PELAYANAN PUBLIK YANG BAIK MERUPAKAN CERMIN KINERJA PEMERINTAH DAERAH

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Otonomi daerah merupakan suatu wujud demokrasi yang diberikan Pemerintah Pusat kepada Pemerintah daerah untuk mengurus sendiri rumah tanggannya dengan tetap berpegang kepada peraturan perundangan yang berlaku. Otonomi dijadikan sebagai pembatas besar dan luasnya daerah otonom dan hubungan kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah untuk menghindari daerah otonom menjadi Negara dalam Negara. Daerah otonom adalah batas wilayah tertentu yang berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ada dua tujuan yang ingn dicapai melalui kebijakan desentralisasi yaitu tujuan politik dan tujuan administrative. Tujuan Politik akan memposisikan Pemda sebagai medium pendidikan politik bagi masyarakat di tingkat local dan secara nasional unutk mempercepat terwujudnya civil society. Sedangkan tujuan administrative akan memposisikan Pemda sebagai unit pemerinthan di tingkat local yang berfungsi untuk menyediakan pelayanan masyarakat secara efektif dan ekonomis.

Pelayanan yang disediakan Pemda kepada masyarakat ada yang bersifat regulative(pengaturan) seperti mewajibkan penduduk untuk mempunyai KTP, KK. IMB, dsb. Sedangkan bentuk pelayanan lainnya adalah yang bersifat penyediaan public goods yaitu barang-barang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat seperti jalan, pasar, rumaha sakit, terminal dsb. Apapun barang dan regulasi yang disediakan oleh Pemda haruslah menjawab kebutuhan riil warganya. Tanpa itu, pemda akan kesulitan dalam memberikan akuntabilitas atas legitimasi yang telah diberikan kepada pemda untuk mengatur dan  mengurus masyarakat.

Misi keberadaan Pemda adalah begaimana mensejahterahkan masyarakat melalui penyediaan pelayanan public secara efektif, efisien, dan ekonomis serta melalui cara-cara yang demokratis. Demokrasi pada pemda berimplikasi bahwa pemda dijalankan oleh masyarakat sendiri melalui wakil-wakil rakyat yang dipilih secara demokratis dan dalam menjalankan misinya mensejahterahkan rakyat, wakil-wakil rakyat tersebut akan selalu menyerap, mengartikulasikan serta meng-agregasikan aspirasi rakyat tersebut kedalam kebijakan-kebijakan public tingkat local. Namun, kebijakan public di tingkat local tidak boleh bertentangan dengan kebijakan public nasional dan diselenggarakan dalam koridor-koridor norma, nilai dan hukum positif yang berlaku pada Negara dan bangsa tersebut.

Tujuan otonomi daerah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat daerah dengan mendekatkan pelayanan publik masih jauh dari harapan. Rasio daerah penerima transfer dana tertinggi dengan daerah yang menerima transfer terendah berbeda 127 kali lipat. Menurut Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Yuna Farhan “Transfer daerah tidak beranjak dari 31 persen sampai 34 persen dari total belanja negara. Padahal, sudah 70 persen urusan pemerintahan diserahkan ke daerah. Prinsip money follow the function belum dilaksanakan,”

Jenis dana perimbangan pun semakin banyak berkembang di luar yang diatur dalam Undang-Undang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, serta berpotensi merusak sistem dana perimbangan. Dari hanya tiga jenis dana perimbangan dalam komponen dana penyesuaian pada tahun 2009, berkembang menjadi tujuh jenis pada 2011. “Salah satu kasus yang masih hangat adalah dana penyesuaian infrastruktur, yang sarat dengan kepentingan politik dan membuka ruang praktik mafia anggaran. Bahkan, terdapat 10 bidang yang sama pada dana penyesuaian, juga dialokasikan pada dana alokasi khusus.

Kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah baik pusat maupun daerah dalam bentuk barang maupun jasa dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat harus sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tuntutan diatas harus dihadapi setiap pemerintah daerah, terutama pemerinah kabupaten/kota yang merupakan ujung tombak pelaksanaan asas desentralisasi sebagai daerah otonom yang mandiri dan memiliki kewenangan penuh untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Jika tidak mampu beradaptasi dengan perubahan, maka kabupaten/kota tidak akan mampu memenuhi harapan serta kebutuhan rakyat yang berdomisili di wilayahnya.

Semua itu menunjukkan betapa pentingnya penyelenggaraan pelayanan yang baik dan memuaskan diwujudkan dan menjadi perhatian utama pemerintah di era sekarang ini, era reformasi otonomi daerah. Kinerja pelayanan publik menjadi salah satu dimensi yang strategis dalam menilai keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah dan reformasi tata pemerintahan. Semakin tinggi kepedulian tata pemerintah yang baik (good governance), kinerja pelayanan publik akan semakin baik. Untuk menggambarkan bagaimana kapasitas aparatur pemerintah daerah kabupaten/kota dalam memberikan pelayanan kepada publik, untuk itu penulis tertarik untuk meneliti tentang Pelayanan Publik yang ada di Pemerintahan Daerah yang ada di Indonesia pada Umumnya.

I.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian singkat diatas, maka rumusan masalah yang saya ambil diantaranya :

  1. Bagaimana pelaksanaan Good Governace dalam Pemerintahan Daerah ?
  2. Bagaimana upaya optimalisasi fungsi pelayanan pemerintah daerah dalam upaya mencapai Good Governance ?

I.3. Tujuan Penulisan

  1. Untuk Mengetahui pelaksanaan Good Governace dalam Pemerintahan Daerah
  2. Untuk menganalisa upaya optimalisasi fungsi pelayanan pemerintah daerah dalam upaya mencapai Good Governance

I.4. Metode Penulisan

Dalam makalah ini metode yang digunakan adalah metode penulisan studi dokumen, yaitu cara penulisan yang didasarkan pada analisis terhadap beberapa asas hukum dan teori hukum serta peraturan perundang-undangan yang sesuai dan berkaitan dengan permasalahan dalam makalah ini. Penelitian hukum normatif ini adalah suatu prosedur dan cara penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari segi normatifnya.

  1. Bahan Hukum

Bahan hukum merupakan bahan dasar yang akan dijadikan acuan atau pijakan dalam penulisan makalah ini. Adapun yang menjadi bahan hukum dalam penulisan makalah ini terdiri dari 3 (tiga) bagian, yakni bahan hukum primer, skunder dan tersier yang dapat diurai sebagai berikut :

  1. a) Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari  peraturan perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.

  1. Bahan Hukum Skunder

Bahan hukum skunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Adapun bahan hukum skunder yang digunakan untuk memberikan penjelasan mengenai materi yang terdapat dalam bahan hukum primer berasal dari beberapa literatur, buku tesk, jurnal hukum, karangan ilmiah dan buku-buku lain yang berkaitan langsung dengan tema penulisan makalah ini.

  1. b) Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan skunder. Bahan hukum ini sebagai alat bantu dalam penulisan makalah ini. Adapun bahan hukum tersier ini dapat berupa kamus-kamus hukum yang berkaitan langsung dengan makalah ini.

  1. Analisis Bahan Hukum

Dalam makalah ini di gunakan metode analisis induktif kualitatitif, yaitu metode analisa dengan melakukan analisis terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan (rumusan masalah) yang terdapat dalam makalah ini untuk kemudian di korelasikan dengan beberapa asas dan teori yang menjadi landasan atau pisau analisa  dalam penulisan makalah ini sebagai langkah untuk menemukan konklusi, jalan keluar maupun konsepsi ideal tentang hal-hal yang berhubungan

BAB II

LANDASAN TEORI

  1. Otonomi Daerah

Istilah otonomi berasal dari bahasa Yunani autos yang berarti sendiri dan namos yang berarti Undang-undang atau aturan. Dengan demikian otonomi dapat diartikan sebagai kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri (Bayu Suryaninrat; 1985).

Beberapa pendapat ahli yang dikutip Abdulrahman (1997) mengemukakan bahwa :

  1. F. Sugeng Istianto, mengartikan otonomi daerah sebagai hak dan wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah.
  2. Ateng Syarifuddin, mengemukakan bahwa otonomi mempunyai makna kebebasan atau kemandirian tetapi bukan kemerdekaan. Kebebasan yang terbatas atau kemandirian itu terwujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan.
  3. Syarif Saleh, berpendapat bahwa otonomi daerah adalah hak mengatur dan memerintah daerah sendiri. Hak mana diperoleh dari pemerintah pusat.

Pendapat lain dikemukakan oleh Benyamin Hoesein (1993) bahwa otonomi daerah adalah pemerintahan oleh dan untuk rakyat di bagian wilayah nasional suatu Negara secara informal berada di luar pemerintah pusat. Sedangkan Philip Mahwood (1983) mengemukakan bahwa otonomi daerah adalah suatu pemerintah daerah yang mempunyai kewenangan sendiri yang keberadaannya terpisah dengan otoritas yang diserahkan oleh pemerintah guna mengalokasikan sumber sumber material yang substansial tentang fungsi-fungsi yang berbeda.

Dengan otonomi daerah tersebut, menurut Mariun (1979) bahwa dengan kebebasan yang dimiliki pemerintah daerah memungkinkan untuk membuat inisiatif sendiri, mengelola dan mengoptimalkan sumber daya daerah. Adanya kebebasan untuk berinisiatif merupakan suatu dasar pemberian otonomi daerah, karena dasar pemberian otonomi daerah adalah dapat berbuat sesuai dengan kebutuhan setempat.

Kebebasan yang terbatas atau kemandirian tersebut adalah wujud kesempatan pemberian yang harus dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, hak dan kewajiban serta kebebasan bagi daerah untuk menyelenggarakan urusan-urusannya sepanjang sanggup untuk melakukannya dan penekanannya lebih bersifat otonomi yang luas. Pendapat tentang otonomi di atas, juga sejalan dengan yang dikemukakan Vincent Lemius (1986) bahwa otonomi daerah merupakan kebebasan untuk mengambil keputusan politik maupun administrasi, dengan tetap menghormati peraturan perundang-undangan. Meskipun dalam otonomi daerah ada kebebasan untuk menentukan apa yang menjadi kebutuhan daerah, tetapi dalam kebutuhan daerah senantiasa disesuaikan dengan kepentingan nasional, ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Terlepas dari itu pendapat beberapa ahli yang telah dikemukakan di atas, dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 dinyatakan bahwa otonomi daerah adalah kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Beranjak dari rumusan di atas, dapat disimpulkan bahwa otonomi daerah pada prinsipnya mempunyai tiga aspek, yaitu :

  1. Aspek Hak dan Kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
  2. Aspek kewajiban untuk tetap mengikuti peraturan dan ketentuan dari pemerintahan di atasnya, serta tetap berada dalam satu kerangka pemerintahan nasional.
  3. Aspek kemandirian dalam pengelolaan keuangan baik dari biaya sebagai perlimpahan kewenangan dan pelaksanaan kewajiban, juga terutama kemampuan menggali sumber pembiayaan sendiri.

Yang dimaksud dengan hak dalam pengertian otonomi adalah adanya kebebasan pemerintah daerah untuk mengatur rumah tangga, seperti dalam bidang kebijaksanaan, pembiyaan serta perangkat pelaksanaannnya. Sedangkan kewajban harus mendorong pelaksanaan pemerintah dan pembangunan nasional.

Selanjutnya wewenang adalah adanya kekuasaan pemerintah daerah untuk berinisiatif sendiri, menetapkan kebijaksanaan sendiri, perencanaan sendiri serta mengelola keuangan sendiri.

Dengan demikian, bila dikaji lebih jauh isi dan jiwa undang-undang Nomor 23 Tahun 2004, maka otonomi daerah mempunyai arti bahwa daerah harus mampu :

  1. Berinisiatif sendiri yaitu harus mampu menyusun dan melaksanakan kebijaksanaan sendiri.
  2. Membuat peraturan sendiri (PERDA) beserta peraturan pelaksanaannya.
  3. Menggali sumber-sumber keuangan sendiri.
  4. Memiliki alat pelaksana baik personil maupun sarana dan prasarananya.
  1. Prinsip Otonomi Daerah

Otonomi daerah dan daerah otonom, biasa rancu dipahami oleh masyarakat. Padahal sebagaimana pengertian otonomi daerah di atas, jelas bahwa untuk menerapkan otonomi daerah harus memiliki wilayah dengan batas administrasi pemerintahan yang jelas.

Daerah otonomi adalah wilayah administrasi pemerintahan dan kependudukan yang dikenal dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan demikian jenjang daerah otonom ada dua bagian, walau titik berat pelaksanaan otonomi daerah dilimpahkan pada pemerintah kabupaten/kota. Adapun daerah provinsi, berotonomi secara terbatas yakni menyangkut koordinasi antar/lintas kabupaten/kota, serta kewenangan pusat yang dilimpahkan pada provinsi, dan kewenangan kabupaten/kota yang belum mampu dilaksanakan maka diambil alih oleh provinsi.

Secara konsepsional, jika dicermati berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, dengan tidak adanya perubahan struktur daerah otonom, maka memang masih lebih banyak ingin mengatur pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota. Disisi lain, pemerintah kabupaten/kota yang daerah otonomnya terbentuk hanya berdasarkan kesejahteraan pemerintahan, maka akan sulit untuk berotonomi secara nyata dan bertanggungjawab di masa mendatang.

Dalam diktum menimbang huruf (b) Undang-undang Nomor 22 tahun 1999, dikatakan bahwa dalam penyelenggaraan otonomi daerah, dipandang perlu untuk lebih menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta mempertimbangkan potensi dan keanekaragaman daerah.

Otonomi daerah dalam Undang-Undang Nomor 22  tahun 1999 adalah otonomi luas yaitu adanya kewenangan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup semua bidang pemerintahan kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal,  agama serta kewenangan-kewenangan bidang lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Di samping itu, keleluasaan otonomi maupun kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraannya, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi.

Dalam penjelesan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, dikatakan bahwa yang dimaksud dengan otonomi nyata adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintah di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh, hidup dan berkembang di daerah. Sedangkan yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggung jawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Atas dasar pemikiran di atas¸ maka prinsip-prinsip pemberian otonomi daerah dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 adalah sebagai berikut :

  1. Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan serta potensi dan keanekaragaman daerah yang terbatas.
  2. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.
  3. Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah Kabupaten dan daerah kota, sedang otonomi daerah provinsi merupakan otonomi yang terbatas.
  4. Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan kontibusi negara sehingga tetap terjalin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah.
  5. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah otonom, dan karenanya dalam daerah Kabupaten/daerah kota tidak ada lagi wilayah administrasi.
  6. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah, baik fungsi legislatif, fungsi pengawas maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan pemerintah daerah.
  7. Pelaksanaan azas dekonsentrasi diletakkan pada daerah provinsi dalam kedudukannya sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan sebagai wakil daerah.
  8. Pelaksanaan azas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari pemerintah kepada daerah, tetapi juga dari pemerintah dan daerah kepada desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggung jawabkan kepada yang menugaskannya.

Adapun tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan guna meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.

Sejalan dengan pendapat di atas, The Liang Gie dalam Abdurrahman (1987) mengemukakan bahwa tujuan pemberian otonomi daerah adalah :

  1. Mengemukakan kesadaran bernegara/berpemerintah yang mendalam kepada rakyat diseluruh tanah air Indonesia.
  2. Melancarkan penyerahan dana dan daya masyarakat di daerah terutama dalam bidang perekonomian.
  1. Good Governance dan Pemerintahan Daerah

Kata governance kini menjadi satu idiom yang dipakai secara luas, sehingga dapat dikatakan juga menjadi konsep payung dari sejumlah terminologi dalam kebijakan dan politik, kata ini acapkali digunakan secara serampangan untuk menjelaskan :  jaringan kebijakan  (policy networks, Rhodes: 1997), manajemen publik (public management, Hood: 1990), koordinasi antar sektor ekonomi (Cambell el al, 1991), kemitraan publik-privat (Pierre, 1998), corporate governance (Williamson, 1996) dan good govenance yang acapkali menjadi syarat utama yang dikemukakan oleh lembaga-lembaga donor asing (Lefwich, 1994)

Istilah governance dalam nomenclature ilmu politik  berasal dari bahasa Prancis gouvernance sekitar abad 14. Pada saat itu istilah ini lebih banyak merujuk pada pejabat-pejabat kerajaan yang menyelenggarakan tata kelola pemerintahan dibanding bermakna proses untuk memerintah atau lebih populer disebut “steering”. Perdebatan sejenis juga terjadi dalam wacana bahasa Jerman sekitar tahun 1970-an, untuk menunjuk pada persoalan efektivitas atau kegagalan fungsi kontrol politik -yang oleh Kooiman disebut sebagai governing- atau dalam bahasa Jerman “Steuerung” (steering). Perdebatan kosa ini makin populer diawal tahun 80-an, istilah “Steuerung” dipergunakan dalam perdebatan sosiologi makro yang merupakan terjemahan dari kontrol sosial. Akhirnya dalam wacana politik Jerman istilah ini dipopulerkan dalam perbincangan politik, Steuerung, dipergunakan untuk menunjukan kemampuan atoritas politik dalam menghela lingkungan sosialnya, misal sejauh mana politik mempunyai kepekaan untuk memerintah (governing) . Terakhir kosa ini juga diidentikkan sinonim dari kata governence. Perdebatan terhadap terminologi ini  terus berkembang, dan diperluas wacananya oleh Kaufmann (1985) yang memberikan limitasi governance sebagai ” successful coordination of behavior

Hingga kini perdebatan terhadap terminologi ini tetap terbuka lebar, apalagi interpretasi terhadapnya seringkali dilakukan secara longgar. Muhadjir Darwin (2000) misalnya, menjelaskan kesulitan untuk menemukan padanan makna yang memadai, acapkali penggunaan istilah ini dibiarkan apa adanya, karena sulit dicari padanannya dalam bahasa Indonesia. Bondan Winarno  pernah menawarkan sinomim istilah ini dengan “penyelenggaraan”. Muhadjir Darwin juga menegaskan bahwa notion ini tidak semata-mata menjelaskan fungsi pemerintah untuk menjalankan fungsi governing, tetapi juga aktor-aktor lain diluar negara dan pemerintah. Pemerintah adalah salah satu institusi saja yang menjalankan peran ini. Bahkan dapat terjadi peran pemerintah dalam fungsi governing ini digantikan dan dipinggirkan  oleh aktor-aktor lain, akibat bekerjanya elemen-elemen diluar pemerintah.  Hal ini sejalan dengan pemaknaan yang dilakukan oleh Pierre dan Peters (2000) yang menyatakan governance sebagai : “thinking about governance means thinking about how to steer the economy and society and how to reach collective goals

Sementara itu dalam konteks reposisi administrasi publik Frederickson memberikan interpretasi governance dalam empat terminologi   :

Pertama, Governance, menggambarkan bersatunya sejumlah organisasi atau institusi baik itu dari pemerintah atau swasta yang dipertautkan (linked together) secara bersama untuk mengurusi kegiatan-kegiatan publik. Mereka dapat bekerja secara bersama-sama dalam sebuah jejaring antar negara. Karenanya terminologi pertama ini, governance menunjuk networking dari sejumlah himpunan-himpunan entitas yang secara mandiri mempunyai kekuasaan otonom. Atau dalam ungkapan Frederickson adalah perubahan citra sentralisasi organisasi menuju citra organisasi yang delegatif dan terdesentralisir. Mereka bertemu untuk malakukan perembugan, merekonsiliasi kepentingan sehingga dapat dicapai tujuan secara kolektif atau bersama-sama. Kata kunci terminologi pertama ini adalah networking, desentralisasi.

