UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA PERTANAHAN DAN PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN YANG BERKEKUATAN HUKUM TETAP DI SUMATERA UTARA

UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA PERTANAHAN

DAN PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN

YANG BERKEKUATAN HUKUM TETAP DI SUMATERA UTARA[1]

  1. Pendahuluan

Tanah merupakan asset yang sangat berharga. Bagi sebuah bangsa, tanah memegang peranan penting yang mampu menunjukkan kedaulatan bangsa yang bersangkutan. Pengambilalihan tanah oleh bangsa lain akibat penjajahan serta banyaknya konflik pertanahan yang timbul di dalam negeri akan berdampak negatif bagi pertumbuhan ekonomi, sosial dan politik dari negara yang bersangkutan.[2]

Selain itu tanah merupakan kebutuhan hidup manusia yang sangat mendasar. Manusia hidup serta melakukan aktivitas di atas tanah sehingga setiap saat manusia selalu berhubungan dengan tanah dapat dikatakan hampir semua kegiatan hidup manusia baik secara langsung maupun tidak langsung selalu memerlukan tanah. Pun pada saat manusia meninggal dunia masih memerlukan tanah untuk penguburannya Begitu pentingnya tanah bagi kehidupan manusia, maka setiap orang akan selalu berusaha memiliki dan menguasainya. Dengan adanya hal tersebut maka dapat menimbulkan suatu sengketa tanah di dalam masvarakat. Sengketa tersebut timbul akibat adanya perjanjian antara 2 pihak atau lebih yang salah 1 pihak melakukan wanprestasi.[3]

Tanah mempunyai peranan yang besar dalam dinamika pembangunan, maka didalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3 disebutkan bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat .Ketentuan mengenai tanah juga dapat kita lihat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau yang biasa kita sebut dengan UUPA. Timbulnya sengketa hukum yang bermula dari pengaduan sesuatu pihak (orang/badan) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah, baik terhadap status tanah, prioritas, maupun kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Mencuatnya kasus-kasus sengketa tanah di Indonesia beberapa waktu terakhir seakan kembali menegaskan kenyataan bahwa selama 62 tahun Indonesia merdeka, negara masih belum bisa memberikan jaminan hak atas tanah kepada rakyatnya.[4] Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria (UU PA) baru sebatas menandai dimulainya era baru kepemilikan tanah yang awalnya bersifat komunal berkembang menjadi kepemilikan individual.

Berdasarkan data statistic Polda Sumatera Utara[5] dari tahun 2005 s/d 2011 terjadi 2.794 sengketa tanah/ lahan di Sumatera Utara terdiri dari 2.460  Kasus, sengketa Tanah/Lahan Antara kelompok warga dengan kelompok masyarakat, 143 Kasus, sengketa Tanah/Lahan antara kelompok warga dengan Badan Hukum Publik (Instansi, PTP II. III dan IV), 182 Kasus, sengketa Tanah/Lahan antara Kerlompok warga dengan Badan Hukum Swasta, 4 Kasus,  sengketa Tanah/Lahan antara Badan Hukum Swasta dengan Badan Hukum Swasta dan 5 Kasus, sengketa Tanah/Lahan antara Badan Huklum Swasta dengan Badan Hukum Publik.

Dari  2.794 Kasus Tanah bila dikaji dari permasalahannya dapat dikelompokkan sebagai berikut :[6] (1) Penguasaan dan Pemilikan Tanah oleh Pihak Tertentu (Serobot, Merambah HGU tanpa Alas Hak) ada 2.239 Kasus, (2) Proses Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah (Tumpang Tindih, Gran Suiltan , Land Reform, Ulayat) ada 390 Kasus, dan (3)  Letak Batas,Luas Bidang Tanah yang diakui Pihak Lain ada 51 Kasus.

Perkembangan sifat dan substansi sengketa tanah di Sumatera Utara tidak hanya persoalan administrasi yang harus diselesaikan melalui hukum administrasi, akan tetapi telah merambah keranah politik, sosial, ekonomi, budaya  dan lainnya, oleh karena itu dalam penyelesaiannya menjadi tanggung jawab bersama untuk menangani secara konprehensif, cepat, tepat dan tidak menimbulkan akses negatif.

  1. Jenis/Karakter sengketa Pertanahan Sumatera Utara

Masuknya perusahaan perkebunan (onderneming) di wilayah Sumatera Utara, persoalan tanah telah menjadi pokok permasalahan utama mengingat perusahaan perkebunan memerlukan lahan bagi pengembangan usahanya dalam ukuran sangat luas dan tidak mungkin dipenuhi oleh penduduk secara perorangan. Dengan kebutuhan tersebut, dan ditopang dengan pandangan tentang hak penguasaan tanah di Eropa, pengusaha perkebunan ini mendekati para raja yang dianggap sebagai penguasa seluruh tanah di Sumatera Utara agar menyediakan tanah milik rakyat melalui jalur kontrak sewa (conssesie).[7] Proses masuknya para pengusaha perkebunan Barat ke Sumatera Utara ini tidak terlepas dari munculnya sistim dan situasi kolonial pada akhir abad XIX di tanah-tanah koloni Eropa. Dalam sistem dan situasi kolonial ini muncul hubungan kolonial (ketundukan) antara penguasa kolonial dan penduduk jajahannya. Di samping itu juga terdapat hubungan serupa antara tanah jajahan di Asia dengan negara induknya di Eropa yang bertumpu pada prinsip dominasi politik, eksploitasi ekonomi dan penetrasi kebudayaan yang dipaksakan. Bentuk penjajahan yang diterapkan oleh penguasa Eropa pada akhir abad XIX ini mengalami pergeseran dari sistem lama. Dalam gaya penguasaan lama negara induk dianggap sebagai lahan eksploitasi yang wajib menyetorkan hasil-hasilnya demi kejayaan negara penjajahnya di Eropa, sementara itu dalam bentuk penjajahan baru tanah koloni dianggap juga sebagai tempat proses produksi berlangsung, tempat pencarian tenaga kerja dan sekaligus sebagai lahan penjualan barang-barang hasil produksi di Eropa .

Dengan dimulainya eksploitasi dan investasi modal pengusaha perkebunan swasta ini, maka sejak itu persoalan sengketa hak penguasaan atas tanah selalu terjadi secara periodik dalam kehidupan di Sumatera Utara.[8] Sengketa ini berkisar tentang siapa yang berhak menyewakan, menggarap, mengolah dan menentukan perpanjangan sewa dengan pihak perkebunan. Di satu sisi terdapat rakyat yang memegang teguh prinsip adat dengan hak ulayatnya, di sisi lain pengusaha perkebunan merasa berhak menguasai tanah karena mereka telah membuat kontrak sewa dan menerima konsesi dari sultan yang dianggap sebagai pemilik tanah yang sah.

Pemerintah kolonial Belanda sebagai pihak fasilitator dan penjaga hukum serta ketertiban segera terlibat dalam persoalan sengketa tanah ini. Ada dua kepentingan utama yang mendorong keterlibatan pemerintah Belanda : menegakkan keamanan dan ketertiban mengingat para Sultan Melayu dianggap tidak mampu melaksanakannya, dan yang kedua sebagai peluang untuk memperluas pengaruh politiknya di tanah Melayu yang dianggapnya mengandung potensi luas bagi sumber produksi, sehingga akan menambah pemasukan bagi devisa negara.[9] Hal ini dimungkinkan bagi Belanda karena para raja Melayu saat itu berada dalam posisi yang terpecah-pecah dan saling bersaing, sehingga para raja yang secara ekonomi dan militer sangat lemah bergantung pada bantuan dan sekutu mereka. Untuk menghadapi ancaman dari musuh-musuhnya termasuk kaum pendatang Batak Toba yang mulai banyak memasuki wilayah Melayu, para sultan ini memerlukan sekutu baru yang bisa melindungi struktur dan keberadaan Kesultanannya. Tanpa menggunakan kekuatan militer yang tinggi, Belanda berhasil lewat jalur diplomasi menyatukan para sultan bersama para kepala adat Melayu, Batak Toba dan Batak Karo tunduk pada sistem baru yang dibentuk oleh pemerintah colonial.[10]

Keterlibatan pemerintah Belanda dalam aktivitas yang dilakukan oleh para pengusaha perkebunan swasta memaksa kalangan petinggi Belanda baik di Den Haag maupun Batavia untuk memikirkan suatu hukum khusus yang mengatur persoalan agraria dan diberlakukan di seluruh Hindia Belanda. Setelah melalui perdebatan dan penelitian yang panjang, maka pada tahun 1870 dikeluarkannya UU Agraria atau Agrarische Wet 1870[11]. Dengan bertumpu pada dasar hukum ini, pemerintah Belanda mempermudah penerapan kebijakan dalam kaitannya dengan hak penguasaan atas tanah penduduk pribumi (domein).

Hukum dasar ini tetap dipergunakan dan dipertahankan oleh pemerintah jajahan Belanda sampai akhir masa kekuasaannya, dan masih digunakan oleh pemerintah Republik Indonesia pada masa awal kemerdekaan tanpa mengalami banyak perubahan yang berarti. Sebagai akibatnya, berbagai bentuk sengketa tanah yang muncul di Sumatera Utara menunjukkan pola yang hampir sama meskipun dengan pelaku peran (occupant role) yang berbeda.[12] Bila di masa kolonial, sengketa muncul diantara pengusaha onderneming dengan rakyat saja, maka pada masa kekuasaan Republik Indonesia di awal kemerdekaannya persoalan ini diperparah lagi dengan munculnya partai-partai politik yang memiliki kepentingan berbeda. Partai-partai ini memanfaatkan konflik sengketa tanah di Sumatra Utara tersebut untuk mendapatkan dukungan dan pengaruh dari rakyat serta menggunakannya sebagai sarana untuk mencapai tujuan nasional mereka.

Pemerintah Indonesia segera memberikan perhatian serius pada persoalan sengketa tanah yang selalu kembali muncul ini. Dengan mengadakan penelitian lewat sebuah tim yang khusus dibentuk untuk itu, pemerintah mulai menyusun bentuk perundangan baru yang diharapkan bisa menggantikan Agrarische Wet lama produk hukum kolonial. Dengan perundangan baru ini, negara mengambil alih semua hak penguasaan atas tanah dan menegaskan berbagai macam bentuk kepemilikan tanah secara jelas melalui diterbitkannya sertifikat oleh lembaga hukum yang berwenang.

UUPA No.5 Tahun 1960 sebagai bentuk UU baru tentang ketentuan pokok agraria yang dikenal dengan UUPA, berlaku sebagai induk dari segenap peraturan pertanahan di Indonesia. UUPA ini mengandung asas (prinsip) bahwa semua hak atas tanah dikuasi oleh negara, dan asas bahwa hak milik atas tanah “dapat dicabut untuk kepentingan umum”. Kedua prinsip tersebut dengan tegas telah dituangkan dalam pasal 2 dan pasal 18 UUPA.

Berdasarkan pasal 2 UUPA ini negara menjadi pengganti semua pihak yang mengaku sebagai penguasa tanah yang sah. Negara dalam hal ini merupakan lembaga hukum sebagai organisasi seluruh rakyat Indonesia. Pemerintah sebagai lembaga pelaksana UU negara dalam proses ini bertindak sebagai pihak yang melaksanakan dan menerapkan ketentuan yang terdapat dalam pasal 2 UUPA tersebut.

Adapun kekuasaan negara yang dimaksud itu mengenai semua bumi, air dan ruang angkasa, baik sudah yang dihakki oleh seseorang maupun tidak. Kekuasaan negara mengenai tanah yang sudah dipunyai orang dengan suatu hak dibatasi oleh isi dari hak itu, artinya sampai seberapa negara memberi kekuasaan kepada yang mempunyai untuk menggunakan haknya, sampai di situlah batas kekuasaan negara. Dengan demikian pemerintah menjadi pihak yang wajib dan berwenang mengatasi dan menengahi sengketa hak penguasaan atas tanah yang muncul sekaligus menjadi fasilitator bagi pihak-pihak yang terlibat dalam sengketa.

Berbagai kasus sering terjadi dalam masyarakat dengan berbagai masalah, diantaranya yang paling menonjol adalah persoalan sengketa pertanahan antara masyarakat versus perkebunan yaitu tentang penggarapan baik yang mempunyai izin maupun penggarapan secara liar oleh masyarakat. Disamping itu penggusuran masyarakat di atas tanah sengketa baik oleh pemerintah maupun oleh pihak perkebunan[13] baik secara paksa maupun ganti rugi tetapi bentuk dan besarnya ganti rugi yang diberikan oleh perkebunan kepada rakyat dinilai tidak layak. Bahkan proses ini banyak yang menjadikan rakyat lebih miskin dari sebelumnya, karena uang ganti rugi itu tidak cukup untuk membeli lahan baru atau untuk mencari nafkah sesuai dengan keadaan semula. Dengan demikian dari sudut ekonomi tindakan tersebut sangat merugikan bagi rakyat. Rakyat terpaksa menyingkir dari lahan yang telah dibebaskan untuk kepentingan tanaman perkebunan dan harus mencari lahan baru yang tidak sesuai dengan tuntutan penanaman tanaman pangan mereka.

