SEJUMLAH PROBLEM DALAM REKRUTMEN HAKIM

Jakarta – Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi telah memberikan persetujuan prinsip formasi untuk calon hakim tahun 2017 sebanyak 1.684. Hal itu merupakan respons atas Ketua Mahkamah Agung (MA) maupun Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) yang sering mengeluhkan perihal kurangnya jumlah sumber daya hakim, baik di lingkungan Pengadilan Negeri (PN), Pengadilan Agama (PA) dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Tidak hanya kepada media, IKAHI juga pernah menemui Presiden Jokowi guna menyampaikan aspirasinya perihal minimnya jumlah hakim dikarenakan sudah tujuh tahun tidak ada penerimaan hakim di Indonesia.

Kondisi yang demikian tentu tidak terhindarkan, mengingat apabila melihat beban kerja dan volume perkara MA pada 2016 yang mencapai 12 ribu lebih, maka tidak terelakkan apabila kebutuhan hakim pada tingkat pertama dan banding mencapai sekitar 12.847 orang, sementara jumlah hakim yang ada saat ini hanya berkisar 7.989 orang. Artinya, MA masih kekurangan sebanyak 4.858 orang hakim.

Guna merespons kekurangan hakim tersebut, baru-baru ini MA mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 2 tahun 2017 tentang Pengadaan Hakim. Peraturan tersebut mengatur tentang tahapan pengadaan hakim yang diawali dengan Perencanaan, Pengumuman Pengadaan Hakim, Pelamaran, Pelaksanaan Seleksi, Pengumuman Hasil Seleksi, Pengangkatan sebagai CPNS/Calon Hakim, Pendidikan Calon Hakim dan Pengangkatan sebagai Hakim.

Sedangkan, pelaksanaan seleksinya terdiri atas Seleksi Administrasi, Seleksi Kompetensi Dasar, Seleksi Kompetensi Bidang, Seleksi Substansi Hukum, Psikotes, dan Wawancara. Khusus calon hakim Pengadilan Agama wajib bisa baca kitab.

Atas dikeluarkannya Perma tentang Pengadaan Hakim tersebut, muncul berbagai perdebatan publik, baik yang bernada setuju ataupun yang tidak setuju. Menurut perspektif dan pandangan penulis setidaknya memang terdapat beberapa problem atas disahkannya Perma tersebut.

Pertama, kedudukan hakim sebagai Pejabat Negara tidak cukup dalam hal pengaturan mengenai rekrutmen dan pengadaannya diatur hanya dengan ketentuan peraturan perundang-undangan berupa atau setingkat Perma. Meskipun tidak dilarang, hal itu tentu akan menjadi preseden yang kurang baik dalam rangka tertib penyelenggaraan asas pembentukan peraturan perundang-undangan. Utamanya, berkaitan dengan asas kesesuaian antara jenis, hierarki dan materi muatan peraturan perundang-undangan.

Sudah semestinya posisi dan kedudukan hakim sebagai Pejabat Negara dalam hal rekrutmennya diatur melalui undang-undang sebagai bagian dari pengaturan lebih lanjut perihal kekuasaan kehakiman yang tertuang dalam UUD 1945.

Kedua, MA yang memposisikan calon hakim sebagai calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) dan/atau Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebelum diangkat menjadi hakim, menurut hemat penulis berlebihan serta telah mengurangi wibawa dan kedudukan hakim sebagai Pejabat Negara.

Mestinya hakim sebagai Pejabat Negara tidak dipandang sebagai CPNS atau PNS meskipun belum diangkat sebagai hakim sekalipun. Akan tetapi, kedudukannya tetap sebagai Calon Pejabat Negara. Hal itu dikarenakan posisi dan kedudukan antara CPNS, PNS dan Pejabat Negara sangatlah jauh berbeda dalam struktur organisasi Sistem Penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan di Indonesia.

Ketiga, sistem pengadaan hakim tentu sangat berbeda dengan sistem pengadaan CPNS atau PNS pada umumnya. Hakim yang berkedudukan sebagai Pejabat Negara tidak mungkin disamakan dalam hal rekrutmentnya dengan CPNS atau PNS yang selama ini telah sering dilakukan dalam upaya menjaring calon hakim di Indonesia.

Cara pandang MA yang demikian tentu merupakan cara pandang lama. Di masa lampau, sistem rekrutmen hakim mengikuti sistem rekrutmen CPNS pada umumnya, sebab pada waktu itu kedudukan hakim belum secara tegas diakui sebagai Pejabat Negara.

Keempat, Perma tentang Pengadaan Hakim telah menegasikan peran serta dan partisipasi masyarakat dalam rekrutmen hakim. Hal itu dapat tercermin dalam ketentuan yang mengatur tentang pelaksanaan Pengadaan Hakim dalam Perma yang cenderung tertutup, yang hanya dilakukan oleh internal MA.

Tidak terdapat ruang publik bagi upaya berpartisipasi guna menjaring calon hakim dan hakim yang diharapkan dapat berperilaku adil, jujur, arif dan bijaksana, serta berintegritas tinggi, bertanggung jawab, menjunjung tingi harga diri, berdisiplin tinggi, rendah hati, serta bersikap professional sesuai dengan kode etik dan pedoman perilaku hakim.

Kelima, pengaturan pengadaan hakim oleh MA yang hanya dapat dilaksanakan apabila telah mendapat penetapan kebutuhan CPNS oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara merupakan bagian pengkerdilan posisi dan kedudukan MA sebagai lembaga yudikatif dalam menjalankan peran dan fungsinya sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman.

Mestinya sebagai organ negara yang bersifat yudisial, MA tidak perlu meminta persetujuan apalagi meminta penetapan lembaga atau kementerian terkait lainnya. Kalaupun diperlukan, sifatnya hanya sebatas koordinasi, bukan meminta penetapan yang seolah-seolah MA berada di bawah lembaga/kementerian lainnya.

Keenam, problem berkaitan dengan calon hakim yang dinyatakan tidak lulus dalam pendidikan calon hakim, akan diberhentikan dengan hormat sebagai pegawai negeri sipil. Pengaturan yang demikian tentu bukan tidak mungkin akan banyak calon hakim yang tidak lulus ujian profesi hakim. Hal itu mengingat kedudukan hakim selain sebagai Pejabat Negara juga sebagai Pejabat Profesi.

Posisi hakim sebagai Pejabat Profesi sangat menuntut adanya profesionalisme di bidang tertentu yang harus dikuasai oleh calon hakim. Ini sangat berhubungan dengan mekanisme rekrutmen yang menyamaratakan antara rekrutmen hakim dengan rekrutmen CPNS pada umumnya. Tentu bukan tidak mungkin dengan sistem yang demikian akan banyak PNS yang akan diberhentikan secara dini dikarenakan tidak lulus pendidikan profesi hakim.

Ketujuh, problem berkaitan dengan tingkat kematangan berpikir dan berperilaku hakim. Hal ini berkaitan erat dengan syarat usia calon hakim sebagaimana diatur dalam beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan yakni paling rendah 25 tahun.

Meskipun tidak selamanya kedewasaan dapat ditentukan dengan umur, akan tetapi juga akan memperngaruhi tingkat emosi dan pengambilan keputusan dalam menyelesaikan berbagai macam masalah hukum yang harus diselesaikan oleh hakim yang bersangkutan.

Seperti dalam negara-negara yang menganut sistem hukum common law, profesi hakim memang dijabat oleh praktisi atau akademisi hukum yang berpengalaman. Sebelum menjadi hakim, mereka biasanya malang-melintang terlebih dahulu di profesi hukum. Sehingga tidak salah apabila salah satu syarat untuk menjadi hakim harus berusia minimal 40 tahun.

Tuntaskan RUU Jabatan Hakim

Dengan berdasar pada beberapa problem rekrutmen hakim seperti yang telah penulis urai di atas, seyogyanya MA dengan arif dan bijak tidak terburu-terburu memutuskan dan melaksanakan Perma Pengadaan Hakim yang baru dibuatnya. Dengan berbagai macam pertimbangan tentang konsekuensi yang akan dihadapi, diharapkan MA dapat menunda pelaksanaan Perma Pengadaan Hakim hingga RUU Jabatan Hakim disahkan dan diundangkan oleh Pemerintah bersama DPR.

Di sisi lain, juga muncul harapan publik utamanya bagi Pemerintah dan DPR untuk dapat segera menuntaskan pembahasan RUU Jabatan Hakim, sehingga masyarakat pencari keadilan tidak terkena imbas akibat dari kurangnya jumlah hakim di Indonesia. Sehingga pada akhirnya akses warga negara terhadap kebutuhan akan keadilan sebagaimana tertuang dalam Pancasila dan UUD 1945 dapat tercapai dengan optimal.

Selain itu, diharapkan MA juga intensif melakukan koordinasi dan komunikasi baik dengan Pemerintah dan DPR guna mengupayakan dan memprioritaskan pembahasan RUU Jabatan Hakim untuk dapat segera diselesaikan dan dituntaskan. Sehingga, kebutuhan penambahan sumber daya hakim yang saat ini sudah sangat penting dan mendesak dapat segera terselesaikan dengan diundangkannya UU Jabatan Hakim.

Tentunya UU tersebut telah dengan optimal diperhitungkan dari segala kemungkinan jalan keluar atas problem berkaitan dengan rekrutmen hakim yang berkualitas dan berintegritas, sesuai dengan tugas pokok dan fungsi hakim. Sehingga pada akhinya benar-benar dapat memberikan keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat pencari keadilan.

 

Link : SEJUMLAH PROBLEM DALAM REKRUTMEN HAKIM

Continue Reading

DISKURSUS PEMBATALAN PERDA DAN SOLUSINYA

Mahkamah Konstitusi (MK) kembali membuat putusan yang menimbulkan kontroversi. Publik kembali dikejutkan dengan adanya pemangkasan kewenangan Mendagri dan Gubernur dalam upaya pengawasan terhadap peraturan daerah (perda) yang bermasalah.

Melalui Putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015 pada tanggal 5 April 2017, MK Mengabulkan permohonan untuk sebagian berkaitan dengan kewenangan Pembatan Perda Kabupaten/Kota oleh Gubernur/Menteri sebagaimana tertuang dalam Pasal 251 ayat (2) dan ayat (3) UU Pemda yang dinyatakan bertentangan (inkonstitutional) dengan Undang-Undang Dasar 1945. Sehingga apabila berdasar pada putusan tersebut, baik Gubernur/Mendagri tidak lagi memiliki kewenangan dalam hal pembatan Perda didaerah.

Apabila kita melihat dan memahami dari pertimbangan hakim dalam Putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015, tampak terlihat terdapat perbedaan pendapat (dissenting opinion) yang bersifat substantif dan signifikan, dimana terdapat empat hakim konstitusi yang menyatakan perbedaan pendapatnya berkaitan dengan Putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015. Artinya putusan tersebut juga terjadi perdebatan yang serius dikalangan hakim konstitusi sendiri.

Dalam pertimbangannya, MK menyatakan keberadaan Pasal 251 ayat (2) dan ayat (3) UU Pemda telah menegasikan peran dan fungsi Mahkamah Agung sebagai lembaga yang berwenang melakukan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, dalam hal ini Perda Kabupaten/Kota, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 24A ayat (1) UUD 1945.

Selain itu MK menyatakan bahwa Keputusan Gubernur bukanlah bagian dari tata urutan dalam hirarki peraturan perundang-undangan, sehingga tidak dapat dijadikan produk hukum untuk membatalkan Perda Kabupaten/Kota. Dengan kata lain, Perda Kabupaten/Kota yang berbentuk peraturan (regeling) tidak dapat dibatalkan dengan Keputusan Menteri/Keputusan Gubernur yang berbentuk keputusan (beschikking).

Namun disisi yang lain, terdapat perspektif dan pandangan empat Hakim Konstitusi yang berbeda (dissenting opinion) terhadap pandangan dan argumentasi hukum lima Hakim Konstitusi lainnya, diantaranya Pertama menyatakan bahwa Indonesia selain sebagai negara hukum juga sebagai negara kesatuan. Untuk itu dalam konsep negara kesatuan akan berlaku pula satu sistem hukum baik bagi pemerintah di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Sehingga kewenangan Pembatalan Perda oleh Pemerintah pusat melalui Kemendagri merupakan bagian dari perwujudan pelaksanaan pemerintahan dalam konsep negara kesatuan.

Kedua, Kewenangan Kepala Daerah dan DPRD dalam pembentukan Perda harus dipandang sebagai kewenangan yang bersifat Atributif (attributie van wetgevingsbevoegheid) yang berasal dari UU maupun yang langsung dari UUD 1945.  Sedangkan Perda bukanlah peraturan yang bersifat delegatif dari UU Pemda, sehingga apabila Perda dianggap bersifat delegatif dari UU Pemda, maka yang demikian akan menyalahi prinsip pelimpahan kewenangan yang tidak berjenjang dalam pemebentukan peraturan perundang-undangan yang melampaui Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri.

Ketiga, hakikat pembatalan Perda pada dasarnya dilakukan dikarenakan tidak memenuhi syarat formal dan substantif untuk melindungi masyarakat atau pihak-pihak yang dirugikan. Pembatalan tersebut dapat dilakukan oleh pejabat pembuat keputusan, atasan pembuat keputusan atau Pengadilan. Secara konstitusional Presidenlah yang bertanggung jawab atas pemerintahan tertinggi, sehingga dengan demikian benar apabila Presiden melalui Mendagri/Gubernur mengambil tindakan pembatalan terhadap Perda yang bertentangan dengan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum dan/atau kesusilaan.

Perdebatan tentu tidak hanya selesai dimeja hakim konstitusi, dalam penerapan dan penegakannya dilapangan juga menimbulkan pro dan kontra, baik pada tataran pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Seperti yang dapat kita lihat dalam beberapa pemberitaan beberapa hari terakhir ini, Kemendagri tampak masygul melihat dan mendengar adanya Putusan MK yang memangkas kewenangannya yang selama ini telah berjalan dengan baik guna mengantisipasi terhadap adanya Perda-perda yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan serta asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Namun, terhadap beberapa perbedaan pendapat hakim (dissenting opinion) sebagaimana tersebut diatas, tidaklah mengurangi nilai keberlakuan dan mengikatnya Putusan MK. Karena sebagaimana diketahui Putusan MK bersifat final dan mengikat (final and binding), artinya putusan langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan. Selain itu Putusan MK juga bersifat Erga Omnes, yakni putusan tersebut merupakan Putusan Publik, yang berarti putusan tersebut berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia. Selain itu Putusan MK berlaku asas res judicata pro veritate habetur, yang berarti apa yang diputus hakim harus dianggap benar dan harus dilaksanakan. Sehingga dengan demikian tidak ada alasan untuk tidak melaksanakan Putusan MK (Asas Self Respect).

Solusi Efektif

Dengan berdasar pada Putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015 sebagaimana telah diurai diatas, maka akan berlaku era baru dalam mekanisme Pembatalan Perda, yakni pembatalan Perda hanya dapat dilakukan oleh lembaga peradilan, dalam hal ini melalui Pengujian Peraturan Perundang Undangan dibawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang.

Sebagaimana diketahui pada awalnya hanya berlaku dua mekanisme Pembatalan Perda, yakni melalui melanisme pembatatalan Perda oleh Mendagri/Gubernur, atau sering dikenal dengan istilah Executive Review. Sedangkan yang kedua melalui mekanisme pembatalan perda dengan pengujian oleh lembaga Peradilan dalam hal ini Mahkamah Agung atau yang sering disebut sebagai (Jucial Review).

Terhadap adanya pemberian kewenangan pembatalan Perda yang hanya dapat dilakukan lembaga Peradilan (Judial Review), maka setidaknya menurut analisis dan pandangan penulis terdapat tiga hal yang harus diperhatikan untuk dapat memastikan keberlangsungan pembentukan Perda yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum dan/atau kesusilaan.

Pertama, Pemerintah dalam hal ini melalui Kemendagri dapat mengintensifkan peran dan fungsi pengawasan antisipatif (preventif) terhadap rancangan perda yang belum disahkan oleh Pemerintah daerah atau sering dikenal dengan istilah (executive preview), hal itu dapat dilakukan guna meminimalisir kemungkinan munculnya Perda-perda yang akan bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Seperti halnya sistem yang berlaku di negara Perancis, yakni lebih mengutamakan  Preview daripada Review. Selain itu juga dapat dilakukan dengan mengoptimalkan fungsi Educatif atau pemberian pendidikan tentang mekanisme pembentukan Perda yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Kedua, Pemerintah Daerah baik Kepala Daerah maupun DPRD diharapkan juga dapat menahan diri serta dapat menyaring terhadap kemungkinan pembentukan Perda-perda yang berpeluang bertentangan dengan perarutan perundang-undangan yang lebih tinggi sehingga pada akhirnya dapat diajukan Uji Materi ke Mahkamah Agung.

Ketiga, dengan adanya kewenangan pembatalan perda yang hanya dapat dilakukan melalui mekanisme Yudicial Review, maka tentu akan mempengaruhi terhadap peluang banyaknya Uji Materi ke Mahkamah Agung terhadap Perda-perda yang dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, sehingga dengan demikian juga akan menyebabkan membludaknya perkara permohonan hak uji materi Pembatalan Perda. Untuk itu mau tidak mau juga menuntut adanya profesionalisme hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara yang berkaitan dengan Uji Materi Perda baik yang disahkan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota.

Terakhir yang menjadi harapan penulis semoga dengan adanya pemberian kewenangan pembatalan Perda hanya pada lembaga Peradilan melalui mekanisme Uji Materi, diharapkan tidak menjadikan Pemerintah Daerah untuk bertindak hanya dengan atas dasar kepentingan pribadi atau golongan dalam pembentukan Perda. Untuk itu diperlukan sinergi baik Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan Masyarakat guna bersama-sama berperan aktif dalam pembentukan Perda yang responsif dan populis, tujuannya adalah untuk mengantisipasi terhadap segala kemungkinan munculnya Perda-perda yang tidak sesuai dengan Peraturan perundangan yang lebih tinggi serta asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Link : Diskursus Pembatan Perda dan Solusinya

Continue Reading

CONTOH PENGADUAN PELANGGARAN KODE ETIK KE DKPP

PENGADUAN PELANGGARAN KODE ETIK

DALAM

PEMILIHAN KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH

KABUPATEN/KOTA …………. TAHUN …………………

 

Antara :

 

……………………………………….

