FUNGSI PARPOL SEBAGAI SARANA PENGATUR KONFLIK

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Fungsi partai politik sangatlah penting dan dominan dalam Negara yang menganut sistem demokrasi.[1] Hal itu dikarenakan dalam setiap pengisian jabatan penting dalam struktur ketatanegaraan harus melalui partai politik, sehingga kwalitas dari penyelenggara Negara sangat banyak tergantung pada peran partai politik, untuk itu fungsi partai politik dalam hal ini wajib secara optimal dapat dilaksanakan dengan baik. Yang hasil akhirnya adalah terpilih para penyelenggara negara yang baik dan mampu menyelenggarakan segala bentuk kewenangannya dengan baik pula.

Komunikasi yang baik antar pengurus dan konstituen partai politik merupakan bagian dari fungsi partai politik sebagai sarana komunikasi politik. Makna partai sebagai sarana komunikasi politik adalah Partai sebagai penyalur aneka ragam pendapat dan aspirasi masyarakat. Partai melakukan penggabungan kepentingan masyarakat (interest aggregation) dan merumuskan kepentingan tersebut dalam bentuk yang teratur (interest articulation).[2] Rumusan ini dibuat sebagai koreksi terhadap kebijakan penguasa atau usulan kebijakan yang disampaikan kepada penguasa untuk dijadikan kebijakan umum yang diterapkan pada masyarakat. Sedangkan partai sebagai sarana sosialisasi politik adalah Partai memberikan sikap, pandangan, pendapat, dan orientasi terhadap fenomena (kejadian, peristiwa dan kebijakan) politik yang terjadi di tengah masyarakat.

Sosialisi politik mencakup juga proses menyampaikan norma-norma dan nilai-nilai dari satu generasi ke generasi berikutnya. Bahkan, partai politik berusaha menciptakan image (citra) bahwa ia memperjuangkan kepentingan umum. Mengenai partai politik sebagai sarana rekrutmen politik adalah Partai politik berfungsi mencari dan mengajak orang untuk turut aktif dalam kegiatan politik sebagai anggota partai. Yang terakhir, adalah partai politik sebagai sarana pengatur konflik. Di tengah masyarakat terjadi berbagai perbedaan pendapat, partai politik berupaya untuk mengatasinya. Namun, semestinya hal ini dilakukan bukan untuk kepentingan pribadi atau partai itu sendiri melainkan untuk kepentingan umum.[3]

Setiap negara pasti memiliki potensi konflik.[4] Hal ini dikarenakan didalam setiap negara pasti memiliki masyarakat yang memiliki banyak perbedaan-perbedaan baik dari segi etnis, sosial ekonomi ataupun agama. Oleh karenanya disini partai politik diperlukan untuk membantu mengatasi atau sekurang-kurangnya dapat diatur sedemikian rupa sehingga akibat negatifnya dapat ditekan seminimal mungkin. Elite-elite partai politik berperan untuk menumbuhkan pengertian diantara mereka yang berkonflik serta meyakinkan pendukungnya. Menurut Lijphart  perbedaan-perbedaan atau perpecahan di tingkat massa dapat diatasi oleh kerjasama-kerjasama oleh elite-elite politik.[5] Oleh karenanya peran partai politik tentunya dapatmencegah terjadinya konflik-konflik yang terjadi di masyarakat

Berbicara konflik ini kemudian akan berkaitan dengan kepentingan, konflik ini muncul karena ada kepentingan-kepentingan yang berbeda saling bertemu. Kepentingan disini adalah kepentingan dari orang, kelompok, atau golongan-golongan yang ada dalam masyarakat. Mengingat di dalam masyarakat Indonesia khususnya, dimana dengan berbagai macam keberagaman yang ada baik itu golongan, agama, etnis ataupun yang bersifat sektoral.[6] Tentunya akan banyak sekali kepentingan yang akan saling berbenturan, hal ini tentunya akan membawa dampak yang luar biasa ketika dibiarkan begitu saja. Memang konflik dalam masyarakat itu tidak dapat dihilangkan tetapi yang harus dilakukan adalah bagaimana memanajemen konflik tersebut supaya konflik tersebut sifatnya tidak merusak hubunga antar golongan tadi dengan cara-cara kekerasan.

Partai politik sebagai salah satu lembaga demokrasi berfungsi untuk mengendalikan konflik melalui cara berdialog dengan pihak-pihak yang berkonflik, menampung dan memadukan berbagai aspirasi dan kepentingan pihak-pihak yang berkonflik dan membawa permasalahan kedalam musyarawarah badan perwakilan rakyat untuk mendapatkan penyelesaian berupa keputusan politik.[7]

Di Indonesia fungsi partai sebagai pengatur konflik tidak berjalan dengan optimal, hal itu banyak faktor yang mempengaruhi, mulai dari internal dan eksternal partai politik. Faktor internal adalah keinginan-keinginan prakmatis yang menginginkan partai politik hanya untuk memperjuangkan kepentingan pribadi dan golongan, tidak memikirkan tentang keseluruhan masyarakat. Faktor eksternal adalah faktor-faktor yang muncul akibat adanya antipasti masyarakat terhadap peran dan fungsi partai politik, sehingga keberadaan peran dan fungsi partai politik kurang begitu optimal.

Berdasarkan analisan dan paparan diatas, maka penulis tertarik untuk meneliti dan mengkaji tentang fungsi partai politik utamanya yang berkaitan dengan fungsi partai politik sebagai pengatur konflik di Indonesia. Untuk itu dalam makalah ini akan dijabarkan tentang persoalan fungsi partai politik untuk mengatur konflik antara keinginan dan harapan dikaitkan dengan kejadian-kejadian yang terjadi di Indonesia.

I.2. Rumusan Masalah

Adapun rumusan yang menjadi pokok masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:

  1. Bagaimanakah fungsi partai politik sebagai sarana pengatur konflik di Indonesia?
  2. Bagaimana optimalisasi peran serta partai politik sebagai sarana pengatur konflik di Indonesia?