Kedua, Governance sebagai tempat berhimpunnya berbagai pluralitas pelaku – bahkan disebut sebagai hiper pluralitas – untuk membangun sebuah konser antar pihak-pihak yang berkaitan secara langsung atau tidak (stake holders) dapat berupa : : partai politik, badan-badan legislatif dan divisinya, kelompok kepentingan, untuk menyusun pilihan-pilihan kebijakan seraya mengimplementasikan. Hal penting dalam konteks ini adalah mulai hilangnya fungsi kontrol antar organisasi menjadi, menyebarnya berbagai pusat kekuasaan pada berbagai pluralitas pelaku, dan makin berdayanya pusat-pusat pengambilan keputusan yang makin madiri. Sebagaimana dijelaskan Muhadjir Governance dalam konteks kebijakan adalah “… kebijakan publik tidak harus berarti kebijakan pemerintah, tetapi kebijakan oleh siapapun  (pemerintah, semi pemerintah, perusahaan swasta, LSM, komunitas keluarga) atau jaringan yang melibatkan seluruhnya tersebut untuk mengatasi masalah publik yang mereka rasakan. Kalaupun kebijakan publik diartikan sebagai apa yang dilakukan pemerintah , kebijakan tersebut  harus diletakkan sebagai bagian dari network kebijakan yang melibatkan berbagai komponen masyarakat tersebut..”.

Dengan demikian terminologi kedua ini menekankan, governance dalamm konteks pluralisme aktor dalam proses perumusan kebijakan dan implementasi kebijakan. Beberapa pertanyaan kunci yang penting : seberapa jauh kebijakan yang dilakukan pemerintah merespon tuntutan masyarakat, seberapa jauh masyarakat dilibatkan dalam proses tersebut, seberapa jauh masyarakat dilibatkan dalam proses implementasi, seberapa besar inisiatif dan kreativitas masyarakat tersalurkan, seberapa jauh masyarakat dapat mengakses informasi menyangkut pelaksanaan kebijakan tersebut, seberapa jauh hasil kebijakan tersebut memuaskan dan dapat dipertanggungjawabkan. Kata kunci dalam terminologi kedua ini adalah pluralitas aktor, kekuasaan yang makin menyebar, perumusan dan implementasi kebijakan bersama.

Ketiga, Governance berpautan dengan kecenderungan kekinian dalam literatur-literatur manajemen publik utamanya spesialisasi dalam rumpun kebijakan publik, dimana relasi multi organisasional antar aktor-aktor kunci terlibat dalam implementasi kebijakan. Kerjasama para aktor yang lebih berwatak politik, kebersamaan untuk memungut resiko, lebih kreatif dan berdaya, tidak mencerminkan watak yang kaku utamanya menyangkut : organisasi, hirarki, tata aturan. Dalam makna lebih luas governance merupakan jaringan (network) kinerja diantara organisasi-organisasi lintas vertikal dan horisontal untuk mencapai tujuan-tujuan publik. Kata kuncinya jaringan aktor lintas organisasi secara vertikal dan horisontal.

Keempat, terminologi Governance dalam konteks administrasi publik kental dengan sistem nilai-nilai kepublikan. Governance menyiratkan sesuatu hal yang sangat penting. Governance menyiratkan sesuatu keabsahan. Governance menyiratkan sesuatu yang lebih bermartabat, sesuatu yang positif untuk mencapai tujuan publik. Sementara terminologi pemerintah (government) dan birokrasi direndahkan, disepelekan mencerminkan sesuatu yang lamban kurang kreatif. Governance dipandang sebagai sesuatu yang akseptabel, lebih absah, lebih kreatif, lebih responsif dan bahkan lebih baik segalanya.

Dari keempat terminologi tersebut dapat ditarik pokok pikiran bahwa governance dalam konteks administrasi publik adalah merupakan proses perumusan dan implementasi untuk mencapai tujuan-tujuan publik yang dilakukan oleh aktor : pluralitas organisasi, dengan sifat hubungan yang lebih luwes dalam tataran vertikal dan horisontal, disemangati oleh nilai-nilai kepublikan antara lain keabsahan, responsif, kreatif. Dilakukan dalam semangat kesetaraan dan netwoking yang kuat untuk mencapai tujuan publik yang akuntabel.

Berdasarkan pemikiran ini governance adalah merupakan sebuah ekspansi notion dari makna administrasi publik yang semula hanya diartikan sebagai hubungan struktural antara aktor-aktor yang ada dalam mainstream negara. Secara tegas Milward dan O’Toole memberikan interpretasi governance dalam dua aras penting : Pertama, governance sebagai studi tentang konteks struktural dari organisasi atau institusi pada berbagai level (multi layered structural contex). Kedua, governance adalah studi tentang network yang menekankan pada peran beragam aktor sosial dalam sebuah jejaring negosiasi, implementasi, dan pembagian hasil. Merupakan konser social melibatkan pelaku-pelaku untuk mengakselerasikan kepentingan publik secara lebih adil dan menebarnya peran lebih merata sesuai dengan realitas pluralitas kepentingan dan aktor yang ada.

BAB III

PEMBAHASAN

  1. Penyelenggaraan Pelayanan Publik Pemerintahan Daerah

Tujuan pendirian Negara Republik Indonesia, seperti tertuang dalam Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, antara lain adalah untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Amanat tersebut mengandung makna negara berkewajiban memenuhi kebutuhan setiap warga negara melalui suatu sistem pemerintahan yang mendukung terciptanya penyelenggaraan pelayanan yang prima kepada masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar dan hak sipil setiap warga negara atas barang publik, jasa publik, dan pelayanan administratif.

Sementara itu kondisi saat ini seringkali masih menunjukkan bahwa penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat publik masih minim kualitas. Pelayanan kepada masyarakat  dihadapkan pada kondisi yang belum sesuai dengan kebutuhan dan perubahan di berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hal tersebut bisa disebabkan oleh ketidaksiapan untuk menanggapi terjadinya transformasi nilai yang berdimensi luas serta dampak berbagai masalah pembangunan yang kompleks. Sementara itu, tatanan baru masyarakat Indonesia dihadapkan pada harapan dan tantangan global yang dipicu oleh kemajuan di bidang ilmu pengetahuan, informasi, komunikasi, transportasi, investasi, dan perdagangan.

Kondisi tersebut memacu perubahan yang semakin cepat yang perlu disikapi secara bijak oleh Pemerintah melalui langkah-langkah pengambilan kebijakan, penciptaan program dan kegiatan yang berkesinambungan dalam berbagai aspek pembangunan untuk membangun kepercayaan masyarakat guna mewujudkan tujuan pembangunan nasional melalui perwujudan pelayanan yang prima kepada masyarakat. Perubahan tersebut juga telah menempatkan pelayanan kepada masyarakat sebagai ukuran utama kinerja pemerintah.

Otonomi daerah merupakan strategi yang digunakan Pemerintah agar pelayanan kepada masyarakat benar-benar menjadi jiwa manajemenen pemerintahan sehingga kesejahteraan masyarakat dapat semakin meningkat melalui pemberian kewenangan yang luas kepada Pemerintah Daerah (Pemda) untuk mengurus sendiri urusan pemerintahannya menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Untuk itu maka maksud utama dari otonomi daerah ini adalah untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan kualitas pelayanan, pemberdayaan dan peningkatan peran masyarakat. Pemerintah daerah diasumsikan sebagai bagian birokrasi pemerintahan yang paling dekat dengan masyarakat didaerahnya sehingga paling mengerti apa yang dibutuhkan oleh masyarakatnya.

Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah yang berlaku saat ini mendorong berbagai upaya untuk menciptakan good governance melalui penciptaan proses check and balances penyelenggaraan Pemerintah Daerah yang lebih berimbang. Hal ini tercermin dari tuntutan untuk terus meningkatkan akuntabilitas publik yang salah satunya adalah akuntabilitas publik dalam  hal penyediaan layanan kepada masarakat.

Untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat Pemerintah telah mengambil langkah dengan mewajibkan Pemerintah Daerah untuk mencapai Standar Pelayanan Minimal (SPM), yang ditetapkan oleh setiap Menteri terkait, dalam penyelenggaraan pelayanan dasar yang merupakan bagian dari pelaksanaan urusan wajib untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat.

Selain itu, SPM juga diposisikan untuk menjawab isu-isu krusial dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, khususnya dalam penyediaan pelayanan dasar yang bermuara pada penciptaan kesejahteraan rakyat. Upaya ini sangat sesuai dengan apa yang secara normatif dijamin dalam konstitusi sekaligus untuk menjaga kelangsungan kehidupan berbangsa yang serasi, harmonis dan utuh dalam koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Standar Pelayanan Minimal (SPM) pada dasarnya adalah merupakan bagian dari pelayanan kepada masyarakat dalam bentuk Pelayanan Publik. Sesuai dengan urusan kepemerintahan daerah yang terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan maka Standar Pelayanan Minimal (SPM) merupakan bagian dari pelaksanaan urusan wajib dalam hal penyelenggaraan pelayanan dasar. Sementara diluar pelayanan dasar terdapat pelayanan lainnya yang merupakan bagian dari urusan pilihan yang dituangkan  dalam bentuk standar pelayanan. Kedua standar pelayanan ini diharapkan dapat menjadi pondasi bagi Pemerintah Daerah dalam menyusun dan membangun Standar Pelayanan Prima (SPP).

Kondisi penyelenggaraan pelayanan publik saat ini masih belum memadai, karena masih banyaknya keluhan dan pengaduan dari masyarakat baik secara langsung maupun melalui media massa, seperti: prosedur yang berbelit-belit, tidak ada kepastian jangka waktu penyelesaian, tidak jelas berapa biaya yang harus dikeluarkan, persyaratan yang tidak transparan, sikap petugas yang kurang responsif dan lain-lain, sehingga menimbulkan citra yang kurang baik terhadap citra pemerintah dan pemerintah daerah.

Menurut Ismail Mohamad (2003:2) bahwa:

“…permasalahan utama pelayanan publik pada dasarnya adalah berkaitan dengan peningkatan kualitas pelayanan itu sendiri. Pelayanan yang berkualitas sangat tergantung pada berbagai aspek, yaitu bagaimana pola penyelenggaraannya (tata laksana), dukungan sumber daya manusia, dan kelembagaan. Dilihat dari sisi pola penyelenggaraannya, pelayanan publik masih memiliki berbagai kelemahan antara lain: kurang responsif, kurang informatif, kurang accessible, kurang koordinasi, birokratis, kurang mau mendengar keluhan/saran/aspirasi masyarakat, dan in-efisien.”

Senada dengan hal tersebut di atas, Feisal Tamin (2004:4) mengatakan: “…kita sungguh menyadari bahwa jajaran aparatur pemerintah memang masih mempunyai berbagai kelemahan dalam penyelenggaraan pelayanan publik dalam berbagai sektor pelayanan. Kelemahan-kelemahan tersebut dapat diketahui melalui pengaduan dan keluhan yang disampaikan masyarakat, baik secara langsung maupun melalui media massa, antara lain menyangkut sistem dan prosedur pelayanan yang berbelit-belit, tidak transparan, kurang informatif, kurang akomodatif, dan tidak konsisten, sehingga tidak menjamin kepastian hukum, waktu dan biaya serta masih adanya praktek percaloan dan pungutan tidak resmi”.

Pelayanan publik yang ada selama ini memang selalu dihadapkan pada masalah-masalah seperti dikemukakan di atas. Survey yang dilakukan oleh Litbang Kompas terhadap 885 responden dengan tingkat kepercayaan 95% pada tanggal 28 Februari sampai dengan 1 Maret 2007, terungkap bahwa birokrasi Indonesia gagal menjalankan fungsi pelayanan publiknya. Ketidakpastian waktu menjadi problem bagi masyarakat ketika berurusan dengan birokrasi. Urusan kecil bisa makan waktu yang lama. Inilah fenomena yang dirasakan sebagian besar (62,9%) responden. Menurut mereka, berurusan dengan aparat birokrasi selalu makan waktu lama. Selain ketidakpastian waktu, ketidakpastian biaya menjadi keluhan warga ketika berurusan dengan birokrasi. Tidak sedikit warga yang menyogok aparat birokrasi demi kelancaran urusannya. Dari fenomena ini, lebih dari separuh (58%) responden menganggap aparat birokrasi gampang disuap. Pencitraan tersebut, bisa jadi, dipicu juga oleh ketidakpuasan responden terhadap etos kerja birokrasi selama ini. Sebagian besar responden menyatakan tidak puas dengan kelambatan birokrasi dalam melayani urusan publik. Penilaian yang sama juga diungkapkan 65,3% responden terhadap efektivitas kerja birokrasi. Sementara untuk kedisiplinan, kecermatan, dan kesigapan kerja, sebagian besar responden masih kecewa.

  1. Upaya Penyelenggaraan Pemerintahan daerah Sesuai dengan Prinsip Good Governance

Sistem penyelenggaraan pemerintahan negara merupakan unsur penting dalam suatu negara. Oleh karena itu, maka tidak berlebihan apabila salah satu faktor penentu krisis nasional dan berbagai persoalan yang melanda bangsa Indonesia bersumber dari kelemahan di bidang manajemen pemerintahan, terutama birokrasi, yang tidak mengindahkan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik (good governance). Memasuki era reformasi, hal tersebut diakui, sehingga melalui TAP MPR RI No. XI/MPR/1999 tentang Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas KKN, dan Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme bangsa Indonesia menegaskan tekad untuk senantiasa bersungguh-sungguh mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan negara dan pembangunan yang didasarkan pada prinsip-prinsip good governance.

Jika kita melihat bagian-bagian dari partisipasi yang dapat dilakukan oleh publik atau masyarakat diatas, maka dapat disimpulkan bahwa partisipasi publik dalam pengambilan suatu keputusan sangatlah penting. Partisipasi publik menjadi sangat penting urgensinya dalam proses pengambilan keputusan setelah dikampanyekannya good governance oleh Bank Dunia maupun United Nations Development Program (UNDP). Mengenai good governance, Hetifah Sj. Sumarto berpendapat:

“Salah satu karakteristik dari good governance atau tata kelola pemerintahan yang baik atau kepemerintahan yang baik adalah partisipasi. Selanjutnya UNDP mengartikan partisipasi sebagai karakteristik pelaksanaan good governance adalah keterlibatan masyarakat dalam pembentukan keputusan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui lembaga perwakilan yang dapat menyalurkan aspirasinya. Partisipasi tersebut dibangun atas dasar kebebasan bersosialisasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif”.

Menurut T. Gayus Lumbuun, dalam kepustakaan Hukum Administrasi Negara asas-asas umum pemerintahan yang baik telah disistematisasi oleh para ahli terkemuka dan dianut di beberapa negara, antara lain seperti di Belanda dikenal dengan “Algemene Beginselen van Behoorllijke Bestuur” (ABBB), di Inggris dikenal “The Principle of Natural Justice”, di Perancis dikenal “Les Principaux Generaux du Droit Coutumier Publique”, di Belgia dikenal “Aglemene Rechtsbeginselen”, di Jerman dikenal “Verfassung Sprinzipien” dan di Indonesia “Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik” (AUPB). Untuk mengenal asas-asas umum pemerintahan yang baik menurut pendapat ahli maupun yang berkembang di Peradilan Administrasi, akan diuraikan berikut ini:

  1. Menurut sistematisasi van Wijk/Konijnenbel yang dikutip oleh Indroharto dalam bukunya berjudul “Usaha memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara” tahun 1994, Asas-asas umum Pemerintahan yang Baik dikelompokkan:
  2. Asas-asas formal mengenai pembentukan keputusan yang meliputi Asas kecermatan formal dan Asas “fair play”.
  3. Asas-asas formal mengenai formulasi keputusan yang meliputi Asas Pertimbangan dan Asas kepastian Hukum formal.
  4. Asas-asas Meterial mengenai isi Keputusan yang meliputi Asas kepastian hukum material, Asas kepercayaan atau asas harapan-harapan yang telah ditimbulkan, Asas persamaan, Asas kecermatan material dan Asas keseimbangan.
  5. Di Belanda Asas-asas umum pemerintahan yang baik dipandang sebagai norma hukum tidak tertulis, namun harus ditaati oleh pemerintah, sehingga dalam Wet AROB (Administrative Rechtspraak Overheidsbeschikkingen) yaitu Ketetapan-ketetapan Pemerintahan dalam Hukum Administrasi oleh Kekuasaan Kehakiman “Tidak bertentangan dengan apa dalam kesadaran hukum umum merupakan asas-asas yang berlaku (hidup) tentang pemerintahan yang baik”. Hal itu dimaksudkan bahwa asas-asas itu sebagai asas-asas yang hidup, digali dan dikembangkan oleh hakim. Asas-asas umum pemerintahan yang baik, yang terkenal dan dirumuskan dalam Yurisprudensi AROB sebagai berikut:
  6. Asas pertimbangan (motiveringsbeginsel)
  7. Asas kecermatan (zorgvuldigheidsbeginsel)
  8. Asas kepastian hukum (rechtszekerheidsbeginsel)
  9. Asas kepercayaan (vertrouwensbeginsel of beginsel van opgewekte verwachtingen)
  10. Asas persamaan (gelijkheidsbeginsel)
  11. Asas keseimbangan (evenredigheidsbeginsel)
  12. Asas kewenangan (bevoegheidsbeginsel)
  13. Asas fair play (beginsel van fair play)
  14. Larangan “detournement de pouvoir” atau penyalahgunaan wewenang (het verbod detournement de pouvoir)
  15. Larangan bertindak sewenang-wenang (het verbod van willekeur).
  16. Di Perancis Asas-asas umum pemerintahan yang baik (Les Principaux Generaux du Droit Coutumier Publique) dirumuskan:
  17. Asas persamaan (egalite).
  18. Asas tidak boleh mencabut keputusan bermanfaat (intangibilite de effects individuels des actes administratifs). Dengan asas ini keputusan yang regelmatig (teratur/sesuai dengan peraturan) tidak boleh dicabut apabila akibat hukum yang bermanfaat telah terjadi.
  19. Asas larangan berlaku surut (principe de non retroactivite des actes administratifs).
  20. Asas jaminan masyarakat (garantie des libertes publiques).
  21. Asas keseimbangan (proportionnalite).
  22. Dalam kepustakaan Hukum Administrasi di Indonesia, Prof. Kuntjoro Purbopranoto dalam bukunya yang berjudul “Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Negara” menguraikan asas-asas umum pemerintahan yang baik dalam 13 asas, yaitu:
  23. Asas kepastian hukum (principle of legal security);
  24. Asas keseimbangan (principle of proportionality);
  25. Asas kesamaan (dalam pengambilan keputusan pangreh) – principle of equality;
  26. Asas bertindak cermat (principle of carefuleness);
  27. Asas motivasi untuk setiap keputusan pangreh (principle of motivation);
  28. Asas jangan mencampuradukkan kewenangan (principle of non misuse of competence);
  29. Asas permainan yang layak (principle of fair play);
  30. Asas keadilan atau kewajaran (principle of reasonableness or prohibition of arbitrariness);
  31. Asas menanggapi pengharapan yang wajar (principle of meeting raised expectation);
  32. Asas meniadakan akibat-akibat suatu keputusan yang batal (principle of undoing the consequences of an annulled decision);
  33. Asas perlindungan atas pandangan hidup (cara hidup) pribadi (principle of protecting the personal way of life);
  34. Asas kebijaksanaan (sapientia);
  35. Asas penyelenggaraan kepentingan umum (principle of public service).
  36. Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999, maka asas-asas umum pemerintahan yang baik di Indonesia diidentifikasikan dalam Pasal 3 dan Penjelasanya yang dirumuskan sebagai asas umum penyelenggaraan negara. Asas ini terdiri dari:
  37. Asas Kepastian Hukum;

Adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggara Negara.

