TEORI DAN PENELITIAN

Disarikan dari buku W. Lawrence Neuman, yang berjudul Social Research Methods ‘Qualitative and Quantitative Approaches’

 

Pada tulisan ini saya akan merangkum hal-hal penting dalam buku yang ditulis oleh W. Lawrence Neuman, yang berjudul Social Research Methods ‘Qualitative and Quantitative Approaches’. Adapun hal-hal yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah mengenai teori, bagian-bagian dari teori, manfaat dari teori dalam suatu penelitian dan bagaimana pentingnya teori tersebut dalam suatu penelitian. Dalam tulisan ini akan dijelaskan bagaimana teori tersebut dikelompokkan dan berdasarkan tingkatan dan ruang lingkupnya. Dalam melakukan penelitian, teori membantu peneliti dalam mendeskripsikan apa yang terjadi dan menjelaskan mengapa terjadi. Teori-teori menjelaskan kepada peneliti fakta-fakta mana yang penting dan tidak penting dalam proses penelitian. Teori berdasar pada nilai-nilai tertentu. Suatu teori harus dapat menjelaskan atau memahami barbagai fenomena yang terjadi dalam dunia sosial.

Pertanyaan yang sering muncul adalah “apa yang dimaksud dengan teori?” Pertanyaan tersebut dapat dijawab sebagai berikut : Teori adalah sebuah sistem dari hubungan interaksi ide-ide yang menyimpulkan dan merangkum serta mengorganisasikan penegartian tentang dunia sosial. Teori merupakan jalan yang tepat dalam mengetahui tentang dunia yang sebenarnya. Teori ilmu sosial tampak lebih rumit jika dibandingkan dengan teori orang awam lainnya. Dengan demikian dapat terbantu dengan adanya ‘parsimony’ yaitu suatu teori yang sederhana, yang dapat memberikan pemahaman yang mendalam terhadap bahasan yang menjadi pokok permasalahan. Parsimony secara sederhana dapat diartikan sebagai : simple lebih baik.

Pada dasarnya teori memiliki perbedaan-perbedaan dengan ideologi. Perbedaan yang mendasar adalah bahwa Teori itu dapat diuji dan dikembangkan, sedangkaan ideology lebih bersifat tertutup, ideal dan sempurna. Ideologi adalah sistem kepercayaan yang tertutup dan mengalami perubahaan yang saangat sedikit. Ideologi tertutup terhadap pertentangan-pertentangaan fakta. Peneliti tidak pernah menguji apakah suatu ideologi benar atau salah. Berbeda dengan teori yang mana, para peneliti dapat menguji suatu teori secara terus menerus dan suatu teori dapat digantikan jika ditemukan teori baru yang lebih menjawab suatu permasalahan. Walaupun demikian, terdapat persamaan antar ideologi dan teori. Yakni keduanya sama-sama ingin menjelaskan kejadian yang terjadi di dunia dan mengandung ide atau konsep dan gagasan serta menetapkan hubungan diantara konsep tersebut.

Pada dasarnya suatu teori terdiri dari bagian-bagian sebagai berikut yakni : konsep, hubungan (perhubungan) dan ruang lingkup. Konsep merupakan bagian bangunan teori. Konsep adalah ide yang diungkapkan dengan kata atau symbol. Konsep ada dimana-mana dan kita sering menggunakannya setiap waktu. Konsep terdiri dari dua bagian yakni symbol dan defenisi. Kita dapat menciptaakan suatu konsep dari pengalaman pribadi, pandagna kreatif dan berdasarkan pengamataan. Selain itu suatu teori juga dapat dikelompokkan. Klasifikasi sangat penting pada banyak teori. Salah satu bentuk klasifikasi yang terkenal adalah tipe ideal. Peneliti kualitatif sering menggunakan ‘tipe ideal’ untuk melihat bagaimana penelitian fenomena yang baik dalam mencocokkannya kedalam suatu model yang ideal. Selain itu terdapat tipe klasifikasi yang lain yakni, tipologi atau taksonomi. Dimana peneliti menggabungkan dua atau lebih dimensi, konsep sederhana, yang mana seperti pertemuan konsep sederhana membentuknya menjadi konsep baru.
Teori mengandung banyak konsep, defenisi dan asumsi. Teori secar spesifik menjelaskan bagaimana suatu konsep terhubung antar satu dengan yang lain. Teori membantu para peneliti menjelaskan apakah konsep tersebut berhubungan dan bagaimana bentuk hubungan tersebut. Teori sosial mengandung konsep, sebuah hubungan antar konsep dan sebuah masalah mekanisme dalam suatu hubungan. Beberapa konsep bersifat abstrak, sebagian berada pada level abstraksi menengah dan sebagiaan lagi pada level konkrit. Ketika menciptaakan atau melanjutkan suatu teori dan menspesifikasikan hubungannya, peneliti terlebih dahulu harus memperhitungkan tipe-tipe persoalan, kasus, atau situasi dimana teori tersebut akan digunakan, hal ini yang dimaksud dengan ruang lingkup.

Dalam menjelaskan antara hubungan antar fakta dan teori terdapat dua posisi yang ekstrim yakni: posisi kaum empiris, menyatakan bahwa fakta dan teori secar total berbeda, dan posisi relativis yang menyatakan terdapat hubungan antara fakta dan teori. Semua fakta dibentuk dari teori formal dan informal. Dalam penelitian terdapat dua pilihan arah pendekatan pembentukan dan pengujian teori yakni: pendekatan deduktif dan pendekatan induktif. Dalam pendekatan deduktif, peneliti memulai dengan sebuah abstraksi, hubungan logika antara konsep, kemudian bergerak kearah bukti empiris konkrit. Sedangkan dalam pendekatan induktif, dimulai dengan observasi, menyempurnakan konsep, mengembangkan generalisasi empiris. Sehingga dengan demikian teori bena-benar dibangun dari dasar.

Dalam bukunya, Lawrence membagi teori kedalam tiga kelompok luar melalui tingkat kenyataan sosial yakni:

  1. Level teori mikro, dilakukan dengan waktu, ruang dan jumlah anggota yang sedikit,
  2. Level teori makro, mengandung isi mengenai pelaksanaaan kumpulan kumpulan yang lebih luas. Menggunakan lebih banyak konsep yang abstrak
  3. Level teori menengah, berusaha menghubungkan level mikro dan makro atau berjalan pada level perantara.

Suatu teori juga terbagi menjadi teori formal dan teori substansive. Teori sibstansive dikembangkan untuk suatu area yang spesifik mengenai kehidupan sosial, sedangkan teori formal dikembangkan untuk suatu area konseptual yang lebih luas dalam teori umum. Tujuan utama dari sebuah teori adalah untuk menjelaskan. Terdapat dua pengertian dan fungsi dari penjelasan yakni, penjelasan teoritis yakni argument yang logis yang memberitahukan mengapa sesuatu terjadi dan penjelasan biasa, yang membuat sesuatu lebih jelas dan menggambarkan dengan jalan mengilustrasikan sesuatu tersebut hingga dapat dimengerti. Dalam melakukan suatu penelitian, terdapat adanya suatu prediksi atau sebuah pernyataan bahwa sesuatu akan terjadi. Suatu penjelasan atau explanation dapat diterangkaan melalui tiga cara yakni penyebab, struktur dan penafsiran dari penjelasan tersebut. Adapun tujuan dari penafsiran ini membantu perkembangaan pengetahuan dengan berusaha menemukan arti dari peristiwa dengan menempatkannya dalam konteks sosial yang spesifik. Peneliti memberitahukan mengapa peristiwaa sosial terjadi lewat tiga cara ini.

Selain itu Lawrence mengemukakan adanya kerangka teoritis yang disebut juga paradigma atau sistem teori. Kerangka teoritis ini lebih bersifat abstrak dan dari pada teori formal dan teori substansive. Dalam memimpin suatu penelitian, kebanyakan peneliti menggunakan teori tingkat menengah dan generalisasi empiris. Kerangka teoritis, jarang digunakan secara langsung. Lawrence mengemukakan bahwa teori dan penelitian adalah pasangan yang dinamis. Teori membantu bagaimana kita melihat dan berpikir mengenai suatu topic atau permasalahan. Teori memberi kita konsep, menyediakana asumsi-asumsi dasar, menyusun pertanyaan penting dan menganjurkan cara pengambilan data yang relevan dalam suaatu penelitian. Peneliti dapat mengubah bagian teori ataupun menolaknya jika menunjukkan hasil yang negatif. Menurut Lawrence, pembedaan antara penelitian daan teori adalah mustahil dan dibuat-buat. Nilai dari teori adalah aspek utama yang perlu diperhatikan untuk melakukan suatu penelitian yang baik.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa teori adalah suatu pandangan atau persepsi tentang apa yang terjadi. Jadi berteori adalah ‘pekerjaan menonton”; yaitu pekerjaan mendiskripsikan apa yang terjadi, menjelaskan mengapa itu terjadi dan mungkin juga meramalkan kemungkinan berulangnya kejadian itu dimasa depan.Teori membantu kita menjelaskan dan meramalkan fenomena sosial dan dengan demikian juga membantu pembuatan keputusan praktis. Ketika menjelaskan suatu fenomena, teori memerlukan pembuktian secara sistematik. Artinya, teori harus diuji dengan bukti-bukti yang sistematik. Teori yang baik adalah teori yang bisa didukung atau ditolak melalui analisa yang jelas dan penggunaan data secara sistematik.

Pembagian dan pengklasifisian teori berdasarkan ruang lingkupnya (teori mikro, teori makro) berdasarkan jangkauannya dan berdasarkan tingkat-tingkatnya serta berdasarkan struktur internalnya. Terdapat sistem klasifikasi dalam teori seperti tipologi yang bertujuan membuat skema yang tertib untuk mengklasifikasikan dan mendeskripsikan fenomena. Kriteria penilaian terhadap suatu teori yakni dengan parsimony, kemampuan menyatakan sebanyak mungkin dengan sesedikit mungkin data dan daya eksplanasi, kemampuan menjelaskan perilaku dengan sesedikit anomaly.

Menurut saya, dalam menjelaskan mengenai teori, terdapat kelebihan dan kekurangan yang dikemukakan oleh Lawence. Lawrence dalam bukunya, lebih mengupas daan menjelaskan mengenai teori, tujuan, pembagian, ruang lingkupnya dan kedudukannya dalam suatu penelitian secara mendalam dan mendetail. Akan tetapi tidak menjelaskan mengenai teori dengan sederhana dan mudah dimengerti. Sebagai contoh dalam klasifikasi teori, secara langsung dan jelas membagi teori tersebut berdasarkan tipe-tipe atau karakteristik tertentu, seperti berdasarkan ruang lingkup, jangkauan dan struktur internalnya. Akan tetapi pada dasarnya, bedasarkan pemahaman yang mendalam tehadap buku tersebut dapat dikemukakan bahwa, teori membantu peneliti dalam penelitian. Teori membantu menjelaskan fenomena dalam dunia sosial. Suatu teori dapat ditolak dan digantikan dengan analisa yang jelas dan penggunaan data yang sistematik serta berdasarkan fakta sosial yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.

 

Continue Reading

KRITIK TERHADAP HUKUM DAN MORAL DALAM PERSPEKTIF HANS KELSEN

 

  1. NORMA MORAL SEBAGAI NORMA SOSIAL

Hank Kelsen menyatakan bahwa terdapat perbedaan antara ilmu hukum dengan dengan ilmu alam, dikarenakan ilmu hukum adalah mempelajari tentang Norma. Selain itu norma hukum terdapat norma lain yang mengatur perilaku manusia, yakni yang disebut sebagai noma sosial. Ilmu hukum tidak hanya sebuah disiplin yang ditujukan untuk memahami dan menjelaskan norma sosial. Norma sosial yang lain dapat disebut sebagai “Moral”, sedangkan disiplin ilmu yang ditujukan untuk memahami dan menjelaskan moral disebut sebagai “Etika”. Hubungan antara keadilan dan hukum tercakup dalam hubungan moral dan hukum. Dalam keseharian moral seringkali sering dicampuradukkan dengan etika, perbedaan keduanya adalah bahwa etika mengatur perilaku manusia, hak dan kewajiban, sedangkan moral menjelaskan norma yang telah diciptakan oleh etika.

