UNDANG-UNDANG No. 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN (Relevansinya Terhadap Disiplin Penegakan Hukum Administrasi Negara dan Penegakan Hukum Pidana)

UNDANG-UNDANG No. 30 TAHUN 2014

TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN

(Relevansinya Terhadap Disiplin Penegakan Hukum Administrasi Negara dan Penegakan Hukum Pidana)

  1. HUKUM PIDANA SEBAGAI SARANA HUKUM ULTIMUM REMEDIUM

Ultimum Remedium merupakan salah satu azas yang terdapat didalam hukum pidana kita yang menyatakan bahwa hukum pidana hendaklah dijadikan upaya terakhir dalam hal penegakan hukum. Hal ini mempunyai makna apabila suatu tindak pidana dapat diselesaikan melalui jalur lain hendaklah jalan tersebut terlebih dahulu dilalui. Jalan lain yang dimaksud adalah penyelesaian secara kekeluargaan, negosiasi, mediasi perdata ataupun hukum administrasi. Dalam hukum pidana, kita mengenal istilah ultimum remidium”. Artinya bahwa sanksi pidana dipergunakan manakala sanksi-sanksi yang lain sudah tidak berdaya. Dengan perkataan lain, dalam suatu undang-undang sanksi pidana dicantumkan sebagai sanksi yang terakhir,setelah sanksi perdata, maupun sanksi administratif.

Mengapa mekanisme ini dipergunakan. Agar selain memberikan kepastian hukum juga agar proses hukum pidana yang cukup panjang dapat memberikan keadilan baik terhadap korban maupun terhadap pelaku itu sendiri. Dalam perkembangan ilmu hukum pidana yang sudah jauh maju, upaya “ultimum remedium’ merupakan senjata terakhir dipergunakan. Senjata terakhir (ultimum remedium) merupakan upaya-upaya lain sudah ditempuh. Baik gugatan perdata, sanksi administrasi maupun upaya-upaya lain. Hoenagels[1] menekankan kembali penting mempertimbangan berbagai faktor untuk melakukan kriminalisasi agar tetap menjaga dalil Ultimum Remedium dan tidak terjadi over criminalization antara lain :

  1. Jangan menggunakan Hukum Pidana dengan cara emosional;
  2. Jangan menggunakan hukum pidana untuk mempidana perbuatan yang tidak jelas korban atau kerugiannya;
  3. Jangan menggunakan hukum pidana, apabila kerugian yang ditimbulkan dengan pemidanaan akan lebih besar daripada kerugian oleh tindak pidana yang akan dirumuskan;
  4. Jangan menggunakan hukum pidana apabila tidak didukung oleh masyarakat secara kuat;
  5. Jangan menggunakan hukum pidana apabila penggunaannya diperkirakan tidak akan efektif;
  6. Hukum pidana dalam hal-hal tertentu harus mempertimbangkan secara khusus skala prioritas kepentingan pengaturan;
  7. Hukum pidana sebagai sarana represif harus didayagunakan secara serentak dengan sarana pencegahan.

Karakteristik Hukum Pidana dalam konteks ultimum remedium ini dapat diartikan bahwa keberadaan pengaturan sanksi pidana diletakkan atau diposisikan sebagai sanksi terakhir.[2] Artinya, dalam suatu UU yang pertama kali diatur adalah sanksi administratif atau sanksi perdata, kemudian baru diatur tentang sanksi pidana. Jadi  apabila sanksi administrasi dan sanksi perdata belum mencukupi untuk mencapai tujuan memulihkan kembali keseimbangan di dalam masyarakat, maka baru diadakan juga sanksi pidana sebagai senjata terakhir atau ultimum remedium. Penerapan ultimum remedium ini dapat mengakomodasi kepentingan pelaku tindak pidana, mengingat sanksi pidana itu keras dan tajam jadi selalu diusahakan menjadi pilihan terakhir setelah sanksi lain dirasakan kurang.[3]

Bersimpul dari hal di atas sebenarnya dapat kita artikan bahwa Pemidanaan adalah merupakan alternatif terakhir bagi suatu perbuatan hukum pidana (delik). Sama halnya bahwa untuk suatu tindak pidana tertentu Asas Ultimum Remedium itu mewajibkan syarat harus dilakukan upaya pemberian sanksi lain (non pidana) baik itu denda, peringatan, sanksi administrasi atau hal lainnya sebelum dilakukannya upaya Pidana baik berupa penjara/kurungan. Penegakan Hukum Pidana tetap memperhatikan asas Ultimum Remedium yang mewajibkan penerapan penegakan hukum  pidana sebagai upaya terakhir setelah penerapan penegakan hukum administratif dianggap tidak berhasil.  Sudut pandang pragmatism hukum dapat menyimpulkan bahwa Ultimum Remedium memberikan ruang bagi masyarakat luas akan upaya perbaikan, koreksi, dan upaya lainnya sebelum pemidanaan diberikan. No Criminal Penalty before Adminsitrative Correction is implemented.[4]

  1. KEPUTUSAN BADAN/PEJABAT TATA USAHA NEGARA DILINDUNGI ASAS PRAESUMPTIO IUSTAE CAUSA

Asas presumptio juatae causa adalah salah satu asas yang terdapat dalam hokum acara Pengadilan Tata Usaha Negara. Bila diartikan kata-perkata, maka akan diperoleh pengertian sebagai berikut:[5]

  1. Presumptio       : an inference required or permitted by law as to the existence of one fact   from proof of the existence of other facts or a conclusion derived from a particular set of facts based on law, rather than probable reasoning.
  2. Justae   : justice, the law and its administration.
  3. Causa   : (in the abl.) on account of, for the sake of ; case at law, case, law-suit /situation, condition ; cause /reason, motive, pretext /interest.

