Peran Calon Incumbent Menjaga Netralitas PNS dalam Pilkada
- Latar Belakang
Permasalahan otonomi daerah yang kian menjadi perhatian, terutama hal yang berkaitan dengan pemilihan Kepala/Wakil Kepala Daerah secara langsung yang sampai hari ini sudah dilaksanakan di beberapa Kabupaten/Kota yang ada di Indonesia. Pemilihan Kepala/Wakil Kepala Daerah secara langsung merupakan amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang dalam hal ini tidak sama dengan amanat Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen yang mana tidak mensyaratkan adanya pemilihan pemilihan Kepala/Wakil Kepala Daerah secara langsung, akan tetapi mensyaratkan pemilihan Gubernur, Buapati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala daerah propinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Hal ini sebenarnya merupakan politik hukum pemerintah dalam proses amandemen yang mana pada saat itu belum dapat dipastikan bahwa pada akhirnya pemilihan Kepala/wakil Kepala Daerah dapat dipilih secara langsung.
Dari ketentuan dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 yang terdapat perbedaan dalam penentuan redaksional mengenai sifat pemilihan umum khususnya tentang pemilihan Kepala/Wakil Kepala Daerah membuktikan bahwa sistem dan pengaturan hukum dalam rangka pemilihan umum di Indonesia belum mantap dan stabil. Salah satu penyebabnya adalah ketentuan dalam pemilihan umum itu tidak diperinci dan tegas pengaturannya dalam Undang-Undang Dasar 1945, sehingga pengaturannya diserahkan dan sangat tergantung pada dinamika pertarungan antar kepentingan politik (Jimly Asshiddiqie:2007).
Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia sebagaimana terjewantahkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 seringkali bukan malah menjadi jembatan menuju demokratisasi pelaksanaan pemerintahan di daerah, namun seringkali otonomi daerah menjadi dinamika yang dapat memunculkan konflik-konflik baru yang ada di setiap daerah terutama hal yang berkaitan dengan pelaksanaan Pemilihan Kepala/wakil Kepala Daerah secara langsung, yang mana konflik tersebut bukan hanya diakibatkan oleh hal-hal yang bersifat teknis, akan tetapi juga diakibatkan hal-hal yang bersifat normatif yang kurang jelas pengaturannya, sehingga akan menimbulkan interpretasi yang berbeda dikalangan ahli-ahli hukum. Interpretasi bisa dilakukan dikarenakan memang terdapat kepentingan kelompok dan golongan tertentu, sehingga kadangkala suatu bunyi Peraturan Perundang-Undangan dapat dimaknai sesuai dengan kebutuhan kelompok atau golongan tertentu.
Potensi konflik juga diakibatkan oleh beberapa hal yang bersifat teknis. Pertama, politik uang (money politik) yang dilakukan oleh calon kepala/wakil kepala daerah kepada pemilih dengan harapan dapat memilih figur yang memberikan imbalan. Kedua, intervensi Penguasa, dalam hal ini terdapat keberpihakan penguasa terhadap salah satu calon tertentu, sehingga dapat mempengruhi hasil pemilihan. Ketiga, Manipulasi data, ini dapat dilakukan baik dalam hal pendataan penduduk maupun penggelembungan suara. Keempat, Mobilisasi massa yang dilakukan calon tertentu dalam hal terdapat sesuatu yang diinginkan oleh calon terentu. Kelima, fanatikme kepartaian, ini sebenarnya yang selama ini terdapat pada masyarakat kalangan bawah bahwa kalau bukan partai yang diidealkan, maka dapat dikatakan partai lain adalah musuh untuk dilawan.
Permasalahan normatifme hukum juga seringkali yang kerap dijadikan senjata oleh kalangan dan kelompok tertentu. Untuk hal ini terdapat dua kemungkinan, pertama adalah peraturan perundang-undangan yang ada tidak mengatur sebagaimana mestinya, sehingga itu yang dijadikan senjata oleh kelompok tertentu dalam setiap kepentingan. Yang kedua adalah permasalahan redaksional yang kurang tepat dan jelas, artinya peraturan perundang-undangan sudah ada, akan tetapi masih terdapat multi tafsir, yang pada akhirnya tafsiran yang paling menguntungkan digunakan oleh kelompok tertentu.
