hard positivism : There is only the positive law : There are no objective, universal fact about morality, about what law ought to be like (Hans Kelsen)[17]

Soft Positivism : In addition to positive law, objective morals fact do exist

Selanjutnya positivism lunak terbagi lagi menjadi dua golongan yaitu utilitarian positivism dan Non utilitarian positivism. Menurut kelompok utilitarian bahwa : There are no natural human right, nothing like a natural law. The only moral standard is one of the desirebelity of the concequences of the law (Betham). Sedangkan menurut paham kedua (non utilitarian) adalah, There is something like natural law (universal human rights, universal moral principles)[18]

Walaupun terdapat perbedaan internal dalam pemahamannya, positivism memiliki kesamaan dasar fundamental, yakni :

  1. A positive law is binding even if it is supremely immoral
  2. No principle of morality is legally binding until is has been enacted into moral law
  3. That a statute is legally binding does not settle the moral question of wether we ought (morally speaking) to obey or disobey the law

Aliran positivism ini banyak dipengaruhi oleh dua ahli hukum terkemuka, yakni Jeremy Bentham[19] dan John Austin[20] yang mengemukakan Command Theory, serta teori konvensi social oleh Hans Kelsen[21] dan Hart[22].

  1. Teori Hukum Murni menurut Hans Kelsen

Dua teori besar Hans Kelsen, pertama ajaran yang bersifat murn, sedangkan yang kedua adalah berasal dari muridnya Adolf Merkl adalah Stufenbau des Recht yang mengutakan adanya hierarkis dari perundang-undangan. Dari unsur etis Hans Kelsen tidak memberikan tempat bagi berlakunya suatu hukum alam, etika memberikan penilaian tentang baik dan buruk, Kelsen menghindari diri dari yang demikian itu. Dari unsur sosiologis ajaran Kelsen tidak memberik tempat bagi hukum kebiasaan yang hidup dan berkembang di masyarakat.

Hans Kelsen dalam teorinya yakni teori hukum Murni adalah keinginan untuk membebaskan ilmu hukum dari anasir-anasir atau unsur-unsur social, ekonomi, politik, budaya dan lain sebagainya. Hukum diwajibkan bebas nilai, dan harus terbebas dan tidak tercemari oleh unsur-unsur yang bersifat ideologis. Keadilan menurut Kelsen dipandang sebuah konsep ideologis. Ia melihat dalam keadilansebuah ide yang tidak rasional dan teori hukum murnitidak dapat menjawab tentang pertanyaan apa yang membentuk keadilan, karena pertanyaan ini tidak dapat dijawab secara ilmiah. Jika keadilan harus diidentikkan dengan legalitas, dalam arti tempat, keadilan berarti memelihara sebuah tatanan (hukum) positif melalui aplikasi kesadaran atasnya.

Teori hukum murni ini menurut Kelsen adalah sebuah teori hukum yang bersifat positif. Sehingga kemudian dapat disimpulkan bahwa teori hukum ini ingin berusaha menjawab pertanyaan tentang “apa hukum itu?” tetapi bukan pertanyaan “apa hukum itu seharusnya”. Teori ini mengkonsentrasikan pada hukum saja dan menginginkan lepas dengan ilmu pengetahuan yang lainnya, dengan atas dasar bahwa ilmu hukum berdiri sendiri dan merupakan sui generis.[23] Kelsen sekali lagi ingin memisahkan pengertian hukum dari segala unsur yang berperan dalam pembentukan hukum seperti unsur-unsur psikologi, sosiologi, sejarah, politik, dan bahkan juga etika.[24] Semua unsur ini termasuk ide hukum atau isi hukum. Isi hukum tidak pernah lepas dari unsur politik, psikis, social budaya dan lain-lain. Sehingga pengertian hukum menurut Hans Kelsen adalah hukum dalam konteks formalnya, yaitu sebagai peraturan yang berlaku secara yuridis, itulah hukum yang benar menurut perspektif teori hukum murni (das reine Recht)

Pandangan positivism juga menganggap bahwa kewajiban yang terletak pada kaidah hukum adalah kewajiban yang bersifat yuridis, hal itu dikarenakan karena kaidah hukum termasuk pada keharusan ekstern, yaitu karena ada paksaan atau ancaman apabila tidak mentaati, dikarenakan dasar dari hukum adalah undang-undang dasar negara, dalam relasi itulah maka terdapat ada yang memberi perintah dan ada yang mentaati perintah.

Pandangan kedua adalah kewajiban dari ektern, yakni dorongan dari batin bahwa yang demikian itu merupakan kewajiban yang harus ditaati. Kewajiban yuridis itulah dianggap sebagai dorongan kewajiban yang tidak dapat terelakkan. Han Kelsen juga mengatakan bahwa hukum dapat mewajibkan secara batin, hal itu dikarenakan adanya kewajiban yuridis, dan memang demikian pengertian hukum. Sehinga peraturan yang tidak normative tidak masuk akal maka tidak dapat dikatakan hukum.[25] Immamuel Kant mengatakan bahwa kelsen berpendapat bahwa kewajiban hukum termasuk dalam pengertian transedental-logis[26]. Menurut Kant ada norma dasar (grundnorm)[27] bagi moral (yang berbunyi : berlakulah sesuai dengan suara hatimu), maka menurut Hans Kelsen dalam hukum juga terdapat norma dasar yang harus dianggap sebagai sumber keharusan dibidang hukum. Norma dasar (grundnorm) tersebut berbunyi : orang-orang harus menyesuaikan dirinya dengan apa yang telah ditentukan.

Ajaran yang kedua menurut Hans Kelsen adalah ajaran tentang norma hukum (stufentheori)[28], dimana ia berpendapat bahwa norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi. Demikian seterusnya sampai pada suatu norma dasar (Grundnorm). Teori jenjang norma hukum Hans Kelsen ini diilhami oleh seorang muridnya yang bernama Adolf Merkl yang mengemukakan bahwa suatu norma hukum harus selalu mempunyai dua wajah (das Doppelte Rechtsanlitz), yakni norma hukum itu keatas ia bersumber dan berdasar pada norma diatasnya, tetapi kebawah juga menjadi dasar bagi norma yang ada dibawahnya.

Ajaran Hans Kelsen tersebut kemudian disempurnakan oleh seorang muridnya, yakni Hans Nawiasky dalam bukunya Allgemeine Rechtslehre yang mengatakan bahwa selain norma hukum itu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, norma hukum dari suatu Negara juga berkelompok-kelompok. Hans Nawiasky mengelompokkan norma-norma hukum dalam suatu Negara itu menjadi empat kelompok besar, yang terdiri atas :

Kelompok 1   : Staatfundamentalnorm (norma fundamental negara)

Kelompok 2   : Staatsgrundgesetz (aturan dasar/pokok Negara)

Kelompok 3   : Formell Gesetz (Undang-undang “formal”)

Kelompok 4   : Verordnung & Autonome Satzung (aturan pelaksana &

aturan otonom)[29]

  1. Perkembangan Teori Hukum Murni di Indonesia

Mengenai perkembangan Teori Hukum murni di Indonesia ini, saya akan lebih spesifik pada penggunaan dan perdebatan mengenai penggunaan penelitian hukum di Indonesia, yang mengalami perbedaan antara pakar yang satu dengan pakar hukum yang lainnya. Dalam metode penelitian hukum menurut Prof. Dr. Soerjono Soekanto, SH., MA[30] terdiri dari penelitian hukum normatif dan penelitian hukum sosiologis atau empiris. Penelitian hukum normatif terdiri dari penelitian terhadap azas-azas hukum, sistematika hukum, sinkronisasi hukum dan perbandingan hukum. Sedangkan penelitian hukum sosiologis atau empiris merupakan penelitian terhadap identifikasi hukum dan efektifitas hukum dalam dinamika sosial kemasyarakatan. Untuk itu hukum seringkali dihubungkan dengan dinamika kemasyarakatan yang sedang dan akan terjadi.

Namun berbeda menurut Prof. Dr. Peter Mahmud Marzuki, SH., MS., LLM[31] yang menyatakan bahwa penelitian socio-legal research (penelitian hukum sosiologis) bukan penelitian hukum. Menurut beliau penelitian hukum sosiologis maupun penelitian hukum hanya memiliki objek yang sama, yakni hukum. Penelitian hukum sosiologis hanya menempatkan hukum sebagai gejala sosial, dan hukum hanya dipandang dari segi luarnya saja, dan yang menjadi topik seringkali adalah efektifitas hukum, kepatuhan terhadap hukum, implementasi hukum, hukum dan masalah sosial atau sebaliknya. Untuk itu hukum selalu ditempatkan sebagai variabel terikat dan faktor-faktor non-hukum yang mempengaruhi hukum dipandang sebagai variabel bebas.[32] Dalam Penelitian hukum sosiologis untuk menganalisis hipotesa diperlukan data, sehingga hasil yang diperoleh adalah menerima atau menolak hipotesis yang diajukan.

Berbeda menurut beliau dengan penelitian hukum, yang bukan mencari jawaban atas efektifitas hukum, oleh sebab itu beliau menyatakan bahwa dalam penelitian hukum tidak dikenal istilah hipotesis, variabel bebas, data, sampel atau analisis kualitatif dan kuantitatif, yang diperlukan hanya pemahaman tentang Undang-Undang yang ditelaah. Penelitian hukum dilakukan untuk memecahkan isu hukum yang diajukan sehingga hasilnya memberikan preskripsi mengenai apa seyogianya.

Hemat saya tidak perlu harus saling menyalahkan antar satu dan yang lainnya. Namun yang pasti perdebatan tentang Teori Hukum Murni dan Sosiological Yurisprudance (hukum sosiologis) bukan hanya terjadi belakangan ini dan hanya di Indonesia saja. Yang pasti aliran hukum diatas merupakan 2 (dua) pandangan besar yang satu sama lain memiliki cara pandang yang berbeda.[33] Itulah yang kemudian berdampak kepada perdebatan masalah penelitian hukum sebagaimana di jelaskan oleh pakar hukum terkemuka yang ada di Indonesia yang saling berbeda pandangan mengenai metode dalam penelitian hukum.

Aliran hukum positif juga dikenal sebagai aliran legisme. Aliran ini selalu mengidentikkan hukum dengan Undang-Undang, tidak ada hukum di luar Undang-Undang, satu-satunya sumber hukum adalah Undang-Undang. Pandangan-pandangan hukum positif ini dipertahankan oleh Paul Laband, Jellineck, Rudolf von Jherings, Hans Nawiasky, Hans Kelsen dan lain-lain.[34] Aliran hukum positif mulai berkembang di Jerman pada abad pertengahan dan telah banyak berpengaruh di berbagai negara, tidak terkecuali di Indonesia.

John Austin memberikan pengertian dan batasan tentang cakupan ilmu hukum. Pertama, hukum merupakan perintah penguasa, kedua, hukum merupakan sistem logika yang bersifat tetap dan tertutup, ketiga, hukum positif terdiri dari unsur-unsur perintah, sanksi, kewajiban dan kedaulatan, di luar itulah hanyalah moral positif (positive morality).[35]

Pendapat lain lain datang dari Hans Kelsen yang menyatakan ”hukum haruslah dibersihkan dari anasir-anasir bukan hukum, seperti anasir etika, sosiologi, politik dan sebagainya”.[36] Kelsen juga menerangkan bahwa hukum sebagai (sollenskatagori), yaitu hukum sebagai keharusan bukan sebagai (seinskategori) yakni sebagai kenyataan,[37] yakni orang menaati hukum karena sudah perintah negara, untuk itu pelalaian terhadap itu maka akan dikenakan sanksi. Sedangkan ajaran yang juga terkenal dari Hans Kelsen dan sering dijadikan rujukan dalam teori hierarki (tingkatan) norma hukum adalah ajaran ”stufentheory”[38], yakni sistem hukum pada haikatnya merupakan sistem hierarkis yang tersusun dari peringkat terendah hingga peringkat tertinggi.

Dari pemeparan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pada prinsipnya aliran hukum positif adalah aliran pemikiran hukum yang memberikan penegasan terhadap bentuk hukum (Undang-Undang), isi hukum (perintah penguasa), ciri hukum (sanksi, perintah, kewajiban, dan kedaulatan) dan sistematisasi norma hukum (hierarki norma hukum Kelsen). Secar implisit aliran ini hakikatnya juga menegaskan beberapa hal:

Pertama, bahwa pembentuk hukum adalah penguasa

Kedua,   bahwa bentuk hukum adalah Undang-Undang; dan

Ketiga      hukum diterapkan terhadap pihak yang di kuasai.

Sangat berbeda dengan sosiological jurisprudence yang merupakan aliran filsafat hukum yang memberi perhatian sama kuatnya terhadap masyarakat dan hukum, sebagai dua unsur utama hukum dalam penciptaan dan pemberlakuan hukum.[39] Itulah yang menyebabkan perbedaan yang tajam antara kalangan pemikir hukum normatif dan kalangan pemikir hukum sosiologis. Karena pemikir hukum sosiologis mendasarkan hukum pada teori tentang hubungan antara kaidah-kaidah hukum dengan kenyataan masyarakat.[40]

Pendasar mazhab ini dapat disebutkan, misalnya Roscoe Pound, Eugen ehrlich, Benyamin Cardozo, Kantorowics, Gaurvitch dan lain-lain.[41] Mazhab ini lebih mengarah pada kenyataan daripada kedudukan dan fungsi hukum dalam masyarakat. Inti dasar prinsip pemikiran mazhab ini adalah hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.[42] Hukum lahir dan berkembang seiring dengan kemajuan zaman, sehingga hukum tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat. Seperti gejala-gejala peradaban lain, hukum juga dapat ditinjau secara sosiologis, dapat diteliti hubungan ekonomis dan kemasyarakatan apa, aliran bidang kejiwaan kejiwaan apa yang telah menimbulkan pranata hukum tertentu.[43]

Pada prinsipnya ialah sosiological jurisprudence menekankan pada masalah-masalah evaluasi hukum (kualisifikasi hukum yang baik), kedudukan hukum tertulis dan tidk tertulis, fungsi hukum sebagai sarana rekayasa sosial,[44] dengan cara pembentukan hukum yang baik (yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat), dan cara penerapan hukum.

Dari perbedaan dua pandangan besar antara paradigma hukum positif dengan hukum sosiologis, tidak perlu untuk saling menjatuhkan dengan saling menyalahkan antara teori yang satu dengan teori yang lainnya, mengingat kedua-duanya sama-sama memiliki kelebihan dan kekuarangan. Paradigma hukum positif dapat di gunakan untuk mempelajari tentang bentuk hukum (Undang-Undang), isi hukum (perintah penguasa), ciri hukum (sanksi, perintah, kewajiban, dan kedaulatan) dan sistematisasi norma hukum (hierarki norma hukum) sedangkan paradigma hukum sosiologis dapat digunakan untuk mengevaluasi hukum (kualisifikasi hukum yang baik), kedudukan hukum tertulis dan tidk tertulis, sebagai sarana rekayasa sosial, cara pembentukan hukum yang baik (yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat), dan cara penerapan hukum yang efektif.

  1. Kritik Terhadap Teori Hukum Murni

Pada dasarnya Kelsen hanya mempertimbangkan aspek hukum positif saja, tanpa mempertimbangkan keadilan atau ketidakadilannya. Padahal menurut Stammer kemurnian mutlak bagi teori hukum apapun adalah tidak mungkin. Kelsen harus mengakui manakala teori memasuki pertanyaan-pertanyaan tentang norma fundamental yang bertentangan. Pertanyaan yang merupakan norma fundamental yang valid, dimana teori murninya tidak dapat dihindari, karena tanpa itu maka keseluruhan bangunan akan runtuh.[45] Dari sisi yang lain Lauterpacht seorang pengikut Kelsen mempertanyakan apakah teori hierarki tidak menyatakan secara langsung sebuah pengakuan akan prinsip-prisnsip hukum alam.[46]

Selain itu peraturan-peraturan hukum dibuat supaya ada hukum, bukan berarti supaya ada hukum. Dengan demikian maka dengan adanya hukum maka perlu untuk menegakkan kemanusiaan, dengan demikian hukum tidak identik dengan undang-undang. Di sisi yang lain hukum diperlukan penggarapan terus-menerus, dikarenakan hukum dalam hal ikhwal juga terdapat peraturan hukum yang melawan hukum karena bertentangan dengan kemanusiaan. Untuk itu tidak dapat kemudian teori hukum murni ini digunakan sepenuhnya dalam konteks bernegara, sehingga Konsep hukum responsive yang diajarkan oleh Philippe Nonet and Philip Selznick[47] tidak dapat diterapkan dengan baik.

Menurut Friedmann, hukum sebagai suatu sistem terdiri dari sub-sub sistem yang saling bergerak yang tidak dapat terpisahkan dan terpengaruh satu dengan lainnya. Sub-sub sistem itu terdiri dari: Substansi Hukum (legal substance), Struktur Hukum (legal structure), dan Kultur Hukum (legal culture). Adapun budaya hukum yang baik akan terbentuk apabila semua pihak secara sungguh-sungguh dilibatkan untuk berpartisipasi secara penuh dalam proses pembentukan hukum, agar semua orang benar-benar merasa memiliki hukum itu. Karena begitu besarnya peran budaya hukum itu, maka ia dapat menutupi kelemahan dari legal substance dan legal structure.[48]

Jadi menurut Friedmann hukum memiliki ruang lingkup yang sangat luas, tidak terbatas pada tekstual berupa peraturan perundang-undangan. Dalam berfungsinya hukum ditengah masyarakat tidak saja membutuhkan undang-undang belaka tetapi membutuhkan hal-hal lainnya seperti budaya masyarakat, aparat penegak hukum maupun sarana dan prasarana. Dari sini kita bisa melihat bahwa aliran positivisme berusaha memahami hukum hanya sebatas tekstual.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Achmad, Menguak Teori Hukum (Tegal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, Cet ke-3 2010

Anshori, Abdul Ghofur, Filsafat Hukum, Gajah Mada University Press, 2009.

Austin, The Province of Jurisprudence Determined, (1832) Lecture VI (edisi 1954)

Akzin, Benyamin, Law, State, and International Legal Order: Essays in Honor of Kelsen, Knokville, The University of Tennesse, 1964

Ardhiwisastra, Yudha Bhakti, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, PT. Alumni, Bandung, 2000.

Bakir, Herman, Filsafat Hukum, desain dan arsitektur kesejarahan, Refika Adhitama, Bandung, Cet ke-2 2009

Bentham, Jeremy, The Theory of Legislation, NM Tripathi Private Limited, Bombay, 1979.

___________, Austin and Classical English Positivism, Cambride University. TT

Bruggink, J.J.H., Rechts Reflekties, Kluwer, Nederland, 1995.

Curson, L.B., Jurisprudence, Cet. 1, London : Cavendish Publishing, 1993.

Dicey, AV, Introduction to the Study of The Law of The Constitution, McMillan and CO, Limited St. Martin Street, London, 1952

Dimyati, Khudzaifah, Teorisasi Hukum, studi tentang perkembangan pemikiran hukum di Indonesia 1945-1990, Genta Publishing, Yogyakarta, Cet ke-5, 2010

Drury, S.B, Law and Politics Reading in Legal and Political Though, Detselig Interprises Ltd Calgary, Alberta, 1980

Fuady, Munir, Perbandingan Ilmu Hukum, Refika Adhitama, Bandung, 2007.

Friedmann, Legal Theory, Steven & Son, London, 1960

___________, Theori and Philosophy of Law, Universiy of Paris, 1973

Friedrich, Carl Joachim, The Philosopy of Law in Historical Perspective, The University Chicago Press, 1969

Hadjon, Philipus M. dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005.

Hart H.L.A, The Concept of Law, New York: Clanrendon Press-Oxford, 1997

Irianto, Sulistyowati & Sidharta, Metode Penelitian Hukum, konstelasi dan refleksi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, Cet ke-2, 2011

Kelsen, Hans, Introduction to The Problem of Legal Theory, Clarendon Press-Oxford, 1996.

____________, The Theory of Law and The International Legal System – A Talk. Diakses dari European Journal of International Law. Artikel ini dapat diakses pada: http:www.ejil.org/journal/vol9/No2/art8-02.html

____________, Pure Theori of Law, Berkely: University California Press, 1978.

____________, Geberal Theory Law And State, The School of Law of The New York University, 1937

Kusumaatmadja, Mochtar, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan, PT. Alumni, Bandung, Cet ke-2, 2006

Manan, Abdul, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Prenada Media, Jakarta, 2005

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta, 2005.

Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum suatu pengantar, Penerbit Liberty, Yogyakarta, Cet ke-2, 2005

____________, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, PT. Aditya Bakti, Jakarta, 2003

Muuwissen, D.H.M., Rechtwentenschap, Koninkrijk der Nederlanden, 1982.

Nawiasky, Hans, Allgemeine Rechtslehre als System lichen Grundbegriffe, Einsiedenln/Zurich/Koln, Benziger, cet 2, 1948.

Nonet, Philippe and Philip Selznick, Law and Society in Transition: To Reward Responsive Law, Harper and Row, New York, 1978

Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2000.

Rasjidi, Lili, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004.

Rasjidi Lily dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004.

Rasjidi, Lily dan I.B Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, CV. Mandar Maju, Bandung 2003.

Salman, Otje, Filsafat Hukum perkembangan & dinamika masalah, Refika Adhitama, Bandung, Cet ke-2, 2010

Salman Otje dan F. Susanto, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung, 2005.

Scholten, Paul, De Struktuur Der Rechtswetenschap, Alih Bahasa B. Arief Sidharta, P.T Alumni, Bandung, 2005.

Soeprapto, Maria Farida, Ilmu Perundang-undangan, dasar-dasar dan Pembentukannya, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, Cet ke-11, 2006

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 2000.

Suherman, Ade Maman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, Civil Law, Common Law dan Hukum Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.

Suseno, Franz Magnis, Etika Politik, Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Gramedia, Jakarta, 1987.

Strong, CF, Modern Political Constitution, An Introduction to the Comparative Studyof Their History and Existing Form, The English Book Society and Sidgwick & Jackson, Limited London, 1966

Suhelmi, Ahmad, Pemikiran Politik Barat, kajian sejarah, perkembangan pemikiran Negara, masyarakat dan kekuasaan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2007.

Wheare, KC, Modern Constitution, Oxford University Press, 1996

Wignjosoebroto, Soetandyo, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional, dinamika social politik dalam perkembangan hukum di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.

[1] In optima forma adalah dalam bentuknya yang optional, ia dapat juga dinamakan “Dokmatika Hukum” Bahasa Jerman : “Rechtsdogmatik Jurisprudenz”. Untuk mengetahui lebih lanjuttentang ini baca D.H.M. Muuwissen, Rechtwentenschap, Koninkrijk der Nederlanden, 1982, Hal. 54

[2] Pada abad pertengahan ini dibagi menjadi 2 (dua) bagian yaitu Masa Gelap dan Masa Scholastik. Pada masa Gelap ditandai dengan adanya runtuhnya Kekaisaran Romawi akibat serangan bangsa lain yang dianggap terbelakang, yaitu suku Germania. Sedangkan Masa Scholastik ditandai dengan bermunculannya teori-teori hukum yang bercorak khusus, yakni ajaran Ketuhanan, yakni ajaran Kristen.

[3] L.B. Curson, Jurisprudence, Cet. 1, London : Cavendish Publishing, 1993, Hal. 93

[4] Pada yang demikian itu termaktub bahwa kekuasaan adalah melahirkan hukum positif yang kemudian diterapkan kepada masyarakat yang menjadi bagian kekuasaan pemerintahan dalam suatu kekuasaan suatu wilayah tertentu. Untuk lebih mengetahui masalah yang berkaitan dengan itu, baca Lili Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, Hal. 56

[5] Unsur-unsur hukum yang disebutkan diatas merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, yang menjadi suatu ikatan antar satu dengan yang lainnya. Untuk mengkaji lebih lanjut mengenai unsur-unsur Hukum menurut Austin, silakan baca Bentham, Austin and Classical English Positivism, Hal. 214 – 229

[6] Comte melihat satu hukum universal dalam semua ilmu pengetahuan yang kemudian ia sebut sebagai ‘hukum tiga fase’. Melalui hukumnya ia mulai dikenal di seluruh wilayah berbahasa Inggris (English-speaking world); menurutnya, masyarakat berkembang melalui tiga fase: Teologi, Metafisika, dan tahap positif (atau sering juga disebut “tahap ilmiah”). Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum, Gajah Mada University Press, 2009, Hal. 94

[7] Bruggink menyebutkan demikian, Bruggink juga menuliskan tentang Pohon/Skema Hukum dogmatic dalam arti sempit dan dalam arti luas. Untuk dapat memahami teori ini baca : J.J.H. Bruggink, Rechts Reflekties, Kluwer, Nederland, 1995, Hal. 167

[8] Munir Fuady, Perbandingan Ilmu Hukum, Refika Adhitama, Bandung, 2007, Hal 65

[9] Dasar-dasar sejarah itu dapat dilihat dan dibaca secara singkat dalam bukunya : Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2000, Hal. 269

[10] Franz Magnis Suseno, Etika Politik, Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Gramedia, Jakarta, 1987, hal. 87-88

[11] Selain itu disebutkan kenapa dibutuhkan aliran hukum positif, diantaranya (1) kelemahan dalam system hukum kodrat, (2) tidak adanya definisi yang jelas mengenai hukum kodrat itu sendiri, (3) Kepastian hukum hukum kodrat yang lemah, padahal masyarakat sipil membutuhkan kepastian, (4) Hukum kodrat tidak memberikan ketentuan praktis, dan (5) Ketaatan pada hukum kodrat lebih tergantung pada nurani individu. Untuk lebih memantapkan terhadap pengetahuan akan kelemahan-kelemahan yang dimiliki oleh Hukum Kodrat ini silakan baca : Ade Maman Suherman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, Civil Law, Common Law dan Hukum Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, Hal. 35-36

[12] Ade Maman Suherman, Ibid

[13] Teori Utility ini adalah dimana hukum haruslah memberikan kepuasan yang sebesar-besarnya (greates happines) bagi sebanyak-banyaknya manusia. Untuk membahas masalah ini sialakan baca : Jeremy Bentham, The Theory of Legislation, NM Tripathi Private Limited, Bombay, 1979, Hal 37

[14] Termininologi ini disarikan dari tulisan Hans Kelsen, Introduction to The Problem of Legal Theory, Clarendon Press-Oxford, 1996, Hal 53-70

[15] Hans Kelsen, The Theory of Law and The International Legal System – A Talk. Diakses dari European Journal of International Law. Artikel ini dapat diakses pada: http:www.ejil.org/journal/vol9/No2/art8-02.html

[16] Lecture: 23 Legal Positivism,http.www.utexas.edu/ caourses/ ph1347/ lectures/ lec23.html

[17] Mengenai itu dapat dibaca pada Lecture: 23 Legal Positivism, Ibid dan juga pada Hans Kelsen, Introduction to The Problem of Legal Theory, Op Cit, hal 42

[18] Lecture: 23 Legal Positivism, Ibid

[19] Dalam bukunya yang terkenal Jeremy Bentham, The Theory of Legislation, NM Tripathi Private Limited, Bombay, 1979

[20] Buku yang terkenal adalah Austin, The Province of Jurisprudence Determined, (1832) Lecture VI (edisi 1954)

[21] Buku yang spektakuler dari Hans Kelsen, Pure Theori of Law, Berkely: University California Press, 1978. Atau ada lagi Hans Kelsen, Geberal Theory Law And State, The School of Law of The New York University, 1937

[22] Karya agung H.L.A Hart, The Concept of Law, New York: Clanrendon Press-Oxford, 1997

[23] Dikatakan sui generis dikarenakan Ilmu Hukum adalah merupakan ilmu jenis sendiri, diakatakan jenis sendiri dikarenakan ilmu hukum dengan kualitas ilmiah sulit dikelompokkan dalam salah satu cabang pohon ilmu. Untuk mengetahui lebih lanjut masalah ini, sialakan baca Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, Hal 1-3

[24] Untuk memperjelas masalaha ini, baca : Hans Kelsen, Pure Theori of Law, Berkely: University California Press, 1978, Hal 5-13

[25] Pandangan itulah yang kemudian menjadi dasar dalam teori ini yang kemudian disebutkan sebagai teori hukum Murni, karena hukum adalah undang-undang, dan bukan yang lain.

[26] Yaitu mewajibkan harus diterima sebagai syarat yang tidak dapat dielakkan untuk mengerti hukum sebagai hukum

[27] Grundnorm merupakan norma dasar yang menjadi pijakan oleh norma-norma yang ada dibawahnya. Lebih lanjut baca : Benyamin Akzin, Law, State, and International Legal Order: Essays in Honor of Kelsen, Knokville, The University of Tennesse, 1964, Hal 3-5

[28] Stufentheori adalah menyatakan bahwa norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi.

[29] Hans Nawiasky, Allgemeine Rechtslehre als System lichen Grundbegriffe, Einsiedenln/Zurich/Koln, Benziger, cet 2, 1948, Hal. 31 dsb

            [30] Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 2000, Hal.51

            [31] Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta, 2005, Hal. 87 – 91

            [32] Peter Mahmud Marzuki, Ibid, Hal. 87

            [33] Otje Salman dan F. Susanto, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung, 2005, Hal. 46

            [34] Lily Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, Hal. 56

            [35] Lily Rasjidi dan I.B Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, CV. Mandar Maju, Bandung 2003, Hal. 119-120

            [36] Hans Kelsen, Pure Theory Of Law, Berkely: Unibersity California Press 1978, Hal. 1

            [37] Hans Kelsen, General Theory Of Law And State, Terjemahan Somardi, Bee Media Indonesia, Jakarta, 2007, Hal. 202-203

            [38] Hans Kelsen, Op Cit, Hal. 165-169

            [39] Lily Rasjidi dan I.B Wyasa Putra, Op Cit, Hal. 121

            [40] J.J.H. Bruggink, Rechts Refflectie, Grondbegrippen Uit De Rechtstheory, Alih Bahasa B. Arief Sidharta, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, Hal. 163

            [41] Lily Rasjidi, Op Cit, Hal. 66

            [42] Lily Rasjidi,, Ibid, Hal. 66

            [43] Paul Scholten, De Struktuur Der Rechtswetenschap, Alih Bahasa B. Arief Sidharta, P.T Alumni, Bandung, 2005, Hal. 6

            [44] Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Prenada Media, Jakarta, 2005, Hal. 3

[45] Kritik terhadap pandangan Hans Kelsen itu juga dapat dibaca melalui bukunya : Friemann, Theori and Philosophy of Law, Universiy of Paris, 1973, hal. 285

[46] Friedmann, Ibid

[47] Mengenai konsep hukum responsive, otonom dan represif dapat dibaca dan dipahami melalui buku : Philippe Nonet and Philip Selznick, Law and Society in Transition: To Reward Responsive Law, Harper and Row, New York, 1978, hal.

[48] Friedmann, Legal Theory, Steven & Son, London, 1960, Hal. 2-8

Continue Reading

FUNGSI PARPOL SEBAGAI SARANA PENGATUR KONFLIK

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Fungsi partai politik sangatlah penting dan dominan dalam Negara yang menganut sistem demokrasi.[1] Hal itu dikarenakan dalam setiap pengisian jabatan penting dalam struktur ketatanegaraan harus melalui partai politik, sehingga kwalitas dari penyelenggara Negara sangat banyak tergantung pada peran partai politik, untuk itu fungsi partai politik dalam hal ini wajib secara optimal dapat dilaksanakan dengan baik. Yang hasil akhirnya adalah terpilih para penyelenggara negara yang baik dan mampu menyelenggarakan segala bentuk kewenangannya dengan baik pula.

Komunikasi yang baik antar pengurus dan konstituen partai politik merupakan bagian dari fungsi partai politik sebagai sarana komunikasi politik. Makna partai sebagai sarana komunikasi politik adalah Partai sebagai penyalur aneka ragam pendapat dan aspirasi masyarakat. Partai melakukan penggabungan kepentingan masyarakat (interest aggregation) dan merumuskan kepentingan tersebut dalam bentuk yang teratur (interest articulation).[2] Rumusan ini dibuat sebagai koreksi terhadap kebijakan penguasa atau usulan kebijakan yang disampaikan kepada penguasa untuk dijadikan kebijakan umum yang diterapkan pada masyarakat. Sedangkan partai sebagai sarana sosialisasi politik adalah Partai memberikan sikap, pandangan, pendapat, dan orientasi terhadap fenomena (kejadian, peristiwa dan kebijakan) politik yang terjadi di tengah masyarakat.

Sosialisi politik mencakup juga proses menyampaikan norma-norma dan nilai-nilai dari satu generasi ke generasi berikutnya. Bahkan, partai politik berusaha menciptakan image (citra) bahwa ia memperjuangkan kepentingan umum. Mengenai partai politik sebagai sarana rekrutmen politik adalah Partai politik berfungsi mencari dan mengajak orang untuk turut aktif dalam kegiatan politik sebagai anggota partai. Yang terakhir, adalah partai politik sebagai sarana pengatur konflik. Di tengah masyarakat terjadi berbagai perbedaan pendapat, partai politik berupaya untuk mengatasinya. Namun, semestinya hal ini dilakukan bukan untuk kepentingan pribadi atau partai itu sendiri melainkan untuk kepentingan umum.[3]

Setiap negara pasti memiliki potensi konflik.[4] Hal ini dikarenakan didalam setiap negara pasti memiliki masyarakat yang memiliki banyak perbedaan-perbedaan baik dari segi etnis, sosial ekonomi ataupun agama. Oleh karenanya disini partai politik diperlukan untuk membantu mengatasi atau sekurang-kurangnya dapat diatur sedemikian rupa sehingga akibat negatifnya dapat ditekan seminimal mungkin. Elite-elite partai politik berperan untuk menumbuhkan pengertian diantara mereka yang berkonflik serta meyakinkan pendukungnya. Menurut Lijphart  perbedaan-perbedaan atau perpecahan di tingkat massa dapat diatasi oleh kerjasama-kerjasama oleh elite-elite politik.[5] Oleh karenanya peran partai politik tentunya dapatmencegah terjadinya konflik-konflik yang terjadi di masyarakat

Berbicara konflik ini kemudian akan berkaitan dengan kepentingan, konflik ini muncul karena ada kepentingan-kepentingan yang berbeda saling bertemu. Kepentingan disini adalah kepentingan dari orang, kelompok, atau golongan-golongan yang ada dalam masyarakat. Mengingat di dalam masyarakat Indonesia khususnya, dimana dengan berbagai macam keberagaman yang ada baik itu golongan, agama, etnis ataupun yang bersifat sektoral.[6] Tentunya akan banyak sekali kepentingan yang akan saling berbenturan, hal ini tentunya akan membawa dampak yang luar biasa ketika dibiarkan begitu saja. Memang konflik dalam masyarakat itu tidak dapat dihilangkan tetapi yang harus dilakukan adalah bagaimana memanajemen konflik tersebut supaya konflik tersebut sifatnya tidak merusak hubunga antar golongan tadi dengan cara-cara kekerasan.

Partai politik sebagai salah satu lembaga demokrasi berfungsi untuk mengendalikan konflik melalui cara berdialog dengan pihak-pihak yang berkonflik, menampung dan memadukan berbagai aspirasi dan kepentingan pihak-pihak yang berkonflik dan membawa permasalahan kedalam musyarawarah badan perwakilan rakyat untuk mendapatkan penyelesaian berupa keputusan politik.[7]

Di Indonesia fungsi partai sebagai pengatur konflik tidak berjalan dengan optimal, hal itu banyak faktor yang mempengaruhi, mulai dari internal dan eksternal partai politik. Faktor internal adalah keinginan-keinginan prakmatis yang menginginkan partai politik hanya untuk memperjuangkan kepentingan pribadi dan golongan, tidak memikirkan tentang keseluruhan masyarakat. Faktor eksternal adalah faktor-faktor yang muncul akibat adanya antipasti masyarakat terhadap peran dan fungsi partai politik, sehingga keberadaan peran dan fungsi partai politik kurang begitu optimal.

Berdasarkan analisan dan paparan diatas, maka penulis tertarik untuk meneliti dan mengkaji tentang fungsi partai politik utamanya yang berkaitan dengan fungsi partai politik sebagai pengatur konflik di Indonesia. Untuk itu dalam makalah ini akan dijabarkan tentang persoalan fungsi partai politik untuk mengatur konflik antara keinginan dan harapan dikaitkan dengan kejadian-kejadian yang terjadi di Indonesia.

I.2. Rumusan Masalah

Adapun rumusan yang menjadi pokok masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:

  1. Bagaimanakah fungsi partai politik sebagai sarana pengatur konflik di Indonesia?
  2. Bagaimana optimalisasi peran serta partai politik sebagai sarana pengatur konflik di Indonesia?

I.3. Tujuan Penulisan

Sedangkan yang menjadi tujuan dari penulisan makalah ini adalah diantaranya :

  1. Untuk menganalisa fungsi partai politik sebagai sarana pengatur konflik di Indonesia
  2. Mencari solusi dan cara optimalisasi peran serta partai politik sebagai sarana pengatur konflik di Indonesia

I.4. Manfaat Penulisan

Adapun yang menjadi manfaat dalam penulisan makalah ini diantaranya :

  1. Untuk menambah dan memperdalam ilmu kajian Hukum Tata Negara, khususnya tentang Partai Politik dan Pemilu
  2. Untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh pengampu mata kuliah pemilu dan partai politik

I.5. Metodologi Penelitian

Metode penulisan yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah menggunakan yuridis normatif,[8] yaitu cara penulisan yang didasarkan pada analisis terhadap beberapa asas hukum dan beberapa teori hukum serta peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan permasalahan dalam makalah, dengan mengaitkan hal-hal yang terjadi dilapangan. Sedangkan metode pendekatan masalahnya adalah melalui statute approach,[9] yakni dengan melakukan pendekatan atau analisis terhadap persoalan peraturan perundang-undangan dikaitkan dengan kejadian-kejadian dan peristiwa di lapangan.

Adapun yang menjadi bahan hukum yang dipergunakan dalam penulisan makalah ini meliputi:

  1. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang berupa peraturan perundang-undangan

  1. Bahan Hukum Skunder

Bahan hukum skunder adalah bahan hukum yang berupa buku-buku referensi, media-media informasi yang berkaitan langsung maupun tidak dengan pembahasan.

Sedangkan teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan adalah teknik dokumentasi yakni mengumpulkan dan mengkaji bahan-bahan hukum yang ada baik hukum primer maupun bahan hukum skunder. Sedangkan pengolahan bahan hukum yang digunakan adalah dengan menginventarisasi bahan-bahan hukum yang ada kemudian disinkronkan dengan permasalahan-permasalahan yang berkembang terutama hal-hal yang berkaitan dengan Pemerintahab daerah.

Mengenai metode analisis data yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah metode deduktif, yakni mengkaji dari hal-hal yang bersifat khusus untuk menghasilkan kesimpulan yang bersifat umum.[10]

I.6. Landasan Teoritik Fungsi Partai Politik

Salah satu syarat untuk mewujudkan esensi demokrasi salah satunya adalah dengan adanya pemilihan umum (Pemilu). Walaupun masih terdapat perdebatan apakah Pilkada merupakan pemilu atau bukan, akan tetapi pada dasarnya adalah bagaimana rakyat dapat menentukan calon yang di idealkan sehingga akan mampu membawa aspirasi rakyat secara keseluruhan pada akhirnya.