Bila diartikan dalam bahasa Indonesia, maka secara presumptio justae causa diartikan sebagai keputusan pemerintah harus selalu dianggap benar dan sah sebelum ada keputusan hukum tetap yang menyatakan bahwa keputusan itu tidak berlaku. Berdasarkan Asas praduga Rechmatiq/Praesumptio iustae causa bahwa keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) harus dianggap sah secara hukum sampai dengan adanya keputusan Pengadilan yang menyatakan sebaliknya, hal ini agar tugas pemerintahan khususnya dalam rangka memberikan perlindungan (protection), pelayanan umum (public servis) dan mewujudkan kesejahteraan (welfase) bagi masyarakat dapat berjalan, namun sebagai penyeimbang guna memberikan perlindungan hukum terhadap kepentingan penggugat, hakim dapat mengeluarkan penundaan pelaksanaan (Scorsing). Penetapan merupakan  Produk hukum yang lahir dari permohonan (tidak ada sengketa) tapi dalam hal ini terdapat sengketa Tata Usaha Negara, namun hakim dapat mengeluarkan penetapan penundaan/scorsing.

Pemberian perlindungan kepada rakyat merupakan amanat dari Pembukaan (Preambule) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alInea ke 4 (empat) yang menyebutkan, … untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia[6] (kursif dari penulis) Perlindungan terhadap segenap bangsa indonesia[7] tidak hanya dari ancaman pihak luar yang bersifat eksternal,  akan tetapi termasuk pula dari tindakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang melanggar hukum  yang berimplikasi menimbulkan kerugian bagi rakyat.

Pemberian penghargaan amat penting terhadap penundaan pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dikatakan oleh Adrian B. Webner,menurut penulis dapat dipahami, oleh karena :

  1. Penundaan pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara mengakibatkan daya laku (gelding) terhadap Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat terhenti untuk sementara waktu (tijdelijk);
  2. Penundaan pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara mengakibatkan suasana/keadaan hukumnya (rechtstoestand) kembali pada keadaan atau posisi semula (restitutio in integrum) sebelum adanya Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan;
  3. Penundaan pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara memberi batasan (restricteren) berlakunya asas praduga Sah (praesumtio iustae causa/vermoeden van rechtmatigheid).

Dengan memperhatikan 3 (tiga) aspek hukum yang ditimbulkan bilamana penundaan pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara dikeluarkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara, seyogyanya menurut Supandi:

lembaga penangguhan (schorsing) maksudnya penudaan pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara harus dijabarkan secara sangat hati-hati karena semata-mata hanya untuk memberikan kualitas keseimbangan perlindungan kepentingan umum dengan kepentingan individu warganegara (Penggugat). Namun, manakala dalam rangka melindungi kepentingan individu warganegara (Penggugat) tersebut berakibat terlantarnya kepentingan umum, maka Pengadilan (hakim) wajib mengutamakan kepentingan umum.[8]

Didalam ilmu hukum bahwa suatu “keputusan” dikatakan sah menurut hukum (rechsmatig) apabila keputusan tersebut memenuhi persyaratan tertentu yang ditentukan oleh hukum. Dengan dipenuhinya persyaratan yang ditentukan oleh hukum maka keputusan tersebut mempunyai kekuatan hukum (rechtskrach) untuk dilaksanakan. sebaliknya apabila suatu keputusan tersebut tidak memenuhi persyaratan maka menurut hukum ketetapan atau keputusan tersebut menjadi ” tidak sah” yang berakibat hukum menjadi ” batal” (nietig). Menurut Van der Pot, ada 4 syarat yang harus di penuhi agar ketetapam administrasi sebagai ketetapan sah dan apabila salah satunya tidak dipenuhi dapat menimbulkan akibat bahwa ketetapan administrasi tersebut menjadi ketetapan tidak sah: 1. bevoedgheid ( kewenangan ) organ administrasi yang membuat keputusan; 2. geen juridische gebreken in de wilsvorming ( tidak ada kekurangan yuridis dalam pembentukan kehendak ); 3. vorm dan procedure yakni keputusan dituangkan dalam bentuk yang telah diketapkan dan dibuat menurut tata cara yang telah ditetapkan; Isi dan tujuan keputusan sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasar.[9]

Philipus M. Hadjon mengutarakan wewenang, prosedur dan substansi, ketiga aspek hukum merupakan landasan hukum untuk dapat dikatakan suatu ketetapan atau keputusan tersebut sah. Pertama, aspek wewenang dalam hal ini artinya bahwa pejabat yang mengeluarkan ketetapan tersebut memang mempunyai kewenangan sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk itu; kedua, aspek prosedur, berarti bahwa ketetapan atau keputusan tersebut dikeluarkan sesuai dengan tatacara yang disyaratkan dan bertumpu kepada asas keterbukaan pemerintah; ketiga, aspek substansi, artinya menyangkut obyek ketetapan atau keputusan tidak ada ” Error in re“. selanjutnya dijelaskan bahwa istilah keabsahan adalah terjemahan dari istilah Belanda ” rechtmatigheid” ( van bestuur). Rechtmatigheid = legalitas = legality.[10] Ruang lingkup keabsahan meliputi : 1. wewenang; 2. prosedur; 3. Substansi. Butir 1 dan 2 ( wewenang dan substansi ) merupakan landasan bagi legalitas formal. Atas dasar legalitas formal lahirlah asas presumptio iustae causa. Atas dasar asas itulah ketentuan pasal 67 ayat (1) UU. No. 5 Th. 1986 menyatakan: Gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya Keputusan Badan atau Tata Usaha negara serta tindakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang digugat.