Calon Bupati & Wakil Bupati Kabupaten ……………………

Pasangan Calon No. Urut ………………….

………………………………………………………………   selaku PENGADU

 

T E R H A D A P :

 

KETUA DAN ANGGOTA KPU Kabupaten ………………………..

DAN

KETUA DAN ANGGOTA PANWAS Kabupaten ………………………..

 ……………………………………………………………..…. selaku TERADU

Di

DEWAN KEHORMATAN PENYELENGGARA PEMILU (DKPP)

 

Jakarta,  ……… Februari 2016

 

 

 

 

 

 

Kepada Yth,

Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu

di-

Jl. MH. Thamrin No. 14
Jakarta Pusat

 

 

Perihal:

Pengaduan Pelanggaran Kode Etik oleh Ketua dan Anggota KPU Kabupaten ……………………….. dan Ketua dan Anggota Panwas Kabupaten …………………………

————————————————————————————————–

 

Dengan hormat,

Bersama ini identitas Pengadu sebagai berikut :

  1.   N a m a   : …………………………………………..

Tempat/Tgl Lahir            : …………………………………………..

Pekerjaan                        : Calon Bupati ……………………….. Nomor Urut 4

Alamat                              : …………………………………………..

 

  1. N a m a : …………………………………………..

Tempat/Tgl Lahir            : …………………………………………..

Pekerjaan                        : Calon Wakil Bupati ………………. Nomor Urut 4

Alamat                              : …………………………………………..

 

  1. N a m a : …………………………………………..

Tempat/Tgl Lahir            : …………………………………………..

Pekerjaan                        : Tim Kampanye Pasangan Nomor Urut 4

Alamat                              : …………………………………………..

 

  1. N a m a : …………………………………………..

Tempat/Tgl Lahir            : …………………………………………..

Pekerjaan                        : Tim Kampanye Pasangan Nomor Urut 4

Alamat                              : …………………………………………..

 

  1. N a m a : …………………………………………..

Tempat/Tgl Lahir            : …………………………………………..

Pekerjaan                        : Tim Kampanye Pasangan Nomor Urut 1

Alamat                              : …………………………………………..

adalah Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten ……………………….. masa jabatan 2015 – 2020  dan Tim Kampanye Nomor Urut 4 (empat) dalam Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilukada) Kabupaten ……………………….. Tahun 2015 selanjutnya disebut sebagai …………………………………………………………….…….….. PENGADU.

Pengadu berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal …………… Februari 2016 memberikan Kuasa kepada DR. (can) Saiful Anam, SH., Zenuri Makhrodji, SH., dan Fuad Abdullah, SH. adalah para advokat dan konsultan hukum pada “SAIFUL ANAM & PARTNERS”, yang beralamat di Jl. HR. Rasuna Said, Mall Epicentrum Walk, Office Suites A529, Kuningan – Jakarta Selatan 12940, HP. ………………., Website : www.saplaw.top Email : saifulanam@lawyer.com., baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama bertindak untuk dan atas kepentingan Pengadu sepakat untuk memilih domisili hukum dalam mengajukan Pengaduan ini di Jl. HR. Rasuna Said, Mall Epicentrum Walk, Office Suites A529, Kuningan – Jakarta Selatan 12940, HP. ………………….., Website : www.saplaw.top Email : saifulanam@lawyer.com..

Pengadu mengajukan Pengaduan Pelanggaran Kode Etik Terhadap :

  1.   N a m a   : ………………………………..

Pekerjaan                        : Ketua KPU Kabupaten ………………………..

Alamat                              : ………………………………..

Selanjutnya disebut sebagai ……………………………………….TERADU 1

 

  1.   N a m a   : ………………………………..

Pekerjaan                        : Anggota KPU Kabupaten ………………………..

Alamat                              : ………………………………..

Selanjutnya disebut sebagai ……………………………………….TERADU 2

 

  1.   N a m a   : ………………………………..

Pekerjaan                        : Anggota KPU Kabupaten ………………………..

Alamat                              : ………………………………..

Selanjutnya disebut sebagai ……………………………………….TERADU 3

 

  1.   N a m a   : ………………………………..

Pekerjaan                        : Anggota KPU Kabupaten ………………………..

Alamat                              : ………………………………..

Selanjutnya disebut sebagai ……………………………………….TERADU 4

 

  1.   N a m a   : ………………………………..

Pekerjaan                        : Anggota KPU Kabupaten ………………………..

Alamat                              : ………………………………..

Selanjutnya disebut sebagai ……………………………………….TERADU 5

 

  1.   N a m a   : ………………………………..

Pekerjaan                        : Ketua Panwas Kabupaten ………………………..

Alamat                              : ………………………………..

Selanjutnya disebut sebagai ……………………………………….TERADU 6

 

  1.   N a m a   : ………………………………..

Pekerjaan                        : Anggota Panwas Kabupaten ………………………..

Alamat                              : ………………………………..

Selanjutnya disebut sebagai ……………………………………….TERADU 7

 

  1.   N a m a   : ………………………………..

Pekerjaan                        : Anggota Panwas Kabupaten ………………………..

Alamat                              : ………………………………..

Selanjutnya disebut sebagai ……………………………………….TERADU 8

 

 

 

Adapun alasan dan argumen hukum Pengaduan a quo sebagaimana terurai di bawah ini :

  1.    KEWENANGAN DKPP
  2. Secara Filosofis, DKPP memiliki tugas dan wewenang untuk menegakkan dan menjaga martabat kemandirian, integritas, dan kredibelitas penyelenggara Pemilu.
  3. Bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum Pasal 1 angka 32 Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Nomor 1 Tahun 2013 tentang Pedoman Beracara Kode Etik Penyelenggara Pemilihan Umum Jo. Pasal 1 angka 22 Peraturan Bersama Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilihan Umum dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Nomor 13 Tahun 2012, Nomor 11 Tahun 2012 Nomor 1 Tahun 2012 Tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilihan Umum, meyatakan :

Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu selanjutnya disingkat DKPP, adalah lembaga yang bertugas menangani pelanggaran kode etik Penyelenggara pemilu dan merupakan satu kesatuan fungsi Penyelenggaraan Pemilu.

 

  1. Bahwa tugas dan wewenang DKPP berdasarkan Pasal 111 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum adalah sebagai berikut :

Tugas DKPP meliputi:

  1. menerima pengaduan dan/atau laporan dugaan adanya pelanggaran kode etik oleh Penyelenggara Pemilu;
  2. melakukan penyelidikan dan verifikasi, serta pemeriksaan atas pengaduan dan/atau laporan dugaan adanya pelanggaran kode etik oleh Penyelenggara Pemilu;
  3. menetapkan putusan; dan
  4. menyampaikan putusan kepada pihak-pihak terkait untuk ditindaklanjuti.

 

DKPP mempunyai wewenang untuk:

  1. memanggil Penyelenggara Pemilu yang diduga melakukan pelanggaran kode etik untuk memberikan penjelasan dan pembelaan;
  2. memanggil pelapor, saksi, dan/atau pihak-pihak lain yang terkait untuk dimintai keterangan, termasuk untuk dimintai dokumen atau bukti lain; dan
  3. memberikan sanksi kepada Penyelenggara Pemilu yang terbukti melanggar kode etik.
  4. Bahwa Pengadu merupakan (Peserta Pemilukada) Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten ……………………….. masa jabatan 2015 – 2020  Nomor Urut 4 (empat) dalam Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilukada) Kabupaten ……………………….. Tahun 2015.
  5. Bahwa Pengaduan yang diajukan Pengadu merupakan perkara Pelanggaran Etik oleh Penyelenggara Pemilu dalam pemilihan Calon Bupati dan Wakil Bupati ……………………….. tahun 2015.
  6. Bahwa berdasarkan uraian tersebut diatas, maka Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu berwenang menangani pelanggaran kode etik Penyelenggara pemilu dalam pemilihan Calon Bupati dan Wakil Bupati ……………………….. tahun 2015 yang diajukan oleh Pengadu.

 

  1. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING)
  2. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, meyatakan :

Pengaduan tentang dugaan adanya pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu diajukan secara tertulis oleh Penyelenggara Pemilu, peserta Pemilu, tim kampanye, masyarakat, dan/atau pemilih dilengkapi dengan identitas pengadu kepada DKPP.

 

  1. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 109 ayat (2) Undang-Undang Nomor 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, meyatakan :

DKPP dibentuk untuk memeriksa dan memutuskan pengaduan dan/atau laporan adanya dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh anggota KPU, anggota KPU Provinsi, anggota KPU Kabupaten/Kota, anggota PPK, anggota PPS, anggota PPLN, anggota KPPS, anggota KPPSLN, anggota Bawaslu, anggota Bawaslu Provinsi dan anggota Panwaslu Kabupaten/Kota, anggota Panwaslu Kecamatan, anggota Pengawas Pemilu Lapangan dan anggota Pengawas Pemilu Luar Negeri.

  1. Bahwa berdasar pada Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Nomor 1 Tahun 2013 tentang Pedoman Beracara Kode Etik Penyelenggara Pemilihan Umum menyatakan :
  • Dugaan Pelanggaran Kode Etik dapat diajukan kepada DKPP berupa pengaduan dan/atau laporan dan/atau Rekomendasi DPR.
  • Pengaduan dan/atau laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh :
  1. Penyelenggara Pemilu;
  2. Peserta Pemilu;
  3. Tim kampanye;
  4. Masyarakat; dan/atau

 

  1. Bahwa Pengadu merupakan (Peserta Pemilukada) Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten ……………………….. masa jabatan 2015 – 2020  Nomor Urut 4 (empat) dalam Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilukada) Kabupaten ……………………….. Tahun 2015.
  2. Bahwa Teradu merupakan Penyelenggara Pemilu, yakni Ketua dan Anggota KPU Kabupaten ……………………….. dan Ketua dan Anggota Panwas Kabupaten …………………………
  3. Bahwa sesuai dengan uraian sebagaimana tersebut diatas, maka Pengadu memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan pengaduan dan/atau laporan adanya dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Teradu.

 

III. POKOK PENGADUAN:

  1. Bahwa, berdasarkan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara di Tingkat Kabupaten dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Tahun 2015 Jo. Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten ……………………….. Nomor 020/Kpts/KPU.KAB.032-436631/XII/2015 tentang Penetapan Rekapitulasi Hasil Perhitungan Perolehan Suara dan Hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati ……………………….. Tahun 2015 (Bukti P-1), telah menetapkan Hasil Pemilihan Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten ……………………….. Tahun 2015, berdasarkan peringkat perolehan suara sebagai berikut:
NO. NAMA PASANGAN PEROLEHAN SUARA
1. ………………………………..dan

………………………………..

5.970 suara
2. ……………………………….. dan

………………………………..

2.028 suara
3. ……………………………….. dan

………………………………..

13.225 suara
4. ……………………………….. dan

………………………………..

8.832 suara
  1. Bahwa, pelaksanaan pemungutan suara Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilukada) Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Bupati Kabupaten ……………………….. Periode 2015-2020 telah dilaksanakan oleh Teradu pada hari  rabu tanggal 9 Desember 2015;
  2. Bahwa Pengadu mengajukan Pengaduan dan permohonan Penegakan Kode Etik yang dilakukan oleh Teradu, atas hasil penghitungan suara berdasarkan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah oleh Komisi Pemilihan Umum Kabupaten ……………………….. yang kemudian ditetapkan oleh Teradu dengan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di Tingkat Kabupaten oleh Komisi Pemilihan Umum Kabupaten ……………………….. Nomor 020/Kpts/KPU.KAB.032-436631/XII/2015 tentang Penetapan Rekapitulasi Hasil Perhitungan Perolehan Suara dan Hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati ……………………….. Tahun 2015;
  3. Bahwa alasan Pengadu mengajukan Pengaduan ini disebabkan adanya pelanggaran Etika dan Hukum secara Terstruktur, Sistematis dan Masif baik yang dilakukan oleh Teradu maupun yang dilakukan oleh Pasangan Nomor Urut 3 (Tiga).
  4. Bahwa, pelanggaran-pelaranggaran tersebut telah dipersiapkan secara terencana sejak awal, mulai dari proses pembuatan Daftar Pemilih Tetap, proses kampanye dan masa tenang, saat pencoblosan hingga proses rekapitulasi penghitungan suara di tingkat Kabupaten.

 

 

  1. Adanya Upaya Teradu Secara  Secara Sistematis, Terstruktur dan Masif Mengakibatkan Banyak Pemilih Yang Bukan Warga dari Kabupaten ……………………….. dan Tidak Memiliki NIK Kabupaten ……………………….. ikut Mencoblos.

 

  • PELANGGARAN – PELANGGARAN SEBELUM DAN SAAT PENCOBLOSAN.
  1. Adanya penggantian sebagian besar anggota PPS dan KPPS tiga hari sebelum Pemilukada dilaksanakan oleh KPU ……………………….., untuk memenangkan Pasadngan Nomor Urut 3.
  2. Adanya pembiaran oleh panwas terhadap hasil investigasi pelanggaran yang direkomendasikan panwas.
  3. Membiarkan adanya atribut kampanye dari saksi pasangan nomor 3 di seluruh TPS ………………………..
  4. Memilih Ketua KPPS 05 dan 02 Warmasen adalah anggota tim sukses pasangan nomor 3 dan merupakan anggota pengurus partai Demokrat Kabupaten …………………………
  5. Bahwa, Para Teradu bertindak tidak netral (Bukti P-2 dan Bukti P-15) telah memanfaatkan proses pembuatan DPT untuk kepentingan Pasangan Nomor Urut 3 (tiga).

Para Teradu Tidak Membuat DPT Secara Benar yang Berakibat Banyak Pemilih Yang Bukan Warga dari Kabupaten ……………………….. dan Tidak Memiliki NIK Kabupaten ……………………….. ikut Mencoblos.

  1. Bahwa, Para Teradu sengaja memasukkan hasil pemutakhiran data pemilih yang tidak jelas guna memenangkan Pasangan Nomor Urut 3. Akibatnya, ketika pemilihan berlangsung, banyak penduduk yang tidak memiliki hak pilih namun namanya tercatat dalam DPT dan akhirnya dapat menggunakan hak pilihnya. Selain itu, dalam pelaksanaan Pemilukada, baru kemudian diketahui banyak nama yang dipergunakan namanya oleh orang lain untuk memilih (Bukti P-6 dan P-7).
  2. Banyaknya penduduk yang bukan berasal dari Kabupaten ……………………….. dimobilisasi untuk melakukan pemilihan dalam Pemilukada Kabupaten ……………………….. tahun 2015, untuk itu hasil Pemilukada Kabupaten ……………………….. menjadi cacat.

 

Para Teradu Tidak Pernah Melakukan Rapat Pleno Penetapan DPT dengan Pengadu Sebagai  Peserta Pemilukada.

  1. Para Teradu tidak pernah melakukan pleno dengan Pengadu sebagai  Peserta Pemilukada Kabupaten ……………………….. dalam Menetapkan Daftar Pemilih Tetap ( DPT ).
  2. Bahwa tindakan yang dilakukan Teradu dikualifikasi sebagai pelanggaran yang disengaja karena Teradu memang menghalang-halangi akses Pengadu terhadap DPT.
  3. Bahwa, tindakan Teradu tidak melakukan rapat pleno Penetapan DPT yang dihadiri dan ditandatangani oleh Pengadu dan/atau Tim Sukses Para Pengadu sebagai Peserta Pemilukada adalah merupakan tindakan  awal Teradu yang perlu ditengarai sebagai tindakkan Teradu yang secara sistematis, terstruktur dan massif bermaksud menggelembungkan hak pemilih dengan cara yang tidak transparan dan akuntabel terhadap penetapan DPT sehingga  mengakibatkan  banyak nama-nama yang ada di dalam DPT tidak dapat dikontrol kebenarannya baik oleh peserta Pemilukada maupun para  pemilih, akibatnya banyak pemilih yang tidak memiliki KTP dan Nomor NIK Kabupaten ……………………….. dapat menggunakan hak pilihnya.
  4. Bahwa Pengadu jauh hari sebelum penyelenggaraan Pemilukada Kabupaten ……………………….., Pengadu telah melakukan keberatan atau complain atas ketidakwajaran yang dilakukan oleh Teradu dalam menetapkan DPT, akan tetapi tidak dihiraukan oleh Teradu, dan tetap menyelenggarakan Pemilukada dengan DPT yang cacat (Bukti P-3 dan P-4).
  5. Bahwa atas pelanggaran yang dilakukan oleh Teradu terhadap DPT tersebut mengakibatkan terjadinya ketidakpastian hukum atas DPT yang digunakan sebagai dasar dalam Rekapitulasi Perhitungan Hasil Perolehan Suara Pemilukada Kabupaten ……………………….. oleh Teradu karena faktanya penetapan DPT tidak pernah dilakukan Teradu dengan melibatkan Pengadu sebagai Peserta Pemilukada Kabupaten ……………………….. Tahun 2015.
  6. Bahwa tindakan Teradu melakukan pemutakhiran data a quo adalah merupakan kesengajaan untuk   memasukkan warga yang tidak berasal dari Kabupaten ……………………….. untuk dapat memilih pada pelaksanaan Pemilukada di Kabupaten ……………………….., tindakan Temohon tersebut  telah melanggar dan tidak sesuai dengan Peraturan KPU Nomor  4 Tahun 2015, sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) yang menyatakan :

“Pemilih sebagaimana dimaksud ayat (1) harus memenuhi syarat:

  1. Tidak terganggu jiwa/ingatannya;
  2. Tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
  3. Berdomisili didaerah pemilihan paling kurang 6 (enam) bulan sebelum disahkannya DPS yang dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk atau dokumen Tanda Kependudukan dari instansi yang berwenang; dan
  4. Tidak sedang menjadi Anggota Tentara Nasional Indonesia, atau Kepolisian Negara Republik Indonesia;

 