Kemurnian ilmu hukum menjadi terancam dikarenakan tidak dipisahkannya dengan ilmu alam, namun juga karena tidak dipisahkan dengan etika, yakni karena tidak ada pembedaan yang jelas antara hukum dan moral. karakter sosial moral kadang dipertanyakan dengan menunjuk pada norma-norma moral yang menetapkan suatu perilaku bukan kepada individu lain, melainkan kepada diri sendiri. Kesadaran diri sendiri ini juga berpengaruh terhadap lingkungan masyarakan lain, sehingga dapat dipatuhi oleh lingkungan sekitar, untuk itu norma moral juga dipatuhi oleh lingkungannya sehingga menjadi norma sosial.

 

  1. MORAL SEBAGAI PENGATUR PERILAKU INTERNAL

 

Pembedaan antara moral dan hukum tidak terkait dengan perilaku yang diwajibkan kepada manusia oleh norma sosial tersebut. Bunuh diri boleh jadi dilarang tidak hanya oleh moral, akan tetapi oleh hukum, keberanian dan kesederhanaan boleh jadi merupakan kewajiban moral dan hukum. Pendapat yang sering dikemukakan bahwa hukum menetapkan perilaku eksternal, dan moral mengatur perilaku internal juga tidak benar. Norma dari kedua tatanan tersebut menetapkan kedua jenis perilaku itu. Sisi kebaikan moral dari keberanian tidak hanya terdapat dalam kualitas internal dari ketidaktakutan, akan tetapi juga dalam perilaku eksternal yang disyaratkan oleh kwalitas ini. Sebaliknya jika sebuah tatanan hukummelarang pembunuhan, ia berarti tidak hanya melarangpenghilangan nyawa seseorang akibat perilaku eksternal orang lain, namun juga perilaku internal, yakni niat melakukan perbuatan seperti itu.

Tidak semua perilaku adalah moral, walupun dilakukan dengan kecenderungan kepentingan egoistic. Jika seseorang melakukan sesuatu dengan berdasarkan pada perintah orang lain, maka yang demikian tidak memiliki nilai moral apapun. Sesuatu perilaku hanya memiliki nilai moral jika tidak ada motif tetapi juga perilaku itu sendiri sesuai dengan norma moral. Dalam menyatakan penilaian moral, motif dan perilaku tidak dapat dipisahkan. Karena alasan ini pula konsep moral tidak dapat dibatasi pada norma, tekanlah kecenderungan anda wujudkanlah kepentingan egositik anda. Namun hanya membatasi konsep itupun sudah memungkinkan untuk membedakan antara moral dan hukum, karena yang pertama berkait dengan perilaku internal dan yang kedua juga menetapkan perilaku eksternal.

 

  1. Moral Sebuah Tatanan Positif Tanpa Paksaan

 

Perbedaan antara hukumdan moral tidak dapat dijumpai dalam apa yang diperintahkan atau dilarang oleh tatanan sosial itu, tetapi hanya dalam bagaimana keduanya memerintahkan atau melarang perilaku tertentu. Perbedaan mendasar antara hukum dan moral adalah : hukum merupakan tatanan memaksa, sedangkan moral tidak memiliki daya seperti demikian, sanksi dari tatanan moral hanyalah kesetujuan atas perilaku yang sesuai norma dan ketidaksetujuan terhadap perilaku yang bertentangan dengan norma, dan tidak ada tindakan paksa yang diterapkan dalam sanksi.

 

  1. Hukum Sebagai Bagian dari Moral

 

Pertanyaan yang menarik, apa hubungan keduanya ? bagaimana seharusnya ? Untuk manjawab pertanyaan diatas, maka sebenarnya bahwa hukum berdasarkan sifatnya adalah moral, yang berarti apa yang diperintahkan atau dilarang oleh hukum juga sama halnya dengan moral. Namun boleh jadi apabila dilarang oleh moral yang diperintahkan oleh moral sendiri, maka yang demikian dapat dikatakan tidak adil. Bahwa suatu tatanan yang bukan moral boleh jadi merupakan hukum, meski dalil itu mengakui bahwa hukum mestinya merupakan moral. Tatanan hukum merupakan bagian dari tatanan moral, karena berdasarkan sifatnya ia adil. Selama penegasan ituditujukan pada pembenaran hukum, dan ini merupakan makna yang sebenarnya, meski diandaikan bahwa hanya satu tatanan moral yang berlaku yang merupakan nilai moral yang absolute.

 

 

  1. Relatifitas Nilai Moral

Semua sistem moral memiliki satu kesamaan yakni merupakan norma sosial, yang mengatur perilaku tertentu baik langsung maupun tidak langsung. Semua sistem moral memiliki satu kesamaan, yakni bersifat seharusnya. Apa yang baik menurut moral adalah apa yang sesuai dengan norma sosial, apa yang jahat secara moral adalah yang bertentangan dengan norma tersebut. Nilai moral relative untuk diwujudkan oleh norma sosial yang menyatakan bahwa manusia harus berperilaku dengan cara tertentu. Dengan demikian setiap hukum adalah nilai moral yang relative. Dengan demikian berarti persoalan antara hubungan antara hukum dan moral bukanlah persoalan tentang isi hukum, melainkan tentang bentuknya. Karena itu kita tidak dapat menyatakan, hukum tidak hanya merupakan moral, namun juga merealisasikan sebuah nilai, pernyataan itu hanya bermakna jika yang diandaikan adalah nilai yang absolute. Hukum mewujudkan sebuah nilai karena pada kenyataannya ia adalah sebuah norma (relatif).

Namun demikian, teori yang menyatakan bahwa hukum pada dasarnya merupakan taraf minimum moral, bahwa sebuah tatanan pemaksa, agar bisa dianggap sebagai hukum, harus memenuhi dalil moral minimum tidak dapat diterima. Karena mengasumsikan keberadaan dalil ini sama halnya dengan mengandaikan adanya moralitas absolute, yang ditentukan oleh isinya, atau minimal isi yang lazim dijumpai pada semua sistem positif, biasanya berupa tujuan perdamaian. Dari apa yang diuraikan dapat disimpulkan bahwa nilai hukum tidak mewujudkan dalil minimum moral dalam pengertian ini, khususnya bahwa nilai perdamaian bukanlah unsur yang sangat penting bagi konsep hukum.

 

  1. Pemisahan Antara Hukum dan Moral

Makna pemisahan antara hukum dan moral dapat dimaknai sebagai beikrut :

  1. jika sebuah tatanan hukum dinilai bermoral atau tidak bermoral, adil atau tidak adil, maka penilaiannya ini mengungkapkan hubungan antara tatanan hukum dengan salah satudari banyak sistem moral yang mungkin ada namun tidak dengan sistem moral yang sebenarnya, dan karena itu hanya merupakan pertimbangan nilai yang relative.
  2. validitas sebuah tatanan hukumpositif tidak tergantung pada kesesuaiannya dengan beberapa sistem moral.

Teori relativitas seringkali disalampahami sebagai teori dan nilai-nilai keadilan tidak ada. teori ini lebih bermakna bersifat relative, bukan mutlak, bahwa keadilan tidaklah mutlak. Jelas bahwa moral yang relative tidak menyediakan standart mutlak untuk mengevaluasi hukum positif. Standart evaluasi semacam itu sama halnya dengan tidak adanya standart yang demikian, dikarenakan dalam sistem moral dapat berfungsi seperti itu. Namun kita mesti berhati-hati dalam menilai tatanan hukum positif dari sudut pandang moral yang menyatakan bahwa standart penilaian itu bersifat relative dan menggunakan suatu evaluasi didasarkan pada sistem moral yang berbeda, dan bahwa tatanan hukum yang dinilai sebagai tatanan yang tidak adil berdasarkan satu sistem moral, bisa saja dinilai adil oleh sistem yang lain.

 

  1. Pembenaran Hukum Melalui Moral

Tesis yang diterima luas oleh ilmu hukum tradisional namun ditolak oleh Teori Hukum Murni adalah hukum berdasarkan sifatnya harus bermoral, tatanan sosial yang tidak bermoral bukanlah hukum, dengan demikian mengasumsikan tatanan moral yang absolute yang berlaku kapanpun dan dimanapun. Hal demikian dikarenakan mengasumsikan tatanan moral dalam penerapan aktualnya berlaku dalam komunitas hukum tertentu, tesis ini mengarah pada pembenaran tidak kritis atas tatanan pemaksa nasional yang membentuk komunitas ini. hal itu dikarenakan menerima begitu saja bahwa tatanan pemaksa dalam Negara mereka merupakan tatanan hukum. Standart yang meragukan tentang moralitas absolute hanya diterapkan pada tatanan pemaksa dinegara lain. Hanya tatanan pemaksa dari Negara lain yang kita anggap immoral dan bukan hukum, bila tatanan pemaksa dari Negara lain yang kita anggap immoral dan bukan hukum, bila tatanan tersebut tidak sesuai dengan dalil tertentu yang sesuai dengan Negara kita, ketika tatanan tersebut mengakui atau tidak mengakui hak milik pribadi, atau tatanan itu demokratis atau tidak. Namun karena tatanan pemaksa kita adalah hukum, maka menurut tesisyang dijelaskan diatas harusnya bersifat moral. Pembenaran hukum positif itu bersfat kondusif secara politis, meskipun tidak dapat diterima secara logika. Dari sudut pandang ilmu hukum ia harus ditolak, karena ilmu ini tidak bertugas untuk membenarkan hukum dengan moral absolute atau relative.

 

  1. Kritik terhadap Hans Kelsen

Hans Kelsen tidak membedakan secara spesifik tentang Hukum dan Moral, sehingga tampaknya terjadi tumpang tindih antar keduanya. Untuk itu kritik saya adalah mencoba memberikan gambaran tentang perbedaan antara hukum dan moral seperti diurai dalam gambar berikut :

 

MORAL

 

 

 

 

 

Kaidah-kaidah moral yang mengatasi hukum

 

 

 

HUKUM

Kaidah-kaidah hukum moral

Kaidah-kaidah netral

 

Berdasarkan bagan diatas dapat disimpulkan sebagai berikut :

  1. ada kaidah hukum yang tidak dapat dimasukkan kedalam kaidah terpenting yang dikenal manusia, dank arena itu bersifat moral.
  2. banyak kaidah hukum yang dipandang sebagai kaidah yang penting bagi manusia, dan kaidah itu adalah kaidah hukum moral.
  3. kolompok terakhir berkaitan dengan kaidah moral yang mengatasi hukum.

   Ditulis dan disarikan dari buku Hans Kelsen yang berjudul :

  1. Pure Theory of Law
  2. General Theory of Law and State
  3. Introduction to the Problem of Legal Theory
  4. Essay in Legal and Moral Philosophy

 

Continue Reading

HISTORICAL – COMPARATIVE RESEACH DALAM PENELITIAN HUKUM

 

Cara pengumpulan data, baik dalam penelitian kualitatif dan penelitian kuantitatif, terdiri dari experimental research, survey research, nonreactive research, field research, dan historical-comparative research. Dalam hal penelitian kualitatif, dari kelima tipologi pengumpulan data tersebut, hanya dua tipe yang digunakan yaitu: field research dan historical-comparative research sebagaimana dijabarkan dalam buku Lawrence Neuman, Basics of Social Research Qualitative and Quantitave Approaches.

Penelitian perbandingan-kesejarahan adalah studi tentang peristiwa-peristiwa dan pertanyaan-pertanyaan di masa lalu dengan menggunakan metode dalam sosiologi dan penelitian ilmiah sosial lainnya untuk menginformasikan hasil-hasil dan jawaban-jawaban yang mungkin terhadap peristiwa-peristiwa dan pertanyaan-pertanyaan pada masa kini. Penelitian ini dimulai pada akhir tahun 1950-an yang kemudian sebagai bagian dari disiplin sejarah menjadi lebih berhubungan dengan sosiologi.

Tipe pengumpulan data dalam bentuk penelitian perbandingan-kesejarahan ini pada dasarnya banyak terkait dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi di dunia, seperti halnya terorisme, peperangan, rasisme, imigrasi dalam skala besar-besaran, kekerasan yang dimotivasi oleh kebencian religius, kebobrokan di perkotaan, dan lain-lain. Jadi, jelas bahwa tipe penelitian perbandingan-kesejarahan sangat erat kaitannya dengan studi sosial dan politik.

