KARAKTER SUI GENERIS DALAM ILMU HUKUM DAN FILSAFAT HUKUM

Para penulis dan pakar hukum terkemuka di Belanda membedakan antara hukum dogmatis dengan ilmu hukum empiris.[1] Ilmu hukum sendiri memiliki kharakter yang khas, yakni bersifat normative. Karena karakter ilmu hukum yang normative tersebut ilmu hukum bersifat sui generis,[2] yakni tidak dapat dibandingkan (diukur, dinilai) dengan bentuk ilmu lain yang manapun.[3] Sedangkan studi hukum yang masuk dalam kategori ilmu hukum empiris menurut Van Apeldoorn adalah sosiologi hukum, sejarah hukum, perbandingan hukum dan psikologi hukum.[4] Ciri khas dan karakter ilmu hukum yang bersifat normative tersebut yang membedakan dengan ilmu-ilmu lainnya pada lapangan ilmu social.

Untuk itu kaitan antara normativitas dengan karakter ilmu hukum yang bersifat sui generis  adalah memandang hukum bukan hanya menempatkan hukum pada suatu gejala social yang hanya dipandang dari luar, melainkan masuk kedalam yang sangat fundamental dari hukum yaitu sisi intrinsic dari hukum. Sehingga konsekwensi dari sifat ilmu hukum yang bersifat demikian, maka dikatakan bahwa ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, yakni yang mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas hukum, konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum.[5] Sifat preskriptif itulah yang dianggap substansial dalam mempelajari ilmu hukum, dikarenakan tidak  akan dipelajari dalam ilmu social lainnya yang objeknya sama yakni hukum.

Dengan demikian berdasar pada uraian diatas, maka karakter ilmu hukum dogmatis adalah bersifat normative yang terjewantahkan dalam suatu peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh Pemerintah yang berdaulat dalam suatu Negara. Sifat dari sui generis berarti ilmu hukum merupakan ilmu dari jenis tersendiri, sehingga pengelompokannya bukan berada pada pohon atau rumpun ilmu social juga bukan merupakan ilmu pengetahuan alam.[6] Untuk itu kajian terhadap ilmu hukum yang memegang prinsip terhadap sifat dan karakter ilmu hukum yang bersifat sui generis ini, dengan terang benderang menolak kajian empiris dalam ilmu hukum.

 

 

  1. Perbedaan karakteristik kata “normatif” dalam hukum positif (“positive law”) dalam hukum alam (“law nature”) dan dalam hukum moral (“morality”):

 

Hukum dan Fakta

 

Hukum dan Moralitas

Tesis Normativitas

(Keterpisahan hukum dan Fakta)

Tesis Reduktif

(Ketidakterpisahan antara hukum dan fakta)

Tesis Moralitas

(Ketidakterpisahan antara hukum dan moralitas)

Teori hukum alam
Tesis keterpisahan

(Keterpisahan hukum dan Moralitas)

Pure Theory of Law Teori hukum Empiris-positivis

 

 

 

  1. Kritik terhadap positivism hukum jika mendominasi kerangka berfikir penelitian hukum :

Pada dasarnya positivism hanya mempertimbangkan aspek hukum positif saja, tanpa mempertimbangkan keadilan atau ketidakadilannya. Padahal menurut Stammer kemurnian mutlak bagi teori hukum apapun adalah tidak mungkin. Kaum Positivistik harus mengakui manakala teori memasuki pertanyaan-pertanyaan tentang norma fundamental yang bertentangan. Pertanyaan yang merupakan norma fundamental yang valid, dimana teori murninya tidak dapat dihindari, karena tanpa itu maka keseluruhan bangunan akan runtuh.[7] Dari sisi yang lain Lauterpacht seorang pengikut Kelsen mempertanyakan apakah teori hierarki tidak menyatakan secara langsung sebuah pengakuan akan prinsip-prisnsip hukum alam.[8]

Selain itu peraturan-peraturan hukum dibuat supaya ada hukum, bukan berarti supaya ada hukum. Dengan demikian maka dengan adanya hukum maka perlu untuk menegakkan kemanusiaan, dengan demikian hukum tidak identik dengan undang-undang. Di sisi yang lain hukum diperlukan penggarapan terus-menerus, dikarenakan hukum dalam hal ikhwal juga terdapat peraturan hukum yang melawan hukum karena bertentangan dengan kemanusiaan. Untuk itu tidak dapat kemudian teori hukum murni ini digunakan sepenuhnya dalam konteks bernegara, sehingga Konsep hukum responsive yang diajarkan oleh Philippe Nonet and Philip Selznick[9] tidak dapat diterapkan dengan baik.

Menurut Friedmann, hukum sebagai suatu sistem terdiri dari sub-sub sistem yang saling bergerak yang tidak dapat terpisahkan dan terpengaruh satu dengan lainnya. Sub-sub sistem itu terdiri dari: Substansi Hukum (legal substance), Struktur Hukum (legal structure), dan Kultur Hukum (legal culture). Adapun budaya hukum yang baik akan terbentuk apabila semua pihak secara sungguh-sungguh dilibatkan untuk berpartisipasi secara penuh dalam proses pembentukan hukum, agar semua orang benar-benar merasa memiliki hukum itu. Karena begitu besarnya peran budaya hukum itu, maka ia dapat menutupi kelemahan dari legal substance dan legal structure.[10]

Jadi menurut Friedmann hukum memiliki ruang lingkup yang sangat luas, tidak terbatas pada tekstual berupa peraturan perundang-undangan. Dalam berfungsinya hukum ditengah masyarakat tidak saja membutuhkan undang-undang belaka tetapi membutuhkan hal-hal lainnya seperti budaya masyarakat, aparat penegak hukum maupun sarana dan prasarana. Dari sini kita bisa melihat bahwa aliran positivisme berusaha memahami hukum hanya sebatas tekstual.

Selain itu juga dapat dilakukan kritik dari segi Teoritis[11] dimana positivisme hukum tumbuh dan berkembang subur pada masa hukum alam, yang pada intinya menginginkan ilmu hukum alam dapat diprediksi dan dipastikan. Cara pandang formalistic ini tidak mempertimbangkan apakah norma yang diundangkan tersebut bersifat adil atau tidak. Selain itu dari segi Praktis[12] yakni dalam positivisme hukum undang-undang dipandang sebagai hukum yang komplit, sehingga tugas hakim tinggal menerapkan terhadap kejadian konkrit dilapangan. Sehingga kemudian hakim menjadi kaku dan tidak mendorong adanya perkembangan masyarakat. Hakim hanya menginterpretasikan secara gramatikal terhadap peristiwa hukum yang terjadi dilapangan, dengan tanpa melihat dasar pertimbangan secara dasar-dasar tingkat keadilan dan kemanfaatannya.

 

  1. Penjelasan lapisan Ilmu Hukum menurut J. Gijssels dan M.v.Hoecke, serta kaitannya dengan rancangan penelitian yang akan saya tulis :

 

Lapisan Ilmu Hukum Menurut J. Gijssels dan M.v.Hoecke

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Jan Gijssels dan Mark van Hoecke membagi ilmu hukum dalam tiga lapisan, yakni dogmatik hukum, teori hukum dan filsafat hukum.[13] Tiap lapisan ilmu hukum tersebut memiliki kharakter khusus mengenai konsep, eksplanasi, sifat atau hakikat keilmuannya. Dogmatik hukum konsepnya technisch juridisch begrippen, ekplanasinya teknis yuridis dan sifat keilmuannya normative. Lapisan teori hukum konsepnya algemene begrippen, eksplanasinya analitisdan sifat keilmuannya Normatif/Empiris. Lapisan filsafat hukum konsepnya grond begrippen, eksplanasinya reflektif dan sifat keilmuannya spekuliatif.[14]

 

Hubungan Filsafat Hukum, Teori Hukum dan Dogmatik Hukum

LAPISAN

ILMU HUKUM

KONSEP EKSPLANASI SIFAT
Filsafat Hukum grond begrippen Reflektif Spekulatif
Teori Hukum algemene begrippen Analitis Normatif/Empiris
Dogmatik Hukum technisch juridisch begrippen Teknis Yuridis Normatif

 

 

[1] Karya fenomenal yang membagi hukum secara rinci adalah JJH. Bruggink, Refleksi tentang Hukum, (alih bahasa Bernard Arief Sidharta), Citra Aditya Bakti, Bandung, cetakan ke-2, 1999, Hal.  163. Bandingkan dengan Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Prenada Media, Jakarta, Cetakan ketiga, 2009, Hal.  27

 

[2] Meuwissen, Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum, (Penerjemah Bernard Arief Sidharta), Refika Aditama, Bandung, cetakan ketiga, 2009, hal. 55

 

[3] Ibid

 

[4] L.J. Van Apeldorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, Cetakan ketiga puluh empat, 2011, Hal. 412 – 413

 

[5] Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2005, Hal. 23

[6] Philipus M Hadjon dan Tatiek Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, cetakan kedua, 2005, Hal. 1

 

[7] Kritik terhadap pandangan Hans Kelsen itu juga dapat dibaca melalui bukunya : Friemann, Theori and Philosophy of Law, Universiy of Paris, 1973, hal. 285

 

[8] Friedmann, Ibid

[9] Mengenai konsep hukum responsive, otonom dan represif dapat dibaca dan dipahami melalui buku : Philippe Nonet and Philip Selznick, Law and Society in Transition: To Reward Responsive Law, Harper and Row, New York, 1978, hal.

 

[10] Friedmann, Legal Theory, Steven & Son, London, 1960, Hal. 2-8

 

[11] Widodo Dwi Putro, Mengkritisi Positivisme Hukum: Langkah Awal Memasuki DiskursusvMetodologis dalam Penelitian Hukum,  dalam Sulistyowati Irianto dan Shidarta, Metode Penelitian Hukum, konstelasi dan refleksi, Yayasan Pustaka Obor, Jakarta, 2011, hal.  23-25

 

[12] Ibid, hal. 28-30

[13] Secara lengkap diurai dalam buku Jan Gissels dan Mark van Hoecke, Wat is Rechtsteorie?, Kluwer, Antwerpen, 1982, hal. 10. Bandingkan dengan JJH. Bruggink, Opcit, Hal. 172

 

[14] Philipus M Hadjon, Pengkajian Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Unair, Surabaya, tt, hal. 10

Continue Reading

NURANI KEADILAN ‘LES MISERABLES’

Dalam konteks ini saya akan membahas dari perspektif pemeran sentral dari masing-masing tokoh yang ada pada karya sastra yang berjudul “Les Miserables” dihubungkan dengan dasar kefilsafatan dalam upaya mencari nilai-nilai ensitas kearifan dan kebenaran perspektif pandangan beberapa tokoh filsafat. Adapun tokoh pemeran sentral dalam karya sastra tersebut adalah :

  • Jean Valjean/Monsieur Madeline (Walikota)

Pada dasarnya Jean Valjean merupakan orang baik, akan tetapi dikarenakan keterpaksaan demi membantu dan menolong keluarganya yang sedang membutuhkan pertolongan. Sikap tanggung jawab Jean Valjean ditunjukkan pada saat didalam penjara beliau tetap berusaha untuk memberikan yang terbaik untuk keluarganya, meskipun cara yang dilakukannya adalah jalan yang tidak tepat, yakni melalui jalan mencuri. Namun hal yang harus digaris bawahi bahwa nurani manusia tetaplah nurani manusia,[1] dia akan selalu sejalan dengan kebaikan, akan tetapi kondisi dan situasi menuntut yang lain, misalnya kebutuhan, kemiskinan dan hal lain yang mempengaruhi nurani untuk memaksa berbuat demi mempertahankan diri dan kelompoknya.

Hal itu dapat dibuktikan pada saat Jean Valjean diangkat menjadi Walikota, beliau memerintah dengan begitu arifnya, suka membantu yang lemah dan lain sebagainya. Dengan demikian sebenarnya membuktikan bahwa Jean Valjean merupakan orang yang baik, namun dikarenakan kondisi sosial ekonomi yang melatarbelakanginya,[2] dia terpaksa melakukan hal yang sebenarnya tidak baik untuk dikerjakan. Untuk itu sebenarnya diperlukan campur tangan Pemerintah untuk menyediakan ruang demi terciptanya lapangan pekerjaan yang layak untuk mengurangi nilai masyarakat yang berada dibawah kemiskinan.

Hidup di tengah kemiskinan Jean Valjean memaksa nuraninya untuk berbuat yang bertentangan dengan Nurani sebenarnya. Kemiskinan merupakan salah satu masalah terbesar dunia sekarang ini. Banyak orang hidup dengan pendapatan yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya sebagai manusia. Akibatnya, mereka terancam oleh kekurangan gizi, penyakit, dan beragam penderitaan hidup lainnya. Kemiskinan tidak hanya merusak raga manusia, tetapi juga mengancam jiwanya.

Ketika manusia kekurangan gizi, karena tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk memperoleh makanan yang layak, ia terancam oleh dua hal.[3] Pertama adalah oleh penyakit dan berbagai bentuk kelemahan biologis manusia lainnya. Kedua adalah dirinya sendiri, yakni insting bertahan hidup manusia yang bisa mendorongnya untuk melakukan apapun, termasuk tindakan paling ganas dan merusak terhadap orang lain, untuk mempertahankan hidupnya.

Secara filosofis, rumpun penjelasan yang dari waktu ke waktu terlibat serius memperdebatkan identitas genetis dari kemiskinan pertama-tama datang dari liberalisme, yang melihat kemiskinan lebih sebagai persoalan individual. Sebagai sistem filsasat, liberalisme meyakini satu kebenaran yaitu bahwa dalam posisi asalinya manusia adalah pemilik kebebasan sempurna, otonom, penolak segala hal menyakitkan. Dengan antropologi filsafat semacam ini maka situasi kemiskinan atau a state of being poor ditolak sebab fasilitas untuk merasakan kesakitan dinyatakan sudah built in di dalam diri individu.[4] Demikian posisi liberal. Sebagai implikasinya, kemiskinan –yang kini sudah bisa dijelaskan sebagai pemicu defisit kebahagiaan individual– dilihat sebagai external impuls yang mengancam keamanan rantai pasokan basic human needs orang per orang. Keterangan filosofis seperti ini kita dapatkan dari Thomas Hobbes dan John Locke. Dari Hobbes kita juga memetik satu pelajaran penting bahwa suplay energi resistensi terhadap situasi poverty diperoleh dari susunan logika hak pemeliharaan diri (right of self presevation).[5] Dari Locke kita pun mendapatkan silogisme filosofis yang relatif serupa, yakni daya tolak pada kondisi kemiskinan pertama-tama datang dari, dan kemudian harus diletakkan sebagai bagian tak terpisahkan dari hak individual. Hak individual ini selanjutnya ia sebut dalam istilah “property rights”, meliputi life, liberty dan estate. Dalam perkembangannya dua jenis hak pribadi ini menjadi fundamental filsafat ekonomi politik liberal, yaitu bahwa supremasi hak-hak individual mendahului segala teknik pengaturan sosial ekonomi politik. Dengan basis naratif seperti ini maka tak mengherankan jika segala upaya pengatasan terhadap situasi kemiskinan kerap dibebankan pada sistem ekonomi yang mengakomodir kompetisi kepentingan diri. Di level sistem politik, negara pun diminta menahan diri untuk tidak mencampuri urusan yang secara naratif terlanjur dianggap ‘terlalu pribadi’ ini.

Dari liberalisme kita memperoleh insight filosofis yang humanis dalam menangani persoalan kemiskinan. Yaitu dalam prosesnya usaha ini mesti memperlihatkan keberpihakannya pada kebebasan, menjunjung tinggi otonomi dan meletakkan perlawanan terhadap kemiskinan sebagai bagian integral dari hak individual. Melalui pembacaan kembali terhadap segi-segi humanis-emansipatif dari liberalisme kita juga makin memahami bahwa kebebasan, otonomi, dan kepentingan diri merupakan identitas intrinsik manusia. Dengan demikian maka sistem ekonomi-politik yang mengakomodir kecenderungan-kecenderungan itu bisa dipastikan turut menyumbang pada pemajuan dan pengutamaan manusia. Sampai di sini, pendekatan competitive market economy (yang dasarnya tak lain dari doktrin supremasi hak-hak individual) masih relevan dan diperlukan, dari sisi manapun kita bermaksud melihatnya.[6]

Kendati demikian, liberalisme pun pada gilirannya mesti berhadapan dengan keterbatasan-keterbatasan naratifnya. Hal ini lebih tepat diartikan bahwa memang benar manusia membutuhkan kebebasan dan otonomi ketika berkompetisi memenuhi berbagai kepentingan diri, dan karenanya memerlukan afirmasi dari sistem politik serta fasilitasi secukupnya didalam sistem ekonomi yang mengakomodir pembawaan alamiahnya. Namun apakah hanya itu aggregat kuantitatif dari dimensi kualitatif manusia itu? Inilah pertanyaan terbesarnya. Sejauh yang kita perhatikan, value[7] ‘kompetisi kepentingan diri’ yang terakomodir didalam competitive market economy justru dianggap biang keladi dari makin menjadinya keserakahan manusia. Keserakahan inilah yang kemudian dijelaskan sebagai faktor pencipta sifat hubungan non-manusiawi yang eksploitatif. Bahkan penemuan serta kemajuan teknologi pun disebut-sebut ikut larut memperdalam jurang kesenjangan ekonomi yang berakibat pada terbentuknya konfigurasi situasi ketidakadilan sosial. Artinya, dengan semata mengandalkan pendekatan sistem ekonomi yang mengakomodasi kompetisi kepentingan diri, plus dukungan dari sistem politik yang mendalilkan negara mesti berjarak, hak ‘setiap’ individu untuk terbebas dari situasi scarcity tidak lantas terpenuhi—bahkan dengan faktor kemajuan teknologi sekalipun. Situasi naratif ini pada akhirnya membawa filsafat pada perenungan mendalam untuk kembali mempertanyakan presisi dari bermacam pendekatan sistemik yang dasarnya normativitas supremasi hak individual tadi.

Sejauh yang bisa kita ikuti, kritik akademis terhadap adaptability dari sistem pikir liberalisme pertama-tama datang dari sosialisme. Secara filosofis, kalangan sosialis memulai kritiknya dengan menyebut bahwa manusia memiliki dimensi kualitatif lain, yaitu bahwa secara sosial manusia tak mungkin terus menerus hidup secara solitary.[8] Di sini, berbeda dengan liberalisme yang memandang individualisme sebagai ‘the highest truth’, maka sosialisme melihat kolektivitas didalam masyarakat manusia sebagai ‘axiomatic truth’. Dua titik berangkat mengenai siapa itu manusia yang saling berlainan (yang secara naratif terlanjur diceraikan ini) pada gilirannya turut membentuk suatu kontras ideal kemasyarakatan yang berbeda, dengan pendekatan sistem ekonomi politik yang juga saling berseberangan. Ideal kemasyarakat versi sosialisme itu ialah suatu konfigurasi masyarakat tanpa kelas, yang bertumpu pada prinsip kolektivitas, terarah perwujudan cita-cita keadilan sosial. Adapun sistem ekonomi-politik yang dipilih sebagai pendekatan ialah sistem ekonomi sosialis. Yaitu sistem ekonomi non-kapitalis yang bertumpu pada peran negara, yang merencanakan ekonomi secara terpusat.

Pilihan pendekatan sistemik sebenarnya didasari oleh satu pandangan spesifik mengenai asal usul situasi kemiskinan dalam tradisi pikir marxisme klasik. Karl Marx meyakini bahwa alienasi merupakan sumber utama ketimpangan sosial dan kemiskinan.[9] Lokasi alienasi berada didalam momen produksi, dimana para pekerja tereksklusi dari mode produksi dominan. Kondisi alienasi merujuk pada terkucil atau terasingnya seorang pekerja dari hasil kerjanya. Sebagai akibat dari keterasingan itu seluruh surplus value dari hasil kerja yang dihasilkan kelas pekerja mengalir ke kelas borjuis yang menguasai alat produksi. Dengan demikian penyebab utama alienasi, dan pada gilirannya kemiskinan, sebenarnya tersembunyi dalam konsepsi ‘hak milik pribadi’. Inilah yang dimaksud marxisme dengan structural roots of poverty, yaitu kemiskinan yang pertama-tama lebih banyak disebabkan struktur ekonomi dalam mode produksi historis tertentu. Sebagai jalan keluarnya, sosialis umumnya setuju dengan konsensus yang menganjurkan penghapusan institusi hak milik pribadi. Penghapusan hak milik pribadi diandaikan akan memungkinkan distribusi sumber daya berlangsung secara lebih merata, sehingga jurang ketimpangan sosial bisa dikikis, yang dengan itu agenda keadilan sosial dilanjutkan. Bertumpu pada bangunan naratif seperti itu maka kita bisa memahami alasan sosiologis dibalik mengapa kalangan sosialis pada akhirnya menjatuhkan pilihan pada sistem ekonomi yang mengedepankan metode kepemilikan kolektif. Di ranah politik, kaum sosialis memposisikan negara sebagai perencana yang mengorganisir ekonomi secara terpusat.

Dalam praktiknya, sistem ekonomi sosialisme mengalami kegagalan yang pahit. Ironisnya, sumber utama kegagalan itu disebut-sebut terletak pada kelebihan utamanya, yaitu metode central planning itu sendiri. Perencanaan terpusat ditujukan untuk menciptakan kesamaan dan mempersempit jurang ketimpangan sosial. Hal ini dilakukan dengan mendalilkan bahwa properti dan seluruh means of production harus dikuasai secara kolektif.[10] Negara sendiri merupakan representasi resmi dari yang-kolektif ini. Namun, alih-alih tercipta keadilan sosial, yang justru terjadi adalah raibnya kebebasan individu, tirani, kediktatoran dan inefiensi. Di ranah ekonomi, perencanaan terpusat menyebabkan hilangnya sistem insentif yang dibutuhkan bagi kemajuan ekonomi. Sebagai perbandingan, dalam sistem ekonomi kapitalistik, insentif memainkan peranan yang sangat besar. Insentif tersebut antara lain muncul dari sistem harga, untung-rugi dan hak kepemilikan pribadi. Harga pasar memberi informasi tentang kelangkaan relatif dan secara efisien mengkoordinasikan aktivitas ekonomi. Sistem untung-rugi membuat kompetisi terjadi, dan menghasilkan mekanisme disiplin yang mendorong efisiensi ekonomi. Sementara hak kepemilikan pribadi memberi insentif yang dibutuhkan agar ekonomi terus tumbuh. Sebaliknya, di bawah sistem ekonomi sosialisme, peranan insentif sepenuhnya diabaikan. Hilangnya berbagai insentif ini sebenarnya merupakan implikasi dari pandangan antropologis sosialisme yang menganut ordoksi bahwa manusia adalah mahluk kolektif. Dengan kalimat lain, fundamentalisme pada normativitas kolektif inilah yang secara naratif ‘membunuh’ individualisme dan seluruh sistem ekonomi politik yang berakar pada pandangan itu. Di titik ini, kritik mendalam terhadap kegagalan sistem ekonomi sosialisme mestilah dipusatkan pada fundamentalisme kolektivitas, atau kecenderungan sistem ini yang memberi perhatian terlalu besar pada kolektivitas sehingga menafikan seluruh pembawaan individualistik manusia. Pendeknya, sistem ini gagal mengakomodir nature atau kecenderungan alamiah dari manusia itu sendiri. Kendati demikian, ada satu hal yang nampak begitu jelas dari sosialisme, yaitu bahwa isu pemerataan dan keadilan sosial membutuhkan keterlibatan negara.

Di titik ini kita sudah menemukan, bahwa baik competitive market economy maupun sistem central planning pada dasarnya sama-sama berusaha melayani kecenderungan alamiah manusia. Sistem ekonomi kapitalistik memberi kemanusiaan peluang untuk bersaing di dalam kerangka kerja pasar ekonomi dalam usaha untuk keluar dari situasi kemiskinan.[11] Sementara sistem ekonomi sosialistik hadir dengan skema perencanaan ekonomi yang terpusat, dengan tujuan penciptaan keadilan sosial. Namun, sebagaimana juga kita saksikan, competitive market economy membuat kemanusiaan jatuh pada persaingan individu yang menyebabkan kendurnya ikatan solidaritas sesama manusia, sementara central planning memang menguatkan solidaritas namun kehilangan berbagai insentif yang dibutuhkan ekonomi agar bisa bekerja menciptakan keadilan sosial.

Merespons situasi ini, sosial demokrasi menawarkan pendekatan baru dalam menangani kemiskinan. Berdasar sekuens waktunya sosial demokrasi pertama-tama merupakan respon kritis terhadap dua rumpun penjelasan sebelumnya. Di tahap berikutnya sosial demokrasi berusaha mengajukan jalan keluar yang bersifat eclectic. Dilakukan dengan menyandingkan dua kelebihan utama dari dua pendekatan paradigmatik yang nampak tak terdamaikan ini. Ringkasnya, sosial demokrasi mengakomodir competitive market economy (yang dasarnya tak lain dari doktrin kebebasan individual) sembari dalam saat yang sama berusaha menunjukkan keutamaan ‘peran negara’ dalam menciptakan keadilan sosial dengan cara mengorganisir dan mengarahkan yang-ekonomi supaya berperan efektif sebagai pasok kesejahteraan bagi segenap warganya. Dalam praktiknya, sosial demokrasi sebagai sistem ekonomi politik bertumpu pada peranan pasar yang dibarengi dengan peranan aktif negara dalam meregulasi pasar dan dengan mempromosikan program-program welfare yang bersifat universal. Sosial demokrasi memahami pemberantasan kemiskinan tidak bisa hanya melibatkan pasar atau negara saja. [12]

Dalam pandangan sosial demokrasi, utamanya dalam jalur pikiran Pierro Straffa (1926), kemiskinan memang merupakan perjuangan kelas, namun lokusnya sendiri terletak pada sirkulasi alih-alih didalam momen produksi. Pandangan Straffa ini sendiri sebenarnya dibangun dari model ekonomi politik David Ricardo, yang dikombinasikan dengan pandangan Marxist dan Neo-Klasik sekaligus. Disini Straffa meyakini bahwa teori ekploitasi buruh memang benar, namun ia juga memandang keliru asumsi neo-klasik yang mengandaikan tidak adanya koersi di dalam transaksi pasar. Di sisi lain, berbanding terbalik dengan Marx, ia berpandangan bahwa perjuangan kelas tidak terletak pada antagonisme di dalam momen produksi, melainkan pada proses distribusi. Dengan susunan argumen ini, apa yang sebenarnya dimaksud oleh Straffa adalah bahwa perjuangan kelas kini tidak lagi hanya bisa dilakukan didalam momen produksi, namun juga bisa diperluas ke ranah perjuangan politik dimana proses distribusi atas komoditi dimediasi. Implikasi terpenting dari cara pandang tersebut adalah tata produksi kapitalisme tidak perlu ditinggalkan sebab kemiskinan bisa dieliminasi melalui perjuangan di ranah politik. Secara paradigmatik, sosial demokrasi berpandangan bahwa kemampuan kelas pekerja dalam meraih bagian yang fair dari total produksi sosial merupakan kunci yang menentukan peningkatan mutu kualitas hidupnya.

Selain Straffa, di jalur pikir ini ada beberapa pemikir lain, salah satunya Amrtya Sen. Sen secara umum mengajukan pikiran bahwa social entitlement merupakan metode untuk mereduksi kemiskinan. Ia percaya bahwa pasar tidak dapat melakukan tugas untuk mendistribusikan kemakmuran sendirian. Oleh karena itu negara perlu turut serta mengambil peran. Hal ini terutama dibasiskan pada pandangannya bahwa didalam masyarakat modern negara bersifat terbuka bagi seluruh warga. Sebagai implikasinya, bagi Sen, tidak terlampau penting mendiskusikan kelas, yang lebih penting ialah membicarakan akses ke dalam negara itu sendiri. Dalam mereduksi kemiskinan, Sen berargumen bahwa tekanan terhadap negara yang dilakukan oleh kelompok yang secara formal tidak berada di dalam lingkup kekuasaan sangat menentukan keberhasilan agenda pengentasan kemiskinan. Di titik ini, sama halnya dengan kalangan sosial demokrat, Sen percaya bahwa struktur masyarakat modern yang telah sedemikian terbuka bisa dimanfaatkan untuk memitigasi dampak kemiskinan dengan cara menciptakan lebih banyak social entittlement untuk seluruh warga negara.

Mahatma Gandhi pernah merumuskan tujuh dosa sosial. Salah satunya adalah kekayaan, tanpa kerja keras, misalnya karena warisan, menipu, atau korupsi. Saya ingin menambahkan setidaknya satu dosa sosial lainnya, yakni kemiskinan, walaupun orang sudah bekerja keras. Kemiskinan struktural adalah dosa sosial yang harus diakhiri.

