CONTOH PROPOSAL PENERBITAN BUKU

Jakarta, 2 Maret 2013

Hal      : Permohonan Penerbitan Naskah Buku

Lamp   : 1 eks

Kepada Yth.

PENERBIT SINAR GRAFIKA
(DEPARTEMEN EDITORIAL)
Jl. Aren III No. 25, Rawamangun Jakarta Timur 13220 Telp.: 4895803, 47865686 Fax.: 4895803

Dengan Hormat,

Berdasarkan hasil penelitian penulis dan beberapa dorongan dan berbagai pihak, baik pembimbing, pengajar maupun sahabat dan kerabat mengenai urgensi tema yang diambil dalam rangka memberikan pencerahan, masukan dan saran kepada Pemerintah serta khalayak, maka melalui surat ini Saya mohon dengan hormat serta sangat kepada Penerbit SINAR GRAFIKA untuk membantu menerbitkan hasil penelitian penulis yang berjudul “Kedudukan Wakil Menteri dalam Susunan Organisasi Kementerian Negara”. Sebagai bahan pertimbangan Saya lampirkan Proposal dan Naskah Buku lengkap beserta syarat-syarat lain yang dibutuhkan sebagaimana terlampir, serta Saya tidak menutup kemungkinan untuk diadakan revisi dan perbaikan untuk melengkapi hal-hal yang akan dibutuhkan dalam rangka penerbitan buku ini. Demikian surat Permohonan ini kami buat, atas perhatian dan kerjasamanya kami sampaikan terima kasih.

 

                                                                        Pemohon,

SAIFUL ANAM, SH., MH.

PROPOSAL

PENGAJUAN PENERBITAN NASKAH BUKU

JUDUL :

“KEDUDUKAN WAKIL MENTERI

DALAM SUSUNAN ORGANISASI KEMENTERIAN NEGARA”

Diangkat berdasarkan hasil penelitian Tesis

pada Program Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Indonesia

Oleh :

SAIFUL ANAM, SH., MH.

Hp. 08111011686

BIDANG DISIPLIN ILMU

HUKUM, POLITIK DAN FILSAFAT POLITIK

KHUSUS BUKU-BUKU WAJIB/ TEKS PERGURUAN TINGGI

Jakarta, Maret 2013

“KEDUDUKAN WAKIL MENTERI

DALAM SUSUNAN ORGANISASI KEMENTERIAN NEGARA”

  1. DESKRIPSI SINGKAT LATAR BELAKANG BUKU

Tulisan ini membahas tentang makna pengangkatan Wakil Menteri oleh Presiden dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus dalam Kementerian tertentu, selain itu juga membahas Kedudukan Wakil Menteri dalam susunan organisasi Kementerian Negara serta perbandingannya dengan Amerika Serikat, Rusia, Malaysia, Kanada dan Korea Selatan. Tulisan ini menggunakan metode penulisan hukum normatif, dengan terdiri dari 3 (tiga) pendekatan yakni pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), dan pendekatan perbandingan (comparative approach). Hasil tulisan ini menyarankan adanya restrukturisasi kedudukan Wakil Menteri dalam susunan organisasi Kementerian Negara, sehingga kedudukan Wakil Menteri dalam Susunan Organisasi Kementerian Negara secara tegas posisi dan kedudukannya berada dimana.

  1. BIODATA PENULIS

Nama Lengkap                        : Saiful Anam

Alamat Tinggal Sekarang        : Jl. Tebet Barat Dalam VIIIK No. 6

Tempat dan tanggal lahir        : Sampang, 01 Juni 1986

Nomor HP                               : 08111011686

RIWAYAT PENDIDIKAN :

  1. Sekolah Dasar Negeri (SDN) Paseyan 2 Sampang (lulus tahun 1998)
  2. Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri (SLTPN) 2 Sampang (lulus tahun 2000)
  3. Sekolah Menengah Umum Negeri (SMUN) 1 Sampang (lulus tahun 2004)
  4. Strata 1 Ilmu Hukum jurusan Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (HTN-HAN) Universitas Trunojoyo (lulus tahun 2008)
  5. Program Pascasarjana (S2) Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya (tidak terselesaikan)
  6. Program Pascasarjana (S2) Fakultas Hukum Universitas Indonesia (lulus tahun 2013)

PRESTASI :

  1. Juara 1 Lomba Karya Tulis Mahasiswa Tingkat Universitas Trunojoyo (Tahun 2007)
  2. Finalis Lomba Karya Tulis Mahasiswa Tingkat wilayah C “Jawa Timur, NTT dan NTB” (Tahun 2007)
  3. Mendapat Beasiswa Penelitian Mahasiswa (Tahun 2005)
  4. Mendapat Beasiswa Djarum (Tahun 2006-2007)
  5. Mendapat Beasiswa LKTM (Tahun 2007)
  6. Lulusan tercepat (3,5 tahun) dan terbaik Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo (Tahun 2008)

KARYA TULIS :

  1. “Identifikasi Potensi Konflik Antar Umat Beragama Berdasarkan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006” (LKTM) juara harapan 1
  2. “Calon Independen Sebagai Alternatif Kebuntuan Hukum Dalam Pelaksanaan Pilkada (Studi Yuridis Normatif Pelaksanaan Pilkada di Kabupaten Sampang” (LKTM) juara 1
  3. “Pelaksanaan Program Legislasi Daerah di Kabupaten Bangkalan” (Penelitian untuk persyaratan magang)
  4. “Potensi Konflik Pilkada Sampang” (editor buku yang di tulis oleh Nurus Zaman, SH., MH)
  5. “Kekuasaan Presiden Setelah Amandemen Undang-Undang Dasar 1945”

PENGALAMAN ORGANISASI :

  1. Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Hukum Universitas Trunojoyo Cabang Bangkalan (2006-2007)
  2. Ketua Bidang Legislasi Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Hukum (DPMFH) Universitas Trunojoyo (2004-2005)
  3. Ketua Forum Komunikasi Mahasiswa Sampang “FORKAMASA”, (2006-2007)
  4. Anggota Pers Voice Of Law Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo (2004-2005)
  5. Anggota Himpunan Mahasiswa Fakultas Hukum (HIMAJIKU) Unijoyo (2004-2005)
  6. Ketua Bidang Legislasi Dewan Perwakilan Mahasiswa Pusat (DPM) Universitas Trunojoyo (2004-2005)
  7. Ketua Jurusan Mahasiswa Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (HTN-HAN) Universitas Trunojoyo (2004-2007)
  8. Ketua Gerakan Pemuda Sampang Bangkit (GPSB) (Tahun 2008-2009)
  9. Ketua Jurusan Mahasiswa HTN-HAN pascasarjana Universitas Indonesia

PENGALAMAN PELATIHAN/DIKLAT/TRAINING :

  1. Training Leadership “DARE TOBE LEADER”, Beswan Djarum 2007 (Bogor 18-19 Maret 2007)
  2. Karya Latihan Bantuan Hukum (KALABAHU) LBH Surabaya (Malang 9-11 Maret 2007)
  3. Achievement Motivation Trainning (AMT) Beswan Djarum 2007 (Bandung 12-17 Agustus 2007)
  4. Pelatihan Karya Tulis Mahasiswa, Universitas Trunojoyo (Tahun 2005, 2006 dan 2007)
  5. Training Of Trainer (TOT) Pencegahan Perdagangan Orang (Traffiking), (Surabaya 24-27 April 2008)

PENGALAMAN DALAM KEGIATAN KEMASYARAKATAN :

  1. Pendampingan masyarakat dalam kasus Perdagangan Orang (Trafficking) wilayah Madura.
  2. Pendamping pada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya dalam kasus-kasus Hukum Publik.
  3. Bertugas untuk mensosialisasi bantuan infrastruktur desa, bidang pendidikan, pertanian, pondok pesantren desa tertinggal tahun 2008
  4. Bersama bagian Hukum Pemkab Bangkalan melakukan sosialisasi Perda Partisipasi Publik dalam program Magang.
  5. Bertugas mensosialisasikan Pilkada Anti Golput (Pusat Studi Hak Asasi Manusia Univ. Trunojoyo)
  6. Bertugas mengikuti Lomba Karya Tulis dengan mengangkat persoalan lokal (tahun 2007)
  7. Pelaksana Seminar dalam rangka Mengawal Pilgul Jatim yang aman, adil dan demokratis.
  8. Pelaksana Seminar Pendidikan untuk sertifikasi guru di Kab. Sampang.
  9. Tim penyusun draft naskah akademis Perda Pajak dan Retribusi daerah Kabupaten Sampang.