Pemilihan umum yang demokratis merupakan satu-satunya jaminan untuk mewujudkan tujuan pemilu itu sendiri, yakni antara lain:

  1. membuka peluang untuk terjadinya pergantian pemerintahan sekaligus momen untuk menguji dan mengevaluasi kualitas dan kuantitas dukungan rakyat terhadap keberhasilan dan kekurangan pemerintah yang sedang berkuasa.
  2. sebagai sarana menyerap dinamika aspirasi rakyat untuk diindetifikasi, diartikulasi dan di agregasikan selama jangka waktu tertentu
  3. yang paling pokok adalah untuk menguji kualitas pelaksanaan kedaulatan rakyat itu sendiri.[11]

Pentingnya pemilu yang demokratis sebagai sarana demokrasi dalam sistem perwakilan setidaknya menjamin terbentuknya representative government.[12] Kata “Perwakilan” (representation) adalah konsep seorang atau suatu kelompok yang lebih besar. Dewasa ini anggota Dewan Perwakilan Rakyat pada umumnya mewakili rakyat melalui partai politik. Pada hal pada dasarnya setiap jabatan politik dalam hal ini pemilihan Presiden, Gubernur, Wali Kota maupun Bupati pada tataran teoritis bukan hanya melalui partai politik, akan tetapi seperti yang ada di Amerika Serikat, bahwa calon House of Representative maupun senat tidak harus berangkat dari Partai Politik, akan tetapi meskipun misalkan yang bersangkutan tidak mendaftarkan diri ke Komisi Pemilihan, akan tetapi terdapat orang yang memilih, maka tetap dikatakan sah. Sehingga benar kalau di Indonesia dikatakan sebagai perwakilan yang bersifat politik (political representation)[13]

Perwakilan politik bagi beberapa kalangan dirasakan sebagai pengbaian terhadap kepentingan-kepentingan dan kekuatan-kekuatan lain yang ada didalam masyarakat.[14] Oleh karena itu, di beberapa Negara mencoba mengatasi persoalan tersebut dengan cara mengikutsertakan wakil dari golongan perseorangan atau yang dianggap memerlukan perlindungan khusus. Seperti di India mengangkat beberapa orang wakil dari golongan Anglo-Indian sebagai anggota Majelis Rendah, sementara golongan kesusestraan, kebudayaan, dan pekerja sosial diangkat menjadi anggota Majelis Tinggi. Lain halnya dengan Amerika yang memberikan peluang bagi calon independent untuk bertarung dalam setiap event pemilihan jabatan politik. Sehingga dapa dikatakan bahwa demokrasi yang dibangun di Indonesia adalah demokrasi partai politik, yang tidak dapat memberikan kesempatan kepada perorangan atau lembaga non partai politik untuk dapat mencalonkan apalagi menjabat sebagai jabatan politik.

Yang terjadi adalah orng-orang yang dianggap loyal terhadap partai yang pada akhirnya diproyeksikan sebagai calon dalam setiap momen pergantian jabatan politik dimanapun. Peraturan perundang-undangan pun yang di cari kekurangannya, agar tujuan dari golongannya dapat tercapai dengan tanpa memikirkan dampak negative yang akan terjadi baik dalam internal pemerintahan maupun eksternal pemerintahan

Secara umum, para ilmuwan politik biasa menggambarkan adanya 4 (empat) fungsi partai politik. Keempat fungsi partai politik itu menurut Miriam Budiardjo, meliputi : (i) sarana komunikasi politik, (ii) sosialisasi politik (political socialization), (iii) sarana rekruitmen politik (political recruitment), dan (iv) pengatur konflik (conflict management).[15] Dalam istilah Yves Meny dan Andrew Knapp, fungsi partai politik itu mencakup fungsi (i) mobilisasi dan integrasi, (ii) sarana pembentukan pengaruh terhadap perilaku memilih (voting patterns); (iii) sarana rekruitmen politik; dan (iv) sarana elaborasi pilihan-pilihan kebijakan.[16]

Sarana Komunikasi Politik: Partai politik bertugas menyalurkan beragam aspirasi masyarakat dan menekan kesimpangsiuran pendapat di masyarakat. Keberadaan partai politik menjadi wadah penggabungan aspirasi anggota masyarakat yang senada (interest aggregation) agar dapat di rumuskan secara lebih terstruktur atau teratur (interest articulation). Selanjutnya, partai politik merumuskan aspirasi tersebut menjadi suatu usulan kebijak(sana)an, untuk diajukan kepada pemerintah agar menjadi suatu kebijakan publik. Di sisi lain, partai politik bertugas membantu sosialisasi kebijakan pemerintah, sehingga terjadi suatu arus informasi berkesinambungan antara pemerintah dan masyarakat.

Sarana Sosialisasi Politik: Dalam usahanya untuk memperoleh dukungan luas masyarakat, partai politik akan berusaha menunjukkan diri sebagai pejuang kepentingan umum. Oleh karena itu partai politik harus mendidik dan membangun orientasi pemikiran anggotanya (dan masyarakat luas) untuk sadar akan tanggungjawabnya sebagai warga negara. Proses tersebut dinamakan sosialisasi politik, yang wujud nyatanya dapat berbentuk ceramah penerangan, kursus kader, seminar dan lain-lain. Lebih lanjut, sosialisasi politik dapat pula diartikan sebagai usaha untuk memasyarakatkan ide, visi dan kebijakan strategis partai politik kepada konstituen agar mendapatkan feedback berupa dukungan masyarakat luas.[17]

Sarana Rekruitmen Politik: Partai politik memiliki fungsi untuk mencari dan mengajak orang yang berbakat untuk aktif berpolitik sebagai anggota partai politik tersebut (political recruitment).[18] Hal ini merupakan suatu usaha untuk memperluas partisipasi politik. Selain itu, rekruitmen politik yang di arahkan pada generasi muda potensial menjadi sarana untuk mempersiapkan regenerasi kepemimpinan di dalam struktur partai politik.

Sarana Mengelola Konflik: Partai politik bertugas mengelola konflik yang muncul di masyarakat sebagai suatu akibat adanya dinamika demokrasi, yang memunculkan persaingan dan perbedaan pendapat. Dalam hal ini partai politik diharapkan dapat meredam dan menyelesaikan konflik-konflik yang terjadi dalam masyarakat, sehingga kehidupan masyarakat yang damai dan tenteram menjadi dambaan kita semua.

Memperhatikan fungsi parpai sebagai sarana Mengelola Konflik tersebut, kududukan dan peran partai politik adalah sangat penting bagi sebuah Negara demokrasi, baik dalam penyusunan berbagai kebijakan yang demokratis maupun sebagai alat yang efektif untuk melakukan sosialisasi politik (kebijakan), rekruitmen politik serta sarana pengatur konflik, walaupun tidak seluruh fungsi ini dapat diperankan oleh partai-partai politik, karena di internal partai politik sendiri bisa terjadi konflik dan tidak mampu melaksanakan sosialisasi dan komunikasi politik dengan baik. Hal ini sangat tergantung pada kwalitas dan kesadaran politik dari para pimpinan yang menggerakkan partai itu.

Dalam teori demokrasi modern, menurut Klingemann, Partai-partai politik dipandang sebagai sarana kelembagaan yang utama untuk menjembatani hubungan antara masyarakat dengan pemerintah.[19] Partai-partai dianggap memainkan peranan menyeluruh sebelum, selama dan sesudah pemilu. Berbeda dengan kelompok-kelompok kepentingan , partai-partai menjangkau suatu lingkup kepentingan manusia secara luas. Mereka mengidentifikasi, memilah menentukan dan mengarahkan pelbagai kepentingan tersebut menuju cara-cara bertindak yang dapat dipilih oleh para pemilih dan pemerintah. Pemilu merupakan ajang menyampaikan kehendak kebijakan yang disampaikan oleh para pimpinan partai dalam konteks memperebutkan persaingan memperebutkan pemerintahan.[20]

Idealnya partai pemenang akan mengendalikan pengambilan keputusan kebijakan pemerintahan sesuai dengan program-program partainya. Namun menurut menurut Klingermann, Partai yang berkuasa harus juga memperhatikan berbagai tuntutatan yang nyata dalam masyarakat.[21] Karena itu partai pecundang tidak harus kehilangan perannya dalam kehidupan politik modern, karena ternyata penentuan kebijakan publik sangat dipengaruhi oleh rangkain proses demokratis dalam proses pengambilan keputusan. Tekanan-tekanan yang disampaikan oleh kelompok fungsional dan partai-partai kecil sangat besar pengaruhnya dalam penentuan kebijakan publik. Apalagi kalau tidak ada pemenang mutlak dalam proses pemilu sehingga pengambilan keputusan mengutamakan akomodasi daripada konfrontasi.

 

BAB II

KONSEPSI IDEAL FUNGSI PARTAI POLITIK

SEBAGAI SARANA PENGATUR KONFLIK DI INDONESIA

II.1. Fungsi Partai Politik Sebagai Pengatur Konflik dan Kaitannya dengan Fungsi-Fungsi Lainnya

Pada umumnya, para ilmuwan politik biasa menggambarkan adanya 4 (empat) fungsi partai politik.[22] Keempat fungsi partai politik itu menurut Miriam Budiardjo, meliputi sarana[1]: (i) sarana komunikasi politik, (ii) sosialisasi politik (political socialization), (iii) sarana rekruitmen politik (political recruitment), dan (iv) pengatur konflik (conflict management). Dalam istilah Yves Meny dan Andrew Knap fungsi partai politik itu mencakup fungsi (i) mobilisasi dan integrasi, (ii) sarana pembentukan pengaruh terhadap perilaku memilih (voting patterns); (iii) sarana rekruitmen politik; dan (iv) sarana elaborasi pilihan-pilihan kebijakan.

Keempat fungsi tersebut sama-sama terkait satu dengan yang lainnya. Sebagai sarana komunikasi politik, partai berperan sangat penting dalam upaya mengartikulasikan kepentingan (interests articulation) atau “political interests[23] yang terdapat atau kadang-kadang yang tersembunyi dalam masyarakat. Berbagai kepentingan itu diserap sebaik-baiknya oleh partai politik menjadi ide-ide, visi dan kebijakan-kebijakan partai politik yang bersangkutan. Setelah itu, ide-ide dan kebijakan atau aspirasi kebijakan itu diadvokasikan sehingga dapat diharapkan mempengaruhi atau bahkan menjadi materi kebijakan kenegaraan yang resmi.

Terkait dengan komunikasi politik itu, partai politik juga berperan penting dalam melakukan sosialisasi politik (political socialization). Ide, visi dan kebijakan strategis yang menjadi pilihan partai politik dimasyarakatkan kepada konstituen untuk mendapatkan ‘feedback’ berupa dukungan dari masyarakat luas. Terkait dengan sosialisasi politik ini, partai juga berperan sangat penting dalam rangka pendidikan politik. Partai lah yang menjadi struktur-antara atau ‘intermediate structure[24] yang harus memainkan peran dalam membumikan cita-cita kenegaraan dalam kesadaran kolektif masyarakat warga negara.

Misalnya, dalam rangka keperluan memasyarakatkan kesadaran negara berkonstitusi, partai dapat memainkan peran yang penting. Tentu, pentingnya peran partai politik dalam hal ini, tidak boleh diartikan bahwa hanya partai politik saja yang mempunyai tanggungjawab eksklusif untuk memasyarakatkan UUD. Semua kalangan, dan bahkan para pemimpin politik yang duduk di dalam jabatan-jabatan publik, khususnya pimpinan pemerintahan eksekutif mempunyai tanggungjawab yang sama untuk itu. Yang hendak ditekankan disini adalah bahwa peranan partai politik dalam rangka pendidikan politik dan sosialisasi politik itu sangatlah bergantung pada keinginan dan komitmen yang kuat dari penyelenggara dan pengurus partai politik.

Fungsi ketiga partai politik adalah sarana rekruitmen politik (political recruitment). Partai dibentuk memang dimaksudkan untuk menjadi kendaraan yang sah untuk menyeleksi kader-kader pemimpin negara pada jenjang-jenjang dan posisi-posisi tertentu. Kader-kader itu ada yang dipilih secara langsung oleh rakyat, ada pula yang dipilih melalui cara yang tidak langsung, seperti oleh Dewan Perwakilan Rakyat, ataupun melalui cara-cara yang tidak langsung lainnya.

Tentu tidak semua jabatan yang dapat diisi oleh peranan partai politik sebagai sarana rekruitmen politik. Jabatan-jabatan profesional di bidang-bidang kepegawai-negerian, dan lain-lain yang tidak bersifat politik (poticial appointment)[25], tidak boleh melibatkan peran partai politik. Partai hanya boleh terlibat dalam pengisian jabatan-jabatan yang bersifat politik dan karena itu memerlukan pengangkatan pejabatnya melalui prosedur politik pula (political appointment).

Untuk menghindarkan terjadinya percampur adukan, perlu dimengerti benar perbedaan antara jabatan-jabatan yang bersifat politik itu dengan jabatan-jabatan yang bersifat teknis-administratif dan profesional.[26] Di lingkungan kementerian, hanya ada 1 jabatan saja yang bersifat politik, yaitu Menteri. Sedangkan para pembantu Menteri di lingkungan instansi yang dipimpinnya adalah pegawai negeri sipil yang tunduk kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang kepegawaian.

Jabatan dibedakan antara jabatan negara dan jabatan pegawai negeri. Yang menduduki jabatan negara disebut sebagai pejabat negara. Seharusnya, supaya sederhana, yang menduduki jabatan pegawai negeri disebut pejabat negeri. Dalam jabatan negeri atau jabatan pegawai negeri, khususnya pegawai negeri sipil, dikenal adanya dua jenis jabatan, yaitu jabatan struktural dan jabatan fungsional.

Jenjang jabatan itu masing-masing telah ditentukan dengan sangat jelas hirarkinya dalam rangka penjenjangan karir. Misalnya, jenjang jabatan struktural tersusun dalam mulai dari eselon 5, 4, 3, 2, sampai ke eselon 1. Untuk jabatan fungsional, jenjang jabatannya ditentukan berdasarkan sifat pekerjaan di masing-masing unit kerja. Misalnya, untuk dosen di perguruan tinggi yang paling tinggi adalah guru besar. Jenjang di bawahnya adalah guru besar madya, lektor kepala, lektor kepala madya, lektor, lektor madya, lektor muda, dan asisten ahli, asisten ahli madya, asisten. Di bidang-bidang lain, baik jenjang maupun nomenklatur yang dipakai berbeda-beda tergantung bidang pekerjaannya.

Untuk pengisian jabatan atau rekruitmen pejabat negara/kenegaraan, baik langsung ataupun tidak langsung, partai politik dapat berperan. Dalam hal ini lah, fungsi partai politik dalam rangka rekruitmen politik (political recruitment) dianggap penting.[27] Sedangkan untuk pengisian jabatan negeri seperti tersebut di atas, partai sudah seharusnya dilarang untuk terlibat dan melibatkan diri.

Fungsi keempat adalah pengatur dan pengelola konflik yang terjadi dalam masyarakat (conflict management). Seperti sudah disebut di atas, nilai-nilai (values) dan kepentingan-kepentingan (interests)[28] yang tumbuh dalam kehidupan masyarakat sangat beraneka ragam, rumit, dan cenderung saling bersaing dan bertabrakan satu sama lain. Jika partai politiknya banyak, berbagai kepentingan yang beraneka ragam itu dapat disalurkan melalui polarisasi partai-partai politik yang menawarkan ideologi, program, dan altrernatif kebijakan yang berbeda-beda satu sama lain.

Dengan perkataan lain, sebagai pengatur atau pengelola konflik (conflict management) partai berperan sebagai sarana agregasi kepentingan (aggregation of interests) yang menyalurkan ragam kepentingan yang berbeda-beda itu melalui saluran kelembagaan politik partai. Karena itu, dalam kategori Yves Meny dan Andrew Knapp, fungsi pengeloa konflik dapat dikaitkan dengan fungsi integrasi partai politik.[29] Partai mengagregasikan dan mengintegrasikan beragam kepentingan itu dengan cara menyalurkannya dengan sebaik-baiknya untuk mempengaruhi kebijakan-kebijakan politik kenegaraan.

Menurut Mac Iver, partai politik adalah “suatu kumpulan terorganisasi untuk menyokong suatu prinsip atau kebijaksanaan (policy) yang oleh perkumpulan itu diusahakan dengan cara-cara sesuai dengan konstitusi atau Undang-undang agar menjadi penentu cara melakukan pemerintahan”.[30] Kumpulan atau perkumpulan yang dibentuk akan adanya suuatu prinsip atau kebijaksanaan dari setiap anggota yang diakomodir oleh partai menjadi kepentingan bersama adalah dasar semangat bagaimana partai politik berjalan, tidak munggkin sebuah partai hadir tanpa adanya suatu kepentingan yang sekaligus menjadi tujuan partai tersebut.

Karena hadir untuk mengakomodir kepentingan bersama, banyak orang yang awalnya memiliki kesamaan kepentingan, orientasi dan cita-cita akhirnya menyatu membuat suatu perkumpulan sehingga ada legitimasi atau kekuatan politik untuk melakukan sebuah aktifitas politik. Walaupun tidak bisa dipungkiri tanpa berpartaipun, seseorang dapat terlibat aktif dalam kegiatan politik, hanya perlu disadari bahwa secara sosial politik, kekuatan (power) seorang individu tak mampu mengalahkan kekuatan kelompok yang terorganisir. Suatu partai politik dapat timbul karena :

  1. Sekumpulan orang bersama-sama mencintai orang atau keturunan dari orang tertentu dan melahirkan partai. Misalnya partai raja, Partai Bonaparte, namun partai-partai ini sudah hamper tidak ada di jaman sekarang ini.
  2. Sekumpulan orang mempunyai kepentingan yang sama seperti partai buruh, partai tani, dan lain sebagainya.
  3. Adanya asas dan cita-cita politik yang sama seperti partai nasionalis, partai komunis dan lain sebagainya.
  4. Adanya persamaan dalam kepercayaan seperti partai islam, partai Katolik dan lain-lain.[31]

Maka demikianlah sebuah partai terbentuk, terbentuknya suatu partai akhirnya memaksa para pelaku partai politik membangun suatu konsepsi atau perumusan bagaimana suatu partai politik berjalan.[32] Dengan ini kita dapat memahaminya dengan mengerti beberapa fungsi (ideal) dari partai politik. Warga Negara yang telah dewasa atau dianggap dewasa seringkali terlibat dalam kegiatan-kegiatan politik, seperti kegiatan memilih dalam pemilihan umum, menjadi anggota golongan politik seperti anggota partai, duduk dalam dewan perwakilan rakyat, berkampanye dan lain sebagainya. Kegiatan seseorang dalam partai politik merupakan suatu bentuk partisipasi politik. Partisipasi politik mencakup semua kegiatan sukarela melalui turut serta dalam proses pemilihan pemimpin-pemimpin politik dan turut serta dalam pembentukan kebijaksanaan umum.

Ahli lain yaitu Sigmund Neumann mengemukakan bahwa partai politik adalah organisasi dari aktivitas – aktivitas politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintah serta merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan dengan suatu golongan atau golongan yang lain yang mempunyai pandangan yang berbeda.[33]

II.2 Fungsi Partai Politik Sebagai Pengatur Konflik dalam Peraturan Perundang-Undangan

            Adapun dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 pasal 11 ayat 1 jucto Undang-Undang No. 2 Tahun 2011 tentang perubahan Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 pasal 11 disebutkan bahwa fungsi partai politik adalah sebagai sarana:

  1. Pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
  2. Penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa indonesia untuk kesejahteraan masyarakat.
  3. Penyerap, penghimpun dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara.
  4. Partisipasi politik warga negara Indonesia, dan
  5. Rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.

Berdasarkan fungsi partai politik diatas, secara jelas bahwa fungsi partai politik juga sebagai sarana pengatur konflik. Penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa indonesia untuk kesejahteraan masyarakat, adalah bukti bahwa hukum positif kita mengatur dengan baik tentang fungsi partai politik sebagai pengatur konflik. Untuk itu diharapkan segenap kalangan partai politik dapat memberikan fungsi yang positif dalam membangun bangsa, utamanya dihaapkan fungsi partai politik dapat meredam dan menjegah konflik yang ada.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjamin kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat sebagai hak asasi manusia yang harus dilaksanakan untuk mewujudkan kehidupan kebangsaan yang kuat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, demokratis, dan berdasarkan hukum.[34]

Dinamika dan perkembangan masyarakat yang majemuk menuntut peningkatan peran, fungsi, dan tanggung jawab Partai Politik dalam kehidupan demokrasi secara konstitusional sebagai sarana partisipasi politik masyarakat dalam upaya mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia, menjaga dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
II.3. Tidak Berjalannya Fungsi Parpol Sebagai Pengatur Konflik

Kita melihat beberapa faktor yang bisa menjadi penyebab gagalnya sebuah partai politik di Indonesia menjalankan fungsinya.[35] Pertama adalah sistem kepartaian di Indonesia: Indonesia sejak zaman Kemerdekaan mengadopsi sistem multi partai dengan segala variannya sebagai wujud kemajemukan (beragamnya kepentingan dan kelompok sosial) Indonesia.[36] Secara spesifik, pada negara berkembang partai politik yang ada akan membentuk sistem yang terpolarisasi sebagai akibat dari lebarnya jarak ideologi. Keadaan tersebut akan menghasilkan pemerintahan yang tidak stabil karena partai politik yang ada cenderung untuk terlibat dalam konflik horizontal. Hal itu juga akan menyebabkan partai politik kurang dapat menjalankan fungsi komunikasi dan sosialisasi politik di masyarakat.