Konflik terjadi sejak dari konsesi perkebunan yang diberikan oleh kesultanan/swapraja dan pemerintah kolonial pada persusahaan perkebunan. Tanah konsesi tersebut pada dasarnya menyangkut hak ulayat masyarakat. Pemberian konsesi kepada pengusaha perkebunan telah terjadi pada masa kesultanan dan masa kolonial ini berlanjut dengan modifikasi hak konsesi menjadi hak erfacht.[14] Kondisi demikian diteruskan pula pada masa kemerdekaan, di mana tanah konsesi maupun hak erfacht yang diberikan pada perkebunan yang berakhir masa berlakunya dimodifikasi menjadi Hak Guna Usaha (HGU). Dalam tiga periode tersebut sengketa pertanahan masih berlangsung diantara pihak pengusaha perkebunan dengan masyarakat penunggu maupun masyarakat penggarap.

Pola sengketa berkisar antara rakyat dan pemerintah atau rakyat dan perkebunan (yang didukung oleh orang-orang pemerintah) mengenai penguasaan atas tanah; antara rakyat dengan pihak perkebunan serta kehutanan mengenai tanah garapan antara rakyat dengan rakyat itu sendiri mengenai masalah kepemilikan, penggarapan, warisan dan sewa menyewa. Sengketa tersebut diantaranya karena manipulasi pejabat atau perantara-perantara yang menjadi kaki-tangan perusahaan perkebunan sejak zaman kolonial.

Dalam praktek, penyelesaian masalah perkebunan itu ada yang diupayakan dengan pemberian ganti rugi lahan oleh pihak perkebunan pada petani penggarap, rakyat penunggu, maupun penggarap liar. Oleh pihak pemerintah ditempuh penyelesaian dengan jalan melepaskan hak atas tanah atau membebaskan areal perkebunan yang yang telah dikuasai penggarap dengan mengeluarkannya dari Hak Guna Usaha atau terhadap Hak Guna Usaha yang telah habis masa waktunya tidak diberikan perpanjangan lagi, kemudian lahan tersebut dibagi-bagikan oleh panitia kepada masyarakat penggarap. Namun hal ini, tidak membawa hasil yang memuaskan bahkan sengketa tanah antara pihak perkebunan versus rakyat penggarap terus berlanjut sampai saat ini.

Khusus di Sumatera Utara, berdasarkan pemantauan, yang paling besar presentasinya adalah sengketa masalah tanah. Tuntutan ini demikian derasnya, dimana-mana, di wilayah Sumatera Utara, terutama di sektor perkebunan, lahan perkebunan menjadi ajang dan tumpuan penjarahan dan pendudukan dari para penggarap yang mengaku dirinya petani. Ini dimulai dari Kotamadya Medan,[15] Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Langkat yang menjadi korban adalah PTPN II dan PTPN III, sebagian besar areal HGU nya jatuh dan diduduki oleh rakyat penggarap.[16] Tuntutan masyarakat penggarap berdalih demi reformasi dan atau karena reformasi, tanpa mendalami dengan benar maksud dan cita-cita s reformasi itu sendiri. Secara internal, pelanggaran hukum, pelanggaran HAM, telah berlangsung dimana, para aparat penegak hukum, tidak mampu berbuat banyak.

Disamping itu juga, penguasaan tanah dilakukan oleh rakyat tanpa alas hak yang sah dan dokumen kepemilikan tanah yang tidak lengkap. Maka dalam posisi yang demikian pemerintah dihadapkan pada suatu keadaan yang dilematis. Keadaan ini dapat melemahkan posisi pihak perkebunan yang membutuhkan tanah dan berpotensi menimbulkan masalah, yaitu rakyat tidak memilik bukti yang lengkap dan cukup atas tanah yang dimilikinya. Hal ini terutama terjadi pada tanah-tanah yang belum bersertifikat, yang disebabkan oleh pandangan adat yang masih melekat pada rakyat bahwa tanah merupakan hak milik komunal (hak ulayat), sehingga mereka menganggap hak penguasaan otomatis melekat pada hak penghunian atas tanah tersebut secara turun-temurun. Keadaan itu bukannya tidak diketahui oleh pihak yang memerlukan tanah dalam hal ini perkebunan, tetapi dengan berbagai alasan untuk melaksanakan usaha yang telah direncanakan tetap dilakukan penguasaan lahan. Akibatnya sulit bagi pihak yang membutuhkan tanah untuk menentukan tentang keabsahan pemegang hak penguasaan lahan yang diakui oleh rakyat.[17]

Konflik juga terjadi antara pemerintah dengan rakyat atau antara rakyat dengan pihak perkebunan yang membutuhkan tanah, karena kurangnya koordinasi antar instansi yang terkait di bidang pertanahan. Misalnya, tidak adanya sinkronisasi antara suatu sektor dengan sektor lainnya. Banyak sekali peraturan-peraturan yang tidak berjalan, ataupun saling bertabrakan dengan peraturan lain. Sebagai contoh dapat kita ajukan Undang-Undang Darurat Nomor 8 Tahun 1954 yang mengatur tentang penyelesaian soal pemakaian tanah perkebunan oleh rakyat, UU Darurat Nomor 1 Tahun 1956 tentang perubahan dan tambahan atas perubahan UU Darurat Nomor 8 Tahun 1954 mengenai penyelesaian soal pemakaian tanah perkebunan oleh rakyat, UU Nomor 28 Tahun 1956 tentang pengawasan terhadap pemindahan hak atas tanah-tanah perkebunan, UU Nomor 29 Tahun 1956 tentang peraturan-peraturan dan tindakan-tindakan mengenai tanah-tanah perkebunan, UU Nomor 76 Tahun 1957 tentang perubahan UU Nomor 24 Tahun 1954 dan UU Nomor 28 Tahun 1956, UU Nomor 51 Prp Tahun 1960 tentang larangan pemakaian tanah tanpa ijin yang berhak atau kuasanya, dan UU Nomor 20 Tahun 1961 tentang pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda yang terletak di atasnya, dll.

Almarhum Prof. Dr. AP. Parlindungan, juga pernah berpesan bahwa “Pemerintah khususnya di Sumatera Utara, harus cepat menentukan kebijakan yang tepat dibidang pertanahan. Karena apabila terlambat, saya tidak dapat memprediksi kekacauan apa yang kelak akan terjadi”

Namun keberadaan dari semua peraturan tersebut di atas, ternyata tidak dapat meredam terjadinya kasus pertanahan yang menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat. Dalam realita banyak terjadi konflik antara pemerintah dan rakyat atau antara rakyat dengan pihak badan usaha perkebunan yang masing-masing pihak membutuhkan tanah. Sengketa pertanahan ini kita jumpai hampir pada setiap daerah perkebunan yang ada di Indonesia.

Kecenderungan pemerintah mengabaikan faktor-faktor juridis dalam pembebasan atau pelepasan hak-hak atas tanah masyarakat, disebabkan instansi pemerintah tersebut lebih mementingkan target pemasukan produksi ekonomi sesuai dengan tahap-tahapnya. Oleh karena kuota produksi yang lebih diutamakan, maka pemerintah cenderung tidak teliti dalam memeriksa dokumen-dokumen kepemilikan dan hak-hak rakyat yang memiliki tanah, misalnya bukti kepemilikan. Disamping itu selalu terjadi pemaksaan kehendak, sehingga musyawarah tidak berjalan dan bentuk penyelesaian sengketa hanya ditetapkan secara sepihak oleh pemerintah dengan pendekatan politik dan kekuasaan.[18]

Dengan adanya berbagai peraturan dan kebijakan mengenai tanah yang telah dikemukakan di atas, seharusnya dapat dijadikan patokan dalam dua hal yaitu : di satu pihak peraturan itu merupakan landasan bagi pihak pemerintah untuk membuat larangan pemakaian tanah tanpa ijin yang berhak, sedangkan di lain pihak ia merupakan suatu jaminan hukum bagi rakyat agar tidak diperlakukan sewenang-wenang oleh pemerintah atau penguasa. Tetapi ternyata keberadaan peraturan itu tidak dapat menjamin adanya perlindungan bagi rakyat dari tindakan sewenang-wenang oleh pihak pemerintah.

 

  1. Faktor-faktor Penyebab Sengketa Pertanahan

Secara umum, sengketa tanah timbul akibat adanya beberapa faktor, faktor-faktor ini yang sangat dominan dalam setiap sengketa pertanahan dimanapun, adapun faktor-faktor tersebut antara lain:[19]

  1. Peraturan yang belum lengkap;
  2. Ketidaksesuaian peraturan;
  3. Pejabat pertanahan yang kurang tanggap terhadap kebutuhan dan jumlah tanah yang tersedia;
  4. Data yang kurang akurat dan kurang lengkap;
  5. Data tanah yang keliru;
  6. Keterbatasan sumber daya manusia yang bertugas menyelesaikan sengketa tanah;
  7. Transaksi tanah yang keliru;
  8. Ulah pemohon hak atau
  9. Adanya penyelesaian dari instansi lain, sehingga terjadi tumpang tindih kewenangan.

Secara umum, sengketa pertanahan yang timbul di Indonesia dapat dikelompokkan ke dalam 4 klasifikasi permasalahan, yaitu permasalahan yang berkaitan dengan:[20]

  1. Pengakuan kepemilikan atas tanah;
  2. Peralihan hak atas tanah;
  3. Pembebanan hak dan
  4. Pendudukan eks tanah partikelir.

 

Ditinjau dari subyek yang bersengketa, sengketa pertanahan dapat dikelompokkan ke dalam 3 macam yaitu :[21]

  1. Sengketa tanah antar warga;
  2. Sengketa tanah antara Pemerintah Daerah dengan warga setempat, dan
  3. Sengketa yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam

 

Sedangkan menurut Kepala BPN Pusat, setidaknya ada tiga hal utama yang menyebabkan terjadinya sengketa tanah:[22]

  1. Persoalan administrasi sertifikasi tanah yang tidak jelas, akibatnya adalah ada tanah yang dimiliki oleh dua orang dengan memiliki sertifikat masing-masing.
  2. Distribusi kepemilikan tanah yang tidak merata. Ketidakseimbangan dalam distribusi kepemilikan tanah ini baik untuk tanah pertanian maupun bukan pertanian telah menimbulkan ketimpangan baik secara ekonomi, politis maupun sosiologis. Dalam hal ini, masyarakat bawah, khususnya petani/penggarap tanah memikul beban paling berat. Ketimpangan distribusi tanah ini tidak terlepas dari kebijakan ekonomi yang cenderung kapitalistik dan liberalistik. Atas nama pembangunan tanah-tanah garapan petani atau tanah milik masyarakat adat diambil alih oleh para pemodal dengan harga murah.
  3. Legalitas kepemilikan tanah yang semata-mata didasarkan pada bukti formal (sertifikat), tanpa memperhatikan produktivitas tanah. Akibatnya, secara legal (de jure), boleh jadi banyak tanah bersertifikat dimiliki oleh perusahaan atau para pemodal besar, karena mereka telah membelinya dari para petani/pemilik tanah, tetapi tanah tersebut lama ditelantarkan begitu saja. Mungkin sebagian orang menganggap remeh dengan memandang sebelah mata persoalan sengketa tanah ini, padahal persoalan ini merupakan persoalan yang harus segera di carikan solusinya. Kenapa demikian? karena sengketa tanah sangat berpotensi terjadinya konflik antar ras, suku dan agama. Akibatnya harga diri harus dipertaruhkan.
  1. Strategi dan Konsep Penyelesaian Sengketa Tanah

Dalam upaya meminimalisir terhadap sengketa pertanahan, maka diperlukan strategi yang komprehensif guna mengantisipasi dan mengurangi angka sengeketa dibidang pertanahan, maka untuk itu perlu dilaksanakan beberapa upaya strategi sebagai berikut :[23]

  1. Strategis administrative Negara, yang sangat membutuhkan professional yang komprehenship/holistic (multidisiplin) yang tidak bisa diserahkan kepada professional berorientasi produk, perubahan struktur organisasi sektoral bukan berdasar produk (komoditas) tetapi struktur organisasi atas dasar proses. Hal ini meminimalisasi kepentingan-kepentingan sektoral atas dasar produk yang berdampak kebijakan yang dibuat menteri sebenarnya hanya hasil salah satu deputy yang tupoksinya produk bukan proses yang membutuhkan professional multidisiplin). Sekarang tidak bedanya format yang terjadi di Perguruan Tinggi dengan pembagian fakultasnya, apa seperti ini format Administrasi untuk semua Kementerian di Indonesia? Reformasi administrative. Khusus bidang pertanahan harus Bagaimana?
  2. Yudikatif, menyelesaikan timpang tindih perundangan dan rekomendasi perumusan payung regulasi pertanahan Negara dapat dibentuk “KPN” Komisi Pertanahan Negara yang merupakan bentuk implementasi regulasi kekuasaan Negara terhadap tanah Negara, yang sekarang diemban oleh kekuasaan pemerintah dan hanya sektoral.
  3. Strategi legislative (wakil rakyat) bersama presiden berkewajiban mengatur semua kebijakan terkait kekuasaan Negara, RAPBN (anggaran pendapatan dan belanja Negara sudah benar, RPTPN (Rencana Penyediaan Tanah Pembangunan Negara saat belum bekerja legislative, executive pun menyerahkan kepada sektoral yang menguasai (administrative–BPN, penguasaan tanah dominan –Kehutanan). Pertanyaannya apakah kehutanan bukan sektoral komoditas? Mengapa menguasai tanah Negara dan semua sektor mengacu kalau tidak mau dikatakan berbenturan dengan penguasaan oleh kehutanan yang sebenarnya penguasaannya oleh kekuasaan Negara. Sehingga perlu pertanyaan besar dimana letak demokrasinya untuk rakyat tanpa kekuasaan Negara yang bekerja (executive bersama legislative terkait dengan tanah, Mengapa anggaran bisa).

