PROBLEMATIKA SENGKETA PERTANAHAN DAN SOLUSI ALTERNATIF PENYELESAIAN DALAM PROSES PERADILAN

PROBLEMATIKA SENGKETA PERTANAHAN

DAN SOLUSI ALTERNATIF

PENYELESAIAN DALAM PROSES PERADILAN[1]

  1. PENDAHULUAN

Permasalahan kemiskinan dan ketimpangan sosial di Indonesia selayaknya diselesaikan dari akar masalahnya. Dengan sebagian besar penduduknya adalah petani dan nelayan maka permasalahan ketersediaan lahan di Indonesia merupakan masalah kunci sebagai salah satu pintu masuk menyelesaikan permasalahan sosial dan kemiskinan. Dewasa ini masalah pertanahan belum dapat dipecahkan sebagimana yang diharapkan, bahkan semakin rumit sejalan dengan meningkatnya berbagai kegiatan pembangunan dan aktivitas masyarakat itu sendiri.[2] Media massa cetak maupun elektronik telah melaporkan berbagai sengketa pertanahan yang terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia, dengan berbagai variasi masalah dan kecenderungan dampak buruk lainya.

Disampaikan juga bahwa sesungguhnya negara memiliki tanggung jawab untuk mengelola seluruh sumber daya agraria, untuk mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia. Seperti tercantum da lam pasal 33 ayat 3 amandemen keempat Undang­Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Pokok Agraria 1960 (UUPA 1960) bahwa bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.[3] Akan tetapi, dalam kurun waktu dekade terakhir ini, masalah pertanahan di Indonesia telah mencuat kepermukaan. Sa lah satu permasalahan dibidang pertanahan yang perlu mendapat perhatian semua pihak, yaitu semakin terkonsentrasinya pemilikan dan penguasaan tanah pada sekelompok kecil masyarakat.

Perbedaan penguasaan dan kepemilikan atas tanah-tanah pertanian tiap tahunnya semakin tampak. Konsentrasi kepemi likan lahan pun semakin tajam. Hasil Sensus Pertanian 2003 menyebutkan, jumlah rumah tangga petani gurem dengan penguasaan lahan kurang dari 0,5 hektar-milik sendiri maupun menyewa meningkat 2.6 persen per tahun dari 10.8 juta rumah tangga (1993) menjadi 13.7 juta rumah tangga (2003). Untuk jumlah petani gurem saja, pada 1983 persentasenya mencapai 40.8 persen. Pada 1993 meningkat menjadi 48.5 persen dan pada 2003 kembali meningkat menjadi 56.5 persen. Dari 24.3 juta rumah tangga petani berbasis lahan, terdapat 20.1 juta (82.7 persen) di antaranya dapat dikategorikan miskin.[4] Itu menunjukkan ketimpangan distribusi pemilikan tanah.

Menurut Berita Resmi Statistik (Maret 2010) Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran perkapita perbulan di bawah Garis Kemiskinan) di Indonesia pada Maret 2010 mencapai 31,02 juta (13,33 persen), turun 1,51 juta dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2009 yang sebesar 32,53 juta (14,15 persen). Selama periode Maret 2009-Maret 2010, penduduk miskin di daerah perkotaan berkurang 0,81 juta (dari 11,91 juta pada Maret 2009 menjadi 11,10 juta pada Maret 2010), sementara di daerah perdesaan berkurang 0,69 juta orang (dari 20,62 juta pada Maret 2009 menjadi 19,93 juta pada Maret 2010). Persentase penduduk miskin antara daerah perkotaan dan perdesaan tidak banyak berubah selama periode ini. Pada Maret 2009, 63,38 persen penduduk miskin berada di daerah perdesaan, sedangkan pada Maret 2010 sebesar 64,23 persen (BPS 2011).[5]

Dari data tersebut artinya dari keseluruhan pengangguran di Indonesia, lebih dari setengahnya berada di wilayah perdesaan. Sensus pertanian tahun 1993 menunjukan bahwa 69% luas tanah pertanian dikuasai o leh 16% rumah tangga pedesaan, sementara 31% luas tanah pertanian sisanya dikuasai oleh sebagian besar petani kecil dan tunakisma (84% rumah tangga pedesaan).[6] Fenomena tersebut semakin diperburuk dengan adanya fragmentasi tanah yang semakin tidak bisa dihindari, alih fungsi tanah pertanian kepengunaan non pertanian yang tidak terkendali, masalah lingkungan sebagai akibat eksploitasi yang berlebihan dan masalah lainnya.

Perlu disadari bersama bahwa akses masyarakat terhadap sumberdaya lahan telah menjadi isu yang sangat penting, karena permasalahan ini tidak saja menyangkut faktor produksi namun menjadi faktor yang menentukan hubungan sosial dan perkembangan masyarakat.[7] Satu hal yang menarik untuk dikaji adalah masalah ketimpangan akses masyarakat terhadap sumberdaya agraria khususnya lahan yang menyangkut masalah penguasaan, kepemilikan dan pengusahaan lahan. Kondisi tersebut telah menyebabkan ketimpangan pada pemanfaatan yang diikuti pada perbedaan tingkat kesejahteraan antara masyarakat yang mempunyai akses dan yang tidak mempunyai akses terhadap sumber daya lahan yang ada khususnya pada masyarakat agraris di daerah pedesaan.

  1. AKAR POKOK PERSOALAN PERTANAHAN

Muchammad Tauchid dalam bukunya, Masalah Agraria, mengingatkan, persoalan agraria adalah persoalan hidup dan penghidupan manusia, karena tanah adalah asal dan sumber makanan.[8] Perebutan tanah berarti perebutan makanan, perebutan tiang hidup manusia. Untuk itu orang rela menumpahkan darah, mengorbankan segala yang ada untuk mempertahankan hidup selanjunya. Pengalaman hidup di era kolonialisme menjadikan cermin menyelami persoalan agraria yang mengakibatkan rakyat sengsara dan menderita. Demikian halnya para pembuat Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Hasilnya, UUPA menjadi mesin operasi untuk menghentikan ketidakadilan agraria akibat kolonialisme dan feodalisme. Beberapa contoh terjadinya insiden pembantaian warga di Mesuji, aksi jahit mulut warga Pulau Padang Riau di depan DPR, dan penembakan yang mengakibatkan tewasnya tiga warga di Kecamatan Lambu, Kabupaten Bima NTB.

Harus dipahami, konflik agraria yang berlangsung saat ini adalah konflik agraria yang bersifat struktural, yakni konflik yang melibatkan penduduk setempat berhadapan dengan kekuatan modal dan atau instrumen negara.[9] Umumnya konflik agraria bermula dari proses kebijakan pemerintah yang “me-negara-isasi” tanah-tanah milik komunitas. Kemudian di atas tanah yang diberi label “tanah negara” tersebut, pemerintah menguasakan kepada badan usaha milik swasta maupun pemerintah dalam berbagai hak pemanfaatan, seperti Hak Guna Usaha, Izin Usaha Pemanfaatan Hutan,  Izin Usaha Pertambangan, dan sebagainya. Konflik agraria yang bersifat struktural ini telah berlangsung sepanjang pemerintahan Orde Baru berkuasa. Konflik dan kekerasan yang menyertainya mencapai ribuan kasus.

KPA mencatat, rentan waktu 1970-2001 jumlah konflik agraria mencapai 1.753 berlangsung di 286 kabupaten/kota. Luas tanah yang disengketakan mencapai 10.892.203 hektare dan telah mengakibatkan tidak kurang 1.189.482 keluarga menjadi korban. Sayangnya, pascareformasi konflik tersebut dibiarkan tanpa ada proses penyelesaian yang memberi keadilan kepada korban. Bahkan yang terjadi, konflik yang disertai kekerasan masih terus berulang. Pada 2011 saja, sekurang-kurangnya telah terjadi 163 konflik yang terliput di media. Luas tanah yang disengketakan mencapai 472.480,44 hektare dan melibatkan 69.975 keluarga. Terdapat 22 orang meninggal, 279 orang ditahan, 34 orang tertembak, dan 147 orang yang mengalami penganiayaan (KPA, 2011).[10]

Maraknya konflik agraria akhir-akhir ini erat kaitannya dengan meningkatnya perampasan tanah (land grabbing).[11] Perampasan tanah adalah gejala global yang dipicu akuisisi lahan skala luas untuk kebutuhan pangan global. Melonjaknya harga pangan dunia karena krisis finansial mendorong perubahan strategi negara-negara kaya tapi miskin pangan dalam memenuhi kebutuhan pangan domestik. Mereka tidak lagi megimpor bahan pangan, tetapi melancarkan pembelian dan penyewaan lahan di negara-negara berkembang yang mempunyai lahan luas. Studi GRAIN menunjukkan bahwa antara 2006-2009 gelombang akuisisi lahan transaksinya mencapai hampir 37-49 juta hektare.

Selain itu, perampasan tanah menjadi bagian penting dari perluasan usaha kapital. Melalui pemberlakuan hukum agraria baru yang mengatur usaha-usaha perkebunan, kehutanan, dan pertambangan, perusahan-perusahan kapital dapat memperoleh akses eksklusif atas tanah dan kekayaan alam. Rakyat yang sebagai pemilik awal dari tanah dan kekayaan alam dikeluarkan dari wilayah tersebut melalui pemberlakuan hukum, penggunaan kekerasan, pemegaran wilayah secara fisik, serta penggunaan simbol-simbol baru yang menunjukkan, bukan lagi rakyat yang memiliki wilayah tersebut. Penting untuk disadari, perampasan tanah tidak hanya mengakibatkan konflik agraria semakin tinggi karena adaya proses perlawanan dari para korban, tetapi dalam jangka panjang menjadi proses pembunuhan petani dan dunia perdesaan secara sistematis.

Secara umum, sengketa tanah timbul akibat adanya beberapa faktor, faktor-faktor ini yang sangat dominan dalam setiap sengketa pertanahan dimanapun, adapun faktor-faktor tersebut antara lain:[12]

  1. Peraturan yang belum lengkap;
  2. Ketidaksesuaian peraturan;
  3. Pejabat pertanahan yang kurang tanggap terhadap kebutuhan dan jumlah tanah yang tersedia;
  4. Data yang kurang akurat dan kurang lengkap;
  5. Data tanah yang keliru;
  6. Keterbatasan sumber daya manusia yang bertugas menyelesaikan sengketa tanah;
  7. Transaksi tanah yang keliru;
  8. Ulah pemohon hak atau
  9. Adanya penyelesaian dari instansi lain, sehingga terjadi tumpang tindih kewenangan.

Secara umum, sengketa pertanahan yang timbul di Indonesia dapat dikelompokkan ke dalam 4 klasifikasi permasalahan, yaitu permasalahan yang berkaitan dengan:[13]

  1. Pengakuan kepemilikan atas tanah;
  2. Peralihan hak atas tanah;
  3. Pembebanan hak dan
  4. Pendudukan eks tanah partikelir.

 

Ditinjau dari subyek yang bersengketa, sengketa pertanahan dapat dikelompokkan ke dalam 3 macam yaitu :[14]

  1. Sengketa tanah antar warga;
  2. Sengketa tanah antara Pemerintah Daerah dengan warga setempat, dan
  3. Sengketa yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam

 

Sedangkan menurut Kepala BPN Pusat, setidaknya ada tiga hal utama yang menyebabkan terjadinya sengketa tanah:[15]

  1. Persoalan administrasi sertifikasi tanah yang tidak jelas, akibatnya adalah ada tanah yang dimiliki oleh dua orang dengan memiliki sertifikat masing-masing.
  2. Distribusi kepemilikan tanah yang tidak merata. Ketidakseimbangan dalam distribusi kepemilikan tanah ini baik untuk tanah pertanian maupun bukan pertanian telah menimbulkan ketimpangan baik secara ekonomi, politis maupun sosiologis. Dalam hal ini, masyarakat bawah, khususnya petani/penggarap tanah memikul beban paling berat. Ketimpangan distribusi tanah ini tidak terlepas dari kebijakan ekonomi yang cenderung kapitalistik dan liberalistik. Atas nama pembangunan tanah-tanah garapan petani atau tanah milik masyarakat adat diambil alih oleh para pemodal dengan harga murah.
  3. Legalitas kepemilikan tanah yang semata-mata didasarkan pada bukti formal (sertifikat), tanpa memperhatikan produktivitas tanah. Akibatnya, secara legal (de jure), boleh jadi banyak tanah bersertifikat dimiliki oleh perusahaan atau para pemodal besar, karena mereka telah membelinya dari para petani/pemilik tanah, tetapi tanah tersebut lama ditelantarkan begitu saja. Mungkin sebagian orang menganggap remeh dengan memandang sebelah mata persoalan sengketa tanah ini, padahal persoalan ini merupakan persoalan yang harus segera di carikan solusinya. Kenapa demikian? karena sengketa tanah sangat berpotensi terjadinya konflik antar ras, suku dan agama. Akibatnya harga diri harus dipertaruhkan.
  4. URGENSI LAND REFORM BIDANG PERTANAHAN

Ketimpangan pemilikan dan penguasaan tanah di Indonesia, sebagaimana halnya ketimpangan ekonomi/tingkat pendapatan penduduknya adalah sangat tajam dan ironis. Di satu sisi banyak orang kaya yang memiliki tanah secara absentee[16] dan menjadikannya sebagai asset atau investasi, tetapi di sisi lain lebih banyak petani yang hanya mempunyai sebidang tanah yang tidak cukup untuk menghidupi keluarganya atau bahkan tidak mempunyai satu meter pun tanah untuk digarapnya. Dengan tujuan pemerataan dan untuk mencapai keadilan dalam perolehan dan pemanfaatan tanah maka program landreform yang telah lama dipeti-eskan (hanya menjadi program/kebijakan tehnis saja) haruslah digiatkan kembali.

Salah satu hasil karya anak bangsa terbaik, paling monumental, sekaligus revolusioner, yakni Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang selanjutnya disebut Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) merupakan Undang-Undangyang pertama kalinya memperkenalkan konsep Hak Menguasai Negara. Perumusan pasal 33 dalam UUD 1945:[17] “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.[18] Inilah dasar konstitusional pembentukan dan perumusan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Dua hal pokok dari pasal ini adalah sejak awal telah diterima bahwa Negara ikut campur untuk mengatur sumber daya alam sebagai alat produksi, dan pengaturan tersebut adalah dalam rangka untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Penghubungan keduanya bersifat saling berkait sehingga penerapan yang satu tidak mengabaikan yang lain.

Setelah proses pembahasan RUUPA yang berlangsung beberapa lama, Mr. Sadjarwo sebagai Menteri Agraria saat itu mengucapkan pidato pengantarnya. Dikatakan dengan jelas bahwa:[19]

“…perjuangan perombakan hukum agraria nasional berjalan erat dengan sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari cengkraman, pengaruh, dan sisa-sisa penjajahan; khususnya perjuangan rakyat tani untuk membebaskan diri dari kekangan­kekangan sistem feodal atas tanah dan pemerasan kaum modal asing…”.

Semangat untuk mengisi stelsel negara baru pasca kemerdekaan ini dipengaruhi oleh dinamika dari pelbagai ideologi dan kekuatan sosial-politik yang memberi sumbangan dalam pergerakan anti kolonialisme. Soetandyo Wignjosoebroto menyatakan:[20]

“…yang sangat dipentingkan pada saat itu memang bukan resultat-resultat hukum perundang-undangan yang dibuat. Dalam suasana Demokrasi Terpimpin yang hendak lebih ditegaskan dan diungkapkan pada waktu itu adalah kerevolusineran tekad untuk menolak pikiran-pikiran yang berasal dari negeri-negeri liberal kapitalis yang dituduh akan meracuni jiwa bangsa…”.

Semangat menentang strategi kapitalisme dan kolonialisme yang telah menyebabkan terjadinya “penghisapan manusia atas manusia” (exploitation de l’homme par l’homme) di satu sisi; dan sekaligus menentang strategi sosialisme yang dianggap “meniadakan hak-hak individual atas tanah” di sisi lain menjadi landasan ideologis dan filosofis pembentukan UUPA.

Dalam Penjelasan Umumnya, dinyatakan dengan jelas bahwa tujuan diberlakukannya UUPA adalah:[21]

  1. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang akan merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur;
  2. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan;
  3. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.

Hal penting lainnya adalah bahwa UUPA sebenarnya tidak lepas dari konteks landreform yang menjadi agenda pokok pembentukan struktur agraria saat itu. Paket peraturan perundang­undangan landreform ini telah dimulai dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil yang dikeluarkan untuk mengawasi adat tentang praktek bagi hasil.[22] Ini bertujuan menegakkan keadilan dalam hubungan pemilik tanah yang tidak dapat mengerjakan tanahnya sendiri, dengan penggarap. Perlindungan ini terutama ditujukan kepada penggarap yang umumnya secara ekonomis lebih lemah sekaligus memacunya untuk menambah produksi10. Demikian juga Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang redistribusi tanah pertanian.

UUPA lahir dengan latar belakang yang sederhana, supaya kesejahteraan rakyat kecil juga diperhatikan.[23] Hal ini sesuai dengan program landreform saat itu yang dikampanyekan dalam rangka revolusi nasional Indonesia. Dalam pidato Presiden Soekarno tanggal 17 Agustus 1960 dinyatakan, ìMelaksanakan landreform berarti melaksanakan satu bagian yang mutlak dari revolusi Indonesia. Revolusi Indonesia tanpa landreform adalah sama saja dengan gedung tanpa alas, sama saja dengan pohon tanpa batang, sama saja dengan omong besar tanpa isi”.

Program landreform memiliki tujuan untuk memperkuat dan memperluas pemilikan tanah bagi warga negara Indonesia, terutama kaum tani. Juga untuk menghapus sistem tuan tanah dan pemilikan tanah tanpa batas. Dalam hal ini, pemilikan tanah tanpa batas tidak diperkenankan lagi sehingga diatur luas maksimum tanah yang dapat dimiliki. Kelebihan tanah dari batas maksimum itu diambil oleh pemerintah dengan ganti kerugian untuk kemudian dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan dalam program redistribusi tanah.

Sejak awal pelaksanaannya tahun 1961, program landreform sering dianggap sebagai gagasan PKI, konsepsi komunis, lebih-lebih setelah terjadinya Gerakan 30 September PKI. Dengan dibubarkannya partai komunis itu, dianggap perlu juga untuk membubarkan program landreform dan tanah-tanah yang telah diredistribusi kepada rakyat harus dikembalikan kepada pemiliknya semula. Padahal, konsep landreform yang memberi penggantian kerugian berbeda dengan konsepsi komunis di mana tanah diambil negara tanpa suatu ganti rugi.

Dalam usianya yang semakin tua ini, UUPA telah memberikan dukungan dalam pembangunan, khususnya yang berhubungan dengan tanah. Namun, UUPA juga menunjukan kelemahan dalam kelengkapan isi dan rumusannnya. Kelemahan UUPA tersebut, pada masa orde baru telah dimanfaatkan dengan memberikan tafsiran yang menyimpang dari azas dan tujuan ketentuan yang bersangkutan. Pada masa orde baru, orientasi kerakyatan ditinggalkan, orientasi agraria lebih ditekankan pada pemberian kesempatan investor-investor dan pemodal-pemodal besar untuk dapat memiliki tanah guna kepentingan pembangunan.[24]

Akibatnya adalah berupa warisan konflik pertanahan yang tampak sekarang ini. Oleh sebab itu perangkat-perangkat hukum yang ada dalam UUPA perlu di perbaiki, bila perlu dengan melakukan perobahan ketentuan dan rumusan lembaga-lembaga dan peraturan-peraturannya, agar tersedia perangkat hukum yang lengkap dan jelas, untuk menghindari penafsiran yang keliru dalam pelaksanaannya. Dengan demikian akan tercipta kepastian hukum dan memberikan perlindungan hukum yang seimbang kepada semua pihak dalam pelaksanaan pembangunan dan kehidupan sehari-hari.

Banyaknya konflik-konflik pertanahan yang seringkali merugikan masyarakat, mendorong perlunya dilakukan pembaruan agraria di negeri ini. Pembaruan agraria itu adalah sesuai dengan Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Pembaruan agraria itu hanya akan berhasil, apabila pembaruan hukum agraria itu mengutamakan petani sebagai pilar utama pembangunan ekonomi nasional, dengan tidak mengabaikan kepentingan investor-investor dan pemodal-pemodal besar sebagai salah satu sumber pembiayaan pembangunan.

Pada dasarnya Agrarian reform Indonesia itu meliputi 5 program (Panca Program), yaitu:[25]

  1. Pembaharuan hukum agraria, melalui unifikasi hukum yang berkonsepsi nasional dan pemberian jaminan kepastian hukum;
  2. Penghapusan hak-hak asing dan konsesi-konsesi kolonial atas tanah;
  3. Mengakhiri penghisapan feodal secara berangsur-angsur;
  4. Perombakan pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan-hubungan hukum yang bersangkutan dengan penguasaan tanah dalam mewujudkan pemerataan kemakmuran dan keadilan;
  5. Perencanaan persediaan dan peruntukan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya serta penggunaanya secara terencana, sesuai dengan daya dukung dan kemampuannya.