Cara paling ampuh untuk memerangi kemiskinan adalah menciptakan kesamaan kesempatan untuk setiap orang (die gleichen Gelegenheiten). Artinya, setiap orang, apapun ras, jenis kelamin, agama, ataupun latar belakangnya, berhak untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu dan tanpa biaya, atau setidaknya amat murah. Disini, pendidikan, seperti dinyatakan oleh Anies Baswedan, adalah tangga sosial untuk naik ke tingkat ekonomi maupun sosial yang lebih tinggi. Kesetaraan kesempatan bukanlah kesetaraan mutlak (absolute Gleichheit), dimana setiap orang diperlakukan secara sama, tanpa peduli perbedaan mereka.

Untuk memerangi kemiskinan, pemerintah, bekerja sama dengan seluruh bagian masyarakat, harus berusaha untuk menciptakan kesetaraan kesempatan bagi setiap warganya, supaya bisa meningkatkan dirinya melalui kerja keras. Inilah, pada hemat saya, hal yang paling penting di dalam politik.

 

  • Pastur

Melalui sikap yang ditunjukkan oleh seorang pastur yang berusaha membantu Jean Valjean, meskipun sempat dicuri barang-barang berharganya oleh Jean Valjean, aka tetapi pastur menunjukkan kearifan dan kebijakannya. Dia sangat matang sekali melihat fenomena hidup dan kehidupan sehingga mampu memberikan efek yang signifikan terhadap kesadaran hidup seorang manusia. Sang Jean Valjean yang awalnya memiliki sikap yang tidak baik dikarenakan factor-faktor sosial ekonomi mampu diretas oleh usaha-usaha dan pendidikan karakter oleh sang Pastur, hingga pada akhirnya Jean Valjean tersadarkan dan mampu kembali pada fitrah hidup yang sebenarnya.

Pastur memberikan gambaran akan esensi hidup dan kehidupan yang sebenarnya. Di dalam proses kehidupan manusia pasti terjadi beberapa fenomena alam yang terjadi.[13] manusia akan dihadapkan dengan beberapa masalah hidup yang kian terus menerus menghadangnya. Seperti diketahui semesta alam yang begitu luas dan mungkin tak terbatas tidaklah mudah untuk dipahami, belum lagi manusia akan dihadapkan oleh beberapa masalah hidup dalam mempertahankan hidupnya di dunia sebagai makhluq hidup yang mempunyai berbagai kepentingan dan mempunyai berbagai kebutuhan yang kompleks.

Manusia pada dasarnya dilahirkan ke dunia sebagai bayi yang tidak dapat berbuat apa-apa tanpa pertolongan orang lain.mereka memerlukan bantuan orang lain untuk dapat memepertahankan hidupnya. Dalam hidupnya manusia akan dihadapkan kepada beberapa kemungkinan. Apa yan dibawanya sejak lahir merupakan potensi dasar yang masih harus dikembangkan dalam lingkungan melalui bantuan pihak lain, berupa pendidikan. Untuk dapat memilih dan melaksanakan cara-cara hidup yang baik dalam berbagai masalah kehidupan,manusia harus mendapatkan pendidikan. Oleh karena itu, pendidikan merupakan suatu keharusan bagi manusia.

Dengan pendidikan manusia akan berkembang menjadi manusia yang lebih dewasa. Karena pendidikan merupakan suatu upaya mendewasakan manusia yaitu membimbing agar menjadi manusia yang bertanggungjawab. Dengan tanggungjawab manusia akan menunjukkan adanya kesadaran normatif pada dirinya, dimana dia menyadari dan membedakan mana perbuatan yang baik dan buruk.dengan itu mereka telah membuktikan akan adanya kata hati dan hati nurani mereka.

Proses kehidupan manusia juga tidak bisa lepas dari pemikiran-pemikiran manusia akan suatu hal atau fenomena yang terjadi. Di dalam diri manusia terdapat akal pikiran yang senantiasa bergolak dan berpikir, karena akal pikiran tersebut dan dikarenakan oleh situasi dan kondisi alam dimana dia hidup selalu berubah-ubah dan penuh dengan peristiwa-peristiwa penting bahkan terjadi dengan dahsyat, yang kadang-kadang tidak kuasa untuk menentang dan menolaknya, menyebabkan manusia itu tertegun, termenung, memikirkan segala hal yang terjadi disekitar dirinya. Dan disini pemikiran secara filsafati akan membawa manusia iti menuju kesuatu keputusan yang bijaksana. Karena filsafat melatih kita untuk menjadi manusia yang bijaksana, arif dan percaya diri. Dalam kompleksnya kehidupan manusia, manusia dituntut untuk menjadi manusia yang bijaksana dan bertanggungjawab. Oleh karena itu tidak kita pungkiri tentang adanya hubungan yang erat anatara manusia, filsafat dan pendidikan dalam kehidupan manusia untuk tetap dapat mempertahankan hidupnya di dunia.

Kondisi geografi yang tenang, keadaan sosial-ekonomi dan politik yang damai memungkinkan orang berpikir bijak, memunculkan filsuf yang memikirkan bagaimana keadilan itu sebenarnya, akan kemana hokum diberlakukan bagi seluruh anggota masyarakat, bagaimana ukuran objektif hukum berlaku secara universal yang berlaku untuk mendapatkan penilaian yang tepat dan pasti. Perkembangan filsafat hukum di Romawi tidak sepesat di Yunani, karena filosof tidak hanya memikirkan bagaimana ketertiban harus berlaku tetapi juga karena wilayah Romawi sangat luas serta persoalan yang dihadapi cukup rumit.[14] Untuk membangun kondisi ini diperlukan pemikiran yang mendalam “apakah keadilan, dimana letak keadilan serta bagaimana membangun keadilan itu? Keadilan dibentuk oleh pemikiran yang benar, dilakukan secara adil dan jujur serta bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan. Rasa keadilan dan hukum harus ditegakkan berdasarkan Hukum Positif untuk menegakkan keadilan dalam hukum sesuai dengan realitas masyarakat yang menghendaki tercapainya masyarakat yang aman dan damai.

Keadilan harus dibangun sesuai dengan cita hukum (rechtidee) dalam Negara hukum (rechtsstaat), bukan negara kekuasaan (machtsstaat). Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia, penegakkan hukum harus memperhatikan 4 unsur :

  1. Kepastian hukum (rechtssicherkeit)
  2. Kemanfaat hukum (zeweckmassigkeit)
  3. Keadilan hukum (gerechtigkeit)
  4. Jaminan hukum (doelmatigkeit)[15]

Penegakan hukum dan keadilan harus menggunakan jalur pemikiran yang tepat dengan alat bukti dan barang bukti untuk merealisasikan keadilan hokum dan isi hukum harus ditentukan oleh keyakinan etis, adil tidaknya suatu perkara. Persoalan hukum menjadi nyata jika para perangkat hukum melaksanakan dengan baik serta memenuhi, menepati aturan yang telah dibakukan sehingga tidak terjadi penyelewengan aturan dan hukum yang telah dilakukan secara sistematis artinya menggunakan kodifikasi dan unifikasi hukum demi terwujudnya kepastian hukum dan keadilan hokum.

Pada dasarnya manusia menghendaki keadilan, manusia memiliki tanggung jawab besar terhadap hidupnya, karena hati nurani manusia berfungsi sebagai index, ludex, dan vindex.[16] Proses reformasi menunjukkan bahwa hukum harus ditegakkan demi terwujudnya supremasi hukum dalam rangka menegakkan kebenaran dan keadilan sesuai dengan tujuan hukum: Ketertiban, keamanan, ketentraman, kedamaian, kesejahteraan, kebenaran dan keadilan. Pemikiran filosofis keadilan yang berkaitan dengan filsafat hukum berkaitan erat dengan pemikiran John Rawls mengungkapkan 3 faktor utama yaitu :

  1. perimbangan tentang keadilan (Gerechtigkeit)
  2. kepastian hukum (Rechtessisherkeit)
  3. kemanfaatan hukum (Zweckmassigkeit).[17]

Keadilan berkaitan erat dengan pendistribusian hak dan kewajiban, hak yang bersifat mendasar sebagai anugerah Ilahi sesuai dengan hak asasinya yaitu hak yang dimiliki seseorang sejak lahir dan tidak dapat diganggu gugat. Keadilan merupakan salah satu tujuan sepanjang perjalanan sejarah filsafat hukum. Keadilan adalah kehendak yang ajeg, tetap untuk memberikan kepasa siapapun sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat dan tuntutan jaman.

Para ilmuwan dan filosof memberikan pengertian keadilan berbeda-beda sesuai dengan pandangan dan tujuannya:

  1. Aristoteles, keadilan adalah kebajikan yang berkaitan dengan hubungan antar manusia: keadilan legalis, distributif dan komutatif.
  2. Thomas Aquinas, keadilan terbagi 2 yaitu keadilan umum (justitia generalis) dan keadilan khusus (justitia specialis)
  3. Friedmann, keadilan yang diformulasikan Aristoteles merupakan kontribusi pengembangan filsafat hukum, beliau membedakan keadilan menjadi tiga: keadikan hukum, keadilan alam dan keadilan abstrak dan kepatutan.
  4. Notohamidjojo, membagi keadilan menajdi 3 yaitu keadilan kreatif (iustitia creativa), keadilan protektif (iustitia protetiva) dan keadilan sosial (iustitia socia)
  5. Rouscoe Pound, keadilan 2 bagian : keadilan bersifat yudicial dan keadilan administrative
  6. John Rawl, keadilan adalah keadaan keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan bersama
  7. Paul Scholten, keadilan tidak boleh bertentangan dengan hati nurani, hokum tanpa keadilan bagaikan badan tanpa jiwa.[18]

Penerapan Filsafat Hukum dalam kehidupan bernegara mempunyai variasi yang beraneka ragam tergantung pada filsafat hidup bangsa (Wealtanchauung) masing-masing. Di dalam kenyataan suatu negara jika tanpa ideologi tidak mungkin mampu mencapai sasaran tujuan nasionalnya sebab negara tanpa ideologi adalah gagal, negara akan kandas di tengah perjalanan. Filsafat Hidup Bangsa (Wealtanchauung) yang lazim menjadi filsafat atau ideologi negara, berfungsi sebagai norma dasar (groundnorm) (Hans Kelsen, 1998: 118). Nilai fundamental ini menjadi sumber cita dan asas moral bangsa karena nilai ini menjadi cita hukum (rechtidee) dan paradigma keadilan, makna keadilan merupakan substansi kebermaknaan keadilan yang ditentukan oleh nilai filsafat hidup (wealtanchauung) bangsa itu sendiri (Soeryono S., 1978: 19).

Permasalahan Filsafat hukum yang muncul dalam kehidupan tata Negara yang berkaitan dengan Hukum dan Kekuasaan bahwa hukum bersifat imperatif, agar hukum ditaati, tapi kenyataannya hukum dalam kehidupan masyarakat tidak ditaati maka hukum perlu dukungan kekuasaan, seberapa dukungan kekuasaan tergantung pada tingkat “kesadaran masyarakat”, makin tinggi kesadaran hokum masyarakat makin kurang dukungan kekuasaan yang diperlukan. Hukum merupakan sumber kekuasaan berupa kekuatan dan kewibawaan dalam praktek kekuasaan bersifat negatif karena kekuasaan merangsang berbuat melampaui batas, melebihi kewenangan yang dimiliki. Hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah dholim. Hukum mempunyai hubungan erat dengan nilai sosial budaya. Hukum yang baik adalah hukum yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, masyarakat berubah tak dapat dielakkan dan perubahan itu sendiri dipertanyakan nilai-nilai mana yang dipakai

Di dalam perubahan pasti ada hambatan antara lain: (a) nilai yang akan dirubah ternyata masih relevan dengan kepribadian Nasional, (b) adanya sifat heterogenitas dalam agama dan kepercayaan yang berbeda, (c) adanya sikap masyarakat yang tidak menerima perubahan dan tidak mempraktekkan perubahan yang ada. Penegakan hukum dan keadilan harus menggunakan jalur pemikiran yang tepat dengan alat bukti dan barang bukti untuk merealisasikan keadilan hokum dan isi hukum harus ditentukan oleh keyakinan etis, adil tidaknya suatu perkara. Persoalan hukum menjadi nyata jika para perangkat hukum melaksanakan dengan baik serta memenuhi, menepati aturan yang telah dibakukan sehingga tidak terjadi penyelewengan aturan dan hukum yang telah dilakukan secara sistematis, artinya menggunakan kodifikasi dan unifikasi hukum demi terwujudnya kepastian hukum dan keadilan hukum.

Kasus yang menimpa Jean Valjean, terjadi karena aparat hukum terlalu berpatokan pada teks yang tertulis dalam Peraturan. Hal ini tidak salah, namun berisiko mencederai rasa keadilan di masyarakat. Aparat seharusnya tak hanya mengeja atau membaca teks Peraturan. Aparat mestinya juga menggunakan pendekatan hati nurani dan akal sehat. Sebab, ketika aparat hanya mengacu pada teks undang-undang, keadilan yang didapat masyarakat hanya bersifat formal. Berbeda dengan ketika menggunakan akal sehat dan hati nurani, yang didapat adalah keadilan substansial. Penggunaan akal sehat dan hati nurani dalam hukum. Aparat hukum bisa menghentikan suatu kasus jika merasa, ketika kasus dibawa ke tingkat lebih tinggi, justru akan melukai rasa keadilan. Di kepolisian dikenal adanya diskresi, yakni penghentian perkara pidana selama penyidikan. Adapun di kejaksaan dikenal istilah deponering atau penghentian perkara demi kepentingan umum.

Jadi memang korelasi antara filsafat hukum dan keadilan sangat erat, karena terjadi tali temali antara kearifan, norma dan keseimbangan hak dan kewajiban. Hukum tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat dan negara, materi hukum digali, dibuat dari nilai-nilai yang terkandung dalam bumi pertiwi yang berupa kesadaran dan cita hukum (rechtidee), cita moral, kemerdekaan individu dan bangsa, perikemanusiaan, perdamaian, cita politik dan tujuan negara. Hukum mencerminkan nilai hidup yang ada dalam masyarakat yang mempunyai kekuatan berlaku secara yuridis, sosiologis dan filosofis. Hukum yang hidup pada masyarakat bersumber pada Hukum Positif, yaitu :

  1. Undang-undang (Constitutional)
  2. Hukum kebiasaan (Costumary of law)
  3. Perjanjian Internasional (International treaty)
  4. Keputusan hakim (Jurisprudence)
  5. Doktrin (Doctrine)
  6. Perjanjian (Treaty)
  7. Kesadaran hukum (Consciousness of law).[19]

Tata rakit antara filsafat hukum dan keadilan, dengan filsafat sebagai induk ilmu (mother of science), adalah untuk mencari jalan keluar dari belenggu kehidupan secara rational dengan menggunakan hukum yang berlaku untuk mencapai keadilan dalam hidupnya. Peranan filsafat Hukum tak pernah selesai, tidak pernah berakhir karena filsafat Hukum tidak menyelidiki satu segi tetapi tidak terbatas objeknya, namun filsafat Hukum tetap setia kepada metodenya sendiri dengan menyatakan semua di dunia ini tidak ada yang abadi yang tetap hanya perubahan.

 

  • Javert (Inspektur Polisi)

Jevert terjebak pada sebuah penegakan hukum normative, ambisi untuk menaklukkan hukum normative dengan menjalankan sepenuhnya perintah Undang-Undang terbukti dengan konsisten melakukan penangkapan terhadap Jean Valjean dan berusaha secara keras untuk dapat menaklukkan sesuai dengan perintah Undang-Undang dan atasan. Hukum normative bagi Jevert merupakan suatu keharusan yang harus dilaksanakan. Untuk itu dia berjuang dengan sekuat tenaga apapun rintangan yang dihadapinya. Akan tetapi pada akhirnya Jevert merasa sadar bahwa hukum normative tidak mampu mengalahkan hati nuraninya yang terus berkecamuk melihat realitas yang tidak sesuai dengan pengertian hukum dalam perundang-undangan, hingga pada akhirnya dia merasa tidak mampu menahan pertentangan antara hukum dan logika moral nurani dalam jiwanya, sehingga menceburkan diri kedalam sungai Seine.

Apabila dihubungkan dengan metode filsafat, maka Jevert dapat dikategorikan penganut positivisme. Aliran positivisme ini sebenarnya banyak dipengaruhi oleh dua ahli hukum terkemuka, yakni Jeremy Bentham[20] dan John Austin[21] yang mengemukakan Command Theory, serta teori konvensi social oleh Hans Kelsen[22] dan Hart[23]. Namun pada tulisan ini akan lebih banyak dibahas dari perspektif Positivisve yang diajarkan Hans Kelsen dan muridnya Adolf Merkl dan Hans Nawiasky.

Dua teori besar Hans Kelsen, pertama ajaran yang bersifat murni, sedangkan yang kedua adalah berasal dari muridnya Adolf Merkl adalah Stufenbau des Recht yang mengutakan adanya hierarkis dari perundang-undangan. Dari unsur etis Hans Kelsen tidak memberikan tempat bagi berlakunya suatu hukum alam, etika memberikan penilaian tentang baik dan buruk, Kelsen menghindari diri dari yang demikian itu. Dari unsur sosiologis ajaran Kelsen tidak memberik tempat bagi hukum kebiasaan yang hidup dan berkembang di masyarakat.

Hans Kelsen dalam teorinya yakni teori hukum Murni adalah keinginan untuk membebaskan ilmu hukum dari anasir-anasir atau unsur-unsur social, ekonomi, politik, budaya dan lain sebagainya. Hukum diwajibkan bebas nilai, dan harus terbebas dan tidak tercemari oleh unsur-unsur yang bersifat ideologis. Keadilan menurut Kelsen dipandang sebuah konsep ideologis. Ia melihat dalam keadilansebuah ide yang tidak rasional dan teori hukum murnitidak dapat menjawab tentang pertanyaan apa yang membentuk keadilan, karena pertanyaan ini tidak dapat dijawab secara ilmiah. Jika keadilan harus diidentikkan dengan legalitas, dalam arti tempat, keadilan berarti memelihara sebuah tatanan (hukum) positif melalui aplikasi kesadaran atasnya.

Teori hukum murni ini menurut Kelsen adalah sebuah teori hukum yang bersifat positif. Sehingga kemudian dapat disimpulkan bahwa teori hukum ini ingin berusaha menjawab pertanyaan tentang “apa hukum itu?” tetapi bukan pertanyaan “apa hukum itu seharusnya”. Teori ini mengkonsentrasikan pada hukum saja dan menginginkan lepas dengan ilmu pengetahuan yang lainnya, dengan atas dasar bahwa ilmu hukum berdiri sendiri dan merupakan sui generis.[24] Kelsen sekali lagi ingin memisahkan pengertian hukum dari segala unsur yang berperan dalam pembentukan hukum seperti unsur-unsur psikologi, sosiologi, sejarah, politik, dan bahkan juga etika.[25] Semua unsur ini termasuk ide hukum atau isi hukum. Isi hukum tidak pernah lepas dari unsur politik, psikis, social budaya dan lain-lain. Sehingga pengertian hukum menurut Hans Kelsen adalah hukum dalam konteks formalnya, yaitu sebagai peraturan yang berlaku secara yuridis, itulah hukum yang benar menurut perspektif teori hukum murni (das reine Recht)

Pandangan positivism juga menganggap bahwa kewajiban yang terletak pada kaidah hukum adalah kewajiban yang bersifat yuridis, hal itu dikarenakan karena kaidah hukum termasuk pada keharusan ekstern, yaitu karena ada paksaan atau ancaman apabila tidak mentaati, dikarenakan dasar dari hukum adalah undang-undang dasar negara, dalam relasi itulah maka terdapat ada yang memberi perintah dan ada yang mentaati perintah.

Pandangan kedua adalah kewajiban dari ektern, yakni dorongan dari batin bahwa yang demikian itu merupakan kewajiban yang harus ditaati. Kewajiban yuridis itulah dianggap sebagai dorongan kewajiban yang tidak dapat terelakkan. Han Kelsen juga mengatakan bahwa hukum dapat mewajibkan secara batin, hal itu dikarenakan adanya kewajiban yuridis, dan memang demikian pengertian hukum. Sehinga peraturan yang tidak normative tidak masuk akal maka tidak dapat dikatakan hukum.[26] Immamuel Kant mengatakan bahwa kelsen berpendapat bahwa kewajiban hukum termasuk dalam pengertian transedental-logis[27]. Menurut Kant ada norma dasar (grundnorm)[28] bagi moral (yang berbunyi : berlakulah sesuai dengan suara hatimu), maka menurut Hans Kelsen dalam hukum juga terdapat norma dasar yang harus dianggap sebagai sumber keharusan dibidang hukum. Norma dasar (grundnorm) tersebut berbunyi : orang-orang harus menyesuaikan dirinya dengan apa yang telah ditentukan.

Ajaran yang kedua menurut Hans Kelsen adalah ajaran tentang norma hukum (stufentheori)[29], dimana ia berpendapat bahwa norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi. Demikian seterusnya sampai pada suatu norma dasar (Grundnorm). Teori jenjang norma hukum Hans Kelsen ini diilhami oleh seorang muridnya yang bernama Adolf Merkl yang mengemukakan bahwa suatu norma hukum harus selalu mempunyai dua wajah (das Doppelte Rechtsanlitz), yakni norma hukum itu keatas ia bersumber dan berdasar pada norma diatasnya, tetapi kebawah juga menjadi dasar bagi norma yang ada dibawahnya.

[1] Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Renungan Tentang Filsafat Hukum, Jakarta, Rajawali, 1982, hlm.83.

[2] Andi Hamzah memberikan pengertian tentang factor-faktor seseorang melakukan perbuatan pidana. Lihat, Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Di Indonesia, Edisi Revisi, Jakarta, Sinar Grafika, , 1996, hlm. 251.

 

[3] Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum, Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum,  Bandung, Alumni, 2000, hlm.  4.

[4] Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Bandung, Nuansa dan  Nusamedia, 2004, hal 239.

 

[5] Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam lintasan sejarah, cet VIII, Yogyakarta: kanisius, 1995 hlm. 196

[6] Pan Mohamad Faiz, Teori Keadilan John Rawls, dalam Jurnal Konstitusi, Volue 6 Nomor 1 (April 2009), hlm. 135.

 

[7] John Rawls, A Theory of Justice, London: Oxford University press, 1973, yang sudah diterjemahkan dalam bahasa indonesia oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori Keadilan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2006.

 

[8] Kahar Masyhur, Membina Moral dan Akhlak, Jakarta, Kalam Mulia, 1985, hlm.71.

[9] David L. Harvey dan Michael Reed, “Paradigms of Poverty: a Critical Assessment of Contemporary Perspective”, dalam International Journal of Politics, Culture and Society, Volume 6, No 2, 1992, hal: 283

[10] Pierro Straffa, Production of Commodities by Commodities: Prelude to a Critique of Economic Theory, (Cambridge: Cambridge University Press, 1960).

[11] Amartya Sen, Freedom and Famine, (The New York Review Book: 1990).

[12] Adam Smith, An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations, (New York: Modern Library, 1776);  David Ricardo, On the Principles of Political: Economy and Taxation, (Cambridge: Cambridge University Press, 1917); Robet M. Solow, “Technical Change and the Aggregate Production Function”, dalam Review of Economics and Statistics, 1957.

[13] Simon Kuznets lebih dikenal dengan penemuannya tentang efek pertumbuhan ekonomi terhadap distribusi pendapatan (kurva U terbalik), dimana pada negara yang relatif miskin pertumbuhan ekonomi akan menambah disparitas antara orang kaya dan orang miskin, dan sebaliknya di negara maju, dalam Simon Kuznets, Modern Economic Growth,  (New Haven: Yale University Press, 1966).

[14] Theo Huijbers, Lintasan Filsafat Hukum, Liberty, Yogyakarta : 1982: 31

[15] Dardji Darmodihardjo, Ilmu Hukum, Sinar Harapan, 2002: hal 36

 

[16] Poedjawijatna, Hukum dalam Pembangunan, Bulan Bintang, 1978: 12

[17] Soetandyo, Hukum dan Metode, Pustaka Huma, Jakarta 2002: 18

[18] Tasrif, Filsafat Ilmu, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1987: 39

[19] Sudikno M, Mengenal Hukum, Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1988: 28

[20] Dalam bukunya yang terkenal Jeremy Bentham, The Theory of Legislation, NM Tripathi Private Limited, Bombay, 1979

 

[21] Buku yang terkenal adalah Austin, The Province of Jurisprudence Determined, (1832) Lecture VI (edisi 1954)

 

[22] Buku yang spektakuler dari Hans Kelsen, Pure Theori of Law, Berkely: University California Press, 1978. Atau ada lagi Hans Kelsen, Geberal Theory Law And State, The School of Law of The New York University, 1937

[23] Karya agung H.L.A Hart, The Concept of Law, New York: Clanrendon Press-Oxford, 1997

[24] Dikatakan sui generis dikarenakan Ilmu Hukum adalah merupakan ilmu jenis sendiri, diakatakan jenis sendiri dikarenakan ilmu hukum dengan kualitas ilmiah sulit dikelompokkan dalam salah satu cabang pohon ilmu. Untuk mengetahui lebih lanjut masalah ini, sialakan baca Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, Hal 1-3

 

[25] Untuk memperjelas masalaha ini, baca : Hans Kelsen, Pure Theori of Law, Berkely: University California Press, 1978, Hal 5-13

 

[26] Pandangan itulah yang kemudian menjadi dasar dalam teori ini yang kemudian disebutkan sebagai teori hukum Murni, karena hukum adalah undang-undang, dan bukan yang lain.

 

[27] Yaitu mewajibkan harus diterima sebagai syarat yang tidak dapat dielakkan untuk mengerti hukum sebagai hukum

[28] Grundnorm merupakan norma dasar yang menjadi pijakan oleh norma-norma yang ada dibawahnya. Lebih lanjut baca : Benyamin Akzin, Law, State, and International Legal Order: Essays in Honor of Kelsen, Knokville, The University of Tennesse, 1964, Hal 3-5

 

[29] Stufentheori adalah menyatakan bahwa norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi.

Continue Reading

FILSAFAT RASIONALITAS DAN RELATIVITAS PEMIKIRAN HUKUM

Kesan pertama yang didapat dari penelitian ilmu-ilmu sosial adalah keragaman yang ada pada kelompok-kelompok dan budaya sosial. Para ahli antropologi menjelaskan secara luas tentang praktek-praktek yang berbeda-beda yang menentukan hubungan keluarga, para ahli sosiologi menjelaskan perbedaan yang substansial di dalam keyakinan moral pada berbagai kelompok sosial yang berbeda-beda, para ahli ethnografi dan sejarawan menjelaskan kerangka yang berbeda pada keyakinan akan dunia di dalam pengaturan sosial, dan lain sebagainya di dalam berbagai karakteristik-karakteristik sosial. Beberapa filsuf dan para ahli sosial telah mengambil kesimpulan dari bukti akan keberagaman sosial. Mereka berpendapat bahwa relativisme budaya merupakan ciri yang mendalam dan melekat di dalam masyarakat manusia. Kebudayaan yang berbeda-beda memiliki cara yang unik di dalam mengatur hubungan manusia, memunculkan keyakinan tentang dunia, dan mengevaluasi tindakan manusia, serta tidak ada standar trans-budaya untuk melakukan penjelasan dan pengevaluasian kerangka-kerangka yang berbeda-beda ini. Perspektif ini secara khusus diterima oleh para ahli sosial untuk diinterpretasikan, dimana perspektif ini memvalidasi pandangan mereka bahwa tiap budaya adalah suatu hal yang unik dan penelitian sosial harus dimulai dengan pendefinisian-diri yang berarti akan budaya yang diteliti.

 

Temuan ini memunculkan paradoks bagi para ahli sosial dan bagi kita hal ini adalah salah satu tujuan ilmu pengetahuan adalah penemuan penggeneralisasian, dan keberagaman ini muncul sebagai hambatan yang berarti di dalam kemajuan ilmu-ilmu sosial. Namun, banyak argumen/ pendapat pada bab-bab sebelumnya yang memberikan dasar untuk mengerucutkan kesimpulan para relativis. Khususnya, kerangka penjelasan tentang teori pilihan rasional dan materialisme dimaksudkan untuk menawarkan dasar untuk menjelaskan perilaku manusia melalui keumuman lintas-budaya (ide yang menyatakan bahwa masyarakat manusia harus mengadopsi tatanan sosial yang berfungsi untuk memuaskan kebutuhan material dan kepentingan pribadi). Dan sepanjang konsep-konsep ini dapat memberikan suatu dasar untuk mendapatkan penjelasan yang utuh di dalam beragam lingkungan sosial, klaim yang kuat akan relativisme sosial pun semakin terkikis. Pendapat ini dijelaskan pada Bab 2, 6, dan 8.