  1. Bahwa terdapat banyak masyarakat yang namanya tercatat dalam DPT padahal mereka tidak memiliki KTP dan bukan merupakan penduduk yang berdomisili didaerah pemilihan paling kurang 6 (enam) bulan sebelum disahkannya DPS yang dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk atau dokumen Tanda Kependudukan dari instansi yang berwenang.
  2. Bahkan Kandidat Calon Bupati Nomor 4 yakni Drs. Ferdinand Dimara, M.Si juga tidak dapat menggunakan hak pilihnya, karena tidak tercantum dalam DPT. Selain itu Kabid Kominfo, Kadis Catatan Sipil dan Kepala badan Wilayah Perbatasan juga tidak dapat melakukan hak pilihnya, dikarenakan namanya tidak tercantum dalam DPT.
  3. Bahwa banyaknya hak pilih yang bukan berasal dari Penduduk yang berdomisili di Kabupaten ……………………….. terjadi di beberapa TPS, antara lain yang berhasil dicatat :
No. DPT TPS Jumlah Keterangan
1. WAISAI KOTA TPS 1 s/d TPS 8 1400 suara Berdasarkan Wawancara dengan Ketua PPS Kelurahan WAISAI KOTA dan berdasarkan bukti DPT yang nomor NIKnya bukan NIK …………………………*
2. SAPORDANCO TPS s/d TPS 4 600

suara

Berdasarkan Wawancara Ketua PPS Kelurahan SAPORDANCO dan berdasarkan bukti DPT yang nomor NIKnya bukan NIK …………………………*
TOTAL 2000 suara

*Keterangan :

NIK Pendudukan Kabupaten ……………………….. dapat dibuktikan dengan Kode 90 yang merupakan Kode Provinsi Papua Barat, 05 Kode Kabupaten ……………………….., dengan diakhiri sebelum angka terakhir, dengan angka 000. Apabila tidak sesuai dengan Kode sebagaimana dimaksud diatas, maka bukan merupakan Penduduk Kabupaten …………………………

  1. Bahwa terdapat kejanggalan – kejanggalan mengenai DPT yang mana data tersebut tidak diambil dari data sebelumnya yang mencakup data pemilih sementara (DPS) (Bukti P-27), sehingga menyebabkan keanehan berupa banyaknya pemilih yang terdaftar sebagai DPT di Kabupaten ……………………….. namun bukan merupakan penduduk dan tidak memiliki KTP Kabupaten …………………………
  2. Bahwa berkaitan dengan DPT yang bermasalah dan tidak akurat tersebut di atas, ternyata dapat dibuktikan oleh Pengadu bahwa perbuatan tersebut dilakukan secara sengaja oleh Teradu, terstruktur, sistemik  dan secara massif, sangat potensial dan de facto memberikan keuntungan kepada Pasangan Calon Nomor Urut 3 (tiga) karena hal tersebut membuat Pasangan Calon Nomor Urut 3 (tiga) ditetapkan oleh Teradu sebagai Pasangan Calon Terpilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten ……………………….. tahun 2015;
  3. Keberadaan para pemilih banyak yang dapat menggunakan hak pilihnya meskipun tidak berdomisili dan tidak memiliki KTP Kabupaten ……………………….. seperti tersebut di atas, adalah tidak lain campur tangan dari Teradu yang juga sesungguhnya mempunyai ”kedekatan” dan merupakan praktek nepotisme dengan pasangan calon nomor urut 3 (tiga), Pasangan dimaksud karena kapasitas pengaruhnya dapat lebih leluasa berkomunikasi dan mempengaruhi secara langsung dalam pengangkatan aparat penyelenggara pemilu lainnya.
  4. Karena banyaknya pelanggaran yang dilakukan Teradu dalam pengangkatan  aparat penyelenggara pemilukada lainnya di Kabupaten ……………………….., sehingga keberpihakannya sangat kentara, terutama dalam tidak menyebarkan undangan pemilih dan/atau menolak pemilih yang hanya membawa KTP dan pengerahan masa pemilih yang tidak sah.

Terdapat DPT yang Tidak Valid

  1. Bahwa di beberapa TPS, petugas TPS masih menggunakan DPT yang belum diperbaharui dan DPT yang tidak sesuai dengan keadaan di lapangan sehingga terjadi penggelembungan dan pengurangan suara. Sebagai fakta hal ini antara lain terjadi di :
  • Di Distrik Kota Waisai, terdapat pelanggaran yang dilakukan oleh Teradu dimana DPT yang digunakan masih DPT yang berdasarkan pada DPT Pemilu Nasional Pilpres dan Legislatif 2014.
  • Di TPS 04 Distrik Waisai Kota terdaftar di No 12 dengan nama pemilih Benyamin Weror ternyata sudah meninggal pada tahun 2015
  • Di TPS 01 Distrik Waisai Kota terdaftar di No 92 dengan nama pemilih Benny Fakdawer ternyata sudah meninggal
  • Di TPS 01 Distrik Waisai Kota terdaftar di No 546 dengan nama pemilih Sandra Koibur ternyata sudah meninggal
  • Di TPS 01 Distrik Waisai Kota terdaftar di No 179 dengan nama pemilih Nikolas Mampioper ternyata sudah meninggal
  • Asia Gaman TPS 2 Warmasen sudah Almarhum
  • Di TPS 1, Kampung Warsambim Distrik Teluk Mayalibit, dengan pemilih bernama Carolina Amber Baken, ternyata diwakilkan anak yang masih bersekolah di SD, dengan motivasi agar mendapatkan uang dari pasangan No. 3, dikarenakan Ibunya tidak dapat memilih dikarenakan masih sakit.
  • Serta beberapa pelanggaran, yakni 1 orang pemilih terdapat dalam beberapa TPS yang tersebar di 3 Kelurahan Distrik Kota Waisai (Bukti P-18), diantarannya:
  1. Eta Maros TPS 3 Sapordanco 106 – TPS 1 – TPS 2 ( Ganti Tanggal Lahir ) 125&104 Warmasen
  2. Asmani Abdul Rahman Ket. ( TPS 1 Sapordanco 70) & ( TPS 2 Warmasen 67 )
  3. Purnama Sari Wawiyai ( TPS 2 Warmasen 325 ) ( TPS 5 Warmasen 207)
  4. Benny Fakdawer ( TPS 1 Sapordanco) – Almarhum 92
  5. Fitria Rumamora ( TPS 1 Sapordanco 174) ( TPS 5 Warmasen 114)
  6. Hendra Alfiau ( TPS 1 Sapordanco 200 ) ( TPS 2 Warmasen 23) ( Balik Nama )
  7. Mahmud Rumamora ( TPS 1 Sapordanco 323) ( TPS 2 Warmasen 229 )
  8. Mertengis Dawa( TPS 1 Sapordanco 355) ( TPS 2 Warmasen 238)
  9. Diah Rahayu Retnowati ( TPS 7 Waisai 121-122) Ganti TTL & Alamat
  10. Elvira Syukur ( 147 harusnya di Warmasen muncul di Waisai Kota ) TPS 07
  11. Herdianto ( TPS 7 Waisai 208-209) Rubah TTL dan alamat
  12. Laute ( TPS 2 Warmasen 213 ) & ( TPS 3 Warmasen 282)
  13. Hendri ( 226/227 TPS 07 Waisai Kota ) Rubah TTL dan alamat
  14. Safi Wawiyai ( TPS 02 Warmasen 467) ( TPS 5 Warmasen 275)
  15. Mahani Wawiyai ( TPS 02 Warmasen 228) (TPS 5 Warmasen 159)
  16. Maryam Umalian ( TPS 02 Warmasen 244) ( TPS 05 Warmasen 171)
  17. Heri Suwanto ( TPS 02 Warmasen 149) ( tps 01 Warmasen 159)
  18. Gamaria Swara ( TPS 03 Warmasen 140) ( TPS 03 Sapordanco 120) ( TPS 04 Warmasen 209, Main di Umur
  19. Abdul Manan Kaflot ( TPS 01 Sapordanco 05 ) Harusnya di TPS 02 Sapordanco
  20. Usman Laode ( TPS 02 Warmasen 481) ( TPS 02 Sapordanco 576)
  21. Desi Asrawati ( TPS 04 Warmasen 133/134) Ganda
  22. Ahmad Rizal Sangaji ( TPS 03 Waisai 14 ) TPS 01 Sapordanco 27)
  23. Alsa Sangaji ( TPS 03 Waisai 26) ( TPS 01 Sapordanco 36 )
  24. ( TPS 03 Waisai 299/300) Ubah
  25. Darmawati Patiran ( Ibu RT 04 Sapordanco, ternyata nama ada coklit, di DPT tidak ada ) ubah tempat tanggal lahir
  26. Zaelan Hasan ( Ketua RT 04 Sapordanco, ternyata nama ada coklit, di DPT tidak ada )
  27. Aminudin Talafuka ( TPS 02 Sapordanco) ( TPS 03 Sapordanco )
  28. Chaeranitansyah Ashari ( TPS 02 Warmasen ) ( TPS 05 Warmasen )
  1. Bahwa terjadi manipulasi dan praktek rekayasa dalam pembuatan DPT, yang mana data tersebut tidak diambil dari data sebelumnya yang mencakup data pemilih sementara (DPS) Pilkada Kabupaten ……………………….. tahun 2015, DPT Pemilu Legislatif tahun 2014 maupun Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tahun 2014. Akibatnya banyaknya pemilih yang terdaftar pada DPT Pemilu Legislatif tahun 2014 dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tahun 2014 tidak lagi tercantum dalam DPT Pemilukada Kabupaten ……………………….. tahun 2015.
  2. Bahwa berkaitan dengan DPT yang bermasalah dan tidak akurat sebagaimana tersebut di atas, ternyata dapat dibuktikan oleh Pengadu bahwa perbuatan tersebut dilakukan dengan sengaja oleh Teradu secara Terstruktur, Sistemik  dan secara Massif, yang sangat potensial dan de facto memberikan keuntungan kepada Pasangan Calon Nomor Urut 3 (tiga) karena hal tersebut menjadikan Pasangan Calon Nomor Urut 3 (tiga) ditetapkan oleh Teradu sebagai Pasangan Calon ditetapkan sebagai calon dengan suara terbanyak dalam penetapan rekapitulasi hasil perhitungan suara Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten ……………………….. tahun 2015;

Teradu Sengaja Menyampaikan Undangan pada Dini Hari pada Hari Pemilihan.

  1. Adanya kesengajaan dari Teradu untuk  menghalangi  banyak pemilik suara untuk memilih, dilakukan oleh Teradu dan jajaran penyelenggara dibawahnya dengan cara menyampaikan undangan untuk memilih pada para pemilih pada Malam satu hari sebelum hingga Dini Hari pada Hari Pemilihan yakni disampaikan pada pukul 20.00 WIT hingga jam 02.30 WIT. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya undangan dan kartu pemilih yang ditemukan tidak disampaikan pada para pemilih. Beberapa di antaranya bentuk fisiknya berhasil ditemukan oleh warga, antara lain:
No. DPT TPS Jumlah Keterangan
1. WAISAI KOTA TPS 1 s/d TPS 8 381 suara Berdasarkan keterangan Warga
2. SAPORDANCO TPS1 s/d TPS 3 137

suara

Berdasarkan keterangan Warga
3. BONKAWIR TPS 1 s/d TPS 2 93

suara

Berdasarkan keterangan Warga
4. WARMASEN TPS 1 s/d TPS 5 241 suara Berdasarkan keterangan Warga
852 Suara
  1. Bahwa undangan memilih ini sengaja tidak dibagikan kepada simpatisan atau pendukung Para Pengadu. Sebaliknya, Surat undangan memilih ini hanya dibagikan kepada orang-orang yang mendukung Pasangan Nomor Urut 3 (tiga) atau yang dapat diarahkan untuk memilih Pasangan Nomor Urut 3 (tiga).
  2. Bahwa akibat tidak mendapat undangan, calon pemilih yang diketahui merupakan simpatisan Pengadu tidak dapat memilih. Hal ini dapat pula terlihat dari angka partisipasi pemilih dan banyaknya calon pemilih yang tidak jadi memilih karena tidak mendapatkan undangan pemilih.
  3. Bahwa bukti-bukti yang ditemukan oleh Pengadu merupakan sebagian dari bukti-bukti yang berhasil dikumpulkan karena tidak dibagikannya surat undangan merupakan perbuatan yang sudah direncanakan demi kepentingan Pasangan Calon Nomor Urut 3 (tiga).
  4. Adapun data pemilih yang tidak dibagikan undangan pemilih diantaranya :
No. DISTRIK TPS Jumlah Keterangan
1. WAISAI KOTA TPS 1 s/d TPS 8 2010 suara Berdasarkan keterangan Warga
2. SAPORDANCO TPS1 s/d TPS 3 1211

suara

Berdasarkan keterangan Warga
3. BONKAWIR TPS 1 s/d TPS 2 513

suara

Berdasarkan keterangan Warga
4. WARMASEN TPS 1 s/d TPS 5 1623 suara Berdasarkan keterangan Warga
5. WAIGEO TIMUR TPS 1 8 suara Berdasarkan keterangan Warga
6. WAIGEO BARAT DARATAN TPS 1 11 suara Berdasarkan keterangan Warga
7. KOFIAU TPS 1 s/d TPS 5 285 suara Berdasarkan keterangan Warga
8. WAIGEO SELATAN TPS 1 15 suara Berdasarkan keterangan Warga
9. KEPULAUAN SEMBILAN TPS 1 30 suara Berdasarkan keterangan Warga
5.706 Suara

 

Teradu Sengaja Tidak Secara Benar Mensosilisasikan Pemilih Dapat Memilih Dengan Menunjukkan KTP.

  1. Bahwa Pengadu banyak menerima masukan dari masyarakat, di beberapa wilayah banyak undangan untuk memilih tidak disampaikan pada Pemilih. Pengadu telah mengajukan protes dan mendesak Teradu agar Teradu membuat pemberitahuan berupa Surat Edaran   kepada Seluruh petugas penyelenggara Pemilukada di Kabupaten ……………………….. ditingkat PPK dan KPPS, agar pemilih yang tidak dapat undangan memilih tetap datang ke TPS untuk memilih/mencoblos dengan menunjukkan KTP. Permintaan Pengadu tersebut ditolak oleh Teradu dengan alasan yang tidak jelas.
  2. Bahwa pada akhirnya disepakati baik oleh Muspida, Kapolres ……………………….. maupun dari keempat pasangan calon pada tanggal 9 desember 2015 untuk menunda pemilihan kepala daerah Kabupaten ……………………….. tahun 2015 dari jam 07.00 WIT ditunda sampai jam 14.00 WIT.
  3. Tindakan Teradu a quo telah merugikan para pendukung yang akan memilih  Pengadu, karena tidak ada bukti tertulis dari  Teradu yang memperbolehkan pemilih memilih tanpa surat undangan memilih. Akibatnya banyak pemilih tidak bisa menggunakan hak pilihnya. Dan tindakan Teradu tersebut disengaja dengan tujuan untuk memenangkan Pasangan Calon Nomor Urut 3 (tiga).

Pemasangan DPT oleh Teradu yang Tidak Sesuai dengan Ketentuan Perundang – Undangan.

  1. Tindakan sistematis Teradu untuk menghilangkan banyak suara pemilih dilakukan dengan sengaja oleh Teradu hingga  ditingkat TPS banyak yang tidak memasang DPT di TPS –TPS.
  2. Bahwa selain banyaknya masyarakat yang tidak terdaftar dalam DPT, pada saat pencoblosan KPPS tidak membagikan DPT kepada para saksi resmi dari setiap pasangan calon.
  3. Bahwa DPT yang ditempelkan di masing-masing TPS tidak sama dengan DPT yang ditempelkan tiap Kampung sebelum hari pemungutan suara.
  4. Bahwa akibat tidak adanya DPT yang dipegang oleh para saksi resmi maupun yang ditempel akan tetapi berbeda dengan DPT yang ditempel disetiap Kampung sebelum hari pemungutan suara, akibatnya mempersulit para saksi untuk memeriksa dan mengontrol apakah pemilih yang menggunakan hak pilihnya telah sesuai dengan DPT atau tidak.

 

  • PELANGGARAN–PELANGGARAN SETELAH PENCOBLOSAN

Banyaknya Pelanggaran Penyalahgunaan Wewenang Dilakukan Oleh Teradu Dalam Penyelenggaraan Pemilukada di Kabupaten ………………………..