I.3. Tujuan Penulisan

Sedangkan yang menjadi tujuan dari penulisan makalah ini adalah diantaranya :

  1. Untuk menganalisa fungsi partai politik sebagai sarana pengatur konflik di Indonesia
  2. Mencari solusi dan cara optimalisasi peran serta partai politik sebagai sarana pengatur konflik di Indonesia

I.4. Manfaat Penulisan

Adapun yang menjadi manfaat dalam penulisan makalah ini diantaranya :

  1. Untuk menambah dan memperdalam ilmu kajian Hukum Tata Negara, khususnya tentang Partai Politik dan Pemilu
  2. Untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh pengampu mata kuliah pemilu dan partai politik

I.5. Metodologi Penelitian

Metode penulisan yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah menggunakan yuridis normatif,[8] yaitu cara penulisan yang didasarkan pada analisis terhadap beberapa asas hukum dan beberapa teori hukum serta peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan permasalahan dalam makalah, dengan mengaitkan hal-hal yang terjadi dilapangan. Sedangkan metode pendekatan masalahnya adalah melalui statute approach,[9] yakni dengan melakukan pendekatan atau analisis terhadap persoalan peraturan perundang-undangan dikaitkan dengan kejadian-kejadian dan peristiwa di lapangan.

Adapun yang menjadi bahan hukum yang dipergunakan dalam penulisan makalah ini meliputi:

  1. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang berupa peraturan perundang-undangan

  1. Bahan Hukum Skunder

Bahan hukum skunder adalah bahan hukum yang berupa buku-buku referensi, media-media informasi yang berkaitan langsung maupun tidak dengan pembahasan.

Sedangkan teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan adalah teknik dokumentasi yakni mengumpulkan dan mengkaji bahan-bahan hukum yang ada baik hukum primer maupun bahan hukum skunder. Sedangkan pengolahan bahan hukum yang digunakan adalah dengan menginventarisasi bahan-bahan hukum yang ada kemudian disinkronkan dengan permasalahan-permasalahan yang berkembang terutama hal-hal yang berkaitan dengan Pemerintahab daerah.

Mengenai metode analisis data yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah metode deduktif, yakni mengkaji dari hal-hal yang bersifat khusus untuk menghasilkan kesimpulan yang bersifat umum.[10]

I.6. Landasan Teoritik Fungsi Partai Politik

Salah satu syarat untuk mewujudkan esensi demokrasi salah satunya adalah dengan adanya pemilihan umum (Pemilu). Walaupun masih terdapat perdebatan apakah Pilkada merupakan pemilu atau bukan, akan tetapi pada dasarnya adalah bagaimana rakyat dapat menentukan calon yang di idealkan sehingga akan mampu membawa aspirasi rakyat secara keseluruhan pada akhirnya.

Pemilihan umum yang demokratis merupakan satu-satunya jaminan untuk mewujudkan tujuan pemilu itu sendiri, yakni antara lain:

  1. membuka peluang untuk terjadinya pergantian pemerintahan sekaligus momen untuk menguji dan mengevaluasi kualitas dan kuantitas dukungan rakyat terhadap keberhasilan dan kekurangan pemerintah yang sedang berkuasa.
  2. sebagai sarana menyerap dinamika aspirasi rakyat untuk diindetifikasi, diartikulasi dan di agregasikan selama jangka waktu tertentu
  3. yang paling pokok adalah untuk menguji kualitas pelaksanaan kedaulatan rakyat itu sendiri.[11]

Pentingnya pemilu yang demokratis sebagai sarana demokrasi dalam sistem perwakilan setidaknya menjamin terbentuknya representative government.[12] Kata “Perwakilan” (representation) adalah konsep seorang atau suatu kelompok yang lebih besar. Dewasa ini anggota Dewan Perwakilan Rakyat pada umumnya mewakili rakyat melalui partai politik. Pada hal pada dasarnya setiap jabatan politik dalam hal ini pemilihan Presiden, Gubernur, Wali Kota maupun Bupati pada tataran teoritis bukan hanya melalui partai politik, akan tetapi seperti yang ada di Amerika Serikat, bahwa calon House of Representative maupun senat tidak harus berangkat dari Partai Politik, akan tetapi meskipun misalkan yang bersangkutan tidak mendaftarkan diri ke Komisi Pemilihan, akan tetapi terdapat orang yang memilih, maka tetap dikatakan sah. Sehingga benar kalau di Indonesia dikatakan sebagai perwakilan yang bersifat politik (political representation)[13]

Perwakilan politik bagi beberapa kalangan dirasakan sebagai pengbaian terhadap kepentingan-kepentingan dan kekuatan-kekuatan lain yang ada didalam masyarakat.[14] Oleh karena itu, di beberapa Negara mencoba mengatasi persoalan tersebut dengan cara mengikutsertakan wakil dari golongan perseorangan atau yang dianggap memerlukan perlindungan khusus. Seperti di India mengangkat beberapa orang wakil dari golongan Anglo-Indian sebagai anggota Majelis Rendah, sementara golongan kesusestraan, kebudayaan, dan pekerja sosial diangkat menjadi anggota Majelis Tinggi. Lain halnya dengan Amerika yang memberikan peluang bagi calon independent untuk bertarung dalam setiap event pemilihan jabatan politik. Sehingga dapa dikatakan bahwa demokrasi yang dibangun di Indonesia adalah demokrasi partai politik, yang tidak dapat memberikan kesempatan kepada perorangan atau lembaga non partai politik untuk dapat mencalonkan apalagi menjabat sebagai jabatan politik.

Yang terjadi adalah orng-orang yang dianggap loyal terhadap partai yang pada akhirnya diproyeksikan sebagai calon dalam setiap momen pergantian jabatan politik dimanapun. Peraturan perundang-undangan pun yang di cari kekurangannya, agar tujuan dari golongannya dapat tercapai dengan tanpa memikirkan dampak negative yang akan terjadi baik dalam internal pemerintahan maupun eksternal pemerintahan

Secara umum, para ilmuwan politik biasa menggambarkan adanya 4 (empat) fungsi partai politik. Keempat fungsi partai politik itu menurut Miriam Budiardjo, meliputi : (i) sarana komunikasi politik, (ii) sosialisasi politik (political socialization), (iii) sarana rekruitmen politik (political recruitment), dan (iv) pengatur konflik (conflict management).[15] Dalam istilah Yves Meny dan Andrew Knapp, fungsi partai politik itu mencakup fungsi (i) mobilisasi dan integrasi, (ii) sarana pembentukan pengaruh terhadap perilaku memilih (voting patterns); (iii) sarana rekruitmen politik; dan (iv) sarana elaborasi pilihan-pilihan kebijakan.[16]

Sarana Komunikasi Politik: Partai politik bertugas menyalurkan beragam aspirasi masyarakat dan menekan kesimpangsiuran pendapat di masyarakat. Keberadaan partai politik menjadi wadah penggabungan aspirasi anggota masyarakat yang senada (interest aggregation) agar dapat di rumuskan secara lebih terstruktur atau teratur (interest articulation). Selanjutnya, partai politik merumuskan aspirasi tersebut menjadi suatu usulan kebijak(sana)an, untuk diajukan kepada pemerintah agar menjadi suatu kebijakan publik. Di sisi lain, partai politik bertugas membantu sosialisasi kebijakan pemerintah, sehingga terjadi suatu arus informasi berkesinambungan antara pemerintah dan masyarakat.