  1. PENYALAHGUNAAN WEWENANG OLEH BADAN/PEJABAT TATA USAHA NEGARA

Penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) merupakan konsep hukum administrasi negara yang banyak menimbulkan salah paham dalam memaknainya. Dalam praktik detournement de pouvoir dicampuradukkan dengan perbuatan sewenang-wenang (willekeur/abus de droit), penyalahgunaan sarana dan kesempatan, melawan hukum (wederrechtelijkheid, onrechmatige daad), atau bahkan memperluasnya dengan setiap tindakan yang melanggar aturan atau kebijakan apapun dan di bidang apapun. Dengan penggunakan konsep luas dan bebas ini akan mudah menjadi senjata penyalahgunaan wewenang yang lain dan justru dan kebebasan bertindak pemerintah dalam menghadapi situasi konkret (freies ermessen) tiada artinya.

Di dalam hukum administrasi asas legalitas/keabsahan (legaliteit beginsel/wetmatigheid van bestuur)[11] mencakup tiga aspek yaitu: wewenang, prosedur dan substansi. Artinya wewenang, prosedur maupun substansi harus berdasarkan peraturan perundang-undangan (asas legalitas), karena pada peraturan perundang-undangan tersebut sudah ditentukan tujuan diberikannya wewenang kepada pejabat administrasi, bagaimana prosedur untuk mencapai suatu tujuan serta menyangkut tentang substansinya.

Di atas telah dikemukakan bahwa penyalahgunaan wewenang dapat terjadi pada jenis wewenang terikat dan juga bisa terjadi pada jenis wewenang bebas (diskresi). Indikator atau tolok ukur penyalahgunaan wewenang pada jenis wewenang terikat adalah asas legalitas (tujuan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan); sedangkan pada jenis wewenang bebas (diskresi) mempergunakan parameter asas-asas umum pemerintahan yang baik, karena asas “wetmatigheid” tidaklah memadai. Di dalam praktek peradilan sering dipertukarkan/ dicampuradukan antara penyalahgunaan wewenang dan cacat prosedur yang seolah-olah cacat prosedur itu in heren dengan penyalahgunaan wewenang.[12]

Untuk mengetahui kepada siapa yang harus bertanggungjawab secara yuridis terhadap penggunaan wewenang yang melanggar hukum (penyalahgunaan wewenang) harus dilihat dari segi sumber atau lahirnya wewenang. Hal tersebut sesuai dengan konsep hukum “geen bevoegdheid zonder verantwoordelijkheid atau there is no authority without responslibility”. Di dalam setiap pemberian wewenang kepada pejabat pemerintahan tertentu tersirat pertanggungjawaban dari pejabat yang bersangkutan.

Pertanggungjawaban mandat bersumber dari persoalan wewenang, karena wewenang tetap berada pada mandans (pemberi wewenang) sedangkan mandataris (penerima wewenang) hanya dilimpahi wewenang bertindak untuk dan atas nama mandans. Pada mandat tidak terjadi penyerahan wewenang, artinya mandans tetap dapat bertindak sendiri atas namanya. Tidak adanya penyerahan wewenang pada mandat maka yang bertanggung jawab secara yuridis tetap pada mandans (pemberi wewenang).

Pada atribusi wewenang pertanggungjawaban secara yuridis oleh si penerima wewenang, tergantung pada di penerima wewenang melakukan mandat atau delegasi. Jika yang dilakukan adalah pemberian mandat maka si mandans (pemberi wewenang/ penerima wewenang dalam atribusi) tetap bertanggung jawab. Hal tersebut berbeda kalau dengan cara delegasi, maka pemberi wewenang tidak bertanggung jawab, pertanggung jawaban sudah beralih pada delegatoris.[13]

Pada delegasi, pekerjaan yang didelegasikan diserahkan sebagian atau seluruh wewenang kepada penerima delegasi (delegatoris) untuk bertindak melaksanakan pekerjaan tersebut atas namanya sendiri. Pada delegasi disertai dengan penyerahan wewenang, oleh karenanya jika terjadi penyalahgunaan wewenang oleh delegatoris maka yang bertanggungjawab adalah delegatoris.

  1. PTUN SEBAGAI LEMBAGA PENGUJI PENYALAHGUNAAN WEWENANG OLEH BADAN/PEJABAT TATA USAHA NEGARA

Penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) merupakan konsep hukum administrasi negara yang banyak menimbulkan salah paham dalam memaknainya. Dalam praktik detournement de pouvoir dicampuradukkan dengan perbuatan sewenang-wenang (willekeur/abus de droit), penyalahgunaan sarana dan kesempatan, melawan hukum (wederrechtelijkheid, onrechmatige daad), atau bahkan memperluasnya dengan setiap tindakan yang melanggar aturan atau kebijakan apapun dan di bidang apapun. Dengan penggunakan konsep luas dan bebas ini akan mudah menjadi senjata penyalahgunaan wewenang yang lain dan justru dan kebebasan bertindak pemerintah dalam menghadapi situasi konkret (freies ermessen) tiada artinya.