Latar belakang dan tujuan landreform tergantung kepada faktor-faktor yang memungkin adanya suatu landreform, termasuk didalamnya adalah tekanan demografi penduduk, system-sistem sosial yang tidak seimbang, tekanan nasionalisme, kegelisahan masyarakat desa dan kekerasan dari luar. Beberapa negara mempergunakan landreform untuk mencapai atau mempertahankan kekuatan dan lainnya menganggap ini sebagai gerakan politik untuk menghindari revolusi yang akan terjadi melawan suatu rezim.

Dalam prakteknya, landreform dijalankan untuk menunjukan reaksi terhadap tekanan politik dari perubahan social ekonomi, yang ditimbulkan oleh faktor-faktor seperti tekanan pertambahan penduduk disuatu daerah, baik distribusi tanah maupun pendapatan. Dengan demikian tujuan landreform itu sesungguhnya adalah untuk melakukan perubahan terhadap taraf hidup rakyat, khususnya petani, agar menjadi lebih baik, dengan meningkatkan hasil produksi dan memberikan kepemilikan terhadap tanah bagi petani kecil dan penggarap, yang pada akhirnya akan menuju masyarakat adil dan makmur.[26]

Tujuan land reform menurut Michael Lipton dalam Arie S. Hutagalung   adalah :[27]

  1. Menciptakan pemerataan hak atas tanah diantara para pemilik tanah. Ini dilakukan melalui usaha yang intensif yaitu dengan redisribusi tanah, untuk mengurangi perbedaan pendapatan antara petani besar dan kecil yang dapat merupakan usaha untuk memperbaiki persamaan diantara petani secara menyeluruh.
  2. Untuk meningkatkan dan memperbaiki daya guna penggunaan tanah. Dengan ketersediaan lahan yang dimilikinya sendiri maka petani akan berupaya meningkatkan produktivitasnya terhadap lahan yang diperuntukkan untuk pertanian tersebut, kemudian secara langasung akan mengurangi jumlah petani penggarap yang hanya mengandalkan sistem bagi hasil yang cenderung merugikan para petani.

Hal lain yang juga bisa dimaksimalkan dari pelaksanaan land reform adalah suatu mekanisme proteksi yang lebih ketat terhadap perubahan penggunaan tanah, karena harus diakui bahwa pola pewarisan tanah dalam masyarakat Indonesia cenderung makin mendorong fragmentasi lahan sehingga penguasaan lahan oleh petani semakin kecil. Guna menjamin efektivitas dari land reform maka selain dilakukan redistribusi tanah maka harus ada kejelasan yang mengikat bahwa objek tanah/lahan tersebut tidak bisa berpindah tangan atau beralih peruntukkan penggunaannya, hal ini akan mengurangi perpindahan penguasaan dan pemilikkan tanah kepada spekulasi tanah atau kegiatan non pertanian lainnya.

Adapun tujuan Landreform dari segi Sosial, Ekonomi, Politik dan Psikologis meliputi:[28]

  1. Segi Sosial Ekonomi

Landreform dapat memeperbaiki keadaan sosial ekonomi rakyat dengan memeperkuat hak milik dan memperbaiki produksi nasional khususnya sector pertanian guna memepertinggi penghasilan dan taraf hidup rakyat.

  1. Segi Sosial Politis

Dengan landreform sistem tuan tanah dapat dihapuskan dan pemilikan tanah dalam skala besar dapat dibatasi sehingga tanah dapat dibagikan secara adil agar menjadi sumber-sumber penghidupan rakyat tani.

  1. Segi Mental Psikologis

Landreform dapat meningkatkan kegairahan kerja bagi para petani penggarap dengan jalan memberikan kepastian hak mengenai pemilikan tanah serta dapat memperbaiki hubungan kerja antara pemilik tanah dengan penggarapnya

  1. SINKRONISASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN BIDANG PERTANAHAN

Problematik yang terjadi pada tataran normatif yaitu terdapat persoalan sinkronisasi dan konsistensi berbagai aturan hukum di bidang pertanahan dalam kaitannya dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Hal ini telah berlangsung secara periodik dan memiliki variasi karakter hukumnya.[29] Selama Orde Baru (1967 – 1998), aturan hukum mengenai sumber daya alam, khususnya di bidang pertanahan diterbitkan dikeluarkan secara sektoral dengan melepaskan kaitannya dengan UUPA sebagai aturan hukum pokok (“payung”) dari semua aturan hukum agraria. Karakteristik aturan hukum dan taraf kesinkronannya dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, sebagai berikut:[30]

  1. Pada periode 1967–1973, aturan hukum mengenai pertanahan tidak sinkron dan tidak konsisten dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan berkarakter: eksploitatif terhadap sumber daya alam; berpihak pada sistem ekonomi kapitalis (akumulasi modal); dan konservatif/ortodoks, yaitu hukum menjadi alat bagi pelaksanaan ideologi dan program negara (positivis instrumentalis).
  2. Pada periode tahun 1973–1984, aturan hukum mengenai penguasaan tanah memiliki karakter: Konservatif/ortodoks, dengan ciri pemerintah sangat dominan dalam pembentukkan hukum dan menentukan arah perkembangan hukum masyarakat; Represif; dan Pragmatis dan sangat akomodatif terhadap kekuatan modal (capitalism), terutama kekuatan modal asing lewat negara donor maupun lembaga-lembaga keuangan Internasional. Dengan demikian, aturan hukum pada periode ini juga tidak selaras (tidak sinkron dan tidak konsisten) dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
  3. Pada periode tahun 1984–1990-an, aturan hukum mengenai penguasaan tanah berorientasi untuk memudahkan perolehan tanah bagi investasi, oleh karena itu karakter peraturannya bersifat pragmatis dan sangat akomodatif terhadap kepentingan modal. Disamping itu, bersifat defensif-reaktif, artinya sangat reaksioner terhadap berbagai sengketa agraria yang muncul pada saat itu dan melihatnya sebagai persoalan administratif belaka. Aturan hukum pada periode ini juga tidak sinkron dan tidak konsisten dengan semangat yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
  4. Periode Desentralisasi (1998–2003), peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan yang mencerminkan ketidakpastian hukum (ambivalence), akibatnya terjadi ketidaksinkronan dan ketidakkonsistenan aturan hukum di bidang pertanahan. Karakter Peraturan Perundang-undangan pada periode ini bersifat pragmatism-reaktif, dan parsial. Artinya peraturan-peraturan yang dikeluarkan tidak didasarkan pada suatu format tertentu yang secara integral berkesinambungan dan sistematis. Meskipun peraturan tersebut berkarakter pragmatism-reaktif, tetapi materi muatannya lebih selaras (sinkron dan konsisten) dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 junto Pasal 2 dan 14 UUPA junto Pasal 11 dan 12 UU No. 22 Tahun 1999.
  5. Periode Resentralisasi (2004–2006), terjadi arus penarikan kembali kewenangan daerah di bidang agrarian oleh pemerintah pusat, sehingga wewenang agraria/pertanahan menjadi tersentralisasi lagi pada pemerintah (pusat). Hal ini ditandai dengan diberlakukannya Perpres No. 36 Tahun 2005 yang kemudian diubah dengan Perpres No. 65 Tahun 2006 dan Perpres No. 10 Tahun 2006. Substansi ketiga Perpres tersebut berkarakter represif dan berorientasi meningkatkan devisa negara lewat pembangunan dengan keberpihakan penuh pada pemilik modal (capital). Selain itu, menempatkan otoritas/kewenangan yang begitu besar kepada BPN (institusi pemerintah (pusat). Dengan demikian, Peraturan Perundang-undangan pada periode ini tidak selaras (tidak sinkron dan tidak konsisten) dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

Konflik landasan hukum penetapan Rencana Pembagunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang berjangka 5 tahun sebagai penjabaran visi, misi, dan program kepala daerah terpilih.[31] Hal ini disebabkan karena dalam UU No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional di jelaskan bahwa RPJMD cukup ditetapkan oleh Kepala Daerah melalui peraturan kepala daerah. Namun dalam UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, penetapan RPJMD melalui peraturan daerah yang ditetapkan oleh DPRD. Akibatnya di banyak daerah terutama yang kepala daerah terpilih tidak mendapat dukungan mayoritas di DPRD berselisih paham tentang penetapan RPJMD dan menjadikan perdebatan ini sebagai komoditas politik lokal.

Adanya empat Undang-undang yang secara berhimpitan mengatur mengenai perencanaan dan penganggaran. UU No.25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang mengatur khusus mengenai perencanaan, sementara UU No. 17 tahun 2004 tentang keuangan negara mengatur pengelolaan keuangan negara dan daerah. Dipihak lain UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah juga mengatur perencanaan dan penganggaran di daerah. UU No.17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara telah memperkuat peran Departemen Keuangan sampai pada proses-proses perencanaan dan penganggaran di daerah. Dan kemudian lahirlah UU No. 25 tahun 2004 tentang SPPN yang mempertahankan eksistensi Bappenas yang melemah bahkan dikhawatirkan dilikuidasi akibat hadirnya UU No. 17 tersebut, Hal in menunjukkan bahwa kebijakan yang dilahirkan pemerintah terkait perencanaan dan penganggaran ini bukanlah berdasarkan kebutuhan yang ada melainkan sekedar berdasarkan pertarungan kepentingan antara departemen.[32]

Norma hukum terkait Perencanaan dan Penganggaran yang terdapat dan diatur dalam UU No. 17 tahun 2003 dan UU No. 33 tahun 2004 sangat mirip dan multi intepretatif, dalam prakteknya kehadiran kedua Undang-Undang yang mengatur secara bersamaan membuat kebingungan dalam implementasi di lapangan. UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara tidak dapat diberlakukan di Provinsi Bangka Belitung dikarenakan substansi dari UU tersebut mengatur tata cara penambangan yang lazim digunakan untuk penambangan emas bukan jenis penambangan mineral lainnya.

Semua aturan berkaitan dengan Agraria dan pertanahan harus mengacu pada Pasal 33 UUD 45 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, hal itu dilakuan dengan melakukan koreksi terhadap peraturan-peraturan di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, baik melalui instansi terkait maupun melalui jalur Judicial Review, Eksekutif Review maupun legislatif review.[33]

Sinkronisasi peraturan perundang-undangan dilakukan bukan hanya setelah UU dibuat, namun justru pada saat proses UU tersebut dibuat sinkronisasi harus dilakukan dengan mempertemukan masing-masing departemen dan mempertemukan kepentingan demi mengeliminir ego sektoral.[34] Jika terdapat dua atau lebih UU yang mengatur secara bersamaan norma hukum yang mirip/sama, akan lebih baik jika di kodifikasi menjadi satu paket Undang-UndangRevisi UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara dengan melibatkan pemerintah daerah dan tim ahli yang memahami tentang pertambangan.Mensinkronkan peraturan perundang-undangan dengan UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pasal-Pasal dalam UUD 45 yang memberi perlindungan kepada lingkungan hidup.

Berdasarkan kajian di atas, ternyata masalah urusan pertanahan, kehutanan dan pertambangan disebabkan karena kurangnya pengaturan dalam kosepsi dasar dan peraturan-perundang-undangan sektor banyak yang belum sinkron dengan undang-undang pemerintahan daerah serta implementasinya belum dilaksanakan dengan konsisten. Untuk itu saran dalam penyempurnaan undang-undang tentang pemerintahan daerah serta perbaikan pelaksanaannya di masa yang akan datang dapat dijelaskan sebagai berikut:[35]

  1. Pertama,  pentingnya pengaturan  pertanahan,  kehutanan dan pertambangan perlu diatur secara khusus dalam pasal tersendiri pada revisi undang-undang pemerintahan daerah;
  2. Kedua, sebagai syarat dasar daerah otonom melaksanakan ketiga  urusan ini, wajib diterbitkan terlebih dahulu Norma, Standar, Kriteria dan Prosedur (NSPK) bidang pertanahan, kehutanan maupun NSPK bidang pertambangan.  Selanjutnya  urusan tersebut dapat dilaksanakan oleh daerah otonom secara penuh diikuti pembinaan dan pengawasannya secara melekat;
  3. ketiga, perlu segera dilakukan harmonisasi peraturan-perundang-undangan yang tidak sesuai dengan undang-undang pemerintahan daerah; keempat, untuk menghindari kekosongan penetapan NSPK dalam waktu yang lama, akibat dari lamanya proses penyusunannya, maka penetapan NSPK dapat dipecah dalam  sub bidang-sub bidang misalnya di bidang pertambangan, diterbitkan dulu NSPK pertambangan biji besi, NSPK pertambangan timah NSPK pertambangan batubara. NSPK di bidang kehutanan dapat diterbitkan dahulu NSPK kuasa kehutanan, NSPK penebangan pohon, NSPK reboisasi, NSPK konservasi lahan, NSPK satwa liar;
  4. keempat, perlu diatur sanksi serta penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran NSPK di bidang pertanahan, kehutanan dan pertambangan;
  5. Kelima, meskipun tanah, hutan dan tambang penting untuk kelangsungan hidup negara, kepentingan umum dan kelestarian lingkungan hidup, maka urusan pertanahan,  kehutanan dan  pertambangan tetap merupakan urusan yang didesentralisasikan serta  tetap mendorong inovasi dan kreatifitas  daerah dalam pemanfaatannya.

Pada prinsipnya adalah harus ada harmonisasi hukum, antar undang-undang maupun peraturan organiknya harus sinkron dan harmonis.[36] Menatap pada perubahan sistem hubungan antara pusat dan daerah yang di dalamnya juga menyangkut perubahan kewenangan maka sudah saatnya sinkronisasi dan harmonisasi dilakukan dengan merubah peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih dan saling bertentangan dan memberikan akses yang besar bagi masyarakat untuk ambil bagian dalam melakukan sinkronisasi dan harmonisasi.[37] Ketika masyarakat dilibatkan maka kebijakan pertanahan pada khususnya dan sumber-sumber agraria yang lain akan mengakar pada kepentingan masyarakat lokal. Perkara kesejahteraan, itu hanya persoalan dampak sehingga akan tumbuh dengan sendirinya apabila setiap warga negara mempunyai akses yang sama terhadap sumber-sumber agraria.

  1. PENYELESAIAN SENGKETA PERTANAHAN MERUPAKAN TANGGUNG JAWAB BERSAMA

Konflik agraria masih saja merambah nusantara, di televisi, di radio, di koran-koran terus saja menjadi berita utama. Tanah adalah salah satu obyek yang sering menjadi rebutan dan perdebatan.[38] Tidak jarang berkembang menjadi pertikaian yang tak berkesudahan. Mewujudkan rasa keadilan dalam sektor agraria atau kebumian sudah menjadi keharusan semua pihak, baik dalam azas ketegasan hukum Negara maupun azas kepatutan Masyarakat Adat. Untuk itu penting untuk dipahami dan direnungi kembali, sudahkan tanah, bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya didudukan sebagai perekat berbangsa dan bernegara, sekaligus hakekat hubungan manusia dengan Tuhannya. Karena Tuhanlah Sang Pencipta dan Maha Kuasa, menciptakan tanah beserta isinya. Dalam pelajaran di sekolah dan juga pada pelajaran agama apapun pasti mengajarkan kepada kita, bahwa bumi beserta isinya adalah ciptaan Tuhan. Sudah sepatutnya permasalahan agraria dapat mengantarkan kita pada pendalaman dan pemahaman tentang relasi antara manusia dan Tuhan. Dengan demikian manusia dalam hakekat hidup bersama di atas tanah atau bumi, dapat menuju dan meyakini kembali sebagai mahkluk yang berketuhanan.

Sektor agraria telah banyak diatur dalam Konstitusi Negara kita.[39] Negara dimandatkan oleh rakyat untuk mengelola bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.  Cita-cita mulia tersebut semestinya mencegah adanya pertikaian antara Negara dan Rakyat. “Tanah-tanah di nusantara ini  semestinya dibebaskan dari dominasi kerakusan pemodal atau kekuasaan semata”. Spirit berketuhanan dalam pengelolaan agraria masih banyak kita jumpai di berbagai komunitas adat di berbagai wilayah nusantara. Masyarakat adat mengelolanya berdasarkan kearifan. Semua aktifitas di atas bumi dilakukan atas restu, petunjuk dan hasilnya di persembahkan lagi kepada Sang Pencipta bumi –Tuhan.  Bahkan dalam kearifan lokal masyarakat adat, tanah tidak boleh dimiliki atau menjadi kepemilikan tunggal. Warga Adat pun meyakini, untuk bisa hidup dan dihidupi oleh alam berarti banyak pula kewajiban yang harus dilakukan di atas tanah muka bumi ini.  Berdasarkan pengalaman dan kewajiban  hidup yang demikian, maka  pola hidup komunal masyarakat adat bukanlah persoalan kebetulan, tetapi sebaliknya sudah menjadi kebutuhan bersama (kepemilikan komunal).[40]

Dalam keyakinan Masyarakat Adat lainnya, hasil bumi boleh dan akan di konsumsi setelah dipersembahkan sebagai bentuk penghormatan dan permohonan ijin dari Tuhan Sang Pencipta. Setelah itu hasil bumi baru bisa di konsumsi untuk hidup dan menghidupi sepantasnya. Pola dan cara-cara hidup demikian lama-kelamaan terangkum mejadi sebuah tradisi, fungsi, dan tatanan kehidupan masyarakat adat yang mengedepankan kesantunan hidup bersama alam, sebagai contoh aktivitas Subak di Bali, atau sebutan lain di tempat lain. Karena merusak alam diyakini akan merusak diri sendiri, merusak alam sama saja merusak negara sendiri.

Lalu bagaimana halnya dengan maraknya konflik agraria di berbagai wilayah? Perlu kita cermati akar permasalahannya berdasarkaan konsepsi diatas. Apakah tanah-tanah tersebut sudah dikelola berdasarkan prinsif “berketuhanan” tadi? Baik yang dilakukan oleh komunitas adat, maupun oleh negara. Jika warga di wilayah adat tidak lagi mengelola tanah dan bumi “secara adat”  bisa dikatakan warga sedang mengalami “persoalan” karena tidak mampu lagi mengelola bumi secara beketuhanan. Dengan demikian negara berhak mengambil alih pengelolan tanah tersebut atas mandat konstitusi. Karena dalam mukadimah atau konsidran konstitusi atau peraturan dan perundang-udangan lainnya selalu menyebut atau tertulis “ Atas Rahmat Tuhan Yang Maha Esa”, menimbang, mengingat dan menetapkan dan seterusnya.

Lebih jauh bagaimana halnya jika Negara tidak mampu lagi melaksanakan mandat konstitusi dalam pengelolaan tanah tadi? Tentu sama saja, “Negara bisa juga dikatakan lalai atau tidak sedang melaksanakan prinsip-pirinsip pengelolaan tanah secara berketuhanan, karena hasil bumi tidak lagi mampu digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.[41]  Malah di beberapa tempat, negara melakukan pembiaran tanah tersebut menjadi “Tanah Tuan-Tuan”, atau milik segelintir “Para Tuan Tanah”. Jika negara dan rakyat sudah tidak lagi mampu mengelola tanah secara berketuhanan, maka sangat wajar jika tanah tersebut tidak akan menciptakan kesejahteraan, tapi sebaliknya menimbulkan kesengsaraan. “Jadi, kedua pihak Rakyat atau Negara bisa saja melakukan kelalian”.