 

Di dalam bab ini, saya akan membahas beberapa versi relativisme budaya: relativisme konseptual, relativisme keyakinan, dan relativisme normatif. Relativisme konseptual (mengikuti beberapa alur pemikiran saat ini di dalam filsafat budaya dan ilmu pengetahuan) berkutat pada ide yang menyatakan bahwa perbedaan bahasa mewujudkan sistem konseptual yang tidak dapat dibandingkan, yang dimana kelompok atau budaya yang berbeda-beda dapat memiliki cara yang tidak dapat dibandingkan akan pengkategorisasian dunia. Keyakinan relativisme menekankan bahwa perbedaan budaya memiliki standar penilaian keyakinan yang berbeda-beda dan tidak dapat dipecahkan, akibatnya, mereka memiliki sistem keyakinan yang tidak dapat dibandingkan satu sama lain; secara rasional hal tersebut merupakan keterikatan budaya. Relativisme normatif menyatakan bahwa budaya yang berbeda-beda mewujudkan sistem nilai yang berbeda-beda, sehingga ilmu sosial harus melakukan pembaharuan untuk setiap kelompok budaya untuk mengidentifikasi norma dan nilai-nilai yang mendasari kehidupan sehari-hari dari tiap-tiap kelompok ini. Pada tiap kasus, ide inti nya adalah bahwa terdapat teori atau standar evaluasi yang umum untuk membandingkan atau menjelaskan konsep, standar rasionalitas, atau norma. Pada bab ini, saya akan melakukan survey dan meneliti pendapat-pendapat dalam ketiga area ini dan berusaha untuk memberikan batasan-batasan pada pendapat para relativis untuk tiap area ini. Secara umum, saya akan berargumen bahwa klaim para relativis secara umum bisa dikatakan terlalu dibesar-besarkan dan rasionalitas manusia memberikan derajat yang lebih besar akan pembandingan, pengevaluasian, dan komunikasi, tentu saja argumen saya sangat berbeda dibandingkan dengan klaim yang diutarakan oleh para relativis.

 

Permasalahan yang dimiliki oleh relativisme terletak pada pencarian universal atau keumuman lintas-budaya – ciri penerimaan, pemikiran, atau tindakan yang ditemukan di hampir seluruh masyarakat. Jika universal atau keumuman ini ada, maka akan sangat menggoda untuk menyimpulkan bahwa keumuman-keumuman ini muncul dari sifat manusia, yang dimana munculnya terjadi sebelum munculnya budaya dan kemasyarakatan. Dan pendapat-pendapat di bab-bab sebelumnya telah mengembangkan model pilihan rasional akan penjelasan sosial, dan hal ini memberikan indikasi tentang beberapa keumuman, yaitu: kepedulian akan kesejahteraan individu, keterikatan beberapa batasan normatif, kapasitas untuk mendapatkan keyakinan yang benar tentang lingkungan, kapasitas untuk mempertimbangkan, dan kapasitas untuk meregulasi tindakan yang sesuai dengan rencana yang ada. (Hal-hal ini merupakan “ciri inti” dari manusia yang dijelaskan dalam Bab 7). Bab ini, akan mulai membahas fakta tentang keberagaman sosial dan upaya untuk mempersempit cakupan relativisme budaya. Adalah benar bahwa terdapat adanya keberagaman yang melekat didalam budaya yang beranekaragam, namun disini saya akan berpendapat bahwa terdapat sejumlah ciri inti dari masyarakat manusia yang mendasari seluruh budaya – bahkan jika budaya-budaya tersebut menemukan ekspresi di dalam bentuk yang berbeda-beda.

 

RELATIVISME KONSEPTUAL

 

Relativisme konseptual menyatakan bahwa terdapat perbedaan-perbedaan yang tidak dapat dibandingkan satu sama lain antara konsep “punya kita” dan “punya mereka” dan tidak adanya landasan rasional untuk memilih sistem-sistem ini. Kita dapat memformulasikan posisi ini dalam istilah-istilah berikut ini:

 

  • Budaya yang berbeda-beda menggunakan skema konseptual yang berbeda-beda untuk mendefinisikan apa yang ada atau mawujud di dunia, bagaimana semua hal diorganisir di dalam ruang dan waktu, jenis hubungan apa yang didapat dari hal-hal yang ada, dan bagaimana beberapa hal mempengaruhi hal-hal lainnya.
  • Tidaklah mungkin untuk memberikan landasan rasional untuk menyimpulkan bahwa satu skema tersebut bersifat lebih kongruen dengan realitas daripada skema lainnya.

 

Tesis pertama mengkhususkan asumsi yang paling dasar yaitu bahwa suatu masyarakat memandang dunia disekitar nya. Di dalam pandangan dunia keilmiahan kita, kita mengidentifikasi objek-objek dengan sifat kausal yang tetap, berada di ruang dan waktu, dan kita menetapkan bahwa setiap kejadian memiliki penyebabbya. Namun, para relativis budaya tetap berpandangan bahwa hal ini merupakan satu skema konseptual yang bersifat parokial, dan berbagai alternatif dapat diestimasi melalui penelitian sejumlah budaya di dunia yang bersifat non-Barat.

Contoh 10.1. Ruang dan waktu di dalam pandangan dunia masyarakat Hopi

 

Benjamin Whorf merupakan seorang ahli bahasa dan etnografi yang berfokus pada hal ini selama tahun 1930an untuk mempelajari bahasa Hopi. Melalui penelitiannya, beliau berkesimpulan bahwa konsepsi masyarakat Hopi tentang waktu, ruang, sebab-akibat, dan kategori-kategori metafisik dasar lainnya tampaknya sangat berbeda dengan konsep di bahasa-bahasa yang digunakan di Eropa. Seorang filsuf yang bernama Kant berpendapat bahwa pada abad ke-18, pemikiran rasional bergantung pada keberadaan rangkaian universal/ keumuman konsep dalam hal seseorang menganalisis dunia empiris; objek fisik, ruang, waktu, dan kausasi/ sebab-akibat yang kesemuanya ini merupakan ide yang diyakini oleh Kant sebagai sesuatu yang fundamental dan universal. Namun Whorf berpendapat bahwa skema konseptual masyarakat Hopi secara fundamental berbeda dengan kerangka Laplacean Euclidian. Beliau berpendapat; “Bahasa Hopi sepertinya tidak memiliki kata, bentuk tata-bahasa, konstruksi atau ekspresi yang mengacu secara langsung pada apa yang kita kenal dengan istilah “waktu”, atau masa lampau, masa sekarang, atau masa depan, atau menunda atau memperlama … Pada saat yang sama, bahasa masyarakat Hopi mampu menjelaskan semua fenomena alam semesta yang dapat diobservasi dengan tepat di dalam arti pragmatis atau operasional (Whorf, 1956:57-58). Belaiu menyimpulkan bahwa berbagai budaya dapat mewujudkan sistem konseptual yang  berbeda dimana mereka mengkategorisasikan dunia dengan cara yang sama sekali berbeda.

 

Data: data etnografik dan liguistik yang menjelaskan bahasa masyarakat Hopi

Model Eksplanatori: untuk memahami pandangan dunia masyarakat Hopi, maka dibutuhkan untuk merekonstruksikan serangkaian konsep yang sama sekali berbeda mengenai cara masyarakat Hopi untuk memandang dunia.

Sumber: Benjamin Whorf, Language Thought and Reality: Selected Writings of Benjamin Lee Whorf (1956)

 

Kita memulai pembahasan kita tentang tesis ini dengan contoh yang tepat – yaitu hipotesis Whorf (Contoh 10.1). Ahli bahasa yang bernama Benjamin Whorf mengembangkan teori bahasa masyarakat Hopi yang mewakili versi yang kuat dari relativisme konseptual. Seorang ahli antropologi modern yang bernama Gary Witherspoon telah mengambil serangkaian ide ini untuk dikembangkan di dalam penelitiannya tentang bahasa Navajo dan metafisika (Contoh 10.2). Di dalam pandangan Witherspoon, terdapat perbedaan yang mendalam di dalam cara Navajo dan Masyarat Eropa di dalam mendivisikan dunia menjadi benda-benda yang terpisah, dan hal ini menjadi bahan investigasi etnografi untuk menemukan skema konseptual dasar Navajo. Baik Whorf maupun Witherspoon berpandangan budaya-budaya non-Barat mewujudkan skema konseptual yang berbeda di dalam hal penganalisaan dan pengkategorian realitas sehari-hari, dan keduanya memiliki pandangan bahwa sangat lah sulit atau tidaklah mungkin untuk menerjemahkan skema-skema ini kedalam pandangan keilmiahan dunia Barat.

 

Para peneliti modern membahas relativisme konseptual dalam hal ide inkomensurabilitas (hal yang tidak dapat dibandingkan). Dalam hal ini, hipotesis Whorf menyatakan bahwa budaya yang berbeda-beda mungkin memiliki skema konseptuan yang berbeda-beda yang tidak dapat dibandingkan satu sama lain. Ide yang umum adalah bahwa dua skema konseptual tidaklah mungkin dapat dibandingkan jika tidaklah mungkin bagi kita untuk menciptakan ekuivalensi definisional antara konsep individu di dalam dua skema. Mari kita contohnya bahwa saya dan anda berjalan di hutan, dan munculah kenyataan bahwa skema konseptual saya lebih bagus dari pada skema konseptual anda: Saya membedakan binatang-binatang yang ada; yaitu pohon elm, oak, dan pohon beech, sedangkan anda hanya mengacu pada “pohon”; Saya membedakan antara tupai dan kelinci, dan anda hanya menyebut keduanya sebagai “binatang hutang yang kecil”. Selanjutnya, mari kita anggap bahwa saya tidak memiliki kategori abstrak yang lebih akan “pohon”, “binatang”, dan lain sebagainya. Kedua skema ini adalah berbeda namun bukan berarti tidak dapat dibandingkan/ diukur; namun, akan mungkin untuk menciptakan ekuivalensi/ persamaan untuk gabungan konsep-konsep saya tentang “pohon elm”, “pohon oak”, dan “pohon beech”. Salah satu cara untuk menempatkan poin ini adalah dalam hal cara dimana kita memecahkan “dunia” kedalam entitas-entitas pecahannya. Dalam kasus ini, saya dan anda mengidentifikasi entitas yang sama – yaitu pohon dan binatang tertentu – namun menempatkannya kedalam kategori-kategori yang kurang komprehensif. Dua struktur konseptual dapat disejajarkan sehingga akan menjadi tumpang tindih; “pohon” dalam skema anda adalah pohon oak, pohon elm, atau pohon beech dalam skema saya dan begitu pula sebaliknya untuk semua konsep-konsep yang lainnya.

 

Contoh 10.2. Sintaks dan semantik Navajo

 

Gary Witherspoon berpendapat bahwa para masyarakat yang berbicara bahasa Navajo menggunakan skema konseptual yang terorganisir dalam dualisme bentuk aktif dan statik dan bahwa skema klasifikasi benda-benda dalam bahasa Navajo (kekerabatan, binatang, objek-objek alam) mencerminkan dualisme ini (Witherspoon 1977:179). Konsep pengendalian adalah suatu hal yang sentral: Objek-objek diurutkan menurut peringkatnya di dalam sebuah hirarki dengan mengacu pada tipe suatu hal yang dapat mengendalikan atau mempengaruhi tipe-tipe yang lainnya (Witherspoon 1977:71). Beliau mendukung pendapat ini melalui analisis sintaks dan semantik dalam bahasa Navajo. “Kuda ditendang oleh anak kedelai” adalah kalimat yang secara gramatikal dapat diterima, sedangkan “kuda ditendang oleh orang” adalah kalimat yang bersifat lelucon ketika diucapkan. Analisis Witherspoon akan ketidaksimetrian ini adalah bahwa kalimat-kalimat telah disalah artikan oleh orang-orang Barat, dan bahwa arti dari konstruksi dasar adalah “disebabkan oleh dirinya untuk ditendang oleh.” Kuda dan keledai adalah istilah yang berbeda satu sama lain dalam hal kekuatan kendali yang aktif, yang dimana kuda adalah binatang yang inferior dibandingkan dengan manusia. Dan hal ini lah yang menjadi sebuah kelucuan hirarki kendali untuk mengatributkan pengendalian untuk kuda terhadap manusia (Witherspoon 1977: 75-76).

 

Data: Penelitian etnografi bahasa dan budaya Navajo

Model Eksplanatori: struktur konseptual bahasa Navajo adalah hal yang sangat berbeda dengan skema konseptual bahasa masyarakat Eropa.

Sumber: Gary Witherspoon, Language and Art in the Navajo Universe (1977).

 

Lalu, apakah hal diatas merupakan inkomensurabilitas asli? Pendapat yang terbaru mengenai inkomensurabilitas konseptual (konseptual yang tidak dapat dibandingkan satu sama lain) datang dari analisis-nya Thomas Kuhn tentang perubahan konseptual di dalam sejarah ilmu pengetahuan. Kuhn berpendapat bahwa penelitian ilmiah diorganisir disekitar sebuah paradigma: “jaringan komitmen yang kuat – konseptual, teoretikal, instrumental, dan metodologi” (T. Khun 1970:42). Kuhn berpendapat tentang tesis inkomensurabilitas akan konsep didalam paradigma-paradigma (T. Kuhn 1970: 148-50). Suatu paradigma merupakan suatu serangkaian model penjelasan ilmiah, eksperimen yang menjadi contoh, asumsi latar belakang tentang dunia, dan persamaan di dalam konteks dimana peneliti merumuskan permasalahan-permasalahan penelitian yang lebih spesifik. Paradigma mewujudkan pandangan dunia yang komprehensif, paradigma-paradigma ini menentukan kategori-kategori dalam hal pengorganisasian yang dilakukan oleh penginvestigasi akan data yang tersedia bagi mereka, dan paradigma-paradigma yang saling bersaing secara implisit membentuk sistem konsep dan keyakinan yang tidak bisa untuk di-inter-terjemahkan. Arti dari istilah teoretikal, penginterpretasian data empiris, asersi teoretikal, dan standar-standar inferensi adalah tidak bisa dibandingkan satu sama lain diseluruh paradigma. Walaupun para ahli fisika klasik dan para ahli fisika relativitas keduanya mengacu pada istilah “masa”, pada kenyataannya istilah “masa” tidaklah menjadi suatu hal yang perbedaannya signifikan, namun hanya sekedar perbedaan homofon; arti dari istilah ini di dalam dua sistem sangatlah berbeda dan tidak dapat dipahami satu sama lain. Pendapat-pendapat ini menawarkan dukungan bagi skeptisisme Kuhn tentang metode keilmiahan transenden, yaitu jika perselisihan teoretikal tidak dapat ditempatkan di dalam suatu bahasa yang dipahami dengan cara yang mengabur bagi kedua pihak, maka tidaklah akan ada resolusi logis akan masalah ini.

 

Pendapat penting yang lain tentang inkomensurabilitas dapat didapatkan dari teori nya W.V.O. Quine yang berfokus pada kemungkinan penerjemahan dari satu bahasa ke bahasa lainnya. Beliau berpendapat tentang “indeterminasi penerjemahan” (Quine 1960:26-79). Menurut pandangan ini tidak ada fakta tentang kebenaran ekuivalensi kalimat-kalimat ketika kita menerjemahkan satu bahasa ke bahasa lain; namun, dengan merubah pasangan kalimat-kalimat lain dengan tepat, kita dapat memberikan skema penerjemahan secara keseluruhan yang sesuai dengan seluruh disposisi para pembicaranya. “Petunjuk untuk menerjemahkan satu bahasa ke bahasa lainnya dapat disusun dengan cara yang berbeda, yang seluruhnya sesuai dengan totalitas disposisi bahasa, dan juga tidak sesuai dengan satu sama lain.” Di tempat yang jumlahnya tidak terbatas mereka akan berbeda di dalam memberikan – seperti penerjemahan mereka akan kalimat satu bahasa – kalimat kedalam bahasa lain yang saling berdiri satu sama lain di dalam ekuivalensi yang masuk akal” (Quine 1960:27). Menurut pendapat ini, untuk setiap pasangan bahasa terdapat skema penerjemahan alternatif yang sama konsisten dengan seluruh bukti yang ada namun sebenarnya hal ini tidaklah ekuivalen. Dampak dari pendapat ini untuk relativisme konseptual ada pada kalimat ini: Jika penerjemahan antara bahasa kita dan bahasa mereka adalah hal yang tidak menentu, maka terdapat hipotesa yang terjustifikasi dengan baik yang tersedia bagi kita tentang konsep-konsep mereka, dan tidak ada cara untuk kita untuk memilih diantara hipotesa-hipotesa ini. (Hookway 1978 mengeksplorasi dampak dari tesis ini dalam bidang antropologi).

 

Kita kembali ke contoh diatas. Umpamakan bahwa konsep anda dan konsep saya terasa sangat berbeda satu salam lain daripada yang ditentukan disini. Saya memandang dunia sebagai suatu hal yang dipenuhi oleh hal-hal individual – gumpalan gula, kelinci, pohon – namun anda memandang dunia sebagai kuantitas benda yang ada – hal yang berkaitan dengan gula, hal yang berkaitan dengan kelinci, dan hal yang berkaitan dengan pohon. Maka dari itu, anda tidak memiliki konsep akan hal-hal yang bersifat individual namun memiliki konsep akan jenis-jenis benda yang berbeda-beda di dunia dalam suatu kumpulan. Ketika saya mengatakan “ada kelinci”, yang saya maksudkan adalah “terdapat suatu hal yang bernama kelinci.” Ketika anda mengatakan “ada kelinci”, maka yang anda maksud adalah “ada suatu hal yang berhubungan dengan kelinci.” (Contoh ini diambil dari contoh “gavagai” dalam karnya-nya Quine di dalam pembahasannya tentang indeterminasi penerjemahan). Terakhir, kita umpamakan bahwa anda berbicara bahasa Alien; maka kalimat anda adalah “gavagai” yang saya korelasikan dengan “ada kelinci”. Dalam kasus ini anda dan saya memiliki cara mendasar yang berbeda akan memecahkan dunia menjadi beberapa bagian entitas – Saya memecahkannya kedalam hal-hal dan anda memecahkan kedalam kuantitas benda – dan juga tidak ada cara bagi saya untuk menemukan perbedaan dengan cara bertanya kepada anda.

 

Kemudian, kita sampai pada ide yang paling penting yang mendasari istilah skema konseptual yang tidak bisa dibandingkan: Dua budaya dapat memiliki kerangka yang sangat berbeda satu sama lain akan penganalisaan dunia – jenis hal apa yang ada, bagaimana hal-hal diindividualisasikan satu sama lain, apa struktur ruang dan waktu – dan juga hal tersebut tidak mungkin untuk menemukan perbedaan melalui penelitian etnografi.

 

Didalam penelitian, pendapat tentang relativisme konseptual terbagi kedalam dua tipe. Pertama, terdapat beberapa argumen aprioris tentang dampak yang memungkinkan bahwa komunitas bahasa yang berbeda dapat menggunakan skema konseptual yang bersifat inkomensurabel (tidak dapat dibandingkan). Indeterminasi Quine akan penerjemahan dan pendapat Kuhn tentang inkomensurabilitas pun mendukung kesimpulan ini. Pendapat yang ada di dalam kelompok kedua adalah bersifat empiris; pendapat-pendapat ini merepresentasikan serangkaian klaim tentang dampak dimana kelompok bahasa tertentu pada dasarnya menggunakan skema konseptual yang bersifat inkomensurabel bagi kelompok bahasa kita. Dan kekuatan dari kedua pendapat ini adalah cukup berbeda: Kemungkinan apriori akan skema konseptual yang berbeda akan cukup sulit untuk dibantahkan, namun upaya-upaya empiris untuk mengidentifikasi skema yang ada yang bersifat inkomensurabel bagi kita sepertinya mengalami kegagalan. Hal ini memunculkan kesimpulan bahwa tesis akan relativisme konseptual secara logis koheren namun hal ini tidaklah benar didalam budaya manusia yang ada.

 

Pertama, kita mempertimbangkan kekuatan argumen atau pendapat apriori tentang kemungkinan skema konseptual yang bersifa inkomensurabel. Beberapa filsuf ada yang berpendapat bahwa pendapat tentang inkomensurabilitas radikal tidak lah dapat didukung karena hal tersebut membuat tujuan untuk menerjemahkan bahasa yang dimana hal ini tidak dapat dimengerti. William Newton-Smith berpendapat bahwa pendapat-pendapat tentang relativisme konseptual seperti dipaksakan untuk menghilangkan kebenaran akan keberadaan “benar untuk mereka” dan “benar untuk kami.” Namun beliau berpendapat bahwa kemungkinan penerjemahan tergantung pada ketersediaan kondisi kebenaran dalam hal pembandingan kalimat kedalam dua bahasa. Jadi, jika kita menghilangkan gagasan kebenaran, maka kita dipaksa untuk menghilangkan harapan penerjemahan disepanjang skema konseptual (Newton-Smith 1982:110-13). Donald Davidson mengeluarkan kritik yang sama akan relativisme konseptual melalui tulisannya yang berjudul “Gagasan Skema Konseptual” (1974). Beliau berpendapat bahwa ide tentang skema konseptual yang tidak dapat dibandingkan runtuh akibat beban nya sendiri: Jika skema bersifat tidak bisa dibandingkan, maka semua komunikasi akan menjadi tidak mungkin antar skema. Ketidakmungkinan ini adalah hal yang tidak ada; dengan demikian tidaklah benar bahwa budaya manusia memiliki skema konseptuan yang bersifat inkomensurabel (tidak bisa diukur dan dibandingkan).

 

Begitu juga, beberapa filsuf ilmu pengetahuan telah meragukan pendapat yang diutarakan oleh Kuhn tentang inkomensurabilitasan skema konseptual ilmu pengetahuan. Pendapat yang paling meyakinkan ada pada realisme keilmiahan – suatu pandangan yang memandang bahwa konsep ilmu pengetahuan mengacu pada entitas nyata di dunia. Apa yang membuat komunikasi diseluruh skema konseptual di dalam ilmu pengetahuan menjadi layak, di dalam pendekatan ini, adalah kemungkinan preferensi bersama akan objek-objek fisik yang nyata dan sifat-sifatnya. Konsepsi Newtonian akan masa berfokus pada kuantitas ini sebagai suatu hal yang invarian atau tidak berubah, sedangkan konsepsi relativistik masa adalah berubah. Bagi Kuhn, hal ini merupakan perbedaan konseptual yang tidak dapat dijembatani. Namun bagi realis keilmuan, para ahli fisika klasik dan ahli fisika relativistik keduanya mengacu pada kuantitas fisik yang sama dan memiliki sejumlah teknik eksperimental yang sama dalam hal dimana mereka dapat mengidentifikasi dan mengukur kuantitas ini. Referensi bersama memungkinkan tiap ilmuwan untuk menerjemahkan keyakinan dan asersi/ pendapat pihak lain kedalam klaim tandingan di dalam teori yang dimilikinya dan untuk mengidentifikasi ketidaksetujuan tertentu akan sifat dari objek-objek ini yang memisahkan kedua teori. (Untuk mendapatkan penjelasan tentang pendapat ini, anda bisa melihat bagian Newton-Smith 1981:164 ff). Dengan demikian, adalah mungkin untuk menyerap banyak dari pandangan Kuhn yang penting tentang karakter perubahan konseptual di dalam ilmu pengetahuan dan keilmiahan tanpa menerima kesimpulan Kuhn tentang inkomensurabilitas. Saya menyimpulkan bahwa sangatlah mungkin bagi komunikasi yang berarti untuk memunculkan batasan-batasan paradigma, yang dimana juga sangatlah mungkin bagi metode-metode empiris untuk mempersempit rentang pertikaian pendapat antar paradigma, dan bahwa standar internal bagi suatu disiplin tertentu dapat dievaluasi dalam hal kecocokan rasionalnya bagi masalah penyingkapan kebenaran empiris.

 

Pendapat-pendapat ini yang menentang relativisme konseptual memiliki semacam kekuatan, namun pendapat-pendapat ini tidak bisa diambil sebagai refutasi definit akan kemungkinan inkomensurabilitas konseptual. Apa yang ditunjukan oleh pendapat-pendapat ini adalah bahwa pendapat filosofis yang ada yang mendukung inkomensurabilitas adalah lebih lemah daripada yang sering mereka munculkan.

 

Kekuatan apapun pada pendapat-pendapat apriori ini, namun fokus yang utama bagi kita adalah permasalahan keempirisan yang ada pada relativisme konseptual. Dengan demikian, mari kita kembali ke pendapat-pendapat Whorf dan Witherspon – pendapat-pendapat empiris yang dimana terdapat kasus-kasus tertentu yang didapat melalui relativisme konseptual. Whorf dan Witherspoon tetap mengindentifikasi komunitas bahasa yang struktur konseptual dasarnya sangat berbeda dengan struktur konseptual dasar kita. Apakah ini merupakan kesimpulan yang masuk akal untuk mendasarkan pada bukti apa apa yang kedua peneliti ini kemukakan? Tampaknya terdapat landasan persuasif untuk meragukan hal ini. Pertama, terdapat masalah akan interpretasi lintas-budaya yang dikemukakan oleh Davidson dan Newton-Smith diatas. Jika konsep Hopi tidak dapat dibandingkan (bersifat inkomensurabel) dengan konsep masyarakat Eropa, maka akanlah sulit untuk melihat bagaimana para ahli etnografi memahaminya. Komunikasi membutuhkan suatu susunan inti akan keyakinan dan konsep bersama; jika hal ini kurang, maka tidaklah mungkin untuk menginterpretasikan arti dalam kelompok-kelompok bahasa. Pendapat ini muncul untuk membuat para ahli antropologi berada dalam dilema. Dimana para ahli antropologi ini juga tidak dapat memelihara relativisme mereka dan meninggalkan harapan dalam hal penginterpretasian tuturan budaya yang lain, atau mereka dapat mempersempit cakupan dari klaim-klaim kaum relativis untuk menciptakan dasar bagi penginterpretasian lintas-budaya. Pendekatan yang paling alami untuk penginterpretasian di dalam batasan-batasan budaya melibatkan ide bahwa para ahli etnografi mengidentifikasi objek-objek biasa dan sifat-sifatnya dan lalu kemudian mulai mengkonstruksi petunjuk penterjemahan untuk konsep-konsep yang lebih abstrak. Namun jika kita menghipotesa bahwa kebudayaan yang lain menerima objek-objek biasa dengan cara yang sama sekali berbeda dari cara yang kita lakukan, maka kita akan kekurangan titik awal di dalam proses penginterpretasian ini.

 

Kedua, terdapat masalah terkait dalam evaluasi empiris hipotesis tentang inkomensurabilitas. Hal inilah yang dapat digunakan untuk mempelajari bahwa budaya asing memiliki konsep jenis tentang suatu hal yang dimana kita tidak memiliki konsep tersebut – seperti contohnya, unicorn. Kategori-kategori metafisikal yang paling dasar berbeda di dalam dua budaya untuk permasalahan tentang bagaimana kita memberikan dukungan empiris untuk keyakinan yang belum pasti merupakan hal yang membingungkan. Disini kita dapat kembali ke pendapatnya Quine tentang indeterminasi penerjemahan. Bukti apapun yang ditawarkan untuk mendukung inkomensurabilitas dapat ditafsirkan sebagai pendukung skema penerjemahan alternatif dimana dua kelompok bahasa memiliki konsep yang sama tentang objek-objek.