PENGALAMAN PEKERJAAN :

No. PERUSAHAAN/LEMBAGA JABATAN PERIODE KETERANGAN
1 PUSHAM UNIJOYO Kabid Pemberdayaan 2006 – 2008
2 eL – PeDA Bid. Hukum dan HAM 2008 – Sekarang
3 LBH Surabaya Volunteer 2005 – 2009
4 PSHTNUTM Peneliti Muda 2006 – 2008
5 CV. Indah Abadi Konsultan Hukum 2008
6 PT. AXO Capital Legal 2009 – 2012
7 PT. Media Anda Sukses HRD 2011 – 2012
8 Pro – MH Advokat & Legal Consultant President 2010 – Sekarang Akif
9 Pengajar/Dosen Berbagai Perguruan Tinggi 2010 – Sekarang Aktif
  1. KARYA-KARYA (BUKU) YANG TELAH/AKAN DIPUBLIKASIKAN

Adapun kegiatan karya ilmiah yang pernah dipublikasikan atau akan dipublikasikan diantanya :

  1. “Identifikasi Potensi Konflik Antar Umat Beragama Berdasarkan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006” (LKTM) juara harapan 1
  2. “Calon Independen Sebagai Alternatif Kebuntuan Hukum Dalam Pelaksanaan Pilkada (Studi Yuridis Normatif Pelaksanaan Pilkada di Kabupaten Sampang” (LKTM) juara 1
  3. “Pelaksanaan Program Legislasi Daerah di Kabupaten Bangkalan” (Penelitian untuk persyaratan magang)
  4. “Potensi Konflik Pilkada Sampang” (editor buku yang di tulis oleh Nurus Zaman, SH., MH)
  5. “Kekuasaan Presiden Setelah Amandemen Undang-Undang Dasar 1945”
  1. ALASAN-ALASAN BUKU YANG DIAJUKAN PENTING BAGI PARA PEMBACA

Adapun yang menjadi alasan tulisan ini layak dipublikasikan dan penting bagi pembaca adalah :

  1. Merupakan lembaga yang baru dalam sistem Pemerintahan di Indonesia
  2. Keberadaannya menuai kontroversial dalam struktur organisasi Kementerian Negara
  3. Kedudukan, peran, fungsi dan tanggung jawab yang kurang begitu signifikan
  4. Merupakan masukan yang berharga bagi rekstrukturisasi kelembagaan pada Kementerian Negara
  5. Sebagai bahan acuan dalam perubahan kedudukan Wakil Menteri di masa mendatang
  6. SASARAN KELOMPOK PEMBACA YANG DITUJU

Adapun yang menjadi sasaran kelompok pembaca adalah Mahasiswa, Dosen, Praktisi Hukum, Birokrat, Politisi dan siapa saja yang berminat dibidang Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi Negara, Ilmu Politik, Ilmu Sosial serta Pemerintahan

  1. BUKU APA YANG MENJADI PESAING DARI BUKU YANG DIAJUKAN

Dikarenakan bahasan dalam buku ini merupakan pembahasan yang sama sekali baru, maka belum terdapat buku yang menjadi pesaing buku yang akan diterbitkan ini.

  1. KEUNGGULAN BUKU YANG DIAJUKAN DIBANDINGKAN BUKU LAIN YANG SEJENIS

Beberapa keunggulan diantaranya :

  1. Analisis berdasarkan hasil studi teoritik dan dikaitkan dengan kondisi lapangan mengenai pembahasan
  2. Terdapat beberapa acuan perbandingan dengan Negara-negara lainnya
  3. Merupakan hasil penelitian penulis pada jenjang Pascasarjana Magister Hukum Universitas Indonesia dengan predikat nilai tertinggi
  4. Merupakan pembahasan yang sama sekali baru, sehingga mampu memberikan pemahaman secara luas baik kepada Pemerintah maupun masyarakat luas.
  5. SIGNIFIKANSI AKADEMIS DAN TEORETIS BUKU YANG DIAJUKAN

Signifikasi akademis dan teoritis dalam buku diajukan sangat berhubungan dan mampu menjawab beberapa pertanyaan seperti makna dan kedudukan Wakil Menteri dalam susunan organisasi Kementerian Negara serta perbandingannya dengan beberapa Negara yang ada di dunia. Sehingga mampu memberikan solusi alternative mengenai fungsi, peran, tanggungjawab, kedudukan Wakil Menteri di Indonesia.

  1. KEKURANGAN-KEKURANGAN BUKU YANG DIAJUKAN

Kekurangan buku ini adalah sebelumnya belum pernah terdapat pembahasan yang sama, sehingga kekurangan ini juga merupakan bagian dari kelebihan dari tulisan ini.

  1. SIAPA YANG RELEVAN UNTUK DIMINTAI MENULIS KATA PENGANTAR BUKU YANG DIAJUKAN

Yang relevan untuk kata pengantar adalah :

  1. Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH.
  2. Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, SH., SU.
  3. IDE UNTUK PUBLISITAS DAN PROMOSI BUKU

Ide awal untuk publisitas buku ini berawal dari usulan dari beberapa pengajar Program Magister Hukum Universitas Indonesia untuk segera diselesaikan dan segera dibukukan, dikarenakan pembahasannya merupakan hal yang baru dan sangat menarik, serta mampu memberikan solusi alternative dalam permasalahan Kedudukan Wakil Menteri di Indonesia. Sedangkan mengenai promosi buku menurut hemat penulis tidak terlalu rumit, mengingat pembahasan dalam buku ini merupakan hal yang baru dan cukup menarik bagi mereka yang menggeluti di bidang Hukum, Politik, Pemerintahan dan isu-isu aktual lainnya.

Continue Reading

Contoh Kontrak Perencanaan dan Manajemen Properti Pembangunan Kawasan Perumahan

PERJANJIAN KONTRAK KERJASAMA

Nomor : ……………………………………

Pada hari ini ……………………., tanggal ……………………., bulan ……………………., tahun ……………………., bertempat di Batulicin antara pihak-pihak yang tersebut dibawah ini :

  1. _____________, bertindak untuk dan atas nama PT ………………… / CV. ……………, bertempat tinggal di jalan………………………….. Batulicin, Selanjutnya disebut PIHAK PERTAMA
  2. _____________, bertindak untuk dan atas nama sendiri, yang berkedudukan di jalan ………………….., Kecamatan …………………. Batulicin, Selanjutnya disebut PIHAK KEDUA

Pihak Pertama dan Pihak Kedua selanjutnya disebut, “Para Pihak” setelah menerangkan dan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :

  1. Bahwa berdasarkan hasil Pertemuan pada tanggal ………….. bulan Agustus , tahun 2013 yang dilaksanakan di Kediaman Bapak Rahmadi, maka Para Pihak terjadi kesepakatan perjanjian tentang Perencanaan dan Manajemen Properti Pembangunan Kawasan Perumahan “Permata Indah”
  2. Bahwa Para Pihak Sepakat bersedia untuk melaksanakan Kerjasama tentang Perencanaan dan Manajemen Properti Pembangunan Kawasan Perumahan “Permata Indah”,
  3. Bahwa Para Pihak Sepakat Pihak Kedua bersedia sebagai Konsultan Perencana dan Manajemen Properti.

Maka dengan Para Pihak sepakat dan setuju untuk saling mengikatkan diri dalam suatu Perjanjian Kerjasama ini dengan ketentuan dan persyaratan sebagaimana diatur dalam pasal-pasal dibawah ini, sebagai berikut :

PASAL 1

LINGKUP KERJASAMA

  1. Para Pihak sepakat bekerjasama pada Proyek sebagaimana tersebut dibawah ini :
  2. Nama Proyek                   : Perencanaan dan Manajemen Properti Pembangunan

Kawasan Perumahan “Permata Indah”

  1. Lokasi                                : Batulicin
  2. Pengembang                    : Permata Indah
  3. Perencana dan Manajemen Properti : Hendra Himawan

PASAL 2

PRINSIP-PRINSIP KERJASAMA

  1. Para Pihak dalam kerjasama dengan lingkup sebagaimana tersebut pada pasal 2 Perjanjian Kerjasama ini, sepakat untuk selalu berpegang teguh pada prinsip-prinsip sebagai berikut :
  2. Saling mempercayai dan menguntungkan antara masing-masing pihak.
  3. Saling terbuka dan jujur antara masing-masing pihak.
  4. Saling mengisi dan atau membantu kekurangan masing-masing pihak.
  5. Saling mengingatkan akan kemungkinan adanya resiko-resiko yang timbul.
  6. Saling menjaga posisi dan nama baik masing-masing pihak.
  1. Prinsip-prinsip kerjasama sebagaimana tersebut pada point 1 Pasal 2 Perjanjian ini dimaksudkan untuk tercapainya suasana kerjasama yang baik dan lancar sehingga target-target usaha yang ditetapkan bersama antara Para Pihak dapat terwujud.

