KARAKTER SUI GENERIS DALAM ILMU HUKUM DAN FILSAFAT HUKUM

Para penulis dan pakar hukum terkemuka di Belanda membedakan antara hukum dogmatis dengan ilmu hukum empiris.[1] Ilmu hukum sendiri memiliki kharakter yang khas, yakni bersifat normative. Karena karakter ilmu hukum yang normative tersebut ilmu hukum bersifat sui generis,[2] yakni tidak dapat dibandingkan (diukur, dinilai) dengan bentuk ilmu lain yang manapun.[3] Sedangkan studi hukum yang masuk dalam kategori ilmu hukum empiris menurut Van Apeldoorn adalah sosiologi hukum, sejarah hukum, perbandingan hukum dan psikologi hukum.[4] Ciri khas dan karakter ilmu hukum yang bersifat normative tersebut yang membedakan dengan ilmu-ilmu lainnya pada lapangan ilmu social.

Untuk itu kaitan antara normativitas dengan karakter ilmu hukum yang bersifat sui generis  adalah memandang hukum bukan hanya menempatkan hukum pada suatu gejala social yang hanya dipandang dari luar, melainkan masuk kedalam yang sangat fundamental dari hukum yaitu sisi intrinsic dari hukum. Sehingga konsekwensi dari sifat ilmu hukum yang bersifat demikian, maka dikatakan bahwa ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, yakni yang mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas hukum, konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum.[5] Sifat preskriptif itulah yang dianggap substansial dalam mempelajari ilmu hukum, dikarenakan tidak  akan dipelajari dalam ilmu social lainnya yang objeknya sama yakni hukum.

Dengan demikian berdasar pada uraian diatas, maka karakter ilmu hukum dogmatis adalah bersifat normative yang terjewantahkan dalam suatu peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh Pemerintah yang berdaulat dalam suatu Negara. Sifat dari sui generis berarti ilmu hukum merupakan ilmu dari jenis tersendiri, sehingga pengelompokannya bukan berada pada pohon atau rumpun ilmu social juga bukan merupakan ilmu pengetahuan alam.[6] Untuk itu kajian terhadap ilmu hukum yang memegang prinsip terhadap sifat dan karakter ilmu hukum yang bersifat sui generis ini, dengan terang benderang menolak kajian empiris dalam ilmu hukum.

 

 

  1. Perbedaan karakteristik kata “normatif” dalam hukum positif (“positive law”) dalam hukum alam (“law nature”) dan dalam hukum moral (“morality”):

 

Hukum dan Fakta

 

Hukum dan Moralitas

Tesis Normativitas

(Keterpisahan hukum dan Fakta)

Tesis Reduktif

(Ketidakterpisahan antara hukum dan fakta)

Tesis Moralitas

(Ketidakterpisahan antara hukum dan moralitas)

Teori hukum alam
Tesis keterpisahan

(Keterpisahan hukum dan Moralitas)

Pure Theory of Law Teori hukum Empiris-positivis

 

 

 

  1. Kritik terhadap positivism hukum jika mendominasi kerangka berfikir penelitian hukum :

Pada dasarnya positivism hanya mempertimbangkan aspek hukum positif saja, tanpa mempertimbangkan keadilan atau ketidakadilannya. Padahal menurut Stammer kemurnian mutlak bagi teori hukum apapun adalah tidak mungkin. Kaum Positivistik harus mengakui manakala teori memasuki pertanyaan-pertanyaan tentang norma fundamental yang bertentangan. Pertanyaan yang merupakan norma fundamental yang valid, dimana teori murninya tidak dapat dihindari, karena tanpa itu maka keseluruhan bangunan akan runtuh.[7] Dari sisi yang lain Lauterpacht seorang pengikut Kelsen mempertanyakan apakah teori hierarki tidak menyatakan secara langsung sebuah pengakuan akan prinsip-prisnsip hukum alam.[8]

Selain itu peraturan-peraturan hukum dibuat supaya ada hukum, bukan berarti supaya ada hukum. Dengan demikian maka dengan adanya hukum maka perlu untuk menegakkan kemanusiaan, dengan demikian hukum tidak identik dengan undang-undang. Di sisi yang lain hukum diperlukan penggarapan terus-menerus, dikarenakan hukum dalam hal ikhwal juga terdapat peraturan hukum yang melawan hukum karena bertentangan dengan kemanusiaan. Untuk itu tidak dapat kemudian teori hukum murni ini digunakan sepenuhnya dalam konteks bernegara, sehingga Konsep hukum responsive yang diajarkan oleh Philippe Nonet and Philip Selznick[9] tidak dapat diterapkan dengan baik.