Kemudian kita juga melihat budaya elitisme sebagai alasan kedua mengapa partai politik d Indonesia kurang dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Pada partai politik di Indonesia, partisipasi politik masih dikuasai oleh kelompok-kelompok (faksi) tertentu.[37]Pada perkembangannya, budaya tersebut membuat partai hanya dikuasai oleh elit-elit tertentu dan bahkan bisa berkembang menjadi semacam dinasti politik dalam partai. Hal itu mungkin menjadi strategi partai politik untuk mempertahankan ideologi dan kepentingannya. Kalau sudah begitu, fungsi rekruitmen partai politik tidak akan berjalan sempurna dan bisa menjadi preseden bruk dalam pendidikan politik di masyarakat.

Faktor lain yang bisa menjadi penyebab kegagalan fungsi partai politik di Indonesia adalah pragmatisme partai politik itu sendiri. Pada dasarnya ideologi partai politik di Indonesia dipengaruhi oleh jalur-jalur agama, kelas dan kebangsaan. Menurut Ratnawati dalam bukunya “Sistem Kepartaian di Era Transisi”, Secara khusus kajian tentang partai politik di Indonesia dipengaruhi oleh adanya politik aliran, yaitu beberapa aliran ideologis yang berkembang dan mempengaruhi kehidupan politik Indonesia. Namun pada dewasa ini, idealisme partai seakan dikalahkan oleh budaya pragmatisme yang menyebabkan partai politik di Indonesia lebih berpikir untuk mempertahankan kekuasaan politiknya saja daripada mempertahankan idealisme semata.

Sebenarnya kegagalan fungsi partai politik tersebut bukanlah suatu hal yang jarang terjadi di negara berkembang seperti Indonesia. Indonesia masih mengalami masa transisi dari beberapa sistem politik untuk mencapai sistem yang stabil.[38] Namun apabila partai politik gagal menjaga tugas dan fungsinya dengan baik, maka masa transisi tersebut hanya akan diwarnai oleh ketidakstabilan di bidang politik yang kemudian berimbas pada bidang sosial dan ekonomi. Secara sederhana rakyat akan melihat partai politik gagal dalam mengemban amanat rakyat dan hal itu akan menyebabkan rakyat menjadi apatis terhadap partai politik. Dampaknya adalah partisipasi rakyat dalam politik akan menurun tajam.

II.4. Idealnya Fungsi Partai Politik Sebagai Pengatur Konflik

Idealnya partai politik memiliki fungsi utama untuk mengorganisir kepentingan yang timbul dalam suatu komunitas baik masyarakat secara mikro maupun makro: bangsa.[39] Dalam konteks bangsa Indonesia, fungsi partai politik yang cukup penting yakni sebagai sarana pendidikan politik dimana partai politik menjadi media atau kendaraan yang mengantar masyarakat pada kondisi sadar secara politik.

Sistem demokrasi seutuhnya mendorong adanya masyarakat yang sadar akan posisinya dalam suatu proses politik, tidak hanya berpartisipasi sebagai pemilih dalam pemilihan umum sebagaimana telah disampaikan di atas, atau ikut berdemonstrasi untuk mengkritisi kebijakan pemeerintah dan lain-lain.

Terdapat beberapa fungsi partai yang hingga saat ini masih sangat ideal dikarenakan partai politik di Indonesia, walaupun sudah menganut konsep demokrasi, tidak memberikan perhatian penuh terhadap berjalannya fungsi partai selain fungsinya meraih suatu jabatan politik dan mebagi-bagikan keuntungan. Berikut rangkuman beberapa fungsi (ideal) partai politik:

  1. Sebagai sarana partisipasi politik.
  2. Sebagai media komunikasi politik.
  3. Sebagai pengatur konflik.
  4. Media sosialisasi politik.
  5. Pengontrol kegiatan atau aktifitas politik
  6. Rekruitmen politik.[40]

Miriam Budiardjo sendiri dalam bukunya “Dasar-Dasar Ilmu Politik” menyebutkan beberapa fungsi dari partai politik: Pertama adalah partai politik sebagai sarana komunikasi politik atau sebagai sarana artikulasi kepentingan rakyat.[41] Dalam sebuah negara, setiap warga negara tentu mempunyai pendapat dan aspirasi yan berbeda-beda. Hal itu tentu akan menyulitkan ketika setiap orang ingin didengar aspirasinya. Partai politik berperan sebagai penampung dan penggabung pendapat dari setiap warga negara tersebut (interest aggregation).[42] Kemudian aspirasi-aspirasi tersebut dirumuskan menjadi bentuk yang lebih teratur (interest articulation) dan diterapkan oleh partai ke dalam program partai. Program-program tersebut yang kemudian diperjuangkan oleh partai politik di level pemerintahan untuk diaplikasikan ke dalam kebijakan publik.

Kemudian partai politik berfungsi sebagai sarana sosialisasi politik masyarakat. Di dalam ilmu poitik, sosialisasi politik adalah proses di mana seseorang memperoleh sikap dan orientasi terhadap fenomena politik yang berlaku di mana dia berada. Dalam konteks ini, partai politik berusaha untuk menciptakan image bahwa mereka juga memperjuangkan kepentingan umum agar mereka mendapat dukungan yang luas dari konstituen mereka. Sosialisasi politik ini juga dapat berarti pendidikan politik, baik kepada kader-kader partai itu sendiri maupun kepada rakyat agar mereka sadar akan tanggung jawab mereka sebagai warga negara.

Dalam hubungannya dengan fungsi kedua, partai politik juga berperan dalam proses rekruitmen politik. Rekruitmen politik berguna untuk memperluas partisipasi aktif rakyat dalam kegiatan politik serta sebagai sarana untuk mendidik kader partai. Fungsi partai politik yang terakhir adalah sebagai sarana pengatur konflik (conflict management).[43] Partai politik bertanggung jawab untuk meredam dan mengatasi konflik yang biasa terjadi pada suasana demokrasi.

Namun sayangnya, masih menurut Budiardjo, fungsi-fungsi partai politik tersebut sering kali tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya. Sebagai contoh adalah fungsi komunikasi politik yang sering disalahgunakan sebagai propaganda politik untuk mencapai kepentingan partai tersebut. Atau bahkan partai politik lebih sering terlibat dalam konflik politik daripada meminimalisir konflik yang terjadi. Intinya fungsi partai yang tidak berjalan tersebut diindikasikan sebagai ketidakmampuan partai politik untuk menjalankan perannya sebagai pengawal aspirasi rakyat. Keadaan tersebut jamak terjadi pada partai-partai politik di Indonesia.

 

BAB III

PENUTUP

III.1. Simpulan

  1. Fungsi partai politik sebagai sarana pengatur konflik di Indoensia kurang berjalan optimal, mengingat justeru banyak kemudian konflik-konflik yang muncul akibat dari keinginan-keinginan dari oknum yang menduduki jabatan di partai politik, sehingga dapat dikatakan partai politik justeru sebagai penambah konflik antar kepentingan.
  2. Untuk optimalisasi fungsi partai politik sebagai sarana Pengatur Konflik dibutuhkan komitmen dan kemauan bersama-sama untuk meminilisir konflik, dan memberikan arahan yang benar kepada konstituen atau massa pendukung agar tidak melakukan hal-hal yang dilarang oleh masyarakat bangsa dan Negara.

III.2. Saran

  1. Fungsi partai politik sebagai sarana pengatur konflik dapat berjalan dengan optimal apabila partai politik mampu memberikan pendidikan politik yang baik kepada konstituen atau pengikutnya, sehingga konflik antar kepentingan dapat terhindarkan.
  2. Komitmen dan keinginan untuk mereformasi partai politik yang sebelumnya adalah sebagai sarana penambah konflik, hal itu mulai dirubah sehingga partai politik dapat dijadikan sarana pencegah konflik antar kepentingan yang ada.

 

DAFTAR PUSTAKA

Alim, Muhammad, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia dalm Konstitusi Madinah dan UUD 1945, UII Press, Yogyakarta, 2008

Asshiddiqie, Jimly, Konstitusi & Konstitusialisme Indonesia, Konpress, Jakarta, 2006

_______________, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Konpress, Jakarta, 2006

_______________, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Konpress, Jakarta, 2006

Basah, Sjachran, Ilmu Negara, Pengantar, Metode dan Sejarah Perkembangan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung

Budiardjo, Miriam, Pengantar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 2000

Budiman, Arief, Teori Negara, Kekuasaan, dan Ideologi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2002

C, Anwar, Teori dan Hukum Konstitusi, Paradigma Kedaulatan dalam UUD 1945, In-Trans Publishing, Malang, 2011

El-Muhtaj, Majda, Hak Asasi Manusia Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen, Pustaka Kencana, Jakarta, 2005

Huda, Ni’matul, Politik Ketatanegaraan Indonesia, Kajian Terhadap Dinamika Peubahan UUD 1945, UII Press, Yogyakarta, 2003

Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media Publishing, Malang, 2006

Imawan, Riswanda, Profil Legislator di Masa Depan, Dalam Miriam Budiardjo dan Ibrahim Ambong, Fungsi Legislatif dalam SistemPolitik Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, 1993

Indrayana, Denny, Negara antara ada dan tiada, Reformasi Hukum Ketatanegaraan, Kompas Gramedia, Jakarta, 2009

Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, Dwiwantara, Bandung, 1964

Isra, Saldi, Pergeseran Fungsi Legislasi, Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, Cetakan-1, 2010

Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah (Pasang Surut Kewenangan DPRD dan Kepala daerah),   Alumni, Bandung

Kantaprawira, Rudasi, Hukum dan Kekuasaan, Makalah Pada Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta

Kranenburg dan Tk. B. Sabaroedin, Ilmu Negara Umum, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1986

Kusnardi, Moh. dan Bintan Siragih, Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem Undang-Undang Dasar 1945, PT. Gramedia, Jakarta, 1978

Kusnardi, Moh. dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi HTN Fakultas Hukum UI, Jakarta, 1988

Lubis, Solly, Asas-asas Hukum Tata Negara, Alumni, Bandung, 1982

______________, Dasar Kepemimpinan Nasional Presiden Menurut UUD 1945, dalam Padmo Wahjono, Masalah Ketatanegaraan Dewasa Ini, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984

Mahendra, Yusril Ihza, Dinamika Tata Negara Indonesia, Gema Insani Press, Jakarta, 1996

Mahfud MD, Moh., Pergulatan Politik dan Hukum, Gema Media, Yogyakarta, 1999

_______________, Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 2006

_______________, Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Rineka Cipta, 2001

Manan, Bagir, Kedaulatan Rakyat Hak Asasi Manusia dan Negara Hukum, Kumpulan Esai Guna Menghormati Prof. Dr. R. Sri Soemantri M, S.H., Gajah Media Pratama, Jakarta

Mansoer, Moh. Tolchah, Demokrasi Sepanjang konstitusi, Nurcahya, Yogyakarta, 1981

Meny, Yves and Andrew Knapp, Government and Politics in Western Europe: Britain, France, Italy, Germany, third edition, Oxford University Press, 1998.

Nurtjahjo, Hendra, Filsafat Demokrasi, Bumi aksara, Jakarta, 2006

Pangerang, Andi, Prinsip-Prinsip Permusyawaratan Rakyat Berdasarkan Pasal 18 UUD 1945 dan Implementasinya Dalam Sistem Pemerintahan di Daerah, Disertasi, Unpad, Bandung, 1999

Prodjodikoro, Wirjono, Asas-asas Hukum Tata Negara di Indonesia, Dian Rakyat, Jakarta, 1977

Rajab, Dasril, Hukum Tata Negara Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2005

Ranadireksa, Hendarmin, Arsitektur Konstitusi Demokratik, Fokusmedia, Bandung, 2007

Salman, Otje dan F. Susanto, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung, 2005

Soehino, Ilmu Negara, Lyberty, Yogyakarta, 2000

Soemantri, Sri M, Perngantar Perbandingan Hukum Tata Negara, Rajawali Pers, Jakarta 1998

Soetomo, Ilmu Negara, Usaha Nasional, Surabaya, 2002

Strong, C.F., Modern Political Constitution: An Introduction To the Comparative Study of Their History and existing Form, The English Book Society and Sidgwick and Jackson, Limited London, 1966.

Suhartono, et.al, Politik Lokal Parlemen Desa; Awal Kemerdekaan Sampai Jaman Otonomi Daerah, Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta, Edisi Revisi, 2000

Sumali, Reduksi Kekuasaan Ekskutif di Bidang Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perpu), UMM Press, 2003

Thaib, Dahlan, Jazim Hamidi dan Ni’matul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004

Wirosardjono, Soetjipto, Dialog dengan Kekuasaan, Esai-Esai Tentang Agama, Negara, dan Rakyat, Mizan, Bandung, 1995

Yusuf, Slamet Effendy dan Umar Basalim, Reformasi Konstitusi Indonesia, Perubahan Pertama UUD 1945, Pustaka Indonesia Satu, Jakarta, 2000

                [1] C.F. Strong, Modern Political Constitution: An Introduction To the Comparative Study of Their History and existing Form, The English Book Society and Sidgwick and Jackson, Limited London, 1966. Hal.59

[2] Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tata Negara Indonesia, Gema Insani Press, Jakarta, 1996, hal. 12-13

[3] Ni’matul Huda, Politik Ketatanegaraan Indonesia, Kajian Terhadap Dinamika Peubahan UUD 1945, UII Press, Yogyakarta, 2003, hal. 67.

[4] M. Solly Lubis, Dasar Kepemimpinan Nasional Presiden Menurut UUD 1945, dalam Padmo Wahjono, Masalah Ketatanegaraan Dewasa Ini, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984, hal. 208

                [5] Lijphart, sebagaimana dikutip oleh Soetjipto Wirosardjono, Dialog dengan Kekuasaan, Esai-Esai Tentang Agama, Negara, dan Rakyat, Mizan, Bandung, 1995, Hal. 34

[6] Slamet Effendy yusuf dan Umar Basalim, Reformasi Konstitusi Indonesia, Perubahan Pertama UUD 1945, Pustaka Indonesia Satu, Jakarta, 2000, Hal. 224

[7] Moh. Kusnardi dan Bintan Siragih, Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem Undang-Undang Dasar 1945, PT. Gramedia, Jakarta, 1978, Hal. 30

[8] Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media Publishing, Malang, 2006, Hal.57

[9] Otje Salman dan F. Susanto, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung, 2005, Hal. 46

[10] Sjachran Basah, Ilmu Negara, Pengantar, Metode dan Sejarah Perkembangan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, Hal. 60

                [11] Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah (Pasang Surut Kewenangan DPRD dan Kepala daerah),   Alumni, Bandung, Hal.96-97

[12] Riswanda Imawan, Profil Legislator di Masa Depan, Dalam Miriam Budiardjo dan Ibrahim Ambong, Fungsi Legislatif dalam SistemPolitik Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, 1993, hal.75

[13] Miriam Budiardjo, Pengantar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 2000, hal.175

[14] Juanda, Opcit, hal.175

                [15] Miriam Budhiardjo, Opcit, hal. 163

                [16] Yves Meny and Andrew Knapp, Government and Politics in Western Europe: Britain, France, Italy, Germany, third edition, Oxford University Press, 1998. Hal. 23

                [17] Bagir Manan, Kedaulatan Rakyat Hak Asasi Manusia dan Negara Hukum, Kumpulan Esai Guna Menghormati Prof. Dr. R. Sri Soemantri M, S.H., Gajah Media Pratama, Jakarta, hal.238-239

                [18] Arief Budiman, Teori Negara, Kekuasaan, dan Ideologi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2002, hal.40

                [19] Klingemann sebagaimana di kutip oleh Sigmund Neuman, diangkat kembali oleh andi Pangerang, Prinsip-Prinsip Permusyawaratan Rakyat Berdasarkan Pasal 18 UUD 1945 dan Implementasinya Dalam Sistem Pemerintahan di Daerah, Disertasi, Unpad, Bandung, 1999, hal.59

                [20] Suhartono, et.al, Politik Lokal Parlemen Desa; Awal Kemerdekaan Sampai Jaman Otonomi Daerah, Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta, Edisi Revisi, 2000, hal.24

                [21] Suhartono, et.al, Ibid

[22] . Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, Dwiwantara, Bandung, 1964, Hal. 127-129

[23] Rudasi Kantaprawira, Hukum dan Kekuasaan, Makalah Pada Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, Hal. 37-38

[24] Kranenburg dan Tk. B. Sabaroedin, Ilmu Negara Umum, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1986, Hal. 20

[25] Moh. Mahfud MD, Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Rineka Cipta, 2001, Hal. 67-68

[26] Hendarmin Ranadireksa, Arsitektur Konstitusi Demokratik, Fokusmedia, Bandung, 2007, Hal. 34

[27] Hendra Nurtjahjo, Filsafat Demokrasi, Bumi aksara, Jakarta, 2006, Hal.36

[28] Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Tata Negara di Indonesia, Dian Rakyat, Jakarta, 1977, Hal. 10. Bandingkan dengan Dahlan Thaib, Jazim Hamidi dan Ni’matul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, Hal. 7

                [29] Yves Meny dan Andrew Knapp, Opcit, Hal 42

                [30] Dalam Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi HTN Fakultas Hukum UI, Jakarta, 1988, Hal.65

                [31] Moh. Tolchah Mansoer, Demokrasi Sepanjang konstitusi, Nurcahya, Yogyakarta, 1981, Hal. 5-6

[32] Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusialisme Indonesia, Konpress, Jakarta, 2006, Hal. 35. Lihat juga Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Konpress, Jakarta, 2006, Hal. 24. Lihat juga Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Konpress, Jakarta, 2006, Hal.1-9

                [33] Sumali, Reduksi Kekuasaan Ekskutif di Bidang Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perpu), UMM Press, 2003, Hal. 9

                [34] Sri Soemantri M, Perngantar Perbandingan Hukum Tata Negara, Rajawali Pers, Jakarta 1998, hal.27

                [35] Moh. Mafud MD, Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 2006, hal. 167

[36] Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen, Pustaka Kencana, Jakarta, 2005, hal 15

[37] Muhammad Alim, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia dalm Konstitusi Madinah dan UUD 1945, UII Press, Yogyakarta, 2008, Hal. 52

[38] Denny Indrayana, Negara antara ada dan tiada, Reformasi Hukum Ketatanegaraan, Kompas Gramedia, Jakarta, 2009, Hal 71

[39] Dasril Rajab, Hukum Tata Negara Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2005, Hal.64

                [40] Solly Lubis, Asas-asas Hukum Tata Negara, Alumni, Bandung, 1982, Hal. 104

                [41] Miriam Budiardjo, Opcit, Hal 56

[42] Anwar C, Teori dan Hukum Konstitusi, Paradigma Kedaulatan dalam UUD 1945, In-Trans Publishing, Malang, 2011, Hal. 24

[43] Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi, Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, Cetakan-1, 2010, Hal 31

Continue Reading

ORGAN NEGARA HUKUM INDONESIA

1.      Konsep Organ Negara
a.      Hans Kelsen
memberikan definisi tentang Konsep organ Negara ditinjau dari fungsinya.[1]
Fungsi itu terbagi menjadi 2 (dua) bagian yakni sebagai menciptakan norma (norm creating) dan menjalankan norma (norm applaying). K.C. Wheare juga
membagi organ Negara dalam konstitusi dalam bentuk institusi-institusi uatama
Pemerintah, seperti legislative, ekskutif dan Yudikatif, sedangkan penentuan
komposisi dan cara pengangkatannya lembaga tersebut, seringkali diserahkan pada
hukum biasa (ordinary law).[2] Selanjutnya
beberapa pakar dan pendapat ahli berkenaan dengan konsepsi lembaga Negara pasca
amandemen konstitusi (Undang-Undang Dasar 1945 amandemen) di Indonesia
diantanya :

Prof. Dr. T. Sri
Soemantri, SH.
Beberapa
perubahan dalam UUD 1945 menurut Sri Soemantri adalah Pembatasan kekuasaan
Presiden, Pemisahan kekuasaan, Pengauran Pemerintahan Daerah, selanjutnya
mengenai Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD 1945,
kemudian dinyatakan dengan tegas bahwa Indonesia adalah Negara Hukum, adanya
lembaga-lembaga Negara baru seperti DPD, KY dan MK, kemudian DPA dilakukan
penghapusan, dan yang terakhir adalah adanya ketentuan bahwa anggaran
pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN. Akibat dari diubahnya pasal 1
tentang kedaulatan, maka MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi Negara,
dengan demikian kedudukan MPR sederajat dengan lembaga-lembaga yang lain,
seperti DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, Mahkamah Agung, Mahkamah
Konstitusi, Komisi Yudisial dan Badan Pemeriksa Keuangan.[3]