Konsep detournement de pouvoir sendiri dalam hukum administrasi tidak dimaknai sama para ahli dan praktik penerapannya oleh peradilan administrasi dan pengadilan pidana (korupsi). Detournement de pouvoir menurut Winarsih Arifin dan Farida Sumargono dalam Kamus Perancis-Indonesia Dictionnaire Francais-Indonesie, bahwa detourne adalah menyimpang, berputar, tidak langsung, mengambil jalan yang menyimpang untuk mencapai tujuan.[14] Sedangkan, Detournement adalah penyimpangan, pembelokan, penyelewenangan, penggelapan. Pouvoir adalah kemampuan, kekuasaan menurut hukum.

Asas detournement de pouvoir oleh Kunjoro Purbopranoto (1981) diartikan asas “jangan mencampuradukkan kewenangan” ini dipahaminya sebagai badan-badan pemerintahan yang mempunyai kewenangan untuk mengambil suatu keputusan menurut hukum tidak boleh menggunakan kewenangan tersebut untuk tujuan selain dari tujuan yang telah ditetapkan untuk kewenangan itu.

Indroharto[15] sendiri menyetujui rumusan Pasal 53 ayat (2) No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara merupakan penyalahgunaan wewenang, yaitu kalau ada Badan atau Pejabat TUN menggunakan wewenang yang diberikan kepadanya menyimpang dari maksud dan tujuan tersebut. Dalam praktik, dikatakan oleh Indroharto, jarang sekali pembatalan dengan dasar ini karena berbagai rintangan yang akan dihadapi dalam pembuktian di persidangan. Karena dengan dasar ini seseorang hakim harus memastikan dalam membuat KTUN dengan itikad buruk, menyimpang dari maksud dan tujuan dari wewenang tersebut, dan mempunyai niat yang berbeda dengan maksud dan tujuan diberikannya wewenang kepadanya.

Indroharto juga berpendapat, sebenarnya dasar detournement de pouvoir tidak begitu perlu. Instansi yang mengeluarkan keputusan dapat menggunakan konstruksi lain, yaitu dengan alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jika pertimbangan keputusan tidak memadai bisa membatalkannya dengan dasar alasan bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Selanjutnya Philipus M. Hadjon dkk dalam Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to The Indonesian Administrative Law ), cet ke-10 (2008) juga senada. Asas suatu wewenang tidak boleh digunakan untuk tujuan lain selain untuk tujuan ia diberikan yang di dalam hukum Belanda tidak banyak diketemukan bagaimana contoh aturan ini yang menyebabkan pembatalan. “Pada umumnya penyalahgunaan suatu wewenang juga akan bertentangan dengan suatu peraturan perundang-undangan,” tulisnya di halaman 277. Menurut definisi Prins, sebagaimana dikemukakan E. Utrecht sebagai definisi yang terang yang intinya detournement de pouvoir terjadi manakala suatu alat negara menggunakan kekuasaannya untuk menyelenggarakan kepentingan umum yang lain dari pada kepentingan umum yang dimaksud oleh peraturan yang menjadi dasar kekuasaan itu. Detournement de pouvoir tidak hanya gejala dalam membuat ketetapan tetapi juga dalam lapangan pemerintahan dalam arti luas, termasuk legislasi dan mengadili (Utrecht, 1986: 150-151).

Dalam Verklarend Woordenboek OPENBAAR BESTUUR, detournement de pouvoir dirumuskan sebagai penggunaan wewenang tidak sebagaimana mestinya. Dalam hal ini pejabat menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain yang menyimpang dari tujuan yang telah diberikan kepada wewenang itu. Dengan ini pejabat melanggar asas spesialitas. Menurut Philipus M. Hadjon dkk dalam Hukum Administrasi Negara dan Good Governance (2012) berdasarkan pengertian tersebut, penyalahgunaan wewenang dilakukan bukan karena kealpaan, tetapi secara sadar mengalihkan tujuan yang telah diberikan kepadanya. Pengalihan ini bisa karena interes pribadi, untuk kepentingan diri sendiri atau orang lain.

Pendapat ini saat ini paling banyak diikuti. Lebih jauh, Anna Erliyana sesuai penelitiannya diatas dengan membandingkan konsep di negara yang menganut sistem kontinental dan common law, administrasi negara dikatakan melanggar larangan detournement de pouvoir, manakala wewenang administrasi negara dilaksanakan untuk tujuan yang lain atau berbeda dengan tujuan semula diberikannya wewenang tersebut oleh undang-undang. Pengertian ini dianut oleh Belanda, Perancis dan Indonesia. Perancis memperkaya konsep tersebut dengan istilah abuse of power (penggunaan wewenang melampui batas, tidak layak dan tidak sesuai peraturan). Di negara common law dikatakan menyalahgunakan wewenang apabila tindakan pemerintah dalam membuat keputusan yang dilaksanakan tanpa wewenang atau yurisdiksi maka disebut ultra vires. Doktrin ultra vires meliputi abuse of power.

Yang penting dikemukakan Erliyana, dalam penanganan kasus menunjukkan kesamaaan bahwa di Perancis, Belanda, Indonesia dan Inggris, yaitu dengan penyalahgunaan wewenang maka keputusan yang dibuat menguntungkan kepentingan pejabat dan kelompok tertentu, oleh karenanya keputusan administrasi negara tersebut bertentangan dengan kepentingan umum. Hakim administrasi di Perancis mengalami kesulitan dalam mengungkap motivasi pembuatan keputusan. Oleh karenanya penilaiannya kemdian dipermudah dengan  hakim melihat sebagai berikut: (1) adanya serangkaian petunjuk yang dapat meyakinkan hakim bahwa terjadi detournement de pouvoir dan (2) adanya petunjuk dan prasangka yang serius dan hal tersebut tidak dibantah oleh administrasi negara.