Penelitian perbandingan-kesejarahan banyak digunakan oleh para pemikir ilmu sosial seperti halnya Emile Durkheim, Karl Marx, dan Max Weber. Para pemikir abad ke-19 inilah yang melahirkan ilmu pengetahuan sosial. Contoh aplikasi tipe penelitian ini dalam sosiologi yaitu: perubahan sosial, sosiologi politik, gerakan sosial, dan stratifikasi sosial). Selain itu diterapkan juga dalam agama, kriminologi, perilaku seksual, hubungan ras, dan keluarga. Namun, teknik-teknik dan pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam tipe penelitian ini berpadu dengan sejarah tradisional dan penelitian sosial kuantitatif. Pendekatan perbandingan-kesejarahan cocok digunakan ketika mempertanyakan perubahan skala makro/ proses perubahan sosial lintas waktu/ universal lintas masyarakat.

 

Big Questions dan Ketepatan Penggunaan Pendekatan Perbandingan-Kesejarahan

Pertanyaan-pertanyaan besar (big questions) adalah pertanyaan-pertanyaan mengenai akibat-akibat skala-besar yang dianggap penting secara substantif dan normatif baik oleh spesialis maupun oleh nonspesialis. Namun, tentu saja tidak semua peneliti yang mengemukakan big questions berangkat dari sudut pandang analisis perbandingan-kesejarahan.

Berdasarkan langkah-langkah dalam proses penelitian di atas, maka sebelum dilakukannya pengumpulan data, maka diperlukan rumusan pertanyaan penelitian. Dengan menggunakan tipe penelitian perbandingan-kesejarahan ini, maka pertanyaan-pertanyaan besar akan dapat ditujukan. Misalnya menyangkut bagaimana perubahan sosial yang utama terjadi, tentang ciri-ciri mendasar yang umum terdapat pada kebanyakan masyarakat, ataupun mengenai pertanyaan mengapa pengaturan sosial cenderung berbentuk lembaga dan bukan dalam bentuk lainnya. Dalam uraian mengenai pendekatan perbandingan-kesejarahan, bentuk-bentuk pertanyaan yang menjadi fokus penelitian ini disebut sebagai big questions.

Bagaimanakah seharusnya ketepatan penggunaan tipe penelitian perbandingan-kesejarahan ini? Penelitian ini tepat digunakan untuk:

  1. Menguji keterpaduan dari faktor-faktor sosial yang menghasilkan akibat tertentu. Contohnya: perang sipil.
  2. Membandingkan sistem sosial secara keseluruhan untuk memperoleh ciri-ciri umum antarmasyarakat dan juga keunikannya, serta untuk mengkaji perubahan sosial dalam jangka panjang.
  3. Mengungkap keterhubungan di antara kelompok-kelompok atau faktor-faktor atau kelompok-kelompok sosial dengan menggunakan teori tertentu sebagai ilustrasi.
  4. Membandingkan proses-proses dan konsep-konsep sosial yang sama dalam konteks sejarah atau budaya yang berbeda-beda.
  5. Menginterpretasi data atau menentang penjelasan yang sebelumnya sudah ada dengan cara mempertanyakan pertanyaan-pertanyaan yang berbeda, menemukan bukti-bukti baru, ataupun mengumpulkan bukti-bukti dengan cara yang berbeda dari yang sebelumnya.
  6. Memperkuat konseptualisasi dan pembentukan teori dengan cara melihat pada peristiwa-peristiwa historis atau konteks kebudayaan yang berbeda-beda.

Penelitian perbandingan-kesejarahan memerlukan pemahaman akan latar belakang historis mengenai suatu studi. Jika ini tidak dilakukan maka akan terasa sulit untuk memahami bahwa suatu teori yang muncul (teori klasik) sebenarnya dipengaruhi oleh kondisi kontemporer pada saat teori itu dibuat. Sebagai contoh adalah “Manifesto Komunis” yang diciptakan oleh Karl Marx. Jika dipahami dari aspek kesejarahan, maka dapat dipahami bahwa apa yang dipersepsikan Karl Marx dalam karyanya itu diciptakan sedemikian rupa karena dipengaruhi oleh kondisi Eropa dan dunia pada saat itu yang sangat kental dengan feodalisme. Feodalisme ditandai dengan munculnya stratifikasi sosial antara para tuan tanah dan para petani budak. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa suatu teori ternyata terbentuk secara kontekstual dan kondisional dari konstelasi jaman di mana sang teoritisi hidup.

Logika Penelitian Perbandingan-Kesejarahan

Apakah ada kebingungan dalam memahami penggunaan istilah dalam tipe penelitian perbandingan-kesejarahan ini? Hal ini dapat dijelaskan dalam dua bentuk logika berikut:

  1. Logika penelitian perbandingan-kesejarahan dan penelitian kuantitatif.

Dalam melakukan pengumpulan data secara perbandingan-kesejarahan, sebagian peneliti menggunakan pendekatan positivis kuantitatif. Sementara, peneliti lainnya menggunakan pendekatan kualitatif, interpretatif, dan kritis. Peneliti yang menggunakan pendekatan positivis menilai bahwa tidak ada perbedaan di antara penelitian sosial kuantitatif dan penelitan perbandingan-kesejarahan.

  1. Logika penelitian perbandingan-kesejarahan dan penelitian interpretatif.

Dari segi logika ini, penelitian perbandingan-kesejarahan dianggap berbeda dengan pendekatan positivis dan interpretatif. Studi kasus dan penggunaan data kualitatif dalam penelitian perbandingan kesejarahan dapat menggunakan prinsip-prinsip positivis. Studi kasusnya adalah yang kritis, bisa yang hanya terjadi pada suatu bangsa saja, dan mengkaji lebih luas mengenai proses dan detail kesejarahan. Pendapat lain menilai bahwa justru penelitian perbandingan-kesejarahan yang tidak mengandung generalisasi kausal sebagai indikator “benar” tidaklah cukup. Persamaan pendekatan interpretatif ekstrim dan perbandingan kesejarahan in terdapat adalah bahwa keduanya menilai fokus kultur dan pemahaman empatik (melihat dari sudut pandang orang lain) sebagai tujuan utama penelitian sosial.

Dalam buku Basics of Social Research Qualitative and Quantitave Approaches (2004), Lawrence Neuman mengemukakan tiga dimensi untuk mengadakan penelitian perbandingan-kesejarahan, yaitu:

  1. Apakah peneliti fokus pada apa yang terjadi di suatu bangsa atau sejumlah bangsa-bangsa, ataukah si peneliti mencoba untuk mengkaji banyak bangsa (dimensi subjeknya)?
  2. Bagaimanakah si peneliti memasukkan unsur waktu atau sejarah? Apakah ia fokus pada satu periode saja di masa lampau, menyelidiki peristiwa-peristiwa yang melintasi banyak tahun, ataukah menelaah periode waktu sekarang atau yang sedang terjadi pada saat ini (dimensi waktunya)?
  3. Apakah analisis si peneliti terutama berlandaskan pada data kualitatif atau data kuantitatif (dimensi datanya)?

Keunikan Penelitian Perbandingan-Kesejarahan

Lebih lanjut, Neuman menguraikan enam keunikan dari tipe penelitian perbandingan-kesejarahan sebagai berikut:

  1. Bukti.

Oleh karena penelitian perbandingan-kesejarahan sangat banyak menggunakan studi dokumen (misalnya surat kabar dan surat-surat), maka tipe penelitian ini biasanya menjadi terbatas (limited) dan tidak langsung (indirect). Pengamatan langsung atau keterlibatan si peneliti seringkali tidak mungkin dilakukan. Rekonstruksi bukti penelitian dapat dilakukan, namun tetap saja tidak dapat diperoleh hasil rekonstruksi mutlak dapat dipercaya. Bukti-bukti yang digunakan tergantung pada daya tahan dokumen-dokumen dari masa lalu. Apa yang masih dapat digunakan (tidak hancur) dan masih tertinggal dalam bentuk salinan, rekaman, atau bukti lainnya inilah yang dapat dijadikan bukti.

  1. Distorsi.

Rekonstruksi masa lalu atau kebudayaan yang berbeda dapat dengan mudah mengalami penyimpangan dari kenyataan (distorsi). Hal ini memunculkan kesadaran bagi peneliti dalam peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelum periode itu dikaji, peristiwa yang terjadi di tempat-tempat selain lokasi yang dikaji, dan peristiwa-peristiwa yang terjadi setelah periode itu dikaji.

  1. Peran manusia.

Dalam hal ini kesadaran masyarakat dalam konteks dan menggunakan motif-motif mereka sebagai faktor kausal. Penelitian perbandingan-kesejarahan ini mengakui kemampuan orang-orang untuk belajar, membuat keputusan, dan bertindak atas apa yang mereka pelajari untuk mengubah rangkaian peristiwa. Kemampuan masyarakat untuk belajar memunculkan ketidakpastian keadaan (indeterminacy) terhadap penelitian perbandingan-kesejarahan.

  1.   Penyebab.

Tipe penelitian ini ingin mengetahui apakah rangkaian peristiwa yang berbeda dapat dilihat sebagai hal yang masuk akal oleh orang-orang yang terlibat. Jadi, pandangan dunia dan pengetahuan orang-orang menjadi faktor pengaruh keadaan yang membentuk orang-orang yang sedang diteliti itu sebagai sebuah kemungkinan atau justru ketidakmungkinan bagi jalan untuk mencapai tujuan.

  1. Mikro/ makro.

Peneliti dalam tipologi ini memperbandingkan skala mikro (skala kecil, interaksi langsung) dan makro (struktur sosial skala besar). Peneliti menjelaskan kedua level ini berdasarkan realitas dan menghubungkan antarkeduanya.

  1. Lintas konteks.

Keistimewaan penelitian ini adalah kemampuannya untuk berubah antara konteks spesifik dan perbandingan umum. Seorang peneliti mengkaji konteks tertentu, memperhatikan persamaan dan perbedaan, dan akhirnya menggeneralisirnya. Setelah itu, peneliti harus melihat lagi pada konteks spesifik dengan menggunakan generalisasi. Yang diperbandingkan adalah unit analisis geografis-kultural (misalnya daerah perkotaan, bangsa-bangsa, perhimpunan/ perkumpulan, dll). Konteks masa lampau yang ada pada suatu kebudayaan misalnya: periode, jaman, abad, era, dll). Sehingga ini menghasilkan ketegangan kreatif antara konteks spesifik yang konkrit dan ide-ide abstrak dari peneliti untuk menciptakan keterhubungan di antara konteks-konteks itu.

Bukti-Bukti dan Data Historis dalam Penelitian Perbandingan-Kesejarahan

Bukti-bukti historis meliputi empat macam, yakni: sumber primer (primary sources), sumber sekunder (secondary sources), catatan kronologis (running records), dan ingatan (recollections). Para sejarawan tradisional lebih banyak menggunakan sumber primer. Sementara, para peneliti perbandingan-kesejarahan lebih banyak menggunakan sumber sekunder atau kombinasi dari tipe data yang berbeda.

Sumber-sumber primer contohnya: surat-surat, catatan-catatan harian (diary), surat kabar, film-film, novel-novel, artikel-artikel, foto-foto, dan sebagainya dari orang-orang yang hidup pada masa lalu dan benda-benda itu masih dalam kondisi yang layak hingga sekarang. Sumber primer ini dapat ditemukan di rak tempat penyimpanan dokumen, koleksi pribadi, lemari keluarga, atau di museum. Apa yang kita miliki sekarang (surat-surat, program televisi, iklan-iklan, pakaian, mobil, dll) akan menjadi sumber primer pada sejarawan di masa depan.

Namun, keterbatasan waktu secara praktis dapat membatasi penelitian pada banyak sumber-sumber primer menjadi sebuah bingkai waktu atau lokasi yang terbatas. Untuk itu, agar dapat diperoleh gambaran yang lebih luas, maka peneliti perbandingan-kesejarahan menggunakan sumber-sumber sekunder. Contoh sumber-sumber sekunder ini adalah: tulisan dari sejarawan tertentu yang menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mempelajari sumber-sumber primer.

Catatan-catatan kronologis merupakan arsip-arsip atau dokumen-dokumen statistik yang terus dibuat oleh organisasi tertentu. Contohnya: catatan kronologis mengenai setiap pernikahan dan kematian dari tahun 1910 hingga sekarang yang dilakukan oleh sebuah gereja wilayah.

Ingatan merupakan kata-kata atau tulisan individual mengenai masa lalu atau pengalaman mereka berdasarkan kenangan. Namun, karena ingatan ini tidak sempurna, maka seringkali mengalami penyimpangan dari kenyataan. Contohnya: seorang wanita berumur 80-an tahun yang diwawancarai mengenai kehidupannya dalam organisasi Ku Klux Klan.

