KARAKTER SUI GENERIS DALAM ILMU HUKUM DAN FILSAFAT HUKUM

Para penulis dan pakar hukum terkemuka di Belanda membedakan antara hukum dogmatis dengan ilmu hukum empiris.[1] Ilmu hukum sendiri memiliki kharakter yang khas, yakni bersifat normative. Karena karakter ilmu hukum yang normative tersebut ilmu hukum bersifat sui generis,[2] yakni tidak dapat dibandingkan (diukur, dinilai) dengan bentuk ilmu lain yang manapun.[3] Sedangkan studi hukum yang masuk dalam kategori ilmu hukum empiris menurut Van Apeldoorn adalah sosiologi hukum, sejarah hukum, perbandingan hukum dan psikologi hukum.[4] Ciri khas dan karakter ilmu hukum yang bersifat normative tersebut yang membedakan dengan ilmu-ilmu lainnya pada lapangan ilmu social.

Untuk itu kaitan antara normativitas dengan karakter ilmu hukum yang bersifat sui generis  adalah memandang hukum bukan hanya menempatkan hukum pada suatu gejala social yang hanya dipandang dari luar, melainkan masuk kedalam yang sangat fundamental dari hukum yaitu sisi intrinsic dari hukum. Sehingga konsekwensi dari sifat ilmu hukum yang bersifat demikian, maka dikatakan bahwa ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, yakni yang mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas hukum, konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum.[5] Sifat preskriptif itulah yang dianggap substansial dalam mempelajari ilmu hukum, dikarenakan tidak  akan dipelajari dalam ilmu social lainnya yang objeknya sama yakni hukum.

Dengan demikian berdasar pada uraian diatas, maka karakter ilmu hukum dogmatis adalah bersifat normative yang terjewantahkan dalam suatu peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh Pemerintah yang berdaulat dalam suatu Negara. Sifat dari sui generis berarti ilmu hukum merupakan ilmu dari jenis tersendiri, sehingga pengelompokannya bukan berada pada pohon atau rumpun ilmu social juga bukan merupakan ilmu pengetahuan alam.[6] Untuk itu kajian terhadap ilmu hukum yang memegang prinsip terhadap sifat dan karakter ilmu hukum yang bersifat sui generis ini, dengan terang benderang menolak kajian empiris dalam ilmu hukum.

 

 

  1. Perbedaan karakteristik kata “normatif” dalam hukum positif (“positive law”) dalam hukum alam (“law nature”) dan dalam hukum moral (“morality”):

 

Hukum dan Fakta

 

Hukum dan Moralitas

Tesis Normativitas

(Keterpisahan hukum dan Fakta)

Tesis Reduktif

(Ketidakterpisahan antara hukum dan fakta)

Tesis Moralitas

(Ketidakterpisahan antara hukum dan moralitas)

Teori hukum alam
Tesis keterpisahan

(Keterpisahan hukum dan Moralitas)

Pure Theory of Law Teori hukum Empiris-positivis

 

 

 

  1. Kritik terhadap positivism hukum jika mendominasi kerangka berfikir penelitian hukum :

Pada dasarnya positivism hanya mempertimbangkan aspek hukum positif saja, tanpa mempertimbangkan keadilan atau ketidakadilannya. Padahal menurut Stammer kemurnian mutlak bagi teori hukum apapun adalah tidak mungkin. Kaum Positivistik harus mengakui manakala teori memasuki pertanyaan-pertanyaan tentang norma fundamental yang bertentangan. Pertanyaan yang merupakan norma fundamental yang valid, dimana teori murninya tidak dapat dihindari, karena tanpa itu maka keseluruhan bangunan akan runtuh.[7] Dari sisi yang lain Lauterpacht seorang pengikut Kelsen mempertanyakan apakah teori hierarki tidak menyatakan secara langsung sebuah pengakuan akan prinsip-prisnsip hukum alam.[8]

Selain itu peraturan-peraturan hukum dibuat supaya ada hukum, bukan berarti supaya ada hukum. Dengan demikian maka dengan adanya hukum maka perlu untuk menegakkan kemanusiaan, dengan demikian hukum tidak identik dengan undang-undang. Di sisi yang lain hukum diperlukan penggarapan terus-menerus, dikarenakan hukum dalam hal ikhwal juga terdapat peraturan hukum yang melawan hukum karena bertentangan dengan kemanusiaan. Untuk itu tidak dapat kemudian teori hukum murni ini digunakan sepenuhnya dalam konteks bernegara, sehingga Konsep hukum responsive yang diajarkan oleh Philippe Nonet and Philip Selznick[9] tidak dapat diterapkan dengan baik.

Menurut Friedmann, hukum sebagai suatu sistem terdiri dari sub-sub sistem yang saling bergerak yang tidak dapat terpisahkan dan terpengaruh satu dengan lainnya. Sub-sub sistem itu terdiri dari: Substansi Hukum (legal substance), Struktur Hukum (legal structure), dan Kultur Hukum (legal culture). Adapun budaya hukum yang baik akan terbentuk apabila semua pihak secara sungguh-sungguh dilibatkan untuk berpartisipasi secara penuh dalam proses pembentukan hukum, agar semua orang benar-benar merasa memiliki hukum itu. Karena begitu besarnya peran budaya hukum itu, maka ia dapat menutupi kelemahan dari legal substance dan legal structure.[10]

Jadi menurut Friedmann hukum memiliki ruang lingkup yang sangat luas, tidak terbatas pada tekstual berupa peraturan perundang-undangan. Dalam berfungsinya hukum ditengah masyarakat tidak saja membutuhkan undang-undang belaka tetapi membutuhkan hal-hal lainnya seperti budaya masyarakat, aparat penegak hukum maupun sarana dan prasarana. Dari sini kita bisa melihat bahwa aliran positivisme berusaha memahami hukum hanya sebatas tekstual.

Selain itu juga dapat dilakukan kritik dari segi Teoritis[11] dimana positivisme hukum tumbuh dan berkembang subur pada masa hukum alam, yang pada intinya menginginkan ilmu hukum alam dapat diprediksi dan dipastikan. Cara pandang formalistic ini tidak mempertimbangkan apakah norma yang diundangkan tersebut bersifat adil atau tidak. Selain itu dari segi Praktis[12] yakni dalam positivisme hukum undang-undang dipandang sebagai hukum yang komplit, sehingga tugas hakim tinggal menerapkan terhadap kejadian konkrit dilapangan. Sehingga kemudian hakim menjadi kaku dan tidak mendorong adanya perkembangan masyarakat. Hakim hanya menginterpretasikan secara gramatikal terhadap peristiwa hukum yang terjadi dilapangan, dengan tanpa melihat dasar pertimbangan secara dasar-dasar tingkat keadilan dan kemanfaatannya.

 

  1. Penjelasan lapisan Ilmu Hukum menurut J. Gijssels dan M.v.Hoecke, serta kaitannya dengan rancangan penelitian yang akan saya tulis :

 

Lapisan Ilmu Hukum Menurut J. Gijssels dan M.v.Hoecke

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Jan Gijssels dan Mark van Hoecke membagi ilmu hukum dalam tiga lapisan, yakni dogmatik hukum, teori hukum dan filsafat hukum.[13] Tiap lapisan ilmu hukum tersebut memiliki kharakter khusus mengenai konsep, eksplanasi, sifat atau hakikat keilmuannya. Dogmatik hukum konsepnya technisch juridisch begrippen, ekplanasinya teknis yuridis dan sifat keilmuannya normative. Lapisan teori hukum konsepnya algemene begrippen, eksplanasinya analitisdan sifat keilmuannya Normatif/Empiris. Lapisan filsafat hukum konsepnya grond begrippen, eksplanasinya reflektif dan sifat keilmuannya spekuliatif.[14]

 

Hubungan Filsafat Hukum, Teori Hukum dan Dogmatik Hukum

LAPISAN

ILMU HUKUM

KONSEP EKSPLANASI SIFAT
Filsafat Hukum grond begrippen Reflektif Spekulatif
Teori Hukum algemene begrippen Analitis Normatif/Empiris
Dogmatik Hukum technisch juridisch begrippen Teknis Yuridis Normatif

 

 

[1] Karya fenomenal yang membagi hukum secara rinci adalah JJH. Bruggink, Refleksi tentang Hukum, (alih bahasa Bernard Arief Sidharta), Citra Aditya Bakti, Bandung, cetakan ke-2, 1999, Hal.  163. Bandingkan dengan Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Prenada Media, Jakarta, Cetakan ketiga, 2009, Hal.  27

 

[2] Meuwissen, Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum, (Penerjemah Bernard Arief Sidharta), Refika Aditama, Bandung, cetakan ketiga, 2009, hal. 55

 

[3] Ibid

 

[4] L.J. Van Apeldorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, Cetakan ketiga puluh empat, 2011, Hal. 412 – 413

 

[5] Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2005, Hal. 23

[6] Philipus M Hadjon dan Tatiek Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, cetakan kedua, 2005, Hal. 1

 

[7] Kritik terhadap pandangan Hans Kelsen itu juga dapat dibaca melalui bukunya : Friemann, Theori and Philosophy of Law, Universiy of Paris, 1973, hal. 285

 

[8] Friedmann, Ibid

[9] Mengenai konsep hukum responsive, otonom dan represif dapat dibaca dan dipahami melalui buku : Philippe Nonet and Philip Selznick, Law and Society in Transition: To Reward Responsive Law, Harper and Row, New York, 1978, hal.

 

[10] Friedmann, Legal Theory, Steven & Son, London, 1960, Hal. 2-8

 

[11] Widodo Dwi Putro, Mengkritisi Positivisme Hukum: Langkah Awal Memasuki DiskursusvMetodologis dalam Penelitian Hukum,  dalam Sulistyowati Irianto dan Shidarta, Metode Penelitian Hukum, konstelasi dan refleksi, Yayasan Pustaka Obor, Jakarta, 2011, hal.  23-25

 

[12] Ibid, hal. 28-30

[13] Secara lengkap diurai dalam buku Jan Gissels dan Mark van Hoecke, Wat is Rechtsteorie?, Kluwer, Antwerpen, 1982, hal. 10. Bandingkan dengan JJH. Bruggink, Opcit, Hal. 172

 

[14] Philipus M Hadjon, Pengkajian Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Unair, Surabaya, tt, hal. 10

Continue Reading

ASAS-ASAS HUKUM YANG PERLU DIKETAHUI

Istilah-istilah Hukum

Asas Actio Pauliana. Hak kreditur untuk mengajukan pembatalan terhadap segala perbuatan yang tidak perlu dilakukan oleh debitur yang merugikannya.

 

Asas Actio Pauliana. Hak kreditur untuk mengajukan pembatalan terhadap segala perbuatan yang tidak perlu dilakukan oleh debitur yang merugikannya.

 

Asas Audit Et Alteram Partem: Asas ini mewajibkan pada hakim untuk mendengar kedua belah pihak secara bersama-sama, termasuk dalam hal kesempatan memberikan alat-alat bukti dan menyampaikan kesimpulan. Asas ini merupakan implementasi asas persamaan.

 

Asas Apatride: Seseorang sama sekali tidak memiliki kewarga negararaan.

Azas Legalitas _ Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali : Tidak boleh di hokum seseorang apabila peraturan perundang-undangan tidak mengatur tentang perbuatan yang dia lakukan.

 

Asas Non Retro aktif : Suatu undang-undang tidak boleh berlaku surut

 

Asas Culpabilitas: Nulla poena sine culpa, artinya tiada pidana tanpa kesalahan.

 

Asas Opportunitas: Penuntut umum berwenang untuk tidak melakukan penuntutan dengan pertimbangan demi kepentingan umum.

 

Asas Presumption of Innocence ( Praduga tak bersalah ) : Seseorang harus dianggap tidak bersalah sebelum dinyatakan bersalah oleh putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

 

Asas in dubio pro reo: Dalam hal terjadi keragu – raguan maka yang diberlakukan adalah peraturan yang paling menguntungkan terdakwa.

 

Asas Individualiteit: Obyek hak kebendaan selalu merupakan barang yang individueel bepaald, yaitu barang yang dapat ditentukan . Artinya seseorang hanya dapat memiliki barang yang berwujud yang merupakan kesatuan.

 

Asas Totaliteit: Seseorang yang mempunyai hak atas suatu barang maka ia mempunyai hak atas keseluruhan barang itu / bagian-bagian yang tidak tersendiri.

 

Asas Onsplitsbaarheid ( tidak dapat dipisahkan ) : Pemisahan dari zakelijkrechten tidak diperkenankan, tetapi pemilik dapat membebani hak miliknya dengan iura in realiena : jadi seperti melepaskan sebagian dari wewenangnya.

Asas Vermenging ( asas percampuran ) : Seseorang tidak akan untuk kepentingannya sendiri memperoleh hak gadai atau hak memungut hasil atas barang miliknya sendiri.

 

Asas Publiciteit: Dalam hal pembebanan tanggungan atas benda tidak bergerak ( Hipotik ) maka harus didaftarkan didalam register umum.

 

Asas Spesialiteit: Hipotik hanya dapat diadakan atas benda – benda yang ditunjuk secara khusus ( letaknya, luasnya, batas-batasnya ).

 

Asas Reciprositas: Seorang anak wajib menghormati orang tuanya serta tunduk kepada mereka dan orang tua wajib memelihara dan membesarkan anaknya yang belum dewasa sesuai dengan kemampuannya masing-masing ( Pasal 298 BW , dan seterusnya ).

 

Asas in dubio pro reo: Dalam hal terjadi keragu – raguan maka yang diberlakukan adalah peraturan yang paling menguntungkan terdakwa.

 

Asas Individualiteit: Obyek hak kebendaan selalu merupakan barang yang individueel bepaald, yaitu barang yang dapat ditentukan . Artinya seseorang hanya dapat memiliki barang yang berwujud yang merupakan kesatuan.

 

Asas Pacta Sunt Servanda ( janji itu mengikat ). Suatu perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.

 

Asas Konsensualitas: Suatu perjanjian sudah sah dan mengikat ketika telah tercapai kesepakatan para pihak dan sudah memenuhi sayarat sahnya kontrak

Asas Canselling: Suatu asas yang menyatakan bahwa perjanjian yang tidak memenuhi syarat subyektif dapat dimintakan pembatalan.

 

Asas Preferensi: Para kreditor yang memegang hipotik, gadai dan privelegi diberi hak prseferensi yaitu didahulukan dal;am pemenuhan piutangnya. Asas ini merupakan penyimpangan dari asas persamaan.

Asas Droit invialablel et sarce. Hak milik tidak dapat diganggu gugat.

 

Asas Ius Sanguinis: Untuk menentukan kewarga negaraan seseorang berdasarkan pertalian darah atau keturunan dari orang yang bersangkutan.

 

Asas Ius Soli: Menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan tempat / negara dimana orang tersebut dilahirkan.

 

Asas Bipatride Asas dimana seseorang dimungkinkan mempunyai kewarganegaraan rangkap.

 

Asas Medebewind ( Tugas Pembantuan ). Penentuan kebijaksanaan, perencanaan dan pembiayaan tetap ditangan pemerintah pusat tetapi pelaksanaannya ada pada pemerintah daerah.

 

Asas Welfare state ( negera kesejahteraan ). Pemerintah Pusat bertugas menjaga keamanan dalam arti seluas-luasnya dengan mengutamakan kesejahteraan rakyat.

 

Asas Priorrestraint ( kendali dini ). Suatu asas yang mempunyai makna pencegahan untuk mengadakan unjuk rasa setelah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan.

 

Asas Non Lisensi: suatu asas yang lebih terkait dengan kemerdekaan atau kebebasan menyampaikan pendapat dalam bentuk tulisan.

 

Asas Naturalisasi ( pewarganegaraan ): Suatu asas dimana seseorang yang telah dewasa dapat mengajukan permohonan menjadi warga negara ( Indonesia ) melalui Pengadilan Negeri.

 

Asas Ne Bis Vexari Rule: Merupakan asas yang menghendaki agar setiap tindakan administrasi negara harus didasarkan atas undang – undang dan hukum.