Secara Yuridis untuk mengetahui penyalahgunaan wewenang (penggunaan wewenang yang melanggar hukum) harus dilihat dari segi sumber atau lahirnya wewenang. Ini sejalan dengan konsep hukum, “Di dalam setiap pemberian wewenang kepada pejabat pemerintahan tertentu tersirat pertanggungjawaban dari pejabat yang bersangkutan” (geen bevoegdheis zonder verantwoordelikjkheid atau  there is no authoritu without responbility).[16] Ini membuktikan bahwa dalam hukum administrasi di setiap penggunaan wewenang di dalamnya terkandung pertanggungjawaban, namun tidak semua pejabat yang menjalankan wewenang itu secara otomatis memikul tanggung jawab karena harus dapat melihat apakah pejabat yang bersangkutan yang memikul jabatan tersebut, baik dilihat dari cara memperoleh dan menjalankan wewenang. Atau menurut L.J.A Damen, yang mengatakan bahwa “ada tidaknya unsur penyalahgunaan wewenang diuji dengan asas spesialitas (specialiteitsbeginsel) yakni asas yang menentukan bahwa wewenang itu diberikan kepada organ pemerintahan dengan tujuan tertentu”.[17] Jika menyimpang dari tujuan diberikannya wewenang ini dianggap sebagai penyalahgunaan wewenang.

Di dalam hukum administrasi asas legalitas/keabsahan (legaliteit beginsel/wetmatigheid van bestuur) mencakup tiga aspek, yaitu: wewenang, prosedur, dan substansi. Artinya wewenang, prosedur maupun substansi harus berdasarkan peraturan perundang–undangan (asas legalitas), karena pada peraturan perundang-undangan tersebut sudah ditentukan tujuan diberikannya wewenang kepada pejabat administrasi, bagaimana prosedur untuk mencapai suatu tujuan serta menyangkut tentang substansinya.

Indriyanto Seno Adji, memberikan pengertian penyalahgunaan wewenang dengan mengutip pendapatnya Jean Rivero danWaline dalam kaitannya “detournement de pouvoir” dengan “Freis Ermessen”, penyalahgunaan wewenang dalam hukum administrasi dapat diartikan dalam 3 (tiga) wujud yaitu :[18]

  1. Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum untuk menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok atau golongan
  2.  Penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut adalah benar diajukan untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari tujuan apa kewenangan tersebut diberikan oleh undang-undang atau peraturan-peraturan lainnya,
  3. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah menggunakan prosedur lain agar terlaksana

Sjachran Basah mengartikan penyalahgunaan wewenang atau “detournement de pouvoir”[19] adalah perbuatan pejabat yang tidak sesuai dengan tetapi masih dalam lingkungan ketentuan peraturan perundang-undangan.[20]

Melampaui wewenang

Menurut Wiktionary, “melampaui wewenang adalah melakukan tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan berdasarkan perundang-undangan tertentu. Berdasarkan pengertian dalam pasal 1 angka 3 Undang-undang No. 37 Tahun 2008 yang menguraikan unsur dari pemenuhan suatu tindakan administrasi point kedua: “yang melampaui wewenang, atau menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, atau termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik”.

Mencampuradukkan wewenang

Pengertian kedua ini sejalan dengan asas larangan untuk mencampuradukkan kewenangan dimana asas tersebut memberikan petunjuk bahwa “pejabat pemerintah atau alat administrasi negara tidak boleh bertindak atas sesuatu yang bukan merupakan wewenangnya atau menjadi wewenang pejabat atau badan lain”. Dengan demikian apabila instansi pemerintah atau pejabat pemerintah atau alat administrasi negara diberi kekuasaan untuk memberikan keputusan tentang suatu kasus (masalah konkrit), maka keputusan yang dibuat tidak boleh digunakan untuk maksud-maksud lain terkecuali untuk maksud dan tujuan yang berhubungan dengan diberikan kekuasaan/wewenang tersebut.

Bertindak sewenang-wenang

Menurut Sjachran Basah “abus de droit” (tindakan sewenang-wenang), yaitu perbuatan pejabat yang tidak sesuai dengan tujuan di luar lingkungan ketentuan perundang-undangan. Pendapat ini mengandung pengertian bahwa untuk menilai ada tidaknya penyalahgunaan wewenang dengan melakukan pengujian dengan bagaiamana tujuan dari wewenang tersebut diberikan (asas spesialitas). Bertindak sewenang-wenang juga dapat diartikan menggunakan wewenang (hak dan kekuasaan untuk bertindak) melebihi apa yang sepatutnya dilakukan sehingga tindakan dimaksud bertentangan dengan ketentuan.