Untuk itu dibutuhkan solusi secara komprehensif baik dari pemerintah pusat, daerah, peradilan dan seluruh masyarakat sekitar untuk meminimalisir adanya konflik dibidang pertanahan. Dalam upaya meminimalisir terhadap sengketa pertanahan, maka diperlukan strategi yang komprehensif guna mengantisipasi dan mengurangi angka sengeketa dibidang pertanahan, maka untuk itu perlu dilaksanakan beberapa upaya strategi sebagai berikut :[42]

  1. Strategis administrative Negara, yang sangat membutuhkan professional yang komprehenship/holistic (multidisiplin) yang tidak bisa diserahkan kepada professional berorientasi produk, perubahan struktur organisasi sektoral bukan berdasar produk (komoditas) tetapi struktur organisasi atas dasar proses. Hal ini meminimalisasi kepentingan-kepentingan sektoral atas dasar produk yang berdampak kebijakan yang dibuat menteri sebenarnya hanya hasil salah satu deputy yang tupoksinya produk bukan proses yang membutuhkan professional multidisiplin). Sekarang tidak bedanya format yang terjadi di Perguruan Tinggi dengan pembagian fakultasnya, apa seperti ini format Administrasi untuk semua Kementerian di Indonesia? Reformasi administrative. Khusus bidang pertanahan harus Bagaimana?
  2. Yudikatif, menyelesaikan timpang tindih perundangan dan rekomendasi perumusan payung regulasi pertanahan Negara dapat dibentuk “KPN” Komisi Pertanahan Negara yang merupakan bentuk implementasi regulasi kekuasaan Negara terhadap tanah Negara, yang sekarang diemban oleh kekuasaan pemerintah dan hanya sektoral.
  3. Strategi legislative (wakil rakyat) bersama presiden berkewajiban mengatur semua kebijakan terkait kekuasaan Negara, RAPBN (anggaran pendapatan dan belanja Negara sudah benar, RPTPN (Rencana Penyediaan Tanah Pembangunan Negara saat belum bekerja legislative, executive pun menyerahkan kepada sektoral yang menguasai (administrative–BPN, penguasaan tanah dominan –Kehutanan). Pertanyaannya apakah kehutanan bukan sektoral komoditas? Mengapa menguasai tanah Negara dan semua sektor mengacu kalau tidak mau dikatakan berbenturan dengan penguasaan oleh kehutanan yang sebenarnya penguasaannya oleh kekuasaan Negara. Sehingga perlu pertanyaan besar dimana letak demokrasinya untuk rakyat tanpa kekuasaan Negara yang bekerja (executive bersama legislative terkait dengan tanah, Mengapa anggaran bisa).
  4. Stategi Masyarakat, masyarakat sebenarnya dapat meredam sendiri konflik yang terjadi di lingkungannya. Untuk itu dibutuhkan kearifan dan kemauan bersama untuk menyelesaikan persoalan pertanahan yang menjadi objek sengketa antara yang satu dengan yang lainnya.
  1. MEDIASI SEBAGAI SOLUSI ALTERNATIF

Dari laporan hasil Dialog Reformasi Kebijakan Pertanahan di Indonesia tahun 2001 dan hasil Diskusi Pertanahan tahun 2002, telah memberikan suatu gambaran kepada semua pihak bahwa masalah konflik dan sengketa tanah adalah masalah yang utama dan sangat penting serta tidak dapat ditunda-tunda lagi untuk segera ditangani oleh pemerintah. Hal ini juga dipertegas dalam Pasal 5 ayat 1.d mengenai TAP MPR No. IX /MPR/2001 khususnya mengenai arahan kebijakan pembaharuan agraria sebagai suatu amanat dari seluruh rakyat Indonesia yang berbunyi :

“Menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya Agraria yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud pasal 4 ketetapan ini”.

Menurut Arie S. Hutagalung, pada prinsipnya secara garis besar, seperti halnya sengketa secara umum, maka sengketa tanah dapat diselesaikan melalui 3 (tiga cara) yaitu :[43]

  1. Penyelesaian secara langsung oleh para pihak dengan musyawarah. Dasar dari musyawarah untuk mufakat ini tersirat dalam Pancasila sebagai dasar kehidupan bermasyarakat Indonesia dan juga tersirat dalam UUD 1945.
  2. Penyelesaian melalui Badan Peradilan berdasarkan UU No. 14/1970 jo UU No. 35/1999 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman; umumnya penyelesaian ini diajukan ke peradilan umum yang diatur dalam UU No.2/1986 tentang Peradilan Umum atau apabila yang disengketakan adalah produk tata usaha negara atau yang digugat pejabat Tata Usaha Negara melalui Peradilan Tata Usaha Negara yang diatur dalam UU No. 5/1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, atau apabila menyangkut tanah wakaf diajukan ke Pengadilan Agama.
  3. Melalui mekanisme Arbitrasi dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative Dispute Resolution); dengan telah diundangkannya UU No. 30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, maka terdapat suatu kepastian hukum untuk mengakomodasi cara penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum.

Dalam praktik hukum di Indonesia, pada umumnya semua sengketa pertanahan dapat diajukan ke pengadilan baik dalam lingkup peradilan umum maupun peradilan tata usaha negara. Namun harus diakui, penggunaan lembaga peradilan untuk menyelesaikan suatu sengketa pertanahan kerapkali menyisakan banyak kekurangan/kelemahan, yang mana secara umum kekurangan/kelemahan ini apabila ditinjau dari aspek ekonomi merupakan salah satu komponen yang mengakibatkan munculnya ekonomi biaya tinggi.

Berperkara di pengadilan pada umumnya dirasakan sebagai proses yang memakan waktu, tidak sederhana, dan tidak murah biayanya. Hal ini sering diperparah dengan kendala yang bersifat organisatoris dan Kendala non-yuridis berupa campur tangan pihak-pihak di luar lembaga yudikatif dengan dampak keluarnya keputusan yang menyimpang dari arti hakiki pengadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan bagi pencari keadilan. Karena itu, dapat dipahami, penyelesaian sengketa di pengadilan merupakan pilihan terakhir.

Beberapa kritik yang sering kali dilontarkan terhadap lembaga peradilan, sebagaimana yang dikemukakan oleh Imamulhadi bahwa proses penyelesaian melalui jalur pengadilan (ligitasi) memiliki banyak kelemahan, seperti :[44]

  1. Ligitasi memaksa para pihak berada pada posisi yang ekstrim dan memerlukan pembelaan;
  2. Ligitasi mengangkat seluruh persoalan dalam suatu perkara, sehingga mendorong para pihak untuk melakukan penyelidikan terhadap kelemahan-kelemahan pihak lainnya;
  3. Proses ligitasi memakan waktu yang lama dan biaya yang mahal;
  4. Hakim seringkali bertindak tidak netral dan kurang mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan yang mendasari penyelesaian suatu masalah hukum baru.

Dalam perkembangan sengketa pertanahan di Indonesia, pernah timbul gagasan untuk membentuk Pengadilan Pertanahan di dalam lingkup peradilan umum. Walaupun secara teoritis pembentukan Pengadilan Pertanahan dimungkinkan,[45] namun demikian masalah utamanya adalah : apakah dengan dibentuknya Pengadilan Pertanahan maka efektivitasnya dapat dijamin? Berdasarkan pengamatan berperkara di pengadilan sebagai di gambarkan di atas justru eksistensi penyelesaian sengketa melalui pengadilan terkadang diragukan sebagai benteng terakhir untuk menemukan keadilan. Olehnya itu, efektivitas Pengadilan Pertanahan yang diusulkan itu masih merupakan tanda tanya.

Selain Pengadilan Pertanahan, gagasan tentang Arbitrasi Pertanahan juga pernah dilontarkan. Maria S.W. Sumardjono berpandangan bahwa gagasan pembentukan lembaga Arbitrase Pertanahan masih memerlukan pemikiran yang seksama. Apabila semua unsur yang dipertimbangkan untuk terciptanya lembaga arbitrase itu sudah dapat dipenuhi, barangkali gagasan itu dapat terwujud. Namun dengan berfungsinya lembaga tersebut, tidak serta merta dapat diharapkan bahwa penyelesaian sengketa akan berjalan lebih cepat. Menurutnya tersedianya tenaga ahli yang profesional, tata kerja yang jelas, dan tersedianya dana pendukung yang diperlukan akan berdampak terhadap ketepatan waktu penyelesaian sengketa.[46] Namun demikain, gagasan tentang pembentukan lembaga Pengadilan Pertanahan maupun Arbitrase Pertanahan harus diakui, muncul sebagai reaksi atas penyelesaian sengketa tanah melalui pengadilan yang berjalan lamban, mahal, dan terkadang tidak dapat dieksekusi.

Menurut hemat Penulis, pembentukan lembaga peradilan tersebut di atas, seyogyanya untuk saat ini tidak diperlukan karena penyelesaian sengketa tanah sudah dalam sistem hukum pertanahan Indonesia telah memperoleh tempat penyelesaian melalui peradilan umum, peradilan tata usaha negara dan peradilan agama. Yang harus dilakukan adalah bagaimana mengupayakan agar lembaga pengadilan dapat berfungsi secara optimal. Eksistensi pengadilan sebagai tempat bagi para pencari keadilan, harus senantiasa secara terencana dan sistematis ditingkatkan kualitasnya. Hal itu dilakukan dalam rangka menghasilkan berbagai produk keputusan yang berkualitas, sehingga pada akhirnya diharapkan dapat memposisikan citra pengadilan sebagai benteng terakhir para pencari keadilan.

Berbagai kekurangan lembaga peradilan dalam menyelesaikan suatu sengketa sangat dirasakan oleh para pihak yang bersengketa terutama dalam rangka memberikan kepuasan hukum, sehingga kondisi ini semakin meyakinkan perlunya ditemukan cara penyelesaian lain yang dapat memuaskan para pihak yang bersengketa, sehingga pencari keadilan beralih pada Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative Dispute Resolution) untuk menyelesaikan setiap persoalan yang timbul terkait dengan sengketa tanah.

Mengingat penyelesaian sengketa melalui pengadilan umum maupun pengadilan tata usaha negara sering dirasakan kurang efektif, dan bahwa pengadilan itu merupakan upaya terakhir bila upaya lain menemui jalan buntu, maka gagasan untuk memanfaatkan cara penyelesaian sengketa alternatif di luar jalur pengadilan, misalnya melalui lembaga mediasi, nampaknya sudah saatnya untuk diwujudkan.

Barangkali untuk Indonesia, dimana cara-cara musyawarah untuk mencapai mufakat merupakan hal yang lazim, untuk kasus-kasus pertanahan yang bersifat perdata dalam arti luas, yakni yang tidak menyangkut aspek administrasi dan pidana, sepanjang para pihak menghendaki cara-cara mediasi, maka hal itu dapat ditempuh. Apalagi dalam Pasal 14 UU no. 14/1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan kehakiman disebutkan bahwa walaupun hakim harus mengadili perkara yang diajukan, namun tidak menutup kemungkinan penyelesaian perkara perdata secara perdamaian.

Mediasi sebagai mekanisme ADR/APS menawarkan cara penyelesaian sengketa yang khas dengan ciri–ciri : waktunya singkat, terstruktur, berorientasi pada tugas, dan merupakan cara intervensi yang melibatkan peran serta para pihak secara aktif. Menurut Maria S.W. Sumardjono, penyelesaian sengketa tanah melalui lembaga mediasi memiliki segi positif dan negatif. Segi positifnya adalah bahwa waktunya singkat, biayanya ringan dan prosedurnya sederhana. Pihak yang bersengketa akan merasa lebih “berdaya” dibandingkan dalam proses pengadilan karena mereka sendirilah yang menentukan hasilnya. Di samping itu, dalam mediasi para pihak akan lebih terbuka terhadap adanya nilai-nilai lain di samping faktor yuridis. Segi negatifnya adalah bahwa hasil mediasi tidak dapat dimintakan penguatan kepada pengadilan, karena itu efektivitasnya tergantung kepada ketaatan para pihak untuk menepati kesepakatan bersama tersebut.

Lebih lanjut beliau menyatakan pula bahwa, segi positif mediasi sekaligus dapat menjadi segi negatifnya, dalam arti keberhasilan mediasi semata-mata tergantung pada itikad baik para pihak untuk menaati kesepakatan bersama tersebut karena hasil akhir mediasi tidak dapat dimintakan penguatan kepada pengadilan. Untuk sengketa dalam bidang bisnis, supaya kesepakatan dapat dilaksanakan (final and binding), seyogianya para pihak mencantumkan kesepakatan (klausula ADR/APS) itu dalam bentuk perjanjian tertulis yang tunduk pada prinsip-prinsip umum perjanjian.

Dalam mediasi, para pihak sendirilah yang berperan aktif untuk menjajaki berbagai alternatif untuk menetapkan hasil akhir dengan bantuan seorang mediator yang tidak memihak dan berperan untuk membantu tercapainya hal-hal yang disepakati bersama. Fungsi mediator dalam penyelesaian sengketa melalui lembaga mediasi, oleh Suyud Margono dijelaskan adalah sebagai berikut :[47]

  1. Sebagai “katalisator”, berarti kehadiran mediator dalam proses perundingan mampu mendorong lahirnya suasana yang konstruktif bagi jalannya diskusi.
  2. Sebagai “pendidik”, berarti seseorang harus berusaha memahami aspirasi, prosedur kerja, keterbatasan politis, dan kendala usaha dari para pihak. Oleh sebab itu, mediator harus berusaha melibatkan diri dalam dinamika perbedaan diantara para pihak.
  3. Sebagai “penerjemah”, berarti mediator harus berusaha menyampaikan dan merumuskan usulan para pihak melalui bahasa atau ungkapan yang baik dengan tanpa mengurangi sasaran yang dicapai oleh pengusul.
  4. Sebagai “nara sumber”, berarti seorang mediator harus mendayagunakan sumber-sumber informasi yang tersedia.
  5. Sebagai “penyandang berita jelek” berarti bahwa mediator harus menyadari bahwa para pihak dalam proses perundingan dapat bersikap emosional. Untuk itu mediator harus mengadakan pertemuan terpisah dengan pihak-pihak terkait untuk menampung berbagai usulan.
  6. Sebagai “agen realitas”, berarti mediator harus berusaha memberi pengertian secara jelas kepada salah satu pihak bahwa sasarannya tidak mungkin/tidak masuk akal tercapai melalui perundingan.
  7. Sebagai “kambing hitam”, berarti seorang mediator harus siap dipersalahkan misalnya dalam membuat kesepakatan hasil perundingan.

Dalam hal prosedur/proses yang harus ditempuh dalam mediasi, terdapat beberapa pendapat ahli.[48] Di sini akan dikemukakan proses tahapan mediasi menurut pendapat Riskin dan Westbrook sebagaimana dikutip oleh E. Saefullah Wiradipradja, meliputi lima tahapan sebagai berikut :

1) Sepakat untuk menempuh proses mediasi;

2) Memahami masalah-masalah;

3) Membangkitkan pilihan-pilihan pemecahan masalah;

4) Mencapai kesepakatan; dan

5) Melaksanakan kesepakatan.[49]

Dalam praktik mediasi di Amerika Serikat atau Inggris, walaupun ada pihak yang beranggapan bahwa yang menentukan mediasi itu adalah sikap para pihak yang menginginkan untuk menyelesaikan sengketanya, namun pada umumnya mediasi lebih cocok untuk digunakan, misalnya dalam kasus di mana hubungan antara para pihak diharapkan terus berlanjut, kasus-kasus dimana ada keseimbangan antara kekuatan kedua belah pihak, sengketanya berjangka waktu singkat dan tidak ada kepastian tentang hasil akhirnya bila dibawa ke pengadilan. Dalam konteks Indonesia, kasus-kasus yang lebih sesuai adalah kasus-kasus yang segi hukumnya kurang mengemuka dibandingkan dengan segi kepentingan (interest) para pihak.[50]

Penyelesaian sengketa melalui cara-cara mediasi yang modern bagi bangsa Indonesia masih merupakan hal yang relatif baru. Dalam beberapa kasus tanah, penyelesaian sengketa melalui lembaga mediasi pernah dilakukan oleh Komnas HAM dengan hasil yang positif. Oleh karena itu, mengingat bahwa pada masa yang akan datang akan lebih banyak diperlukan cara-cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan, maka dalam rangka pemikiran ke arah realisasi lembaga mediasi, perlu dipersiapkan hal-hal yakni : Pertama, menyiapkan sumber daya manusianya. Seorang mediator haruslah menguasai materi yang akan disengketakan. Latar belakang sebagai sarjana hokum memiliki nilai tambah, tetapi bukan merupakan keharusan. Kualifikasi pokok lainnya adalah mempunyai integritas yang tinggi dan sifat tidak memihak yang ditunjang dengan kemampuan untuk mendengar, mengajukan pertanyaan, mengamati, mewawancarai, konseling dan negosiasi; Kedua, diperlukan pelatihan, jangka waktunya, serta fasilitatornya; dan Ketiga, diperlukan adanya suatu lembaga/badan yang berwenang untuk memberikan pelatihan dan sertifikasi bagi mediator, serta menyusun kode etik mediator, di samping berkewajiban memberikan bimbingan yang berkesinambungan dan menjatuhkan sanksi terhadap pelanggaran kode etik. Karena salah satu faktor penentu seseorang memilih mediasi adalah sifatnya yang tidak memihak, maka lembaga mediasi yang tepat seyogianya bersifat independen, di luar pemerintah, atau tidak berafiliasi dengan pemerintah.[51]

Indonesia, dalam hal lembaga mediasi, dulunya lebih maju dari negara lain. Hukum Acara Perdata yaitu HIR (het Herziene reglement) pasal 130 dan R.Bg. (Rechtsreglement Buitengewesten) pasal 154, misalnya, telah mengatur lembaga perdamaian, dimana hakim yang mengadili wajib mendamaikan lebih dahulu pihak yang berperkara, sebelum perkaranya diperiksa secara ajudikasi. Selain itu, dikeluarkan pula SEMA No. 1 tahun 2002 tentang Pemberdayaan lembaga perdamaian dalam pasal 130 HIR/154 r.Bg. Sementara tentang mediasi atau alternatif penyelesaian sengketa (APS) di luar pengadilan, diatur dalam pasal 6 UU No. 30 tahun 1999 tentang arbitrase penyelesaian sengketa. Lembaga-lembaga APS bisa dijumpai secara luas dalam berbagai bidang seperti UU bidang Lingkungan Hidup, Pertumbuhan, Perlindungan Konsumen dan lain sebagainya.

Mahkamah Agung (MA) RI juga telah mengeluarkan Peraturan MA No. 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang mewajibkan pihak yang bersengketa perdata, lebih dulu menempuh proses mediasi. Yaitu melalui perundingan antara pihak yang bersengketa dengan bantuan pihak ketiga yang netral dan tidak memiliki kewenangan memutus (mediator).[52] Berkaitan dengan hal itu, MA mewajibkan penggunaan jasa mediasi sebagai upaya memaksimalkan perdamaian sebagaimana diatur dalam pasal 130 HIR dan pasal 1154 Rbg.  Peraturan MA. RI No. 2 Tahun 2003 menyediakan pilihan kepada para pihak yang bersengketa menggunakan jasa mediator yang Tersedia di Pengadilan Negeri atau menggunakan jasa mediator di luar pengadilan. Oleh karena itu, kehadiran MA RI No. 2 Tahun 2003, membuka peluang bagi seseorang menjalankan fungsi mediator sebagai sebuah profesi penuh atau profesi tambahan (sampingan).

Hukum acara yang berlaku selama ini baik Pasal 130 HIR ataupun Pasal 154 RBg, mendorong para pihak yang bersengketa untuk menempuh proses mediasi yang dapat diintensifkan dengan cara menggabungkan proses mediasi kedalam prosedur berperkara di Pengadilan Negeri, seiring terbentuknya peraturan perundang-undangan dan dengan memperhatikan wewenang Mahkamah Agung dalam mengatur acara peradilan yang belum cukup diatur oleh peraturan perundang-undangan, maka demi kepastian, ketertiban, dan kelancaran dalam proses mendamaikan para pihak dalam menyelesaikan suatu sengketa perdata, kedua aturan tersebut menjadi landasan. Untuk itu kemudian Mahkamah Agung mengeluarkan PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan

  1. PUTUSAN HAKIM SEBAGAI ULTIMUM REMEDIUM (JALAN TERAKHIR)

Putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak. Bukan hanya diucapkan saja yang disebut putusan, melainkan juga pernyataan yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan kemudian diucapkan oleh hakim di persidangan. Putusan yang diucapkan di persidangan (uitspraak) tidak boleh berbeda dengan yang tertulis (vonnis).[53]

Mahkamah Agung dengan surat edarannya no.5/1959 tanggal 20 April 1959 dan no.1/1962 tanggal 7 Maret 1962 menginstruksikan antara lain agar pada waktu putusan diucapkan konsep putusan harus sudah selesai. Maksud tujuan surat edaran ini ialah untuk mencegah hambatan dalam penyelesaian perkara, tetapi dapat dicegah pula adanya perbedaan isi putusan yang diucapkan dengan yang ditulis. Jikalau ternyata ada perbedaan isi putusan yang diucapkan dengan yang ditulis, maka yang sah adalah yang diucapkan yaitu lahirnya putusan itu sejak diucapkan.

Suatu putusan pengadilan dimaksudkan untuk menyelsesaikan suatu persoalan atau sengketa dan menetapkan hak atau hukumnya.Kalau pihak yang bersangkutan menyerahkan dan mempercayakan sengketanya kepada pengadilan atau hakim untuk diperiksa atau diadili, maka hal ini mengandung arti bahwa pihak-pihak yang bersangkutan akan tunduk dan patuh pada putusan yang dijatuhkan. Putusan yang telah dijatuhkan itu haruslah dihormati oleh kedua belah pihak. Salah satu pihak tidak boleh bertindak bertentangan dengan putusan. Jadi putusan hakim mempunyai kekuatan mengikat yaitu mengikat kedua belah pihak (ps.1917 BW). Terikatnya para pihak kepada putusan menimbulkan beberapa teori yang hendak mencoba memberi dasar tentang kekuatan mengikat daripada putusan.

Dalam teori hukum materiil kekuatan mengikat daripada putusan yang lazimnya disebut “gezag van gewijsde” mempunyai sifat hukum materiil oleh karena mengadakan perubahan terhadap wewenang dan kewajiban keperdataan: menetapkan, menghapuskan atau mengubah[54]. Mengingat bahwa putusan itu hanya mengikat para pihak dan tidak mengikat pihak ketiga, kiranya teori ini tidaklah tepat. Sedangkan menurut teori hukum acara putusan bukanlah sumber hukum materiil, melainkan sumber daripada wewenang prosesuil. Akibat putusan ini bersifat hukum acara, yaitu diciptakannya atau dihapuskannya wewenang dan kewajiban prosesuil.  Berdasarkan teori hukum pembuktian, putusan merupakan bukti tentang apa yang ditetapkan di dalamnya, sehingga mempunyai kekuatan mengikat oleh karena menurut teori  ini pembuktian lawan terhadap isi suatu putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang pasti tidak diperkenankan.