Menurut Friedmann, hukum sebagai suatu sistem terdiri dari sub-sub sistem yang saling bergerak yang tidak dapat terpisahkan dan terpengaruh satu dengan lainnya. Sub-sub sistem itu terdiri dari: Substansi Hukum (legal substance), Struktur Hukum (legal structure), dan Kultur Hukum (legal culture). Adapun budaya hukum yang baik akan terbentuk apabila semua pihak secara sungguh-sungguh dilibatkan untuk berpartisipasi secara penuh dalam proses pembentukan hukum, agar semua orang benar-benar merasa memiliki hukum itu. Karena begitu besarnya peran budaya hukum itu, maka ia dapat menutupi kelemahan dari legal substance dan legal structure.[10]

Jadi menurut Friedmann hukum memiliki ruang lingkup yang sangat luas, tidak terbatas pada tekstual berupa peraturan perundang-undangan. Dalam berfungsinya hukum ditengah masyarakat tidak saja membutuhkan undang-undang belaka tetapi membutuhkan hal-hal lainnya seperti budaya masyarakat, aparat penegak hukum maupun sarana dan prasarana. Dari sini kita bisa melihat bahwa aliran positivisme berusaha memahami hukum hanya sebatas tekstual.

Selain itu juga dapat dilakukan kritik dari segi Teoritis[11] dimana positivisme hukum tumbuh dan berkembang subur pada masa hukum alam, yang pada intinya menginginkan ilmu hukum alam dapat diprediksi dan dipastikan. Cara pandang formalistic ini tidak mempertimbangkan apakah norma yang diundangkan tersebut bersifat adil atau tidak. Selain itu dari segi Praktis[12] yakni dalam positivisme hukum undang-undang dipandang sebagai hukum yang komplit, sehingga tugas hakim tinggal menerapkan terhadap kejadian konkrit dilapangan. Sehingga kemudian hakim menjadi kaku dan tidak mendorong adanya perkembangan masyarakat. Hakim hanya menginterpretasikan secara gramatikal terhadap peristiwa hukum yang terjadi dilapangan, dengan tanpa melihat dasar pertimbangan secara dasar-dasar tingkat keadilan dan kemanfaatannya.

 

  1. Penjelasan lapisan Ilmu Hukum menurut J. Gijssels dan M.v.Hoecke, serta kaitannya dengan rancangan penelitian yang akan saya tulis :

 

Lapisan Ilmu Hukum Menurut J. Gijssels dan M.v.Hoecke

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Jan Gijssels dan Mark van Hoecke membagi ilmu hukum dalam tiga lapisan, yakni dogmatik hukum, teori hukum dan filsafat hukum.[13] Tiap lapisan ilmu hukum tersebut memiliki kharakter khusus mengenai konsep, eksplanasi, sifat atau hakikat keilmuannya. Dogmatik hukum konsepnya technisch juridisch begrippen, ekplanasinya teknis yuridis dan sifat keilmuannya normative. Lapisan teori hukum konsepnya algemene begrippen, eksplanasinya analitisdan sifat keilmuannya Normatif/Empiris. Lapisan filsafat hukum konsepnya grond begrippen, eksplanasinya reflektif dan sifat keilmuannya spekuliatif.[14]

 

Hubungan Filsafat Hukum, Teori Hukum dan Dogmatik Hukum

LAPISAN

ILMU HUKUM

KONSEP EKSPLANASI SIFAT
Filsafat Hukum grond begrippen Reflektif Spekulatif
Teori Hukum algemene begrippen Analitis Normatif/Empiris
Dogmatik Hukum technisch juridisch begrippen Teknis Yuridis Normatif

 

 

[1] Karya fenomenal yang membagi hukum secara rinci adalah JJH. Bruggink, Refleksi tentang Hukum, (alih bahasa Bernard Arief Sidharta), Citra Aditya Bakti, Bandung, cetakan ke-2, 1999, Hal.  163. Bandingkan dengan Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Prenada Media, Jakarta, Cetakan ketiga, 2009, Hal.  27

 

[2] Meuwissen, Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum, (Penerjemah Bernard Arief Sidharta), Refika Aditama, Bandung, cetakan ketiga, 2009, hal. 55

 

[3] Ibid

 

[4] L.J. Van Apeldorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, Cetakan ketiga puluh empat, 2011, Hal. 412 – 413

 

[5] Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2005, Hal. 23

[6] Philipus M Hadjon dan Tatiek Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, cetakan kedua, 2005, Hal. 1

 

[7] Kritik terhadap pandangan Hans Kelsen itu juga dapat dibaca melalui bukunya : Friemann, Theori and Philosophy of Law, Universiy of Paris, 1973, hal. 285

 

[8] Friedmann, Ibid

[9] Mengenai konsep hukum responsive, otonom dan represif dapat dibaca dan dipahami melalui buku : Philippe Nonet and Philip Selznick, Law and Society in Transition: To Reward Responsive Law, Harper and Row, New York, 1978, hal.

 

[10] Friedmann, Legal Theory, Steven & Son, London, 1960, Hal. 2-8

 

[11] Widodo Dwi Putro, Mengkritisi Positivisme Hukum: Langkah Awal Memasuki DiskursusvMetodologis dalam Penelitian Hukum,  dalam Sulistyowati Irianto dan Shidarta, Metode Penelitian Hukum, konstelasi dan refleksi, Yayasan Pustaka Obor, Jakarta, 2011, hal.  23-25

 

[12] Ibid, hal. 28-30

[13] Secara lengkap diurai dalam buku Jan Gissels dan Mark van Hoecke, Wat is Rechtsteorie?, Kluwer, Antwerpen, 1982, hal. 10. Bandingkan dengan JJH. Bruggink, Opcit, Hal. 172

 

[14] Philipus M Hadjon, Pengkajian Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Unair, Surabaya, tt, hal. 10

Continue Reading