Keterbatasan dan Keunggulan Penelitian Perbandingan

Penelitian komparatif pada dasarnya tidak memiliki distingsi, baik dalam penggunaan penelitian cross-cultural comparative maupun penelitian yang diadakan dalam satu masyarakat tertentu. Penelitian komparatif memiliki sejumlah keterbatasan antara lain:

  1. Penelitian komparatif lebih sulit, lebih mahal dari segi biaya, dan lebih membutuhkan waktu lebih banyak ketimbang penelitian yang bukan bersifat komparatif.
  2. Kasus penelitiannya lebih terbatas. Para peneliti komparatif jarang menggunakan random sampling. Informasi yang cukup juga tidak tersedia untuk seluruh kira-kira 150 bangsa-bangsa di dunia. Bagian kecil dari nonrandom juga tidak tersedia (misalnya negara-negara miskin, negara-negara nondemokratik, dll).
  3. Penelitian komparatif dapat menggunakan teori tetapi tidak dapat menguji teori itu, serta hanya dapat membuat generalisasi yang terbatas.

Beberapa keunggulan penelitian perbandingan ini adalah:

  1. Lebih merupakan suatu perspektif/ orientasi ketimbang teknik penelitian.
  2. Mengekspos kelemahan dalam disain penelitian dan membantu peneliti meningkatkan kualitas penelitian.
  3. Fokusnya persamaan dan perbedaan antara unit-unit analisis.
  4. Meningkatkan pengukuran dan konseptualisasi.
  5. Memunculkan pertanyaan-pertanyaan baru dan menstimulasi pembentukan teori.

Unit-Unit yang Diperbandingkan

Dalam penelitian perbandingan-kesejarahan, unit-unit analisis yang diperbandingkan adalah kebudayaan terhadap bangsa (culture versus nation) dan Masalah Galton (Galton’s Problem). Untuk kemudahan, banyak para peneliti perbandingan-kesejarahan seringkali menggunakan bangsa-negara (nation-state) sebagai unit analisis penelitian mereka. Unit analisis lain disebut sebagai Galton’s Problem yang dibuat berdasarkan nama Sir Francis Galton (1822-1911). Ketika peneliti membandingkan unit-unit atau karakteristik mereka, mereka menginginkan agar unit-unit itu tidak berbeda tetapi sebenarnya bagian dari unit yang lebih besar, sehingga peneliti akan mencari hubungan palsu (tidak nyata). Misalnya, unit-unitnya adalah negara-negara dan provinsi-provinsi di Kanada, Prancis, dan Amerika Serikat. Peneliti kemudian menemukan hubungan yang kuat antara berbicara dalam bahasa Inggris dengan menjadikan dollar sebagai mata uang, atau berbicara dalam bahasa Prancis dan menggunakan franc sebagai mata uang. Jelas bahwa hubungan itu ada karena unit-unit analisis adalah bagian dari unit yang lebih besar.

Pentingnya Unsur Kesamaan dalam Penelitian Perbandingan Kesejarahan

Unsur-unsur kesamaan dalam penelitian perbandingan kesejarahan adalah penting. Inilah isu dalam membuat perbandingan lintas konteks yang beragam, atau ketika peneliti berada dalam periode waktu atau kebudayaan tertentu, telah dibaca secara benar, dimengerti, dan dikonseptualisasikan dari era atau kebudayaan yang berbeda tersebut. Tanpa adanya kesamaan, maka peneliti tidak dapat menggunakan konsep yang sama atau ukuran yang sama dalam periode historik atau budaya yang berbeda-beda.

Menurut Neuman, kesamaan-kesamaan ini terdiri dari: kesamaan leksikon (penerjemahan kata atau frase yang sama dengan kata lain), kesamaan kontekstual (penerapan konsep atau terminologi dalam berbagai konteks historis), kesamaan konseptual (penggunaan konsep yang sama di berbagai era), dan kesamaan ukuran (kesamaan konsep pada berbagai seting yang berbeda).

Hal-Hal Yang harus diperhatikan

Penggunaan sumber-sumber historis primer kadangkala memunculkan persoalan yang berkaitan dengan etika tertentu. Beberapa di antaranya dirangkum sebagai berikut:

  1. Sulitnya mereplikasi penelitian berdasarkan pada material primer sehingga integritas si peneliti sangat diperlukan.
  2. Hak untuk melindungi privasi seseorang dapat terintervensi dengan adanya hak untuk memperoleh bukti. Jika ada skandal, keturunan seseorang akan berusaha untuk menghancurkan atau menyembunyikan bukti, termasuk presiden.
  3. Harus sensitif terhadap soal budaya dan politik dari interaksi lintas-kultural.
  4. Membangun hubungan baik dengan pemerintah negara yang dikunjungi (host), bukan sebagai mata-mata atau karena suruhan/ tekanan dari pemerintah si peneliti.
  5. Kehadiran atau temuan si peneliti dapat menyebabkan masalah diplomatik berupa kontroversi dari pemerintah negara yang dikunjungi akibat dari pernyataan atau ungkapan simpatik si peneliti.

 

 

Referensi:

Mahoney, James, and Dietrich Rueschemeyer, ed. 2003. Comparative Historical Analysis in the Social Sciences. United Kingdom: Cambridge University Press.

Neuman, W. Lawrence. 2004. Basics of Social Research Qualitative and Quantitave Approaches. United States of America: Pearson Education.

Silalahi, Ulber. 2010. Metode Penelitian Sosial. Bandung: PT Refika Aditama.

 

 

(PENELITIAN PERBANDINGAN – KESEJARAHAN)

 

Oleh :

Saiful Anam

 

Cara pengumpulan data, baik dalam penelitian kualitatif dan penelitian kuantitatif, terdiri dari experimental research, survey research, nonreactive research, field research, dan historical-comparative research. Dalam hal penelitian kualitatif, dari kelima tipologi pengumpulan data tersebut, hanya dua tipe yang digunakan yaitu: field research dan historical-comparative research sebagaimana dijabarkan dalam buku Lawrence Neuman, Basics of Social Research Qualitative and Quantitave Approaches.

Penelitian perbandingan-kesejarahan adalah studi tentang peristiwa-peristiwa dan pertanyaan-pertanyaan di masa lalu dengan menggunakan metode dalam sosiologi dan penelitian ilmiah sosial lainnya untuk menginformasikan hasil-hasil dan jawaban-jawaban yang mungkin terhadap peristiwa-peristiwa dan pertanyaan-pertanyaan pada masa kini. Penelitian ini dimulai pada akhir tahun 1950-an yang kemudian sebagai bagian dari disiplin sejarah menjadi lebih berhubungan dengan sosiologi.

Tipe pengumpulan data dalam bentuk penelitian perbandingan-kesejarahan ini pada dasarnya banyak terkait dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi di dunia, seperti halnya terorisme, peperangan, rasisme, imigrasi dalam skala besar-besaran, kekerasan yang dimotivasi oleh kebencian religius, kebobrokan di perkotaan, dan lain-lain. Jadi, jelas bahwa tipe penelitian perbandingan-kesejarahan sangat erat kaitannya dengan studi sosial dan politik.

Penelitian perbandingan-kesejarahan banyak digunakan oleh para pemikir ilmu sosial seperti halnya Emile Durkheim, Karl Marx, dan Max Weber. Para pemikir abad ke-19 inilah yang melahirkan ilmu pengetahuan sosial. Contoh aplikasi tipe penelitian ini dalam sosiologi yaitu: perubahan sosial, sosiologi politik, gerakan sosial, dan stratifikasi sosial). Selain itu diterapkan juga dalam agama, kriminologi, perilaku seksual, hubungan ras, dan keluarga. Namun, teknik-teknik dan pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam tipe penelitian ini berpadu dengan sejarah tradisional dan penelitian sosial kuantitatif. Pendekatan perbandingan-kesejarahan cocok digunakan ketika mempertanyakan perubahan skala makro/ proses perubahan sosial lintas waktu/ universal lintas masyarakat.

 

Big Questions dan Ketepatan Penggunaan Pendekatan Perbandingan-Kesejarahan

Pertanyaan-pertanyaan besar (big questions) adalah pertanyaan-pertanyaan mengenai akibat-akibat skala-besar yang dianggap penting secara substantif dan normatif baik oleh spesialis maupun oleh nonspesialis. Namun, tentu saja tidak semua peneliti yang mengemukakan big questions berangkat dari sudut pandang analisis perbandingan-kesejarahan.

Berdasarkan langkah-langkah dalam proses penelitian di atas, maka sebelum dilakukannya pengumpulan data, maka diperlukan rumusan pertanyaan penelitian. Dengan menggunakan tipe penelitian perbandingan-kesejarahan ini, maka pertanyaan-pertanyaan besar akan dapat ditujukan. Misalnya menyangkut bagaimana perubahan sosial yang utama terjadi, tentang ciri-ciri mendasar yang umum terdapat pada kebanyakan masyarakat, ataupun mengenai pertanyaan mengapa pengaturan sosial cenderung berbentuk lembaga dan bukan dalam bentuk lainnya. Dalam uraian mengenai pendekatan perbandingan-kesejarahan, bentuk-bentuk pertanyaan yang menjadi fokus penelitian ini disebut sebagai big questions.

Bagaimanakah seharusnya ketepatan penggunaan tipe penelitian perbandingan-kesejarahan ini? Penelitian ini tepat digunakan untuk:

  1. Menguji keterpaduan dari faktor-faktor sosial yang menghasilkan akibat tertentu. Contohnya: perang sipil.
  2. Membandingkan sistem sosial secara keseluruhan untuk memperoleh ciri-ciri umum antarmasyarakat dan juga keunikannya, serta untuk mengkaji perubahan sosial dalam jangka panjang.
  3. Mengungkap keterhubungan di antara kelompok-kelompok atau faktor-faktor atau kelompok-kelompok sosial dengan menggunakan teori tertentu sebagai ilustrasi.
  4. Membandingkan proses-proses dan konsep-konsep sosial yang sama dalam konteks sejarah atau budaya yang berbeda-beda.
  5. Menginterpretasi data atau menentang penjelasan yang sebelumnya sudah ada dengan cara mempertanyakan pertanyaan-pertanyaan yang berbeda, menemukan bukti-bukti baru, ataupun mengumpulkan bukti-bukti dengan cara yang berbeda dari yang sebelumnya.
  6. Memperkuat konseptualisasi dan pembentukan teori dengan cara melihat pada peristiwa-peristiwa historis atau konteks kebudayaan yang berbeda-beda.

Penelitian perbandingan-kesejarahan memerlukan pemahaman akan latar belakang historis mengenai suatu studi. Jika ini tidak dilakukan maka akan terasa sulit untuk memahami bahwa suatu teori yang muncul (teori klasik) sebenarnya dipengaruhi oleh kondisi kontemporer pada saat teori itu dibuat. Sebagai contoh adalah “Manifesto Komunis” yang diciptakan oleh Karl Marx. Jika dipahami dari aspek kesejarahan, maka dapat dipahami bahwa apa yang dipersepsikan Karl Marx dalam karyanya itu diciptakan sedemikian rupa karena dipengaruhi oleh kondisi Eropa dan dunia pada saat itu yang sangat kental dengan feodalisme. Feodalisme ditandai dengan munculnya stratifikasi sosial antara para tuan tanah dan para petani budak. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa suatu teori ternyata terbentuk secara kontekstual dan kondisional dari konstelasi jaman di mana sang teoritisi hidup.

Logika Penelitian Perbandingan-Kesejarahan

Apakah ada kebingungan dalam memahami penggunaan istilah dalam tipe penelitian perbandingan-kesejarahan ini? Hal ini dapat dijelaskan dalam dua bentuk logika berikut:

  1. Logika penelitian perbandingan-kesejarahan dan penelitian kuantitatif.

Dalam melakukan pengumpulan data secara perbandingan-kesejarahan, sebagian peneliti menggunakan pendekatan positivis kuantitatif. Sementara, peneliti lainnya menggunakan pendekatan kualitatif, interpretatif, dan kritis. Peneliti yang menggunakan pendekatan positivis menilai bahwa tidak ada perbedaan di antara penelitian sosial kuantitatif dan penelitan perbandingan-kesejarahan.