  1. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara;

Adalah asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan negara.

  1. Asas Kepentingan Umum;

Adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif.

  1. Asas Keterbukaan;

Adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara.

  1. Asas Proporsionalitas;

Adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban Penyelenggara Negara.

  1. Asas Profesionalitas;

Adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

  1. Asas Akuntabilitas.

Adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Penyelenggara Negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Disamping itu, Pasal 5 Undang-undang Nomor 28 tahun 1999 dan Pasal 3 ayat (1) TAP MPR XI/MPR/1998 Tentang Penyelenggaraan Nagara Yang Bersih dan Bebas KKN menentukan untuk menghindari segala bentuk KKN, seseorang yang dipercaya menjabat suatu jabatan dalam penyelenggaraan negara harus bersumpah sesuai dengan agamanya dan harus mengumumkan dan bersedia diperiksa kekayaannya sebelum dan setelah menjabat, melaksanakan tugas tanpa membedakan suku, agama, ras dan golongan, melaksanakan tugas dengan penuh rasa tanggung jawab, tidak melakukan perbuatan tercela, melaksanakan tugas tanpa pamrih baik untuk kepentingan pribadi, keluarga, maupun kelompok dan tidak mengharapkan imbalan dalam bentuk apapun yang bertentangan dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku serta bersedia menjadi saksi dalam perkara KKN dan perkara lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik yang berlaku secara universal dibeberapa negara sebagai hukum tidak tertulis, di Indonesia dengan berlakunya Undang-undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN merumuskan asas-asas umum penyelenggaraan negara tersebut secara formal mengikat penyelenggara negara untuk dilaksanakan dalam tugas dan fungsinya.

BAB IV

PENUTUP

IV.1. Kesimpulan

  1. Pelaksanaan Good Governance di Daerah masih jauh dari prinsip-prinsip yang ada dalam Undang-Undang Pelayanan Publik
  2. Upaya untuk mencapai Pelayanan Prima didaerah dapat dilakukan baik oleh tingkatan internal pemerintah daerah atau eksternal daerah yang dapat melalui masyarakat yang ada di daerah

IV.2. Saran

  1. Diharapkan Good Governace pada pemerintahan daerah dapat diupayakan dan dioptimalisasikan, mengingat tujuan dari aparatur pemerintahan sebagai abdi masyarakat.
  2. Upaya pencapaian Good Governance pada pemerintahan daerah harus dioptimalisasikan, baik dari tingkatan internal aparatur pemerintahan, maupun dari eksternal pemerintahan.

DAFTAR PUSTAKA

Box, Richard C., 1998, Citizen Governance : Leading American Communities into the 21st Century, Sage Publications, London

Dahl, Robert A. 1998, On Democracy, Yale University Press, London

Darwin, Muhadjir, 2000, Akuntabilitas Pelayanan Publik, makalah disampaikan dalam Seminar Sehari FISIPOL UGM Yogyakarta

Darwin, Muhadjir, 2000, Good Governance dan Kebijakan Publik,  Makalah disampaikan dalam Forum Seminar Forum LSM Yogyakarta bertema : Mewujudkan Good Governance sebagai Agenda Sebuah Negara Demokrasi , tanggal 30 September 2000, Yogyakarta,

Frederickson, H. George, 1997, The Spirit of Public Administration, Jossey-Bass Publishers, San Francisco.

Frederickson, H. George, 2000, The Repositioning of American Public Administration, American Political Science Association, available at APSANET 18p.

Fukuyama, Francis, 1996, Trust : The Social Virtues and The Creation of Prosperity, Free Press Paperback Book, Simon  and Schuster, New York

Fukuyama, Francis, 1999, Social Capital and Civil Society, Paper for delivery at the IMF Conference on Second Generations Reforms, The Institute of Public Policy, George Mason University. Available at http//www.imf.com. 21 p.

Fukuyama, Francis, 1999, The Great Disruption : Human nature and the Reconstitution of Social Order, Free Press Paperback Book, Simon  and Schuster, New York

Hardin, Russell, 1997, Distrust, New York University, New York, 21 p.

Knack, Stephen, 2000, Social Capital and the Quality of Government : Evidence from the U.S. States, World Bank Paper, available at http://www1.worldbank. org/publicsector/

Kobrak, Peter, 1996, The Social Responsibilities of A Public Entrepreneur, dalam Administration and Society Vol. 28 No. 2 Ausgust 1996

Kooiman, Jan, 1993, Modern Governance : New Government-Society Interaction, Sage Publication, London

Levi, Margaret,  1999, When Good Defenses Make Good Neighbors : A Transaction Cost Approach to Trust and Distrust, Paper originally prepared for presentation at the 2nd Annual Meeting of the International Society for the New Institutional Economic (ISNIE), Paris September, 17-19, 1998 and at the Conference on Social Networks and Social capital, Duke University, October 30 November 1, 1998. Revised at January, 1999, Published by Department of Political Science,, University of Washington

Lynch, Thomas D. dan Cynthia E. Lynch, 2000, A Theory of  Soul, Lousiana State University Amerika, availabe on http://www.uwf.edu/whitcntr/clynch.htm.

Pierre, Jon and B. Guy Peters, 2000, Governance, Politics and The State, Macmillan Press Ltd, London

Rothstein, Bo, 1998, The Universal Welfare State as a Social Dilemma, Department of Political Science, University of Goteborg, Swedia. 16 p.

Rothstein, Bo, 1998, Trust, Social Dilemmas and Strategic Construction of Collective Memories, Department of Political Science, University of Goteborg, Swedia. 26

Seligman, Adam B., 1998, Between Public and Private : Towards a Sociology of Civil Society dalam Robert W. Hefner (eds), 1998, Democratic Civility : The History and Cross-Cultural Possibility of a Modern Political Ideal, Transaction Publishers, New Brunswick (USA).

Shah, Anwar, 1997, Balance, Accountability, and Responsiveness : Lessons about Decentralization, paper presented in the World Bank Conference on Evaluation and Development, April 1-2, 1997. Available at Ashah@WORLDBANK.ORG@INTERNET

Suhardono, Edy, 2000, Good Governance dan (versus) Demokrasi Liberal, makalah disampaikan dalam seminar (nasional) sehari bertema  “Mewujudkan Good Governance sebagai Agenda Sebuah negara Demokrasi”, Forum LS DIY

Thoha, Miftah, 2000, Peran Ilmu Administrasi Publik dalam Mewujudkan Tata Kepemerintahan yang Baik, Orasi Ilmiah, Disampaikan pada pembukaan Kuliah PPS UGM tahun Akademik 2000/2001, 4 September 2000

Continue Reading

GOOD GOVERNANCE DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 telah melahirkan beberapa perubahan mendasar di bidang ketatanegaraan.[1] Perubahan mendasar terdapat pada bentuk kedaulatan yang semula dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), namun setelah perubahan terdapat perbedaan, yakni kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Yang cukup mendasar pula adalah dengan diperjelasnya bahwa Indonesia adalah meganut negara hukum. Dengan demikian maka telah meruntuhkan pandangan yang sengaja dibangun oleh Presiden Soeharto bahwa Undang-Undang Dasar 1945 bernilai “keramat”.[2] Yakni Undang-Undang Dasar 1945 tidak dapat di rubah oleh siapun dan dalam kondisi apapun.

Perubahan yang cukup signifikan terjadi pada bergesernya kekuasaan lembaga negara. Selain terdapat lembaga baru, juga terdapat lembaga negara yang dihapus dalam Undang-Undang Dasar 1945. Resstrukturisasi kelembagaan Negara merupakan agenda penting amandemen demi terciptanya pemerintahan yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (Good Governance). Pada aspek kelembagaan Negara dapat dilihat dalam konstitusi bahwa terdapat lembaga-lembaga seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daearah (DPD), Presiden, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY) serta lembaga-lembaga Negara lainnya seperti Bank Indonesia (BI) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Kesemuanya itu merupakan pemisahan kekuasaan yang bersifat horizontal dalam arti kekuasaan dipisah-pisahkan kedalam fungsi-fungsi yang tercermin dalam lembaga Negara yang sederajat yang saling mengimbangi (check and balance).[3]

Pada aspek Hak Asasi Manusia dalam konstitusi adalah dicantumkannya pasal-pasal yang berkaitan dengan Hak-hak dasar manusia yang sebelumnya masih belum diatur secara spesifik dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen.[4] Hal ini berkaitan dengan pemenuhan hak-hak dasar manusia yang sebelumnya kurang mendapatkan perlindungan hukum oleh pemerintah, sehingga banyak sekali pelanggaran-pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia yang tidak dan belum terselesaikan. Dalam konteks itu akan menjadi sangat penting kepastian hukum tentang Hak Asasi Manusia, meskipun pada dasarnya Hak Asasi Manusia adalah hak yang telah melekat dalam setiap diri manusia sejak dia dilahirkan atau sejak berada dalam kandungan.

Pada aspek good governance menjadi point penting dalam dasawarsa pasca reformasi yang menginginkan adanya pemerintahan yang bersih bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).[5] Good governance ini kemudian dilaksanakan dalam setiap tingkatan pemerintahan di Indonesia, baik ditingkatan ekskutif, legislative dan yudikatif. Di bidang ekskutif ditandai dengan adanya reformasi birokrasi, dimulai pada tingkatan yang paling atas, maupun tingkatan pemerintahan yang paling bawah. Di bidang legislative juga ditandai dengan adanya proses pembentukan Undang-Undang[6] yang terarah dan efektif sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Sedangkan pada tingkatan yudukatif ditandai dengan adanya peradilan bebas yang tidak terdapat intervensi dari pihak manapun.

Dalam tulisan ini akan mengspesifikkan untuk persoalan proses pembentukan Undang-Undang di Indonesia. Dimana fungsi pembentukan Undang-Undang merupakan bagian dari fungsi yang dimiliki Dewan Perwakilan Rakyat di Indonesia. Fungsi ini yang kemudian dijadikan semacam bagian dari perwujudan dari peran serta dan fungsi legislative dalam upaya memberikan kontribusi yang berguna bagi masyarakat yang telah mempercayakan kepadanya. Untuk itu lembaga legislative dalam Negara-negara modern dikatakan sebagai institusi kunci (key institution) dalam perkembangan politik Negara-negara modern.[7]

Pergeseran fungsi legislasi dari Presiden kepada Legislatif merupakan bagian dari agenda amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Hal itu dikuatkan dengan pendapat Jimly Asshiddiqie[8] bahwa setelah perubahan pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 telah terjadi pergeseran kekuasaan kekuasaan subtantif dalam pembentukan Undang-Undang yakni dari tangan Presiden ke tangan Legislatif.

Pembentukan Undang-Undang di Indonesia terdapat beberapa permasalahan. Mulai dari terlalu kuatnya arus kepentingan politik golongan ataupun kepentingan tertentu dari pemegang kekuasaan yang menginginkan hal-hal tertentu untuk dapat diloloskan dalam proses pembentukannya, sampai kepada produk pesanan yang akan menguntungkan pihak-pihak tertentu, dengan tanpa melihat secara utuh dan nilai-nilai yang yang berkembang serta keinginan masyarakat luas yang ada. Untuk itu dapat dibenarkan bahwa Undang-Undang merupakan produk resultante[9] yakni adalah bahwa produk peraturan perundang-undangan tidak jarang merupakan produk kepentingan golongan tertentu yang menginginkan sesuatu hal untuk diloloskan dan dapat diberlakukan.

Tidak hanya itu, lemahnya pengawasan ekternal dari organisasi kemasyarakatan kadang menjadi keuntungan tersendiri dalam proses legislasi. Namun tidak sedikit pula yang kemudian dijadikan tempat atau sarana bagi oknum-oknum masyarakat, mahasiswa, pengajar dan juga organisasi lainnya sebagai ruang untuk mencari keuntungan dengan tanpa berfikir panjang, dan tanpa diadakan koreksi yang cukup kritis terhadap pembentukan Undang-Undang ini. Untuk diperlukan pengawalan dari semua kalangan agar dalam proses dan pembentukan Undang-Undang sesuai dengan keinginan bersama, dengan tanpa ada yang dirugikan pihak manapun.

Kwalitas dari pembentuk Undang-Undang juga menjadi persoalan. Sehingga input dan outputnya kadangkalan tidak berbanding lurus, banyak produk-produk Undang-Undang yang tidak sesuai denga jiwa masyarakat, yang ketika diterapkan justru tidak akan responsive, atau hanya bersifat elitis saja, tidak mampu memberikan kontribusi yang baik bagi terbinanya masyarakat yang sejahtera melalui jalur peraturan perundang-undangan yang mendukung.

Melalui sedikit uraian diatas, maka kiranya perlu kita untuk menelaah dan mengetahui bagaimana sebenarnya Undang-Undang itu dibuat, baik dalam proses pembentukannya maupun cara-cara yang efektif dalam proses pemantauan oleh semua kalangan. Juga yang tak kalah pentingnya juga bagaimana kemudian Undang-Undang yang dibentuk oleh lembaga yang berwenang agar mencerminkan prinsip-prinsip Good Governance, sehingga hasil produk yang dihasilkan mampu mengakmodir semua kepentingan, dan tentunya dapat diterima oleh semua kalangan, dengan tanpa adanya dirugikan.

I.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan diatas, maka rumusan masalah dalam tulisan ini adalah :

  1. Bagaimana proses pembentukan Undang-Undang di Indonesia?
  2. Bagaimana mewujudkan Good Governance dalam pembentukan Undang-Undang di Indonesia?

I.3. Tujuan Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan dalam penulisan tulisan ini adalah :

  1. Untuk mengetahui proses pembentukan Undang-Undang di Indonesia
  2. Untuk menganalisis bagaimana mewujudkan Good Governance dalam pembentukan Undang-Undang di Indonesia

I.4. Metodologi Penelitian

Dalam tulisan ini metode yang digunakan adalah metode penulisan yuridis sosiologis, yaitu cara penulisan yang didasarkan pada analisis terhadap beberapa asas hukum dan teori hukum serta peraturan perundang-undangan yang sesuai dan berkaitan dengan permasalahan dalam tulisan ini, dengan tidak menghilangkan kejadian-kejadian yang terjadi dilapangan. Penelitian hukum yuridis sosiologis ini adalah suatu prosedur dan cara penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari segi normatif dan sosiologisnya.[10]

Sedangkan pendekatan masalah yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah terdiri dari 2 (dua) pendekatan yakni pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach).[11] Pendekatan perundang-undangan (statute approach) di gunakan untuk meneliti peraturan perundang-undangan yang dalam penormaannya masih terdapat kekurangan atau malah menyuburkan praktek penyimpangan dalam pembentukan Undang-Undang. Pendekatan konseptual (conceptual approach) dipakai untuk memahami konsep-konsep yang berkaitan dengan pembentukan Undang-Undang di Indonesia.

  1. Bahan Hukum

Bahan hukum merupakan bahan dasar yang akan dijadikan acuan atau pijakan dalam penulisan skripsi ini. Adapun yang menjadi bahan hukum dalam penulisan skripsi ini terdiri dari 3 (tiga) bagian, yakni bahan hukum primer, skunder dan tersier yang dapat diurai sebagai berikut :

  • Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas.[12] Bahan-bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.

  • Bahan Hukum Skunder

Bahan hukum skunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.[13] Adapun bahan hukum skunder yang digunakan untuk memberikan penjelasan mengenai materi yang terdapat dalam bahan hukum primer berasal dari beberapa literatur, buku tesk, jurnal hukum, karangan ilmiah dan buku-buku lain yang berkaitan langsung dengan tema tulisan ini.

  • Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan skunder.[14] Bahan hukum ini sebagai alat bantu dalam tulisan ini. Adapun bahan hukum tersier ini dapat berupa kamus-kamus hukum yang berkaitan langsung dengan tulisan ini.

  1. Analisis Bahan Hukum

Metode analisis yang digunakan dalam penulisan karya tulis ini adalah metode induksi, yakni mengkaji dari hal-hal yang bersifat khusus untuk menghasilkan kesimpulan yang bersifat umum.


BAB II

LANDASAN TEORI

II.1. Teori Good Governance

Gagasan tentang penyelenggaraan kekuasaan yang baik menurut aspek historis dapat dilihat pada masa jaman Yunani kuno dimulai pada masa Plato. Menurutnya, penyelenggaraan kekuasaan yang ideal dilakukan secara paternalistik, yakni para penguasa yang bijaksana haruslah menempatkan dirinya selaku ayah yang baik lagi arif yang dalam tindakannya terhadap anak-anaknya terpadulah kasih dan ketegasan demi kebahagiaan anak-anak itu sendiri. Pada bagian lain, Plato mengusulkan agar negara menjadi baik, harus dipimpin oleh seorang filosof, karena filosof adalah manusia yang arif bijaksana, menghargai kesusilaan, dan berpengetahuan tinggi.[15] Murid Plato, Aristoteles, berpendapat bahwa pemegang kekuasaan haruslah orang yang takluk pada hukum, dan harus senantiasa diwarnai oleh penghargaan dan penghormatan terhadap kebebasan, kedewasaan dan kesamaan derajat. Hanya saja tidak mudah mencari pemimpin dengan kualitas pribadi yang sempurna.[16] Oleh karena itu, pendekatan sistem merupakan alternatif yang paling memungkinkan. Plato sendiri, di usia tuanya terpaksa merubah gagasannya yang semula mengidealkan pemerintah itu dijalankan oleh raja-filosof menjadi pemerintahan yang dikendalikan oleh hukum. Penyelenggaraan negara yang baik, menurut Plato, ialah yang didasarkan pada pengaturan hukum yang baik.