 

  1. Bahwa pada saat dilakukannya hasil perhitungan suara pada Rapat Pleno tingkat kabupaten ……………………….. oleh pihak Teradu pada tanggal 17 Desember 2015, terdapat kesalahan – kesalahan dan ketidaksesuaian  penghitungan.
  2. Kesalahan-kesalahan dan ketidaksesuaian ini berulangkali terjadi, terutama yang menjadi masalah krusial di Distrik Waisai Kota yang terdiri dari 4 PPS dan 17 TPS, Setelah mencoba melakukan perbaikan, tidak dapat disepakati oleh saksi-saksi Para Pengadu.
  3. Adapun yang dimaksud 4 PPS dan 17 TPS adalah sebagai berikut :
  • Kelurahan Waisai Kota terdiri dari TPS 01 s/d TPS 07
  • Kelurahan Sapordanco terdiri dari TPS 01 s/d TPS 03
  • Kelurahan Warmasen terdiri dari TPS 01 s/d TPS 05
  • Kelurahan Bon Kawir terdiri dari TPS 01 s/d TPS 02
  1. Bahwa kesalahan yang terjadi diatas karena terdapatnya kesalahan dari penghitungan suara tingkat TPS yang terjadi secara meluas (pengisian form C-1 dan rekapitulasi suara yang tidak sesuai dengan prosedur) di Distrik Waisai Kota, terstruktur dan masif di seluruh kabupaten ……………………….., sehingga pada saat rapat pleno, kesalahan tersebut dilanjutkan dari tingkat TPS sampai ke penghitungan suara di Kabupaten.
  2. Bahwa saksi-saksi Pengadu mengajukan keberatan dan meminta penghitungan suara diulang kembali dari awal untuk Distrik Waisai Kota, karena perbedaan tersebut merugikan Pengadu, namun keberatan tersebut tidak diakomidir sama sekali oleh Teradu.
  3. Bahwa selain keberatan mengenai penghitungan suara Distrik Kota Waisai, saksi-saksi Pengadu juga berkeberatan atas pelanggaran-pelanggaran yang sistematis, terstruktur dan massif yang terjadi di berbagai tempat, diantaranya di Kampung Dibalal, Kampung Kalitoko dan Kampung Yenbekaki.
  4. Proses penghitungan suara yang dipenuhi pelanggaran dan penolakan pendatanganan formulir keberatan oleh Teradu telah merugikan Para Pengadu, dan merupakan pelanggaran serius.
  5. Selain itu pada saat Belum disahkan hasil pleno hasil perhitungan suara ditingkatan distrik, akan tetapi sudah disahkan diambil alih oleh  KPU Kabupaten …………………………

 

 

Tentang Upaya Penghilangan Hak Pilih Secara Sistematis, Terstruktur dan Massif yang dilakukan oleh Teradu

  1. Bahwa terdapat fakta yang ditemukan oleh Pengadu dimana Teradu dengan secara sengaja dan nyata telah melakukan modus lain dalam penghilangan hak pilih pemilih di beberapa TPS di wilayah beberapa distrik dengan cara menempatkan pemilih tersebut untuk memilih di tempat yang jauh dari domisilinya, sehingga Pemilih tidak dapat menggunakan hak pilihnya dikarenakan harus melakukan perjalanan yang cukup jauh dari tempat tinggalnya, padahal terdapat beberapa TPS yang lebih dekat dengan tempat tinggal pemilih tersebut;
  2. Bahwa Pemilih yang tidak dapat memilih dikarenakan sebagaimana tersebut diatas adalah terjadi di Distrik Kota Waisai diantanya :
  • di Kelurahan Waisai Kota dari TPS 05 ke TPS 04,
  • di Kelurahan Waisai Kota dari TPS 08 ke TPS 07,
  • di Kelurahan Waisai Kota dari TPS 07 ke TPS 06,
  • di Kelurahan Waisai Kota dari TPS 06 ke TPS 05,
  • di Kelurahan Waisai Kota sebanyak 7 TPS,
  • di Kelurahan Sapordanco sebanyak 3 TPS,
  • di kelurahan Warmasen sebanyak 5 TPS.
  1. Bahwa perbuatan Teradu tersebut sangat merugikan Pengadu, yaitu hilangnya potensi penambahan suara Pengadu dalam jumlah yang cukup banyak dan mengakibatkan Pengadu kalah selisih suara dengan Pasangan Calon Nomor Urut 3 (tiga) berdasarkan rekapitulasi perhitungan perolehan suara oleh Teradu;
  2. Bahwa perbuatan Teradu tersebut telah melanggar Asas Dalam Penyelenggaraan Pemilukada yakni Pasal 9 ayat (2) Peraturan KPU Nomor  4 Tahun 2015 yang menyatakan : ”TPS ditentukan lokasinya di tempat yang mudah dijangkau, termasuk orang penyandang cacat serta menjamin setiap pemilih dapat memberikan suaranya secara langsung bebas dan rahasia”.
  3. Bahwa berdasarkan Pasal 9 ayat (2) Peraturan KPU Nomor  4 Tahun 2015 Penyusunan Data Pemilih dilakukan dengan mebagi pemilih tiap TPS paling banyak 800 (delapan ratus orang), dengan memperhatikan tidak menggabungkan desa/kelurahan, memudahkan pemilih dan jarak tempuh menuju TPS. Dengan adanya pengacakan TPS maka melanggar Pasal 9 ayat (2) Peraturan KPU Nomor  4 Tahun 2015.
  4. Bahwa dengan demikian upaya pelanggaran terstruktur, sistematis dan massif terbukti dilakukan oleh Teradu selaku Penyelenggara Pemilukada yang seharusnya taat azas dan aturan, serta bersikap profesional, dan menjaga independensi.

Pelanggaran Administrasi  Pemilukada

  1. Bahwa seluruh tindakan atau perbuatan Teradu selaku penyelenggara Pemilukada Kabupaten ……………………….. telah melanggar prinsip penting di dalam pemilu yang meliputi asas LUBER dan JURDIL dan sekaligus telah merusak sendi-sendi demokrasi, yaitu meliputi: melakukan pelanggaran dalam Rapat Pleno Rekapitulasi Pengitungan Perolehan Suara di Tingkat Kabupaten, Perubahan Dokumen Berita Acara, keberpihakan kepada salah satu pasangan calon, khususnya Pasangan Calon Nomor Urut 3 (tiga), dan/atau telah berbuat curang terhadap pembuatan DPT yang menguntungkan kepada salah satu pasangan calon, penghilangan hak pilih dan pelanggaran adminsitratif lainnya. Hal tersebut telah melanggar Pasal 2 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 12 Tahun 2010 menyatakan, ”Penyelenggara Pemilu berpedoman kepada asas, mandiri, jujur, adil, kepastian hukum, tertib penyelenggara pemilu, kepentingan umum, keterbukaan, proposionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, efisien dan ekfektivitas”;

 

  1. Adanya Praktek Politik Uang (Money Politics) yang Dilakukan Oleh Tim Pasangan Calon Nomor Urut 3 (tiga)

 

  1. Bahwa Teradu membiarkan Pasangan Calon Nomor Urut 3 (tiga) melakukan praktek politik uang dalam pelaksanaan Pemilukada di Kabupaten ……………………….. tahun 2015 (Bukti P-5).
  2. Bahwa pola praktek money politics (Bukti P-8, P-9, P-10, P-11 dan P-12) yang dilakukan Pasangan Calon Nomor Urut 3 (tiga) dilakukan sejak sebelum hingga setelah berlangsungnya pemungutan suara, terutama selama masa kampanye dan pada masa tenang serta setelah pencoblosan, dengan cara-cara antara lain sebagai berikut:
  • Tim Pasangan Calon Nomor Urut 3 (tiga) Memberikan uang Rp. 30.000.000 (tiga puluh juta rupiah) di seluruh kampung di Kabupaten ……………………….., untuk dibagikan kepada pemilih di masing-masing kampung.
  • Wakil Calon Bupati Nomor urut 3 (tiga) turun langsung untuk membagi-bagikan uang.
  • Tim Sukses Pasangan Nomor Urut 3 (tiga) membagikan uang dengan jumlah mulai dari Rp. 100.000 (seratus ribu rupiah) sampai dengan Rp 300.000 (tiga ratus ribu rupiah) per orang, dengan cara antara lain membagikan uang dalam amplop pada calon pemilih yang di dalamnya terdapat tulisan “pilih nomor 3 (tiga)” diantaranya di Kampung :
NO. KAMPUNG WAKTU KEJADIAN KETERANGAN
1. Amdui Tanggal 8 Desember 2015 Sebesar Rp. 300.000 (tiga ratus ribu rupiah) per orang
2. Saporkren Tanggal 8 Desember 2015 Sebesar Rp. 30.000.000 (tiga puluh juta rupiah) kemudian dibagi ke masing-masing  pemilih pada tanggal 10 Desember 2015 sebesar Rp. 300.000 (tiga ratus ribu rupiah)
3. Salio Tanggal 9 Desember 2015 Sebesar Rp. 300.000 (tiga ratus ribu rupiah) per orang
4. Wailabu Tanggal 9 Desember 2015 Sebesar Rp. 300.000 (tiga ratus ribu rupiah) per orang
5. Fafanlap Tanggal 8 Desember 2015 Sebesar Rp. 300.000 (tiga ratus ribu rupiah) per orang
6. Rauki Tanggal 8 Desember 2015 Sebesar Rp. 300.000 (tiga ratus ribu rupiah) per orang
7. Waisai (Sapordanco) Tanggal 8 Desember 2015 Sebesar Rp. 300.000 (tiga ratus ribu rupiah) per orang
8. Warsambim Tanggal 8 Desember 2015 Sebesar Rp. 300.000 (tiga ratus ribu rupiah) per orang
9. Yensawai Tanggal 8 dan 9 Desember 2015 Sebesar Rp. 300.000 (tiga ratus ribu rupiah) per orang
10. Yenbeser Tanggal 9 Desember 2015 Sebesar Rp. 400.000 (empat ratus ribu rupiah) per orang
11. Dibalal Tanggal 8 Desember 2015 Sebesar Rp. 900.000 (sembilan ratus ribu rupiah) per orang
12. Deer Tanggal 8 Desember 2015 Sebesar Rp. 300.000 (tiga ratus ribu rupiah) per orang
13. Ayau Tanggal 8 Desember 2015 Sebesar Rp. 300.000 (tiga ratus ribu rupiah) per orang
14. Pam Tanggal 8 Desember 2015 Sebesar Rp. 300.000 (tiga ratus ribu rupiah) per orang
15. Kalobo Tanggal 8 Desember 2015 Sebesar Rp. 300.000 (tiga ratus ribu rupiah) per orang
16. Wauwiyai Tanggal 10 Desember 2015 Sebesar Rp. 300.000 (tiga ratus ribu rupiah) per orang
17. Samate Tanggal 8 Desember 2015 Sebesar Rp. 300.000 (tiga ratus ribu rupiah) per orang
18. Saukabu Tanggal 8 Desember 2015 Sebesar Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah) per orang
19. Dorekar Tanggal 8 dan 9 Desember 2015 Sebesar Rp. 300.000 (tiga ratus ribu rupiah) per orang

 

  1. Bahwa Ketentuan Pasal 73 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang telah menegaskan larangan politik uang, sebagai berikut:

Calon dan/atau Tim Kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk untuk mempengaruhi pemilih”

  1. Bahwa praktek politik uang yang dilakukan secara langsung oleh Tim Sukses Pasangan Nomor Urut 3 (tiga) dan bersama dengan tim pendukungnya tersebut, memang merupakan bagian dari upaya sistematis pemenangan dan dukungan terhadap Pasangan Nomor Urut 3 (tiga) sampai menggunakan cara-cara yang tidak patut yang dapat merusak sendi-sendi demokrasi.

 

 

  1. Adanya Banyak Intimidasi yang Dilakukan oleh Tim Pasangan Calon Nomor Urut 3 (Tiga).

 

  1. Bahwa pada saat pemungutan suara ada beberapa orang yang mengancam pemilih yang hendak mencoblos. Pemilih merupakan pendukung Pasangan Calon Nomor Urut 4 (empat), namun harus memilih Pasangan Calon Nomor Urut 3 (tiga) dan setelah itu akan diberikan uang di Kampung Fafanlap, Kampung Rauki melakukan intimidasi terhadap pendukung Pasangan Calon Nomor 4 (empat) dan Pasangan Nomor urut 1 (satu).
  2. Bahwa selain Pemilukada harus sesuai dengan “asas luber dan jurdil” pelaksanaan Pemilukada juga tidak boleh ada tekanan atau intimidasi dari pihak manapun yang dapat mencederai demokrasi. Masyarakat sebagai warga negara mempunyai hak pilih yang merupakan hak asasi harus terhindar dari rasa takut, tertekan dan terancam dalam mengikuti proses demokrasi, karena hal tersebut sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 45 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”, dan bersesuaian dengan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas rasa aman dan tentram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu”.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, Tindakan Teradu Tidak Membuat DPT Secara Benar yang Berakibat Banyak Pemilih Yang Bukan Warga dari Kabupaten ……………………….. dan Tidak Memiliki NIK Kabupaten ……………………….. ikut Mencoblos, Teradu Tidak Pernah Melakukan Rapat Pleno Penetapan DPT dengan Pengadu Sebagai  Peserta Pemilukada, Teradu Sengaja Menyampaikan Undangan pada Dini Hari pada Hari Pemilihan, Teradu Sengaja Tidak Secara Benar Mensosilisasikan Pemilih Dapat Memilih Dengan Menunjukkan KTP, Pemasangan DPT oleh Teradu yang Tidak Sesuai dengan Ketentuan Perundang – Undangan, Tentang Upaya Penghilangan Hak Pilih Secara Sistematis, Terstruktur dan Massif yang dilakukan oleh Teradu, Adanya Praktek Politik Uang (Money Politics) yang Dilakukan Oleh Tim Pasangan Calon Nomor Urut 3 (tiga) dan Adanya Banyak Intimidasi yang Dilakukan oleh Tim Pasangan Calon Nomor Urut 3 (Tiga) adalah merupakan Tindakan Teradu melanggar azas Pemilu yang LUBER JURDIL terjadi Secara Sistematis, Terstruktur dan Masif  dengan Tujuan Memenangkan Pasangan Calon Nomor Urut 3 (tiga)

  1. Bahwa pelanggaran-pelanggaran (Bukti P-13) tersebut di atas yang dilakukan oleh Teradu sangat serius dan signifikan yang mempengaruhi perolehan suara dan bahkan telah mengingkari prinsip penting dari konstitusi, demokrasi dan hak-hak warga negara (Vide Pasal 18 ayat (4) dan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 serta peraturan perundang-undangan lainnya, yang tidak dibenarkan terjadi di Negara Hukum Republik Indonesia;
  2. Bahwa pelanggaran-pelanggaran yang sangat serius dan signifikan tersebut (Bukti P-14) mempunyai dampak dan pengaruh terhadap perolehan suara, menggelembungkan suara Pasangan Calon Nomor Urut 3 (tiga) dan mengurangi Pasangan Calon Nomor Urut  4 (empat), 1 (satu) dan 2 (dua), sehingga adalah patut dan wajar untuk dilakukan pemungutan suara ulang dan/atau  menetapkan perolehan suara Pasangan calon setidaknya sebagai berikut:*
NO. NAMA PASANGAN PEROLEHAN SUARA
1. ………………………………..

dan

………………………………..

5.970 suara
2. …………………………………

dan

………………………………..

2.028 suara
3. ……………………………….. dan

………………………………..

11.225 suara
4. ……………………………….. dan

………………………………..

15.390 suara

* Akumulasi perhitungan diatas adalah merupakan hasil perhitungan Untuk Nomor Urut 3 adalah dikurangi Jumlah Penduduk yang tidak memiliki KTP dan Bukan Penduduk ……………………….., akan tetapi dimobilisasi untuk ikut mencoblos pasangan Nomor Urut 3 (13.225 – 2.000 = 11.225). Sedangkan Untuk Nomor Urut 4 adalah ditambahkan dengan Undangan yang tidak disampaikan dan diberikan pada dini hari ( 8.832 + 5.706 + 852 = 15.390)

 

  1. Bahwa dengan adanya pelanggaran-pelanggaran yang serius dan signifikan sehingga dapat dikualifikasi sebagai massif, sistematis dan terstruktur yang dilakukan oleh Teradu, DKPP berwenang untuk menyatakan Teradu telah melanggar Kode Etik dan memberikan sanksi baik berupa Pemberhentian tetap, atau pemberhentian sementara atar teguran tertulis terhadap Teradu, serta membatalkan Penetapan Hasil Perolehan Suara yang Diperoleh Setiap Pasangan Calon Atas Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kabupaten ……………………….., Sesuai Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara di Tingkat Kabupaten dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Tahun 2015 Jo. Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten ……………………….. Nomor 020/Kpts/KPU.KAB.032-436631/XII/2015 tentang Penetapan Rekapitulasi Hasil Perhitungan Perolehan Suara dan Hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati ……………………….. Tahun 2015

Berdasarkan seluruh uraian di atas maka sudilah kiranya Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menyatakan dan memutuskan sebagai berikut :

 

  1. PETITUM :
  1. Menerima dan mengabulkan Pengaduan yang diajukan oleh Pengadu untuk seluruhnya;
  2. Menyatakan Para Teradu melanggar Kode Etik;
  3. Memberikan sanksi Pemberhentian tetap kepada Para Teradu;
  4. Menyatakan batal dan tidak sah Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara di Tingkat Kabupaten dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Tahun 2015 Jo. Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten ……………………….. Nomor 020/Kpts/KPU.KAB.032-436631/XII/2015 tentang Penetapan Rekapitulasi Hasil Perhitungan Perolehan Suara dan Hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati ……………………….. Tahun 2015;
  1. Menetapkan perolehan suara Pasangan calon sebagai berikut:
NO. NAMA PASANGAN PEROLEHAN SUARA
1. ……………………………….. dan

………………………………..

5.970 suara
2. ……………………………….. dan

………………………………..

2.028 suara
3. ……………………………….. dan

………………………………..

11.225 suara
4. ……………………………….. dan

………………………………..

15.390 suara

 

  1. Menetapkan Pasangan Calon Nomor Urut 4 (empat) sebagai pemenang dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten ……………………….. Tahun 2015;

ATAU

  1. Memerintahkan Teradu untuk memperbaiki Daftar Pemilih Tetap yang bermasalah atau tidak akurat untuk dimutakhirkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
  2. Menyatakan agar Komisi Pemilihan Umum Kabupaten ……………………….. melakukan Pemungutan Suara Ulang Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten ……………………….. Tahun 2015 di seluruh  Kabupaten ……………………….. dalam waktu selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sejak putusan DKPP ditetapkan;
  3. Memerintahkan Teradu mendiskualifikasi dan mencabut hak Pasangan Calon Nomor Urut 3 (tiga) sebagai Calon Peserta Pasangan Calon Pemilukada dalam pelaksanaan Pemungutan Suara Ulang Pemilukada Kabupaten ……………………….. karena terbukti telah melakukan pelanggaran ketentuan Pemilukada.
  4. Memerintahkan Penyelenggara Pemilu Kabupaten ……………………….. untuk melaksanakan Putusan ini.

 

Atau, apabila Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) berpendapat lain mohon putusan yang seadil-adilnya berdasarkan prinsip ex aequo et bono

 

Demikian Pengaduan ini  atas segenap perhatian Bapak, kami sampaikan terima kasih.

Jakarta, … Februari 2016

Hormat kami

Kuasa Hukum Pengadu

SAIFUL ANAM & PARTNERS

 

 

 

  1. (can) Saiful Anam, SH., MH.