Sarana Sosialisasi Politik: Dalam usahanya untuk memperoleh dukungan luas masyarakat, partai politik akan berusaha menunjukkan diri sebagai pejuang kepentingan umum. Oleh karena itu partai politik harus mendidik dan membangun orientasi pemikiran anggotanya (dan masyarakat luas) untuk sadar akan tanggungjawabnya sebagai warga negara. Proses tersebut dinamakan sosialisasi politik, yang wujud nyatanya dapat berbentuk ceramah penerangan, kursus kader, seminar dan lain-lain. Lebih lanjut, sosialisasi politik dapat pula diartikan sebagai usaha untuk memasyarakatkan ide, visi dan kebijakan strategis partai politik kepada konstituen agar mendapatkan feedback berupa dukungan masyarakat luas.[17]

Sarana Rekruitmen Politik: Partai politik memiliki fungsi untuk mencari dan mengajak orang yang berbakat untuk aktif berpolitik sebagai anggota partai politik tersebut (political recruitment).[18] Hal ini merupakan suatu usaha untuk memperluas partisipasi politik. Selain itu, rekruitmen politik yang di arahkan pada generasi muda potensial menjadi sarana untuk mempersiapkan regenerasi kepemimpinan di dalam struktur partai politik.

Sarana Mengelola Konflik: Partai politik bertugas mengelola konflik yang muncul di masyarakat sebagai suatu akibat adanya dinamika demokrasi, yang memunculkan persaingan dan perbedaan pendapat. Dalam hal ini partai politik diharapkan dapat meredam dan menyelesaikan konflik-konflik yang terjadi dalam masyarakat, sehingga kehidupan masyarakat yang damai dan tenteram menjadi dambaan kita semua.

Memperhatikan fungsi parpai sebagai sarana Mengelola Konflik tersebut, kududukan dan peran partai politik adalah sangat penting bagi sebuah Negara demokrasi, baik dalam penyusunan berbagai kebijakan yang demokratis maupun sebagai alat yang efektif untuk melakukan sosialisasi politik (kebijakan), rekruitmen politik serta sarana pengatur konflik, walaupun tidak seluruh fungsi ini dapat diperankan oleh partai-partai politik, karena di internal partai politik sendiri bisa terjadi konflik dan tidak mampu melaksanakan sosialisasi dan komunikasi politik dengan baik. Hal ini sangat tergantung pada kwalitas dan kesadaran politik dari para pimpinan yang menggerakkan partai itu.

Dalam teori demokrasi modern, menurut Klingemann, Partai-partai politik dipandang sebagai sarana kelembagaan yang utama untuk menjembatani hubungan antara masyarakat dengan pemerintah.[19] Partai-partai dianggap memainkan peranan menyeluruh sebelum, selama dan sesudah pemilu. Berbeda dengan kelompok-kelompok kepentingan , partai-partai menjangkau suatu lingkup kepentingan manusia secara luas. Mereka mengidentifikasi, memilah menentukan dan mengarahkan pelbagai kepentingan tersebut menuju cara-cara bertindak yang dapat dipilih oleh para pemilih dan pemerintah. Pemilu merupakan ajang menyampaikan kehendak kebijakan yang disampaikan oleh para pimpinan partai dalam konteks memperebutkan persaingan memperebutkan pemerintahan.[20]

Idealnya partai pemenang akan mengendalikan pengambilan keputusan kebijakan pemerintahan sesuai dengan program-program partainya. Namun menurut menurut Klingermann, Partai yang berkuasa harus juga memperhatikan berbagai tuntutatan yang nyata dalam masyarakat.[21] Karena itu partai pecundang tidak harus kehilangan perannya dalam kehidupan politik modern, karena ternyata penentuan kebijakan publik sangat dipengaruhi oleh rangkain proses demokratis dalam proses pengambilan keputusan. Tekanan-tekanan yang disampaikan oleh kelompok fungsional dan partai-partai kecil sangat besar pengaruhnya dalam penentuan kebijakan publik. Apalagi kalau tidak ada pemenang mutlak dalam proses pemilu sehingga pengambilan keputusan mengutamakan akomodasi daripada konfrontasi.

 

BAB II

KONSEPSI IDEAL FUNGSI PARTAI POLITIK

SEBAGAI SARANA PENGATUR KONFLIK DI INDONESIA

II.1. Fungsi Partai Politik Sebagai Pengatur Konflik dan Kaitannya dengan Fungsi-Fungsi Lainnya

Pada umumnya, para ilmuwan politik biasa menggambarkan adanya 4 (empat) fungsi partai politik.[22] Keempat fungsi partai politik itu menurut Miriam Budiardjo, meliputi sarana[1]: (i) sarana komunikasi politik, (ii) sosialisasi politik (political socialization), (iii) sarana rekruitmen politik (political recruitment), dan (iv) pengatur konflik (conflict management). Dalam istilah Yves Meny dan Andrew Knap fungsi partai politik itu mencakup fungsi (i) mobilisasi dan integrasi, (ii) sarana pembentukan pengaruh terhadap perilaku memilih (voting patterns); (iii) sarana rekruitmen politik; dan (iv) sarana elaborasi pilihan-pilihan kebijakan.