Sedangkan yang menjadi konseptual dalam penyelesaian sengketa pertanahan dapat dibagi menjadi 3 bagian yang saling berhubungan antar satu dengan yang lainnya, ketiga define konsep tersebut dapat diurai sebagai berikut :[24]

  1. Konsep Negara Kesejahteraan Sebagai Pedoman Penyelesaian Sengketa Pertanahan Di Indonesia

Di awal pembentukan negara Indonesia, telah ada kesadaran kebangsaan bahwa kesejahteraan rakyat hanya dapat terwujud lewat campur tangan Pemerintah. Pembukaan dan pasal-pasal dalam batang tubuh UUD 1945 menunjukkan bahwa cara mewujudkan kesejahteraan bagi bangsa Indonesia adalah dengan menjadikan peran negara melalui penyelenggaranya sebagai pemberi arahan, pembuat kebijakan dan aturan berdasarkan Pancasila sebagai ideologi dan falsafah negara.[25]

Hukum pertanahan Indonesia yang merupakan bagian dari hukum yang ada, pada prinsipnya berlandaskan pada konsep Negara kesejahteraan. Hal ini tampak pada ketentuan Pasal 33 Ayat (1-4) UUD 1945 hasil amandemen keempat. Selain UUD 1945. Masyarakat dikatakan sejahtera jika masyarakat tersebut telah mengalami peningkatan kualitas hidup yang layak dan bermartabat, dengan penekanan utama pada terpenuhinya kebutuhan pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan dan lapangan kerja. UUPA mengejawantahkan tujuan/misi yang terkandung di dalam kedua peraturan perundang-undangan di atasnya tersebut dengan menetapkan sejumlah aturan mengenai prinsip dasar penguasaan tanah beserta struktur hak-haknya.

Sebagai contoh, Pasal 7 UUPA yang memuat larangan penguasaan tanah yang melampaui batas, Pasal 10 UUPA yang mewajibkan pemilik tanah pertanian untuk mengerjakan sendiri tanah garapannya secara aktif guna mencegah terjadinya pemerasan, Pasal 17 UUPA yang mengatur luas minimum dan maksimum kepemilikan tanah oleh satu keluarga atau badan hukum guna menciptakan pemerataan penguasaan tanah, dan sebagainya.

  1. Konsep Sociological Jurisprudence Sebagai Pedoman Penyelesaian Sengketa Pemerintah Di Indonesia

Konsep ini mengacu kepada pemikiran bahwa law is a tool of social engineering,[26] dimana yang dimaksud dengan hukum sebagai alat rekayasa sosial adalah putusan pengadilan. Pemikiran Max Weber mengenai peran hukum dalam melakukan perubahan terhadap masyarakat dikaji lebih dalam oleh aliran sosiologis (sociological jurisprudence), terutama yang dilakukan Roscoe Pound pada tahun 1912.[27]

Roscoe Pound berpendapat bahwa para ahli hukum yang beraliran sosiologis perlu lebih memperhitungkan fakta-fakta sosial yang ada dalam pekerjaannya, apakah itu merupakan pembuatan hukum, penafsiran atau penerapan aturan-aturan hukum itu sendiri. Para ahli hukum harus mampu secara lebih cerdas memperhitungkan fakta-fakta sosial yang harus diserap dalam hukum dan yang kemudian menjadi sasaran penerapannya. Untuk itu, Roscoe Pound menyarankan supaya perhatian lebih terarah pada efek-efek nyata dari institusi dan doktrin hukum, karena kehidupan hukum terletak pada pelaksanaannya.

Agar hukum dapat lebih memenuhi kebutuhan masyarakat, kondisikondisi social yang paling mutakhir perlu diperhatikan. Singkatnya, dengan mengakomodasi perkembangan terakhir dari fakta-fakta social dalam arti kebutuhan, kepentingan dan aspirasi masyarakat, fungsi hukum sebagai social engineering akan lebih transformatif.

  1. Hukum Sebagai Sarana Pembaharuan Dan Pembangunan Masyarakat

Konsep hukum sebagai sarana pembaharuan dan pembangunan masyarakat didasarkan pada konsep law as a tool of social engineering yang tumbuh pada mazhab sociological jurisprudence, yang kelahirannya dipelopori antara lain oleh Roscoe Pound, Eugen Ehrlich, Benyamin Cardozo, Kantorowics, Gurvitch. Dalam konsep hukum sebagai sarana pembaharuan ini, penekanan kata hukum lebih condong kepada  peraturan perundang-undangan, di mana hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat. Artinya, hukum yang dikehendaki adalah hukum yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat setempat. Ini berarti bahwa living law-lah yang menjadi pusat perhatian.

Apabila konsep hukum sebagai sarana pembaharuan dan pembangunan masyarakat dikaitkan dengan praktik pengadilan yang menangani sengketa tanah di Indonesia dewasa ini, dapat dikatakan bahwa badan peradilan, melalui keputusannya seharusnya merupakan media untuk menciptakan ketertiban dibidang pertanahan.[28] Oleh karena itu, penegakan prinsip keadilan dan demokrasi ekonomi perlu disertai kepedulian terhadap kaum lemah, penggalian potensi bangsa, baik sebagai konsumen, pengusaha maupun sebagai tenaga kerja tanpa membedakan suku, agama dan gender untuk memperoleh kesempatan, perlindungan dan hak untuk meningkatkan taraf hidupnya maupun untuk turut berperan aktif dalam berbagai kegiatan ekonomi, termasuk dalam memanfaatkan serta memelihara tanah sebagai salah satu kekayaan alam Indonesia.

Dalam rangka memanfaatkan dan menggunakan tanah sebagai salah satu sumber daya agraria secara adil, transparan dan produktif, keberadaan hak ulayat dan masyarakat adatnya perlu diperhatikan.[29] Selain itu, kelengkapan data mengenai keberadaan, jumlah/luas tanah beserta status penguasaannya haruslah lengkap dan up to date, sehingga dengan demikian akan tercipta tata ruang wilayah yang serasi dan seimbang. Kalaupun terjadi sengketa atas tanah di suatu wilayah, dapat segera diatasi oleh pejabat setempat dan hasil penyelesaian sengketa tersebut akan lebih dapat diterima para pihak yang bertikai. Kondisi inilah yang nantinya akan menciptakan pembaharuan hukum pertanahan dan sekaligus pembangunan masyarakatnya. Pembaharuan hukum pertanahan yang didahului oleh pengembangan kebijakan pertanahan tentunya harus diawali dengan pengembangan hukum pertanahan sebagai bagian dari sistem hukum nasional. Namun demikian, pengembangan tersebut semestinya tetap berpedoman pada prinsip-prinsip dasar yang ada pada UUPA sebagai ketentuan pokok hukum pertanahan nasional.[30]

  1. Revitalisasi Fungsi Badan Peradilan Sebagai Upaya Alternatif Penyelesaian Sengketa Pertanahan

Supaya fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial, alat pembaharuan dan pembangunan masyarakat dapat terwujud, sejumlah persyaratan harus terpenuhi, antara lain:[31]

  1. Adanya aturan hukum yang baik, yang sinkron secara vertikal maupun horisontal. Sinkron secara vertikal berarti bahwa aturan ditingkat yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan yang ada di atasnya (lebih tinggi). Sedangkan sinkron secara horisontal berarti bahwa aturan yang ada tidak boleh bertentangan dan/atau tumpang tindih dengan aturan setingkatnya, terutama jika mengatur materi hukum yang sama;
  2. Adanya sumber daya manusia yang baik, yaitu aparat penegak hukum yang kapabel, berkompetensi serta berintegritas tinggi dengan kepribadian yang jujur dan tangguh;
  3. Ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai, serta
  4. Adanya masyarakat yang baik, yang memiliki tingkat pendidikan yang memadai, berbudaya serta menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan.

Dalam rangka memenuhi keempat persyaratan tersebut di atas, aplikasi fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial dan sebagai sarana pembaharuan serta pembangunan  masyarakat dapat dirumuskan dalam konteks revitalisasi fungsi peradilan. Pengertian revitalisasi itu sendiri mencakup:[32]

  1. Perubahan gradual pada fungsi badan peradilan seperti pembenahan tertentu pada fungsi peradilan tertentu dengan tetap mengacu pada fungsi yang sudah ada, atau
  2. Perubahan radikal terhadap fungsi peradilan yang telah ada/berjalan. Ini berarti ada fungsi baru yang diciptakan.

Revitalisasi itu sendiri lebih ditujukan kepada badan peradilan karena istilah “peradilan” merujuk pada prosedur atau cara serta proses mengadili dari suatu perkara. Sedangkan istilah “pengadilan” lebih merujuk pada suatu institusi, badan atau lembaga tempat proses peradilan itu berlangsung. Dengan demikian, maka revitalisasi badan peradilan berarti revitalisasi fungsi pengadilan.

Sebagai upaya penyelesaian sengketa pertanahan, maka sebaiknya diupayakan menggunakan dengan sebaik-baiknya jalur mediasi, sehingga tercapailah win win solution diantara para pihak yang berperkara. Mediasi adalah salah satu proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat, murah, dan juga dapat memberikan akses keadilan yang lebih besar kepada pihak-pihak dalam menemukan jalan penyelesaian sengketa yang memuaskan dan memberikan rasa keadilan. Pengintegrasian mediasi kedalam proses beracara di pengadilan dapat menjadi salah satu instrumen yang cukup efektif dalam mengatasi masalah penumpukan perkara di pengadilan dan juga memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga non-peradilan untuk penyelesaian sengketa di samping proses acara pengadilan yang besifat ajudikatif (memutus).[33]

Orang yang (merasa) dirugikan orang lain dan ingin mendapatkan kembali haknya, harus mengupayakan melalui prosedur yang berlaku, baik melalui litigasi (pengadilan) maupun alternatif penyelesaian sengketa (Alternative Dispute Resolution/ADR) dan tidak boleh main hakim sendiri (eigerichting).[34]  Di pengadilan, penyelesaian perkara dimulai dengan mengajukan gugatan ke pengadilan yang berwenang. Penyelesaian sengketa hukum melalui pengadilan ini dilakukan dengan 3 tahap. Tahap permulaan dengan mengajukan gugatan sampai dengan jawab jinawab. Tahap penentuan dimulai dari pembuktian sampai dengan putusan, dan tahap pelaksanaan adalah pelaksanaan putusan. Setiap tahap tersebut memerlukan waktu relatif lama, mahal dan prosedur yang cukup rumit.

Dalam perkembangannya, tuntutan akan kecepatan, kerahasiaan, efisiensi dan efektifitas serta demi menjaga kelangsungan hubungan antara pihak yang bersengketa, selama belum dapat direspon lembaga litigasi (pengadilan), sehingga mendapat banyak kritikan. Dalam operasionalnya, pengadilan dinilai lamban, mahal, memboroskan energi, waktu, uang serta win-win slution.[35] Karena itu, penyelesaian sengketa alternatif mendapat sambutan positif, terutama di dunia bisnis yang menghendaki efisiensi, kerahasiaan serta lestarinya hubungan kerja sama, tidak formalistis, serta menghendaki penyelesaian yang lebih menekankan pada keadilan. Alternatif dimaksud adalah mediasi sebelum perkara diajukan ke pengadilan dimulai.

Indonesia, dalam hal lembaga mediasi, dulunya lebih maju dari negara lain. Hukum Acara Perdata yaitu HIR (het Herziene reglement) pasal 130 dan R.Bg. (Rechtsreglement Buitengewesten) pasal 154, misalnya, telah mengatur lembaga perdamaian, dimana hakim yang mengadili wajib mendamaikan lebih dahulu pihak yang berperkara, sebelum perkaranya diperiksa secara ajudikasi. Selain itu, dikeluarkan pula SEMA No. 1 tahun 2002 tentang Pemberdayaan lembaga perdamaian dalam pasal 130 HIR/154 r.Bg. Sementara tentang mediasi atau alternatif penyelesaian sengketa (APS) di luar pengadilan, diatur dalam pasal 6 UU No. 30 tahun 1999 tentang arbitrase penyelesaian sengketa. Lembaga-lembaga APS bisa dijumpai secara luas dalam berbagai bidang seperti UU bidang Lingkungan Hidup, Pertumbuhan, Perlindungan Konsumen dan lain sebagainya.

Mahkamah Agung (MA) RI juga telah mengeluarkan Peraturan MA No. 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang mewajibkan pihak yang bersengketa perdata, lebih dulu menempuh proses mediasi. Yaitu melalui perundingan antara pihak yang bersengketa dengan bantuan pihak ketiga yang netral dan tidak memiliki kewenangan memutus (mediator).[36] Berkaitan dengan hal itu, MA mewajibkan penggunaan jasa mediasi sebagai upaya memaksimalkan perdamaian sebagaimana diatur dalam pasal 130 HIR dan pasal 1154 Rbg.  Peraturan MA. RI No. 2 Tahun 2003 menyediakan pilihan kepada para pihak yang bersengketa menggunakan jasa mediator yang Tersedia di Pengadilan Negeri atau menggunakan jasa mediator di luar pengadilan. Oleh karena itu, kehadiran MA RI No. 2 Tahun 2003, membuka peluang bagi seseorang menjalankan fungsi mediator sebagai sebuah profesi penuh atau profesi tambahan (sampingan).

