PENEGAKAN HUKUM AGRARIA DAN PENYELESAIAN SENGKETA PERTANAHAN DALAM PROSES PERADILAN

PENEGAKAN HUKUM AGRARIA

DAN PENYELESAIAN SENGKETA PERTANAHAN

DALAM PROSES PERADILAN[1]

  1. PENDAHULUAN

Sengketa tanah adalah sengketa yang timbul karena adanya konflik kepentingan atas tanah. Sengketa tanah tidak dapat dihindari dizaman sekarang, ini disebabkan karena berbagai kebutuhan tanah yang sangat tinggi di zaman sekarang sementara jumlah bidang tanah terbatas.[2] Hal tersebut menuntut perbaikan dalam bidang penataan dan penggunaan tanah untuk kesejahteraan masyarakat dan terutama kepastian hukumnya. Untuk itu berbagai usaha yang dilakukan pemerintah yaitu mengupayakan penyelesaian sengketa tanah dengan cepat untuk menghindari penumpukan sengketa tanah, yang dapat merugikan masyarakat misalnya tanah  tidak dapat digunakan karena tanah tersebut dalam sengketa.

Pada dasarnya pilihan penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan 2 (dua) proses. Proses penyelesaian sengketa melalui litigasi di dalam pengadilan, kemudian berkembang proses penyelesaian sengketa melalui kerja sama (kooperatif) di luar pengadilan.[3] Proses litigasi menghasilkan kesepakatan yang bersifat adversial yang belum mampu merangkul kepentingan bersama, cenderung menimbulkan masalah baru, lambat dalam penyelesaiannya. Sebaliknya, melalui proses di luar pengadilan menghasilkan kesepakatan kesepakatn yang bersifat “win-win solution”,[4] dihindari dari kelambatan proses penyelesaian yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif, menyelesaikan komprehensif dalam kebersamaan dan tetap menjaga hubungan baik.

Penggunaan pranata penyelesaian sengketa diluar pengadilan tersebut kemudian diterapkan di Negara Indonesia yang di buatkan melaui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, telah menyediakan beberapa pranata pilihan penyelesaian sengketa (PPS) secara damai yang dapat ditempuh para pihak untuk menyelesaikan sengketa atau beda pendapat perdata mereka, apakah pendayagunaan pranata konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.[5] Pilihan penyelesaian sengketa (PPS) di luar pengadilan hanya dapat ditempuh bila para pihak menyepakati penyelesaiannya melaui pranata pilihan penyelesaian sengketa (PPS). Kemudian pilihan penyelesaian sengketa (PPS) dalam penyelesian sengketa diluar pengadilan ini berkembang pada kasus-kasus perkara lain seperti kasus-kasus perkara pidana tertentu dan sengketa tenaga kerja ataupun pada sengketa lingkungan dan sengketa tanah, sehingga pilihan penyelesaian sengketa diluar pengadilan tidak hanya berlaku pada kasus-kasus perdata saja.

Secara ekonomis, sengketa itu telah memaksa pihak yang terlibat untuk mengeluarkan biaya.[6] Semakin lama proses penyelesaian sengketa itu, maka semakin besar biaya yang harus dikeluarkan dan sering kali biaya yang dikeluarkan untuk menyelesaikan sengketa tanah hingga selesai tidak sebandingkan dengan harga dari obyek tanah yang disengketakan. Namun oleh sebagian orangatau golongan tertentutanah sebagai harga diri yang harus dipegang teguh, tanah akan dipertahankan sampai mati.

Selama konflik berlangsung tanah yang menjadi obyek konflik biasanya berada dalam keadaaan status quo sehingga tanah yang bersangkutan tidak dapat dimanfaatkan. Akibatnya terjadi penurunan kualitas sumber daya tanah yang dapat merugikan kepentingan banyak pihak dan tidak tercapainya asas manfaat tanah.[7]

  1. GEJALA UMUM SENGKETA PERTANAHAN DI INDONESIA

Secara umum, sengketa tanah timbul akibat adanya beberapa faktor, faktor-faktor ini yang sangat dominan dalam setiap sengketa pertanahan dimanapun, adapun faktor-faktor tersebut antara lain:[8]

  1. Peraturan yang belum lengkap;
  2. Ketidaksesuaian peraturan;
  3. Pejabat pertanahan yang kurang tanggap terhadap kebutuhan dan jumlah tanah yang tersedia;
  4. Data yang kurang akurat dan kurang lengkap;
  5. Data tanah yang keliru;
  6. Keterbatasan sumber daya manusia yang bertugas menyelesaikan sengketa tanah;
  7. Transaksi tanah yang keliru;
  8. Ulah pemohon hak atau
  9. Adanya penyelesaian dari instansi lain, sehingga terjadi tumpang tindih kewenangan.

Secara umum, sengketa pertanahan yang timbul di Indonesia dapat dikelompokkan ke dalam 4 klasifikasi permasalahan, yaitu permasalahan yang berkaitan dengan:[9]

  1. Pengakuan kepemilikan atas tanah;
  2. Peralihan hak atas tanah;
  3. Pembebanan hak dan
  4. Pendudukan eks tanah partikelir.

 

Ditinjau dari subyek yang bersengketa, sengketa pertanahan dapat dikelompokkan ke dalam 3 macam yaitu :[10]

  1. Sengketa tanah antar warga;
  2. Sengketa tanah antara Pemerintah Daerah dengan warga setempat, dan
  3. Sengketa yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam

 

Sedangkan menurut Kepala BPN Pusat, setidaknya ada tiga hal utama yang menyebabkan terjadinya sengketa tanah:[11]

  1. Persoalan administrasi sertifikasi tanah yang tidak jelas, akibatnya adalah ada tanah yang dimiliki oleh dua orang dengan memiliki sertifikat masing-masing.
  2. Distribusi kepemilikan tanah yang tidak merata. Ketidakseimbangan dalam distribusi kepemilikan tanah ini baik untuk tanah pertanian maupun bukan pertanian telah menimbulkan ketimpangan baik secara ekonomi, politis maupun sosiologis. Dalam hal ini, masyarakat bawah, khususnya petani/penggarap tanah memikul beban paling berat. Ketimpangan distribusi tanah ini tidak terlepas dari kebijakan ekonomi yang cenderung kapitalistik dan liberalistik. Atas nama pembangunan tanah-tanah garapan petani atau tanah milik masyarakat adat diambil alih oleh para pemodal dengan harga murah.
  3. Legalitas kepemilikan tanah yang semata-mata didasarkan pada bukti formal (sertifikat), tanpa memperhatikan produktivitas tanah. Akibatnya, secara legal (de jure), boleh jadi banyak tanah bersertifikat dimiliki oleh perusahaan atau para pemodal besar, karena mereka telah membelinya dari para petani/pemilik tanah, tetapi tanah tersebut lama ditelantarkan begitu saja. Mungkin sebagian orang menganggap remeh dengan memandang sebelah mata persoalan sengketa tanah ini, padahal persoalan ini merupakan persoalan yang harus segera di carikan solusinya. Kenapa demikian? karena sengketa tanah sangat berpotensi terjadinya konflik antar ras, suku dan agama. Akibatnya harga diri harus dipertaruhkan.
  1. SINKRONISASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN BIDANG PERTANAHAN