Keempat fungsi tersebut sama-sama terkait satu dengan yang lainnya. Sebagai sarana komunikasi politik, partai berperan sangat penting dalam upaya mengartikulasikan kepentingan (interests articulation) atau “political interests[23] yang terdapat atau kadang-kadang yang tersembunyi dalam masyarakat. Berbagai kepentingan itu diserap sebaik-baiknya oleh partai politik menjadi ide-ide, visi dan kebijakan-kebijakan partai politik yang bersangkutan. Setelah itu, ide-ide dan kebijakan atau aspirasi kebijakan itu diadvokasikan sehingga dapat diharapkan mempengaruhi atau bahkan menjadi materi kebijakan kenegaraan yang resmi.

Terkait dengan komunikasi politik itu, partai politik juga berperan penting dalam melakukan sosialisasi politik (political socialization). Ide, visi dan kebijakan strategis yang menjadi pilihan partai politik dimasyarakatkan kepada konstituen untuk mendapatkan ‘feedback’ berupa dukungan dari masyarakat luas. Terkait dengan sosialisasi politik ini, partai juga berperan sangat penting dalam rangka pendidikan politik. Partai lah yang menjadi struktur-antara atau ‘intermediate structure[24] yang harus memainkan peran dalam membumikan cita-cita kenegaraan dalam kesadaran kolektif masyarakat warga negara.

Misalnya, dalam rangka keperluan memasyarakatkan kesadaran negara berkonstitusi, partai dapat memainkan peran yang penting. Tentu, pentingnya peran partai politik dalam hal ini, tidak boleh diartikan bahwa hanya partai politik saja yang mempunyai tanggungjawab eksklusif untuk memasyarakatkan UUD. Semua kalangan, dan bahkan para pemimpin politik yang duduk di dalam jabatan-jabatan publik, khususnya pimpinan pemerintahan eksekutif mempunyai tanggungjawab yang sama untuk itu. Yang hendak ditekankan disini adalah bahwa peranan partai politik dalam rangka pendidikan politik dan sosialisasi politik itu sangatlah bergantung pada keinginan dan komitmen yang kuat dari penyelenggara dan pengurus partai politik.

Fungsi ketiga partai politik adalah sarana rekruitmen politik (political recruitment). Partai dibentuk memang dimaksudkan untuk menjadi kendaraan yang sah untuk menyeleksi kader-kader pemimpin negara pada jenjang-jenjang dan posisi-posisi tertentu. Kader-kader itu ada yang dipilih secara langsung oleh rakyat, ada pula yang dipilih melalui cara yang tidak langsung, seperti oleh Dewan Perwakilan Rakyat, ataupun melalui cara-cara yang tidak langsung lainnya.

Tentu tidak semua jabatan yang dapat diisi oleh peranan partai politik sebagai sarana rekruitmen politik. Jabatan-jabatan profesional di bidang-bidang kepegawai-negerian, dan lain-lain yang tidak bersifat politik (poticial appointment)[25], tidak boleh melibatkan peran partai politik. Partai hanya boleh terlibat dalam pengisian jabatan-jabatan yang bersifat politik dan karena itu memerlukan pengangkatan pejabatnya melalui prosedur politik pula (political appointment).

Untuk menghindarkan terjadinya percampur adukan, perlu dimengerti benar perbedaan antara jabatan-jabatan yang bersifat politik itu dengan jabatan-jabatan yang bersifat teknis-administratif dan profesional.[26] Di lingkungan kementerian, hanya ada 1 jabatan saja yang bersifat politik, yaitu Menteri. Sedangkan para pembantu Menteri di lingkungan instansi yang dipimpinnya adalah pegawai negeri sipil yang tunduk kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang kepegawaian.

Jabatan dibedakan antara jabatan negara dan jabatan pegawai negeri. Yang menduduki jabatan negara disebut sebagai pejabat negara. Seharusnya, supaya sederhana, yang menduduki jabatan pegawai negeri disebut pejabat negeri. Dalam jabatan negeri atau jabatan pegawai negeri, khususnya pegawai negeri sipil, dikenal adanya dua jenis jabatan, yaitu jabatan struktural dan jabatan fungsional.

Jenjang jabatan itu masing-masing telah ditentukan dengan sangat jelas hirarkinya dalam rangka penjenjangan karir. Misalnya, jenjang jabatan struktural tersusun dalam mulai dari eselon 5, 4, 3, 2, sampai ke eselon 1. Untuk jabatan fungsional, jenjang jabatannya ditentukan berdasarkan sifat pekerjaan di masing-masing unit kerja. Misalnya, untuk dosen di perguruan tinggi yang paling tinggi adalah guru besar. Jenjang di bawahnya adalah guru besar madya, lektor kepala, lektor kepala madya, lektor, lektor madya, lektor muda, dan asisten ahli, asisten ahli madya, asisten. Di bidang-bidang lain, baik jenjang maupun nomenklatur yang dipakai berbeda-beda tergantung bidang pekerjaannya.

Untuk pengisian jabatan atau rekruitmen pejabat negara/kenegaraan, baik langsung ataupun tidak langsung, partai politik dapat berperan. Dalam hal ini lah, fungsi partai politik dalam rangka rekruitmen politik (political recruitment) dianggap penting.[27] Sedangkan untuk pengisian jabatan negeri seperti tersebut di atas, partai sudah seharusnya dilarang untuk terlibat dan melibatkan diri.

Fungsi keempat adalah pengatur dan pengelola konflik yang terjadi dalam masyarakat (conflict management). Seperti sudah disebut di atas, nilai-nilai (values) dan kepentingan-kepentingan (interests)[28] yang tumbuh dalam kehidupan masyarakat sangat beraneka ragam, rumit, dan cenderung saling bersaing dan bertabrakan satu sama lain. Jika partai politiknya banyak, berbagai kepentingan yang beraneka ragam itu dapat disalurkan melalui polarisasi partai-partai politik yang menawarkan ideologi, program, dan altrernatif kebijakan yang berbeda-beda satu sama lain.

Dengan perkataan lain, sebagai pengatur atau pengelola konflik (conflict management) partai berperan sebagai sarana agregasi kepentingan (aggregation of interests) yang menyalurkan ragam kepentingan yang berbeda-beda itu melalui saluran kelembagaan politik partai. Karena itu, dalam kategori Yves Meny dan Andrew Knapp, fungsi pengeloa konflik dapat dikaitkan dengan fungsi integrasi partai politik.[29] Partai mengagregasikan dan mengintegrasikan beragam kepentingan itu dengan cara menyalurkannya dengan sebaik-baiknya untuk mempengaruhi kebijakan-kebijakan politik kenegaraan.

