UPAYA PAKSA DALAM EKSEKUSI PUTUSAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA
Pranata eksekusi yang berlaku dalam hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara selama ini, yakni system eksekusi yang lebih menyandarkan pada kerelaan pejabat atau dengan perorangan secara hierarki ( vide pasal 116 UU No. 5 Tahun 1986 ), ternyata tidak cukup efektif untuk membuat pejabat melaksanakan/mematuhi putusan hakim Peratun. Hal mana membawa akibat, eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara sebagai lembaga kontrol ekstern (judicial control) terhadap pemerintah dalam rangka terciptanya good government nyaris kurang berfungsi. Oleh karena itu pemberlakuan lembaga upaya paksa berupa : Uang Paksa (dwangsom/astreinte), sanksi administratif dan pengumuman Putusan Hakim yang diatur dalam Undang-undang No. 09 Tahun 2004 tentang Perubahan UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara adalah merupakan tonggak sejarah baru dalam hukum acara Peratun, khususnya menyangkut eksekusi Putusan Hakim Peratun.
Yang menjadi permasalahan kemudian adalah, bagaimana aplikasi lembaga paksa tersebut dalam praktek, karena belum ada produk hukum yang mengatur tentang prosedur dan mekanisme cara pembayaran uang paksa tersebut.
Untuk itu, dalam tulisan ini akan ditawarkan gagasan sebagai salah satu bentuk pilihan tentang bagaimana implementasi lembaga paksa tersebut di Peradilan Tata Usaha Negara.
- Aplikasi Dwangsom di Peratun
Permasalahan bagaimana penerapan /aplikasi uang paksa di Peradilan Tata Usaha Negara menurut penulis adalah menyangkut hal-hal sebagai berikut :
- Jenis putusan apa saja yang dapat dikenai hukuman uang paksa.
- Kepada siapa uang paksa dibebankan.
- sejak kapan uang paksa tersebut diberlakukan.
Ad. 1.
Seperti halnya penerapan dwangsom dalam Putusan Hakim Peradilan Umum, maka tidak semua Putusan Hakim Peratun dapat diterapkan dwangsom. Hanya Putusan yang beisi penghukuman/kewajiban melakukan tindakan tertentu kepada pihak yang kalah (putusan condemnatoir), yang dapat dikenai/diterpkan dwangsom. Jadi untuk putusan yang sifatnya declaratoir (yang bersifat menerangkan) dan constitutief putusan yang bersifat meniadakan atau menimbulkan keadaan hukum yang), tidak dapat dikenai/diterapkan dwangsom. Dalam konteks Undang-undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata usaha Negara, putusan yang bersifat condemnatoir adalah berupa :
- Kewajibat mencabut keputusan TUN yang dinyatakan batal/tidak sah.
- Kewajiban menerbitkan keputusan TUN pengganti/baru.
- Kewajjiban mencabut dan menerbitkan keputusan TUN baru.
- Kewajiban membayar ganti rugi, dan
- Kewajiban melaksanakan rehabilitasi, dalam sengketa kepegawaian.
Jadi untuk putusan hakim yang hanya berisi : Menyatakan batal atau tidak sah suatu Keputusan TUN ( vide pasal 53 ayat 1 UU No.5 Tahun 1986), karena ini bukan merupakan jenis putusan yang versifat condemnatoir, maka tidak dapat dikenakan upaya paksa.
Ad. 2.
Dwangsom baru diterapkan apabila Pejabat yang dihukum untuk melakukan tindakan tertentu berdasarkan putusan hakim, ia tidak mematuhinya. Jadi dwangsom diterpakan (dipaksakan) kepada pejabat apabila ia melawan putusan hakim.
Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah, kepada siapa dwangsom tersebut harus dibebankan ?. Pembayaran sejumlah uang itu akan ditanggung oleh keuangan negara, ataukah oleh pribadi orang yang sedang menjabat tersebut. Sejauh ini ada dua pendapat yang berkembang menyangkut hal ini yakni :
Pendapat I.