Namun permasalahan pemilihan kepala daerah bukan hanya itu saja, permasalahan calon Kepala Daerah yang tengah memerintah atau sering di sebut sebagai (calon incumbent) merupakan bagian dari permasalahan yang banyak di soroti. Hal itu sesuai dengan yang sering terjadi bahwa Kepala Daerah yang tengah memerintah (calon incumbent) seringkali mempergunakan fasilitas-fasilitas publik yang ada serta mencoba mempengaruhi kalangan Pegawai Negeri Sipil agar ikut dan turut serta dalam proses mendukung dirinya dalam pilkada.
Pelaksanaan Pilkada selama ini diramaikan dengan tampilnya kembali incumbent kepala daerah (pejabat yang tengah memerintah). Dari wilayah seluruh Indonesia yang telah melangsungkan Pilkada hingga Desember 2006, sebanyak 230 orang kepala daerah incumbent (78.77%) maju kembali mencalonkan diri sebagai kandidat kepala daerah. Hanya 162 orang (21.23%) yang tidak maju sebagai calon (LSI:2006). Kepala daerah yang tengah memerintah (incumbent) masih mempunyai peluang lebih besar dalam memenangkan Pilkada. Dari pelaksanaan Pilkada hingga Desember 2006, sebanyak 62.2% kepala daerah incumbent yang maju dalam Pilkada berhsail menang.
Posisi incumbent, sangat menguntungkan bagi kandidat. Besarnya peluang kepala daerah terpilih kembali ini tidak bisa dilepaskan dari keuntungan yang didapat oleh kepala daerah, baik keuntungan langsung maupun tidak langsung. Keuntungan langsung yang didapat oleh kepala daerah yang tengah menjabat adalah dalam bentuk popularitas. Kepala daerah kemungkinan adalah orang yang paling dikenal oleh pemilih. Sementara keuntungan tidak langsung didapat oleh kepala daerah incumbent dari aktivitasnya sebagai kepala daerah. Kunjungan ke daerah, mengunjungi rumah masyarakat hingga meresmikan sebuah proyek pembangunan dapat dibungkus sebagai kampanye untuk untuk mengenalkan diri kepada masyarakat.
Upaya membuat Pilkada lebih fair dan calon yang bertarung bisa berkopetisi secara lebih berimbang, selama ini kurang menyentuh hal-hal yang substansil – seperti larangan berkampanye bagi pejabat pemerintah atau keharusan untuk cuti selama incumbent mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Upaya yang dilakukan seharusnya lebih substansial. Yakni memberikan batasan-batasan yang prinsipil kepada calon incumbent dalam mencalonkan sebagai Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah.
Gambaran lebih detil mengenai keikutsertaan kepala daerah dalam Pilkada ini bisa dirinci menurut provinsi. Hampir semua provinsi ditandai dengan majunya kembali kepala daerah incumbent. Hanya di provinsi Papua, Maluku dan Nanggroe Aceh Darussalam banyak kepala daerah incumbent yang tidak ikut maju dalam Pilkada. Dari 15 orang kepala daerah di Papua, sebanyak 6 orang (40%) tidak ikut maju kembali sebagai calon kepala daerah. Hal yang sama juga terjadi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Hingga Desember 2006, Pilkada telah dilangsungkan di 20 wilayah (1 provinsi dan 19 kabupaten /kotamadya). Dari 20 wilayah tersebut, sebanyak 6 orang kepala daerah (30%) tidak maju kembali sebagai calon kepala daerah (LSI:2006)
Jumlah Kepala Daerah Incumbent Yang Ikut Maju Dalam Pilkada
(Juni 2005- Desember 2006)
Partisipasi | Jumlah | Persen (%) |
Ikut Pilkada | 230 | 78.77 |
Tidak ikut Pilkada | 62 | 21.23 |
Total | 292 | 100.00 |
Tidak ada data | 4 | |
Total Pilkada hingga Desember 2006 |
Sumber; Depdagri
Yang menarik, sebagian besar kepala daerah incumbent yang maju kembali sebagai calon kepala daerah, tidak menggandeng pasangan lama. Dari 230 kepala daerah yang maju sebagai kandidat kepala daerah sepanjang Juni 2005-Desember 2006, hanya 18 orang kepala daerah (7.83%) yang menggandeng pasangan wakil kepala daerah lama. Selebihnya menggandeng pasangan baru. Fakta ini cukup menarik dan membutuhkan studi yang lebih mendalam untuk mengetahui alasan kepala daerah tidak menggandeng pasangan wakil kepala daerah sebelumnya.