Menurut Mac Iver, partai politik adalah “suatu kumpulan terorganisasi untuk menyokong suatu prinsip atau kebijaksanaan (policy) yang oleh perkumpulan itu diusahakan dengan cara-cara sesuai dengan konstitusi atau Undang-undang agar menjadi penentu cara melakukan pemerintahan”.[30] Kumpulan atau perkumpulan yang dibentuk akan adanya suuatu prinsip atau kebijaksanaan dari setiap anggota yang diakomodir oleh partai menjadi kepentingan bersama adalah dasar semangat bagaimana partai politik berjalan, tidak munggkin sebuah partai hadir tanpa adanya suatu kepentingan yang sekaligus menjadi tujuan partai tersebut.

Karena hadir untuk mengakomodir kepentingan bersama, banyak orang yang awalnya memiliki kesamaan kepentingan, orientasi dan cita-cita akhirnya menyatu membuat suatu perkumpulan sehingga ada legitimasi atau kekuatan politik untuk melakukan sebuah aktifitas politik. Walaupun tidak bisa dipungkiri tanpa berpartaipun, seseorang dapat terlibat aktif dalam kegiatan politik, hanya perlu disadari bahwa secara sosial politik, kekuatan (power) seorang individu tak mampu mengalahkan kekuatan kelompok yang terorganisir. Suatu partai politik dapat timbul karena :

  1. Sekumpulan orang bersama-sama mencintai orang atau keturunan dari orang tertentu dan melahirkan partai. Misalnya partai raja, Partai Bonaparte, namun partai-partai ini sudah hamper tidak ada di jaman sekarang ini.
  2. Sekumpulan orang mempunyai kepentingan yang sama seperti partai buruh, partai tani, dan lain sebagainya.
  3. Adanya asas dan cita-cita politik yang sama seperti partai nasionalis, partai komunis dan lain sebagainya.
  4. Adanya persamaan dalam kepercayaan seperti partai islam, partai Katolik dan lain-lain.[31]

Maka demikianlah sebuah partai terbentuk, terbentuknya suatu partai akhirnya memaksa para pelaku partai politik membangun suatu konsepsi atau perumusan bagaimana suatu partai politik berjalan.[32] Dengan ini kita dapat memahaminya dengan mengerti beberapa fungsi (ideal) dari partai politik. Warga Negara yang telah dewasa atau dianggap dewasa seringkali terlibat dalam kegiatan-kegiatan politik, seperti kegiatan memilih dalam pemilihan umum, menjadi anggota golongan politik seperti anggota partai, duduk dalam dewan perwakilan rakyat, berkampanye dan lain sebagainya. Kegiatan seseorang dalam partai politik merupakan suatu bentuk partisipasi politik. Partisipasi politik mencakup semua kegiatan sukarela melalui turut serta dalam proses pemilihan pemimpin-pemimpin politik dan turut serta dalam pembentukan kebijaksanaan umum.

Ahli lain yaitu Sigmund Neumann mengemukakan bahwa partai politik adalah organisasi dari aktivitas – aktivitas politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintah serta merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan dengan suatu golongan atau golongan yang lain yang mempunyai pandangan yang berbeda.[33]

II.2 Fungsi Partai Politik Sebagai Pengatur Konflik dalam Peraturan Perundang-Undangan

            Adapun dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 pasal 11 ayat 1 jucto Undang-Undang No. 2 Tahun 2011 tentang perubahan Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 pasal 11 disebutkan bahwa fungsi partai politik adalah sebagai sarana:

  1. Pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
  2. Penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa indonesia untuk kesejahteraan masyarakat.
  3. Penyerap, penghimpun dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara.
  4. Partisipasi politik warga negara Indonesia, dan
  5. Rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.

Berdasarkan fungsi partai politik diatas, secara jelas bahwa fungsi partai politik juga sebagai sarana pengatur konflik. Penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa indonesia untuk kesejahteraan masyarakat, adalah bukti bahwa hukum positif kita mengatur dengan baik tentang fungsi partai politik sebagai pengatur konflik. Untuk itu diharapkan segenap kalangan partai politik dapat memberikan fungsi yang positif dalam membangun bangsa, utamanya dihaapkan fungsi partai politik dapat meredam dan menjegah konflik yang ada.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjamin kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat sebagai hak asasi manusia yang harus dilaksanakan untuk mewujudkan kehidupan kebangsaan yang kuat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, demokratis, dan berdasarkan hukum.[34]

Dinamika dan perkembangan masyarakat yang majemuk menuntut peningkatan peran, fungsi, dan tanggung jawab Partai Politik dalam kehidupan demokrasi secara konstitusional sebagai sarana partisipasi politik masyarakat dalam upaya mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia, menjaga dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
II.3. Tidak Berjalannya Fungsi Parpol Sebagai Pengatur Konflik

Kita melihat beberapa faktor yang bisa menjadi penyebab gagalnya sebuah partai politik di Indonesia menjalankan fungsinya.[35] Pertama adalah sistem kepartaian di Indonesia: Indonesia sejak zaman Kemerdekaan mengadopsi sistem multi partai dengan segala variannya sebagai wujud kemajemukan (beragamnya kepentingan dan kelompok sosial) Indonesia.[36] Secara spesifik, pada negara berkembang partai politik yang ada akan membentuk sistem yang terpolarisasi sebagai akibat dari lebarnya jarak ideologi. Keadaan tersebut akan menghasilkan pemerintahan yang tidak stabil karena partai politik yang ada cenderung untuk terlibat dalam konflik horizontal. Hal itu juga akan menyebabkan partai politik kurang dapat menjalankan fungsi komunikasi dan sosialisasi politik di masyarakat.

Kemudian kita juga melihat budaya elitisme sebagai alasan kedua mengapa partai politik d Indonesia kurang dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Pada partai politik di Indonesia, partisipasi politik masih dikuasai oleh kelompok-kelompok (faksi) tertentu.[37]Pada perkembangannya, budaya tersebut membuat partai hanya dikuasai oleh elit-elit tertentu dan bahkan bisa berkembang menjadi semacam dinasti politik dalam partai. Hal itu mungkin menjadi strategi partai politik untuk mempertahankan ideologi dan kepentingannya. Kalau sudah begitu, fungsi rekruitmen partai politik tidak akan berjalan sempurna dan bisa menjadi preseden bruk dalam pendidikan politik di masyarakat.