 

Continue Reading

EKSKUSI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI DIPERTANYAKAN

JAKARTA – Ketua Umum Forum Advokat Muda Indonesia (FAMI) Zenuri Makhrodji mengatakan Mahkamah Konstitusi tak bisa hanya berharap pada asas self respect dan kesadaran hukum dari pemerintah, parlemen, dan lembaga negara untuk menjalankan putusan konstitusi. Sebab, pada kenyataannya, menurut dia, banyak putusan Mahkamah Konstitusi yang tidak dijalankan dengan baik meski putusan tersebut sudah bersifat final atau inkracht dan mengikat. “Kalau putusannya tak dianggap atau dijalankan, buat apa ada lembaga ini,”…

Link : EKSKUSI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI DIPERTANYAKAN

Continue Reading

ADVOKAT MUDA MINTA MK TEGASKAN KEWAJIBAN MEMATUHI PUTUSAN MK

Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana uji materiil UU No 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman), dan UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU Administrasi Pemerintahan), Selasa (22/11) di ruang sidang MK. Pemohon perkara teregistrasi Nomor 105/PUU-XIV/2016  tersebut adalah Forum Advokat Muda Indonesia (FAMI).

Para pemohon mengajukan uji materiil Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 47 UU MK, Pasal 29 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman, dan Pasal 7 ayat (2) huruf l UU Administrasi Pemerintahan. Menurut pemohon, pasal-pasal tersebut terkait dengan kewajiban mematuhi putusan MK.

Pasal 10 ayat (1) UU MK menyatakan,

“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk : a. Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; c. Memutus pembubaran partai politik; dan d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.

Pasal 47 UU MK menyatakan,

“Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum”;

Pasal 29 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman menyatakan,

“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk : a. Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; c. Memutus pembubaran partai politik; dan d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Pasal 7 ayat (2) huruf l UU Administrasi Pemerintahan menyatakan,

Pejabat Pemerintahan memiliki kewajiban: l. Mematuhi Putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Salah satu Pemohon, Saeful Anam, menyatakan asas putusan MK adalah res judicata (putusan hakim harus dianggap benar). Selain itu, putusan MK juga bersifat res judicata pro veritate habetur (apa yang diputus hakim harus dianggap benar dan harus dilaksanakan).

Namun, menurutnya,  fakta di lapangan Putusan MK banyak yang bersifat non-excutiable (tidak dapat dijalankan). Pemohon menilai tidak cukup apabila hanya menekankan pada asas self respect dan kesadaran hukum kepada pihak manapun, baik pemerintah, pejabat publik, perseorangan, badan hukum, dan pihak lain yang terkait untuk melaksanakan putusan MK.

“Untuk itu, perlu upaya paksa dalam usaha melaksanakan Putusan MK. Mesti tercantum secara langsung melalui pasal-pasal yang berkaitan kekuatan mengikat Putusan MK,” jelasnya dalam sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams.

Nasihat Hakim

Menanggapi permohohonan tersebut, Hakim Konstitusi Suhartoyo mengkritisi jumlah pemohon yang tidak hadir seluruhnya dalam persidangan. Menurutnya, FAMI terdiri dari 26 advokat, namun yang hadir tak sampai sejumlah itu. “Ini bisa saya maknai sebagai ketidakseriusan dalam proses permohonan. Karena anda  tidak memakai kuasa hukum sehingga semua Pemohon mesti hadir,” ujarnya.

Apabila semua pemohon tidak dapat hadir, Suhartoyo menyarankan agar permohonan diperbaiki sehingga tidak semua anggota FAMI menjadi pemohon prinsipil. “Bisa dibagi ada yang menjadi pemohon prinsipil dan ada menjadi kuasa hukum. Sehingga nanti tak semua mesti hadir dan cukup diwakilkan pada kuasa hukumnya,” imbuhnya.

Adapun Wahiduddin meminta Pemohon mempertajam legal standing-nya dengan memperjelas kerugian konstitusional yang dialami. “Misal FAMI ini apa, tujuannya apa. Kenapa bisa concern dalam hal seperti ini?” jelasnya.

Link : ADVOKAT MUDA MINTA MK TEGASKAN KEWAJIBAN MEMATUHI PUTUSAN MK

 

Continue Reading

POLEMIK AMBANG BATAS SUARA DALAM SENGKETA PILKADA

JAKARTA, GRESNEWS.COM — Sejumlah pihak mempersoalkan ketentuan ambang batas suara dalam pengajuan sengketa pemilihan kepala daerah (Pilkada) ke Mahkamah Konstitusi. Sebab adanya ketentuan itu gugatan perkara Penyelesaian Hasil Pilkada (PHP) di MK kerap digugurkan dari persoalan yang tak substantif dan hanya secara prosedural.

“Penting bagi MK untuk mempertimbangkan keadilan substantif, bukan semata keadilan prosedural,” kata kandidat doktor Hukum Tata Negara UI, Saiful Anam kepada gresnews.com, Selasa (21/2).

Saiful mengungkapkan, di dalam putusan PHP terdahulu, MK selalu mempertimbangkan keadilan substantif. Namun hal tersebut tidak lagi berlaku pada putusan PHP yang dikeluarkan MK pada tahun 2015 lalu. Alasannya, kata Saiful, MK menilai persoalan Pilkada tidak sama dengan Pemilu. Dalam sengketa hasil Pemilu, MK bisa memeriksa hasil suara jika disinyalir ada kecurangan yang dilakukan secara Terstruktur, Sistematis, dan Massif (TSM). Sementara dalam konteks sengketa Pilkada, ada aturan ketat bahwa MK baru bisa memeriksa dan memutus perkara yang dimohonkan jika selisih suara hasil Pilkada tersebut sesuai ambang batas. Saiful pun menilai hal tersebut sebagai suatu kemunduran.

“Sudah tidak ada lagi pertimbangan mengenai kecurangan yang dilakukan secara TSM. Jelas itu merupakan kemunduran. Jika bukan ke MK, ke mana lagi orang-orang yang dirugikan oleh hasil Pilkada akan mencari keadilan?” papar Saiful.

Saiful pun menyayangkan bahwa dalam beberapa perkara, ada sejumlah kasus yang sudah dinyatakan terjadi pelanggaran oleh DKPP, tapi saat perkara tersebut dibawa ke MK, MK menolak. “Ini ngeri. Keadilan prosedural lebih diutamakan ketimbang keadilan substansif,” pungkasnya.

Senada dengan Saiful, beberapa waktu lalu, Ketua DKPP sekaligus Mantan Hakim konstitusi Jimly Assiddiqie juga menyampaikan kekecewaannya terkait ketentuan ambang batas suara. Menurut Jimly, persoalan ambang batas suara sebaiknya ditiadakan. Alasannya, kedatangan orang-orang ke lembaga peradilan—dalam hal ini ke MK—haruslah dilihat sebagai upaya kanalisasi mencari penyaluran atas kekecewaan dan ketidakpuasan mereka terhadap hasil Pilkada.

“Jadi jangan ditutup oleh pembatasan itu. Biar nanti ada proses pembuktian sehingga jika ada pihak yang tidak bisa membuktikan bagaimana dia menang, ya harus dikalahkan (oleh MK-red). Begitu juga sebaliknya. Jika dia bisa membuktikan bahwa dia menang, ya dimenangkan,” kata Jimly.

Jimly menambahkan, aturan soal ambang batas suara memang dibuat dengan landasan bahwa pembuktian menang-kalahnya calon pasangan tertentu akan lebih mudah dilakukan jika selisih suaranya tidak terpaut begitu jauh. Namun demikian, kata Jimly, biarlah persoalan kalah-menang itu dibuktikan lebih lanjut di persidangan. Bagaimanapun, MK harus mampu menampung kekecewaan publik.

“Orang-orang itu kan ingin mengeluhkan keluh kesahnya. Ada yang berlebihan. Ada yang tidak punya bukti dan hanya ingin marah saja. Daripada dibiarkan meledak-ledak sehingga membakar kantor KPUD seperti di Intan Jaya, lebih baik ditangani. Sehingga tidak perlu ada pembatasan begini” papar Jimly.

Untuk diketahui, sepanjang MK menggelar sidang PHP dengan agenda mendengar keterangan termohon, nyaris seluruh termohon menyasar legal standing para pemohon agar MK menolak permohonan mereka. Dan hal yang kerap jadi sasaran empuk atas hal tersebut adalah ketentuan ambang batas suara.

“Selisih kami 12,3%. Dengan jumlah penduduk 100.993 jiwa, pasangan calon kepala daerah Kabupaten Mappi sebetulnya hanya bisa mengajukan permohonan dengan selisih suara sebesar 2%,” papar Efrem Fangohoy, Kuasa Hukum pasangan calon kepala daerah kabupaten Mappi, Papua Barat, Jumame-Yermogoin, kepada gresnews.com, Senin (20/3) lalu.

Efrem menyebut bahwa pihaknya sengaja datang ke MK demi memperjuangkan keadilan. Pun, di saat bersamaan pihaknya sadar bahwa secara prosedural perkara yang dimohonkan ke MK tidak memenuhi ketentuan ambang batas.

“Itu bukan soal bagi kami. Yang penting, kami sampaikan dulu ke MK bahwa ada pelanggaran TSM di Mappi. Siapa pun tidak akan menang kalau belum apa-apa sudah dicurangi,” sambungnya.

Terlepas dari soal kerugian-kerugian yang didapat peserta Pilkada lantaran ketentuan ambang batas, Jimly juga menyebut bahwa terkait hal tersebut MK tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Alasannya, aturan mengenai hal tersebut sudah lebih dulu diatur di dalam Pasal 158 UU Pilkada.

“Ketentuannya memang sudah dimulai oleh Undang-undang. Meskipun oleh MK lebih dibatasi lagi,” katanya. Karena itulah Jimly berharap, UU Pilkada segera kembali direvisi. Menurutnya, hal itu penting dilakukan agar MK bisa menyesuaikan diri dengan proses demokrasi yang terus berkembang, juga dengan persoalan faktual negeri ini.

“Nanti kalimat di UU tinggal diubah saja. Diganti. Karena, kalau Pilkada bukan Pemilu, berarti penyelenggaranya juga bukan KPU. Harus bikin lembaga baru lagi. Dan itu gak efisien,” pungkasnya.

Hal demikian juga disampaikan juru bicara MK Fajar Nugroho. Terlepas dari putusan hakim nanti, menurutnya, jika saat ini ada pihak-pihak yang mengharapkan MK tidak terlalu berpaku pada ketentuan ambang batas suara, maka hal yang harus dilakukan lebih dulu adalah merevisi UU Pilkada.

“Jangan MK diminta untuk melanggar konstitusi. Ibarat sebuah pertandingan, aturannya sudah disepakati lalu MK diminta jadi wasit. Nah, setelah pertandingannya digelar, ini malah wasitnya yang diminta melanggar aturan,” katanya.

Terlepas dari proses persidangan perkara yang kini tengah berlangsung di MK, untuk diketahui, berdasar hasil penelitian yang disampaikan lembaga Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif awal Maret lalu, dilihat dari ketentuan ambang batas suara, dari 50 perkara sengketa Pilkada yang masuk ke MK hanya 7 perkara yang kemungkinan besar bakal berlanjut ke tahapan pleno.

Berikut ketujuh perkara tersebut

1. Kabupaten Takalar, selisih perolehan suara pasangan calon Burhanuddin B-Natsir Ibrahim dari pesaingnya, Syamsari-Achmad Dg Se’re, sebesar 1,16 persen.

2. Kabupaten Gayo Lues, selisih perolehan suara pasangan calon Abdul Rasad-Rajab Marwan dari pasangan calon Muhammad Amru-Said Sani, sebesar 1,43 persen.

3. Kota Salatiga, selisih perolehan suara pasangan calon Agus Rudianto-Dance Ishak dari pesaingnya, Yuliyanto-Muhammad Haris, sebesar 0,94 persen.

4. Kabupaten Bombana, selisih perolehan suara pasangan calon Kasra Jaru-Man Arfah dari pesaingnya, Tafdil-Johan Salim sebesar 1,56 persen.

5. Kota Yogyakarta, selisih perolehan suara pasangan calon Imam Priyono-Achmad Fadli dari pesaingnya, Haryadi Suyut-Heroe Poerwadi, sebesar 0,59 persen.

6. Kabupaten Maybrat, selisih perolehan suara pasangan calon Karel Murafer-Yance Way dari pesaingnya, Bernard Sagrim-Paskalis Kocu, sebesar 0,33 persen.

7. Provinsi Sulawesi Barat, selisih perolehan suara pasangan calon Suhardi Duka-Kalima Katta dari pasangan calon Ali Baal-Enny Anggraeny Anwar, sebesar 0,75 persen.

Rencananya, setelah agenda sidang pemeriksaan pendahuluan selesai, MK akan menggelar sidang dengan agenda pengucapan putusan sela pada 30 Maret-5 April 2017 mendatang. Perkara-perkara yang terbukti tidak memenuhi persyaratan peraturan perundang-undangan akan langsung diputus.

“Sehingga akan diketahui perkara-perkara mana yang akan masuk ke tahap pemeriksaan selanjutnya,” kata Ketua MK Arief Hidayat, akhir Februari lalu. (Zulkifli Songyanan).

Continue Reading

ORGAN NEGARA HUKUM INDONESIA

1.      Konsep Organ Negara
a.      Hans Kelsen
memberikan definisi tentang Konsep organ Negara ditinjau dari fungsinya.[1]
Fungsi itu terbagi menjadi 2 (dua) bagian yakni sebagai menciptakan norma (norm creating) dan menjalankan norma (norm applaying). K.C. Wheare juga
membagi organ Negara dalam konstitusi dalam bentuk institusi-institusi uatama
Pemerintah, seperti legislative, ekskutif dan Yudikatif, sedangkan penentuan
komposisi dan cara pengangkatannya lembaga tersebut, seringkali diserahkan pada
hukum biasa (ordinary law).[2] Selanjutnya
beberapa pakar dan pendapat ahli berkenaan dengan konsepsi lembaga Negara pasca
amandemen konstitusi (Undang-Undang Dasar 1945 amandemen) di Indonesia
diantanya :

Prof. Dr. T. Sri
Soemantri, SH.
Beberapa
perubahan dalam UUD 1945 menurut Sri Soemantri adalah Pembatasan kekuasaan
Presiden, Pemisahan kekuasaan, Pengauran Pemerintahan Daerah, selanjutnya
mengenai Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD 1945,
kemudian dinyatakan dengan tegas bahwa Indonesia adalah Negara Hukum, adanya
lembaga-lembaga Negara baru seperti DPD, KY dan MK, kemudian DPA dilakukan
penghapusan, dan yang terakhir adalah adanya ketentuan bahwa anggaran
pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN. Akibat dari diubahnya pasal 1
tentang kedaulatan, maka MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi Negara,
dengan demikian kedudukan MPR sederajat dengan lembaga-lembaga yang lain,
seperti DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, Mahkamah Agung, Mahkamah
Konstitusi, Komisi Yudisial dan Badan Pemeriksa Keuangan.[3]

Prof. Dr. Bagir
Manan, SH., L.LM.
Dorongan
memperbaharui dan mengubah UUD 1945 sesuai dengan kenyataan bahwa sebagai
subsistem tatanan konstitusi dalam pelaksanaannya tidak berjalan sesuai dengan staatside mewujudkan Negara berdasarkan
konstitusi seperti tegaknya tatanan demokrasi, Negara berdasarkan atas hukum
yang menjadmin hal-hal seperti Hak Asasi Manusia, kekuasaan kehakiman yang
merdeka, serta keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia, yang terjadi
adalah etatisme, otoriterisme atau kediktatoran yang menggunakan UUD 1945
sebagai sandaran.[4]
Sedangkan tujuan dari adanya Amandemen UUD 1945 menurut Bagir Manan adalah Pertama, mewujudkan kembali pelaksanaan
demokrasi dalam segala peri kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, Kedua, mewujudkan kembali pelaksanaan
prinsip Negara yang berdasarkan hukum, ketiga,
pemberdayaan rakyat dibidang politik, ekonomi, social dan lain-lain, kempat, mewujudkan kesejahteraan umum
dan sebesar-besarnya kemakmuran atas dasar keadilan social bagi seluruh rakyat
Indonesia.[5]

Prof. Dr. Jimly
Asshiddiqie.
Menurut Jimly Asshiddiqie
ada beberapa hal yang melatarbelakangi adanya amandemen Undang-Undang Dasar
1945, yang salah satunya berakibat terhadap pergeseran format kelembagaan
negara, diantaranya, Pertama,
Mengenai peralihan fungsi kekuasaan untuk membentuk Undang-Undang, Kedua, perumusan pasal-pasal Hak Asasi
Manusia, Ketiga, pencantuman
ketentuan mengenai keanggotaan unsur TNI dan POLRI yang bersifat sementara, Keempat, pencantuman DPD, Kelima, perkembangan pemilihan Presiden
dan Wakil Presiden secara langsung, Keenam,
Kekuasaan Kehakiman yang mandiri, Ketujuh,
Pemisahan Kekuasaan, Kedelapan,
kurangnya  disadari pentingnya paradigm
pemikiran konseptual kenegaraan yang seharusnya melandasi perumusan perubahan
terhadap materi UUD.[6]

Prof. Dr. Moh. Mahfud
MD, SH., SU.
Menurut Mahfud
tujuan diadakannya amandemen UUD 1945 adalah agar hubungan kerja antara lembaga
Negara yang jauh lebih mencerminkan check
and balance
sehingga Negara Indonesia menjadi lebih demokratis. Presiden
dan DPR sudah diposisikan secara sejajar, dan tidak ada kooptasi dan dominasi
dari yang satu terhadap yang lain, lembaga legislative tak bisa bermain-main
membuat Undang-Undang, karena jika itu terjadi bisa diuji (dibatalkan) oleh
Mahkamah Konstitusi, untuk menjaga keluhuran martabat hakim-hakim diawasi oleh
Komisi Yudisial.[7]
Selain itu kemajuan besar terhadap UUD 1945 amandemen adalah terutama
menguatnya format dan mekanisme check and balanceoleh lembaga yudisial dan
pengaturan lebih rinci tentang perlindungan Hak Asasi Manusia.[8]

Prof. Abdul
Muktie Fadjar, SH., MS.
Beberapa alasan
dikemukakan Muktie Fadjar, diantaranya alasan
Historis
, bahwa dalam sejarahnya UUD 1945 memang didesain sifatnya hany
sementara, alasan Filosofis terdapat
percampuradukan seperti faham kedaulatan rakyat dengan faham integralistik dan
faham Negara hukum dengan faham Negara kesatuan, alasan Teoritis keberadaan konstitusi seyogyanya untuk membatasi
kekuasaan agar tidak sewenang-wenang, akan tetapi UUD 1945 sebelum amandemen
tidak mencerminkan hal tersebut, alasan
yuridis
terdapat pengaturan mengenai perubahan UUD 1945 sebagaimana Pasal
37, alasan politis praktis bahwa
secara sadar maupun tidak sadar UUD 1945 sebelum amandemen dalam praktek
politik sering menyimpang dari teks aslinya.[9]
b.      Apabila dilihat
dari aspek dasar hukum pembentukannya di Indonensia, maka terdapat beberapa
organ yang dapat dikatakan sebagai lembaga Negara, seperti yang dapat
digambarkan berikut ini :[10]
2.       Urgensi Amandemen Kelima
a.      Saya setuju dengan
Amandemen Kelima terhadap UUD 1945
b.      Alasan terhadap
urgensi
Amandemen Kelima
terhadap UUD 1945

Konstitusi
merupakan produk kesepakatan politik (resultante)[11],
sehingga diadalamnya juga berisi kepentingan-kepnetingan yang ingin dicapai pada
masanya.

