- Transisi Politik Menuju Demokrasi
Terjadi perubahan yang signifikan pada tahun 1970an, telah terdapat pergolakan besar-besaran dari sebelumnya yang menganut sistem negara otoriter atau totaliter menuju Negara Demokrasi. Yang pada sebelumnya terjadi pelanggaran-pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi sangat signifikan pada zaman sebelumnya tidak ingin dikemudian hari dapat terulang kembali di masa-masa berikutnya, meskipun pada hakikatnya berbagai mekanisme yang dianut di masing-masing Negara berbeda sesuai dengan sejarah kebangkitan dalam suatu Negara, sehingga membentuk suatu Negara yang tidak sama antar Negara yang satu dengan Negara yang lain. Terdapat berbagai macam versi yang melatarbelakangi runtuhnya rezim otoriter atau totaliter, ada yang banyaknya orang-orang reformis yang menginginkan perubahan, namun ada pula karena terdapat desakan dari berbagai macam elemen masyarakat, namun ada juga yang dikarenakan adanya negosiasi antara pemerintah dengan kelompok oposisi. Melalui gerakan-gerakan itulah kemudian konsep Negara Demokrasi mulai bermunculan di berbagai belahan dunia, yang sebelumnya telah terbiasa dengan Negara Neoliberalisme yang berpengaruh luas diberbagai bidang baik kehidupan sosial, ekonomi, politik dan lain sebagainya. Sehingga muncullah konsep Negara hukum demokrasi modern yang banyak dianut oleh Negara-negara dibelahan dunia. Suatu negara yang dilanda oleh persaingan pasar global mengakibatkan secara langsung maupun tidak langsung untuk menyediakan fasilitas-fasilitas yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat luas dan memadai, sehingga konsep Negara untuk melayani masyarakat mulai dibenahi dari masa ke masa. Krisis ekonomi di Asia juga sebagai salah satu tolok ukur merosotnya tingkat perekonomian regional yang secara signifikan berpengaruh terhadap kondisi sosial dan moral kebangsaan dalam satu wilayah tertentu di suatu Negara. Penderiataan krisis ekonomi yang telah dirasakan oleh hampir seluruh Negara-negara di Asia mengakibatkan tidak terlaksananya dan terhambatnya pembangunan Negara-negara yang ada di Asia. dalam perspektif Hukum Tata Negara kecenderungan ini menimbulkan membentuk suatu bangsa yang tanpa Negara. Negara totaliterisme adalah Negara yang menjalankan sistem politik yang berdasarkan cara memimpinnya yang tanpa adanya aspirasi dari masyarakat secara langsung, ia dapat menentukan masyarakatnya sejahtera atau tidak menurut keinginan dan kehendaknya sendiri. Contoh yang paling nyata adalah Negara Nazi dibawah kekuasaan Adolf Hitler, yang kemudian oleh pakar ilmuwan Politik dan juga Hukun Tata Negara dijadikan bahan objek kajiannya. Sehingga dalam perkembangannya semakin dimodifikasi sedemikian rupa sehingga terciptalah konsep Negara Demokrasi yang ideal menurut pengertian masing-masing Negara.
Ketika berbicara masalah Demokrasi maka tidak akan lepas dari persoalan Hubungan Sipil Militer. Hubungan Sipil Militer dalam Negara Otoriterian tidak terlalu diperhatikan. Dalam rezim organisasi militer maka cenderugn tidak ada control sipil, begitu pula sebaliknya. Sehingga dalam pemerintahan yang totaliter selalu ada pihak-pihak yang menjadi dominan dalam kekuasaan, tidak terdapat lembaga sebagai lembaga pengawas pemerintahan baik pemerintahan sipil maupun militer. Karena itu Negara demokrasi baru menghadapi tantangan serius untuk mereformasi hubungan sipil-militer. Di Indonesia yang masih ingat dalam benak kita adalah di Indonesia yang menunjukkan dominasi militer pada masa pemerintahan Orde Baru merupakan factor structural yang menentukan kebijakan di Indonesia. Berbeda dengan Negara-negara maju seperti Amerika Serikat yang menyeimbangkan dua kekuatan yakni sipil dan militer secara langsung mendapatkan tugas dan fungsi tanpa adanya tumpang tindih dan saling intervensi. Sehingga pemerintahannya cenderung stabil, tidak ada ygn lebih dominan antar kedua kekuatan.