Faktor lain yang bisa menjadi penyebab kegagalan fungsi partai politik di Indonesia adalah pragmatisme partai politik itu sendiri. Pada dasarnya ideologi partai politik di Indonesia dipengaruhi oleh jalur-jalur agama, kelas dan kebangsaan. Menurut Ratnawati dalam bukunya “Sistem Kepartaian di Era Transisi”, Secara khusus kajian tentang partai politik di Indonesia dipengaruhi oleh adanya politik aliran, yaitu beberapa aliran ideologis yang berkembang dan mempengaruhi kehidupan politik Indonesia. Namun pada dewasa ini, idealisme partai seakan dikalahkan oleh budaya pragmatisme yang menyebabkan partai politik di Indonesia lebih berpikir untuk mempertahankan kekuasaan politiknya saja daripada mempertahankan idealisme semata.

Sebenarnya kegagalan fungsi partai politik tersebut bukanlah suatu hal yang jarang terjadi di negara berkembang seperti Indonesia. Indonesia masih mengalami masa transisi dari beberapa sistem politik untuk mencapai sistem yang stabil.[38] Namun apabila partai politik gagal menjaga tugas dan fungsinya dengan baik, maka masa transisi tersebut hanya akan diwarnai oleh ketidakstabilan di bidang politik yang kemudian berimbas pada bidang sosial dan ekonomi. Secara sederhana rakyat akan melihat partai politik gagal dalam mengemban amanat rakyat dan hal itu akan menyebabkan rakyat menjadi apatis terhadap partai politik. Dampaknya adalah partisipasi rakyat dalam politik akan menurun tajam.

II.4. Idealnya Fungsi Partai Politik Sebagai Pengatur Konflik

Idealnya partai politik memiliki fungsi utama untuk mengorganisir kepentingan yang timbul dalam suatu komunitas baik masyarakat secara mikro maupun makro: bangsa.[39] Dalam konteks bangsa Indonesia, fungsi partai politik yang cukup penting yakni sebagai sarana pendidikan politik dimana partai politik menjadi media atau kendaraan yang mengantar masyarakat pada kondisi sadar secara politik.

Sistem demokrasi seutuhnya mendorong adanya masyarakat yang sadar akan posisinya dalam suatu proses politik, tidak hanya berpartisipasi sebagai pemilih dalam pemilihan umum sebagaimana telah disampaikan di atas, atau ikut berdemonstrasi untuk mengkritisi kebijakan pemeerintah dan lain-lain.

Terdapat beberapa fungsi partai yang hingga saat ini masih sangat ideal dikarenakan partai politik di Indonesia, walaupun sudah menganut konsep demokrasi, tidak memberikan perhatian penuh terhadap berjalannya fungsi partai selain fungsinya meraih suatu jabatan politik dan mebagi-bagikan keuntungan. Berikut rangkuman beberapa fungsi (ideal) partai politik:

  1. Sebagai sarana partisipasi politik.
  2. Sebagai media komunikasi politik.
  3. Sebagai pengatur konflik.
  4. Media sosialisasi politik.
  5. Pengontrol kegiatan atau aktifitas politik
  6. Rekruitmen politik.[40]

Miriam Budiardjo sendiri dalam bukunya “Dasar-Dasar Ilmu Politik” menyebutkan beberapa fungsi dari partai politik: Pertama adalah partai politik sebagai sarana komunikasi politik atau sebagai sarana artikulasi kepentingan rakyat.[41] Dalam sebuah negara, setiap warga negara tentu mempunyai pendapat dan aspirasi yan berbeda-beda. Hal itu tentu akan menyulitkan ketika setiap orang ingin didengar aspirasinya. Partai politik berperan sebagai penampung dan penggabung pendapat dari setiap warga negara tersebut (interest aggregation).[42] Kemudian aspirasi-aspirasi tersebut dirumuskan menjadi bentuk yang lebih teratur (interest articulation) dan diterapkan oleh partai ke dalam program partai. Program-program tersebut yang kemudian diperjuangkan oleh partai politik di level pemerintahan untuk diaplikasikan ke dalam kebijakan publik.

Kemudian partai politik berfungsi sebagai sarana sosialisasi politik masyarakat. Di dalam ilmu poitik, sosialisasi politik adalah proses di mana seseorang memperoleh sikap dan orientasi terhadap fenomena politik yang berlaku di mana dia berada. Dalam konteks ini, partai politik berusaha untuk menciptakan image bahwa mereka juga memperjuangkan kepentingan umum agar mereka mendapat dukungan yang luas dari konstituen mereka. Sosialisasi politik ini juga dapat berarti pendidikan politik, baik kepada kader-kader partai itu sendiri maupun kepada rakyat agar mereka sadar akan tanggung jawab mereka sebagai warga negara.

Dalam hubungannya dengan fungsi kedua, partai politik juga berperan dalam proses rekruitmen politik. Rekruitmen politik berguna untuk memperluas partisipasi aktif rakyat dalam kegiatan politik serta sebagai sarana untuk mendidik kader partai. Fungsi partai politik yang terakhir adalah sebagai sarana pengatur konflik (conflict management).[43] Partai politik bertanggung jawab untuk meredam dan mengatasi konflik yang biasa terjadi pada suasana demokrasi.

Namun sayangnya, masih menurut Budiardjo, fungsi-fungsi partai politik tersebut sering kali tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya. Sebagai contoh adalah fungsi komunikasi politik yang sering disalahgunakan sebagai propaganda politik untuk mencapai kepentingan partai tersebut. Atau bahkan partai politik lebih sering terlibat dalam konflik politik daripada meminimalisir konflik yang terjadi. Intinya fungsi partai yang tidak berjalan tersebut diindikasikan sebagai ketidakmampuan partai politik untuk menjalankan perannya sebagai pengawal aspirasi rakyat. Keadaan tersebut jamak terjadi pada partai-partai politik di Indonesia.