Dalam
beberapa pengaturan UUD 1945 terdapat beberapa Pasal yang dari segi
pengaturannya belum jelas, sehingga perlu penegasan kembali, baik dari segi
bahasa maupun penegasan mengenai makna dan artinya.

Masih
terdapatnya konsentrasi kekuasaan yang mengakibatkan terjadinya kewenangan yang
bersifat otoriter, sehingga sangat memungkinkan adanya abuse of power[12]

Terdapat
beberapa lembaga Negara yang dari segi kewenangannya masih sangat lemah,
sehingga kedudukannya perlu ditambah untuk optimalisasi peran dan fungsinya.

Penghapusan
beberapa pasal yang bersifat konkrit, seperti lumrahnya suatu konstitusi
mengatur hal yang bersifat asas atau pokok-pokok serta yang bersifat umum dalam
suatu Negara.[13]
c.       Mekanisme Perubahan UUD 1945 di Indonesia setelah amandemen UUD 1945 tergolong rijid,[14]
hal itu didasarkan pada tingkat kesulitan untuk merubah UUD 1945. Adapun
cirri-ciri khusus konstitusi fleksibel menurut Bryce adalah : elastic,
diumumkan dan dirubah dengan cara yang sama seperti Undang-Undang, berbeda
dengan cirri-ciri pokok dari konstitusi rigid, meliputi : memiliki derajat yang
lebih tinggi dari derajat peraturan perundang-undangan yang lain dan hanya
dapat diubah dengan cara yang khusus dengan syarat-syarat yang berat.[15] Untuk
mengenai proses atau tata cara Perubahan UUD 1945, sebenarnya ada beberapa
Disertasi dari beberapa Pakar Hukum sejauh yang penulis Ketahui, diantaranya
Sri Soemantri[16],
Taufiqurrahman Sahuri[17]
dan Budiman NPD Sinaga[18],
yang pada dasarnya proses perubahan UUD 1945 dapat dilakukan melalui Pasal 37
ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 amandemen, dapat
dijelaskan diantaranya :

Usul
perubahan pasalpasal UndangUndang Dasar dapat diagendakan dalam sidang Majelis
Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurangkurangnya 1/3 dari jumlah
anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Setiap
usul perubahan pasalpasal UndangUndang Dasar diajukan secara tertulis dan
ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya.

Untuk
mengubah pasalpasal UndangUndang Dasar, Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat
dihadiri oleh sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan
Rakyat.

Putusan
untuk mengubah pasalpasal UndangUndang Dasar dilakukan dengan persetujuan
sekurangkurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota
Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Khusus
mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan
perubahan.
Dengan demikian
menjadi jelas mengenai tata cara dan prosedur mengenai perubahan UUD 1945.
d.      Beberapa yang
perlu dirubah

serta keuntungan dan kerugian apabila dilaksanakan atau tidak dilaksanakan
Kelima terhadap UUD 1945, diantaranya :
 No.
JENIS
KEUNTUNGAN
KERUGIAN
KETERANGAN
1.
Penguatan system Presidensial
Sehingga
Presiden dapat melaksanakan kebijakan dengan leluasa, dengan tidak merasa
takut dengan DPR
Dapat menambah
ayat dalam Bab III UUD 1945
2.
Penguatan DPD
Fungsi
dan peran DPD dapat optimal sebagai bagian dari perwakilan rakyat
Penambahan Kewenangan
3.
Penggantian Presiden
Antisipasi terhadap macetnya
penggantian Presidendalam masa jabatannya (Pasal 8 ayat (3))
Lebih
spesifik dapat terjadi jika belum ada Presiden/Wapres terpilih pada saat
habisnya tenggat pengisian kedua jabatan tersebut
4.
Penegasan Kewenangan KY
Jangkauan
objek yang diawasi dan objek pengawasannya
Dipertegas
5.
Penambahan kewenangan MK
Constitutional
complain dan constitutional question
Penambahan
kewenangan
6.
Anggaran Pendidikan 20%
Apabila dirasa
memberatkan, dan tidak sesuai dengan perkembangan
Dihapus/Diganti
3.       Prinsip Demokrasi
a.      Dalam buku Jimly
Asshiddiqie yang berjudul “Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia”[19]
menyebutkan terdapat prinsip pokok sebagai pilar-pilar utama yang menyangga
Negara modern yang layak menyandang gelar sebagai Negara hukum, diantanya :
1.
Supremasi
Hukum (supremacy of law)
2.
Persamaan
dalam hukum (equality before the law)
3.      Asas legalitas (due process of law)
4.
Pembatasan
kekuasaan
5.      Organ-organ ekskutif Independen
6.
Peradilan
bebas dan tidak memihak
7.
Peradilan
tata usaha Negara
8.
Peradilan
Tata Negara (constitutional court)
9.
Perlindungan
Hak Asasi Manusia
10.  Bersifat
demokratis (democratiche rechtsstaat)
11.  Berfungsi
sebagai sarana mewujudkan tujuan berbegara (welfare
state)
12.  Transparansi dan
kontrol sosial
Adapun maksud
dari organ-organ ekskutif independen
tersebut adalah independen tersebut dalam artian lembaga ekskutif tersebut
bebas dari kekuasaan ekskutif, independensi lembaga ekskutif tersbut sangat
penting untuk menjamin demokrasi, karena fungsinya dapat disalahgunakan oleh
Pemerintah untuk melanggeng kekuasaan.[20]
Contoh lembaga-lembaga ekskutif yang independen seperti adalah Bank Central,
organisasi tentara, organisasi kepolisian dan kejaksaan, selain itu juga
lembaga-lembaga baru seperti Komnas HAM, KPU, Ombudsman, Komisi Penyiaran dan
sebagainya.
Sedangkan
prinsip-prinsip Negara hukum menurut ahli yang lain diantaranya :

Stahl[21]
1.
Hak
asasi manusia
2.
Pemisahan
atau pembagian kekuasaan
3.
Pemerintah
berdasarkan peraturan-peratuan
4.
Peradilan
administrasi dalam perselisihan

AV. Dicey[22]
1.
Supremacy
of law
2.
Equlity
before the law
3.
Terjaminnya
HAM

Konsep Rule of
Law[23]
1.
Konstitusionalisme
2.
Badan
kehakiman yang independen
3.
Pemilu
yang bebas
4.
Kebebasan
menyatakan pendapat
5.
Kebebasan
berserikat dan berorganisasi
6.
Civic
education

Henry B. Mayo[24]
1.
Menyelesaikan
perselisihan antara damai dan sukarela melembaga
2.
Menjamin
terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang sedang
berubah
3.
Menyelenggarakan
pergantian pemimpin secara teratur
4.
Membatasi
pemakain kekerasan secara minimum
5.
Menganggap
wajar keanekaragaman
6.
Menjamin
tegaknya keadilan

Miriam Budiardjo[25]
1.
Pemerintahan
yang bertanggung jawab
2.
System
perwakilan yang dipilih melalui pemilu
3.
Adanya
partai politik
4.
Pers
dan media massa yang bebas menyatakan pendapat
5.
System
peradilan yang bebasuntuk menjamin HAM

Nomokrasi Islam (Muhammad
Tahir Azhari)[26]
1.
Prinsip
kekuasaan sebagai amanah
2.
Prinsip
musyawarah
3.
Prinsip
keadilan
4.
Prinsip
persamaan
5.
Prinsip
pengakuan dan persamaan terhadap HAM
6.
Prinsip
peradilan bebas
7.
Prinsip
perdamaian
8.
Prinsip
kesejahteraan
9.
Prinsip
ketaan rakyat

International
Commission of Jurist
1.
Keamanan
pribadi harus dijamin
2.
Tidak
ada hak-hak fundamental dapat ditafsirkan
3.
Penjaminan
terhadap kebebasan mengeluarkan pendapat
4.
Kehidupan
pribadi orang harus tidak dilanggar
5.
Kebebasan
beragama harus dijamin
6.
Hak
untuk mendapatkan pengajaran
7.
Hak
untuk berkumpul dan berserikat
8.
Peradilan
bebas dan tidak memihak
9.
Kebebasan
memilih dan dipilih dalam politik

Negara Hukum
Indonesia (Azhari)[27]
1.
Hukumnya
bersumber pada Pancasila
2.
Berkedaulatan
rakyat
3.
System
konstitusi
4.
Persamaan
kedudukan dalam hukum dan pemerintahan
5.
Kekuasaan
kehakiman yang independen
6.
Pembentuk
UU adalah Presiden bersama DPR
7.
Dianutnya
system MPR
Pendapat saya
terhadap beberapa perkembangan dan pendapat dari ahli mengenai Negara hukum
pada intinya menginginkan adanya tujuan dan fungsi yang lebih baik, pada
dasarnya konsep teoritis demokrasi menawarkan prinsip-prinsip umum untuk
menjalankan pemerintahan yang baik, yaitu pemerintahan senantiasa dalam kontrol
dan partisipasi masyarakat.[28]
b.      Lembaga Negara
yang melakukan fungsi penegakan hukum diantaranya :

Kepolisian
Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di
bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakkan hukum,
perlindungan, pengayoman d
an pelayanan kepada masyarakat. Kepolisian
Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang
meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya
hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat,
serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia.[29]
Kinerja lembaga
ini cukup memprihatinkan, hal itu dikarenakan kinerja yang ditunjukkan tidak
cukup signifikan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.

Kejaksaan
Kejaksaan R.I.
adalah lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara, khususnya di bidang
penuntutan. Sebagai badan yang berwenang dalam penegakan hukum dan keadilan,
Kejaksaan dipimpin oleh Jaksa Agung yang dipilih oleh dan bertanggung jawab
kepada Presiden.[30]
Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan Negeri merupakan kekuasaan
negara khususnya dibidang penuntutan, dimana semuanya merupakan satu kesatuan
yang utuh yang tidak dapat dipisahkan. Kinerja Kejaksaan juga kurang begitu
signifikan dalam melakukan pembongkaran terhadap perkara-perkara besar yang ada
di Indonesia

Kehakiman
Perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah membawa
perubahan dalam kehidupan ketatanegaraan khususnya dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman.[31]
Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan kehakiman dilakukan
oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan
militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi. Kinerja Badan peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung tidak
menunjukkan kinerja yang baik, akan tetapi lembaga Mahkamah Konstitusi sangat
memberikan contoh dan sangat diharapkan oleh masyarakat.

Lembaga Penegak
Hukum Lainnya
Lembaga-lembaga
Negara lain yang ruang lingkup fungsinya sebagai aparat penegak hukum, akan
tetapi bersifat khusus terhadap beban kerja yang tidak bersifat umum. Lembaga
penegak hukum seperti ini seperti KPK, Komnas HAM, Komisi Informasi,Ombudsman
dan lain sebagainya. Mengenai kinerja lembaga baru ini dapat dikatakan
menunjukkan angka yang signifikan. Mengingat lembaga ini menunjukkan
eksistensinya dalam mewujudkan penegakan hukum yang sesuai dengan kaidah-kaidah
keadilan masyarakat.
c.       Secara logika
hukum Indonesia belum menerapkan rule of
law
dengan baik, mengingat secara filosofis Indonesia menganut system
Negara berdasarkan Hukum, untu itu seharusnya dalam segala bidang mampu
memberikan rasa keadilan dalam masyarakat, kemudian secara yuridis normatif
Indonesia merupakan Negara yang berdasarkkan hukum, dengan demikian harusnya
rul of law tumbuh dan berkembang secara pesat di Indonesia, dikarenakan sudah
tertuang dalam UUD 1945. Kemudian secara sosiologis belum mencerminkan
signifikansi terhadap penerapan rule of law secara baik, banyak beberapa kasusu
baik korupsi kolusi dan nepotisme yang dilakukan aparat dan pejabat Negara
mencerminkan ketidak mampuan atau rendahnya rasa dan cinta tanah air dan
bangsa, sehingga memberikan efek buruk terhadap penegakan hukum di Indonesia.
Kemudian secara politis sebenarnya Indoensia mengakui adanya persamaan didepan
hukum, akan tetapi dalam tataran pelaksanaan masih terdapat beberapa orang atau
oknum yang diberlakukan secara berbeda di depan hukum , dikarenakan hal
tertentu, dapat berupa memiliki jabatan, harta atau kedekatan kerabat dan lain
sebagainya.
4.      A.B. Kusuma
dalam bukunya “Sistem Pemerintahan
Pendiri Bangsa versus Sistem Presidensial orde reformasi
” menyatakan bahwa
Presiden Susilo bambang Yudhoyono tidak melaksanakan system Presidensial murni
dan konsekuen[32].
Hal itu tentunya didukung dengan beberapa hal yang terjadi dilapangan ketika
Presiden SBY mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang masih merasa ketakutan
terhadap lembaga parlemen. Dengan demikian tentunya sangat disayangkan
mengingat Presiden secara langsung dipilih oleh rakyat, akan tetapi dalam
menjalankan pemerintahannya Preisden SBY seakan-akan menjalankan pemerintahan
dalam system Pemerintahan Parlementer, yang masih harus disetir oleh Parlemen.
Diketahui bersama bahwa secara
teori sistem pemerintahan  terbagi menjadi 2 (dua), yaitu sistem
pemerintahan parlementer (parliamentary system) dan sistem pemerintahan
presidensial (presidential system ). Walaupun dalam tatanan
implementasinya ada sistem pemerintahan yang bersifat campuran (hybrid
system)
. Pada prinsipnya sistem pemerintahan itu mengacu pada bentuk
hubungan antara lembaga legislatif dengan lembaga eksekutif.[33]
Pemberlakuan sistem pemerintahan terhadap suatu negara tergantung pada
kebutuhan, faktor sejarah dan kondisi sosio-politik suatu negara.[34]
Sistem parlementer adalah sistem yang menekankan parlemen sebagai subjek
pemerintahan, sementara sistem presidensial menekankan peran presiden
(eksekutif) sebagai subjek pemerintahan.[35]
Keduanya memiliki latar belakang berbeda yang menyebabkan berbeda pula dalam
norma dan tatacara penyelenggaraan pemerintahannya. Karakter pemerintahan
parlementer adalah pada dasarnya dominannya posisi parlemen terhadap eksekutif.
sementara karakter sistem presidensial adalah pada dominannya peran presiden
dalam sistem ketatanegaraan. Sistem parlementer dan sistem presidensial adalah
dua hal yang berbeda, bukan merupakan tesis ataupun antitesa yang melahirkan
sintesa.[36]
Terkhusus untuk indonesia
sendiri, menjadi suatu perdebatan sampai sekarang dikalangan para pakar hukum
tata negara dan politik bahwa sistem pemerintahan indonesia menganut sistem
pemerintahan yang berbentuk apa. Hanta yuda, mengemukakan bahwa ketika UUD 1945
belum diamandemen, corak pemerintahan indonesia sering dikatakan sebagai sistem
semipresidensial. Namun dalam prakteknya sistem pemerintahan indonesia justru
lebih mendekati corak parlementer.[37]
Dan setelah amandemen UUD 1945 sistem pemerintahan indonesia menjadi sistem
presidnesial murni.[38]
Sedangkan Bagir manan menyebutkan bahwa sistem pemerintahan indonesia menganut
sistem pemerintahan presidensial karena berpendapat pertanggungjawaban presiden
kepada MPR bukan merupakan pertanggungjawaban kepada badan legeslatif. dalam
hal ini menambahkan, petanggungjawaban Presiden kepada MPR tidak boleh
disamakan dengan pertanggungjawaban kabinet  kepada parlemen (dalam sistem
parlementer).[39]
Berbeda pendapat dengan apa
yang dijelaskan Sri Soemantri bahwa sistem pemerintahan indonesia menganut
sistem campuran. Karasteristik campuran didasarkan pada kesimpulan yang ditarik
dari penjelasan UUD 1945, yaitu (1) presiden dipilih dan diangkat oleh MPR, (2)
Presiden mandataris MPR, (3) MPR pemegang kekuasaan negara tertinggi, (4)
Presiden tunduk dan bertanggungjawab kepada MPR, dan (5) Presiden untergroentet
kepada MPR. jadi esensi dari kelima hal itu, presiden sebagai badan eksekutif
mendapat pengawasan langsung dari badan legeslatif. apabila eksekutif mendapat
pengawasan langsung dari badan legeslatif, maka hal itu menunjukkan adanya segi
pemerintahan parlementer.[40]
Disamping sistem pemerintahan parlementer,  UUD 1945 juga mengandung
anasir sistem presidensial. Anasir itu dapat dilihat dari adanya ketentuan
bahwa presiden merupakan pemegang kekuasaan pemrintahan. Dengan posisi seperti
begitu, UUD 1945 menyatakan bahwa menteri-menteri diangkat dan diberhentikan
oleh presiden. Selain kedua hal itu, dalam sistem ketatanegaraan indonesia, di
samping sebagai kepala pemerintahan yang mempunyai kekuasaan riil, presiden
juga sebagai kepala negara (nominal head of state).[41]
Sedangkan Jimly asshiddiqie,
mengemukakan bahwa setelah UUD 1945 diubah maka dalam hal ini, yang lebih dekat
dengan sistem yang dipakai di indonesia  adalah sistem Amerika Serikat,
yaitu sistem presidensial murni.[42]
Sedangkan ditambahkan lagi bahwa sistem pemerintahan Republik Indonesia
bersadarkan UUD 1945 yang disahkan PPKI pada 18 Agustus 1945, juga menganut
sistem campuran.[43]
Tetapi pada pokoknya, sistem yang dianut adalah sistem presidensial, tetapi
presiden ditentukan tunduk dan bertanggungjawab kepada lembaga MPR yang terdiri
atas anggota DPR dan ditambah utusan-utusan golongan fungsional.[44]
Perdebatan dikalangan
akademisi terhadap sistem pemerintahan indonesia itu terjadi diakibatkan bapak
pendiri bangsa ini yang mengiingkan memakai sistem pemerintahan yang bersifat
“Sistem sendiri” sesuai dengan usul Dr. Soekiman, BPUPK dari Yogyakarta, dan
Prof. Soepomo Ketuan Panitia Kecil BPUPK. Pada rapat panitia hukum dasar,
bentukan BPUPKI, tanggal 11 Juni 1945 dicapai kesepakatan bahwa indonesia tidak
akan menggunakan sistem parlementer seperti inggris karena karena merupakan
penerapan dari pandangan individualisme. Sistem tersebut juga tidak mengenal
pemisahan kekuasaan yang tegas. Antara cabang legisltatif dan eksekutif
terdapat fusion of power karena kekuasaan eksekutif sebenarnya adalah
„bagian“ dari kekuasaan legislatif. Perdana Menteri dan para menteri sebagai
kabinet yang kolektif adalah anggota parlemen.  Sebaliknya, sistem
Presidensial dipandang  tidak cocok untuk Indonesia yang baru merdeka
karena sistem tersebut mempunyai tiga kelemahan. Pertama, sistem presidensial
mengandung resiko konflik berkepanjangan antara legislatif – eksekutif. Kedua,
sangat kaku karena presiden tidak dapat diturunkan sebelum masa jabatannya
berahir. Ketiga, cara pemilihan “winner takes all” seperti
dipraktekkan di Amerika Serikat bertentangan dengan semangat bemokrasi.[45]
Hemat penulis, bahwa sistem pemerintahan
indonesia setelah reformasi telah mengalami purifikasi sangat menonjol. Saat
ini sistem pemerintahan indonesia cenderong kepada sistem pemerintahan yang
bersifat presidensial. Ini dapat dilihat dari beberapa ketentuan didalam UUD
NRI 1945 yang telah mengalami purifikasi. Ada 2 (dua) Pasal dalam UUD NRI 1945
yang mejadi dasar  (basic) sehingga indonesia dapat dikatakan
telah menganut sistem presidensial. Pertama, akibat diubahya sistem
kedaulatan MPR mejadi sistem Kedaulatan Rakyat, dimana sesuai Pasal 1 ayat (2)
UUD NRI 1945 (Pasca amandemen)[46]
menyebabkan sistem demokratisasi dinegara ini lebih baik. Terbukti pada tahun
2004 menjadi sejarah dalam sistem ketatanegaraan indonesia dimana
dilangsungkannya pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat. Ini akibat
dari hasil amandemen UUD NRI Tahun 1945 Pasal 6A ayat (1) “Presiden dan
Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.”