Problematik yang terjadi pada tataran normatif yaitu terdapat persoalan sinkronisasi dan konsistensi berbagai aturan hukum di bidang pertanahan dalam kaitannya dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Hal ini telah berlangsung secara periodik dan memiliki variasi karakter hukumnya. Selama Orde Baru (1967 – 1998), aturan hukum mengenai sumber daya alam, khususnya di bidang pertanahan diterbitkan dikeluarkan secara sektoral dengan melepaskan kaitannya dengan UUPA sebagai aturan hukum pokok (“payung”) dari semua aturan hukum agraria. Karakteristik aturan hukum dan taraf kesinkronannya dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, sebagai berikut:[12]

  1. Pada periode 1967–1973, aturan hukum mengenai pertanahan tidak sinkron dan tidak konsisten dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan berkarakter: eksploitatif terhadap sumber daya alam; berpihak pada sistem ekonomi kapitalis (akumulasi modal); dan konservatif/ortodoks, yaitu hukum menjadi alat bagi pelaksanaan ideologi dan program negara (positivis instrumentalis).
  2. Pada periode tahun 1973–1984, aturan hukum mengenai penguasaan tanah memiliki karakter: Konservatif/ortodoks, dengan ciri pemerintah sangat dominan dalam pembentukkan hukum dan menentukan arah perkembangan hukum masyarakat; Represif; dan Pragmatis dan sangat akomodatif terhadap kekuatan modal (capitalism), terutama kekuatan modal asing lewat negara donor maupun lembaga-lembaga keuangan Internasional. Dengan demikian, aturan hukum pada periode ini juga tidak selaras (tidak sinkron dan tidak konsisten) dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
  3. Pada periode tahun 1984–1990-an, aturan hukum mengenai penguasaan tanah berorientasi untuk memudahkan perolehan tanah bagi investasi, oleh karena itu karakter peraturannya bersifat pragmatis dan sangat akomodatif terhadap kepentingan modal. Disamping itu, bersifat defensif-reaktif, artinya sangat reaksioner terhadap berbagai sengketa agraria yang muncul pada saat itu dan melihatnya sebagai persoalan administratif belaka. Aturan hukum pada periode ini juga tidak sinkron dan tidak konsisten dengan semangat yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
  4. Periode Desentralisasi (1998–2003), peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan yang mencerminkan ketidakpastian hukum (ambivalence), akibatnya terjadi ketidaksinkronan dan ketidakkonsistenan aturan hukum di bidang pertanahan. Karakter Peraturan Perundang-undangan pada periode ini bersifat pragmatism-reaktif, dan parsial. Artinya peraturan-peraturan yang dikeluarkan tidak didasarkan pada suatu format tertentu yang secara integral berkesinambungan dan sistematis. Meskipun peraturan tersebut berkarakter pragmatism-reaktif, tetapi materi muatannya lebih selaras (sinkron dan konsisten) dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 junto Pasal 2 dan 14 UUPA junto Pasal 11 dan 12 UU No. 22 Tahun 1999.
  5. Periode Resentralisasi (2004–2006), terjadi arus penarikan kembali kewenangan daerah di bidang agrarian oleh pemerintah pusat, sehingga wewenang agraria/pertanahan menjadi tersentralisasi lagi pada pemerintah (pusat). Hal ini ditandai dengan diberlakukannya Perpres No. 36 Tahun 2005 yang kemudian diubah dengan Perpres No. 65 Tahun 2006 dan Perpres No. 10 Tahun 2006. Substansi ketiga Perpres tersebut berkarakter represif dan berorientasi meningkatkan devisa negara lewat pembangunan dengan keberpihakan penuh pada pemilik modal (capital). Selain itu, menempatkan otoritas/kewenangan yang begitu besar kepada BPN (institusi pemerintah (pusat). Dengan demikian, Peraturan Perundang-undangan pada periode ini tidak selaras (tidak sinkron dan tidak konsisten) dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

Konflik landasan hukum penetapan Rencana Pembagunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang berjangka 5 tahun sebagai penjabaran visi, misi, dan program kepala daerah terpilih.[13] Hal ini disebabkan karena dalam UU No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional di jelaskan bahwa RPJMD cukup ditetapkan oleh Kepala Daerah melalui peraturan kepala daerah. Namun dalam UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, penetapan RPJMD melalui peraturan daerah yang ditetapkan oleh DPRD. Akibatnya di banyak daerah terutama yang kepala daerah terpilih tidak mendapat dukungan mayoritas di DPRD berselisih paham tentang penetapan RPJMD dan menjadikan perdebatan ini sebagai komoditas politik lokal.

Adanya empat Undang-undang yang secara berhimpitan mengatur mengenai perencanaan dan penganggaran. UU No.25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang mengatur khusus mengenai perencanaan, sementara UU No. 17 tahun 2004 tentang keuangan negara mengatur pengelolaan keuangan negara dan daerah. Dipihak lain UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah juga mengatur perencanaan dan penganggaran di daerah. UU No.17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara telah memperkuat peran Departemen Keuangan sampai pada proses-proses perencanaan dan penganggaran di daerah. Dan kemudian lahirlah UU No. 25 tahun 2004 tentang SPPN yang mempertahankan eksistensi Bappenas yang melemah bahkan dikhawatirkan dilikuidasi akibat hadirnya UU No. 17 tersebut, Hal in menunjukkan bahwa kebijakan yang dilahirkan pemerintah terkait perencanaan dan penganggaran ini bukanlah berdasarkan kebutuhan yang ada melainkan sekedar berdasarkan pertarungan kepentingan antara departemen.[14]

Norma hukum terkait Perencanaan dan Penganggaran yang terdapat dan diatur dalam UU No. 17 tahun 2003 dan UU No. 33 tahun 2004 sangat mirip dan multi intepretatif, dalam prakteknya kehadiran kedua Undang-Undang yang mengatur secara bersamaan membuat kebingungan dalam implementasi di lapangan. UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara tidak dapat diberlakukan di Provinsi Bangka Belitung dikarenakan substansi dari UU tersebut mengatur tata cara penambangan yang lazim digunakan untuk penambangan emas bukan jenis penambangan mineral lainnya.

