ADVOKAT MUDA PERBAIKI PERMOHONAN PENEGASAN KEWAJIBAN MEMATUHI PUTUSAN MK

Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan uji materiil UU No 8 Tahun 2011 Tentang MK, UU No 48 tahun 2009 Kekuasaan Kehakiman, dan UU No 30 tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, Senin (5/12) dengan agenda perbaikan permohonan. Perkara dengan registrasi No. 105/PUU-XIV/2016 ini diajukan oleh sejumlah advokat muda yang tergabung dalam organisasi Forum Advokat Muda Indonesia (FAMI).

Kuasa Hukum Pemohon Saeful Anam menjelaskan beberapa poin perubahan. Pertama, terkait kedudukan hukum pihaknya. Yakni sudah menjelaskan satu per satu dan sudah dikurangi bagi yang berkomitmen untuk hadir di sidang siapa saja.

Kemudian, kata dia, tentang kewenangan MK sebagaimana masukan Hakim Konstitusi Suhartoyo pada sidang sebelumnya, pihaknya sudah memasukkan tentang pasal-pasal yang diujikan. “Pada poin 5, berdasarkan uraian angka 1 sampai dengan 4 di atas, maka tidak ada keraguan sedikit pun bagi Pemohon untuk menyimpulkan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang untuk mengadili permohonan Pemohon,” jelasnya.

Terakhir, pihaknya juga kami sudah melakukan revisi tentang kedudukan hukum (legal standing). Dimana telah memasukkan beberapa kerugian konstitusional yang berkaitan dengan hal-hal yang pernah dialaminya. Misal mendampingi klien dalam hal melakukan praperadilan . Dimana penuntut umum menyatakan praperadilan bukan merupakan bagian dari objek penetapan tersangka dan juga objek dari praperadilan.

Sebelumnya, para Pemohon ini meminta agar Mahkamah memberikan penegasan pada Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 47 untuk UU MK, Pasal 29 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman, dan Pasal 7 ayat (2) huruf I UU Administrasi Pemerintahan tentang kewajiban mematuhi putusan MK. Para Pemohon menilai selama ini fakta di lapangan Putusan MK banyak yang bersifat non-excutiable (tidak dapat dijalankan) sehingga tidak cukup apabila tetap menekankan pada asas self respect dan kesadaran hukum kepada pihak manapun (baik pemerintah, pejabat publik, perseorangan, badan hukum dan lain sebagainya) MK untuk melaksanakan putusan MK. Untuk itu perlu upaya paksa dalam usaha melaksanakan Putusan MK. Yakni mesti tercantum secara langsung melalui pasal-pasal yang berkaitan kekuatan mengikat Putusan MK. (ARS)

Link : ADVOKAT MUDA PERBAIKI PERMOHONAN PENEGASAN KEWAJIBAN MEMATUHI PUTUSAN MK

Continue Reading

UU MK DINILAI KURANG LENGKAP

Jakarta/lei- Ketentuan dalam Pasal 10 ayat (1) Undang Undang Mahkamah Konstitusi (UU MK) terkait putusan Mahkamah, dikatakan oleh Forum Advokat Muda Indonesia (Fami) masih perlu dilengkapi karena dalam implementasinya dinilai belum cukup dipatuhi.

“Ketidakpatuhan terhadap putusan MK menjadi problem serius dikarenakan selain merugikan hak-hak warga negara juga telah merugikan Pemohon sebagai advokat dan konsultan hukum,” ujar salah satu anggota Fami, Suharta, di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) Jakarta, Rabu.

Pemohon menilai bahwa putusan MK yang tidak dipatuhi juga akan merusak tatanan penegakkan hukum yang akan berdampak terhadap tertundanya keadilan yang sudah diputus oleh MK.

“Bila kondisi ini terus berlanjut maka kerugian konstitusional yang sangat besar adalah tidak tegaknya prinsip persamaan di hadapan hukum,” ujar Suharta.