SBY-JK merupakan Presiden pertama yang merasakan hasil amanedem tersebut dengan
berhasil menjadi Presiden Periode 2004-2009 dan kembali terpilih SBY-Boediono
sebagai Presiden 2009-2014. Kedua, kita dapat melihat indonesia
menganut sistem presidensial pada Pasal 4 ayat (1) “Presiden Republik
Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar 1945.

Sebenarnya Pasal ini bersifat tetap. Baik sebelum amandemen UUD NRI Tahun 1945
Pasal ini tidak mengalami perubahan. Tetapi menurut hemat penulis, Pasal ini
tetap memberikan sebuah pengertian bahwa di indonesia hanya mengenal sistem
eksekutif tunggal (single executive), yaitu antara kepala pemerintahan
(chief executive) dan kepala negara (head of State) sama
yaitu seorang Presiden sehingga sistem pemerintahan indonesia cenderong kepada
sistem pemerintahan yang bersifat Presidensial[47]
Sebenarnya masih banyak
Pasal-pasal didalam UUD NRI 1945 yang membenarkan bahwa sistem pemerintahan
indonesia lebih cenderong kepada sistem pemerintahan presidensial setelah
amandemen UUD NRI 1945. Seperti bagaimana jabatan presiden bersifat tetap (position
is fixed)
. Pasal 7 “ Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan
selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang
sama, untuk satu kali masa jabatan
.” Perlu dipahami bahwa dalam sistem
presidensial dimana presidennya dipilih secara langsung oleh rakyat, secara
tidak langsung legitimasi yang diberikan juga sangat kuat (strong
legitimacy)
, sehingga dalam proses penjatuhannya juga harus didasarkan
pada keinginan rakyat semata atau diasarkan pada masa jabatan presiden telah
berakhir sesuai amanat konstitusi atau praktek ketatanegaraannya. Tetapi dalam
praktek sistem pemerintahan presidensial juga membenarkan adanya penjatuhan
presiden dalam masa jabatan, tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang telah
ditentukan, yaitu apabila Presiden dan Wakil Presiden tersebut melakukan sebuah
pelanggaran hukum yang secara tegas diatur dalam konstitusi dan inilah dikenal
dengan nama Pemakzulan (impechment)[48]
Khusus diindonesia sebelum dan
setelah amandemen UUD 1945 ada sebuah praktek ketatanegaraan yang berbeda dalam
proses pemberhentian Presiden dalam masa jabatan. Ketika Orde baru, kedudukan
Presiden sebagai presiden sangatlah kuat dan sangat sulit untuk dijatuhkan.[49]
Ini dapat dilihat dari bunyi UUD 1945 “Jika Presiden mangkat, berhenti,
atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya,ia diganti oleh
Wakil Presiden sampai habis waktunya”
. Dalam Penjelasan Undang-Undang
Dasar 1945 angka VII Alinea ketiga, menentukan : “ Jika Dewan menganggap
bahwa Presiden sungguh melanggar haluan negara yang telah ditetapkan oleh
Undang-Undang Dasar atau oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, maka majelis itu
dapat diundang untuk persidangan istimewa agar supaya bisa meminta
pertanggungjawaban Presiden.”
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan
Sidang Istimewa ini diatur dalam ketetapan Majelis Permuswaratan Rakyat Nomor
III Tahun 1978 Jo. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No.VII Tahun 1973.
Jadi, berdasarkan ketentuan tersbut, Presiden dapat diberhentikan dalam masa
jabatannya karena alasan “Presiden sungguh melanggar haluan negara yang telah
ditetapkan oleh Undang-Undang Dasar atau oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Tetapi persoalannya apakah tindak pidana dapat dianggap sebagai salah satu
pelanggaran terhadap haluan negara sebagaimana dimaksud dalam penjelasan UUD
1945 dan Majelis Permusyawaratan rakyat.[50]
Ini berbeda setelah Amandemen
UUD 1945 dimana sistem Pemberhentian Presiden dalam masa jabatannya telah
diubah dan diperbaruhi.[51]
Saat ini untuk memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden sangatlah sulit
karena harus melalui beberapa tahap yaitu melalui Usul Dewam Perwakilan Rakyat
(DPR) apabila menganggap Presidan dan/Wakil Presiden Melakukan Pelanggaran
Hukum yang berupa Penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak
pidana  berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti
tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/Wakil Presiden, maka dapat
mengajukan usul kepada MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) untuk diputus
apakah Presiden Melanggar haluan negara ataukah tidak. Tetapi sebelum itu DPR
harus meminta kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili dan memutus
DPR tersebut.[52]
Tetapi menurut penulis bahwa pemberhentian Presiden dan/Wakil Presiden saat ini
untuk dipraktekkan diindonesia sangatlah sulit walaupun didalam Konstitusi ada
yang mengaturnya. Ada beberapa alasan saya. Pertama, Penafsiran
terhadap makna pelanggaran hukum tersebut yang diatur dalam UUD NRI 1945
masihlah abstrak. Kedua, Sistem pemberhentian presiden yang
dikehendaki oleh konstitusi yang rumit sehingga sangat sulit terjadi
pemberhentian Presiden dalam masa jabatan. Ketiga, konstitusi telah
mengamanahkan dengan jabatan  tetap 5 (lima) tahun untuk Presiden
dan/Wakil Presiden. Keempat, dipilihnya sistem pemerintahan yang lebih
cenderong kepada Presidensial sebagai sistem pemerintahan indonesia dimana
Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat, maka secara tidak langsung maka
tidak lembaga yang dapat menjatuhkan Presiden secara langsung kecuali rakyat
yang memilihnya.
Kembali kepada sistem
pemerintahan. Dibandingkan dalam sistem pemerintahan parlementer, kepala
pemerintahan (chief executive) cenderung mendapat tekanan politis dari
Parlemen, sehingga apabila kepala pemerintahan (chief excecutive)
berbeda pendapat dengan Parlemen maka ancaman Mosi tidak percaya selalu
dilontarkan oleh parlemen terhadap kepala pemerintahan yaitu perdana menteri,
sehingga jalannya roda pemerintahan dalam sistem parlementer relatif terganggu
akibat seringnya ganti-ganti kepala pemerintahan akibat perdana menterinya
berbeda pendapat dengan parlemen.
Selanjutnya dalam Sistem
Presidensial  Presiden yang menentukan sendiri Kabinet yang dipimpinnya.
Dalam sistem pemerintahan indonesia demikian juga dimana dalam UUD NRI Tahun
1945 Pasal 17 ayat (2) “ Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan
oleh Presiden.”
Sama halnya dengan beberapa Pasal dalam UUD 1945 bahwa
Pasal ini bersifat tetap, tidak ada perubahan dari sebelum amandemen sampai
sekarang. Dibawah ini akan dapat dilihat sejauhmana perbandingan Kewenangan dan
Kedudukan yang menguatkan Posisi Presiden sebagai Pemegang kekuasaan Eksekutif
dan Posisi DPR Sebagai Pemegang Kekuasaan Legeslasi diindonesia.
Kewenangan  dan
Kedudukan Presiden dan DPR menurut UUD NRI Tahun 1945 (setelah amandemen)
No.
PRESIDEN
DPR
RI
1.
  • Pasal 4 Ayat (1) “ Presiden
    Republik Indonesia memegang Kekuasaan Pemerintahan
    menurut
    Undang-Undang Dasar.
  •  Pasal 7C “Presiden tidak
    dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat
    ”.
2.
  • Pasal 5 Ayat (1) “ Presiden
    berhak mengajukan rancangan undang- undang
    kepada Dewan Perwakilan
    Rakyat.
  • Pasal 5 Ayat (2) “Presiden
    menetapkan peraturan pemerintah
    untuk menjalankan undang-undang
    sebagaimana mestinya
  • Pasal 11 Ayat (1) “ Presiden
    dengan Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan
    perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.
  • Pasal 11 Ayat (2) “Presiden
    dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat
    yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban
    keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan
    undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
3.
  • Pasal 7 “Presiden dan
    Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun
    , dan sesudahnya
    dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali
    masa jabatan.
  • Pasal 13 Ayat (2) “Dalam hal
    mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan
    Rakyat
    .
4.
  • Pasal 10 “ Presiden
    memegang  kekuasaan yang tertinggi
    atas Angkatan Darat,
    Angkatan laut dan  Angkatan Udara.
  •  Pasal 20 Ayat (2) “Setiap
    rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat
    dan
    Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
5.
  • Pasal 11 Ayat (1) “ Presiden
    dengan Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan
    perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.
  • Pasal 11 Ayat (2) “Presiden
    dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat
    yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban
    keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan
    undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
  • Pasal 20A Ayat (1) “Dewan
    Perwakilan Rakyat memiliki fungsi
    legislasi, fungsi anggaran, dan
    fungsi pengawasan.”
  • Pasal 20A Ayat (2) “Dalam
    melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain
    Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak
    interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat
    .
  • Pasal 20 Ayat (3) “Selain hak
    yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, setiap
    anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak
    mengajukan pertanyaan,
    menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas.
6.
  • Pasal 12 “Presiden
    menyatakan keadaan bahaya
    . Syarat-syarat dan akibatnya keadaan
    bahaya ditetapkan dengan undang-undang.
  •  Pasal 21 “Anggota
    Dewan Perwakilan Rakyat berhak
    mengajukan usul rancangan
    undang-undang”.
7.
  • Pasal 13 Ayat (1) “ Presiden
    mengangkat duta dan konsul.
  • Pasal 13 Ayat (2) “Dalam hal
    mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan
    Rakyat
    .
  •  Pasal 22 Ayat (2)
    “Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan
    Rakyat
    dalam persidangan yang berikut
8.
  • Pasal 14 Ayat (1) “Dalam hal
    mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan
    Rakyat
    .
  • Pasal 14 Ayat (2) “Presiden
    memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan  pertimbangan
    Dewan Perwakilan Rakyat.
  • Pasal 23 Ayat (3) “Apabila Dewan
    Perwakilan Rakyat tidak menyetujui rancangan anggaran pendapatan dan belanja
    negara
    yang diusulkan oleh Presiden, Pemerintah menjalankan Anggaran
    Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang lalu.
9.
  • Pasal 15 “Presiden memberi
    gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan yang diatur dengan
    undang-undang.
  •  Pasal 23E Ayat (2)
    “Hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada Dewan Perwakilan
    Rakyat,
    Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
    sesuai dengan kewenangannya
10.
  • Pasal 16 “Presiden
    membentuk suatu dewan pertimbangan
    yang bertugas memberikan nasihat
    dan pertimbangan kepada Presiden, yang selanjutnya diatur dalam
    undangundang.
  •  Pasal 23F Ayat (1)
    “Anggota Badan Pemeriksa Keuangan dipilih oleh Dewan Perwakilan
    Rakyat
    dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah dan
    diresmikan oleh Presiden.
11.
  • Pasal 17 Ayat (2)
    “Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
  •  Pasal 24A Ayat (3) “Calon
    hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat
    untuk
    mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung
    oleh Presiden.
12.
  • Pasal 20 Ayat (2) “Setiap
    rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden
    untuk mendapat persetujuan Bersama
    .
  • Pasal 24B Ayat (3)“ Anggota
    Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan
    Dewan Perwakilan Rakyat.”
13.
  • Pasal 22 Ayat (1) “Dalam hal
    ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan
    pemerintah sebagai pengganti undang-undang.”
  •  Pasal 24C Ayat (3)
    “Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi
    yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang
    oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan
    tiga orang oleh Presiden.
14.
  • Pasal 23F Ayat (1) “Anggota
    Badan Pemeriksa Keuangan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan
    memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah dan diresmikan
    oleh Presiden.
15.
  • Pasal 24A Ayat (3) “Calon
    hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat
    untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai
    hakim agung oleh Presiden
    .
16.
  • Pasal 24B Ayat (3)“ Anggota
    Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden
    dengan
    persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”.
17.
  • Pasal 24C Ayat (3) “Mahkamah
    Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan
    oleh Presiden
    , yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah
    Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh
    Presiden.
5.      Objectum litis dikenal dengan istilah objek
perkara atau objek sengketa. Dalam perkara yang menjadi kewenangan pengadilan
di dibawah Mahkamah Agung memiliki objek perkara atau objectum litis yang berbeda-beda.[53]
Untuk perkara “sengketa kewenangan lembaga Negara yang
dikewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar” (SKLN), objectum litis-nya
adalah kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar. Jika terdapat
sengketa kewenangan yang bukan kewenangan yang diberikan Undang-Undang Dasar
(UUD), maka bukan menjadi kewenangan MK untuk mengadilinya. Jika sampai pekara
tersebut dimasukkan, maka hakim konstitusi harus menyatakan tidak berwenang.
Dalam putusan mengenai perkara SKLN, MK pernah membuat pertimbangan bahwa
kewenangan lembaga negara tidak cukup hanya dilihat secara tekstual saja, akan
tetapi kewenangan implisit dan kewenangan yang diperlukan (necessary and proper) untuk melaksanakan kewenangan pokok yang
pengaturannya dapat saja dimuat dalam undang-undang. (Putusan MK No.
004/SKLN-IV/2006). Tidak terpenuhinya objectum litis, menjadikan sebuah perkara
akan diputus tidak dapat diterima oleh Mahkamah Konstitusi, karena tidak
memenuhi syarat pemohon berhak mengajukan permohonan (legal standing).
Subjectum litis lebih
dikenal sebagai pihak-pihak berperkara atau bersengketa. Untuk perkara Sengketa
Kewenangan Lembaga Negara (SKLN), lembaga negara yang dapat menjadi pemohon
atau termohon dalam perkara SKLN sebagaimana lebih rinci sudah dijabarkan dalam
PMK, yaitu: DPR, DPD, MPR, Presiden, BPK, Pemda, dan lembaga negara lain yang
kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. (Pasal 2 ayat (1) PMK No. 8/PMK/2006).
Oleh karena itu untuk dapat memenuhi syarat subjectum litis-nya untuk membubarkan
partai politik adalah enam lembaga negara diatas dan lembaga negara lain yang
kewenangannya diberikan UUD 1945. Sebagaimana syarat objectum litis
diatur dalam peraturan perundang-undangan, maka begitu pula jika subjectum
litis
berdasarkan jenis perkara tidak terpenuhi, maka menjadikan sebuah
perkara diputus tidak dapat diterima oleh Mahkamah Konstitusi, karena permohon
tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan (legal standing).[54]
Objectum litis sengketa
kewenangan lembaga negara, akan membatasi siapa pihak yang dapat menjadi
pemohon dan termohon didepan persidangan Mahkamah Konstitusi. Kewenangan
lembaga negara yang dapat menjadi objek sengketa hanyalah menyangkut kewenangan
yang diberikan oleh UUD 1945 kepada lembaga negara tertentu. Oleh karenanya
tidaklah tiap lembaga negara, yang memenuhi kriteria sebagai organ, badan atau
lembaga negara yang menjalankan fungsi penyelenggaraan negara dan pemerintahan,
yang bersengketa dengan lembaga negara lain dapat dengan sendirinya menjadi
pihak dalam sengketa kewenangan dimaksud. Jikalau kita meneliti UUD 1945
setelah perubahan, dapat dinventarisasi 28 lembaga negara yang disebut secara
eksplisit maupun secara tidak langsung disebut tetetapi kemudian diperintahkan
akan diatur dalam undang-undang. Menurut Jimly Asshidiqie, ada 28 lembaga
negara, organ atau jabatan yang disebut dalam UUD 1945 tetapi
kewenangannya  dirujuk akan diatur lebih
lanjut, atau lembaga negara yang diatur secara jelas kewenangannya dalam UUD
1945 maupun yang sekedar disebut saja,yaitu :
  1. Majelis
    Permusyawaratan Rakyat.(MPR).
  2. Dewan Perwakilan
    Rakyat (DPR).
  3. Dewan Perwakilan
    Daerah (DPD).
  4. Presiden.
  5. Wakil Presiden.
  6. Dewan Pertimbangan
    Presiden.
  7. Kementerian Negara.
  8. Duta.
  9. Konsul.
  10. Pemerintahan Daerah
    Propinsi, yang mencakup
  11. Jabatan Gubernur.
  12. DPRD Propinsi
  13. Pemerintahan Daerah
    Kabupaten, yang mencakup
  14. Jabatan Bupati
  15. DPRD Kabupaten
  16. Pemerintahan Daerah
    Kota, yang mencakup
  17. Jabatan Walikota
  18. DPRD Kota.
  19. Komisi Pemilihan
    Umum)KPU), yang akan diatur lebih lanjut dalam undang-undang.
  20. Bank Sentral, yang
    akan diatur lebih lanjut dalam undang-undang.
  21. Badan Pemeriksa
    Keuangan (BPK).
  22. Mahkamah Agung (MA)
  23. Mahkamah Konstitusi
    (MK).
  24. Komisi Yudisial.(KY)
  25. Tentara Nasional
    Indonesia(TNI).
  26. Kepolisian Negara
    Republik Indonesia.
  27. Pemerintah Daerah
    Khusus atau istimewa.
  28. Kesatuan Masyarakat
    hukum adat.[55]
      