Terikatnya para pihak kepada putusan dapat mempunyai arti positif dan dapat pula mempunyai arti negatif. Arti positifnya yaitu apa yang telah diputus diantara para pihak berlaku sebagai positif benar. Apa yang telah diputus oleh hakim harus dianggap benar atau res judicato pro veriate habetur. Sedangkan dalam arti negatif yaitu hakim tidak boleh memutus perkara yang pernah diputus sebelumnya antara para pihak yang sama serta mengenai pokok perkara yang sama (nebis in idem).[55] Kecuali didasarkan pada asas “litis finiri oportet” yang menjadi dasar ketentuan tentang tenggang waktu untuk mengajukan upaya hukum, maksudnya yaitu apa yang pada suatu waktu telah diselesaikan oleh hakim tidak boleh diajukan lagi kepada hakim.

Suatu putusan memperoleh kekuatan hukum yang pasti atau tetap (krach van gewijsde) apabila tidak ada lagi upaya hukum biasa tersedia. Termasuk upaya hukum biasa ialah perlawanan, banding, dan kasasi. Dengan memperoleh kekuatan hukum yang pasti maka putusan itu tidak lagi dapat diubah, sekalipun oleh pengadilan yang lebih tinggi, kecuali dengan upaya hukum yang khusus, yaitu request civil dan perlawanan oleh pihak ketiga. Pasal 1917 ayat 1 BW berbunyi, bahwa kekuatan mengikat daripada putusan itu terbatas pada pokok putusan (onderwerp van het vonnis).[56] Kekuatan mengikat dari putusan itu tidak meliputi penetapan-penetapan mengenai peristiwa. Apabila hakim dalam suatu putusan telah mengconstair suatu peristiwa tertentu berdasarkan alat-alat bukti tertentu, maka dalam sengketa lain peristiwa tersebut masih dapat disengketakan.

Telah dikemukakan di muka bahwa pada asasnya putusan hakim hanyalah mengikat para pihak (ps.1917 BW). Yang dimaksudkan dengan pihak bukanlah hanya penggugat dan tergugat saja, tetapi juga pihak ketiga yang ikut serta dalam suatu sengketa antara penggugat dan tergugat, baik dengan jalan interventie maupun pembebasan (vrijwaring) atau mereka yang diwakili dalam proses. Terhadap pihak ketiga putusan tidak mempunyai kekuatan mengikat. Tetapi pihak ketiga ini dapat mengajukan perlawanan terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti (ps.378 Rv). Dalam hal ini perlu mendapat perhatian bahwa hanya pihak ketiga yang dirugikan oleh putusan itulah yang dapat mengajukan perlawanan.

Suatu putusan dimaksudkan untuk menyelesaikan suatu persoalan atau sengketa dan menetapkan hak atau hukumnya. Ini tidak berarti semata-mata hanya menetapkan hak atau hukumnya saja, sehingga hal ini menjadi tidak terdapat terkecuali dalam hal dan perkara apapun, termasuk dalam sengketa pertanahan. Maka para pihak wajib melaksanakan putusan hakim yang telah memiliki kekuatan hukum tetap sebagai hukum dalam perkara konskrit di lapangan. Hal ini sebagai pelaksanaan putusan hakim sebagai Ultimum remedium (jalan terakhir) dalam sengketa pertanahan.

  1. PENUTUP

Problematika sengketa pertanahan di Indonesia menjadi persoalan yang rumit dan pelik sampai sekarang. Reformasi agrarian (land reform) tetap menjadi pedoman dalam optimalisasi fungsi tanah untuk kehidupan yang lebih baik. Hal itu dapat dipengaruhi oleh berbagai factor yang melatarbelakangi, baik factor ekonomi, social, budaya, politik dan kebutuhan akan tanah yang setiap saat semakin diperlukan. Untuk itu diharapkan secara bersama-mampu mampu menyadarkan diri sendiri dan orang lain untuk turut serta dalam upaya penyelesaian persoalan pertanahan di negeri ini. Upaya mediasi sebagai upaya solusi alternative penyelesaian sengketa Pertanahan di Indonesia harus diapresiasi dan didukung oleh semua kalangan, agar konflik di bidang Pertanahan dapat dicarikan jalan keluar yang baik tidak ada yang dirugikan dari pihak manapun.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman. 1995. Tebaran Pikiran Mengenai Hukum Agraria, Bandung. Alumni

Achmad Rubaie, Politik Hukum Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Bayu Media Publishing, Malang, 2006.

Ali Achmad Chomzah. 2002. Pedoman Pelaksanaan U.U.P.A dan Tata Cara Penjabat Pembuat Akta Tanah, Bandung.  Alumni

A P Perlindungan. 1998. Pendaftaran Tanah Di Indonesia, Bandung. Mandar Maju

Bachtiar Effendi, Pendaftaran Tanah Di Indonesia dan Peraturan-Peraturan Pelaksanaannya. Bandung : Alumni, 1983.

Badan Pertanahan Nasional, Reforma Agraria: Mandat Politik, Konstitusi, dan Hukum Dalam Rangka Mewujudkan “Tanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat”, Jakarta, 2007.

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 1999.

_______________, Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta: Jambatan) 2005.

Darji Darmodiharjo dan Sidharta, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustka Utama, Jakarta, 2002.

Direktorat Agraria Provinsi Sumatera Utara, Himpunan Risalah Pertumbuhan dan Perkembangan Hak Konsesi dan Erfach Perkebunan Besar dan Penyelesaian Pendudukan Rakyat atas Tanah Perkebunan di Provinsi Sumatera Utara, (Medan, 1976)

Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain yang Melekat pada Tanah Dalam konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, Suatu Konsep Dalam Menyongsong Lahirnya Lembaga Hak Tanggungan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996

D Walijatun, Pelayanan Prima Di Bidang Pertanahan Sebagai Bagian Dari Reinventing Government: Seminar Nasional Pertanahan, Yogyakarta

Efendi Perangin. 1983. Hukum Agraria Di Indonesia, Suatu Telaah Dari Sudut Pandang Praktis Hukum, Jakarta. CV Rajawali.

Eddy Ruchiyat. Politik Pertanahan Nasional Sampai Orde Reformasi. Bandung. PT. Alumni. 2004.

Efendi Perangin. 1983. Hukum Agraria Di Indonesia, Suatu Telaah Dari Sudut Pandang Praktis Hukum, Jakarta. CV Rajawali

Felix MT. Sitorus, Lingkup Agraria dalam Menuju Keadilan Agraria : 70 Tahun, 2002.

Gunawan Wiradi, Masalah Pembaruan Agraria: Dampak Land Reform terhadap Perekonomian Negara, Makalah yang disampaikan dalam rangkaian diskusi peringatan “Satu Abad Bung Karno” di Bogor, tanggal 4 Mei 2001

Hamadi Tamam. Kebijakan Pertanahan:Antara Regulasi dan Implementasi. Rajawali Pers, Jakarta. 2009.

Hasni, Hukum Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah. Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2008

Henri Lie A. Weng. 1970. Hukum Perdata dan Hukum Benda, Yogyakarta Liberty

Herry Bernstein et all, Kebangkitan Studi Reforma Agraria di Abad 21, STPN, 2008

H Soesangobeng, Upaya Pembentukan Materi Hukuk dan Kebijakan Pertanahan. STPN-BPN, Yogyakarta.

Joni Emirzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa Diluar Pengadilan Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi Arbitrase, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001.

Karl J. Pelzer, Sengketa Agraria, Pengusaha Perkebunan Melawan Petani, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1991)

Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001.

Mahadi, Sedikit Sejarah Perkembangan Hak-hak Suku Melayu Atas Tanah di Sumatera Timur (Tahun 1800-1975), (Bandung: Alumni, 1978)

Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional, Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi FH-UNPAD, Bandung, 1970.

Maria S.W Sumardjono, Mediasi Sengketa Tanah Potensi Penerapan Alternatif Penyelesaian sengketa (ADR) Di Bidang Pertanahan, Penerbit Kompas Gramedia, 2008

M Wahid, Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah:Suatu Analisis dengan Pendekatan Terpadu Secara Normatif dan Sosiologis. Republika, Jakarta, 2008

Mariam Darus Badrulzaman. Kompilasi hukum Perikatan. Bandung. PT. Citra Aditya Bakti. 2001.

Otje Salman Soemadiningrat. Sosiologi Hukum Suatu Pengantar. Jakarta. CV. Armico. 1984.

Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas Negara Hukum, Jakarta. Erlangga, 1980

Reksodiputro, Mardjono, Resolution Legal Institution and Alternative Dispute, Hasil Penelitian yang disajikan pada seminar nasional menyongsong penggunaan Hukum Era 2000, Semarang-13 Agustus 1996

Riduan Syahrani. Seluk-Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata. Bandung. PT. Alumni. 2004.

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1986.

Soerodjo. 2003. Proses Pendaftaran Tanah, Jakarta. Rineka Cipta

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1999.

Supriadi. 2007. Hukum Agraria, Jakarta. Sinar Grafika.

Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo, Sejarah Perkebunan di Indonesia: Kajian Sosial Ekonomi (Aditya Media, Yogyakarta, 1991)

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1986.

Subekti, R. dan Tjiptosudibio, R, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Burgerlijk Wetboek, dengan Tambahan Undang-undang Pokok Agraria dan Undang-undang Perkawinan.

Syafruddin Kalo, Desertasi, Masyarakat dan Perkebunan: Studi Mengenai Sengketa Pertanahan Antara Masyarakat Versus PTPN-II dan PTPN III Di Sumatera Utara, (Medan: PPS USU, 2003)

Soerodjo. 2003. Proses Pendaftaran Tanah, Jakarta. Rineka Cipta.

Supriadi. 2007. Hukum Agraria, Jakarta. Sinar Grafika.

Wirjono Prodjodikuro, Hukum Atjara Pidana di Indonesia, Djakarta. Penerbit “Sumur Bandung”, 1977.

Wirjono Projodikoro, Bunga Rampai Hukum, Jakarta: lchtiar Baru. 1976

[1] Tulisan ini disampaikan dalam kegiatan Seminar Nasional “Penyelesaian Masalah Pertanahan di Indonesia” yang diselenggarakan di Batam, pada tanggal 29 s/d 30 Juni 2012

[2] Abdurrahman, Beberapa Aspek Tentang Hukum Agraria, Seri Hukum Agraria V, Alumni, Bandung, 1983. Hal. 43

[3] Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I Hukum Tanah Nasional, Edisi Revisi, Djambatan, Jakarta, 2005. Hal 72

[4] Data diolah dari sumber Badan Pusat Statistik 2011

[5] Ibid

[6] Ibid

[7] Y.W. Sunindhia & Ninik Widiyanti, Pembaharuan Hukum Agraria (Beberapa Pemikiran), Bina Aksara, Jakarta, 1988. Hal. 32

[8] Muchammad Tauchid, Masalah Agraria, Djambatan, Jakarta, 1988, Hal. 43

[9] Efendi Perangin. 1983. Hukum Agraria Di Indonesia, Suatu Telaah Dari Sudut Pandang Praktis Hukum, Jakarta. CV Rajawali. Hal. 27

[10] Dihimpun dari Konsorsium Pembaruan Agraria, diakses di http://www.kpa.or.id/ pada tanggal 22 Juni 2012

[11] Bachtiar Effendi, Pendaftaran Tanah Di Indonesia dan Peraturan-Peraturan Pelaksanaannya. Bandung : Alumni, 1983. Hal. 34

                [12] Maria S.W Sumardjono, Mediasi Sengketa Tanah Potensi Penerapan Alternatif Penyelesaian sengketa (ADR) Di Bidang Pertanahan, Penerbit Kompas Gramedia, 2008, Hal 38

                [13] Abdurrahman. 1995. Tebaran Pikiran Mengenai Hukum Agraria, Bandung. Alumni, Hal 85

                [14] Ali Achmad Chomzah. 2002. Pedoman Pelaksanaan U.U.P.A dan Tata Cara Penjabat Pembuat Akta Tanah, Bandung.  Alumni, Hal. 64

                [15] Laporan BPN RI Tahun 2007, Hal 26

[16] Sejauh ini data tentang pemilikan tanah secara absentee sangatlah sulit didapatkan. Biasanya tanah absentee ini didapatkan dengan cara memberi kuasa penuh kepada orang lain. Dan ini termasuk penggelapan hukum.

[17] Sebenarnya pasal 33 UUD 1945 telah lebih dulu memperkenalkan “…dikuasai oleh Negara…”. Secara gramatikal, kata dikuasai termasuk kata kerja bentuk pasif. Berbeda dengan kata menguasai dalam HMN, yang merupakan kata kerja aktif.

[18] Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Pasal 33 ayat (3) naskah asli, dan tidak mengalami perubahan hingga Amandemen IV.

[19] Pidato Pengantar Menteri Agraria dalam Sidang DPR-GR, 12 September 1960 oleh Mr. Sadjarwo. Dalam Risalah Pembentukan UUPA dan Boedi Harsono, 1999, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, edisi revisi, Djambatan, Jakarta, hal. 585

[20] Menurut Soetandyo Wignyosoebroto, keterbatasan kesadaran elite terdidik (sekolahan maupun otodidak) dan manajemen kekuasaan negara merupakan faktor terpenting dalam pasang-surut dari mobilisasi dan peran rakyat dalam perumusan kebijakan Negara baru tersebut. Ketiadaan ahli hukum dari luar Jawa-Sumatera (Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, apalagi Irian dan sebagainya), membuat ide-ide yang tercetus oleh ahli-ahli hukum tersebut banyak dipengaruhi oleh gagasan “Barat” sebagaimana didapatkan di sekolah-sekolah, dan pengalaman Jawa-Sumatera. Lihat Soetandyo Wignyosoebroto, 1994, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional: Dinamika Sosio-Politik Perkembangan Hukum di Indonesia, Jakarta, Rajawali Press, hal. 159.

[21] Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), Penjelasan Umum Angka I.

[22] Praktek bagi hasil sudah lama dikenal di Jawa. Ini didukung oleh sifat melindungi secara komunal serta sifat menyerap tenaga kerja dari sistem sosio-ekonomi pedesaan. Tetapi dalam perkembangannya, semakin banyaknya tuan tanah dan timpangnya penguasaan dan pemilikan atas tanah menimbulkan perbandingan bagi hasil yang mengkhawatirkan. Lihat, Justus M. van der Kroef, “Penguasaan Tanah dan Struktur Sosial di Pedesaan Jawa,” diterjemahkan dari “Land Tenure and Social Structure in Rural Java,” Approaches to Community Development, volume 25, Bab IX, 1960, dalam Sediono MP Tjondronegoro&Gunawan Wiradi, Op. Cit., hal. 156-157. Terdapat juga pendapat yang mengatakan bahwa sistem bagi hasil ini merupakan praktek adat yang dipengaruhi oleh feodalisme dan karenanya termasuk hukum adat yang disaneer. Inilah satu alasan yang menyebabkan UU Bagi Hasil kemudian tidak diterapkan pada masa Orde Baru. Padahal menurut penelitian yang dilakukan oleh Bernard L. Tanya, terdapat juga praktek bagi hasil dalam masyarakat hukum adat di Pulau Sabu, Nusa Tenggara Timur dimana besaran bagi hasil justru ditentukan oleh penggarap dengan alasan telah mengeluarkan tenaga dan biaya untuk benih, sehingga pemilik disini hanya mendapat 10% dari hasil panen. Ini dipengaruhi juga oleh nilai adat “saling memangku adat,” bahwa hubungan bapak (pemilik) dan anak (penggarap) ladang dan sawah tadah hujan tidak boleh saling merugikan. Rikardo Simarmata, 2006, Pengakuan Hukum terhadap Masyarakat Adat di Indonesia, UNDP Regional Centre in Bangkok, hal. 62

[23] Badan Pertanahan Nasional, Reforma Agraria: Mandat Politik, Konstitusi, dan Hukum Dalam Rangka Mewujudkan “Tanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat”, Jakarta, 2007.

[24] Eddy Ruchiyat. Politik Pertanahan Nasional Sampai Orde Reformasi. Bandung. PT. Alumni. 2004. Hal. 38

[25] Ali Achmad Chomzah. 2002. Pedoman Pelaksanaan U.U.P.A dan Tata Cara Penjabat Pembuat Akta Tanah, Bandung.  Alumni. Hal.81

[26] Eddy Ruchiyat. Politik Pertanahan Nasional Sampai Orde Reformasi. Bandung. PT. Alumni. 2004. Hal. 23

[27] Arie S. Hutagalung, Pertanahan dalam dinamika Sosial, Djambatan, Jakarta, 1985, Hal. 31

[28] A P Perlindungan. 1998. Pendaftaran Tanah Di Indonesia, Bandung. Mandar Maju. Hal. 97

[29] Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas Negara Hukum, Jakarta. Erlangga, 1980, Hal 28

                [30] Hamadi Tamam. Kebijakan Pertanahan: Antara Regulasi dan Implementasi. Rajwali Pers, Jakarta. 2009. Hal. 35

                [31] Ibid

                [32] M Wahid, Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah:Suatu Analisis dengan Pendekatan Terpadu Secara Normatif dan Sosiologis. Republika, Jakarta, 2008, Hal 38

                [33] H Soesangobeng, Upaya Pembentukan Materi Hukuk dan Kebijakan Pertanahan. STPN-BPN, Yogyakarta. Hal. 38

                [34] D Walijatun, Pelayanan Prima Di Bidang Pertanahan Sebagai Bagian Dari Reinventing Government: Seminar Nasional Pertanahan, Yogyakarta, Hal. 12

                [35] Hasni, Hukum Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah. Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2008, Hal. 29

                [36] Effendi, Bachtiar. Pendaftaran Tanah Di Indonesia dan Peraturan-Peraturan Pelaksanaannya. Bandung : Alumni, 1983. Hal. 83

                [37] Ibid

[38] Soerodjo. 2003. Proses Pendaftaran Tanah, Jakarta. Rineka Cipta, Hal 28

[39] Supriadi. 2007. Hukum Agraria, Jakarta. Sinar Grafika. Hal 74

[40] M Wahid, Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah:Suatu Analisis dengan Pendekatan Terpadu Secara Normatif dan Sosiologis. Republika, Jakarta, 2008, hal. 67

[41] Ibid

                [42] A P Perlindungan. 1998. Pendaftaran Tanah Di Indonesia, Bandung. Mandar Maju, Hal 82

[43] Dalam hukum adat dan UUPA menganut asas pemisahan horisontal. Berdasarkan asas pemisahan horisontal itu pemilikan atas tanah dan benda atau segala sesuatu yang berada di atas tanah itu adalah terpisah. Asas pemisahan horisontal memisahkan hak atas tanah dari segala sesuatu yang melekat padanya. Lihat Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain Yang Melekat Pada tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm. 81., hlm. 76

[44] Arie S. Hutagalung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia (LPHI), Jakarta, 2005, hlm. 372

[45] Imamulhadi, Penyelesaian Sengketa dalam Perdagangan Secara Elektronik, artikel dalam Cyber Law; Suatu Pengantar, ELIPS Project, Jakarta, 2002, hlm. 80.

[46] Secara teoritis hal itu dapat dimungkinkan dengan melihat yurisprudensi di mana di masa yang lalu pernah dibentuk Pengadilan Ekonomi sebagai konsekuensi diterbitkannya UU No. 7/Drt/Tahun 1995 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pengadilan Tindak Pidana Ekonomi (ditetapkan menjadi undang-undang dengan UU No. 1 Tahun 1961). Lihat Maria S.W. Sumardjono, op.cit., hlm. 194.

[47] Maria S.W. Sumardjono, op.cit., hlm. 196.

[48] Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa : Suatu Pengantar, Fikahati Aneska kerja sama dengan BANI, Jakarta, 2002. Hal. 59

[49] Suyud Margono, op.cit., hlm. 60. Lihat juga E. Saefullah Wiradipradja, op.cit., hlm. 6

[50] E. Saefullah Wiradipradja, loc.cit. bandingkan dengan pendapat Astor & Chinkin dalam Maria S.W. Sumardjono. loc.cit

[51] Maria S.W. Sumardjono, Ibid.

