PERDEBATAN DEMOKRASI, KONSEP HUKUM ISLAM DAN KONSTITUSI MADINAH

PERDEBATAN DEMOKRASI, KONSEP HUKUM ISLAM

DAN KONSTITUSI MADINAH[1]

Oleh :

Saiful Anam[2]

04.01.111.00351

Perdebatan tentang demokrasi dan konsep hukum islam cukup menarik untuk diteliti sehingga akan menghasilkan tesis yang paling tidak dapat dijadikan bahan awal untuk berdiskusi yang tentunya pada akhirnya akan melahirkan antitesis dalam perkembanganya. Hemat penulis itu merupakan hal yang lumrah dalam dunia kampus atau akademik, asal dalam penafsirannya dilakukan dengan penelitian dan konsep hukum yang jelas rujukan serta dasar teorinya. Karena banyak sekarang mahasiswa yang hanya memperkuat logika tanpa didasari oleh teori hukum yang jelas. Alhasil tidak jarang analisa yang dihasilkan adalah analisa non hukum (sesuai dengan kebiasaan dirinya) atau malah analisa yang dihasilkan adalah analisa politis.

Berbicara tentang demokrasi maka harus tahu dulu sejarah latar belakang demokrasi, pengertian demokrasi, jenis demokrasi, serta unsur dan syarat demokrasi. Begitu pula sebaliknya untuk mengetahui hukum Islam harus diketahui secara komprehensif tentang sejarah latar belakang hukum Islam, pengertian Hukum Islam, sumber hukum Islam, asas-asas hukum Islam, ruang lingkup hukum Islam, ciri-ciri hukum Islam dan tujuan hukum Islam.

  1. Demokrasi
  1. Sejarah Demokrasi

Perdebatan masalah demokrasi merupakan perdebatan yang cukup panjang. Perdebatan dimulai dari jaman Yunani Kuno sampai saat sekarang masih saja Demokrasi menjadi perdebatan yang cukup alot. Perdebatan dimulai antar filsuf Yunani kuno, yang kemudian dilanjutkan oleh para sarjana yang lahir pada abad-abad berikutnya seperti Socrates, Plato, Thomas Aquinas, Polybius, dan Cicero.[3]

Dari berbagai konsep yang diajukan, paling tidak terdapat pengaruh yang tidak sedikit terhadap perkembangan dan esensi pemerintahan demokrasi pada saat ini. Contoh kecil adalah Socrates, walaupun beliau tidak mewariskan karya yang berupa tulisan sebagai media penyebarluasan gagasannya, akan tetapi melalui dialektika (tanya jawab) yang dia praktekkan, ternyata menghasilkan pemerintahan yang ideal, yakni bentuk pemerintahan Demokrasi. Hal itu terangkum dalam dari pernyataannya yang mengatakan bahwa Negara yang dicita-citakan tidak hanya melayani kebutuhan penguasa, tetapi Negara yang berkeadilan bagi warga masyarakat umum.[4]

Pendapat Plato yang paling dikenal adalah bahwa ada lima macam bentuk pemerintahan, yakni:[5] Aristokrasi, Timokrasi, Oligarchi, Demokrasi, Tyrani. Selain itu Plato juga mengakui bentuk pemerintahan Monarki dan Mobokrasi sebagaimana terurai dalam pemikirannya yang membagi pemerintahan (negara) menjadi dua jenis yaitu the ideal form[6] (bentuk cita) dan the corruption form[7] (bentuk pemerosotan).

Tokoh lain yang pernah membedah konsep demokrasi adalah Polybius. Terilhami dari teori Polybius tersebut, secara diam-diam menggugah Aristoteles untuk melakukan studi perbandingan terhadap 158 konstitusi. Dari hasil penyelidikannya itu dalam bentuk “cycle revolution”.[8] Namun teori siklus tersebut secara teoritik dan praktik sampai sekarang masih diragukan kebenarannya, karena secara fakta belum ada satu Negara pun yang dapat dijadikan contoh dari teori tersebut.

  1. Pengertian Demokarasi

Pegertian demokrasi tercermin dalam beberapa pendapat ahli politik, hukum dan pemerintahan. Demokrasi pernah dipopulerkan oleh Dilys M.Hill[9] demokrasi adalah system politik nasional yang didasarkan pada partisipasi warga Negara, peraturan mayoritas, konsultasi dan diskusi, dan pertanggungjawaban pemimpin yang dipilih.