Prof. Dr. Bagir
Manan, SH., L.LM.
Dorongan
memperbaharui dan mengubah UUD 1945 sesuai dengan kenyataan bahwa sebagai
subsistem tatanan konstitusi dalam pelaksanaannya tidak berjalan sesuai dengan staatside mewujudkan Negara berdasarkan
konstitusi seperti tegaknya tatanan demokrasi, Negara berdasarkan atas hukum
yang menjadmin hal-hal seperti Hak Asasi Manusia, kekuasaan kehakiman yang
merdeka, serta keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia, yang terjadi
adalah etatisme, otoriterisme atau kediktatoran yang menggunakan UUD 1945
sebagai sandaran.[4]
Sedangkan tujuan dari adanya Amandemen UUD 1945 menurut Bagir Manan adalah Pertama, mewujudkan kembali pelaksanaan
demokrasi dalam segala peri kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, Kedua, mewujudkan kembali pelaksanaan
prinsip Negara yang berdasarkan hukum, ketiga,
pemberdayaan rakyat dibidang politik, ekonomi, social dan lain-lain, kempat, mewujudkan kesejahteraan umum
dan sebesar-besarnya kemakmuran atas dasar keadilan social bagi seluruh rakyat
Indonesia.[5]

Prof. Dr. Jimly
Asshiddiqie.
Menurut Jimly Asshiddiqie
ada beberapa hal yang melatarbelakangi adanya amandemen Undang-Undang Dasar
1945, yang salah satunya berakibat terhadap pergeseran format kelembagaan
negara, diantaranya, Pertama,
Mengenai peralihan fungsi kekuasaan untuk membentuk Undang-Undang, Kedua, perumusan pasal-pasal Hak Asasi
Manusia, Ketiga, pencantuman
ketentuan mengenai keanggotaan unsur TNI dan POLRI yang bersifat sementara, Keempat, pencantuman DPD, Kelima, perkembangan pemilihan Presiden
dan Wakil Presiden secara langsung, Keenam,
Kekuasaan Kehakiman yang mandiri, Ketujuh,
Pemisahan Kekuasaan, Kedelapan,
kurangnya  disadari pentingnya paradigm
pemikiran konseptual kenegaraan yang seharusnya melandasi perumusan perubahan
terhadap materi UUD.[6]

Prof. Dr. Moh. Mahfud
MD, SH., SU.
Menurut Mahfud
tujuan diadakannya amandemen UUD 1945 adalah agar hubungan kerja antara lembaga
Negara yang jauh lebih mencerminkan check
and balance
sehingga Negara Indonesia menjadi lebih demokratis. Presiden
dan DPR sudah diposisikan secara sejajar, dan tidak ada kooptasi dan dominasi
dari yang satu terhadap yang lain, lembaga legislative tak bisa bermain-main
membuat Undang-Undang, karena jika itu terjadi bisa diuji (dibatalkan) oleh
Mahkamah Konstitusi, untuk menjaga keluhuran martabat hakim-hakim diawasi oleh
Komisi Yudisial.[7]
Selain itu kemajuan besar terhadap UUD 1945 amandemen adalah terutama
menguatnya format dan mekanisme check and balanceoleh lembaga yudisial dan
pengaturan lebih rinci tentang perlindungan Hak Asasi Manusia.[8]

Prof. Abdul
Muktie Fadjar, SH., MS.
Beberapa alasan
dikemukakan Muktie Fadjar, diantaranya alasan
Historis
, bahwa dalam sejarahnya UUD 1945 memang didesain sifatnya hany
sementara, alasan Filosofis terdapat
percampuradukan seperti faham kedaulatan rakyat dengan faham integralistik dan
faham Negara hukum dengan faham Negara kesatuan, alasan Teoritis keberadaan konstitusi seyogyanya untuk membatasi
kekuasaan agar tidak sewenang-wenang, akan tetapi UUD 1945 sebelum amandemen
tidak mencerminkan hal tersebut, alasan
yuridis
terdapat pengaturan mengenai perubahan UUD 1945 sebagaimana Pasal
37, alasan politis praktis bahwa
secara sadar maupun tidak sadar UUD 1945 sebelum amandemen dalam praktek
politik sering menyimpang dari teks aslinya.[9]
b.      Apabila dilihat
dari aspek dasar hukum pembentukannya di Indonensia, maka terdapat beberapa
organ yang dapat dikatakan sebagai lembaga Negara, seperti yang dapat
digambarkan berikut ini :[10]
2.       Urgensi Amandemen Kelima
a.      Saya setuju dengan
Amandemen Kelima terhadap UUD 1945
b.      Alasan terhadap
urgensi
Amandemen Kelima
terhadap UUD 1945

Konstitusi
merupakan produk kesepakatan politik (resultante)[11],
sehingga diadalamnya juga berisi kepentingan-kepnetingan yang ingin dicapai pada
masanya.

Dalam
beberapa pengaturan UUD 1945 terdapat beberapa Pasal yang dari segi
pengaturannya belum jelas, sehingga perlu penegasan kembali, baik dari segi
bahasa maupun penegasan mengenai makna dan artinya.

Masih
terdapatnya konsentrasi kekuasaan yang mengakibatkan terjadinya kewenangan yang
bersifat otoriter, sehingga sangat memungkinkan adanya abuse of power[12]

Terdapat
beberapa lembaga Negara yang dari segi kewenangannya masih sangat lemah,
sehingga kedudukannya perlu ditambah untuk optimalisasi peran dan fungsinya.

Penghapusan
beberapa pasal yang bersifat konkrit, seperti lumrahnya suatu konstitusi
mengatur hal yang bersifat asas atau pokok-pokok serta yang bersifat umum dalam
suatu Negara.[13]
c.       Mekanisme Perubahan UUD 1945 di Indonesia setelah amandemen UUD 1945 tergolong rijid,[14]
hal itu didasarkan pada tingkat kesulitan untuk merubah UUD 1945. Adapun
cirri-ciri khusus konstitusi fleksibel menurut Bryce adalah : elastic,
diumumkan dan dirubah dengan cara yang sama seperti Undang-Undang, berbeda
dengan cirri-ciri pokok dari konstitusi rigid, meliputi : memiliki derajat yang
lebih tinggi dari derajat peraturan perundang-undangan yang lain dan hanya
dapat diubah dengan cara yang khusus dengan syarat-syarat yang berat.[15] Untuk
mengenai proses atau tata cara Perubahan UUD 1945, sebenarnya ada beberapa
Disertasi dari beberapa Pakar Hukum sejauh yang penulis Ketahui, diantaranya
Sri Soemantri[16],
Taufiqurrahman Sahuri[17]
dan Budiman NPD Sinaga[18],
yang pada dasarnya proses perubahan UUD 1945 dapat dilakukan melalui Pasal 37
ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 amandemen, dapat
dijelaskan diantaranya :

Usul
perubahan pasalpasal UndangUndang Dasar dapat diagendakan dalam sidang Majelis
Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurangkurangnya 1/3 dari jumlah
anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Setiap
usul perubahan pasalpasal UndangUndang Dasar diajukan secara tertulis dan
ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya.

Untuk
mengubah pasalpasal UndangUndang Dasar, Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat
dihadiri oleh sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan
Rakyat.

Putusan
untuk mengubah pasalpasal UndangUndang Dasar dilakukan dengan persetujuan
sekurangkurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota
Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Khusus
mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan
perubahan.
Dengan demikian
menjadi jelas mengenai tata cara dan prosedur mengenai perubahan UUD 1945.
d.      Beberapa yang
perlu dirubah

serta keuntungan dan kerugian apabila dilaksanakan atau tidak dilaksanakan
Kelima terhadap UUD 1945, diantaranya :
 No.
JENIS
KEUNTUNGAN
KERUGIAN
KETERANGAN
1.
Penguatan system Presidensial
Sehingga
Presiden dapat melaksanakan kebijakan dengan leluasa, dengan tidak merasa
takut dengan DPR
Dapat menambah
ayat dalam Bab III UUD 1945
2.
Penguatan DPD
Fungsi
dan peran DPD dapat optimal sebagai bagian dari perwakilan rakyat
Penambahan Kewenangan
3.
Penggantian Presiden
Antisipasi terhadap macetnya
penggantian Presidendalam masa jabatannya (Pasal 8 ayat (3))
Lebih
spesifik dapat terjadi jika belum ada Presiden/Wapres terpilih pada saat
habisnya tenggat pengisian kedua jabatan tersebut
4.
Penegasan Kewenangan KY
Jangkauan
objek yang diawasi dan objek pengawasannya
Dipertegas
5.
Penambahan kewenangan MK
Constitutional
complain dan constitutional question
Penambahan
kewenangan
6.
Anggaran Pendidikan 20%
Apabila dirasa
memberatkan, dan tidak sesuai dengan perkembangan
Dihapus/Diganti
3.       Prinsip Demokrasi
a.      Dalam buku Jimly
Asshiddiqie yang berjudul “Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia”[19]
menyebutkan terdapat prinsip pokok sebagai pilar-pilar utama yang menyangga
Negara modern yang layak menyandang gelar sebagai Negara hukum, diantanya :
1.
Supremasi
Hukum (supremacy of law)
2.
Persamaan
dalam hukum (equality before the law)
3.      Asas legalitas (due process of law)
4.
Pembatasan
kekuasaan
5.      Organ-organ ekskutif Independen
6.
Peradilan
bebas dan tidak memihak
7.
Peradilan
tata usaha Negara
8.
Peradilan
Tata Negara (constitutional court)
9.
Perlindungan
Hak Asasi Manusia
10.  Bersifat
demokratis (democratiche rechtsstaat)
11.  Berfungsi
sebagai sarana mewujudkan tujuan berbegara (welfare
state)
12.  Transparansi dan
kontrol sosial
Adapun maksud
dari organ-organ ekskutif independen
tersebut adalah independen tersebut dalam artian lembaga ekskutif tersebut
bebas dari kekuasaan ekskutif, independensi lembaga ekskutif tersbut sangat
penting untuk menjamin demokrasi, karena fungsinya dapat disalahgunakan oleh
Pemerintah untuk melanggeng kekuasaan.[20]
Contoh lembaga-lembaga ekskutif yang independen seperti adalah Bank Central,
organisasi tentara, organisasi kepolisian dan kejaksaan, selain itu juga
lembaga-lembaga baru seperti Komnas HAM, KPU, Ombudsman, Komisi Penyiaran dan
sebagainya.
Sedangkan
prinsip-prinsip Negara hukum menurut ahli yang lain diantaranya :

Stahl[21]
1.
Hak
asasi manusia
2.
Pemisahan
atau pembagian kekuasaan
3.
Pemerintah
berdasarkan peraturan-peratuan
4.
Peradilan
administrasi dalam perselisihan

AV. Dicey[22]
1.
Supremacy
of law
2.
Equlity
before the law
3.
Terjaminnya
HAM

Konsep Rule of
Law[23]
1.
Konstitusionalisme
2.
Badan
kehakiman yang independen
3.
Pemilu
yang bebas
4.
Kebebasan
menyatakan pendapat
5.
Kebebasan
berserikat dan berorganisasi
6.
Civic
education

Henry B. Mayo[24]
1.
Menyelesaikan
perselisihan antara damai dan sukarela melembaga
2.
Menjamin
terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang sedang
berubah
3.
Menyelenggarakan
pergantian pemimpin secara teratur
4.
Membatasi
pemakain kekerasan secara minimum
5.
Menganggap
wajar keanekaragaman
6.
Menjamin
tegaknya keadilan

Miriam Budiardjo[25]
1.
Pemerintahan
yang bertanggung jawab
2.
System
perwakilan yang dipilih melalui pemilu
3.
Adanya
partai politik
4.
Pers
dan media massa yang bebas menyatakan pendapat
5.
System
peradilan yang bebasuntuk menjamin HAM

Nomokrasi Islam (Muhammad
Tahir Azhari)[26]
1.
Prinsip
kekuasaan sebagai amanah
2.
Prinsip
musyawarah
3.
Prinsip
keadilan
4.
Prinsip
persamaan
5.
Prinsip
pengakuan dan persamaan terhadap HAM
6.
Prinsip
peradilan bebas
7.
Prinsip
perdamaian
8.
Prinsip
kesejahteraan
9.
Prinsip
ketaan rakyat

International
Commission of Jurist
1.
Keamanan
pribadi harus dijamin
2.
Tidak
ada hak-hak fundamental dapat ditafsirkan
3.
Penjaminan
terhadap kebebasan mengeluarkan pendapat
4.
Kehidupan
pribadi orang harus tidak dilanggar
5.
Kebebasan
beragama harus dijamin
6.
Hak
untuk mendapatkan pengajaran
7.
Hak
untuk berkumpul dan berserikat
8.
Peradilan
bebas dan tidak memihak
9.
Kebebasan
memilih dan dipilih dalam politik

Negara Hukum
Indonesia (Azhari)[27]
1.
Hukumnya
bersumber pada Pancasila
2.
Berkedaulatan
rakyat
3.
System
konstitusi
4.
Persamaan
kedudukan dalam hukum dan pemerintahan
5.
Kekuasaan
kehakiman yang independen
6.
Pembentuk
UU adalah Presiden bersama DPR
7.
Dianutnya
system MPR
Pendapat saya
terhadap beberapa perkembangan dan pendapat dari ahli mengenai Negara hukum
pada intinya menginginkan adanya tujuan dan fungsi yang lebih baik, pada
dasarnya konsep teoritis demokrasi menawarkan prinsip-prinsip umum untuk
menjalankan pemerintahan yang baik, yaitu pemerintahan senantiasa dalam kontrol
dan partisipasi masyarakat.[28]
b.      Lembaga Negara
yang melakukan fungsi penegakan hukum diantaranya :

Kepolisian
Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di
bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakkan hukum,
perlindungan, pengayoman d
an pelayanan kepada masyarakat. Kepolisian
Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang
meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya
hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat,
serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia.[29]
Kinerja lembaga
ini cukup memprihatinkan, hal itu dikarenakan kinerja yang ditunjukkan tidak
cukup signifikan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.

Kejaksaan
Kejaksaan R.I.
adalah lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara, khususnya di bidang
penuntutan. Sebagai badan yang berwenang dalam penegakan hukum dan keadilan,
Kejaksaan dipimpin oleh Jaksa Agung yang dipilih oleh dan bertanggung jawab
kepada Presiden.[30]
Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan Negeri merupakan kekuasaan
negara khususnya dibidang penuntutan, dimana semuanya merupakan satu kesatuan
yang utuh yang tidak dapat dipisahkan. Kinerja Kejaksaan juga kurang begitu
signifikan dalam melakukan pembongkaran terhadap perkara-perkara besar yang ada
di Indonesia

Kehakiman
Perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah membawa
perubahan dalam kehidupan ketatanegaraan khususnya dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman.[31]
Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan kehakiman dilakukan
oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan
militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi. Kinerja Badan peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung tidak
menunjukkan kinerja yang baik, akan tetapi lembaga Mahkamah Konstitusi sangat
memberikan contoh dan sangat diharapkan oleh masyarakat.

Lembaga Penegak
Hukum Lainnya
Lembaga-lembaga
Negara lain yang ruang lingkup fungsinya sebagai aparat penegak hukum, akan
tetapi bersifat khusus terhadap beban kerja yang tidak bersifat umum. Lembaga
penegak hukum seperti ini seperti KPK, Komnas HAM, Komisi Informasi,Ombudsman
dan lain sebagainya. Mengenai kinerja lembaga baru ini dapat dikatakan
menunjukkan angka yang signifikan. Mengingat lembaga ini menunjukkan
eksistensinya dalam mewujudkan penegakan hukum yang sesuai dengan kaidah-kaidah
keadilan masyarakat.
c.       Secara logika
hukum Indonesia belum menerapkan rule of
law
dengan baik, mengingat secara filosofis Indonesia menganut system
Negara berdasarkan Hukum, untu itu seharusnya dalam segala bidang mampu
memberikan rasa keadilan dalam masyarakat, kemudian secara yuridis normatif
Indonesia merupakan Negara yang berdasarkkan hukum, dengan demikian harusnya
rul of law tumbuh dan berkembang secara pesat di Indonesia, dikarenakan sudah
tertuang dalam UUD 1945. Kemudian secara sosiologis belum mencerminkan
signifikansi terhadap penerapan rule of law secara baik, banyak beberapa kasusu
baik korupsi kolusi dan nepotisme yang dilakukan aparat dan pejabat Negara
mencerminkan ketidak mampuan atau rendahnya rasa dan cinta tanah air dan
bangsa, sehingga memberikan efek buruk terhadap penegakan hukum di Indonesia.
Kemudian secara politis sebenarnya Indoensia mengakui adanya persamaan didepan
hukum, akan tetapi dalam tataran pelaksanaan masih terdapat beberapa orang atau
oknum yang diberlakukan secara berbeda di depan hukum , dikarenakan hal
tertentu, dapat berupa memiliki jabatan, harta atau kedekatan kerabat dan lain
sebagainya.
4.      A.B. Kusuma
dalam bukunya “Sistem Pemerintahan
Pendiri Bangsa versus Sistem Presidensial orde reformasi
” menyatakan bahwa
Presiden Susilo bambang Yudhoyono tidak melaksanakan system Presidensial murni
dan konsekuen[32].
Hal itu tentunya didukung dengan beberapa hal yang terjadi dilapangan ketika
Presiden SBY mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang masih merasa ketakutan
terhadap lembaga parlemen. Dengan demikian tentunya sangat disayangkan
mengingat Presiden secara langsung dipilih oleh rakyat, akan tetapi dalam
menjalankan pemerintahannya Preisden SBY seakan-akan menjalankan pemerintahan
dalam system Pemerintahan Parlementer, yang masih harus disetir oleh Parlemen.
Diketahui bersama bahwa secara
teori sistem pemerintahan  terbagi menjadi 2 (dua), yaitu sistem
pemerintahan parlementer (parliamentary system) dan sistem pemerintahan
presidensial (presidential system ). Walaupun dalam tatanan
implementasinya ada sistem pemerintahan yang bersifat campuran (hybrid
system)
. Pada prinsipnya sistem pemerintahan itu mengacu pada bentuk
hubungan antara lembaga legislatif dengan lembaga eksekutif.[33]
Pemberlakuan sistem pemerintahan terhadap suatu negara tergantung pada
kebutuhan, faktor sejarah dan kondisi sosio-politik suatu negara.[34]
Sistem parlementer adalah sistem yang menekankan parlemen sebagai subjek
pemerintahan, sementara sistem presidensial menekankan peran presiden
(eksekutif) sebagai subjek pemerintahan.[35]
Keduanya memiliki latar belakang berbeda yang menyebabkan berbeda pula dalam
norma dan tatacara penyelenggaraan pemerintahannya. Karakter pemerintahan
parlementer adalah pada dasarnya dominannya posisi parlemen terhadap eksekutif.
sementara karakter sistem presidensial adalah pada dominannya peran presiden
dalam sistem ketatanegaraan. Sistem parlementer dan sistem presidensial adalah
dua hal yang berbeda, bukan merupakan tesis ataupun antitesa yang melahirkan
sintesa.[36]
Terkhusus untuk indonesia
sendiri, menjadi suatu perdebatan sampai sekarang dikalangan para pakar hukum
tata negara dan politik bahwa sistem pemerintahan indonesia menganut sistem
pemerintahan yang berbentuk apa. Hanta yuda, mengemukakan bahwa ketika UUD 1945
belum diamandemen, corak pemerintahan indonesia sering dikatakan sebagai sistem
semipresidensial. Namun dalam prakteknya sistem pemerintahan indonesia justru
lebih mendekati corak parlementer.[37]
Dan setelah amandemen UUD 1945 sistem pemerintahan indonesia menjadi sistem
presidnesial murni.[38]
Sedangkan Bagir manan menyebutkan bahwa sistem pemerintahan indonesia menganut
sistem pemerintahan presidensial karena berpendapat pertanggungjawaban presiden
kepada MPR bukan merupakan pertanggungjawaban kepada badan legeslatif. dalam
hal ini menambahkan, petanggungjawaban Presiden kepada MPR tidak boleh
disamakan dengan pertanggungjawaban kabinet  kepada parlemen (dalam sistem
parlementer).[39]
Berbeda pendapat dengan apa
yang dijelaskan Sri Soemantri bahwa sistem pemerintahan indonesia menganut
sistem campuran. Karasteristik campuran didasarkan pada kesimpulan yang ditarik
dari penjelasan UUD 1945, yaitu (1) presiden dipilih dan diangkat oleh MPR, (2)
Presiden mandataris MPR, (3) MPR pemegang kekuasaan negara tertinggi, (4)
Presiden tunduk dan bertanggungjawab kepada MPR, dan (5) Presiden untergroentet
kepada MPR. jadi esensi dari kelima hal itu, presiden sebagai badan eksekutif
mendapat pengawasan langsung dari badan legeslatif. apabila eksekutif mendapat
pengawasan langsung dari badan legeslatif, maka hal itu menunjukkan adanya segi
pemerintahan parlementer.[40]
Disamping sistem pemerintahan parlementer,  UUD 1945 juga mengandung
anasir sistem presidensial. Anasir itu dapat dilihat dari adanya ketentuan
bahwa presiden merupakan pemegang kekuasaan pemrintahan. Dengan posisi seperti
begitu, UUD 1945 menyatakan bahwa menteri-menteri diangkat dan diberhentikan
oleh presiden. Selain kedua hal itu, dalam sistem ketatanegaraan indonesia, di
samping sebagai kepala pemerintahan yang mempunyai kekuasaan riil, presiden
juga sebagai kepala negara (nominal head of state).[41]
Sedangkan Jimly asshiddiqie,
mengemukakan bahwa setelah UUD 1945 diubah maka dalam hal ini, yang lebih dekat
dengan sistem yang dipakai di indonesia  adalah sistem Amerika Serikat,
yaitu sistem presidensial murni.[42]
Sedangkan ditambahkan lagi bahwa sistem pemerintahan Republik Indonesia
bersadarkan UUD 1945 yang disahkan PPKI pada 18 Agustus 1945, juga menganut
sistem campuran.[43]
Tetapi pada pokoknya, sistem yang dianut adalah sistem presidensial, tetapi
presiden ditentukan tunduk dan bertanggungjawab kepada lembaga MPR yang terdiri
atas anggota DPR dan ditambah utusan-utusan golongan fungsional.[44]
Perdebatan dikalangan
akademisi terhadap sistem pemerintahan indonesia itu terjadi diakibatkan bapak
pendiri bangsa ini yang mengiingkan memakai sistem pemerintahan yang bersifat
“Sistem sendiri” sesuai dengan usul Dr. Soekiman, BPUPK dari Yogyakarta, dan
Prof. Soepomo Ketuan Panitia Kecil BPUPK. Pada rapat panitia hukum dasar,
bentukan BPUPKI, tanggal 11 Juni 1945 dicapai kesepakatan bahwa indonesia tidak
akan menggunakan sistem parlementer seperti inggris karena karena merupakan
penerapan dari pandangan individualisme. Sistem tersebut juga tidak mengenal
pemisahan kekuasaan yang tegas. Antara cabang legisltatif dan eksekutif
terdapat fusion of power karena kekuasaan eksekutif sebenarnya adalah
„bagian“ dari kekuasaan legislatif. Perdana Menteri dan para menteri sebagai
kabinet yang kolektif adalah anggota parlemen.  Sebaliknya, sistem
Presidensial dipandang  tidak cocok untuk Indonesia yang baru merdeka
karena sistem tersebut mempunyai tiga kelemahan. Pertama, sistem presidensial
mengandung resiko konflik berkepanjangan antara legislatif – eksekutif. Kedua,
sangat kaku karena presiden tidak dapat diturunkan sebelum masa jabatannya
berahir. Ketiga, cara pemilihan “winner takes all” seperti
dipraktekkan di Amerika Serikat bertentangan dengan semangat bemokrasi.[45]
Hemat penulis, bahwa sistem pemerintahan
indonesia setelah reformasi telah mengalami purifikasi sangat menonjol. Saat
ini sistem pemerintahan indonesia cenderong kepada sistem pemerintahan yang
bersifat presidensial. Ini dapat dilihat dari beberapa ketentuan didalam UUD
NRI 1945 yang telah mengalami purifikasi. Ada 2 (dua) Pasal dalam UUD NRI 1945
yang mejadi dasar  (basic) sehingga indonesia dapat dikatakan
telah menganut sistem presidensial. Pertama, akibat diubahya sistem
kedaulatan MPR mejadi sistem Kedaulatan Rakyat, dimana sesuai Pasal 1 ayat (2)
UUD NRI 1945 (Pasca amandemen)[46]
menyebabkan sistem demokratisasi dinegara ini lebih baik. Terbukti pada tahun
2004 menjadi sejarah dalam sistem ketatanegaraan indonesia dimana
dilangsungkannya pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat. Ini akibat
dari hasil amandemen UUD NRI Tahun 1945 Pasal 6A ayat (1) “Presiden dan
Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.”

