Kementerian Hukum dan HAM telah mencabut badan hukum Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sebagai salah satu bentuk implementasi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang (UU) Nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Pertimbangannya, selama ini (UU) Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan belum mengatur secara komprehensif ormas yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45, sehingga terjadi kekosongan hukum dalam penerapan sanksi.
Apabila dikaji secara saksama, perbedaan fundamental antara UU No 17 Tahun 2013 dan Perppu No 2 Tahun 2017 setidaknya terdapat tiga hal. Pertama berkaitan dengan penjatuhan sanksi administratif dan/atau pidana kepada ormas pelangar. Melalui Perppu No 2 Tahun 2017, pemerintah mengubah secara mendasar sanksi ormas. Sebelumnya, menurut UU No 17 Tahun 2013, sanksi administratif hanya dapat dilakukan setelah upaya-upaya persuasif.
Akan tetapi, melalui Perppu No 2 Tahun 2017, pemerintah dapat memilih berdasarkan pertimbangan objektif diberi sanksi administratif atau pidana ataupun kedua-duanya kepada ormas pelanggar. Kedua, berhubungan dengan maksud dan penjabaran sanksi administratif. Dalam UU No 17 Tahun 2013 sanksi administratif terdiri atas peringatan tertulis, penghentian bantuan dan/atau hibah. Kemudian, penghentian sementara kegiatan dan/atau pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum.
Adapun dalam Perppu No 2 Tahun 2017 sanksi administratif hanya peringatan tertulis, penghentian kegiatan dan/atau pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum. Dalam mekanismenya pun Perppu No 2 Tahun 2017 tidak terlalu rumit dan berjenjang seperti UU No 17 Tahun 2013. Contoh dalam Perppu No 2 Tahun 2017 peringatan tertulis hanya satu kali dalam waktu tujuh hari sejak tanggal diterbitkan.
Sementara itu, dalam UU No 17 Tahun 2013 peringatan tertulis terdiri sampai tiga kali. Selain itu, dalam UU No 17 tahun 2013 sebelum dicabut surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum masih dilakukan upaya-upaya berupa penghentian bantuan dan penghentian sementara kegiatan. Itu pun masih harus minta pertimbangan hukum Mahkamah Agung.
Perbedaan ketiga, sekaligus merupakan bagian yang sangat penting berkaitan dengan pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum ormas. UU No 17 Tahun 2013 mengatur berjenjang mekanisme dan tata cara pembubaran ormas, antaranya didahului peringatan tertulis kesatu, kedua, dan ketiga. Kemudian, penghentian bantuan, penghentian sementara kegiatan, baru dimohonkan pembubaran ke pengadilan negeri oleh kejaksaan atas permintaan tertulis menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang hukum dan hak asasi manusia. Metode ini sering dikenal dengan istilah court decision system.
Ini sangat jauh berbeda dengan pengaturan pembubaran ormas dalam Perppu No 2 Tahun 2017, di antaranya tanpa pertimbangan Mahkamah Agung, juga tanpa didului permohonan pembubaran ormas ke pengadilan. Setelah menjatuhkan sanksi penghentian kegiatan ormas menteri hukum dapat langsung mencabut surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum ormas bersangkutan (executive decision system).
Pembubaran ormas baik melalui metode pertama atau kedua sama-sama dapat dibenarkan. Court decision system bagian dari konsep pemisahan kekuasaan yang dimungkinkan adanya pengawasan kekuasaan lainnya sehingga saling mengimbangi dalam kesetaraan dan kesederajatan, sedangkan metode Executive decision system bagian pelaksanaan fungsi evaluatif keputusan jika kelak ditemukan kesalahan atau bahkan terdapat perubahan-perubahan yang mengakibatkan tidak terpenuhinya syarat mutlak yang wajib dipenuhi suatu ormas.
Dalam hukum administrasi negara istilah yang demikian sering dikenal dengan spontane vernietiging atau pembatalan spontan. Untuk itu, penerbit keputusan atau menteri hukum dapat membatalkan atau mencabut keputusan yang telah dikeluarkannya atas inisiatif sendiri dengan atau tanpa putusan pengadilan, apabila telah dianggap cacat formal maupun materiil.
Tantangan
Seberapa rigid dan ketatnya pengaturan mekanisme dan tata cara pembuaran ormas sebagaimana telah tertuang dalam Perppu No 2 Tahun 2017, tentu pemerintah harus memperhatikan beberapa aspek guna menghindari tuntutan hukum.
Ralph W Jackson dkk, dalam analisisnya “The Dissolution of Ethical Decision-Making in Organizations” menentukan kriteria etis pembubaran ormas (A Comprehensive Review and Model There are three major sets of factors that are related to the dissolution of ethics in an organization. They are: Individual Factors, Organizational Factors, and Contextual Factors).
Tiga faktor tersebut merupakan satu kesatuan tak terpisahkan. Ini sejauh mana, baik tindakan, program, haluan, maupun kegiatan ormas tersebut bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sehingga dapat dibubarkan.
Selain itu, yang tak kalah pentingnya berkaitan dengan peluang adanya gugatan. Pemerintah harus secara cermat menyusun argumentasi beserta bukti-bukti kuat terhadap dugaan adanya ormas yang tindakan, program, haluan dan kegiatannya bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45. Sehingga Hakim dapat secara leluasa memperkuat dasar dan pertimbangan Pemerintah.
Tantangan lainnya berkaitan dengan kemungkinan tidak disetujuinya Perppu No 2 Tahun 2017 oleh DPR. Apabila tidak disetujui, Perppu harus dicabut dan secara otomatis tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Selain itu perlu diantisipasi kemungkinan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.
Semoga dengan adanya upaya rigid dan kontekstual pemerintah dalam upaya mengatur dan membendung ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45 semoga ormas yang berpotensi atau telah mengajarkan ateisme, komunisme/marxisme-leninisme, atau paham lain untuk mengubah Pancasila dan UUD 45 serta mengancam kedaulatan dan eksistensi NKRI dapat diantisipasi. Ini tentunya tidak hanya melalui pembubaran ormas, akan tetapi juga melalui upaya-upaya preventif, di antaranya penguatan kesadaran berbangsa dan bernegara seutuhnya sesuai dengan prinsip dan nilai Pancasila serta UUD 45.