Hukum acara yang berlaku selama ini baik Pasal 130 HIR ataupun Pasal 154 RBg, mendorong para pihak yang bersengketa untuk menempuh proses mediasi yang dapat diintensifkan dengan cara menggabungkan proses mediasi kedalam prosedur berperkara di Pengadilan Negeri, seiring terbentuknya peraturan perundang-undangan dan dengan memperhatikan wewenang Mahkamah Agung dalam mengatur acara peradilan yang belum cukup diatur oleh peraturan perundang-undangan, maka demi kepastian, ketertiban, dan kelancaran dalam proses mendamaikan para pihak dalam menyelesaikan suatu sengketa perdata, kedua aturan tersebut menjadi landasan. Untuk itu kemudian Mahkamah Agung mengeluarkan PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan

Pada Bab I Perma tersebut dijelaskan tentang ketentuan umum berlakunya Perma tersebut. Bab ini terdapat 6 pasal yang dimana pada Pasal 1 adalah penjelasan tentang definisi-definisi istilah yang terdapat pada mediasi. Pasal 2 menjelaskan tentang ruang lingkup dan kekuatan berlaku Perma, dimana hanya berlaku untuk mediasi yang terkait proses berperkara di pengadilan. Pada Pasal 3 dijelaskan tentang biaya pemanggilan para pihak yang dibebankan kepada pihak penggugat, dan jika berhasil mencapai kesepakatan biaya ditanggung bersama atau dengan kesepakatan para pihak. Pasal 4 menjelaskan jenis perkara yang dimediasi adalah semua perkara perdata kecuali sengketa melalui prosedur pengadilan niaga, pengadilan hubungan industrial, keberatan atas putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, dan keberatan atas putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Pasal 5 tentang Sertifikasi Mediator dimana mediator harus memiliki sertifikat mediator setelah mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh lembaga yang telah mendapat akreditasi dari Mahkamah Agung. Pada Pasal 6 menjelaskan proses mediasi adalah tertutup kecuali kehehdak para pihak sendiri.

Bab II menjelaskan tentang tahap pra mediasi dimana pada Pasal 7 menjelaskan tentang kewajiban hakim pemeriksa perkara dan kuasa hukum. Pasal 8 menjelaskan tentang hak para pihak dalam memilih mediator. Pada pasal 9, pengadilan menyediakan sekurang-kurangnya 5 daftar nama mediator ke para pihak yang bersengketa. Pada pasal 10 dijelaskan mengenai honorarium mediator dimana jika mediator hakim tidak dipungut biaya namun mediator bukan hakim ditanggung bersama atau kesepakatan para pihak. Pasal 11 menjelaskan batas waktu pemilihan mediator. Pada pasal 12 dijelaskan bahwa para pihak wajib menjalani proses mediasi dengan itikad baik.

Bab III dalam Perma Nomor 1 Tahun 2008 adalah mengenai tahap-tahap proses mediasi. Pasal 13 dijelaskan tentang penyerahan resume perkara dan waktu untuk menjalani proses mediasi tersebut. Pada pasal 14 dejelaskan tentang kewenangan mediator menyatakan suatu proses mediasi telah gagal salah satunya apabila salah satu pihak atau kuasa hukumnya tidak menghadiri mediasi dua kali berturut-turut. Pasal 15 menjelaskan tugas-tugas dari seorang mediator dalam menangani suatu proses mediasi. Pada pasal 16 dijelaskan bahwa dalam keadaan tertentu, mediator dapat memanggil seorang atau lebih yang lebih ahli dalam suatu bidang tertentu. Pasal 17 menjelaskan tentang pencapaian kesepakatan dalam suatu proses mediasi dan berikutnya pada Pasal 18 dijelaskan tidak tercapainya tujuan kesepakatan dalam proses mediasi. Pasal 19 menjelaskan tentang keterpisahan mediasi dari litigasi.

Bab IV Perma Nomor 1 Tahun 2008 menjelaskan tentang tempat penyelenggaraan mediasi sebagaimana dijelaskan pada Pasal 20. Pada Bab V dijelaskan tentang perdamaian di tingkat banding, kasasi, dan peninjauan kembali dijelaskan pada Pasal 21 dan Pasal 22. Bab VI menjelaskan tentang kesepakatan di luar pengadilan yang dijelaskan pada Pasal 23. Pada Bab VII menjelaskan tentang pedoman perilaku mediator dan insentif yang dijelaskan pada Pasal 24 dan Pasal 25. Dan pada Bab VIII merupakan penutup menjelaskan pada Pasal 26 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003 tidak berlaku lagi dan pada pasal 27 dijelaskan berlakunya Peraturan Mahkamah Agung ini sejak tanggal ditetapkannya Perma tersebut pada tanggal 31 Juli 2008.

Kelebihan dari penyelesaian secara mediasi terutama dari segi biaya tidak mahal, jangka waktu tidak lama dan prosesnya tidak berbelit-belit.[37] Sedangkan kelemahannya apa yang sudah disepakati para pihak yang bersengketa dalam  mediasi ternyata kemudian dilanggar oleh salah satu pihak.  Jika para pihak tidak menemukan kesepakatan dalam mediasi, pengadilan merupakan jalan terakhir yang harus ditempuh. Sehingga putusan hakim sebagai Ultimum remedium (jalan terakhir) dalam sengketa pertanahan.

  1. Penutup

                        Kompleksitas persoalan pertanahan di Sumatera Utara menjadi fenomena yang sangat pelik dan diharapkan mampu dengan segera dicarikan solusi alternative penanganan yang progresif, sebelum memakan korban yang lebih besar lagi. Kemauan dan komitmen dari seluruh kalangan baik Pemerintah Daerah, Aparat Penegak Hukum, Perguruan Tinggi dan seluruh masyarakat agar mendahulukan penyelesaian secara kekeluargaan, namun apabila belum tercapai dapat dilakukan melalui mediasi, apabila masih belum tercapai, maka pengadilan merupakan jalan terakhir yang harus ditempuh. Sehingga putusan hakim sebagai Ultimum remedium (jalan terakhir) dalam sengketa pertanahan.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman. 1995. Tebaran Pikiran Mengenai Hukum Agraria, Bandung. Alumni.

Achmad Rubaie, Politik Hukum Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Bayu Media Publishing, Malang, 2006.

Ali Achmad Chomzah. 2002. Pedoman Pelaksanaan U.U.P.A dan Tata Cara Penjabat Pembuat Akta Tanah, Bandung.  Alumni.

Anthony Reid, Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan Di Sumatera Utara, (Jakarta: Sinar Harapan, 1987)

A P Perlindungan. 1998. Pendaftaran Tanah Di Indonesia, Bandung. Mandar Maju.

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 1999.

_______________, Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta: Jambatan) 2005.

Darji Darmodiharjo dan Sidharta, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustka Utama, Jakarta, 2002.

Direktorat Agraria Provinsi Sumatera Utara, Himpunan Risalah Pertumbuhan dan Perkembangan Hak Konsesi dan Erfach Perkebunan Besar dan Penyelesaian Pendudukan Rakyat atas Tanah Perkebunan di Provinsi Sumatera Utara, (Medan, 1976)

Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain yang Melekat pada Tanah Dalam konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, Suatu Konsep Dalam Menyongsong Lahirnya Lembaga Hak Tanggungan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996

Efendi Perangin. 1983. Hukum Agraria Di Indonesia, Suatu Telaah Dari Sudut Pandang Praktis Hukum, Jakarta. CV Rajawali.

Eddy Ruchiyat. Politik Pertanahan Nasional Sampai Orde Reformasi. Bandung. PT. Alumni. 2004.

Henri Lie A. Weng. 1970. Hukum Perdata dan Hukum Benda, YogyakartaLiberty.

Joni Emirzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa Diluar Pengadilan Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi Arbitrase, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001.

Karl J. Pelzer, Sengketa Agraria, Pengusaha Perkebunan Melawan Petani, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1991)

Laporan BPN RI Tahun 2007.

Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001.

Mahadi, Sedikit Sejarah Perkembangan Hak-hak Suku Melayu Atas Tanah di Sumatera Timur (Tahun 1800-1975), (Bandung: Alumni, 1978)

Maria S.W Sumardjono, Mediasi Sengketa Tanah Potensi Penerapan Alternatif Penyelesaian sengketa (ADR) Di Bidang Pertanahan, Penerbit Kompas Gramedia, 2008.

Mariam Darus Badrulzaman. Kompilasi hukum Perikatan. Bandung. PT. Citra Aditya Bakti. 2001.

Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional, Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi FH-UNPAD, Bandung, 1970.

Otje Salman Soemadiningrat. Sosiologi Hukum Suatu Pengantar. Jakarta. CV. Armico. 1984.

Pemda Medan, Sejarah Pemerintah Dati II Kodya Medan, Tanpa Penerbit.

Reksodiputro, Mardjono, Resolution Legal Institution and Alternative Dispute, Hasil Penelitian yang disajikan pada seminar nasional menyongsong penggunaan Hukum Era 2000, Semarang-13 Agustus 1996

Riduan Syahrani. Seluk-Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata. Bandung. PT. Alumni. 2004.

Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo, Sejarah Perkebunan di Indonesia: Kajian Sosial Ekonomi (Aditya Media, Yogyakarta, 1991)

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1986.

Subekti, R. dan Tjiptosudibio, R, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Burgerlijk Wetboek, dengan Tambahan Undang-undang Pokok Agraria dan Undang-undang Perkawinan.

Syafruddin Kalo, Desertasi, Masyarakat dan Perkebunan: Studi Mengenai Sengketa Pertanahan Antara Masyarakat Versus PTPN-II dan PTPN III Di Sumatera Utara, (Medan: PPS USU, 2003)

Soerodjo. 2003. Proses Pendaftaran Tanah, Jakarta. Rineka Cipta.

Supriadi. 2007. Hukum Agraria, Jakarta. Sinar Grafika.

                [1] Artikel ini disampaikan dalam kegiatan Seminar Nasional dengan Tema “Penyelesaian Masalah Pertanahan di Sumatera Utara” yang diselenggarakan oleh Universitas Pembangunan Panca Budi bertempat di Ruang Seminar Gedung A Lt. 1, Kampus Universitas Panca Budi, Jl. Jend. Gatot Subroto KM 4,5 Medan, pada hari Kamis, 10 Mei 2012

                [2] Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 1999. Hal. 5

                [3] Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta: Jambatan), hal. 49

                [4] Karl J. Pelzer, Sengketa Agraria, Pengusaha Perkebunan Melawan Petani, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1991), hal.58

                [5] Data diolah dari hasil data statistic Kepolisian Daerah Sumatera Utara, diakses di http://www.sumut.polri.go.id/, pada tanggal 5 Mei 2012

                [6] Ibid

                [7] Subekti, R. dan Tjiptosudibio, R, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Burgerlijk Wetboek, dengan Tambahan Undang-undang Pokok Agraria dan Undang-undang Perkawinan. Hal. 495

                [8] Mahadi, Sedikit Sejarah Perkembangan Hak-hak Suku Melayu Atas Tanah di Sumatera Timur (Tahun 1800-1975), (Bandung: Alumni, 1978), hal.  5

                [9] Anthony Reid, Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan Di Sumatera Utara, (Jakarta: Sinar Harapan, 1987), hal. 87

                [10] Mahadi, Op Cit

                [11] Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain yang Melekat pada Tanah Dalam konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, Suatu Konsep Dalam Menyongsong Lahirnya Lembaga Hak Tanggungan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm. 45.

[12]

                [13] Syafruddin Kalo, Desertasi, Masyarakat dan Perkebunan: Studi Mengenai Sengketa Pertanahan Antara Masyarakat Versus PTPN-II dan PTPN III Di Sumatera Utara, (Medan: PPS USU, 2003), hal. 32-34

                [14] Mahadi, Op Cit

                [15] Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo, Sejarah Perkebunan di Indonesia: Kajian Sosial Ekonomi (Aditya Media, Yogyakarta, 1991), hal. 5 dan 13

                [16] Pemda Medan, Sejarah Pemerintah Dati II Kodya Medan, Tanpa Penerbit, hal. 48

                [17] Direktorat Agraria Provinsi Sumatera Utara, Himpunan Risalah Pertumbuhan dan Perkembangan Hak Konsesi dan Erfach Perkebunan Besar dan Penyelesaian Pendudukan Rakyat atas Tanah Perkebunan di Provinsi Sumatera Utara, (Medan, 1976), hal. 4

                [18] Achmad Rubaie, Politik Hukum Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Bayu Media Publishing, Malang, 2006. Hal 32

[19] Maria S.W Sumardjono, Mediasi Sengketa Tanah Potensi Penerapan Alternatif Penyelesaian sengketa (ADR) Di Bidang Pertanahan, Penerbit Kompas Gramedia, 2008, Hal 38

                [20] Abdurrahman. 1995. Tebaran Pikiran Mengenai Hukum Agraria, Bandung. Alumni, Hal 85

                [21] Ali Achmad Chomzah. 2002. Pedoman Pelaksanaan U.U.P.A dan Tata Cara Penjabat Pembuat Akta Tanah, Bandung.  Alumni, Hal. 64

                [22] Laporan BPN RI Tahun 2007, Hal 26

                [23] A P Perlindungan. 1998. Pendaftaran Tanah Di Indonesia, Bandung. Mandar Maju, Hal 82

                [24] Efendi Perangin. 1983. Hukum Agraria Di Indonesia, Suatu Telaah Dari Sudut Pandang Praktis Hukum, Jakarta. CV Rajawali, Hal. 72

                [25] Darji Darmodiharjo dan Sidharta, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustka Utama, Jakarta, 2002. Hal 56

                [26] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1986. Hal 48

                [27] Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001. Hal. 82

                [28] Henri Lie A. Weng. 1970. Hukum Perdata dan Hukum Benda, Yogyakarta Liberty, Hal 63

                [29] Soerodjo. 2003. Proses Pendaftaran Tanah, Jakarta. Rineka Cipta, Hal 71

                [30] Supriadi. 2007. Hukum Agraria, Jakarta. Sinar Grafika, Hal 43

                [31] Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional, Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi FH-UNPAD, Bandung, 1970.

