POLEMIK AMBANG BATAS SUARA DALAM SENGKETA PILKADA

JAKARTA, GRESNEWS.COM — Sejumlah pihak mempersoalkan ketentuan ambang batas suara dalam pengajuan sengketa pemilihan kepala daerah (Pilkada) ke Mahkamah Konstitusi. Sebab adanya ketentuan itu gugatan perkara Penyelesaian Hasil Pilkada (PHP) di MK kerap digugurkan dari persoalan yang tak substantif dan hanya secara prosedural.

“Penting bagi MK untuk mempertimbangkan keadilan substantif, bukan semata keadilan prosedural,” kata kandidat doktor Hukum Tata Negara UI, Saiful Anam kepada gresnews.com, Selasa (21/2).

Saiful mengungkapkan, di dalam putusan PHP terdahulu, MK selalu mempertimbangkan keadilan substantif. Namun hal tersebut tidak lagi berlaku pada putusan PHP yang dikeluarkan MK pada tahun 2015 lalu. Alasannya, kata Saiful, MK menilai persoalan Pilkada tidak sama dengan Pemilu. Dalam sengketa hasil Pemilu, MK bisa memeriksa hasil suara jika disinyalir ada kecurangan yang dilakukan secara Terstruktur, Sistematis, dan Massif (TSM). Sementara dalam konteks sengketa Pilkada, ada aturan ketat bahwa MK baru bisa memeriksa dan memutus perkara yang dimohonkan jika selisih suara hasil Pilkada tersebut sesuai ambang batas. Saiful pun menilai hal tersebut sebagai suatu kemunduran.

“Sudah tidak ada lagi pertimbangan mengenai kecurangan yang dilakukan secara TSM. Jelas itu merupakan kemunduran. Jika bukan ke MK, ke mana lagi orang-orang yang dirugikan oleh hasil Pilkada akan mencari keadilan?” papar Saiful.

Saiful pun menyayangkan bahwa dalam beberapa perkara, ada sejumlah kasus yang sudah dinyatakan terjadi pelanggaran oleh DKPP, tapi saat perkara tersebut dibawa ke MK, MK menolak. “Ini ngeri. Keadilan prosedural lebih diutamakan ketimbang keadilan substansif,” pungkasnya.

Senada dengan Saiful, beberapa waktu lalu, Ketua DKPP sekaligus Mantan Hakim konstitusi Jimly Assiddiqie juga menyampaikan kekecewaannya terkait ketentuan ambang batas suara. Menurut Jimly, persoalan ambang batas suara sebaiknya ditiadakan. Alasannya, kedatangan orang-orang ke lembaga peradilan—dalam hal ini ke MK—haruslah dilihat sebagai upaya kanalisasi mencari penyaluran atas kekecewaan dan ketidakpuasan mereka terhadap hasil Pilkada.

“Jadi jangan ditutup oleh pembatasan itu. Biar nanti ada proses pembuktian sehingga jika ada pihak yang tidak bisa membuktikan bagaimana dia menang, ya harus dikalahkan (oleh MK-red). Begitu juga sebaliknya. Jika dia bisa membuktikan bahwa dia menang, ya dimenangkan,” kata Jimly.

Jimly menambahkan, aturan soal ambang batas suara memang dibuat dengan landasan bahwa pembuktian menang-kalahnya calon pasangan tertentu akan lebih mudah dilakukan jika selisih suaranya tidak terpaut begitu jauh. Namun demikian, kata Jimly, biarlah persoalan kalah-menang itu dibuktikan lebih lanjut di persidangan. Bagaimanapun, MK harus mampu menampung kekecewaan publik.

“Orang-orang itu kan ingin mengeluhkan keluh kesahnya. Ada yang berlebihan. Ada yang tidak punya bukti dan hanya ingin marah saja. Daripada dibiarkan meledak-ledak sehingga membakar kantor KPUD seperti di Intan Jaya, lebih baik ditangani. Sehingga tidak perlu ada pembatasan begini” papar Jimly.