Semua aturan berkaitan dengan Agraria dan pertanahan harus mengacu pada Pasal 33 UUD 45 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, hal itu dilakuan dengan melakukan koreksi terhadap peraturan-peraturan di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, baik melalui instansi terkait maupun melalui jalur Judicial Review, Eksekutif Review maupun legislatif review.[15]

Sinkronisasi peraturan perundang-undangan dilakukan bukan hanya setelah UU dibuat, namun justru pada saat proses UU tersebut dibuat sinkronisasi harus dilakukan dengan mempertemukan masing-masing departemen dan mempertemukan kepentingan demi mengeliminir ego sektoral.[16] Jika terdapat dua atau lebih UU yang mengatur secara bersamaan norma hukum yang mirip/sama, akan lebih baik jika di kodifikasi menjadi satu paket Undang-UndangRevisi UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara dengan melibatkan pemerintah daerah dan tim ahli yang memahami tentang pertambangan.Mensinkronkan peraturan perundang-undangan dengan UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pasal-Pasal dalam UUD 45 yang memberi perlindungan kepada lingkungan hidup.

Berdasarkan kajian di atas, ternyata masalah urusan pertanahan, kehutanan dan pertambangan disebabkan karena kurangnya pengaturan dalam kosepsi dasar dan peraturan-perundang-undangan sektor banyak yang belum sinkron dengan undang-undang pemerintahan daerah serta implementasinya belum dilaksanakan dengan konsisten. Untuk itu saran dalam penyempurnaan undang-undang tentang pemerintahan daerah serta perbaikan pelaksanaannya di masa yang akan datang dapat dijelaskan sebagai berikut:[17]

  1. Pertama,  pentingnya pengaturan  pertanahan,  kehutanan dan pertambangan perlu diatur secara khusus dalam pasal tersendiri pada revisi undang-undang pemerintahan daerah;
  2. Kedua, sebagai syarat dasar daerah otonom melaksanakan ketiga  urusan ini, wajib diterbitkan terlebih dahulu Norma, Standar, Kriteria dan Prosedur (NSPK) bidang pertanahan, kehutanan maupun NSPK bidang pertambangan.  Selanjutnya  urusan tersebut dapat dilaksanakan oleh daerah otonom secara penuh diikuti pembinaan dan pengawasannya secara melekat;
  3. ketiga, perlu segera dilakukan harmonisasi peraturan-perundang-undangan yang tidak sesuai dengan undang-undang pemerintahan daerah; keempat, untuk menghindari kekosongan penetapan NSPK dalam waktu yang lama, akibat dari lamanya proses penyusunannya, maka penetapan NSPK dapat dipecah dalam  sub bidang-sub bidang misalnya di bidang pertambangan, diterbitkan dulu NSPK pertambangan biji besi, NSPK pertambangan timah NSPK pertambangan batubara. NSPK di bidang kehutanan dapat diterbitkan dahulu NSPK kuasa kehutanan, NSPK penebangan pohon, NSPK reboisasi, NSPK konservasi lahan, NSPK satwa liar;
  4. keempat, perlu diatur sanksi serta penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran NSPK di bidang pertanahan, kehutanan dan pertambangan;
  5. Kelima, meskipun tanah, hutan dan tambang penting untuk kelangsungan hidup negara, kepentingan umum dan kelestarian lingkungan hidup, maka urusan pertanahan,  kehutanan dan  pertambangan tetap merupakan urusan yang didesentralisasikan serta  tetap mendorong inovasi dan kreatifitas  daerah dalam pemanfaatannya.

Pada prinsipnya adalah harus ada harmonisasi hukum, antar undang-undang maupun peraturan organiknya harus sinkron dan harmonis.[18] Menatap pada perubahan sistem hubungan antara pusat dan daerah yang di dalamnya juga menyangkut perubahan kewenangan maka sudah saatnya sinkronisasi dan harmonisasi dilakukan dengan merubah peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih dan saling bertentangan dan memberikan akses yang besar bagi masyarakat untuk ambil bagian dalam melakukan sinkronisasi dan harmonisasi.[19] Ketika masyarakat dilibatkan maka kebijakan pertanahan pada khususnya dan sumber-sumber agraria yang lain akan mengakar pada kepentingan masyarakat lokal. Perkara kesejahteraan, itu hanya persoalan dampak sehingga akan tumbuh dengan sendirinya apabila setiap warga negara mempunyai akses yang sama terhadap sumber-sumber agraria.

  1. Strategi dan Konsep Penyelesaian Sengketa Tanah

Dalam upaya meminimalisir terhadap sengketa pertanahan, maka diperlukan strategi yang komprehensif guna mengantisipasi dan mengurangi angka sengeketa dibidang pertanahan, maka untuk itu perlu dilaksanakan beberapa upaya strategi sebagai berikut :[20]

  1. Strategi Administrasi Negara, yang sangat membutuhkan professional yang komprehenship/holistic (multidisiplin) yang tidak bisa diserahkan kepada professional berorientasi produk, perubahan struktur organisasi sektoral bukan berdasar produk (komoditas) tetapi struktur organisasi atas dasar proses. Hal ini meminimalisasi kepentingan-kepentingan sektoral atas dasar produk yang berdampak kebijakan yang dibuat menteri sebenarnya hanya hasil salah satu deputy yang tupoksinya produk bukan proses yang membutuhkan professional multidisiplin). Sekarang tidak bedanya format yang terjadi di Perguruan Tinggi dengan pembagian fakultasnya, apa seperti ini format Administrasi untuk semua Kementerian di Indonesia? Reformasi administrative. Khusus bidang pertanahan harus Bagaimana?
  2. Yudikatif, menyelesaikan timpang tindih perundangan dan rekomendasi perumusan payung regulasi pertanahan Negara dapat dibentuk “KPN” Komisi Pertanahan Negara yang merupakan bentuk implementasi regulasi kekuasaan Negara terhadap tanah Negara, yang sekarang diemban oleh kekuasaan pemerintah dan hanya sektoral.
  3. Strategi legislative (wakil rakyat) bersama presiden berkewajiban mengatur semua kebijakan terkait kekuasaan Negara, RAPBN (anggaran pendapatan dan belanja Negara sudah benar, RPTPN (Rencana Penyediaan Tanah Pembangunan Negara saat belum bekerja legislative, executive pun menyerahkan kepada sektoral yang menguasai (administrative–BPN, penguasaan tanah dominan –Kehutanan). Pertanyaannya apakah kehutanan bukan sektoral komoditas? Mengapa menguasai tanah Negara dan semua sektor mengacu kalau tidak mau dikatakan berbenturan dengan penguasaan oleh kehutanan yang sebenarnya penguasaannya oleh kekuasaan Negara. Sehingga perlu pertanyaan besar dimana letak demokrasinya untuk rakyat tanpa kekuasaan Negara yang bekerja (executive bersama legislative terkait dengan tanah, Mengapa anggaran bisa).

