MEWUJUDKAN ETIKA PANCASILA

Etika dalam Penyelenggaraan Negara menjadi sangat penting mengingat kondisi bangsa saat ini. Lemahnya Etika Penyelenggara Negara menjadi pintu masuk terhadap penyelenggaraan pemerintahan koruptif yang jauh dari prinsip good governance dan clean governance. Guna membendung perilaku yang demikian, maka diperlukan pola pikir dan cara pandang yang professional serta kesadaran untuk merubah menuju pengembangan praktik governance yang baik yang dilandasi oleh kesadaran akan nilai-nilai moral dan etika birokrasi yang berorientasi pada kepentingan publik.

 

Untuk mewujudkan Etika Penyelenggara Negara yang berintegritas selain melalui pembangunan mental manusianya juga dapat dibangun melalui sistem penegakan etika penyelenggara Negara, untuk itu diperlukan penajaman kembali terhadap beberapa perdebatan baik yang berkenaan dengan makna dan ruang lingkup cakupan pengertian penyelenggara Negara, lembaga yang memiliki otoritas menegakkan kode etik, serta harmonisasi peraturan perundang-undangan yang mengatur etika penyelenggara Negara lintas sektoral.

 

Selain itu perlu memberikan pemahaman terhadap segenap Penyelenggara Negara bahwa dalam penyelenggaran pemerintahan selain harus berdasar pada the Rule of Law, tidak kalah pentingnya juga memperhatikan the Rule of Ethics.  Dalam konsepsi The Rule of Law tercakup pengertian tentang kode hukum (code of law) atau kitab Undang-Undang (book of law) yang menjadi landasan dalam penyelenggaraan birokrasi pemerintahan, sedangkan dalam konsepsi The Rule of Ethics tercakup pengertian kode etik (code of ethics) atau kode perilaku (code of conduct) yang juga harus sejalan dengan pemahaman the Rule of Law.

 

Untuk itu sangat penting sekali bagi Pemegang Jabatan dalam Pemerintahan untuk merefleksikan kembali semangat ‘the rule of law and ethics, not of man’, yakni hukum dan etika sebagai suatu sistem, bukan orang per orang (jabatan atau penjabat) yang mengaturnya. Sehingga apabila hukum dan etika dijadikan ukuran dan pijakan dalam setiap pelaksanaan kewenangan dalam Pemerintahan, maka akan sangat kecil kemungkinan terjadinya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dalam penyelenggaran Pemerintahan.

 

Dalam perspektif Negara hukum Pancasila, maka harus dipahami pula bahwa pancasila bukan hanya merupakan sumber hukum (source of law), akan tetapi Pancasila juga sebagai sumber etika (source of ethics).  Kedua perspektif hukum dan etika ini harus dijadikan sumber referensi normative dan operasional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

 

Sehingga Pancasila yang mengandung nilai-nilai universal inklusif tersebut dapat mempersatukan kita semua sebagai bangsa dalam satu kesatuan system ideologi, falsafah, kehidupan berbangsa dan bernegara dalam usaha membangun demokrasi yang ditopang oleh semangat the rule of law and rule of ethics secara berkesinambungan.

 

Dengan adanya kesadaran akan norma hukum dan norma etika penyelenggara Negara yang tercermin melalui sikap, perilaku, tindakan dan ucapan yang etis, maka akan menghasilkan penyelenggara negara yang amanah, disiplin, teladan dan berakhlak mulia sesuai dengan cita-cita Bangsa.

Continue Reading

MEMBANGUN ETIKA PENYELENGGARA NEGARA

MEMBANGUN ETIKA PENYELENGGARA NEGARA

Sejak digulirkannya Rancangan Undang-Undang tentang Etika Penyelenggara Negara oleh DPR pada tahun 2014 silam, nasib RUU tersebut mengalami pasang surut antara kebutuhan dan kebuntuan akan tegaknya semangat reformasi birokrasi penyelenggara Negara di berbagai bidang.

Tuntutan terhadap perwujudan penyelenggaraan pemerintahan yang baik, etis, amanah dan berakhlak mulia serta mencegah niat dan praktik perbuatan yang meyimpang dari nilai, norma, dan aturan dalam menjalan tugas pemerintahan menjadi salah satu tujuan dalam upaya mewujudkan etika penyelenggaraan Negara yang sesuai dengan prinsip dan cita-cita bangsa.

Dalam rapat kerja Komite I DPD RI dengan Kementrian PAN dan RB, ditegaskan akan pentingnya pengaturan dan penyusunan materi RUU Etika Penyelenggara Negara untuk segera dibahas kembali antara DPR bersama Pemerintah guna memberikan rambu-rambu yang tegas dan jelas dalam berperilaku bagi para aparatur penyelenggara Negara.

Perdebatan

Menurut pengamatan penulis setidak terdapat tiga problematika kebuntuan yang berakibat terhadap molornya dalam pembahasan RUU Etika Penyelenggara Negara. Pertama terdapat ambiguitas ruang lingkup dan batasan pengertian Penyelenggara Negara. Apabila mengacu kepada definisi Penyelenggara Negara menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, maka cakupan dan batasan makna Penyelenggara Pemerintahan sangat luas sekali, karena mencakup tiga cabang kekuasaan ekskutif, legislatif, yudikatif serta lembaga Negara lainnya termasuk BUMN dan pejabat profesi.