                [32] Otje Salman Soemadiningrat. Sosiologi Hukum Suatu Pengantar. Jakarta. CV. Armico. 1984. Hal. 28

                [33] Reksodiputro, Mardjono, Resolution Legal Institution and Alternative Dispute, Hasil Penelitian yang disajikan pada seminar nasional menyongsong penggunaan Hukum Era 2000, Semarang-13 Agustus 1996

                [34] Mariam Darus Badrulzaman. Kompilasi hukum Perikatan. Bandung. PT. Citra Aditya Bakti. 2001. Hal. 28

                [35] Joni Emirzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa Diluar Pengadilan Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi Arbitrase, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001. Hal 91

                [36] Riduan Syahrani. Seluk-Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata. Bandung. PT. Alumni. 2004. Hal 75

                [37] Eddy Ruchiyat. Politik Pertanahan Nasional Sampai Orde Reformasi. Bandung. PT. Alumni. 2004.

Continue Reading

PENEGAKAN HUKUM AGRARIA DAN PENYELESAIAN SENGKETA PERTANAHAN DALAM PROSES PERADILAN

PENEGAKAN HUKUM AGRARIA

DAN PENYELESAIAN SENGKETA PERTANAHAN

DALAM PROSES PERADILAN[1]

  1. PENDAHULUAN

Sengketa tanah adalah sengketa yang timbul karena adanya konflik kepentingan atas tanah. Sengketa tanah tidak dapat dihindari dizaman sekarang, ini disebabkan karena berbagai kebutuhan tanah yang sangat tinggi di zaman sekarang sementara jumlah bidang tanah terbatas.[2] Hal tersebut menuntut perbaikan dalam bidang penataan dan penggunaan tanah untuk kesejahteraan masyarakat dan terutama kepastian hukumnya. Untuk itu berbagai usaha yang dilakukan pemerintah yaitu mengupayakan penyelesaian sengketa tanah dengan cepat untuk menghindari penumpukan sengketa tanah, yang dapat merugikan masyarakat misalnya tanah  tidak dapat digunakan karena tanah tersebut dalam sengketa.

Pada dasarnya pilihan penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan 2 (dua) proses. Proses penyelesaian sengketa melalui litigasi di dalam pengadilan, kemudian berkembang proses penyelesaian sengketa melalui kerja sama (kooperatif) di luar pengadilan.[3] Proses litigasi menghasilkan kesepakatan yang bersifat adversial yang belum mampu merangkul kepentingan bersama, cenderung menimbulkan masalah baru, lambat dalam penyelesaiannya. Sebaliknya, melalui proses di luar pengadilan menghasilkan kesepakatan kesepakatn yang bersifat “win-win solution”,[4] dihindari dari kelambatan proses penyelesaian yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif, menyelesaikan komprehensif dalam kebersamaan dan tetap menjaga hubungan baik.

Penggunaan pranata penyelesaian sengketa diluar pengadilan tersebut kemudian diterapkan di Negara Indonesia yang di buatkan melaui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, telah menyediakan beberapa pranata pilihan penyelesaian sengketa (PPS) secara damai yang dapat ditempuh para pihak untuk menyelesaikan sengketa atau beda pendapat perdata mereka, apakah pendayagunaan pranata konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.[5] Pilihan penyelesaian sengketa (PPS) di luar pengadilan hanya dapat ditempuh bila para pihak menyepakati penyelesaiannya melaui pranata pilihan penyelesaian sengketa (PPS). Kemudian pilihan penyelesaian sengketa (PPS) dalam penyelesian sengketa diluar pengadilan ini berkembang pada kasus-kasus perkara lain seperti kasus-kasus perkara pidana tertentu dan sengketa tenaga kerja ataupun pada sengketa lingkungan dan sengketa tanah, sehingga pilihan penyelesaian sengketa diluar pengadilan tidak hanya berlaku pada kasus-kasus perdata saja.

Secara ekonomis, sengketa itu telah memaksa pihak yang terlibat untuk mengeluarkan biaya.[6] Semakin lama proses penyelesaian sengketa itu, maka semakin besar biaya yang harus dikeluarkan dan sering kali biaya yang dikeluarkan untuk menyelesaikan sengketa tanah hingga selesai tidak sebandingkan dengan harga dari obyek tanah yang disengketakan. Namun oleh sebagian orangatau golongan tertentutanah sebagai harga diri yang harus dipegang teguh, tanah akan dipertahankan sampai mati.

Selama konflik berlangsung tanah yang menjadi obyek konflik biasanya berada dalam keadaaan status quo sehingga tanah yang bersangkutan tidak dapat dimanfaatkan. Akibatnya terjadi penurunan kualitas sumber daya tanah yang dapat merugikan kepentingan banyak pihak dan tidak tercapainya asas manfaat tanah.[7]

  1. GEJALA UMUM SENGKETA PERTANAHAN DI INDONESIA

Secara umum, sengketa tanah timbul akibat adanya beberapa faktor, faktor-faktor ini yang sangat dominan dalam setiap sengketa pertanahan dimanapun, adapun faktor-faktor tersebut antara lain:[8]

  1. Peraturan yang belum lengkap;
  2. Ketidaksesuaian peraturan;
  3. Pejabat pertanahan yang kurang tanggap terhadap kebutuhan dan jumlah tanah yang tersedia;
  4. Data yang kurang akurat dan kurang lengkap;
  5. Data tanah yang keliru;
  6. Keterbatasan sumber daya manusia yang bertugas menyelesaikan sengketa tanah;
  7. Transaksi tanah yang keliru;
  8. Ulah pemohon hak atau
  9. Adanya penyelesaian dari instansi lain, sehingga terjadi tumpang tindih kewenangan.

Secara umum, sengketa pertanahan yang timbul di Indonesia dapat dikelompokkan ke dalam 4 klasifikasi permasalahan, yaitu permasalahan yang berkaitan dengan:[9]

  1. Pengakuan kepemilikan atas tanah;
  2. Peralihan hak atas tanah;
  3. Pembebanan hak dan
  4. Pendudukan eks tanah partikelir.

 

Ditinjau dari subyek yang bersengketa, sengketa pertanahan dapat dikelompokkan ke dalam 3 macam yaitu :[10]

  1. Sengketa tanah antar warga;
  2. Sengketa tanah antara Pemerintah Daerah dengan warga setempat, dan
  3. Sengketa yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam

 

Sedangkan menurut Kepala BPN Pusat, setidaknya ada tiga hal utama yang menyebabkan terjadinya sengketa tanah:[11]

  1. Persoalan administrasi sertifikasi tanah yang tidak jelas, akibatnya adalah ada tanah yang dimiliki oleh dua orang dengan memiliki sertifikat masing-masing.
  2. Distribusi kepemilikan tanah yang tidak merata. Ketidakseimbangan dalam distribusi kepemilikan tanah ini baik untuk tanah pertanian maupun bukan pertanian telah menimbulkan ketimpangan baik secara ekonomi, politis maupun sosiologis. Dalam hal ini, masyarakat bawah, khususnya petani/penggarap tanah memikul beban paling berat. Ketimpangan distribusi tanah ini tidak terlepas dari kebijakan ekonomi yang cenderung kapitalistik dan liberalistik. Atas nama pembangunan tanah-tanah garapan petani atau tanah milik masyarakat adat diambil alih oleh para pemodal dengan harga murah.
  3. Legalitas kepemilikan tanah yang semata-mata didasarkan pada bukti formal (sertifikat), tanpa memperhatikan produktivitas tanah. Akibatnya, secara legal (de jure), boleh jadi banyak tanah bersertifikat dimiliki oleh perusahaan atau para pemodal besar, karena mereka telah membelinya dari para petani/pemilik tanah, tetapi tanah tersebut lama ditelantarkan begitu saja. Mungkin sebagian orang menganggap remeh dengan memandang sebelah mata persoalan sengketa tanah ini, padahal persoalan ini merupakan persoalan yang harus segera di carikan solusinya. Kenapa demikian? karena sengketa tanah sangat berpotensi terjadinya konflik antar ras, suku dan agama. Akibatnya harga diri harus dipertaruhkan.
  1. SINKRONISASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN BIDANG PERTANAHAN

Problematik yang terjadi pada tataran normatif yaitu terdapat persoalan sinkronisasi dan konsistensi berbagai aturan hukum di bidang pertanahan dalam kaitannya dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Hal ini telah berlangsung secara periodik dan memiliki variasi karakter hukumnya. Selama Orde Baru (1967 – 1998), aturan hukum mengenai sumber daya alam, khususnya di bidang pertanahan diterbitkan dikeluarkan secara sektoral dengan melepaskan kaitannya dengan UUPA sebagai aturan hukum pokok (“payung”) dari semua aturan hukum agraria. Karakteristik aturan hukum dan taraf kesinkronannya dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, sebagai berikut:[12]

  1. Pada periode 1967–1973, aturan hukum mengenai pertanahan tidak sinkron dan tidak konsisten dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan berkarakter: eksploitatif terhadap sumber daya alam; berpihak pada sistem ekonomi kapitalis (akumulasi modal); dan konservatif/ortodoks, yaitu hukum menjadi alat bagi pelaksanaan ideologi dan program negara (positivis instrumentalis).
  2. Pada periode tahun 1973–1984, aturan hukum mengenai penguasaan tanah memiliki karakter: Konservatif/ortodoks, dengan ciri pemerintah sangat dominan dalam pembentukkan hukum dan menentukan arah perkembangan hukum masyarakat; Represif; dan Pragmatis dan sangat akomodatif terhadap kekuatan modal (capitalism), terutama kekuatan modal asing lewat negara donor maupun lembaga-lembaga keuangan Internasional. Dengan demikian, aturan hukum pada periode ini juga tidak selaras (tidak sinkron dan tidak konsisten) dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
  3. Pada periode tahun 1984–1990-an, aturan hukum mengenai penguasaan tanah berorientasi untuk memudahkan perolehan tanah bagi investasi, oleh karena itu karakter peraturannya bersifat pragmatis dan sangat akomodatif terhadap kepentingan modal. Disamping itu, bersifat defensif-reaktif, artinya sangat reaksioner terhadap berbagai sengketa agraria yang muncul pada saat itu dan melihatnya sebagai persoalan administratif belaka. Aturan hukum pada periode ini juga tidak sinkron dan tidak konsisten dengan semangat yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
  4. Periode Desentralisasi (1998–2003), peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan yang mencerminkan ketidakpastian hukum (ambivalence), akibatnya terjadi ketidaksinkronan dan ketidakkonsistenan aturan hukum di bidang pertanahan. Karakter Peraturan Perundang-undangan pada periode ini bersifat pragmatism-reaktif, dan parsial. Artinya peraturan-peraturan yang dikeluarkan tidak didasarkan pada suatu format tertentu yang secara integral berkesinambungan dan sistematis. Meskipun peraturan tersebut berkarakter pragmatism-reaktif, tetapi materi muatannya lebih selaras (sinkron dan konsisten) dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 junto Pasal 2 dan 14 UUPA junto Pasal 11 dan 12 UU No. 22 Tahun 1999.
  5. Periode Resentralisasi (2004–2006), terjadi arus penarikan kembali kewenangan daerah di bidang agrarian oleh pemerintah pusat, sehingga wewenang agraria/pertanahan menjadi tersentralisasi lagi pada pemerintah (pusat). Hal ini ditandai dengan diberlakukannya Perpres No. 36 Tahun 2005 yang kemudian diubah dengan Perpres No. 65 Tahun 2006 dan Perpres No. 10 Tahun 2006. Substansi ketiga Perpres tersebut berkarakter represif dan berorientasi meningkatkan devisa negara lewat pembangunan dengan keberpihakan penuh pada pemilik modal (capital). Selain itu, menempatkan otoritas/kewenangan yang begitu besar kepada BPN (institusi pemerintah (pusat). Dengan demikian, Peraturan Perundang-undangan pada periode ini tidak selaras (tidak sinkron dan tidak konsisten) dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

Konflik landasan hukum penetapan Rencana Pembagunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang berjangka 5 tahun sebagai penjabaran visi, misi, dan program kepala daerah terpilih.[13] Hal ini disebabkan karena dalam UU No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional di jelaskan bahwa RPJMD cukup ditetapkan oleh Kepala Daerah melalui peraturan kepala daerah. Namun dalam UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, penetapan RPJMD melalui peraturan daerah yang ditetapkan oleh DPRD. Akibatnya di banyak daerah terutama yang kepala daerah terpilih tidak mendapat dukungan mayoritas di DPRD berselisih paham tentang penetapan RPJMD dan menjadikan perdebatan ini sebagai komoditas politik lokal.