Pengertian demokrasi yang secara jelas juga diketengahkan oleh Henry Mayo yang dipetik dalam Moh. Mahfud MD[10] adalah system politik yang demokratis adalah system yang menunjukkan dimana kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik.

Yang paling terkenal adalah pendapat Abraham Lincoln’s yang menyatakan arti demokrasi dengan sangat sedikit yakni government of the people,by the people and for the people[11] (pemerintahan oleh dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat)

  1. Jenis-Jenis Demokrasi

Sri Soemantri mengetengahkan kembali pendapat Richard Butwel[12] yang menyatakan bahwa dalam perkembangan demokrasi kemudian timbul bermacam-macam predikat seperti “social dmocracy, liberal democracy people democrasi, guided democracy,” dan lain-lain. Indonesia sendiri setelah terjadinya peristiwa G30S PKI mempergunakan istilah demokrasi Pancasila, sedang sebelumnya demokrasi terpimpin.[13]

Dalam hal yang sama Miriam Budiardjo[14] menguraikan bahwa ada bermacam-macam atribut demokrasi yaitu demokrasi konstitusional, demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, demokrasi pancasila, demokrasi rakyat, demokrasi Soviet, demokrasi nasional dan sebagainya. Oleh karena Heywood membaginya menjadi ke dalam empat jenis; “classical democracy, protective democrasi, development democracy, people’s democracy” ada pula yang membegi demokrasi menjadi Westminster Model dan Consessus model.

  1. Unsur dan Syarat Demokrasi

            Menurut A. Dahl yang diperkenalkan ulang oleh Arend Lijphart bahwa suatu Negara  dapat dikatakan sebagai Negara demokrasi bila memenuhi unsur-unsur:[15]

  1. Freedom to form and join organization (ada kebebasan untuk membentuk dan menjadi anggota perkumpulan);
  2. Freedom of exspression (ada kebebasan menyatakan pendapat);
  3. The Right to vote (ada hak memberikan suara dalam pemungutan suara);
  4. Eliqibility of public office (ada kesempatan untuk dipilih atau menduduki berbagai jabatan pemerintahan negara);
  5. The Right of Political Leader to compete for support and votes (ada hak bagi pemimpin politik berkampanye untuk memperoleh dukungan suara);
  6. Alternative sources of information (terdapat beberapa sumber informasi)
  7. Free and fair election (adanya pemilihan yang jujur dan bebas);
  8. Institution for making government politics depend on votes and other exspression of preference (Lembaga-lembaga yang membuat kebijaksanaan bergantung kepada pemilih).

Sementara Sigmund Neuman[16] membagi sistem demokrasi menjadi 6 (enam) unsur pokok, yaitu:

  1. kedaulatan nasional di tangan rakyat
  2. memilih alternatif dengan bebas
  3. kepemimpinan yang dipilih secara demokratis
  4. Rule of Law
  5. adanya Partai Politik
  6. kemajemukan (pluralisme)

Sebagai pakar ilmu politik Indonesia, Affan Gaffar menyadarkan demokrasi sebagai suatu paham yang universal. Atas keuniversalan itu demokrasi mengandung elemen-elemen sebagai berikut:[17]

  1. penyelenggaraan kekuasaan berasal dari rakyat
  2. yang menyelenggarakan kekuasaan secara bertanggung jawab
  3. diwujudkan secara langsung ataupun tidak langsung
  4. rotasi kekuasaan dari seorang atau kelompok ke orang atau kelompok yang lainnya
  5. adanya proses pemilu
  6. adanya kebebasan sebagai HAM

Berdasarkan para pendapat para ahli diatas, maka unsur-unsur demokrasi adalah:

  1. adanya kekuasaan bagi rakyat untuk ikut serta menentukan arah dan kepentingannya sendiri dalam penyelenggaraan pemerintah.
  2. adanya kebebasan yang bertanggung jawab untuk menetukan hak-haknya.
  3. adanya pemilu yang kompetitif
  4. adanya perangkat hukum yang demokratis dan penegasan hukum non diskriminatif
  5. adanya pengawasan yang fair, jujur dan adil

Ditinjau dari syarat demokrasi, Sri Soemantri M. telah memberikan pandangan seperti yang diajukan oleh International Commission of Jurist di Bangkok tahun 1965 yaitu:[18]

  1. adanya proteksi konstitusional
  2. adanya kekuasaan peradilan yang bebas dan tidak memihak
  3. adanya pemilihan umum yang bebas
  4. adanya kebebasan untuk menyatakan pendapat dan berserikat
  5. adanya tugas-tugas oposisi
  6. adanya pendidikan civis

Sementara Suhartono mengajukan dua syarat dasar, yakni:[19]

  1. syarat internal bagi kehidupan masyarakat, demokrasi dapat terlaksana apabila terdapat kesadaran politik masyarakat yang mandiri.
  2. syarat eksternal, berupa adanya kondisi yang mendukung posisi rakyat sebagai pemegang kedaulatan.