Kedua, perdebatan berkaitan dengan lembaga yang berwenang menegakkan kode etik dan perilaku Penyelenggara Negara. Apakah kewenangan penegakan kode etik akan diserahkan kepada masing-masing internal penyelenggara Negara, atau akan dibentuk satu lembaga penegak kode etik yang dapat menerima laporan atau pengaduan atas seluruh pelanggaran kode etik baik bagi pejabat Negara, pejabat negeri maupun pejabat profesi.

Dua diantara pilihan tersebut tentu akan mengandung konsekwensi hukum yang berbeda-beda, terhadap pilihan pembentukan lembaga etik pada masing-masing penyelenggara Negara, maka akan cenderung menimbulkan standart dan kriteria yang berbeda-beda pula antar lembaga yang satu dengan lainnya, selain itu tingkat independensi lembaga tersebut dapat diragukan obyektifitasnya.

Sebaliknya apabila dibentuk satu lembaga penegak kode etik yang dapat menerima laporan atau pengaduan atas seluruh pelanggaran kode etik, maka menjadi keharusan bagi Penyelengara Negara yang telah membentuk dan memiliki lembaga penegak kode etik untuk membubarkan diri, sehingga tidak menimbulkan dualisme kewenangan berkaitan dengan lembaga yang bertugas menjaga dan menegakkan kode etik penyelenggara Negara.

Ketiga, hampir seluruh lembaga baik pejabat Negara, pejabat negeri maupun pejabat profesi telah memiliki aturan yang termuat dalam Peraturan Perundang-Undangan yang mengatur tentang kewajiban menjaga etika dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hanya saja dalam tingkatan implementasinya kurang dapat dijalankan dengan sebagaimana mestinya. Dalam beberapa peraturan perundang-undangan seperti TAP  MPR Nomor XI/MPR/1998, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014, Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014 dan Undang-Undang berkaitan dengan bidang profesi tertentu telah mengatur tentang kode etik masing-masing. Sehingga terdapat sebagian kelompok yang kurang sependapat dengan adanya pengaturan Etika Penyelenggara Negara yang menaungi seluruh Penyelenggara Negara.

Mewujudkannya

Pengawasan terhadap Etika Penyelenggara Negara menjadi sangat penting mengingat kondisi bangsa saat ini. Lemahnya Etika Penyelenggara Negara menjadi pintu masuk terhadap penyelenggaraan pemerintahan koruptif yang jauh dari prinsip good governance dan clean governance.

Guna membendung perilaku yang demikian, maka diperlukan pola pikir dan cara pandang yang professional serta kesadaran untuk merubah menuju pengembangan praktik governance yang baik yang dilandasi oleh kesadaran akan nilai-nilai moral dan etika birokrasi yang berorientasi pada kepentingan publik.

Untuk mewujudkan Etika Penyelenggara yang berintegritas selain melalui pembangunan mental manusianya juga dapat dibangun melalui sistem penegakan etika penyelenggara Negara, untuk itu diperlukan penajaman kembali terhadap beberapa perdebatan baik yang berkenaan dengan makna dan ruang lingkup cakupan pengertian penyelenggara Negara, lembaga yang memiliki otoritas menegakkan kode etik, serta harmonisasi peraturan perundang-undangan yang mengatur etika penyelenggara Negara lintas sektoral.

Selain itu perlu memberikan pemahaman terhadap segenap Penyelenggara Negara bahwa dalam penyelenggaran pemerintahan selain harus berdasar pada the Rule of Law, tidak kalah pentingnya juga memperhatikan the Rule of Ethics.  Dalam konsepsi The Rule of Law tercakup pengertian tentang kode hukum (code of law) atau kitab Undang-Undang (book of law) yang menjadi landasan dalam penyelenggaraan birokrasi pemerintahan, sedangkan dalam konsepsi The Rule of Ethics tercakup pengertian kode etik (code of ethics) atau kode perilaku (code of conduct) yang juga harus sejalan dengan pemahaman the Rule of Law.

Dalam perspektif Negara hukum Pancasila, maka harus dipahami pula bahwa pancasila bukan hanya merupakan sumber hukum (source of law), akan tetapi Pancasila juga sebagai sumber etika (source of ethics).  Kedua perspektif hukum dan etika ini harus dijadikan sumber referensi normative dan operasional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pancasila mengandung nilai-nilai universal dalm inklusif yang dapat mempersatukan kita semua sebagai bangsa dalam satu kesatuan system ideologi  dan falsafah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk itu dalam usaha membangun birokrasi yang melayani harus ditopang oleh the rule of law and rule of ethics secara bersamaan.

Dengan adanya kesadaran akan norma hukum dan norma etika penyelenggara Negara yang tercermin melalui sikap, perilaku, tindakan dan ucapan yang etis, maka akan menghasilkan penyelenggara negara yang amanah, disiplin, teladan dan berakhlak mulia sesuai dengan cita-cita Bangsa.

Link : MEMBANGUN ETIKA PENYELENGGARA NEGARA

Continue Reading