Keadaan dimana putusan MK tidak dipatuhi dinyatakan oleh Pemohon akan menimbulkan hilangnya roh dan tujuan dari Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menjunjung persamaan di hadapan hukum.

Anggota Fami lainnya, Muhammad Danis, juga memaparkan bahwa kerugian konstitusional lainnya adalah putusan MK yang tidak dihormati sehingga MK kehilangan tujuannya yaitu sebagai lembaga negara yang bertugas mengawal konstitusi.

Oleh sebab itu Pemohon meminta MK untuk menyatakan Pasal 10 ayat (1) UU MK bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final serta harus dilaksanakan”.

Selain itu Pemohon juga meminta MK untuk melengkapi Pasal 47 UU MK dengan dimaknai, “Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap dan harus dilaksanakan sejak selesai diucapkan dalam sidang Pleno terbuka untuk umum”.

Link : UU MK DINILAI KURANG LENGKAP

Continue Reading

EKSKUSI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI DIPERTANYAKAN

JAKARTA – Ketua Umum Forum Advokat Muda Indonesia (FAMI) Zenuri Makhrodji mengatakan Mahkamah Konstitusi tak bisa hanya berharap pada asas self respect dan kesadaran hukum dari pemerintah, parlemen, dan lembaga negara untuk menjalankan putusan konstitusi. Sebab, pada kenyataannya, menurut dia, banyak putusan Mahkamah Konstitusi yang tidak dijalankan dengan baik meski putusan tersebut sudah bersifat final atau inkracht dan mengikat. “Kalau putusannya tak dianggap atau dijalankan, buat apa ada lembaga ini,”…

Link : EKSKUSI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI DIPERTANYAKAN

Continue Reading

ADVOKAT MUDA MINTA MK TEGASKAN KEWAJIBAN MEMATUHI PUTUSAN MK

Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana uji materiil UU No 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman), dan UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU Administrasi Pemerintahan), Selasa (22/11) di ruang sidang MK. Pemohon perkara teregistrasi Nomor 105/PUU-XIV/2016  tersebut adalah Forum Advokat Muda Indonesia (FAMI).

Para pemohon mengajukan uji materiil Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 47 UU MK, Pasal 29 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman, dan Pasal 7 ayat (2) huruf l UU Administrasi Pemerintahan. Menurut pemohon, pasal-pasal tersebut terkait dengan kewajiban mematuhi putusan MK.

Pasal 10 ayat (1) UU MK menyatakan,

“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk : a. Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; c. Memutus pembubaran partai politik; dan d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.

Pasal 47 UU MK menyatakan,

“Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum”;

Pasal 29 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman menyatakan,

“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk : a. Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; c. Memutus pembubaran partai politik; dan d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Pasal 7 ayat (2) huruf l UU Administrasi Pemerintahan menyatakan,

Pejabat Pemerintahan memiliki kewajiban: l. Mematuhi Putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Salah satu Pemohon, Saeful Anam, menyatakan asas putusan MK adalah res judicata (putusan hakim harus dianggap benar). Selain itu, putusan MK juga bersifat res judicata pro veritate habetur (apa yang diputus hakim harus dianggap benar dan harus dilaksanakan).

Namun, menurutnya,  fakta di lapangan Putusan MK banyak yang bersifat non-excutiable (tidak dapat dijalankan). Pemohon menilai tidak cukup apabila hanya menekankan pada asas self respect dan kesadaran hukum kepada pihak manapun, baik pemerintah, pejabat publik, perseorangan, badan hukum, dan pihak lain yang terkait untuk melaksanakan putusan MK.

“Untuk itu, perlu upaya paksa dalam usaha melaksanakan Putusan MK. Mesti tercantum secara langsung melalui pasal-pasal yang berkaitan kekuatan mengikat Putusan MK,” jelasnya dalam sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams.

Nasihat Hakim

Menanggapi permohohonan tersebut, Hakim Konstitusi Suhartoyo mengkritisi jumlah pemohon yang tidak hadir seluruhnya dalam persidangan. Menurutnya, FAMI terdiri dari 26 advokat, namun yang hadir tak sampai sejumlah itu. “Ini bisa saya maknai sebagai ketidakseriusan dalam proses permohonan. Karena anda  tidak memakai kuasa hukum sehingga semua Pemohon mesti hadir,” ujarnya.