 

Asas Principle of legality ( kepastian hukum ). Asas yang menghendaki dihormatinya hak yang telah diperoleh seseorang berdasarkan keputusan badan atau pejabat administrasi negara.

 

Asas Sapientia (Kebijaksanaan). Pejabat Administrasi negara senantiasa harus selalu bijaksana dalam melaksanakan tugasnya.

 

Asas Het Vermoeden van Rechtmatigheid atau Presumtio Justea Causa: Asas ini menyatakan bahwa demi kepastian hukum, setiap keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan harus dianggap benar menurut hukum, karenanya dapat dilaksanakan lebih dahulu selama belum dibuktikan sebaliknya dan belum dinyatakan oleh Hakim Administrasi sebagai keputusan yang bersifat melawan hukum.

 

Asas Pemeriksaan Segi Rechtmatigheid dan Larangan Pemeriksaan Segi Doelmatigheid: Hakim tidak boleh atau dilarang melakukan pengujian dari segi Kebijaksanaan (doelmatigheid) suatu keputusan yang disengketakan meskipun Hakim tidak sependapat dengan keputusan tersebut, sebatas keputusan itu bukan merupakan keputusan yang bersifat sewenang-wenang ( willikeur / a bus de droit ). Jadi Hakim hanya berwenang memeriksa segi rechmatigheid suatu keputusan tata usaha negara, karena hal itu berkaitan dengan asas legalitas dimana setiap tindakan pemerintah harus berdasarkan atas hukum.

 

Asas Pengujian Ex tune. Pengujian Hakim Peradilan Administrasi hanya terbatas pada fakta – fakta atau keadaan hukum pada saat keputusan tata usaha negara dikeluarkan.

 

Asas Independent ( kemerdekaan ). Suatu Negara berdiri sendiri, merdeka dari dari negara lainnya.

 

Asas Exteritorial: Seorang Diplomat / Duta yang ditugaskan disuatu negara harus dianggap berada diluar wilayah negara dimana dia ditempatkan tersebut.

 

Asas Souvereignity: Kedaulatan suatu negara mempunyai kekuasaan yang tertinggi.

 

Asas Receprocitet: Apabila suatu negara menerima duta dari negara sahabat, maka negara itu juga harus mengirimkan dutanya.

 

Asas Statuta mixta: Dalam menghukum suatu perbuatan, digunakan hukum negara dimana perbuatan itu dilakukan.

 

Asas Personalitas: Asas untuk menentukan status personal pribadi seseorang yang berlaku baginya adalah Hukum Nasionalnya / negaranya ( Lex Partriae ).

 

Asas Teritorialitas: Yang berlaku bagi seseorang adalah hukum negara dimana dia berdomilisi ( Lex domicili ).

 

Asas Communal ( sifat kebersamaan ). Manusia menurut hukum adat merupakan makhluk dalam ikatan kemasyarakatan yang erat dengan rasa kebersamaan meliputi seluruh lapangan hukum adat.

Asas Legal. Setiap pungutan pajak harus didasarkan atas undang-undang.

 

Asas Ekonomis, effisien: Pajak dipungut untuk membangun sarana-sarana bagi kepentingan masyarakat ( kurang mampu ) . Dan dengan biaya pungutan yang serendah-rendahnya.

 

Asas Non Distorsi: Pajak tidak boleh menimbulkan distorsi ekonomi, inflasi, psikologikal effeck dan kerusakan-kerusakan.

Actio in pauliana: Tuntutan hukum untuk pernyataan batal segala perbuatan yang tidak diwajibkan yang dilakukan oleh pihak yang berhutang, yang menyebabkan penagih hutang dirugikan (pasal 1341 KUHPerdata)

Advokasi: Tindakan untuk mempermasalahkan suatu hal/ide/topik tertentu

Aequo et bono: Suatu istilah yang terdapat pada akhir dokumen hukum dalam peradilan, baik perdata maupun pidana yang prinsipnya menyerahkan kepada kebijaksanaan hakim pemeriksa perkara.

Arti harfiahnya: apabila hakim berpendapat lain mohon putusan yang seadil-adilnya.

Ajudikasi/adjudication – Penyelesaian perkara atau sengketa di pengadilan; pengambilan keputusan

Amnestie – Pernyataan umum (diterbitkan melalui atau dengan undang-undang) yang memuat pencabutan semua akibat pemidanaan dari suatu perbuatan pidana (delik) tertentu atau satu kelompok perbuatan pidana (delik) tertentu, bagi terpidana, terdakwa yang dinyatakan bersalah melakukan delik-delik tersebut.

Audie et alteram partem: Kedua belah pihak harus didengar

Actor Sequitor Forum Rei: Di Pengadilan tempat tinggal Tergugat

Actual damages (Ganti rugi aktual) : Kerugian yang benar-benar diderita secara aktual dan dapat dihitung dengan mudah sampai ke nilai rupiah.

Abolisi: Penghapusan terhadap seluruh akibat penjatuhan putusan pengadilan pidana kepada seseorang terpidana, terdakwa yang bersalah melakukan delik.

Barang bukti/corpus delicti: Barang yang digunakan untuk melakukan suatu kejahatan atau hasil dari suatu kejahatan

Beban pembuktian terbalik: Beban yang menjadi tanggung jawab pelaku untuk membuktikan ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana

Benturan kepentingan: Benturan yang timbul ketika kepentingan seseorang memungkinkan orang lain melakukan tindakan yang bertentangan dengan pihak tertentu, yang kepentingannya seharusnya dipenuhi oleh orang lain tersebut.

Contempt of Court: Setiap tindakan dan/perbuatan, baik aktif maupun pasif, tingkah laku,  sikap dan/ucapan, baik di dalam maupun di luar pengadilan, yang bermaksud merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat dan kehormatan instirusi peradilan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang sehingga mengganggu dan merintangi sistem serta proses peradilan yang seharusnya.

Crisis der democratie: krisis yang timbul akibat penganutan pada demokrasi formal semata – mata.

Conservatoir Beslaag: Sita Jaminan terhadap obyek/Barang

Class Action  (Gugatan perwakilan) :  Gugatan yang berupa hak kelompok kecil masyarakat untuk bertindak mewakili masyarakat dalam jumlah besar dalam upaya mengajukan tuntutan berdasarkan kesamaan permasalahan, fakta hukum, dan tuntutan ganti kerugian.

De auditu testimonium de auditu: Keterangan saksi yang disampaikan di muka sidang pengadilan yang merupakan hasil pemikiran saja atau hasil rekaan yang diperoleh dari orang lain

Delik – Perbuatan Pidana – Tindak Pidana : Suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang tindakannya tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu perbuatan yang dapat dihukum.

Deposisi: Bukti saksi atau ahli yang didasarkan atas sumpah yang dilakukan diluar pengadilan

Doktrin ultra vires: Doktrin yang mengajarkan bahwa perseroan tidak dapat melakukan kegiatan di luar dari kekuasaan perseroan

Droit de preference: Keistimewaan yang bersangkutan dengan hasil penjualan tanah yang dijadikan jaminan, dalam hubungannya dengan kreditur-kreditur lain yang tidak mempunyai hak yang lebih mendahulu.

Droit de suite: Asas berdasarkan hak suatu kebendaan seseorang yang berhak terhadap benda itu mempunyai kekuasaan/wewenang untuk mempertahankan atau menggugat bendanya dari tangan siapapun juga atau dimanapun benda itu berada.

Damihi Facta Do Tibi Ius: Tunjukkan kami faktanya, kami berikan hukum-nya.

Droit Constitutional : Hukum dasar.

Desentralisasi: Penyarahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada Daerah  otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam system Negara kesatuan.

Dekonsentralisasi. Pelimpahan wewenang pemerinthan oleh pemerintah kepada Gebernur sebagai wakil pemerintahan dan/atau kepada instansi vertical di wilayah tertentu Atau Urusan Pemerintah Pusat yang tidak dapat diserahkan kepada pemerintah daerah dilakukan oleh perangkat pemerintah pusat didaerah yang bersangkutan.

Eksekusi: Pelaksanaan Putusan.

Exceptio non adimpleti contractus: Tangkisan bahwa pihak lawan dalam keadaan lalai juga, maka dengan demikian tidak dapat menuntut pemenuhan prestasi.

Eigenrichting: tindakan main hakim sendiri – Tindakan untuk melaksanakan hak menurut kehendak sendiri tidak lain
merupakan tindakan untuk melaksanakan hak menurut kehendak sendiri yang bersifat sewenang-wenang, tanpa persetujuan pihak lain yang berkepentingan, hal ini merupakan pelaksanaan sanksi oleh perorangan

Eksaminasi: Ujian atau pemeriksaan terhadap putusan pengadilan/hakim

Events of defaults- wanprestasi – cidera janji – trigger clausel opeisbaar clause : Tindakan-tindakan bank sewaktu-waktu dapat mengakhiri perjanjian kredit dan untuk seketika akan menagih semua utang beserta bunga dan biaya lainnya yang timbul

Forum rei sitae: Pengadilan di tempat benda( Obyek Sengketa ) tetap terletak (pasal 118 ayat 3 hir)

Freies Ermessen – Pouvoir Discretionnaire : Kemerdekaan yang dimiliki pemerintah untuk turut serta dalam kehidupan sosial dan keleluasaan  untuk tidak selalu terikat pada produk legislasi parlemen.

Facta sun Servanda : Perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya.

Force majeureovermacht – keadaan memaksa : Keadaan di mana seorang debitur terhalang untuk melaksanakan prestasinya karena keadaan atau peristiwa yang tidak terduga pada saat dibuatnya kontrak,keadaan atau peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur, sementara si debitur tersebut tidak dalam keadaan beritikad buruk.

Gronwet: Undang-Undang Dasar

Gratifikasi: Pemberian dalam arti luas yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman, tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya yang diberikan kepada pegawai negeri sipil dan dilakukan baik didalam negeri maupun diluar negeri dan dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.

HIR: Herziene Indonesche Reglement, Reglemen indonesia yang sudah diperbaharui, berlaku untuk jawa dan sumatera.

In Kracht Van Gewidjge: Putusan Yang telah berkekuatan hukum Tetap/pasti dan mempunyai daya eksekusi

In Der Minne: Pemenuhan putusan secara sukarela

In dubio pro reo: Dalam keadaan yang meragukan, hakim harus mengambil keputusan yang menguntungkan terdakwa.

In casu: Dalam perkara ini, dalam hal ini

Ilegal (logging) : Kegiatan di bidang kehutanan atau yang merupakan rangkaian kegiatan yang mencakup penebangan, pengangkutan, pengolahan hingga kegiatan jual beli (ekspor-impor) kayu yang tidak sah atau bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku, atau perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan hutan.

Ius Sanguinis: menetapkan kewarganegaraan seseorang berdasarkan atas keturunan / pertalian darah.

 

Ius Solli: menetapkan kewarganegaraan seseorang berdasarkan tempat / negara kelahirannya.

Judicial Refiew: Hak Uji Materiil

Judicial Interpretation: Penafsiran secara hukum.

Judex ne procedat ex officio: Hakim bersifat menunggu –  Inisiatif untuk mengajukan tuntutan hak diserahkan sepenuhnya kepada yang berkepentingan/ hakim bersifat menunggu datangnya tuntutan hak diajukan kepadanya.

Kompensasi: Pemulihan hak-hak penggugat dalam kemampuan kedudukan, harkat dan martabatnya sebagai pegawai negeri seperti semula, sebelum adanya keputusan yang disengketakan.Apabila Tergugat tidak mungkin dikembalikan pada jabatan semula maka dapat ditempuh cara lain dengan membayar sejumlah uang atau bentuk kompensasi lainnya.

 

Kebenaran Material: ( kebenaran dan kenyataan ). Pemeriksaan dalam perkara pidana, tujuannya untuk mengatahui apakah faktanya / senyatanya benar-benar telah terjadi pelanggaran / kejahatan.

Lex specialis derogat legi generali: Kalau terjadi konflik/pertentangan antara undang-undang yang khusus dengan yang umum maka yang khusus yang berlaku

Lex superior derogat legi inferiori: Kalau terjadi konflik/pertentangan antara peraturan perundang-undangan yang tinggi dengan yang rendah maka yang tinggilah yang harus didahulukan.

Lex posteriori derogat legi priori: Undang-undang yang lama dinyatakan tidak berlaku apabila ada undang-undang yang baru yang mengatur hal yang sama.

Lex dura sed ita scripta: UU Adalah keras tapi harus di tegakkan/ditulis

 

Lex Divina: Kitab suci

 

Lex Eternal: Hukum yang paling tinggi letaknya pada tuhan

 

Lex natural: Hukum Alam

 

Lex Aeterna: Hukum Yang didasarkan pada rasio Tuhan

 

Lex Umana: hokum yang ditetapkan oleh Manusia

 

Lex Rei Sitae, Lex Situs: Status hukum benda tidak bergerak / tetap, tunduk kepada hukum dimana benda itu berada (Statuta realita).

 

Lex Loci Contractus: Dalam Perjanjian Perdata Internasional, hukum yang berlaku adalah hukum negara dimana perjanjian dibuat.

 

Lex Loci Solotionis: Hukum yang berlaku adalah hukum negara dimana perjanjian itu dilaksanakan.

 

Lex Loci Delicti Commissi: Apabila terjadi perbuatan melanggar hukum / wan prestasi, maka yang berlaku adalah hukum negara dimana penyelewengan perdata itu terjadi.

 

Lex Fori: Dalam hal terjadi penyelewengan perdata, hukum yang berlaku adalah hukum negara dimana perkara diadili.

Lex Loci Actus: Berlaku hukum dimana dilakukannya suatu perbuatan hukum.

 

Lex Partriae: Hukum yang berlaku bagi para pihak atau salah satu pihak dalam berperkara adalah Hukum kewarganegaraannya.

 

Lex Locus Delicti: Hukum yang berlaku untuk menyelesaikan suatu perkara adalah hukum dimana perbuatan hukum tersebut dilakukan.

 

Lex Causae: Hukum yang akan dipergunakan adalah hukum yang berlaku bagi persoalan pokok ( pertama ) yang mendahului persoalan yang akan diselesaikan kemudian.

 

Lex Actus: Hukum dari negara yang mempunyai hubungan erat dengan transaksi yang dilakukan.

 

Lex Originis: Ketentuan hukum mengenai status dan kekuasaan atas subyek hukum tetap berlaku diluar negeri.

 

Lex certa: ketentuan dalam perundang-undangan tidak dapat di artikan lain.

Lex Loci Celebrationis: Syarat formalitas berlangsungnya perkawinan, berlaku hukum dari negara dimana perkawinan dilangsungkan. ( locus regit actum ).

Locus delictie – tempat kejadian perkara, (TKP) : a) Tempat dimana suatu tindak pidana dilakukan/terjadi, atau akibat yang ditimbulkannya;  b) Tempat-tempat lain dimana barang-barang bukti atau korban yang berhubungan dengan tindak pidana tersebut dapat diketemukan; tempat dimana pembuat melakukan sesuatu adalah tempat dimana ia seharusnya melakukan sesuatu, atau tempat terjadinya akibat yang dimaksud dalam perumusan peraturan perundang-undangan atau tempat yang menurut perkiraan pembuat akan terjadi akibat ini.

Maritaal beslaa (Sita maritaal) : Penyitaan yang dilakukan untuk menjamin agar barang yang yang disita tidak dijual, untuk melindungi hak pemohon selama pemeriksaan sengketa perceraian di pengdilan berlangsung antara pemohon dan lawannya, dengan menyimpan atau membekukan barang-barang yang disita agar jangan sampai jatuh di tangan pihak ketiga revindicatoir Beslaag – Sita Barang Bergerak – Penyitaan yang diminta oleh pemilik barang bergerak yang barangnya
ada di tangan orang lain, diajukan kepada ketua pengadilan negeri di tempat orang yang memegang barang tersebut tinggal Pand Beslaag – Sita gadai – Sitaan yang menyangkut barang milik orang lain yang kebetulan si pailit sebagai pemegang gadai.

 

Mobilia Personam Sequuntur: Status hukum benda-benda bergerak mengikuti status hukum orang yang menguasainya.