  1. Logika penelitian perbandingan-kesejarahan dan penelitian interpretatif.

Dari segi logika ini, penelitian perbandingan-kesejarahan dianggap berbeda dengan pendekatan positivis dan interpretatif. Studi kasus dan penggunaan data kualitatif dalam penelitian perbandingan kesejarahan dapat menggunakan prinsip-prinsip positivis. Studi kasusnya adalah yang kritis, bisa yang hanya terjadi pada suatu bangsa saja, dan mengkaji lebih luas mengenai proses dan detail kesejarahan. Pendapat lain menilai bahwa justru penelitian perbandingan-kesejarahan yang tidak mengandung generalisasi kausal sebagai indikator “benar” tidaklah cukup. Persamaan pendekatan interpretatif ekstrim dan perbandingan kesejarahan in terdapat adalah bahwa keduanya menilai fokus kultur dan pemahaman empatik (melihat dari sudut pandang orang lain) sebagai tujuan utama penelitian sosial.

Dalam buku Basics of Social Research Qualitative and Quantitave Approaches (2004), Lawrence Neuman mengemukakan tiga dimensi untuk mengadakan penelitian perbandingan-kesejarahan, yaitu:

  1. Apakah peneliti fokus pada apa yang terjadi di suatu bangsa atau sejumlah bangsa-bangsa, ataukah si peneliti mencoba untuk mengkaji banyak bangsa (dimensi subjeknya)?
  2. Bagaimanakah si peneliti memasukkan unsur waktu atau sejarah? Apakah ia fokus pada satu periode saja di masa lampau, menyelidiki peristiwa-peristiwa yang melintasi banyak tahun, ataukah menelaah periode waktu sekarang atau yang sedang terjadi pada saat ini (dimensi waktunya)?
  3. Apakah analisis si peneliti terutama berlandaskan pada data kualitatif atau data kuantitatif (dimensi datanya)?

Keunikan Penelitian Perbandingan-Kesejarahan

Lebih lanjut, Neuman menguraikan enam keunikan dari tipe penelitian perbandingan-kesejarahan sebagai berikut:

  1. Bukti.

Oleh karena penelitian perbandingan-kesejarahan sangat banyak menggunakan studi dokumen (misalnya surat kabar dan surat-surat), maka tipe penelitian ini biasanya menjadi terbatas (limited) dan tidak langsung (indirect). Pengamatan langsung atau keterlibatan si peneliti seringkali tidak mungkin dilakukan. Rekonstruksi bukti penelitian dapat dilakukan, namun tetap saja tidak dapat diperoleh hasil rekonstruksi mutlak dapat dipercaya. Bukti-bukti yang digunakan tergantung pada daya tahan dokumen-dokumen dari masa lalu. Apa yang masih dapat digunakan (tidak hancur) dan masih tertinggal dalam bentuk salinan, rekaman, atau bukti lainnya inilah yang dapat dijadikan bukti.

  1. Distorsi.

Rekonstruksi masa lalu atau kebudayaan yang berbeda dapat dengan mudah mengalami penyimpangan dari kenyataan (distorsi). Hal ini memunculkan kesadaran bagi peneliti dalam peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelum periode itu dikaji, peristiwa yang terjadi di tempat-tempat selain lokasi yang dikaji, dan peristiwa-peristiwa yang terjadi setelah periode itu dikaji.

  1. Peran manusia.

Dalam hal ini kesadaran masyarakat dalam konteks dan menggunakan motif-motif mereka sebagai faktor kausal. Penelitian perbandingan-kesejarahan ini mengakui kemampuan orang-orang untuk belajar, membuat keputusan, dan bertindak atas apa yang mereka pelajari untuk mengubah rangkaian peristiwa. Kemampuan masyarakat untuk belajar memunculkan ketidakpastian keadaan (indeterminacy) terhadap penelitian perbandingan-kesejarahan.

  1.   Penyebab.

Tipe penelitian ini ingin mengetahui apakah rangkaian peristiwa yang berbeda dapat dilihat sebagai hal yang masuk akal oleh orang-orang yang terlibat. Jadi, pandangan dunia dan pengetahuan orang-orang menjadi faktor pengaruh keadaan yang membentuk orang-orang yang sedang diteliti itu sebagai sebuah kemungkinan atau justru ketidakmungkinan bagi jalan untuk mencapai tujuan.

  1. Mikro/ makro.

Peneliti dalam tipologi ini memperbandingkan skala mikro (skala kecil, interaksi langsung) dan makro (struktur sosial skala besar). Peneliti menjelaskan kedua level ini berdasarkan realitas dan menghubungkan antarkeduanya.

  1. Lintas konteks.

Keistimewaan penelitian ini adalah kemampuannya untuk berubah antara konteks spesifik dan perbandingan umum. Seorang peneliti mengkaji konteks tertentu, memperhatikan persamaan dan perbedaan, dan akhirnya menggeneralisirnya. Setelah itu, peneliti harus melihat lagi pada konteks spesifik dengan menggunakan generalisasi. Yang diperbandingkan adalah unit analisis geografis-kultural (misalnya daerah perkotaan, bangsa-bangsa, perhimpunan/ perkumpulan, dll). Konteks masa lampau yang ada pada suatu kebudayaan misalnya: periode, jaman, abad, era, dll). Sehingga ini menghasilkan ketegangan kreatif antara konteks spesifik yang konkrit dan ide-ide abstrak dari peneliti untuk menciptakan keterhubungan di antara konteks-konteks itu.

Bukti-Bukti dan Data Historis dalam Penelitian Perbandingan-Kesejarahan

Bukti-bukti historis meliputi empat macam, yakni: sumber primer (primary sources), sumber sekunder (secondary sources), catatan kronologis (running records), dan ingatan (recollections). Para sejarawan tradisional lebih banyak menggunakan sumber primer. Sementara, para peneliti perbandingan-kesejarahan lebih banyak menggunakan sumber sekunder atau kombinasi dari tipe data yang berbeda.

Sumber-sumber primer contohnya: surat-surat, catatan-catatan harian (diary), surat kabar, film-film, novel-novel, artikel-artikel, foto-foto, dan sebagainya dari orang-orang yang hidup pada masa lalu dan benda-benda itu masih dalam kondisi yang layak hingga sekarang. Sumber primer ini dapat ditemukan di rak tempat penyimpanan dokumen, koleksi pribadi, lemari keluarga, atau di museum. Apa yang kita miliki sekarang (surat-surat, program televisi, iklan-iklan, pakaian, mobil, dll) akan menjadi sumber primer pada sejarawan di masa depan.

Namun, keterbatasan waktu secara praktis dapat membatasi penelitian pada banyak sumber-sumber primer menjadi sebuah bingkai waktu atau lokasi yang terbatas. Untuk itu, agar dapat diperoleh gambaran yang lebih luas, maka peneliti perbandingan-kesejarahan menggunakan sumber-sumber sekunder. Contoh sumber-sumber sekunder ini adalah: tulisan dari sejarawan tertentu yang menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mempelajari sumber-sumber primer.

Catatan-catatan kronologis merupakan arsip-arsip atau dokumen-dokumen statistik yang terus dibuat oleh organisasi tertentu. Contohnya: catatan kronologis mengenai setiap pernikahan dan kematian dari tahun 1910 hingga sekarang yang dilakukan oleh sebuah gereja wilayah.

Ingatan merupakan kata-kata atau tulisan individual mengenai masa lalu atau pengalaman mereka berdasarkan kenangan. Namun, karena ingatan ini tidak sempurna, maka seringkali mengalami penyimpangan dari kenyataan. Contohnya: seorang wanita berumur 80-an tahun yang diwawancarai mengenai kehidupannya dalam organisasi Ku Klux Klan.

Keterbatasan dan Keunggulan Penelitian Perbandingan

Penelitian komparatif pada dasarnya tidak memiliki distingsi, baik dalam penggunaan penelitian cross-cultural comparative maupun penelitian yang diadakan dalam satu masyarakat tertentu. Penelitian komparatif memiliki sejumlah keterbatasan antara lain:

  1. Penelitian komparatif lebih sulit, lebih mahal dari segi biaya, dan lebih membutuhkan waktu lebih banyak ketimbang penelitian yang bukan bersifat komparatif.
  2. Kasus penelitiannya lebih terbatas. Para peneliti komparatif jarang menggunakan random sampling. Informasi yang cukup juga tidak tersedia untuk seluruh kira-kira 150 bangsa-bangsa di dunia. Bagian kecil dari nonrandom juga tidak tersedia (misalnya negara-negara miskin, negara-negara nondemokratik, dll).
  3. Penelitian komparatif dapat menggunakan teori tetapi tidak dapat menguji teori itu, serta hanya dapat membuat generalisasi yang terbatas.

Beberapa keunggulan penelitian perbandingan ini adalah:

  1. Lebih merupakan suatu perspektif/ orientasi ketimbang teknik penelitian.
  2. Mengekspos kelemahan dalam disain penelitian dan membantu peneliti meningkatkan kualitas penelitian.
  3. Fokusnya persamaan dan perbedaan antara unit-unit analisis.
  4. Meningkatkan pengukuran dan konseptualisasi.
  5. Memunculkan pertanyaan-pertanyaan baru dan menstimulasi pembentukan teori.

Unit-Unit yang Diperbandingkan

Dalam penelitian perbandingan-kesejarahan, unit-unit analisis yang diperbandingkan adalah kebudayaan terhadap bangsa (culture versus nation) dan Masalah Galton (Galton’s Problem). Untuk kemudahan, banyak para peneliti perbandingan-kesejarahan seringkali menggunakan bangsa-negara (nation-state) sebagai unit analisis penelitian mereka. Unit analisis lain disebut sebagai Galton’s Problem yang dibuat berdasarkan nama Sir Francis Galton (1822-1911). Ketika peneliti membandingkan unit-unit atau karakteristik mereka, mereka menginginkan agar unit-unit itu tidak berbeda tetapi sebenarnya bagian dari unit yang lebih besar, sehingga peneliti akan mencari hubungan palsu (tidak nyata). Misalnya, unit-unitnya adalah negara-negara dan provinsi-provinsi di Kanada, Prancis, dan Amerika Serikat. Peneliti kemudian menemukan hubungan yang kuat antara berbicara dalam bahasa Inggris dengan menjadikan dollar sebagai mata uang, atau berbicara dalam bahasa Prancis dan menggunakan franc sebagai mata uang. Jelas bahwa hubungan itu ada karena unit-unit analisis adalah bagian dari unit yang lebih besar.

Pentingnya Unsur Kesamaan dalam Penelitian Perbandingan Kesejarahan

Unsur-unsur kesamaan dalam penelitian perbandingan kesejarahan adalah penting. Inilah isu dalam membuat perbandingan lintas konteks yang beragam, atau ketika peneliti berada dalam periode waktu atau kebudayaan tertentu, telah dibaca secara benar, dimengerti, dan dikonseptualisasikan dari era atau kebudayaan yang berbeda tersebut. Tanpa adanya kesamaan, maka peneliti tidak dapat menggunakan konsep yang sama atau ukuran yang sama dalam periode historik atau budaya yang berbeda-beda.

Menurut Neuman, kesamaan-kesamaan ini terdiri dari: kesamaan leksikon (penerjemahan kata atau frase yang sama dengan kata lain), kesamaan kontekstual (penerapan konsep atau terminologi dalam berbagai konteks historis), kesamaan konseptual (penggunaan konsep yang sama di berbagai era), dan kesamaan ukuran (kesamaan konsep pada berbagai seting yang berbeda).

Hal-Hal Yang harus diperhatikan

Penggunaan sumber-sumber historis primer kadangkala memunculkan persoalan yang berkaitan dengan etika tertentu. Beberapa di antaranya dirangkum sebagai berikut:

  1. Sulitnya mereplikasi penelitian berdasarkan pada material primer sehingga integritas si peneliti sangat diperlukan.
  2. Hak untuk melindungi privasi seseorang dapat terintervensi dengan adanya hak untuk memperoleh bukti. Jika ada skandal, keturunan seseorang akan berusaha untuk menghancurkan atau menyembunyikan bukti, termasuk presiden.
  3. Harus sensitif terhadap soal budaya dan politik dari interaksi lintas-kultural.
  4. Membangun hubungan baik dengan pemerintah negara yang dikunjungi (host), bukan sebagai mata-mata atau karena suruhan/ tekanan dari pemerintah si peneliti.
  5. Kehadiran atau temuan si peneliti dapat menyebabkan masalah diplomatik berupa kontroversi dari pemerintah negara yang dikunjungi akibat dari pernyataan atau ungkapan simpatik si peneliti.