David Held mengemukakan ada 5 sysrat untuk dikatakan sebagai Negara demokrasi, yaitu:

  1. Effective participation (partisipasi yang efektif)
  2. Enlightened understanding (pengertian yang jelas)
  3. Voting equality at the decisive stage (kesamaan dalam pemungutan suara)
  4. Control of The Agenda (adanya pengawsan yang terjadwal)
  5. Inclusivenes (sifat terbuka)

Dalam konteks yang sama Arief Budiman[20] menyatakan bahwa demi terbentuknya sebuah demokrasi sejati yang bukan pinjaman dari pemerintah, syarat minimalnya adalah; kekuatan politik masyarakat yang seimbang plus faktor-faktor yang lain seperti ideologi, sistem ekonomi, sistem sosial, sistem budaya, dan teknologi. Sedangkan kalau mengacu pada Dohrendorf atau Carter dan Henz[21] demokrasi suatu Negara dilihat dari jarak anatara realita dan idealita pada pluralisme liberal.

  1. Hukum Islam
  1. Sejarah Latar Belakang Hukum Islam

Perkataan Islam terdapat dalam Al-Quran yang kata bendanya berasal dari salima. Arti yang terkandung didalamnya adalah kedamaian, kesejahteraan, keselamatan.[22]  Agama Islam diturunkan Allah bagi ummat manusia yang ada di bumi yang tujuan utamanya adalah rahmatan lilalamien.

Sejak diturnkan Islam terus menerus berdasarkan dan memusatkan perhatiannya kepada Tuhan, yang didasarkan pada Tauhid. Dengan mengikuti sistematik Iman, Islam dan Ikhsan yang berasal dari hadist Nabi Muhammad Saw, kerangka dasar agama Islam terdiri dari akidah, syariah dan akhlak.[23]

Mengenai sejarah dan perkembangan hukum Islam terdapat 5 (lima) tahap diantaranya:[24]

  1. Masa Nabi Muhammad (610 M – 632 M)
  2. Masa Khulafa Rasyidin (632 – 662 M)

                   III.    Masa pembinanan, pengembangan dan pembukuan (abad VII – X M)

  1. Masa kelesuan pemikiran (abad X – XIX M)
  2. Masa kebangkitan kembali (abad XIX – sampai sekarang)
  1. Sumber Hukum Islam

Sumber hukum Islam adalah Al-Quran, Hadist, Ijtihad.

  1. Ruang Lingkup Hukum Islam[25]
  1. Munakahat adalah mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan
  2. Wirasah adalah mengatur segala masalah yang berhubungan dengan waris

                   III.    Muamalat yakni mengatur masalah yang berhubungan jual-beli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam dan sebagainya

  1. Jinayat adalah mengatur mengenai perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman pidana
  2. Al-ahkam as-sulthaniyah yakni yang berhubungan dengan hukum tata Negara
  3. Siyar yakni hukum yang berkaitan dengan peperangan

                 VII.    Mukhasamat yakni mengatur soal peradilan, kehakiman dan hukum acara

Berdasarkan pemaparan antara hukum Islam dan demokrasi sungguh jauh berbeda. Islam diturnkan bukan hanya untuk mayoritas orang, akan tetapi bagi seluruh manusia, binatang seluruh alam yang ada di ala mini. Tidak ada pembedaan antara yang satu dan yang lainnya.

Sumberhukum Islam bersumber pada Al-Quran yang merupakan kitab Allah bukan ciptaan manusia yang sudah diragukan lagi kebenarannya, yang tentunya dapat mengatur seluruh ummat manusia baik Islam sendiri maupun orang-orang yang bukan beragama Islam.

Islam mengatur secara lengkap tentang hubungan hukum yang dibutuhkan oleh manusia baik yang berkaitan dengan hukum perdata, pidana dan tata Negara sekalipun diatur oleh Islam secara lengkap pada saat masa kekhalifahan.