 

BAB III

PENUTUP

III.1. Simpulan

  1. Fungsi partai politik sebagai sarana pengatur konflik di Indoensia kurang berjalan optimal, mengingat justeru banyak kemudian konflik-konflik yang muncul akibat dari keinginan-keinginan dari oknum yang menduduki jabatan di partai politik, sehingga dapat dikatakan partai politik justeru sebagai penambah konflik antar kepentingan.
  2. Untuk optimalisasi fungsi partai politik sebagai sarana Pengatur Konflik dibutuhkan komitmen dan kemauan bersama-sama untuk meminilisir konflik, dan memberikan arahan yang benar kepada konstituen atau massa pendukung agar tidak melakukan hal-hal yang dilarang oleh masyarakat bangsa dan Negara.

III.2. Saran

  1. Fungsi partai politik sebagai sarana pengatur konflik dapat berjalan dengan optimal apabila partai politik mampu memberikan pendidikan politik yang baik kepada konstituen atau pengikutnya, sehingga konflik antar kepentingan dapat terhindarkan.
  2. Komitmen dan keinginan untuk mereformasi partai politik yang sebelumnya adalah sebagai sarana penambah konflik, hal itu mulai dirubah sehingga partai politik dapat dijadikan sarana pencegah konflik antar kepentingan yang ada.

 

DAFTAR PUSTAKA

Alim, Muhammad, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia dalm Konstitusi Madinah dan UUD 1945, UII Press, Yogyakarta, 2008

Asshiddiqie, Jimly, Konstitusi & Konstitusialisme Indonesia, Konpress, Jakarta, 2006

_______________, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Konpress, Jakarta, 2006

_______________, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Konpress, Jakarta, 2006

Basah, Sjachran, Ilmu Negara, Pengantar, Metode dan Sejarah Perkembangan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung

Budiardjo, Miriam, Pengantar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 2000

Budiman, Arief, Teori Negara, Kekuasaan, dan Ideologi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2002

C, Anwar, Teori dan Hukum Konstitusi, Paradigma Kedaulatan dalam UUD 1945, In-Trans Publishing, Malang, 2011

El-Muhtaj, Majda, Hak Asasi Manusia Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen, Pustaka Kencana, Jakarta, 2005

Huda, Ni’matul, Politik Ketatanegaraan Indonesia, Kajian Terhadap Dinamika Peubahan UUD 1945, UII Press, Yogyakarta, 2003

Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media Publishing, Malang, 2006

Imawan, Riswanda, Profil Legislator di Masa Depan, Dalam Miriam Budiardjo dan Ibrahim Ambong, Fungsi Legislatif dalam SistemPolitik Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, 1993

Indrayana, Denny, Negara antara ada dan tiada, Reformasi Hukum Ketatanegaraan, Kompas Gramedia, Jakarta, 2009

Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, Dwiwantara, Bandung, 1964

Isra, Saldi, Pergeseran Fungsi Legislasi, Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, Cetakan-1, 2010

Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah (Pasang Surut Kewenangan DPRD dan Kepala daerah),   Alumni, Bandung

Kantaprawira, Rudasi, Hukum dan Kekuasaan, Makalah Pada Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta

Kranenburg dan Tk. B. Sabaroedin, Ilmu Negara Umum, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1986

Kusnardi, Moh. dan Bintan Siragih, Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem Undang-Undang Dasar 1945, PT. Gramedia, Jakarta, 1978

Kusnardi, Moh. dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi HTN Fakultas Hukum UI, Jakarta, 1988

Lubis, Solly, Asas-asas Hukum Tata Negara, Alumni, Bandung, 1982

______________, Dasar Kepemimpinan Nasional Presiden Menurut UUD 1945, dalam Padmo Wahjono, Masalah Ketatanegaraan Dewasa Ini, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984

Mahendra, Yusril Ihza, Dinamika Tata Negara Indonesia, Gema Insani Press, Jakarta, 1996

Mahfud MD, Moh., Pergulatan Politik dan Hukum, Gema Media, Yogyakarta, 1999

_______________, Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 2006

_______________, Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Rineka Cipta, 2001

Manan, Bagir, Kedaulatan Rakyat Hak Asasi Manusia dan Negara Hukum, Kumpulan Esai Guna Menghormati Prof. Dr. R. Sri Soemantri M, S.H., Gajah Media Pratama, Jakarta

Mansoer, Moh. Tolchah, Demokrasi Sepanjang konstitusi, Nurcahya, Yogyakarta, 1981

Meny, Yves and Andrew Knapp, Government and Politics in Western Europe: Britain, France, Italy, Germany, third edition, Oxford University Press, 1998.

Nurtjahjo, Hendra, Filsafat Demokrasi, Bumi aksara, Jakarta, 2006

Pangerang, Andi, Prinsip-Prinsip Permusyawaratan Rakyat Berdasarkan Pasal 18 UUD 1945 dan Implementasinya Dalam Sistem Pemerintahan di Daerah, Disertasi, Unpad, Bandung, 1999

Prodjodikoro, Wirjono, Asas-asas Hukum Tata Negara di Indonesia, Dian Rakyat, Jakarta, 1977

Rajab, Dasril, Hukum Tata Negara Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2005

Ranadireksa, Hendarmin, Arsitektur Konstitusi Demokratik, Fokusmedia, Bandung, 2007

Salman, Otje dan F. Susanto, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung, 2005

Soehino, Ilmu Negara, Lyberty, Yogyakarta, 2000

Soemantri, Sri M, Perngantar Perbandingan Hukum Tata Negara, Rajawali Pers, Jakarta 1998

Soetomo, Ilmu Negara, Usaha Nasional, Surabaya, 2002

Strong, C.F., Modern Political Constitution: An Introduction To the Comparative Study of Their History and existing Form, The English Book Society and Sidgwick and Jackson, Limited London, 1966.

