CONTOH PROPOSAL SKRIPSI

Contoh Proposal Skripsi

KEDUDUKAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA (KPPU) DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang dan Permasalahan

Kedudukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia menimbulkan ketidakjelasan, hal itu mengingat Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)  sesuai dengan tugas dan kewenangannya berkaitan dengan kewenangan lembaga Ekskutif, Yudikatif dan juga Legislatif. Dalam hal yang demikian sebenarnya Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)  sebagai lembaga Ekskutif, Legislatif atau Yudikatif. Dalam kenyataannya Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) selain dapat membuat putusan (vonis),[1] juga sebagai pembentuk regulasi atau peraturan perundang-undangan (regeling), selain itu juga sebagai pelaksana dari peraturan-perundang-undangan yang dibentuknya sendiri yang pada akhirnya mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang bersifat (beschikking).[2]

Komisi Pengawas Persaingan Usaha, KPPU, adalah lembaga independen yang dibentuk untuk mengawasi pelaksanaan Undang-Undang tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Terlepas dari pengaruh dan kekuasaan Pemerintah serta pihak lain, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)  selain berfungsi menyusun peraturan pelaksanaan dan memeriksa berbagai pihak yang diduga melanggar UU No.5/1999 tersebut serta memberi putusan mengikat dan menjatuhkan sanksi terhadap para pelanggarnya. Untuk itu disini terdapat beberapa persoalan dimanakah letak Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)  dalam sistem ketata negaraan di Indonesia, apakah lembaga ekskutif, legislative atau yudisial.

Konsep mendasar tentang teori pemisahan kekuasaan pernah dikemukakan oleh Pemikir Inggris John Locke mengemukakan konsepnya mengenai pemisahan kekuasaan dalam bukunya Two Treaties on Civil Government.[3] Menurut Locke kekuasaan negara dibagi menjadi tiga yakni: kekuasaan legislatif (membuat peraturan undang-undang), kekuasaan eksekutif (melaksanakan undang-undang yang di dalamnya termasuk kekuasaan mengadili), dan kekuasaan federatif (kekuasaan yang meliputi segala tindakan untuk mengamankan negara).

Sedangkan Van Vollenhoven membagi fungsi kekuasaan negara menjadi empat bagian yang dikenal dengan “catur praja”, yakni:[4]

  1. Regeling (fungsi legislatif);
  2. Bestuur (fungsi eksekutif);
  3. Rechtspraak (fungsi judikatif); dan
  4. Politie (fungsi keamanan dan ketertiban negara)

Ketiga kekuasaan tersebut (eksekutif, judikatif, dan legislatif) secara ideal melakukan sinergi sehingga akan menciptakan pemerintahan yang demokratis dan equal. Akan kurang tepat ketika kita memandang konsep trias politika sebagai konsep pemisahan kekuasaan. Hal ini dapat menimbulkan penafsiran yang berbahaya ketika masing-masing cabang kekuasan merasa mandiri dan dapat berubah menjadi superioritas antar lembaga. Pada akhirnya akan menciptakan absolutisme baru di tiap lembaga.

Istilah yang digunakan dalam bahasa indonesia sebagai penerjemahan konsep trias politika adalah pemisahan kekuasaan. Namun jika kita menilik pada pelaksanaan trias politica sebagai yang dicitakan ideal oleh Montesquieu di Inggris ternyata tiap-tiap kekuasaan tidak dapat terpisah. Akan lebih tepat jika konsep ini disebut sebagai pembagian kekuasaan (distribution of power).[5] Sebab tak ada kekuasaan yang berdiri sendiri. Kekuasaan eksekutif pun memiliki kekuasaan legislatif maupun judikatif. Sebagaimana dinyatakan oleh Kelsen yang hanya melihat pelaksanaan kekuasan dalam pemerintahan hanya ada dua yakni membentuk undang-undang dan menjalankan undang. Kekuasaan yang ada tidak dipisahkan melainkan didistribusikan ke tiap-tiap cabang kekuasaan. Setiap cabang kekuasaan menjalankan tugas dan fungsi masing-masing tanpa harus menimbulkan absolutisme di tiap cabang. Seperti yang diberlakukan di Amerika, separation of power antara presiden, supreme court, dan senat.[6]