Untuk diketahui, sepanjang MK menggelar sidang PHP dengan agenda mendengar keterangan termohon, nyaris seluruh termohon menyasar legal standing para pemohon agar MK menolak permohonan mereka. Dan hal yang kerap jadi sasaran empuk atas hal tersebut adalah ketentuan ambang batas suara.

“Selisih kami 12,3%. Dengan jumlah penduduk 100.993 jiwa, pasangan calon kepala daerah Kabupaten Mappi sebetulnya hanya bisa mengajukan permohonan dengan selisih suara sebesar 2%,” papar Efrem Fangohoy, Kuasa Hukum pasangan calon kepala daerah kabupaten Mappi, Papua Barat, Jumame-Yermogoin, kepada gresnews.com, Senin (20/3) lalu.

Efrem menyebut bahwa pihaknya sengaja datang ke MK demi memperjuangkan keadilan. Pun, di saat bersamaan pihaknya sadar bahwa secara prosedural perkara yang dimohonkan ke MK tidak memenuhi ketentuan ambang batas.

“Itu bukan soal bagi kami. Yang penting, kami sampaikan dulu ke MK bahwa ada pelanggaran TSM di Mappi. Siapa pun tidak akan menang kalau belum apa-apa sudah dicurangi,” sambungnya.

Terlepas dari soal kerugian-kerugian yang didapat peserta Pilkada lantaran ketentuan ambang batas, Jimly juga menyebut bahwa terkait hal tersebut MK tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Alasannya, aturan mengenai hal tersebut sudah lebih dulu diatur di dalam Pasal 158 UU Pilkada.

“Ketentuannya memang sudah dimulai oleh Undang-undang. Meskipun oleh MK lebih dibatasi lagi,” katanya. Karena itulah Jimly berharap, UU Pilkada segera kembali direvisi. Menurutnya, hal itu penting dilakukan agar MK bisa menyesuaikan diri dengan proses demokrasi yang terus berkembang, juga dengan persoalan faktual negeri ini.

“Nanti kalimat di UU tinggal diubah saja. Diganti. Karena, kalau Pilkada bukan Pemilu, berarti penyelenggaranya juga bukan KPU. Harus bikin lembaga baru lagi. Dan itu gak efisien,” pungkasnya.

Hal demikian juga disampaikan juru bicara MK Fajar Nugroho. Terlepas dari putusan hakim nanti, menurutnya, jika saat ini ada pihak-pihak yang mengharapkan MK tidak terlalu berpaku pada ketentuan ambang batas suara, maka hal yang harus dilakukan lebih dulu adalah merevisi UU Pilkada.

“Jangan MK diminta untuk melanggar konstitusi. Ibarat sebuah pertandingan, aturannya sudah disepakati lalu MK diminta jadi wasit. Nah, setelah pertandingannya digelar, ini malah wasitnya yang diminta melanggar aturan,” katanya.

Terlepas dari proses persidangan perkara yang kini tengah berlangsung di MK, untuk diketahui, berdasar hasil penelitian yang disampaikan lembaga Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif awal Maret lalu, dilihat dari ketentuan ambang batas suara, dari 50 perkara sengketa Pilkada yang masuk ke MK hanya 7 perkara yang kemungkinan besar bakal berlanjut ke tahapan pleno.

Berikut ketujuh perkara tersebut

1. Kabupaten Takalar, selisih perolehan suara pasangan calon Burhanuddin B-Natsir Ibrahim dari pesaingnya, Syamsari-Achmad Dg Se’re, sebesar 1,16 persen.

2. Kabupaten Gayo Lues, selisih perolehan suara pasangan calon Abdul Rasad-Rajab Marwan dari pasangan calon Muhammad Amru-Said Sani, sebesar 1,43 persen.

3. Kota Salatiga, selisih perolehan suara pasangan calon Agus Rudianto-Dance Ishak dari pesaingnya, Yuliyanto-Muhammad Haris, sebesar 0,94 persen.

4. Kabupaten Bombana, selisih perolehan suara pasangan calon Kasra Jaru-Man Arfah dari pesaingnya, Tafdil-Johan Salim sebesar 1,56 persen.

5. Kota Yogyakarta, selisih perolehan suara pasangan calon Imam Priyono-Achmad Fadli dari pesaingnya, Haryadi Suyut-Heroe Poerwadi, sebesar 0,59 persen.