 

Terakhir, terdapat penginterpretasian situasi alternatif tentang bahasa Hopi dan Navajo yang menghindari relativisme konseptual dan pada saat bersamaan hal tersebut menjaga pandangan sentral yang ditawarkan oleh Whorf dan Witherspoon. Pilihan ini membutuhkan pembedaan konsep yang menentukan objek-objek dan keyakinan yang lebih tinggi tentang sifat-sifat dari objek-objek ini. Dari sudut pandang ini, kita harus mempostulasikan bahwa dua budaya yang memiliki dunia objek yang sama – pohon, binatang, bukit, bangunan, dan orang. Tiap budaya memiliki inti susunan konsep dalam hal pembicaranya mengindividualkan suatu hal – konsep ruang, waktu, hubungan kausal, objek dan sifat. Selain itu, tiap budaya memiliki suatu susunan inti keyakinan tentang objek-objek yang sama disepanjang batasan budaya – seperti contohnya, “benda ini berat”, “roti dapat menghilangkan lapar”, atau “kuda memiliki empat kaki.” Terakhir, tiap budaya bisa memiliki aturan keyakinan umum yang berbeda tentang dunia yang bisa dianggap asing oleh budaya lain – seperti contohnya, keyakinan kita bahwa “alam semesta mengembang”, “materi dan energi merupakan dua hal yang sama,” atau “planet bumi memiliki inti yang cair”, atau keyakinan mereka, seperti “hal-hal yang memiliki tingkatan yang lebih tinggi harus mengendalikan hal-hal yang berada di tingkatan yang lebih rendah”, “pohon memiliki jiwa,” atau “sejarah adalah hal yang berulang.” Keyakinan yang disebutkan kedua adalah suatu hal yang bersifat “metafisikal” – dimana keyakinan-keyakinan tersebut mencerminkan asumsi yang dalam bahwa tiap budaya memandang dunia dan menuju kesimpulan yang muncul bagi individu dari budaya yang berbeda. Ketika asumsi-asumsi ini diidentifikasi, kemunculan relativisme konseptual akan digantikan dengan pemahaman ketidaksepakatan bersama yang dalam tentang cara dunia bekerja.

 

Dengan demikian, saya menyimpulkan bahwa bukanlah pendapat apriori dan juga bukanlah pendapat empiris yang melahirkan relativisme konseptual; namun, terdapat alasan yang baik untuk memiliki pandangan bahwa budaya manusia memiliki rangkaian inti bersama tentang konsep dan keyakinan yang menentukan struktur dunia – jenis objek apa yang ada dan keyakinan yang menciptakan kemungkinan penginterpretasian disepanjang batasan budaya, dan hal ini sesuai dengan karakteristik-karakteristik nyata dari objek-objek yang diobservasi. Keberadaan dunia bersama yang bersifat objektif dengan sifat yang dapat diobservasi dapat memberikan landasan bagi inti konsep dan keyakinan diseluruh budaya yang ada. Dan sangatlah jelas bahwa inti ini dikelilingi oleh jaringan-jaringan konsep dan asumsi yang tidak sama di budaya yang lain. Ini merupakan inti bersama dari konsep yang melahirkan kemungkinan penginterpretasian; ini merupakan asumsi dan konsep yang muncul dengan tingkat abstrak yang lebih tinggi yang menghasilkan keberagaman pandangan dunia di beberapa budaya yang berbeda-beda.

 

Kesimpulan apa yang dapat kita ambil tentang tesis akan relativisme konseptual? Pembahasan ini melahirkan beberapa poin yang jelas. Adalah benar diragukan lagi bahwa budaya yang berbeda-beda memiliki aturan konsep yang berbeda-beda bahwa budaya-budaya ini mengkhususkan tipe-tipe suatu hal yang berbeda-beda dan mengklasifikasikannya dengan cara yang berbeda-beda juga. Sebagai contohnya, masyarakat yang hidup di pantai mungkin akan memiliki cara yang lebih artikulatif di dalam pengklasifikasian kerang jika dibandingkan dengan masyarakat yang tinggal di pedalaman. Lebih jauh lagi, tidak ada pendapat empiris yang tersedia untuk menyimpulkan bahwa budaya manusia yang berbeda-beda memiliki konsepsi yang berbeda tentang apa dari suatu hal/ objek – bagaimana objek diidentifikasi dan diindividualisasikan. Navajo, Penduduk Kepulauan Andaman, dan penduduk Manhattan akan sama dalam membedakan antara satu tiang lentera dengan yang lainnya; maksudnya disini adalah; mereka memiliki metafisika objek dan sifat-sifatnya yang sama. Adalah mungkin, walaupun tidak memiliki bukti, bahwa beberapa budaya memiliki konsepsi yang berbeda-beda tentang hubungan kausal jika dibandingkan dengan pandangan dunia yang modern.

 

Sedangkan ilmu pengetahuan barat modern tidak memperbolehkan untuk menggaibkan penyebab atau tindakan, beberapa budaya malah ada yang memperbolehkan untuk memagiskan hubungan kausal antar kejadian-kejadian yang terjadi. Dalam kasus ini, konsepsi “mereka” tentang cara dunia bekerja sangatlah berbeda dibandingkan dengan konsepsi yang kita miliki. Argumen yang lebih bersifat metafisik yang dikembangkan oleh Whorf tentang masyarakat Hopi yang memiliki perbedaan konsepsi dengan konsepsi kita tentang ruang dan waktu adalah hal yang tidak dapat dijamin kebenarannya. Sangatlah sulit untuk memahami bagaimana bukti dapat ditawarkan untuk menjustifikasi kesimpulan tersebut. Dan terakhir, tidak ada argumen yang dapat memberikan landasan yang meyakinkan untuk meyakini bahwa perbedaan konseptual yang dijelaskan disini dapat merepresentasikan perbedaan inkomensurabel dalam budaya yang berbeda-beda. Namun, melalui pembahan lanjutan, adalah mungkin bagi individu-individu di dalam kedua skema untuk mengidentifikasi perbedaan antara keduanya. Kita dapat membandingkan skema klasifikasi dengan mempertimbangkan entitas konsep tertentu, kita dapat membandingkan teori kausal dengan mencatat tipe entitas yang dianggap memiliki pengaruh kausal terhadap entitas lainnya, dan lain sebagainya. Saya menyimpulkan bahwa relativisme konseptual merupakan posisi filosofis tanpa dukungan empirisme di dalam ilmu-ilmu sosial.

 

RASIONALITAS DAN RELATIVISME

 

Klaim yang paling menantang akan relativisme budaya adalah; bahwa tidak adanya standar budaya-netral tentang rasionalitas keyakinan. Namun, beragam budaya yang memunculkan standar yang berbeda-beda dalam hal pengevaluasian keyakinan “faktual”, dan tidaklah masuk akal untuk meyakini bahwa satu susunan lebih bersifat superior jika dibandingkan dengan susunan lainnya. Masalah ini diangkat oleh banyak sistem keyakinan yang melibatkan suatu hal yang magis, sihir, kekuatan spiritual, dan hal-hal lain yang terkait di berbagai budaya. Banyak dari masyarakat yang “primitif” yang menginterpretasikan kegagalan panen, keberuntungan, jatuh bangunnya pemimpin, dan ketidakberuntungan kesehatan sebagai dampak dari berbagai kekuatan gaib. Dan beberapa filsuf telah meragukan bahwa terdapat cara netral-budaya untuk beranggapan bahwa satu cara pemahaman dunia ada yang lebih rasional dibandingkan dengan yang cara yang lainnya. Dengan demikian, Peter Winch menyatakan; “Kita mulai dari posisi yang beranggapan bahwa standar rasionalitas di masyarakat yang berbeda-beda tidak selalu terjadi bersamaan dari kemungkinan, dengan demikian, bahwa standar arus rasionalitas dalam simbol S berbeda dari standar kita. Sehingga kita tidak dapat berasumsi bahwa hal tersebut akan menjadi hal yang masuk akal untuk membicarakan anggota S ketika menemukan suatu hal yang juga telah kita temukan; penemuan ini mengandaikan persetujuan konseptual awal.” (Winch, 1970:97).

 

Sebagai contohnya, kita meyakini bahwa penyakit disebabkan oleh virus dan bakteri – yaitu organisme mikroskopis yang mengganggu fungsi normal tubuh. Hal ini sangat berbeda dengan berbagai budaya Afrika barat yang meyakini bahwa penyakit disebabkan oleh sihir atau roh nenek moyang yang jahat. Keyakinan kita didasari oleh ilmu pengetahuan empiris, dan keyakinan mereka didasari oleh kosmogoni relijius tradisional. Dan beberapa ahli antropologi telah bersikukuh untuk berpandangan bahwa sistem keyakinan yang sangat berbeda tersebut bukan berati adanya sistem yang superior terhadap sistem lainnya dalam hal rasionalitas. Tesis relativisme rasionalitas mungkin dapat ditempatkan dalam istilah-istilah ini. Budaya-budaya yang berbeda-beda akan melahirkan sistem validasi keyakinan yang berbeda-beda juga, yang dimana hal ini akan melahirkan perbedaan keyakinan tentang cara dunia bekerja, dan tidak terdapat landasan rasional untuk menyimpulkan bahwa satu sistem lebih superior terhadap satu sistem lainnya. Pihak yang tidak sependapat adalah dalam hal ini mereka yang memberikan prioritas khusus terhadap standar penalaran ilmiah: observasi, deduksi, konstruksi teori, pengujian, dan lain sebagainya. Hal ini akan tetap memelihara bahwa metode keilmiahan dunia barat adalah hal yang superior terhadap metode reliji yang magis dan tradisional dengan tujuan untuk tiba di keyakinan yang benar. Hal ini merupakan hasil dari pengaplikasian metode evaluasi keyakinan yang lebih bersifat benar dibandingkan dengan sistem keyakinan yang didasari keghaiban dan ketradisionalan. Hal ini dapat disebut sebagai posisi “rasionalis”, walaupun hal ini tidak terlalu berkaitan dengan rasionalisme nya Descartes ataupun Spinoza. Sebaliknya, ini merupakan pandangan bahwa praktek-praktek keilmuan empiris sesuai dengan standar universal akan pembentukan keyakinan: dan praktek-praktek ini akan melahirkan rasionalitas.

 

Posisi yang paling radikal pada relativisme budaya akan standar rasionalitas muncul dari Peter Winch, yang dimana beliau meyakini bahwa proses pembentukan keyakinan bukanlah praktek-praktek sosial karena tidak adanya dasar kritisisme atau justifikasi yang menyeluruh. Dan dasar utama dari posisi Winch adalah penolakannya bahwa terdapat dunia objektif yang dimana sistem keyakinan dapat sesuai atau tidak sesuai; artinya tidak ada yang namanya “kebenaran”. Malahan, sistem-sistem konseptual menyusun dunia dimana sistem tersebut diaplikasikan, dan tidak adanya kemungkinan untuk membandingkan kebenaran atau kesalahan di semua sistem konseptual (Winch, 1970).

 

Apakah data antropologis berfokus pada perbedaan sistem keyakinan dapat mendukung ide tentang relativitas standar rasionalitas? Atau apakah hal tersebut dapat dijustifikasi untuk menjaga ide bahwa metode-metode ilmiah merupakan lebih benar dibandingkan dengan metode-metode tradisional atau relijius? Steven Lukes mempertahankan ide bahwa terdapat standar universal tentang rasionalitas yang berlaku bagi seluruh budaya (Lukes 1970). “Saya berpendapat …. keyakinan-keyakinan tersebut tidak hanya dievaluasi oleh kriteria yang ditemukan di dalam konteks dimana mereka dianut; keyakinan-keyakinan juga harus dievaluasi dengan menggunakan kriteria rasionalitas.” (Lukes 1970:208). Pendapatnya berfokus pada pandangan bahwa sebenarnya terdapat kesamaan antara kita dengan budaya alien/ asing – atau yang lainnya, dan komunikasi antara kita dan mereka merupakan hal yang mungkin. Kita pun me-re-identifikasi objek yang sama dalam bahasa dan membuat prediksi tentang perilaku mereka. (Perhatikanlah ke-pararel-an antara pandangan ini dan kesimpulan dari bagian sebelumnya). Kita tidak memiliki keyakinan yang sama tentang dunia ini, namun hal tersebut memungkinkan adanya komunikasi yang dapat menembus batas-batas budaya. Hal ini melahirkan kemungkinan akan kebenaran – bukan kebenaran-bagi-kita dan kebenaran-bagi-mereka namun kebenaran sebagai korespondensi dengan cara dunia ini (Lukes 1970:210). Kebenaran merupakan hal yang bersifat lintas-budaya, dan standar rasionalitas merupakan hal yang menjadikan keyakinan menjadi lebih reliabel. Disini, argumen dapat diciptakan pada kesimpulan bagian sebelumnya: Ketika kita menciptakan landasan untuk membandingkan skema konseptual dalam hal entitas sebenarnya yang berada pada konsep, kita dapat bergerak kedepan menuju penalaran kausal dan empirisme dengan beberapa keyakinan untuk dapat diterima.

 

Lalu apa standar-standar rasionalitas itu? Tidak ada jawaban yang bersifat komprehensif untuk pertanyaan ini, karena standar ini sangat tumpang tindih dengan konsepsi metode keilmiahan yang terus berubah. Namun, untuk tujuan kita, kita dapat mengidentifikasi sejumlah kecil prinsip-prinsip inferensi/ dugaan yang muncul secara sentral. Pertama, terdapat prinsip kesimpulan deduktif: Jika anda meyakini serangkaian kaliman Si, dan P secara logika didapat dari Si , kemudian juga menerima P (atau juga meyakini pada sebagian Si). Prinsip ini mengikuti seluruh logika deduktif; dimana hal ini mengenakan semua persyaratan umum akan konsistensi logis pada penalaran ilmiah. Kedua, terdapat sejumlah prinsip kesimpulan induktif terbuka – contohnya, metode Mill akan inferensi kausal, inferensi pada penjelasan terbaik, inferensi pada penggeneralisasian yang didasarkan pada banyak observasi, atau inferensi pada hipotesis yang didasarkan pada pengujian konsekuensi deduktifnya.

 

Prinsip-prinsip induktif ini secara substansial lebih lemah jika dibandingkan dengan prinsip inferensi deduktif. Karena prinsip-prinsip ini bersifat bisa saja salah: adalah mungkin bahwa seseorang meneliti 1.000 angsa dan menemukan fakta bahwa seluruh angsa tersebut berwarna putih, dan hal ini masih menyisakan kemungkinan pengecualian terhadap penggeneralisasian yang diberlakukan untuk angsa. Demikian juga, bahwa penjelasan terbaik akan anomali empiris tersedia pada waktu yang ditentukan adalah E, sedangkan Ei merupakan penjelasan yang benar, dan seterusnya untuk tiap prinsip-prinsip induktif ini. Tiap prinsip merupakan preskripsi syarat-pengecualian tentang bagaimana untuk menghubungkan bukti dengan keyakinan; namun secara keseluruhan semuanya merepresentasikan batasan empiris yang kuat pada formasi keyakinan. Dan menurut saya, hal ini merupakan prinsip dari inferensi. Bisa dikatakan hal ini sebagai penguat kebenaran: Jika kita mengadopsi prinsip-prinisip ini dan melibatkannya di dalam observasi empiris, sistem keyakinan kita akan cenderung meningkatkan di dalam korespondensinya pada dunia.

 

Mari kita pertimbangkan contoh yang lebih luas. Umpamakan bahwa “mereka” meyakini bahwa penyakit tertentu (malaria) disebabkan oleh mantera/ guna-guna oleh musuh, sedangkan “kita” percaya bahwa penyakit tersebut disebabkan oleh nyamuk malaria. Keyakinan kita dapat dituangkan didalam istilah-istilah ini: Kapanpun nyamuk malaria ada, insiden malaria akan menjadi lebih tinggi; ketika nyamuk malaria benar-benar tidak ada, maka insiden malaria akan menurun sampai titik nol. Keyakinan mereka dapat dituangkan pada istilah berikut ini: Maliara muncul hanya sebagai akibat dari mantera; jika tidak ada mantera, maka tidak akan ada penyakit malaria, dan jika mantera/ guna-guna ada, makan akan mengakibatkan penyakit malaria pada sebagian orang. Melalui observasi dan percobaan yang dikendalikan, akan sangat mungkin untuk membujuk ahli sihir yang berfikiran terbuka tentang beberapa hal: (1) Ketika nyamuk dibasmi di suatu wilayah tertentu, malaria akan hilang; (2) Ketika tindakan guna-guna/ sihir dilakukan di sebuah wilayah yang tidak ada nyamuk malaria nya, malaria pun tetap tidak akan muncul; (3) ketika tidak ada tindakan sihir/ guna-guna di daerah yang banyak nyamuk malaria nya, maka malaria akan tetap muncul. Kita dapat berasumsi bahwa keyakinan faktual tingkat-rendah dianut di semua budaya. Keyakinan faktual tingkat-rendah ini secara bersama-sama menyiratkan kesalahan pada tesis kedua. Hal ini sesuai dengan temuan bahwa terdapat malaria di wilayah yang tidak ada tindakan guna-guna, dan ada tindakan guna-guna di wilayah yang bebas malaria. Dan fakta-fakta ini sesuai dengan kebenaran tesis pertama, walaupun fakta-fakta ini tidak terlalu berhasil di dalam menciptakan kebenaranya (karena tidak ada rangkaian observasi yang terbatas yang dapat melahirkan kebenaran dari pernyataan universal). Skenario ini muncul untuk melemahkan relativisme keyakinan, karena hal ini akan memunculkan kesimpulan bahwa keyakinan akan mengalami konvergensi disekitar hipotesis kausal ketika fakta-fakta yang relevan telah disetujui.

 

Kesimpulan ini bersifat terlalu dini, karena inferensi terhadap hipotesis nyamuk tidak muncul secara langsung akibat fakta-fakta yang disetujui tentang insiden nyamuk, guna-guna, dan malaria. Malahan, fakta-fakta ini dapat digabungkan dengan serangkaian prinsip-prinsip deduktif dan induktif inferensi. Dengan demikian keyakinan faktual secara sendirinya tidak memaksakan satu hipotesa kausal atau lainnya (nyamuk atau guna-guna); hiptesis kausal hanya dapat didukung jika kita berpegang pada beberapa prinsip logika deduktif dan logika induktif (inferensi pada penjelasan terbaik, asumsi-asumsi tentang hubunan antara kausasi dan hugungan reguler, dan lain sebagainya). Ketika kita mengaplikasikan prinsip-prinsip terhadap fakta tentang keberadaan dan ketiadaan tindakan guna-guna, nyamuk, dan kasus-kasus malaria, kita pun bisa menyimpulkan bahwa nyamuk dapat menyebabkan penyakit malaria dan tindakan guna-guna tidak. Lalu para relativis dapat menjawa prinsip-prinisip inferensi mendukung kesimpulan ini yang secara tepat mengenai permasalahan ini: Budaya yang lain tidak memiliki prinsip-prinisip “kita” akan inferensi kausal ilmiah, dan hasilnya mereka memiliki keyakinan yang sangat berbeda tentang sutruktur kausal dunia.

 

Secara khusus, para ahli sihir dapat menghindari kesimpulan kita dengan beberapa cara. Akan selalu mungkin untuk menolak kontradiksi dengan memunculkan karakteristik proses-proses sihir/ guna-guna (contohnya; jenis sihir terkait berhubungan dengan nyamuk; ketika nyamuk tidak ada, maka mantera guna-guna akan kehilangan efisiensinya). Pemodifikasian tersebut adalah bersifat sementara. Atau para ahli sihir dapat saja menolak untuk terlibat di dalam proses penalaran bersama; mereka mungkin saja tidak mengakui legitimasi upaya ini untuk mendapatkan kebenaran melalui logika dan percobaan. Dan mereka akan terus beranggapan bahwa konsep kita akan “nyamuk malaria” adalah secara logika dapat ditolak, yang dimana bagi kita penjelasan munculnya penyakit sebagai faktor dampak yang memiliki disposisi untuk menimbulkan malaria (nyamuk malaria). Hal ini terdengar sebagai sesuatu yang mencurigkan bagi para ahli sihir kita.

 

Kita pun kembali ke masalah yang tadi kita mulai: Apakah mungkin untuk menawarkan justifikasi netral-budaya akan prinsip-prinisp deduktif dan induktif dari inferensi? Posisi 1 yang dipertahankan disini adalah bahwa prinsip-prinsip inferensi deduktif dan induktif dapat secara luas menghasilkans standar keyakinan secara rasional dan dijustifikasi dalam hal prinsip veridikalitas: Taat pada prinsip-prinsip inferensi ini dapa meningkatkan veridikalitas keseluruhan sistem keyakinan. Jika posisi ini diterima, maka kita memiliki landasan yang kuat untuk menolak tesis relativisme keyakinan, yang dalam hal ini, terdapat standar independen untuk membandingkan sistem pembentukan keyakinan alternatif – prinsip veridikalitas.

 

Pembelaan ini tergantung pada dua hal: kesamaan keyakinan faktual biasa di seluruh budaya dan peranan keyakinan tingkat-tinggi di dalam memprediksi keadaan faktual lainnya. Jika kita memiliki keyakinan yang benar tentang proses kausal yang tidak bisa diobservasi, kita akan memiliki landasan untuk prediksi yang benar tentang keadaan di masa mendatang. Jika hipotesa kausal kita salah, prediksi kita akan cenderung salah juga. Kita dapat menggunakan pengujian tingkat-dua pada pasangan “mesin inferensi” (sistem inferensi deduktif dan induktif). Tiap sistem inferensi akan menghasilkan serangkaian keyakinan tentang sifat-sifat kausal lingkungan dan memunculkan serangkaian prediksi tentang masa depan dan keadaan kontrafaktual. Jika terdapat perbedaan yang jelas antara kedua mesin dalam hal kebenaran prediksi, maka serangkaian keyakinan mereka muncul, lalu mesin dengan veridikalitas yang lebih tinggi akan dipilih secara rasional.

 

Kenapa kita harus mengadopsi kriteria veridikalitas akan rasionalitas? Karena dua alasan: karena preferensi umum untuk kebenaran yang lebih tinggi daripada kesalahan dan karena manfaat yang lebih besar pada keyakinan yang besar di dalam memanipulasi lingkungan. Terdapat hubungan yang erat antara tindakan dan keyakinan yang benar; tindakan-tindakan yang didasarkan pada keyakinan yang salah sepertinya tidak akan memiliki dampak yang dimaksudkan. Kelompok dan individu yang menggunakan “mesin inferensi”  yang secara sistematik lebih inferior di dalam menghadapi lingkungan akan cenderung mengalami ketidakberhasilan dibandingkan dengan yang lain: Perahu mereka akan tenggelam, ekspedisi mereka akan tersesat, dan mereka akan cenderung memakan makanan yang beracun. Adalah sulit untuk memikirkan budaya yang menghadapi permasalahan semacam ini, seperti yang saya simpulkan bahwa, di dalam inferensi kausal mereka, tiap budaya menggunakan serangkaian standar induktif seperti yang disebutkan/ dijelaskan di atas.

 

Ada satu poin final yang dilahirkan di dalam bagian ini. Argumen yang telah saya kembangkan untuk kebenaran standar prinsip-prinsip induktif dan deduktif adalah argumen tentang landasan rasional keyakinan. Saya telah berpendapat bahwa mesin inferensi seperti ini lebih bersifat superior dibandingkan yang lainnya. Dengan demikian, rasionalitas bukan lah sesuatu yang relatif. Kesimpulan ini tidak berarti bahwa seluruh budaya memiliki prinsip-prinsip ini (walaupun pengagungan sosial dan teknis dari masyarakat non-Barat diselurh dunia menyiratkan bahwa mereka memang seperti itu). Hal ini menyiratkan bahwa tiap budaya yang menyimpang dari prinsip-prinsip ini telah juga menyimpang dari rasionalitas dan kebenaran.

 

RELATIVISME NORMATIF

 

Sejauh ini kita telah membahas apa yang kita kenal sebagai relativisme kognitif: relativisme bentuk pengetahuan dan validasi pengetahuan. Mari kita berfokus pada relativisme normatif. Status norma dan nilai apa yang ada pada budaya tertentu? Apakah ada yang namanya universal moral yang mendasari seluruh sistem normatif? Atau haruskah? Atau apakah normal-normal moral secara esensi sama dengan nilai-nilai estetika – sangat beragam dan jauh dari landasan rasional?

 

Topik ini menggerakan kita dari keyakinan ke tindakan dan ke pertimbangan peranan dan keberagaman sistem normal dan nilai di dalam membatasi perilaku individu. Kita telah melihat pada berbagai poin di dalam buku ini bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh pertimbangan moral dan normatif. Dengan demikian para sukarela baik itu laki-laki maupun perempuan yang mengabdikan diri ke dunia militer demi normal patriotisme, Muslim yang taat akan menjaga diri untuk tidak memakan daging bagi karena rasa hormat pada larangan yang diperintahkan oleh agama mereka, para petani terprovokasi karena rasa keadilan mereka terganggu, dan orang tua rela menghemat konsumsi saat sekarang demi kesejahteraan anak-anaknya dimasa mendatang. (Mengulas kembali pembahasan kita pada Contoh 9.2 tentang penelitian yang dilakukan Barrington Moore yang menyoroti keberagaman di dalam perilaku politik di beberapa kelompok yang tereksploitasi dengan didasarkan pada analisis rasa keadilan yang dimunculkan oleh kelompok-kelompok ini). Di dalam tiap kasus kita memiliki contoh tindakan individu yang mendeviasi dari garis lurus akan rasionalitas tujuan-cara dengan menerima batasan moral atau normatif. Terakhir, seringkali diobservasi bahwa komitmen-komitmen normatif ini berbeda dari satu komunitas manusia dengan komunitas manusia yang lainnya. Beberapa masyarakat ada yang memprioritaskan keadilan abstrak, dan ada juga yang menempatkan nilai yang lebih tinggi pada hubungan personal dan keluarga. Ada beberapa budaya yang menganggap pembunuhan anak sebagai sesuatu yang wajib dibenci, dan ada juga budaya yang menganggapnya sebagai suatu bagian praktek dari perencanaan keluarga. Keberagaman-keberagaman ini di dalam komitmen normatif dapat memunculkan tesis relativisme moral.

 

Relativisme moral adalah pandangan yang menyatakan bahwa budaya yang berbeda-beda akan menghasilkan sistem nilai moral yang berbeda dan tidak terdapat landasan rasional untuk menganggap satu sistem lebih baik dari sistem-sistem yang lain (kecuali dari perspektif sistem nilai tandingan). Kaum relativis tetap berpendapat bahwa setiap masyarakat memiliki serangkaian norma dan nilai dan terdapat keragaman yang fundamental diantara sistem-sistem nilai di berbagai budaya – skema valuasi/ penilaian melalui cara individu mengevaluasi dirinya, teman-teman nya dan musuh-musuhnya, susunan sosialnya, artefaknya, dan lain sebagainya. Sistem-sistem ini akan mengatur konsepsi lokal akan keadilan, kewiraan, kesopanan, dan keindahan. Posisi pandangan ini dapat diekspresikan melalui cara ini: Sistem norma yang mengatur perilaku manusia adalah beragam dari satu budaya dengan budaya yang lain, dan tidak terdapat landasan rasional untuk menganggap bahwa satu sistem lebih baik dari sistem yang lainnya kecuali dari sudut pandang sistem tersebut. Seperti contoh, norma-norma yang mengatur kehidupan keluarga – tanggung jawab apa yang dimiliki oleh orang tua terhadap anaknya, cakupan apa yang berlaku pada kebebasan generasi muda, bentuk-bentuk dominasi apa yang diterima antara laki-laki dan perempuan, dan lain-lain. Kita sangat mengenal bahwa struktur keluarga adalah hal yang beragam dari satu budaya dengan budaya yang lain; di beberapa masyarakat patriarkis, pembuatan keputusan terkonsentrasi pada kaum laki-laki dewasa, namun di kelompok masyarakat lainnya, perempuanlah yang memiiki otoritas utama. Di beberapa budaya ada yang berpandangan bahwa anak-anak harus diberikan cakupan pilihan yang luas, dan di beberapa budaya lainnya, anak-anak harus mengikuti harapan orang tua mereka.

 

Bagian dari tesis ini bersifat tak tergugat. Norma-norma yang menentukan kehidupan keseharian – hubungan keluarga, hubungan masyarakat-negara, hubungan ekonomi, dan lain sebagainya – adalah hal yang beragam di seluruh budaya di dunia. Hal ini menciptakan fakta bahwa terdapat variasi yang luas di dalam norma sosial. Pertanyaan yang paling sulit adalah; apakah seluruh norma beragam di dalam cara ini. Beberapa pihak ada yang beranggapan bahwa terdapat beberapa prinsip-prinsip normatif yang bersifat universal – baik hal ini disebabkan oleh ciri yang umum dari kondisi manusia ataupun karena manusia memiliki riwayat evolusi yang sama. Teori-teori ini merupakan bentuk naturalisme – yaitu pandangan yang beranggapan bahwa situasi alami dari manusia menentukan setidaknya beberapa prinsip-prinsip moral, teori James Scott tentang ekonomi moral petani merepresentasikan versi teori pertama yang sederhana. Scott beranggapan bahwa kondisi dan situasi produksi petana di berabagai lingkungan budaya memunculkan penekanan etika akan hak seluruh anggota masyarakatnya untuk memiliki kehidupan di dalam tatanan sosial budaya saat ini (Scott 1976). Etika ini dapat dijelaskan sebagai rasa keadilan. Scott beranggapan tentang etika subsistens (penghidupan), “Walaupun keinginan untuk keamanan penghidupan muncul sebagai kebutuhan petani – ekonomi petani – namun hal ini secara sosial dialami sebagai pola hak-hak dan harapan moral …. Etika subsistens kemudian berakar di dalam praktek-praktek ekonomi dan perubahan sosial di dalam masyarakat petani. Sebagai prinsip moral, yaitu hak untuk menjalankan penghidupan, saya meyakini bahwa saya dapat menunjukan bahwa hal tersebut akan membentuk standar untuk menentang keuntungan yang diraih oleh tuan tanah.” (Scott, 1976:6-7).