Dalam Pasal 21 UU RI Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan diatur tentang penyalahgunaan wewenang sebagaimana juga diatur dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diatur dalam pasal 3 UU 31/1999 yang diubah dengan UU 20/2001. Pasal 21 ayat (1) UU Administasi Pemerintahan tersebut, yaitu menyatakan sebagai berikut:

“Pengagadilan berwenang menerima, memeriksa, dan memutuskan ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan Wewenang yang dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan”

Sedang UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diatur dalam pasal 3 UU 31/1999 yang diubah dengan UU 20/2001 penyalahgunaan wewenang adalah :

“Setiap orang yang bertujuan menguntungkan diri sendiri ataupun orang lain atau suatu korporasi, apabila Ia menyalahgunakan WEWENANG, KESEMPATAN ATAU SARANA YANG MELEKAT PADANYA KARENA JABATAN ATAU KEDUDUKANNYA, dan perbuatannya itu dapat merugikan negara atau perekonomian negara dijatuhi pidana”

Dengan demikian unsur “menyalahgunakan kewenangan” sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diartikan memiliki pengertian yang berbeda dengan “penyalahgunaan kewenangan” sebagaimana disebut dalam Pasal 21 ayat (1) UU RI Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, atau lebih jauh lagi bahwa ketentuan dalam Pasal 21 ayat (1) UU RI Nomor 30 Tahun 2014 tersebut dianggap telah mencabut kewenangan yang dimiliki penyidik dalam melakukan penyidikan dalam rangka mengetahui apakah telah terjadi penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh seorang tersangka selaku pejabat pemerintahan yang mana menurut hal tersebut seharusnya menjadi objek untuk diuji terlebih dahulu di Peradilan Tata Usaha Negara.

Sesungguhnya diskursus ini hanya mengulang kembali perdebatan lama di antara para ahli hukum tentang adanya keterkaitan antara hukum administrasi negara dengan hukum pidana yang dalam hal ini khususnya mengenai tindak pidana korupsi. Keterkaitan tersebut menimbulkan kesulitan dalam membedakan kapan seorang aparatur negara itu melakukan perbuatan melawan hukum yang masuk dalam ruang lingkup hukum pidana dan kapan dapat dikatakan melakukan penyalahgunaan wewenang yang masuk dalam ruang lingkup hukum administrasi negara.

Penyalahgunaan kewenangan mempunyai karakter atau ciri :

  1. Menyimpang dari tujuan atau maksud dari suatu pemberian kewenangan;
  2. Menyimpang dari tujuan atau maksud dalam kaitannya dengan asas legalitas;
  3. Menyimpang dari tujuan atau maksud dalam kaitannya dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik;

Secara substansial, asas spesialitas (specialialiteit beginsel) mengandung makna bahwa setiap kewenangan memiliki tujuan tertentu. Penyimpangan terhadap asas ini akan melahirkan penyalahgunaan kewenangan (detournement de pouvoir). Parameter peraturan perundang-undangan maupun asas-asas umum pemerintahan yang baik dipergunakan untuk membuktikan instrumen atau modus penyalahgunaan kewenangan (penyalahgunaan kewenangan dalam Pasal 3 UUPTPK), sedangkan penyalahgunaan kewenangan baru dapat diklasifikasikan sebagai tindak pidana apabila berimplikasi terhadap kerugian negara atau perekonomian negara (kecuali untuk tindak pidana korupsi suap, gratifikasi, dan pemerasan), Tersangka mendapat keuntungan, masyarakat tidak dilayani, dan perbuatan tersebut merupakan tindakan tercela.

Dengan demikian tidak terjadi disharmonisasi antara pengertian penyalahgunaan wewenang antara yang terdapat dalah UU Tindak Pidana Korupsi dengan UU Administrasi Pemerintahan. Akan tetapi konsep penyalahgunaan wewenang merupakan konsep yang berlaku dalam hukum administrasi Negara, untuk itu penyelesaiannya harus berlaku dan melalui prosedur hukum administrasi Negara. Hal itu sebagaimana asas hukum yang berlaku dalam hukum administrasi Negara bahwa badan/pejabat Tata Usaha Negara dilindungi berdasarkan asas presumptio juatae causa, dimana Keputusan yang diambil oleh badan/pejabat Tata Usaha Negara harus dianggap benar sebelum adanya Putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Bahwa selain itu juga untuk mempertahankan prinsip Ultimum Remedium terhadap penegakan hukum Pidana, sehingga tidak semua kebijakan dapat dipidana, sebelum diupayakan menurut kaidah-kaidah hukum yang berlaku dalam hal ini adalah Hukum Administrasi Negara.

Kebijakan atau keputusan setelah diambil dapat dievaluasi. Kebijakan bisa dianggap benar jika membuahkan hal yang positif. Sebaliknya kebijakan dianggap salah jika membuahkan hasil yang tidak diharapkan dan cenderung merugikan. Bagi pengambil kebijakan yang tepat akan mendapat penghargaan dan promosi. Tidak demikian tentunya bila pengambil kebijakan dianggap telah salah mengambil kebijakan. Satu hal yang pasti, para pengambil kebijakan bukanlah peramal yang dapat menerawang ke depan. Kebijakan benar atau salah hanya dapat diketahui pascapengambilan kebijakan (post factum). Kebijakan salah tidak sepatutnya diberi sanksi pidana. Bila ini yang terjadi, para pengambil kebijakan tidak akan ada yang berani mengambil keputusan kecuali kebijakan yang diambil benar-benar dapat dipastikan tidak salah.