Sesuai Azas kewenangan, hanyalah jabatan TUN yang berwenang menerbitkan, memperbaiki(mengoreksi), mencabut atau membatalkan KTUN, bukan Tergugat pribadi. Konsekwensi hukum dari azas tersebut adalah hanya pemegang jabatan (dhi. Tergugat) yang pada saat putusan dilaksanakan yang bersangkutan memegang wewenang untuk melaksanakan putusan pengadilan tetapi atas dasar wewenangnya tersebut Tergugat tidak bersedia menggunakan wewenangnya untuk melaksanakan putusan (dhi. Mencabut dan menerbitkan KTUN atau menerbitka KTUN). Oleh karena itu menurut hemat kami lembaga upaya paksa hanya dapat dikenakan terhadap jabatan Tergugat bukan terhadap pribadi Tergugat. (Kadar Slamet,SH. Kajian Terhadap beberapa Pasal UU No. 9 tahun 2004, Makalah. Jakarta, 7 Juni 2004).
Pendapat II.
Secara teori, seorang pejabat yang sedang menjalankan tugasnya, maka ia adalah sedang melaksanakan peran negara. Oleh karenanya manakala di dalam menjalankan peran /tugasnya tersebut mengakibatkan timbulnya kerugian bagi orang/masyarakat, sepanjang tugas-tugas tersebut dilaksanakan menurut peraturan perundang-undangan (hukum), maka adalah benar apabila kerugian yang diderita orang/masyarakat tersebut dibebankan pembayarannya kepada keuangan negara.
Hal mana adalah berbeda dengan ketika seorang pejabat tidak mematuhi putusan hakim (yang dapat disamakan tidak mematuhi hukum), maka pada saat itu justru ia tidak sedang menjalankan peran negara, karena secara ideal, menjalankan peran negara itu adalah melaksanakan ketentuan hukum, oleh karenanya resiko dari ketidak patuhan terhadap hukum tadi tidak dapat dibebankan kepada keuangan negara, tetapi harus ditanggung secara pribadi.Hal mana adalah sejalan dengan teori “kesalahan” yang dikembangkan dari Yurisprudensi Conseil d`Etat yang pada pokoknya membedakan antara “kesalahan dinas” (faute de serve) dan “kesalahan pribadi” (faute personelle). (lihat Paulus Effendi Lotulung, Prof. DR.SH,bebarapa sistem tentang kontrol segihukum terhadap pemerintahan, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 1986. hal.15).
Oleh karena itu, bertolak dari dasar pemikiran diatas, maka adalah tepat apabila seorang pejabat tidak mematuhi/melaksanakan putusan hakim Peratun, pembebanan uang paksa (dwangsom/astreinte) dibebankan/dibayar dari uang pribadi orang yang sedang menjabat/pejabat saat itu.
Kemudian dari uang/harta yang mana yang bisa dipaksakan kepada Tergugat untuk mematuhi dwangsom ?.
Menurut hemat penulis, karena yang dihukum untuk melaksanakan putusan Peratun adalah selalu Badan/Pejabat TUN yang masih aktif, tentunya secara rutin ia mendapatkan gaji setiap bulannya. Oleh karenanya apabila pejabat tersebut tidak melaksanakan amar putusan, maka adalah lebih efektif dan efisien apabila pengenaan dwangsom dambil/dipotong dari gaji bulanan yang bersanagkutan. Dan perintah pemotongan gaji diperintahkan kepada Kepala Kamtor Perbendaharaan Negara (KPN) atau Pejabat lain yang berwenang semacam itu, selanjutnya uang dwnagsom tersebut diserahkan kepada Penggugat dan pemotongan sampai dengan dipatuhinya amar putusan.