Pada saat Hubungan Sipil Militer pada rezim sebelumnya pelanggaran terhadap hak asasi manusia menjadi bahan perdebatan dan pembicaraan hangat pada setiap tingkatan Negara-negara yang ada di dunia, untuk itu terdapat alternative solusi untuk mengakhiri segala bentuk pelanggaran-pelanggaran yang terjadi pada masa rezim sebelumnya untuk segera mengakhiri segala kegiatan yang tidak berperikemanuisaan yang dikecam oleh berbagai kalangan yang ada di dunia setelah Perang dunia kedua. Adapun tolok ukur yang menjadi tujuan dari dilakukannya penghapusan terhadap segala bentuk perbuatan yang tidak berperikemanusiaan tadi adalah Pertama, untuk melindungi terhadap populasi penduduk, Kedua, untuk memurnikan tatanan masyarakt baru, ketiga untuk pembaharuan sosial, keempat yang merupakan penegasan Solon yang pemihakan itu bukan merupakan bukan masalah yang tidak mungkin dapat di halangi dalam konsep Negara yang sedang mencari format ideal dalam suatu Negara.
Ideologi-ideologi keamanan nasional yang mengimplementasikan bahwa kekuatan militer harus memiliki monopoli kekuatan tentang kekuatan dan kekuasaan mereka apabila terjadi ancaman atau kapan melakukan intervensi terhadap kekuasaan pemerintahan suatu Negara. Demiliterisasi yang semacam itu yang terjadi pada Negara-negara yang setiap penyelesaian persoalan kenegaraan militer menjadi tonggak awal penyelesaian-penyelesaian konflik yang terjadi dalam suatu Negara. Di Indonesia telah terjadi pemaksaan yang mengarah pada merubahnya doktrin fundamentalnya dan dwifungsi Tentara Nasional Indonesia yang dijadikan dasar kekuasaannya. Kelompok reformispun tidak berdaya dalam melakukan refleksi untuk merubah dan melakukan perbaikan yang pada akhirnya mereka mau tidak mau untuk bergabung dan melebur dengan yang kelompok nonreformis, meskipun masih berperan dalam memperngaruhi perkembangan politik di pemerintahan. Adapun langkah yang dilakukan TNI untuk mengimplementasikan Paradigma baru diantaranya (1) Pengurangan lembaga perwakilan TNI-POLRI di lembaga perwakilan, (2) Penghapusan Kekaryaan, (3) Netralitas politik, (4) Pemisahan TNI dan POLRI (5) berorientasi pada Pertahanan. Dengan lima langkah tersebut maka TNI POLRI di Indonesia telah dianggap sebagai representasi demokratisasi meskipun disana sini masih terdapat kekurangan-kekurangan yang harus dibenahi kembali demi terciptanya sistem pemerintahan yang baik.
Kasus Steven Biko yang merupakan pendiri Gerakan Kesadaran Kaum kulit hitam yang ditahan dan mati dalam kondisi telanjang dijalan denga mulut penuh denga luka bekas pukulan dan berbusa, yang kemudian Perserikatan Bangsa-Bangsa menetapkan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Sehingga pada akhirnya mencuat dan menjadi kasus internasional. Yang pada akhirnya dalam dua puluh tahun polisi yang membunuhnya mengajukan permohonan pengampunan, namun disyaratkan mereka akan diberikan pengampunan apabila bersedia memberikan keterangan yang benar-benar nyata maka mereka akan dibebaskan dari segala hukuman. Sehingga pada akhirnya tidak diberikan pengampunan oleh Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Internasional pada saat itu.
Pada akhirnya Istri Biko kemudian tidak setuju dengan adanya pengampunan, ia harus datang dengan berkeadilan, sehingga dia menginginkan untuk tetap dihukum. Atas dasar itulah Istri Biko itu telah mengajukan kepada Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan bahwa amnesti itu adalah tidak sesuai dengan hukum internasional, meskipun pada akhirnya ditolak oleh Mahkamah Konstitusi. Dalam putusan Komisi kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan menolak terhadap permohonan para pembunuh Biko tersebut untuk diberikan amnesti tersebut. Sehingga para aparat tersebut tetap dihukum menurut hukum yang berlaku di Afrika Selatan.
Hukum Internasional juga mengatur tentang amnesti. Menurut Hukum Internasional diatur mengatur untuk masalah ini,namun juga diatur Negara-negara yang ada didunia harus juga mengatur sendiri berkaitan dengan atiran mengenai amnesty, untuk kemudianpermohonan istri Biko ditolak. Pengaturan itu tentunya menurut kultur dan budaya hukum yang berlaku dimasyarakat sekitar, sehingga implementasinya mudah disosialisasikan dan mudah di penuhi atau tidak dilanggar oleh masyarakat. Sehingga pada akhirnya terjadi kesepahaman antara hukum Internasional dengan hukum hukum nasional, sehingga itu yang menyebabkan keberlakuan segala hal yang dianggap penting bagi berlakuknya sistem hukum nasional.