Untuk itu harus terdapat mekanisme untuk menguji apakah perbuatan yang telah dilakukan Badan/Pejabat Tata Usaha Negara telah menimbulkan penyalahgunaan wewenang atau tidak. Dengan demikian perlu sebuah lembaga yang berwenang untuk menguji apakah suatu keputusan telah menimbulkan penyalahgunaan wewenang atau tidak. Dalam hal ini melalui Pasal 21 ayat (1) UU RI Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan diatur tentang upaya menguji apakah sebuah keputusan mengandung unsur penyalahgunaan wewenang atau tidak. Tentu hal ini harus diapresiasi mengingat selama ini banyak sekali kebijakan langsung dikenakan hukum pidana. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa badan/pejabat Tata Usaha Negara dilindungi berdasarkan asas presumptio juatae causa, dimana Keputusan yang diambil oleh badan/pejabat Tata Usaha Negara harus dianggap benar sebelum adanya Putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Bahwa selain itu juga untuk mempertahankan prinsip Ultimum Remedium terhadap penegakan hukum Pidana, sehingga tidak semua kebijakan dapat dipidana, sebelum diupayakan menurut kaidah-kaidah hukum yang berlaku dalam hal ini adalah Hukum Administrasi Negara.

Pasal 21 ayat (1) UU RI Nomor 30 Tahun 2014 mengatur bahwa Pengadilan (Tata Usaha Negara) berwenang menerima, memeriksa dan memutuskan ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan (Tata Usaha Negara) untuk menilai ada atau tidak ada unsur Penyalahgunaan Wewenang dalam Keputusan dan/atau Tindakan. Pengadilan Tata Usaha Negara wajib memutus permohonan paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak permohonan diajukan. Upaya hukum terhadap Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara  dapat diajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara wajib memutus permohonan banding paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak permohonan banding diajukan. Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara bersifat final dan mengikat.

  1. PENUTUP

Salah satu tujuan dari diundangkannya UU RI Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan adalah ke depan tidak ada lagi kriminalisasi kebijakan. Kehadiran UU RI Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan diharapkan bisa menjadi landasan hukum untuk mengenali sebuah keputusan dan atau tindakan sebagai kesalahan administrasi atau penyalahgunaan wewenang yang berujung pada tindak pidana. Pembuat keputusan tidak mudah dikriminalisasi yang melemahkan mereka dalam melakukan inovasi pemerintahan. Selain itu, kehadiran undang-undang tentang Administrasi Pemerintahan sekaligus menjaga agar badan atau pejabat pemerintahan tidak mengambil keputusan atau tindakan sewenang-wenang. Masyarakat terlindungi dari kesewenang-wenangan dan praktek mal-administrasi yang dilakukan pejabat. Selain itu UU RI Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan juga memuat kejelasan jenis-jenis kewenangan atribusi, delegasi, dan mandat, kejelasan tanggung jawab terhadap kewenangan agar terdapat kejelasan tanggung jawab dan tanggung gugat terhadap pelaksanaan kewenangan. Selain itu, UU RI Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan mengatur larangan penyalahgunaan wewenang, sehingga badan atau pejabat pemerintahan dalam membuat keputusan atau tindakan sesuai dengan batas kewenangan yang dimiliki. Terkait dengan diskresi, UU RI Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan memberikan keleluasaan pengambilan keputusan dan tindakan berdasarkan pertimbangan pejabat dengan tujuan untuk mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu, guna kemanfaatan dan kepentingan umum. Dari aspek hukum administrasi negara, Undang-Undang tentang Administrasi Pemerintahan ini akan menjadi dasar hukum materiil sebagai pelengkap hukum formil UU tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Kehadiran UU RI Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan semakin memperkuat pilar reformsi birokrasi.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Aziz Hakim, Negara Hukum dan Demokrasi di Indonesia, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2011)

Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, (PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006)

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana. Cetakan I. Jakarta : PT Rajagrafindo. 2005.

  1. Dicey, Introduction to the study of the law of the constitution, (London : Mc Millanand CO, 1952)

Azhary, Negara Hukum Indonesia, analisis yuridis normatif tentang unsur-unsurnya, (Jakarta : UI Press, 1995)

Benny M Yunus, Intisari Hukum Administrasi Negara, (Bandung : Alumni, 1980)

  1. Pieter Hoenagels, The Other Side of Criminology An Inversion of The Concept of Crime, Holland : Kluwer, Deventer, 1963

H.B. Vos , leerboek van Nederlands Strafrecht, Haarlem; H.D.Tjeenk Willink, 1950

Hendra Nurtjahjo, Filsafat Demokrasi, (Jakarta : Bumi Aksara, 2006)

Henry B. Mayo, An Introduction to Democratic Theory, (New York : Oxford University press, 1960)

Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta : Gramedia, edisi revisi, 2010),

Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum suatu study tentang prinsip-prinsipnya dilihat dari segi hukum Islam, Implementasi pada periode Negara Madinah, (Jakarta : Kencana, 2004)

Mustamin DG. Matutu.dkk, Mandat, Delegasi, Atribusi dan Implementasinya di Indonesia, (UII Press, Yogyakarta, 2004)

N.E. Algra, et. al. Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae Belanda-Indonesia, Binacipta, 1983, cet. Pertama

Nur Basuki Minarno, 2009. Penyalahgunaan Wewenang Dan Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah. Palangkaraya : Laksbang Mediatama.