Apabila semua pemohon tidak dapat hadir, Suhartoyo menyarankan agar permohonan diperbaiki sehingga tidak semua anggota FAMI menjadi pemohon prinsipil. “Bisa dibagi ada yang menjadi pemohon prinsipil dan ada menjadi kuasa hukum. Sehingga nanti tak semua mesti hadir dan cukup diwakilkan pada kuasa hukumnya,” imbuhnya.

Adapun Wahiduddin meminta Pemohon mempertajam legal standing-nya dengan memperjelas kerugian konstitusional yang dialami. “Misal FAMI ini apa, tujuannya apa. Kenapa bisa concern dalam hal seperti ini?” jelasnya.

Link : ADVOKAT MUDA MINTA MK TEGASKAN KEWAJIBAN MEMATUHI PUTUSAN MK

 

Continue Reading

PEMBATALAN PERDA PENGHAMBAT INVESTASI

Pemerintah sedang gencar-gencarnya mengoptimalkan peningkatan investasi yang ada didaerah. Adapun salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan mengeluarkan paket kebijakan deregulasi XII yang berkaitan dengan kemudahan memulai usaha serta perbaikan dalam rangka memangkas prosedur yang harus dilalui oleh pelaku usaha.

Ironisnya, di tengah upaya yang dilakukan pemerintah tersebut, justru dalam praktek dilapangan seringkali terkendala oleh banyaknya Peraturan Daerah (Perda) yang ditengarai dapat menghambat peningkatan investasi di daerah. Untuk itu dalam kurun waktu tahun 2016 Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) setidaknya telah membatalkan 3.143 perda yang dianggap dapat menghambat pertumbuhan ekonomi daerah serta memperpanjang jalur birokrasi yang berimbas terhadap terhambatnya investasi dan kemudahan berusaha didaerah.

Namun dalam perjalanannya, niat baik dan keinginan Pemerintah tersebut bukan tanpa halangan. Pada tanggal 5 April 2017 Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015, menyatakan bahwa kewenangan Pembatan Perda Kabupaten/Kota oleh Gubernur/Menteri sebagaimana tertuang dalam Pasal 251 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Pemeritahan Daerah (Pemda) dinyatakan bertentangan (inkonstitutional) dengan Undang-Undang Dasar 1945.

Melalui Putusan MK tersebut, tentu menjadi pukulan keras bagi Pemerintah utamanya Kemendagri yang selama ini diberikan amanat oleh Presiden untuk membenahi peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan peningkatan dan pengembangan iklim investasi yang ada didaerah, salah satu yang dilakukan adalah dengan memangkas dan membatalkan Perda-perda yang dinilai mempersulit serta menghambat proses investasi di daerah.

Apabila kita lihat dan pahami dari pertimbangan hakim dalam Putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015, tampak terlihat terdapat perbedaan pendapat (dissenting opinion) yang bersifat substantif dan signifikan, dimana terdapat empat hakim konstitusi yang menyatakan perbedaan pendapatnya berkaitan dengan Putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015.

Dalam pertimbangannya, MK menyatakan keberadaan Pasal 251 ayat (2) dan ayat (3) UU Pemda telah menegasikan peran dan fungsi Mahkamah Agung sebagai lembaga yang berwenang melakukan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, dalam hal ini pembatalan Perda Kabupaten/Kota oleh Gubernur/Menteri, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 24A ayat (1) UUD 1945.

Selain itu MK menyatakan bahwa Keputusan Gubernur bukanlah bagian dari tata urutan dalam hirarki peraturan perundang-undangan, sehingga tidak dapat dijadikan produk hukum untuk membatalkan Perda Kabupaten/Kota. Dengan kata lain, Perda Kabupaten/Kota yang berbentuk peraturan (regeling) tidak dapat dibatalkan dengan Keputusan Menteri/Keputusan Gubernur yang berbentuk keputusan (beschikking).