Pasangan Kepala Daerah Incumbent Dalam Pilkada
(Juni 2005- Desember 2006)
Pasangan Wakil Kepala Daerah | Jumlah | Persen (%) |
Wakil kepala daerah sama dengan pasangan sebelumnya | 18 | 7.83 |
Menggandeng wakil kepala daerah baru (berbeda dengan pasangan sebelumnya) | 136 | 59.13 |
Tidak ada wakil sebelumnya | 76 | 33.04 |
Tital | 230 | 100.00 |
Sumber; Depdagri
Tetapi berdasar pengamatan umum, hal ini bisa disebabkan oleh berbagai hal. Pertama, pasangan wakil kepala daerah yang lama maju sebagai penantang kepala daerah. Kedua, kepala daerah membangun aliansi atau koalisi baru dengan menggandeng pasangan wakil kepala daerah dari partai lain. Misalnya saat pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD, kepala daerah menjalin koalisi dengan partai X, tetapi ketika Pilkada koalisi yang dibangun dengan partai Y. Hal ini secara luas juga menggambarkan pola koalisi politik di Indonesia yang lebih didasarkan pada kepentingan jangka pendek daripada didasarkan pada kesamaan platform.
Seberapa besar peluang kepala daerah incumbent terpilih kembali? Peluang kepala daerah incumbent ternyata sangat besar. Dari 230 kepala daerah incumbent yang maju kembali sebagai calon kepala daerah, sebanyak 143 orang (62.17%) menang dan terpilih kembali sebagai kepala daerah. Sisanya, sebanyak 87 orang (37.83%) kalah dari lawan lain.
Prosentase Keberhasilan Kepala Daerah Incumbent Yang Maju Kembali
Sebagai Calon Kepala Daerah Dalam Pilkada
62.17%
37.83% |
||||
Menang | Kalah |
Besarnya peluang kepala daerah terpilih kembali ini tidak bisa dilepaskan dari keuntungan yang didapat oleh kepala daerah, baik keuntungan langsung maupun tidak langsung. Keuntungan langsung yang didapat oleh kepala daerah yang tengah menjabat adalah dalam bentuk popularitas. Kepala daerah kemungkinan adalah orang yang paling dikenal oleh pemilih. Popularitas adalah modal utama bagi kandidat yang maju dalam pemilihan langsung seperti Pilkada. Pemilih pertama-tama akan memilih kandidat yang dikenal-paling tidak pernah didengar. Sebagus apapun kualitas dari kandidat tidak akan banyak membantu jikalau kandidat tidak dikenal oleh pemilih. Aspek popularitas ini dengan mudah bisa didapat oleh kepala daerah incumbent. Foto-foto kepala daerah biasa ditempel di kantor-kantor kepala desa atau rumah-rumah penduduk. Nama kepala daerah juga tiap hari muncul di media lokal.