Sedangkan yang menjadi konseptual dalam penyelesaian sengketa pertanahan dapat dibagi menjadi 3 bagian yang saling berhubungan antar satu dengan yang lainnya, ketiga define konsep tersebut dapat diurai sebagai berikut :[21]

  1. Konsep Negara Kesejahteraan Sebagai Pedoman Penyelesaian Sengketa Pertanahan Di Indonesia

Di awal pembentukan negara Indonesia, telah ada kesadaran kebangsaan bahwa kesejahteraan rakyat hanya dapat terwujud lewat campur tangan Pemerintah. Pembukaan dan pasal-pasal dalam batang tubuh UUD 1945 menunjukkan bahwa cara mewujudkan kesejahteraan bagi bangsa Indonesia adalah dengan menjadikan peran negara melalui penyelenggaranya sebagai pemberi arahan, pembuat kebijakan dan aturan berdasarkan Pancasila sebagai ideologi dan falsafah negara.[22]

Hukum pertanahan Indonesia yang merupakan bagian dari hukum yang ada, pada prinsipnya berlandaskan pada konsep Negara kesejahteraan. Hal ini tampak pada ketentuan Pasal 33 Ayat (1-4) UUD 1945 hasil amandemen keempat. Selain UUD 1945. Masyarakat dikatakan sejahtera jika masyarakat tersebut telah mengalami peningkatan kualitas hidup yang layak dan bermartabat, dengan penekanan utama pada terpenuhinya kebutuhan pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan dan lapangan kerja. UUPA mengejawantahkan tujuan/misi yang terkandung di dalam kedua peraturan perundang-undangan di atasnya tersebut dengan menetapkan sejumlah aturan mengenai prinsip dasar penguasaan tanah beserta struktur hak-haknya.

Sebagai contoh, Pasal 7 UUPA yang memuat larangan penguasaan tanah yang melampaui batas, Pasal 10 UUPA yang mewajibkan pemilik tanah pertanian untuk mengerjakan sendiri tanah garapannya secara aktif guna mencegah terjadinya pemerasan, Pasal 17 UUPA yang mengatur luas minimum dan maksimum kepemilikan tanah oleh satu keluarga atau badan hukum guna menciptakan pemerataan penguasaan tanah, dan sebagainya.

  1. Konsep Sociological Jurisprudence Sebagai Pedoman Penyelesaian Sengketa Pemerintah Di Indonesia

Konsep ini mengacu kepada pemikiran bahwa law is a tool of social engineering,[23] dimana yang dimaksud dengan hukum sebagai alat rekayasa sosial adalah putusan pengadilan. Pemikiran Max Weber mengenai peran hukum dalam melakukan perubahan terhadap masyarakat dikaji lebih dalam oleh aliran sosiologis (sociological jurisprudence), terutama yang dilakukan Roscoe Pound pada tahun 1912.[24]

Roscoe Pound berpendapat bahwa para ahli hukum yang beraliran sosiologis perlu lebih memperhitungkan fakta-fakta sosial yang ada dalam pekerjaannya, apakah itu merupakan pembuatan hukum, penafsiran atau penerapan aturan-aturan hukum itu sendiri. Para ahli hukum harus mampu secara lebih cerdas memperhitungkan fakta-fakta sosial yang harus diserap dalam hukum dan yang kemudian menjadi sasaran penerapannya. Untuk itu, Roscoe Pound menyarankan supaya perhatian lebih terarah pada efek-efek nyata dari institusi dan doktrin hukum, karena kehidupan hukum terletak pada pelaksanaannya.

Agar hukum dapat lebih memenuhi kebutuhan masyarakat, kondisikondisi social yang paling mutakhir perlu diperhatikan. Singkatnya, dengan mengakomodasi perkembangan terakhir dari fakta-fakta social dalam arti kebutuhan, kepentingan dan aspirasi masyarakat, fungsi hukum sebagai social engineering akan lebih transformatif.

  1. Hukum Sebagai Sarana Pembaharuan Dan Pembangunan Masyarakat

Konsep hukum sebagai sarana pembaharuan dan pembangunan masyarakat didasarkan pada konsep law as a tool of social engineering yang tumbuh pada mazhab sociological jurisprudence, yang kelahirannya dipelopori antara lain oleh Roscoe Pound, Eugen Ehrlich, Benyamin Cardozo, Kantorowics, Gurvitch. Dalam konsep hukum sebagai sarana pembaharuan ini, penekanan kata hukum lebih condong kepada  peraturan perundang-undangan, di mana hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat. Artinya, hukum yang dikehendaki adalah hukum yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat setempat. Ini berarti bahwa living law-lah yang menjadi pusat perhatian.

Apabila konsep hukum sebagai sarana pembaharuan dan pembangunan masyarakat dikaitkan dengan praktik pengadilan yang menangani sengketa tanah di Indonesia dewasa ini, dapat dikatakan bahwa badan peradilan, melalui keputusannya seharusnya merupakan media untuk menciptakan ketertiban dibidang pertanahan.[25] Oleh karena itu, penegakan prinsip keadilan dan demokrasi ekonomi perlu disertai kepedulian terhadap kaum lemah, penggalian potensi bangsa, baik sebagai konsumen, pengusaha maupun sebagai tenaga kerja tanpa membedakan suku, agama dan gender untuk memperoleh kesempatan, perlindungan dan hak untuk meningkatkan taraf hidupnya maupun untuk turut berperan aktif dalam berbagai kegiatan ekonomi, termasuk dalam memanfaatkan serta memelihara tanah sebagai salah satu kekayaan alam Indonesia.