Namun hemat penulis, apapun terhadap adanya beberapa perbedaan pendapat hakim (dissenting opinion) sebagaimana tersebut diatas, tentunya tidaklah mengurangi nilai keberlakuan dan mengikatnya Putusan MK. Karena sebagaimana diketahui Putusan MK bersifat final dan mengikat (final and binding), artinya putusan langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan. Selain itu Putusan MK juga bersifat Erga Omnes, yakni putusan tersebut merupakan Putusan Publik, yang berarti putusan tersebut berlaku juga bagi pihak-pihak yang berada diluar sengketa, dalam hal ini bagi seluruh rakyat Indonesia.

Selain itu Putusan MK juga berlaku asas res judicata pro veritate habetur, yang berarti apa yang diputus hakim harus dianggap benar dan harus dilaksanakan. Sehingga dengan demikian tidak ada alasan untuk tidak melaksanakan Putusan MK, meskipun tanpa adanya upaya paksa oleh pihak manapun untuk menjalankan Putusan MK (Asas Self Respect).

Namun yang pasti dengan adanya Putusan MK berkenaan dengan pencabutan kewenangan Kemendagri dalam hal pembatalan perda tersebut, tentu akan memunculkan beberapa problem, utamanya terhadap potensi lahirnya Perda-perda yang dapat menghambat proses investasi yang ada didaerah. Untuk itu diperlukan solusi dan langkah-langkah nyata guna mengantisipasi terhadap adanya kehilangan kontrol Kemendagri terhadap pemerintah daerah dalam hal pembentukan perda yang tidak pro terhadap investasi didaerah.

Langkah Progresif

Dengan berdasar pada Putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015 sebagaimana telah diurai diatas, maka akan berlaku era baru dalam mekanisme Pembatalan Perda, yakni pembatalan Perda hanya dapat dilakukan oleh lembaga peradilan, dalam hal ini melalui Pengujian Perda ke Mahkamah Agung.

Sebagaimana diketahui pada awal sebelum adanya putusan MK, berlaku dua mekanisme Pembatalan Perda, yakni Pertama melalui melanisme pembatatalan Perda oleh Mendagri/Gubernur, atau sering dikenal dengan istilah (Executive Review). Yang kedua, melalui mekanisme pembatalan perda dengan pengujian oleh lembaga Peradilan dalam hal ini Mahkamah Agung atau yang sering disebut sebagai (Jucial Review).

Pasca Putusan MK, dengan adanya pemberian kewenangan pembatalan Perda hanya melalui lembaga Peradilan (Judial Review), maka setidaknya menurut analisis dan pandangan penulis terdapat tiga hal yang harus diperhatikan untuk dapat memastikan keberlangsungan pembentukan Perda yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum dan/atau kesusilaan serta tidak menghambat terhadap proses investasi yang ada didaerah.

Pertama, Pemerintah dalam hal ini melalui Kemendagri dapat mengintensifkan peran dan fungsi pengawasan antisipatif (preventif) terhadap rancangan perda yang belum disahkan oleh Pemerintah daerah atau sering dikenal dengan istilah (executive preview), hal itu dapat dilakukan guna meminimalisir kemungkinan munculnya Perda-perda yang akan bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi serta dapat menghampat proses investasi yang ada didaerah. Selain itu juga dapat dilakukan dengan mengoptimalkan fungsi Educatif atau pemberian pendidikan dan penyadaran tentang mekanisme pembentukan Perda yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik serta sesuai dengan pembangunan perekonomian dan investasi yang ada didaerah.

Kedua, Pemerintah Daerah baik Kepala Daerah maupun DPRD diharapkan juga dapat menahan diri, serta dapat menyaring terhadap kemungkinan pembentukan Perda-perda yang berpeluang bertentangan dengan perarutan perundang-undangan yang lebih tinggi dan dapat menghambat proses investasi yang ada didaerah, sehingga pada akhirnya Pemerintah Daerah juga dapat berperan guna memajukan perekomian dan pembangunan daerah.