Negara-negara di Eropa telah lebih dulu menerapkan sistem yang sangat demokratis. Negara yang mulai bertolak pada Demokrasi dimulai dari Selatan Eropa ke Amerika Latin kemudian ke Sebagian Timur Eropa dan Afrika Selatan serta Negara-negara lainnya. Kemudian berdasarkan itu dapat dikategorikan menjadi 2 (dua) Negara yakni Pertama Negara-negara Amerika Serikat dan Kedua Negara non Amerika Latin. Hingga pada akhirnya dapat berkembang ke wilayah seluruh dunia yang ada di dunia.
Perbandingan di Amerika Latin dan Eropa Selatan adalah factor internasional lebih menguntungkan yang terjadi di Negara-negara Eropa Selatan, sehingga mendukung prediksi yang optimis terhadap penerapan demokrasi di suatu Negara. Namun terdapat Negara-negara yang menyodorkan dengan lebih luas tentang dari rezim yang sebelumnya dilaksanakan.
Amerika latin lebih heterogen daripada Eropa Selatan. Dalan rezim ini lebih patrimonialis dan sultanistis dan rentan revolusioner. Di Eropa Selatan sebelum terjadi Pemilu militer mengambil alih pemerintahan dengan dalih pemerintahan sementara, namun sampai akhirnya tidak dilaksanakan Pemilu. Sedangkan di Spanyol beberapa jabatan strategis dikuasai, bahkan pesaing partai-partai yang lain tidak diijinkan lagi. Hingga pada akhirnya terdapat gerakan masyarakat yang menginginkan terselenggaranya pemilu, perlindungan HAM dan partai politik tidak didominasi. Kasus peru yang memainkan peran sentral adalah angkatan bersenjata,namun yang memainkan oleh gerakan politik sipil yang diarahkan oleh kepemimpinan yang sangat dipersonifikasikan, Disatu sisi peranan personal dipertentangkan dengan peran personal. Perbedaan itu adalah orientasi adalah antioligarkis dalam kebijakan rezim Peru, niatnya untuk secara cepat memperluas industri dan peran ekonomi Negara di sebuah negeri yang tidak seberapa maju dan tidak adanya hasrat menyingkirkan secara paksa sector rakyat. Disamping itu represi politik muncul yang tingkat dan intensitasnya tidak membawa perubahan penting denga pola yang ada sebelumnya. Di Meksiko terjadi perubahan mendalam yang menimbulkan kesinambungan dengan mengagumkan dalam struktur kepemimpinan. Meksiko juga relative berbeda dalam konteks relative kecilnya peran yg dimainkan angkatan bersenjata dalam pemerintahan. Namun bukan suatu yang diniscayakanoleh transisi menuju Demokrasi Konstitusional yang pernah terjadi di Dominika dan Ekuador, namun lebih menyerupai dua Negara yang disebut terakhir itu daripada Negara Amerika lainnya. Dalam sejarah Yunanikejatuhan rezim otoriter telah membuka jalan bertumbuh kembangnya Negara Demokratis. Pada gelombang demokratisasi ketiga Yunani sebenarnya telah menerapkan konsep pemerintahan yang demokratis. Dapat dikatakan peranan hakim dalam demokratisasi di yunani sangat menarik kenapa Yunani berhasil menerapkan kebijakan yang bersifat krusial dimana di Negara lainnnya telah gagal. Keterlibatan kalangan Yudisial dalam rezim baru untuk menyelesaikan soal keabsahan dari pendahulunya yang otoriter harus dipahami dalam konteks kekuasaan. Kenyataan itu telah memberikan pendalaman implikasi tentang peranan dari hakim yang menjabat. Sebagai suatu hal yang beda antara sistem hukum common law dengan sistem civil law. Peranan utama mereka adalah menegakkan hukum tanpa secara terbuka dipengaruhi oleh kekuatan apapun. Blok komunis telah melakukan perjuangan untuk menemukan jalannya dalam hubungan untuk memperbaiki kearsipan yang telah lama kacau. Di tembok Berlin tidak ada symbol yang lebih besar dari tekanan komunis dari Tentara Nasional Jerman Timur. Untuk itu selama 40 tahun kementerian Pertahanan telah menghimpun perlindungan dari Partai Komunis dan mendokumentasikan tentang warga negaranya sendiri.