Monogami: dalam suatu perkawinan dimana seorang laki-laki hanya boleh memiliki seorang perempuan sebagai isteri dan seorang perempuan hanya boleh memiliki seorang suami.

Ne Bis In Idem: Terhadap perkara yang sama tidak dapat diajukan dua kali pemeriksaan

Obscuur Libel: Obyek Kabur

Onrechtmatige Overheidts daad: Perbuatan yang melanggar hukum

Poligami: dimana dalam suatu perkawinan seorang laki-laki diperbolehkan memiliki lebih dari seorang isteri.

 

Resiprositas:  Timbal balik / Pembalasan. Ini biasanya berlaku dalam hal hak dan kewjiban suatu negara terhadap negara lain.

 

Unus Testis Nullus Testis: Satu saksi bukan sanksi, maksudnya keterangan seorang saksi harus dilengkapi dengan bukti-bukti lain.

Ubi Socitas Ibi Ius: Dimana Ada masyarakat disitu ada Hukum.

Uit Voerbaar bij Vooraad: Putusan yang dapat dilaksanakan Terlebih Dahulu, meskipun pihak yang kalah mengajukan banding ataupun kasasi

Putusan Contradictoir : Putusan atas bantahan, suatu putusan yang diambil setelah mendengarkan keterangan kedua belah pihak

Provisionel Eis: Putusan Sela, putusan yang diambil oleh hakim sebelum menjatuhkan putusan akhir.

Putusan Condemnatoir: putusan yang bersifat penghukuman

Putusan Declaratoir: Putusan yang menentukan sifat suatu keadaan  dengan tidak mengandung perintah kepada pihak untuk untuk berbuat ataupun tidak berbuat sesuatu

Putusan Constitutief: Putusan yang melenyapkan suatu keadaan/situasi hukum.

Punitive damages (Ganti rugi penghukuman): Suatu ganti rugi dalam jumlah besar yang melebihi dari jumlah kerugian yang sebenarnya, ganti rugi itu dimaksudkan sebagai hukuman bagi si pelaku

Praperadilan: Wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang: -.sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka; 1. sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan; 2. permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan

Preponderance of evidence: Bukti-bukti yang lebih berbobot atau lebih meyakinkan atau lebih dapat dipecaya jika dibanding dengan bukti lainnya, atau bukti-bukti yang dianggap cukup untuk dapat membuktikan kebenaran suatu peristiwa.

Pro bono: Suatu perbuatan/pelayanan hukum yang dilakukan untuk kepentingan umum atau pihak yang tidak mampu tanpa dipungut biaya.

RBg: Recht Reglement van Buitengewesten , Reglemen indonesia yang berlaku untuk luar jawa dan sumatera.

Restitutie In Intergum: Pengembalian obyek sengketa kepada keadaan semula.

Rechtmatige daad: Perbuatan sesuai dengan hukum.

Requisitoir: Suatu pembuktian tentang terbukti atau tidaknya surat dakwaan

Restitusi: Suatu nilai tambah yang telah diterima oleh pihak yang melakukan wanprestasi, nilai mana terjadi sebagai akibat dari pelaksanaan kontrak oleh pihak lain dari yang melakukan wanprestasi

Sol Justisia: Matahari Keadilan (kebenaran)

Saksi a charge: Saksi yang memberatkan/memberikan keterangan yang memberatkan

Saksi a decharge: Saksi yang meringankan/memberikan keterangan yang meringankan

Terstond: Dieksekusi segera

Teori fiktie (fiksi): yang menyatakan bahwa begitu suatu norma hukum ditetapkan, maka pada saat itu setiap orang dianggap tahu hukum/undang-undang (een ieder wordt geacht de wet/het recht te kennen).

Verzet: Perlawanan, Deer den Verzet : Perlawanan Pihak Ketiga

Verstek: Putusan yang diambil diluar hadirnya Tergugat

Verjaring (Kadaluarsa) : Lampaunya tenggang waktu yang ditetapkan undang-undang, sehingga mengakibatkan orang yang menguasai barang memperoleh hak milik

Vrijspraak (Bebas dari segala dakwaan) : Putusan yang dijatuhkan oleh majelis hakim karena dari hasil pemeriksaan di sidang kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.

Zakwaarneming ( 1345 BW ). Asas dimana seseorang yang melakukan pengurusan terhadap benda orang lain tanpa diminta oleh orang yang bersangkutan, maka ia wajib mengurusnya sampai tuntas.

 

Continue Reading

TEORI TENTANG HUKUM DAN KEADILAN

TEORI TENTANG HUKUM DAN KEADILAN

Oleh :

Saiful Anam, SH*

Hukum dan keadilan seperti hotel bintang lima,

terbuka secara sama bagi siapa pun tanpa terkecuali,

baik tamu miskin maupun bagi tamu kaya,

asal saja mereka sanggup membayarnya.

(Dr. Munir Fuady, SH., MH., LL.M)

Banyak keinginan dan harapan yang suci dari para mahasiswa fakultas hukum yang akan atau sedang menempuh studi di universitas maupun sekolah tinggi ilmu hukum, yang tentunya mengharapkan dirinya masuk jurusan ilmu hukum agar kelak setelah tau hukum agar mampu menegakkan keadilan di lingkungan masyarakat sekitar. Harapan itu mungkin akan berkobar-kobar pada saat akan dan mulai masuk pertama kali di fakultas hukum. Tapi tidak setelah semester 2 sampai terakhir, tidak jarang dari mereka yang merasa masygul ketika melihat kenyataan hukum yang terjadi di sekitar masyarakat tidak sama dengan yang mereka pernah dapatkan di bangku perkuliahan.

Pada masa berikutnya harapan itu mulai terkikis hingga pada akhirnya terjadi suatu kejumudan berfikir tentang hukum. Tidak jarang dari mereka sudah tidak percaya lagi terhadap apa yang telah di pelajarinya sendiri. Hingga paling parahnya adalah muncul rasa dan keinginan dari para mahasiswa fakultas hukum bahwa percuma saja mempelajari hukum yang sangat begitu ideal, karena sudah tidak mampu lagi mencerminkan keadilan hukum yang sebenarnya. Untuk itu kadang tidak jarang dari mereka yang merasa berdosa karena telah bergabung dalam lingkungan fakultas hukum, yang mereka telah merasa tau hukum, tapi tidak mampu berbuat sesuai dengan yang telah di pelajarinya.

Hal yang sama juga terjadi terhadap masyarakat yang berkeinginan mencari keadilan di lembaga-lembaga peradilan. Niat suci yang timbul dari benak sang pencari kedilan justru tidak jarang pupus di tengah jalan. Kesewenang-wenangan hukum dan penyalahgunaan hukum yang sangat lebih dominan mewarnai penegakan hukum yang berkeadilan. Untuk itu sudah tidak jarang pula masyarakat yang sudah tidak percaya lagi terhadap hukum, hingga pada akhirnya penyelesaian peristiwa-peristiwa dan kasus-kasus hukum tidak lagi diselesaikan melalui mekanisme formal, karena beranggapan bahwa hukum bukan akan menyelesaikan masalah akan tetapi justeru akan menambah masalah baru yang berkepanjangan.

Contoh diatas merupakan sebagian dari praktek dan potret betapa sulitnya keadilan di tegakkan. Oleh sebab itu maka mutlak di mengerti dan dipahami tentang arti dan makna keadilan yang sebenarnya, agar dalam pelaksanaan tidak terjadi perdebatan tentang ukuran-ukuran adil atau tidaknya suatu peristiwa hukum atau kasus tertentu. Dalam tulisan ini di coba menjelaskan tentang pengertian dan fungsi keadilan, teori tentang ukuran-ukuran keadilan, macam-macam keadilan dan keadilan teori keadilan menurut hukum.

Ada beberapa alasan kenapa sebenarnya manusia dari waktu kewaktu begitu gencar mencari keadilan, diantaranya:

  1. secara deontologist etika, karena keadilan sudah menjadi hak dari seseorang.
  2. jawaban kaum utilitarian, bahwa keadilan merupakan nilai dasar yang harus dipertahankan untuk dapat dilaksanakannya kebaikan yang sebesar-besarnya atau kesenangan yang sebesar-besarnya bagi masyarakat.
  3. jawaban kaum historian atau kaum sosiologis, bahwa keadilan memang kebutuhan dalam masyarakat sepanjang masa.
  4. jawaban kaum psikologis, bahwa keadilan merupakan kebutuhan jiwa manusia.
  5. jawaban kaum agamis, bahwa keadilan merupakan kehendak dan tuntunan Ilahi terhadap manusia

Kata “keadilan” berasal dari kata “adl” yang berasal dari bahasa Arab. Dalam bahasa Inggris di sebut dengan “justice” memiliki persamaan arti dengan:

  1. justicia, dalam bahasa Latin
  2. jeuge, Justice (f) dalam bahasa Prancis
  3. juez (m), justicia (f) dalam bahasa Spanyol
  4. reichter (m), gerechtigkeit (f) dalam bahasa Jerman

Persoalan keadilan dapat timbul dalam hubungan dan interaksi antara :

  1. individu dengan individu lainnya
  2. individu dengan masyarakat/kelompok masyarakat
  3. individu dengan otoritas kekuasaan/Negara
  4. individu dengan alam semesta

Berdasarkan sedikit penjelasan diatas, maka keadilan dapat diartikan sebagai nilai (value) untuk menciptakan suatu hubungan yang ideal diantara manusia sebagai individual, sebagai anggota masyarakat, dan sebagai bagian dari alam, dengan memberikan kepada manusia tersebut apa yang menjadi hak dan kebebasannya menurut hukum dan moral, yang bila perlu harus dipaksakan berlakunya oleh Negara dengan memperlakukan secara sama terhadap hal yang sama dan memperlakukan secara berbeda terhadap hal yang berbeda.

Agar suatu hukum dapat tdikatakan adil, maka terdapat beberapa ukuran-ukuran, ukuran-ukuran keadilan itu diantaranya :

  1. Ukuran hukum alam dan positifisme

Ukuran hukum alam mendasarkan keadilan pada pandangan yang lebih tinggi dari (trancendent) dari pikiran manusia, juga dengan akal sehat (reason). Sedangkan keadilan berdasarkan paham positivisme adalah menjalankan aturan yang berlaku secara baik dan benar.

  1. Ukuran absolute dan relative

Ukuran absolute adalah keadilan yang berlaku kapan dan dimana saja. Begitu sebaliknya dengan ukuran relatif yang berarti keadilan akan berbeda-beda sesuai dengan perbedaan tempat dan waktu.

  1. Ukuran umum dan konkret

Ukuran umum (universal) adalah ukuran tanpa batas, dimana saja dan kapan saja. Sedangkan Konkret tergantung pada keunikan setiap kasus.

  1. Ukuran metafisik dan empiris

Ukuran metefisik adalah keadilan terbit bukan dari fakta dalam masyarakat, akan tetapi manakala dilaksanakan hak dan kewajiban berdasarkan rasio manusia secara deduktif. Sedang ukuran empiris berdasarkan fakta social dalam kenyataannya.

  1. Ukuran internal dan eksternal

Ukuran ekternal adalah keadilan sebagai suatu cita yang tinggi dan dari mana keadilan berasal atau dibentuk. Sedangkan secara internal adalah menelaah keadilan dalam batas-batas ruang gerak dari keadilan itu sendiri.

  1. Ukuran pengetahuan dan intuisi

Ukuran pengetahuan adalah ukuran melalui teori dalam ilmu pengetahuan. Sedang intuisi ukuran berdasarkan perasaan keadilan dan perasaan ketidak adilan.

* Alumni Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo

Continue Reading

PERDEBATAN TEORI HUKUM

TEORI HUKUM

(Mengenal, mengingat, mengumpulkan dan membuka kembali)

Apa itu hukum? Beberapa pemikir telah menempatkan pertanyaan ini sebagai kerangka filosofis. Mungkin kita akan saling berbeda pendapat menafsirkan hukum. Jauh sebelum anda, memang tidak terdapat keseragaman dalam mengartikan hukum, karena dilatarbelakangi oleh pendidikan dan kehidupan sehari-hari yang berbeda pula. Namun paling tidak yang harus diketahui adalah kata hukum berasal dari bahasa Arab, asal katanya “Hukm”, kata jama’nya “Ahkam” yang berarti putusan (judgement, verdice, decision), ketetapan (privition), perintah (command), pemerintahan (goverment) dan kekuasaan (authority, power). Dari sedikit pemaparan diatas kita dapat mengambil makna dari hukum sesuai sudut pandang kita.

Lalu apa fungsi dan tujuan dari hukum? Secara umum fungsi hukum dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) bagian, Pertama: sebagai standart of conduc yakni sebagai sandaran atau ukuran tingkah laku yang harus ditaati oleh setiap orang dalam bertindak dan melakukan hubungan dengan yang lain, Kedua: sebagai as a tool of social engeneering, yakni sebagai sarana atau alat untuk mengubah masyarakat kearah yang lebih baik, Ketiga: sebagai a tool of social control, yakni sebagai alat mengontrol tingkah laku dan perbuatan manusia agar mereka tidak melakukan perbuatan yang melawan norma hukum, agama dan susila, Keempat: sebagai as a facility on of human interaction, yakni menciptakan perubahan masyarakat dengan cara memperlancar proses interaksi sosial dan diharapkan menjadi pendorong untuk menimbulkan perubahan dalam kehidupan masyarakat. Sedangkan tujuan hukum adalah, Pertama: The Goal of Promoting morality, artinya hukum ditujukan untuk menegakkan moral, Kedua: The Goal of Reflecting Custom, adalah hukum bertujuan untuk merefleksikan kebiasaan,  Ketiga: The Goal of Social Welfare, yakni hukum ditujukan demi kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat, Keempat: The Goal of Serving Power, adalah bertujuan untuk melayani kekuasaan.

Seperti apakah bentuk dan corak hukum itu? Dari segi terbentuknya, hukum dibedakan menjadi dua bagian, Pertama: Hukum Tertulis, yaitu aturan-aturan hukum yang ditulis dalam suatu peraturan perundang-undangan oleh pejabat yang berwenang, hukum tertulis ini terdiri dari dua bagian, yakni Hukum Tertulis Terkodifikasi (disusun dalam sebuah kitab secara sistematik) dan Hukum Tertulis tidak Terkodifikasi (sebagai undang-undang biasa). Kedua: Hukum Tidak Tertulis yaitu aturan-aturan hukum yang berlaku sebagai hukum yang semula merupakan kebiasaan-kebiasaan dan hukum kebiasaan. Sedangkan corak hukum dapat ditempuh melalui, Pertama: Unifikasi, yaitu berlakunya sistem hukum bagi setiap orang dalam kesatuan kelompok sosial atau suatu negara, Kedua: Dualistis, adalah berlakunya 2 (dua) sistem hukum bagi 2 (dua) kelompok sosial atau suatu negara, Ketiga: Pluralistis, adalah berlakunya bermacam-macam sistem hukum bagi kelompok-kelompok sosial yang berbeda atau suatu negara.

Dari manakah sumber-sumber hukum itu? Secara umum sumber hukum terdapat 5 (lima), Pertama: sumber hukum yang berupa Peraturan Perundang-Undangan, dapat berupa UUD 1945, UU/Perpu (peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang), Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah dan lain-lain, Kedua: Yurisprudensi, adalah putusan hakim yang memperoleh kekuatan hukum tetap, Ketiga: Traktat, yakni perjanjian yang dilakukan baik bilateral maupun multiteral, Keempat: Kebiasaan, adalah peraturan-peraturan yang walaupun tidak ditetapkan oleh pemerintah, tetapi ditaati oleh seluruh rakyat, karena mereka merasa yakin bahwa peraturan itu berlaku sebagai hukum, Kelima: Doktrin, adalah pendapat ahli/pakar hukum yang sudah berpengalaman serta telah diakui keilmuannya, sehingga dapat dijadikan rujukan pendapat dan argumennya.