Ketiga, dengan adanya kewenangan pembatalan perda yang hanya dapat dilakukan melalui mekanisme Yudicial Review, maka tentu akan berpengaruh terhadap peluang banyaknya Uji Materi Perda-perda yang tidak pro terhadap investasi didaerah ke Mahkamah Agung. Terhadap banyaknya kemungkinan Uji Materi Perda-perda yang dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi serta dianggap tidak pro terhadap pembangunan investasi didaerah, maka akan menyebabkan membludaknya perkara permohonan hak uji materi Pembatalan Perda di Mahkamah Agung. Untuk itu juga diperlukan adanya profesionalisme hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara yang berkaitan dengan Uji Materi Peraturan Perundang-Undangan dibawah Undang-undang terhadap Undang-Undang berkaitan dengan Perda yang ditengarai menghambat peningkatan investasi di daerah.

Terakhir yang menjadi harapan penulis semoga dengan adanya pemberian kewenangan pembatalan Perda hanya pada lembaga Peradilan melalui mekanisme Uji Materi di Mahkamah Agung, diharapkan tidak menjadikan Pemerintah Daerah untuk bertindak hanya dengan atas dasar kepentingan pribadi atau golongan dalam pembentukan Perda yang berkaitan dengan peningkatan pembangunan investasi daerah. Selain itu masyarakat juga diharapkan dapat berperan aktif dalam pembentukan Perda yang tidak menghambat peningkatan investasi di daerah.

Untuk mengantisipasi terhadap segala kemungkinan munculnya Perda-perda yang tidak pro terhadap pembangunan investasi didaerah, diperlukan komitmen bersama, baik Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah serta masyarakat untuk bersama-sama mengawal demi terciptanya Perda-perda yang pro terhadap pembangunan dan pengembangan investasi di daerah. Namun tidak menutup kemungkinan apabila terdapat Perda yang dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi serta tidak pro terhadap pembangunan investasi didaerah, maka demi keadilan masyarakat diharapkan untuk tidak segan-segan guna mengajukan Uji Materi Perda tersebut ke Mahkamah Agung.

Link : Pembatalan Perda Penghambat Investasi

Continue Reading

ADVOKAT USUL PERLU ‘UPAYA PAKSA’ LAKSANAKAN PUTUSAN MK

Majelis meminta Pemohon mempertajam legal standing-nya dengan memperjelas kerugian konstitusional yang dialami Pemohon.

Persoalan “mandulnya” pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya dipersoalkan 26 advokat yang tergabung dalam Forum Advokat Muda Indonesia (FAMI). Lewat uji materi ke MK, FAMI mempersoalkan sejumlah pasal dalam UU No. 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi, UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Spesifik, mereka mengajukan uji materiil Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 47 UU MK, Pasal 29 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman, dan Pasal 7 ayat (2) huruf l UU Administrasi Pemerintahan. Bagi Pemohon empat pasal tersebut terkait kewajiban untuk mematuhi putusan MK yang bersifat final dan mengikat. Namun, dalam praktiknya tidak semua putusan MK ditaati/dilaksanakan pemangku kepentingan.

“Kenyataan di lapangan masih banyak Putusan MK bersifat non-executable (tidak dapat dijalankan),” ujar salah satu pemohon, Saiful Anam dalam sidang perdana yang dipimpina Wahiddudin Adams di ruang sidang MK, Selasa (22/11) kemarin, seperti dikutip laman MK.

Pasal 10 ayat (1) UU MK menyebutkan “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk : a. Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; c. Memutus pembubaran partai politik; dan d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.

Pasal 47 UU MK menyebutkan “Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum.”

Pasal 29 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman menyebutkan “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk : a. Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; c. Memutus pembubaran partai politik; dan d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.”

Pasal 7 ayat (2) huruf l UU Administrasi Pemerintahan menyebutkan ”Pejabat Pemerintahan memiliki kewajiban: l. Mematuhi Putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.”