Philipus M. Hadjon dkk, Hukum Administrasi Negara dan Good Governance, (Jakarta : Penerbit Universitas Trisakti, 2012)

_____________, Tentang Wewenang, (Makalah Univ. Airlangga, Tanpa Tahun)

_____________, dkk, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, (Gajah Mada University Press, 2002)

Prajudi Atmosudirdjo menjelaskan dalam bukunya Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1966)

Sjachran Basah. 1985. Eksistensi dan Tolak Ukur Peradilan Administrasi di Indonesia. Alumni, Bandung

Supandi, Ganti Rugi Akibat Tindakan Pejabat Pemerintah Dalam RUU Administrasi Pemerintahan Dan Prospek Peradilan Tata Usaha Negara, dalam Sophia Hadyanto (editor) Peradigma Kebijakan Hukum Pasca Refprmasi Dalam Rangka Ultah ke-80 Prof. Solly Lubis,  PT. Sofemdia, Medan, cet. 2010

Yulies  Masriani Tiena, Pengantar Hukum Indonesia, Cetakan II,  Jakarta: Sinar Grafika, 2006

[1] G. Pieter Hoenagels, The Other Side of Criminology An Inversion of The Concept of Crime, Holland : Kluwer, Deventer, 1963, Hal. 231

[2] Yulies  Masriani Tiena, Pengantar Hukum Indonesia, Cetakan II,  Jakarta: Sinar Grafika, 2006, Hal 63

[3] Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana. Cetakan I. Jakarta : PT Rajagrafindo. 2005. Hal. 53

[4] H.B. Vos , leerboek van Nederlands Strafrecht, Haarlem; H.D.Tjeenk Willink, 1950,Hal.10

[5] N.E. Algra, et. al. Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae Belanda-Indonesia, Binacipta, 1983, cet. pertama

[6]Pembukaan (Preambule) Undang-Undang Dasar Negara RI, alinea ke 4 (empat)

[7] Beberapa pilar Negara Hukum dibahas secara berbeda oleh beberapa Pakar hukum Indonesia, baik dari segi sejarah hukum maupun dari berbagai unsur-unsur Negara hukum yang dijadikan acuan atau patokan dalam menentukan kadar dan batas Negara hukum yang dimaksud. Untuk mengetahui mengenai unsur-unsur Negara hukum yang dimaksud, dapat membaca Jimly Asshiddiqie, Op Cit, Hal. Hal. 151-161. Bandingkan  Abdul Aziz Hakim, Negara Hukum dan Demokrasi di Indonesia, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2011), hal. 10. Bandingkan AV. Dicey, Introduction to the study of the law of the constitution, (London : Mc Millanand CO, 1952), hal. 31. Bandingkan Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta : Gramedia, edisi revisi, 2010), Hal. 116. Bandingkan Henry B. Mayo, An Introduction to Democratic Theory, (New York : Oxford University press, 1960), Hal. 70. bandingkan Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum suatu study tentang prinsip-prinsipnya dilihat dari segi hukum Islam, Implementasi pada periode Negara Madinah, (Jakarta : Kencana, 2004), hal.85-86. Bandingkan Azhary, Negara Hukum Indonesia, analisis yuridis normatif tentang unsur-unsurnya, (Jakarta : UI Press, 1995), hal. 153. Dan yang terakhir bandingkan Hendra Nurtjahjo, Filsafat Demokrasi, (Jakarta : Bumi Aksara, 2006), Hal.71.

[8]Supandi, Ganti Rugi Akibat Tindakan Pejabat Pemerintah Dalam RUU Administrasi Pemerintahan Dan Prospek Peradilan Tata Usaha Negara, dalam Sophia Hadyanto (editor) Peradigma Kebijakan Hukum Pasca Refprmasi Dalam Rangka Ultah ke-80 Prof. Solly Lubis,  PT. Sofemdia, Medan, cet. 2010, hal. 317-318.

[9] Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, (PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006), hal. 211.

[10] Mustamin DG. Matutu.dkk, Mandat, Delegasi, Atribusi dan Implementasinya di Indonesia, (UII Press, Yogyakarta, 2004), hal. 109-159

[11] Philipus M. Hadjon. dkk, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, (Gajah Mada University Press, 2002), hal. 130.

[12] Komponen kewenangan badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang membuat peraturan kebijakan (‘bleidsregel’) tidak memiliki kewenangan perundang-undangan (‘geen bevoegdheid tot wetgeving’), namun secara tidak langsung mengikat para warga, sebagaimana halnya dengan kaidah-kaidah juridische regels. Baca Laica Marzuki, Peraturan Kebijakan (‘Bleidregel’) : Hakikat serta fungsinya selaku sarana Hukum Pemerintahan, dalam Philipus M. Hadjon dkk, Hukum Administrasi Negara dan Good Governance, (Jakarta : Penerbit Universitas Trisakti, 2012), hal 58

[13] Lebih lanjut Prajudi Atmosudirdjo menjelaskan dalam bukunya Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1966), Hal. 78

[14] Anna Erliyana dalam Disertasinya Analisis Keputusan Presiden Republik Indonesia Kurun Waktu Tahun 1977-1998, Tinjauan Asas Larangan Melampau Wewenang (2004)

[15] Indroharto dalam Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku II (cet ke-9, 2005)

[16] Nur Basuki Minarno, 2009. Penyalahgunaan Wewenang Dan Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah. Palangkaraya : Laksbang Mediatama. Hal. 75-76

[17] Sjachran Basah. 1985. Eksistensi dan Tolak Ukur Peradilan Administrasi di Indonesia. Alumni, Bandung, hal. 54

[18] Benny M Yunus, Intisari Hukum Administrasi Negara, (Bandung : Alumni, 1980), Hal. 35

[19] Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang, (Makalah Univ. Airlangga, Tanpa Tahun), hal. 1

[20] Ibid

Continue Reading