Islam adalah agama yang universal yang mengakui perbedaan, untuk itu tidak mungkin Islam menyukai permusuhan yang diakibatkan oleh etnik budaya dan keturunanan

Dalam Islam tidak mengenal tahta, harta, dan jabatan karena setiap manusia harus bertanggung jawab kepada Allah kelak, sehingga setiap apapun yang akan dilakukan senantiasa berpegang teguh pada kitabullah

Agama Islam tidak mengenal kedaulatan ditangan rakyat, karena rakyat adalah ciptaan Allah, sehingga berpotensi untuk melakukan kesalahan-kesalahan, untuk itu segala sesuatu dikembalikan kepada sang khalik yakni Tuhan Yang Maha Esa.

  1. Apakah Piagam Madinah Dapat Dikatakan Konstitusi ?

            Sebelum mengetahui apakah piagam madinah dapat dikategorikan konstitusi maka harus mengetahui dulu tentang arti dan muatan konstitusi. Mengenai materi muatan konstitusi K.C. Wheare berpendapat bahwa konstitusi harus sesingkat mungkin, dan yang singkat itu menjadi peraturan-peraturan hukum yang paling esensial.[26] Artinya K.C. Wheare ingin mengatakan bahwa konstitusi hanya berisi hal-hal yang esensial yang dianggap dibutuhkan saja. Untuk ketentuan yang mengatur lebih lanjut dapat diatur dalam ketentuan hukum berikutnya.

Sedang A.A.H. Struycken menyatakan bahwa isi konstitusi tertulis berupa dokumen formal yang berisi :[27]

  1. Hasil perjuangan politik bangsa diwaktu lampau
  2. Tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa
  3. Pandangan tokoh bangsa yang hendak diwujudkan
  4. Suatu keinginan dengan mana perkembangan ketatanegaraan bangsa.

Apabila dikaji lebih mendalam maka dapat dikatakan selain konstitusi merupakan dokumen hukum juga dapat dikatakan dokumen politik bangsa. Dikatakan dokumen hukum dikarenakan mengikat bagi seluruh masyarakat bangsa, juga dapat dikatakan sebagai dokumen politik dikarenakan merupakan hasil dari perjuangan politik baik dikarenakan revolusi (proklamasi) maupun perubahan Undang-Undang Dasar.

C.F. Strong juga mengemukakan tentang 3 (tiga) materi pokok yang diatur dalam konstitusi, diantyaranya:[28]

  1. Kekuasaan Pemerintahan.;
  2. Hak-hak yang diperintah (hak-hak asasi); dan
  3. Hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah.

Berdasarkan pendapat C.F. Strong diatas, maka konstitusi merupakan hal yang mengatur kekuasaan dalam Negara. Pembatasan kekuasaan yang tercantum dalam konstitusi pada umunya menyangkut 2 (dua) hal, yaitu pembatasan kekuasaan yang berkaitan dengan isinya dan pembatasan kekuasaan yang berkaitan dengan waktu.[29]

Lebih lanjut Miriam Budiardjo memberikan ketentuan mengenai batasan isi dari konstitusi diantaranya mengatur mengenai :[30]

  1. Organisasi Negara
  2. Hak-hak asasi manusia
  3. Prosedur mengubah Undang-Undang dasar
  4. Adakalanya memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari UUD.

Sehubungan dengan itu pula Sri Soemantri berpendapat bahwa maeri muatan konstitusi pada umumnya adalah :[31]

Pertama         : jaminan hak asasi manusia warga negaranya,

Kedua                        : susunan ketatanegaraan yang bersifat fundamental, dan

Ketiga             : pembagian dan pembatasan kekuasaan yang fundamental

Apabila dicermati maka sebenarnya tidak jauh berbeda dengan bebarapa pendapat yang lainnya, hanya saja berbeda dalam ruang lingkup bahasa yang digunakan saja, untuk itu berdasarkan beberapa pemaparan tentang materi konstitusi diantaranya:

  1. Tentang bentuk dan kedaulatan negara
  2. Tentang lembaga-lembaga Negara
  3. Tentang pembatasan kekuasaan lembaga Negara
  4. Tentang hubungan penguasa dengan rakyatnya
  5. Tentang perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia
  6. Ketentuan tentang prosedur perubahan konstitusi
  7. Tentang hal-hal lain yang bersifat lokal kenegaraan yang dianggap penting untuk diatur dalam konstitusi.