Saiful menegaskan  fakta di lapangan Putusan MK banyak yang bersifat non-executable. Karena itu, bagi Pemohon tidak cukup apabila pelaksanaan putusan MK disandarkan atau menekankan pada asas self respect dankesadaran hukum para pihak manapun, seperti pemerintah, DPR, pejabat publik, perseorangan, badan hukum, dan pihak terkait.

 

“Setiap orang termasuk pejabat publik harus sadar, patuh, dan taat pada Putusan MK. Ketika ada pejabat yang secara terang-terangan membangkang, sesungguhnya pejabat publik tersebut tak layak mengemban jabatan, konsekuensinya harus diberhentikan dari jabatan publik,” kata dia.(Baca juga: 5 Nasihat Agar Advokat Terhindar dari Korupsi).

Dia mengingatkan sebuah putusan pengadilan termasuk putusan MK terikat asas res judicata pro veritate habetur. Artinya, apa yang diputuskan hakim harus dianggap benar dan harus dilaksanakan. “Perlu upaya paksa dalam usaha melaksanakan Putusan MK yang mesti tercantum dalam pasal-pasal yang berkaitan kekuatan mengikat Putusan MK,” harapnya.

Karenanya, FAMI meminta agar ketiga pasal tersebut dimaknai inkonstitusional bersyarat dengan menambahkan frasa “dan atau serta harus dilaksanakan”. Khusus Pasal 7 ayat (2) huruf l UU Administrasi Pemerintahan dimaknai inkonstitusional bersyarat dengan menambahkan frasa “Mahkamah Konstitusi dan…”

Nasihat Majelis

Menanggapi permohohonan, Anggota Majelis Panel Suhartoyo mengkritisi jumlah pemohon yang sebagian besar tidak hadir dalam persidangan. Menurutnya, FAMI terdiri dari 26 advokat, namun yang hadir tak sampai sejumlah itu. “Ini bisa sebagai ketidakseriusan dalam permohonan ini. Karena Saudara tidak memakai kuasa hukum, sehingga semua Pemohon mesti hadir,” harapnya.

Meski begitu apabila semua pemohon tidak dapat hadir, Suhartoyo menyarankan agar permohonan diperbaiki sehingga tidak semua anggota FAMI menjadi pemohon prinsipal. “Ini bisa dibagi ada yang menjadi pemohon prinsipal dan ada menjadi kuasa hukum. Sehingga nanti tak semua mesti hadir dan cukup diwakilkan kuasa hukumnya,” sarannya.

Wahiduddin meminta Pemohon mempertajam legal standing-nya dengan memperjelas kerugian konstitusional yang dialami Pemohon. “Misal FAMI ini apa, tujuannya apa. Kenapa bisa concerndalam hal seperti ini, kerugian yang dialami anggota FAMI itu bagaimana?” ujarnya mengingatkan.

Untuk diketahui, dalam praktik tidak semua putusan MK bisa dilaksanakan oleh pemangku kepentingan. Salah satu contoh konkrit, terbitnya putusan MK No. 34/PUU-XI/2013 yang membolehkan PK diajukan lebih dari sekali dengan membatalkan Pasal 268 ayat (3) KUHAP tidak ditaati MA. Melalui terbitnya SEMA No. 7 Tahun 2014 tentang tertanggal 31 Desember 2014 yang tetap membatasi permohonan PK hanya sekali. MA menganggap putusan MK itu dianggap putusan nonexecutable alias tidak bisa diimplementasikan dalam praktik.

Dalam suatu kesempatan, Ketua MK Arief Hidayat pernah menyatakan bahwa pelaksanaan setiap putusan MK tergantung dari kesadaran hukum stakeholders (pemangku kepentingan). Sebab, MK berdalih tidak memiliki lembaga eksekutor, seperti MA dan pengadilan di bawahnya. Misalnya, kalau MA menghukum hukuman mati seseorang, pelaksanaannya dilakukan Kejaksaan.

Link : Advokat Usul Perlu ‘Upaya Paksa’ Laksanakan Putusan MK

Continue Reading