Sehingga nantinya kurang lebih (dalam konsep/gagasan penulis) amar dwangsom putusan hakim Peratun adalah berbunyi sebagai berikut :
“ Menghukum Tergugat untuk membayar uang paksa sebesar Rp ……. Dan memerintahkan Kepala KPN (atau Pejabat yang berwenang lainnya) untuk memotong gaji Tergugat sebesar beban uang paksa tersebut untuk diserahkan kepada Penggugat, setiap bulan kelambatan Tergugat melaksanakan putusan ini”.
Pertanyaan yang mungkin muncul adalah, bagaimana apabila terjadi penggantian Pejabat ?
Apabila Pejabat baru ini langsung mematuhi putusan hakim tersebut, maka ia tentunya tidak dikenai dwangsom, tetapi apabila ia juga tidak mematuhi.melaksanakan putusan, maka pemotongan gaji berlanjut pada gaji pejabat baru tersebut sampai ia mematuhi putusan itu.
Kekhawatiran yang muncul kemudian adalah, bagaimana kalau Kepala KPN atau Pejabat lain yang punya kewenangan semacamnya, tidak mematuhi perintah tersebut.
Sebaiknya kita tidak perlu pesimis, karena dalam praktek Peradilan pidana, ternyata Jaksa hampir selalu mematuhi perintah hakim pidana. Disini disebabkan karena Jaksa tidak punya interest/kepentingan pribadi terhadap putusan tersebut. Oleh karenanya kita berharap, Kepala KPN atau Pejabat yang lain yang punya kewenangan semacam, karena tidak ada kepentingan/interest terhadap keputusan yang diadili Hakim, maka ia akan mematuhi putusan tersebut. Kecuali dalam kasus-kasus tertentu yang mungkin melibatkan Pejabat pembayar tersebut. Tentunya hal tersebut sama dengan sedikit kasus pidana yang karena adanya kepentingan pihak Jaksa/Kejaksaan,sehingga eksekusinya sedikit terlambat.( Bambang Heriyanto, Para Pejabat, this is Dwangsom. Makalah. Jakarta, Mei 2004).
Ad. 3.
Untuk menentukan saat kapan seharusnya pembebanan uang paksa tadi diberlakukan, maka menurut penulis hal tersebut harus bertolak dari ketentuan pasak 116 UU No. 09 Tahun 2004 sebagai berikut :
(1) Dst.
(2) Dalam hal empat bulan setelah Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikirimkan, tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a, Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.
(3) Dalam hal Tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajibannya sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) hurug b dan c, dan dilaksanakannya, Penggugat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) agar Pengadilan memerintahkan Tergugat melaksanakan putusan pengadilan tersebut.
(4) Dalam hal Tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif.
(5) Dst.
Berpedoman pada ketentuan Pasal tersebut, maka menurut hemat penulis, pemberlakuan pengenaan uang paksa adalah sejak saat berakkhirnya masa penegoran/perintah Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud oleh Pasal 116 ayat (3) UU No. 9 Tahun 2004(- untuk itu dalam surat perintah/penetapan ketua harus disebutkan limit waktu-).
Jadi karena menurut gagasan ini, uang paksa tersebut dipotongkan dari gaji Tergugat setiap bulannya, maka pada hari berikutnya sejak berakhirnya masa penegoran oleh Ketua Pengadilan, Ketua Pengadilan harus segera mengirimkan Surat Penetapan yang ditujukan kepada Kepala KPN atau Pejabat yang mempunyai kewenangan semacam itu, yang berisi perintah agar Kepala KPN memotong gaji Tergugat setiap bulan sebesar yang ditentukan dalam amar putusan, sampai dengan Tergugat mematuhi isi putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap tersebut. (Bambang Heriyanto, Ibid).
- Aplikasi Sanksi Administrasi.
Bagaimana menerpkan/mengaplikasikan sanksi administrasi dalam putusan hakim Peratun adalah menyangkut permasalahan-permasalahan sebagai berikut :
1.Sanksi administrasi apa saja yang dapat dijatuhkan.
- Bagaimana pencantuman sanksi dalam putusan hakim.