PASAL 3

SISTEM MANAJEMEN

  1. Parah Pihak dalam kerjasama dengan lingkup sebagaimana tersebut pada pasal 1 perjanjian ini sepakat dalam melaksanakan Perencanaan dan Manajemen Properti Pembangunan Kawasan Perumahan “Permata indah” menjadi kewenangan Pihak Kedua.
  1. Pihak Pertama akan memberikan masukkan yang diperlukan dalam rangka saling sinergi di antara kedua belah pihak.
  1. Pihak Kedua wajib memberikan laporan perkembangan pelaksanaan Perencanaan & Manajemen Properti Pembangunan Kawasan Perumahan “Permata indah” secara tertulis setiap akhir bulan.

PIHAK 4

SISTEM PEKERJAAN

System Pekerjaan yang disepakati oleh para pihak, adalah sebagai berikut :

  1. Para Pihak sepakat, bahwa pihak kedua, mempunyai tugas, kewenangan dan tanggung jawab, sebagai berikut :
  1. Membuat Sistem Perencanaan Terpadu

Yang dimaksud Sistem Perencanaan Terpadu adalah rancangan secara integrasi dari keseluruhan sistem kegiatan pekerjaan dari mulai proses awal hingga akhir berkaitan dengan Perencanaan dan Manajemen Properti Pembangunan Kawasan Perumahan “Permata indah”

  1. Mengatur Sistem Pengajuan Administrasi ke Pemerintah daerah dan instansi terkait

Pengajuan Administrasi ke Pemerintah Daerah dan Instansi terkait berhubungan dengan perijinan-perijinan yang dibutuhkan berkaitan dengan proses Pembangunan Kawasan Perumahan “Permata indah”, seperti Ijin Mendirikan Bangunan, ijin Lingkungan, Pecah Seritifikat, dan lain-lain

  1. Mengatur system KPR bagi calon konsumen

System KPR merupakan rancangan yang berkaitan dengan nilai serta grafik harga beserta bunga yang ditentukan oleh bank, termasuk berkaitan dengan tata cara dan prosedur KPR Kawasan Perumahan “Permata indah”

  1. Membuat Schedule Kerja Lapangan

Schedule Kerja Lapangan merupakan rencana dan strategi kerja yang akan dilaksanakan secara periodik oleh tim di lapangan untuk mencapai target yang diharapkan.

  1. Mengatur Sistem Pemasaran tepat guna, dan

Sistem pemasaran adalah keseluruhan cara dan proses efektif memasarkan bangunan Kawasan Perumahan “Permata indah”

  1. Mengawal sampai proyek selesai.

Pengawalan proyek adalah cara yang ditempuh guna optimalisasi keberhasilan keseluruhan tahap Pembangunan Kawasan Perumahan “Permata indah”

  1. Memberikan Laporan Secara Periodik

Laporan yang dimaksud secara tertulis setiap terjadi perkembangan Pembangunan Kawasan Perumahan “Permata indah” atau maksimal setiap akhir bulan.

  1. Tugas, Kewenangan dan tanggungjawab Pihak Pertama :
  2. Memberikan masukan dan atau informasi yang seluas-luasnya atas Perkembangan arah pembangunan di wilayah Kotabaru sebagai bahan acuan Pihak Kedua untuk membuat dasar perencanaan dan konsep pengembangan Kawasan Perumahan “Permata Indah”.
  3. Membayar kewajiban kepada Pihak Kedua berupa Jasa Perencanaan dan Manajemen Properti sebesar 7 (tujuh) persen dari total nilai yang berkaitan dengan pekerjaan Konstruksi (berdasarkan cashflow).

PASAL 5

NILAI PEKERJAAN

Nilai Pekerjaan yang disepakati oleh para pihak adalah sebesar 7 (tujuh) persen dari total nilai yang berkaitan dengan pekerjaan Konstrukti, yakni sebesar Rp. …………………………… (berdasarkan cashflow)

PASAL 6

SISTEM PEMBAYARAN

Para Pihak sepakat  Sistem pembayaran dilakukan oleh Pihak Pertama kepada Pihak Kedua sebesar 7 (tujuh) persen sebagai Jasa Perencanaan dan Manajemen Properti dari total nilai yang berkaitan dengan pekerjaan Konstruksi (berdasarkan cashflow), dilakukan dalam beberapa tahapan pembayaran, meliputi :

  1. Pihak pertama akan memberikan Down Payment sebesar 10 (sepuluh) persen sesuai pasal 5 atau sejumlah Rp. ……………………………………… setelah Kontrak Kerjasama ini ditandatangani oleh Para Pihak dan pekerjaan mulai dilaksanakan oleh Pihak Kedua.
  2. Pembayaran kedua sebesar 15 (lima belas) persen sesuai pasal 5 atau sejumlah Rp. …………………………………… dibayarkan setelah Sistem Perencanaan dan Manajemen Properti telah dibakukan dalam system Perusahaan.
  3. Pembayaran ketiga sebesar 25 (dua puluh lima) persen sesuai pasal 5 atau sejumlah Rp. ……………………………… dibayarkan setelah hasil penjualan unit bangunan mencapai 50 (lima puluh) persen dari total jumlah unit yang dibangun.
  4. Pembayaran keempat sebesar 25 (dua puluh lima) persen sesuai pasal 5 atau sejumlah Rp. ……………………………… dibayarkan setelah hasil penjualan unit bangunan mencapai 75 (tujuh puluh lima) persen dari total jumlah unit yang dibangun.
  5. Sisanya 25 (dua puluh lima) persen sesuai pasal 5 atau sejumlah Rp. ……………………………………………. Dibayarkan setelah jumlah total unit terbangun habis terjual.

PASAL 7

JANGKA WAKTU PELAKSANAAN

  1. Jangka waktu pelaksanaan kegiatan Perencanaan  dan Manajemen Properti adalah 3 (tiga) bulan terhitung sejak ditandatangani Perjanjian Kerjasama ini.
  2. Selanjutnya akan dilanjutkan dengan pelaksanaan pekerjaan fisik dilapangan dan penerapan sistem manajemen property secara berkesinambungan.
  3. Selama jangka waktu kerjasama ini berlaku, maka para pihak tidak dapat membatalkan secara sepihak dengan alasan apapun kecuali atas dasar Kesepakatan Para Pihak untuk diakhiri.

PASAL 8

PERUBAHAN PEMBANGUNAN

Apabila pada waktu pelaksanaan  pekerjaan terdapat perubahan-perubahan terhadap luasan, bentuk, posisi dan perubahan material bangunan, diluar dari Spesifikasi teknis yang telah disepakati, sehingga mempengaruhi cashflow yang telah disepakati, maka Pihak Pertama wajib membayar setiap perubahan dimaksud sesuai atas nilai kelebihannya.

PASAL 9

SANKSI

  1. Dalam kerjasama ini Para Pihak sepakat apabila terdapat salah satu Pihak tidak memenuhi Tugas, Kewenangan dan tanggungjawabnya, maka terdapat beberapa sanksi yang akan diberikan, diantaranya :
  1. Teguran Lisan
  2. Teguran Tertulis
  3. Ganti Rugi
  4. Pemutusan Kontrak
  1. Sanksi sebagaimana dimaksud point 1 diberikan secara hierarkis apabila salah satu Pihak tetap bersikukuh tidak melakukan Tugas, Kewenangan dan tanggungjawabnya sebagaimana diatur dalam Pasal-Pasal dalam perjanjian ini beserta Perubahan dan Adendumnya
  1. Selain sanksi sebagaimana ditentukan dalam Point 1 dan Point 2 diatas, Para Pihak juga tunduk pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Republik Indonesia.

PASAL 10

RESIKO

Jika hasil pekerjaan Pihak Kedua tidak sesuai dengan yang tertuang dalam perjanjian ini, dan telah berdasarkan evaluasi oleh Pihak Pertama, kecuali keadaan force majeure, maka pihak kedua bertanggung jawab sepenuhnya atas segala kerugian yang timbul atas kerugian yang diderita oleh Pihak Pertama.

PASAL 11

ADDENDUM

Hal-hal penting lainnya yang belum cukup diatur dalam isi Perjanjian Kerjasama ini maka akan dimusyawarahkan bersama antara para pihak Kedua dan hasilnya akan dituangkan secara tertulis dan ditandatangani bersama-sama oleh Para Pihak sebagai Addendum, Addendum ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Perjanjian Kerjasama ini.