6. Kabupaten Maybrat, selisih perolehan suara pasangan calon Karel Murafer-Yance Way dari pesaingnya, Bernard Sagrim-Paskalis Kocu, sebesar 0,33 persen.

7. Provinsi Sulawesi Barat, selisih perolehan suara pasangan calon Suhardi Duka-Kalima Katta dari pasangan calon Ali Baal-Enny Anggraeny Anwar, sebesar 0,75 persen.

Rencananya, setelah agenda sidang pemeriksaan pendahuluan selesai, MK akan menggelar sidang dengan agenda pengucapan putusan sela pada 30 Maret-5 April 2017 mendatang. Perkara-perkara yang terbukti tidak memenuhi persyaratan peraturan perundang-undangan akan langsung diputus.

“Sehingga akan diketahui perkara-perkara mana yang akan masuk ke tahap pemeriksaan selanjutnya,” kata Ketua MK Arief Hidayat, akhir Februari lalu. (Zulkifli Songyanan).

Continue Reading

PENYELESAIAN SENGKETA PILKADA DI MK

PENYELESAIAN SENGKETA PILKADA DI MK

Sebanyak 101 daerah yang terdiri dari 7 provinsi, 18 kota, dan 76 kabupaten telah menggelar Pemilihan Kepala Daerah serentak gelombang kedua pada Rabu, 15 Februari 2017. Pilkada serentak tahun ini merupakan yang kedua kalinya setelah gelombang pertama dilaksanakan pada 9 Desember 2015 oleh Komisi Pemilihan Umum.

Komisi Pemilihan Umum telah menjadwalkan mengumumkan rekapitulasi, penetapan, dan pengumuman hasil penghitungan pilkada serentak tahun 2017 tingkat kabupaten/kota untuk pemilihan bupati dan wakil bupati atau wali kota dan wakil wali kota adalah pada 22 Februari hingga 24 Februari 2017. Sementara rekapitulasi, penetapan, dan pengumuman hasil penghitungan suara tingkat provinsi untuk pemilihan gubernur dan wakil gubernur dilaksanakan pada 25 Februari hingga 27 Februari 2017.

Atas pelaksanaan pilkada serentak tersebut, pasti terdapat pihak-pihak yang merasa tidak puas terhadap hasil yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum. Ketidakpuasan tersebut tentu dilandasi oleh berbagai macam kecurangan, seperti politik uang, jual beli suara, intimidasi, pengerahan massa, serta manipulasi suara dan hasil suara, baik yang terjadi sebelum pemilihan, pada saat pemilihan, maupun setelah pemilihan berlangsung.

Terhadap pihak-pihak yang merasa tidak puas atas rekapitulasi, penetapan, dan pengumuman hasil penghitungan suara, baik pada tingkat kabupaten/kota maupun tingkat provinsi, terdapat sarana yang dapat ditempuh, yakni melalui permohonan perselisihan hasil pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota kepada Mahkamah Konstitusi terhitung paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil pemilihan, baik oleh KPU provinsi maupun KPU kabupaten/kota.

Selain itu, Mahkamah Konstitusi juga telah menyusun jadwal pengajuan permohonan sengketa pilkada untuk pasangan calon bupati dan wakil bupati atau wali kota dan wakil wali kota adalah pada 22 Februari hingga 28 Februari 2017, sedangkan untuk pasangan calon gubernur dan wakil gubernur pada 27 Februari 2017 hingga 1 Maret 2017.

Tantangan

Selain syarat formal sebagaimana tersebut di atas, yakni pengajuan gugatan paling lama 3 x 24 jam sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil pemilihan oleh KPU setempat, juga ada syarat selisih perolehan suara antara pemohon dan pasangan lainnya paling banyak 0,5 persen sampai 2 persen sebagaimana diatur dalam Pasal 158 Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.