Dalam sebuah praktek ketatanegaraan tidak jarang terjadi pemusatan kekuasaan pada satu tangan, sehingga terjadi pengelolaan sistem pemerintahan yang dilakukan secara absolut atau otoriter, sebut saja misalnya seperti dalam bentuk monarki dimana kekuasaan berada ditangan seorang raja. Maka untuk menghindari hal tersebut perlu adanya pembagian/pemisahan kekuasaan, sehingga terjadi kontrol dan keseimbangan diantara lembaga pemegang kekuasaan. Konsep dasarnya adalah kekuasaan di suatu negara tidak boleh dilimpahkan pada satu struktur kekuasaan politik melainkan harus terpisah di lembaga-lembaga negara yang berbeda. Konsep ini bertujuan agar semua tugas atau kekuasaan tidak hanya dilimpahkan pada suatu kekuasaan tertinggi di suatu negara, melainkan kekuasaan tersebut dibagi lagi kedalam beberapa lembaga lembaga yang terorganisir dalam sebuah struktur pemisahan kekuasaan. Salah satu yang mendasari pemisahan kekuasaan dalam suatu negara adalah menghindari suatu pihak yang berkuasa untuk menyalahgunakan kekuasaan yang telah diberikan.

Dalam rangka menjamin bahwa masing- masing kekuasaan tidak melampaui batas kekuasaannya maka diperlukan suatu sistem checks and balances system (sistem pengawasan dan keseimbangan).[7] Dalam checks and balances system, masing-masing kekuasaan saling mengawasi dan mengontrol. Checks and balances system merupakan suatu mekanisme yang menjadi tolak ukur kemapanan konsep negara hukum dalam rangka mewujudkan demokrasi.[8] Pemikiran pentingnya pembatasan kekuasaan mendasari lahirnya konsep check and balances, karena kekuasaan yang tidak dibatasi akan selalu cenderung untuk disalah gunakan.[9] Dalam rangka pembatasan kekuasaan, maka dikembangkanlah teori pemisahan kekuasaan yang pertama kali dikenalkan oleh John Locke. Pemisahan kekuasaan dilakukan dengan memisahkan kekuasaan politik menjadi 3 bentuk, yaitu kekuasaan legislative (legislative power), kekuasaan eksekutif (executive power), dan kekuasaan federatif (federative power).[10]

Apabila kita melihat kewenangan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) maka disini tampak beberapa kerancuan mengenai lembaga Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), apakah sebagai lembaga legislative, ekskutif atau legislative. Berdasarkan itulah penulis tertarik untuk menganalisis mengenai kedudukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, mengingat masih belum jelasnya posisi dan kedudukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.

1.2  Perumusan Masalah

Berdasarkan analisis singkat diatas, maka rumusan masalah dalam skripsi ini diantaranya :

  1. Bagaimana kewenangan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) apabila dihubungkan dengan konsep pemisahan kekuasaan ?
  2. Bagaimanakah kedudukan dan hubungan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dengan lembaga ekskutif, legislatif dan yudikatif di Indonesia ?

1.3  Tujuan Penulisan dan Manfaat Penelitian

            1.3.1 Tujuan

Adapun yang menjadi tujuan dalam penulisan skripsi ini diantaranya adalah :

  1. Untuk mengetahui kewenangan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) apabila dihubungkan dengan konsep pemisahan kekuasaan.
  2. Untuk menguraikan kedudukan dan hubungan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dengan lembaga ekskutif, legislatif dan yudikatif di Indonesia.