Adanya empat Undang-undang yang secara berhimpitan mengatur mengenai perencanaan dan penganggaran. UU No.25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang mengatur khusus mengenai perencanaan, sementara UU No. 17 tahun 2004 tentang keuangan negara mengatur pengelolaan keuangan negara dan daerah. Dipihak lain UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah juga mengatur perencanaan dan penganggaran di daerah. UU No.17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara telah memperkuat peran Departemen Keuangan sampai pada proses-proses perencanaan dan penganggaran di daerah. Dan kemudian lahirlah UU No. 25 tahun 2004 tentang SPPN yang mempertahankan eksistensi Bappenas yang melemah bahkan dikhawatirkan dilikuidasi akibat hadirnya UU No. 17 tersebut, Hal in menunjukkan bahwa kebijakan yang dilahirkan pemerintah terkait perencanaan dan penganggaran ini bukanlah berdasarkan kebutuhan yang ada melainkan sekedar berdasarkan pertarungan kepentingan antara departemen.[14]

Norma hukum terkait Perencanaan dan Penganggaran yang terdapat dan diatur dalam UU No. 17 tahun 2003 dan UU No. 33 tahun 2004 sangat mirip dan multi intepretatif, dalam prakteknya kehadiran kedua Undang-Undang yang mengatur secara bersamaan membuat kebingungan dalam implementasi di lapangan. UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara tidak dapat diberlakukan di Provinsi Bangka Belitung dikarenakan substansi dari UU tersebut mengatur tata cara penambangan yang lazim digunakan untuk penambangan emas bukan jenis penambangan mineral lainnya.

Semua aturan berkaitan dengan Agraria dan pertanahan harus mengacu pada Pasal 33 UUD 45 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, hal itu dilakuan dengan melakukan koreksi terhadap peraturan-peraturan di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, baik melalui instansi terkait maupun melalui jalur Judicial Review, Eksekutif Review maupun legislatif review.[15]

Sinkronisasi peraturan perundang-undangan dilakukan bukan hanya setelah UU dibuat, namun justru pada saat proses UU tersebut dibuat sinkronisasi harus dilakukan dengan mempertemukan masing-masing departemen dan mempertemukan kepentingan demi mengeliminir ego sektoral.[16] Jika terdapat dua atau lebih UU yang mengatur secara bersamaan norma hukum yang mirip/sama, akan lebih baik jika di kodifikasi menjadi satu paket Undang-UndangRevisi UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara dengan melibatkan pemerintah daerah dan tim ahli yang memahami tentang pertambangan.Mensinkronkan peraturan perundang-undangan dengan UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pasal-Pasal dalam UUD 45 yang memberi perlindungan kepada lingkungan hidup.

Berdasarkan kajian di atas, ternyata masalah urusan pertanahan, kehutanan dan pertambangan disebabkan karena kurangnya pengaturan dalam kosepsi dasar dan peraturan-perundang-undangan sektor banyak yang belum sinkron dengan undang-undang pemerintahan daerah serta implementasinya belum dilaksanakan dengan konsisten. Untuk itu saran dalam penyempurnaan undang-undang tentang pemerintahan daerah serta perbaikan pelaksanaannya di masa yang akan datang dapat dijelaskan sebagai berikut:[17]

  1. Pertama,  pentingnya pengaturan  pertanahan,  kehutanan dan pertambangan perlu diatur secara khusus dalam pasal tersendiri pada revisi undang-undang pemerintahan daerah;
  2. Kedua, sebagai syarat dasar daerah otonom melaksanakan ketiga  urusan ini, wajib diterbitkan terlebih dahulu Norma, Standar, Kriteria dan Prosedur (NSPK) bidang pertanahan, kehutanan maupun NSPK bidang pertambangan.  Selanjutnya  urusan tersebut dapat dilaksanakan oleh daerah otonom secara penuh diikuti pembinaan dan pengawasannya secara melekat;
  3. ketiga, perlu segera dilakukan harmonisasi peraturan-perundang-undangan yang tidak sesuai dengan undang-undang pemerintahan daerah; keempat, untuk menghindari kekosongan penetapan NSPK dalam waktu yang lama, akibat dari lamanya proses penyusunannya, maka penetapan NSPK dapat dipecah dalam  sub bidang-sub bidang misalnya di bidang pertambangan, diterbitkan dulu NSPK pertambangan biji besi, NSPK pertambangan timah NSPK pertambangan batubara. NSPK di bidang kehutanan dapat diterbitkan dahulu NSPK kuasa kehutanan, NSPK penebangan pohon, NSPK reboisasi, NSPK konservasi lahan, NSPK satwa liar;
  4. keempat, perlu diatur sanksi serta penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran NSPK di bidang pertanahan, kehutanan dan pertambangan;
  5. Kelima, meskipun tanah, hutan dan tambang penting untuk kelangsungan hidup negara, kepentingan umum dan kelestarian lingkungan hidup, maka urusan pertanahan,  kehutanan dan  pertambangan tetap merupakan urusan yang didesentralisasikan serta  tetap mendorong inovasi dan kreatifitas  daerah dalam pemanfaatannya.

Pada prinsipnya adalah harus ada harmonisasi hukum, antar undang-undang maupun peraturan organiknya harus sinkron dan harmonis.[18] Menatap pada perubahan sistem hubungan antara pusat dan daerah yang di dalamnya juga menyangkut perubahan kewenangan maka sudah saatnya sinkronisasi dan harmonisasi dilakukan dengan merubah peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih dan saling bertentangan dan memberikan akses yang besar bagi masyarakat untuk ambil bagian dalam melakukan sinkronisasi dan harmonisasi.[19] Ketika masyarakat dilibatkan maka kebijakan pertanahan pada khususnya dan sumber-sumber agraria yang lain akan mengakar pada kepentingan masyarakat lokal. Perkara kesejahteraan, itu hanya persoalan dampak sehingga akan tumbuh dengan sendirinya apabila setiap warga negara mempunyai akses yang sama terhadap sumber-sumber agraria.

  1. Strategi dan Konsep Penyelesaian Sengketa Tanah

Dalam upaya meminimalisir terhadap sengketa pertanahan, maka diperlukan strategi yang komprehensif guna mengantisipasi dan mengurangi angka sengeketa dibidang pertanahan, maka untuk itu perlu dilaksanakan beberapa upaya strategi sebagai berikut :[20]

  1. Strategi Administrasi Negara, yang sangat membutuhkan professional yang komprehenship/holistic (multidisiplin) yang tidak bisa diserahkan kepada professional berorientasi produk, perubahan struktur organisasi sektoral bukan berdasar produk (komoditas) tetapi struktur organisasi atas dasar proses. Hal ini meminimalisasi kepentingan-kepentingan sektoral atas dasar produk yang berdampak kebijakan yang dibuat menteri sebenarnya hanya hasil salah satu deputy yang tupoksinya produk bukan proses yang membutuhkan professional multidisiplin). Sekarang tidak bedanya format yang terjadi di Perguruan Tinggi dengan pembagian fakultasnya, apa seperti ini format Administrasi untuk semua Kementerian di Indonesia? Reformasi administrative. Khusus bidang pertanahan harus Bagaimana?
  2. Yudikatif, menyelesaikan timpang tindih perundangan dan rekomendasi perumusan payung regulasi pertanahan Negara dapat dibentuk “KPN” Komisi Pertanahan Negara yang merupakan bentuk implementasi regulasi kekuasaan Negara terhadap tanah Negara, yang sekarang diemban oleh kekuasaan pemerintah dan hanya sektoral.
  3. Strategi legislative (wakil rakyat) bersama presiden berkewajiban mengatur semua kebijakan terkait kekuasaan Negara, RAPBN (anggaran pendapatan dan belanja Negara sudah benar, RPTPN (Rencana Penyediaan Tanah Pembangunan Negara saat belum bekerja legislative, executive pun menyerahkan kepada sektoral yang menguasai (administrative–BPN, penguasaan tanah dominan –Kehutanan). Pertanyaannya apakah kehutanan bukan sektoral komoditas? Mengapa menguasai tanah Negara dan semua sektor mengacu kalau tidak mau dikatakan berbenturan dengan penguasaan oleh kehutanan yang sebenarnya penguasaannya oleh kekuasaan Negara. Sehingga perlu pertanyaan besar dimana letak demokrasinya untuk rakyat tanpa kekuasaan Negara yang bekerja (executive bersama legislative terkait dengan tanah, Mengapa anggaran bisa).

Sedangkan yang menjadi konseptual dalam penyelesaian sengketa pertanahan dapat dibagi menjadi 3 bagian yang saling berhubungan antar satu dengan yang lainnya, ketiga define konsep tersebut dapat diurai sebagai berikut :[21]

  1. Konsep Negara Kesejahteraan Sebagai Pedoman Penyelesaian Sengketa Pertanahan Di Indonesia

Di awal pembentukan negara Indonesia, telah ada kesadaran kebangsaan bahwa kesejahteraan rakyat hanya dapat terwujud lewat campur tangan Pemerintah. Pembukaan dan pasal-pasal dalam batang tubuh UUD 1945 menunjukkan bahwa cara mewujudkan kesejahteraan bagi bangsa Indonesia adalah dengan menjadikan peran negara melalui penyelenggaranya sebagai pemberi arahan, pembuat kebijakan dan aturan berdasarkan Pancasila sebagai ideologi dan falsafah negara.[22]

Hukum pertanahan Indonesia yang merupakan bagian dari hukum yang ada, pada prinsipnya berlandaskan pada konsep Negara kesejahteraan. Hal ini tampak pada ketentuan Pasal 33 Ayat (1-4) UUD 1945 hasil amandemen keempat. Selain UUD 1945. Masyarakat dikatakan sejahtera jika masyarakat tersebut telah mengalami peningkatan kualitas hidup yang layak dan bermartabat, dengan penekanan utama pada terpenuhinya kebutuhan pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan dan lapangan kerja. UUPA mengejawantahkan tujuan/misi yang terkandung di dalam kedua peraturan perundang-undangan di atasnya tersebut dengan menetapkan sejumlah aturan mengenai prinsip dasar penguasaan tanah beserta struktur hak-haknya.

Sebagai contoh, Pasal 7 UUPA yang memuat larangan penguasaan tanah yang melampaui batas, Pasal 10 UUPA yang mewajibkan pemilik tanah pertanian untuk mengerjakan sendiri tanah garapannya secara aktif guna mencegah terjadinya pemerasan, Pasal 17 UUPA yang mengatur luas minimum dan maksimum kepemilikan tanah oleh satu keluarga atau badan hukum guna menciptakan pemerataan penguasaan tanah, dan sebagainya.

  1. Konsep Sociological Jurisprudence Sebagai Pedoman Penyelesaian Sengketa Pemerintah Di Indonesia

Konsep ini mengacu kepada pemikiran bahwa law is a tool of social engineering,[23] dimana yang dimaksud dengan hukum sebagai alat rekayasa sosial adalah putusan pengadilan. Pemikiran Max Weber mengenai peran hukum dalam melakukan perubahan terhadap masyarakat dikaji lebih dalam oleh aliran sosiologis (sociological jurisprudence), terutama yang dilakukan Roscoe Pound pada tahun 1912.[24]

Roscoe Pound berpendapat bahwa para ahli hukum yang beraliran sosiologis perlu lebih memperhitungkan fakta-fakta sosial yang ada dalam pekerjaannya, apakah itu merupakan pembuatan hukum, penafsiran atau penerapan aturan-aturan hukum itu sendiri. Para ahli hukum harus mampu secara lebih cerdas memperhitungkan fakta-fakta sosial yang harus diserap dalam hukum dan yang kemudian menjadi sasaran penerapannya. Untuk itu, Roscoe Pound menyarankan supaya perhatian lebih terarah pada efek-efek nyata dari institusi dan doktrin hukum, karena kehidupan hukum terletak pada pelaksanaannya.

Agar hukum dapat lebih memenuhi kebutuhan masyarakat, kondisikondisi social yang paling mutakhir perlu diperhatikan. Singkatnya, dengan mengakomodasi perkembangan terakhir dari fakta-fakta social dalam arti kebutuhan, kepentingan dan aspirasi masyarakat, fungsi hukum sebagai social engineering akan lebih transformatif.

  1. Hukum Sebagai Sarana Pembaharuan Dan Pembangunan Masyarakat

Konsep hukum sebagai sarana pembaharuan dan pembangunan masyarakat didasarkan pada konsep law as a tool of social engineering yang tumbuh pada mazhab sociological jurisprudence, yang kelahirannya dipelopori antara lain oleh Roscoe Pound, Eugen Ehrlich, Benyamin Cardozo, Kantorowics, Gurvitch. Dalam konsep hukum sebagai sarana pembaharuan ini, penekanan kata hukum lebih condong kepada  peraturan perundang-undangan, di mana hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat. Artinya, hukum yang dikehendaki adalah hukum yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat setempat. Ini berarti bahwa living law-lah yang menjadi pusat perhatian.

Apabila konsep hukum sebagai sarana pembaharuan dan pembangunan masyarakat dikaitkan dengan praktik pengadilan yang menangani sengketa tanah di Indonesia dewasa ini, dapat dikatakan bahwa badan peradilan, melalui keputusannya seharusnya merupakan media untuk menciptakan ketertiban dibidang pertanahan.[25] Oleh karena itu, penegakan prinsip keadilan dan demokrasi ekonomi perlu disertai kepedulian terhadap kaum lemah, penggalian potensi bangsa, baik sebagai konsumen, pengusaha maupun sebagai tenaga kerja tanpa membedakan suku, agama dan gender untuk memperoleh kesempatan, perlindungan dan hak untuk meningkatkan taraf hidupnya maupun untuk turut berperan aktif dalam berbagai kegiatan ekonomi, termasuk dalam memanfaatkan serta memelihara tanah sebagai salah satu kekayaan alam Indonesia.