Asas apa saja yang ada dalam perundang-undangan? Pertama: Asas Retroaktif adalah Undang-Undang tidak boleh berlaku surut seperti dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP,  Kedua: Lex posteriori derogat lex priori, artinya bahwa Undang-Undang yang baru meniadakan Undang-Undnag lama yang mengatur materi yang sama, Ketiga: Lex specialis derogat legi generali, adalah Undang-Undang yang khusus lebih diutamakan daripada Undang-Undang yang umum.

Apa saja sistem hukum yang ada di dunia? Sistem hukum merupakan suatu sistem yang meliputi substansi, struktur, dan budaya hukum, dengan kata lain, sistem hukum secara cakupan materi kajian menyangkut legislasi (produk hukum), struktur, dan budaya hukum. Adapun macam-macam sistem hukum yang ada di dunia adalah, Pertama: Sistem Eropa Kontinental (civil law) adalah hukum memperoleh kekuatan hukum mengikat karena duwujudkan dalam suatu “peraturan perundang-undangan” yang tersusun secara sistematik dalam kodifikasi atau kompilasi tertentu dengan tujuan demi kepastian hukum, untuk itu tugas hakim dalam sisten ini hanya sebagai menetapkan dan menafsirkan peraturan perundang-undangan dalam batas-batas kewenangannya, Kedua: Sistem Anglo Saxon (common law) adalah sumber hukum dalam sistem ini ialah “putusan-putusan hakim/pengadilan” melalui putusan-putusan hakim yang sebelumnya, maka prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum dibentuk dan menjadi kaidah yang mengikat umum, sehingga hakim dalam sistem ini tidak hanya sebagai pihak yang bertugas menetapkan dan menafsirkan peraturan perundang-undangan, melainkan berperan sebagai penafsir hukum yang berlaku dan menciptakan prinsip-prinsip hukum baru yang akan menjadi pegangan bagi hakim-hakim lain untuk memutus perkara yang sejenis, Ketiga: Sistem Hukum Adat (adat recht) adalah sitem hukum yang bersumber pada peraturan-peraturan tidak tertulis yang tumbuh berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya, Keempat: Sistem Hukum Islam adalah sistem hukum yang bersumber pada Kitab Suci Al-Qur’an, Sunnah Nabi (Hadist), Ijma’ (Kesepakatan para Ulama’), Qiyas (Analogi dalam mencari sebanyak mungkin persamaan antara dua kejadian).

Apa saja pembidangan lapangan hukum? Pembidangan hukum ada banyak sekali, namun secara umum dapat dibagi menjadi beberapa bagian, yakni: Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi Negara, Hukum Perdata, Hukum Pidana, Hukum Agraria, Hukum Internasional, dan lain-lain.

Continue Reading

TEORI-TEORI KEADILAN DALAM HUKUM

1. a. Hukum pada kenyataannya seringkali ketinggalan dengan perkembangan yang terjadi di masyarakat, untuk itu hukum yang baik adalah hukum yang bersifat dinamis yang mampu mengikuti perkembangan masyarakat. Hal itu senada dengan yang diungkapkan Lawrence M. Friedman[1] mengemukakan bahwa dalam kaitannya dengan perubahan hukum maka perubahan itu dapat terjadi pada tiga unsure yang dominan yakni pertama, struktur hukum adalah pola yang menunjukkan tentang bagaimana hukum itu dijalankan menurut ketentuan-ketentuan formalnya, kedua, substansi hukum adalah peraturan-peraturan yang dipakai oleh para pelaku hukum, dan ketiga, adalah kultur hukum adalah yang berhubungan dengan kebiasaan dalam penyelesaian perkara hukum. Karena tidak mungkin hukum dapat dipahami secara matematis, sehingga membutuhkan konsep sosiologi hukum untuk menjawabnya[2]. Untuk itu diharapkan perkembangan masyarakat juga dibarengi dengan perkembangan hukum yang memenuhi ketiga unsusr hukum yang telah dikemukakan tadi. Sehingga unsur-unsur penegakan hukum dapat dan mampu terpenuhi dengan baik. Unsur-unsur dalam penegakan Hukum itu menurut Sudikno Mertokusumo[3] terdapat tiga, pertama kepastian hukum (Rechtssicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan keadilan. Untuk menciptakan hukum baik dalam pembentukan dan penerapan hukum yang sesuai dengan ketiga unsur diatas, maka dibutuhkan sosiologi hukum, yakni untuk mengetahui latar belakang kemasyarakatan untuk pembentukan pendapat yuridis yang tepat. Untuk itulah peranan pembentukan peraturan perundang-undangan, penegakan hukum oleh aparat penegak hukum membutuhkan sosiologi hukum demi terciptanya ketiga unsur penegakan hukum yang telah dikemukakan diatas tadi. Karena sosiologi hukum yang pertama mempelajari kenyataan dalam masyarakat, baru yang kemudia mempelajari kaidah-kaidah hukum[4].
b. Beberapa teori yang saya ketahui mengenai perubahan hukum dan perubahan social diantaranya :

§  Teori Utilitarisme

Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Jeremy Bentham (1748-183) yakni dengan prinsipnya bahwa manusia akan melakukan tindakan untuk mendapatkan kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan mengurangi penderitaan[5]. Untuk itu Bentham berusaha agar hukum diusahakan sebagai alat untuk ketentraman manusia[6], sehingga baik dan buruknya hukum ditentukan oleh dapatnya diterimanya oleh masyarakat dengan rasa gembira atau tidak. Jadi undang-undang yang baik adalah undang-undang yang memberikan kebahagiaan pada sebagian terbesar masyarakat akan dinilai sebagai undang-undang yang baik[7].

§  Teori Sociological Jurisprudence

Inti pemikiran dari mazhab ini adalah bahwa “Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat”. Teori ini dikemukakan oleh Eugen Ehrlich[8] yang menganjurkan agar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara terdapat keseimbangan antara keinginan untuk mengadakan pembaharuan hukum melalui perundang-undangan dengan kesadaran untuk memeperhatikan kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Kenyataan yang hidup dalam masyarakat sering disebut sebagai “living law and just law” yang merupakan “inner order” yang tercermin dalam kehidupan masyarakat[9]. Sociological Jurisprudence pada kenyataannya lebih menekankan pada masalah evaluasi hukum, kedudukan hukum tertulis dan tidak tertulis, fungs hukum sebagai rekayasa social, pembentukan hukum yang baik dan cara penerapan hukum[10].

§  Teori Pragmatic Legal Realism

Teori ini dikemukakan oleh Rescoe Pound yang menyatakan bahwa hukum dilihat dari fungsinya dapat berperan sebagai alat untuk mengubah masyarakat (law as a tool of social engineering)[11]. Hukum dapat berperan didepan untuk memimpin perubahan dalam kehidupan masyarakat. Hukum dapat pula merubah masyarakat yang tradisional menjadi modern. Untuk itu teori sangat erat kaitannya dengan teori Sociological Jurisprudence, yang mana hukum yang baik adalah hukum yang hidup dalam masyarakat.

§  Teori Hukum Pembangunan

Teori dikembangkan oleh Mochtar Kusumaatmadja[12] bahwa hukum dibuat harus sesuai dengan dan memperhatikan kesadaran hukum masyarakat. Kekuasaan Negara menjadi sangat vital dalam melakukan dorongan legalisasi. Hubungan timbale balik antara hukum dan masyarakat sangat penting dan perlu dilakukan untuk memperoleh kejelasan[13]. Teori ini juga ingin menjelaskan bahwa terdapat hubungan timbale balik antara masyarakat sebagai subjek hukum dengan Negara sebagai perancang pembentuk hukum. Untuk itu baik masyarakat maupun penguasa membutuhkan pendidikan untuk memiliki kesadaran kepentinga Umum[14].

§  Teori Pengayoman

Pencetus teori ini adalah Suhardjo (mantan Menteri Kehakiman) yang mengemukakan bahwa tujuan hukum adalah untuk mengayomi manusia baik secara aktif maupun pasif[15]. Teori ini yang kemudian menjadi slogan dari kementerian Kehakiman yakni pengayoman.

§  Teori Perubahan Sosial

Soerjono Soekanto[16] mengatakan bahwa dalam setiap proses perubahan senantiasa akan dijumpai factor-faktor penyebab terjadinya perubahan, baik dari dalam maupun dari luar. Inilah yang dapat menjadi latar belakang terjadinya perubahan hukum dan masyarakat. Untuk itu masyarakat memiliki peranan yang penting dalam proses perubahan social. Keadaan-keadaan yang dapat menentukan berubahnya masyarakat dan hukum merupakan hal yang lumrah dalam masyarakat yag terus berkembang, untuk itu antisipasi menuju pengendalian hukum sangat dibutuhkan agar tidak terjadi konflik social dalam masyarakat.

§  Teori Sosiologi Fungsional

Teori ini dikembangkan oleh kalangan yang sangat peka terhadap konsdisi lingkungan. Hal sangat kental sekali adalah agama, untuk itu agama merupakan salah satu factor yang ikut mempengaruhi terjadinya perubahan masyarakat dan hukum. Perbedaan pemikiran tentang hukum yang berlaku dalam agama akan mengakibatkan berbedanya alur berfikir tentang hukum[17]. Untuk itu dapat dikatakan bahwa agama juga sangat berpengaruh dalam membentuk pola pikir masyarakat, sehingga disebutlah teori sosiologi fungsional yang merupakan bagian dari teori-teori perubahan hukum.

c. Steven Vago menyatakan bahwa telah mengidentifikasi sejumlah hal dalam masyarakat yang bisa membatasi hukum sebagai instrumen perubahan.[18] Mereka yakni:

§  Faktor Sosial

Faktor ini dicontohkan oleh Steven Vago diantaranya Kelas Sosial, Resistensi Ideologi dan Organisasi Oposisi

§  Faktor Psikologis

Faktor ini diantaranya Kebiasaan (Habit), Motivasi, Keacuhan (Ignorance), Persepsidan Pengembangan Moral.

§  Faktor Budaya

Faktor ini dipengaruhi oleh Fatalisme, Kesukuan/Superioritas Kelompok, Ketidakcocokan dan Tabu (Superstition)

§  Faktor Ekonomi

Faktor ekonomi ini juga termasuk dalam kelompok yang mempengaruhi keterbatasan dalam masyarakat apabila digunakan sebagai instrument of social change.

d. §  Kritik Terhadap Pemikiran Durheim

Pemikiran Durheim banyak dipengaruhi oleh adanya evolusi masyarakat[19]. Masyarakat mengadakan evolusi dikarenakan terdapat persamaan persepsi untuk mengadakan kesepakatan-kesepakatan guna mencetuskan keinginan bersama. Hukum dipandang sebagai keputusan bersama antara masyarakat dan penguasa. Untuk itu hukum harus dibuat berdasarkan pada hak-hak yang dimiliki oleh masyarakat, sehingga pada akhirnya terciptalah hukum. Terdapat kelemahan-kelemahan yang terjadi dalam pemikiran ini, yakni bahwa hukum belum tertata rapi dikarenakan masih hanya sebatas kesepatan-kesepakatan antara penguasa dengan masyarakatnya. Untuk itu dibutuhkan suatu kodifikasi hukum dan administrasi hukum yang baik, sehingga tercipta suautu hukum yang terkonsep dan tertata dengan baik. Untuk itu diharapkan Pemikiran Durheim ini hanya dapat diterapkan pada masyarakat tradisional. Solidaritas sosial[20] menjadi ciri khas dari ajaran ini, sehingga keputusan terbanyaklah yang mampu ditampung untuk kemudian dijadikan hukum yang absolute dalam suatu susunan hukum dalam masyarakat. Sehingga kritikan terhadap hukum ini begitu gencarnya karena tidak mengakomodir kepentingan minoritas yang tidak terkoordinir melalui keputusan suara terbanyak dari suautu peraturan.

§  Kritik Terhadap Pemikiran Max Weber

Max Weber banyak dipengaruhi pemikirannnya dengan kondisi ekonomi capitalis[21], sehingga berpengaruh terhadap substansi pemikirannya yang mengedepankan kaum-kaum penguasa daripada kaum masyarakat miskin. Untuk itu kemudian timbullah suatu pergeseran yang mana harus disamakan antara kaum kapitalis dengan masyarakat jelata. Diharapkan mampu tidak membedakan antara masyarakat kalangat elit dengan kalangan jelata, sehingga hukum benar-benar berfungsi sebagai panglima dengan masyarakat apapun. Sehingga hukum dapat berwibawa dalam kondisi apapun dan dalam kesempatan apapun. Hukum dalam pemikiran ini diharapkan mampu merasionalisasi[22] terhadap segala bidang kehidupan suatu kelompok masyarakat. Krikan terhadap pemikiran ini bahwa memang terdapat perbedaan diantara masyarakat yang sedang berkembang dengan masyarakat yang tradisional. Untuk itu diperlukan pengklasifikasian keberlakuan hukum, sehingga efektifitas nilai dan tingkat keberhasilan hukum dalam masyarakat mampu terlaksana dengan baik.

2. a. Menurut pendapat ahli hukum (Traverne) benar sekali, karna menurut H.L.A. Hart[23] yakni sebuah system hukum harus menampilkan kesesuaian spesifik terhadap moralitas dan keadilan. Untuk itu dapat dikatakan sebaik apapun hukum yang dibentuk, apabila moralnya tidak baik, maka akan percuma suatu peraturan-perundang undangan yang baik tadi. Untuk itu diperlukan sinergitas antara hukum dan moralitas, agar tercipta kesinambungan diantara unnsur-unsur penegakan hukum. Istilah moral adalah suatu istilah yang bermakna ganda, arti pertama adalahkeseluruhan kaidah dan nilai berkenaan dengan ikhwal baik dan perbuatan baik manusia[24]. Untuk itu sangat dibutuhkan moral aparat penegak hukum dalam rangka penegakan hukum, sehingga penerapan hukum akan berjalan maksimal. Karena hukum tidak akan pernah sempurna dan hanya dapat diwujudkan dalam dalam suatu perjuangan[25]. Dengan demikian keadilan itu masih diperjuangkan oleh oknum atau aparat penegak hukum, untuk itu sebaik apapun hukumnya, kalau tidak ada kemauan kuat moral dari aparat penegak hukum, maka tujuan tujuan hukum sulit untuk dilaksanakan. Sangat dibutuhkan adanya kesinambungan antara Hukum (Peraturan Perundang-Undangan) yang bersifat membangun dan mampu diterima di masyarakat, serta kemauan dalam pelaksanaan yang kuat dari seluruh komponen aparat penegak hukum untuk mengatasi segala bentuk upaya dalam law inforcment. Perdebatan tentang Teori Hukum Murni dan Sosiological Yurisprudance (hukum sosiologis) bukan hanya terjadi belakangan ini dan hanya di Indonesia saja. Yang pasti aliran hukum diatas merupakan 2 (dua) pandangan besar yang satu sama lain memiliki cara pandang yang berbeda.[26] Itulah yang kemudian berdampak kepada perdebatan masalah penelitian hukum sebagaimana di jelaskan oleh pakar hukum terkemuka yang ada di Indonesia yang saling berbeda pandangan mengenai metode dalam penelitian hukum.

Aliran hukum positif juga dikenal sebagai aliran legisme. Aliran ini selalu mengidentikkan hukum dengan Undang-Undang, tidak ada hukum di luar Undang-Undang, satu-satunya sumber hukum adalah Undang-Undang. Pandangan-pandangan hukum positif ini dipertahankan oleh Paul Laband, Jellineck, Rudolf von Jherings, Hans Nawiasky, Hans Kelsen dan lain-lain.[27] Aliran hukum positif mulai berkembang di Jerman pada abad pertengahan dan telah banyak berpengaruh di berbagai negara, tidak terkecuali di Indonesia.