SBY-JK merupakan Presiden pertama yang merasakan hasil amanedem tersebut dengan
berhasil menjadi Presiden Periode 2004-2009 dan kembali terpilih SBY-Boediono
sebagai Presiden 2009-2014. Kedua, kita dapat melihat indonesia
menganut sistem presidensial pada Pasal 4 ayat (1) “Presiden Republik
Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar 1945.

Sebenarnya Pasal ini bersifat tetap. Baik sebelum amandemen UUD NRI Tahun 1945
Pasal ini tidak mengalami perubahan. Tetapi menurut hemat penulis, Pasal ini
tetap memberikan sebuah pengertian bahwa di indonesia hanya mengenal sistem
eksekutif tunggal (single executive), yaitu antara kepala pemerintahan
(chief executive) dan kepala negara (head of State) sama
yaitu seorang Presiden sehingga sistem pemerintahan indonesia cenderong kepada
sistem pemerintahan yang bersifat Presidensial[47]
Sebenarnya masih banyak
Pasal-pasal didalam UUD NRI 1945 yang membenarkan bahwa sistem pemerintahan
indonesia lebih cenderong kepada sistem pemerintahan presidensial setelah
amandemen UUD NRI 1945. Seperti bagaimana jabatan presiden bersifat tetap (position
is fixed)
. Pasal 7 “ Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan
selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang
sama, untuk satu kali masa jabatan
.” Perlu dipahami bahwa dalam sistem
presidensial dimana presidennya dipilih secara langsung oleh rakyat, secara
tidak langsung legitimasi yang diberikan juga sangat kuat (strong
legitimacy)
, sehingga dalam proses penjatuhannya juga harus didasarkan
pada keinginan rakyat semata atau diasarkan pada masa jabatan presiden telah
berakhir sesuai amanat konstitusi atau praktek ketatanegaraannya. Tetapi dalam
praktek sistem pemerintahan presidensial juga membenarkan adanya penjatuhan
presiden dalam masa jabatan, tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang telah
ditentukan, yaitu apabila Presiden dan Wakil Presiden tersebut melakukan sebuah
pelanggaran hukum yang secara tegas diatur dalam konstitusi dan inilah dikenal
dengan nama Pemakzulan (impechment)[48]
Khusus diindonesia sebelum dan
setelah amandemen UUD 1945 ada sebuah praktek ketatanegaraan yang berbeda dalam
proses pemberhentian Presiden dalam masa jabatan. Ketika Orde baru, kedudukan
Presiden sebagai presiden sangatlah kuat dan sangat sulit untuk dijatuhkan.[49]
Ini dapat dilihat dari bunyi UUD 1945 “Jika Presiden mangkat, berhenti,
atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya,ia diganti oleh
Wakil Presiden sampai habis waktunya”
. Dalam Penjelasan Undang-Undang
Dasar 1945 angka VII Alinea ketiga, menentukan : “ Jika Dewan menganggap
bahwa Presiden sungguh melanggar haluan negara yang telah ditetapkan oleh
Undang-Undang Dasar atau oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, maka majelis itu
dapat diundang untuk persidangan istimewa agar supaya bisa meminta
pertanggungjawaban Presiden.”
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan
Sidang Istimewa ini diatur dalam ketetapan Majelis Permuswaratan Rakyat Nomor
III Tahun 1978 Jo. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No.VII Tahun 1973.
Jadi, berdasarkan ketentuan tersbut, Presiden dapat diberhentikan dalam masa
jabatannya karena alasan “Presiden sungguh melanggar haluan negara yang telah
ditetapkan oleh Undang-Undang Dasar atau oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Tetapi persoalannya apakah tindak pidana dapat dianggap sebagai salah satu
pelanggaran terhadap haluan negara sebagaimana dimaksud dalam penjelasan UUD
1945 dan Majelis Permusyawaratan rakyat.[50]
Ini berbeda setelah Amandemen
UUD 1945 dimana sistem Pemberhentian Presiden dalam masa jabatannya telah
diubah dan diperbaruhi.[51]
Saat ini untuk memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden sangatlah sulit
karena harus melalui beberapa tahap yaitu melalui Usul Dewam Perwakilan Rakyat
(DPR) apabila menganggap Presidan dan/Wakil Presiden Melakukan Pelanggaran
Hukum yang berupa Penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak
pidana  berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti
tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/Wakil Presiden, maka dapat
mengajukan usul kepada MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) untuk diputus
apakah Presiden Melanggar haluan negara ataukah tidak. Tetapi sebelum itu DPR
harus meminta kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili dan memutus
DPR tersebut.[52]
Tetapi menurut penulis bahwa pemberhentian Presiden dan/Wakil Presiden saat ini
untuk dipraktekkan diindonesia sangatlah sulit walaupun didalam Konstitusi ada
yang mengaturnya. Ada beberapa alasan saya. Pertama, Penafsiran
terhadap makna pelanggaran hukum tersebut yang diatur dalam UUD NRI 1945
masihlah abstrak. Kedua, Sistem pemberhentian presiden yang
dikehendaki oleh konstitusi yang rumit sehingga sangat sulit terjadi
pemberhentian Presiden dalam masa jabatan. Ketiga, konstitusi telah
mengamanahkan dengan jabatan  tetap 5 (lima) tahun untuk Presiden
dan/Wakil Presiden. Keempat, dipilihnya sistem pemerintahan yang lebih
cenderong kepada Presidensial sebagai sistem pemerintahan indonesia dimana
Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat, maka secara tidak langsung maka
tidak lembaga yang dapat menjatuhkan Presiden secara langsung kecuali rakyat
yang memilihnya.
Kembali kepada sistem
pemerintahan. Dibandingkan dalam sistem pemerintahan parlementer, kepala
pemerintahan (chief executive) cenderung mendapat tekanan politis dari
Parlemen, sehingga apabila kepala pemerintahan (chief excecutive)
berbeda pendapat dengan Parlemen maka ancaman Mosi tidak percaya selalu
dilontarkan oleh parlemen terhadap kepala pemerintahan yaitu perdana menteri,
sehingga jalannya roda pemerintahan dalam sistem parlementer relatif terganggu
akibat seringnya ganti-ganti kepala pemerintahan akibat perdana menterinya
berbeda pendapat dengan parlemen.
Selanjutnya dalam Sistem
Presidensial  Presiden yang menentukan sendiri Kabinet yang dipimpinnya.
Dalam sistem pemerintahan indonesia demikian juga dimana dalam UUD NRI Tahun
1945 Pasal 17 ayat (2) “ Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan
oleh Presiden.”
Sama halnya dengan beberapa Pasal dalam UUD 1945 bahwa
Pasal ini bersifat tetap, tidak ada perubahan dari sebelum amandemen sampai
sekarang. Dibawah ini akan dapat dilihat sejauhmana perbandingan Kewenangan dan
Kedudukan yang menguatkan Posisi Presiden sebagai Pemegang kekuasaan Eksekutif
dan Posisi DPR Sebagai Pemegang Kekuasaan Legeslasi diindonesia.
Kewenangan  dan
Kedudukan Presiden dan DPR menurut UUD NRI Tahun 1945 (setelah amandemen)
No.
PRESIDEN
DPR
RI
1.
  • Pasal 4 Ayat (1) “ Presiden
    Republik Indonesia memegang Kekuasaan Pemerintahan
    menurut
    Undang-Undang Dasar.
  •  Pasal 7C “Presiden tidak
    dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat
    ”.
2.
  • Pasal 5 Ayat (1) “ Presiden
    berhak mengajukan rancangan undang- undang
    kepada Dewan Perwakilan
    Rakyat.
  • Pasal 5 Ayat (2) “Presiden
    menetapkan peraturan pemerintah
    untuk menjalankan undang-undang
    sebagaimana mestinya
  • Pasal 11 Ayat (1) “ Presiden
    dengan Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan
    perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.
  • Pasal 11 Ayat (2) “Presiden
    dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat
    yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban
    keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan
    undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
3.
  • Pasal 7 “Presiden dan
    Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun
    , dan sesudahnya
    dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali
    masa jabatan.
  • Pasal 13 Ayat (2) “Dalam hal
    mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan
    Rakyat
    .
4.
  • Pasal 10 “ Presiden
    memegang  kekuasaan yang tertinggi
    atas Angkatan Darat,
    Angkatan laut dan  Angkatan Udara.
  •  Pasal 20 Ayat (2) “Setiap
    rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat
    dan
    Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
5.
  • Pasal 11 Ayat (1) “ Presiden
    dengan Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan
    perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.
  • Pasal 11 Ayat (2) “Presiden
    dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat
    yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban
    keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan
    undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
  • Pasal 20A Ayat (1) “Dewan
    Perwakilan Rakyat memiliki fungsi
    legislasi, fungsi anggaran, dan
    fungsi pengawasan.”
  • Pasal 20A Ayat (2) “Dalam
    melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain
    Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak
    interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat
    .
  • Pasal 20 Ayat (3) “Selain hak
    yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, setiap
    anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak
    mengajukan pertanyaan,
    menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas.
6.
  • Pasal 12 “Presiden
    menyatakan keadaan bahaya
    . Syarat-syarat dan akibatnya keadaan
    bahaya ditetapkan dengan undang-undang.
  •  Pasal 21 “Anggota
    Dewan Perwakilan Rakyat berhak
    mengajukan usul rancangan
    undang-undang”.
7.
  • Pasal 13 Ayat (1) “ Presiden
    mengangkat duta dan konsul.
  • Pasal 13 Ayat (2) “Dalam hal
    mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan
    Rakyat
    .
  •  Pasal 22 Ayat (2)
    “Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan
    Rakyat
    dalam persidangan yang berikut
8.
  • Pasal 14 Ayat (1) “Dalam hal
    mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan
    Rakyat
    .
  • Pasal 14 Ayat (2) “Presiden
    memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan  pertimbangan
    Dewan Perwakilan Rakyat.
  • Pasal 23 Ayat (3) “Apabila Dewan
    Perwakilan Rakyat tidak menyetujui rancangan anggaran pendapatan dan belanja
    negara
    yang diusulkan oleh Presiden, Pemerintah menjalankan Anggaran
    Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang lalu.
9.
  • Pasal 15 “Presiden memberi
    gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan yang diatur dengan
    undang-undang.
  •  Pasal 23E Ayat (2)
    “Hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada Dewan Perwakilan
    Rakyat,
    Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
    sesuai dengan kewenangannya
10.
  • Pasal 16 “Presiden
    membentuk suatu dewan pertimbangan
    yang bertugas memberikan nasihat
    dan pertimbangan kepada Presiden, yang selanjutnya diatur dalam
    undangundang.
  •  Pasal 23F Ayat (1)
    “Anggota Badan Pemeriksa Keuangan dipilih oleh Dewan Perwakilan
    Rakyat
    dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah dan
    diresmikan oleh Presiden.
11.
  • Pasal 17 Ayat (2)
    “Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
  •  Pasal 24A Ayat (3) “Calon
    hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat
    untuk
    mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung
    oleh Presiden.
12.
  • Pasal 20 Ayat (2) “Setiap
    rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden
    untuk mendapat persetujuan Bersama
    .
  • Pasal 24B Ayat (3)“ Anggota
    Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan
    Dewan Perwakilan Rakyat.”
13.
  • Pasal 22 Ayat (1) “Dalam hal
    ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan
    pemerintah sebagai pengganti undang-undang.”
  •  Pasal 24C Ayat (3)
    “Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi
    yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang
    oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan
    tiga orang oleh Presiden.
14.
  • Pasal 23F Ayat (1) “Anggota
    Badan Pemeriksa Keuangan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan
    memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah dan diresmikan
    oleh Presiden.
15.
  • Pasal 24A Ayat (3) “Calon
    hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat
    untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai
    hakim agung oleh Presiden
    .
16.
  • Pasal 24B Ayat (3)“ Anggota
    Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden
    dengan
    persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”.
17.
  • Pasal 24C Ayat (3) “Mahkamah
    Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan
    oleh Presiden
    , yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah
    Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh
    Presiden.
5.      Objectum litis dikenal dengan istilah objek
perkara atau objek sengketa. Dalam perkara yang menjadi kewenangan pengadilan
di dibawah Mahkamah Agung memiliki objek perkara atau objectum litis yang berbeda-beda.[53]
Untuk perkara “sengketa kewenangan lembaga Negara yang
dikewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar” (SKLN), objectum litis-nya
adalah kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar. Jika terdapat
sengketa kewenangan yang bukan kewenangan yang diberikan Undang-Undang Dasar
(UUD), maka bukan menjadi kewenangan MK untuk mengadilinya. Jika sampai pekara
tersebut dimasukkan, maka hakim konstitusi harus menyatakan tidak berwenang.
Dalam putusan mengenai perkara SKLN, MK pernah membuat pertimbangan bahwa
kewenangan lembaga negara tidak cukup hanya dilihat secara tekstual saja, akan
tetapi kewenangan implisit dan kewenangan yang diperlukan (necessary and proper) untuk melaksanakan kewenangan pokok yang
pengaturannya dapat saja dimuat dalam undang-undang. (Putusan MK No.
004/SKLN-IV/2006). Tidak terpenuhinya objectum litis, menjadikan sebuah perkara
akan diputus tidak dapat diterima oleh Mahkamah Konstitusi, karena tidak
memenuhi syarat pemohon berhak mengajukan permohonan (legal standing).
Subjectum litis lebih
dikenal sebagai pihak-pihak berperkara atau bersengketa. Untuk perkara Sengketa
Kewenangan Lembaga Negara (SKLN), lembaga negara yang dapat menjadi pemohon
atau termohon dalam perkara SKLN sebagaimana lebih rinci sudah dijabarkan dalam
PMK, yaitu: DPR, DPD, MPR, Presiden, BPK, Pemda, dan lembaga negara lain yang
kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. (Pasal 2 ayat (1) PMK No. 8/PMK/2006).
Oleh karena itu untuk dapat memenuhi syarat subjectum litis-nya untuk membubarkan
partai politik adalah enam lembaga negara diatas dan lembaga negara lain yang
kewenangannya diberikan UUD 1945. Sebagaimana syarat objectum litis
diatur dalam peraturan perundang-undangan, maka begitu pula jika subjectum
litis
berdasarkan jenis perkara tidak terpenuhi, maka menjadikan sebuah
perkara diputus tidak dapat diterima oleh Mahkamah Konstitusi, karena permohon
tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan (legal standing).[54]
Objectum litis sengketa
kewenangan lembaga negara, akan membatasi siapa pihak yang dapat menjadi
pemohon dan termohon didepan persidangan Mahkamah Konstitusi. Kewenangan
lembaga negara yang dapat menjadi objek sengketa hanyalah menyangkut kewenangan
yang diberikan oleh UUD 1945 kepada lembaga negara tertentu. Oleh karenanya
tidaklah tiap lembaga negara, yang memenuhi kriteria sebagai organ, badan atau
lembaga negara yang menjalankan fungsi penyelenggaraan negara dan pemerintahan,
yang bersengketa dengan lembaga negara lain dapat dengan sendirinya menjadi
pihak dalam sengketa kewenangan dimaksud. Jikalau kita meneliti UUD 1945
setelah perubahan, dapat dinventarisasi 28 lembaga negara yang disebut secara
eksplisit maupun secara tidak langsung disebut tetetapi kemudian diperintahkan
akan diatur dalam undang-undang. Menurut Jimly Asshidiqie, ada 28 lembaga
negara, organ atau jabatan yang disebut dalam UUD 1945 tetapi
kewenangannya  dirujuk akan diatur lebih
lanjut, atau lembaga negara yang diatur secara jelas kewenangannya dalam UUD
1945 maupun yang sekedar disebut saja,yaitu :
  1. Majelis
    Permusyawaratan Rakyat.(MPR).
  2. Dewan Perwakilan
    Rakyat (DPR).
  3. Dewan Perwakilan
    Daerah (DPD).
  4. Presiden.
  5. Wakil Presiden.
  6. Dewan Pertimbangan
    Presiden.
  7. Kementerian Negara.
  8. Duta.
  9. Konsul.
  10. Pemerintahan Daerah
    Propinsi, yang mencakup
  11. Jabatan Gubernur.
  12. DPRD Propinsi
  13. Pemerintahan Daerah
    Kabupaten, yang mencakup
  14. Jabatan Bupati
  15. DPRD Kabupaten
  16. Pemerintahan Daerah
    Kota, yang mencakup
  17. Jabatan Walikota
  18. DPRD Kota.
  19. Komisi Pemilihan
    Umum)KPU), yang akan diatur lebih lanjut dalam undang-undang.
  20. Bank Sentral, yang
    akan diatur lebih lanjut dalam undang-undang.
  21. Badan Pemeriksa
    Keuangan (BPK).
  22. Mahkamah Agung (MA)
  23. Mahkamah Konstitusi
    (MK).
  24. Komisi Yudisial.(KY)
  25. Tentara Nasional
    Indonesia(TNI).
  26. Kepolisian Negara
    Republik Indonesia.
  27. Pemerintah Daerah
    Khusus atau istimewa.
  28. Kesatuan Masyarakat
    hukum adat.[55]
      