 

Teori Scott tentang etika subsistens memiliki dua asumsi yang berkaitan: pertama, bahwa terdapat rasa keadilan bersama yang dialami oleh para anggota masyarakat petani dan kedua, bahwa etika ini disebabkan oleh “kondisi dan situasi eksistensial” bersama di masyarakat petani di seluruh dunia. Para petani merupakan subjek bagi pihak yang lebih memiliki kekuasaan tinggi (tuan tanah, petugas pajak, dll), mereka hidup dengan dengan batas subsistens (penghidupan untuk menyambung hidup), dan etika subsistens merupakan skema normatif alami bagi individu di dalam kondisi ini untuk berkembang. Secara jelas, kesimpulan terakhir didukung oleh fungsionalis yang berpandangan bahwa sistem normatif yang memuaskan kebutuhan sosial yang penting akan cenderung berkembang. Seperti yang kita lihat pada Bab 5, hal ini memunculkan asumsi yang sama kecuali kita dapat menetapkan mekanisme sosial yang secara masuk akal memungkinkan keadaan ini. Namun, dalam kasus ini terdapat satu mekanisme yang memungkinkan di dalam bentuk perilaku yang didasari oleh kepentingan-diri petani: Ketika mereka memformulasikan norma-norma untuk disebarkan di dalam kehidupan keseharian mereka, mereka akan cenderung untuk mengadopsi norma-norma yang meningkatkan keamanan dan kesejahteraan mereka, dan etika subsistens dapat memfasilitasinya.

 

Umpamakan bahwa kita menerima cerita ini tentang asal akan etika subsistens. Apa yang dimunculkan oleh teori ini tentang relativisme normatif? Dengan cara yang kecil, hal ini mempersempit cakupan relativisme dengan menunjukan fakta bahwa terdapa skema-skema normatif yang mengkarakterisasi kelas budaya secara utuh. Apa yang tidak dimunculkan adalah landasan rasional untuk skema normatif kuasi-universal. Penemuan fakta bahwa masyarakat petani yang memiliki sistem moral yang mengizinkan mereka untuk menyalahkan tuan tanah yang menolak untuk memberikan keringanan sewa di masa krisis tidak menunjukan bahwa hal ini adalah sesuatu yang salah bagi mereka untuk memiliki kecenderungan perilaku seperti ini; hal ini hanya menunjukan bahwa banyak budaya yang beranggapan sama.

 

Mempertimbangkan kemungkinan kedua yang dapat menjawab relativisme moral, yaitu yang lebih mendukung riwayat evolusi manusia dari pada hanya berfokus pada kndisi kehidupan sosial manusia. Hal ini didukung oleh para ahli sosial-biologi yang berharap dapat menunjukan setidaknya beberapa psikologi moral manusia yang memiliki latar belakang evolusi. Disini, pendekatan umum adalah untuk membuat suatu analogi antara perilaku moral dan bentuk-bentuk perilaku manusia lainnya yang didasari oleh riwayat evolusi – seperti contohnya kapasitas kemampuan kognitif. Fakta yang menyatakan bahwa manusia mampu untuk membedakan ribuan wajah manusia merupakan contoh kemampuan kognitif yang secara masuk akal berkembang di dalam repertoar kognisi manusia karena dampak positif nya di dalam keberhasilan reproduksi. Yaitu, terdapat landasan neurofisiologis untuk kemampuan ini; adalah hal yang “alami” bahwa manusia mampu untuk membedakan ribuan wajah manusia yang berbeda-beda.

 

Para ahli sosiobiologi berusaha untuk memiliki analisis yang sama akan kompetensi etika. Perilaku manusia menunjukan regularitas yang berpola pada norma-norma dasar tertentu – contohnya; rasa benci terhadap perilaku kekerasan pada anak. (Perilaku ini dapat diringkaskan melalui prinsip “adalah hal yang salah untuk menyakit anak kecil”). Para ahli sosiobiologi saat ini berpendapat bahwa terdapat landasan genetik atas regularitas perilaku ini; mereka mengacu pada keuntungan reprodusi yang diberikan pada orang tua yang menciptakan batasan ini dibandingan dengan orang tua yang tidak. Saya tidak akan berusaha untuk mengevaluasi kasus empirik untuk kesimpulan ini (Philip Kitcher menggunakan pendapat ini untuk menangkal kritik [Kitcher, 1985:417-23]). Namun dua observasi pun ada yang menonjol. Pertama, hal ini muncul dengan jelas bahwa yang terbaik yang kita dapat harapkan untuk pendapat ini adalah pentingnya kapasitas/ kemampuan untuk perilaku moral – bukan serangkaian prinsip-prinsip moral ataupun rasa kebenjian terhadap suatu tindakan/ fenomena. Dan kedua, jika hal ini dapat dibuktikan – yang dimana memang tidak mungkin – bahwa seluruh manusia secara genetik memiliki rasa aversi/ benci akan tindakan kekerasan pada anak, hal ini akan mengurangi cakupan relativisme budaya dari sebagian kecil ciri perilaku normatif manusia yang jelas.

 

Dengan demikian, kita telah berkonsentrasi pada pertanyaan akan apakah terdapat keumuman normatif yang ditemukan di berbagai budaya. Dan saya telah berpendapat bahwa, jika memang ada, maka keumuman normatif ini adalah suatu hal yang jarang dan hal ini tidak akan memberikan informasi yang mendalam tentang prinsip-prinsip moral manusia. Khususnya, hal ini tidak akan menunjukan bahwa universal atau keumuman moral adalah hal yang valid. Mari kita berpindah ke pertanyaan tentang relativisme standar moral. Ini merupakan pendapat atau kajian yang bersifat filosofis – bukanlah permasalahan ilmu sosial. Pendapat ini secara langsung bersifat sejalan dengan permasalahan rasionalitas standar keyakinan di dalam bagian sebelumnya. Bentuk relativisme moral ada pada klaim yang menyatakan bahwa terdapat yang namanya kebenaran moral. Terdapat beragam sistem moral yang tidak kompatibel atau inkomensurabel, dan tidak ada landasan rasional untuk mengklaim bahwa satu sistem moral lebih unggul dari sistem moral lainnya.

 

Gilbert Harman menawarkan suatu penginterpretasian akan keyakinan moral pada kajian ini. Beliau berpendapat bahwa tanggung jawab moral dibentuk melalui kesepakatan implisit diantara anggota kelompok sosial (Harman, 1975). Hal ini merepresentasikan interpretasi para konvensionalis: Prinsip-prinsip moral mirip dengan konvensi atau kebiasaan sosial yang mengatur perilaku individu melalui penerimaan individu akan norma ini, dengan pemahaman bahwa hampir dari seluruh anggota kelompok sosial yang lain juga memiliki kecenderungan yang sama. Dalam hal ini, persyaratan moral yang harus dianut untuk bertindak terhadap orang lain berasal dari fakta bahwa prinsip ini muncul di dalam tindakan para anggota suatu kelompok sosial; di masyarakat-masyarakat yang dimana norma ini tidak secara konvensional dihargai, maka tidak ada tanggungjawab atau obligasi yang serupa. (J.L. Mackie [1977] memiliki pendapat yang sama di dalam bukunya yang berjudul Ethics: Inventing Right and Wrong). Menurut pendapat ini, prinsip-prinsip moral tidak memiliki landasan namun berperan sebagai fungsi instrumen di dalam kehidupan sosial dengan berdasarkan pada faedah sosial.

 

Pandangan-pandangan ini merepresentasikan berbagai bentuk relativisme moral filosofis, yaitu suatu posisi yang memperoleh dukungan dari paham antipondasionalisme di dunia filsafat pada abad ke-20. Banyak dari ahli filsafat yang setuju bahwa terdapat landasan mutlak akan keyakinan moral; dimana sistem nilai diwariskan di dalam suatu budaya moral, dan teori moral berperan untuk mengartikulasi dan merasionalisasikan nilai-nilai spesifik budaya ini. Mari kita pertimbangkan seorang ahli filsafat yang mencoba untuk mempersempit rentang perdebatan tentang prinsip-prinsip moral. Di dalam bukunya yang berjudul Theory of Justice (1971), John Rawls mencoba menunjukan bahwa prinsip-prinsip beliau tentang keadilan adalah lebih benar dibandingkan dengan prinsip-prinsip lain (utilitarianisme dan perfeksionisme), pada landasan bahwa individu yang rasional akan memilih prinsip-prinsip nya daripada memilih prinsip-prinsip yang lain di dalam situasi yang memungkinkan untuk memilih. Rawls menyadari bahwa hal ini bukanlah landasan atau justifikasi mutlak untuk teori keadilannya; mungkin terdapat juga prinsip-prinisp yang belum terformulasikan yang akan dia pilih, dan, yang lebih fundamental lagi, seseorang dapat menolak ide bahwa prinsip-prinsip terbaik adalah prinsip-prinsip yang akan dipilih oleh individu dengan pemikiran rasional. Tetap saja, Rawls memberikan dukungan untuk teori moral yang memberikan peran pada argumen yang rasional. Namun sangatlah penting, bahwa beliau telah melemahkan klaim teori ini di karya-karya beliau selanjutnya. Di dalam bukunya yang berjudul “Justice As Fariness: Political Not Metaphysical” (1985), beliau menyimpulkan bahwa argumentasi moral berperan untuk menciptakan konsensus di dalam budaya moral masyarakat dan kita tidak memiliki alasan untuk menganggap bahwa ketidaksetujuan atau perbedaan moral di seluruh budaya dapat dipahami dan diuraikan.

 

UNIVERSAL/ KEUMUMAN

 

Apakah terdapat keumuman di seluruh budaya manusia yang ada di muka bumi? Sebelum kita dapat menjawab pertanyaan ini, kita pertama harus sedikit mengklarifikasinya. Terdapat beberapa cara dimana suatu karakteristik dapat dianggap sebagai keumuman manusia. Kita dapat menggunakan konsep ini untuk mengacu penggeneralisasian universal tentang seluruh umat manusia – sebagai contohnya – “semua manusia dapat merasakan rasa sakit.” Kita dapat mengidentifikasi ciri-ciri umum tertentu pada situasi manusia sebagai keumuman – seperti contohnya, “semua manusia membutuhkan makanan dan minuman.” Atau kita dapat mengidentifikasi kemampuan umum tertentu sebagai universal/ keumuman manusia – seperti contohnya, “manusia dapat menguasai aritmatika.” Ciri yang penting akan kemampuan adalah bahwa hal tersebut merepresentasikan suatu potensi bukan lah kompetensi aktual; untuk kemampuan yang teraktualisasikan, beberapa interaksi yang tepat dengan lingkungan pun dibutuhkan. Mari kita ambil sebuah contoh yang jelas: pengakuisisian dan penggunaan bahasa manusia. Para ahli linguistik telah menjelaskan bahwa bahasa manusia tergantung pada kemampuan kognitif yang luas untuk menciptakan dan menggunakan bahasa. Dengan demikian kemampuan untuk menggunakan bahasa adalah merupakan keumuman manusia di dalam indera ketiga; satu ciri dari spesies manusia adalah bahwa manusia biasanya memiliki kapasitas atau kemampuan ini. Namun karena beberapa alasan, penggunaan bahasa bukanlah keumuman yang satu-satunya khusus pada spesies manusia. Karena, terdapat beberapa manusia secara individu yang memiliki kekurangan di dalam kemampuan kognitif untuk menggunakan bahasa.

 

Kedua, terdapat individu-individu yang memiliki kemampuan namun ditolak oleh lingkungan dimana kemampuan ini dikembangkan; mereka terisolasi dari para pengguna bahasa dewasa selama tahun-tahun akuisisi bahasa. Dan terakhir, adalah mungkin (walaupun saya tidak begitu mengetahuinya) bagi tatanan sosial untuk secara sistematis terganggu oleh akuisisi bahasa dengan cara yang mengakibatkan kurangnya kompetensi bahasa di dalam sebuah populasi. Tidak ada dari pengecualian ini yang menunjukan bahwa kemampuan berbahasa bukanlah suatu keumuman manusia, namun pengecualian-pengecualian ini hanya menunjukan bahwa keumuman adalah kemampuan yang membutuhkan isyarat lingkungan untuk diaktifkan dan dikembangkan. Contoh ini mengilustrasikan tiap definisi keumuman manusia diatas, namun yang paling utama nya adalah definisi “kemampuan”. Keumuman yang lebih khusus – “semua manusia dewasa menggunakan bahasa” – merupakan hal yang tidak salah, dan kebenaran akan keumuman ini berasal dari fakta bahwa semua manusia memiliki kemampuan untuk menggunakan bahasa (keumuman kemampuan) dan fakta bahwa seluruh manusia lahir di dalam masyarakat yang menggunakan bahasa (keumuman yang situasional).

 

Lalu mari kita pertimbangkan, apakah memang terdapat apa yang diistilahkan sebagai keumuman manusia. Dunia biologi pun telah menciptakan satu kelas untuk keumuman ini. Pada tingkatan yang paling mendasar, keumuman manusia adalah bahwa manusia membutuhkan makanan dan tempat tinggal. Begitu juga, terdapat pola lintas budaya akan perilaku seksual dan perilaku reproduksi yang muncul didasarkan di dalam riwayat evolusi spesies manusia (walaupun Michael Foucault beranggapan pada karakter budaya yang mendalam akan seksualitas [Foucault, 1978]). Pada tingkatan yang lebih rumit lagi, ilmu kognitif telah menjelaskan bahwa unsur-unsur yang utama di dalam sistem kognisi manusia secara genetik dapat dideterminasi. Sistem perseptual, pemahaman pola, memori, kompetensi bahasa, kemampuan penggunaan alat, dan kemampuan-kemampuan kognisi lainnya muncul untuk memiliki landasan yang kuat di dalam ilmu neuropsikologi, dan hal ini dijelaskan pada landasan riwayat evolusi organisme manusia. Semua manusia menggunalan bahasa alam, dan para ahli linguistik dari mulai Noam Chomsky telah berupaya untuk mengidentifikasi keumuman linguistik yang mendasari keragaman bahasa manusia.

 

Pada Bab 3 dan 7, dikatakan bahwa terdapat ciri inti dari penalaran praktikal yang merupakan keumuman di semua budaya. (Temuan ini mendasari pemanfaatan pilihan rasional dan kerangka kaum materialis untuk melakukan penjelasan). Kita dapat berspekulasi bahwa unsur-unsur dan struktur kemampuan manusia untuk mempertimbangkan pilihan merupakan salah satu keumuman manusia dengan riwayat evolusi yang dimilikinya. Kemampuan ini bergantung pada berbagai kemampuan, kognitif dan praktikal. Pada sisi kognisi, kita dapat mengidentifikasi kemampuan untuk memformulasikan keyakinan tentang dunia, untuk menghipotesa tentang hubungan kausalitas, atau untuk membuat prediksi tentang kondisi dunia di masa mendatang. Dan pada sisi praktikal, terdapat kemampuan untuk berfikir tentang tujuan individu, kemampuan moral untuk mempertimbangkan apakan tindakan tertentu sesuai atau tidak dengan norma dan nilai yang telah ditentukan, dan sistem rasa dan emosi yang kompleks yang mendasari tindakan di dalam berbagai situasi sosial yang beragam. Rasionalitas manusia dan emosi manusia merupakan kekhususan spesies manusia. Fitur-fitur ini membutuhkan untuk dipahami sebagai sumber yang tersedia bagi umat manusia yang digunakan dengan cara yang berbeda-beda di berbagai budaya yang ada. Disini, kita coba analogikan dengan bahasa: Semua manusia memiliki kemampuan (dan neuropsikologi untuk mendukung kemampuan) untuk menggunakan bahasa manusia. Namun apakah bahasa yang digunakan tergantung sepenuhnya pada komunitas bahasa dimana mereka lahir atau tidak. Dengan demikian bahasa manusia menunjukan unsur-unsur universalitas atau keumuman dan spesifisitas kultural. Keberagaman di tingkat fonologi, semantik, dan sintaks tidak bertentangan dengan keberadaan kemampuan manusia yang bersifat universal untuk menggunakan bahasa manusia. Terlebih lagi, hal ini bukanlah suatu universal atau keumuman yang hampa namun hal yang membedakan spesies manusia dengan spesies lain (mungkin bahkan spesies yang lain yang memiliki tingkat intelejensia).

 

Pandangan ini memandang bahwa terdapat kemampuan yang penting, kognitif dan praktikal, yang mendukung seluruh perilaku dan merepresentasikan keumuman manusia. Apakah terdapat skema substantif yang bersifat universal di seluruh budaya manusia? Khususnya, apakah terdapat ciri-ciri skema konseptual manusia, standar penalaran, standar tindakan yang bersifat umum diseluruh budaya yang ada? Di dalam pendapat akan relativisme konseptual, adalah sulit untuk menghindari kesimpulan bahwa terdapat susunan inti dari fitur-fitur konseptual yang mendasari seluruh kognisi manusia. Konsep-konsep pun dibutuhkan untuk membagi pengalaman empiris kedalam objek-objek yang terpisah, pengatribusian sifat-sifat kedalam objek, lokasi objek di dalam ruang dan waktu, dan kerangka sebab dan akibat, semuanya merupakan hal yang tidak bisa dihindari di dalam pengalaman manusia. Dengan hal ini, kita dapat menambahkan konsep-konsep yang dibutuhkan untuk menganalisa fitur-fitur yang umum di dalam pengalaman manusia – warna, suhu, rasa, aroma, dan persepsi ketiga dimensian akan pengalaman visual. Hal ini bukan berarti bahwa seluruh konsep adalah sesuatu yang bersifat seragam – suatu pandangan yang dapat dibantah oleh penelitian budaya lain. Menurut hipotesis Whorf – bahwa terdapat keragaman bahkan pada tingkatan ontologi yang paling mendasar pun (cara dimana dunia dibagi-bagi menjadi  bagian-bagian yang lebih kecil).

 

Ketika kita mengalihkan perhatian kita pada kerangka keyakinan, kita akan mencapai kesimpulan yang serupa: Terdapat susunan inti dari standar empiris dan penalaran kausal yang muncul di seluruh budaya yang ada. Kemampuan untuk memahami bahwa ikan dan burung bermigrasi secara musiman dan mungkin dapat ditemukan di beberapa musim dan tidak dapat ditemukan di musim lainnya, kemampuan untuk memahami sifat dari berbagai biji-bijian dengan tujuan untuk diaplikasikan di dunia pertanian, kemampuan untuk mencatat pergerakan yang teratur dari bintang dan planet, penelitian sifat-sifat medisinal pada tanaman dan rempah-rempah – yang semua kapasitas/ kemampuan ini tergantung pada kemampuan untuk mengobservasi lingkungan dan memunculkan hipotesis serta generalisasi tentang regularitas empiris. Satu lagi, klaim akan relativitas budaya pun muncul secara dilebih-lebihkan (walaupun terdapat variabilitas/ keberagaman budaya yang luas di dalam sitem keyakinan).

 

Terakhir, ketika kita berfokus ke relativisme normatif, kita akan menemukan bahwa posisi kaum relativis akan terlihat lebih kuat namun tidak sepenuhnya dapat meyakinkan kita. Keberagaman sistem normatif manusia adalah sesuatu yang luas; dan juga secara bersamaan, norma-norma manusia diorientasikan terhadap fitur-fitur sinyal dari situasi eksistensial manusia – ciri khas akan rasa sakit, pentingnya pemenuhan kebutuhan manusia, dan intensitas hubungan orang tua dengan anak. Ciri-ciri ini ditujukan secara berbeda di dalam budaya-budaya yang berbeda-beda pula, namun keberadaannya merupakan hal yang tidak bisa dibantah.

 

Dengan demikian, ilmu antropologi memberikan sebuah pesan bagi kita untuk berfokus pada keberagaman manusia, namun hal ini tidaklah dapat dipungkiri jika disiplin ini dapat mengkomprehensi relativisme budaya secara radikal. Kesimpulan yang tepat dapat muncul seperti kalimat ini: Terdapat keseragaman dan keberagaman di seluruh budaya manusia yang ada di tingkat konsep, keyakinan, dan norma. Keberagaman menunjukan kreatifitas kemampuan manusia untuk mengembangkan instrumen budaya dan underdeterminasi budaya melalui kebutuhan manusia. Keseragaman mencerminkan tetapan biologis di dalam kehidupan manusia dan ciri-ciri umum situasi eksistensial manusia. Terakhir, fakta bahwa manusia memiliki kemampuan refleksi, pemikiran deliberatif – filsafat, teori ilmiah, keyakinan agama – yang memungkinkan bahwa universal/ keumuman dapat muncul dari penggunaan akal/ nalar manusia.

Continue Reading

CRITICAL THEORY, CONTRUCTIVISM DALAM KONTEKS ONTOLOGY, EPISTEMOLOGY DALAM METODE PENELITIAN

Critical theory : memberikan pemahaman ilmu sosial sebagai cara pandang melalui proses secara kritis, yakni berusaha mengungkap “the real structures” dibalik ketidakpastian “false needs” yang ada didunia, tujuannya adalah membentuk kesadaran manusia untuk memperbaiki dan mengubah kehidupan manusia. Sehingga pada akhirnya benar yang kemukakan oleh Bailey (1998, Hal. 32 -33) yang membedakan antara paradigm dengan metode penelitian :

“By method we simply mean the research technique or tool use tigather data… By methodology we mean the philosophy or the research process. This include the assumtions and value that serve as rationale for research and the standards or criteria the researcher uses for interpreting data and reaching conclutions”

                               Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam metode penelitian tidak terlepas dari paradigm tertentu, termasuk didalamnya adalah critical theory terhadap pembahasan dalam penelitian. Dalam penelitian yang saya lakukan yakni mencoba memberi ulasan pembahasan seperti yang tercermin menurut pendapat Earl Babbie dalam buku “The Practice of Social Research” (2001, Hal. 122) menyatakan, “A paradigm is fundamental model or frame of reference we use to organize our observations and reasoning.” Atas dasar itu, saya mengatakan bahwa paradigma adalah model atau kerangka berpikir ilmiah yang menjadi rujukan dalam penelitian, termasuk didalamnya adalah critical theory yang mencoba memberikan pemahaman secara komprehensif dengan melakukan kritik terhadap kondisi yang telah ada dengan membandingkan dengan teori-teori yang telah ada sebelumnya dihubungkan dengan kondisi sosiologis yang ada pada masa kekikian.

 Constructivism : yakni merupakan cara pandang sistematis terhadap social meaning ful action melalui pengamatan langsung dan rinci terhadap pelaku sosial dalam keseharian, yakni bertujuan untuk memahami dan menafsirkan bagaimana pelaku sosial tersebut dapat mempertahankan perilaku sosialnya sesuai dengan nilai dasar dan cita-cita luhur kelompok sosial mereka. Sehingga dengan demikian Earl Babbie dalam buku “The Practice of Social Research” (2001, Hal. 124) menyatakan, “the basic belief system or worldwide view that guides the investigator, not only in choices of method but in ontologically and epistemologically fundamental ways.

Cara pandang yang demikian dibutuhkan agar dapat memberikan pemahaman ulang terhadap cara pandang yang memenuhi nilai-nilai kesesuaian dengan tujuan awal cita-cita luhur kelompok sosial sehingga tidak mudah hilang seiring dengan perkembangan zaman serta mampu diaktualisasikan dalam kondisi kekinian.

 

Pembuktiannya dalam konteks Ontology, Epistemology dan Metodologi

Perbedaan penggunaan paradigm juga dapat membedakan dalam konteks dimensi baik Ontology, Epistemology dan Metodologi. Secara sederhana George Gadamer dalam bukunya truth and method (2011, Hal. 12 – 13) membedakan ketiga dimensi tersebut melalui Pencarian terhadap jiwa dan hakikat dari Undang-Undang Dasar 1945 maka dapat dilihat dalam tiga dimensi sekaligus, yakni dimensi aksilogi, epistimologi dan onlogi. Secara sederhana perbedaan dimensi tersebut dapat diurai melalui pemahaman berikut :

  1. Epistimologis : berkaitan asumsi mengenai hubungan antara peneliti dengan yang diteliti dalam proses mengetahui mengetahui mengetahui mengenai objek yang diteliti.
  2. Ontologis : berkaitan dengan asumsi mengenai objek atau realitas sosial yang akan diteliti.
  3. Metodologis : berisi asumsi terhadap bagaimana cara memperoleh pengetahuan mengenai suatu objek pengetahuan.
Continue Reading

“Menjadi orang penting itu baik Tapi menjadi orang baik jauh lebih penting” (PUISI)

Kenali diri anda, apakah termasuk orang penting ataukah orang yang baik. Tentunya semua orang mengiginkan menjadi orang penting, akan tetapi tidak semua orang ingin menjadi orang baik.

            Ada yang mengatakan menjadi orang penting itu sulit dan mahal, tapi apakah menjadi orang baik sukit dan mahal juga? Tentunya itu tergantung persepsi dari kalian semua!

            Anda kuliah, beraktifitas, berorganisasi dan lain sebagainya, tentunya memiliki tujuan… Ada yang ingin mencari ilmu, ada yang ingin jadi ini, itu dan lain sebagainya. Tapi pernahkan anda berfikir kalau tujuan anda tidak tercapai.

            Jangan menyerah dan pesimis, semua punya kelebihan dan kekuarangan, optimis dan berusaha merupakan kunci kesuksesan. Sekarang merupakan proses, proses untuk ke arah yang lebih baik.

            Belajar dari kesalahan adalah keharusan, siapkan diri untuk melangkah kea rah kebaikan, inti semuanya adalah belajar. Jangan pernah mengeluh dan putus asa. Semua pasti ada hikmahnya.

            Jika anda menanam kebaikan hari ini, tentunya esok akan menuai kebaikan pula. Dan jika anda hari ini masih belum memulai dari suatu kebaikan, maka mulai hari ini dan detik ini mulailah dengan kebaikan.

Continue Reading

PERAN LOGIKA DALAM MEMAHAMI HUKUM

Terdapat pemahaman yang salah dari kesekian banyak Mahasiswa Fakultas Hukum mengenai pola pemikiran yang digunakan. Mengedepankan logika merupakan konsumsi sehari-hari dalam menafsirkan hukum. Padahal logika tidak selamanya digunakan dalam hukum, malah justru logika akan mengantarkan Mahasiswa Hukum kepada suatu kesesatan. Karena hukum merupakan logika, tapi jangan dilogikakan.

Ada salah satu dalil yang berpengaruh, bahwa suatu argumentasi bermakna hanya dibangun atas dasar logika. Dengan kata lain agar suatu keputusan/argumentasi dapat diterima apabila didasarkan pada proses nalar atau logika. Secara sepintas dapat dibenarkan, akan tetapi hukum bukan logika dan tidak selamanya dapat dilogikakan.

Permasalahan sekarang yang muncul dari dalam pikiran Mahasiswa (khususnya Fakultas Hukum) adalah bahwa dalam memahami hukum adalah hanya dengan logika tanpa didasari oleh konsep dan teori (baik berupa peraturan perundang-undangan ataupun pendapat pakar). Padahal yang perlu diingat adalah bahwa tidak semua hukum dapat “DILOGIKAKAN”. Artinya untuk mendukung “kebenaran” logika/nalar itu perlu didasari atas konsep atau teori yang jelas dan sistematis.

Banyak kemudian Mahasiswa yang belum pernah memahami dan mengkaji dan membaca tentang teori hukum akan tetapi dengan menggunakan logika yang dimilikinya kemudian mengemukakan pendapatnya dengan penuh percaya diri seakan apa yang dikatakan merupakan argumentasi yang paling benar. Dengan tanpa menafikan ini, hal itu telah merebak dan menjadi Virus Akut di Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo.

Misal : dalam BW (KUH Perdata) Pasal 1865 beban pembuktian suatu gugatan adalah ada pada penggugat, tetapi dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) Pasal 107 Hakimlah yang menentukan beban pembuktian.