Dalam rangka memanfaatkan dan menggunakan tanah sebagai salah satu sumber daya agraria secara adil, transparan dan produktif, keberadaan hak ulayat dan masyarakat adatnya perlu diperhatikan.[26] Selain itu, kelengkapan data mengenai keberadaan, jumlah/luas tanah beserta status penguasaannya haruslah lengkap dan up to date, sehingga dengan demikian akan tercipta tata ruang wilayah yang serasi dan seimbang. Kalaupun terjadi sengketa atas tanah di suatu wilayah, dapat segera diatasi oleh pejabat setempat dan hasil penyelesaian sengketa tersebut akan lebih dapat diterima para pihak yang bertikai. Kondisi inilah yang nantinya akan menciptakan pembaharuan hukum pertanahan dan sekaligus pembangunan masyarakatnya. Pembaharuan hukum pertanahan yang didahului oleh pengembangan kebijakan pertanahan tentunya harus diawali dengan pengembangan hukum pertanahan sebagai bagian dari sistem hukum nasional. Namun demikian, pengembangan tersebut semestinya tetap berpedoman pada prinsip-prinsip dasar yang ada pada UUPA sebagai ketentuan pokok hukum pertanahan nasional.[27]

  1. MEDIASI SEBAGAI SOLUSI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PERTANAHAN

Sebagai upaya penyelesaian sengketa pertanahan, maka sebaiknya diupayakan menggunakan dengan sebaik-baiknya jalur mediasi, sehingga tercapailah win win solution diantara para pihak yang berperkara. Mediasi adalah salah satu proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat, murah, dan juga dapat memberikan akses keadilan yang lebih besar kepada pihak-pihak dalam menemukan jalan penyelesaian sengketa yang memuaskan dan memberikan rasa keadilan. Pengintegrasian mediasi kedalam proses beracara di pengadilan dapat menjadi salah satu instrumen yang cukup efektif dalam mengatasi masalah penumpukan perkara di pengadilan dan juga memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga non-peradilan untuk penyelesaian sengketa di samping proses acara pengadilan yang besifat ajudikatif (memutus).[28]

Orang yang (merasa) dirugikan orang lain dan ingin mendapatkan kembali haknya, harus mengupayakan melalui prosedur yang berlaku, baik melalui litigasi (pengadilan) maupun alternatif penyelesaian sengketa (Alternative Dispute Resolution/ADR) dan tidak boleh main hakim sendiri (eigerichting).[29]  Di pengadilan, penyelesaian perkara dimulai dengan mengajukan gugatan ke pengadilan yang berwenang. Penyelesaian sengketa hukum melalui pengadilan ini dilakukan dengan 3 tahap. Tahap permulaan dengan mengajukan gugatan sampai dengan jawab jinawab. Tahap penentuan dimulai dari pembuktian sampai dengan putusan, dan tahap pelaksanaan adalah pelaksanaan putusan. Setiap tahap tersebut memerlukan waktu relatif lama, mahal dan prosedur yang cukup rumit.

Dalam perkembangannya, tuntutan akan kecepatan, kerahasiaan, efisiensi dan efektifitas serta demi menjaga kelangsungan hubungan antara pihak yang bersengketa, selama belum dapat direspon lembaga litigasi (pengadilan), sehingga mendapat banyak kritikan. Dalam operasionalnya, pengadilan dinilai lamban, mahal, memboroskan energi, waktu, uang serta win-win slution.[30] Karena itu, penyelesaian sengketa alternatif mendapat sambutan positif, terutama di dunia bisnis yang menghendaki efisiensi, kerahasiaan serta lestarinya hubungan kerja sama, tidak formalistis, serta menghendaki penyelesaian yang lebih menekankan pada keadilan. Alternatif dimaksud adalah mediasi sebelum perkara diajukan ke pengadilan dimulai.

Indonesia, dalam hal lembaga mediasi, dulunya lebih maju dari negara lain. Hukum Acara Perdata yaitu HIR (het Herziene reglement) pasal 130 dan R.Bg. (Rechtsreglement Buitengewesten) pasal 154, misalnya, telah mengatur lembaga perdamaian, dimana hakim yang mengadili wajib mendamaikan lebih dahulu pihak yang berperkara, sebelum perkaranya diperiksa secara ajudikasi. Selain itu, dikeluarkan pula SEMA No. 1 tahun 2002 tentang Pemberdayaan lembaga perdamaian dalam pasal 130 HIR/154 r.Bg. Sementara tentang mediasi atau alternatif penyelesaian sengketa (APS) di luar pengadilan, diatur dalam pasal 6 UU No. 30 tahun 1999 tentang arbitrase penyelesaian sengketa. Lembaga-lembaga APS bisa dijumpai secara luas dalam berbagai bidang seperti UU bidang Lingkungan Hidup, Pertumbuhan, Perlindungan Konsumen dan lain sebagainya.

Mahkamah Agung (MA) RI juga telah mengeluarkan Peraturan MA No. 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang mewajibkan pihak yang bersengketa perdata, lebih dulu menempuh proses mediasi. Yaitu melalui perundingan antara pihak yang bersengketa dengan bantuan pihak ketiga yang netral dan tidak memiliki kewenangan memutus (mediator).[31] Berkaitan dengan hal itu, MA mewajibkan penggunaan jasa mediasi sebagai upaya memaksimalkan perdamaian sebagaimana diatur dalam pasal 130 HIR dan pasal 1154 Rbg.  Peraturan MA. RI No. 2 Tahun 2003 menyediakan pilihan kepada para pihak yang bersengketa menggunakan jasa mediator yang Tersedia di Pengadilan Negeri atau menggunakan jasa mediator di luar pengadilan. Oleh karena itu, kehadiran MA RI No. 2 Tahun 2003, membuka peluang bagi seseorang menjalankan fungsi mediator sebagai sebuah profesi penuh atau profesi tambahan (sampingan).

Hukum acara yang berlaku selama ini baik Pasal 130 HIR ataupun Pasal 154 RBg, mendorong para pihak yang bersengketa untuk menempuh proses mediasi yang dapat diintensifkan dengan cara menggabungkan proses mediasi kedalam prosedur berperkara di Pengadilan Negeri, seiring terbentuknya peraturan perundang-undangan dan dengan memperhatikan wewenang Mahkamah Agung dalam mengatur acara peradilan yang belum cukup diatur oleh peraturan perundang-undangan, maka demi kepastian, ketertiban, dan kelancaran dalam proses mendamaikan para pihak dalam menyelesaikan suatu sengketa perdata, kedua aturan tersebut menjadi landasan. Untuk itu kemudian Mahkamah Agung mengeluarkan PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan

Pada Bab I Perma tersebut dijelaskan tentang ketentuan umum berlakunya Perma tersebut. Bab ini terdapat 6 pasal yang dimana pada Pasal 1 adalah penjelasan tentang definisi-definisi istilah yang terdapat pada mediasi. Pasal 2 menjelaskan tentang ruang lingkup dan kekuatan berlaku Perma, dimana hanya berlaku untuk mediasi yang terkait proses berperkara di pengadilan. Pada Pasal 3 dijelaskan tentang biaya pemanggilan para pihak yang dibebankan kepada pihak penggugat, dan jika berhasil mencapai kesepakatan biaya ditanggung bersama atau dengan kesepakatan para pihak. Pasal 4 menjelaskan jenis perkara yang dimediasi adalah semua perkara perdata kecuali sengketa melalui prosedur pengadilan niaga, pengadilan hubungan industrial, keberatan atas putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, dan keberatan atas putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Pasal 5 tentang Sertifikasi Mediator dimana mediator harus memiliki sertifikat mediator setelah mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh lembaga yang telah mendapat akreditasi dari Mahkamah Agung. Pada Pasal 6 menjelaskan proses mediasi adalah tertutup kecuali kehehdak para pihak sendiri.