Berdasarkan pendapat Plato ini, maka penyelenggaraan pemerintahan yang didasarkan pada hukum merupakan salah satu alternatif yang baik dalam penyelenggaraan negara. Hukum administrasi negara[17] dapat dijadikan instrumen untuk terselenggaranya pemerintahan yang baik. Penyelenggaraan pemerintahan lebih nyata dalam Hukum administrasi negara, karena di sini akan terlihat konkrit hubungan antara pemerintah dengan masyarakat, kualitas dari hubungan pemerintah dengan masyarakat inilah setidaknya dapat dijadikan ukuran apakah penyelenggaraan pemerintahan sudah baik atau belum. Di satu sisi Hukum administrasi negara dapat dijadikan instrumen yuridis oleh pemerintah dalam rangka melakukan pengaturan, pelayanan, dan perlindungan bagi masyarakat, di sisi lain Hukum administrasi negara memuat aturan normatif tentang bagaimana pemerintahan dijalankan, atau sebagaimana dikatakan Sjachran Basah[18], bahwa salah satu inti hakikat Hukum administrasi negara adalah untuk memungkinkan administrasi negara untuk menjalankan fungsinya, dan melindungi administrasi negara dari melakukan perbuatan yang salah menurut hukum. Tulisan dalam makalah ini akan difokuskan pada fungsi Hukum administrasi negara baik sebagai norma, instrumen, maupun jaminan perlindungan bagi rakyat.

Good Governance berkaitan dengan tata penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Sedangkan pemerintahan dapat diartikan secara sempit dan luas. Dalam arti sempit, penyelenggaraan pemerintahan yang baik bertalian dengan pelaksanaan fungsi administrasi negara. Dalam kaitan ini, di Negeri Belanda (yang juga diikuti oleh ahli Hukum Administrasi Negara Indonesia) dikenal sebagai “Prinsip-prinsip atas asas-asas umum penyelenggaraan administrasi yang baik”[19]. Asas ini berisikan pedoman yang harus digunakan oleh administrasi negara dan juga oleh hakim untuk menguji keabsahan (validitas) perbuatan hukum atau perbuatan nyata administrasi negara. Asas ini pun meliputi antara lain: motivasi yang jelas, tujuan yang jelas, tidak sewenang-wenang, kehati-hatian, kepastian hukum, persamaan perlakuan,, tidak menggunakan wewenang yang menyimpang dari tujuan, fairness dan lain-lain.[20]

Harus diakui bahwa administrasi negara sebagai penyelenggara negara fungsi pemerintahan (eksekutif), selain memiliki konsentrasi kekuasaan yang makin besar, juga bersentuhan langsung dengan rakyat. Tindakan-tindakan penertiban, perizinan dan berberbagai pelayanan merupakan pekerjaan administrasi negara yang langsung berhubungan dengan rakyat. Setiap bentuk penyalahgunaan kekuasaan atau cara-cara bertindak yang tidak memenuhi syarat penyelenggaraan administrasi negara yang baik akan langsung dirasakan sebagai perbuatan sewenang-wenang atau merugikan orang tertentu atau pun rakyat banyak. Karena itu, betapa penting pelaksanaan asas-asas diatas untuk mencegah dan menghindari rakyat dari segala tindakan administrasi negara yang dapat merugikan rakyat.

Tetapi, cabang-cabang penyelenggara negara yang lain, seperti pembentuk undang-undang (DPR) atau penegak hukum (kekuasaan kehakiman) tidak kurang perannya dalam mewujudkan dan menampakkan pemerintahan yang baik, kurang atau tidak baik. Pembentuk UU dapat membuat UU yang sewenang-wenang.[21] Berbagai UU yang dibuat belum tentu berpihak kepada kepentingan rakyat banyak melainkan untuk kepentingan penguasa atau kepentingan kelompok tertentu yang tentu saja dominan, seperti para konglomerat dan lain-lain.

Demikian pula dalam penegakkan hukum, dapat terjadi berbagai tindakan atau putusan yang sewenang-wenang. Kesewenang-wenangan itu bukan hanya terjadi karena kekuasaan penegak hukum tidak berdaya atau berkolaborasi dengan penyelenggara cabang kekuasaan lain. Kesewenang-wenangan dapat juga terjadi karena penyalahgunaan keuasaan kebebasan yang ada pada penegak hukum. Berbagai tindakan hukum, seperti perkara perdata yang dijadikan perkara pidana, putusan hakim yang dirasakan tidak benar dan tidak adil, penundaan eksekusi yang merugikan pencari keadilan sama sekali tidak terkait dengan ketidakberdayaan atau kolaborasinya dengan kekuasaan, melainkan karean penyalahgunaan kebebasan dalam memutus atau membuat suatu ketetapan.

Menyikapi hal diatas, seyogyanya tinjauan mengenai penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance) tidak hanya berkenaan dengan fungsi administrasi negara, melainkan juga termasuk pada cabang-cabang kekuasaan negara yang lain seperti pembentukan undang-undang dan penegak hukum.

Berbagai ungkapan teoritik sering dilekatkan pada bentuk dan isi penyelenggaraan pemerintahan yang baik seperti: responsible, accountable, controlable, transparancy, limitable dan lain sebagainya.[22] Bagi rakyat banyak, penyelenggaraan pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang memberikan berbagai kemudahan, kepastian dan bersih dalam menyediakan pelayanan dan perlindungan dari berbagai tindakan sewenang-wenang baik atas diri, hak maupun harta bendanya.

Dalam kaitan pelayanan dan perlindungan, ada dua cabang pemerintahan yang berhubungan langsung dengan rakyat yaitu administrasi negara dan juga penegak hukum. Karena itu sangat wajar apabila tuntutan penyelenggaraan pemerintahan yang baik terutama ditujukan pada pembaharuan administrasi negara dan pembaharuan penegakkan hukum.[23]

Istilah “Governance” menunjukkan suatu proses di mana rakyat bisa mengatur ekonominya, institusi dan sumber-sumber sosial dan politiknya tidak hanya dipergunakan untuk pembangunan, tetapi juga untuk menciptakan kohesi, integrasi, dan untuk kesejahteraan rakyat.[24] Dengan demikian, bahwa kemampuan suatu negara mencapai tujuan negara sangat tergantung pada kualitas tata kepemerintahan di mana pemerintah melakukan interaksi dengan sektor swasta dan masyarakat.

Sedangkan United Nations Development Programme (UNDP)[25] mendefinisikan governance sebagai “the exercise of political, economic, and administrative authority to manage a nation’s affair at all levels”. Menurut definisi ini, governance mempunyai tiga kaki (three legs), yaitu economic, political, dan administrative. Economics governance meliputi proses-proses pembuatan keputusan (decision-making processes) yang memfasilitasi aktivitas ekonomi di dalam negeri dan interaksi diantara penyelenggara ekonomi. Economic governance mempunyai implikasi terhadap equity, poverty dan quality of life. Political governance adalah proses-proses pembuatan keputusan untuk formulasi kebijakan, sedangkan administrative governance adalah sistem implementasi proses kebijakan. Oleh karena itu institusi dari governance meliputi tiga domain, yaitu state (negara atau pemerintahan), private sector (sektor swasta atau dunia usaha), dan society (masyarakat), yang saling berinteraksi dan menjalankan fungsinya masing-masing.

Konsep good governance sejak tahun 1991 dipromosikan oleh beberapa agensi multilateral dan bilateral seperti JICA, OECD, GTZ.[26] Mereka memberikan tekanan pada beberapa indikator, antara lain :

  1. demokrasi, desentralisasi dan peningkatan kemampuan pemerintah;
  2. hormat terhadap hak asasi manusia dan kepatuhan terhadap hukum yang berlaku;
  3. partisipasi rakyat;
  4. efisiensi, akuntabilitas, transparansi dalam pemerintah dan administrasi publik;
  5. pengurangan anggaran militer; dan
  6. tata ekonomi yang berorientasi pasar.

World Bank mensinonimkan good governance dengan penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggungjawab yang sejalan dengan demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi yang langka, dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political frameworks bagi tumbuhnya aktivitas kewiraswastaan.

Sedangkan UNDP[27] dalam workshop yang diselenggarakannya menyimpulkan “that good governance system are participatory, implying that all members of governance institutions have a voice in influencing decision making”. Namun dalam perkembangan berikutnya lembaga ini memberikan definisi good governance sebagai hubungan yang sinergis dan konstruktif di antara negara, sector swasta dan masyarakat (society).[28]

Lembaga Administrasi Negara[29] medefinisikan good governance sebagai penyelenggaraan pemerintahan negara yang solid dan bertanggung jawab, serta efisien dan efektif  dengan menjaga “kesinergisan” interaksi yang konstruktif di antara domain-domain negara, sector swasta dan masyarakat (society). Pada tataran ini, good governance berorientasi pada 2 (dua) hal pokok, yakni : Pertama, orientasi ideal negara yang diarahkan pada pencapaian tujuan nasional. Pada tataran ini, good governance mengacu pada demokratisasi dalam kehidupan bernegara dengan elemen-elemen konstituennya, seperti legitimacy, accountability, scuring of human right, autonomy and devolution of power dan assurance of civilian control; Kedua, pemerintahan yang berfungsi secara ideal yaitu secara efektif dan efisien dalam melakukan upaya mencapai tujuan nasional. Dalam konteks ini, good governance tergantung pada pada sejauh mana struktur serta mekanisme politik dan administratif berfungsi secara efektif dan efisien.

Sementara itu, United Nations merumuskan indikator good governance yang meliputi :[30]

  1. kemampuan, yaitu kemampuan yang cukup untuk melaksanakan kebijakan dan fungsi-fungsi pemerintah, termasuk sistem administrasi publik efektif dan responsif;
  2. akuntabilitas dalam kegiatan pemerintah dan transparan dalam pengambilan keputusan;
  3. partisipasi dalam proses demokrasi, dengan memanfaatkan sumber informasi dari publik dan dari swasta ;
  4. perhatian terhadap pemerataan dan kemiskinan; dan (5) komitmen terhadap kebijakan ekonomi yang berorientasi kepada pasar.

Dalam hal itu pula good governance dapat ditemukan melalui asas-asas umum pemerintahan yang baik, yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan modern masa kini. Di Nederland misalnya disebut sebagai asas-asas pemerintahan yang layak (algemene beginselen van behoorlijk bestuur) yang pada umumnya terdapat 5 (lima) asas, yakni :[31]

  1. asas persamaan
  2. asas kepercayaan
  3. asas kepastian hukum (rechtszekerheid)
  4. asas kecermatan (zorgvuldigheid)
  5. asas pemberian alas an (motivasi)

Sedangkan di Indonesia pada awalnya menjadikan-menjadikan dasar sebagai tersebut diatas sebagai rujukan yang kemudian dijadikan dasar mencantumkannya asas-asas tersebut dalam undang-undang. Adapun sebelum itu menurut Prof. Kuntjoro Purbopranoto, terdapat 13 (tiga belas) asas, diantaranya :[32]

  1. asas kepastian hukum (principle of legal security)
  2. asas keseimbangan (principle of proportionality)
  3. asas kesamaan (dalam pengambilan keputusan pangreh) principle of equality
  4. asas bertindak cermat (principle of carefulenes)
  5. asas motivasi dalam setiap keputusan pangreh (princeiple of motivation)
  6. asas jangan mencampur adukkan kewenangan (principle of non misue of competence)
  7. asas permainan yang layak (principle of fair play)
  8. asas keadilan atau kewajaran (principle of reasonableness or prohibition of arbitrariness)
  9. asas menganggapi pengharapan yang wajar (principle of meeting raised espectation)
  10. asas meniadakan akibat-akibat sesuatu keputusan yang batal (principle of undoing the consequences of an annulled decision)
  11. asa perlindungan atas perlindungan hidup (cara hidup) pribadi – (principle of protecting the personal way of life)
  12. asas kebijaksanaan (sapientia)
  13. asas penyelenggaraan kepentingan umum (principle of public services)

II.2. Teori Perundang-Undangan

Teori perundang-undangan (gezetsgebungstheori)[33] pada dasarnya merupakan bagian dari ilmu pengetahuan perundang-undangan (gezetsgebugswissenschaft)[34] yang berupaya mencari kejelasan makna atau pengertian-pengertian hukum dan peraturan perundang-undangan.

Pelopor norma hukum adalah Hans Kelsenyang mengemukakan teorinya mengenai jenjang norma hukum (stufentheorie), dimana ia berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif, yaitu norma dasar (Grundnorm).[35]

Dalam teori perundang-undangan (gesetsgebungstheori) yang dipelopori oleh Hans Kelsen dan selanjutnya ditambahkan oleh Hans Nawiasky yang dikenal dengan theori von stfennaufbau de rechtsordnung[36] menyatakan bahwa norma Hukum dari suatu Negara itu selain berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang tetapi bahwa norma Hukum itu juga berkelompok-kelompok. Hans Nawiasky mengelompokkan norma-norma Hukum dalam suatu Negara itu menjadi empat kelompok besar yang terdiri atas : [37]

Kelompok I    : Staatsfundamentalnorm (Norma fundamental Negara)

Kelompok II   : Staatgrundgesetz ( Aturan dasar/pokok Negara)

Kelompok III  : Formell Gesetz ( Undang-undang)

Kelompok IV : Verordnung dan Autonome Satzung (aturan pelaksana dan aturan otonom).

            Staatsfundamentalnorm merupakan norma yang bersifat fundamental (tertinggi), artinya adalah norma yang tidak dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi, tetapi juga bersifat pre-supposed atau ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat dalam suatu negara dan merupakan suatu norma yang menjadi tempat bergantungnya norma hukum di bawahnya.

Staatgrundgesetz merupakan aturan yang masih bersifat pokok dan merupakan aturan-aturan umum yang bersifat garis besar, sehingga masih merupakan norma tunggal yang masih belum diikuti oleh norma skunder.

Formell Gesetz merupakan turunan dari Staatgrundgesetz dikatakan demikian karena Formell Gesetz bukan merupakan norma tunggal lagi, karena telah diikuti norma skunder didalamnya. Norma-norma skunder itu dapat berupa sanksi, baik sanksi pidana, perdata maupun administrasi.

Verordnung dan Autonome Satzung memiliki sifat atau kewenangan yang berbeda dalam pembentukannya, Verordnung bersumber dari kewenangan delegasi, yaitu pelimpahan kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. Berlainan dengan Autonome Satzung yang memiliki sifat atau kewenanngan atribusi, yaitu pemberian kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan yang diberukan oleh Groundwet (UUD) atau Wet (UU) kepada suatu lembaga negara atau pemerintahan.

            Berdasarkan teori penggolongan norma hukum diatas, maka akan memunculkan beberapa prinsip hukum yang oleh Amieroedin Sjarif sebagai berikut:[38]

  1. Perundang-undangan yang lebih rendah derajatnya tidak dapat mengubah atau mengenyampingkan ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi tetapi yang sebaliknya dapat.
  2. Perundang-undangan hanya dapat dicabut, diubah atau ditambah oleh atau dengan Perundang-undangan yang sederajat atau lebih tinggi tingkatannya
  3. Ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak mengikat apabila bertentangan dengan Perundang-undangan yang lebih tinggi tetap berlaku dan mempunyai kekuatan hukum serta mengikat walaupun diubah dan ditambah, diaganti atau dicabut oleh Perundang-undangan yang lebih rendah
  4. Materi yang seharusnya diatur oleh Perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya tidak dapat diatur oleh Perundang-undangan yang lebih rendah.

Dari penjelasan diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa norma yang lebih tinggi dalam hal ini adalah Staatsfundamentalnorm akan selalu diikuti oleh norma-norma dibawahnya, diantaranya Staatgrundgesetz, Formell Gesetz, Verordnung dan Autonome Satzung, Sehingga norma-norma yang ada di bawahnya tidak boleh bertentangan dengan norma di atasnya. Dimana prinsip itu akan mengarah pada asas-asas hukum seperti lex specialist derogat legi generalis, lex post teori derogat legi priori.[39]

Landasan dan asas-asas peraturan perundang-undangan sangat penting dalam perancangan peraturan perundang-undangan.[40] Karena hal ini akan menjadi hal pokok yang akan memberikan alur yang benar tentang bagaimana seharusnya suatu peraturan perundang-undangan dibentuk, sehingga secara materiil peraturan perundang-undangan yang dibentuk dapat memenuhi unsur-unsur dan nilai-nilai keberlakuannya sesuai dengan yang diharapkan bersama.

Paling tidak peraturan perundang-undangan yang baik sekurang-kurangnya harus memiliki tiga landasan, yakni landasan filosofis (filosofische grondslag), landasan sosiologis (sosiologische grondslag), dan landasan yuridis (juridische grondslag ).[41] Adapun mengenai pengertian dari masing-masing landasan diantaranya:

  1. Landasan filosofis (filosofische grondslag) merupakan landasan dan dasar yang berisi nilai-nilai yang baik dan yang tidak baik. Nilai yang baik adalah pandangan dan cita-cita yang dijunjung tinggi. Moral dan etika pada dasarnya berisi nilai-nilai yang baik dan yang tidak baik. Intinya hukum yang dibentuk harus mengandung nilai-nilai kebenaran, keadilan, keksusilaan, dan berbagai nilai lainnya yang dinaggap baik.
  2. Landasan sosiologis (sosiologische grondslag), suatu peraturan perundang-undangan dikatakan mempunyai landasan sosiologis apabila ketentuan-ketentuannya sesuai dengan kenyataan umum atau kesadaran hukum masyarakat. Hal ini penting agar perundang-undangan yang dibuat ditaati oleh masyarakat, tidak menjadi huruf-huruf mati belaka.[42]
  3. Landasan yuridis (juridische grondslag ) adalah landasan hukum (yudische gelding) yang menjadi dasar kewenangan (belvoegdheid, competentie) pembuatan peraturan perundang-undangan. Apakah kewenangan seorang pejabat atau badan mempunyai dasar hukum yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan atau tidak.

Sedangkan asas-asas peraturan perundang-undangan Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto memperkenalkan enam asas perundang-undangan:[43]

  1. Undang-Undang tidak berlaku surut
  2. Undang-Undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi, mempunyai kedudukan hukum yang lebih tinggi pula
  3. Undang-Undang yang bersifat khusus mengesampingkan Undang-Undang yang bersifat umum (lex specialis derogate lex generali)
  4. Undang-Undang yang berlaku belakangan membatalkan Undang-Undang yang berlaku terdahulu (lex posteori derogate lex priori)
  5. Undang-Undang tidak dapat diganggu gugat
  6. Undang-Undang sebagai sarana untuk mencapai kesejahteraan spiritual dan material bagi masyarakat maupun individu, melalui pembaharuan atau pelestarian (asas welfaarstaat)

Dalam kaitan ini Amiroedin Syarif menetapkan adanya lima asas perundang-undangan:[44]

  1. Asas tingkatan hirarki
  2. Undang-Undang tak dapat diganggu gugat
  3. Undang-Undang yang bersifat khusus menyampingkan Undang-Undang yang bersifat umum (lex specialis derogate lex generalis)
  4. Undang-Undang tidak berlaku surut
  5. Undang-Undang yag baru mengesampingkan Undang-Undang yang lama (lex posteori derogate lex priori)

Istilah perundang-undangan (legislation, wetgeving, atau gesetzgebung) dalam beberapa kepustakaan mempunyai dua pengertian yang berbeda. Dalam kamus umum yang berlaku, istilah legislation dapat diartikan dengan perundang-undangan dan pembuatan undang-undang,[45] istilah undang-undang wtgeving diterjemahkan dengan pengertian membentuk undang-undang dan keseluruhan dari pada undang-undang Negara[46], sedangkan istilah Gesetzgebung diterjemahkan dengan pengertian perundang-undangan.[47] Pengertian wetgeving dalam Juridisch woordenboek diartikan sebagai berikut :

  1. Perundang-undangan merupakan proses pembentukan atau proses membentuk peraturan Negara, baik di tingkat Pusat, maupun di tingkat Daerah.
  2. Perundang-undangan adalah segala peraturan Negara, yang merupakan hasil pembentukan peraturan, baik di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah.