John Austin memberikan pengertian dan batasan tentang cakupan ilmu hukum. Pertama, hukum merupakan perintah penguasa, kedua, hukum merupakan sistem logika yang bersifat tetap dan tertutup, ketiga, hukum positif terdiri dari unsur-unsur perintah, sanksi, kewajiban dan kedaulatan, di luar itulah hanyalah moral positif (positive morality).[28]

Pendapat lain lain datang dari Hans Kelsen yang menyatakan ”hukum haruslah dibersihkan dari anasir-anasir bukan hukum, seperti anasir etika, sosiologi, politik dan sebagainya”.[29] Kelsen juga menerangkan bahwa hukum sebagai (sollenskatagori), yaitu hukum sebagai keharusan bukan sebagai (seinskategori) yakni sebagai kenyataan,[30] yakni orang menaati hukum karena sudah perintah negara, untuk itu pelalaian terhadap itu maka akan dikenakan sanksi. Sedangkan ajaran yang juga terkenal dari Hans Kelsen dan sering dijadikan rujukan dalam teori hierarki (tingkatan) norma hukum adalah ajaran ”stufentheory”[31], yakni sistem hukum pada haikatnya merupakan sistem hierarkis yang tersusun dari peringkat terendah hingga peringkat tertinggi.

Dari pemeparan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pada prinsipnya aliran hukum positif adalah aliran pemikiran hukum yang memberikan penegasan terhadap bentuk hukum (Undang-Undang), isi hukum (perintah penguasa), ciri hukum (sanksi, perintah, kewajiban, dan kedaulatan) dan sistematisasi norma hukum (hierarki norma hukum Kelsen).   Secar implisit aliran ini hakikatnya juga menegaskan beberapa hal:

Pertama, bahwa pembentuk hukum adalah penguasa

Kedua,     bahwa bentuk hukum adalah Undang-Undang; dan

Ketiga      hukum diterapkan terhadap pihak yang di kuasai.

Sangat berbeda dengan sosiological jurisprudence yang merupakan aliran filsafat hukum yang memberi perhatian sama kuatnya terhadap masyarakat dan hukum, sebagai dua unsur utama hukum dalam penciptaan dan pemberlakuan hukum.[32] Itulah yang menyebabkan perbedaan yang tajam antara kalangan pemikir hukum normatif dan kalangan pemikir hukum sosiologis. Karena pemikir hukum sosiologis mendasarkan hukum pada teori tentang hubungan antara kaidah-kaidah hukum dengan kenyataan masyarakat.[33]

Pendasar mazhab ini dapat disebutkan, misalnya Roscoe Pound, Eugen ehrlich, Benyamin Cardozo, Kantorowics, Gaurvitch dan lain-lain.[34] Mazhab ini lebih mengarah pada kenyataan daripada kedudukan dan fungsi hukum dalam masyarakat. Inti dasar prinsip pemikiran mazhab ini adalah hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.[35] Hukum lahir dan berkembang seiring dengan kemajuan zaman, sehingga hukum tidak dapat dipisahkan dari kehidupan   masyarakat. Seperti gejala-gejala peradaban lain, hukum juga dapat ditinjau secara sosiologis, dapat diteliti hubungan ekonomis dan kemasyarakatan apa, aliran bidang kejiwaan kejiwaan apa yang telah menimbulkan pranata hukum tertentu.[36]

Pada prinsipnya ialah sosiological jurisprudence menekankan pada masalah-masalah evaluasi hukum (kualisifikasi hukum yang baik), kedudukan hukum tertulis dan tidk tertulis, fungsi hukum sebagai sarana rekayasa sosial,[37] dengan cara pembentukan hukum yang baik (yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat), dan cara penerapan hukum.

Dari perbedaan dua pandangan besar antara paradigma hukum positif dengan hukum sosiologis, tidak perlu untuk saling menjatuhkan dengan saling menyalahkan antara teori yang satu dengan teori yang lainnya, mengingat kedua-duanya sama-sama memiliki kelebihan dan kekuarangan. Paradigma hukum positif dapat di gunakan untuk mempelajari tentang bentuk hukum (Undang-Undang), isi hukum (perintah penguasa), ciri hukum (sanksi, perintah, kewajiban, dan kedaulatan) dan sistematisasi norma hukum (hierarki norma hukum) sedangkan paradigma hukum sosiologis dapat digunakan untuk mengevaluasi hukum (kualisifikasi hukum yang baik), kedudukan hukum tertulis dan tidk tertulis, sebagai sarana rekayasa sosial, cara pembentukan hukum yang baik (yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat), dan cara penerapan hukum yang efektif.

b. Melihat kondisi tersebut diatas, maka ada beberapa hal yang harus menjadi perhatian, yakni sesuai dengan fungsi Hukum menurut Steven Vago[38], diantaranya adalah Social Control, Dispute Settlement dan Social Change. Dalam hal sosial control[39] maka bermakna sebuah proses yang dilakukan untuk mempengaruhi orang-orang agar bertingkahlaku sesuai dengan harapan masyarakat[40]. Sedangkan Dispute Settlement adalah hukum secara umum diharapkan dapat menyelesaikan semua permasalahan yang ada di masyarakat. Sedangkan Social Change adalah sebagai sarana perubahan sosial (law as a tool of social engineering). Berdasarkan pada soal diatas maka diharapakan pembentuk Undang-undang mampu mengetahui karakter masyarakat, nilai-nilai yang terkandung dalam masyarakat, sehingga hukum yang akan dibentuk mampu mencerminkan peradaban dan mampu diterima dengan baik oleh semua kalangan masyarakat, sehingga pada akhirnya tujuannya adalah menciptakan keadilan hukum. Berkaitan dengan itu, maka agar suatu hukum dapat dikatakan adil, maka terdapat beberapa ukuran-ukuran, ukuran-ukuran keadilan itu diantaranya :[41]

  1. Ukuran hukum alam dan positifisme

Ukuran hukum alam mendasarkan keadilan pada pandangan yang lebih tinggi dari (trancendent) dari pikiran manusia, juga dengan akal sehat (reason). Sedangkan keadilan berdasarkan paham positivisme adalah menjalankan aturan yang berlaku secara baik dan benar.

  1. Ukuran absolute dan relative

Ukuran absolute adalah keadilan yang berlaku kapan dan dimana saja. Begitu sebaliknya dengan ukuran relatif yang berarti keadilan akan berbeda-beda sesuai dengan perbedaan tempat dan waktu.

  1. Ukuran umum dan konkret

Ukuran umum (universal) adalah ukuran tanpa batas, dimana saja dan kapan saja. Sedangkan Konkret tergantung pada keunikan setiap kasus.

  1. Ukuran metafisik dan empiris

Ukuran metefisik adalah keadilan terbit bukan dari fakta dalam masyarakat, akan tetapi manakala dilaksanakan hak dan kewajiban berdasarkan rasio manusia secara deduktif. Sedang ukuran empiris berdasarkan fakta social dalam kenyataannya.

  1. Ukuran internal dan eksternal

Ukuran ekternal adalah keadilan sebagai suatu cita yang tinggi dan dari mana keadilan berasal atau dibentuk. Sedangkan secara internal adalah menelaah keadilan dalam batas-batas ruang gerak dari keadilan itu sendiri.

  1. Ukuran pengetahuan dan intuisi

Ukuran pengetahuan adalah ukuran melalui teori dalam ilmu pengetahuan. Sedang intuisi ukuran berdasarkan perasaan keadilan dan perasaan ketidak adilan.

3. Otonomi daerah telah menghasilkan pelayanan publik, menghasilkan pemilihan kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat[42], hanya saja belum bisa mensejahterakan tingkat perekonomian masyarakat. Hal itu dapat dibenarkan, karena kalau melihat indeks kemiskinan[43] yang ada di daerah masih relative tetap tidak terdapat perubahan yang sukup signifikan, untuk itu ada apa dengan kondisi Indonesia saat ini?. Untuk menjawab pertanyaan itu maka kita harus melihat dulu perilaku Birokrasi pemerintahan dalam menjalankan aktivitas kenegaraannya[44]. Dalam kalangan pemerintahan baik ditingkatan pusat dan daerah masih banyak ditemukan prakterk-praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), sehingga itulah yang mengakibatkan adanya tingkat pembangunan di daerah maupun di pusat menjadi terhambat, belum lagi adanya tingkat heterogensi masyarakat yang rentan dengan adanya konflik sosial yang memang keberadaannya seringkali konflik itu tidak dapat dihindari, baik konflik yang secara alami dan terjadi secara turun temurun, maupun konflik yang dikarenakan dibuat-buat oleh penguasa pemerintahan. Mentalitas aparat pemerintahan baik yang ada dipusat maupun diaerah yang harus dirubah, hukum yang mengatur tentang pemerintahan sudah atau telah cukup baik, akan tetapi mentalitas aparatur yang masih belum dapat dipercaya. Hukum seringkali tumpul melawan segala bentuk kekuasaan yang terjadi didaerah maupun pusat. Untuk itu diharapkan pembangunan mentalitas hukum kedepan juga diharapkan dapat menjadi prioritas dalam pembangunan hukum.

Ada beberapa alasan kenapa sebenarnya manusia dari waktu kewaktu begitu gencar mencari keadilan, diantaranya :[45]

  1. secara deontologist etika, karena keadilan sudah menjadi hak dari seseorang.
  2. jawaban kaum utilitarian, bahwa keadilan merupakan nilai dasar yang harus dipertahankan untuk dapat dilaksanakannya kebaikan yang sebesar-besarnya atau kesenangan yang sebesar-besarnya bagi masyarakat.
  3. jawaban kaum historian atau kaum sosiologis, bahwa keadilan memang kebutuhan dalam masyarakat sepanjang masa.
  4. jawaban kaum psikologis, bahwa keadilan merupakan kebutuhan jiwa manusia.
  5. jawaban kaum agamis, bahwa keadilan merupakan kehendak dan tuntunan Ilahi terhadap manusia

Kata “keadilan” berasal dari kata “adl” yang berasal dari bahasa Arab. Dalam bahasa Inggris di sebut dengan “justice” memiliki persamaan arti dengan:[46]

  1. justicia, dalam bahasa Latin
  2. jeuge, Justice (f) dalam bahasa Prancis
  3. juez (m), justicia (f) dalam bahasa Spanyol
  4. reichter (m), gerechtigkeit (f) dalam bahasa Jerman

Persoalan keadilan dapat timbul dalam hubungan dan interaksi antara :[47]

  1. individu dengan individu lainnya
  2. individu dengan masyarakat/kelompok masyarakat
  3. individu dengan otoritas kekuasaan/Negara
  4. individu dengan alam semesta

Berdasarkan pemaparan singkat diatas diharapkan keadilan mampu diterapkan dalam pembangunan yang berkesinambungan, baik di tingkatan pemerintah pusat maupun dalam pemerintahan daerah.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Manan, Aspek-aspek Pengubah Hukum, Prenada Media, Jakarta, 2005

Adam Podgorecki dan Christopher J Whelan, Pendekatan Sosiologi Terhadap Hukum, PT. Bina Aksara, Jakarta, 1987

Dudu Duswara Mahyudin, Pengantar Ilmu Hukum (Sebuah Sketsa), Refika Aditama, Bandung, 2000

Dragan Milovanivic, A Primer in The Sociology of Law Second Edition, Harrow and Heston Publisher, Albany, 1994

Gerald J. Postema, Bentham and the Common Law Tradition, Clarendon Press, Oxford, 1986

Hans Kelsen, Pure Theory Of Law, Berkely: Unibersity California Press 1978

__________, General Theory Of Law And State, Terjemahan Somardi, Bee Media Indonesia, Jakarta, 2007

Hartono Hadisoeprapto, Pengantar Hukum Indonesia, Liberty, 1999

Lawrence M. Friedman, The Legal System, A Social Science Perspective, New York, Russel Sage Foundation, 1974

HLA. Hart, The Consept Of Law, Clarendon Press-Oxford, New York, 1997

Juanda, Hukum Pemerintah Daerah, Alumni, Bandung, 2007

JJH. Bruggink (Alih bahasa Arief Sidharta), Reffleksi Tentang Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999

Lily Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004

Lily Rasjidi dan I.B Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, CV. Mandar Maju, Bandung 2003

Mathieu Deflem, Sociology of Law, Cabridge University Press, New York, 2008

Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Hukum dalam rangka Pembangunan Nasional, Binacipta, Bandung, 1975

____________, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum nasional, Binacipta, Bandung, 1976

____________, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, Alumni, Bandung, 2006

Munir Fuady, Dinaika Teori Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2007

Nur Amin, Agama Perspektif Sosiologi, Rajawali Grafindo, Jakarta, 2002

Otje Salman dan F. Susanto, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung, 2005

Paul Scholten (Alih bahasa Arief Sidharta), Struktur Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 2005

Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya bakti, Bandung, 2000

____________, Hukum dan Perubahan Sosial, Alumni, Bandung, 1979

Soerjono Soekanto et. al, Pendekatan Sosiologi Terhadap hukum, Bina Aksara, 1993

Steven Vago, Law and Society, Pearson Prentice Hall, United States of America, 2009

Sudikno Mertokusumo, Bab-bab tentang Penemuan Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993

____________, Teori Hukum, Universitas Atma Jaya Press, Yogyakarta, 2011

Winarno Yudho, Kumpulan Tulisan Sosiologi Hukum, Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Tanpa Tahun

  1. Friedman, Legal Theory, Steven & Sons Limited, 3rd Edition, 1953.

[1] Lawrence M. Friedman, The Legal System, A Social Science Perspective, New York, Russel Sage Foundation, 1974, Hal. 6 – 9

[2] Adam Podgorecki dan Christopher J Whelan, Pendekatan Sosiologi Terhadap Hukum, PT. Bina Aksara, Jakarta, 1987, Hal. 259

[3] Sudikno Mertokusumo, Bab-bab tentang Penemuan Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, Hal. 1

[4] Otje Salman dan Anton F. Susanto, Teori Hukum (Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali), Refika Aditama, Bandung, 2005, Hal. 61

[5] W. Friedman, Legal Theory, Steven & Sons Limited, 3rd Edition, 1953. Hal. 211

[6] Gerald J. Postema, Bentham and the Common Law Tradition, Clarendon Press, Oxford, 1986, Hal. 37

[7] Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004. Hal. 64

[8] W. Friedman, Op Cit, Hal. 191

[9] Abdul Manan, Aspek-aspek Pengubah Hukum, Prenada Media, Jakarta, 2005, Hal. 19

[10] Lili Rasjidi dan IB Wayan Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, CV. Mandar Maju, Bandung, Cet. !!, 2003, Hal. 124

[11] Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya bakti, Bandung, 2000, Hal. 208 Baca juga W. Friedman, Op Cit, Hal. 292

[12] Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Hukum dalam rangka Pembangunan Nasional, Binacipta, Bandung, 1975, Hal. 3-13

[13] Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum nasional, Binacipta, Bandung, 1976, Hal. 1

[14] Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, Alumni, Bandung, 2006, Hal. 9

[15] Dudu Duswara Mahyudin, Pengantar Ilmu Hukum (Sebuah Sketsa), Refika Aditama, Bandung, 2000, Hal. 26

[16] Soerjono Soekanto et. al, Pendekatan Sosiologi Terhadap hukum, Bina Aksara, 1993, Hal. 17

[17] Nur Amin, Agama Perspektif Sosiologi, Rajawali Grafindo, Jakarta, 2002, Hal. 58

[18] Steven Vago, Law and Society, Pearson Prentice Hall, United States of America, 2009, Hal. 341

[19] Dragan Milovanivic, A Primer in The Sociology of Law Second Edition, Harrow and Heston Publisher, Albany, 1994, Hal 24

[20] Mathieu Deflem, Sociology of Law, Cabridge University Press, New York, 2008, Hal. 56

[21] Dragan Milovanivic, opcit, Hal. 37

[22] Mathieu Deflem, opcit, Hal. 37

[23] HLA. Hart, The Consept Of Law, Clarendon Press-Oxford, New York, 1997, Hal. 287

[24] JJH. Bruggink (Alih bahasa Arief Sidharta), Reffleksi Tentang Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, Hal. 223

[25] Paul Scholten (Alih bahasa Arief Sidharta), Struktur Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 2005, Hal 124

                [26] Otje Salman dan F. Susanto, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung, 2005, Hal. 46

                [27] Lily Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, Hal. 56

                [28] Lily Rasjidi dan I.B Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, CV. Mandar Maju, Bandung 2003, Hal. 119-120

                [29] Hans Kelsen, Pure Theory Of Law, Berkely: Unibersity California Press 1978, Hal. 1

                [30] Hans Kelsen, General Theory Of Law And State, Terjemahan Somardi, Bee Media Indonesia, Jakarta, 2007, Hal. 202-203

                [31] Hans Kelsen, Op Cit, Hal. 165-169

                [32] Lily Rasjidi dan I.B Wyasa Putra, Op Cit, Hal. 121

                [33] J.J.H. Bruggink, Rechts Refflectie, Grondbegrippen Uit De Rechtstheory, Alih Bahasa B. Arief Sidharta, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, Hal. 163

                [34] Lily Rasjidi, Op Cit, Hal. 66

                [35] Lily Rasjidi,, Ibid, Hal. 66

                [36] Paul Scholten, De Struktuur Der Rechtswetenschap, Alih Bahasa B. Arief Sidharta, P.T Alumni, Bandung, 2005, Hal. 6

                [37] Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Prenada Media, Jakarta, 2005, Hal. 3

[38] Steven Vago, Law and Society, Pearson Prentice Hall, United States of America, 2009, Hal. 19-21. Lihat juga Winarno Yudho, Kumpulan Tulisan Sosiologi Hukum, Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Tanpa Tahun, Hal. 12-14

[39] Steven Vago, Ibid, Hal. 203. Baca Juga Winarno Yudho, Ibid, Hal. 167

[40] Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial, Alumni, Bandung, 1979, Hal. 123

[41] Munir Fuady, Dinaika Teori Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2007, Hal. 102-103

[42] Pilkada yang dilaksanakan di daerah juga banyak yang mengakibatkan konflik sosial. hal ini dipengruhi oleh adanya masyarakat yang belum siap dengan pelaksanaan demokrasi.