 

 

Referensi:

Mahoney, James, and Dietrich Rueschemeyer, ed. 2003. Comparative Historical Analysis in the Social Sciences. United Kingdom: Cambridge University Press.

Neuman, W. Lawrence. 2004. Basics of Social Research Qualitative and Quantitave Approaches. United States of America: Pearson Education.

Silalahi, Ulber. 2010. Metode Penelitian Sosial. Bandung: PT Refika Aditama.

 

Continue Reading

PENDEKATAN PERUNDANG-UNDANGAN (STATUTE APPROACH) DALAM PENELITIAN HUKUM

 

  1. DINAMIKA PERKEMBANGAN METODE PENELITIAN HUKUM

Dalam metode penelitian hukum menurut Prof. Dr.Soerjono Soekanto, SH., MA[1] terdiri dari penelitian hukum normatif dan penelitian hukum sosiologis atau empiris. Penelitian hukum normatif terdiri dari penelitian terhadap azas-azas hukum, sistematika hukum, sinkronisasi hukum dan perbandingan hukum. Sedangkan penelitian hukum sosiologis atau empiris merupakan penelitian terhadap identifikasi hukum dan efektifitas hukum dalam dinamika sosial kemasyarakatan. Untuk itu hukum seringkali dihubungkan dengan dinamika kemasyarakatan yang sedang dan akan terjadi.

Namun berbeda menurut Prof. Dr. Peter Mahmud Marzuki, SH., MS., LLM[2] yang menyatakan bahwa penelitian socio-legal research (penelitian hukum sosiologis) bukan penelitian hukum. Menurut beliau penelitian hukum sosiologis maupun penelitian hukum hanya memiliki objek yang sama, yakni hukum. Penelitian hukum sosiologis hanya menempatkan hukum sebagai gejala sosial, dan hukum hanya dipandang dari segi luarnya saja, dan yang menjadi topik seringkali adalah efektifitas hukum, kepatuhan terhadap hukum, implementasi hukum, hukum dan masalah sosial atau sebaliknya. Untuk itu hukum selalu ditempatkan sebagai variabel terikat dan faktor-faktor non-hukum yang mempengaruhi hukum dipandang sebagai variabel bebas.[3] Dalam Penelitian hukum sosiologis untuk menganalisis hipotesa diperlukan data, sehingga hasil yang diperoleh adalah menerima atau menolak hipotesis yang diajukan.

Berbeda menurut beliau dengan penelitian hukum, yang bukan mencari jawaban atas efektifitas hukum, oleh sebab itu beliau menyatakan bahwa dalam penelitian hukum tidak dikenal istilah hipotesis, variabel bebas, data, sampel atau analisis kualitatif dan kuantitatif, yang diperlukan hanya pemahaman tentang Undang-Undang yang ditelaah. Penelitian hukum dilakukan untuk memecahkan isu hukum yang diajukan sehingga hasilnya memberikan preskripsi mengenai apa seyogianya.

Hemat saya tidak perlu harus saling menyalahkan antar satu dan yang lainnya. Namun yang pasti perdebatan tentang Teori Hukum Murni dan Sosiological Yurisprudance (hukum sosiologis) bukan hanya terjadi belakangan ini dan hanya di Indonesia saja. Yang pasti aliran hukum diatas merupakan 2 (dua) pandangan besar yang satu sama lain memiliki cara pandang yang berbeda.[4] Itulah yang kemudian berdampak kepada perdebatan masalah penelitian hukum sebagaimana di jelaskan oleh pakar hukum terkemuka yang ada di Indonesia yang saling berbeda pandangan mengenai metode dalam penelitian hukum.

Aliran hukum positif juga dikenal sebagai aliran legisme. Aliran ini selalu mengidentikkan hukum dengan Undang-Undang, tidak ada hukum di luar Undang-Undang, satu-satunya sumber hukum adalah Undang-Undang. Pandangan-pandangan hukum positif ini dipertahankan oleh Paul Laband, Jellineck, Rudolf von Jherings, Hans Nawiasky, Hans Kelsen dan lain-lain.[5] Aliran hukum positif mulai berkembang di Jerman pada abad pertengahan dan telah banyak berpengaruh di berbagai negara, tidak terkecuali di Indonesia.

John Austin memberikan pengertian dan batasan tentang cakupan ilmu hukum. Pertama, hukum merupakan perintah penguasa, kedua, hukum merupakan sistem logika yang bersifat tetap dan tertutup, ketiga, hukum positif terdiri dari unsur-unsur perintah, sanksi, kewajiban dan kedaulatan, di luar itulah hanyalah moral positif (positive morality).[6]

Pendapat lain lain datang dari Hans Kelsen yang menyatakan ”hukum haruslah dibersihkan dari anasir-anasir bukan hukum, seperti anasir etika, sosiologi, politik dan sebagainya”.[7] Kelsen juga menerangkan bahwa hukum sebagai (sollenskatagori), yaitu hukum sebagai keharusan bukan sebagai (seinskategori) yakni sebagai kenyataan,[8] yakni orang menaati hukum karena sudah perintah negara, untuk itu pelalaian terhadap itu maka akan dikenakan sanksi. Sedangkan ajaran yang juga terkenal dari Hans Kelsen dan sering dijadikan rujukan dalam teori hierarki (tingkatan) norma hukum adalah ajaran ”stufentheory”[9], yakni sistem hukum  pada haikatnya merupakan sistem hierarkis yang tersusun dari peringkat terendah hingga peringkat tertinggi.

Dari pemeparan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pada prinsipnya aliran hukum positif adalah aliran pemikiran hukum yang memberikan penegasan terhadap bentuk hukum (Undang-Undang), isi hukum (perintah penguasa), ciri hukum (sanksi, perintah, kewajiban, dan kedaulatan) dan sistematisasi norma hukum (hierarki norma hukum Kelsen).  Secar implisit aliran ini hakikatnya juga menegaskan beberapa hal:

Pertama, bahwa pembentuk hukum adalah penguasa

Kedua,     bahwa bentuk hukum adalah Undang-Undang; dan

Ketiga      hukum diterapkan terhadap pihak yang di kuasai.

Sangat berbeda dengan sosiological jurisprudence yang merupakan aliran filsafat hukum yang memberi perhatian sama kuatnya terhadap masyarakat dan hukum, sebagai dua unsur utama hukum dalam penciptaan dan pemberlakuan hukum.[10] Itulah yang menyebabkan perbedaan yang tajam antara kalangan pemikir hukum normatif dan kalangan pemikir hukum sosiologis. Karena pemikir hukum sosiologis mendasarkan hukum pada teori tentang hubungan antara kaidah-kaidah hukum dengan kenyataan masyarakat.[11]

Pendasar mazhab ini dapat disebutkan, misalnya Roscoe Pound, Eugen ehrlich, Benyamin Cardozo, Kantorowics, Gaurvitch dan lain-lain.[12] Mazhab ini lebih mengarah pada kenyataan daripada kedudukan dan fungsi hukum dalam masyarakat. Inti dasar prinsip pemikiran mazhab ini adalah hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.[13] Hukum lahir dan berkembang seiring dengan kemajuan zaman, sehingga hukum tidak dapat dipisahkan dari kehidupan  masyarakat. Seperti gejala-gejala peradaban lain, hukum juga dapat ditinjau secara sosiologis, dapat diteliti hubungan ekonomis dan kemasyarakatan apa, aliran bidang kejiwaan kejiwaan apa yang telah menimbulkan pranata hukum tertentu.[14]

Pada prinsipnya ialah sosiological jurisprudence menekankan pada masalah-masalah evaluasi hukum (kualisifikasi hukum yang baik), kedudukan hukum tertulis dan tidk tertulis, fungsi hukum sebagai sarana rekayasa sosial,[15] dengan cara pembentukan hukum yang baik (yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat), dan cara penerapan hukum.

Dari perbedaan dua pandangan besar antara paradigma hukum positif dengan hukum sosiologis, tidak perlu untuk saling menjatuhkan dengan saling menyalahkan antara teori yang satu dengan teori yang lainnya, mengingat kedua-duanya sama-sama memiliki kelebihan dan kekuarangan. Paradigma hukum positif dapat di gunakan untuk mempelajari tentang bentuk hukum (Undang-Undang), isi hukum (perintah penguasa), ciri hukum (sanksi, perintah, kewajiban, dan kedaulatan) dan sistematisasi norma hukum (hierarki norma hukum) sedangkan paradigma hukum sosiologis dapat digunakan untuk mengevaluasi hukum (kualisifikasi hukum yang baik), kedudukan hukum tertulis dan tidk tertulis, sebagai sarana rekayasa sosial, cara pembentukan hukum yang baik (yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat), dan cara penerapan hukum yang efektif.

 

  1. PENDEKATAN DALAM PENELITIAN HUKUM NORMATIF

Terlepas dari perdebatan diatas, namun dalam tulisan ini akan menjelaskan tentang pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam metode penulisan hukum normatif, yaitu cara penulisan yang didasarkan pada analisis terhadap beberapa asas hukum dan teori hukum serta peraturan perundang-undangan yang sesuai dan berkaitan dengan permasalahan dalam penulisan penelitian hukum. Penelitian hukum normatif ini adalah suatu prosedur dan cara penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari segi normatifnya.[16]

Pada umumnya pendekatan masalah yang digunakan dalam penulisan Penelitian hukum normatif adalah terdiri dari 5 (lima) pendekatan yakni pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan Kasus (case approach) dan pendekatan perbandingan (comparative approach).[17] Pendekatan perundang-undangan (statute approach) merupakan penelitian yang mengutamakan bahan hukum yang berupa peraturan perundang-undangan sebagai bahan acuan dasar dalam melakukan penelitian. Pendekatan perundang-undangan (statute approach) biasanya di gunakan untuk meneliti peraturan perundang-undangan yang dalam penormaannya masih terdapat kekurangan atau malah menyuburkan praktek penyimpangan baik dalam tataran teknis atau dalam pelaksanaannya dilapangan. Pendekatan ini dilakukan dengan menelaah semua peraturan perundang-undangan yang bersangkut paut dengan permasalahan (isu hukum) yang sedang dihadapi. Pendekatan perundang-undangan ini misalnya dilakukan dengan mempelajari konsistensi/kesesuaian antara Undang-Undang Dasar dengan Undang-Undang, atau antara Undang-Undang yang satu dengan Undang-Undang yang lain.

Pendekatan konseptual (conceptual approach) merupakan jenis pendekatan dalam penelitian hukum yang memberikan sudut pandang analisa penyelesaian permasalahan dalam penelitian hukum dilihat dari aspek konsep-konsep hukum yang melatarbelakanginya, atau bahkan dapat dilihat dari nilai-nilai yang terkandung dalam penormaan sebuah peraturan kaitannya dengan konsep-konsep yang digunakan. Sebagian besar jenis pendekatan ini dipakai untuk memahami konsep-konsep yang berkaitan dengan penormaan dalam suatu perundang-undangan apakah telah sesuai dengan ruh yang terkandung dalam konsep-konsep hukum yang mendasarinya. Pendekatan ini beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Pendekatan ini menjadi penting sebab pemahaman terhadap pandangan/doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum dapat menjadi pijakan untuk membangun argumentasi hukum ketika menyelesaikan isu hukum yang dihadapi. Pandangan/doktrin akan memperjelas ide-ide dengan memberikan pengertian-pengertian hukum, konsep hukum, maupun asas hukum yang relevan dengan permasalahan.

Pendekatan historis (historical approach) adalah pendekatan yang digunakan untuk mengetahui nilai-nilai sejarah yang menjadi latar belakang serta yang berpengaruh[18] terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah peraturan perundang-undangan. Pendekatan historis (historical approach) ini banyak digunakan untuk meneliti dan menelaah tentang sejarah kaitannya dengan pembahasan yang menjadi topik dalam pembahasan dalam penelitian hukum. Biasanya peneliti menginginkan kebenaran tidak hanya berdasar pada kebenaran yang bersifat dogmatik, akan tetapi menginginkan kebenaran yang bersifat kesejarahan yang terkandung dalam peraturan perundang-undangan. Pendekatan ini dilakukan dalam kerangka untuk memahami filosofi aturan hukum dari waktu ke waktu, serta memahami perubahan dan perkembangan filosofi yang melandasi aturan hukum tersebut. Cara pendekatan ini dilakukan dengan menelaah latar belakang dan perkembangan pengaturan mengenai isu hukum yang dihadapi.