                [52] Riduan Syahrani. Seluk-Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata. Bandung. PT. Alumni. 2004. Hal 75

                [53] Wirjono Prodjodikuro, Hukum Atjara Pidana di Indonesia, Djakarta. Penerbit “Sumur Bandung”, 1977, Hal 23

                [54] Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas Negara Hukum, Jakarta. Erlangga, 1980, Hal. 31

                [55] Wirjono Projodikoro, Bunga Rampai Hukum, Jakarta: lchtiar Baru. 1976, Hal. 18

                [56] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1999, Hal. 48

Continue Reading

PROBLEMATIKA SENGKETA PERTANAHAN DAN SOLUSI ALTERNATIF PENYELESAIAN DALAM PROSES PERADILAN

PROBLEMATIKA SENGKETA PERTANAHAN

DAN SOLUSI ALTERNATIF

PENYELESAIAN DALAM PROSES PERADILAN[1]

  1. PENDAHULUAN

Permasalahan kemiskinan dan ketimpangan sosial di Indonesia selayaknya diselesaikan dari akar masalahnya. Dengan sebagian besar penduduknya adalah petani dan nelayan maka permasalahan ketersediaan lahan di Indonesia merupakan masalah kunci sebagai salah satu pintu masuk menyelesaikan permasalahan sosial dan kemiskinan. Dewasa ini masalah pertanahan belum dapat dipecahkan sebagimana yang diharapkan, bahkan semakin rumit sejalan dengan meningkatnya berbagai kegiatan pembangunan dan aktivitas masyarakat itu sendiri.[2] Media massa cetak maupun elektronik telah melaporkan berbagai sengketa pertanahan yang terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia, dengan berbagai variasi masalah dan kecenderungan dampak buruk lainya.

Disampaikan juga bahwa sesungguhnya negara memiliki tanggung jawab untuk mengelola seluruh sumber daya agraria, untuk mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia. Seperti tercantum da lam pasal 33 ayat 3 amandemen keempat Undang­Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Pokok Agraria 1960 (UUPA 1960) bahwa bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.[3] Akan tetapi, dalam kurun waktu dekade terakhir ini, masalah pertanahan di Indonesia telah mencuat kepermukaan. Sa lah satu permasalahan dibidang pertanahan yang perlu mendapat perhatian semua pihak, yaitu semakin terkonsentrasinya pemilikan dan penguasaan tanah pada sekelompok kecil masyarakat.

Perbedaan penguasaan dan kepemilikan atas tanah-tanah pertanian tiap tahunnya semakin tampak. Konsentrasi kepemi likan lahan pun semakin tajam. Hasil Sensus Pertanian 2003 menyebutkan, jumlah rumah tangga petani gurem dengan penguasaan lahan kurang dari 0,5 hektar-milik sendiri maupun menyewa meningkat 2.6 persen per tahun dari 10.8 juta rumah tangga (1993) menjadi 13.7 juta rumah tangga (2003). Untuk jumlah petani gurem saja, pada 1983 persentasenya mencapai 40.8 persen. Pada 1993 meningkat menjadi 48.5 persen dan pada 2003 kembali meningkat menjadi 56.5 persen. Dari 24.3 juta rumah tangga petani berbasis lahan, terdapat 20.1 juta (82.7 persen) di antaranya dapat dikategorikan miskin.[4] Itu menunjukkan ketimpangan distribusi pemilikan tanah.

Menurut Berita Resmi Statistik (Maret 2010) Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran perkapita perbulan di bawah Garis Kemiskinan) di Indonesia pada Maret 2010 mencapai 31,02 juta (13,33 persen), turun 1,51 juta dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2009 yang sebesar 32,53 juta (14,15 persen). Selama periode Maret 2009-Maret 2010, penduduk miskin di daerah perkotaan berkurang 0,81 juta (dari 11,91 juta pada Maret 2009 menjadi 11,10 juta pada Maret 2010), sementara di daerah perdesaan berkurang 0,69 juta orang (dari 20,62 juta pada Maret 2009 menjadi 19,93 juta pada Maret 2010). Persentase penduduk miskin antara daerah perkotaan dan perdesaan tidak banyak berubah selama periode ini. Pada Maret 2009, 63,38 persen penduduk miskin berada di daerah perdesaan, sedangkan pada Maret 2010 sebesar 64,23 persen (BPS 2011).[5]

Dari data tersebut artinya dari keseluruhan pengangguran di Indonesia, lebih dari setengahnya berada di wilayah perdesaan. Sensus pertanian tahun 1993 menunjukan bahwa 69% luas tanah pertanian dikuasai o leh 16% rumah tangga pedesaan, sementara 31% luas tanah pertanian sisanya dikuasai oleh sebagian besar petani kecil dan tunakisma (84% rumah tangga pedesaan).[6] Fenomena tersebut semakin diperburuk dengan adanya fragmentasi tanah yang semakin tidak bisa dihindari, alih fungsi tanah pertanian kepengunaan non pertanian yang tidak terkendali, masalah lingkungan sebagai akibat eksploitasi yang berlebihan dan masalah lainnya.

Perlu disadari bersama bahwa akses masyarakat terhadap sumberdaya lahan telah menjadi isu yang sangat penting, karena permasalahan ini tidak saja menyangkut faktor produksi namun menjadi faktor yang menentukan hubungan sosial dan perkembangan masyarakat.[7] Satu hal yang menarik untuk dikaji adalah masalah ketimpangan akses masyarakat terhadap sumberdaya agraria khususnya lahan yang menyangkut masalah penguasaan, kepemilikan dan pengusahaan lahan. Kondisi tersebut telah menyebabkan ketimpangan pada pemanfaatan yang diikuti pada perbedaan tingkat kesejahteraan antara masyarakat yang mempunyai akses dan yang tidak mempunyai akses terhadap sumber daya lahan yang ada khususnya pada masyarakat agraris di daerah pedesaan.

  1. AKAR POKOK PERSOALAN PERTANAHAN

Muchammad Tauchid dalam bukunya, Masalah Agraria, mengingatkan, persoalan agraria adalah persoalan hidup dan penghidupan manusia, karena tanah adalah asal dan sumber makanan.[8] Perebutan tanah berarti perebutan makanan, perebutan tiang hidup manusia. Untuk itu orang rela menumpahkan darah, mengorbankan segala yang ada untuk mempertahankan hidup selanjunya. Pengalaman hidup di era kolonialisme menjadikan cermin menyelami persoalan agraria yang mengakibatkan rakyat sengsara dan menderita. Demikian halnya para pembuat Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Hasilnya, UUPA menjadi mesin operasi untuk menghentikan ketidakadilan agraria akibat kolonialisme dan feodalisme. Beberapa contoh terjadinya insiden pembantaian warga di Mesuji, aksi jahit mulut warga Pulau Padang Riau di depan DPR, dan penembakan yang mengakibatkan tewasnya tiga warga di Kecamatan Lambu, Kabupaten Bima NTB.

Harus dipahami, konflik agraria yang berlangsung saat ini adalah konflik agraria yang bersifat struktural, yakni konflik yang melibatkan penduduk setempat berhadapan dengan kekuatan modal dan atau instrumen negara.[9] Umumnya konflik agraria bermula dari proses kebijakan pemerintah yang “me-negara-isasi” tanah-tanah milik komunitas. Kemudian di atas tanah yang diberi label “tanah negara” tersebut, pemerintah menguasakan kepada badan usaha milik swasta maupun pemerintah dalam berbagai hak pemanfaatan, seperti Hak Guna Usaha, Izin Usaha Pemanfaatan Hutan,  Izin Usaha Pertambangan, dan sebagainya. Konflik agraria yang bersifat struktural ini telah berlangsung sepanjang pemerintahan Orde Baru berkuasa. Konflik dan kekerasan yang menyertainya mencapai ribuan kasus.

KPA mencatat, rentan waktu 1970-2001 jumlah konflik agraria mencapai 1.753 berlangsung di 286 kabupaten/kota. Luas tanah yang disengketakan mencapai 10.892.203 hektare dan telah mengakibatkan tidak kurang 1.189.482 keluarga menjadi korban. Sayangnya, pascareformasi konflik tersebut dibiarkan tanpa ada proses penyelesaian yang memberi keadilan kepada korban. Bahkan yang terjadi, konflik yang disertai kekerasan masih terus berulang. Pada 2011 saja, sekurang-kurangnya telah terjadi 163 konflik yang terliput di media. Luas tanah yang disengketakan mencapai 472.480,44 hektare dan melibatkan 69.975 keluarga. Terdapat 22 orang meninggal, 279 orang ditahan, 34 orang tertembak, dan 147 orang yang mengalami penganiayaan (KPA, 2011).[10]

Maraknya konflik agraria akhir-akhir ini erat kaitannya dengan meningkatnya perampasan tanah (land grabbing).[11] Perampasan tanah adalah gejala global yang dipicu akuisisi lahan skala luas untuk kebutuhan pangan global. Melonjaknya harga pangan dunia karena krisis finansial mendorong perubahan strategi negara-negara kaya tapi miskin pangan dalam memenuhi kebutuhan pangan domestik. Mereka tidak lagi megimpor bahan pangan, tetapi melancarkan pembelian dan penyewaan lahan di negara-negara berkembang yang mempunyai lahan luas. Studi GRAIN menunjukkan bahwa antara 2006-2009 gelombang akuisisi lahan transaksinya mencapai hampir 37-49 juta hektare.

Selain itu, perampasan tanah menjadi bagian penting dari perluasan usaha kapital. Melalui pemberlakuan hukum agraria baru yang mengatur usaha-usaha perkebunan, kehutanan, dan pertambangan, perusahan-perusahan kapital dapat memperoleh akses eksklusif atas tanah dan kekayaan alam. Rakyat yang sebagai pemilik awal dari tanah dan kekayaan alam dikeluarkan dari wilayah tersebut melalui pemberlakuan hukum, penggunaan kekerasan, pemegaran wilayah secara fisik, serta penggunaan simbol-simbol baru yang menunjukkan, bukan lagi rakyat yang memiliki wilayah tersebut. Penting untuk disadari, perampasan tanah tidak hanya mengakibatkan konflik agraria semakin tinggi karena adaya proses perlawanan dari para korban, tetapi dalam jangka panjang menjadi proses pembunuhan petani dan dunia perdesaan secara sistematis.

Secara umum, sengketa tanah timbul akibat adanya beberapa faktor, faktor-faktor ini yang sangat dominan dalam setiap sengketa pertanahan dimanapun, adapun faktor-faktor tersebut antara lain:[12]

  1. Peraturan yang belum lengkap;
  2. Ketidaksesuaian peraturan;
  3. Pejabat pertanahan yang kurang tanggap terhadap kebutuhan dan jumlah tanah yang tersedia;
  4. Data yang kurang akurat dan kurang lengkap;
  5. Data tanah yang keliru;
  6. Keterbatasan sumber daya manusia yang bertugas menyelesaikan sengketa tanah;
  7. Transaksi tanah yang keliru;
  8. Ulah pemohon hak atau
  9. Adanya penyelesaian dari instansi lain, sehingga terjadi tumpang tindih kewenangan.

Secara umum, sengketa pertanahan yang timbul di Indonesia dapat dikelompokkan ke dalam 4 klasifikasi permasalahan, yaitu permasalahan yang berkaitan dengan:[13]

  1. Pengakuan kepemilikan atas tanah;
  2. Peralihan hak atas tanah;
  3. Pembebanan hak dan
  4. Pendudukan eks tanah partikelir.

 

Ditinjau dari subyek yang bersengketa, sengketa pertanahan dapat dikelompokkan ke dalam 3 macam yaitu :[14]

  1. Sengketa tanah antar warga;
  2. Sengketa tanah antara Pemerintah Daerah dengan warga setempat, dan
  3. Sengketa yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam

 

Sedangkan menurut Kepala BPN Pusat, setidaknya ada tiga hal utama yang menyebabkan terjadinya sengketa tanah:[15]

  1. Persoalan administrasi sertifikasi tanah yang tidak jelas, akibatnya adalah ada tanah yang dimiliki oleh dua orang dengan memiliki sertifikat masing-masing.
  2. Distribusi kepemilikan tanah yang tidak merata. Ketidakseimbangan dalam distribusi kepemilikan tanah ini baik untuk tanah pertanian maupun bukan pertanian telah menimbulkan ketimpangan baik secara ekonomi, politis maupun sosiologis. Dalam hal ini, masyarakat bawah, khususnya petani/penggarap tanah memikul beban paling berat. Ketimpangan distribusi tanah ini tidak terlepas dari kebijakan ekonomi yang cenderung kapitalistik dan liberalistik. Atas nama pembangunan tanah-tanah garapan petani atau tanah milik masyarakat adat diambil alih oleh para pemodal dengan harga murah.
  3. Legalitas kepemilikan tanah yang semata-mata didasarkan pada bukti formal (sertifikat), tanpa memperhatikan produktivitas tanah. Akibatnya, secara legal (de jure), boleh jadi banyak tanah bersertifikat dimiliki oleh perusahaan atau para pemodal besar, karena mereka telah membelinya dari para petani/pemilik tanah, tetapi tanah tersebut lama ditelantarkan begitu saja. Mungkin sebagian orang menganggap remeh dengan memandang sebelah mata persoalan sengketa tanah ini, padahal persoalan ini merupakan persoalan yang harus segera di carikan solusinya. Kenapa demikian? karena sengketa tanah sangat berpotensi terjadinya konflik antar ras, suku dan agama. Akibatnya harga diri harus dipertaruhkan.
  4. URGENSI LAND REFORM BIDANG PERTANAHAN

Ketimpangan pemilikan dan penguasaan tanah di Indonesia, sebagaimana halnya ketimpangan ekonomi/tingkat pendapatan penduduknya adalah sangat tajam dan ironis. Di satu sisi banyak orang kaya yang memiliki tanah secara absentee[16] dan menjadikannya sebagai asset atau investasi, tetapi di sisi lain lebih banyak petani yang hanya mempunyai sebidang tanah yang tidak cukup untuk menghidupi keluarganya atau bahkan tidak mempunyai satu meter pun tanah untuk digarapnya. Dengan tujuan pemerataan dan untuk mencapai keadilan dalam perolehan dan pemanfaatan tanah maka program landreform yang telah lama dipeti-eskan (hanya menjadi program/kebijakan tehnis saja) haruslah digiatkan kembali.

Salah satu hasil karya anak bangsa terbaik, paling monumental, sekaligus revolusioner, yakni Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang selanjutnya disebut Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) merupakan Undang-Undangyang pertama kalinya memperkenalkan konsep Hak Menguasai Negara. Perumusan pasal 33 dalam UUD 1945:[17] “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.[18] Inilah dasar konstitusional pembentukan dan perumusan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Dua hal pokok dari pasal ini adalah sejak awal telah diterima bahwa Negara ikut campur untuk mengatur sumber daya alam sebagai alat produksi, dan pengaturan tersebut adalah dalam rangka untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Penghubungan keduanya bersifat saling berkait sehingga penerapan yang satu tidak mengabaikan yang lain.

Setelah proses pembahasan RUUPA yang berlangsung beberapa lama, Mr. Sadjarwo sebagai Menteri Agraria saat itu mengucapkan pidato pengantarnya. Dikatakan dengan jelas bahwa:[19]

“…perjuangan perombakan hukum agraria nasional berjalan erat dengan sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari cengkraman, pengaruh, dan sisa-sisa penjajahan; khususnya perjuangan rakyat tani untuk membebaskan diri dari kekangan­kekangan sistem feodal atas tanah dan pemerasan kaum modal asing…”.

Semangat untuk mengisi stelsel negara baru pasca kemerdekaan ini dipengaruhi oleh dinamika dari pelbagai ideologi dan kekuatan sosial-politik yang memberi sumbangan dalam pergerakan anti kolonialisme. Soetandyo Wignjosoebroto menyatakan:[20]

“…yang sangat dipentingkan pada saat itu memang bukan resultat-resultat hukum perundang-undangan yang dibuat. Dalam suasana Demokrasi Terpimpin yang hendak lebih ditegaskan dan diungkapkan pada waktu itu adalah kerevolusineran tekad untuk menolak pikiran-pikiran yang berasal dari negeri-negeri liberal kapitalis yang dituduh akan meracuni jiwa bangsa…”.

Semangat menentang strategi kapitalisme dan kolonialisme yang telah menyebabkan terjadinya “penghisapan manusia atas manusia” (exploitation de l’homme par l’homme) di satu sisi; dan sekaligus menentang strategi sosialisme yang dianggap “meniadakan hak-hak individual atas tanah” di sisi lain menjadi landasan ideologis dan filosofis pembentukan UUPA.

Dalam Penjelasan Umumnya, dinyatakan dengan jelas bahwa tujuan diberlakukannya UUPA adalah:[21]

  1. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang akan merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur;
  2. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan;
  3. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.

Hal penting lainnya adalah bahwa UUPA sebenarnya tidak lepas dari konteks landreform yang menjadi agenda pokok pembentukan struktur agraria saat itu. Paket peraturan perundang­undangan landreform ini telah dimulai dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil yang dikeluarkan untuk mengawasi adat tentang praktek bagi hasil.[22] Ini bertujuan menegakkan keadilan dalam hubungan pemilik tanah yang tidak dapat mengerjakan tanahnya sendiri, dengan penggarap. Perlindungan ini terutama ditujukan kepada penggarap yang umumnya secara ekonomis lebih lemah sekaligus memacunya untuk menambah produksi10. Demikian juga Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang redistribusi tanah pertanian.

UUPA lahir dengan latar belakang yang sederhana, supaya kesejahteraan rakyat kecil juga diperhatikan.[23] Hal ini sesuai dengan program landreform saat itu yang dikampanyekan dalam rangka revolusi nasional Indonesia. Dalam pidato Presiden Soekarno tanggal 17 Agustus 1960 dinyatakan, ìMelaksanakan landreform berarti melaksanakan satu bagian yang mutlak dari revolusi Indonesia. Revolusi Indonesia tanpa landreform adalah sama saja dengan gedung tanpa alas, sama saja dengan pohon tanpa batang, sama saja dengan omong besar tanpa isi”.

Program landreform memiliki tujuan untuk memperkuat dan memperluas pemilikan tanah bagi warga negara Indonesia, terutama kaum tani. Juga untuk menghapus sistem tuan tanah dan pemilikan tanah tanpa batas. Dalam hal ini, pemilikan tanah tanpa batas tidak diperkenankan lagi sehingga diatur luas maksimum tanah yang dapat dimiliki. Kelebihan tanah dari batas maksimum itu diambil oleh pemerintah dengan ganti kerugian untuk kemudian dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan dalam program redistribusi tanah.

Sejak awal pelaksanaannya tahun 1961, program landreform sering dianggap sebagai gagasan PKI, konsepsi komunis, lebih-lebih setelah terjadinya Gerakan 30 September PKI. Dengan dibubarkannya partai komunis itu, dianggap perlu juga untuk membubarkan program landreform dan tanah-tanah yang telah diredistribusi kepada rakyat harus dikembalikan kepada pemiliknya semula. Padahal, konsep landreform yang memberi penggantian kerugian berbeda dengan konsepsi komunis di mana tanah diambil negara tanpa suatu ganti rugi.

Dalam usianya yang semakin tua ini, UUPA telah memberikan dukungan dalam pembangunan, khususnya yang berhubungan dengan tanah. Namun, UUPA juga menunjukan kelemahan dalam kelengkapan isi dan rumusannnya. Kelemahan UUPA tersebut, pada masa orde baru telah dimanfaatkan dengan memberikan tafsiran yang menyimpang dari azas dan tujuan ketentuan yang bersangkutan. Pada masa orde baru, orientasi kerakyatan ditinggalkan, orientasi agraria lebih ditekankan pada pemberian kesempatan investor-investor dan pemodal-pemodal besar untuk dapat memiliki tanah guna kepentingan pembangunan.[24]

Akibatnya adalah berupa warisan konflik pertanahan yang tampak sekarang ini. Oleh sebab itu perangkat-perangkat hukum yang ada dalam UUPA perlu di perbaiki, bila perlu dengan melakukan perobahan ketentuan dan rumusan lembaga-lembaga dan peraturan-peraturannya, agar tersedia perangkat hukum yang lengkap dan jelas, untuk menghindari penafsiran yang keliru dalam pelaksanaannya. Dengan demikian akan tercipta kepastian hukum dan memberikan perlindungan hukum yang seimbang kepada semua pihak dalam pelaksanaan pembangunan dan kehidupan sehari-hari.

Banyaknya konflik-konflik pertanahan yang seringkali merugikan masyarakat, mendorong perlunya dilakukan pembaruan agraria di negeri ini. Pembaruan agraria itu adalah sesuai dengan Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Pembaruan agraria itu hanya akan berhasil, apabila pembaruan hukum agraria itu mengutamakan petani sebagai pilar utama pembangunan ekonomi nasional, dengan tidak mengabaikan kepentingan investor-investor dan pemodal-pemodal besar sebagai salah satu sumber pembiayaan pembangunan.

Pada dasarnya Agrarian reform Indonesia itu meliputi 5 program (Panca Program), yaitu:[25]

  1. Pembaharuan hukum agraria, melalui unifikasi hukum yang berkonsepsi nasional dan pemberian jaminan kepastian hukum;
  2. Penghapusan hak-hak asing dan konsesi-konsesi kolonial atas tanah;
  3. Mengakhiri penghisapan feodal secara berangsur-angsur;
  4. Perombakan pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan-hubungan hukum yang bersangkutan dengan penguasaan tanah dalam mewujudkan pemerataan kemakmuran dan keadilan;
  5. Perencanaan persediaan dan peruntukan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya serta penggunaanya secara terencana, sesuai dengan daya dukung dan kemampuannya.