Jika dilogikakan, seakan-akan ada 2 (dua) norma hukum yang berseberangan (conflic of norm), akan tetapi jika dianalisis secara mendalam, maka sebenarnya itu adalah ada pada koridor atau lapangan hukum yag berbeda, yakni hukum publik dan hukum privat. Maka untuk itu perlu adanya logika yang didasari atas konsep/tepri yang jelas untuk menghindari sebuah Fallacy (kesesatan) dalam memahami hukum.

Untuk memiliki “logika yang runtut dan mendasar” agar menghasilkan sebuah argumen yang benar-benar “argumentasi hukum”, maka perlu diketahui tentang model logika, yakni logika silogistis, proposisi dan predikat. Dimana untuk mengetahui ini perlu di budayakan untuk membaca, mengkaji dan menganalisis tentang permasalahan hukum agar diperoleh konsep yang jelas dan mendasar.

Apakah anda seperti itu ??? tentunya sudah saatnya anda berubah mulai saat ini, penting untuk kalian memperbanyak membaca referensi untuk kemudian melontarkan argumentasi hukum, sehingga argumen anda terdapat dasar yang jelas, bukan atas dasar nalar dan peran logika dalam menjawab permasalahan hukum.

Ingat pepatah, Tantum Valet Auctoritas, Quantum Valet Argumentatio, artinya (nilai wibawa seseorang setinggi nilai argumentasinya).

Continue Reading

PERDEBATAN TEORI HUKUM

TEORI HUKUM

(Mengenal, mengingat, mengumpulkan dan membuka kembali)

Apa itu hukum? Beberapa pemikir telah menempatkan pertanyaan ini sebagai kerangka filosofis. Mungkin kita akan saling berbeda pendapat menafsirkan hukum. Jauh sebelum anda, memang tidak terdapat keseragaman dalam mengartikan hukum, karena dilatarbelakangi oleh pendidikan dan kehidupan sehari-hari yang berbeda pula. Namun paling tidak yang harus diketahui adalah kata hukum berasal dari bahasa Arab, asal katanya “Hukm”, kata jama’nya “Ahkam” yang berarti putusan (judgement, verdice, decision), ketetapan (privition), perintah (command), pemerintahan (goverment) dan kekuasaan (authority, power). Dari sedikit pemaparan diatas kita dapat mengambil makna dari hukum sesuai sudut pandang kita.

Lalu apa fungsi dan tujuan dari hukum? Secara umum fungsi hukum dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) bagian, Pertama: sebagai standart of conduc yakni sebagai sandaran atau ukuran tingkah laku yang harus ditaati oleh setiap orang dalam bertindak dan melakukan hubungan dengan yang lain, Kedua: sebagai as a tool of social engeneering, yakni sebagai sarana atau alat untuk mengubah masyarakat kearah yang lebih baik, Ketiga: sebagai a tool of social control, yakni sebagai alat mengontrol tingkah laku dan perbuatan manusia agar mereka tidak melakukan perbuatan yang melawan norma hukum, agama dan susila, Keempat: sebagai as a facility on of human interaction, yakni menciptakan perubahan masyarakat dengan cara memperlancar proses interaksi sosial dan diharapkan menjadi pendorong untuk menimbulkan perubahan dalam kehidupan masyarakat. Sedangkan tujuan hukum adalah, Pertama: The Goal of Promoting morality, artinya hukum ditujukan untuk menegakkan moral, Kedua: The Goal of Reflecting Custom, adalah hukum bertujuan untuk merefleksikan kebiasaan,  Ketiga: The Goal of Social Welfare, yakni hukum ditujukan demi kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat, Keempat: The Goal of Serving Power, adalah bertujuan untuk melayani kekuasaan.

Seperti apakah bentuk dan corak hukum itu? Dari segi terbentuknya, hukum dibedakan menjadi dua bagian, Pertama: Hukum Tertulis, yaitu aturan-aturan hukum yang ditulis dalam suatu peraturan perundang-undangan oleh pejabat yang berwenang, hukum tertulis ini terdiri dari dua bagian, yakni Hukum Tertulis Terkodifikasi (disusun dalam sebuah kitab secara sistematik) dan Hukum Tertulis tidak Terkodifikasi (sebagai undang-undang biasa). Kedua: Hukum Tidak Tertulis yaitu aturan-aturan hukum yang berlaku sebagai hukum yang semula merupakan kebiasaan-kebiasaan dan hukum kebiasaan. Sedangkan corak hukum dapat ditempuh melalui, Pertama: Unifikasi, yaitu berlakunya sistem hukum bagi setiap orang dalam kesatuan kelompok sosial atau suatu negara, Kedua: Dualistis, adalah berlakunya 2 (dua) sistem hukum bagi 2 (dua) kelompok sosial atau suatu negara, Ketiga: Pluralistis, adalah berlakunya bermacam-macam sistem hukum bagi kelompok-kelompok sosial yang berbeda atau suatu negara.

Dari manakah sumber-sumber hukum itu? Secara umum sumber hukum terdapat 5 (lima), Pertama: sumber hukum yang berupa Peraturan Perundang-Undangan, dapat berupa UUD 1945, UU/Perpu (peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang), Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah dan lain-lain, Kedua: Yurisprudensi, adalah putusan hakim yang memperoleh kekuatan hukum tetap, Ketiga: Traktat, yakni perjanjian yang dilakukan baik bilateral maupun multiteral, Keempat: Kebiasaan, adalah peraturan-peraturan yang walaupun tidak ditetapkan oleh pemerintah, tetapi ditaati oleh seluruh rakyat, karena mereka merasa yakin bahwa peraturan itu berlaku sebagai hukum, Kelima: Doktrin, adalah pendapat ahli/pakar hukum yang sudah berpengalaman serta telah diakui keilmuannya, sehingga dapat dijadikan rujukan pendapat dan argumennya.

Asas apa saja yang ada dalam perundang-undangan? Pertama: Asas Retroaktif adalah Undang-Undang tidak boleh berlaku surut seperti dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP,  Kedua: Lex posteriori derogat lex priori, artinya bahwa Undang-Undang yang baru meniadakan Undang-Undnag lama yang mengatur materi yang sama, Ketiga: Lex specialis derogat legi generali, adalah Undang-Undang yang khusus lebih diutamakan daripada Undang-Undang yang umum.

Apa saja sistem hukum yang ada di dunia? Sistem hukum merupakan suatu sistem yang meliputi substansi, struktur, dan budaya hukum, dengan kata lain, sistem hukum secara cakupan materi kajian menyangkut legislasi (produk hukum), struktur, dan budaya hukum. Adapun macam-macam sistem hukum yang ada di dunia adalah, Pertama: Sistem Eropa Kontinental (civil law) adalah hukum memperoleh kekuatan hukum mengikat karena duwujudkan dalam suatu “peraturan perundang-undangan” yang tersusun secara sistematik dalam kodifikasi atau kompilasi tertentu dengan tujuan demi kepastian hukum, untuk itu tugas hakim dalam sisten ini hanya sebagai menetapkan dan menafsirkan peraturan perundang-undangan dalam batas-batas kewenangannya, Kedua: Sistem Anglo Saxon (common law) adalah sumber hukum dalam sistem ini ialah “putusan-putusan hakim/pengadilan” melalui putusan-putusan hakim yang sebelumnya, maka prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum dibentuk dan menjadi kaidah yang mengikat umum, sehingga hakim dalam sistem ini tidak hanya sebagai pihak yang bertugas menetapkan dan menafsirkan peraturan perundang-undangan, melainkan berperan sebagai penafsir hukum yang berlaku dan menciptakan prinsip-prinsip hukum baru yang akan menjadi pegangan bagi hakim-hakim lain untuk memutus perkara yang sejenis, Ketiga: Sistem Hukum Adat (adat recht) adalah sitem hukum yang bersumber pada peraturan-peraturan tidak tertulis yang tumbuh berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya, Keempat: Sistem Hukum Islam adalah sistem hukum yang bersumber pada Kitab Suci Al-Qur’an, Sunnah Nabi (Hadist), Ijma’ (Kesepakatan para Ulama’), Qiyas (Analogi dalam mencari sebanyak mungkin persamaan antara dua kejadian).

Apa saja pembidangan lapangan hukum? Pembidangan hukum ada banyak sekali, namun secara umum dapat dibagi menjadi beberapa bagian, yakni: Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi Negara, Hukum Perdata, Hukum Pidana, Hukum Agraria, Hukum Internasional, dan lain-lain.

Continue Reading

TEORI-TEORI KEADILAN DALAM HUKUM

1. a. Hukum pada kenyataannya seringkali ketinggalan dengan perkembangan yang terjadi di masyarakat, untuk itu hukum yang baik adalah hukum yang bersifat dinamis yang mampu mengikuti perkembangan masyarakat. Hal itu senada dengan yang diungkapkan Lawrence M. Friedman[1] mengemukakan bahwa dalam kaitannya dengan perubahan hukum maka perubahan itu dapat terjadi pada tiga unsure yang dominan yakni pertama, struktur hukum adalah pola yang menunjukkan tentang bagaimana hukum itu dijalankan menurut ketentuan-ketentuan formalnya, kedua, substansi hukum adalah peraturan-peraturan yang dipakai oleh para pelaku hukum, dan ketiga, adalah kultur hukum adalah yang berhubungan dengan kebiasaan dalam penyelesaian perkara hukum. Karena tidak mungkin hukum dapat dipahami secara matematis, sehingga membutuhkan konsep sosiologi hukum untuk menjawabnya[2]. Untuk itu diharapkan perkembangan masyarakat juga dibarengi dengan perkembangan hukum yang memenuhi ketiga unsusr hukum yang telah dikemukakan tadi. Sehingga unsur-unsur penegakan hukum dapat dan mampu terpenuhi dengan baik. Unsur-unsur dalam penegakan Hukum itu menurut Sudikno Mertokusumo[3] terdapat tiga, pertama kepastian hukum (Rechtssicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan keadilan. Untuk menciptakan hukum baik dalam pembentukan dan penerapan hukum yang sesuai dengan ketiga unsur diatas, maka dibutuhkan sosiologi hukum, yakni untuk mengetahui latar belakang kemasyarakatan untuk pembentukan pendapat yuridis yang tepat. Untuk itulah peranan pembentukan peraturan perundang-undangan, penegakan hukum oleh aparat penegak hukum membutuhkan sosiologi hukum demi terciptanya ketiga unsur penegakan hukum yang telah dikemukakan diatas tadi. Karena sosiologi hukum yang pertama mempelajari kenyataan dalam masyarakat, baru yang kemudia mempelajari kaidah-kaidah hukum[4].
b. Beberapa teori yang saya ketahui mengenai perubahan hukum dan perubahan social diantaranya :

§  Teori Utilitarisme

Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Jeremy Bentham (1748-183) yakni dengan prinsipnya bahwa manusia akan melakukan tindakan untuk mendapatkan kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan mengurangi penderitaan[5]. Untuk itu Bentham berusaha agar hukum diusahakan sebagai alat untuk ketentraman manusia[6], sehingga baik dan buruknya hukum ditentukan oleh dapatnya diterimanya oleh masyarakat dengan rasa gembira atau tidak. Jadi undang-undang yang baik adalah undang-undang yang memberikan kebahagiaan pada sebagian terbesar masyarakat akan dinilai sebagai undang-undang yang baik[7].

§  Teori Sociological Jurisprudence

Inti pemikiran dari mazhab ini adalah bahwa “Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat”. Teori ini dikemukakan oleh Eugen Ehrlich[8] yang menganjurkan agar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara terdapat keseimbangan antara keinginan untuk mengadakan pembaharuan hukum melalui perundang-undangan dengan kesadaran untuk memeperhatikan kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Kenyataan yang hidup dalam masyarakat sering disebut sebagai “living law and just law” yang merupakan “inner order” yang tercermin dalam kehidupan masyarakat[9]. Sociological Jurisprudence pada kenyataannya lebih menekankan pada masalah evaluasi hukum, kedudukan hukum tertulis dan tidak tertulis, fungs hukum sebagai rekayasa social, pembentukan hukum yang baik dan cara penerapan hukum[10].

§  Teori Pragmatic Legal Realism

Teori ini dikemukakan oleh Rescoe Pound yang menyatakan bahwa hukum dilihat dari fungsinya dapat berperan sebagai alat untuk mengubah masyarakat (law as a tool of social engineering)[11]. Hukum dapat berperan didepan untuk memimpin perubahan dalam kehidupan masyarakat. Hukum dapat pula merubah masyarakat yang tradisional menjadi modern. Untuk itu teori sangat erat kaitannya dengan teori Sociological Jurisprudence, yang mana hukum yang baik adalah hukum yang hidup dalam masyarakat.

§  Teori Hukum Pembangunan

Teori dikembangkan oleh Mochtar Kusumaatmadja[12] bahwa hukum dibuat harus sesuai dengan dan memperhatikan kesadaran hukum masyarakat. Kekuasaan Negara menjadi sangat vital dalam melakukan dorongan legalisasi. Hubungan timbale balik antara hukum dan masyarakat sangat penting dan perlu dilakukan untuk memperoleh kejelasan[13]. Teori ini juga ingin menjelaskan bahwa terdapat hubungan timbale balik antara masyarakat sebagai subjek hukum dengan Negara sebagai perancang pembentuk hukum. Untuk itu baik masyarakat maupun penguasa membutuhkan pendidikan untuk memiliki kesadaran kepentinga Umum[14].

§  Teori Pengayoman

Pencetus teori ini adalah Suhardjo (mantan Menteri Kehakiman) yang mengemukakan bahwa tujuan hukum adalah untuk mengayomi manusia baik secara aktif maupun pasif[15]. Teori ini yang kemudian menjadi slogan dari kementerian Kehakiman yakni pengayoman.

§  Teori Perubahan Sosial

Soerjono Soekanto[16] mengatakan bahwa dalam setiap proses perubahan senantiasa akan dijumpai factor-faktor penyebab terjadinya perubahan, baik dari dalam maupun dari luar. Inilah yang dapat menjadi latar belakang terjadinya perubahan hukum dan masyarakat. Untuk itu masyarakat memiliki peranan yang penting dalam proses perubahan social. Keadaan-keadaan yang dapat menentukan berubahnya masyarakat dan hukum merupakan hal yang lumrah dalam masyarakat yag terus berkembang, untuk itu antisipasi menuju pengendalian hukum sangat dibutuhkan agar tidak terjadi konflik social dalam masyarakat.

§  Teori Sosiologi Fungsional

Teori ini dikembangkan oleh kalangan yang sangat peka terhadap konsdisi lingkungan. Hal sangat kental sekali adalah agama, untuk itu agama merupakan salah satu factor yang ikut mempengaruhi terjadinya perubahan masyarakat dan hukum. Perbedaan pemikiran tentang hukum yang berlaku dalam agama akan mengakibatkan berbedanya alur berfikir tentang hukum[17]. Untuk itu dapat dikatakan bahwa agama juga sangat berpengaruh dalam membentuk pola pikir masyarakat, sehingga disebutlah teori sosiologi fungsional yang merupakan bagian dari teori-teori perubahan hukum.

c. Steven Vago menyatakan bahwa telah mengidentifikasi sejumlah hal dalam masyarakat yang bisa membatasi hukum sebagai instrumen perubahan.[18] Mereka yakni:

§  Faktor Sosial

Faktor ini dicontohkan oleh Steven Vago diantaranya Kelas Sosial, Resistensi Ideologi dan Organisasi Oposisi

§  Faktor Psikologis

Faktor ini diantaranya Kebiasaan (Habit), Motivasi, Keacuhan (Ignorance), Persepsidan Pengembangan Moral.

§  Faktor Budaya

Faktor ini dipengaruhi oleh Fatalisme, Kesukuan/Superioritas Kelompok, Ketidakcocokan dan Tabu (Superstition)

§  Faktor Ekonomi

Faktor ekonomi ini juga termasuk dalam kelompok yang mempengaruhi keterbatasan dalam masyarakat apabila digunakan sebagai instrument of social change.

d. §  Kritik Terhadap Pemikiran Durheim

Pemikiran Durheim banyak dipengaruhi oleh adanya evolusi masyarakat[19]. Masyarakat mengadakan evolusi dikarenakan terdapat persamaan persepsi untuk mengadakan kesepakatan-kesepakatan guna mencetuskan keinginan bersama. Hukum dipandang sebagai keputusan bersama antara masyarakat dan penguasa. Untuk itu hukum harus dibuat berdasarkan pada hak-hak yang dimiliki oleh masyarakat, sehingga pada akhirnya terciptalah hukum. Terdapat kelemahan-kelemahan yang terjadi dalam pemikiran ini, yakni bahwa hukum belum tertata rapi dikarenakan masih hanya sebatas kesepatan-kesepakatan antara penguasa dengan masyarakatnya. Untuk itu dibutuhkan suatu kodifikasi hukum dan administrasi hukum yang baik, sehingga tercipta suautu hukum yang terkonsep dan tertata dengan baik. Untuk itu diharapkan Pemikiran Durheim ini hanya dapat diterapkan pada masyarakat tradisional. Solidaritas sosial[20] menjadi ciri khas dari ajaran ini, sehingga keputusan terbanyaklah yang mampu ditampung untuk kemudian dijadikan hukum yang absolute dalam suatu susunan hukum dalam masyarakat. Sehingga kritikan terhadap hukum ini begitu gencarnya karena tidak mengakomodir kepentingan minoritas yang tidak terkoordinir melalui keputusan suara terbanyak dari suautu peraturan.

§  Kritik Terhadap Pemikiran Max Weber

Max Weber banyak dipengaruhi pemikirannnya dengan kondisi ekonomi capitalis[21], sehingga berpengaruh terhadap substansi pemikirannya yang mengedepankan kaum-kaum penguasa daripada kaum masyarakat miskin. Untuk itu kemudian timbullah suatu pergeseran yang mana harus disamakan antara kaum kapitalis dengan masyarakat jelata. Diharapkan mampu tidak membedakan antara masyarakat kalangat elit dengan kalangan jelata, sehingga hukum benar-benar berfungsi sebagai panglima dengan masyarakat apapun. Sehingga hukum dapat berwibawa dalam kondisi apapun dan dalam kesempatan apapun. Hukum dalam pemikiran ini diharapkan mampu merasionalisasi[22] terhadap segala bidang kehidupan suatu kelompok masyarakat. Krikan terhadap pemikiran ini bahwa memang terdapat perbedaan diantara masyarakat yang sedang berkembang dengan masyarakat yang tradisional. Untuk itu diperlukan pengklasifikasian keberlakuan hukum, sehingga efektifitas nilai dan tingkat keberhasilan hukum dalam masyarakat mampu terlaksana dengan baik.

2. a. Menurut pendapat ahli hukum (Traverne) benar sekali, karna menurut H.L.A. Hart[23] yakni sebuah system hukum harus menampilkan kesesuaian spesifik terhadap moralitas dan keadilan. Untuk itu dapat dikatakan sebaik apapun hukum yang dibentuk, apabila moralnya tidak baik, maka akan percuma suatu peraturan-perundang undangan yang baik tadi. Untuk itu diperlukan sinergitas antara hukum dan moralitas, agar tercipta kesinambungan diantara unnsur-unsur penegakan hukum. Istilah moral adalah suatu istilah yang bermakna ganda, arti pertama adalahkeseluruhan kaidah dan nilai berkenaan dengan ikhwal baik dan perbuatan baik manusia[24]. Untuk itu sangat dibutuhkan moral aparat penegak hukum dalam rangka penegakan hukum, sehingga penerapan hukum akan berjalan maksimal. Karena hukum tidak akan pernah sempurna dan hanya dapat diwujudkan dalam dalam suatu perjuangan[25]. Dengan demikian keadilan itu masih diperjuangkan oleh oknum atau aparat penegak hukum, untuk itu sebaik apapun hukumnya, kalau tidak ada kemauan kuat moral dari aparat penegak hukum, maka tujuan tujuan hukum sulit untuk dilaksanakan. Sangat dibutuhkan adanya kesinambungan antara Hukum (Peraturan Perundang-Undangan) yang bersifat membangun dan mampu diterima di masyarakat, serta kemauan dalam pelaksanaan yang kuat dari seluruh komponen aparat penegak hukum untuk mengatasi segala bentuk upaya dalam law inforcment. Perdebatan tentang Teori Hukum Murni dan Sosiological Yurisprudance (hukum sosiologis) bukan hanya terjadi belakangan ini dan hanya di Indonesia saja. Yang pasti aliran hukum diatas merupakan 2 (dua) pandangan besar yang satu sama lain memiliki cara pandang yang berbeda.[26] Itulah yang kemudian berdampak kepada perdebatan masalah penelitian hukum sebagaimana di jelaskan oleh pakar hukum terkemuka yang ada di Indonesia yang saling berbeda pandangan mengenai metode dalam penelitian hukum.

Aliran hukum positif juga dikenal sebagai aliran legisme. Aliran ini selalu mengidentikkan hukum dengan Undang-Undang, tidak ada hukum di luar Undang-Undang, satu-satunya sumber hukum adalah Undang-Undang. Pandangan-pandangan hukum positif ini dipertahankan oleh Paul Laband, Jellineck, Rudolf von Jherings, Hans Nawiasky, Hans Kelsen dan lain-lain.[27] Aliran hukum positif mulai berkembang di Jerman pada abad pertengahan dan telah banyak berpengaruh di berbagai negara, tidak terkecuali di Indonesia.

John Austin memberikan pengertian dan batasan tentang cakupan ilmu hukum. Pertama, hukum merupakan perintah penguasa, kedua, hukum merupakan sistem logika yang bersifat tetap dan tertutup, ketiga, hukum positif terdiri dari unsur-unsur perintah, sanksi, kewajiban dan kedaulatan, di luar itulah hanyalah moral positif (positive morality).[28]

Pendapat lain lain datang dari Hans Kelsen yang menyatakan ”hukum haruslah dibersihkan dari anasir-anasir bukan hukum, seperti anasir etika, sosiologi, politik dan sebagainya”.[29] Kelsen juga menerangkan bahwa hukum sebagai (sollenskatagori), yaitu hukum sebagai keharusan bukan sebagai (seinskategori) yakni sebagai kenyataan,[30] yakni orang menaati hukum karena sudah perintah negara, untuk itu pelalaian terhadap itu maka akan dikenakan sanksi. Sedangkan ajaran yang juga terkenal dari Hans Kelsen dan sering dijadikan rujukan dalam teori hierarki (tingkatan) norma hukum adalah ajaran ”stufentheory”[31], yakni sistem hukum pada haikatnya merupakan sistem hierarkis yang tersusun dari peringkat terendah hingga peringkat tertinggi.

Dari pemeparan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pada prinsipnya aliran hukum positif adalah aliran pemikiran hukum yang memberikan penegasan terhadap bentuk hukum (Undang-Undang), isi hukum (perintah penguasa), ciri hukum (sanksi, perintah, kewajiban, dan kedaulatan) dan sistematisasi norma hukum (hierarki norma hukum Kelsen).   Secar implisit aliran ini hakikatnya juga menegaskan beberapa hal:

Pertama, bahwa pembentuk hukum adalah penguasa

Kedua,     bahwa bentuk hukum adalah Undang-Undang; dan

Ketiga      hukum diterapkan terhadap pihak yang di kuasai.

Sangat berbeda dengan sosiological jurisprudence yang merupakan aliran filsafat hukum yang memberi perhatian sama kuatnya terhadap masyarakat dan hukum, sebagai dua unsur utama hukum dalam penciptaan dan pemberlakuan hukum.[32] Itulah yang menyebabkan perbedaan yang tajam antara kalangan pemikir hukum normatif dan kalangan pemikir hukum sosiologis. Karena pemikir hukum sosiologis mendasarkan hukum pada teori tentang hubungan antara kaidah-kaidah hukum dengan kenyataan masyarakat.[33]

Pendasar mazhab ini dapat disebutkan, misalnya Roscoe Pound, Eugen ehrlich, Benyamin Cardozo, Kantorowics, Gaurvitch dan lain-lain.[34] Mazhab ini lebih mengarah pada kenyataan daripada kedudukan dan fungsi hukum dalam masyarakat. Inti dasar prinsip pemikiran mazhab ini adalah hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.[35] Hukum lahir dan berkembang seiring dengan kemajuan zaman, sehingga hukum tidak dapat dipisahkan dari kehidupan   masyarakat. Seperti gejala-gejala peradaban lain, hukum juga dapat ditinjau secara sosiologis, dapat diteliti hubungan ekonomis dan kemasyarakatan apa, aliran bidang kejiwaan kejiwaan apa yang telah menimbulkan pranata hukum tertentu.[36]

Pada prinsipnya ialah sosiological jurisprudence menekankan pada masalah-masalah evaluasi hukum (kualisifikasi hukum yang baik), kedudukan hukum tertulis dan tidk tertulis, fungsi hukum sebagai sarana rekayasa sosial,[37] dengan cara pembentukan hukum yang baik (yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat), dan cara penerapan hukum.

Dari perbedaan dua pandangan besar antara paradigma hukum positif dengan hukum sosiologis, tidak perlu untuk saling menjatuhkan dengan saling menyalahkan antara teori yang satu dengan teori yang lainnya, mengingat kedua-duanya sama-sama memiliki kelebihan dan kekuarangan. Paradigma hukum positif dapat di gunakan untuk mempelajari tentang bentuk hukum (Undang-Undang), isi hukum (perintah penguasa), ciri hukum (sanksi, perintah, kewajiban, dan kedaulatan) dan sistematisasi norma hukum (hierarki norma hukum) sedangkan paradigma hukum sosiologis dapat digunakan untuk mengevaluasi hukum (kualisifikasi hukum yang baik), kedudukan hukum tertulis dan tidk tertulis, sebagai sarana rekayasa sosial, cara pembentukan hukum yang baik (yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat), dan cara penerapan hukum yang efektif.

b. Melihat kondisi tersebut diatas, maka ada beberapa hal yang harus menjadi perhatian, yakni sesuai dengan fungsi Hukum menurut Steven Vago[38], diantaranya adalah Social Control, Dispute Settlement dan Social Change. Dalam hal sosial control[39] maka bermakna sebuah proses yang dilakukan untuk mempengaruhi orang-orang agar bertingkahlaku sesuai dengan harapan masyarakat[40]. Sedangkan Dispute Settlement adalah hukum secara umum diharapkan dapat menyelesaikan semua permasalahan yang ada di masyarakat. Sedangkan Social Change adalah sebagai sarana perubahan sosial (law as a tool of social engineering). Berdasarkan pada soal diatas maka diharapakan pembentuk Undang-undang mampu mengetahui karakter masyarakat, nilai-nilai yang terkandung dalam masyarakat, sehingga hukum yang akan dibentuk mampu mencerminkan peradaban dan mampu diterima dengan baik oleh semua kalangan masyarakat, sehingga pada akhirnya tujuannya adalah menciptakan keadilan hukum. Berkaitan dengan itu, maka agar suatu hukum dapat dikatakan adil, maka terdapat beberapa ukuran-ukuran, ukuran-ukuran keadilan itu diantaranya :[41]

  1. Ukuran hukum alam dan positifisme

Ukuran hukum alam mendasarkan keadilan pada pandangan yang lebih tinggi dari (trancendent) dari pikiran manusia, juga dengan akal sehat (reason). Sedangkan keadilan berdasarkan paham positivisme adalah menjalankan aturan yang berlaku secara baik dan benar.

  1. Ukuran absolute dan relative

Ukuran absolute adalah keadilan yang berlaku kapan dan dimana saja. Begitu sebaliknya dengan ukuran relatif yang berarti keadilan akan berbeda-beda sesuai dengan perbedaan tempat dan waktu.

  1. Ukuran umum dan konkret

Ukuran umum (universal) adalah ukuran tanpa batas, dimana saja dan kapan saja. Sedangkan Konkret tergantung pada keunikan setiap kasus.

  1. Ukuran metafisik dan empiris

Ukuran metefisik adalah keadilan terbit bukan dari fakta dalam masyarakat, akan tetapi manakala dilaksanakan hak dan kewajiban berdasarkan rasio manusia secara deduktif. Sedang ukuran empiris berdasarkan fakta social dalam kenyataannya.

  1. Ukuran internal dan eksternal

Ukuran ekternal adalah keadilan sebagai suatu cita yang tinggi dan dari mana keadilan berasal atau dibentuk. Sedangkan secara internal adalah menelaah keadilan dalam batas-batas ruang gerak dari keadilan itu sendiri.

  1. Ukuran pengetahuan dan intuisi

Ukuran pengetahuan adalah ukuran melalui teori dalam ilmu pengetahuan. Sedang intuisi ukuran berdasarkan perasaan keadilan dan perasaan ketidak adilan.