Bab II menjelaskan tentang tahap pra mediasi dimana pada Pasal 7 menjelaskan tentang kewajiban hakim pemeriksa perkara dan kuasa hukum. Pasal 8 menjelaskan tentang hak para pihak dalam memilih mediator. Pada pasal 9, pengadilan menyediakan sekurang-kurangnya 5 daftar nama mediator ke para pihak yang bersengketa. Pada pasal 10 dijelaskan mengenai honorarium mediator dimana jika mediator hakim tidak dipungut biaya namun mediator bukan hakim ditanggung bersama atau kesepakatan para pihak. Pasal 11 menjelaskan batas waktu pemilihan mediator. Pada pasal 12 dijelaskan bahwa para pihak wajib menjalani proses mediasi dengan itikad baik.

Bab III dalam Perma Nomor 1 Tahun 2008 adalah mengenai tahap-tahap proses mediasi. Pasal 13 dijelaskan tentang penyerahan resume perkara dan waktu untuk menjalani proses mediasi tersebut. Pada pasal 14 dejelaskan tentang kewenangan mediator menyatakan suatu proses mediasi telah gagal salah satunya apabila salah satu pihak atau kuasa hukumnya tidak menghadiri mediasi dua kali berturut-turut. Pasal 15 menjelaskan tugas-tugas dari seorang mediator dalam menangani suatu proses mediasi. Pada pasal 16 dijelaskan bahwa dalam keadaan tertentu, mediator dapat memanggil seorang atau lebih yang lebih ahli dalam suatu bidang tertentu. Pasal 17 menjelaskan tentang pencapaian kesepakatan dalam suatu proses mediasi dan berikutnya pada Pasal 18 dijelaskan tidak tercapainya tujuan kesepakatan dalam proses mediasi. Pasal 19 menjelaskan tentang keterpisahan mediasi dari litigasi.

Bab IV Perma Nomor 1 Tahun 2008 menjelaskan tentang tempat penyelenggaraan mediasi sebagaimana dijelaskan pada Pasal 20. Pada Bab V dijelaskan tentang perdamaian di tingkat banding, kasasi, dan peninjauan kembali dijelaskan pada Pasal 21 dan Pasal 22. Bab VI menjelaskan tentang kesepakatan di luar pengadilan yang dijelaskan pada Pasal 23. Pada Bab VII menjelaskan tentang pedoman perilaku mediator dan insentif yang dijelaskan pada Pasal 24 dan Pasal 25. Dan pada Bab VIII merupakan penutup menjelaskan pada Pasal 26 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003 tidak berlaku lagi dan pada pasal 27 dijelaskan berlakunya Peraturan Mahkamah Agung ini sejak tanggal ditetapkannya Perma tersebut pada tanggal 31 Juli 2008.

Kelebihan dari penyelesaian secara mediasi terutama dari segi biaya tidak mahal, jangka waktu tidak lama dan prosesnya tidak berbelit-belit.[32] Sedangkan kelemahannya apa yang sudah disepakati para pihak yang bersengketa dalam  mediasi ternyata kemudian dilanggar oleh salah satu pihak. Jika para pihak tidak menemukan kesepakatan dalam mediasi, pengadilan merupakan jalan terakhir yang harus ditempuh. Sehingga putusan hakim sebagai Ultimum remedium (jalan terakhir) dalam sengketa pertanahan.

  1. PUTUSAN PENGADILAN YANG BERKEKUATAN HUKUM TETAP HARUS DILAKSANAKAN

Putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak. Bukan hanya diucapkan saja yang disebut putusan, melainkan juga pernyataan yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan kemudian diucapkan oleh hakim di persidangan. Putusan yang diucapkan di persidangan (uitspraak) tidak boleh berbeda dengan yang tertulis (vonnis).[33]

Mahkamah Agung dengan surat edarannya no.5/1959 tanggal 20 April 1959 dan no.1/1962 tanggal 7 Maret 1962 menginstruksikan antara lain agar pada waktu putusan diucapkan konsep putusan harus sudah selesai. Maksud tujuan surat edaran ini ialah untuk mencegah hambatan dalam penyelesaian perkara, tetapi dapat dicegah pula adanya perbedaan isi putusan yang diucapkan dengan yang ditulis. Jikalau ternyata ada perbedaan isi putusan yang diucapkan dengan yang ditulis, maka yang sah adalah yang diucapkan yaitu lahirnya putusan itu sejak diucapkan.

Suatu putusan pengadilan dimaksudkan untuk menyelsesaikan suatu persoalan atau sengketa dan menetapkan hak atau hukumnya.Kalau pihak yang bersangkutan menyerahkan dan mempercayakan sengketanya kepada pengadilan atau hakim untuk diperiksa atau diadili, maka hal ini mengandung arti bahwa pihak-pihak yang bersangkutan akan tunduk dan patuh pada putusan yang dijatuhkan. Putusan yang telah dijatuhkan itu haruslah dihormati oleh kedua belah pihak. Salah satu pihak tidak boleh bertindak bertentangan dengan putusan. Jadi putusan hakim mempunyai kekuatan mengikat yaitu mengikat kedua belah pihak (ps.1917 BW). Terikatnya para pihak kepada putusan menimbulkan beberapa teori yang hendak mencoba memberi dasar tentang kekuatan mengikat daripada putusan.

Dalam teori hukum materiil kekuatan mengikat daripada putusan yang lazimnya disebut “gezag van gewijsde” mempunyai sifat hukum materiil oleh karena mengadakan perubahan terhadap wewenang dan kewajiban keperdataan: menetapkan, menghapuskan atau mengubah[34]. Mengingat bahwa putusan itu hanya mengikat para pihak dan tidak mengikat pihak ketiga, kiranya teori ini tidaklah tepat. Sedangkan menurut teori hukum acara putusan bukanlah sumber hukum materiil, melainkan sumber daripada wewenang prosesuil. Akibat putusan ini bersifat hukum acara, yaitu diciptakannya atau dihapuskannya wewenang dan kewajiban prosesuil.  Berdasarkan teori hukum pembuktian, putusan merupakan bukti tentang apa yang ditetapkan di dalamnya, sehingga mempunyai kekuatan mengikat oleh karena menurut teori  ini pembuktian lawan terhadap isi suatu putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang pasti tidak diperkenankan.