Dalam rangka memanfaatkan dan menggunakan tanah sebagai salah satu sumber daya agraria secara adil, transparan dan produktif, keberadaan hak ulayat dan masyarakat adatnya perlu diperhatikan.[26] Selain itu, kelengkapan data mengenai keberadaan, jumlah/luas tanah beserta status penguasaannya haruslah lengkap dan up to date, sehingga dengan demikian akan tercipta tata ruang wilayah yang serasi dan seimbang. Kalaupun terjadi sengketa atas tanah di suatu wilayah, dapat segera diatasi oleh pejabat setempat dan hasil penyelesaian sengketa tersebut akan lebih dapat diterima para pihak yang bertikai. Kondisi inilah yang nantinya akan menciptakan pembaharuan hukum pertanahan dan sekaligus pembangunan masyarakatnya. Pembaharuan hukum pertanahan yang didahului oleh pengembangan kebijakan pertanahan tentunya harus diawali dengan pengembangan hukum pertanahan sebagai bagian dari sistem hukum nasional. Namun demikian, pengembangan tersebut semestinya tetap berpedoman pada prinsip-prinsip dasar yang ada pada UUPA sebagai ketentuan pokok hukum pertanahan nasional.[27]

  1. MEDIASI SEBAGAI SOLUSI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PERTANAHAN

Sebagai upaya penyelesaian sengketa pertanahan, maka sebaiknya diupayakan menggunakan dengan sebaik-baiknya jalur mediasi, sehingga tercapailah win win solution diantara para pihak yang berperkara. Mediasi adalah salah satu proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat, murah, dan juga dapat memberikan akses keadilan yang lebih besar kepada pihak-pihak dalam menemukan jalan penyelesaian sengketa yang memuaskan dan memberikan rasa keadilan. Pengintegrasian mediasi kedalam proses beracara di pengadilan dapat menjadi salah satu instrumen yang cukup efektif dalam mengatasi masalah penumpukan perkara di pengadilan dan juga memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga non-peradilan untuk penyelesaian sengketa di samping proses acara pengadilan yang besifat ajudikatif (memutus).[28]

Orang yang (merasa) dirugikan orang lain dan ingin mendapatkan kembali haknya, harus mengupayakan melalui prosedur yang berlaku, baik melalui litigasi (pengadilan) maupun alternatif penyelesaian sengketa (Alternative Dispute Resolution/ADR) dan tidak boleh main hakim sendiri (eigerichting).[29]  Di pengadilan, penyelesaian perkara dimulai dengan mengajukan gugatan ke pengadilan yang berwenang. Penyelesaian sengketa hukum melalui pengadilan ini dilakukan dengan 3 tahap. Tahap permulaan dengan mengajukan gugatan sampai dengan jawab jinawab. Tahap penentuan dimulai dari pembuktian sampai dengan putusan, dan tahap pelaksanaan adalah pelaksanaan putusan. Setiap tahap tersebut memerlukan waktu relatif lama, mahal dan prosedur yang cukup rumit.

Dalam perkembangannya, tuntutan akan kecepatan, kerahasiaan, efisiensi dan efektifitas serta demi menjaga kelangsungan hubungan antara pihak yang bersengketa, selama belum dapat direspon lembaga litigasi (pengadilan), sehingga mendapat banyak kritikan. Dalam operasionalnya, pengadilan dinilai lamban, mahal, memboroskan energi, waktu, uang serta win-win slution.[30] Karena itu, penyelesaian sengketa alternatif mendapat sambutan positif, terutama di dunia bisnis yang menghendaki efisiensi, kerahasiaan serta lestarinya hubungan kerja sama, tidak formalistis, serta menghendaki penyelesaian yang lebih menekankan pada keadilan. Alternatif dimaksud adalah mediasi sebelum perkara diajukan ke pengadilan dimulai.

Indonesia, dalam hal lembaga mediasi, dulunya lebih maju dari negara lain. Hukum Acara Perdata yaitu HIR (het Herziene reglement) pasal 130 dan R.Bg. (Rechtsreglement Buitengewesten) pasal 154, misalnya, telah mengatur lembaga perdamaian, dimana hakim yang mengadili wajib mendamaikan lebih dahulu pihak yang berperkara, sebelum perkaranya diperiksa secara ajudikasi. Selain itu, dikeluarkan pula SEMA No. 1 tahun 2002 tentang Pemberdayaan lembaga perdamaian dalam pasal 130 HIR/154 r.Bg. Sementara tentang mediasi atau alternatif penyelesaian sengketa (APS) di luar pengadilan, diatur dalam pasal 6 UU No. 30 tahun 1999 tentang arbitrase penyelesaian sengketa. Lembaga-lembaga APS bisa dijumpai secara luas dalam berbagai bidang seperti UU bidang Lingkungan Hidup, Pertumbuhan, Perlindungan Konsumen dan lain sebagainya.

Mahkamah Agung (MA) RI juga telah mengeluarkan Peraturan MA No. 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang mewajibkan pihak yang bersengketa perdata, lebih dulu menempuh proses mediasi. Yaitu melalui perundingan antara pihak yang bersengketa dengan bantuan pihak ketiga yang netral dan tidak memiliki kewenangan memutus (mediator).[31] Berkaitan dengan hal itu, MA mewajibkan penggunaan jasa mediasi sebagai upaya memaksimalkan perdamaian sebagaimana diatur dalam pasal 130 HIR dan pasal 1154 Rbg.  Peraturan MA. RI No. 2 Tahun 2003 menyediakan pilihan kepada para pihak yang bersengketa menggunakan jasa mediator yang Tersedia di Pengadilan Negeri atau menggunakan jasa mediator di luar pengadilan. Oleh karena itu, kehadiran MA RI No. 2 Tahun 2003, membuka peluang bagi seseorang menjalankan fungsi mediator sebagai sebuah profesi penuh atau profesi tambahan (sampingan).

Hukum acara yang berlaku selama ini baik Pasal 130 HIR ataupun Pasal 154 RBg, mendorong para pihak yang bersengketa untuk menempuh proses mediasi yang dapat diintensifkan dengan cara menggabungkan proses mediasi kedalam prosedur berperkara di Pengadilan Negeri, seiring terbentuknya peraturan perundang-undangan dan dengan memperhatikan wewenang Mahkamah Agung dalam mengatur acara peradilan yang belum cukup diatur oleh peraturan perundang-undangan, maka demi kepastian, ketertiban, dan kelancaran dalam proses mendamaikan para pihak dalam menyelesaikan suatu sengketa perdata, kedua aturan tersebut menjadi landasan. Untuk itu kemudian Mahkamah Agung mengeluarkan PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan

Pada Bab I Perma tersebut dijelaskan tentang ketentuan umum berlakunya Perma tersebut. Bab ini terdapat 6 pasal yang dimana pada Pasal 1 adalah penjelasan tentang definisi-definisi istilah yang terdapat pada mediasi. Pasal 2 menjelaskan tentang ruang lingkup dan kekuatan berlaku Perma, dimana hanya berlaku untuk mediasi yang terkait proses berperkara di pengadilan. Pada Pasal 3 dijelaskan tentang biaya pemanggilan para pihak yang dibebankan kepada pihak penggugat, dan jika berhasil mencapai kesepakatan biaya ditanggung bersama atau dengan kesepakatan para pihak. Pasal 4 menjelaskan jenis perkara yang dimediasi adalah semua perkara perdata kecuali sengketa melalui prosedur pengadilan niaga, pengadilan hubungan industrial, keberatan atas putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, dan keberatan atas putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Pasal 5 tentang Sertifikasi Mediator dimana mediator harus memiliki sertifikat mediator setelah mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh lembaga yang telah mendapat akreditasi dari Mahkamah Agung. Pada Pasal 6 menjelaskan proses mediasi adalah tertutup kecuali kehehdak para pihak sendiri.

Bab II menjelaskan tentang tahap pra mediasi dimana pada Pasal 7 menjelaskan tentang kewajiban hakim pemeriksa perkara dan kuasa hukum. Pasal 8 menjelaskan tentang hak para pihak dalam memilih mediator. Pada pasal 9, pengadilan menyediakan sekurang-kurangnya 5 daftar nama mediator ke para pihak yang bersengketa. Pada pasal 10 dijelaskan mengenai honorarium mediator dimana jika mediator hakim tidak dipungut biaya namun mediator bukan hakim ditanggung bersama atau kesepakatan para pihak. Pasal 11 menjelaskan batas waktu pemilihan mediator. Pada pasal 12 dijelaskan bahwa para pihak wajib menjalani proses mediasi dengan itikad baik.

Bab III dalam Perma Nomor 1 Tahun 2008 adalah mengenai tahap-tahap proses mediasi. Pasal 13 dijelaskan tentang penyerahan resume perkara dan waktu untuk menjalani proses mediasi tersebut. Pada pasal 14 dejelaskan tentang kewenangan mediator menyatakan suatu proses mediasi telah gagal salah satunya apabila salah satu pihak atau kuasa hukumnya tidak menghadiri mediasi dua kali berturut-turut. Pasal 15 menjelaskan tugas-tugas dari seorang mediator dalam menangani suatu proses mediasi. Pada pasal 16 dijelaskan bahwa dalam keadaan tertentu, mediator dapat memanggil seorang atau lebih yang lebih ahli dalam suatu bidang tertentu. Pasal 17 menjelaskan tentang pencapaian kesepakatan dalam suatu proses mediasi dan berikutnya pada Pasal 18 dijelaskan tidak tercapainya tujuan kesepakatan dalam proses mediasi. Pasal 19 menjelaskan tentang keterpisahan mediasi dari litigasi.

Bab IV Perma Nomor 1 Tahun 2008 menjelaskan tentang tempat penyelenggaraan mediasi sebagaimana dijelaskan pada Pasal 20. Pada Bab V dijelaskan tentang perdamaian di tingkat banding, kasasi, dan peninjauan kembali dijelaskan pada Pasal 21 dan Pasal 22. Bab VI menjelaskan tentang kesepakatan di luar pengadilan yang dijelaskan pada Pasal 23. Pada Bab VII menjelaskan tentang pedoman perilaku mediator dan insentif yang dijelaskan pada Pasal 24 dan Pasal 25. Dan pada Bab VIII merupakan penutup menjelaskan pada Pasal 26 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003 tidak berlaku lagi dan pada pasal 27 dijelaskan berlakunya Peraturan Mahkamah Agung ini sejak tanggal ditetapkannya Perma tersebut pada tanggal 31 Juli 2008.

Kelebihan dari penyelesaian secara mediasi terutama dari segi biaya tidak mahal, jangka waktu tidak lama dan prosesnya tidak berbelit-belit.[32] Sedangkan kelemahannya apa yang sudah disepakati para pihak yang bersengketa dalam  mediasi ternyata kemudian dilanggar oleh salah satu pihak. Jika para pihak tidak menemukan kesepakatan dalam mediasi, pengadilan merupakan jalan terakhir yang harus ditempuh. Sehingga putusan hakim sebagai Ultimum remedium (jalan terakhir) dalam sengketa pertanahan.

  1. PUTUSAN PENGADILAN YANG BERKEKUATAN HUKUM TETAP HARUS DILAKSANAKAN

Putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak. Bukan hanya diucapkan saja yang disebut putusan, melainkan juga pernyataan yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan kemudian diucapkan oleh hakim di persidangan. Putusan yang diucapkan di persidangan (uitspraak) tidak boleh berbeda dengan yang tertulis (vonnis).[33]

Mahkamah Agung dengan surat edarannya no.5/1959 tanggal 20 April 1959 dan no.1/1962 tanggal 7 Maret 1962 menginstruksikan antara lain agar pada waktu putusan diucapkan konsep putusan harus sudah selesai. Maksud tujuan surat edaran ini ialah untuk mencegah hambatan dalam penyelesaian perkara, tetapi dapat dicegah pula adanya perbedaan isi putusan yang diucapkan dengan yang ditulis. Jikalau ternyata ada perbedaan isi putusan yang diucapkan dengan yang ditulis, maka yang sah adalah yang diucapkan yaitu lahirnya putusan itu sejak diucapkan.

Suatu putusan pengadilan dimaksudkan untuk menyelsesaikan suatu persoalan atau sengketa dan menetapkan hak atau hukumnya.Kalau pihak yang bersangkutan menyerahkan dan mempercayakan sengketanya kepada pengadilan atau hakim untuk diperiksa atau diadili, maka hal ini mengandung arti bahwa pihak-pihak yang bersangkutan akan tunduk dan patuh pada putusan yang dijatuhkan. Putusan yang telah dijatuhkan itu haruslah dihormati oleh kedua belah pihak. Salah satu pihak tidak boleh bertindak bertentangan dengan putusan. Jadi putusan hakim mempunyai kekuatan mengikat yaitu mengikat kedua belah pihak (ps.1917 BW). Terikatnya para pihak kepada putusan menimbulkan beberapa teori yang hendak mencoba memberi dasar tentang kekuatan mengikat daripada putusan.