Menurut Bagir Manan, pengertian peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut :

  1. Setiap keputusan tertulis yang dikeluarkan pejabat atau lingkungan jabatan yang berwenang yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat atau mengikat umum.
  2. Merupakan aturan-aturan tingkah laku yang berisi ketentuan-ketentuan mengenai hak, kewajiban, fungsi, status atau suatu tatanan.
  3. Merupakan peraturan yang mempunyai ciri-ciri umum-abstrak atau abstrak-umum, artinya tidak mengatur atau tidak ditujukan pada obyek, peristiwa atau gejala konkret tertentu.
  4. Dengan mengambil pemahaman dalam kepustakaan Belanda, peraturan perundang-undangan lazim disebut dengan wet in materiele zin, atau sering juga disebut dengan algemeen verbindende voorshrift yang meliputi antara lain: de supranationale algemeen verbindende voorshriften, wet AMvB, de Ministeriele verordening, de gemeentelijke raadsverordeningen, de provinciale staten verordeningen.[48]

Dalam Undang-Undang No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dirumuskan pula tentang kedua pengertian tersebut dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 2, yang dirumuskan sebagai berikut :[49]

  1. Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah proses pembuatan Peraturan Perundang-undangan yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan, persiapan, tehnik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan.
  2. Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga Negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum.

Walaupun Pasal 1 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 memberikan penjelasan terhadap istilah proses pembentukan peraturan perundang-undangan dan produk dari proses pembentukan peraturan perundangan. Dalam definisi tersebut, namun penulis berpendapat bahwa pengertian tersebut perlu diberikan catatan antara lain sebagai berikut :

  1. Mengenai pengertian pembentukan peraturan perundang-undangan dalam definisi tersebut terdapat hal-hal yang tidak tepat, yaitu :
  2. Penulisan kata “perumusan” dan “teknik penyusunan” adalah perumusan yang berlebihan (duplikasi), oleh karena dalam melakukan perumusan peraturan perundang-undangan setiap perancang akan selalu mengikuti tehnik penyusunan yang telah ditetapkan.
  3. Pemakaian istilah “pengesahan” dalam definisi tersebut berakibat yang dimaksud peraturan perundang-undangan hanyalah Undang-Undang, oleh karena peraturan perundang-undangan yang lain tidak memerlukan pengesahan, tetapi cukup dengan suatu penetapan. Sebaiknya dituliskan “pengesahan atau penetapan”.
  4. Pemakaian istilah “penyebarluasan” adalah tidak tepat, oleh karena penyebarluasan (sosialisasi) selama ini dilakukan setelah suatu peraturan perundang-undangan selesai dibentuk, artinya setelah disahkan atau ditetapkan dan diundangkan. Dengan demikian memasukkan kata penyebarluasan dapat berakibat peraturan perundang-undangan tersebut dianggap belum selesai proses pembentukannya, apabila seluruh masyarakat di masyarakat di Indonesia belum mengetahui keberadaan peraturan perundang-undangan tersebut.
  5. Mengenai pengertian peraturan perundang-undangan terdapat beberapa unsur, yaitu :[50]
  6. Merupakan suatu keputusan yang tertulis.
  7. Dibentuk oleh lembaga Negara atau pejabat yang berwenang.
  8. Mengikat umum

Rumusan dalam definisi tersebut tidak sepenuhnya dapat memberikan pemahaman yang tegas tentang apa yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan, oleh karena peraturan dari suatu lembaga Negara atau pejabat yang berwenang belum tentu merupakan suatu peraturan perundang-undangan.[51] Dengan perkataan lain, suatu peraturan yang tertulis tersebut dapat bersifat umum, abstrak dan berlaku terus-menerus sebagai suatu peraturan perundang-undangan atau peraturan kebijakan di bidang pemerintahan dan dapat juga sebagai peraturan yang berlaku secara intern (interne regelingen).[52] Selain itu lembaga Negara atau pejabat yang berwenang dalam definisi tersebut haruslah dibaca dengan “yang berwenang membentuk peraturan perundang-undangan”. Penegasan tersebut perlu dikemukakan oleh karena suatu lembaga Negara yang diakui oleh Undang-Undang Dasar 1945, belum tentu mempunyai wewenang membentuk peraturan perundang-undangan, misalnya Badan Pemeriksa Keuangan, Dewan Perwakilan Rakyat dan sebagainya.

Berdasarkan beberapa pengertian tersebut di atas, pembahasan ilmu di bidang Perundang-undangan akan mencakup pembahasan tentang proses pembentukan atau perbuatan membentuk peraturan Negara dan sekaligus pembahasan tentang seluruh peraturan Negara yang merupakan hasil dari pembentukan peraturan Negara, baik di Pusat maupun di Daerah.

BAB III

PEMBAHASAN

III.1. Pembentukan Undang-Undang di Indonesia

Undang-undang merupakan hukum dalam bentuk tertulis yang dibentuk menurut kewenangan membentuk undang-undang.[53] Dalam Undang-Undang Dasar 1945 kewenangan membentuk undang-undang berada pada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden. Pembentukan undang-undang adalah bagian dari pembangunan hukum yang mencakup pembangunan sistem hukum nasional dengan tujuan mewujudkan tujuan negara yang dilakukan mulai dari perencanaan atau program secara rational, terpadu dan sistematik.

Sejak bulan November 2004, proses pembuatan undang-undang yang selama ini dinaungi oleh beberapa peraturan kini mengacu pada satu undang-undang (UU) yaitu Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP). UU ini disahkan oleh Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat  pada tanggal 24 Mei 2004, akan tetapi baru berlaku efektif pada November 2004.[54]

Selain itu, proses pembuatan undang-undang yang diajukan oleh Presiden juga diatur dengan Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah dan Rancangan Peraturan Presiden ((Perpres No. 68/2005). Perpres ini dibentuk untuk melaksanakan ketentuan Pasal 18 ayat (3) dan Pasal 24 UU PPP. Pada dasarnya proses pembuatan UU setelah berlakunya UU PPP terbagi menjadi beberapa tahapan, yaitu perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan (Ketentuan Umum angka 1 UU PPP).

  1. Teknik Penyusunan

Penguasaan terhadap teknik pembentukan peraturan perundang-undangan menjadi sangat penting dalam hal ini. Teknik adalah tata cara yang sistematis dengan didahului dengan perencaan dan perhitungan yang matang.[55] Sedangkan, pembuatan undang-undang adalah suatu tindakan terencana yang bertujuan untuk membuat undang-undang. Jadi, teknik pembuatan undang-undang adalah Suatu tindakan yang sistematis dengan tata cara tertentu yang didahului oleh suatu perencanaa dan perhitungan yang matan untuk membuat undang-undang.

Dari pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa undang-undang dibentuk melalui suatu proses pemikiran dan perencanaan yang matang. Walaupun telah melalui perencanaan yang matang, namun bukan berarti membuat undang-undang tidak memiliki banyak kendala, sebab membuat rancangan undang-undang sebelum menjadi undang-undang adalah pekerjaan yang sulit. Menurut Pasal 15 Undang-undang No. 10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, Perencanaan penyusunan undang-undang dilakukan dalam suatu program legislasi nasional.

Pada masa sebelum reformasi, pembangunan hukum tertulis atau peraturan perundang-undangan dilakukan berdasarkan arahan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara.[56] Pada masa tersebut belum tergambar secara konkrit dalam dokumen hukum pembentukan peraturan perundang-undangan yang dikehendaki untuk suatu periode tertentu apalagi dalam satu tahun. Pada tahun 1999 satu langkah penting dimulai yaitu dengan membentuk Kelompok Kerja Program Legislasi Nasional yang disebut dengan POKJA PROLEGNAS, koordinatornya diserahkan kepada DPR. Tahun 2000 dibentuk Undang-Undang No. 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional/PROPENAS. Dalam UU tersebut secara tegas digunakan terminologi Program Legislasi Nasional/Prolegnas.[57] Secara defenitif Program Legislasi Nasional dirumuskan dalam Undang-Undang No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yaitu sebagai instrumen perencanaan program pembentukan peraturan perundang-undangan/undang-undang yang didukung dengan cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang meliputi semua lembaga yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan.

Undang-undang menuntut kesempurnaan dalam arti susunan, bahasa, istilah dan sebagainya agar tidak timbul ambigu dalam penerapannya. Ambigu atau ketidak jelasan arti dalam suatu undang-undang akan rentan dengan pelanggaran rasa keadilan dalam masyarakat. Padahal kebaikan public hendaknya menjadi tujuan legislator dalam membentuk undang-undang.

Undang-undang tidak dapat ditafsirkan hanya dalam bentuk formil untuk menyatakan bahwa seseorang telah melanggar undnag-undang, sebab undang-undang memiliki 2 (dua) arti, yakni; dalam arti formil dan materiil.[58] Undang-undang merupakan bagian dari peraturan perundang-undangan. Menurut Pasal 7 UU No. 10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, undang-undang memiliki kedudukan kedua dalam heirarki peraturan perundangan-undangan setelah undang-undang dasar 1945. Arti penting lahir dan eksisnya suatu undang-undang diungakapkan hans kelsen[59] sebagai berikut; Pembuatan undang-undang merupakan refleksi dari konstitusi, sebab pembentukan undang-undang merupaka pembentukan dan penerapan hukum, yang dalam arti lebih luas adalah penerapana konstitusi.

Dalam Pasal 8 butir (a) dan (b) UU No.10 Tahun 2004, dinyatakan bahwa materi muatan yang harus diatur dalam undang-undang adalah pengaturan lebih lanjut ketentuan undang-undang dasar RI dan aturan yang dibuat bedasarkan perintah undang-undang. Menurut Pasal 1 point (2) Undang-undang No.10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, undang-undang adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama presiden. Dari Pasal tersebut, jelas bahwa yang berwenang membuat undang-undang adalah Dewan perwakilan Rakyat dengan persetujuan Presiden. Artinya, ada undang-undang akan lahir dari kerjasama antara Dewan perwakilan Rakyat dengan Presiden. Salah satunya saja yang berfungsi tidak akan melahirkan undang-undang. Sebab undang-undang akan memiliki kekuatan keberlakuan jika telah memenuhi syarat formiil dan materiil.[60]

Pembentukan undang-undang dapat dilakukan dengan dua system, yakni system lengkap dan system umum.[61] Sistem lengkap adalah undang-undang dibuat dengan pasal-pasal yang lengkap, terperinci, jelas dan lebih banyak mengarah kehukuman dalam bentuk kodifikasi . Sedangkan, system umum adalah system pembutan undang-undang dengan hanya mengisi pokok-pokoknya saja, pada system umum ini, harus dibuat peraturan pelaksanaan atau aturan yang lebih rendah sebagai rincian atau penafsiran undang-undang umum.

Rancangan undang-undang dapat diajukan oleh Dewan perwakilan Rakyat ataupun presiden. Tidak ada batasan atau keharusan bahwa rancangan harus dari tangan Dewan perwakilan Rakyat. Diatur dalam Pasal 17 bahwa rancangan undang-undang baik berasal dari dewan perwakilan rakyat maupun dari presiden disusun berdasarkan program legislasi nasional. Adapun teknik pembuatan undang-undang hingga pengundangannya adalah sebagai berikut :[62]

  1. Rancangan undang-undang diajukan kepada dewan perwakilan rakyat
  2. Dewan perwakilan rakyat melakukan pembahasan rancangan undang-undang bersama presiden atau menteri yang ditugasi oleh presiden untuk melakukan pembahasan rancangan tersebut.
  3. Pembahasan dilakukan dengan tingakta-tingakat pembicaraan yang dilakukan dalam rapat komisi/ panitia/ alat kelengkapan dewan perwakilan rakyat yang khusus untuk menangani bidang legislasi dan rapat paripurna.
  4. Rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama oleh dewan perwakilan rakyat dan presiden, disampaikan oleh dewan perwakilan rakyat kepada presiden untuk disahkan menjadi undang-undang.
  5. Dalam mengesahkan undang-undang presiden membubuhkan tandatangan pada rancangan yang telah disetujui bersama dalam jangak 30 hari sejak hari persetujuan.
  6. Jika dalam jangka tersebut presiden belum menandatangani, maka rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dengan kalimat pengesahan; undang-undang ini dinyatakan sah berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (5) undang-undang dasar RI Tahun 1945, kalimat tersebut dilampirkan pada halaman belakang undang-undang yang baru disahkan.
  7. Untuk selanjutnya undang-undang tersebut wajib diundangkan dengan mencatatkannya dalam lembaran Negara RI. Hal tersebut wajib dilakukan sebab Undang-undang yang belum diundangkan belum memiliki kekuatan keberlakuan.

Tidak terlepas dari teknik pembuatan undang-undang diatas, bahwa keberlakukan undang-undang dalam masyarakat juga dipengaruhi oleh factor-faktor lain, diantaranya adalah wibawa Negara yang kerap dipermasalahkan oleh rakyat jika terjadi penyimpangan atau pelanggaran yang sangat mendasar terhadap landasan tata hukum yang dijunjung tinggi masyarakat. Wibawa dan integritas Negara disini dapat tercermin dari undang-undang yang dilahirkannya, dengan ukuran sejauh mana undang-undang tersebut memenuhi kebutuhan perlindungan dan rasa keadilan dalam masyarakat.[63] Undang- undang yang tidak berpihak pada masyarakat kerap dilanggar oleh masyarakat.

  1. Perencanaan

Perencanaan adalah proses dimana DPR dan Pemerintah menyusun rencana dan skala prioritas UU yang akan dibuat oleh DPR dalam suatu periode tertentu. Proses ini diwadahi oleh suatu program yang bernama Program  Legislasi Nasional (Prolegnas). Pada tahun 2000, Prolegnas merupakan bagian dari Program Pembangunan Nasional (Propenas) yang dituangkan dalam bentuk UU, yaitu UU No. 20 Tahun 2000.[64] Dalam UU PPP, perencanaan juga diwadahi dalam Prolegnas, hanya saja belum diatur lebih lanjut akan dituangkan dalam bentuk apa. Sedangkan ketentuan tentang tata cara penyusunan dan pengelolaan Prolegnas diatur dengan Peraturan Presiden (Perpres).

  1. RUU dari Presiden

Sebelum sebuah RUU diusulkan oleh presiden ada beberapa  tahapan yang harus dilalui, yang dalam UU PP terdiri dari tahapan persiapan, teknik penyusunan, dan perumusan. Ketiga tahapan tersebut dapat dikemas menjadi suatu istilah yang umum digunakan yaitu perancangan.

Pengaturan tahapan atau tata cara mempersiapkan RUU dalam Perpres ini terdiri atas (i) penyusunan RUU yang meliputi penyusunan RUU beradasarkan Prolegnas dan penyusunan RUU di luar Prolegnas, (ii) penyampaian RUU kepada DPR.

RUU yang berasal dari presiden disampaikan kepada pimpinan DPR dengan mengirimkan surat presiden yang disiapkan oleh Menteri Sekretaris Negara kepada pimpinan DPR disertai dengan keterangan pemerintah mengenai RUU yang dimaksud. Surat presiden tersebut setidaknya memuat (i) menteri yang ditugasi untuk mewakili presiden dalam pembahasan RUU di DPR, (ii) sifat penyelesaian RUU yang dikehendaki dan (iii) cara penanganan atau pembahasan.

  1. Penyusunan RUU

Penyusunan RUU dilakukan oleh menteri atau pimpinan lembaga pemerintah non departemen, disebut sebagai pemrakarsa, yang mengajukan usul penyusunan RUU. Penyusunan RUU dilakukan oleh pemrakarsa berdasarkan Prolegnas. Namun, dalam keadaan tertentu, pemrakarsa dapat menyusun RUU di luar Prolegnas setelah terlebih dahulu mengajukan permohonan ijin prakarsa kepada presiden. Pengajuan permohonan ijin prakarsa ini disertai dengan penjelasan mengenai konsepsi pengaturan UU yang meliputi (i). urgensi dan tujuan penyusunan, (ii). sasaran yang ingin diwujudkan, (iii). pokok pikiran, lingkup, atau objek yang akan diatur, dan (iv). jangkauan serta arah pengaturan.[65]

Sementara itu, Perpres No. 68/2005 menetapkan keadaan tertentu yang memungkinkan pemrakarsa dapat menyusun RUU di luar Prolegnas yaitu (a). menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi Undang-Undang; (b). meratifikasi konvensi atau perjanjian internasional; (c). melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi; (d). mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik atau bencana alam; atau (e).[66] keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu RUU yang dapat disetujui bersama oleh Badan Legislasi DPR dan menteri yang mempunyai tugas dan tanggung jawab di bidang peraturan perundang-undangan.

Dalam hal RUU yang akan disusun masuk dalam Prolegnas maka penyusunannya tidak memerlukan persetujuan ijin prakarsa dari presiden. Pemrakarsa dalam menyusun RUU dapat terlebih dahulu menyusun naskah akademik mengenai materi yang akan diatur. Penyusunan naskah akademik dilakukan oleh pemrakarsa bersama-sama dengan departemen yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan. Saat ini departemen yang mempunyai tugas dan tanggung jawab dibidang peraturan perundang-undangan adalah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Dephukham).[67] Selanjutnya, pelaksanaan penyusunan naskah akademik dapat diserahkan kepada perguruan tinggi atau pihak ketiga lainnya yang mempunyai keahlian.

  1. Penyusunan RUU berdasarkan Prolegnas

Proses ini diawali dengan pembentukan panitia antar departemen oleh pemrakarsa. Keanggotaan panitia ini terdiri atas unsur departemen dan lembaga pemerintah non departemen yang terkait dengan substansi RUU. Panitia ini akan dipimpin oleh seorang ketua yang ditunjuk oleh pemrakarsa. Sementara itu, sekretaris panitia antar departemen dijabat oleh kepala biro hukum atau kepala satuan kerja yang emnyelenggarakan fungsi di bidang perundang-undangan pada lembaga pemrakarsa.[68]

Dalam setiap panitia antar departemen diikutsertakan wakil dari Dephukham untuk melakukan pengharmonisasian RUU dan teknis perancangan perundang-undangan. Panitia antar departemen menitikberatkan pembahasan pada permasalahan yang bersifat prinsipil mengenai objek yang akan diatur, jangkauan dan arah pengaturan. Sedangkan kegiatan perancangan yang meliputi penyiapan, pengolahan dan perumusan RUU dilaksanakan oleh biro hukum atau satuan kerja yang menyelenggarakan fungsi di bidang peraturan perundang-undangan pada lembaga pemrakarsa.