Terikatnya para pihak kepada putusan dapat mempunyai arti positif dan dapat pula mempunyai arti negatif. Arti positifnya yaitu apa yang telah diputus diantara para pihak berlaku sebagai positif benar. Apa yang telah diputus oleh hakim harus dianggap benar atau res judicato pro veriate habetur. Sedangkan dalam arti negatif yaitu hakim tidak boleh memutus perkara yang pernah diputus sebelumnya antara para pihak yang sama serta mengenai pokok perkara yang sama (nebis in idem).[35] Kecuali didasarkan pada asas “litis finiri oportet” yang menjadi dasar ketentuan tentang tenggang waktu untuk mengajukan upaya hukum, maksudnya yaitu apa yang pada suatu waktu telah diselesaikan oleh hakim tidak boleh diajukan lagi kepada hakim.

Suatu putusan memperoleh kekuatan hukum yang pasti atau tetap (krach van gewijsde) apabila tidak ada lagi upaya hukum biasa tersedia. Termasuk upaya hukum biasa ialah perlawanan, banding, dan kasasi. Dengan memperoleh kekuatan hukum yang pasti maka putusan itu tidak lagi dapat diubah, sekalipun oleh pengadilan yang lebih tinggi, kecuali dengan upaya hukum yang khusus, yaitu request civil dan perlawanan oleh pihak ketiga. Pasal 1917 ayat 1 BW berbunyi, bahwa kekuatan mengikat daripada putusan itu terbatas pada pokok putusan (onderwerp van het vonnis).[36] Kekuatan mengikat dari putusan itu tidak meliputi penetapan-penetapan mengenai peristiwa. Apabila hakim dalam suatu putusan telah mengconstair suatu peristiwa tertentu berdasarkan alat-alat bukti tertentu, maka dalam sengketa lain peristiwa tersebut masih dapat disengketakan.

Telah dikemukakan di muka bahwa pada asasnya putusan hakim hanyalah mengikat para pihak (ps.1917 BW). Yang dimaksudkan dengan pihak bukanlah hanya penggugat dan tergugat saja, tetapi juga pihak ketiga yang ikut serta dalam suatu sengketa antara penggugat dan tergugat, baik dengan jalan interventie maupun pembebasan (vrijwaring) atau mereka yang diwakili dalam proses. Terhadap pihak ketiga putusan tidak mempunyai kekuatan mengikat. Tetapi pihak ketiga ini dapat mengajukan perlawanan terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti (ps.378 Rv). Dalam hal ini perlu mendapat perhatian bahwa hanya pihak ketiga yang dirugikan oleh putusan itulah yang dapat mengajukan perlawanan.

Suatu putusan dimaksudkan untuk menyelesaikan suatu persoalan atau sengketa dan menetapkan hak atau hukumnya. Ini tidak berarti semata-mata hanya menetapkan hak atau hukumnya saja, sehingga hal ini menjadi tidak terdapat terkecuali dalam hal dan perkara apapun, termasuk dalam sengketa pertanahan. Maka para pihak wajib melaksanakan putusan hakim yang telah memiliki kekuatan hukum tetap sebagai hukum dalam perkara konskrit di lapangan. Hal ini sebagai pelaksanaan putusan hakim sebagai Ultimum remedium (jalan terakhir) dalam sengketa pertanahan.

  1. PENUTUP

Kompleksitas penegakan hukum agraria menjadi persoalan serius, hal ini didasarkan pada fungsi tanah yang sangat strategis dalam menunjang aktivitas kemajuan ekonomi, social, budaya, teknologi dan informasi. Dengan demikian harus ada kemauan dan komitmen bersama untuk mencari solusi alternative konflik pertanahan di Indonesia yang telah memakan banyak korban jiwa, baik Pemerintah Daerah, Aparat Penegak Hukum, Perguruan Tinggi dan seluruh masyarakat agar mendahulukan penyelesaian secara kekeluargaan, namun apabila belum tercapai dapat dilakukan melalui mediasi, apabila masih belum tercapai, maka pengadilan merupakan jalan terakhir yang harus ditempuh. Sehingga putusan hakim sebagai Ultimum remedium (jalan terakhir) dalam sengketa pertanahan, dan siapapun wajib melaksanakan putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, karna posisinya sebagai hukum dalam kasus konkrit.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman. 1995. Tebaran Pikiran Mengenai Hukum Agraria, Bandung. Alumni

Ali Achmad Chomzah. 2002. Pedoman Pelaksanaan U.U.P.A dan Tata Cara Penjabat Pembuat Akta Tanah, Bandung.  Alumni

A P Perlindungan. 1998. Pendaftaran Tanah Di Indonesia, Bandung. Mandar Maju

Bachtiar Effendi, Pendaftaran Tanah Di Indonesia dan Peraturan-Peraturan Pelaksanaannya. Bandung : Alumni, 1983.

Badan Pertanahan Nasional, Reforma Agraria: Mandat Politik, Konstitusi, dan Hukum Dalam Rangka Mewujudkan “Tanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat”, Jakarta, 2007.

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 1999.

Darji Darmodiharjo dan Sidharta, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustka Utama, Jakarta, 2002.

D Walijatun, Pelayanan Prima Di Bidang Pertanahan Sebagai Bagian Dari Reinventing Government: Seminar Nasional Pertanahan, Yogyakarta

Eddy Ruchiyat. Politik Pertanahan Nasional Sampai Orde Reformasi. Bandung. PT. Alumni. 2004.

Efendi Perangin. 1983. Hukum Agraria Di Indonesia, Suatu Telaah Dari Sudut Pandang Praktis Hukum, Jakarta. CV Rajawali

Felix MT. Sitorus, Lingkup Agraria dalam Menuju Keadilan Agraria : 70 Tahun, 2002.

Gunawan Wiradi, Masalah Pembaruan Agraria: Dampak Land Reform terhadap Perekonomian Negara, Makalah yang disampaikan dalam rangkaian diskusi peringatan “Satu Abad Bung Karno” di Bogor, tanggal 4 Mei 2001

Hamadi Tamam. Kebijakan Pertanahan:Antara Regulasi dan Implementasi. Rajawali Pers, Jakarta. 2009.

Hasni, Hukum Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah. Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2008

Henri Lie A. Weng. 1970. Hukum Perdata dan Hukum Benda, Yogyakarta Liberty

Herry Bernstein et all, Kebangkitan Studi Reforma Agraria di Abad 21, STPN, 2008

H Soesangobeng, Upaya Pembentukan Materi Hukuk dan Kebijakan Pertanahan. STPN-BPN, Yogyakarta.