Dalam teori hukum materiil kekuatan mengikat daripada putusan yang lazimnya disebut “gezag van gewijsde” mempunyai sifat hukum materiil oleh karena mengadakan perubahan terhadap wewenang dan kewajiban keperdataan: menetapkan, menghapuskan atau mengubah[34]. Mengingat bahwa putusan itu hanya mengikat para pihak dan tidak mengikat pihak ketiga, kiranya teori ini tidaklah tepat. Sedangkan menurut teori hukum acara putusan bukanlah sumber hukum materiil, melainkan sumber daripada wewenang prosesuil. Akibat putusan ini bersifat hukum acara, yaitu diciptakannya atau dihapuskannya wewenang dan kewajiban prosesuil.  Berdasarkan teori hukum pembuktian, putusan merupakan bukti tentang apa yang ditetapkan di dalamnya, sehingga mempunyai kekuatan mengikat oleh karena menurut teori  ini pembuktian lawan terhadap isi suatu putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang pasti tidak diperkenankan.

Terikatnya para pihak kepada putusan dapat mempunyai arti positif dan dapat pula mempunyai arti negatif. Arti positifnya yaitu apa yang telah diputus diantara para pihak berlaku sebagai positif benar. Apa yang telah diputus oleh hakim harus dianggap benar atau res judicato pro veriate habetur. Sedangkan dalam arti negatif yaitu hakim tidak boleh memutus perkara yang pernah diputus sebelumnya antara para pihak yang sama serta mengenai pokok perkara yang sama (nebis in idem).[35] Kecuali didasarkan pada asas “litis finiri oportet” yang menjadi dasar ketentuan tentang tenggang waktu untuk mengajukan upaya hukum, maksudnya yaitu apa yang pada suatu waktu telah diselesaikan oleh hakim tidak boleh diajukan lagi kepada hakim.

Suatu putusan memperoleh kekuatan hukum yang pasti atau tetap (krach van gewijsde) apabila tidak ada lagi upaya hukum biasa tersedia. Termasuk upaya hukum biasa ialah perlawanan, banding, dan kasasi. Dengan memperoleh kekuatan hukum yang pasti maka putusan itu tidak lagi dapat diubah, sekalipun oleh pengadilan yang lebih tinggi, kecuali dengan upaya hukum yang khusus, yaitu request civil dan perlawanan oleh pihak ketiga. Pasal 1917 ayat 1 BW berbunyi, bahwa kekuatan mengikat daripada putusan itu terbatas pada pokok putusan (onderwerp van het vonnis).[36] Kekuatan mengikat dari putusan itu tidak meliputi penetapan-penetapan mengenai peristiwa. Apabila hakim dalam suatu putusan telah mengconstair suatu peristiwa tertentu berdasarkan alat-alat bukti tertentu, maka dalam sengketa lain peristiwa tersebut masih dapat disengketakan.

Telah dikemukakan di muka bahwa pada asasnya putusan hakim hanyalah mengikat para pihak (ps.1917 BW). Yang dimaksudkan dengan pihak bukanlah hanya penggugat dan tergugat saja, tetapi juga pihak ketiga yang ikut serta dalam suatu sengketa antara penggugat dan tergugat, baik dengan jalan interventie maupun pembebasan (vrijwaring) atau mereka yang diwakili dalam proses. Terhadap pihak ketiga putusan tidak mempunyai kekuatan mengikat. Tetapi pihak ketiga ini dapat mengajukan perlawanan terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti (ps.378 Rv). Dalam hal ini perlu mendapat perhatian bahwa hanya pihak ketiga yang dirugikan oleh putusan itulah yang dapat mengajukan perlawanan.

Suatu putusan dimaksudkan untuk menyelesaikan suatu persoalan atau sengketa dan menetapkan hak atau hukumnya. Ini tidak berarti semata-mata hanya menetapkan hak atau hukumnya saja, sehingga hal ini menjadi tidak terdapat terkecuali dalam hal dan perkara apapun, termasuk dalam sengketa pertanahan. Maka para pihak wajib melaksanakan putusan hakim yang telah memiliki kekuatan hukum tetap sebagai hukum dalam perkara konskrit di lapangan. Hal ini sebagai pelaksanaan putusan hakim sebagai Ultimum remedium (jalan terakhir) dalam sengketa pertanahan.

  1. PENUTUP

Kompleksitas penegakan hukum agraria menjadi persoalan serius, hal ini didasarkan pada fungsi tanah yang sangat strategis dalam menunjang aktivitas kemajuan ekonomi, social, budaya, teknologi dan informasi. Dengan demikian harus ada kemauan dan komitmen bersama untuk mencari solusi alternative konflik pertanahan di Indonesia yang telah memakan banyak korban jiwa, baik Pemerintah Daerah, Aparat Penegak Hukum, Perguruan Tinggi dan seluruh masyarakat agar mendahulukan penyelesaian secara kekeluargaan, namun apabila belum tercapai dapat dilakukan melalui mediasi, apabila masih belum tercapai, maka pengadilan merupakan jalan terakhir yang harus ditempuh. Sehingga putusan hakim sebagai Ultimum remedium (jalan terakhir) dalam sengketa pertanahan, dan siapapun wajib melaksanakan putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, karna posisinya sebagai hukum dalam kasus konkrit.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman. 1995. Tebaran Pikiran Mengenai Hukum Agraria, Bandung. Alumni

Ali Achmad Chomzah. 2002. Pedoman Pelaksanaan U.U.P.A dan Tata Cara Penjabat Pembuat Akta Tanah, Bandung.  Alumni

A P Perlindungan. 1998. Pendaftaran Tanah Di Indonesia, Bandung. Mandar Maju

Bachtiar Effendi, Pendaftaran Tanah Di Indonesia dan Peraturan-Peraturan Pelaksanaannya. Bandung : Alumni, 1983.

Badan Pertanahan Nasional, Reforma Agraria: Mandat Politik, Konstitusi, dan Hukum Dalam Rangka Mewujudkan “Tanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat”, Jakarta, 2007.

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 1999.

Darji Darmodiharjo dan Sidharta, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustka Utama, Jakarta, 2002.

D Walijatun, Pelayanan Prima Di Bidang Pertanahan Sebagai Bagian Dari Reinventing Government: Seminar Nasional Pertanahan, Yogyakarta

Eddy Ruchiyat. Politik Pertanahan Nasional Sampai Orde Reformasi. Bandung. PT. Alumni. 2004.

Efendi Perangin. 1983. Hukum Agraria Di Indonesia, Suatu Telaah Dari Sudut Pandang Praktis Hukum, Jakarta. CV Rajawali

Felix MT. Sitorus, Lingkup Agraria dalam Menuju Keadilan Agraria : 70 Tahun, 2002.

Gunawan Wiradi, Masalah Pembaruan Agraria: Dampak Land Reform terhadap Perekonomian Negara, Makalah yang disampaikan dalam rangkaian diskusi peringatan “Satu Abad Bung Karno” di Bogor, tanggal 4 Mei 2001

Hamadi Tamam. Kebijakan Pertanahan:Antara Regulasi dan Implementasi. Rajawali Pers, Jakarta. 2009.

Hasni, Hukum Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah. Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2008

Henri Lie A. Weng. 1970. Hukum Perdata dan Hukum Benda, Yogyakarta Liberty

Herry Bernstein et all, Kebangkitan Studi Reforma Agraria di Abad 21, STPN, 2008

H Soesangobeng, Upaya Pembentukan Materi Hukuk dan Kebijakan Pertanahan. STPN-BPN, Yogyakarta.

Joni Emirzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa Diluar Pengadilan Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi Arbitrase, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001.

Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001.

Maria S.W Sumardjono, Mediasi Sengketa Tanah Potensi Penerapan Alternatif Penyelesaian sengketa (ADR) Di Bidang Pertanahan, Penerbit Kompas Gramedia, 2008

M Wahid, Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah:Suatu Analisis dengan Pendekatan Terpadu Secara Normatif dan Sosiologis. Republika, Jakarta, 2008

Mariam Darus Badrulzaman. Kompilasi hukum Perikatan. Bandung. PT. Citra Aditya Bakti. 2001.

Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas Negara Hukum, Jakarta. Erlangga, 1980

Reksodiputro, Mardjono, Resolution Legal Institution and Alternative Dispute, Hasil Penelitian yang disajikan pada seminar nasional menyongsong penggunaan Hukum Era 2000, Semarang-13 Agustus 1996

Riduan Syahrani. Seluk-Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata. Bandung. PT. Alumni. 2004.

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1986.

Soerodjo. 2003. Proses Pendaftaran Tanah, Jakarta. Rineka Cipta

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1999.

Supriadi. 2007. Hukum Agraria, Jakarta. Sinar Grafika.

Wirjono Prodjodikuro, Hukum Atjara Pidana di Indonesia, Djakarta. Penerbit “Sumur Bandung”, 1977.

Wirjono Projodikoro, Bunga Rampai Hukum, Jakarta: lchtiar Baru. 1976

                [1] Tulisan ini disampaikan dalam kegiatan Focus Group Discussion (FGD) “Kebijakan Penyelesaian Pertanahan” yang diselenggarakan kerjasama Badan Pertanahan Nasional (BPN) dengan Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (FH-UGM) pada hari Selasa, 5 Juni 2012

                [2] Gunawan Wiradi, Masalah Pembaruan Agraria: Dampak Land Reform terhadap Perekonomian Negara, Makalah yang disampaikan dalam rangkaian diskusi peringatan “Satu Abad Bung Karno” di Bogor, tanggal 4 Mei 2001, Hal. 4

                [3] Badan Pertanahan Nasional, Reforma Agraria: Mandat Politik, Konstitusi, dan Hukum Dalam Rangka Mewujudkan “Tanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat”, Jakarta, 2007. Hal. 23

                [4] Felix MT. Sitorus, Lingkup Agraria dalam Menuju Keadilan Agraria : 70 Tahun, 2002. Hal. 11

                [5] Ibid

                [6] Herry Bernstein et all, Kebangkitan Studi Reforma Agraria di Abad 21, STPN, 2008, Hal. 6

                [7] Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 1999. Hal. 5

                [8] Maria S.W Sumardjono, Mediasi Sengketa Tanah Potensi Penerapan Alternatif Penyelesaian sengketa (ADR) Di Bidang Pertanahan, Penerbit Kompas Gramedia, 2008, Hal 38

                [9] Abdurrahman. 1995. Tebaran Pikiran Mengenai Hukum Agraria, Bandung. Alumni, Hal 85

                [10] Ali Achmad Chomzah. 2002. Pedoman Pelaksanaan U.U.P.A dan Tata Cara Penjabat Pembuat Akta Tanah, Bandung.  Alumni, Hal. 64

                [11] Laporan BPN RI Tahun 2007, Hal 26

                [12] Hamadi Tamam. Kebijakan Pertanahan: Antara Regulasi dan Implementasi. Rajwali Pers, Jakarta. 2009. Hal. 35

                [13] Ibid

                [14] M Wahid, Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah:Suatu Analisis dengan Pendekatan Terpadu Secara Normatif dan Sosiologis. Republika, Jakarta, 2008, Hal 38

                [15] H Soesangobeng, Upaya Pembentukan Materi Hukuk dan Kebijakan Pertanahan. STPN-BPN, Yogyakarta. Hal. 38

            [16] D Walijatun, Pelayanan Prima Di Bidang Pertanahan Sebagai Bagian Dari Reinventing Government: Seminar Nasional Pertanahan, Yogyakarta, Hal. 12

                [17] Hasni, Hukum Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah. Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2008, Hal. 29

                [18] Effendi, Bachtiar. Pendaftaran Tanah Di Indonesia dan Peraturan-Peraturan Pelaksanaannya. Bandung : Alumni, 1983. Hal. 83

                [19] Ibid

                [20] A P Perlindungan. 1998. Pendaftaran Tanah Di Indonesia, Bandung. Mandar Maju, Hal 82

                [21] Efendi Perangin. 1983. Hukum Agraria Di Indonesia, Suatu Telaah Dari Sudut Pandang Praktis Hukum, Jakarta. CV Rajawali, Hal. 72

                [22] Darji Darmodiharjo dan Sidharta, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustka Utama, Jakarta, 2002. Hal 56

                [23] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1986. Hal 48

                [24] Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001. Hal. 82

                [25] Henri Lie A. Weng. 1970. Hukum Perdata dan Hukum Benda, Yogyakarta Liberty, Hal 63

                [26] Soerodjo. 2003. Proses Pendaftaran Tanah, Jakarta. Rineka Cipta, Hal 71

                [27] Supriadi. 2007. Hukum Agraria, Jakarta. Sinar Grafika, Hal 43

                [28] Reksodiputro, Mardjono, Resolution Legal Institution and Alternative Dispute, Hasil Penelitian yang disajikan pada seminar nasional menyongsong penggunaan Hukum Era 2000, Semarang-13 Agustus 1996

                [29] Mariam Darus Badrulzaman. Kompilasi hukum Perikatan. Bandung. PT. Citra Aditya Bakti. 2001. Hal. 28

                [30] Joni Emirzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa Diluar Pengadilan Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi Arbitrase, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001. Hal 91

                [31] Riduan Syahrani. Seluk-Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata. Bandung. PT. Alumni. 2004. Hal 75

                [32] Eddy Ruchiyat. Politik Pertanahan Nasional Sampai Orde Reformasi. Bandung. PT. Alumni. 2004.

                [33] Wirjono Prodjodikuro, Hukum Atjara Pidana di Indonesia, Djakarta. Penerbit “Sumur Bandung”, 1977, Hal 23

                [34] Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas Negara Hukum, Jakarta. Erlangga, 1980, Hal. 31

                [35] Wirjono Projodikoro, Bunga Rampai Hukum, Jakarta: lchtiar Baru. 1976, Hal. 18

                [36] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1999, Hal. 48

Continue Reading