[43] Index kemiskinan yang dikumpulkan oleh Indonesian International Independency of Economic Association

[44] Juanda, Hukum Pemerintah Daerah, Alumni, Bandung, 2007. Hal 67

[45] Munir Fuadi, Opcit, hal. 58

[46] Hartono Hadisoeprapto, Pengantar Hukum Indonesia, Liberty, 1999, Hal. 38

[47] Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, Universitas Atma Jaya Press, Yogyakarta, 2011, Hal 23

Continue Reading

TEORI TENTANG HUKUM DAN KEADILAN

Oleh :

Saiful Anam, SH*

Hukum dan keadilan seperti hotel bintang lima,

terbuka secara sama bagi siapa pun tanpa terkecuali,

baik tamu miskin maupun bagi tamu kaya,

asal saja mereka sanggup membayarnya.

(Dr. Munir Fuady, SH., MH., LL.M)

Banyak keinginan dan harapan yang suci dari para mahasiswa fakultas hukum yang akan atau sedang menempuh studi di universitas maupun sekolah tinggi ilmu hukum, yang tentunya mengharapkan dirinya masuk jurusan ilmu hukum agar kelak setelah tau hukum agar mampu menegakkan keadilan di lingkungan masyarakat sekitar. Harapan itu mungkin akan berkobar-kobar pada saat akan dan mulai masuk pertama kali di fakultas hukum. Tapi tidak setelah semester 2 sampai terakhir, tidak jarang dari mereka yang merasa masygul ketika melihat kenyataan hukum yang terjadi di sekitar masyarakat tidak sama dengan yang mereka pernah dapatkan di bangku perkuliahan.

Pada masa berikutnya harapan itu mulai terkikis hingga pada akhirnya terjadi suatu kejumudan berfikir tentang hukum. Tidak jarang dari mereka sudah tidak percaya lagi terhadap apa yang telah di pelajarinya sendiri. Hingga paling parahnya adalah muncul rasa dan keinginan dari para mahasiswa fakultas hukum bahwa percuma saja mempelajari hukum yang sangat begitu ideal, karena sudah tidak mampu lagi mencerminkan keadilan hukum yang sebenarnya. Untuk itu kadang tidak jarang dari mereka yang merasa berdosa karena telah bergabung dalam lingkungan fakultas hukum, yang mereka telah merasa tau hukum, tapi tidak mampu berbuat sesuai dengan yang telah di pelajarinya.

Hal yang sama juga terjadi terhadap masyarakat yang berkeinginan mencari keadilan di lembaga-lembaga peradilan. Niat suci yang timbul dari benak sang pencari kedilan justru tidak jarang pupus di tengah jalan. Kesewenang-wenangan hukum dan penyalahgunaan hukum yang sangat lebih dominan mewarnai penegakan hukum yang berkeadilan. Untuk itu sudah tidak jarang pula masyarakat yang sudah tidak percaya lagi terhadap hukum, hingga pada akhirnya penyelesaian peristiwa-peristiwa dan kasus-kasus hukum tidak lagi diselesaikan melalui mekanisme formal, karena beranggapan bahwa hukum bukan akan menyelesaikan masalah akan tetapi justeru akan menambah masalah baru yang berkepanjangan.

Contoh diatas merupakan sebagian dari praktek dan potret betapa sulitnya keadilan di tegakkan. Oleh sebab itu maka mutlak di mengerti dan dipahami tentang arti dan makna keadilan yang sebenarnya, agar dalam pelaksanaan tidak terjadi perdebatan tentang ukuran-ukuran adil atau tidaknya suatu peristiwa hukum atau kasus tertentu. Dalam tulisan ini di coba menjelaskan tentang pengertian dan fungsi keadilan, teori tentang ukuran-ukuran keadilan, macam-macam keadilan dan keadilan teori keadilan menurut hukum.

Ada beberapa alasan kenapa sebenarnya manusia dari waktu kewaktu begitu gencar mencari keadilan, diantaranya:

  1. secara deontologist etika, karena keadilan sudah menjadi hak dari seseorang.
  2. jawaban kaum utilitarian, bahwa keadilan merupakan nilai dasar yang harus dipertahankan untuk dapat dilaksanakannya kebaikan yang sebesar-besarnya atau kesenangan yang sebesar-besarnya bagi masyarakat.
  3. jawaban kaum historian atau kaum sosiologis, bahwa keadilan memang kebutuhan dalam masyarakat sepanjang masa.
  4. jawaban kaum psikologis, bahwa keadilan merupakan kebutuhan jiwa manusia.
  5. jawaban kaum agamis, bahwa keadilan merupakan kehendak dan tuntunan Ilahi terhadap manusia

Kata “keadilan” berasal dari kata “adl” yang berasal dari bahasa Arab. Dalam bahasa Inggris di sebut dengan “justice” memiliki persamaan arti dengan:

  1. justicia, dalam bahasa Latin
  2. jeuge, Justice (f) dalam bahasa Prancis
  3. juez (m), justicia (f) dalam bahasa Spanyol
  4. reichter (m), gerechtigkeit (f) dalam bahasa Jerman

Persoalan keadilan dapat timbul dalam hubungan dan interaksi antara :

  1. individu dengan individu lainnya
  2. individu dengan masyarakat/kelompok masyarakat
  3. individu dengan otoritas kekuasaan/Negara
  4. individu dengan alam semesta

Berdasarkan sedikit penjelasan diatas, maka keadilan dapat diartikan sebagai nilai (value) untuk menciptakan suatu hubungan yang ideal diantara manusia sebagai individual, sebagai anggota masyarakat, dan sebagai bagian dari alam, dengan memberikan kepada manusia tersebut apa yang menjadi hak dan kebebasannya menurut hukum dan moral, yang bila perlu harus dipaksakan berlakunya oleh Negara dengan memperlakukan secara sama terhadap hal yang sama dan memperlakukan secara berbeda terhadap hal yang berbeda.

Agar suatu hukum dapat tdikatakan adil, maka terdapat beberapa ukuran-ukuran, ukuran-ukuran keadilan itu diantaranya :

  1. Ukuran hukum alam dan positifisme

Ukuran hukum alam mendasarkan keadilan pada pandangan yang lebih tinggi dari (trancendent) dari pikiran manusia, juga dengan akal sehat (reason). Sedangkan keadilan berdasarkan paham positivisme adalah menjalankan aturan yang berlaku secara baik dan benar.

  1. Ukuran absolute dan relative

Ukuran absolute adalah keadilan yang berlaku kapan dan dimana saja. Begitu sebaliknya dengan ukuran relatif yang berarti keadilan akan berbeda-beda sesuai dengan perbedaan tempat dan waktu.

  1. Ukuran umum dan konkret

Ukuran umum (universal) adalah ukuran tanpa batas, dimana saja dan kapan saja. Sedangkan Konkret tergantung pada keunikan setiap kasus.

  1. Ukuran metafisik dan empiris

Ukuran metefisik adalah keadilan terbit bukan dari fakta dalam masyarakat, akan tetapi manakala dilaksanakan hak dan kewajiban berdasarkan rasio manusia secara deduktif. Sedang ukuran empiris berdasarkan fakta social dalam kenyataannya.

  1. Ukuran internal dan eksternal

Ukuran ekternal adalah keadilan sebagai suatu cita yang tinggi dan dari mana keadilan berasal atau dibentuk. Sedangkan secara internal adalah menelaah keadilan dalam batas-batas ruang gerak dari keadilan itu sendiri.

  1. Ukuran pengetahuan dan intuisi

Ukuran pengetahuan adalah ukuran melalui teori dalam ilmu pengetahuan. Sedang intuisi ukuran berdasarkan perasaan keadilan dan perasaan ketidak adilan.

* Alumni Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo

Continue Reading

TEORI HUKUM MURNI DAN PERMASALAHANNYA

  1. Perkembangan Aliran Positivisme

Lahirnya teori hukum ini sebenarnya diawali oleh berkembangnya pemikiran hukum Legisme yang berbentuk in optima forma[1]. Perkembangan Teori hukum ini berkembang semenjak abad pertengahan[2] dan perbengaruh terhadap semua lapisan Negara-negara yang ada di dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Posivisme Hukum ini untuk pertama kalinya dikukuhkan dalam bentuk rumusan yang sistematikal dan konseptual oleh John Austin dalam The Province of jurisprudence (1832) melalui pernyataan atau klaim positif mengenai hukum bahwa :

“hukum dalam tema yang paling generic dan menyeluruh… diartikan sebagai aturan yang diterbitkan untuk member pedoman perilaku kepada seseorang manusia selaku makhluk intelegen… dari seorang manusia lainnya (makhluk intelegen lain) yang ditangannya ada kekuasaan (otoritas) terhadap makhluk intelegen pertama itu”[3]

Selain itu Austin mengatakan bahwa hukum merupakan perintah penguasa-dalam arti bahwa perintah dari mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan.[4] Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa teori ini hanya bersumber pada hukum yang tertulis yang disahkan oleh kekuasaan pemerintahan atau suatu Negara. Untuk itu kemudian muncul unsur-unsur hukum menurut Austin diantaranya :[5]

  1. Adanya penguasa (souvereghnity)
  2. Suatu perintah (command)
  3. Kewajiban untuk menaati (duty)
  4. Sanksi bagi mereka yang tidak taat (sanction)

Aliran hukum ini pada intinya adalah mengidentikkan hukum dengan undang-undang, tidak ada hukum diluar undang-undang. Di Jerman pandangan ini dianut oleh Paul Laband, Jellineck, Rudolf von Jering, Han Naviasky, Hans Kelsen dan lain-lain. Sedangkan di Inggris dikenal dengan aliran hukum positif yang pelopori oleh John Austin seperti telah dijabarkan diatas.

Pada tahun 1798 hingga 1857 teori ini juga dikembangkan oleh August Comte yakni seorang sarjana Perancis yang hidup pada jaman itu. August Comte[6] menyatakan bahwa positivism merupakan sebuah sikap ilmiah, yang menolak spekulasi-spekulasi apriori dan berusaha membangun dirinya pada data pengalaman. Untuk itu filsafat menurut mazhab ini adalah suatu system filsafat yang mengakui hanya fakta-fakta positif dan fenomena-fenomena yang dapat diobservasi.

Pada abad Pertengahan kedua (abad ke-19) positivism menjalar kedalam segala cabang ilmu pengetahuan social, termasuk ilmu hukum, ia berusaha mendepak pertimbangan-pertimbangan nilai-nilai dari yurisprudensi dan membatasi tugas ilmu-ilmu ini pada analisa, dan mendobrak tatanan hukum positif. Pada saat itu diajarkan bahwa hukum positiflah yang merupakan hukum yang berlaku, dan hukum positif adalah norma-norma yang diakui oleh Negara. Sehingga dapat dikatakan bahwa teori hukum ini hanya merupakan Ilmu Hukum dalam arti sempit, yang hanya mempelajari hal-hal yang bersifat normative saja.[7] Untuk itu yang terpenting dalam teori ini adalah Undang-undang.[8]

Pada abad ke-19 pula muncul sikap kritis masyarakat terhadap masalah-masalah yang dihadapi, apalagi pada saat itu tradisi keilmuan baru berkembang, yang semula bersifat tertutup dan tradisionil berubah menjadi sedikit terbuka sehingga menghasilkan pandangan-pandangan kritis terhadap pandangan hukum alam yang dianggap tidak memiliki dasar dan merupakan hasil dari penalaran yang bersifat palsu belaka. Hukum diartikan sebagai perintah dari kekuasaan politik yang berdaulat dalam suatu Negara.[9]

Franz Magnis Suseno[10] mengatakan bahwa adanya hubungan hukum kodrat dan hukum positif yang saling berhubungan karena keabsahan social menempatkan hukum positif dalam kodrat manusia, artinya produk hukum positif hanya sah kalau sesuai dengan tuntunan-tuntunan dasar dan kecenderungan kodrati manusia. Berawal dari Pendapat hukum kodrat bahwa manusia dibangun dengan berbagai struktur social, hal ini sejalan dengan kebutuhan masyarakat yang semakin kompleks, beserta kelemahan-kelemahan yang terjadi dalam hukum kodrat. Tiga kelemahan mendasar hukum kodrat adalah kekaburan paham kodrat, dualism metodis dan masalah kepastian.[11] Dalam upaya mengantisipasi kelemahan tersebut, maka hukum positif mengambil peranan yang sangat penting, bahwa hukum positif sesungguhnya adalah pengalihan terhadap positivasi hukum kodrat terhadap manusia. Artinya dengan demikian hukum positif dapat mencerminkan dan mendasarkan hukum kodrat dalam tatanan hukum positif.[12]

Bertolak pada kelemahan-kelemahan hukum kodrat yang telah diurai tadi, serta meningkatnya kebutuhan dalam masyarakat sipil yang memerlukan perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan yang bersifat invidu, maka diperlukan hukum positif yang didukung oleh kekuasaan yang memaksa dalam suatu Negara. Dalam karakter hukum kodrat bahwa manusia ditempatkan sebagai makhluk yang bermoral, padahal dalam tataran social manusia lebih merupakan makhluk ekonomi, dan dalam hal tertentu dan terdesak akan menggunakan akal budinya yang justru berseberangan dengan akal budinya. Sehingga konsep Utility Bentham[13] dapat dilaksanakan dengan baik dalam bingkai hubungan Negara dengan masyarakatnya.

  1. Terminologi dan Dasar Pemikiran Positivisme

Sebelum membahas lebih jauh tentang pemahaman legal positivism, Hans Kelsen menegaskan bahwa terdapat 3 (tiga kemungkinan) interpretasi terhadap istilah itu, diantaranya :[14]

  1. Legal Positivisme Sebagai Metode

Cara mempelajari hukum sebagai fakta yang kompleks, fenomena atau data social dan bukan sebagai system nilai, sebagai metode yang minsetting pusat inquiri problem-problem formal dari keabsahan hukum, bukan aksiologi suatu keadilan dari suatu konten norma/aturan.

  1. Legal Positivisme yang dipahami sebagai Teori

Teori legal positivism berkembang pada era kodifiakasi sampai pada abad ke-19. Dalam konsepsi ini dikembangkan dari ecole de l’exegese sampai ke Jerman Rechtwissenschaft, hukum dikemas sempurna dengan positive order yang berasal dari kegiatan legislative suatu Negara. Paham ini merupakan disebut kelompok imperativist, coercivis, legalis conception yang ditegakkan melalui hukum yang literal (tertulis), interpretasi norma tertulis secara mekanis oleh penerjemah, khususnya hakim.