PASAL 12

PENUTUP

  1. Apabila dikemudian hari ada perselisihan antara Pihak Pertama dengan Pihak Kedua mengenai Perjanjian Kerjasama ini dan atau sebagai dari isinya, maka Para Pihak sepakat untuk menyelesaikan secara musyawarah untuk mufakat. Dan apabila dengan cara ini tidak dapat dicapai kata sepakat, maka Para Pihak sepakat untuk memilih domisili hukum yang tetap yaitu melalui Pengadilan Negeri Batulicin.
  1. Demikian Perjanjian Kerjasama ini dibuat dalam rangkap 2 (dua), 1 (satu) rangkap untuk Pihak Pertama, 1 (satu) rangkap lainnya untuk Pihak Kedua, ditandatangani oleh Para Pihak masing-masing bermeterei cukup, mengikat Para Pihak dan memiliki kekuatan hukum yang sama.
PIHAK PERTAMA PIHAK KEDUA
(…………………………………………) (…………………………………………)
SAKSI PIHAK PERTAMA SAKSI PIHAK KEDUA
(…………………………………………) (…………………………………………)
(…………………………………………) (…………………………………………)
Continue Reading

Prosedur Perkara Pidana Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali

Prosedur Perkara Pidana Banding

PROSEDUR PERKARA BANDING

  1. Meja 2 membuat :
  2. Akta permohonan pikir-pikir bagi terdakwa.
  3. Akta permintaan banding.
  4. Akta terlambat mengajukan permintaan banding.
  5. Akta pencabutan banding.
  6. Permintaan banding yang diajukan, dicatat dalam register induk perkara pidana dan register banding oleh masing-masing petugas register.
  7. Permintaan banding diajukan selambat-¬lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari sesudah putusan dijatuhkan, atau 7 (tujuh) hari setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir dalam pengucapan putusan.
  8. Permintaan banding yang diajukan melampaui tenggang waktu tersebut di atas tetap dapat diterima dan dicatat dengan membuat Surat Keterangan Panitera bahwa permintaan banding telah lewat tenggang waktu dan harus dilampirkan dalam berkas perkara.
  9. Dalam hal pemohon tidak datang menghadap, hal ini harus dicatat oleh Panitera dengan disertai alasannya dan  catatan tersebut harus dilampirkan dalam berkas perkara.
  10. Panitera wajib memberitahukan permintaan banding dari pihak yang satu kepada pihak yang lain.
  11. Tanggal penerimaan memori dan kontra memori banding dicatat dalam register dan salinan memori serta kontra memori disampaikan kepada pihak yang lain, dengan relaas pemberitahuan.
  12. Dalam hal pemohon belum mengajukan memori banding sedangkan berkas perkara telah dikirimkan ke Pengadilan Tinggi, pemohon dapat mengajukannya langsung ke Pengadilan Tinggi, sedangkan salinannya disampaikan ke Pengadilan Negeri untuk disampaikan kepada pihak lain.
  13. Selama 7 (tujuh) hari sebelum pengiriman berkas perkara kepada Pengadilan Tinggi, pemohon wajib diberi kesempatan untuk mempelajari berkas perkara tersebut di Pengadilan Negeri.
  14. Jika kesempatan mempelajari berkas diminta oleh pemohon dilakukan di Pengadilan Tinggi, maka pemohon harus mengajukan secara tegas dan tertulis kepada Ketua Pengadilan Negeri.
  15. Berkas perkara banding berupa bundel “A” dan bundel “B” dalam waktu selambat-lambatnya 14 hari sejak permintaan banding diajukan sesuai dengan pasal 236 ayat 1 KUHAP, harus sudah dikirim ke Pengadilan Tinggi.
  16. Selama perkara banding belum diputus oleh Pengadilan Tinggi, permohonan banding dapat dicabut sewaktu-waktu, untuk itu Panitera membuat Akta pencabutan banding yang ditandatangani oleh Panitera, pihak yang mencabut dan  diketahui oleh Ketua Pengadilan Negeri. Akta tersebut dikirim ke Pengadilan Tinggi.
  17. Salinan putusan Pengadilan Tinggi yang telah diterima oleh Pengadilan Negeri, harus diberitahukan kepada terdakwa dan penuntut umum dengan membuat Akta Pemberitahuan Putusan.
  18. Petugas register harus mencatat semua kegiatan yang berkenaan dengan perkara banding, dan pelaksanaan putusan ke dalam buku register terkait.
  19. Pelaksanaan tugas pada Meja Kedua, dilakukan oleh Panitera Muda Pidana dan berada langsung dibawah koordinasi Wakil Panitera.

Sumber:

–    Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Pidana Umum dan Pidana Khusus, Buku II, Edisi 2007, Mahkamah Agung RI, Jakarta,  2008, hlm. 3-5.

Prosedur Perkara Pidana Kasasi

PERKARA KASASI

  1. Permohonan kasasi diajukan oleh pemohon kepada Panitera selambat-Iambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari sesudah putusan Pengadilan diberitahukan kepada terdakwa/ Penuntut Umum dan selanjutnya dibuatkan akta permohonan kasasi oleh Panitera.
  2. Permohonan kasasi yang melewati tenggang waktu tersebut, tidak dapat diterima, selanjutnya Panitera membuat Akta Terlambat Mengajukan Permohonan Kasasi yang diketahui oleh Ketua Pengadilan Negeri.
  3. Dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah permohonan kasasi diajukan, pemohon kasasi harus sudah menyerahkan memori kasasi dan tambahan memori kasasi (jika ada). Untuk itu petugas membuat Akta tanda terima memori/ tambahan memori.
  4. Dalam hal pemohon kasasi adalah terdakwa yang kurang memahami hukum, Panitera pada waktu menerima permohonan kasasi wajib menanyakan apakah alasan ia mengajukan permohonan tersebut dan untuk itu Panitera membuatkan memori kasasinya.
  5. Panitera memberitahukan tembusan memori kasasi/ kasasi kepada pihak lain, untuk itu petugas membuat tanda terima.
  6. Termohon Kasasi dapat mengajukan kontra memori kasasi, untuk itu Panitera memberikan Surat Tanda Terima.
  7. Dalam hal pemohon kasasi tidak menyerahkan memori kasasi dan atau terlambat menyerahkan memori kasasi, untuk itu Panitera membuat akta.
  8. Apabila pemohon tidak menyerahkan dan atau terlambat menyerahkan memori kasasi, berkas perkara tidak dikirim ke Mahkamah Agung, untuk itu Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan Surat Keterangan yang disampaikan kepada pemohon kasasi dan Mahkamah Agung (SEMA No.7 Tahun 2005).
  9. Terhadap perkara pidana yang diancam pidana paling lama 1 (satu) tahun dan/ atau denda, putusan praperadilan tidak dapat diajukan kasasi.
  10. Permohonan kasasi yang telah memenuhi syarat formal selambat-Iambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah tenggang waktu mengajukan memori kasasi berakhir, berkas perkara kasasi harus sudah dikirim ke Mahkamah Agung.
  11. Dalam hal permohonan kasasi diajukan sedangkan terdakwa masih dalam tahanan, Pengadilan Negeri paling lambat 3 (tiga) hari sejak diterimanya permohonan kasasi tersebut segera melaporkan kepada Mahkamah Agung melalui surat atau dengan sarana-sarana elektronik.
  12. Selama perkara kasasi belum diputus oleh Mahkamah Agung, permohonan kasasi dapat dicabut oleh pemohon. Dalam hal pencabutan dilakukan oleh kuasa hukum terdakwa, harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari terdakwa.
  13. Atas pencabutan tersebut, Panitera membuat akta pencabutan kasasi yang ditandatangani oleh Panitera, pihak yang mencabut dan diketahui oleh Ketua Pengadilan Negeri. Selanjutnya akta tersebut dikirim ke Mahkamah Agung.
  14. Untuk perkara kasasi yang terdakwanya ditahan, Panitera Pengadilan Negeri wajib melampirkan penetapan penahanan dimaksud dalam berkas perkara.
  15. Dalam hal perkara telah diputus oleh Mahkamah Agung, salinan putusan dikirim kepada Pengadilan Negeri untuk diberitahukan kepada terdakwa dan Penuntut Umum, yang untuk itu Panitera membuat akta pemberitahuan putusan. Fotocopy relaas pemberitahuan putusan Mahkamah Agung, segera dikirim ke Mahkamah Agung.
  16. Petugas buku register harus mencatat dengan cermat dalam register terkait semua kegiatan yang berkenaan dengan perkara kasasi dan pelaksanaan putusan.

Sumber: – Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Pidana Umum dan Pidana Khusus, Buku II, Edisi 2007, Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2008, hlm. 5-8.