Latar belakang dan tujuan landreform tergantung kepada faktor-faktor yang memungkin adanya suatu landreform, termasuk didalamnya adalah tekanan demografi penduduk, system-sistem sosial yang tidak seimbang, tekanan nasionalisme, kegelisahan masyarakat desa dan kekerasan dari luar. Beberapa negara mempergunakan landreform untuk mencapai atau mempertahankan kekuatan dan lainnya menganggap ini sebagai gerakan politik untuk menghindari revolusi yang akan terjadi melawan suatu rezim.

Dalam prakteknya, landreform dijalankan untuk menunjukan reaksi terhadap tekanan politik dari perubahan social ekonomi, yang ditimbulkan oleh faktor-faktor seperti tekanan pertambahan penduduk disuatu daerah, baik distribusi tanah maupun pendapatan. Dengan demikian tujuan landreform itu sesungguhnya adalah untuk melakukan perubahan terhadap taraf hidup rakyat, khususnya petani, agar menjadi lebih baik, dengan meningkatkan hasil produksi dan memberikan kepemilikan terhadap tanah bagi petani kecil dan penggarap, yang pada akhirnya akan menuju masyarakat adil dan makmur.[26]

Tujuan land reform menurut Michael Lipton dalam Arie S. Hutagalung   adalah :[27]

  1. Menciptakan pemerataan hak atas tanah diantara para pemilik tanah. Ini dilakukan melalui usaha yang intensif yaitu dengan redisribusi tanah, untuk mengurangi perbedaan pendapatan antara petani besar dan kecil yang dapat merupakan usaha untuk memperbaiki persamaan diantara petani secara menyeluruh.
  2. Untuk meningkatkan dan memperbaiki daya guna penggunaan tanah. Dengan ketersediaan lahan yang dimilikinya sendiri maka petani akan berupaya meningkatkan produktivitasnya terhadap lahan yang diperuntukkan untuk pertanian tersebut, kemudian secara langasung akan mengurangi jumlah petani penggarap yang hanya mengandalkan sistem bagi hasil yang cenderung merugikan para petani.

Hal lain yang juga bisa dimaksimalkan dari pelaksanaan land reform adalah suatu mekanisme proteksi yang lebih ketat terhadap perubahan penggunaan tanah, karena harus diakui bahwa pola pewarisan tanah dalam masyarakat Indonesia cenderung makin mendorong fragmentasi lahan sehingga penguasaan lahan oleh petani semakin kecil. Guna menjamin efektivitas dari land reform maka selain dilakukan redistribusi tanah maka harus ada kejelasan yang mengikat bahwa objek tanah/lahan tersebut tidak bisa berpindah tangan atau beralih peruntukkan penggunaannya, hal ini akan mengurangi perpindahan penguasaan dan pemilikkan tanah kepada spekulasi tanah atau kegiatan non pertanian lainnya.

Adapun tujuan Landreform dari segi Sosial, Ekonomi, Politik dan Psikologis meliputi:[28]

  1. Segi Sosial Ekonomi

Landreform dapat memeperbaiki keadaan sosial ekonomi rakyat dengan memeperkuat hak milik dan memperbaiki produksi nasional khususnya sector pertanian guna memepertinggi penghasilan dan taraf hidup rakyat.

  1. Segi Sosial Politis

Dengan landreform sistem tuan tanah dapat dihapuskan dan pemilikan tanah dalam skala besar dapat dibatasi sehingga tanah dapat dibagikan secara adil agar menjadi sumber-sumber penghidupan rakyat tani.

  1. Segi Mental Psikologis

Landreform dapat meningkatkan kegairahan kerja bagi para petani penggarap dengan jalan memberikan kepastian hak mengenai pemilikan tanah serta dapat memperbaiki hubungan kerja antara pemilik tanah dengan penggarapnya

  1. SINKRONISASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN BIDANG PERTANAHAN

Problematik yang terjadi pada tataran normatif yaitu terdapat persoalan sinkronisasi dan konsistensi berbagai aturan hukum di bidang pertanahan dalam kaitannya dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Hal ini telah berlangsung secara periodik dan memiliki variasi karakter hukumnya.[29] Selama Orde Baru (1967 – 1998), aturan hukum mengenai sumber daya alam, khususnya di bidang pertanahan diterbitkan dikeluarkan secara sektoral dengan melepaskan kaitannya dengan UUPA sebagai aturan hukum pokok (“payung”) dari semua aturan hukum agraria. Karakteristik aturan hukum dan taraf kesinkronannya dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, sebagai berikut:[30]

  1. Pada periode 1967–1973, aturan hukum mengenai pertanahan tidak sinkron dan tidak konsisten dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan berkarakter: eksploitatif terhadap sumber daya alam; berpihak pada sistem ekonomi kapitalis (akumulasi modal); dan konservatif/ortodoks, yaitu hukum menjadi alat bagi pelaksanaan ideologi dan program negara (positivis instrumentalis).
  2. Pada periode tahun 1973–1984, aturan hukum mengenai penguasaan tanah memiliki karakter: Konservatif/ortodoks, dengan ciri pemerintah sangat dominan dalam pembentukkan hukum dan menentukan arah perkembangan hukum masyarakat; Represif; dan Pragmatis dan sangat akomodatif terhadap kekuatan modal (capitalism), terutama kekuatan modal asing lewat negara donor maupun lembaga-lembaga keuangan Internasional. Dengan demikian, aturan hukum pada periode ini juga tidak selaras (tidak sinkron dan tidak konsisten) dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
  3. Pada periode tahun 1984–1990-an, aturan hukum mengenai penguasaan tanah berorientasi untuk memudahkan perolehan tanah bagi investasi, oleh karena itu karakter peraturannya bersifat pragmatis dan sangat akomodatif terhadap kepentingan modal. Disamping itu, bersifat defensif-reaktif, artinya sangat reaksioner terhadap berbagai sengketa agraria yang muncul pada saat itu dan melihatnya sebagai persoalan administratif belaka. Aturan hukum pada periode ini juga tidak sinkron dan tidak konsisten dengan semangat yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
  4. Periode Desentralisasi (1998–2003), peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan yang mencerminkan ketidakpastian hukum (ambivalence), akibatnya terjadi ketidaksinkronan dan ketidakkonsistenan aturan hukum di bidang pertanahan. Karakter Peraturan Perundang-undangan pada periode ini bersifat pragmatism-reaktif, dan parsial. Artinya peraturan-peraturan yang dikeluarkan tidak didasarkan pada suatu format tertentu yang secara integral berkesinambungan dan sistematis. Meskipun peraturan tersebut berkarakter pragmatism-reaktif, tetapi materi muatannya lebih selaras (sinkron dan konsisten) dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 junto Pasal 2 dan 14 UUPA junto Pasal 11 dan 12 UU No. 22 Tahun 1999.
  5. Periode Resentralisasi (2004–2006), terjadi arus penarikan kembali kewenangan daerah di bidang agrarian oleh pemerintah pusat, sehingga wewenang agraria/pertanahan menjadi tersentralisasi lagi pada pemerintah (pusat). Hal ini ditandai dengan diberlakukannya Perpres No. 36 Tahun 2005 yang kemudian diubah dengan Perpres No. 65 Tahun 2006 dan Perpres No. 10 Tahun 2006. Substansi ketiga Perpres tersebut berkarakter represif dan berorientasi meningkatkan devisa negara lewat pembangunan dengan keberpihakan penuh pada pemilik modal (capital). Selain itu, menempatkan otoritas/kewenangan yang begitu besar kepada BPN (institusi pemerintah (pusat). Dengan demikian, Peraturan Perundang-undangan pada periode ini tidak selaras (tidak sinkron dan tidak konsisten) dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

Konflik landasan hukum penetapan Rencana Pembagunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang berjangka 5 tahun sebagai penjabaran visi, misi, dan program kepala daerah terpilih.[31] Hal ini disebabkan karena dalam UU No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional di jelaskan bahwa RPJMD cukup ditetapkan oleh Kepala Daerah melalui peraturan kepala daerah. Namun dalam UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, penetapan RPJMD melalui peraturan daerah yang ditetapkan oleh DPRD. Akibatnya di banyak daerah terutama yang kepala daerah terpilih tidak mendapat dukungan mayoritas di DPRD berselisih paham tentang penetapan RPJMD dan menjadikan perdebatan ini sebagai komoditas politik lokal.

Adanya empat Undang-undang yang secara berhimpitan mengatur mengenai perencanaan dan penganggaran. UU No.25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang mengatur khusus mengenai perencanaan, sementara UU No. 17 tahun 2004 tentang keuangan negara mengatur pengelolaan keuangan negara dan daerah. Dipihak lain UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah juga mengatur perencanaan dan penganggaran di daerah. UU No.17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara telah memperkuat peran Departemen Keuangan sampai pada proses-proses perencanaan dan penganggaran di daerah. Dan kemudian lahirlah UU No. 25 tahun 2004 tentang SPPN yang mempertahankan eksistensi Bappenas yang melemah bahkan dikhawatirkan dilikuidasi akibat hadirnya UU No. 17 tersebut, Hal in menunjukkan bahwa kebijakan yang dilahirkan pemerintah terkait perencanaan dan penganggaran ini bukanlah berdasarkan kebutuhan yang ada melainkan sekedar berdasarkan pertarungan kepentingan antara departemen.[32]

Norma hukum terkait Perencanaan dan Penganggaran yang terdapat dan diatur dalam UU No. 17 tahun 2003 dan UU No. 33 tahun 2004 sangat mirip dan multi intepretatif, dalam prakteknya kehadiran kedua Undang-Undang yang mengatur secara bersamaan membuat kebingungan dalam implementasi di lapangan. UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara tidak dapat diberlakukan di Provinsi Bangka Belitung dikarenakan substansi dari UU tersebut mengatur tata cara penambangan yang lazim digunakan untuk penambangan emas bukan jenis penambangan mineral lainnya.

Semua aturan berkaitan dengan Agraria dan pertanahan harus mengacu pada Pasal 33 UUD 45 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, hal itu dilakuan dengan melakukan koreksi terhadap peraturan-peraturan di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, baik melalui instansi terkait maupun melalui jalur Judicial Review, Eksekutif Review maupun legislatif review.[33]

Sinkronisasi peraturan perundang-undangan dilakukan bukan hanya setelah UU dibuat, namun justru pada saat proses UU tersebut dibuat sinkronisasi harus dilakukan dengan mempertemukan masing-masing departemen dan mempertemukan kepentingan demi mengeliminir ego sektoral.[34] Jika terdapat dua atau lebih UU yang mengatur secara bersamaan norma hukum yang mirip/sama, akan lebih baik jika di kodifikasi menjadi satu paket Undang-UndangRevisi UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara dengan melibatkan pemerintah daerah dan tim ahli yang memahami tentang pertambangan.Mensinkronkan peraturan perundang-undangan dengan UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pasal-Pasal dalam UUD 45 yang memberi perlindungan kepada lingkungan hidup.

Berdasarkan kajian di atas, ternyata masalah urusan pertanahan, kehutanan dan pertambangan disebabkan karena kurangnya pengaturan dalam kosepsi dasar dan peraturan-perundang-undangan sektor banyak yang belum sinkron dengan undang-undang pemerintahan daerah serta implementasinya belum dilaksanakan dengan konsisten. Untuk itu saran dalam penyempurnaan undang-undang tentang pemerintahan daerah serta perbaikan pelaksanaannya di masa yang akan datang dapat dijelaskan sebagai berikut:[35]

  1. Pertama,  pentingnya pengaturan  pertanahan,  kehutanan dan pertambangan perlu diatur secara khusus dalam pasal tersendiri pada revisi undang-undang pemerintahan daerah;
  2. Kedua, sebagai syarat dasar daerah otonom melaksanakan ketiga  urusan ini, wajib diterbitkan terlebih dahulu Norma, Standar, Kriteria dan Prosedur (NSPK) bidang pertanahan, kehutanan maupun NSPK bidang pertambangan.  Selanjutnya  urusan tersebut dapat dilaksanakan oleh daerah otonom secara penuh diikuti pembinaan dan pengawasannya secara melekat;
  3. ketiga, perlu segera dilakukan harmonisasi peraturan-perundang-undangan yang tidak sesuai dengan undang-undang pemerintahan daerah; keempat, untuk menghindari kekosongan penetapan NSPK dalam waktu yang lama, akibat dari lamanya proses penyusunannya, maka penetapan NSPK dapat dipecah dalam  sub bidang-sub bidang misalnya di bidang pertambangan, diterbitkan dulu NSPK pertambangan biji besi, NSPK pertambangan timah NSPK pertambangan batubara. NSPK di bidang kehutanan dapat diterbitkan dahulu NSPK kuasa kehutanan, NSPK penebangan pohon, NSPK reboisasi, NSPK konservasi lahan, NSPK satwa liar;
  4. keempat, perlu diatur sanksi serta penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran NSPK di bidang pertanahan, kehutanan dan pertambangan;
  5. Kelima, meskipun tanah, hutan dan tambang penting untuk kelangsungan hidup negara, kepentingan umum dan kelestarian lingkungan hidup, maka urusan pertanahan,  kehutanan dan  pertambangan tetap merupakan urusan yang didesentralisasikan serta  tetap mendorong inovasi dan kreatifitas  daerah dalam pemanfaatannya.

Pada prinsipnya adalah harus ada harmonisasi hukum, antar undang-undang maupun peraturan organiknya harus sinkron dan harmonis.[36] Menatap pada perubahan sistem hubungan antara pusat dan daerah yang di dalamnya juga menyangkut perubahan kewenangan maka sudah saatnya sinkronisasi dan harmonisasi dilakukan dengan merubah peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih dan saling bertentangan dan memberikan akses yang besar bagi masyarakat untuk ambil bagian dalam melakukan sinkronisasi dan harmonisasi.[37] Ketika masyarakat dilibatkan maka kebijakan pertanahan pada khususnya dan sumber-sumber agraria yang lain akan mengakar pada kepentingan masyarakat lokal. Perkara kesejahteraan, itu hanya persoalan dampak sehingga akan tumbuh dengan sendirinya apabila setiap warga negara mempunyai akses yang sama terhadap sumber-sumber agraria.

  1. PENYELESAIAN SENGKETA PERTANAHAN MERUPAKAN TANGGUNG JAWAB BERSAMA

Konflik agraria masih saja merambah nusantara, di televisi, di radio, di koran-koran terus saja menjadi berita utama. Tanah adalah salah satu obyek yang sering menjadi rebutan dan perdebatan.[38] Tidak jarang berkembang menjadi pertikaian yang tak berkesudahan. Mewujudkan rasa keadilan dalam sektor agraria atau kebumian sudah menjadi keharusan semua pihak, baik dalam azas ketegasan hukum Negara maupun azas kepatutan Masyarakat Adat. Untuk itu penting untuk dipahami dan direnungi kembali, sudahkan tanah, bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya didudukan sebagai perekat berbangsa dan bernegara, sekaligus hakekat hubungan manusia dengan Tuhannya. Karena Tuhanlah Sang Pencipta dan Maha Kuasa, menciptakan tanah beserta isinya. Dalam pelajaran di sekolah dan juga pada pelajaran agama apapun pasti mengajarkan kepada kita, bahwa bumi beserta isinya adalah ciptaan Tuhan. Sudah sepatutnya permasalahan agraria dapat mengantarkan kita pada pendalaman dan pemahaman tentang relasi antara manusia dan Tuhan. Dengan demikian manusia dalam hakekat hidup bersama di atas tanah atau bumi, dapat menuju dan meyakini kembali sebagai mahkluk yang berketuhanan.

Sektor agraria telah banyak diatur dalam Konstitusi Negara kita.[39] Negara dimandatkan oleh rakyat untuk mengelola bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.  Cita-cita mulia tersebut semestinya mencegah adanya pertikaian antara Negara dan Rakyat. “Tanah-tanah di nusantara ini  semestinya dibebaskan dari dominasi kerakusan pemodal atau kekuasaan semata”. Spirit berketuhanan dalam pengelolaan agraria masih banyak kita jumpai di berbagai komunitas adat di berbagai wilayah nusantara. Masyarakat adat mengelolanya berdasarkan kearifan. Semua aktifitas di atas bumi dilakukan atas restu, petunjuk dan hasilnya di persembahkan lagi kepada Sang Pencipta bumi –Tuhan.  Bahkan dalam kearifan lokal masyarakat adat, tanah tidak boleh dimiliki atau menjadi kepemilikan tunggal. Warga Adat pun meyakini, untuk bisa hidup dan dihidupi oleh alam berarti banyak pula kewajiban yang harus dilakukan di atas tanah muka bumi ini.  Berdasarkan pengalaman dan kewajiban  hidup yang demikian, maka  pola hidup komunal masyarakat adat bukanlah persoalan kebetulan, tetapi sebaliknya sudah menjadi kebutuhan bersama (kepemilikan komunal).[40]

Dalam keyakinan Masyarakat Adat lainnya, hasil bumi boleh dan akan di konsumsi setelah dipersembahkan sebagai bentuk penghormatan dan permohonan ijin dari Tuhan Sang Pencipta. Setelah itu hasil bumi baru bisa di konsumsi untuk hidup dan menghidupi sepantasnya. Pola dan cara-cara hidup demikian lama-kelamaan terangkum mejadi sebuah tradisi, fungsi, dan tatanan kehidupan masyarakat adat yang mengedepankan kesantunan hidup bersama alam, sebagai contoh aktivitas Subak di Bali, atau sebutan lain di tempat lain. Karena merusak alam diyakini akan merusak diri sendiri, merusak alam sama saja merusak negara sendiri.

Lalu bagaimana halnya dengan maraknya konflik agraria di berbagai wilayah? Perlu kita cermati akar permasalahannya berdasarkaan konsepsi diatas. Apakah tanah-tanah tersebut sudah dikelola berdasarkan prinsif “berketuhanan” tadi? Baik yang dilakukan oleh komunitas adat, maupun oleh negara. Jika warga di wilayah adat tidak lagi mengelola tanah dan bumi “secara adat”  bisa dikatakan warga sedang mengalami “persoalan” karena tidak mampu lagi mengelola bumi secara beketuhanan. Dengan demikian negara berhak mengambil alih pengelolan tanah tersebut atas mandat konstitusi. Karena dalam mukadimah atau konsidran konstitusi atau peraturan dan perundang-udangan lainnya selalu menyebut atau tertulis “ Atas Rahmat Tuhan Yang Maha Esa”, menimbang, mengingat dan menetapkan dan seterusnya.

Lebih jauh bagaimana halnya jika Negara tidak mampu lagi melaksanakan mandat konstitusi dalam pengelolaan tanah tadi? Tentu sama saja, “Negara bisa juga dikatakan lalai atau tidak sedang melaksanakan prinsip-pirinsip pengelolaan tanah secara berketuhanan, karena hasil bumi tidak lagi mampu digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.[41]  Malah di beberapa tempat, negara melakukan pembiaran tanah tersebut menjadi “Tanah Tuan-Tuan”, atau milik segelintir “Para Tuan Tanah”. Jika negara dan rakyat sudah tidak lagi mampu mengelola tanah secara berketuhanan, maka sangat wajar jika tanah tersebut tidak akan menciptakan kesejahteraan, tapi sebaliknya menimbulkan kesengsaraan. “Jadi, kedua pihak Rakyat atau Negara bisa saja melakukan kelalian”.