Hasil perancangan selanjutnya disampaikan kepada panitia antar departemen untuk diteliti kesesuaiannya dengan prinsip-prinsip yang telah disepakati.[69] Dalam pembahasan RUU di tingkat panitia antar departemen, pemrakarsa dapat pula mengundang para ahli dari lingkungan perguruan tinggi atau organisasi di bidang sosial politik, profesi dan kemasyarakatan lainnya sesuai dengan kebutuhan dalam penyusunan RUU.

Selama penyusunan, ketua panitia antar departemen melaporkan perkembangan penyusunan dan/atau permasalahan kepada pemrakarsa untuk memperoleh keputusan atau arahan. Ketua panitia antar departemen menyampaikan rumusan akhir RUU kepada pemrakarsa disertai dengan penjelasan. Selanjutnya dalam rangka penyempurnaan pemrakarsa dapat menyebarluaskan RUU kepada masyarakat.

Pemrakarsa menyampaikan RUU kepada menteri yang mempunyai tugas dan tanggung jawab di bidang peraturan perundang-undangan yang saat ini dilakukan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menhukham) dan menteri atau pimpinan lembaga terkait untuk memperoleh pertimbangan dan paraf persetujuan.  Pertimbangan dan paraf persetujuan dari Menhukham diutamakan pada harmonisasi konsepsi dan teknik perancangan perundang-undangan. Pertimbangan dan paraf persetujuan diberikan paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak RUU diterima.[70]

Apabila pemrakarsa melihat ada perbedaan dalam pertimbangan yang telah diterima maka pemrakarsa bersama dengan Menhukham menyelesaikan perbedaan tersebut dengan menteri/pimpinan lembaga terkait. Apabila upaya penyelesaian tersebut tidak berhasil maka Menhukham melaporkan hal tersebut secara tertulis kepada presiden untuk memperoleh keputusan. Selanjutnya, perumusan ulang RUU dilakukan oleh pemrakarsa bersama-sama dengan Menhukham.

Dalam hal RUU tidak memiliki permasalahan lagi baik dari segi substansi maupun segi teknik perancangan perundang-undangan maka pemrakarsa mengajukan RUU tersebut kepada presiden untuk disampaikan kepada DPR. Namun, apabila presiden berpendapat RUU masih mengandung permasalahan maka presiden menugaskan kepada Menhukham dan pemrakarsa untuk mengkoordinasikan kembali penyempurnaan RUU tersebut dan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterima penugasan maka pemrakarsa harus menyampaikan kembali RUU kepada presiden.

  1. Penyusunan RUU diluar Prolegnas

Pada dasarnya Proses penyusunan RUU diluar Prolegnas sama dengan penyusunan RUU berdasarkan Prolegnas. Hanya saja, dalam menyusun RUU diluar prolegnas ada tahapan awal yang wajib dijalankan sebelum masuk dalam tahapan penyusunan undang-undang sebagaimana diuraikan sebelumnya. Tahapan awal ini dimaksudkan untuk melakukan pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi RUU yang telah disiapkan oleh pemrakarsa. Proses ini dilakukan melalui metode konsultasi antara pemrakarsa dengan Menhukham.[71]

Selanjutnya, untuk kelancaran pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi RUU Menhukham mengkoordinasikan pembahasan konsepsi tersebut dengan pejabat yang berwenang mengambil keputusan, ahli hukum dan/atau perancang peraturan perundang-undangan dari lembaga pemrakarsa dan lembaga terkait lainnya. Proses ini juga dapat melibatkan perguruan tinggi dan/atau organisasi.

Apabila koordinasi tersebut tidak berhasil maka Menhukham dan pemrakarsa melaporkan kepada presiden disertai dengan penjelasan mengenai perbedaan pendapat atau pandangan yang muncul. Pelaporan kepada presiden ini ditujukan untuk mendapatkan keputusan atau arahan yang sekaligus merupakan izin prakarsa penyusunan RUU.

Namun, apabila koordinasi yang bertujuan melakukan pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi RUU tersebut berhasil maka pemrakarsa menyampaikan konsepsi RUU tersebut kepada presiden untuk mendapat persetujuan. Selanjutnya, apabila presiden menyetujui maka pemrakarsa membentuk panitia antar departemen.

Tacara pembentukan panitia antar departemen dan penyusunan RUU dilakukan sesuai dengan tahapan penyusunan RUU berdasarkan Prolegnas yang telah diuraikan sebelumnya.

  1. Penyampaian RUU Kepada DPR

RUU yang telah disetujui oleh Presiden disampaikan kepada DPR untuk dilakukan pembahasan. Proses ini diawali dengan penyampaian surat presiden yang disiapkan oleh Menteri Sekretaris Negara kepada pimpinan DPR guna menyampaikan RUU disertai dengan keterangan pemerintah mengenai RUU yang dimaksud. [72]

  1. RUU dari DPR

DPD berhak mengajukan RUU yang berhubungan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah.

Untuk mengajukan sebuah RUU, pimpinan DPD menyampaikan kepada ketua DPR RUU beserta naskah akademisnya, apabila tidak ada naskah akademis dari RUU yang bersangkutan, maka cukup menyampaikan keterangan atau penjelasannya.

Dalam rapat paripurna berikutnya setelah RUU diterima oleh DPR, ketua rapat menyampaikan kepada anggota tentang masuknya RUU dari DPD, RUU tersebut kemudian dibagikan kepada seluruh anggota. Selanjutnya DPR akan menugaskan Baleg  atau Komisi untuk membahas RUU tersebut bersama DPD. Paling lambat 15 (lima belas) hari sejak ditugaskan, Komisi atau Baleg yang telah ditunjuk mengundang alat kelengkapan DPD untuk membahas RUU tersebut.[73]

Sebelum sampai pada usul inisiatif DPR, ada beberapa badan yang biasanya melakukan proses penyiapan suatu RUU. Sebagai ilustrasi, RUU Komisi Anti Korupsi dipersiapkan oleh Fraksi PPP, sedangkan pada RUU Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (TCP3) dipersiapkan oleh tim asistensi Baleg (Badan Legislasi).

Di samping itu ada beberapa badan lain yang secara fungsional memiliki kewenangan untuk mempersiapkan sebuah RUU yang akan menjadi usul inisiatif DPR. Badan-badan ini adalah Pusat Pengkajian Pelayanan Data dan Informasi (PPPDI) yang bertugas melakukan penelitian atas substansi RUU dan tim perancang sekretariat DPR yang menuangkan hasil penelitian tersebut menjadi sebuah rancangan undang-undang.

Dalam menjalankan fungsi sebagai penggodok RUU, baik Baleg maupun tim ahli dari fraksi memiliki mekanisme sendiri-sendiri. Baleg misalnya, di samping melakukan sendiri penelitian atas beberapa rancangan undang-undang, juga bekerjasama dengan berbagai universitas di beberapa daerah di Indonesia. Untuk satu RUU biasanya Baleg akan meminta tiga universitas untuk melakukan penelitian dan sosialisasi atas hasil penelitian tersebut.

Baleg juga banyak mendapatkan draft RUU dari masyarakat sipil, misalnya RUU tentang Kebebasan Memperoleh Informasi dari ICEL (Indonesian Center for Enviromental Law), RUU tentang Kewarganegaraan dari GANDI (Gerakan Anti Diskriminasi) dan RUU Ketenagakerjaan dari Kopbumi. Bagi masyarakat sipil, pintu masuk suatu usulan mungkin lebih terlihat “netral” bila melalui Baleg ketimbang melalui fraksi, karena terkesan tidak terafiliasi dengan partai apapun.[74]

Sedangkan PPPI yang memiliki 43 orang peneliti, lebih banyak berfungsi membantu pihak Baleg maupun sekretariat guna mempersiapkan sebuah rancangan peraturan perundang-undangan maupun dalam memberikan pandangan atas RUU yang sedang dibahas. Selain itu PPPDI sering juga melakukan riset untuk membantu para anggota DPR dalam melakukan tugas mereka, baik itu untuk fungsi legislasi, pengawasan, maupun budgeter.

Pada tingkat fraksi penyusunan sebuah RUU dimulai dari adanya amanat muktamar partai. Kemudian fraksi tersebut membentuk tim pakar yang merancang RUU tersebut berdasarkan masukan masyarakat melalui DPP maupun DPD partai.

Pengusulan oleh DPR dapat dilakukan melalui beberapa pintu, yaitu :[75]

  1. Badan Legislasi
  2. Komisi
  3. Gabungan komisi
  4. Tujuh belas orang anggota

Usul RUU yang diajukan oleh Baleg, Komisi, Gabungan Komisi ataupun anggota diserahkan kepada pimpina DPR beserta dengan keterangan pengusul atau naskah akademis. Dalam rapat paripurna selanjutnya, pimpinan sidang akan mengumumkan kepada anggota tentang adanya RUU yang masuk, kemudian RUU tersebut dibagikan kepada seluruh anggota. Rapat paripurna akan memutuskan apakah RUU tersebut secara prinsip dapat diterima sebagai RUU dari DPR. Sebelum keputusan diiterima atau tidaknya RUU, diberikan kesempatan kepada fraksi-fraksi untuk memberikan pendapat.

Keputusan rapat paripurna terhadap suatu usul RUU dapat berupa:

  1. Persetujuan tanpa perubahan
  2. Persetujuan dengan perubahan
  3. Penolakan

Apabila usul RUU disetujui dengan perubahan, maka DPR akan menugaskan kepada Komisi, Baleg ataupun Panitia Khusus (Pansus) untuk menyempurnakan RUU tersebut.

Namun, apabila RUU disetujui tanpa perubahan atau RUU telah selesai disempurnakan oleh Komisi, Baleg ataupun Pansus maka RUU tersebut disampaikan kepada presiden dan pimpinan DPD (dalam hal RUUyang diajukan berhubungan dengan kewenangan DPD). Presiden harus menunjuk seorang menteri yang akan mewakilinya dalam pembahasan, paling lambat 60 hari setelah diterimanya surat dari DPR. Sedangkan DPD harus menunjuk alat kelengkapan yang akan mewakili dalam proses pembahasan.

  1. RUU dari DPD

Sebagai lembaga legislatif baru, DPD[76] sedang dalam masa untuk membangun sistem perancangan dan pembahasan RUU yang baik dan efektif. Di awal masa jabatan ini, DPD banyak mengadopsi sistem yang dipakai oleh DPR. Untuk merancang sebuah RUU mereka menyerahkan kepada individu atau panitia yang akan mengusulkannya. Hanya saja saringanya ada pada, Rapat Paripurna DPD yang akan mengesahkan apakah sebuah RUU bisa atau tidak diajukan menjadi usul DPD kepada DPR.

Usul RUU boleh diusulkan oleh Panitia Perancang Undang-undang (PPU) atau Panitia Ad Hoc. Sedangkan Usul Pembentukan RUU dapat diajukan oleh sekurang-kurangnya ¼ jumlah anggota DPD. Usul pembentukan RUU harus dilengkapi dengan latar belakang, tujuan dan pokok-pokok pikiran serta daftar nama, nama provinsi dan tanda tangan pengusul. Baik Usul RUU maupun Usul Pembentukan RUU disampaikan kepada PPU.

Selanjutnya pimpinan PPU akan menyampaikan Usul RUU atau Usul Pembentukan RUU kepada pimpinan DPD. Pada sidang paripurna DPD berikutnya pimpinan sidang harus memberitahukan kepada anggota tentang masuknya Usul RUU atau Usul Pembentukan RUU, yang selanjutnya harus dibagikan kepada seluruh anggota.[77] Sidang Paripurna memutuskan apakah Usul RUU atau Usul Pembentukan RUU tersebut diterima, ditolak atau diterima dengan perubahan. Keputusan untuk menerima atau menolak harus terlebih dahulu memberi kesempatan kepada pengusul untuk memberi penjelasan, anggota juga diberi kesempatan untuk memberikan pendapat.

Apabila Usul RUU atau Usul Pembentukan RUU diterima dengan perbaikan maka, DPD menugaskan PPU untuk membahas dan menyempurnakan Usul RUU atau Usul Pembentukan RUU tersebut.

Usul RUU atau Usul Pembentukan RUU yang telah disetujui menjadi usul DPD selanjutnya di ajukan kepada pimpinan DPR.

DPD berhak mengajukan RUU yang berhubungan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Untuk mengajukan sebuah RUU, pimpinan DPD menyampaikan kepada ketua DPR RUU beserta naskah akademisnya, apabila tidak ada naskah akademis dari RUU yang bersangkutan, maka cukup menyampaikan keterangan atau penjelasannya.

Dalam rapat paripurna berikutnya setelah RUU diterima oleh DPR, ketua rapat menyampaikan kepada anggota tentang masuknya RUU dari DPD, RUU tersebut kemudian dibagikan kepada seluruh anggota. Selanjutnya DPR akan menugaskan Baleg  atau Komisi untuk membahas RUU tersebut bersama DPD. Paling lambat 15 (lima belas) hari sejak ditugaskan, Komisi atau Baleg yang telah ditunjuk mengundang alat kelengkapan DPD untuk membahas RUU tersebut.

  1. Pembahasan RUU

Pembahasan RUU terdiri dari dua tingkat pembicaraan, tingkat pertama dalam rapat komisi, rapat Baleg ataupun Pansus. Sedangkan pembahasan tingkat dua dalam rapat paripurna DPR.

Pembicaraan tingkat satu dapat dilakukan dengan urutan sebagai berikut:[78]

  1. Pandangan fraksi-fraksi atau pandangan fraksi-fraksi dan DPD apabila RUU berkaitan dengan kewenangan DPD. Hal ini bila RUU berasal dari presiden. Sedangkan bila RUU berasal dari DPR, pembicaraan tingkat satu didahului dengan pandangan dan pendapat presiden atau pandangan presiden dan DPD dalam hal RUU berhubungan dengan kewenangan DPD.
  2. Tanggapan presiden atas pandangan fraksi atau tanggapan pimpinan alat kelengkapan DPR atas pandangan presiden.
  3. Pembahasan RUU oleh DPR dan presiden berdasarkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)

Dalam pembicaraan tingkat satu dapat juga dilakukan:

  1. Rapat Dengar Pendapat Umum(RDPU)
  2. Mengundang pimpinan lembaga negara atau lembaga lain apabila materi RUU berhubungan dengan lembaga negara lain
  3. Diadakan rapat intern

Pembicaraan dua, adalah pengambilan keputusan dalam rapat paripurna yang didahului oleh:[79]

  1. laporan hasil pembicaraan tingkat I
  2. pendapat akhir fraksi
  3. pendapat akhir presiden yang disampaikan oleh menteri yang mewakilinya. Perpes No. 68/2005 mengatur bahwa Pendapat akhir pemerintah dalam  pembahasan RUU di DPR disampaikan oleh menteri yang mewakili presiden setelah terlebih dahulu melaporkannya kepada presiden.

Selama pembahasan RUU di DPR, menteri yang mewakili presiden wajib melaporkan perkembangan dan permasalahan yang dihadapi kepada presiden untuk memperoleh keputusan dan arahan. Apabila terdapat masalah yang bersifat prinsipil dan arah pembahasannya akan mengubah isi serta arah RUU maka menteri yang terlibat dalam pembahasan wajib terlebih dahulu melaporkannya kepada presiden disertai dengan saran pemecahan untuk memperoleh keputusan.

Menteri yang ditugasi membahas RUU di DPR segera melaporkan RUU telah disetujui atau tidak disetujui oleh DPR. Selanjutnya apabila RUU tersebut tidak mendapat persetujuan bersama presiden dan DPR maka RUU tersebut tidak dapat diajukan kembali pada masa sidang yang sama.

Setelah disetujui dalam rapat paripurna, sebuah RUU akan dikirimkan kepada Sekretariat Negara untuk ditandatangani oleh presiden, diberi nomor dan diundangkan.[80]

III.2. Mewujudkan Good Governance dalam Pembentukan Undang-Undang

Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, maka tidak akan terlepas dari suatu kepentingan politik.[81] Sebagai sebuah proses politik yang tidak lepas dari berbagai kepentingan, pembentukan perundang-undangan dalam artian sebagai produk legislatif, partisipasi publik yang lebih intensif dalam seluruh rangkaian prosesnyai merupakan media yang paling efektif dalam rangka meminimalisir interfensi kepentingan pihak tertentu dan meminimalisir adanya produk hukum yang justru mengesampingkan kepentingan publik dan serta “melenceng” dari arah pembangunan hukum nasional dan tidak sesuai dengan sistem negara hukum Indonesia. Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang pembentukan Peraturan Perundang-Undangan disusun sebagai guideline bagi legislator dalam konteks proses dan substansi untuk memastikan bahwa produk hukum yang dihasilkan dapat selaras dengan tujuan pembangunan hukum di Indonesia dan tidak keluar dari kerangka sistem negara hukum Indonesia.[82]

Pembentukan kebijakan publik tidak dapat dilepaskan dari aspek politik hukum dan demokrasi. Untuk mengaliminasi tindakan penguasa dalam menjalankan niatan politiknya agar tidak terjebak pada kategori negara kekuasaan (machtssaat) maka segala kebijakan publik harus dikemas dalam produk hukum sehingga dapat dikategorikan sebagai negara hukum (reachtstaat).[83]

Kedudukan penguasa cukup kuat, sedangkan disisi lain, rakyat dalam posisi yang relatif lemah. Dengan kondisi yang demikian, secara konseptual pertanyaan yang muncul adalah apakah rakyat dapat berpeluang untuk mengkritisi dan berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan publik.

Merespon realitas politik yang terjadi pada proses pembentukan peraturan perundang-undangan dan memastikan bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan sesuai dengan arah pembangunan hukum nasional, maka disusunlah Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan perundang-Undangan Republik Indonesia. Undang-undang ini dibuat dalam rangka memberikan guidline dan metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat bagi semua lembaga yang berwenang membuat peraturan perundang undangan.[84]

Sebagai sebuah proses politik yang tidak lepas dari berbagai kepentingan, proses penentuan perundang-undangan dalam artian sebagai produk legislatif, maka partisipasi publik dalam seluruh rangkaian proses ini merupakan media yang dirasa paling efektif dalam rangka meminimalisir masukanya kepentingan pihak tertentu dan mengesampingkan kepentingan publik dan arah pembangunan hukum Indonesia.[85] Pertanyaannya kemudian apakah Undang-Undang U Nomor 10 tahun 2004 dapat memastikan hal tersebut.