Dibandingkan dengan dengan mayoritas Negara-negara telah menggunakan sarana hukum untuk bergumul melawan kejahatan yang ada, republik Federal Jerman telah menikmati keuntungan yang tidak diduga untuk mencapai penyelesaian kasus kejahatan dan pelanggaran yang terjadi di bekas Republik Demokrasi Jerman. Berbeda dengan transisi yang melalui proses negosiasi, dalam konteks yang sama Jerman dapat menggambarkan dapat menerapkan keuntungan kelembagaan disbanding dengan Negara bekas komunis. Norma-norma hukum kemudian direkonstruksi menjadi kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintahan di Jerman, sehingga karakternya cukup signifikan mempengaruhi pemerintahan.
Tanggapan :
Dewasa ini hak asasi manusia tidak lagi dipandang sekadar sebagai perwujudan paham individualisme dan liberalisme seperti dahulu. Hak asasi manusis lebih dipahami secara humanistik sebagai hak-hak yang inheren dengan harkat martabat kemanusiaan, apa pun latar belakang ras, etnik, agama, warna kulit, jenis kelamin dan pekerjaannya. Konsep tentang hak asasi manusia dalam konteks modern dilatarbelakangi oleh pembacaan yang lebih manusiawi tersebut, sehingga konsep HAM diartikan sebagai berikut:
“Human rights could generally be defined as those rights which are inherent in our nature and without which we cannot live as human beings”
Dengan pemahaman seperti itu, konsep hak asasi manusia disifatkan sebagai suatu common standard of achivement for all people and all nations, yaitu sebagai tolok ukur bersama tentang prestasi kemanusiaan yang perlu dicapai oleh seluruh masyarakat dan negara di dunia.
Pada tataran internasional, wacana hak asasi manusia telah mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Sejak diproklamirkannya The Universal Declaration of Human Right tahun 1948, telah tercatat dua tonggak historis lainnya dalam petualangan penegakan hak asasi manusia internasional. Pertama, diterimanya dua kovenan (covenant) PBB, yaitu yang mengenai Hak Sipil dan Hak Politik serta Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Dua kovenan itu sudah dipemaklumkan sejak tahun 1966, namun baru berlaku sepuluh tahun kemudian setelah diratifikasi tiga puluh lima negara anggota PBB. Kedua, diterimanya Deklarasi Wina beserta Program Aksinya oleh para wakil dari 171 negara pada tanggal 25 Juni 1993 dalam Konferensi Dunia Hak Asasi Manusia PBB di Wina, Austria. Deklarasi yang kedua ini merupakan kompromi antar visi negara-negara di Barat dengan pandangan negara-negara berkembang dalam penegakan hak asasi manusia.
Di Indonesia, diskursus tetang penegakan hak asasi manusia juga tidak kalah gencarnya. Keseriusan pemerintah di bidang HAM paling tidak bermula pada tahun 1997, yaitu semenjak Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) didirikan setelah diselenggarakannya Lokakarya Nasional Hak Asasi Manusia pada tahun 1991. Sejak itulah tema tentang penegakan HAM di Indonesia menjadi pemebicran yang serius dan berkesinambungan. Kesinambungan itu berwujud pada usaha untuk mendudukkan persoalan HAM dalam kerangka budaya dan sistem politik nasioanal sampai pada tingkat implementasi untuk membentuk jaringan kerjsama guna menegakkan penghormatan dan perlindungan HAM tersebut di Indonesia. Meski tidak bisa dipungkiri adanya pengaruh internasional yang menjadikan hak asasi manusia sebagai salah satu isu global, namun penegakan hak asasi manusia di Indonesia lebih merupakan hasil dinamika intrenal yang merespon gejala internasional secara positif.
Adalah pada tahun 1999 lah, Indonesai memiliki sistem hukum yang rigid dan jelas dalam mengatur dan menyelesaikan persoalan pelangaran HAM di Indonesia. Diberlakukannya UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia kendati agak terlambat merupakan langkah progresif dinamis yang patut dihargai dalam merespon isu internasional di bidang hak asasi manusia walaupun masih perlu dilihat dan diteliti lebih jauh isinya.
Beberapa pertanyaan mendasar muncul pada waktu itu sampai saat ini. Bagaimana konsep HAM menurut undang-undang tersebut? Sejauh mana memiliki titik relevansi dengan dinamisasi masyarakat? Bagaimana penegakannya selama ini? Seberapa besar ia mengakomodasi nilai-nilai universal?
Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia (Pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM).
Pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah setiap perbuatan seseoarang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut Hak Asasi Manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang, dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku (Pasal 1 angka 6 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM).