1.3.2 Manfaat

Adapun yang menjadi manfaat dalam melakukan penulisan skripsi ini diantaranya adalah :

  1. Apabila dihubungkan dengan nilai-nilai teoritis dan kopseptual dapat menambah pengetahuan penulis dalam mempelajari ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Ilmu Hukum.
  2. Secara praksis dapat dijadikan gambaran bagi masyarakat umum dan Pemerintah dalam upaya ius constituendum merancang fungsi dan kedudukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) kedepan.

1.4  Kerangka Teoritis

Teori Pemisahan Kekuasaan

Trias Politica (pertama kali dikembangkan oleh John Locke, kemudian ‘disempurnakan’ oleh Montesquieu) dilandasi oleh pemikiran bahwa kekuasaan yang memusat padapihak tertentu akan cenderung disalahgunakan.[11] Oleh karena itu, muncul ide agar kekuasaan negara dipilah, dipisah, dan dibagikan kepada lembaga negara yang berbeda, sehingga ada mekanisme kontrol secara sistemik.  Trias Politica (pemisahan kekuasaan)[12] adalah sebuah ide bahwa sebuah pemerintahan berdaulat harus dipisahkan antara dua atau lebih kesatuan kuat yang bebas, mencegah satu orang atau kelompok mendapatkan kuasa yang terlalu banyak. Pemisahan kekuasaan merupakan suatu cara pembagian dalam tubuh pemerintahan agar tidak ada penyelahgunaan kekuasaan, antara legislatif, eksekutif dan yudikatif. Pemisahan kekuasaan juga merupakan suatu prinsip normative bahwa kekuasaan-kekuasaan itu sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama, untuk mencegah penyalahugunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Contoh negara yang menerapkan pemisahan kekuasaan ini adalah Amerika Serikat.

Trias politica adalah anggapan bahwa kekuasaan negara terdiri dari tiga macam kekuasaan yaitu :[13]

  1. kekuasaan legislative (membuat undang-undang).
  2. kekuasaan eksekutif (melaksanakan undang-undang).
  3. kekuasaan yudikatif (kekuasaan mengadili).

Trias politica memiliki prinsip normatif bahwa kekuasaan-kekuasaan ini sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Doktrin ini pertama kali dikenalkan oleh John Locke (1632-1704) dan Montesquie (1689-1755) dan ditafsirkan sebagai pemisahan kekuasaan.[14] Ada perbedaan antara mereka berdua. John Locke memasukkan kekuasaan yudikatif ke dalam kekuasaan eksekutif, sedangkan Montesquuie memandang kekuasaan pengadilan sebagai kekuasaan yang berdiri sendiri.

Dalam perkembangannya, meskipun ketiga kekuasaan ini sudah dipisah satu dengan lainnya ada kalanya diperlukan check and balance (pengawasan dan keseimbangan) diantara mereka, dimana setiap cabang kekuasaan dapat mengawasi dan mengimbangi cabang kekuasan lainnya. Trias Politica merupakan konsep pemerintahan yang kini banyak dianut diberbagai negara di aneka belahan dunia. Konsep dasarnya adalah, kekuasaan di suatu negara tidak boleh dilimpahkan pada satu struktur kekuasaan politik melainkan harus terpisah di lembaga-lembaga negara yang berbeda. Pada abad Pertengahan (kira-kira tahun 1000-1500 M), kekuasaan politik menjadi persengketaan antara Monarki (raja/ratu), pimpinan gereja, dan kaum bangsawan. Kerap kali Eropa kala itu dilanda perang saudara akibat sengketa kekuasaan antara tiga kekuatan politik ini. Sebagai koreksi atas ketidakstabilan politik ini, pada tahun 1500 M mulai muncul semangat baru di kalangan intelektual Eropa untuk mengkaji ulang filsafat politik yang bertujuan melakukan pemisahan kekuasaan.