Untuk itu dibutuhkan solusi secara komprehensif baik dari pemerintah pusat, daerah, peradilan dan seluruh masyarakat sekitar untuk meminimalisir adanya konflik dibidang pertanahan. Dalam upaya meminimalisir terhadap sengketa pertanahan, maka diperlukan strategi yang komprehensif guna mengantisipasi dan mengurangi angka sengeketa dibidang pertanahan, maka untuk itu perlu dilaksanakan beberapa upaya strategi sebagai berikut :[42]

  1. Strategis administrative Negara, yang sangat membutuhkan professional yang komprehenship/holistic (multidisiplin) yang tidak bisa diserahkan kepada professional berorientasi produk, perubahan struktur organisasi sektoral bukan berdasar produk (komoditas) tetapi struktur organisasi atas dasar proses. Hal ini meminimalisasi kepentingan-kepentingan sektoral atas dasar produk yang berdampak kebijakan yang dibuat menteri sebenarnya hanya hasil salah satu deputy yang tupoksinya produk bukan proses yang membutuhkan professional multidisiplin). Sekarang tidak bedanya format yang terjadi di Perguruan Tinggi dengan pembagian fakultasnya, apa seperti ini format Administrasi untuk semua Kementerian di Indonesia? Reformasi administrative. Khusus bidang pertanahan harus Bagaimana?
  2. Yudikatif, menyelesaikan timpang tindih perundangan dan rekomendasi perumusan payung regulasi pertanahan Negara dapat dibentuk “KPN” Komisi Pertanahan Negara yang merupakan bentuk implementasi regulasi kekuasaan Negara terhadap tanah Negara, yang sekarang diemban oleh kekuasaan pemerintah dan hanya sektoral.
  3. Strategi legislative (wakil rakyat) bersama presiden berkewajiban mengatur semua kebijakan terkait kekuasaan Negara, RAPBN (anggaran pendapatan dan belanja Negara sudah benar, RPTPN (Rencana Penyediaan Tanah Pembangunan Negara saat belum bekerja legislative, executive pun menyerahkan kepada sektoral yang menguasai (administrative–BPN, penguasaan tanah dominan –Kehutanan). Pertanyaannya apakah kehutanan bukan sektoral komoditas? Mengapa menguasai tanah Negara dan semua sektor mengacu kalau tidak mau dikatakan berbenturan dengan penguasaan oleh kehutanan yang sebenarnya penguasaannya oleh kekuasaan Negara. Sehingga perlu pertanyaan besar dimana letak demokrasinya untuk rakyat tanpa kekuasaan Negara yang bekerja (executive bersama legislative terkait dengan tanah, Mengapa anggaran bisa).
  4. Stategi Masyarakat, masyarakat sebenarnya dapat meredam sendiri konflik yang terjadi di lingkungannya. Untuk itu dibutuhkan kearifan dan kemauan bersama untuk menyelesaikan persoalan pertanahan yang menjadi objek sengketa antara yang satu dengan yang lainnya.
  1. MEDIASI SEBAGAI SOLUSI ALTERNATIF

Dari laporan hasil Dialog Reformasi Kebijakan Pertanahan di Indonesia tahun 2001 dan hasil Diskusi Pertanahan tahun 2002, telah memberikan suatu gambaran kepada semua pihak bahwa masalah konflik dan sengketa tanah adalah masalah yang utama dan sangat penting serta tidak dapat ditunda-tunda lagi untuk segera ditangani oleh pemerintah. Hal ini juga dipertegas dalam Pasal 5 ayat 1.d mengenai TAP MPR No. IX /MPR/2001 khususnya mengenai arahan kebijakan pembaharuan agraria sebagai suatu amanat dari seluruh rakyat Indonesia yang berbunyi :

“Menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya Agraria yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud pasal 4 ketetapan ini”.

Menurut Arie S. Hutagalung, pada prinsipnya secara garis besar, seperti halnya sengketa secara umum, maka sengketa tanah dapat diselesaikan melalui 3 (tiga cara) yaitu :[43]

  1. Penyelesaian secara langsung oleh para pihak dengan musyawarah. Dasar dari musyawarah untuk mufakat ini tersirat dalam Pancasila sebagai dasar kehidupan bermasyarakat Indonesia dan juga tersirat dalam UUD 1945.
  2. Penyelesaian melalui Badan Peradilan berdasarkan UU No. 14/1970 jo UU No. 35/1999 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman; umumnya penyelesaian ini diajukan ke peradilan umum yang diatur dalam UU No.2/1986 tentang Peradilan Umum atau apabila yang disengketakan adalah produk tata usaha negara atau yang digugat pejabat Tata Usaha Negara melalui Peradilan Tata Usaha Negara yang diatur dalam UU No. 5/1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, atau apabila menyangkut tanah wakaf diajukan ke Pengadilan Agama.
  3. Melalui mekanisme Arbitrasi dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative Dispute Resolution); dengan telah diundangkannya UU No. 30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, maka terdapat suatu kepastian hukum untuk mengakomodasi cara penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum.

Dalam praktik hukum di Indonesia, pada umumnya semua sengketa pertanahan dapat diajukan ke pengadilan baik dalam lingkup peradilan umum maupun peradilan tata usaha negara. Namun harus diakui, penggunaan lembaga peradilan untuk menyelesaikan suatu sengketa pertanahan kerapkali menyisakan banyak kekurangan/kelemahan, yang mana secara umum kekurangan/kelemahan ini apabila ditinjau dari aspek ekonomi merupakan salah satu komponen yang mengakibatkan munculnya ekonomi biaya tinggi.

Berperkara di pengadilan pada umumnya dirasakan sebagai proses yang memakan waktu, tidak sederhana, dan tidak murah biayanya. Hal ini sering diperparah dengan kendala yang bersifat organisatoris dan Kendala non-yuridis berupa campur tangan pihak-pihak di luar lembaga yudikatif dengan dampak keluarnya keputusan yang menyimpang dari arti hakiki pengadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan bagi pencari keadilan. Karena itu, dapat dipahami, penyelesaian sengketa di pengadilan merupakan pilihan terakhir.

Beberapa kritik yang sering kali dilontarkan terhadap lembaga peradilan, sebagaimana yang dikemukakan oleh Imamulhadi bahwa proses penyelesaian melalui jalur pengadilan (ligitasi) memiliki banyak kelemahan, seperti :[44]

  1. Ligitasi memaksa para pihak berada pada posisi yang ekstrim dan memerlukan pembelaan;
  2. Ligitasi mengangkat seluruh persoalan dalam suatu perkara, sehingga mendorong para pihak untuk melakukan penyelidikan terhadap kelemahan-kelemahan pihak lainnya;
  3. Proses ligitasi memakan waktu yang lama dan biaya yang mahal;
  4. Hakim seringkali bertindak tidak netral dan kurang mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan yang mendasari penyelesaian suatu masalah hukum baru.

Dalam perkembangan sengketa pertanahan di Indonesia, pernah timbul gagasan untuk membentuk Pengadilan Pertanahan di dalam lingkup peradilan umum. Walaupun secara teoritis pembentukan Pengadilan Pertanahan dimungkinkan,[45] namun demikian masalah utamanya adalah : apakah dengan dibentuknya Pengadilan Pertanahan maka efektivitasnya dapat dijamin? Berdasarkan pengamatan berperkara di pengadilan sebagai di gambarkan di atas justru eksistensi penyelesaian sengketa melalui pengadilan terkadang diragukan sebagai benteng terakhir untuk menemukan keadilan. Olehnya itu, efektivitas Pengadilan Pertanahan yang diusulkan itu masih merupakan tanda tanya.

Selain Pengadilan Pertanahan, gagasan tentang Arbitrasi Pertanahan juga pernah dilontarkan. Maria S.W. Sumardjono berpandangan bahwa gagasan pembentukan lembaga Arbitrase Pertanahan masih memerlukan pemikiran yang seksama. Apabila semua unsur yang dipertimbangkan untuk terciptanya lembaga arbitrase itu sudah dapat dipenuhi, barangkali gagasan itu dapat terwujud. Namun dengan berfungsinya lembaga tersebut, tidak serta merta dapat diharapkan bahwa penyelesaian sengketa akan berjalan lebih cepat. Menurutnya tersedianya tenaga ahli yang profesional, tata kerja yang jelas, dan tersedianya dana pendukung yang diperlukan akan berdampak terhadap ketepatan waktu penyelesaian sengketa.[46] Namun demikain, gagasan tentang pembentukan lembaga Pengadilan Pertanahan maupun Arbitrase Pertanahan harus diakui, muncul sebagai reaksi atas penyelesaian sengketa tanah melalui pengadilan yang berjalan lamban, mahal, dan terkadang tidak dapat dieksekusi.

Menurut hemat Penulis, pembentukan lembaga peradilan tersebut di atas, seyogyanya untuk saat ini tidak diperlukan karena penyelesaian sengketa tanah sudah dalam sistem hukum pertanahan Indonesia telah memperoleh tempat penyelesaian melalui peradilan umum, peradilan tata usaha negara dan peradilan agama. Yang harus dilakukan adalah bagaimana mengupayakan agar lembaga pengadilan dapat berfungsi secara optimal. Eksistensi pengadilan sebagai tempat bagi para pencari keadilan, harus senantiasa secara terencana dan sistematis ditingkatkan kualitasnya. Hal itu dilakukan dalam rangka menghasilkan berbagai produk keputusan yang berkualitas, sehingga pada akhirnya diharapkan dapat memposisikan citra pengadilan sebagai benteng terakhir para pencari keadilan.

Berbagai kekurangan lembaga peradilan dalam menyelesaikan suatu sengketa sangat dirasakan oleh para pihak yang bersengketa terutama dalam rangka memberikan kepuasan hukum, sehingga kondisi ini semakin meyakinkan perlunya ditemukan cara penyelesaian lain yang dapat memuaskan para pihak yang bersengketa, sehingga pencari keadilan beralih pada Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative Dispute Resolution) untuk menyelesaikan setiap persoalan yang timbul terkait dengan sengketa tanah.

Mengingat penyelesaian sengketa melalui pengadilan umum maupun pengadilan tata usaha negara sering dirasakan kurang efektif, dan bahwa pengadilan itu merupakan upaya terakhir bila upaya lain menemui jalan buntu, maka gagasan untuk memanfaatkan cara penyelesaian sengketa alternatif di luar jalur pengadilan, misalnya melalui lembaga mediasi, nampaknya sudah saatnya untuk diwujudkan.

Barangkali untuk Indonesia, dimana cara-cara musyawarah untuk mencapai mufakat merupakan hal yang lazim, untuk kasus-kasus pertanahan yang bersifat perdata dalam arti luas, yakni yang tidak menyangkut aspek administrasi dan pidana, sepanjang para pihak menghendaki cara-cara mediasi, maka hal itu dapat ditempuh. Apalagi dalam Pasal 14 UU no. 14/1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan kehakiman disebutkan bahwa walaupun hakim harus mengadili perkara yang diajukan, namun tidak menutup kemungkinan penyelesaian perkara perdata secara perdamaian.

Mediasi sebagai mekanisme ADR/APS menawarkan cara penyelesaian sengketa yang khas dengan ciri–ciri : waktunya singkat, terstruktur, berorientasi pada tugas, dan merupakan cara intervensi yang melibatkan peran serta para pihak secara aktif. Menurut Maria S.W. Sumardjono, penyelesaian sengketa tanah melalui lembaga mediasi memiliki segi positif dan negatif. Segi positifnya adalah bahwa waktunya singkat, biayanya ringan dan prosedurnya sederhana. Pihak yang bersengketa akan merasa lebih “berdaya” dibandingkan dalam proses pengadilan karena mereka sendirilah yang menentukan hasilnya. Di samping itu, dalam mediasi para pihak akan lebih terbuka terhadap adanya nilai-nilai lain di samping faktor yuridis. Segi negatifnya adalah bahwa hasil mediasi tidak dapat dimintakan penguatan kepada pengadilan, karena itu efektivitasnya tergantung kepada ketaatan para pihak untuk menepati kesepakatan bersama tersebut.

Lebih lanjut beliau menyatakan pula bahwa, segi positif mediasi sekaligus dapat menjadi segi negatifnya, dalam arti keberhasilan mediasi semata-mata tergantung pada itikad baik para pihak untuk menaati kesepakatan bersama tersebut karena hasil akhir mediasi tidak dapat dimintakan penguatan kepada pengadilan. Untuk sengketa dalam bidang bisnis, supaya kesepakatan dapat dilaksanakan (final and binding), seyogianya para pihak mencantumkan kesepakatan (klausula ADR/APS) itu dalam bentuk perjanjian tertulis yang tunduk pada prinsip-prinsip umum perjanjian.

Dalam mediasi, para pihak sendirilah yang berperan aktif untuk menjajaki berbagai alternatif untuk menetapkan hasil akhir dengan bantuan seorang mediator yang tidak memihak dan berperan untuk membantu tercapainya hal-hal yang disepakati bersama. Fungsi mediator dalam penyelesaian sengketa melalui lembaga mediasi, oleh Suyud Margono dijelaskan adalah sebagai berikut :[47]

  1. Sebagai “katalisator”, berarti kehadiran mediator dalam proses perundingan mampu mendorong lahirnya suasana yang konstruktif bagi jalannya diskusi.
  2. Sebagai “pendidik”, berarti seseorang harus berusaha memahami aspirasi, prosedur kerja, keterbatasan politis, dan kendala usaha dari para pihak. Oleh sebab itu, mediator harus berusaha melibatkan diri dalam dinamika perbedaan diantara para pihak.
  3. Sebagai “penerjemah”, berarti mediator harus berusaha menyampaikan dan merumuskan usulan para pihak melalui bahasa atau ungkapan yang baik dengan tanpa mengurangi sasaran yang dicapai oleh pengusul.
  4. Sebagai “nara sumber”, berarti seorang mediator harus mendayagunakan sumber-sumber informasi yang tersedia.
  5. Sebagai “penyandang berita jelek” berarti bahwa mediator harus menyadari bahwa para pihak dalam proses perundingan dapat bersikap emosional. Untuk itu mediator harus mengadakan pertemuan terpisah dengan pihak-pihak terkait untuk menampung berbagai usulan.
  6. Sebagai “agen realitas”, berarti mediator harus berusaha memberi pengertian secara jelas kepada salah satu pihak bahwa sasarannya tidak mungkin/tidak masuk akal tercapai melalui perundingan.
  7. Sebagai “kambing hitam”, berarti seorang mediator harus siap dipersalahkan misalnya dalam membuat kesepakatan hasil perundingan.

Dalam hal prosedur/proses yang harus ditempuh dalam mediasi, terdapat beberapa pendapat ahli.[48] Di sini akan dikemukakan proses tahapan mediasi menurut pendapat Riskin dan Westbrook sebagaimana dikutip oleh E. Saefullah Wiradipradja, meliputi lima tahapan sebagai berikut :

1) Sepakat untuk menempuh proses mediasi;

2) Memahami masalah-masalah;

3) Membangkitkan pilihan-pilihan pemecahan masalah;

4) Mencapai kesepakatan; dan

5) Melaksanakan kesepakatan.[49]

Dalam praktik mediasi di Amerika Serikat atau Inggris, walaupun ada pihak yang beranggapan bahwa yang menentukan mediasi itu adalah sikap para pihak yang menginginkan untuk menyelesaikan sengketanya, namun pada umumnya mediasi lebih cocok untuk digunakan, misalnya dalam kasus di mana hubungan antara para pihak diharapkan terus berlanjut, kasus-kasus dimana ada keseimbangan antara kekuatan kedua belah pihak, sengketanya berjangka waktu singkat dan tidak ada kepastian tentang hasil akhirnya bila dibawa ke pengadilan. Dalam konteks Indonesia, kasus-kasus yang lebih sesuai adalah kasus-kasus yang segi hukumnya kurang mengemuka dibandingkan dengan segi kepentingan (interest) para pihak.[50]

Penyelesaian sengketa melalui cara-cara mediasi yang modern bagi bangsa Indonesia masih merupakan hal yang relatif baru. Dalam beberapa kasus tanah, penyelesaian sengketa melalui lembaga mediasi pernah dilakukan oleh Komnas HAM dengan hasil yang positif. Oleh karena itu, mengingat bahwa pada masa yang akan datang akan lebih banyak diperlukan cara-cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan, maka dalam rangka pemikiran ke arah realisasi lembaga mediasi, perlu dipersiapkan hal-hal yakni : Pertama, menyiapkan sumber daya manusianya. Seorang mediator haruslah menguasai materi yang akan disengketakan. Latar belakang sebagai sarjana hokum memiliki nilai tambah, tetapi bukan merupakan keharusan. Kualifikasi pokok lainnya adalah mempunyai integritas yang tinggi dan sifat tidak memihak yang ditunjang dengan kemampuan untuk mendengar, mengajukan pertanyaan, mengamati, mewawancarai, konseling dan negosiasi; Kedua, diperlukan pelatihan, jangka waktunya, serta fasilitatornya; dan Ketiga, diperlukan adanya suatu lembaga/badan yang berwenang untuk memberikan pelatihan dan sertifikasi bagi mediator, serta menyusun kode etik mediator, di samping berkewajiban memberikan bimbingan yang berkesinambungan dan menjatuhkan sanksi terhadap pelanggaran kode etik. Karena salah satu faktor penentu seseorang memilih mediasi adalah sifatnya yang tidak memihak, maka lembaga mediasi yang tepat seyogianya bersifat independen, di luar pemerintah, atau tidak berafiliasi dengan pemerintah.[51]

Indonesia, dalam hal lembaga mediasi, dulunya lebih maju dari negara lain. Hukum Acara Perdata yaitu HIR (het Herziene reglement) pasal 130 dan R.Bg. (Rechtsreglement Buitengewesten) pasal 154, misalnya, telah mengatur lembaga perdamaian, dimana hakim yang mengadili wajib mendamaikan lebih dahulu pihak yang berperkara, sebelum perkaranya diperiksa secara ajudikasi. Selain itu, dikeluarkan pula SEMA No. 1 tahun 2002 tentang Pemberdayaan lembaga perdamaian dalam pasal 130 HIR/154 r.Bg. Sementara tentang mediasi atau alternatif penyelesaian sengketa (APS) di luar pengadilan, diatur dalam pasal 6 UU No. 30 tahun 1999 tentang arbitrase penyelesaian sengketa. Lembaga-lembaga APS bisa dijumpai secara luas dalam berbagai bidang seperti UU bidang Lingkungan Hidup, Pertumbuhan, Perlindungan Konsumen dan lain sebagainya.

Mahkamah Agung (MA) RI juga telah mengeluarkan Peraturan MA No. 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang mewajibkan pihak yang bersengketa perdata, lebih dulu menempuh proses mediasi. Yaitu melalui perundingan antara pihak yang bersengketa dengan bantuan pihak ketiga yang netral dan tidak memiliki kewenangan memutus (mediator).[52] Berkaitan dengan hal itu, MA mewajibkan penggunaan jasa mediasi sebagai upaya memaksimalkan perdamaian sebagaimana diatur dalam pasal 130 HIR dan pasal 1154 Rbg.  Peraturan MA. RI No. 2 Tahun 2003 menyediakan pilihan kepada para pihak yang bersengketa menggunakan jasa mediator yang Tersedia di Pengadilan Negeri atau menggunakan jasa mediator di luar pengadilan. Oleh karena itu, kehadiran MA RI No. 2 Tahun 2003, membuka peluang bagi seseorang menjalankan fungsi mediator sebagai sebuah profesi penuh atau profesi tambahan (sampingan).

Hukum acara yang berlaku selama ini baik Pasal 130 HIR ataupun Pasal 154 RBg, mendorong para pihak yang bersengketa untuk menempuh proses mediasi yang dapat diintensifkan dengan cara menggabungkan proses mediasi kedalam prosedur berperkara di Pengadilan Negeri, seiring terbentuknya peraturan perundang-undangan dan dengan memperhatikan wewenang Mahkamah Agung dalam mengatur acara peradilan yang belum cukup diatur oleh peraturan perundang-undangan, maka demi kepastian, ketertiban, dan kelancaran dalam proses mendamaikan para pihak dalam menyelesaikan suatu sengketa perdata, kedua aturan tersebut menjadi landasan. Untuk itu kemudian Mahkamah Agung mengeluarkan PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan

  1. PUTUSAN HAKIM SEBAGAI ULTIMUM REMEDIUM (JALAN TERAKHIR)

Putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak. Bukan hanya diucapkan saja yang disebut putusan, melainkan juga pernyataan yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan kemudian diucapkan oleh hakim di persidangan. Putusan yang diucapkan di persidangan (uitspraak) tidak boleh berbeda dengan yang tertulis (vonnis).[53]

Mahkamah Agung dengan surat edarannya no.5/1959 tanggal 20 April 1959 dan no.1/1962 tanggal 7 Maret 1962 menginstruksikan antara lain agar pada waktu putusan diucapkan konsep putusan harus sudah selesai. Maksud tujuan surat edaran ini ialah untuk mencegah hambatan dalam penyelesaian perkara, tetapi dapat dicegah pula adanya perbedaan isi putusan yang diucapkan dengan yang ditulis. Jikalau ternyata ada perbedaan isi putusan yang diucapkan dengan yang ditulis, maka yang sah adalah yang diucapkan yaitu lahirnya putusan itu sejak diucapkan.

Suatu putusan pengadilan dimaksudkan untuk menyelsesaikan suatu persoalan atau sengketa dan menetapkan hak atau hukumnya.Kalau pihak yang bersangkutan menyerahkan dan mempercayakan sengketanya kepada pengadilan atau hakim untuk diperiksa atau diadili, maka hal ini mengandung arti bahwa pihak-pihak yang bersangkutan akan tunduk dan patuh pada putusan yang dijatuhkan. Putusan yang telah dijatuhkan itu haruslah dihormati oleh kedua belah pihak. Salah satu pihak tidak boleh bertindak bertentangan dengan putusan. Jadi putusan hakim mempunyai kekuatan mengikat yaitu mengikat kedua belah pihak (ps.1917 BW). Terikatnya para pihak kepada putusan menimbulkan beberapa teori yang hendak mencoba memberi dasar tentang kekuatan mengikat daripada putusan.

Dalam teori hukum materiil kekuatan mengikat daripada putusan yang lazimnya disebut “gezag van gewijsde” mempunyai sifat hukum materiil oleh karena mengadakan perubahan terhadap wewenang dan kewajiban keperdataan: menetapkan, menghapuskan atau mengubah[54]. Mengingat bahwa putusan itu hanya mengikat para pihak dan tidak mengikat pihak ketiga, kiranya teori ini tidaklah tepat. Sedangkan menurut teori hukum acara putusan bukanlah sumber hukum materiil, melainkan sumber daripada wewenang prosesuil. Akibat putusan ini bersifat hukum acara, yaitu diciptakannya atau dihapuskannya wewenang dan kewajiban prosesuil.  Berdasarkan teori hukum pembuktian, putusan merupakan bukti tentang apa yang ditetapkan di dalamnya, sehingga mempunyai kekuatan mengikat oleh karena menurut teori  ini pembuktian lawan terhadap isi suatu putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang pasti tidak diperkenankan.