Dalam Undang-undang ini pengaturan mengenai Hak Asasi Manusia ditentukan dengan berpedoman pada Deklarasi Hak Asasi Manusia PBB, konvensi PBB tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita, konvensi PBB tentang hak-hak anak dan berbagai instrumen internasional lain yang mengatur tentang Hak Asasi Manusia. Materi Undang-undang ini disesuaikan juga dengan kebutuhan masyarakat dan pembangunan hukum nasional yang berdasarkan Pancasila, UUD 45 dan TAP MPR RI Nomor XVII/MPR/1998.
Hak-hak yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia terdiri dari:
- Hak untuk hidup. Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, meningkatkan taraf kehidupannya, hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin serta memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat.
- Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan. Setiap orang berhak untuk membentuk kelaurga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang syah atas kehendak yang bebas.
- Hak mengembangkan diri. Setiap orang berhak untuk memperjuangkan hak pengembangan dirinya, baik secara pribadi maupun kolektif, untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.
- Hak memperoleh keadilan. Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan secara obyektif oleh Hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan adil dan benar.
- Hak atas kebebasan pribadi. Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politik, mengeluarkan pendapat di muka umum, memeluk agama masing-masing, tidak boleh diperbudak, memilih kewarganegaraan tanpa diskriminasi, bebas bergerak, berpindah dan bertempat tinggal di wilayah Republik Indonesia.
- Hak atas rasa aman. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, hak milik, rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
- Hak atas kesejahteraan. Setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya, bangsa dan masyarakat dengan cara tidak melanggar hukum serta mendapatkan jaminan sosial yang dibutuhkan, berhak atas pekerjaan, kehidupan yang layak dan berhak mendirikan serikat pekerja demi melindungi dan memperjuangkan kehidupannya.
- Hak turut serta dalam pemerintahan. Setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau perantaraan wakil yang dipilih secara bebas dan dapat diangkat kembali dalam setiap jabatan pemerintahan.
- Hak wanita. Seorang wanita berhak untuk memilih, dipilih, diangkat dalam jabatan, profesi dan pendidikan sesuai dengan persyaratan dan peraturan perundang-undangan. Di samping itu berhak mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya.
- Hak anak. Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat dan negara serta memperoleh pendidikan, pengajaran dalam rangka pengembangan diri dan tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum.
Masalah hak asasi manusia menurut para sarjana yang melakukan penelitian pemikiran Barat tentag negara dan hukum, berpendapat bahwa secara berurut tonggak-tonggak pemikiran dan pengaturan hak assasi manusia mulai dari Magna Charta (Piagam Agung 1215), yaitu dokumen yang mencatat beberapa hak yang diberikan raja John dari Inggris kepada bangsawan bawahannya atas tuntutan mereka. Naskah ini sekaligus membatasi kekuasaan raja tersebut. Kedua adalah Bill of Right (Undang-Undang Hak 1689) suatu undang-undang yang diterima oleh parlemen Inggris, setelah dalam tahun 1688 melakukan rrevolusi tak berdarah (the glorius revolution) dan berhasil melakukan perlawanan terhadap raja James II. Menyusul kemudian The American eclaration of Indepencence of 1776, dibarengi dengan Virginia Declaration of Right of 1776. seterusnya Declaration des droits de I’homme et du citoyen (pernyataan hak-hak manusai dan warga negara, 1789) naskah yang dicetuskan pada awal revolusi Perancis sebagai perlawanan terhadap kesewenang-wenangan raja dengan kekuasaan absolut. Selanjutnya Bill of Right (UU Hak), disusun oleh rakyat Amerika Serikatr pada tahun 1789, bersamaan waktunya dengan revolusi Perancis, kemudain naskah tersebut dimasukkan atau doitambahkan sebagai bagian dari Undang-Undang Dasar Amerika Serikat pada tahun 1791.
Beberapa pemikiran tentang hak asasi manusia pada abad ke 17 dan 18 di atas hanya terbatas pada hak-hak yang bersifat politis saja, misalnya persamaan hak, kebebasan, hak memilih dan sebagainya. Sedangkan pada abad ke 20, ruang lingkup hak asasi manusia diperlebar ke wilayah ekonomi, sosial, dan budaya.
Berdasar naskah-naskah di atas, Franklin Delano Roosevelt (Presiden Amerika ke-32) meringkaskan paling tidak terdapat Empat Kebebasan (The Four Freedoms) yang harus diakui, yakni (1) freedom of speech (kebebasan untuk berbicara dan mengeluarkan pendapat, (2) freedom of religion (kebebasan beragama), (3) freedom from want (kebebasan dari kemiskinan), dan (4) freedom from fear (kebebasan dari rasa takut).