Tokoh-tokoh seperti John Locke, Montesquieu, Rousseau, Thomas Hobbes,[15] merupakan contoh dari intelektual Eropa yang melakukan kaji ulang seputar bagaimana kekuasaan di suatu negara harus diberlakukan. Meski pemikiran mereka saling bertolak-belakang, tetapi tinjauan ulang mereka atas relasi kekuasaan negara cukup berharga untuk diperhatikan. Sejarah Trias Politica. Pada masa lalu, bumi dihuni masyrakat pemburu primitif yang biasanya mengidentifikasi diri sebagai suku. Masing-masing suku dipimpin oleh seorang kepala suku yang biasanya didasarkan atas garis keturunan ataupun kekuatan fisik atau nonfisik yang dimiliki. Kepala suku ini memutuskan seluruh perkara yang ada di suku tersebut.

Pada perkembangannya, suku-suku kemudian memiliki sebuah dewan yang diisi oleh para tetua masyarakat. Contoh dari dewan ini yang paling kentara adalah pada dewan-dewan Kota Athena (Yunani).[16] Dewan ini sudah menampakkan 3 kekuasaan Trias Politika yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Bahkan di Romawi Kuno, sudah ada perwakilan daerah yang disebut Senat, lembaga yang mewakili aspirasi daerah-daerah. Kesamaan dengan Indonesia sekarang adalah Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Namun, keberadaan kekuasaan yang terpisah, misalnya di tingkat dewan kota tersebut mengalami pasang surut. Tantangan yang terbesar kalangan intelektual Eropa untuk mengkaji ulang filsafat politik yang berupa melakukan pemisahan kekuasaan. Tokoh-tokoh seperti John Locke, Montesquieu, Rousseau, Thomas Hobbes, merupakan contoh dari intelektual Eropa yang melakukan kaji ulang seputar bagaimana kekuasaan di suatu negara/kerajaan harus diberlakukan.

  1. Pengawasan terhadapTrias Politica 

            Dalam rangka menjamin bahwa masing- masing kekuasaan tidak melampaui batas kekuasaannya maka diperlukan suatu sistem checks and balances system (sistem pengawasan dan keseimbangan). Dalam checks and balances system, masing-masing kekuasaan saling mengawasi dan mengontrol. Checks and balances system merupakan suatu mekanisme yang menjadi tolak ukur kemapanan konsep negara hukum dalam rangka mewujudkan demokrasi. Prinsip Check and Balance Upaya pengawasan dan keseimbangan antara badan-badan yang mengatur Trias Politicamemiliki prinsip-prinsip dengan berbagai macam fariasi, misalnya:[17] a) The four branches: legislatif, eksekutif, yudikatif, dan media. Di sini media di gunakan sebagai bagian kekuatan demokrasi keempat karena media memiliki kemampuan kontrol, dan memberikan informasi. b) Di Amerika Serikat, tingkat negara bagian menganut Trias Politica sedangkat tingkat negara adalah badan yudikatif. c) Di Korea Selatan, dewan lokal tidak boleh intervensid)Sementara itu, di Indonesia, Trias Politica tidak di tetapkan secara keseluruhan. Legislatif di isi dengan DPR, eksekutif di isi dengan jabatan presiden, dan yudikatif oleh mahkamah konstitusi dan mahkamah agung.

  1. Konsep Trias Politica

Konsep Trias Politika merupakan ide pokok dalam Demokrasi Barat, yang mulai berkembang di Eropa pada abad XVII dan XVIII. Trias Politika adalah anggapan bahwa kekuasaan negara terdiri dari tiga macam kekuasaan :[18] pertama, kekuasaan legislatif atau membuat undang-undang; kedua, kekuasaan eksekutif atau kekuasaan melaksanakan undang-undang; ketiga, kekuasaan yudikatif atau kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang. Trias Politica menganggap kekuasaan-kekuasaan ini sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Dengan demikian diharapkan hak-hak asasi warga negara dapat lebih terjamin. Konsep ini pertama kali diperkenalkan dibukunya yang berjudul, L’Esprit des Lois (The Spirit of Laws). Sebelumnya konsep ini telah diperkenalkan oleh John Locke. Filsuf Inggris  mengemukakan konsep tersebut dalam bukunya Two Treatises on Civil Government (1690), yang ditulisnya sebagai kritik terhadap kekuasaan absolut raja-raja Stuart di Inggris serta untuk membenarkan Revolusi Gemilang tahun 1688 (The Glorious Revolution of 1688) yang telah dimenangkan oleh Parlemen Inggris.[19]