Meskipun disebut dan
diatur dalam UUD 1945, lembaga negara yang memiliki legal standing  untuk dapat
menjadi pemohon sengketa kewenangan lembaga negara didepan MK, haruslah secara
eksplisit bahwa kewenangan organ konstitusi tersebut mendapat kewenangannya
tersebut dari UUD 1945. Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi dalam
perkara  Nomor    /PUU-IV/2006, yang kemudian diadopsi sebagai
syarat legal standing dalam pasal 3 Peratura
n Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006, ditetapkan tiga syarat untuk legal standing tersebut yaitu :
1.
Pemohon adalah lembaga negara yang menganggap kewenangan
konstitusionalnya diambil, dikurangi, dihalangi, diabaikan, dan/atau dirugikan
oleh lembaga negara yang lain.
2.
Pemohon harus mempunyai kepentingan langsung terhadap
kewenangan yang dipersengketakan.
3.
Termohon adalah lembaga negara yang dianggap telah
mengambil, mengurangi, menghalangi, mengabaikan, dan/atau merugikan pemohon.[56]
Syarat  angka 3 diatas, dapat ditafsirkan sebagai
adanya hubungan kausal kerugian yang dialami kewenangannya dengan kewenangan
yang dilaksanakan oleh lembaga lain.[57]
Dengan kriteria yang demikian maka subjek lembaga negara yang disebut diatas
yang memiliki legal standing untuk dapat menjadi Pemohon
dalam sengketa kewenangan lembaga negara didepan Mahkamah Konstitusi, menjadi
semakin sempit dan berkurang.Hal ini dapat terlihat dengan jelas dalam pasal 2
PMK Nomor 08/PMK/ 2006 tersebut, yang menentukan  :
(1)
Lembaga Negara yang dapat menjadi pemohon atau termohon
dalam perkara sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara adalah :
a.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
b.
Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
c.
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
d.
Presiden
e.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) .
f.
Pemerintahan Daerah (Pemda); atau
g.
Lembaga negara lain yang kewenangannya diberikan oleh UUD
1945.

Apabila terdapat lembaga
termohon tetap menjalankan kewenangan yang dipersengketakan, maka pejabat
negara yang bersangkutan dapat dikatakan tidak patuh terhadap hukum, untuk itu
dapat dilakukan upaya-upaya untuk melaporkan kepada atasan yang lebih tinggi,
untuk dilakukan upaya-upaya agar mematuhi putusan pengadilan. apabila masih
tetap bersikukuh tidak melaksanakan putusan pengadilan, maka dengan segala
kerendahan ahti untuk dapat dimintakan pemecatan terhadap pejabat negara yang
bersangkutan.

 

 


                [1] Tidak
hanya itu, Kelsen juga mengemukakan mengenai Konsep lembaga Negara yang
bersifat fomal dan material, konsep formal yakni pengertian organ Negara melalui arti yang luas,
sedangkan arti material merupakan
arti yang sempit. Hans Kelsen, General
Theory of Law and State,
(New York : Russel and Russel, 1973), Hal.
192-194. Hal yang sama juga dibahas Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,
(Jakarta : Konstitusi Press, Cetakan ke-2, oktober 2006), Hal. 36-38
                [2]
Pembagian lembaga Negara menurut K.C. Wheare ditentukan oleh pengaturan
lembaga, yang disebut lembaga Negara adalah lembaga yang diatur dalam
konstitusi suatu Negara. K.C. Wheare, Modern
Constitution
, (Oxford University Press, 1996), Hal.5
                [3] T. Sri
Soemantri, Konstitusi dan sejarah MPR
dalam perkembangan system ketatanegaraan Indonesia,
Makalah untuk menyambut
Mahasiswa Baru Program Doktoral Unpad – Bandung, tanggal 5 agustus 2004, Hal.
4-5
                [4] Bagir
Manan, Teori dan Politik Konstitusi,
(Yogyakarta : FH UII Press, 2003), Hal. 11
                [5] Bagir
Manan, “Kata Pengantar”, dalam buku Slamet Effendy Yusuf dan Umar Basalim, Reformasi Konstitusi Indonesia Perubahan
Pertama UUD 1945
, (Jakarta : Pustaka Indonesia Satu, 2000), Hal. XVIII
                [6]
Disarikan dari buku Jimly Asshiddiqie, Format
Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945
, (Yogyakarta :
FH UII Press, 2004), Hal. 5-7
                [7] Moh. Mahfud
MD, Konstitusi dan Hukum dalam
Kontroversi Isu
, (Jakarta: Rajawali Pers, cetakan ke-2, Januari 2010)
171-172
                [8] Moh.
Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara,
(Jakarta : LP3ES, 2007), Hal. 47
                [9] Abdul
Muktie Fadjar, Hukum Konstitusi dan
Mahkamah Konstitusi
, (Jakarta : Konstitusi Press, 2006), hal. 9-11
                [10]
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Materi Sosialisasi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Indonesia Tahun 1945
, (Jakarta : Sekretariat Jenderal MPR RI, 2007), Hal. 6
                [11]
Produk Resultante adalah merupakan produk kompromi antar pembentuk yang satu
dengan yang lainnya, sehingga juga mengandung beberapa kepentingan yang ingin
dicapai oleh kelompok tertentu. K.C. Wheare, Op Cit, Hal 13
                [12] Abuse
of Power merupakan pemaknaan terhadap kesewenang-wenangan Pemerintah terhadap
masyarakat yang dipimpinnya. Satya Arinanto, Negara Hukum Demokrasi, (Jakarta, Pusat Studi Hukum Tata Negara
Universitas Indonesia, 2001), Hal. 15
                [13] CF.
Strong, Modern Political Constitution :
An Introduction to the Comparative Study of Their History and Existing Form
,
(London : The English Book Society and Sanwick, 1996), Hal. 15
                [14]
Dahlan Thaib dkk, Teori dan Hukum
Konstitusi
, (Jakarta : Rajawali Pres, 2004), hal. 26
                [15] Sri
Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan
Konstitusi
, (Bandung : Alumni, 1987), Hal. 64
                [16]
Merupakan Disertasi Untuk meraih Doktor Program Doktor Ilmu Hukum Unpad
Bandung, yang kemudian diterbitkan. Sri Soemantri, (Edisi Revisi) Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi,
(Bandung : Alumni, 2006)
                [17]
Disertasi Doctoral Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia
yang juga diterbitkan. Taufiqurrahman Syahuri, Hukum Konstitusi, Proses dan Prosedur Perubahan UUD di Indonesia
1945-2002, serta Perbandingannya dengan Konstitusi Negara lain di dunia
,
(Jakarta : Ghalia Indonesia, 2004)
                [18]
Adalah Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum Unpad Bandung, yang dibukukan.
Budiman NPD Sinaga, Hukum Tata Negara,
Perubahan Undang-Undang Dasar
, (Jakarta : Tatanusa, 2009)
                [19] Jimly
Asshiddiqie, Konstitusi dan
Konstitusionalisme Indonesia
, (Jakarta : Konstitusi Press, cetakan ke-2,
2006), Hal. 151-161
                [20] Ibid
                [21] Abdul
Aziz Hakim, Negara Hukum dan Demokrasi di
Indonesia
, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2011), hal. 10
                [22] AV.
Dicey, Introduction to the study of the
law of the constitution
, (London : Mc Millanand CO, 1952), hal. 31
                [23]
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu
Politik
, (Jakarta : Gramedia, edisi revisi, 2010), Hal. 116
                [24] Henry
B. Mayo, An Introduction to Democratic
Theory
, (New York : Oxford University press, 1960), Hal. 70
                [25]
Miriam Budiardjo, opcit, hal. 120
                [26]
Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum suatu
study tentang prinsip-prinsipnya dilihat dari segi hukum Islam, Implementasi
pada periode Negara Madinah
, (Jakarta : Kencana, 2004), hal. 85-86
                [27]
Azhary, Negara Hukum Indonesia, analisis
yuridis normatif tentang unsur-unsurnya
, (Jakarta : UI Press, 1995), hal.
153
                [28]
Hendra Nurtjahjo, Filsafat Demokrasi,
(Jakarta : Bumi Aksara, 2006), Hal. 71
                [29]
Abdussalam, Prospek Hukum Pidana
Indonesia, dalam mewujudkan rasa keadilan masyarakat,
(Jakarta : Restu
Agung, 2006), hal.  717
                [30]
Marwan Effeny, Kejaksaan RI Posisi dan
Fungsinya Dari Perspektif Hukum
, (Jakarta : Gramedia, 2005), hal.72
                [31]
Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, Aspek-aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia,
(Yogyakarta : FH UII Press, 2005), Hal. 25
                [32] A.B.
Kusuma, Sistem Pemerintahan “Pendiri
Bangsa” versus Sistem Presidensial “orde reformasi”
, (Jakarta : Badan
Penerbit Universitas Indonesia, 2011), 155
                [33]
Dijelaskan oleh Sri Soemantri (1971 :76), Lihat Koerniatmanto Soetoprawiro,
                [34] Untuk
mengetahui sistem pemerintahan suatu negara yaitu dengan melihat isi dari
Konstitusi setiap negara, apakah negara tersebut menganut sistem pemerintahan
yang bersifat parlementer (parliamentary system) ataukah sistem
pemerintahan presidensial (presidential system). Khusus untuk negara
inggris yang tidak memiliki konstitusi tertulis (unwritten Constitution) kita
dapat meihat sistem pemerintahannya dengan menganalisa praktek
ketatanegaraannya secara langsung.
                [35]
Hendarman Ranadideksa, Arsitektur konstitusi demokratik mengapa ada negara
yang gagal melaksanakan demokras
i, Fokusmedia, Jakarta, 2007, hal.100
                [36] Ibid.,
hal.101.
                [37]
Dijelaskan lagi bahwa hal tersebut dapat dibuktikan dengan mekanisme
pemberhentian presiden  yang lebih disebabkan atas dasar alasan politis.
Misalnya, diawali dengan permintaan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
kepada Presiden  agar mengundurkan diri.  Saat itu, pimpinan DPR
menganggap tidak perlu menunggu Sidang Istimewa MPR karena DPR sudah dianggap
mewakili DPR. ( Herbert Feith, The Decline of Constitution Democracy,
Ithaca, 1963, hlm. 424-437) Hanta yuda, Op. Cit., Hal.2
                [38]
Dijelaskan MPR bukan lagi pemegang kedaulatan rakyat dan lembaga itu telah
mengalami perubahan komposisi dan konfigurasi. Presiden bukan lagi mandataris
MPR, karena presiden sudah dipilih secara langsung oleh rakyat. Presiden juga
tidak lagi melakukan GBHN, melainkan melaksanakan program-programnya sendiri
yang ditawarkan saat kampanye. Ibid., Hal. 3.
                [39]
Ditambahkan bahwa  Pertanggungjawaban presiden kepada MPR merupakan upaya
konstitusional untuk chaking dan balancing. Dengan demikian Imbuh Manan bahwa
Unsur Parlementer dalam UUD 1945 Tidak ada sama sekali. Liat Saldi Isra,  Ibid.,
Hal. 54.
                [40] Ibid.,
Hal. 57.
                [41] Ibid.,
Hal. 57-58.
                [42]
Sebenarnya banyak juga sarjana yang menganggap sistem  hybrid
seperti yang dipraktekkan di prancis juga baik untuk diterapkan di indonesia.
Sistem prancis ini di anggap merupakan variasi yang menarik, karena dipilih
langsung oleh rakyat dengan pemerintahan kabinet yang bertanggungjawab kepada
parlemen. banyak kalangan menganggap sistem ini lebih realistis untuk
dipraktikkan di indonesia yang sangat majemuk……, Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok
hukum tata negara
, Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2008, Hal. 320.
                [43] Sama
halnya dengan Sri Soemantri, Jimly Asshiddie mengemukakan sistem pemerintahan
indonesia sebelum diamandemen UUD 1945 adalah bersifat campuran. Campuran
menurut penulis  disini berarti bahwa ciri-ciri sistem pemerintahan
parlementer dan sistem pemerintahan presidensial ada dalam sistem pemerintahan
indonesia. Dan ini dapat dilihat dalam UUD 1945 (sebelum amandemen).
                [44] Jimly
Asshiddiqie, Op. Cit., Hal. 320.
                [45]
Sofian Effendi, Mencari Sistem Pemerintahan Negara,
                [46] Pasca
Amandemen UUD 1945 sesuai Pasal 1 ayat (2)  Bahwa Kedaulatan bukan lagi
berada ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat. Tetapi Kedaulatan milik rakyat seutuhnya.
                [47]
Berbeda dengan sistem Parlementer (Parliamentary System) dimana
mengenal dua eksekutif (two executive) yaitu Raja atau Presiden
sebagai Kepala Negara (head of state) yang berfungsi sebagai simbol
negara, dan Perdana Menteri sebagai kepala pemerintahan (Chief Executive)
yang berfungsi sebagai yang menjalankan roda pemerintahan yang dilih oleh
parlemen.
                [48] Bahwa
apabila kita ingin melihat dalam sistem presidensial pastilah melihat sitem
pemerintahan Amerika Serikat (USA). Dalam sistem pemerintahan Amerika mengenal
pemberhentian dalam masa jabatan atau biasa dikenal dengan Impeachment (pemakzulan).
Dalam Article II, Section 4 The United States Constitution disebutkan “The
President, Vice Presiden and all civil officers of the United States, Shall be
removed from Office on Impeachment for, an conviction of, Treason, Bribery, or
other Hight Crimes and Misdemeanors”.
                [49]
Selama 32 Tahun Presiden Soeharto berkuasa, dan ini akibat didalam UUD 1945
tidak mengatur dengan jelas tentang lama masa jabatan untuk menjadi seorang
presiden. Pasal 7 disebutkan “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama
masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali
”.
                [50]
Dijelaskan juga tidak ada satupun ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan  ketatanegaraan indonesia  yang tegas mengatur
tentang apa yang dimaksud dengan melanggar Hukum Negara. Hamdan Zoelfa, Impeachment
Presiden alasan tindak pidana pemberhentian presiden Menurut UUD 1945,

Konstitusi Press, Jakarta, 2005, Hal.5-6
                [51]
Berkaca dalam praktek ketatanegaraan indonesia selama ini dimana hampir semua
Presiden indonesia mengakhirji masa jabatannya secara politis. Sebut saja
Presiden Soekarno berhenti karena diberhentikan dengan Ketetapan MPRS
No.XXXIII/MPRS/1967. Setelah itu Presiden Soeharto diberhentikan secara politis
karena rakyat ingin dia memundurkan diri pada Tanggal 21 Mei 1998. Presiden
B.J.Habibie Pertanggungjawabannya ditolah oleh MPR dan Presiden Abdurrahman
Wahid ditengah masa jabatannya diberhentikan oleh MPR, karena dianggap
melanggar GBHN, ini sesuai dengan Ketetapan MPR-RI No.II/2001 tanggal 23 Juli
2001. Dan hanya Presiden Megawati dan SBY yang tidak mengalami hal yang serupa.
                [52] Liat
UUD NRI Tahun 1945 Pasal 7A dan 7B.
                [53]
Maruar Siahaan, Sengketa Kewenangan antar
Lembaga Negara dan Hukum Acaranya
, Makalah pada presentasi Kuliah Umum MK
di Gedung Mahkamah Konstitusi RI, tanggal 5 agustus 2006
                [54] Ibid
                [55] Jimly Asshidiqie,
Sengketa Kewenangan  Konstitusional Lembaga Negara, Konstitusi
Press & PT Syaamil Cipta Media, 2006 hal 15.
                [56]
Syarat yang disebut pada angka (1) pasal 3 PMK nomor 08/PMK/2006 yang berlaku
mulai tanggal 18 Juli 2006, adalah mengambil alih pasal 61 ayat (1) UU nomor 24
tahun 2003, tentang Mahkamah Konstitusi.
                [57] Periksa lebih lanjut Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah konstitusi Republik
Indonesia
, Edisi Revisi MKRI 2006 hal
195.
Continue Reading

MASALAH HIDUP

Tidak dapat kita pungkiri setiap pribadi manusia pasti memiliki masalah dalam hidup dan kehidupannya. Tidak terdapat batasan usia, baik usia dewasa, remaja, tua, bahkan anak-anak sekalipun pasti memiliki masalah hidup yang tak dapat dihindari. Mulai dari masalah pribadi, masalah keluarga sampai masalah yang bersifat umum seperti masalah lingkungan, masyarakat dan lain sebagainya.
Masalah hidup yang pelik sebagian besar akan mengakibatkan seseorang akan stress dalam menghadapinya. Adapun tata cara menghadapi masalah hidup diantaranya:

1. Sabar
Sabar merupakan kata kunci dalam menghadapi segala macam permasalahan, baik permasalahan yang besar maupun masalah yang lingkupnya kecil. Stress dan putus asa menjadi akibat dari seseorang dalam menjalani persoalan, sehingga sabarlah yang harus menjadi pedoman dalam menghadapi segala macam persoalan. Sabar ini memang kata-kata yang gampang untuk dikatakan namun sulit untuk dilakukan. Dalam setiap kesempatan seringkali seseorang mengutarakan bahwa dirinya sudah bersikap sabar, tapi hal itu hanya sebatas ungkapan belaka, tidak terimplementasikan dalam suatu perbuatan yang nyata, sehingga meskipun menurutnya sudah berkelakuan sabar namun karena tidak secara sikap dan perbuatan tidak sabar sepenuhnya, maka akan menimbulkan masalah yang semakin besar dan berkepanjangan.

2. Masalah untuk di selesaikan
Masalah yang ada jangan sesekali dipahami bahwa masalah yang sedang diderita oleh seseorang adalah masalah permanen dan tidak dapat diselesaikan. Masalah itu seyogyanya secara tepat dicarikan solusi alternative penyelesaian sebaik mungkin, sehingga diupayakan tidak akan terulang kembali kejadian-kejadian yang sama pada waktu yang akan datang. Penyelesaian masalah harus melalui perhitungan dan strategi yang sangat matang, agar masalah yang dihadapi benar-benar tuntas dan tidak akan terjadi buntut yang berkepanjangan. Penyelesaian masalah membutuhkan keahlian manajemen yang baik sehingga melahirkan konklusi yang menyenangkan, hasilnya apabila masalah yang diderita berhubungan dengan orang lain atau bersifat umum, maka solusi yang dicapai adalah mencari win-win solution, sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan, semua dapat menerima dengan hati yang rela dan menyenangkan.