Joni Emirzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa Diluar Pengadilan Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi Arbitrase, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001.

Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001.

Maria S.W Sumardjono, Mediasi Sengketa Tanah Potensi Penerapan Alternatif Penyelesaian sengketa (ADR) Di Bidang Pertanahan, Penerbit Kompas Gramedia, 2008

M Wahid, Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah:Suatu Analisis dengan Pendekatan Terpadu Secara Normatif dan Sosiologis. Republika, Jakarta, 2008

Mariam Darus Badrulzaman. Kompilasi hukum Perikatan. Bandung. PT. Citra Aditya Bakti. 2001.

Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas Negara Hukum, Jakarta. Erlangga, 1980

Reksodiputro, Mardjono, Resolution Legal Institution and Alternative Dispute, Hasil Penelitian yang disajikan pada seminar nasional menyongsong penggunaan Hukum Era 2000, Semarang-13 Agustus 1996

Riduan Syahrani. Seluk-Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata. Bandung. PT. Alumni. 2004.

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1986.

Soerodjo. 2003. Proses Pendaftaran Tanah, Jakarta. Rineka Cipta

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1999.

Supriadi. 2007. Hukum Agraria, Jakarta. Sinar Grafika.

Wirjono Prodjodikuro, Hukum Atjara Pidana di Indonesia, Djakarta. Penerbit “Sumur Bandung”, 1977.

Wirjono Projodikoro, Bunga Rampai Hukum, Jakarta: lchtiar Baru. 1976

                [1] Tulisan ini disampaikan dalam kegiatan Focus Group Discussion (FGD) “Kebijakan Penyelesaian Pertanahan” yang diselenggarakan kerjasama Badan Pertanahan Nasional (BPN) dengan Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (FH-UGM) pada hari Selasa, 5 Juni 2012

                [2] Gunawan Wiradi, Masalah Pembaruan Agraria: Dampak Land Reform terhadap Perekonomian Negara, Makalah yang disampaikan dalam rangkaian diskusi peringatan “Satu Abad Bung Karno” di Bogor, tanggal 4 Mei 2001, Hal. 4

                [3] Badan Pertanahan Nasional, Reforma Agraria: Mandat Politik, Konstitusi, dan Hukum Dalam Rangka Mewujudkan “Tanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat”, Jakarta, 2007. Hal. 23

                [4] Felix MT. Sitorus, Lingkup Agraria dalam Menuju Keadilan Agraria : 70 Tahun, 2002. Hal. 11

                [5] Ibid

                [6] Herry Bernstein et all, Kebangkitan Studi Reforma Agraria di Abad 21, STPN, 2008, Hal. 6

                [7] Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 1999. Hal. 5

                [8] Maria S.W Sumardjono, Mediasi Sengketa Tanah Potensi Penerapan Alternatif Penyelesaian sengketa (ADR) Di Bidang Pertanahan, Penerbit Kompas Gramedia, 2008, Hal 38

                [9] Abdurrahman. 1995. Tebaran Pikiran Mengenai Hukum Agraria, Bandung. Alumni, Hal 85

                [10] Ali Achmad Chomzah. 2002. Pedoman Pelaksanaan U.U.P.A dan Tata Cara Penjabat Pembuat Akta Tanah, Bandung.  Alumni, Hal. 64

                [11] Laporan BPN RI Tahun 2007, Hal 26

                [12] Hamadi Tamam. Kebijakan Pertanahan: Antara Regulasi dan Implementasi. Rajwali Pers, Jakarta. 2009. Hal. 35

                [13] Ibid

                [14] M Wahid, Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah:Suatu Analisis dengan Pendekatan Terpadu Secara Normatif dan Sosiologis. Republika, Jakarta, 2008, Hal 38

                [15] H Soesangobeng, Upaya Pembentukan Materi Hukuk dan Kebijakan Pertanahan. STPN-BPN, Yogyakarta. Hal. 38

            [16] D Walijatun, Pelayanan Prima Di Bidang Pertanahan Sebagai Bagian Dari Reinventing Government: Seminar Nasional Pertanahan, Yogyakarta, Hal. 12

                [17] Hasni, Hukum Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah. Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2008, Hal. 29

                [18] Effendi, Bachtiar. Pendaftaran Tanah Di Indonesia dan Peraturan-Peraturan Pelaksanaannya. Bandung : Alumni, 1983. Hal. 83

                [19] Ibid

                [20] A P Perlindungan. 1998. Pendaftaran Tanah Di Indonesia, Bandung. Mandar Maju, Hal 82

                [21] Efendi Perangin. 1983. Hukum Agraria Di Indonesia, Suatu Telaah Dari Sudut Pandang Praktis Hukum, Jakarta. CV Rajawali, Hal. 72

                [22] Darji Darmodiharjo dan Sidharta, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustka Utama, Jakarta, 2002. Hal 56

                [23] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1986. Hal 48

                [24] Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001. Hal. 82

                [25] Henri Lie A. Weng. 1970. Hukum Perdata dan Hukum Benda, Yogyakarta Liberty, Hal 63

                [26] Soerodjo. 2003. Proses Pendaftaran Tanah, Jakarta. Rineka Cipta, Hal 71

                [27] Supriadi. 2007. Hukum Agraria, Jakarta. Sinar Grafika, Hal 43

                [28] Reksodiputro, Mardjono, Resolution Legal Institution and Alternative Dispute, Hasil Penelitian yang disajikan pada seminar nasional menyongsong penggunaan Hukum Era 2000, Semarang-13 Agustus 1996

                [29] Mariam Darus Badrulzaman. Kompilasi hukum Perikatan. Bandung. PT. Citra Aditya Bakti. 2001. Hal. 28

                [30] Joni Emirzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa Diluar Pengadilan Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi Arbitrase, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001. Hal 91

                [31] Riduan Syahrani. Seluk-Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata. Bandung. PT. Alumni. 2004. Hal 75

                [32] Eddy Ruchiyat. Politik Pertanahan Nasional Sampai Orde Reformasi. Bandung. PT. Alumni. 2004.

                [33] Wirjono Prodjodikuro, Hukum Atjara Pidana di Indonesia, Djakarta. Penerbit “Sumur Bandung”, 1977, Hal 23

                [34] Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas Negara Hukum, Jakarta. Erlangga, 1980, Hal. 31

                [35] Wirjono Projodikoro, Bunga Rampai Hukum, Jakarta: lchtiar Baru. 1976, Hal. 18

                [36] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1999, Hal. 48

You may also like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Verifikasi Bukan Robot *