Prosedur Perkara Pidana Peninjauan Kembali

PENERIMAAN PERKARA PENINJAUAN KEMBALI

  1. Terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang merupakan putusan pemidanaan, terpidana. atau ahli warisnya dapat mengajukan permohonan Peninjauan Kembali, dan dapat dikuasakan kepada Penasihat Hukumnya.
  2. Permohonan Peninjauan Kembali diajukan kepada Panitera Pengadilan yang telah memutus perkaranya dalam tingkat pertama dengan menyebutkan secara jelas alasannya.
  3. Permohonan Peninjauan Kembali tidak dibatasi jangka waktu.
  4. Petugas menerima berkas perkara pidana permohonan Peninjauan Kembali, lengkap dengan surat-surat yang berhubungan dengan perkara tersebut, dan memberikan tanda terima.
  5. Permohonan Peninjauan Kembali dari terpidana atau ahli warisnya atau Penasihat Hukumnya beserta alasan¬-alasannya, diterima oleh Panitera dan ditulis dalam suatu surat keterangan yang ditandatangani oleh Panitera dan  pemohon.
  6. Dalam hal terpidana selaku pemohon Peninjauan Kembali kurang memahami hukum, Panitera wajib menanyakan dan  mencatat alasan-alasan secara jelas dengan membuatkan Surat Permohonan Peninjauan Kembali.
  7. Dalam hal Pengadilan Negeri menerima permohonan Peninjauan Kembali, wajib memberitahukan permintaan permohonan Peninjauan Kembali tersebut kepada Penuntut Umum.
  8. Dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah permohonan Peninjauan Kembali diterima Pengadilan Negeri, Ketua Pengadilan menunjuk Majelis Hakim yang tidak memeriksa perkara semula, untuk memeriksa dan memberikan pendapat apakah alasan permohonan Peninjauan Kembali telah sesuai dengan ketentuan Undang-undang.
  9. Dalam pemeriksaan tersebut, terpidana atau ahli warisnya dapat didampingi oleh Penasehat Hukum dan Jaksa yang dalam hal ini bukan dalam kapasitasnya sebagai Penuntut Umum ikut hadir dan dapat menyampaikan pendapatnya.
  10. Dalam hal permohonan Peninjauan Kembali diajukan oleh terpidana yang sedang menjalani pidananya, Hakim menerbitkan penetapan yang memerintahkan kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan dimana terpidana menjalani pidana untuk menghadirkan terpidana ke persidangan Pengadilan Negeri.
  11. Panitera wajib membuat Berita Acara Pemeriksaan Peninjauan Kembali yang ditandatangani oleh Hakim, Jaksa, pemohon dan Panitera. Berdasarkan berita acara pemeriksaan tersebut dibuat berita acara pendapat yang ditandatangani oleh Majelis Hakim dan Panitera.
  12. Permohonan Peninjauan Kembali tidak menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan putusan.
  13. Permohonan Peninjauan Kembali yang terpidananya berada di luar wilayah Pengadilan yang telah memutus dalam tingkat pertama:
  14. Diajukan kepada Pengadilan yang memutus dalam tingkat pertama;
  15. Hakim dari Pengadilan yang memutus dalam tingkat pertama dengan penetapan dapat meminta bantuan pemeriksaan, kepada Pengadilan Negeri tempat pemohon Peninjauan Kembali berada;
  16. Berita Acara pemeriksaan dikirim ke Pengadilan yang meminta bantuan pemeriksaan;
  17. Berita Acara Pendapat dibuat oleh Pengadilan yang telah memutus pada tingkat pertama;
  18. Dalam pemeriksaan persidangan dapat diajukan surat¬-surat dan saksi-saksi yang sebelumnya tidak pernah diajukan pada persidangan Pengadilan di tingkat pertama.
  19. Dalam waktu 30 (tiga puluh) hari, setelah pemeriksaan persidangan selesai, Panitera harus segera mengirimkan berkas perkara tersebut ke Mahkamah Agung. Tembusan surat pengantarnya disampaikan kepada pemohon dan  Jaksa.
  20. Dalam hal suatu perkara yang dimintakan Peninjauan Kembali adalah putusan Pengadilan Banding, maka tembusan surat pengantar tersebut harus dilampiri tembusan Berita Acara Pemeriksaan serta Berita Acara pendapat dan  disampaikan kepada Pengadilan Banding yang bersangkutan.
  21. Fotocopy relaas pemberitahuan putusan Mahkamah Agung yang telah disahkan oleh Panitera dikirimkan ke Mahkamah Agung.
  22. Permohonan Peninjauan Kembali hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali saja (pasal 268 ayat 3 KUHAP).

Sumber: 
–    Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Pidana Umum dan Pidana Khusus, Buku II, Edisi 2007, Mahkamah Agung RI, Jakarta,  2008, hlm. 8-11. 

Continue Reading

TINJAUAN KEDUDUKAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM SISTEM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA

Pasca Undang-Undang Dasar Amandemen, terdapat beberapa pergeseran lembaga Negara yang semula terdapat lembaga tertinggi Negara dalam hal ini adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), kini lembaga Negara yang ada memiliki kedudukan yang sama sebagai lembaga yang memiliki tugas dan fungsi yang berbeda. Hal itu sesuai dengan prinsip ‘check and balance’ dimana berfungsi sebagai pengontrol terhadap kewenangan regulatif baik yang dimiliki oleh Presiden/Pemerintah serta lembaga-lembaga lain yang mendapat kewenangan regulatif dari Undang-Undang.[1]

Mahkamah Konstitusi yang merupakan lembaga baru pasca UUD 1945 amandemen memiliki kedudukan yang strategis dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, selain berkedudukan sebagai lembaga kekuasaan kehakiman serta memiliki kedudukan terhadap Mahkamah Agung dan lembaga Negara lainnya.[2] Mahkamah Konstitusi dikatakan sebgai salah satu kekuasaan kehakiman sebagaimana tertuang dalam Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 amandemen yang berbunyi:

“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan sebuah Mahkamah Konstitusi (kursif dari penulis)

Adapun yang menjadi kewenangan mahkamah Konstitusi adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 sebagimana disebutkan dibawah ini:

  • Mahkamah Knsitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
    • Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
    • Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
    • Memutus pembubaran partai politik;dan
    • Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
  • Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presidendiduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindk pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana diamksud dalam Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

Mahkamah Konstitusi juga memiliki kedudukan terhadap lembaga Negara yang lain, diantaranya dengan Mahkamah Agung (MA), Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Yang kesemuanya saling melengkapi sehingga akan tercipta suasana pemerintahan yang yang saling melengkapi antara fungsi lembaga Negara yang satu dengan yang lainnya.[3]

a.1.Kedudukan Mahkamah Konstitusi Terhadap Mahkamah Agung

Sepintas dapat dipastikan bahwa kedua lembaga ini merupakan dua lembaga yang merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman, namun tentunya kedua lembaga ini memiliki kewenangan yang berbeda. Dalam pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa:

“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan sebuah Mahkamah Konstitusi (kursif dari penulis)

Ketika melihat bunyi pasal diatas, maka jelas bahwa antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi merupakan sama-sama kekuasaan kehakiman, namun perlu dilihat pula tentang kewenangan dari Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam Pasal 24A ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa:

“Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan undang-undang ”

Sedangkan wewenang Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa:

“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.

Selain kewenangan diatas, Mahkamah konstitusi memiliki kewengan satu lagi yang sangat urgen yakni sebagaimana diatur dalam pasal 24C ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa:

“Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar”

Berdarsakan bunyi Pasal-Pasal dalam Undang-Undang Dasar diatas, maka antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung adalah sama-sama sebagai pelaku kekuasaan kehakiman di Indonesia. Maka dengan demikian pula dapat disimpulkan bahwa kekuasaan kehakiman di Indonesia menganut sistem bifurkasi (bifurcation system), dimana kekuasaan kehakiman terbagi dalam 2 (dua) cabang, yaitu cabang peradilan biasa (ordinary court) yang berpuncak pada Mahkamah Agung dan cabang peradilan Konstitusi yang dijalankan oleh Mahkamah Konstitusi.[4]

Dengan demikian jelas bahwa antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung merupakana 2 (dua) lembaga tinggi negara yang sejajar yang sama-sama sebagai pelaku kekuasaan kehakiman dalam sistem Kekuasaan di Negara Republik Indonesia.[5] Namun tentunya antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung memiliki perbedaan baik dari segi yrisdiksi maupun dari segi kompetensinya. Meskipun jika dilihat secara politis dari kewenangan Mahkamah Konstitusi, maka Mahkamah Konstitusi relatif lebih tinggi dari Mahkamah Agung.

a.2. Kedudukan Mahkamah Konstitusi Terhadap Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)

Dengan diamandemennya Undang-Undang Dasar 1945 maka telah terjadi pergesesan kekuasaan lembaga Negara, salah satunya adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang sebelum amandemen merupakan lembaga tertinggi Negara, namun setelah amandemen Undang-Undang Dasar 1945, maka kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tidak lagi sebagai penjelmaan dari seluruh rakyat Indonesia dan pelaku sepenuhnya kedaulatan rakyat. Oleh karena itu dalam Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa kedaulatan derada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar (Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945), sehingga penumpukan kekuasaan di satu lembaga dapat diminimalisir.