Mengenai intervensi politik terhadap hukum, dapat digambarkan melalui tesis Prof. Dr. Mahfud MD, SH., SU. yang menyatakan intervensi politik atas hukum akan berpengaruh terhadap karakter produk hukum, yakni:[86]

     Variable Bebas                                 Variabbel Terpengaruh

 

 

 

Paska lahirnya UU P3 (pembuatan peraturan perundangan), peranan DPR sebagai lembaga legislatif semakin dikuatkan. Berbeda pada masa sebelumnya, UU P3 lebih memberikan kewenangan luas kepada DPR untuk membuat peraturan perundangan. Walaupun hak-hak yang dimiliki DPR tidaklah jauh berbeda dari masa sebelumnya, adanya iklim politik yang lebih baik dan pengaturan prosesdural yang lebih baik melalui UU P3 membuat DPR didorong semakin mampu menjadi representasi rakyat dalam pengambilan keputusan. Dalam UU P3 no 10 tahun 2004, lahirlah mekanisme persetujuan bersama yang memiliki keberpihakan kepada DPR. Berbagai peluang tersebut memungkinkan perpindahan kekuasaan pembentukan perundang-undangan dari elite kepada masyarakat.[87]

Partisipasi masyarakat disitu menjadi penting, demi terciptanya sebuah Undang-Undang yang memenuhi unsur-unsur Good Gevernance. Partisipasi merupakan sistem yang berkembang dalam sistem politik modern. Penyediaan ruang publik atau adanya partisipasi masyarakat merupakan  tuntutan yang mutlak sebagai upaya demokratisasi.[88] Masyarakat sudah semakin sadar akan hak-hak politiknya. Pembuatan peraturan perundang-undangan, tidak lagi semata-mata menjadi wilayah dominasi birokrat dan parlemen. Meskipun partisipasi masyarakat ini terlalu ideal dan bukan jaminan bahwa suatu undang-undang yang dihasilkannya akan dapat berlaku efektif di masyarakat, tetapi setidak-tidaknya langkah partisipatif yang ditempuh oleh lembaga legislatif dalam setiap pembentukan undang-undang, diharapkan dapat lebih mendorong masyarakat dalam menerima hadirnya suatu undang-undang.[89]

Keberadaan partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan UU sangat penting dalam mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan melalui perangkat UU. Demikian juga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai pemegang legislasi, dituntut untuk membuka pintu yang seluas-luasnya dalam persoalan partisipasi, apabila disepakati bahwa reformasi politik di Indonesia merupakan tahapan untuk menuju demokratisasi. Karena anggota DPR merupakan perwujudan representasi politik rakyat yang harus peka kepada aspirasi publik yang telah memilihnya.[90]

Model-Model Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukan UU

Partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan undang-undang pada dasarnya dapat dilakukan dalam berbagai model pilihan partisipasi sesuai dengan tingkat perkembangan politik suatu negara.[91] Partisipasi masyarakat ini akan tergantung dari kesadaran masyarakat dalam tatanan kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Untuk memberikan kejelasan lebih lanjut tentang pendekatan ini, menarik untuk disimak uraian penulis dalam buku ini berkaitan dengan adanya pemahaman terhadap masing-masing model partisipasi publik tersebut adalah sebagai berikut:

  • Model Pertama :  Pure Representative Democracy

Dalam model partisipasi publik yang pertama ini, sifat partisipasi masyarakatnya masih “pure” atau murni.[92] Artinya, rakyat selaku warga negara dalam suatu negara demokrasi  keterlibatannya dalam pengambilan keputusan publik dilakukan oleh wakil-wakil yang dipilih melalui pemilihan umum untuk duduk dalam lembaga perwakilan. Dalam hal ini, masyarakat hanya tinggal menerima saja apa yang akan diproduk oleh legislatur dalam pembentukan UU.

  • Model Kedua : A Basic Model of Public Participation

Dalam model yang kedua ini digambarkan bahwa rakyat telah melakukan interaksi keterlibatannya dalam proses pengambilan keputusan, tidak hanya melalui pemilihan umum tetapi dalam waktu yang sama juga melakukan kontak dengan lembaga perwakilan.[93] Meskipun demikian model partisipasi ini belum dapat dikatakan sebagai bentuk dan hakekat interaksi yang sebenarnya.

  • Model Ketiga : A Realism Model of  Public Participation

Dalam model pilihan yang ketiga ini, public participation pelaku-pelakunya cenderung dilakukan dan didominasi oleh adanya kelompok-kelompok kepentingan dan organisasi-organisasi lainnya yang diorganisir. Publik, selain ikut dalam pemilihan umum juga melakukan interaksi dengan lembaga perwakilan.[94] Akan tetapi  tidak semua warga negara melakukan public participation dalam bentuk membangun kontak interaksi dengan lembaga perwakilan. Pelaku-pelaku public participation telah mengarah pada kelompok-kelompok kepentingan dan organisasi-organisasi lainnya yang diorganisir. Dengan demikian terdapat kecenderungan untuk memahami “public” dalam konteks yang terbatas.

  • Model Keempat : The Possible Ideal for South Africa

Model alternatif yang diperkenalkan sebagai bentuk keempat dari berbagai partisipasi masyarkat ini, merupakan perluasan dalam memasukkan tiga kelompok partisipan, yaitu : those who are organized and strong; those who are organized but weak; and those who are weak and unorganized.[95] Dengan menerapkan model ini, pemerintah dapat mengembangkan visi strategis yang dapat ditujukan kepada ketiga kelompok tersebut secara bersama-sama. Dalam model ini, pada gilirannya memunculkan dua tambahan dimensi yaitu: a) dimensi peranan partai-partai politik dan partai mayoritas; b) dimensi hubungan perwakilan dengan eksekutif.

Melalui tulisan ini penulis mencoba menawarkan model ideal partisipasi masyarakat dalam pembentukan UU untuk diterapkan di Indonesia. Afrika Selatan[96] dan Indonesia termasuk dalam negara yang sedang  memasuki masa transisi dari cengkeraman otoritarian menuju negara demokrasi modern, kondisi sosial politiknya pun tidak jauh berbeda. Untuk itu, model partisipasi masyarakat yang diterapkan di Afrika Selatan dalam proses pembentukan UU di atas dapat diadopsi di Indonesia.

Pengadopsian ini didukung pula oleh kenyataan bahwa setelah reformasi 1998 proses pembentukan UU di Indonesia melibatkan Pemerintah, DPR, LSM, pakar & pengamat, kelompok profesional, perguruan tinggi, dan organisasi kemasyarakatan. Pada dasarnya hal tersebut adalah suatu bentuk ideal dalam proses pembentukan UU yang partisipatif  guna melahirkan UU yang responsif.[97]

Selain terdapat faktor pendukung, terdapat pula faktor penghambat dalam mewujudkan proses pembentukan UU yang partisipatif secara ideal di Indonesia.  UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP)  tidak mengatur lebih lanjut tentang partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan UU. Pasal 53 UU PPP hanya mengatur hak untuk memberikan masukan  bersecara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan RUU dan rancangan Perda. Peraturan Tata Tertib DPR yang mengatur khusus masalah partisipasi masyarakat[98] terdapat dalam Pasal 139 sampai dengan 141. Tetapi, keterlibatan partisipasi masyarakat masih belum seperti yang diinginkan. Artinya, partisipasi masyarakat masih sebatas pada didengar dalam RDPU-RDPU, dan belum memasuki wilayah pada rapat-rapat yang secara intens membahas materi RUU dalam  Komisi/PANSUS maupun Panitia Kerja. Hal ini disebabkan tidak adanya perangkat peraturan yang memberikan peluang bagi masyarakat untuk dapat terlibat dan mengakses secara langsung perdebatan yang terjadi di Komisi/PANSUS maupun Panitia Kerja. Oleh karena itu, faktor penghambat ini perlu diatasi dengan membuat perangkat peraturan perundang-undangan yang memadahi. Sebab, pembentukan UU yang diletakkan dalam konteks sosial masyarakat  ternyata lebih mampu mendorong terwujudnya produk  UU yang  responsif. Dengan demikian dari aspek sosiologi perundang-undangan, UU bukan sekedar keputusan politik semata dari lembaga perwakilan, tetapi lebih merupakan penataan dan endapan konflik nilai dan kepentingan yang diformulasikan oleh lembaga legislatif.[99]

Proses pembentukan UU di era reformasi dapat dilihat dalam empat aspek, yaitu: aspek kelembagaan, aspek masyarakat, aspek pengaturan dan aspek pembahasan. Adanya empat aspek tersebut, secara bersama-sama telah mendorong proses pembentukan UU di era reformasi yang melahirkan adanya transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas yang pada gilirannya bermuara pada demokratisasi dalam pembentukan UU. Oleh karena itu, proses pembentukan UU di era reformasi telah menghasilkan produk UU-meskipun belum sepenuhnya- yang mendekati rasa keadilan dalam masyarakat.

Seiring dengan dibukanya kran demokrasi dan meningkatnya partisipasi masyarakat di era reformasi dalam mengatur tatanan kehidupan ketatanegaraan, permohonan uji materiil atau judicial review[100] undang-undang terhadap UUD 1945 ke lembaga peradilan Mahkamah Konstitusi pun mengalami peningkatan yang cukup signifikan.

Dalam hal titik-titik Partisipasi Publik dalam pembentukan peraturan Perundang-Undangan, atau dimana masyarakat dalam hal ini dapat melakukan partisipasi digambarkan melalui gambar berikut :

Tabel 1
Titik-Titik Partisipasi Publik dalam Peraturan Perundang-Undangan

NO PERATURAN PASAL ISI
01 UU 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal 53 Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan undang-undang dan rancangan peraturan daerah
02 UU 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD Pasal 153 ayat (1), (2), dan (3) (1) Dalam penyiapan dan pembahasan rancangan undang-undang, termasuk pembahasan rancangan undangundang tentang APBN, masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis kepada DPR melalui pimpinan DPR dan/atau alat kelengkapan DPR lainnya. (2) Anggota atau alat kelengkapan DPR yang menyiapkan atau membahas rancangan undang-undang dapat melakukan kegiatan untuk mendapat masukan dari masyarakat. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penerimaan masukan dan penyerapan aspirasi dari masyarakat dalam penyiapan dan pembahasan rancangan undang-undang diatur dengan peraturan DPR tentang tata tertib.
02 Perpres 68/2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden Pasal 10 ayat (5) Dalam pembahasan RUU di tingkat Panitia Antardepartemen, Pemrakarsa dapat pula mengundang para ahli dari lingkungan perguruan tinggi atau organisasi di bidang sosial, politik, profesi, dan kemasyarakatan lainnya sesuai dengan kebutuhan dalam penyusunan RUU
03 Perpres 68/2005 Pasal 13 (1) Dalam rangka penyempurnaan Rancangan Undang-Undang.., Pemrakarsa dapat menyebarluaskan RUU kepada masyarakat; (2) Hasil penyebarluasan dijadikan bahan oleh Panitia Antardepartemen untuk penyempurnaan RUU.
04 Perpres 68/2005 Pasal 22 (1) Untuk kelancaran pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU, Menkum HAM mengkoordinasikan pembahasan konsepsi tersebut dengan pejabat yang berwenang mengambil keputusan, ahli hukum, dan/atau perancang peraturan perundang-undangan dari lembaga Pemrakarsa dan lembaga terkait lainnya; (2) Apabila dipandang perlu, koordinasi dapat pula melibatkan perguruan tinggi dan atau organisasi di bidang sosial, politik, profesi, dan kemasyarakatan lainnya.
05 Peraturan DPR 1/2009 tentang Tata Tertib DPR (Tatib DPR 2009) Pasal 204 (1) Badan Legislasi dalam menyusun Prolegnas di lingkungan DPR dilakukan dengan mempertimbangkan usulan dari fraksi, komisi, DPD, dan/atau masyarakat; (6) Usulan dari masyarakat disampaikan kepada pimpinan Badan Legislasi.
06 Tatib DPR 2009 Pasal 105 Dalam penyusunan Prolegnas, Badan Legislasi dapat mengundang pimpinan fraksi, pimpinan komisi, pimpinan alat kelengkapan DPD yang khusus menangani bidang legislasi, dan/atau masyarakat
07 Tatib DPR 2009 Pasal 106 ayat (8) Dalam pembahasan Prolegnas, penyusunan daftar RUU didasarkan atas h. mengakomodasi aspirasi masyarakat.
08 Tatib DPR 2009 Pasal 107 Prolegnas disampaikan kepada Presiden, DPD, dan masyarakat (oleh Baleg dan Menkum HAM) melalui media cetak, media elektronik, dan/atau media lainnya.
09 Tatib DPR 2009 Pasal 114 Dalam penyusunan RUU, anggota, komisi, gabungan komisi, atau Badan Legislasi dapat meminta masukan dari masyarakat sebagai bahan bagi panja untuk menyempurnakan konsepsi RUU.
10 Tatib DPR 2009 Pasal 126 Dalam hal diperlukan masukan untuk penyempurnaan RUU, komisi, gabungan komisi, Badan Legislasi, atau pansus dapat mengadakan RDPU.

Selain titik tersebut diatas, juga dapat disimpulkan mengenai masalah-masalah yang dihadapi masyarakat dalam berpartisipasi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, adalah sebagai berikut :

Tabel 2
Identifikasi Masalah-Masalah Partisipasi Publik

  IDENTIFIKASI KENDALA PARTISIPASI PUBLIK 
UU 10/2004 hanya menyebut partisipasi publik di ranah legislative
Hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembentukan undang-undang tidak disertai dengan kewajiban DPR/pemerintah, baik dalam undang-undang maupun peraturan di bawah undang-undang
DPR dan pemerintah tidak menggunakan kata yang ‘imperatif’ dalam hal partisipasi publik
Pemahaman dan pelaksanaan UU KIP yang masih terbatas
Tidak jelasnya tugas dan tanggung jawab institusi pemerintah yang terlibat dalam proses pembuatan undang-undang (misalnya soal tanggung jawab menyediakan RUU yang diperlukan)
Belum tersedianya website perundang-undangan yang terpadu (one stop service)
Belum tersosialisasinya secara baik media yang ada (terutama website)
Budaya birokrasi yang ‘takut’ dan ‘tidak melayani’ yang menyebabkan masyarakat sulit mendapatkan RUU yang sedang dalam taraf penyusunan
Kompetisi’ di antara institusi pemerintah, bahkan di antara pejabat eselon satu
Budaya antikritik: kritik tidak dianggap sebagai partisipasi, tetapi pernyataan ketidaksetujuan. Sering mereka yang mengkritik tidak diundang
Terlalu banyaknya undang-undang yang tercantum dalam prolegnas (prioritas 2010 sebanyak 70 RUU), padahal tidak semua hal harus diatur dengan undang-undang

Melalui masalah-masalah yang diungkapkan diatas, maka dapat ditawarkan solusi-solusi yang menurut penulis relative efektif dalam mencari solusi masalah dibidang partisipasi public dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, diantaranya:

Tabel 3
Alternatif Solusi terhadap Masalah-Masalah Partisipasi Publik

ALTERNATIF SOLUSI KENDALA PARTISIPASI PUBLIK
Memasukkan ketentuan tentang kewajiban legislatif dan eksekutif dalam hal partisipasi publik
Menetapkan perpres yang berisi kewajiban dan petunjuk teknis bagi institusi pemerintah bagi partisipasi masyarakat dalam penyusunan RUU inisiatif pemerintah
Pemahaman dan pendalaman UU KIP kepada institusi-institusi pemerintah
Membangun website perundang-undangan tersendiri, yang menampung seluruh peraturan, rancangan peraturan, termasuk rancangan peraturan yang belum final
Membangun online system kementerian perundang-undangan dengan biro-biro hukum di kementerian lain dan LPND
Pembagian tugas dan tanggung jawab yang jelas di institusi pemerintahan menyangkut kewajiban melibatkan partisipasi publik dalam penyusunan RUU


BAB IV

PENUTUP

III.1. Kesimpulan

  1. Bahwa yang dapat mengajukan rancangan Undang-Undang adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Presiden (Pemerintah).
  2. Bawa upaya menciptakan good governance dalam pembentukan Undang-Undang maka diperlukan beberapa hal, (1) Partisipasi masyarakat, (2) penguatan pengetahuan di bidang legislasi, (3) Menghindari kepentingan kelompok politik tertentu, (4) Sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, dan (5) Judicial Rewiew

III.2. Saran

  1. Bahwa diharapkan fungsi legislasi dapat berjalan sesuai fungsi legislasi yang sebenarnya, yakni peran dan fungsi DPR/DPD lebih optimal dalam melakukan agenda pembentukan Undang-Undang, mengingat selama ini agenda Program Legislasi Nasional lebih banyak peran Pemerintah dalam hal mengajukan Rancangan Undang-Undang.
  2. Bahwa upaya-upaya dalam optimalisasi Good Governance perlu dikonkritkan dalam upaya program legislasi nasional, sehingga kwalitas legislasi mampu diterima oleh masyarakat dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Ardiansyah, Partisipasi Masrayakat dalam Pembentukan Perda, Intrans, Malang, 2002

Alim, Muhammad, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Madinah dan UUD 1945, UII Press, Yogyakarta, 2004

Asshiddiqie, Jimly, Format Kelembagaan Negara Dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, FH UII Press, Yogyakarta, 2005

______________, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006

______________, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Konpress, Jakarta, 2006

______________, Perihal Undang-Undang, Konpress, Jakarta, 2008

______________, Konstitusi & Konstitusialisme Indonesia, Konpress, Jakarta, 2006

Basah, Sjachran, Hukum Administrasi Negara, Djambatan, Bandung, 1982

______________, Ilmu Negara, Pengantar, Metode dan Sejarah Perkembangan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996

Betham, Jeremy, The Theory of Legislation, NM Tripati Private, Limited, Bombay, 1979

Boynton, GR dan Chong Lim King, Legislative System in Developing Countries, Duke University Press, 1975

Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2002

Busroh, Abu Daud dan Abu Bakar Busroh, Asas-Asas Hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1988

Close, David, Legislature The New Democratic in Latin America, Lynne Reinner Publishers, London, 1995

Dicey, A.V., Introduction to the Study of the Law of the Constitution, Terjemahan Murhadi dan Nurainun Mangunsong, Nusamedia, Bandung, 2007

Echols, John M. dan Hassan Shadily, Kamus Inggris – Indonesia, cet. XV, Jakarta : PT. Gramedia, 1987

Hadjon, Philipus M.. dkk, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Gajah Mada University Press, 2002

Hadjon, Philipus M, Pemerintahan Menurut Hukum (wet enrechmatig Bertuur)

_______________, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, 1987

Hamidi, Jazim, Revolusi Hukum Indonesia (Makna, Kedudukan, dan Implikasi Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus dalam Sistem Ketatanegaraan RI), Konpress, Jakarta, 2006

Heiken, Adolf, SJ ., Kamus Jerman-Indonesia, cet.III, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1992

Huda, Ni’matul, Politik Ketatanegaraan Indonesia, Kajian Terhadap Dinamika Peubahan UUD 1945, UII Press, Yogyakarta, 2003

Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media Publishing, Malang, 2006

Kelsen, Hans, General Theory of Law and State, Russell & russel, New York, 2006

Kusumaatmadja, Mochtar, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan, PT. Alumni, Bandung, Cet ke-2, 2006

Mahendra, Yusril Ihza, Dinamika Tata Negara Indonesia, Gema Insani Press, Jakarta, 1996

Manan, Bagir, “Ketentuan-ketentuan Tentang Pembentukan Peraturan Perundan-undangan Dalam Pembangunan Hukum Nasional” (makalah disampaikan pada Pertemuan Ilmiah tentang Kedudukan Biro-biro Hukum/Unit Kerja Departemen/LPND dalam Pembangunan Hukum, Jakarta, 19-20 Oktober 1994)

_______________, Teori Dan Politik Konstitusi, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, 2000

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Prenada Media, Cetakan-1, 2005