Pasal 158 UU No 8/2015 menjadi tantangan sendiri bagi pemohon yang akan memilih jalur sengketa pilkada di Mahkamah Konstitusi, mengingat dengan berdasar pada permohonan gugatan perselisihan hasil pemilihan pilkada pada tahun 2015, Mahkamah Konstitusi hanya menerima tujuh dari 147 permohonan sengketa pilkada dengan pertimbangan konsisten menerapkan Pasal 158 UU No 8/2015 dalam memeriksa dan mengadili syarat formal pengajuan sengketa hasil pilkada ke Mahkamah Konstitusi.

Adapun alasan Mahkamah Konstitusi konsisten menggunakan Pasal 158 UU No 8/2015 sebagai dasar pijakan di antaranya sebagai berikut. Pertama, pilkada berdasarkan UU Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota bukan merupakan rezim pemilu. Perbedaan tersebut bukan hanya dari segi istilah, melainkan juga meliputi perbedaan konsepsi yang menimbulkan perbedaan konsekuensi hukum.

Ketika pilkada sebagai rezim pemilu, Mahkamah Konstitusi memiliki keleluasaan melaksanakan kewenangan konstitusinya, yakni tunduk pada ketentuan UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Atas dasar itulah, putusan Mahkamah Konstitusi pada masa lalu dalam perkara perselisihan hasil pilkada tidak hanya meliputi perselisihan hasil, tetapi juga mencakup pelanggaran dalam proses pemilihan untuk mencapai hasil yang dikenal dengan pelanggaran bersifat terstruktur, sistematis, dan masif.

Kedua, telah terdapat putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51/PUU-XIII/2015 berkaitan dengan tafsir konstitusional atas Pasal 158 UU No 8/2015. Melalui putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi menyatakan konstitusional dan menolak permohonan uji materi terhadap Pasal 158 UU No 8/2015 disebabkan merupakan kebijakan hukum terbuka oleh pembentuk undang-undang (open legal policy) sehingga Mahkamah Konstitusi menganggap tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Ketiga, demi kepastian hukum, Mahkamah Konstitusi harus tunduk pada ketentuan yang secara expressis verbis digariskan dalam Undang-Undang Pilkada. Dengan melaksanakan Pasal 158 UU Pilkada dan aturan turunannya secara konsisten, Mahkamah Konstitusi turut ambil bagian dalam upaya mendorong agar lembaga-lembaga yang terlibat dalam proses pilkada berperan dan berfungsi secara optimal sesuai dengan proporsi kewenangan di tiap-tiap tingkatan.

Peluang

Apabila melihat perbedaan selisih hasil yang diperoleh pasangan calon dengan pasangan calon lainnya, baik di media cetak maupun media elektronik, menurut penulis, banyak pilkada yang tidak akan berlanjut pada gugatan di Mahkamah Konstitusi mengingat persentase selisih suara yang sangat jauh di atas 2 persen.

Hal ini tentu akan mengakibatkan adanya penurunan jumlah gugatan sengketa hasil pilkada di Mahkamah Konstitusi.

Namun, yang pasti, terhadap pasangan calon yang persentase selisih perolehan suaranya sesuai dengan Pasal 158 UU No 8/2015, bukan tidak mungkin mereka berpeluang untuk memenangi sengketa atau Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan perselisihan hasil pilkada yang diajukan oleh pasangan calon.

Hal itu tentunya jika didukung oleh argumentasi dan bukti-bukti yang memadai berkaitan dengan kedudukan hukum, obyek permohonan, dan pokok permohonan yang dimohonkan.

Di sisi lain, Mahkamah Konstitusi juga diharapkan tidak mengabaikan tuntutan keadilan substantif, yakni dengan tetap memeriksa secara menyeluruh perkara yang telah memenuhi persyaratan tenggang waktu, kedudukan hukum, obyek permohonan, dan jumlah persentase selisih perolehan suara antara pemohon, termohon, dan pihak terkait lainnya.

Dengan adanya sarana hukum yang baik dalam hal ini melalui permohonan perselisihan hasil pilkada kepada Mahkamah Konstitusi, diharapkan pelaksanaan demokrasi di daerah menjadi semakin kondusif dan jauh dari segala bentuk kerusuhan dan main hakim sendiri. Semoga.

Link : Penyelesaian Sengketa Pilkada di MK

Continue Reading