Ide pemisahan kekuasaan tersebut, menurut Montesquieu, dimaksudkan untuk memelihara kebebasan politik, yang tidak akan terwujud kecuali bila terdapat keamanan masyarakat dalam negeri. Montesquieu menekankan bahwa seseorang akan cenderung untuk mendominasi kekuasaan dan merusak keamanan masyarakat tersebut bila kekuasaan terpusat pada tangannya. Oleh karenanya, dia berpendapat bahwa agar pemusatan kekuasaan tidak terjadi, haruslah ada pemisahan kekuasaan yang akan mencegah adanya dominasi satu kekuasaan terhadap kekuasaan lainnya Karya Montesqiueau ini hampir diterapkan diseluruh Negara didunia yang menganut Demokrasi termasuk juga Indonesia.[20] Di Negara Komunis yang hanya mempunya satu partai cenderung menjauhi konsep Trias Politica terlihat jelas bahwa bentuk pemerintahan hanya dipegang oleh kalangan partai tunggal tersebut saja, sebut saja China, Korea Utara dan Uni Soviet (masa perang dingin) adalah sejumlah Negara yang menjauhi Trias Politica tak heran jika bentuk pemerintahannya bersifat otoriterian karna tidak adanya  pembagian kekuasaan. Beda dengan Negara yang mengenakan sistim Trias Politica. Dengan adanya lembaga Legislatif, kepentingan rakyat dapat terwakili secara baik karma merupakan cermin kedaulatan rakyat. Selain itu lembaga ini juga mempunyai fungsi sebagai check and balance terhadap dua lembaga lainnya agar tidak terjadi penyelewengan kekuasaan dengan begitu jalannya pemerintahan bisa berjalan efektif dan efisien.

  1. John Locke (1632-1704)

Pemikiran John Locke mengenai Trias Politika ada di dalam Magnum Opus (karya besar) dengan judul Two Treatises of Government yang terbit tahun 1690.[21] Dalam karyanya tersebut, Locke menyebut bahwa fitrah dasar manusia adalah “bekerja (mengubah alam dengan keringat sendiri)” dan “memiliki milik (property).” Oleh sebab itu, negara yang baik harus dapat melindungi manusia yang bekerja dan juga melindungi milik setiap orang yang diperoleh berdasarkan hasil pekerjaannya tersebut.  Negara ada dengan tujuan utama melindungi milik pribadi dari serangan individu lain, demikian tujuan negara versi Locke. Untuk memenuhi tujuan tersebut, perlu adanya kekuasaan terpisah, kekuasaan yang tidak selalu di tangan satu orang. Menurut Locke, kekuasaan yang harus dipisah tersebut adalah Legislatif, Eksekutif dan Federatif.