Pendekatan Kasus (case approach) adalah salah satu jenis pendekatan dalam penelitian hukum normatif yang peneliti mencoba membangun argumentasi hukum dalam perspektif kasus konkrit yang terjadi dilapangan, tentunya kasus tersebut erat kaitannya dengan kasus atau peristiwa hukum yang terjadi di lapangan. Untuk itu biasanya jenis pendekatan ini tujuannya adalah untuk mencari nilai kebenaran serta jalan keluar terbaik terhadap peristiwa hukum yang terjadi sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan. Pendekatan ini dilakukan dengan melakukan telaah pada kasus-kasus yang berkaitan dengan isu hukum yang dihadapi. Kasus-kasus yang ditelaah merupakan kasus yang telah memperoleh putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. Hal pokok yang dikaji pada setiap putusan tersebut adalah pertimbangan hakim untuk sampai pada suatu keputusan sehingga dapat digunakan sebagai argumentasi dalam memecahkan isu  hukum yang dihadapi.

Pendekatan perbandingan (comparative approach) merupakan jenis pendekatan yang peneliti mencoba untuk membandingkan baik dengan negara-negara lain maupun dengan peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi dalam satu negara. Untuk itu dalam penelitian ini dikenal dengan 2 Pendekatan perbandingan (comparative approach), yakni pendekatan perbandingan makro (macro comparative approach) serta pendekatan perbandingan mikro (microcomparative approach).[19]  Pendekatan perbandingan makro (macro comparative approach) digunakan untuk membandingkan suatu kejadian atau peristiwa hukum yang terjadi diberbagai negara, sedangkan pendekatan perbandingan mikro (microcomparative approach) hanya membandingkan dalam suatu negara tertentu dalam periode waktu tertentu.

 

  1. PENGGUNAAN PENDEKATAN PERUNDANG-UNDANGAN (STATUTE APPROACH) DALAM PENELITIAN HUKUM

Sesuai dengan tugas yang diberikan kepada kelompok kami, bahwa ditugaskan untuk menelaah pendekatan penelitian hukum dari segi pendekatan perundang-undangan (statute approach). Terdapat beberapa hal yang akan menjadi fokus dalam penggunaan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dalam penelitian hukum, diantaranya adalah :

  1. Harmonisasi dan Sinkronisasi Peraturan Perundang-Undangan

Harmonisasi peraturan perundang-undangan merupakan keserasian antara peraturan perundang-undangan antara yang satu dengan yang lainnya,[20] baik yang berbentuk vertikal (hierarki perundang-undangan) ataupun horizontal (perundang-undangan yang sederajat). Keserasian tersebut, yakni tidak ada pertentangan antara peraturan yang satu dengan yang lainnya, akan tetapi peraturan yang satu dengan yang lainnya saling memperkuat ataupun mempertegas dan memperjelas. Dengan demikian pembuatan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan harmonisasi peraturan perundang-undangan, dengan tidak terlepas dari tiga landasan atau dasar pembuatan peraturan perundang-undangan, yakni; landasan filosofis, landasan yuridis, dan landasan sosiologis.[21]

  • Horizontal

Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah suatu peraturan perundangan-undangan yang berlaku bagi suatu bidang kehidupan tertentu tidak saling bertentangan antara satu dengan lainnya apabila dilihat dari sudut vertikal atau hierarki peraturan perundang-undangan yang ada.[22]

Dalam penelitian ini maka yang ditelaah adalah peraturan perundang-undangan suatu bidang tertentu, didalam perspektif hierarkisnya. Sudah tentu bahwa telaah ini juga harus didasarkan pada fungsi masing-masing perundang-undangana tersebut, sehingga taraf keserasiannya akan tampak dengan jelas. Misalnya, suatu Peraturan Pemerintah yang setingkat lebih rendah dari undang-undang merupakan peraturan yang diciptakan untuk menjalankan atau menyelenggarakan undang-undang.[23]

Dengan demikian dapat pula kita tinjau sebab-sebab terjadinya kasus yang dihadapi sepanjang mengenai hierarki peraturan perundang-undangan tersebut, dari tingkat tertinggi sampai tingkat terendah.[24]

  • Vertikal

Jenis penelitian ini sebagaimana dikutip dari Prof. Soerjono Soekanto[25] bertujuan untuk menggungkap kenyataan sampai sejauh mana perundang-undangan tertentu serasi secara horizontal, yaitu mempunyai keserasian antara perundang-undangan yang sederajat mengenai bidang yang sama. Didalam penelitian mengenai taraf sinkronisasi secara horizontal ini, mula-mula harus terlebih dahulu dipilih bidang yang akan diteliti.[26] Setelah bidang tersebut ditentukan, misalnya bidang pemerintahan daerah, maka dicarilah peraturan perundang-undangan yang sederajat yang mengatur segala aspek tentang pemerintahan daerah tersebut. Aspek-aspek tersebut merupakan suatu kerangka untuk menyusun klasifikasi peraturan perundang-undangan yang telah diseleksi, untuk kemudian dianalisa. Dari hasil analisa akan dapat terungkap, sampai sejauh mana taraf sinkronisasi secara horizontal dari pelbagai macam peraturan perundang-undamgan yang mengatur bidang pemerintahan daerah ini.

Selain mendapatkan data tentang peraturan perundangan-undangan untuk bidang-bidang tertentu secara menyeluruh dan lengkap, maka penelitian dengan pendekatan ini juga dapat menemukan kelemahan-kelemahan yang ada pada peraturan perundangan-undangan yang mengatur bidang-bidang tertentu. Dengan demikian peneliti dapat membuat rekomendasi untuk melengkapi kekurangan-kekurangan, menghapus kelebihan-kelebihan yang saling tumpang tindih, memperbaiki penyimpangan-penyimpangan yang ada, dan seterusnya. Hasil-hasil penelitian ini tidak hanya berguna bagi penegak hukum, akan tetapi juga bagi ilmuwan dan pendidikan hukum.[27]

 

  1. Prosedur Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

Dalam mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum, maka negara berkewajiban melaksanakan pembangunan hukum nasional yang dilakukan secara terencana, terpadu dan berkelanjutan dalam sistem hukum nasional yang menjamin perlindungan hak dan kewajiban segenap rakyat Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.[28]

Berbagai faktor memengaruhi produk hukum di Indonesia dianggap lebih bersifat represif (menindas) dibandingkan responsif. Adapun prosedur pembentukan peraturan yang baik adalah sebagai berikut :

  1. kejelasan tujuan, yaitu bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.
  2. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, yaitu setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang dan dapat dibatalkan atau batal demi hukum bila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang.
  • kesesuaian antara jenis dan materi muatan, yaitu dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan perundang-undangan.
  1. dapat dilaksanakan, yaitu bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan efektifitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis.
  2. kedayagunaan dan kehasilgunaan, yaitu setiap peraturan perundang-undangan dibuat karena memang benarbenar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasayarakat, berbangsa dan bernegara.
  3. kejelasan rumusan, yaitu setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
  • keterbukaan, yaitu dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan.

 

  1. Sistematika Peraturan Perundang-Undangan

Dibentuknya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 didasari dengan pertimbangan bahwa undang-undang sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dirasa masih terdapat kekurangan dan belum dapat menampung perkembangan kebutuhan masyarakat mengenai aturan pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 memang perlu disempurnakan, khususnya materi-materi yang terkait dengan adanya berbagai undang-undang yang memiliki dampak penting bagi pembentukan peraturan perundang-undangan.

Menurut Lampiran Undang-Undang RI No.12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, kerangka peraturan perundang-undangan terdiri atas :[29]

  1. JUDUL
  2. PEMBUKAAN
  3. Frase Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa
  4. Jabatan Pembentuk Peraturan Perundang-undangan
  5. Konsiderans
  6. Dasar, Hukum
  7. Diktum
  8. BATANG TUBUH
  9. Ketentuan Umum
  10. Materi Pokok yang Diatur
  11. Ketentuan Pidana (Jika diperlukan)
  12. Ketentuan Peralihan (Jika diperlukan)
  13. Ketentuan Penutup
  14. PENUTUP
  15. PENJELASAN (Jika diperlukan)
  16. LAMPIRAN (Jika diperlukan)

 

  1. Materi Peraturan Perundang-Undangan

Pengujian peraturan perundang-undangan yang diajukan ke Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, kebanyakan terjadi karena alasan peraturan perundang-undangan tersebut tidak sesuai dengan landasan dan asas-asas peraturan perundang-undangan yang baik, begitu juga dengan materi muatan peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi dan tidak mencerminkan nilai keadilan dalam masyarakat.

Menurut Bagir Manan, ada 3 (tiga) landasan dalam menyusun peraturan perundang-undangan, yaitu : landasan yuridis, landasan sosiologis dan landasan sosiologis.[30] Disamping itu menurut Jimly Asshiddiqie ada 5 (lima) landasan pembentukan peraturan perundang-undangan, yakni :[31]

  1. Landasan filosofis

Undang-undang selalu mengandung norma-norma hukum yang diidealkan (ideal norms) oleh suatu masyarakat kearah mana cita-cita luhur kehidupan bermasyarakat bernegara hendak diarahkan

  1. Landasan Sosiologis

Setiap norma hukum yang dituangkan dalam undang-undang haruslah mencerminkan tuntutan kebutuhan masyarakat sendiri akan norma hukum yang sesuai dengan realitas kesadaran hukum masyarakat

  1. Landasan Politis

Dalam konsiderans harus pula tergambar adanya sistem rujukan konstitusional menurut cita-cita dan norma dasar yang terkandung dalam UUD 1945 sebagai sumber kebijakan pokok atau sumber politik hukum yang melandasi pembentukan undang-undang yang bersangkutan

  1. Landasan Yuridis

Dalam perumusan setiap undang-undang, landasan yuridis haruslah ditempatkan dalam konsiderans mengingat

  1. Landasan Administratif

Dasar ini bersifat fakultatif sesuai dengan kebutuhan, terdapat dalam konsiderans dengan kata memperhatikan. Landasan ini berisi pencantuman rujukan dalam hal adanya perintah untuk mengatur secara administratif.

Sedangkan asas materi muatan peraturan perundang-undangan, sebagai berikut:[32]

  1. Pengayoman
  2. Kemanusiaan
  3. Kebangsaan
  4. Kekeluargaan
  5. Kenusantaraan
  6. Bhinneka Tunggal Ika
  7. Keadilan
  8. Kesamaan kedudukan dalam hukum

dan pemerintahan

  1. Ketertiban dan kepastian hukum
  2. Keseimbangan, keserasian dan keselarasan

Selain itu juga terdapat materi muatan yang bersifat khas bagi suatu Undang-Undang di Indonesia sebagaimana dirangkum oleh Maria Farida Indrati diantaranya :[33]

  1. Hal yang tegas-tegas diperintahkan oleh UUD dan Tap MPR
  2. Hal yang mengatur lebih lanjut ketentuan UUD
  3. Hal yang mengatur pembatasan dan pengurangan Hak-hak Asasi Manusia
  4. Hal yang mengatur hak dan kewajiban Warga Negara
  5. Hal yang mengatur pembagian kekuasaan Negara di tingkat pusat
  6. Hal yang mengatur organisasi pokok lembaga-lembaga Tertinggi/Tinggi Negara
  7. Hal yang mengatur pembagian wilayah/daerah Negara
  8. Hal yang mengatur menetapkan siapa warga Negara dan bagaimana cara memperoleh/kehilangan kewarganegaraan
  9. Hal lain yang oleh suatu undang-undang dinyatakan untuk diatur dengan Undang-Undang

Meskipun secara teori dan peraturan perundang-undangan telah mengatur secara tegas mengenai landasan dan asas peraturan perundang-undangan yang baik, namun tidak jarang kita temui adanya peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan asas peraturan perundang-undangan yang baik. Alhasil, bermunculan gugatan pengujian formil maupun materil terhadap peraturan perundang-undangan yang telah disahkan dan diundangkan oleh pemerintah.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

                [1] Dalam buku ini Soerjono lebih menekankan pada metode penelitian empiris, meskipun juga disinggung diawal bab tentang penelitian hukum normative. Baca Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 2006,, Hal.51

 