Meskipun disebut dan
diatur dalam UUD 1945, lembaga negara yang memiliki legal standing  untuk dapat
menjadi pemohon sengketa kewenangan lembaga negara didepan MK, haruslah secara
eksplisit bahwa kewenangan organ konstitusi tersebut mendapat kewenangannya
tersebut dari UUD 1945. Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi dalam
perkara  Nomor    /PUU-IV/2006, yang kemudian diadopsi sebagai
syarat legal standing dalam pasal 3 Peratura
n Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006, ditetapkan tiga syarat untuk legal standing tersebut yaitu :
1.
Pemohon adalah lembaga negara yang menganggap kewenangan
konstitusionalnya diambil, dikurangi, dihalangi, diabaikan, dan/atau dirugikan
oleh lembaga negara yang lain.
2.
Pemohon harus mempunyai kepentingan langsung terhadap
kewenangan yang dipersengketakan.
3.
Termohon adalah lembaga negara yang dianggap telah
mengambil, mengurangi, menghalangi, mengabaikan, dan/atau merugikan pemohon.[56]
Syarat  angka 3 diatas, dapat ditafsirkan sebagai
adanya hubungan kausal kerugian yang dialami kewenangannya dengan kewenangan
yang dilaksanakan oleh lembaga lain.[57]
Dengan kriteria yang demikian maka subjek lembaga negara yang disebut diatas
yang memiliki legal standing untuk dapat menjadi Pemohon
dalam sengketa kewenangan lembaga negara didepan Mahkamah Konstitusi, menjadi
semakin sempit dan berkurang.Hal ini dapat terlihat dengan jelas dalam pasal 2
PMK Nomor 08/PMK/ 2006 tersebut, yang menentukan  :
(1)
Lembaga Negara yang dapat menjadi pemohon atau termohon
dalam perkara sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara adalah :
a.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
b.
Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
c.
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
d.
Presiden
e.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) .
f.
Pemerintahan Daerah (Pemda); atau
g.
Lembaga negara lain yang kewenangannya diberikan oleh UUD
1945.

Apabila terdapat lembaga
termohon tetap menjalankan kewenangan yang dipersengketakan, maka pejabat
negara yang bersangkutan dapat dikatakan tidak patuh terhadap hukum, untuk itu
dapat dilakukan upaya-upaya untuk melaporkan kepada atasan yang lebih tinggi,
untuk dilakukan upaya-upaya agar mematuhi putusan pengadilan. apabila masih
tetap bersikukuh tidak melaksanakan putusan pengadilan, maka dengan segala
kerendahan ahti untuk dapat dimintakan pemecatan terhadap pejabat negara yang
bersangkutan.

 

 


                [1] Tidak
hanya itu, Kelsen juga mengemukakan mengenai Konsep lembaga Negara yang
bersifat fomal dan material, konsep formal yakni pengertian organ Negara melalui arti yang luas,
sedangkan arti material merupakan
arti yang sempit. Hans Kelsen, General
Theory of Law and State,
(New York : Russel and Russel, 1973), Hal.
192-194. Hal yang sama juga dibahas Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,
(Jakarta : Konstitusi Press, Cetakan ke-2, oktober 2006), Hal. 36-38
                [2]
Pembagian lembaga Negara menurut K.C. Wheare ditentukan oleh pengaturan
lembaga, yang disebut lembaga Negara adalah lembaga yang diatur dalam
konstitusi suatu Negara. K.C. Wheare, Modern
Constitution
, (Oxford University Press, 1996), Hal.5
                [3] T. Sri
Soemantri, Konstitusi dan sejarah MPR
dalam perkembangan system ketatanegaraan Indonesia,
Makalah untuk menyambut
Mahasiswa Baru Program Doktoral Unpad – Bandung, tanggal 5 agustus 2004, Hal.
4-5
                [4] Bagir
Manan, Teori dan Politik Konstitusi,
(Yogyakarta : FH UII Press, 2003), Hal. 11
                [5] Bagir
Manan, “Kata Pengantar”, dalam buku Slamet Effendy Yusuf dan Umar Basalim, Reformasi Konstitusi Indonesia Perubahan
Pertama UUD 1945
, (Jakarta : Pustaka Indonesia Satu, 2000), Hal. XVIII
                [6]
Disarikan dari buku Jimly Asshiddiqie, Format
Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945
, (Yogyakarta :
FH UII Press, 2004), Hal. 5-7
                [7] Moh. Mahfud
MD, Konstitusi dan Hukum dalam
Kontroversi Isu
, (Jakarta: Rajawali Pers, cetakan ke-2, Januari 2010)
171-172
                [8] Moh.
Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara,
(Jakarta : LP3ES, 2007), Hal. 47
                [9] Abdul
Muktie Fadjar, Hukum Konstitusi dan
Mahkamah Konstitusi
, (Jakarta : Konstitusi Press, 2006), hal. 9-11
                [10]
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Materi Sosialisasi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Indonesia Tahun 1945
, (Jakarta : Sekretariat Jenderal MPR RI, 2007), Hal. 6
                [11]
Produk Resultante adalah merupakan produk kompromi antar pembentuk yang satu
dengan yang lainnya, sehingga juga mengandung beberapa kepentingan yang ingin
dicapai oleh kelompok tertentu. K.C. Wheare, Op Cit, Hal 13
                [12] Abuse
of Power merupakan pemaknaan terhadap kesewenang-wenangan Pemerintah terhadap
masyarakat yang dipimpinnya. Satya Arinanto, Negara Hukum Demokrasi, (Jakarta, Pusat Studi Hukum Tata Negara
Universitas Indonesia, 2001), Hal. 15
                [13] CF.
Strong, Modern Political Constitution :
An Introduction to the Comparative Study of Their History and Existing Form
,
(London : The English Book Society and Sanwick, 1996), Hal. 15
                [14]
Dahlan Thaib dkk, Teori dan Hukum
Konstitusi
, (Jakarta : Rajawali Pres, 2004), hal. 26
                [15] Sri
Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan
Konstitusi
, (Bandung : Alumni, 1987), Hal. 64
                [16]
Merupakan Disertasi Untuk meraih Doktor Program Doktor Ilmu Hukum Unpad
Bandung, yang kemudian diterbitkan. Sri Soemantri, (Edisi Revisi) Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi,
(Bandung : Alumni, 2006)
                [17]
Disertasi Doctoral Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia
yang juga diterbitkan. Taufiqurrahman Syahuri, Hukum Konstitusi, Proses dan Prosedur Perubahan UUD di Indonesia
1945-2002, serta Perbandingannya dengan Konstitusi Negara lain di dunia
,
(Jakarta : Ghalia Indonesia, 2004)
                [18]
Adalah Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum Unpad Bandung, yang dibukukan.
Budiman NPD Sinaga, Hukum Tata Negara,
Perubahan Undang-Undang Dasar
, (Jakarta : Tatanusa, 2009)
                [19] Jimly
Asshiddiqie, Konstitusi dan
Konstitusionalisme Indonesia
, (Jakarta : Konstitusi Press, cetakan ke-2,
2006), Hal. 151-161
                [20] Ibid
                [21] Abdul
Aziz Hakim, Negara Hukum dan Demokrasi di
Indonesia
, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2011), hal. 10
                [22] AV.
Dicey, Introduction to the study of the
law of the constitution
, (London : Mc Millanand CO, 1952), hal. 31
                [23]
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu
Politik
, (Jakarta : Gramedia, edisi revisi, 2010), Hal. 116
                [24] Henry
B. Mayo, An Introduction to Democratic
Theory
, (New York : Oxford University press, 1960), Hal. 70
                [25]
Miriam Budiardjo, opcit, hal. 120
                [26]
Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum suatu
study tentang prinsip-prinsipnya dilihat dari segi hukum Islam, Implementasi
pada periode Negara Madinah
, (Jakarta : Kencana, 2004), hal. 85-86
                [27]
Azhary, Negara Hukum Indonesia, analisis
yuridis normatif tentang unsur-unsurnya
, (Jakarta : UI Press, 1995), hal.
153
                [28]
Hendra Nurtjahjo, Filsafat Demokrasi,
(Jakarta : Bumi Aksara, 2006), Hal. 71
                [29]
Abdussalam, Prospek Hukum Pidana
Indonesia, dalam mewujudkan rasa keadilan masyarakat,
(Jakarta : Restu
Agung, 2006), hal.  717
                [30]
Marwan Effeny, Kejaksaan RI Posisi dan
Fungsinya Dari Perspektif Hukum
, (Jakarta : Gramedia, 2005), hal.72
                [31]
Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, Aspek-aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia,
(Yogyakarta : FH UII Press, 2005), Hal. 25
                [32] A.B.
Kusuma, Sistem Pemerintahan “Pendiri
Bangsa” versus Sistem Presidensial “orde reformasi”
, (Jakarta : Badan
Penerbit Universitas Indonesia, 2011), 155
                [33]
Dijelaskan oleh Sri Soemantri (1971 :76), Lihat Koerniatmanto Soetoprawiro,
                [34] Untuk
mengetahui sistem pemerintahan suatu negara yaitu dengan melihat isi dari
Konstitusi setiap negara, apakah negara tersebut menganut sistem pemerintahan
yang bersifat parlementer (parliamentary system) ataukah sistem
pemerintahan presidensial (presidential system). Khusus untuk negara
inggris yang tidak memiliki konstitusi tertulis (unwritten Constitution) kita
dapat meihat sistem pemerintahannya dengan menganalisa praktek
ketatanegaraannya secara langsung.
                [35]
Hendarman Ranadideksa, Arsitektur konstitusi demokratik mengapa ada negara
yang gagal melaksanakan demokras
i, Fokusmedia, Jakarta, 2007, hal.100
                [36] Ibid.,
hal.101.
                [37]
Dijelaskan lagi bahwa hal tersebut dapat dibuktikan dengan mekanisme
pemberhentian presiden  yang lebih disebabkan atas dasar alasan politis.
Misalnya, diawali dengan permintaan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
kepada Presiden  agar mengundurkan diri.  Saat itu, pimpinan DPR
menganggap tidak perlu menunggu Sidang Istimewa MPR karena DPR sudah dianggap
mewakili DPR. ( Herbert Feith, The Decline of Constitution Democracy,
Ithaca, 1963, hlm. 424-437) Hanta yuda, Op. Cit., Hal.2
                [38]
Dijelaskan MPR bukan lagi pemegang kedaulatan rakyat dan lembaga itu telah
mengalami perubahan komposisi dan konfigurasi. Presiden bukan lagi mandataris
MPR, karena presiden sudah dipilih secara langsung oleh rakyat. Presiden juga
tidak lagi melakukan GBHN, melainkan melaksanakan program-programnya sendiri
yang ditawarkan saat kampanye. Ibid., Hal. 3.
                [39]
Ditambahkan bahwa  Pertanggungjawaban presiden kepada MPR merupakan upaya
konstitusional untuk chaking dan balancing. Dengan demikian Imbuh Manan bahwa
Unsur Parlementer dalam UUD 1945 Tidak ada sama sekali. Liat Saldi Isra,  Ibid.,
Hal. 54.
                [40] Ibid.,
Hal. 57.
                [41] Ibid.,
Hal. 57-58.
                [42]
Sebenarnya banyak juga sarjana yang menganggap sistem  hybrid
seperti yang dipraktekkan di prancis juga baik untuk diterapkan di indonesia.
Sistem prancis ini di anggap merupakan variasi yang menarik, karena dipilih
langsung oleh rakyat dengan pemerintahan kabinet yang bertanggungjawab kepada
parlemen. banyak kalangan menganggap sistem ini lebih realistis untuk
dipraktikkan di indonesia yang sangat majemuk……, Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok
hukum tata negara
, Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2008, Hal. 320.
                [43] Sama
halnya dengan Sri Soemantri, Jimly Asshiddie mengemukakan sistem pemerintahan
indonesia sebelum diamandemen UUD 1945 adalah bersifat campuran. Campuran
menurut penulis  disini berarti bahwa ciri-ciri sistem pemerintahan
parlementer dan sistem pemerintahan presidensial ada dalam sistem pemerintahan
indonesia. Dan ini dapat dilihat dalam UUD 1945 (sebelum amandemen).
                [44] Jimly
Asshiddiqie, Op. Cit., Hal. 320.
                [45]
Sofian Effendi, Mencari Sistem Pemerintahan Negara,
                [46] Pasca
Amandemen UUD 1945 sesuai Pasal 1 ayat (2)  Bahwa Kedaulatan bukan lagi
berada ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat. Tetapi Kedaulatan milik rakyat seutuhnya.
                [47]
Berbeda dengan sistem Parlementer (Parliamentary System) dimana
mengenal dua eksekutif (two executive) yaitu Raja atau Presiden
sebagai Kepala Negara (head of state) yang berfungsi sebagai simbol
negara, dan Perdana Menteri sebagai kepala pemerintahan (Chief Executive)
yang berfungsi sebagai yang menjalankan roda pemerintahan yang dilih oleh
parlemen.
                [48] Bahwa
apabila kita ingin melihat dalam sistem presidensial pastilah melihat sitem
pemerintahan Amerika Serikat (USA). Dalam sistem pemerintahan Amerika mengenal
pemberhentian dalam masa jabatan atau biasa dikenal dengan Impeachment (pemakzulan).
Dalam Article II, Section 4 The United States Constitution disebutkan “The
President, Vice Presiden and all civil officers of the United States, Shall be
removed from Office on Impeachment for, an conviction of, Treason, Bribery, or
other Hight Crimes and Misdemeanors”.
                [49]
Selama 32 Tahun Presiden Soeharto berkuasa, dan ini akibat didalam UUD 1945
tidak mengatur dengan jelas tentang lama masa jabatan untuk menjadi seorang
presiden. Pasal 7 disebutkan “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama
masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali
”.
                [50]
Dijelaskan juga tidak ada satupun ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan  ketatanegaraan indonesia  yang tegas mengatur
tentang apa yang dimaksud dengan melanggar Hukum Negara. Hamdan Zoelfa, Impeachment
Presiden alasan tindak pidana pemberhentian presiden Menurut UUD 1945,

Konstitusi Press, Jakarta, 2005, Hal.5-6
                [51]
Berkaca dalam praktek ketatanegaraan indonesia selama ini dimana hampir semua
Presiden indonesia mengakhirji masa jabatannya secara politis. Sebut saja
Presiden Soekarno berhenti karena diberhentikan dengan Ketetapan MPRS
No.XXXIII/MPRS/1967. Setelah itu Presiden Soeharto diberhentikan secara politis
karena rakyat ingin dia memundurkan diri pada Tanggal 21 Mei 1998. Presiden
B.J.Habibie Pertanggungjawabannya ditolah oleh MPR dan Presiden Abdurrahman
Wahid ditengah masa jabatannya diberhentikan oleh MPR, karena dianggap
melanggar GBHN, ini sesuai dengan Ketetapan MPR-RI No.II/2001 tanggal 23 Juli
2001. Dan hanya Presiden Megawati dan SBY yang tidak mengalami hal yang serupa.
                [52] Liat
UUD NRI Tahun 1945 Pasal 7A dan 7B.
                [53]
Maruar Siahaan, Sengketa Kewenangan antar
Lembaga Negara dan Hukum Acaranya
, Makalah pada presentasi Kuliah Umum MK
di Gedung Mahkamah Konstitusi RI, tanggal 5 agustus 2006
                [54] Ibid
                [55] Jimly Asshidiqie,
Sengketa Kewenangan  Konstitusional Lembaga Negara, Konstitusi
Press & PT Syaamil Cipta Media, 2006 hal 15.
                [56]
Syarat yang disebut pada angka (1) pasal 3 PMK nomor 08/PMK/2006 yang berlaku
mulai tanggal 18 Juli 2006, adalah mengambil alih pasal 61 ayat (1) UU nomor 24
tahun 2003, tentang Mahkamah Konstitusi.
                [57] Periksa lebih lanjut Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah konstitusi Republik
Indonesia
, Edisi Revisi MKRI 2006 hal
195.
Continue Reading