Mengenai kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), maka dapat dilihat dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa:

“Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar”

Dalam ayat (2) disebutkan bahwa:

“Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden”

Dalam ayat (3) disebutkan bahwa:

“Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang dasar”

Berdasarkan bunyi Pasal-pasal diatas, maka antara Mahkamah Konstitusi dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) adalah sama-sama sebagai lembaga negara yang sejajar, yakni lembaga yang satu tidak lebih tinggi (subordinat) terhadap lembaga Negara lainnya.

a.3Kedudukan Mahkamah Konstitusi Terhadap Presiden

Undang-Undang Dasar 1945 pasal 4 ayat (1) menyebutkan bahwa:

“Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”

Sedangkan Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku sekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung sebagaimana tertuang dalam Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 terdapat banyak pasal yang mengatur tentang keberadaaan Presiden. Namun dari sekian banyak pasal tersebut tidak satupun yang mengatur kedudukan Presiden terhadap Mahkamah Konstitusi. Namun hal yag penting adalah sebagimana tertuang dalam Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa:

“Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”

Dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 22 tahun 2003 tentang Susunan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat ditegaskan bahwa:

“Majelis Permusyawaratan Rakyat merupakan lembaga permusyawaratan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara”

Berdasarkan penjelasan pasal diatas, maka dapat diartikan bahwa semua lembaga negara termasuk Presiden tidak dapat melakukan intervensi terhadap Mahkamah Konstitusi selaku kekuasaan kehakiman di Indonesia. Untuk itu, maka dapat disimpulkan bahwa antara Presiden dan Mahkamah Konstitusi adalah sama-sama lembaga Negara yang memiliki tugas dan wewenang yang berbeda namun memiliki kedudukan yang sejajar.

a.4.Kedudukan Mahkamah Konstitusi Terhadap Dewan Perwakilan Rakyat

Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 20 ayat (1) disebutkan bahwa:

“Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang”

Undang-Undang Dasar 1945 tidak dijelaskan tentang kedudukan Mahkamah Konstitusi terhadap Dewan Perwakilan Rakyat. Namun, dalam Pasal 24 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat ditegaskan bahwa:

“Dewan Perwakilan Rakyat merupakan lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara”

Dari penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kedudukan antara Mahkamah Konstitusi dan Dewan Perwakilan Rakyat adalah sejajar dan kedua-duanya adalah lembaga Negara.

a.5.Kedudukan Mahkamah Konstitusi Terhadap Dewan Perwakilan Daerah (DPD)

Keberadaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam sistem ketatanegaraan Indonesia merupakan lembaga baru pasca amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Dalam Pasal 40 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat ditegaskan bahwa:

“Dewan Perwakilan Dakyat merupakan lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara”

Berdasarkan pasal diatas, maka jelas bahwa Mahkamah Konstitusi dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sama-sama sebagai lembaga negara, sehingga kedudukan kedua lembaga tersebut adalah sederajat, namun tentunya memiliki kewenangan yang berbeda.

a.6.Kedudukan Mahkamah Konstitusi Terhadap Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)

Tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) diatur dalam Pasal 23E ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa:

“untuk melaksanakan pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan Negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas mandiri”

Mengenai kedudukan Mahkamah Konstitusi terhadap Badan Pemeriksa Keuangan tidak terdapat satu pasalpun dalam peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Namun karena antara Mahkamah Konstitusi dan Badan Pemeriksa Keuangan adalah sama-sama lembaga negara, maka kedudukan kedua lembaga tersebut adalah sejajar.

Berdasarkan penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kedudukan Mahkamah Konstitusi terhadap lembaga negara yang lainnya yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 amandemen, maka tidak terdapat satu lembagapun secara hukum yang dapat dikatakan (subordinat) lebih tinggi atau lebih rendah, walaupun terdapat sebagian yang mengatakan secara politis masih terdapat lembaga yang paling tinggi apabila dilihat dari segi kewenangan yang dimiliki.

  1. FUNGSI DAN TUGAS MAHKAMAH KONSTITUSI MENURUT UNDANG-UNDANG DASAR 1945

Menurut Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1974, istilah fungsi berarti adalah sekelompok pekerjaan, kegiatan, dan usaha yang satu sama lainnya ada hubungan erat untuk melaksanakan suatu tugas pokok. Dari sudut bahasa, fungsi (Belanda=functie, Inggris=function) berarti jabatan, atau kerja.[6] Jadi berdasarkan pengertian diatas, maka fungsi adalah salah satu peran yang dapat dilaksanakan untuk melaksanakan salah satu wewenang yang melekat pada suatu kelompok/lembaga.

Secara filosofis ide dasar gagasan pembentukan Mahkamah Knstitusi adalah untuk menciptakan sebuah sistem ketatanegaraan di Indonesia yang menganut sistem pemisahan kekuasaan (separation of power) serta inginmenerapkan konsep “check and balance” untuk secara bertahap menggantikan asas pendistribusian kekuasaan (distribution of power), dengan alasan bahwa: [7]

  1. Negara Indonesia merupakan negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, bertujuan untuk mewujudkan tata kehidupan bangsa dan negara yang tertib, bersih, makmur, dan berkeadilan.
  2. Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman mempunyai peranan penting dalam usaha menegakkan konstitusi dan prinsip negara hukum sesuai dengan tugas dan wewenagnya yang ditentukan dalam UUD 1945.
  3. Berdasarkan ketentuan yang termuat dalam UUD 1945 (Pasal 24C) pengaturan tentang pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara, dan ketentuan lainnya diatur dalam undang-undang.

 

  1. Fungsi Mahkamah Konstitusi Sebagai Lembaga Kekuasaan Kehakiman

     Format awal dibentuknya Mahkamah Konstitusi adalah semangat membangun lembaga kekuasaan Kehakiman yang tugas dan wewenangnya berkaitan dengan peran dan tugas konstitusionalitas dari Undang-Undang Dasar 1945.

Kekuasaan Kehakiman setelah UUD 1945 diubah, tetap menjadi kekuasaan yang sangat fundamental dan sebagai bagian dari poros kekuasaan yang memiliki fungsi menegakkan keadilan.[8] Kekuasaan kehakiman dalam susunan kekuasaan negara menurut UUD 1945 setelah perubahan tetap ditempatkan sebgai kekuasaan yang mandiri, bebas campur tangan dari kekuasaan lain, hal itu sesuai dengan bunyi Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa:

“Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”

Dalam susunan kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Agung (MA), badan-badan peradilan lain dibawah MA (Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Militer, Peradilan Agama) serta Mahkamah Konstitusi (pasal 24 ayat (2) UUD 1945). Untuk menjaring hakim-hakim yang profesional dan mempunyai integritas terhadap profesinya sebagai penegak hukum dan keadilan, terdapat lembaga khusus diadakan untuk rekrutmen calon-calon Hakim Agung yaitu Komisi Yudisial (Pasal 24B UUD 1945).

Dengan demikian maka Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, perlu memperhatikan mengenai asas-asas hukum umum kekuasaan kehakiman/peradilan yang baik (Algemene Rechtsbeginsellen van Behorrrlijk Rechtspraak). Asas hukum (Rechtsbeginsellen) adalah pokok pikiran yang bersifat umum yang menjadi latar belakang dari peraturan hukum yang konkret (hukum positif).[9] Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH mengatakan bahwa asas hukum adalah jiwanya peraturan hukum, karena ia merupakan dasar lahirnya peraturan hukum, ialah rasio legisnya peraturan hukum.[10] Asas hukum ini dapat ditemukan dan disimpulkan langsung ataupun tidak langsung dala peraturan-peraturan hukum yang pada hakikatnya mengandung unsur-unsur asas-asas hukum yang bersangkutan.[11]

Seperti asas-asas hukum lainnya, kekuasaan kehakiman juga memiliki beberapa asas yang menjadi dasar dari ketentuan-ketentuan dalam kekuasaan kehakiman secara umum. Adapun asas-asas hukum kekuasaan kehakiman yang baik diantaranya:[12]

  1. Asas kebebasan hakim
  2. Hakim bersifat menunggu
  3. Pemeriksaan berlangsung terbuka
  4. Hakim aktif
  5. Asas hakim bersifat pasif (Tut Wuri)
  6. Asas kesamaan (Audi et Alteram Partem)
  7. Asas objektivitas
  8. Putusan disertai alasan (Motiverings Plicht)
  1. Fungsi Mahkamah Konstitusi Sebagai Penjaga Konstitusi

Ketika melihat wewenang Mahkamah konstitusi dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa:

“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.