Meski sebagian besar kepala daerah terpilih kembali, gambaran ini ternyata tidak tersebar secara merata ke semua provinsi. Tabel 5 menyajikan data lebih detil mengenai keberhasilan dan kegagalan kepala daerah incumbent yang maju dalam Pilkada menurut provinsi. Dari tabel ini terlihat, untuk provinsi Bengkulu, Nanggroe Aceh Darussalam, Nusa Tenggara Barat, Maluku Utara dan Sumatera Barat ternyata lebih banyak kepala daerah incumbent yang kalah dalam Pilkada. Sementara di provinsi Bangka Belitung, Jawa Barat, Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan jumlah kepala daerah incumbent yang menang dan kalah dalam Pilkada, seimbang.
Fenomena terpilihnya kembali pejabat yang tengah memerintah untuk periode berikutnya, bukanlah khas Indonesia. Di Amerika misalnya, tingkat keberhasilan pejabat yang tengah memerintah untuk terpilih kembali juga sangat tinggi. Misalnya untuk legislator. Rata-rata Sekitar 90% anggota dewan (house of representatives) dan 80% senator terpilih kembali untuk periode berikutnya (Wayne P. Steger, 2001).
Sama dengan di Indonesia, pejabat yang tengah memerintah mempunyai keuntungan lebih yang tidak dipunyai oleh orang baru. Pertama, keuntungan finansial. Sejumlah keperluan (seperti biaya komunikasi dengan konstituen, perjalanan, biaya kantor dsb) bisa ditutupi dengan memakai anggaran yang telah disediakan oleh negara sebagai legislator. Legislator yang tengah menjabat (incumbent) ini juga bisa mendayagunakan fasilitas yang dipunyai seperti staf ahli, administrasi, dan fasilitas penunjang kantor lain. Dengan kemudahan dalam hal finansial dan perlengkapan itu, legislator yang tengah memerintah punya kesempatan melakukan kampanye secara terus menerus sepanjang waktu.
Kedua, dengan posisinya sebagai legislator yang tengah memerintah, ia punya akses lebih besar dalam mendapatkan sumber dana. Sebab penyumbang yang potensial lebih suka mendonasikan uangnya untuk legislator yang tengah memerintah dibandingkan dengan calon anggota legislator. Di luar itu, anggota legislator (di Amerika) juga melakukan kampanye secara terus menerus. Anggota legislator menjalankan perannya memperjuangkan aspiras pemilih, dan sekaligus berkampanye untuk dirinya sendir guna menghadapi pemilihan periode selanjutnya.
Fenomena pejabat incumbent yang maju kembali dalam pemilihan ini, telah menjadi salah satu bidang garapan dan kajian yang menarik oleh para ahli. Para ahli pemasaran politik menyebut pola pemasaran politik bagi pejabat yang tengah memerintah ini sebagai kampanye permanan atau the permanent campaign (lihat misalnya Dan Nimmo, 2001; Darren G. Lilleker dan Jannifer Lees-Marshment, 2005). Disebut kampanye permanen karena, semua aktivitas pejabat yang tengah memerintah (incumbent) pada dasarnya adalah kampanye. Mereka menjalankan tugasnya sebagai pejabat dan pada saat bersamaan, secara tidak langsung juga melakukan kampanye. Mengunjungi masyarakat, memberikan informasi dan menyajikan tanggapan atas pertanyaan masyarakat, meresmikan sebuah proyek adalah bagian dari tugas seorang pejabat. Aktivitas tersebut secara bersamaan juga bisa dikemas untuk menjual diri kandidat. Pendeknya, jika kandidat lain hanya berkampanye menjelang pemilihan, pejabat yang tengah memerintah (disadari atau tidak) telah berkampanye selama 5 tahun menjabat. Tidak mengherankan jikalau potensi kemenangan dari incumbent ini jauh lebih besar dibandingkan dengan orang baru.
Berdasarkan pemaparan singkat di atas maka penulis tertarik meneliti tentang Peran Calon Incumbent Menjaga Netralitas PNS dalam Pilkada, sehingga nantinya terdapat kesimpulan yang dapat berguna bagi pelaksanaan pilkada yang lebih demokratis dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.