3. Otonomi daerah telah menghasilkan pelayanan publik, menghasilkan pemilihan kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat[42], hanya saja belum bisa mensejahterakan tingkat perekonomian masyarakat. Hal itu dapat dibenarkan, karena kalau melihat indeks kemiskinan[43] yang ada di daerah masih relative tetap tidak terdapat perubahan yang sukup signifikan, untuk itu ada apa dengan kondisi Indonesia saat ini?. Untuk menjawab pertanyaan itu maka kita harus melihat dulu perilaku Birokrasi pemerintahan dalam menjalankan aktivitas kenegaraannya[44]. Dalam kalangan pemerintahan baik ditingkatan pusat dan daerah masih banyak ditemukan prakterk-praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), sehingga itulah yang mengakibatkan adanya tingkat pembangunan di daerah maupun di pusat menjadi terhambat, belum lagi adanya tingkat heterogensi masyarakat yang rentan dengan adanya konflik sosial yang memang keberadaannya seringkali konflik itu tidak dapat dihindari, baik konflik yang secara alami dan terjadi secara turun temurun, maupun konflik yang dikarenakan dibuat-buat oleh penguasa pemerintahan. Mentalitas aparat pemerintahan baik yang ada dipusat maupun diaerah yang harus dirubah, hukum yang mengatur tentang pemerintahan sudah atau telah cukup baik, akan tetapi mentalitas aparatur yang masih belum dapat dipercaya. Hukum seringkali tumpul melawan segala bentuk kekuasaan yang terjadi didaerah maupun pusat. Untuk itu diharapkan pembangunan mentalitas hukum kedepan juga diharapkan dapat menjadi prioritas dalam pembangunan hukum.

Ada beberapa alasan kenapa sebenarnya manusia dari waktu kewaktu begitu gencar mencari keadilan, diantaranya :[45]

  1. secara deontologist etika, karena keadilan sudah menjadi hak dari seseorang.
  2. jawaban kaum utilitarian, bahwa keadilan merupakan nilai dasar yang harus dipertahankan untuk dapat dilaksanakannya kebaikan yang sebesar-besarnya atau kesenangan yang sebesar-besarnya bagi masyarakat.
  3. jawaban kaum historian atau kaum sosiologis, bahwa keadilan memang kebutuhan dalam masyarakat sepanjang masa.
  4. jawaban kaum psikologis, bahwa keadilan merupakan kebutuhan jiwa manusia.
  5. jawaban kaum agamis, bahwa keadilan merupakan kehendak dan tuntunan Ilahi terhadap manusia

Kata “keadilan” berasal dari kata “adl” yang berasal dari bahasa Arab. Dalam bahasa Inggris di sebut dengan “justice” memiliki persamaan arti dengan:[46]

  1. justicia, dalam bahasa Latin
  2. jeuge, Justice (f) dalam bahasa Prancis
  3. juez (m), justicia (f) dalam bahasa Spanyol
  4. reichter (m), gerechtigkeit (f) dalam bahasa Jerman

Persoalan keadilan dapat timbul dalam hubungan dan interaksi antara :[47]

  1. individu dengan individu lainnya
  2. individu dengan masyarakat/kelompok masyarakat
  3. individu dengan otoritas kekuasaan/Negara
  4. individu dengan alam semesta

Berdasarkan pemaparan singkat diatas diharapkan keadilan mampu diterapkan dalam pembangunan yang berkesinambungan, baik di tingkatan pemerintah pusat maupun dalam pemerintahan daerah.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Manan, Aspek-aspek Pengubah Hukum, Prenada Media, Jakarta, 2005

Adam Podgorecki dan Christopher J Whelan, Pendekatan Sosiologi Terhadap Hukum, PT. Bina Aksara, Jakarta, 1987

Dudu Duswara Mahyudin, Pengantar Ilmu Hukum (Sebuah Sketsa), Refika Aditama, Bandung, 2000

Dragan Milovanivic, A Primer in The Sociology of Law Second Edition, Harrow and Heston Publisher, Albany, 1994

Gerald J. Postema, Bentham and the Common Law Tradition, Clarendon Press, Oxford, 1986

Hans Kelsen, Pure Theory Of Law, Berkely: Unibersity California Press 1978

__________, General Theory Of Law And State, Terjemahan Somardi, Bee Media Indonesia, Jakarta, 2007

Hartono Hadisoeprapto, Pengantar Hukum Indonesia, Liberty, 1999

Lawrence M. Friedman, The Legal System, A Social Science Perspective, New York, Russel Sage Foundation, 1974

HLA. Hart, The Consept Of Law, Clarendon Press-Oxford, New York, 1997

Juanda, Hukum Pemerintah Daerah, Alumni, Bandung, 2007

JJH. Bruggink (Alih bahasa Arief Sidharta), Reffleksi Tentang Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999

Lily Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004

Lily Rasjidi dan I.B Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, CV. Mandar Maju, Bandung 2003

Mathieu Deflem, Sociology of Law, Cabridge University Press, New York, 2008

Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Hukum dalam rangka Pembangunan Nasional, Binacipta, Bandung, 1975

____________, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum nasional, Binacipta, Bandung, 1976

____________, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, Alumni, Bandung, 2006

Munir Fuady, Dinaika Teori Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2007

Nur Amin, Agama Perspektif Sosiologi, Rajawali Grafindo, Jakarta, 2002

Otje Salman dan F. Susanto, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung, 2005

Paul Scholten (Alih bahasa Arief Sidharta), Struktur Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 2005

Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya bakti, Bandung, 2000

____________, Hukum dan Perubahan Sosial, Alumni, Bandung, 1979

Soerjono Soekanto et. al, Pendekatan Sosiologi Terhadap hukum, Bina Aksara, 1993

Steven Vago, Law and Society, Pearson Prentice Hall, United States of America, 2009

Sudikno Mertokusumo, Bab-bab tentang Penemuan Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993

____________, Teori Hukum, Universitas Atma Jaya Press, Yogyakarta, 2011

Winarno Yudho, Kumpulan Tulisan Sosiologi Hukum, Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Tanpa Tahun

  1. Friedman, Legal Theory, Steven & Sons Limited, 3rd Edition, 1953.

[1] Lawrence M. Friedman, The Legal System, A Social Science Perspective, New York, Russel Sage Foundation, 1974, Hal. 6 – 9

[2] Adam Podgorecki dan Christopher J Whelan, Pendekatan Sosiologi Terhadap Hukum, PT. Bina Aksara, Jakarta, 1987, Hal. 259

[3] Sudikno Mertokusumo, Bab-bab tentang Penemuan Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, Hal. 1

[4] Otje Salman dan Anton F. Susanto, Teori Hukum (Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali), Refika Aditama, Bandung, 2005, Hal. 61

[5] W. Friedman, Legal Theory, Steven & Sons Limited, 3rd Edition, 1953. Hal. 211

[6] Gerald J. Postema, Bentham and the Common Law Tradition, Clarendon Press, Oxford, 1986, Hal. 37

[7] Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004. Hal. 64

[8] W. Friedman, Op Cit, Hal. 191

[9] Abdul Manan, Aspek-aspek Pengubah Hukum, Prenada Media, Jakarta, 2005, Hal. 19

[10] Lili Rasjidi dan IB Wayan Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, CV. Mandar Maju, Bandung, Cet. !!, 2003, Hal. 124

[11] Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya bakti, Bandung, 2000, Hal. 208 Baca juga W. Friedman, Op Cit, Hal. 292

[12] Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Hukum dalam rangka Pembangunan Nasional, Binacipta, Bandung, 1975, Hal. 3-13

[13] Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum nasional, Binacipta, Bandung, 1976, Hal. 1

[14] Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, Alumni, Bandung, 2006, Hal. 9

[15] Dudu Duswara Mahyudin, Pengantar Ilmu Hukum (Sebuah Sketsa), Refika Aditama, Bandung, 2000, Hal. 26

[16] Soerjono Soekanto et. al, Pendekatan Sosiologi Terhadap hukum, Bina Aksara, 1993, Hal. 17

[17] Nur Amin, Agama Perspektif Sosiologi, Rajawali Grafindo, Jakarta, 2002, Hal. 58

[18] Steven Vago, Law and Society, Pearson Prentice Hall, United States of America, 2009, Hal. 341

[19] Dragan Milovanivic, A Primer in The Sociology of Law Second Edition, Harrow and Heston Publisher, Albany, 1994, Hal 24

[20] Mathieu Deflem, Sociology of Law, Cabridge University Press, New York, 2008, Hal. 56

[21] Dragan Milovanivic, opcit, Hal. 37

[22] Mathieu Deflem, opcit, Hal. 37

[23] HLA. Hart, The Consept Of Law, Clarendon Press-Oxford, New York, 1997, Hal. 287

[24] JJH. Bruggink (Alih bahasa Arief Sidharta), Reffleksi Tentang Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, Hal. 223

[25] Paul Scholten (Alih bahasa Arief Sidharta), Struktur Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 2005, Hal 124

                [26] Otje Salman dan F. Susanto, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung, 2005, Hal. 46

                [27] Lily Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, Hal. 56

                [28] Lily Rasjidi dan I.B Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, CV. Mandar Maju, Bandung 2003, Hal. 119-120

                [29] Hans Kelsen, Pure Theory Of Law, Berkely: Unibersity California Press 1978, Hal. 1

                [30] Hans Kelsen, General Theory Of Law And State, Terjemahan Somardi, Bee Media Indonesia, Jakarta, 2007, Hal. 202-203

                [31] Hans Kelsen, Op Cit, Hal. 165-169

                [32] Lily Rasjidi dan I.B Wyasa Putra, Op Cit, Hal. 121

                [33] J.J.H. Bruggink, Rechts Refflectie, Grondbegrippen Uit De Rechtstheory, Alih Bahasa B. Arief Sidharta, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, Hal. 163

                [34] Lily Rasjidi, Op Cit, Hal. 66

                [35] Lily Rasjidi,, Ibid, Hal. 66

                [36] Paul Scholten, De Struktuur Der Rechtswetenschap, Alih Bahasa B. Arief Sidharta, P.T Alumni, Bandung, 2005, Hal. 6

                [37] Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Prenada Media, Jakarta, 2005, Hal. 3

[38] Steven Vago, Law and Society, Pearson Prentice Hall, United States of America, 2009, Hal. 19-21. Lihat juga Winarno Yudho, Kumpulan Tulisan Sosiologi Hukum, Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Tanpa Tahun, Hal. 12-14

[39] Steven Vago, Ibid, Hal. 203. Baca Juga Winarno Yudho, Ibid, Hal. 167

[40] Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial, Alumni, Bandung, 1979, Hal. 123

[41] Munir Fuady, Dinaika Teori Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2007, Hal. 102-103

[42] Pilkada yang dilaksanakan di daerah juga banyak yang mengakibatkan konflik sosial. hal ini dipengruhi oleh adanya masyarakat yang belum siap dengan pelaksanaan demokrasi.

[43] Index kemiskinan yang dikumpulkan oleh Indonesian International Independency of Economic Association

[44] Juanda, Hukum Pemerintah Daerah, Alumni, Bandung, 2007. Hal 67

[45] Munir Fuadi, Opcit, hal. 58

[46] Hartono Hadisoeprapto, Pengantar Hukum Indonesia, Liberty, 1999, Hal. 38

[47] Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, Universitas Atma Jaya Press, Yogyakarta, 2011, Hal 23

Continue Reading

TEORI TENTANG HUKUM DAN KEADILAN

Oleh :

Saiful Anam, SH*

Hukum dan keadilan seperti hotel bintang lima,

terbuka secara sama bagi siapa pun tanpa terkecuali,

baik tamu miskin maupun bagi tamu kaya,

asal saja mereka sanggup membayarnya.

(Dr. Munir Fuady, SH., MH., LL.M)

Banyak keinginan dan harapan yang suci dari para mahasiswa fakultas hukum yang akan atau sedang menempuh studi di universitas maupun sekolah tinggi ilmu hukum, yang tentunya mengharapkan dirinya masuk jurusan ilmu hukum agar kelak setelah tau hukum agar mampu menegakkan keadilan di lingkungan masyarakat sekitar. Harapan itu mungkin akan berkobar-kobar pada saat akan dan mulai masuk pertama kali di fakultas hukum. Tapi tidak setelah semester 2 sampai terakhir, tidak jarang dari mereka yang merasa masygul ketika melihat kenyataan hukum yang terjadi di sekitar masyarakat tidak sama dengan yang mereka pernah dapatkan di bangku perkuliahan.

Pada masa berikutnya harapan itu mulai terkikis hingga pada akhirnya terjadi suatu kejumudan berfikir tentang hukum. Tidak jarang dari mereka sudah tidak percaya lagi terhadap apa yang telah di pelajarinya sendiri. Hingga paling parahnya adalah muncul rasa dan keinginan dari para mahasiswa fakultas hukum bahwa percuma saja mempelajari hukum yang sangat begitu ideal, karena sudah tidak mampu lagi mencerminkan keadilan hukum yang sebenarnya. Untuk itu kadang tidak jarang dari mereka yang merasa berdosa karena telah bergabung dalam lingkungan fakultas hukum, yang mereka telah merasa tau hukum, tapi tidak mampu berbuat sesuai dengan yang telah di pelajarinya.

Hal yang sama juga terjadi terhadap masyarakat yang berkeinginan mencari keadilan di lembaga-lembaga peradilan. Niat suci yang timbul dari benak sang pencari kedilan justru tidak jarang pupus di tengah jalan. Kesewenang-wenangan hukum dan penyalahgunaan hukum yang sangat lebih dominan mewarnai penegakan hukum yang berkeadilan. Untuk itu sudah tidak jarang pula masyarakat yang sudah tidak percaya lagi terhadap hukum, hingga pada akhirnya penyelesaian peristiwa-peristiwa dan kasus-kasus hukum tidak lagi diselesaikan melalui mekanisme formal, karena beranggapan bahwa hukum bukan akan menyelesaikan masalah akan tetapi justeru akan menambah masalah baru yang berkepanjangan.

Contoh diatas merupakan sebagian dari praktek dan potret betapa sulitnya keadilan di tegakkan. Oleh sebab itu maka mutlak di mengerti dan dipahami tentang arti dan makna keadilan yang sebenarnya, agar dalam pelaksanaan tidak terjadi perdebatan tentang ukuran-ukuran adil atau tidaknya suatu peristiwa hukum atau kasus tertentu. Dalam tulisan ini di coba menjelaskan tentang pengertian dan fungsi keadilan, teori tentang ukuran-ukuran keadilan, macam-macam keadilan dan keadilan teori keadilan menurut hukum.

Ada beberapa alasan kenapa sebenarnya manusia dari waktu kewaktu begitu gencar mencari keadilan, diantaranya:

  1. secara deontologist etika, karena keadilan sudah menjadi hak dari seseorang.
  2. jawaban kaum utilitarian, bahwa keadilan merupakan nilai dasar yang harus dipertahankan untuk dapat dilaksanakannya kebaikan yang sebesar-besarnya atau kesenangan yang sebesar-besarnya bagi masyarakat.
  3. jawaban kaum historian atau kaum sosiologis, bahwa keadilan memang kebutuhan dalam masyarakat sepanjang masa.
  4. jawaban kaum psikologis, bahwa keadilan merupakan kebutuhan jiwa manusia.
  5. jawaban kaum agamis, bahwa keadilan merupakan kehendak dan tuntunan Ilahi terhadap manusia

Kata “keadilan” berasal dari kata “adl” yang berasal dari bahasa Arab. Dalam bahasa Inggris di sebut dengan “justice” memiliki persamaan arti dengan:

  1. justicia, dalam bahasa Latin
  2. jeuge, Justice (f) dalam bahasa Prancis
  3. juez (m), justicia (f) dalam bahasa Spanyol
  4. reichter (m), gerechtigkeit (f) dalam bahasa Jerman

Persoalan keadilan dapat timbul dalam hubungan dan interaksi antara :

  1. individu dengan individu lainnya
  2. individu dengan masyarakat/kelompok masyarakat
  3. individu dengan otoritas kekuasaan/Negara
  4. individu dengan alam semesta

Berdasarkan sedikit penjelasan diatas, maka keadilan dapat diartikan sebagai nilai (value) untuk menciptakan suatu hubungan yang ideal diantara manusia sebagai individual, sebagai anggota masyarakat, dan sebagai bagian dari alam, dengan memberikan kepada manusia tersebut apa yang menjadi hak dan kebebasannya menurut hukum dan moral, yang bila perlu harus dipaksakan berlakunya oleh Negara dengan memperlakukan secara sama terhadap hal yang sama dan memperlakukan secara berbeda terhadap hal yang berbeda.

Agar suatu hukum dapat tdikatakan adil, maka terdapat beberapa ukuran-ukuran, ukuran-ukuran keadilan itu diantaranya :

  1. Ukuran hukum alam dan positifisme

Ukuran hukum alam mendasarkan keadilan pada pandangan yang lebih tinggi dari (trancendent) dari pikiran manusia, juga dengan akal sehat (reason). Sedangkan keadilan berdasarkan paham positivisme adalah menjalankan aturan yang berlaku secara baik dan benar.

  1. Ukuran absolute dan relative

Ukuran absolute adalah keadilan yang berlaku kapan dan dimana saja. Begitu sebaliknya dengan ukuran relatif yang berarti keadilan akan berbeda-beda sesuai dengan perbedaan tempat dan waktu.

  1. Ukuran umum dan konkret

Ukuran umum (universal) adalah ukuran tanpa batas, dimana saja dan kapan saja. Sedangkan Konkret tergantung pada keunikan setiap kasus.

  1. Ukuran metafisik dan empiris

Ukuran metefisik adalah keadilan terbit bukan dari fakta dalam masyarakat, akan tetapi manakala dilaksanakan hak dan kewajiban berdasarkan rasio manusia secara deduktif. Sedang ukuran empiris berdasarkan fakta social dalam kenyataannya.

  1. Ukuran internal dan eksternal

Ukuran ekternal adalah keadilan sebagai suatu cita yang tinggi dan dari mana keadilan berasal atau dibentuk. Sedangkan secara internal adalah menelaah keadilan dalam batas-batas ruang gerak dari keadilan itu sendiri.

  1. Ukuran pengetahuan dan intuisi

Ukuran pengetahuan adalah ukuran melalui teori dalam ilmu pengetahuan. Sedang intuisi ukuran berdasarkan perasaan keadilan dan perasaan ketidak adilan.

* Alumni Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo

Continue Reading

TEORI HUKUM MURNI DAN PERMASALAHANNYA

  1. Perkembangan Aliran Positivisme

Lahirnya teori hukum ini sebenarnya diawali oleh berkembangnya pemikiran hukum Legisme yang berbentuk in optima forma[1]. Perkembangan Teori hukum ini berkembang semenjak abad pertengahan[2] dan perbengaruh terhadap semua lapisan Negara-negara yang ada di dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Posivisme Hukum ini untuk pertama kalinya dikukuhkan dalam bentuk rumusan yang sistematikal dan konseptual oleh John Austin dalam The Province of jurisprudence (1832) melalui pernyataan atau klaim positif mengenai hukum bahwa :

“hukum dalam tema yang paling generic dan menyeluruh… diartikan sebagai aturan yang diterbitkan untuk member pedoman perilaku kepada seseorang manusia selaku makhluk intelegen… dari seorang manusia lainnya (makhluk intelegen lain) yang ditangannya ada kekuasaan (otoritas) terhadap makhluk intelegen pertama itu”[3]

Selain itu Austin mengatakan bahwa hukum merupakan perintah penguasa-dalam arti bahwa perintah dari mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan.[4] Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa teori ini hanya bersumber pada hukum yang tertulis yang disahkan oleh kekuasaan pemerintahan atau suatu Negara. Untuk itu kemudian muncul unsur-unsur hukum menurut Austin diantaranya :[5]

  1. Adanya penguasa (souvereghnity)
  2. Suatu perintah (command)
  3. Kewajiban untuk menaati (duty)
  4. Sanksi bagi mereka yang tidak taat (sanction)

Aliran hukum ini pada intinya adalah mengidentikkan hukum dengan undang-undang, tidak ada hukum diluar undang-undang. Di Jerman pandangan ini dianut oleh Paul Laband, Jellineck, Rudolf von Jering, Han Naviasky, Hans Kelsen dan lain-lain. Sedangkan di Inggris dikenal dengan aliran hukum positif yang pelopori oleh John Austin seperti telah dijabarkan diatas.

Pada tahun 1798 hingga 1857 teori ini juga dikembangkan oleh August Comte yakni seorang sarjana Perancis yang hidup pada jaman itu. August Comte[6] menyatakan bahwa positivism merupakan sebuah sikap ilmiah, yang menolak spekulasi-spekulasi apriori dan berusaha membangun dirinya pada data pengalaman. Untuk itu filsafat menurut mazhab ini adalah suatu system filsafat yang mengakui hanya fakta-fakta positif dan fenomena-fenomena yang dapat diobservasi.

Pada abad Pertengahan kedua (abad ke-19) positivism menjalar kedalam segala cabang ilmu pengetahuan social, termasuk ilmu hukum, ia berusaha mendepak pertimbangan-pertimbangan nilai-nilai dari yurisprudensi dan membatasi tugas ilmu-ilmu ini pada analisa, dan mendobrak tatanan hukum positif. Pada saat itu diajarkan bahwa hukum positiflah yang merupakan hukum yang berlaku, dan hukum positif adalah norma-norma yang diakui oleh Negara. Sehingga dapat dikatakan bahwa teori hukum ini hanya merupakan Ilmu Hukum dalam arti sempit, yang hanya mempelajari hal-hal yang bersifat normative saja.[7] Untuk itu yang terpenting dalam teori ini adalah Undang-undang.[8]

Pada abad ke-19 pula muncul sikap kritis masyarakat terhadap masalah-masalah yang dihadapi, apalagi pada saat itu tradisi keilmuan baru berkembang, yang semula bersifat tertutup dan tradisionil berubah menjadi sedikit terbuka sehingga menghasilkan pandangan-pandangan kritis terhadap pandangan hukum alam yang dianggap tidak memiliki dasar dan merupakan hasil dari penalaran yang bersifat palsu belaka. Hukum diartikan sebagai perintah dari kekuasaan politik yang berdaulat dalam suatu Negara.[9]

Franz Magnis Suseno[10] mengatakan bahwa adanya hubungan hukum kodrat dan hukum positif yang saling berhubungan karena keabsahan social menempatkan hukum positif dalam kodrat manusia, artinya produk hukum positif hanya sah kalau sesuai dengan tuntunan-tuntunan dasar dan kecenderungan kodrati manusia. Berawal dari Pendapat hukum kodrat bahwa manusia dibangun dengan berbagai struktur social, hal ini sejalan dengan kebutuhan masyarakat yang semakin kompleks, beserta kelemahan-kelemahan yang terjadi dalam hukum kodrat. Tiga kelemahan mendasar hukum kodrat adalah kekaburan paham kodrat, dualism metodis dan masalah kepastian.[11] Dalam upaya mengantisipasi kelemahan tersebut, maka hukum positif mengambil peranan yang sangat penting, bahwa hukum positif sesungguhnya adalah pengalihan terhadap positivasi hukum kodrat terhadap manusia. Artinya dengan demikian hukum positif dapat mencerminkan dan mendasarkan hukum kodrat dalam tatanan hukum positif.[12]

Bertolak pada kelemahan-kelemahan hukum kodrat yang telah diurai tadi, serta meningkatnya kebutuhan dalam masyarakat sipil yang memerlukan perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan yang bersifat invidu, maka diperlukan hukum positif yang didukung oleh kekuasaan yang memaksa dalam suatu Negara. Dalam karakter hukum kodrat bahwa manusia ditempatkan sebagai makhluk yang bermoral, padahal dalam tataran social manusia lebih merupakan makhluk ekonomi, dan dalam hal tertentu dan terdesak akan menggunakan akal budinya yang justru berseberangan dengan akal budinya. Sehingga konsep Utility Bentham[13] dapat dilaksanakan dengan baik dalam bingkai hubungan Negara dengan masyarakatnya.

  1. Terminologi dan Dasar Pemikiran Positivisme

Sebelum membahas lebih jauh tentang pemahaman legal positivism, Hans Kelsen menegaskan bahwa terdapat 3 (tiga kemungkinan) interpretasi terhadap istilah itu, diantaranya :[14]

  1. Legal Positivisme Sebagai Metode

Cara mempelajari hukum sebagai fakta yang kompleks, fenomena atau data social dan bukan sebagai system nilai, sebagai metode yang minsetting pusat inquiri problem-problem formal dari keabsahan hukum, bukan aksiologi suatu keadilan dari suatu konten norma/aturan.

  1. Legal Positivisme yang dipahami sebagai Teori

Teori legal positivism berkembang pada era kodifiakasi sampai pada abad ke-19. Dalam konsepsi ini dikembangkan dari ecole de l’exegese sampai ke Jerman Rechtwissenschaft, hukum dikemas sempurna dengan positive order yang berasal dari kegiatan legislative suatu Negara. Paham ini merupakan disebut kelompok imperativist, coercivis, legalis conception yang ditegakkan melalui hukum yang literal (tertulis), interpretasi norma tertulis secara mekanis oleh penerjemah, khususnya hakim.

  1. Legal Positivisme sebagai ideology

Merupakan ide bahwa hukum Negara ditaati secara absolute yang disimpulkan kedalam suatu statement gesetz ist gesetz atau the law is the law. Hans Kelsen selalu menolak positivism, khususnya dalam konteks teoritikal dan aspek ideology walaupun saya telah menerimanya dari pandangan metodologis.[15]

Seperti yang telah dijelaskan diatas, bahwa aliran positivism merupakan aliran yang mencoba melakukan kritik terhadap kelemahan-kelemahan hukum kodrat. Dalam aliran ini terdapat berbagai cabang pemahaman positivism berlainan antar satu dengan yang lainnya. Namun pada dasarnya yang diangkat tema sentralnya adalah :[16]

Issues of legal validity must be strictly separated from question of morality what the law ought to be has nothing to do with what the law actually is. There are irreducible fact about political society can only be expressed in the vocabulary of the law. The study of law is autonomous

Dalam perkembangannya terdapat 2 (dua) aliran positivism, yakni hard positivism dan soft positivism, yang membedakan antara keduanya adalah : Hard positivism : There is only the positive law : There are no objective, universal fact about morality, about what law ought to be like (Hans Kelsen)[17]

Soft Positivism : In addition to positive law, objective morals fact do exist

Selanjutnya positivism lunak terbagi lagi menjadi dua golongan yaitu utilitarian positivism dan Non utilitarian positivism. Menurut kelompok utilitarian bahwa : There are no natural human right, nothing like a natural law. The only moral standard is one of the desirebelity of the concequences of the law (Betham). Sedangkan menurut paham kedua (non utilitarian) adalah, There is something like natural law (universal human rights, universal moral principles)[18]

Walaupun terdapat perbedaan internal dalam pemahamannya, positivism memiliki kesamaan dasar fundamental, yakni :

  1. A positive law is binding even if it is supremely immoral
  2. No principle of morality is legally binding until is has been enacted into moral law
  3. That a statute is legally binding does not settle the moral question of wether we ought (morally speaking) to obey or disobey the law

Aliran positivism ini banyak dipengaruhi oleh dua ahli hukum terkemuka, yakni Jeremy Bentham[19] dan John Austin[20] yang mengemukakan Command Theory, serta teori konvensi social oleh Hans Kelsen[21] dan Hart[22].

  1. Teori Hukum Murni menurut Hans Kelsen

Dua teori besar Hans Kelsen, pertama ajaran yang bersifat murn, sedangkan yang kedua adalah berasal dari muridnya Adolf Merkl adalah Stufenbau des Recht yang mengutakan adanya hierarkis dari perundang-undangan. Dari unsur etis Hans Kelsen tidak memberikan tempat bagi berlakunya suatu hukum alam, etika memberikan penilaian tentang baik dan buruk, Kelsen menghindari diri dari yang demikian itu. Dari unsur sosiologis ajaran Kelsen tidak memberik tempat bagi hukum kebiasaan yang hidup dan berkembang di masyarakat.

Hans Kelsen dalam teorinya yakni teori hukum Murni adalah keinginan untuk membebaskan ilmu hukum dari anasir-anasir atau unsur-unsur social, ekonomi, politik, budaya dan lain sebagainya. Hukum diwajibkan bebas nilai, dan harus terbebas dan tidak tercemari oleh unsur-unsur yang bersifat ideologis. Keadilan menurut Kelsen dipandang sebuah konsep ideologis. Ia melihat dalam keadilansebuah ide yang tidak rasional dan teori hukum murnitidak dapat menjawab tentang pertanyaan apa yang membentuk keadilan, karena pertanyaan ini tidak dapat dijawab secara ilmiah. Jika keadilan harus diidentikkan dengan legalitas, dalam arti tempat, keadilan berarti memelihara sebuah tatanan (hukum) positif melalui aplikasi kesadaran atasnya.