Selain kewenangan diatas, Mahkamah konstitusi memiliki kewengan satu lagi yang sangat urgen yakni sebagaimana diatur dalam pasal 24C ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa:

“Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar”

Berdasarkan kewenanagan diatas, maka dalam segala apapun untuk menjalankan kewenangannya, maka Mahkamah Konsitusi selalu mengatasdasarkan Undang-Undang Dasar sebagai (staatsfundamentalnorm)[13]. Untuk itu sering dikatakan bahwa fungsi dari Mahkamah Konstitusi adalah berfungsi sebagai The Guardian of Constitution (penjaga konstitusi).

Sejalan dengan prinsip ketatanegaraan diatas maka salah satu subtansi penting perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga Negara yang berfungsi menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan, dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita demokrasi.

Dasar yang dapat dikatakan bahwa Mahkamah Konstitusi adalah berfungsi sebagai The Guardian of Constitution (penjaga konstitusi) adalah bahwa Mahkamah konstitusi merupakan lembaga peradilan dalam bidang Tata Negara yang dalam segala kewenangannya harus berdasarkan atas Undang-Undang Dasar 1945, baik dalam menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, maupun dalam memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.

Sebagai The Guardian of Constitution (penjaga konstitusi), maka Mahkamah Konstitusi diharapkan dapat memutus segala wewenang yang melekat padanya harus berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, bukan berdasarkan atas pertimbangan-pertimbangan yang lainnya seperti politik, ekonomi, sosial dan lain sebagainya. Untuk itu juga sangat diperlukan dalam segala pertimbangan yang dilakukan hakim konstitusi adalah pertimbangan hukum, bukan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang lainnya.[14]

 

  1. Fungsi Mahkamah Konstitusi Sebagai Penafsir Konstitusionalitas Undang-Undang Terhadap Undang-Undang Dasar 1945

Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar (judicial reviuw) merupakan tugas yang mendominasi kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana tampak dari putusan yang telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi.[15] Secara teoritis terdapat 2 (dua) pengujian norma hukum, yakni pengujian secara formal (formele toetsingrecht) dan pengujian secara materiil (materiele toetsingrecht).[16]

Pengujian secara formal adalah wewenang untuk menilai apakah suatu produk hukum legislatif dibuat sesuai prosedur ataukah tidak. Serta apakah lembaga tertentu berhak atau tidak dalam mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Sedangkan pengujian secara materiil adalah wewenang untuk menyelidiki dan menilai apakah suatu peraturan perundang-undangan bertentangan atau tidak dengan peraturan yang lebih tinggi.[17]

Berdasarkan kewenangannya untuk menguji konstitusionalitas Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, Mahkamah Konstitusi melalui putusannya dapat menyatakan bahwa materi rumusan dari suatu Undang-Undang tidak mempunyai kekuatan hukum karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Begitupun terhadap suatu Undang-Undang, Mahkamah Konstitusi dapat membatalkan keberlakuannya karena tidak sesuai dan tidak berdasar terhadap Undang-Undang Dasar 1945.

Melalui penafsiran ataupun interpretasi terhadap Undang-Undang Dasar 1945, Mahkamah Konstitusi berfungsi sebagai peradilan yang secara positif mengoreksi Undang-Undang yang dihasilkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama-sama Presiden dalam penyelenggaraan negara yang berdasarkan hukum yang mengatur perikehidupan masyarakat bernegara. Dengan demikian Undang-Undang yang dihasilkan oleh legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden) diimbangi oleh pengujian (formal dan materiil) dari cabang yudisial yakni Mahkamah Konstitusi.[18]

Contoh kecil dalam hal kewenangan formal dalam menguji Undang-Undang misalkan dalam bidang legislasi adalah Mahkamah konstitusi dapat mendorong efektifitas penyelenggaraan fungsi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang dikerdilkan. Artinya Maahkamah Konstitusi dapat menyatakan bahwa pembentukan suatu Undang-Undang adalah tidak sah menurut Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat karena tidak melibatkan atau mengabaikan peranan, pertimbangan, maupun pandangan dari Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Konteks diatas berarti Mahkamah Konstitusi mempunyai fungsi sebagaiKonstitusionalitas Undang-Undang Terhadap Undang-Undang Dasar 1945, baik melalui pengujian secara materiil dan formal terhadap suatu Undang-Undang mempunyai fungsi control dalam suatu sistem hukum yang mengatur kehidupan bernegara. Hal itu terwujud dalam bentuk pengujian (materiil dan formal) terhadap Undang-Undang oleh Mahkamah konstitusi.

  1. HUBUNGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN LEMBAGA TINGGI NEGARA LAINNYA

Seperi pembahasan sebelumnya bahwa Mahkamah Konstitusi selain berkedudukan yang sejajar dan tidak (subordinat) terhadap lembaga tinggi negara lainnya, maka selain itu juga Mahkamah Konstitusi juga memiliki hubungan dengan lembaga tinggi lainnya, baik dengan Mahkamah Agung (MA), Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Badan Pemeriksa Keuangan.

  1. Hubungan Mahkamah Konstitusi Dengan Mahkamah Agung

Pasal 24C ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa Mahkamah Konstitusi terdiri tersiri 9 (sembilan) orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden. Aturan peralihan Pasal III Mahkamah Konstitusi selambat-lambatnya dibentuk pada 17 Agustus 2003, sebelum Mahkamah konstitusi terbentuk segala kewenangannya dilakukan oleh Mahkamah Agung. Mahkamah Konstitusi memberitahukan kepada Mahkamah Agung adanya permohonan pengujian Undang-Undang dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari sejak permohonan di catat dalam buku register perkara konstitusi.

Pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang yang sedang dilakukan Mahkamah Agung wajib dihentikan apabila Undang-Undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi (Pasal 55 UU No. 23 Tahun 2003). Begitupun juga Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden, dan Mahkamah Agung (MA) (Pasal 59 UU No. 23 Tahun 2003).

Berdasarkan bunyi pasal diatas, maka hubungan kedua lembaga negara ini telah dimulai sebelum dibentuknya Mahkamah Konstitusi. Dalam rangka mengisi jabatan hakim konstitusi, maka Mahkamah Agung berhak mengajukan 3 (tiga) orang hakim konstitusi dari 9 (sembilan) orang hakim konstitusi yang nantinya ditetapkan oleh Presiden.

Dalam menjalankan tugasnya pun Mahkamah Konstitusi melakukan hubungan denga Mahkamah Agung seperti ketika Mahkamah Konstitusi menangani Judicial Reviuw. Mahkamah Konstitusi memberitahukan kepada Mahkamah Agung adanya permohonan pengujian Undang-Undang dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam buku register perkara konstitusi.

Pengujian peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang yang sedang dilakukan Mahkamah Agung wajib dihentikan apabila Undang-Undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah KOnstitusi sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi. Putusan Mahkamah Konstitusi disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden, dan Mahkamah Agung (MA).

Dari itu, maka dapat dilihat terdapat hubungan antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung, hal itu merupakan konsekwensi dari lembaga yang sama-sama berwenang melakukan judicial reviuw terhadap peraturan perundang-undangan.

  1. Hubungan Mahkamah Konstitusi Dengan Majelis Permusyawaratan Rakyat

Reduksi pergeseran kekuasaan lembaga negara ternyata juga berimplikasi terhadap bergesernya hubungan antar lembaga negara negara, begitu pula dengan hubungan antara Mahkamah Konstitusi dengan Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Mengenai kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), maka dapat dilihat dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa:

“Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar”

Dalam ayat (2) disebutkan bahwa:

“Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden”

Dalam ayat (3) disebutkan bahwa:

“Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang dasar”

Pasal 10 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang susunan kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Majelis Permusyawaratan Rakyat Merupakan lembaga permusyawaratan rakyat ysngs berkududukan sebagai lembaga Negara”

Karena kedua lembaga baik Mahkamah Konstitusi maupun Majelis Permusyawaratan Rakyat sama-sama sebagai lembaga Negara, maka dalam menjalankan tugas dan wewenangnya kedua lembaga tersebut terdapat hubungan. Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindakpidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau wakil Presiden (pasal 7A Undang-Undang Dasar 1945). Lembaga yang memiliki kewajiban untuk memeriksa, mengadili, dan memutus dugaan bahwa Presiden dan/atau wakil Presiden telah melakukan pelanggagaran hukum sebagai mana diamksud diatas adalah Mahkamah Konstitusi (Pasal 24C ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945)

Dalam penyelesaian sengketa pemilu Presiden dan wakil Presiden, Mahkamah Konstitusi menyampaikan putusan hasil perhitungan suara kepada MPR, dalam hal MPR menjadi para pihak dalam peradilan Konstitusi, Mahkamah Konstitusi dapat memanggil dan mendengar keterangan MPR dalam persidangan.