- Kepada siapa perintah penjatuhan sanksi administrasi diperintahkan.
- Mulai kapan sanksi administrasi diterpkan/diberlakukan.
Ad. 1. Jenis Sanksi Administrasi yang dapat dijatuhkan.
Menurut peraturan pemerintah No. 30 Tahun 1980 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil diatur, bahwa kepada PNS yang melakukan pelanggaran disiplin, kepadanya dapat dikenakan sanksi administratif antara lain berupa :
- Penurunan pangkat.
- Pembebasan dari jabatan.
- Pemberhrentian dengan hormat, dan
4.Pemberhentian tidak dengan hormat. (lihat PP No. 30 Tahun 1980 dan peraturan terkait lainnya).
Dari beberapa jenis sanksi tersebut dapat dipiliih, mana yang paling tepat diterapkan dalam penjatuhan sanksi. Penulis sendiri berpendapat, sanksi administratif pembebasan dari jabatan adalah paling tepat, karena pada saat pejabat tidak mematuhi putusan peradilan Peratun, maka pada saat itu tidak mau menggunakan kewenangan jabatannya. Atau dengan kata lain pada saat itu ia sedang menggunakan jabatannya untuk melawan putusan peradilan, sehingga adalah tepat apabila ancaman pembebasan dari jabatan diterapkan apabila seorang pejabat tidak mematuhi putusan.
Ad.2. Bagaimana pencantuman Sanksi dalam putusan hakim, dan kepada siapa perintah penjatuhan sanksi administrasi diperintahkan.
Perintah penjatuhan sanksi tentunya ditujukan kepada pejabat yang berwenang menghukum terhadap Tergugat. Jadi untuk sanksi terhadap Pejabat yang termasuk kategori PNS tentunya mengacu pada PP N0. 30 Tahun 1980, dan bagi pejabat TUN lainnya/diluar PNS, berlaku ketentuan/peraturan dasar kepegawaian pada lembaga itu.
Selanjutnya ada dua kemungkinan pilihan cara enjatuhan sanksi administratif yakni :
- Apabila sanksinya dituangkan dalam amar putusan hakim.
Eg.- Memerintahkan kepada …..(nama jabatan dari pejabat yang berwenang menghukum), untuk menjatuhkan hukuman berupa- misal pembebasan dari jabatan atas nama …..(nama asli Terugat), apabila Tergugat tidak mematuhi putusan ini.
- Apabila tidak disebutkan jenis sanksinya.
Eg.- Memerintahkan kepada ….. (nama jabatan dari pejabat yang berwenang menghukum), untuk menjatuhkan hukuman disiplin atas nama ….(nama asli Tergugat), apabila Tergugat tidak mematuhi putusan ini.
Ad.3. Saat kapan sanksi admiistratif diberlakukan.
Seperti halnya dalam penjatuhan uang paksa, dengan mengacu pada ketentuan Pasal116 ayat (3) UU no. 9 Tahun 2004, maka sanksi administratif diberlakukan setelah berakhirnya masa penegoran/perintah Ketua Pengadilan. (perintah/penegoran Ketua Pengadilan harus ditentukan limit waktu).
Jadi begitu berakhir masa penegoran/aanmaning Ketua Pengadilan harus sudah menerbitkan Penetapan yang beisis perintah kepada pejabat yang berwenang menghukum untuk menjatuhkan sanksi administratif terhadap Tergugat yang tidak mematuhi putusan hakim.
- Pengumuman/Publikasi.
Ada beberapa permasalah yang harus dijawab, berkaitan dengan aplikasi Lembaga Paksa berupa pengumuman/publikasi, yakni menyangkut hal-hal sebagai berikut :
- Dimana dituangkan Penghukuman Publikasi.
- Bagaimana bentuk pengumuman.
- Apa saja yang dimuat dalam Pengumuman Publikasi.
- Kapan Publikasi tersebut mulai dilaksanakan.
- Kepada siapa biaya Pengumuman dibebankan.