3. Tenang
Dalam kesempatan kondisi dan seberat apapun masalah yang diderita, upayakan sikap tenang tetap menjadi pegangan. Sikap ceroboh, tergesa-gesa dan analisa kurang komprehensif justru akan menjerumuskan kita terhadap persoalan hidup yang lebih kompleks. Untuk itu pemikiran yang jernih dan upaya-upaya solutif murni diperlukan untuk penyelesaian suatu masalah, dan semua itu dapat tercapai dengan adanya sikap dan sifat yang tenang dalam menghadapi serumit apapun persoalan yang kita hadapi. Tenang bukan berarti lamban atau santai tanpa berfikir solusi masalah yang kita hadapi, akan tetapi sifat dan sikap tenang tetap mengupayakan solusi terbaik dengan mengenyampingkan sikap-sikap ceroboh yang justru memperkeruh suasana, yang pada akhirnya akan menambah masalah yang kita hadapi. Tetap tenang sambil mencari solusi terbaik bagi masalah yang dihadapi.

4. Mintalah petunjuk dan bantuan orang lain
Petunjuk dan bantuan dari orang lain menjadi masukan yang sangat berarti bagi upaya penyelesaian masalah yang kita hadapi. Orang lain yang sedikit memiliki masalah biasanya berfikir lebih jernih dan objektif dalam mencari solusi dan alternative masalah yang kita hadapi. Namun yang harus menjadi catatan adalah kita mesti selektif serta memilah kepada siapa dan tentang apa kita meminta petunjuk dan bantuan, kita harus paham karakter dan sikap dari orang yang akan kita mintai bantuan, kita mesti selektif tentang apa yang akan kita biacarakan dan kita mintakan bantuan. Apabila yang bersangkutan dirasa kurang mampu serta dirasa justru akan menjerumuskan atau semakin memperkeruh keadaan atau situasi masalah, maka lebih baik tidak kita utarakan dan meminta bantuan kepada yang bersangkutan. Mintalah petunjuk, saran dan bantuan dari orang-orang terdekat atau orang kepercayaan anda yang memang dapat dan benar-benar membantu anda menyelesaikan masalah yang dihadapi.

5. Jujur terhadap persoalan
Dalam mencari solusi dan alternative solusi terhadap permasalahan yang kita hadapi kita mesti jujur terhadap permasalahan kita yang sedang hadapi. Betapapun berat masalah yang kita hadapi harus tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip kejujuran, ini sangat penting dalam hal upaya mengurai masalah yang kita hadapi guna dicarikan solusi yang tepat sehingga permasalahan dapat teratasi dengan tepat pula. Apabila tidak jujur maka solusinya pun juga tidak akan tepat dan akurat, sehingga mengakibatkan persoalan yang berlarut-larut atau bahkan semakin memperkeruh keadaan. Untuk itu dalam hal mencari upaya solusi diperlukan kejujuran-kejujuran dalam mentranformasikan masalah yang dihadapi, sehingga tercipta solusi dan konklusi yang baik.

6. Kerjakan kegiatan positif
Memiliki masalah dan persoalan bukan berarti kita harus berdiam diri dan mengurung diri tidak bersosialisasi atau bahkan tidak melaksanakan kegiatan-kegiatan yang positif. Berdiam diri bukan berarti merupakan bagian penyelesaian masalah, justru akan menjadikan bom waktu tentang masalah yang kita hadapi. Juga dengan mengerjakan hal-hal yang tidak positif justru akan menimbulkan kebingungan-kebingunan setelah menghadapi persoalan. Seperti yang telah diurai sebelumnya bahwa masalah untuk dihadapi dan siselesaikan, sambil menghadapi masalah usahakan kita memiliki kesibukan dan kegiatan-kegiatan yang positif agar kita tidak hanya terfokus pada masalah yang dihadapi, akan tetapi terdapat hal-hal lain yang mesti kita laksanakan, hasilnya adalah kita dapat menyelesaikan masalah dengan rileks dan jernih dalam mencari solusi permasalahan.

7. Jadikan masalah sebagai pengalaman
Masalah adalah pengalaman untuk hidup yang lebih baik kedepan. Pengalaman pahit bukan berarti ridak berguna sama sekali, pengalaman pahit justru menjadi pengalaman berharga bagi kita agar bagaimana selanjutnya kita tidak terjebak kedalam lubang yang sama. Jadikanlah masalah sebagai pengalaman yang tidak akan terulang kembali untuk yang kedua kalinya. Apabila masih terulang kembali, berarti kita lalai dalam menjalankan dan upaya mencari solusi, dikarenakan solusi yang sudah dicari justru diulang kembali dengan kasus yang sama, sehingga sia-sialah solusi yang diambilnya. Untuk itu jangan sampai masalah yang telah terjadi dapat terulang kembali.

8. Masalah adalah pendewasaan
Masalah adalah proses pendewasaan kita untuk merubah kualitas hidup yang lebih baik dari yang sebelumnya. Kita harus dewasa dengan keadaan serta berupaya meningkatkan kreatifitas untuk menunjang esensi hidup yang pada akhirnya segala masalah-masalah yang kita hadapi dan akan kita hadapi dapat dijadikan penyadaran bahwa kita harus segera memperbaiki hal-hal yang masih kurang untuk selanjutnya diperbaiki. Kita akan lebih dewasa menyikapi segala bentuk masalah-masalah hidup apabila dihadapi dengan kebaikan serta percaya bahwa segalanya adalah anugerah dari sang pencipta. Apabila kita mampu berpikir yang demikian, maka kita adalah orang-orang yang dewasa dalam menyikapi pelik dan tantangan hidup di dunia.

9. Tawakal dan berdoa
Tawakal dan berdoa merupakan bagian dari solusi jitu dalam menghadapi masalah. Orang yang selalu bertawakal serta berdoa memanjatkan kepada Tuhan agar jalan hidupnya diberikan yang terbaik adalah bagian dari jalan terbaik menuju kehidupan yang sadar akan arti dan makna tujuan hidup yang sebenarnya. Apabila kita selalu bertawakal dan berdoa maka seberat apapun beban hidup yang dihadapi. Kita akan mulai terbiasa dengan keadaan-keadaan yang menerpa kita, dan tidak menganggap suatu hambatan, akan tatapi menganggap suatu kebiasaan-kebiasaan kecil yang sudah terbiasa terjadi setiap waktu dan kesempatan. Orang yang telah terbiasa dengan terpaan-terpaan yang sperti itulah yang berpeluang untuk menjadi besar dan tumbuh guna mengisi hidup yang lebih berkualitas menuju kesuksesan. Semoga kita dapat menghadapi masalah demi masalah dengan atif dan bijak. Amin…

Continue Reading

PUASA RAMADHAN

AYAT PERINTAH PUASA

“Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu sekalian puasa, sebagaimana diwajibkan atas
orang-orang sebelum kamu agar kamu sekalian bertaqwa “( QS Al-Baqarah : 183 ).

1. Puasa Ramadhan hukumnya Fardu `Ain
2. Puasa Ramadhan disyari’atkan bertujuan untuk menyempurnakan ketaqwaan

KEUTAMAAN BULAN RAMADHAN DAN KEUTAMAAN BERAMAL DIDALAMNYA

1. Bulan Ramadhan adalah:
a. Bulan yang penuh Barakah.
b. Pada bulan ini pintu Jannah dibuka dan pintu neraka ditutup.
c. Pada bulan ini Setan-Setan dibelenggu.
d. Dalam bulan ini ada satu malam yang keutamaan beramal didalamnya lebih baik daripada beramal seribu bulan di bulan lain, yakni malam LAILATUL QADR.
e. Pada bulan ini setiap hari ada malaikat yang menyeru menasehati siapa yang berbuat baik agar bergembira dan yang berbuat ma’shiyat agar menahan diri.

2. Keutamaan beramal di bulan Ramadhan antara lain :

a. Amal itu dapat menutup dosa-dosa kecil antara setelah Ramadhan yang lewat sampai dengan Ramadhan berikutnya.
b. Menjadikan bulan Ramadhan memintakan syafaa’t.
c. Khusus bagi yang puasa disediakan pintu khusus yang bernama Rayyaan untuk memasuki Jannah.

RUKUN PUASA

a. Berniat sejak malam hari
b. Menahan makan, minum, koitus (Jima’) dengan istri di siang hari sejak terbit fajar sampai terbenam matahari (Maghrib),

Wanita yang sedang haidh dilarang puasa sampai habis masa haidhnya, lalu melanjutkan puasanya. Di luar Ramadhan ia wajib mengqadha puasa yag ditinggalkannya selama dalam haidh.

YANG DIBERI KELONGGARAN UNTUK TIDAK PUASA RAMADHAN

Orang Mu’min yang diberi kelonggaran diperbolehkan untuk tidak puasa Ramadhan, tetapi wajib mengqadha di bulan lain, mereka itu ialah :
a). Orang sakit yang masih ada harapan sembuh.
b) Orang yang bepergian ( Musafir ). Musafir yang merasa kuat boleh meneruskan puasa dalam safarnya, tetapi yang merasa lemah dan berat lebih baik berbuka, dan makruh memaksakan diri untuk puasa.

Orang Mu’min yang diberi kelonggaran diperbolehkan untuk tidak mengerjakan puasa dan tidak wajib mengqadha, tetapi wajib fidyah (memberi makan sehari seorang miskin). Mereka adalah orang yang tidak lagi mampu mengerjakan puasa karena :
a). Umurnya sangat tua dan lemah.
b). Wanita yang menyusui dan khawatir akan kesehatan anaknya.
c). Karena mengandung dan khawatir akan kesehatan dirinya.
d). Sakit menahun yang tidak ada harapan sembuh.
e). Orang yang sehari-hari kerjanya berat yang tidak mungkin mampu dikerjakan sambil puasa, dan tidak mendapat pekerjaan lain yang ringan.

HAL-HAL YANG MEMBATALKAN PUASA

a. Sengaja makan dan minum di siang hari. Bila terlupa makan dan minum di siang hari, maka tidak membatalkan puasa.
b. Sengaja membikin muntah, bila muntah dengan tidak disengajakan, maka tidak membatalkan puasa.
c. Dengan sengaja menyetubuhi istri di siang hari Ramadhan, ini disamping puasanya batal ia terkena hukum yang berupa : memerdekakan seorang hamba, bila tidak mampu maka puasa dua bulan berturut-turut, dan bila tidak mampu, maka memberi makan enam puluh orang miskin.
d. Datang bulan di siang hari Ramadhan ( sebelum waktu masuk Maghrib)

HAL-HAL YANG BOLEH DIKERJAKAN WAKTU IBADAH PUASA

a. Menyiram air ke atas kepala pada siang hari karena haus ataupun udara panas, demikian pula menyelam kedalam air pada siang hari.
b. Menta’khirkan mandi junub setelah adzan Shubuh.
c. Berbekam pada siang hari.
d. Mencium, mencumbu istri tetapi tidak sampai bersetubuh di siang hari (hukumnya makruh)
e. Beristinsyak (menghirup air kedalam hidung) terutama bila akan berwudhu, asal tidak dikuatkan menghirupnya.
f. Disuntik di siang hari.
g. Mencicipi makanan asal tidak ditelan.

ADAB-ADAB PUASA RAMADHAN
1. Berbuka apabila sudah masuk waktu Maghrib.
Sunnah berbuka adalah sbb :
a. Disegerakan yakni sebelum melaksanakan shalat Maghrib dengan makanan yang ringan seperti rutob (kurma muda), kurma dan air saja, setelah itu baru melaksanakan shalat.
b. Tetapi apabila makan malam sudah dihidangkan, maka terus dimakan, jangan shalat dahulu.
c. Setelah berbuka berdo’a dengan do’a sbb : Artinya : “Telah hilang rasa haus, dan menjadi basah semua urat-urat dan pahala tetap wujud insya Allah.”

2. Makan sahur. Adab-adab sahur :
a. Dilambatkan sampai akhir malam mendekati Shubuh.
b. Apabila pada tengah makan atau minum sahur lalu mendengar adzan Shubuh, maka sahur boleh diteruskan sampai selesai, tidak perlu dihentikan di tengah sahur karena sudah masuk waktu Shubuh.

3. Lebih bersifat dermawan (banyak memberi, banyak bershadaqah, banyak menolong) dan banyak membaca al-qur’an
4. Menegakkan shalat malam/shalat Tarawih dengan berjama’ah. Dan shalat Tarawih ini lebih digiatkan lagi pada sepuluh malam terakhir (20 hb. sampai akhir Ramadhan). Cara shalat Tarawih adalah :
a. Dengan berjama’ah.
b. Salam tiap dua raka’at dikerjakan empat kali, atau salam tiap empat raka’at dikerjakan dua kali dan ditutup dengan witir tiga raka’at.
c. Dibuka dengan dua raka’at yang ringan.
d. Bacaan dalam witir : Raka’at pertama : Sabihisma Rabbika. Roka’t kedua : Qul yaa ayyuhal kafirun. Raka’at ketiga : Qulhuwallahu ahad.
e. Membaca do’a qunut dalam shalat witir.

5. Berusaha menepati lailatul qadar pada sepuluh malam terakhir, terutama pada malam-malam ganjil. Bila dirasakan menepati lailatul qadar hendaklah lebih giat beribadah dan membaca : Yaa Allah Engkaulah pengampun, suka kepada pengampunan maka ampunilah aku.
6. Mengerjakan i’tikaf pada sepuluh malam terakhir.
7. Menjauhi perkataan dan perbuatan keji dan menjauhi pertengkaran.

Cara i’tikaf:
a. Setelah shalat Shubuh lalu masuk ke tempat i’tikaf di masjid.
b. Tidak keluar dari tempat i’tikaf kecuali ada keperluan yang mendesak.
c. Tidak mencampuri istri dimasa i’tikaf.

Continue Reading

MARI KITA JUJUR

Sebagian orang di dunia pasti sepakat bahwa jujur merupakan kata yang gampang untuk diucapkan tapi sulit untuk diimplementasikan. Seraya kita melihat dalam kehidupan sehari-hari di sekitar kita, pasti kita melihat banyaknya orang yang tidak jujur dalam hal apapun, baik dalam persahabatan, bisnis, pemerintahan dan yang lainnya. Berita-berita yang dipublikasikan di media yang mengandung unsur tindak pidana, penipuan, penggelapan, pemerkosaan, pemerasan, penghinaan, pembunuhan, dan tindak pidana yang lainnya pasti sebagian besar mengandung unsure ketidakjujuran, baik contoh-contoh yang sangat sederhana sampai pada contoh yang sangat pelik yang kadang kita sulit untuk mengartikannya. Pertanyaannya adalah ada apa dengan semua ini? Dimana letak kesalahannya sehingga hal yang demikian dapat terjadi?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan diatas kiranya perlu untuk menguraikan penyebab terjadinya ketidakjujuran yang sedang melanda Negeri kita tercinta ini, adapun melalui catatan pengetahuan penulis tentang macam-macam sebab terjadinya keridakjujuran dapat diurai sebagai berikut:

1. Rendahnya Nilai Moral dan Spiritual

Nilai moral ini yang menjadi tonggak awal terjadinya ketidakjujuran, moral yang lemah dan lemahnya pengimplementasian nilai-nilai agama sangat mempengaruhi perilaku tidak jujur. Moral ini dapat diterapkan pada kebiasaan pada waktu kecil, sehinggga berdampak pada sikap dan perbuatan pada masa dewasa. Pembenahan nilai-nilai moral dan spiritual ini yang dapat dijadikan alternative bagi terciptanya kejujuran di lingkungan kita sehari-hari, dapat dilakukan melalui pemberian-pemberian pemahaman dan koreksi tentang apa yang telah diperbuat tentu akan merugikan dirinya sendiri dan orang lain. Idealnya dapat dimulai sejak dari dini dibiasakan memiliki moral yang baik dan memperkuat nilai-nilai keagamaan sesuai dengan agama dan kepercayaannnya masing-masing, karena tidak ada satu agamapun yang mengajarkan dan memerintahkan untuk bersikap ridak jujur.

2. Kebiasaan dan Lingkungan

Kebiasaan juga dapat mempengaruhi seseorang untuk bersikap tidak jujur. Baik kebiasaan dari lingkungan keluarga, lingkungan tempat berkumpul dan lingkungan tempat dimana kita tinggal. Kebiasaan-kebiasaan itulah yang menyebabkan menjadi terbiasanya bersikap yang kurang baik. Karena telah menjadi kebiasaan maka seolah-seolah perbuatan yang seharusnya tidak benar menjadi benar menurut yang bersangkutan. Kewajiban kita untuk memberikan nasihat dan pelajaran tentang kejujuran sejak dini betul, bisa dari orang tua, teman, sejak sedini mungkin, agar kebiasaan yang tidak baik menjadi kebiasaan dan dikerjaan setiap saat.

3. Motif Perekonomian

Sebagian besar juga manusia bersikap tidak jujur dikarenakan motif perekonomian. Ekonomi yang sulit dan pas-pasan sehingga menjerumuskan untuk bersifat tidak jujur. Ini telah banyak dilakukan oleh orang-orang dilingkungan kita. Masyarakat yang umumnya berprekonomian rendah, mereka menggunakan berbagai macam cara meskipun harus menipu untuk mencukupi beban hidupnya. Mereka tidak sabar dengan kondisi yang ada, tanpa berpikir panjang sehingga jalan pintas harus menjadi pilihannya. Perekomomian yang sulit seharusnya tidak menjadikan kita untuk bersikap tidak jujur. Dengan kita tidak jujur justru merugikan orang lain. Untuk itu dalam kondisi apapun seyogyanya kita tetap berprinsip pada kejujuran.

4. Adanya sikap Iri

Sikap iri terhadap orang lain adalah pencerminan bahwa kita orang yang malas dan tidak mau beusaha. Apabila terdapat seseorang yang iri apalagi dengki terhadap orang lain, maka sikap yang demikian adalah sikap yang harus segera dirubah, karena akan menghancurkan seseorang yang iri tersebut. Karena iri dengan jabatan, pangkat, kekayaan seseorang, maka kita enggan untuk berperilaku jujur terhadapnya. Tidak boleh demikian hidup yang sebenarnya, justru harus dijadikan motivasi untuk merubah diri dan berbenah menghilangkan rasa iri dan merubah menjadi penyemangat agar beban tidak semakin membebani kita. Untuk menyiasati sikap iri ini kita harus berusaha mencerminkan sikap pribadi yang optimis dengan keadaaan, sehingga kita tidak terjerumus kedalam sikap iri yang merugikan kita sendiri. Karena sebagaimana kata yang sering diucapkan orang “iri tanda tak mampu”.

5. Serakah

Keserakahan adalah mesin penghancur bangsa. Keserakahan tidak hanya merugikan orang lain, akan tetapi juga merugikan pihak yang berbuat serakah. Ketika kita serakah, maka sudah tentu akan menghilangkan hak orang lain, juga akan mengurangi tingkat kepercayaan terhadap orang yang berbuat serakah. Serakah juga bagian dari ketidakjujuran. Keinginan untuk lebih dan lebih itu bagian dari orang yang serakah. Tidak mau bersyukur atas nikmat yang sudah ada juga bagian dari serakah, untuk itu dapat dikategorikan ketitidakjujuran, tidak jujur pada diri sendiri dan juga kepada orang lain. Karena serakah makanya berbuat tidak jujur. Sekap serakah bisa diatasi dengan sikap apa adanya, dan tentunya harus dibarengi dengan sikap bersyukur atas apapun yang telah menjadi rizki kita. Orang yang senantiasa bersyukur atas apapun keberadaan dia sekarang tentunya akan mengurangi sikap untuk tidak jujur pada dirinya sendiri apalagi kepada orang lain.

6. Hilangnya nilai-nilai kemanusiaan

Tidak jujur berarti akan merugikan orang lain. Dengan kita bersikap tidak jujur maka kita sudah menghilangkan rasa kebaikan kepada orang lain, dalam artian nilai-nilai kemanusiaan kita sudah tidak ada lagi. Apabila nilai-nilai kemanusiaan kita tidak kita tanamkan dan kita laksanakan dalam lingkungan kita, maka orang lain akan menilai kita tidak baik. Apabila sudah terjadi yang demikian, maka kepercayaan orang lain kepada kita semakin hari semakin kecil. Nilai-nilai kemanusiaan ini menjadi sangat penting dalam kita menjalani hidup didunia ini. Sikap saling mengasihi dan menyayangi antar sesama merupakan cerminan dari nilai kemanusiaan yang harus kita junjung tinggi dan kita laksanakan dalam pergaulan hidup sehari-hari.

Kiranya demikian uraian tentang perlunya sikap jujur dalam kehidupan kira sehari-hari, agar tercipta kerukunan antar masyakat, tidak ada yang dirugikan, sehingga konsep masyarakat adil dan makmur dapat tercapai.

Continue Reading