  • Kekuasaan Legislatif adalah kekuasaan untuk membuat undang-undang. Hal penting yang harus dibuat di dalam undang-undang adalah bahwa masyarakat ingin menikmati miliknya secara damai. Untuk situasi ‘damai’ tersebut perlu terbit undang-undang yang mengaturnya. Namun, bagi John Locke, masyarakat yang dimaksudkannya bukanlah masyarakat secara umum melainkan kaum bangsawan. Rakyat jelata tidak masuk ke dalam kategori stuktur masyarakat yang dibela olehnya. Perwakilan rakyat versi Locke adalah perwakilan kaum bangsawan untuk berhadapan dengan raja/ratu Inggris.
  • Eksekutif adalah kekuasaan untuk melaksanakan amanat undang-undang. Dalam hal ini kekuasaan Eksekutif berada di tangan raja/ratu Inggris. Kaum bangsawan tidak melaksanakan sendiri undang-undang yang mereka buat, melainkan diserahkan ke tangan raja/ratu.
  • Federatif adalah kekuasaan menjalin hubungan dengan negara-negara atau kerajaan-kerajaan lain. Kekuasaan ini mirip dengan Departemen Luar Negara di masa kini. Kekuasaan ini antara lain untuk membangun liga perang, aliansi politik luar negeri, menyatakan perang dan damai, pengangkatan duta besar, dan sejenisnya. Kekuasaan ini oleh sebab alasan kepraktisan, diserahkan kepada raja/ratu Inggris, sebagai kekuasaan eksekutif.

Dari pemikiran politik John Locke dapat ditarik satu simpulan, bahwa dari 3 kekuasaan yang dipisah, 2 berada di tangan raja/ratu dan 1 berada di tangan kaum bangsawan. Pemikiran Locke ini belum sepenuhnya sesuai dengan pengertian Trias Politika di masa kini. Pemikiran Locke kemudian disempurkan oleh rekan Perancisnya, Montesquieu.

  1. Montesquieu (1689-1755)

Montesqueieu (nama aslinya Baron Secondat de Montesquieu) mengajukan pemikiran politiknya setelah membaca karya John Locke. Buah pemikirannya termuat di dalam magnum opusnya, Spirits of the Laws, yang terbit tahun 1748. Sehubungan dengan konsep pemisahan kekuasaan, Montesquieu menulis sebagai berikut : “Dalam tiap pemerintahan ada tiga macam kekuasaan: kekuasaan legislatif; kekuasaan eksekutif, mengenai hal-hal yang berkenan dengan dengan hukum antara bangsa; dan kekuasan yudikatif yang mengenai hal-hal yang bergantung pada hukum sipil. Dengan kekuasaan pertama, penguasa atau magistrat mengeluarkan hukum yang telah dikeluarkan. Dengan kekuasaan kedua, ia membuat damai atau perang, mengutus atau menerima duta, menetapkan keamanan umum dan mempersiapkan untuk melawan invasi. Dengan kekuasaan ketiga, ia menghukum penjahat, atau memutuskan pertikaian antar individu-individu. Yang akhir ini kita sebut kekuasaan yudikatif, yang lain kekuasaan eksekutif negara.”

  • Legislatif adalah struktur politik yang fungsinya membuat undang-undang. Di masa kini, lembaga tersebut disebut dengan Dewan Perwakilan Rakyat (Indonesia), House of Representative (Amerika Serikat), ataupun House of Common (Inggris).
  • Eksekutif adalah kekuasaaan untuk melaksanakan undang-undang yang dibuat oleh Legislatif. Fungsi-fungsi kekuasaan eksekutif ini garis besarnya adalah : Chief of state, Head of government, Party chief, Commander in chief, Chief diplomat, Dispenser of appointments, dan Chief legislators.
  • Kekuasaan Yudikatif berwenang menafsirkan isi undang-undang maupun memberi sanksi atas setiap pelanggaran atasnya. Fungsi-fungsi Yudikatif yang bisa dispesifikasikan kedalam daftar masalah hukum berikut : Criminal law (petty offense, misdemeanor, felonies); Civil law (perkawinan, perceraian, warisan, perawatan anak); Constitution law (masalah seputan penafsiran kontitusi); Administrative law (hukum yang mengatur administrasi negara); International law (perjanjian internasional).

1.5  Metode Penelitian

Penulisan dalam tulisan ini akan menggunakan metode penelitian hukum normatif[22] yakni mengkaji tentang hal-hal yang berkaitan dengan Kedudukan dan Kewenangan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)  yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), baik dalam rangka penormaannya maupun dalam rangka implementasinya dilapangan.

Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan dua bentuk metode penelitian. Yang Pertama dengan metode penelitian library research, melalui penelitian kepustakaan ini penulis berusaha mengkaji buku-buku serta tulisan ilmiah yang berkaitan dengan masalah yang dibahas dalam tulisan ini.[23] Kedua dengan metode penelitian lapangan (Field Research), yaitu penelitian yang dilakukan secara langsung ke obyeknya melalui pengamatan kejadian sehari-hari, yaitu serangkaian pertanyaan yang harus dijawab oleh penulis terhadap kenyataan-kenyataan yang terjadi di lapangan.

Berdasarkan permasalahan yang diteliti oleh penulis, maka metode penelitian hukum normatif. Metode penelitian hukum normatif atau metode penelitian hukum kepustakaan adalah metode atau cara yang dipergunakan di dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada. Tahapan pertama penelitian hukum normatif adalah penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan hukum obyektif (norma hukum),[24] yaitu dengan mengadakan penelitian terhadap masalah hukum. Tahapan kedua penelitian hukum normatif adalah penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan hukum subjektif (hak dan kewajiban).

Adapun pendekatan penelitian yang dilakukan dalam tulisan ini adalah pendekatan analisis korelasional, yaitu menguji hubungan antara Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dengan Lembaga Ekskutif, Legislatif dan yudikatif apabila dihubungkan dengan tugas dan kewenangan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) di Indonesia berdasarkan teori Pemisahan Kekuasaan di Indonesia.

1.6. Sistematika Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah yang menjadi dasar dalam pembahasan penulis dalam melakukan skripsi ini, maka penulis mencoba memberikan gambaran tentang isi penelitian tulisan ini melalui sistematika yang telah dirancang sedemikian rupa menjadi sistematika sebagai berikut :

BAB 1

PENDAHULUAN

Pada bab ini akan diceritakan tentang latar belakang persoalan dan        permasalahan yang akan dilakukan penelitian dalam tulisan ini. Dalam bab            ini juga dilakukan batasan-batasan penelitian yang dirangkum dalam           pertanyaan-pertanyaan penelitian yang akan menajadi bahan analisis      dalam pembahasan pada bab-bab berikutnya.

Dengan demikian akan terjadi kesinambungan antara keinginan dalam rumusan masalah dan dalam pembahasan. Dalam bab ini juga ditentukan tujuan dan manfaat penelitian, selain juga dijelaskan dasar teoritik yang menjadi dasar dalam menentukan pisau analisa yang akan dijawab dalam tulisan ini, sehingga terdapat kesesuaian antara yang diharapkan dengan yang dilakukan penelitian. Kemudian juga disinggung tentang beberapa nilai-nilai teoritik yang menjadi dasar penulis dalam melakukan analisis yang berhubungan dengan teori-teori yang berhubungan dengan tema penulisan tulisan ini.

BAB 2

TINJAUAN KEWENANGAN KPPU DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA

Pada bab ini akan dibahas tentang sejarah berlakunya dasar hukum        peraturan perundang-undangan tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) maupun upaya-upaya sinergitas untuk meningkatkan tugas dan wewenang Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) di Indonesia. Disini akan membahas secara normatif sejarah perundang-undangan     tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mulai dari hukum materiilnya sampai penegakan hukum Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) di Indonesia. Melalui ini kita dapat mengetahui tentang beberapa rujukan yang menjadi dasar dalam melakukan upaya peningkatan peran dan fungsi Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) di Indoenesia. Serta akan dibahas secara umum mengenai Undang-Undang Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) di Indonesia sejak disahkannya Undang-Undang tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).

BAB 3

KEDUDUKAN KPPU DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA

Pada bab ini akan berupaya menjawab rumusan masalah kedua, yang merupakan jawaban dari hubungan ketatanegaraan antara Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dengan lembaga Negara lainnya yang berfungsi sebagai lembaga ekskutif, legislative dan yudusial, dengan demikian dapat disimpulkan mengenai kedudukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), sehingga pada akhirnya dapat guna dicarikan solusi alternative yang lebih baik sebagai acuan ius constituendum dan perbaikan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) pada masa-masa berikutnya.