  1. Legal Positivisme sebagai ideology

Merupakan ide bahwa hukum Negara ditaati secara absolute yang disimpulkan kedalam suatu statement gesetz ist gesetz atau the law is the law. Hans Kelsen selalu menolak positivism, khususnya dalam konteks teoritikal dan aspek ideology walaupun saya telah menerimanya dari pandangan metodologis.[15]

Seperti yang telah dijelaskan diatas, bahwa aliran positivism merupakan aliran yang mencoba melakukan kritik terhadap kelemahan-kelemahan hukum kodrat. Dalam aliran ini terdapat berbagai cabang pemahaman positivism berlainan antar satu dengan yang lainnya. Namun pada dasarnya yang diangkat tema sentralnya adalah :[16]

Issues of legal validity must be strictly separated from question of morality what the law ought to be has nothing to do with what the law actually is. There are irreducible fact about political society can only be expressed in the vocabulary of the law. The study of law is autonomous

Dalam perkembangannya terdapat 2 (dua) aliran positivism, yakni hard positivism dan soft positivism, yang membedakan antara keduanya adalah : Hard positivism : There is only the positive law : There are no objective, universal fact about morality, about what law ought to be like (Hans Kelsen)[17]

Soft Positivism : In addition to positive law, objective morals fact do exist

Selanjutnya positivism lunak terbagi lagi menjadi dua golongan yaitu utilitarian positivism dan Non utilitarian positivism. Menurut kelompok utilitarian bahwa : There are no natural human right, nothing like a natural law. The only moral standard is one of the desirebelity of the concequences of the law (Betham). Sedangkan menurut paham kedua (non utilitarian) adalah, There is something like natural law (universal human rights, universal moral principles)[18]

Walaupun terdapat perbedaan internal dalam pemahamannya, positivism memiliki kesamaan dasar fundamental, yakni :

  1. A positive law is binding even if it is supremely immoral
  2. No principle of morality is legally binding until is has been enacted into moral law
  3. That a statute is legally binding does not settle the moral question of wether we ought (morally speaking) to obey or disobey the law

Aliran positivism ini banyak dipengaruhi oleh dua ahli hukum terkemuka, yakni Jeremy Bentham[19] dan John Austin[20] yang mengemukakan Command Theory, serta teori konvensi social oleh Hans Kelsen[21] dan Hart[22].

  1. Teori Hukum Murni menurut Hans Kelsen

Dua teori besar Hans Kelsen, pertama ajaran yang bersifat murn, sedangkan yang kedua adalah berasal dari muridnya Adolf Merkl adalah Stufenbau des Recht yang mengutakan adanya hierarkis dari perundang-undangan. Dari unsur etis Hans Kelsen tidak memberikan tempat bagi berlakunya suatu hukum alam, etika memberikan penilaian tentang baik dan buruk, Kelsen menghindari diri dari yang demikian itu. Dari unsur sosiologis ajaran Kelsen tidak memberik tempat bagi hukum kebiasaan yang hidup dan berkembang di masyarakat.

Hans Kelsen dalam teorinya yakni teori hukum Murni adalah keinginan untuk membebaskan ilmu hukum dari anasir-anasir atau unsur-unsur social, ekonomi, politik, budaya dan lain sebagainya. Hukum diwajibkan bebas nilai, dan harus terbebas dan tidak tercemari oleh unsur-unsur yang bersifat ideologis. Keadilan menurut Kelsen dipandang sebuah konsep ideologis. Ia melihat dalam keadilansebuah ide yang tidak rasional dan teori hukum murnitidak dapat menjawab tentang pertanyaan apa yang membentuk keadilan, karena pertanyaan ini tidak dapat dijawab secara ilmiah. Jika keadilan harus diidentikkan dengan legalitas, dalam arti tempat, keadilan berarti memelihara sebuah tatanan (hukum) positif melalui aplikasi kesadaran atasnya.

Teori hukum murni ini menurut Kelsen adalah sebuah teori hukum yang bersifat positif. Sehingga kemudian dapat disimpulkan bahwa teori hukum ini ingin berusaha menjawab pertanyaan tentang “apa hukum itu?” tetapi bukan pertanyaan “apa hukum itu seharusnya”. Teori ini mengkonsentrasikan pada hukum saja dan menginginkan lepas dengan ilmu pengetahuan yang lainnya, dengan atas dasar bahwa ilmu hukum berdiri sendiri dan merupakan sui generis.[23] Kelsen sekali lagi ingin memisahkan pengertian hukum dari segala unsur yang berperan dalam pembentukan hukum seperti unsur-unsur psikologi, sosiologi, sejarah, politik, dan bahkan juga etika.[24] Semua unsur ini termasuk ide hukum atau isi hukum. Isi hukum tidak pernah lepas dari unsur politik, psikis, social budaya dan lain-lain. Sehingga pengertian hukum menurut Hans Kelsen adalah hukum dalam konteks formalnya, yaitu sebagai peraturan yang berlaku secara yuridis, itulah hukum yang benar menurut perspektif teori hukum murni (das reine Recht)

Pandangan positivism juga menganggap bahwa kewajiban yang terletak pada kaidah hukum adalah kewajiban yang bersifat yuridis, hal itu dikarenakan karena kaidah hukum termasuk pada keharusan ekstern, yaitu karena ada paksaan atau ancaman apabila tidak mentaati, dikarenakan dasar dari hukum adalah undang-undang dasar negara, dalam relasi itulah maka terdapat ada yang memberi perintah dan ada yang mentaati perintah.

Pandangan kedua adalah kewajiban dari ektern, yakni dorongan dari batin bahwa yang demikian itu merupakan kewajiban yang harus ditaati. Kewajiban yuridis itulah dianggap sebagai dorongan kewajiban yang tidak dapat terelakkan. Han Kelsen juga mengatakan bahwa hukum dapat mewajibkan secara batin, hal itu dikarenakan adanya kewajiban yuridis, dan memang demikian pengertian hukum. Sehinga peraturan yang tidak normative tidak masuk akal maka tidak dapat dikatakan hukum.[25] Immamuel Kant mengatakan bahwa kelsen berpendapat bahwa kewajiban hukum termasuk dalam pengertian transedental-logis[26]. Menurut Kant ada norma dasar (grundnorm)[27] bagi moral (yang berbunyi : berlakulah sesuai dengan suara hatimu), maka menurut Hans Kelsen dalam hukum juga terdapat norma dasar yang harus dianggap sebagai sumber keharusan dibidang hukum. Norma dasar (grundnorm) tersebut berbunyi : orang-orang harus menyesuaikan dirinya dengan apa yang telah ditentukan.

Ajaran yang kedua menurut Hans Kelsen adalah ajaran tentang norma hukum (stufentheori)[28], dimana ia berpendapat bahwa norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi. Demikian seterusnya sampai pada suatu norma dasar (Grundnorm). Teori jenjang norma hukum Hans Kelsen ini diilhami oleh seorang muridnya yang bernama Adolf Merkl yang mengemukakan bahwa suatu norma hukum harus selalu mempunyai dua wajah (das Doppelte Rechtsanlitz), yakni norma hukum itu keatas ia bersumber dan berdasar pada norma diatasnya, tetapi kebawah juga menjadi dasar bagi norma yang ada dibawahnya.

Ajaran Hans Kelsen tersebut kemudian disempurnakan oleh seorang muridnya, yakni Hans Nawiasky dalam bukunya Allgemeine Rechtslehre yang mengatakan bahwa selain norma hukum itu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, norma hukum dari suatu Negara juga berkelompok-kelompok. Hans Nawiasky mengelompokkan norma-norma hukum dalam suatu Negara itu menjadi empat kelompok besar, yang terdiri atas :

Kelompok 1   : Staatfundamentalnorm (norma fundamental negara)

Kelompok 2   : Staatsgrundgesetz (aturan dasar/pokok Negara)

Kelompok 3   : Formell Gesetz (Undang-undang “formal”)

Kelompok 4   : Verordnung & Autonome Satzung (aturan pelaksana &

aturan otonom)[29]

  1. Perkembangan Teori Hukum Murni di Indonesia

Mengenai perkembangan Teori Hukum murni di Indonesia ini, saya akan lebih spesifik pada penggunaan dan perdebatan mengenai penggunaan penelitian hukum di Indonesia, yang mengalami perbedaan antara pakar yang satu dengan pakar hukum yang lainnya. Dalam metode penelitian hukum menurut Prof. Dr. Soerjono Soekanto, SH., MA[30] terdiri dari penelitian hukum normatif dan penelitian hukum sosiologis atau empiris. Penelitian hukum normatif terdiri dari penelitian terhadap azas-azas hukum, sistematika hukum, sinkronisasi hukum dan perbandingan hukum. Sedangkan penelitian hukum sosiologis atau empiris merupakan penelitian terhadap identifikasi hukum dan efektifitas hukum dalam dinamika sosial kemasyarakatan. Untuk itu hukum seringkali dihubungkan dengan dinamika kemasyarakatan yang sedang dan akan terjadi.

Namun berbeda menurut Prof. Dr. Peter Mahmud Marzuki, SH., MS., LLM[31] yang menyatakan bahwa penelitian socio-legal research (penelitian hukum sosiologis) bukan penelitian hukum. Menurut beliau penelitian hukum sosiologis maupun penelitian hukum hanya memiliki objek yang sama, yakni hukum. Penelitian hukum sosiologis hanya menempatkan hukum sebagai gejala sosial, dan hukum hanya dipandang dari segi luarnya saja, dan yang menjadi topik seringkali adalah efektifitas hukum, kepatuhan terhadap hukum, implementasi hukum, hukum dan masalah sosial atau sebaliknya. Untuk itu hukum selalu ditempatkan sebagai variabel terikat dan faktor-faktor non-hukum yang mempengaruhi hukum dipandang sebagai variabel bebas.[32] Dalam Penelitian hukum sosiologis untuk menganalisis hipotesa diperlukan data, sehingga hasil yang diperoleh adalah menerima atau menolak hipotesis yang diajukan.

Berbeda menurut beliau dengan penelitian hukum, yang bukan mencari jawaban atas efektifitas hukum, oleh sebab itu beliau menyatakan bahwa dalam penelitian hukum tidak dikenal istilah hipotesis, variabel bebas, data, sampel atau analisis kualitatif dan kuantitatif, yang diperlukan hanya pemahaman tentang Undang-Undang yang ditelaah. Penelitian hukum dilakukan untuk memecahkan isu hukum yang diajukan sehingga hasilnya memberikan preskripsi mengenai apa seyogianya.

Hemat saya tidak perlu harus saling menyalahkan antar satu dan yang lainnya. Namun yang pasti perdebatan tentang Teori Hukum Murni dan Sosiological Yurisprudance (hukum sosiologis) bukan hanya terjadi belakangan ini dan hanya di Indonesia saja. Yang pasti aliran hukum diatas merupakan 2 (dua) pandangan besar yang satu sama lain memiliki cara pandang yang berbeda.[33] Itulah yang kemudian berdampak kepada perdebatan masalah penelitian hukum sebagaimana di jelaskan oleh pakar hukum terkemuka yang ada di Indonesia yang saling berbeda pandangan mengenai metode dalam penelitian hukum.

Aliran hukum positif juga dikenal sebagai aliran legisme. Aliran ini selalu mengidentikkan hukum dengan Undang-Undang, tidak ada hukum di luar Undang-Undang, satu-satunya sumber hukum adalah Undang-Undang. Pandangan-pandangan hukum positif ini dipertahankan oleh Paul Laband, Jellineck, Rudolf von Jherings, Hans Nawiasky, Hans Kelsen dan lain-lain.[34] Aliran hukum positif mulai berkembang di Jerman pada abad pertengahan dan telah banyak berpengaruh di berbagai negara, tidak terkecuali di Indonesia.

John Austin memberikan pengertian dan batasan tentang cakupan ilmu hukum. Pertama, hukum merupakan perintah penguasa, kedua, hukum merupakan sistem logika yang bersifat tetap dan tertutup, ketiga, hukum positif terdiri dari unsur-unsur perintah, sanksi, kewajiban dan kedaulatan, di luar itulah hanyalah moral positif (positive morality).[35]

Pendapat lain lain datang dari Hans Kelsen yang menyatakan ”hukum haruslah dibersihkan dari anasir-anasir bukan hukum, seperti anasir etika, sosiologi, politik dan sebagainya”.[36] Kelsen juga menerangkan bahwa hukum sebagai (sollenskatagori), yaitu hukum sebagai keharusan bukan sebagai (seinskategori) yakni sebagai kenyataan,[37] yakni orang menaati hukum karena sudah perintah negara, untuk itu pelalaian terhadap itu maka akan dikenakan sanksi. Sedangkan ajaran yang juga terkenal dari Hans Kelsen dan sering dijadikan rujukan dalam teori hierarki (tingkatan) norma hukum adalah ajaran ”stufentheory”[38], yakni sistem hukum pada haikatnya merupakan sistem hierarkis yang tersusun dari peringkat terendah hingga peringkat tertinggi.

Dari pemeparan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pada prinsipnya aliran hukum positif adalah aliran pemikiran hukum yang memberikan penegasan terhadap bentuk hukum (Undang-Undang), isi hukum (perintah penguasa), ciri hukum (sanksi, perintah, kewajiban, dan kedaulatan) dan sistematisasi norma hukum (hierarki norma hukum Kelsen). Secar implisit aliran ini hakikatnya juga menegaskan beberapa hal:

Pertama, bahwa pembentuk hukum adalah penguasa

Kedua,   bahwa bentuk hukum adalah Undang-Undang; dan

Ketiga      hukum diterapkan terhadap pihak yang di kuasai.

Sangat berbeda dengan sosiological jurisprudence yang merupakan aliran filsafat hukum yang memberi perhatian sama kuatnya terhadap masyarakat dan hukum, sebagai dua unsur utama hukum dalam penciptaan dan pemberlakuan hukum.[39] Itulah yang menyebabkan perbedaan yang tajam antara kalangan pemikir hukum normatif dan kalangan pemikir hukum sosiologis. Karena pemikir hukum sosiologis mendasarkan hukum pada teori tentang hubungan antara kaidah-kaidah hukum dengan kenyataan masyarakat.[40]

Pendasar mazhab ini dapat disebutkan, misalnya Roscoe Pound, Eugen ehrlich, Benyamin Cardozo, Kantorowics, Gaurvitch dan lain-lain.[41] Mazhab ini lebih mengarah pada kenyataan daripada kedudukan dan fungsi hukum dalam masyarakat. Inti dasar prinsip pemikiran mazhab ini adalah hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.[42] Hukum lahir dan berkembang seiring dengan kemajuan zaman, sehingga hukum tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat. Seperti gejala-gejala peradaban lain, hukum juga dapat ditinjau secara sosiologis, dapat diteliti hubungan ekonomis dan kemasyarakatan apa, aliran bidang kejiwaan kejiwaan apa yang telah menimbulkan pranata hukum tertentu.[43]

Pada prinsipnya ialah sosiological jurisprudence menekankan pada masalah-masalah evaluasi hukum (kualisifikasi hukum yang baik), kedudukan hukum tertulis dan tidk tertulis, fungsi hukum sebagai sarana rekayasa sosial,[44] dengan cara pembentukan hukum yang baik (yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat), dan cara penerapan hukum.

Dari perbedaan dua pandangan besar antara paradigma hukum positif dengan hukum sosiologis, tidak perlu untuk saling menjatuhkan dengan saling menyalahkan antara teori yang satu dengan teori yang lainnya, mengingat kedua-duanya sama-sama memiliki kelebihan dan kekuarangan. Paradigma hukum positif dapat di gunakan untuk mempelajari tentang bentuk hukum (Undang-Undang), isi hukum (perintah penguasa), ciri hukum (sanksi, perintah, kewajiban, dan kedaulatan) dan sistematisasi norma hukum (hierarki norma hukum) sedangkan paradigma hukum sosiologis dapat digunakan untuk mengevaluasi hukum (kualisifikasi hukum yang baik), kedudukan hukum tertulis dan tidk tertulis, sebagai sarana rekayasa sosial, cara pembentukan hukum yang baik (yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat), dan cara penerapan hukum yang efektif.