Berdasarkank pemaparan diatas, maka jelas bahwa kedua lembaga negara merupakan lembaga yang sejajar yang memiliki hubungan tata kerja antar lembaga negara yang ada.

  1. Hubungan Mahkamah Konstitusi Dengan Presiden

     Sama halnya dengan Mahkamah Agung, maka Presiden juga berhak mengajukan 3 (tiga) orang Hakim Konstitusi dari 9 (sembilan) orang Hakim Konstitusi, dan Presiden berwenang menetapkan 9 (sembilan) orang Hakim Konstitusi tersebut (Pasal 24C ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945)

Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana lainnya atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau wakil Presiden (pasal 7A Undang-Undang Dasar 1945). Lembaga yang memiliki kewajiban untuk memeriksa, mengadili, dan memutus dugaan bahwa Presiden dan/atau wakil Presiden telah melakukan pelanggagaran hukum sebagai mana diamksud diatas adalah Mahkamah Konstitusi (Pasal 24C ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945)

Mahkamah Konstitusi berwenang melakukan Judicial Reviuw terhadap Undang-Undang yang merupakan produk yang dibuat DPR dan Presiden (Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945). Mahkamah Konstitusi menyampaikan permohonan yang sudah dicatat dalam buku registrasi perkara konstitusi kepada DPR dan Presiden untuk diketahui dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari. Mahkamah Konstitusi dapa tmeminta risalah dan keterangan yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada MPR, DPR, DPD, dan/atau Presiden. Mahkamah Konstitusi menyampaikan kepada DPR, DPD, Presiden, dan Mahkamah Agung terhadap putusan mengenai pengujian Undang-Undang Dasar 1945 (pasal 59 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003).

Dalam hal penyelesaian sengketa pemilu Presiden dan Wakil Presiden, Mahkamah Konstitusi menyampaikan putusan hasil perhitungan suara kepada Presiden (Pasal 68 ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden). Hakim Konstitusi mengucap sumpah dihadapan Presiden (Pasal 21 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003). Pemberhentian hakim konstitusi ditetapkan dengan Keputusan Presiden atas permintaan Ketua Mahkamah Konstitusi. Dalam hal Presiden menjadi para pihak dalam peradilan Konstitusi, Mahkamah Konstitusi dapat memanggil dan mendengar keterangan Presiden dalam persidangan.

Berdasarkan ulasan singkat diatas, maka jelas terdapat hubungan tata kerja antara Mahkamah Konstitusi dengan Presiden. Juga terdapat hubungan protokoler dalam hal Hakim Konstitusi mengucap sumpah.

  1. Hubungan Mahkamah Konstitusi Dengan Dewan Perwakilan Rakyat

     Mahkamah Konstitusi berwenang melakukan Judicial Reviuw terhadap Undang-Undang yang merupakan produk yang dibuat DPR dan Presiden (Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945). Mahkamah Konstitusi menyampaikan permohonan yang sudah dicatat dalam buku registrasi perkara konstitusi kepada DPR dan Presiden untuk diketahui dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari. Mahkamah Konstitusi dapa tmeminta risalah dan keterangan yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada MPR, DPR, DPD, dan/atau Presiden. Mahkamah Konstitusi menyampaikan kepada DPR, DPD, Presiden, dan Mahkamah Agung terhadap putusan mengenai pengujian Undang-Undang Dasar 1945 (pasal 59 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003).

Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar (Pasal 24C ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945). DPR berhak mengajukan 3 (tiga) orang hakim konstitusi dari sembilan orang hakim konstitusi yang nantinya ditetapkan oleh Presiden (pasal 24C ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 ). Dalam hal DPR menjadi para pihak dalam peradilan konstitusi, Mahkamah Konstitusi dapat memanggil dan mendengar keterangan DPR dalam persidangan.

Sedikit berdasarkan rumusan pasal-pasal diatas, maka dapat menunjukkan dalam hal-hal tertentu terdapat hubungan tata kerja lembaga antara Mahkamah Konstitusi dan Dewan Perwakilan Rakyat.

  1. Hubungan Mahkamah Konstitusi Dengan Dewan Perwakilan Daerah

Mahkamah Konstitusi dapa tmeminta keterangan dan/atau risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Presiden.Mahkamah Konstitusi menyampaikan permohonan yang sudah dicatat dalam buku registrasi perkara konstitusi kepada DPR dan Presiden untuk diketahui dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari. Mahkamah Konstitusi dapa tmeminta risalah dan keterangan yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada MPR, DPR, DPD, dan/atau Presiden. Mahkamah Konstitusi menyampaikan kepada DPR, DPD, Presiden, dan Mahkamah Agung terhadap putusan mengenai pengujian Undang-Undang Dasar 1945 (pasal 59 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003).

Dalam hal Dewan Perwakilan Daerah menjadi para pihak dalam sengketa kewenangan lembaga Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, Mahkamah Konstitusi dapat memanggil dan meminta keterangan Dewan Perwakilan Daerah dalam persidangan (pasal 41 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003)

Sama halnya dengan lembaga yang lainnya, berdasarkan penjelasan diatas, maka hubungan antara Mahakamah Konstitusi dan Dewan Perwakilan Daerah adalah hubungan tata kerja antar lembaga negara.

  1. Hubungan Mahkamah Konstitusi Dengan Badan Pemeriksa Keuangan

Badan Pemeriksa Keuangan merupakan lembaga negara yang memiliki wewenang untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara (Pasal 23E ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945).

Menurut Pasal 12 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 bahwa:

 

“Mahkamah Konstitusi bertanggung jawab untuk mengatur organisasi, administrasi, personalia, dan keuangan sesuai dengan prinsip pemerintahan yang bersih”

Sehingga dalam hal ini, Badan Pemeriksa Keuangan berwenang untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Mahkamah Konstitusi sesuai dengan prinsip pemerintahan yang bersih (good governnance). Begitupun juga dalam hal Badan Pemeriksa Keuangan menjadi pihak dalam sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, Mahkamah Konstitusi dapat memanggil dan mendengar keterangan Badan Pemeriksa Keuangan dalam persidangan.

Berdasarkan penjelasan diatas, maka terdapat hubungan antara Mahkamah konstitusi dan Badan Pemeriksa Keuangan adalah hubungan tata kerja antar lembaga negara.

 

DAFTAR PUSTAKA

Arinanto, Satya, Politik Hukum 1, Program Pascasarjana UI, Jakarta, 2001

Arinanto, Satya, Politik Hukum 2, Program Pascasarjana UI, Jakarta, 2001

Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara Dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, UII Press, Yogyakarta, 2005,

Fatkhurohman, et.al, Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004

Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2005

Ikhsan Rosyada Parluhutan Daulay, Mahkamah Konstitusi (Memahami keberadaannya Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia), PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2006,

J.H.A. Logeman, Tentang Teori Suatu Tata Hukum Positif, Ichtiar Baru, Jakarta

Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasi Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 2002

Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 2004

Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Hukum, Pustaka Kartini, Jakarta, 1991

Maria Farida Indarti, Pengantar Ilmu Perundang-Undangan, Kanisius, Jakarta, 1998

Maruar Sihaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Konsitusi Press, Jakarta, 2005

Bambang Sutiyoso, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung

Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta, 2006

Sri Soemantri, Hak Menguji Materiil di Indonesia, Alumni, Bandung 1986

Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi, Pradnya Paramita, Jakarta, 2006

[1] Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara Dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, UII Press, Yogyakarta, 2005, Hal. 21

[2] Fatkhurohman, et.al, Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, Hal. 59

[3] Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2005, Hal. 27

[4] Fatkhurohman, et.al, Opcit, Hal. 62

[5] Ikhsan Rosyada Parluhutan Daulay, Mahkamah Konstitusi (Memahami keberadaannya Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia), PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2006, Hal. 44

[6] J.H.A. Logeman, Tentang Teori Suatu Tata Hukum Positif, Ichtiar Baru, Jakarta, Hal.104

[7] Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasi Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, Hal. 167-168

[8] Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, Opcit, Hal. 26

[9] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 2002, Hal. 32

[10] Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 2004, Hal. 85

[11] Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Hukum, Pustaka Kartini, Jakarta, 1991, Hal. 138

[12] Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, Opcit, Hal. 66

[13] Maria Farida Indarti, Pengantar Ilmu Perundang-Undangan, Kanisius, Jakarta, 1998, Hal.47

[14] Maruar Sihaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Konsitusi Press, Jakarta, 2005, Hal 138

[15] Bambang Sutiyoso, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, Hal.38

[16] Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta, 2006. Hal 5

[17] Sri Soemantri, Hak Menguji Materiil di Indonesia, Alumni, Bandung 1986, Hal. 5-12

[18] Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi, Pradnya Paramita, Jakarta, 2006, Hal. 276

Continue Reading