Berdasarkan pemaparan tentang muatan konstitusi diatas, maka konstitusi madinah dapat dikategorikan sebagai konstitusi, mengingat didalamnya mengakui:

  1. Masyarakat majemuk yang hidup didalamnya (pasal 1)
  2. Semua warga mempunyai kedudukan yang sama (pasal 11, pasal 12, dan pasal 16)
  3. Negara menjamin dan melindungi dalam menjalankan ibadah (pasal 25-33)
  4. Setiap ummat memiliki kedudukan yang sama di depan hukum (pasal 34 dan pasal 30)
  5. Setiap ummat memiliki hak yang sama dalam pemerintahan (pasal24, pasal 36, pasal 37, pasal 38)
  6. Mengatur tentang system peradilan dan sanksi hukum (pasal 23)
  7. Mengatur system pemerintahan meskipun masih relative kecil (pasal 36-pasal 42)

Namun meskipun dapat dikategorikan sebagai konstitusi, maka dalam hal ini konstitusi Madinah dapat dikatakan belum memenuhi secara keseluruhan tentang unsur-unsur dari konstitusi seperti yang telah disebutkan diatas.

[1] Ditulis Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu Negara Yang Diasuh R. Wahjoe Poernomo  Soeprapto, SH

[2]  Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo

[3]  Soehino, Ilmu Negara, Lyberty, Yogyakarta, 2000, hal. 14-61

[4]  Syahran Basah, Ilmu Negara, Pengantar, Metode dan Sejarah Perkembangan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hal.86

[5]  Soetomo, Ilmu Negara, Usaha Nasional, Surabaya, 2002, hal. 41-42

[6]  Syahran Basah, Opcit, hal.95

[7]  Syahran Basah, Ibid, hal.96

[8] C.F. Strong, Modern Political Constitution: An Introduction To the Comparative Study of Their History and existing Form, The English Book Society and Sidgwick and Jackson, Limited London, 1966.Hal.59

[9] Dilys M.Hill, Demokratic Theory and Local Government, George Allen & Unwin Ltd, 1974

[10]    Moh. Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1993, hal. 19

[11]    Andrew Heywood, Politic, Palgrave, New York, Secon Edition, 2002, Hal. 68

[12]   Sri Soemantri M, Perngantar Perbandingan Hukum Tata Negara, Rajawali Pers, Jakarta 1998, hal.27

[13]   Moh. Mafud MD, Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 2006, hal. 67

[14]  Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2006, hal.50

[15]   Soetjipto Wirosardjono, Dialog dengan Kekuasaan, Esai-Esai Tentang Agama, Negara, dan Rakyat, Mizan, Bandung, 1995

[16]   Sigmund Neuman, diangkat kembali oleh andi Pangerang, Prinsip-Prinsip Permusyawaratan Rakyat Berdasarkan Pasal 18 UUD 1945 dan Implementasinya Dalam Sistem Pemerintahan di Daerah, Disertasi, Unpad, Bandung, 1999, hal.59

[17]   Bagir Manan, Kedaulatan Rakyat Hak Asasi Manusia dan Negara Hukum, Kumpulan Esai Guna Menghormati Prof. Dr. R. Sri Soemantri M, S.H., Gajah Media Pratama, Jakarta, hal.238-239

[18] Sri Seomantri, Loc Cit, hal. 43

[19] Suhartono, et.al, Politik Lokal Parlemen Desa; Awal Kemerdekaan Sampai Jaman Otonomi Daerah, Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta, Edisi Revisi, 2000, hal.24

[20] Arief Budiman, Teori Negara, Kekuasaan, dan Ideologi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2002, hal.40

[21] Diketengahkan kembali oleh Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum, Gema Media, Yogyakarta, 1999, hal.53

[22] Departemen Agama RI, Kamus Arab-Indonesia

[23] Moh. Daud Ali, Hukum Islam, Rajawali Pers, Jakarta, 2004, Hal. 29

[24] Moh. Daud Ali, Ibid, Hal. 139

[25] Mustafa Ali, Hukum dalam Perspektif Hukum Islam, Rosdakarya, Bandung, 1986, Hal. 58

[26]   K.C. Wheare, Modern Constitutions, London Oxford University Press, 1975 Hal. 49

[27]  Sri Soemantri Martosoewignyo, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni, Bandung, 1987, Hal.2

[28]    C.F. Strong, Modern Political Constitutions : An Introduction to the Comparative Study and Existing Form, Terjemahan SPA Teamwork, Nusamedia, Bandung, 2004, Hal.5

[29] C.F. Strong, Ibid, Hal.5

[30] Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Hal. 101

[31] Sri Soemantri Martosoewignyo, Op Cit, Hal. 51

Continue Reading