Terikatnya para pihak kepada putusan dapat mempunyai arti positif dan dapat pula mempunyai arti negatif. Arti positifnya yaitu apa yang telah diputus diantara para pihak berlaku sebagai positif benar. Apa yang telah diputus oleh hakim harus dianggap benar atau res judicato pro veriate habetur. Sedangkan dalam arti negatif yaitu hakim tidak boleh memutus perkara yang pernah diputus sebelumnya antara para pihak yang sama serta mengenai pokok perkara yang sama (nebis in idem).[55] Kecuali didasarkan pada asas “litis finiri oportet” yang menjadi dasar ketentuan tentang tenggang waktu untuk mengajukan upaya hukum, maksudnya yaitu apa yang pada suatu waktu telah diselesaikan oleh hakim tidak boleh diajukan lagi kepada hakim.

Suatu putusan memperoleh kekuatan hukum yang pasti atau tetap (krach van gewijsde) apabila tidak ada lagi upaya hukum biasa tersedia. Termasuk upaya hukum biasa ialah perlawanan, banding, dan kasasi. Dengan memperoleh kekuatan hukum yang pasti maka putusan itu tidak lagi dapat diubah, sekalipun oleh pengadilan yang lebih tinggi, kecuali dengan upaya hukum yang khusus, yaitu request civil dan perlawanan oleh pihak ketiga. Pasal 1917 ayat 1 BW berbunyi, bahwa kekuatan mengikat daripada putusan itu terbatas pada pokok putusan (onderwerp van het vonnis).[56] Kekuatan mengikat dari putusan itu tidak meliputi penetapan-penetapan mengenai peristiwa. Apabila hakim dalam suatu putusan telah mengconstair suatu peristiwa tertentu berdasarkan alat-alat bukti tertentu, maka dalam sengketa lain peristiwa tersebut masih dapat disengketakan.

Telah dikemukakan di muka bahwa pada asasnya putusan hakim hanyalah mengikat para pihak (ps.1917 BW). Yang dimaksudkan dengan pihak bukanlah hanya penggugat dan tergugat saja, tetapi juga pihak ketiga yang ikut serta dalam suatu sengketa antara penggugat dan tergugat, baik dengan jalan interventie maupun pembebasan (vrijwaring) atau mereka yang diwakili dalam proses. Terhadap pihak ketiga putusan tidak mempunyai kekuatan mengikat. Tetapi pihak ketiga ini dapat mengajukan perlawanan terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti (ps.378 Rv). Dalam hal ini perlu mendapat perhatian bahwa hanya pihak ketiga yang dirugikan oleh putusan itulah yang dapat mengajukan perlawanan.

Suatu putusan dimaksudkan untuk menyelesaikan suatu persoalan atau sengketa dan menetapkan hak atau hukumnya. Ini tidak berarti semata-mata hanya menetapkan hak atau hukumnya saja, sehingga hal ini menjadi tidak terdapat terkecuali dalam hal dan perkara apapun, termasuk dalam sengketa pertanahan. Maka para pihak wajib melaksanakan putusan hakim yang telah memiliki kekuatan hukum tetap sebagai hukum dalam perkara konskrit di lapangan. Hal ini sebagai pelaksanaan putusan hakim sebagai Ultimum remedium (jalan terakhir) dalam sengketa pertanahan.

  1. PENUTUP

Problematika sengketa pertanahan di Indonesia menjadi persoalan yang rumit dan pelik sampai sekarang. Reformasi agrarian (land reform) tetap menjadi pedoman dalam optimalisasi fungsi tanah untuk kehidupan yang lebih baik. Hal itu dapat dipengaruhi oleh berbagai factor yang melatarbelakangi, baik factor ekonomi, social, budaya, politik dan kebutuhan akan tanah yang setiap saat semakin diperlukan. Untuk itu diharapkan secara bersama-mampu mampu menyadarkan diri sendiri dan orang lain untuk turut serta dalam upaya penyelesaian persoalan pertanahan di negeri ini. Upaya mediasi sebagai upaya solusi alternative penyelesaian sengketa Pertanahan di Indonesia harus diapresiasi dan didukung oleh semua kalangan, agar konflik di bidang Pertanahan dapat dicarikan jalan keluar yang baik tidak ada yang dirugikan dari pihak manapun.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman. 1995. Tebaran Pikiran Mengenai Hukum Agraria, Bandung. Alumni

Achmad Rubaie, Politik Hukum Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Bayu Media Publishing, Malang, 2006.

Ali Achmad Chomzah. 2002. Pedoman Pelaksanaan U.U.P.A dan Tata Cara Penjabat Pembuat Akta Tanah, Bandung.  Alumni

A P Perlindungan. 1998. Pendaftaran Tanah Di Indonesia, Bandung. Mandar Maju

Bachtiar Effendi, Pendaftaran Tanah Di Indonesia dan Peraturan-Peraturan Pelaksanaannya. Bandung : Alumni, 1983.

Badan Pertanahan Nasional, Reforma Agraria: Mandat Politik, Konstitusi, dan Hukum Dalam Rangka Mewujudkan “Tanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat”, Jakarta, 2007.

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 1999.

_______________, Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta: Jambatan) 2005.

Darji Darmodiharjo dan Sidharta, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustka Utama, Jakarta, 2002.

Direktorat Agraria Provinsi Sumatera Utara, Himpunan Risalah Pertumbuhan dan Perkembangan Hak Konsesi dan Erfach Perkebunan Besar dan Penyelesaian Pendudukan Rakyat atas Tanah Perkebunan di Provinsi Sumatera Utara, (Medan, 1976)

Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain yang Melekat pada Tanah Dalam konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, Suatu Konsep Dalam Menyongsong Lahirnya Lembaga Hak Tanggungan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996

D Walijatun, Pelayanan Prima Di Bidang Pertanahan Sebagai Bagian Dari Reinventing Government: Seminar Nasional Pertanahan, Yogyakarta

Efendi Perangin. 1983. Hukum Agraria Di Indonesia, Suatu Telaah Dari Sudut Pandang Praktis Hukum, Jakarta. CV Rajawali.

Eddy Ruchiyat. Politik Pertanahan Nasional Sampai Orde Reformasi. Bandung. PT. Alumni. 2004.

Efendi Perangin. 1983. Hukum Agraria Di Indonesia, Suatu Telaah Dari Sudut Pandang Praktis Hukum, Jakarta. CV Rajawali

Felix MT. Sitorus, Lingkup Agraria dalam Menuju Keadilan Agraria : 70 Tahun, 2002.

Gunawan Wiradi, Masalah Pembaruan Agraria: Dampak Land Reform terhadap Perekonomian Negara, Makalah yang disampaikan dalam rangkaian diskusi peringatan “Satu Abad Bung Karno” di Bogor, tanggal 4 Mei 2001

Hamadi Tamam. Kebijakan Pertanahan:Antara Regulasi dan Implementasi. Rajawali Pers, Jakarta. 2009.

Hasni, Hukum Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah. Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2008

Henri Lie A. Weng. 1970. Hukum Perdata dan Hukum Benda, Yogyakarta Liberty

Herry Bernstein et all, Kebangkitan Studi Reforma Agraria di Abad 21, STPN, 2008

H Soesangobeng, Upaya Pembentukan Materi Hukuk dan Kebijakan Pertanahan. STPN-BPN, Yogyakarta.

Joni Emirzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa Diluar Pengadilan Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi Arbitrase, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001.

Karl J. Pelzer, Sengketa Agraria, Pengusaha Perkebunan Melawan Petani, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1991)

Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001.

Mahadi, Sedikit Sejarah Perkembangan Hak-hak Suku Melayu Atas Tanah di Sumatera Timur (Tahun 1800-1975), (Bandung: Alumni, 1978)

Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional, Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi FH-UNPAD, Bandung, 1970.

Maria S.W Sumardjono, Mediasi Sengketa Tanah Potensi Penerapan Alternatif Penyelesaian sengketa (ADR) Di Bidang Pertanahan, Penerbit Kompas Gramedia, 2008

M Wahid, Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah:Suatu Analisis dengan Pendekatan Terpadu Secara Normatif dan Sosiologis. Republika, Jakarta, 2008

Mariam Darus Badrulzaman. Kompilasi hukum Perikatan. Bandung. PT. Citra Aditya Bakti. 2001.

Otje Salman Soemadiningrat. Sosiologi Hukum Suatu Pengantar. Jakarta. CV. Armico. 1984.

Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas Negara Hukum, Jakarta. Erlangga, 1980

Reksodiputro, Mardjono, Resolution Legal Institution and Alternative Dispute, Hasil Penelitian yang disajikan pada seminar nasional menyongsong penggunaan Hukum Era 2000, Semarang-13 Agustus 1996

Riduan Syahrani. Seluk-Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata. Bandung. PT. Alumni. 2004.

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1986.

Soerodjo. 2003. Proses Pendaftaran Tanah, Jakarta. Rineka Cipta

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1999.

Supriadi. 2007. Hukum Agraria, Jakarta. Sinar Grafika.

Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo, Sejarah Perkebunan di Indonesia: Kajian Sosial Ekonomi (Aditya Media, Yogyakarta, 1991)

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1986.

Subekti, R. dan Tjiptosudibio, R, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Burgerlijk Wetboek, dengan Tambahan Undang-undang Pokok Agraria dan Undang-undang Perkawinan.

Syafruddin Kalo, Desertasi, Masyarakat dan Perkebunan: Studi Mengenai Sengketa Pertanahan Antara Masyarakat Versus PTPN-II dan PTPN III Di Sumatera Utara, (Medan: PPS USU, 2003)

Soerodjo. 2003. Proses Pendaftaran Tanah, Jakarta. Rineka Cipta.

Supriadi. 2007. Hukum Agraria, Jakarta. Sinar Grafika.

Wirjono Prodjodikuro, Hukum Atjara Pidana di Indonesia, Djakarta. Penerbit “Sumur Bandung”, 1977.

Wirjono Projodikoro, Bunga Rampai Hukum, Jakarta: lchtiar Baru. 1976

[1] Tulisan ini disampaikan dalam kegiatan Seminar Nasional “Penyelesaian Masalah Pertanahan di Indonesia” yang diselenggarakan di Batam, pada tanggal 29 s/d 30 Juni 2012

[2] Abdurrahman, Beberapa Aspek Tentang Hukum Agraria, Seri Hukum Agraria V, Alumni, Bandung, 1983. Hal. 43

[3] Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I Hukum Tanah Nasional, Edisi Revisi, Djambatan, Jakarta, 2005. Hal 72

[4] Data diolah dari sumber Badan Pusat Statistik 2011

[5] Ibid

[6] Ibid

[7] Y.W. Sunindhia & Ninik Widiyanti, Pembaharuan Hukum Agraria (Beberapa Pemikiran), Bina Aksara, Jakarta, 1988. Hal. 32

[8] Muchammad Tauchid, Masalah Agraria, Djambatan, Jakarta, 1988, Hal. 43

[9] Efendi Perangin. 1983. Hukum Agraria Di Indonesia, Suatu Telaah Dari Sudut Pandang Praktis Hukum, Jakarta. CV Rajawali. Hal. 27

[10] Dihimpun dari Konsorsium Pembaruan Agraria, diakses di http://www.kpa.or.id/ pada tanggal 22 Juni 2012

[11] Bachtiar Effendi, Pendaftaran Tanah Di Indonesia dan Peraturan-Peraturan Pelaksanaannya. Bandung : Alumni, 1983. Hal. 34

                [12] Maria S.W Sumardjono, Mediasi Sengketa Tanah Potensi Penerapan Alternatif Penyelesaian sengketa (ADR) Di Bidang Pertanahan, Penerbit Kompas Gramedia, 2008, Hal 38

                [13] Abdurrahman. 1995. Tebaran Pikiran Mengenai Hukum Agraria, Bandung. Alumni, Hal 85

                [14] Ali Achmad Chomzah. 2002. Pedoman Pelaksanaan U.U.P.A dan Tata Cara Penjabat Pembuat Akta Tanah, Bandung.  Alumni, Hal. 64

                [15] Laporan BPN RI Tahun 2007, Hal 26

[16] Sejauh ini data tentang pemilikan tanah secara absentee sangatlah sulit didapatkan. Biasanya tanah absentee ini didapatkan dengan cara memberi kuasa penuh kepada orang lain. Dan ini termasuk penggelapan hukum.

[17] Sebenarnya pasal 33 UUD 1945 telah lebih dulu memperkenalkan “…dikuasai oleh Negara…”. Secara gramatikal, kata dikuasai termasuk kata kerja bentuk pasif. Berbeda dengan kata menguasai dalam HMN, yang merupakan kata kerja aktif.

[18] Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Pasal 33 ayat (3) naskah asli, dan tidak mengalami perubahan hingga Amandemen IV.

[19] Pidato Pengantar Menteri Agraria dalam Sidang DPR-GR, 12 September 1960 oleh Mr. Sadjarwo. Dalam Risalah Pembentukan UUPA dan Boedi Harsono, 1999, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, edisi revisi, Djambatan, Jakarta, hal. 585

[20] Menurut Soetandyo Wignyosoebroto, keterbatasan kesadaran elite terdidik (sekolahan maupun otodidak) dan manajemen kekuasaan negara merupakan faktor terpenting dalam pasang-surut dari mobilisasi dan peran rakyat dalam perumusan kebijakan Negara baru tersebut. Ketiadaan ahli hukum dari luar Jawa-Sumatera (Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, apalagi Irian dan sebagainya), membuat ide-ide yang tercetus oleh ahli-ahli hukum tersebut banyak dipengaruhi oleh gagasan “Barat” sebagaimana didapatkan di sekolah-sekolah, dan pengalaman Jawa-Sumatera. Lihat Soetandyo Wignyosoebroto, 1994, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional: Dinamika Sosio-Politik Perkembangan Hukum di Indonesia, Jakarta, Rajawali Press, hal. 159.

[21] Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), Penjelasan Umum Angka I.

[22] Praktek bagi hasil sudah lama dikenal di Jawa. Ini didukung oleh sifat melindungi secara komunal serta sifat menyerap tenaga kerja dari sistem sosio-ekonomi pedesaan. Tetapi dalam perkembangannya, semakin banyaknya tuan tanah dan timpangnya penguasaan dan pemilikan atas tanah menimbulkan perbandingan bagi hasil yang mengkhawatirkan. Lihat, Justus M. van der Kroef, “Penguasaan Tanah dan Struktur Sosial di Pedesaan Jawa,” diterjemahkan dari “Land Tenure and Social Structure in Rural Java,” Approaches to Community Development, volume 25, Bab IX, 1960, dalam Sediono MP Tjondronegoro&Gunawan Wiradi, Op. Cit., hal. 156-157. Terdapat juga pendapat yang mengatakan bahwa sistem bagi hasil ini merupakan praktek adat yang dipengaruhi oleh feodalisme dan karenanya termasuk hukum adat yang disaneer. Inilah satu alasan yang menyebabkan UU Bagi Hasil kemudian tidak diterapkan pada masa Orde Baru. Padahal menurut penelitian yang dilakukan oleh Bernard L. Tanya, terdapat juga praktek bagi hasil dalam masyarakat hukum adat di Pulau Sabu, Nusa Tenggara Timur dimana besaran bagi hasil justru ditentukan oleh penggarap dengan alasan telah mengeluarkan tenaga dan biaya untuk benih, sehingga pemilik disini hanya mendapat 10% dari hasil panen. Ini dipengaruhi juga oleh nilai adat “saling memangku adat,” bahwa hubungan bapak (pemilik) dan anak (penggarap) ladang dan sawah tadah hujan tidak boleh saling merugikan. Rikardo Simarmata, 2006, Pengakuan Hukum terhadap Masyarakat Adat di Indonesia, UNDP Regional Centre in Bangkok, hal. 62

[23] Badan Pertanahan Nasional, Reforma Agraria: Mandat Politik, Konstitusi, dan Hukum Dalam Rangka Mewujudkan “Tanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat”, Jakarta, 2007.

[24] Eddy Ruchiyat. Politik Pertanahan Nasional Sampai Orde Reformasi. Bandung. PT. Alumni. 2004. Hal. 38

[25] Ali Achmad Chomzah. 2002. Pedoman Pelaksanaan U.U.P.A dan Tata Cara Penjabat Pembuat Akta Tanah, Bandung.  Alumni. Hal.81

[26] Eddy Ruchiyat. Politik Pertanahan Nasional Sampai Orde Reformasi. Bandung. PT. Alumni. 2004. Hal. 23

[27] Arie S. Hutagalung, Pertanahan dalam dinamika Sosial, Djambatan, Jakarta, 1985, Hal. 31

[28] A P Perlindungan. 1998. Pendaftaran Tanah Di Indonesia, Bandung. Mandar Maju. Hal. 97

[29] Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas Negara Hukum, Jakarta. Erlangga, 1980, Hal 28

                [30] Hamadi Tamam. Kebijakan Pertanahan: Antara Regulasi dan Implementasi. Rajwali Pers, Jakarta. 2009. Hal. 35

                [31] Ibid

                [32] M Wahid, Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah:Suatu Analisis dengan Pendekatan Terpadu Secara Normatif dan Sosiologis. Republika, Jakarta, 2008, Hal 38

                [33] H Soesangobeng, Upaya Pembentukan Materi Hukuk dan Kebijakan Pertanahan. STPN-BPN, Yogyakarta. Hal. 38

                [34] D Walijatun, Pelayanan Prima Di Bidang Pertanahan Sebagai Bagian Dari Reinventing Government: Seminar Nasional Pertanahan, Yogyakarta, Hal. 12

                [35] Hasni, Hukum Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah. Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2008, Hal. 29

                [36] Effendi, Bachtiar. Pendaftaran Tanah Di Indonesia dan Peraturan-Peraturan Pelaksanaannya. Bandung : Alumni, 1983. Hal. 83

                [37] Ibid

[38] Soerodjo. 2003. Proses Pendaftaran Tanah, Jakarta. Rineka Cipta, Hal 28

[39] Supriadi. 2007. Hukum Agraria, Jakarta. Sinar Grafika. Hal 74

[40] M Wahid, Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah:Suatu Analisis dengan Pendekatan Terpadu Secara Normatif dan Sosiologis. Republika, Jakarta, 2008, hal. 67

[41] Ibid

                [42] A P Perlindungan. 1998. Pendaftaran Tanah Di Indonesia, Bandung. Mandar Maju, Hal 82

[43] Dalam hukum adat dan UUPA menganut asas pemisahan horisontal. Berdasarkan asas pemisahan horisontal itu pemilikan atas tanah dan benda atau segala sesuatu yang berada di atas tanah itu adalah terpisah. Asas pemisahan horisontal memisahkan hak atas tanah dari segala sesuatu yang melekat padanya. Lihat Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain Yang Melekat Pada tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm. 81., hlm. 76

[44] Arie S. Hutagalung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia (LPHI), Jakarta, 2005, hlm. 372

[45] Imamulhadi, Penyelesaian Sengketa dalam Perdagangan Secara Elektronik, artikel dalam Cyber Law; Suatu Pengantar, ELIPS Project, Jakarta, 2002, hlm. 80.

[46] Secara teoritis hal itu dapat dimungkinkan dengan melihat yurisprudensi di mana di masa yang lalu pernah dibentuk Pengadilan Ekonomi sebagai konsekuensi diterbitkannya UU No. 7/Drt/Tahun 1995 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pengadilan Tindak Pidana Ekonomi (ditetapkan menjadi undang-undang dengan UU No. 1 Tahun 1961). Lihat Maria S.W. Sumardjono, op.cit., hlm. 194.

[47] Maria S.W. Sumardjono, op.cit., hlm. 196.

[48] Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa : Suatu Pengantar, Fikahati Aneska kerja sama dengan BANI, Jakarta, 2002. Hal. 59

[49] Suyud Margono, op.cit., hlm. 60. Lihat juga E. Saefullah Wiradipradja, op.cit., hlm. 6

[50] E. Saefullah Wiradipradja, loc.cit. bandingkan dengan pendapat Astor & Chinkin dalam Maria S.W. Sumardjono. loc.cit

[51] Maria S.W. Sumardjono, Ibid.

                [52] Riduan Syahrani. Seluk-Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata. Bandung. PT. Alumni. 2004. Hal 75

                [53] Wirjono Prodjodikuro, Hukum Atjara Pidana di Indonesia, Djakarta. Penerbit “Sumur Bandung”, 1977, Hal 23

                [54] Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas Negara Hukum, Jakarta. Erlangga, 1980, Hal. 31

                [55] Wirjono Projodikoro, Bunga Rampai Hukum, Jakarta: lchtiar Baru. 1976, Hal. 18

                [56] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1999, Hal. 48

Continue Reading