  1. Kritik Terhadap Teori Hukum Murni

Pada dasarnya Kelsen hanya mempertimbangkan aspek hukum positif saja, tanpa mempertimbangkan keadilan atau ketidakadilannya. Padahal menurut Stammer kemurnian mutlak bagi teori hukum apapun adalah tidak mungkin. Kelsen harus mengakui manakala teori memasuki pertanyaan-pertanyaan tentang norma fundamental yang bertentangan. Pertanyaan yang merupakan norma fundamental yang valid, dimana teori murninya tidak dapat dihindari, karena tanpa itu maka keseluruhan bangunan akan runtuh.[45] Dari sisi yang lain Lauterpacht seorang pengikut Kelsen mempertanyakan apakah teori hierarki tidak menyatakan secara langsung sebuah pengakuan akan prinsip-prisnsip hukum alam.[46]

Selain itu peraturan-peraturan hukum dibuat supaya ada hukum, bukan berarti supaya ada hukum. Dengan demikian maka dengan adanya hukum maka perlu untuk menegakkan kemanusiaan, dengan demikian hukum tidak identik dengan undang-undang. Di sisi yang lain hukum diperlukan penggarapan terus-menerus, dikarenakan hukum dalam hal ikhwal juga terdapat peraturan hukum yang melawan hukum karena bertentangan dengan kemanusiaan. Untuk itu tidak dapat kemudian teori hukum murni ini digunakan sepenuhnya dalam konteks bernegara, sehingga Konsep hukum responsive yang diajarkan oleh Philippe Nonet and Philip Selznick[47] tidak dapat diterapkan dengan baik.

Menurut Friedmann, hukum sebagai suatu sistem terdiri dari sub-sub sistem yang saling bergerak yang tidak dapat terpisahkan dan terpengaruh satu dengan lainnya. Sub-sub sistem itu terdiri dari: Substansi Hukum (legal substance), Struktur Hukum (legal structure), dan Kultur Hukum (legal culture). Adapun budaya hukum yang baik akan terbentuk apabila semua pihak secara sungguh-sungguh dilibatkan untuk berpartisipasi secara penuh dalam proses pembentukan hukum, agar semua orang benar-benar merasa memiliki hukum itu. Karena begitu besarnya peran budaya hukum itu, maka ia dapat menutupi kelemahan dari legal substance dan legal structure.[48]

Jadi menurut Friedmann hukum memiliki ruang lingkup yang sangat luas, tidak terbatas pada tekstual berupa peraturan perundang-undangan. Dalam berfungsinya hukum ditengah masyarakat tidak saja membutuhkan undang-undang belaka tetapi membutuhkan hal-hal lainnya seperti budaya masyarakat, aparat penegak hukum maupun sarana dan prasarana. Dari sini kita bisa melihat bahwa aliran positivisme berusaha memahami hukum hanya sebatas tekstual.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Achmad, Menguak Teori Hukum (Tegal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, Cet ke-3 2010

Anshori, Abdul Ghofur, Filsafat Hukum, Gajah Mada University Press, 2009.

Austin, The Province of Jurisprudence Determined, (1832) Lecture VI (edisi 1954)

Akzin, Benyamin, Law, State, and International Legal Order: Essays in Honor of Kelsen, Knokville, The University of Tennesse, 1964

Ardhiwisastra, Yudha Bhakti, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, PT. Alumni, Bandung, 2000.

Bakir, Herman, Filsafat Hukum, desain dan arsitektur kesejarahan, Refika Adhitama, Bandung, Cet ke-2 2009

Bentham, Jeremy, The Theory of Legislation, NM Tripathi Private Limited, Bombay, 1979.

___________, Austin and Classical English Positivism, Cambride University. TT

Bruggink, J.J.H., Rechts Reflekties, Kluwer, Nederland, 1995.

Curson, L.B., Jurisprudence, Cet. 1, London : Cavendish Publishing, 1993.

Dicey, AV, Introduction to the Study of The Law of The Constitution, McMillan and CO, Limited St. Martin Street, London, 1952

Dimyati, Khudzaifah, Teorisasi Hukum, studi tentang perkembangan pemikiran hukum di Indonesia 1945-1990, Genta Publishing, Yogyakarta, Cet ke-5, 2010

Drury, S.B, Law and Politics Reading in Legal and Political Though, Detselig Interprises Ltd Calgary, Alberta, 1980

Fuady, Munir, Perbandingan Ilmu Hukum, Refika Adhitama, Bandung, 2007.

Friedmann, Legal Theory, Steven & Son, London, 1960

___________, Theori and Philosophy of Law, Universiy of Paris, 1973

Friedrich, Carl Joachim, The Philosopy of Law in Historical Perspective, The University Chicago Press, 1969

Hadjon, Philipus M. dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005.

Hart H.L.A, The Concept of Law, New York: Clanrendon Press-Oxford, 1997

Irianto, Sulistyowati & Sidharta, Metode Penelitian Hukum, konstelasi dan refleksi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, Cet ke-2, 2011

Kelsen, Hans, Introduction to The Problem of Legal Theory, Clarendon Press-Oxford, 1996.

____________, The Theory of Law and The International Legal System – A Talk. Diakses dari European Journal of International Law. Artikel ini dapat diakses pada: http:www.ejil.org/journal/vol9/No2/art8-02.html

____________, Pure Theori of Law, Berkely: University California Press, 1978.

____________, Geberal Theory Law And State, The School of Law of The New York University, 1937

Kusumaatmadja, Mochtar, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan, PT. Alumni, Bandung, Cet ke-2, 2006

Manan, Abdul, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Prenada Media, Jakarta, 2005

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta, 2005.

Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum suatu pengantar, Penerbit Liberty, Yogyakarta, Cet ke-2, 2005

____________, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, PT. Aditya Bakti, Jakarta, 2003

Muuwissen, D.H.M., Rechtwentenschap, Koninkrijk der Nederlanden, 1982.

Nawiasky, Hans, Allgemeine Rechtslehre als System lichen Grundbegriffe, Einsiedenln/Zurich/Koln, Benziger, cet 2, 1948.

Nonet, Philippe and Philip Selznick, Law and Society in Transition: To Reward Responsive Law, Harper and Row, New York, 1978

Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2000.

Rasjidi, Lili, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004.

Rasjidi Lily dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004.

Rasjidi, Lily dan I.B Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, CV. Mandar Maju, Bandung 2003.

Salman, Otje, Filsafat Hukum perkembangan & dinamika masalah, Refika Adhitama, Bandung, Cet ke-2, 2010

Salman Otje dan F. Susanto, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung, 2005.

Scholten, Paul, De Struktuur Der Rechtswetenschap, Alih Bahasa B. Arief Sidharta, P.T Alumni, Bandung, 2005.

Soeprapto, Maria Farida, Ilmu Perundang-undangan, dasar-dasar dan Pembentukannya, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, Cet ke-11, 2006

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 2000.

Suherman, Ade Maman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, Civil Law, Common Law dan Hukum Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.

Suseno, Franz Magnis, Etika Politik, Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Gramedia, Jakarta, 1987.

Strong, CF, Modern Political Constitution, An Introduction to the Comparative Studyof Their History and Existing Form, The English Book Society and Sidgwick & Jackson, Limited London, 1966

Suhelmi, Ahmad, Pemikiran Politik Barat, kajian sejarah, perkembangan pemikiran Negara, masyarakat dan kekuasaan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2007.

Wheare, KC, Modern Constitution, Oxford University Press, 1996

Wignjosoebroto, Soetandyo, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional, dinamika social politik dalam perkembangan hukum di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.

[1] In optima forma adalah dalam bentuknya yang optional, ia dapat juga dinamakan “Dokmatika Hukum” Bahasa Jerman : “Rechtsdogmatik Jurisprudenz”. Untuk mengetahui lebih lanjuttentang ini baca D.H.M. Muuwissen, Rechtwentenschap, Koninkrijk der Nederlanden, 1982, Hal. 54

[2] Pada abad pertengahan ini dibagi menjadi 2 (dua) bagian yaitu Masa Gelap dan Masa Scholastik. Pada masa Gelap ditandai dengan adanya runtuhnya Kekaisaran Romawi akibat serangan bangsa lain yang dianggap terbelakang, yaitu suku Germania. Sedangkan Masa Scholastik ditandai dengan bermunculannya teori-teori hukum yang bercorak khusus, yakni ajaran Ketuhanan, yakni ajaran Kristen.

[3] L.B. Curson, Jurisprudence, Cet. 1, London : Cavendish Publishing, 1993, Hal. 93

[4] Pada yang demikian itu termaktub bahwa kekuasaan adalah melahirkan hukum positif yang kemudian diterapkan kepada masyarakat yang menjadi bagian kekuasaan pemerintahan dalam suatu kekuasaan suatu wilayah tertentu. Untuk lebih mengetahui masalah yang berkaitan dengan itu, baca Lili Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, Hal. 56

[5] Unsur-unsur hukum yang disebutkan diatas merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, yang menjadi suatu ikatan antar satu dengan yang lainnya. Untuk mengkaji lebih lanjut mengenai unsur-unsur Hukum menurut Austin, silakan baca Bentham, Austin and Classical English Positivism, Hal. 214 – 229

[6] Comte melihat satu hukum universal dalam semua ilmu pengetahuan yang kemudian ia sebut sebagai ‘hukum tiga fase’. Melalui hukumnya ia mulai dikenal di seluruh wilayah berbahasa Inggris (English-speaking world); menurutnya, masyarakat berkembang melalui tiga fase: Teologi, Metafisika, dan tahap positif (atau sering juga disebut “tahap ilmiah”). Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum, Gajah Mada University Press, 2009, Hal. 94

[7] Bruggink menyebutkan demikian, Bruggink juga menuliskan tentang Pohon/Skema Hukum dogmatic dalam arti sempit dan dalam arti luas. Untuk dapat memahami teori ini baca : J.J.H. Bruggink, Rechts Reflekties, Kluwer, Nederland, 1995, Hal. 167

[8] Munir Fuady, Perbandingan Ilmu Hukum, Refika Adhitama, Bandung, 2007, Hal 65

[9] Dasar-dasar sejarah itu dapat dilihat dan dibaca secara singkat dalam bukunya : Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2000, Hal. 269

[10] Franz Magnis Suseno, Etika Politik, Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Gramedia, Jakarta, 1987, hal. 87-88

[11] Selain itu disebutkan kenapa dibutuhkan aliran hukum positif, diantaranya (1) kelemahan dalam system hukum kodrat, (2) tidak adanya definisi yang jelas mengenai hukum kodrat itu sendiri, (3) Kepastian hukum hukum kodrat yang lemah, padahal masyarakat sipil membutuhkan kepastian, (4) Hukum kodrat tidak memberikan ketentuan praktis, dan (5) Ketaatan pada hukum kodrat lebih tergantung pada nurani individu. Untuk lebih memantapkan terhadap pengetahuan akan kelemahan-kelemahan yang dimiliki oleh Hukum Kodrat ini silakan baca : Ade Maman Suherman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, Civil Law, Common Law dan Hukum Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, Hal. 35-36

[12] Ade Maman Suherman, Ibid

[13] Teori Utility ini adalah dimana hukum haruslah memberikan kepuasan yang sebesar-besarnya (greates happines) bagi sebanyak-banyaknya manusia. Untuk membahas masalah ini sialakan baca : Jeremy Bentham, The Theory of Legislation, NM Tripathi Private Limited, Bombay, 1979, Hal 37

[14] Termininologi ini disarikan dari tulisan Hans Kelsen, Introduction to The Problem of Legal Theory, Clarendon Press-Oxford, 1996, Hal 53-70

[15] Hans Kelsen, The Theory of Law and The International Legal System – A Talk. Diakses dari European Journal of International Law. Artikel ini dapat diakses pada: http:www.ejil.org/journal/vol9/No2/art8-02.html

[16] Lecture: 23 Legal Positivism,http.www.utexas.edu/ caourses/ ph1347/ lectures/ lec23.html

[17] Mengenai itu dapat dibaca pada Lecture: 23 Legal Positivism, Ibid dan juga pada Hans Kelsen, Introduction to The Problem of Legal Theory, Op Cit, hal 42

[18] Lecture: 23 Legal Positivism, Ibid

[19] Dalam bukunya yang terkenal Jeremy Bentham, The Theory of Legislation, NM Tripathi Private Limited, Bombay, 1979

[20] Buku yang terkenal adalah Austin, The Province of Jurisprudence Determined, (1832) Lecture VI (edisi 1954)

[21] Buku yang spektakuler dari Hans Kelsen, Pure Theori of Law, Berkely: University California Press, 1978. Atau ada lagi Hans Kelsen, Geberal Theory Law And State, The School of Law of The New York University, 1937

[22] Karya agung H.L.A Hart, The Concept of Law, New York: Clanrendon Press-Oxford, 1997

[23] Dikatakan sui generis dikarenakan Ilmu Hukum adalah merupakan ilmu jenis sendiri, diakatakan jenis sendiri dikarenakan ilmu hukum dengan kualitas ilmiah sulit dikelompokkan dalam salah satu cabang pohon ilmu. Untuk mengetahui lebih lanjut masalah ini, sialakan baca Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, Hal 1-3

[24] Untuk memperjelas masalaha ini, baca : Hans Kelsen, Pure Theori of Law, Berkely: University California Press, 1978, Hal 5-13

[25] Pandangan itulah yang kemudian menjadi dasar dalam teori ini yang kemudian disebutkan sebagai teori hukum Murni, karena hukum adalah undang-undang, dan bukan yang lain.

[26] Yaitu mewajibkan harus diterima sebagai syarat yang tidak dapat dielakkan untuk mengerti hukum sebagai hukum

[27] Grundnorm merupakan norma dasar yang menjadi pijakan oleh norma-norma yang ada dibawahnya. Lebih lanjut baca : Benyamin Akzin, Law, State, and International Legal Order: Essays in Honor of Kelsen, Knokville, The University of Tennesse, 1964, Hal 3-5

[28] Stufentheori adalah menyatakan bahwa norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi.

[29] Hans Nawiasky, Allgemeine Rechtslehre als System lichen Grundbegriffe, Einsiedenln/Zurich/Koln, Benziger, cet 2, 1948, Hal. 31 dsb

            [30] Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 2000, Hal.51

            [31] Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta, 2005, Hal. 87 – 91

            [32] Peter Mahmud Marzuki, Ibid, Hal. 87

            [33] Otje Salman dan F. Susanto, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung, 2005, Hal. 46

            [34] Lily Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, Hal. 56

            [35] Lily Rasjidi dan I.B Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, CV. Mandar Maju, Bandung 2003, Hal. 119-120

            [36] Hans Kelsen, Pure Theory Of Law, Berkely: Unibersity California Press 1978, Hal. 1

            [37] Hans Kelsen, General Theory Of Law And State, Terjemahan Somardi, Bee Media Indonesia, Jakarta, 2007, Hal. 202-203

            [38] Hans Kelsen, Op Cit, Hal. 165-169

            [39] Lily Rasjidi dan I.B Wyasa Putra, Op Cit, Hal. 121

            [40] J.J.H. Bruggink, Rechts Refflectie, Grondbegrippen Uit De Rechtstheory, Alih Bahasa B. Arief Sidharta, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, Hal. 163

            [41] Lily Rasjidi, Op Cit, Hal. 66

            [42] Lily Rasjidi,, Ibid, Hal. 66

            [43] Paul Scholten, De Struktuur Der Rechtswetenschap, Alih Bahasa B. Arief Sidharta, P.T Alumni, Bandung, 2005, Hal. 6

            [44] Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Prenada Media, Jakarta, 2005, Hal. 3

[45] Kritik terhadap pandangan Hans Kelsen itu juga dapat dibaca melalui bukunya : Friemann, Theori and Philosophy of Law, Universiy of Paris, 1973, hal. 285

[46] Friedmann, Ibid

[47] Mengenai konsep hukum responsive, otonom dan represif dapat dibaca dan dipahami melalui buku : Philippe Nonet and Philip Selznick, Law and Society in Transition: To Reward Responsive Law, Harper and Row, New York, 1978, hal.

[48] Friedmann, Legal Theory, Steven & Son, London, 1960, Hal. 2-8

Continue Reading