Ad. 1. Dimana harus dituangkan/disebutkan Penghukuman Publikasi.
Menurut Penulis, Lembaga Upaya Paksa Pengumuman dapat diterapkan dengan dua pilihan, sebagai berikut :
- Jika mengacu bunyi Pasal 116 ayat (5) UU No.9 Tahun 2004, yang berbunyi : “ Pajabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diumumkan pada media massa cetak setempat oleh Penitera sejak tidak terpenuhinya ketentuan pada ayat (3).
Maka perintah publikasi tidak perlu dicantumkan dalam amar putusan hakim hakim, karena sesuai dengan ketentuan tersebut apabila Tergugat tidak mematuhi putusan, maka berdasarkan perintah Pasal 116 ayat (5) tersebut panitera pengumuman hal tersebut kemedia massa.
- Kan tetapiapabila Pasal 116 ayat (5) dibaca/dipahami bahwa pengumuman oleh Panitera bukan sesuatu keharusan, maka perintah pengumuman harus dicantumkan dalam amar putusan, dengan redaksi amar kurang lebih sebagai berikut :
“ Memerintahkan kepada Penitera untuk mengumumkan Putusan ini dalam media cetak ……..(nama media masa), apabila Tergugat tidak melaksanakan putusan ini”.
Ad. 2. Bentuk Pengumuman/Publikasi.
Pasal 116 UU No.9 Tahun 2004 tidak secara eksplisit menyebutkan, apa yang harus diumumkan dalam media masa cetak, sehingga dalam implementasi dapat menimbulkan pertanyaan : “yang harus diumumkan, amar putusan hakim atau pejabat yang tidak mematuhi putusan tersebut, atau harus dua-duanya.
Untuk menghindari keraguan, maka diusulkan agar Publikasi dalam media massa adalah berisi amar putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap, disertai catatan bahwa putusan tersebut belum dilaksanakan oleh Tergugat.
Ad. 3. Kapan Publikasi tersebut dilaksanakan.
Mengacu pada ketentuan Pasal 116 UU No. 9 Tahun 2004, maka publikasi dilaksanakan diumumkan dengan sebuah Penetapan Ketua Pengadilan yang harus diterbitkan pada hari berikutnya setelah berakhirnya tenggang waktu peneguran dari Ketua Pengadilan (vide Pasal 116 ayat (3) UU No.9 Tahun 2004).
Ad. 4. Kepada siapa biaya pengumuman dibebankan.
Ada beberapa kemungkinan pilihan, kepada siapa biaya pengumuman dibebankan:
- Dibebankan kepada pemohon eksekusi/Penggugat, (pilihan ini sangat mudah diterapkan karena Penggugat sangat berkepentingan terhadap eksekusi putusan, tetapi ini tentunya ini sangat memberatkan Penggugat), atau;
- dibebankan kepada Tergugat pribadi, karena pada hakikatnya ketidakpatuhan terhadap putusan adalah bersifat pribadi Tergugat.(pilihan ini agak sulit dilaksanakan, karena pada dasarnya Tergugat memang sudah membandel, sehingga dapat dibayangkan betapa sulitnya meminta uang kepada pribadi orang yang nota bene akan diumumkan aibnya) atau;
- Dibebankan kepada negara/keuangan negara. (pilihan ini mungkin dapat diterapkan, apabila ketentuan Pasal 116 ayat (5) dipahami, bahwa pengumuman adalah merupakan keharusan/kewajiban Panitera apabila Tergugat tidak mematuhi Putusan Peradilan TUN.