BAB 4

PENUTUP

            Pada bab ini akan disimpulkan dari keseluruhan pembahasan yang telah             dibatasi melalui rumusan masalah, sekaligus juga akan dituliskan saran-saran yang berkaitan dengan penulisan tulisan ini. Sehingga secara komprehensif mampu memberikan gambaran secara umum mengenai isi dan harapan dari tulisan yang penulis akan teliti.

                [1] Kata vonnis yang diterjemahkan sebagai putusan, sangat berkaitan dengan kata gevonden yang berasal dari kata vinden-vond-gevonden, artinya menemukan dan berpendapat.

                [2] Jimly Asshidiqie, Model-Model Pengujian konstisional di Berbagai Negara,  Jakarta, konstitusi Press, 2005, hal 5.

                [3] Jutta Limbach, The Concept of the Supremacy of the Constitution, dalam “The Modern Law Review”, Vol. 64,  No. 1, Januari 2001, hal. 3.

                [4] Miriam Budiardjo, 2005, Dasar- Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Tama, Jakarta, hlm. 50.

                [5] Herman Schwartz, The Struggle For Constitutional Justice in Post Communist Europe, 2002, hal 13.

                [6] Carl Schmitt,Constitutional Theory, Translated and edited by Jeffrey Seitzer, Duke University Press, Durham and London, 2008,  hal  230.

                [7] Lawrence Baum, (The Implementation of  United States Supreme Court Decisions, dalam Constitutionsal Courts In Comparison, The US Supreme Court and the German Federal Constitutional Court, Ralf Ragowsky & Thomas Gawron eds, op.cit. hal  226.

                [8] Jimly Asshiddiqie, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, hlm. 13.

                [9] Moh. Mahfud MD, 2010, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 69.

                [10] I Dewa Gede Atmadja, 2010, Hukum Kostitusi Problematika Konstitusi Indonesia Sesudah Perubahan UUD 1945, Setara Press, Malang, hlm.158.

                [11] Michael G. Roskin,et al., Political Science: An Introduction, Bab 13, 14

                [12] Bachsan Mustafa, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990, hlm.1

                [13] Logeman, Over de theorie van een stellig staatsrecht, diterjemahkan oleh Makkatutu menjadi Tentang Teori Suatu Hukum Tata Negara Positif, Ichtiar Baru – Van Hoeve, Jakarta, tanpa tahun, hlm. 95.

                [14] Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni, Bandung, 2006, hlm. 59

                [15] Montesquieu, The Spirit of Laws, Dasar-Dasar Ilmu Hukum dan Ilmu Politik, diterjemahkan oleh M. Khoiril Anam, Nusamedia, Bandung, 2007, hlm. 62.

                [16] Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, FH UII PRESS, Yogyakarta, 2005, hlm. 37.

                [17] Bachsan Mustafa, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990, hlm.1

                [18] Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI, Jakarta, 1988, hlm. 140

                [19] C.F. Strong, Modern Political Constitution: An Introduction to the Comparative Study of Their History and Existing Form, diterjemahkan menjadi Konstitusi-Konstitusi Politik Modern, Kajian Tentang Sejarah dan Bentuk-Bentuk Konstitusi Dunia oleh SPA Teamwork, Nuansa dan Nusamedia, Bandung, 2004, hlm. 330.

                [20] Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Konstitusi Press, Jakarta, 2006, hlm. 34

                [21] Jimly Assiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, 2006, hlm. 166.

                [22] Sri Mamuji, Penelitian Hukum, Bahan Kuliah Penelitian Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

                [23] Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek (Edisi Revisi IV). Jakarta: Rineka Cipta. 1998. Hal. 54

                [24] Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif  Suatu Tinjauan Singkat, Cetakan ke – 11. (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2009), hal. 13–14.

Continue Reading