Teori hukum murni ini menurut Kelsen adalah sebuah teori hukum yang bersifat positif. Sehingga kemudian dapat disimpulkan bahwa teori hukum ini ingin berusaha menjawab pertanyaan tentang “apa hukum itu?” tetapi bukan pertanyaan “apa hukum itu seharusnya”. Teori ini mengkonsentrasikan pada hukum saja dan menginginkan lepas dengan ilmu pengetahuan yang lainnya, dengan atas dasar bahwa ilmu hukum berdiri sendiri dan merupakan sui generis.[23] Kelsen sekali lagi ingin memisahkan pengertian hukum dari segala unsur yang berperan dalam pembentukan hukum seperti unsur-unsur psikologi, sosiologi, sejarah, politik, dan bahkan juga etika.[24] Semua unsur ini termasuk ide hukum atau isi hukum. Isi hukum tidak pernah lepas dari unsur politik, psikis, social budaya dan lain-lain. Sehingga pengertian hukum menurut Hans Kelsen adalah hukum dalam konteks formalnya, yaitu sebagai peraturan yang berlaku secara yuridis, itulah hukum yang benar menurut perspektif teori hukum murni (das reine Recht)

Pandangan positivism juga menganggap bahwa kewajiban yang terletak pada kaidah hukum adalah kewajiban yang bersifat yuridis, hal itu dikarenakan karena kaidah hukum termasuk pada keharusan ekstern, yaitu karena ada paksaan atau ancaman apabila tidak mentaati, dikarenakan dasar dari hukum adalah undang-undang dasar negara, dalam relasi itulah maka terdapat ada yang memberi perintah dan ada yang mentaati perintah.

Pandangan kedua adalah kewajiban dari ektern, yakni dorongan dari batin bahwa yang demikian itu merupakan kewajiban yang harus ditaati. Kewajiban yuridis itulah dianggap sebagai dorongan kewajiban yang tidak dapat terelakkan. Han Kelsen juga mengatakan bahwa hukum dapat mewajibkan secara batin, hal itu dikarenakan adanya kewajiban yuridis, dan memang demikian pengertian hukum. Sehinga peraturan yang tidak normative tidak masuk akal maka tidak dapat dikatakan hukum.[25] Immamuel Kant mengatakan bahwa kelsen berpendapat bahwa kewajiban hukum termasuk dalam pengertian transedental-logis[26]. Menurut Kant ada norma dasar (grundnorm)[27] bagi moral (yang berbunyi : berlakulah sesuai dengan suara hatimu), maka menurut Hans Kelsen dalam hukum juga terdapat norma dasar yang harus dianggap sebagai sumber keharusan dibidang hukum. Norma dasar (grundnorm) tersebut berbunyi : orang-orang harus menyesuaikan dirinya dengan apa yang telah ditentukan.

Ajaran yang kedua menurut Hans Kelsen adalah ajaran tentang norma hukum (stufentheori)[28], dimana ia berpendapat bahwa norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi. Demikian seterusnya sampai pada suatu norma dasar (Grundnorm). Teori jenjang norma hukum Hans Kelsen ini diilhami oleh seorang muridnya yang bernama Adolf Merkl yang mengemukakan bahwa suatu norma hukum harus selalu mempunyai dua wajah (das Doppelte Rechtsanlitz), yakni norma hukum itu keatas ia bersumber dan berdasar pada norma diatasnya, tetapi kebawah juga menjadi dasar bagi norma yang ada dibawahnya.

Ajaran Hans Kelsen tersebut kemudian disempurnakan oleh seorang muridnya, yakni Hans Nawiasky dalam bukunya Allgemeine Rechtslehre yang mengatakan bahwa selain norma hukum itu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, norma hukum dari suatu Negara juga berkelompok-kelompok. Hans Nawiasky mengelompokkan norma-norma hukum dalam suatu Negara itu menjadi empat kelompok besar, yang terdiri atas :

Kelompok 1   : Staatfundamentalnorm (norma fundamental negara)

Kelompok 2   : Staatsgrundgesetz (aturan dasar/pokok Negara)

Kelompok 3   : Formell Gesetz (Undang-undang “formal”)

Kelompok 4   : Verordnung & Autonome Satzung (aturan pelaksana &

aturan otonom)[29]

  1. Perkembangan Teori Hukum Murni di Indonesia

Mengenai perkembangan Teori Hukum murni di Indonesia ini, saya akan lebih spesifik pada penggunaan dan perdebatan mengenai penggunaan penelitian hukum di Indonesia, yang mengalami perbedaan antara pakar yang satu dengan pakar hukum yang lainnya. Dalam metode penelitian hukum menurut Prof. Dr. Soerjono Soekanto, SH., MA[30] terdiri dari penelitian hukum normatif dan penelitian hukum sosiologis atau empiris. Penelitian hukum normatif terdiri dari penelitian terhadap azas-azas hukum, sistematika hukum, sinkronisasi hukum dan perbandingan hukum. Sedangkan penelitian hukum sosiologis atau empiris merupakan penelitian terhadap identifikasi hukum dan efektifitas hukum dalam dinamika sosial kemasyarakatan. Untuk itu hukum seringkali dihubungkan dengan dinamika kemasyarakatan yang sedang dan akan terjadi.

Namun berbeda menurut Prof. Dr. Peter Mahmud Marzuki, SH., MS., LLM[31] yang menyatakan bahwa penelitian socio-legal research (penelitian hukum sosiologis) bukan penelitian hukum. Menurut beliau penelitian hukum sosiologis maupun penelitian hukum hanya memiliki objek yang sama, yakni hukum. Penelitian hukum sosiologis hanya menempatkan hukum sebagai gejala sosial, dan hukum hanya dipandang dari segi luarnya saja, dan yang menjadi topik seringkali adalah efektifitas hukum, kepatuhan terhadap hukum, implementasi hukum, hukum dan masalah sosial atau sebaliknya. Untuk itu hukum selalu ditempatkan sebagai variabel terikat dan faktor-faktor non-hukum yang mempengaruhi hukum dipandang sebagai variabel bebas.[32] Dalam Penelitian hukum sosiologis untuk menganalisis hipotesa diperlukan data, sehingga hasil yang diperoleh adalah menerima atau menolak hipotesis yang diajukan.

Berbeda menurut beliau dengan penelitian hukum, yang bukan mencari jawaban atas efektifitas hukum, oleh sebab itu beliau menyatakan bahwa dalam penelitian hukum tidak dikenal istilah hipotesis, variabel bebas, data, sampel atau analisis kualitatif dan kuantitatif, yang diperlukan hanya pemahaman tentang Undang-Undang yang ditelaah. Penelitian hukum dilakukan untuk memecahkan isu hukum yang diajukan sehingga hasilnya memberikan preskripsi mengenai apa seyogianya.

Hemat saya tidak perlu harus saling menyalahkan antar satu dan yang lainnya. Namun yang pasti perdebatan tentang Teori Hukum Murni dan Sosiological Yurisprudance (hukum sosiologis) bukan hanya terjadi belakangan ini dan hanya di Indonesia saja. Yang pasti aliran hukum diatas merupakan 2 (dua) pandangan besar yang satu sama lain memiliki cara pandang yang berbeda.[33] Itulah yang kemudian berdampak kepada perdebatan masalah penelitian hukum sebagaimana di jelaskan oleh pakar hukum terkemuka yang ada di Indonesia yang saling berbeda pandangan mengenai metode dalam penelitian hukum.

Aliran hukum positif juga dikenal sebagai aliran legisme. Aliran ini selalu mengidentikkan hukum dengan Undang-Undang, tidak ada hukum di luar Undang-Undang, satu-satunya sumber hukum adalah Undang-Undang. Pandangan-pandangan hukum positif ini dipertahankan oleh Paul Laband, Jellineck, Rudolf von Jherings, Hans Nawiasky, Hans Kelsen dan lain-lain.[34] Aliran hukum positif mulai berkembang di Jerman pada abad pertengahan dan telah banyak berpengaruh di berbagai negara, tidak terkecuali di Indonesia.

John Austin memberikan pengertian dan batasan tentang cakupan ilmu hukum. Pertama, hukum merupakan perintah penguasa, kedua, hukum merupakan sistem logika yang bersifat tetap dan tertutup, ketiga, hukum positif terdiri dari unsur-unsur perintah, sanksi, kewajiban dan kedaulatan, di luar itulah hanyalah moral positif (positive morality).[35]

Pendapat lain lain datang dari Hans Kelsen yang menyatakan ”hukum haruslah dibersihkan dari anasir-anasir bukan hukum, seperti anasir etika, sosiologi, politik dan sebagainya”.[36] Kelsen juga menerangkan bahwa hukum sebagai (sollenskatagori), yaitu hukum sebagai keharusan bukan sebagai (seinskategori) yakni sebagai kenyataan,[37] yakni orang menaati hukum karena sudah perintah negara, untuk itu pelalaian terhadap itu maka akan dikenakan sanksi. Sedangkan ajaran yang juga terkenal dari Hans Kelsen dan sering dijadikan rujukan dalam teori hierarki (tingkatan) norma hukum adalah ajaran ”stufentheory”[38], yakni sistem hukum pada haikatnya merupakan sistem hierarkis yang tersusun dari peringkat terendah hingga peringkat tertinggi.

Dari pemeparan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pada prinsipnya aliran hukum positif adalah aliran pemikiran hukum yang memberikan penegasan terhadap bentuk hukum (Undang-Undang), isi hukum (perintah penguasa), ciri hukum (sanksi, perintah, kewajiban, dan kedaulatan) dan sistematisasi norma hukum (hierarki norma hukum Kelsen). Secar implisit aliran ini hakikatnya juga menegaskan beberapa hal:

Pertama, bahwa pembentuk hukum adalah penguasa

Kedua,   bahwa bentuk hukum adalah Undang-Undang; dan

Ketiga      hukum diterapkan terhadap pihak yang di kuasai.

Sangat berbeda dengan sosiological jurisprudence yang merupakan aliran filsafat hukum yang memberi perhatian sama kuatnya terhadap masyarakat dan hukum, sebagai dua unsur utama hukum dalam penciptaan dan pemberlakuan hukum.[39] Itulah yang menyebabkan perbedaan yang tajam antara kalangan pemikir hukum normatif dan kalangan pemikir hukum sosiologis. Karena pemikir hukum sosiologis mendasarkan hukum pada teori tentang hubungan antara kaidah-kaidah hukum dengan kenyataan masyarakat.[40]

Pendasar mazhab ini dapat disebutkan, misalnya Roscoe Pound, Eugen ehrlich, Benyamin Cardozo, Kantorowics, Gaurvitch dan lain-lain.[41] Mazhab ini lebih mengarah pada kenyataan daripada kedudukan dan fungsi hukum dalam masyarakat. Inti dasar prinsip pemikiran mazhab ini adalah hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.[42] Hukum lahir dan berkembang seiring dengan kemajuan zaman, sehingga hukum tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat. Seperti gejala-gejala peradaban lain, hukum juga dapat ditinjau secara sosiologis, dapat diteliti hubungan ekonomis dan kemasyarakatan apa, aliran bidang kejiwaan kejiwaan apa yang telah menimbulkan pranata hukum tertentu.[43]

Pada prinsipnya ialah sosiological jurisprudence menekankan pada masalah-masalah evaluasi hukum (kualisifikasi hukum yang baik), kedudukan hukum tertulis dan tidk tertulis, fungsi hukum sebagai sarana rekayasa sosial,[44] dengan cara pembentukan hukum yang baik (yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat), dan cara penerapan hukum.

Dari perbedaan dua pandangan besar antara paradigma hukum positif dengan hukum sosiologis, tidak perlu untuk saling menjatuhkan dengan saling menyalahkan antara teori yang satu dengan teori yang lainnya, mengingat kedua-duanya sama-sama memiliki kelebihan dan kekuarangan. Paradigma hukum positif dapat di gunakan untuk mempelajari tentang bentuk hukum (Undang-Undang), isi hukum (perintah penguasa), ciri hukum (sanksi, perintah, kewajiban, dan kedaulatan) dan sistematisasi norma hukum (hierarki norma hukum) sedangkan paradigma hukum sosiologis dapat digunakan untuk mengevaluasi hukum (kualisifikasi hukum yang baik), kedudukan hukum tertulis dan tidk tertulis, sebagai sarana rekayasa sosial, cara pembentukan hukum yang baik (yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat), dan cara penerapan hukum yang efektif.

  1. Kritik Terhadap Teori Hukum Murni

Pada dasarnya Kelsen hanya mempertimbangkan aspek hukum positif saja, tanpa mempertimbangkan keadilan atau ketidakadilannya. Padahal menurut Stammer kemurnian mutlak bagi teori hukum apapun adalah tidak mungkin. Kelsen harus mengakui manakala teori memasuki pertanyaan-pertanyaan tentang norma fundamental yang bertentangan. Pertanyaan yang merupakan norma fundamental yang valid, dimana teori murninya tidak dapat dihindari, karena tanpa itu maka keseluruhan bangunan akan runtuh.[45] Dari sisi yang lain Lauterpacht seorang pengikut Kelsen mempertanyakan apakah teori hierarki tidak menyatakan secara langsung sebuah pengakuan akan prinsip-prisnsip hukum alam.[46]

Selain itu peraturan-peraturan hukum dibuat supaya ada hukum, bukan berarti supaya ada hukum. Dengan demikian maka dengan adanya hukum maka perlu untuk menegakkan kemanusiaan, dengan demikian hukum tidak identik dengan undang-undang. Di sisi yang lain hukum diperlukan penggarapan terus-menerus, dikarenakan hukum dalam hal ikhwal juga terdapat peraturan hukum yang melawan hukum karena bertentangan dengan kemanusiaan. Untuk itu tidak dapat kemudian teori hukum murni ini digunakan sepenuhnya dalam konteks bernegara, sehingga Konsep hukum responsive yang diajarkan oleh Philippe Nonet and Philip Selznick[47] tidak dapat diterapkan dengan baik.

Menurut Friedmann, hukum sebagai suatu sistem terdiri dari sub-sub sistem yang saling bergerak yang tidak dapat terpisahkan dan terpengaruh satu dengan lainnya. Sub-sub sistem itu terdiri dari: Substansi Hukum (legal substance), Struktur Hukum (legal structure), dan Kultur Hukum (legal culture). Adapun budaya hukum yang baik akan terbentuk apabila semua pihak secara sungguh-sungguh dilibatkan untuk berpartisipasi secara penuh dalam proses pembentukan hukum, agar semua orang benar-benar merasa memiliki hukum itu. Karena begitu besarnya peran budaya hukum itu, maka ia dapat menutupi kelemahan dari legal substance dan legal structure.[48]

Jadi menurut Friedmann hukum memiliki ruang lingkup yang sangat luas, tidak terbatas pada tekstual berupa peraturan perundang-undangan. Dalam berfungsinya hukum ditengah masyarakat tidak saja membutuhkan undang-undang belaka tetapi membutuhkan hal-hal lainnya seperti budaya masyarakat, aparat penegak hukum maupun sarana dan prasarana. Dari sini kita bisa melihat bahwa aliran positivisme berusaha memahami hukum hanya sebatas tekstual.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Achmad, Menguak Teori Hukum (Tegal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, Cet ke-3 2010

Anshori, Abdul Ghofur, Filsafat Hukum, Gajah Mada University Press, 2009.

Austin, The Province of Jurisprudence Determined, (1832) Lecture VI (edisi 1954)

Akzin, Benyamin, Law, State, and International Legal Order: Essays in Honor of Kelsen, Knokville, The University of Tennesse, 1964

Ardhiwisastra, Yudha Bhakti, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, PT. Alumni, Bandung, 2000.

Bakir, Herman, Filsafat Hukum, desain dan arsitektur kesejarahan, Refika Adhitama, Bandung, Cet ke-2 2009

Bentham, Jeremy, The Theory of Legislation, NM Tripathi Private Limited, Bombay, 1979.

___________, Austin and Classical English Positivism, Cambride University. TT

Bruggink, J.J.H., Rechts Reflekties, Kluwer, Nederland, 1995.

Curson, L.B., Jurisprudence, Cet. 1, London : Cavendish Publishing, 1993.

Dicey, AV, Introduction to the Study of The Law of The Constitution, McMillan and CO, Limited St. Martin Street, London, 1952

Dimyati, Khudzaifah, Teorisasi Hukum, studi tentang perkembangan pemikiran hukum di Indonesia 1945-1990, Genta Publishing, Yogyakarta, Cet ke-5, 2010

Drury, S.B, Law and Politics Reading in Legal and Political Though, Detselig Interprises Ltd Calgary, Alberta, 1980

Fuady, Munir, Perbandingan Ilmu Hukum, Refika Adhitama, Bandung, 2007.

Friedmann, Legal Theory, Steven & Son, London, 1960

___________, Theori and Philosophy of Law, Universiy of Paris, 1973

Friedrich, Carl Joachim, The Philosopy of Law in Historical Perspective, The University Chicago Press, 1969

Hadjon, Philipus M. dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005.

Hart H.L.A, The Concept of Law, New York: Clanrendon Press-Oxford, 1997

Irianto, Sulistyowati & Sidharta, Metode Penelitian Hukum, konstelasi dan refleksi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, Cet ke-2, 2011

Kelsen, Hans, Introduction to The Problem of Legal Theory, Clarendon Press-Oxford, 1996.

____________, The Theory of Law and The International Legal System – A Talk. Diakses dari European Journal of International Law. Artikel ini dapat diakses pada: http:www.ejil.org/journal/vol9/No2/art8-02.html

____________, Pure Theori of Law, Berkely: University California Press, 1978.

____________, Geberal Theory Law And State, The School of Law of The New York University, 1937

Kusumaatmadja, Mochtar, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan, PT. Alumni, Bandung, Cet ke-2, 2006

Manan, Abdul, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Prenada Media, Jakarta, 2005

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta, 2005.

Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum suatu pengantar, Penerbit Liberty, Yogyakarta, Cet ke-2, 2005

____________, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, PT. Aditya Bakti, Jakarta, 2003

Muuwissen, D.H.M., Rechtwentenschap, Koninkrijk der Nederlanden, 1982.

Nawiasky, Hans, Allgemeine Rechtslehre als System lichen Grundbegriffe, Einsiedenln/Zurich/Koln, Benziger, cet 2, 1948.

Nonet, Philippe and Philip Selznick, Law and Society in Transition: To Reward Responsive Law, Harper and Row, New York, 1978

Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2000.

Rasjidi, Lili, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004.

Rasjidi Lily dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004.

Rasjidi, Lily dan I.B Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, CV. Mandar Maju, Bandung 2003.

Salman, Otje, Filsafat Hukum perkembangan & dinamika masalah, Refika Adhitama, Bandung, Cet ke-2, 2010

Salman Otje dan F. Susanto, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung, 2005.

Scholten, Paul, De Struktuur Der Rechtswetenschap, Alih Bahasa B. Arief Sidharta, P.T Alumni, Bandung, 2005.

Soeprapto, Maria Farida, Ilmu Perundang-undangan, dasar-dasar dan Pembentukannya, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, Cet ke-11, 2006

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 2000.

Suherman, Ade Maman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, Civil Law, Common Law dan Hukum Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.

Suseno, Franz Magnis, Etika Politik, Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Gramedia, Jakarta, 1987.

Strong, CF, Modern Political Constitution, An Introduction to the Comparative Studyof Their History and Existing Form, The English Book Society and Sidgwick & Jackson, Limited London, 1966

Suhelmi, Ahmad, Pemikiran Politik Barat, kajian sejarah, perkembangan pemikiran Negara, masyarakat dan kekuasaan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2007.

Wheare, KC, Modern Constitution, Oxford University Press, 1996

Wignjosoebroto, Soetandyo, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional, dinamika social politik dalam perkembangan hukum di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.

[1] In optima forma adalah dalam bentuknya yang optional, ia dapat juga dinamakan “Dokmatika Hukum” Bahasa Jerman : “Rechtsdogmatik Jurisprudenz”. Untuk mengetahui lebih lanjuttentang ini baca D.H.M. Muuwissen, Rechtwentenschap, Koninkrijk der Nederlanden, 1982, Hal. 54

[2] Pada abad pertengahan ini dibagi menjadi 2 (dua) bagian yaitu Masa Gelap dan Masa Scholastik. Pada masa Gelap ditandai dengan adanya runtuhnya Kekaisaran Romawi akibat serangan bangsa lain yang dianggap terbelakang, yaitu suku Germania. Sedangkan Masa Scholastik ditandai dengan bermunculannya teori-teori hukum yang bercorak khusus, yakni ajaran Ketuhanan, yakni ajaran Kristen.

[3] L.B. Curson, Jurisprudence, Cet. 1, London : Cavendish Publishing, 1993, Hal. 93

[4] Pada yang demikian itu termaktub bahwa kekuasaan adalah melahirkan hukum positif yang kemudian diterapkan kepada masyarakat yang menjadi bagian kekuasaan pemerintahan dalam suatu kekuasaan suatu wilayah tertentu. Untuk lebih mengetahui masalah yang berkaitan dengan itu, baca Lili Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, Hal. 56

[5] Unsur-unsur hukum yang disebutkan diatas merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, yang menjadi suatu ikatan antar satu dengan yang lainnya. Untuk mengkaji lebih lanjut mengenai unsur-unsur Hukum menurut Austin, silakan baca Bentham, Austin and Classical English Positivism, Hal. 214 – 229

[6] Comte melihat satu hukum universal dalam semua ilmu pengetahuan yang kemudian ia sebut sebagai ‘hukum tiga fase’. Melalui hukumnya ia mulai dikenal di seluruh wilayah berbahasa Inggris (English-speaking world); menurutnya, masyarakat berkembang melalui tiga fase: Teologi, Metafisika, dan tahap positif (atau sering juga disebut “tahap ilmiah”). Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum, Gajah Mada University Press, 2009, Hal. 94

[7] Bruggink menyebutkan demikian, Bruggink juga menuliskan tentang Pohon/Skema Hukum dogmatic dalam arti sempit dan dalam arti luas. Untuk dapat memahami teori ini baca : J.J.H. Bruggink, Rechts Reflekties, Kluwer, Nederland, 1995, Hal. 167

[8] Munir Fuady, Perbandingan Ilmu Hukum, Refika Adhitama, Bandung, 2007, Hal 65

[9] Dasar-dasar sejarah itu dapat dilihat dan dibaca secara singkat dalam bukunya : Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2000, Hal. 269

[10] Franz Magnis Suseno, Etika Politik, Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Gramedia, Jakarta, 1987, hal. 87-88

[11] Selain itu disebutkan kenapa dibutuhkan aliran hukum positif, diantaranya (1) kelemahan dalam system hukum kodrat, (2) tidak adanya definisi yang jelas mengenai hukum kodrat itu sendiri, (3) Kepastian hukum hukum kodrat yang lemah, padahal masyarakat sipil membutuhkan kepastian, (4) Hukum kodrat tidak memberikan ketentuan praktis, dan (5) Ketaatan pada hukum kodrat lebih tergantung pada nurani individu. Untuk lebih memantapkan terhadap pengetahuan akan kelemahan-kelemahan yang dimiliki oleh Hukum Kodrat ini silakan baca : Ade Maman Suherman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, Civil Law, Common Law dan Hukum Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, Hal. 35-36

[12] Ade Maman Suherman, Ibid

[13] Teori Utility ini adalah dimana hukum haruslah memberikan kepuasan yang sebesar-besarnya (greates happines) bagi sebanyak-banyaknya manusia. Untuk membahas masalah ini sialakan baca : Jeremy Bentham, The Theory of Legislation, NM Tripathi Private Limited, Bombay, 1979, Hal 37

[14] Termininologi ini disarikan dari tulisan Hans Kelsen, Introduction to The Problem of Legal Theory, Clarendon Press-Oxford, 1996, Hal 53-70

[15] Hans Kelsen, The Theory of Law and The International Legal System – A Talk. Diakses dari European Journal of International Law. Artikel ini dapat diakses pada: http:www.ejil.org/journal/vol9/No2/art8-02.html

[16] Lecture: 23 Legal Positivism,http.www.utexas.edu/ caourses/ ph1347/ lectures/ lec23.html

[17] Mengenai itu dapat dibaca pada Lecture: 23 Legal Positivism, Ibid dan juga pada Hans Kelsen, Introduction to The Problem of Legal Theory, Op Cit, hal 42

[18] Lecture: 23 Legal Positivism, Ibid

[19] Dalam bukunya yang terkenal Jeremy Bentham, The Theory of Legislation, NM Tripathi Private Limited, Bombay, 1979

[20] Buku yang terkenal adalah Austin, The Province of Jurisprudence Determined, (1832) Lecture VI (edisi 1954)

[21] Buku yang spektakuler dari Hans Kelsen, Pure Theori of Law, Berkely: University California Press, 1978. Atau ada lagi Hans Kelsen, Geberal Theory Law And State, The School of Law of The New York University, 1937

[22] Karya agung H.L.A Hart, The Concept of Law, New York: Clanrendon Press-Oxford, 1997

[23] Dikatakan sui generis dikarenakan Ilmu Hukum adalah merupakan ilmu jenis sendiri, diakatakan jenis sendiri dikarenakan ilmu hukum dengan kualitas ilmiah sulit dikelompokkan dalam salah satu cabang pohon ilmu. Untuk mengetahui lebih lanjut masalah ini, sialakan baca Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, Hal 1-3

[24] Untuk memperjelas masalaha ini, baca : Hans Kelsen, Pure Theori of Law, Berkely: University California Press, 1978, Hal 5-13

[25] Pandangan itulah yang kemudian menjadi dasar dalam teori ini yang kemudian disebutkan sebagai teori hukum Murni, karena hukum adalah undang-undang, dan bukan yang lain.

[26] Yaitu mewajibkan harus diterima sebagai syarat yang tidak dapat dielakkan untuk mengerti hukum sebagai hukum

[27] Grundnorm merupakan norma dasar yang menjadi pijakan oleh norma-norma yang ada dibawahnya. Lebih lanjut baca : Benyamin Akzin, Law, State, and International Legal Order: Essays in Honor of Kelsen, Knokville, The University of Tennesse, 1964, Hal 3-5

[28] Stufentheori adalah menyatakan bahwa norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi.

[29] Hans Nawiasky, Allgemeine Rechtslehre als System lichen Grundbegriffe, Einsiedenln/Zurich/Koln, Benziger, cet 2, 1948, Hal. 31 dsb

            [30] Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 2000, Hal.51

            [31] Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta, 2005, Hal. 87 – 91

            [32] Peter Mahmud Marzuki, Ibid, Hal. 87

            [33] Otje Salman dan F. Susanto, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung, 2005, Hal. 46

            [34] Lily Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, Hal. 56

            [35] Lily Rasjidi dan I.B Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, CV. Mandar Maju, Bandung 2003, Hal. 119-120

            [36] Hans Kelsen, Pure Theory Of Law, Berkely: Unibersity California Press 1978, Hal. 1

            [37] Hans Kelsen, General Theory Of Law And State, Terjemahan Somardi, Bee Media Indonesia, Jakarta, 2007, Hal. 202-203

            [38] Hans Kelsen, Op Cit, Hal. 165-169

            [39] Lily Rasjidi dan I.B Wyasa Putra, Op Cit, Hal. 121

            [40] J.J.H. Bruggink, Rechts Refflectie, Grondbegrippen Uit De Rechtstheory, Alih Bahasa B. Arief Sidharta, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, Hal. 163

            [41] Lily Rasjidi, Op Cit, Hal. 66

            [42] Lily Rasjidi,, Ibid, Hal. 66

            [43] Paul Scholten, De Struktuur Der Rechtswetenschap, Alih Bahasa B. Arief Sidharta, P.T Alumni, Bandung, 2005, Hal. 6

            [44] Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Prenada Media, Jakarta, 2005, Hal. 3

[45] Kritik terhadap pandangan Hans Kelsen itu juga dapat dibaca melalui bukunya : Friemann, Theori and Philosophy of Law, Universiy of Paris, 1973, hal. 285

[46] Friedmann, Ibid

[47] Mengenai konsep hukum responsive, otonom dan represif dapat dibaca dan dipahami melalui buku : Philippe Nonet and Philip Selznick, Law and Society in Transition: To Reward Responsive Law, Harper and Row, New York, 1978, hal.

[48] Friedmann, Legal Theory, Steven & Son, London, 1960, Hal. 2-8

Continue Reading