P e n u t u p
Sebagai penutup perlu dikemukakan disini, bahwa ketentuan gagasan yang terurai diatas, diakui atau tidak adalah berangkat dari asumsi negatif/suudzon kita kepada pejabat, bahwa “biang” dari tidak dilaksanakannya putusan Peratun adalah karena kurang kesadaran hukumnya pejabat, atau kebandelan pejabat. Padahal kalau kita mau jujur, faktor penting lain yang menyebabkan tidak dilaksanakan putusan Peratun adalah kurang atau tidak berkwalitasnya putusan hakim Peratun itu sendiri. Seperti misalnya : Putusan yang salah/tidak benar, karena ketidakmampuan hakim atau adanya faktor “x”, ataupun putusan yang tidak dapat dilaksanakan karena amarnya tidak jelas atau salah, dll. Oleh karena itu, bersamaan dalam rangka mempersiapkan peraturan pelaksanaan ketentuan dalam upaya paksa, maka secara intern hakim harus melaksanakan atau dilakukan pembenahan, yang bisa ditempuh dengan mengintensifkan pelatihan-pelatihan, terutam berisiskan materi pembuatan/penyusunan putusan hakim yang berkwalitas. (disusun secara baik dengan pertimbang yang cukup, mengandung kebenaran dan keadilan serta dapat dilaksanakan/executable).
Dan yang penting juga diingat bahwa Lembaga Upaya Paksa adalah bukan merupakan hukuman pokok, tetapi lebih merupakan alat eksekusi. Jadi bersifat pressie middle, artinya suatu upaya tekanan (secara psikologis), agar terhukum mau mematuhi atau melaksanakan hukuman pokok. Disamping itu karena ia merupakan sebuah lembaga paksa, maka penerapannya oleh hakim haruslah sangat hati-hati setelah melalui pertimbangan yang matang.
Demikian tulisan singkat yang masih bersifat “gagasan” ini sengaja disusun, diharapkan dapat bermanfaat bagi penyusunan peraturan pelaksanaan ketentuan tentang upaya paksa sebagaiman diatur dalam Pasal 116 Perubahan UU No. 9 Tahun 2004 tentang perubahan UU No.5 Tahun 1986 tentang Peradilan tata Usaha Negara. Sehingga harapan Peradilan Tata Usaha Negara menjadi sebuah lembaga kontrol ekstern (judicial control) yang sfektif terhadap pemerintah dapat segera terwujud, dan sekaligus dapat menghapus stigma “ macan ompong “ pada putusan hakim Peratun. Akhirnya “para pejabat this is dwangsom”.
Daftar Bacaan.
- Djazuli Bachar,SH.EksekusiPutusan Perkara Perdata, Akademika Pressindo, Jakarta, 1995.
- Indroharto,SH, Usaha Memahami Undang-undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. (buku I dan II), Pustaka sinar Harapan, Jakarta, 1994.
3.Irfan Fachrudin, DR.SH.MH.Konsekwensi Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap tindakan Pemerintah,Disertasi, Universitas Padjadjaran, Bandung, 2003.
4.Lilik Mulyadi,SH.,MH, Tuntutan uang Paksa (Dwangsom) dalam Teori dan Praktik,Djambatan, Jakarta, 2001.
5.M. Yahya Harahap,SH, Ruang lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,1995.
6.Paulus Effendi Lotulung,Prof.DR.SH. Beberapa Sistem tentang Kontrol Segi Hukum Terhadap Pemerintahan, PT. Ilmu Bhuana Populer, Jakarta 1986.
7.Roihan A. Rasyid, Drs.SH, Hukum Acara Peradila Agama,CV. Rajawali.Jakarta 1991.
8.Retwulan Sutanto,Sh dan Iskandar Oeripkartawinata,SH, Hukum Acara Perdata Teori dan Praktek. Alumni Bandung 1986.
- Kadar Slamet,SH. Kajian Terhadap beberapa Pasal UU No.9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peratun, Makalah, Semarang, 7 Juni 2004.
10.Bambang Heriyanto,SH.,MH. Para Pejabat This is Dwangsom, Makalah Jakarta, 2004.
11.Undang-undang RI. No.8 Tahun 1981, tentang Hukum Acara Pidana.
12.Undang-undang RI. No.5 Tahun 1986, tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
- Undang-undang RI. No.7 Tahun 1989, tentang Peradilan Agama.