Matutu, Mustamin DG.. dkk, Mandat, Delegasi, Atribusi dan Implementasinya di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2004

MD, Mahfud, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, LP3ES, Jakarta, 2007

______________, Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 2006

Muhtaj, Majda El, Hak Asasi Manusia Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen, Pustaka Kencana, Jakarta, 2005

M, Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni, Bandung, 2002

Nasution, Adnan Buyung, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia, Grafitti, 2009

Nonet, Philippe and Philip Selznick, Law and Society in Transition: To Reward Responsive Law, Harper and Row, New York, 1978

Nurtjahjo, Hendro, Ilmu Negara, Pengembangan Teori Bernegara dan Suplemen, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2005

Purbacaraka, Purnadi dan Soerjono Soekanto, Perundang-Undangan dan Yurisprudensi, Alumni, Bandung, 1979

Prodjodikoro, Wirjono, Asas-asas Hukum Tata Negara di Indonesia, Dian Rakyat, Jakarta, 1977

Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000

Ranadireksa, Hendarmin, Arsitektur Konstitusi Demokratik, Fokusmedia, Bandung, 2007

Ranggawidjaja, Rosjidi, Pengantar Ilmu Perundang-Undangan Indonesia, CV. Mandar Maju, Bandung, 1998

Riswanda, Leading sector Pembentukan UU dari DPR, PSHK, Jakarta, 2008

Riyanda dkk, Partisipasi Publik dalam Pembentukan Kebijakan, Refika Adhitama, Bandung, 2011

Sinaga, Budiman N.P.D, Ilmu Pengetahuan Perundang-Undangan, UII Press, Yogyakarta, 2004

Soehino, Ilmu Negara, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 2001

________________, Hukum Tata Negara Teknik Perundang-Undangangan, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 2005

_______________, Hukum Tata Negara (Sumber-Sumber Hukum Tata Negara Indonesia), Liberty, Yogyakarta, 1985

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), Rajawali Pers, Jakarta, 2001

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 2006

Soeprapto, Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan Dasar-dasar dan pembentukannya, Penerbit Kanisius, Yogyakarta 1998

Soetomo, Ilmu Negara, Bina Ilmu, Surabaya, 1991

Strong, C.F., Modern Political Constitutions : An Introduction to the Comparative Study and Existing Form, Terjemahan SPA Teamwork, Nusamedia, Bandung, 2004

Suharto, Susilo, kekuasaan Presiden Republik Indonesia Dalam Periode berlakunya Undang-Undang Dasar 1945, Graha Ilmu, Jakarta, 2006

Sumali, Reduksi Kekuasaan Ekskutif di Bidang Peraturan Pengganti Undang-Undang (PERPU), UMM Press, Malang, 2003

Syarif, Amiroedin, Perundang-Undangan, Dasar, Jenis dan Teknik Membuatnya, Bina Aksara, Jakarta, 1987

Thaib, Dahlan, Jazim Hamidi dan Ni’matul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004

Tim LAN, Administrasi Pemerintahan Indonesia, LAN, Jakarta, 2000

United Nations Development Programme (UNDP), Hak-Hak Dasar social masyarakat, UNDP, Indonesia, 1999

Wahjono, Padmo, Ilmu Negara, Ind Hill Co, Jakarta, 1996

Wheare, KC., Modern Constitution, Oxford University Press, 1996

Wojowasito, S, Kamus Umum Belanda-Indonesia, Jakarta : PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 1985

Yusuf , Slamet Effendy dan Umar Basalim, Reformasi Konstitusi Indonesia, Perubahan Pertama UUD 1945, Pustaka Indonesia Satu, Jakarta, 2000

            [1] Perubahan mendasar itu ditandai oleh bergesernya kewenangan lembaga-lembaga Negara, lembaga Negara yang semula terdapat lembaga tertinggi Negara, yakni MPR, setelah perubahan Undang-Undang Dasar 1945 tidak ada lagi lembaga super body tersebut. Ni’matul Huda, Politik Ketatanegaraan Indonesia, Kajian Terhadap Dinamika Peubahan UUD 1945, UII Press, Yogyakarta, 2003, hal. 67.

            [2] Bersifat “keramat” dikarenakan pada saat itu tidak dapat seorangpun yang dapat mengiterpretasikan Undang-Undang Dasar, dan Undang-Undang Dasar dianggap absolute dan tidak dapat dirubah dalam kondisi apapun. Untuk memahami itu, silakan baca : Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tata Negara Indonesia, Gema Insani Press, Jakarta, 1996, hal. 12-13

            [3] Check and Balance dimana posisi lembaga negara yang satu dengan lembaga negara yang lainnya adalah kedudukannya adalah sama, dan tidak terdapat yang lebih tinggi, dan saling mengimbangi antar satu dengan yang lainnya, baca : Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara Dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, FH UII Press, Yogyakarta, 2005, hal. 35.

            [4] Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen juga memasukkan unsur-unsur hak asasi manusia kedalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 amandemen, tidak lain dan tidak bukan agar hak-hak asasi manusia tidak terabaikan, atau dapat dilindungi, untuk memahami tentang Hak Asasi Manusia dalam Undang-Undang Dasar 1945 amanndemen, silakan baca : Majda El Muhtaj, Hak Asasi Manusia Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen, Pustaka Kencana, Jakarta, 2005, hal 15

[5] Yang dimaksud Korupsi secara gamblang telah terdapat 13 buah pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang No. 20 tahun 2001. Selain itu menurut UU tersebut Korupsi dikelompokkan menjadi 30 jenis. Untuk mengetahui itu silakan baca : Komisi Pemberantasan Korupsi, Memahami Untuk Membasmi-Buku Saku Untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi, Cet. Ke-2, 2006, Jakarta, Hal. 19

[6] Proses pembentukan peraturan perundang-undangan semakin terarah yakni dengan kewajiban diterapkannya asas-asas dalam materi muatan peraturan perundang-undangan, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

[7] GR Boynton dan Chong Lim King, Legislative System in Developing Countries, Duke University Press, 1975, Hal. 15. Pendapat yang hamper sama juga dikemukakan David Close, Legislature The New Democratic in Latin America, Lynne Reinner Publishers, London, 1995, Hal. 6-7

[8] Jimly Asshiddiqy, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006, Hal. 135

[9] Produk Resultante ini yang menurut KC. Wheare mengakibatkan peraturan perundang-undangan yang dibentuk bersifat tidak populis atau bahkan malah merugikan masyarakat. Untuk dapat memahami ini secara garis besar, silakan baca : KC. Wheare, Modern Constitution, Oxford University Press, 1996, Hal. 34

            [10] Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media Publishing, Malang, 2006, Hal.57

            [11] Untuk lebih lebih jelasnya tentang macam-macam pendekatan dalam penelitian hukum normatif bandingkan Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), Rajawali Pers, Jakarta, 2001, Hal. 14 dengan Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenada Media, Cetakan-1, 2005 Hal. 93-137 dan Johnny Ibrahim, Op Cit, Hal. 299-321

            [12] Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 2006, Hal. 141

            [13] Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Op Cit, Hal.13

            [14] Soerjono Soekanto, Op Cit, Hal. 52

[15] Untuk mengetahui perdebatan konsepsi Negara Ideal pada jaman Yunani kuno dapat dibaca melalui buku : Soehino, Ilmu Negara, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 2001, Hal. 57

[16] Hal itu diketengahkan Soetomo, Ilmu Negara, Bina Ilmu, Surabaya, 1991, Hal 12

[17] Hukum administrasi Negara menurut Utrech adalah hukum yang megatur hubungan antara pemberi pelayanan (pemerintah/bertuurn) dengan penerima pelayanan (masyarakat), juga disebutkan bahwa pengertian administrasi Negara terdapat 2 (dua) pengertian, dalam arti luas dan dalam arti sempit. Dalam arti luas meliputi ekskutif, legislative dan Yudikatif, sedangkan dalam arti sempit adalah ekskutif saja.

[18] Sjachran Basah, Hukum Administrasi Negara, Djambatan, Bandung, 1982, Hal. 27

[19] Jimly Asshiddiqy, Konstitusi & Konstitusialisme Indonesia, Konpress, Jakarta, 2006, Hal 23

[20] Sjachran Basah, Ilmu Negara, Pengantar, Metode dan Sejarah Perkembangan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal. 34

[21] Hendro Nurtjahjo, Ilmu Negara, Pengembangan Teori Bernegara dan Suplemen, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2005, Hal. 85

[22] Hendarmin Ranadireksa, Arsitektur Konstitusi Demokratik, Fokusmedia, Bandung, 2007, Hal. 71

[23] Abu Daud Busroh dan Abu Bakar Busroh, Asas-Asas Hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1988, Hal 55

[24] Philipus M. Hadjon. dkk, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Gajah Mada University Press, 2002, Hal 27

[25] Untuk hal ini dapat dibaca dalam buku saku : United Nations Development Programme (UNDP), Hak-Hak Dasar social masyarakat, UNDP, Indonesia, 1999, Hal. 17

[26] Dalam Lembaga Administrasi Negara, peran masyarakat menjadi sangat penting dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik, dimana masyarakat merupakan ujung tombak dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik, Tim LAN, Administrasi Pemerintahan Indonesia, LAN, Jakarta, 2000, Hal 1-6

[27] United Nations Development Programme (UNDP),Op Cit, Hal 23

[28] Tim LAN, Op Cit, Hal 12

[29] Tim LAN, Ibid, Hal. 12

[30] United Nations Development Programme (UNDP),Op Cit, Hal 23

[31] Philipus M Hadjon, Pemerintahan Menurut Hukum (wet enrechmatig Bertuur), Hal 1-2

[32] Philipus M Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1993, Hal. 136

[33] Rosjidi Ranggawidjaja, Pengantar Ilmu Perundang-Undangan Indonesia, CV. Mandar Maju, Bandung, 1998, hal. 13

[34] Rosjidi Ranggawidjaja, Ibid

[35] Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Russell & russel, New York, 2006, hal. 113

[36] Sumali, Reduksi Kekuasaan Ekskutif di Bidang Peraturan Pengganti Undang-Undang (PERPU), UMM Press, Malang, 2003

[37] Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan Dasar-dasar dan pembentukannya, Penerbit Kanisius, Yogyakarta 1998, hal.27.

[38] Budiman N.P.D Sinaga, Ilmu Pengetahuan Perundang-Undangan, UII Press, Yogyakarta, 2004, hal. 19-20.

[39] Jeremy Betham, The Theory of Legislation, NM Tripati Private, Limited, Bombay, 1979, Hal 43

[40] Soehino, Hukum Tata Negara Teknik Perundang-Undangangan, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 2005, Hal 65

[41] Rosjidi Ranggawidjaja, Pengantar Ilmu Perundang-Undangan Indonesia, CV. Mandar Maju, Bandung, 1998: Hal. 43

[42] Amiroedin Syarif, Perundang-Undangan, Dasar, Jenis dan Teknik Membuatnya, Bina Aksara, Jakarta, 1987: hal.92

[43] Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Perundang-Undangan dan Yurisprudensi, Alumni, Bandung, 1979: Hal. 15-19

[44] Amiroedin Syarif, Op Cit. Hal. 39

[45] John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris – Indonesia, cet. XV, Jakarta : PT. Gramedia, 1987, hal 353.

[46] S. Wojowasito, Kamus Umum Belanda-Indonesia, Jakarta : PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 1985, hal 802.

[47] Adolf Heiken, SJ ., Kamus Jerman-Indonesia, cet.III, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1992, hal. 202

[48] Bagir Manan, “Ketentuan-ketentuan Tentang Pembentukan Peraturan Perundan-undangan Dalam Pembangunan Hukum Nasional” (makalah disampaikan pada Pertemuan Ilmiah tentang Kedudukan Biro-biro Hukum/Unit Kerja Departemen/LPND dalam Pembangunan Hukum, Jakarta, 19-20 Oktober 1994), hal. 1-3

[49] Pasal 1 angka 1 dan angka 2 Undang-Undang No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

[50] Slamet Effendy yusuf dan Umar Basalim, Reformasi Konstitusi Indonesia, Perubahan Pertama UUD 1945, Pustaka Indonesia Satu, Jakarta, 2000, Hal 81

[51]Jimly Asshiddiqy, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Konpress, Jakarta, 2006, Hal 24

[52] Philipus M Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, 1987, Hal 98

[53] Jazim Hamidi, Revolusi Hukum Indonesia (Makna, Kedudukan, dan Implikasi Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus dalam Sistem Ketatanegaraan RI), Konpress, Jakarta, 2006, Hal 81

[54] Hal itu dapat dilihat dari gejolak pemerintah daerah pada saat itu menanggapi lahirnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, dimana terdapat perbedaan pandangan terkait dengan itu, ada terdapat di wilayah tertentu yang apatis dan menganggap adanya keinginan yang besar dari pemerintah pusat untuk mengambil alih kembali pembentukan peraturan perundang-undangan yang ada di daerah.

[55] Soehino, Hukum Tata Negara (Sumber-Sumber Hukum Tata Negara Indonesia), Liberty, Yogyakarta, 1985, Hal 49

[56] Bagir Manan, Teori Dan Politik Konstitusi, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, 2000, Hal. 15

[57] Prolegnas ini yang menggarap seluruh perencanaan program legislasi yang akan dibentuk dan digodok bersama, baik oleh pemerintah maupun oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah.

[58] Jimly Asshiddiqy, Perihal Undang-Undang, Konpress, Jakarta, 2008, Hal 23

[59] Hans Kelsen, General Theory Of Law And State, Terjemahan Somardi, Bee Media Indonesia, Jakarta, 2007, Hal. 70

[60] Jimly Asshiddiqy, Op Cit, Hal 34

[61] Rosjidi Ranggawidjaja, Op Cit, Hal 65

[62] Budiman NPD Sinaga, Op Cit, Hal 24

[63] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, Hal 32

[64] Untuk mengetahui lebih lanjut, silakan baca UU No. 20 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas)

[65] Riyanda dkk, Partisipasi Publik dalam Pembentukan Kebijakan, Refika Adhitama, Bandung, 2011, Hal. 69

[66] Prolegnas mengarahkan kebutuhan hukum yang mendesak dalam kebutuhan masyarakat, sehingga terdapat rencana jangka pendek menengah dan panjang.

[67] Depkumham dalam hal ini dapat meminta masyarakat atau perguruan tinggi untuk memberikan kontribusi masukan dan saran beserta hal-hal yang belum dipahami secara utuh.

[68] Lembaga pemprakarsa dapat berasal dari DPR, DPD, Presiden atau dari massyarakat. Untuk masalah ini akan dibahas pada point berikutnya.

[69] Prinsip-prinsip yang dimaksud diharapkan tidak bertentangan dengan asas-asas umum penyelenggaraan pemerintahan yang baik.

[70] Apabila 14 (empat belas) hari dari pengajuan peritmbangan belum juga di paraf untuk persetujuan, maka Undang-Undang tersebut diajukan kembali, sampai Menteri Hukum dan Ham berkenan dan setuju terhadap rancangan yang dibentuk

[71] Menkumham disini sebagai fasilitator atau penerimaan Undang-Undang yang diajukan yang bukan merupakan agenda dari Prolegnas

[72] RUU yang disampaikan kepada DPR adalah RUU yang bersifat final ditingkatan ekskutif untuk selanjutnya dilakukan pembahasan di itngkatan Dewan Perwakilan Rakyat.

[73] Sebelum dilakukan pembahasan, RUU yang telah diajukan dijelaskan terlebih dahulu dasar filosofis dan tujuan dibentuknya Undang-Undang Tersebut.

[74] Lembaga social kemasyarakatan yang masuk dapat disaring dan diteliti terlebih dahulu oleh Baleg, sehingga kecil kemungkinannya terdapat lembaga-lembaga yang terafiliasi dengan salah satu kepentingan politik tertentu.

[75] Riswanda, Leading sector Pembentukan UU dari DPR, PSHK, Jakarta, 2008, Hal 2-8

[76] DPD dalam hal ini dapat mengusulkan Undang-Undang yang erat kaitannya dengan hal yang bersifat otonomi daerah.

[77] Setiap anggota disini diberikan hak yang sama dalam hal memberikan kontribusi masukan dan saran atas Undang-Undang yang akan dibentuk

[78] Untuk mengetahui secara gambling mengenai mekanisme ini, silakan baca tatib DPR/DPDRI tentang pembahasan Undang-Undang

[79] Untuk mengetahui secara gamblang mengenai mekanisme ini, silakan baca tatib DPR/DPDRI tentang pembahasan Undang-Undang

[80] Pengundangan ini akan diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia

[81] Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, LP3ES, Jakarta, 2007, Hal. 38

[82] Kusumaatmadja, Mochtar, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan, PT. Alumni, Bandung, Cet ke-2, 2006, Hal. 28

[83] Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2002, Hal 31

[84] Mustamin DG. Matutu. dkk, Mandat, Delegasi, Atribusi dan Implementasinya di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2004, Hal 82

[85] Muhammad Alim, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Madinah dan UUD 1945, UII Press, Yogyakarta, 2004, Hal 47

[86] Untuk menganalisa lebih lanjut, dapat dibaca bukunya : Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, Hal 5

[87] Sri Soemantri M, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni, Bandung, 2002, Hal 56

[88] Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Tata Negara di Indonesia, Dian Rakyat, Jakarta, 1977, Hal 27

[89] Susilo Suharto, kekuasaan Presiden Republik Indonesia Dalam Periode berlakunya Undang-Undang Dasar 1945, Graha Ilmu, Jakarta, 2006, Hal 92

[90] Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia, Grafitti, 2009, Hal 53-57

[91] Padmo Wahjono, Ilmu Negara, Ind Hill Co, Jakarta, 1996, Hal 32

[92] Ardiansyah Ali, Partisipasi Masrayakat dalam Pembentukan Perda, Intrans, Malang, 2002, Hal, 38

[93] Dahlan Thaib, Jazim Hamidi dan Ni’matul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, Hal 72

[94] Sjachran Basah, Ilmu Negara, Pengantar, Metode dan Sejarah Perkembangan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, Hal 16

[95] C.F. Strong, Modern Political Constitutions : An Introduction to the Comparative Study and Existing Form, Terjemahan SPA Teamwork, Nusamedia, Bandung, 2004, Hal 84

[96] A.V. Dicey, Introduction to the Study of the Law of the Constitution, Terjemahan Murhadi dan Nurainun Mangunsong, Nusamedia, Bandung, 2007, Hal. 18

[97] Mengenai hukum Responsif ini dapat dibaca melalui buku Philippe Nonet and Philip Selznick, Law and Society in Transition: To Reward Responsive Law, Harper and Row, New York, 1978, Hal 16-19

[98] Partisipasi Masyarakat ini dapat melalui langsung maupun tidak langsung, langsung dalam hal mengikuti alur pembahasan Undang-Undang, tidak langsung dalam hal melalui tulisan, dan media-media yang lainnya

[99] Jeremy Bentham, The Theory of Legislation, NM Tripathi Private Limited, Bombay, 1979. Hal 47-52

[100] Jimly Asshiddiqy, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Konpress, Jakarta, 2006, Hal 14

Continue Reading