Suhartono, et.al, Politik Lokal Parlemen Desa; Awal Kemerdekaan Sampai Jaman Otonomi Daerah, Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta, Edisi Revisi, 2000

Sumali, Reduksi Kekuasaan Ekskutif di Bidang Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perpu), UMM Press, 2003

Thaib, Dahlan, Jazim Hamidi dan Ni’matul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004

Wirosardjono, Soetjipto, Dialog dengan Kekuasaan, Esai-Esai Tentang Agama, Negara, dan Rakyat, Mizan, Bandung, 1995

Yusuf, Slamet Effendy dan Umar Basalim, Reformasi Konstitusi Indonesia, Perubahan Pertama UUD 1945, Pustaka Indonesia Satu, Jakarta, 2000

                [1] C.F. Strong, Modern Political Constitution: An Introduction To the Comparative Study of Their History and existing Form, The English Book Society and Sidgwick and Jackson, Limited London, 1966. Hal.59

[2] Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tata Negara Indonesia, Gema Insani Press, Jakarta, 1996, hal. 12-13

[3] Ni’matul Huda, Politik Ketatanegaraan Indonesia, Kajian Terhadap Dinamika Peubahan UUD 1945, UII Press, Yogyakarta, 2003, hal. 67.

[4] M. Solly Lubis, Dasar Kepemimpinan Nasional Presiden Menurut UUD 1945, dalam Padmo Wahjono, Masalah Ketatanegaraan Dewasa Ini, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984, hal. 208

                [5] Lijphart, sebagaimana dikutip oleh Soetjipto Wirosardjono, Dialog dengan Kekuasaan, Esai-Esai Tentang Agama, Negara, dan Rakyat, Mizan, Bandung, 1995, Hal. 34

[6] Slamet Effendy yusuf dan Umar Basalim, Reformasi Konstitusi Indonesia, Perubahan Pertama UUD 1945, Pustaka Indonesia Satu, Jakarta, 2000, Hal. 224

[7] Moh. Kusnardi dan Bintan Siragih, Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem Undang-Undang Dasar 1945, PT. Gramedia, Jakarta, 1978, Hal. 30

[8] Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media Publishing, Malang, 2006, Hal.57

[9] Otje Salman dan F. Susanto, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung, 2005, Hal. 46

[10] Sjachran Basah, Ilmu Negara, Pengantar, Metode dan Sejarah Perkembangan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, Hal. 60

                [11] Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah (Pasang Surut Kewenangan DPRD dan Kepala daerah),   Alumni, Bandung, Hal.96-97

[12] Riswanda Imawan, Profil Legislator di Masa Depan, Dalam Miriam Budiardjo dan Ibrahim Ambong, Fungsi Legislatif dalam SistemPolitik Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, 1993, hal.75

[13] Miriam Budiardjo, Pengantar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 2000, hal.175

[14] Juanda, Opcit, hal.175

                [15] Miriam Budhiardjo, Opcit, hal. 163

                [16] Yves Meny and Andrew Knapp, Government and Politics in Western Europe: Britain, France, Italy, Germany, third edition, Oxford University Press, 1998. Hal. 23

                [17] Bagir Manan, Kedaulatan Rakyat Hak Asasi Manusia dan Negara Hukum, Kumpulan Esai Guna Menghormati Prof. Dr. R. Sri Soemantri M, S.H., Gajah Media Pratama, Jakarta, hal.238-239

                [18] Arief Budiman, Teori Negara, Kekuasaan, dan Ideologi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2002, hal.40

                [19] Klingemann sebagaimana di kutip oleh Sigmund Neuman, diangkat kembali oleh andi Pangerang, Prinsip-Prinsip Permusyawaratan Rakyat Berdasarkan Pasal 18 UUD 1945 dan Implementasinya Dalam Sistem Pemerintahan di Daerah, Disertasi, Unpad, Bandung, 1999, hal.59

                [20] Suhartono, et.al, Politik Lokal Parlemen Desa; Awal Kemerdekaan Sampai Jaman Otonomi Daerah, Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta, Edisi Revisi, 2000, hal.24

                [21] Suhartono, et.al, Ibid

[22] . Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, Dwiwantara, Bandung, 1964, Hal. 127-129

[23] Rudasi Kantaprawira, Hukum dan Kekuasaan, Makalah Pada Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, Hal. 37-38

[24] Kranenburg dan Tk. B. Sabaroedin, Ilmu Negara Umum, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1986, Hal. 20

[25] Moh. Mahfud MD, Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Rineka Cipta, 2001, Hal. 67-68

[26] Hendarmin Ranadireksa, Arsitektur Konstitusi Demokratik, Fokusmedia, Bandung, 2007, Hal. 34

[27] Hendra Nurtjahjo, Filsafat Demokrasi, Bumi aksara, Jakarta, 2006, Hal.36

[28] Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Tata Negara di Indonesia, Dian Rakyat, Jakarta, 1977, Hal. 10. Bandingkan dengan Dahlan Thaib, Jazim Hamidi dan Ni’matul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, Hal. 7

                [29] Yves Meny dan Andrew Knapp, Opcit, Hal 42

                [30] Dalam Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi HTN Fakultas Hukum UI, Jakarta, 1988, Hal.65

                [31] Moh. Tolchah Mansoer, Demokrasi Sepanjang konstitusi, Nurcahya, Yogyakarta, 1981, Hal. 5-6

[32] Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusialisme Indonesia, Konpress, Jakarta, 2006, Hal. 35. Lihat juga Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Konpress, Jakarta, 2006, Hal. 24. Lihat juga Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Konpress, Jakarta, 2006, Hal.1-9

                [33] Sumali, Reduksi Kekuasaan Ekskutif di Bidang Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perpu), UMM Press, 2003, Hal. 9

                [34] Sri Soemantri M, Perngantar Perbandingan Hukum Tata Negara, Rajawali Pers, Jakarta 1998, hal.27

                [35] Moh. Mafud MD, Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 2006, hal. 167

[36] Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen, Pustaka Kencana, Jakarta, 2005, hal 15

[37] Muhammad Alim, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia dalm Konstitusi Madinah dan UUD 1945, UII Press, Yogyakarta, 2008, Hal. 52

[38] Denny Indrayana, Negara antara ada dan tiada, Reformasi Hukum Ketatanegaraan, Kompas Gramedia, Jakarta, 2009, Hal 71

[39] Dasril Rajab, Hukum Tata Negara Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2005, Hal.64

                [40] Solly Lubis, Asas-asas Hukum Tata Negara, Alumni, Bandung, 1982, Hal. 104

                [41] Miriam Budiardjo, Opcit, Hal 56

[42] Anwar C, Teori dan Hukum Konstitusi, Paradigma Kedaulatan dalam UUD 1945, In-Trans Publishing, Malang, 2011, Hal. 24

[43] Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi, Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, Cetakan-1, 2010, Hal 31

You may also like

1 Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Verifikasi Bukan Robot *