                [2] Peter Mahmud adalah ahli hukum Indonesia yang menolak metode penelitian hukum empiris, bahkan dia menyatakan bahwa penelitian hukum empiris bukanlah suatu penelitian hukum. Baca Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta, 2005, Hal. 87 – 91

 

                [3] Apabila dilihat secara kasat mata, Pemikiran Peter Mahmud hampir sama dengan pemikiran Hans Kelsen yang akan dibahas pada uraian dibawah ini. Baca Peter Mahmud Marzuki, Ibid, Hal. 87

                [4] Otje Salman menjelaskan dengan rinci mengenai perbedaan-perbedaan pandangan tersebut, akan tetapi bukan diperuntukkan mencari mana yang paling benar atau tidak benar. Baca Otje Salman dan F. Susanto, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung, 2005, Hal. 46

 

                [5] Lily mengumpulkan pemikir hukum yang beraliran positivisme juga yang beraliran sosiologis.  Baca Lily Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, Hal. 56

                [6] Moral positif yang dimaksud keberlakukannya tidak bersifat universal serta tidak mengikat masyarakat. Baca Lily Rasjidi dan I.B Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, CV. Mandar Maju, Bandung 2003, Hal. 119-120

 

                [7] Adegium tersebut sangat terkenal, sehingga menjadi doktrin bagi kalangan terpelajar dibidang hukum. Baca Hans Kelsen, Pure Theory Of Law, Berkely: Unibersity California Press 1978, Hal. 1

 

                [8] Hans Kelsen, General Theory Of Law And State, Terjemahan Somardi, Bee Media Indonesia, Jakarta, 2007, Hal. 202-203

 

                [9] Untuk lebih paham secara mendetail mengenai hierarki norma hukum Kelsen, silakan baca Hans Kelsen, Op Cit, Hal. 165-169

                [10] Lily Rasjidi dan I.B Wyasa Putra, Op Cit, Hal. 121

 

                [11] J.J.H. Bruggink, Rechts Refflectie, Grondbegrippen Uit De Rechtstheory, Alih Bahasa B. Arief Sidharta, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, Hal. 163

 

                [12] Lily Rasjidi, Op Cit, Hal. 66

 

                [13] Lily Rasjidi,, Ibid, Hal. 66

 

                [14] Paul Scholten, De Struktuur Der Rechtswetenschap, Alih Bahasa B. Arief Sidharta, P.T Alumni, Bandung, 2005, Hal. 6

 

                [15] Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Prenada Media, Jakarta, 2005, Hal. 3

                [16] Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media Publishing, Malang, 2006, Hal.57

 

                [17] Untuk lebih lebih jelasnya tentang macam-macam pendekatan dalam penelitian hukum normatif bandingkan Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), Rajawali Pers, Jakarta, 2001, Hal. 14 dengan Peter Mahmud Marzuki, Op Cit, Hal. 93-137 dan Johnny Ibrahim, Op Cit, Hal. 299-321

[18] S. Nasution, Metode Research (Penelitian Ilmiah) usulan Tesis, Desain Penelitian, Hipotesis, Validitas, Sampling, Populasi, Observasi, Wawancara, Angket, (PT. Bumi Aksara, Jakarta, Cetakan ke-4, 2011), Hal. 16

[19] C.F.G Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad ke-20, (Bandung : Penerbit Alumni, cetakan ke-2, 2006) 139

[20] L.M. Gandhi, Harmonisasi Hukum Menuju Hukum Yang Responsif, Makalah, yang disampaikan pada Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap FH-UI, 1995,  hal 4-5.

 

[21] Kusnu Goesniadhie, Harmonisasi Hukum Dalam Persfektif perundang-undangan; Lex Specialis Suatu Masalah, (Surabaya; JP Books, 2006), hal. 100.

 

[22] Untuk memperjelas tentang hierarki yang berlaku di Indonesia, sialakan lihat Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

[23] Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Op. Cit hal 79

 

[24] Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum , Op. Cit hal 257

 

[25] Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Op Cit, hal 74

 

[26] Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Op.cit, hal 257

[27] Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Rajawali Press, 1997), hal 97

[28] Romli Atmasasmita,  Moral dan Etika Pembangunan Hukum Nasional: Reorientasi Politik Perundang-undangan, Makalah disampaikan dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII di Bali, 14-18 Juli 2003.

[29] Lampiran Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

[30] Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-undangan di Indonesia, Jakarta, 1992 Hal.14

 

[31] Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang Di Indonesia, Sekretariat Jenderal MK, 2006Hal.170-174

[32] Bandingkan Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-Undangan, Jenis, Fungsi dan Materi Muatannya, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2007, Hal. 253-254. dengan Yuliandri, 2007, Disertasi yang berjudul : Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Baik Dalam Rangka Pembuatan Undang-Undang Berkelanjutan, Program Pascasarjana, Universitas Airlangga, Surabaya, Hal. 165. Juga terdapat dalam UU No. 11 Tahun 2012, Ibid, Pasal 6

[33] Hal sebagaimana terurai dalam naskah Pidato Pengukuhan sebagai Guru Besar Tetap dalam bidang Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Baca Maria Farida Indrati, Pemahaman Tentang Undang-Undang Indonesia setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945,  Naskah Pidato Pengukuhan sebagai Guru Besar Tetap dalam bidang Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 28 maret 2007, Hal. 8

Continue Reading

NURANI KEADILAN ‘LES MISERABLES’

Dalam konteks ini saya akan membahas dari perspektif pemeran sentral dari masing-masing tokoh yang ada pada karya sastra yang berjudul “Les Miserables” dihubungkan dengan dasar kefilsafatan dalam upaya mencari nilai-nilai ensitas kearifan dan kebenaran perspektif pandangan beberapa tokoh filsafat. Adapun tokoh pemeran sentral dalam karya sastra tersebut adalah :

  • Jean Valjean/Monsieur Madeline (Walikota)

Pada dasarnya Jean Valjean merupakan orang baik, akan tetapi dikarenakan keterpaksaan demi membantu dan menolong keluarganya yang sedang membutuhkan pertolongan. Sikap tanggung jawab Jean Valjean ditunjukkan pada saat didalam penjara beliau tetap berusaha untuk memberikan yang terbaik untuk keluarganya, meskipun cara yang dilakukannya adalah jalan yang tidak tepat, yakni melalui jalan mencuri. Namun hal yang harus digaris bawahi bahwa nurani manusia tetaplah nurani manusia,[1] dia akan selalu sejalan dengan kebaikan, akan tetapi kondisi dan situasi menuntut yang lain, misalnya kebutuhan, kemiskinan dan hal lain yang mempengaruhi nurani untuk memaksa berbuat demi mempertahankan diri dan kelompoknya.

Hal itu dapat dibuktikan pada saat Jean Valjean diangkat menjadi Walikota, beliau memerintah dengan begitu arifnya, suka membantu yang lemah dan lain sebagainya. Dengan demikian sebenarnya membuktikan bahwa Jean Valjean merupakan orang yang baik, namun dikarenakan kondisi sosial ekonomi yang melatarbelakanginya,[2] dia terpaksa melakukan hal yang sebenarnya tidak baik untuk dikerjakan. Untuk itu sebenarnya diperlukan campur tangan Pemerintah untuk menyediakan ruang demi terciptanya lapangan pekerjaan yang layak untuk mengurangi nilai masyarakat yang berada dibawah kemiskinan.

Hidup di tengah kemiskinan Jean Valjean memaksa nuraninya untuk berbuat yang bertentangan dengan Nurani sebenarnya. Kemiskinan merupakan salah satu masalah terbesar dunia sekarang ini. Banyak orang hidup dengan pendapatan yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya sebagai manusia. Akibatnya, mereka terancam oleh kekurangan gizi, penyakit, dan beragam penderitaan hidup lainnya. Kemiskinan tidak hanya merusak raga manusia, tetapi juga mengancam jiwanya.

Ketika manusia kekurangan gizi, karena tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk memperoleh makanan yang layak, ia terancam oleh dua hal.[3] Pertama adalah oleh penyakit dan berbagai bentuk kelemahan biologis manusia lainnya. Kedua adalah dirinya sendiri, yakni insting bertahan hidup manusia yang bisa mendorongnya untuk melakukan apapun, termasuk tindakan paling ganas dan merusak terhadap orang lain, untuk mempertahankan hidupnya.

Secara filosofis, rumpun penjelasan yang dari waktu ke waktu terlibat serius memperdebatkan identitas genetis dari kemiskinan pertama-tama datang dari liberalisme, yang melihat kemiskinan lebih sebagai persoalan individual. Sebagai sistem filsasat, liberalisme meyakini satu kebenaran yaitu bahwa dalam posisi asalinya manusia adalah pemilik kebebasan sempurna, otonom, penolak segala hal menyakitkan. Dengan antropologi filsafat semacam ini maka situasi kemiskinan atau a state of being poor ditolak sebab fasilitas untuk merasakan kesakitan dinyatakan sudah built in di dalam diri individu.[4] Demikian posisi liberal. Sebagai implikasinya, kemiskinan –yang kini sudah bisa dijelaskan sebagai pemicu defisit kebahagiaan individual– dilihat sebagai external impuls yang mengancam keamanan rantai pasokan basic human needs orang per orang. Keterangan filosofis seperti ini kita dapatkan dari Thomas Hobbes dan John Locke. Dari Hobbes kita juga memetik satu pelajaran penting bahwa suplay energi resistensi terhadap situasi poverty diperoleh dari susunan logika hak pemeliharaan diri (right of self presevation).[5] Dari Locke kita pun mendapatkan silogisme filosofis yang relatif serupa, yakni daya tolak pada kondisi kemiskinan pertama-tama datang dari, dan kemudian harus diletakkan sebagai bagian tak terpisahkan dari hak individual. Hak individual ini selanjutnya ia sebut dalam istilah “property rights”, meliputi life, liberty dan estate. Dalam perkembangannya dua jenis hak pribadi ini menjadi fundamental filsafat ekonomi politik liberal, yaitu bahwa supremasi hak-hak individual mendahului segala teknik pengaturan sosial ekonomi politik. Dengan basis naratif seperti ini maka tak mengherankan jika segala upaya pengatasan terhadap situasi kemiskinan kerap dibebankan pada sistem ekonomi yang mengakomodir kompetisi kepentingan diri. Di level sistem politik, negara pun diminta menahan diri untuk tidak mencampuri urusan yang secara naratif terlanjur dianggap ‘terlalu pribadi’ ini.

Dari liberalisme kita memperoleh insight filosofis yang humanis dalam menangani persoalan kemiskinan. Yaitu dalam prosesnya usaha ini mesti memperlihatkan keberpihakannya pada kebebasan, menjunjung tinggi otonomi dan meletakkan perlawanan terhadap kemiskinan sebagai bagian integral dari hak individual. Melalui pembacaan kembali terhadap segi-segi humanis-emansipatif dari liberalisme kita juga makin memahami bahwa kebebasan, otonomi, dan kepentingan diri merupakan identitas intrinsik manusia. Dengan demikian maka sistem ekonomi-politik yang mengakomodir kecenderungan-kecenderungan itu bisa dipastikan turut menyumbang pada pemajuan dan pengutamaan manusia. Sampai di sini, pendekatan competitive market economy (yang dasarnya tak lain dari doktrin supremasi hak-hak individual) masih relevan dan diperlukan, dari sisi manapun kita bermaksud melihatnya.[6]

Kendati demikian, liberalisme pun pada gilirannya mesti berhadapan dengan keterbatasan-keterbatasan naratifnya. Hal ini lebih tepat diartikan bahwa memang benar manusia membutuhkan kebebasan dan otonomi ketika berkompetisi memenuhi berbagai kepentingan diri, dan karenanya memerlukan afirmasi dari sistem politik serta fasilitasi secukupnya didalam sistem ekonomi yang mengakomodir pembawaan alamiahnya. Namun apakah hanya itu aggregat kuantitatif dari dimensi kualitatif manusia itu? Inilah pertanyaan terbesarnya. Sejauh yang kita perhatikan, value[7] ‘kompetisi kepentingan diri’ yang terakomodir didalam competitive market economy justru dianggap biang keladi dari makin menjadinya keserakahan manusia. Keserakahan inilah yang kemudian dijelaskan sebagai faktor pencipta sifat hubungan non-manusiawi yang eksploitatif. Bahkan penemuan serta kemajuan teknologi pun disebut-sebut ikut larut memperdalam jurang kesenjangan ekonomi yang berakibat pada terbentuknya konfigurasi situasi ketidakadilan sosial. Artinya, dengan semata mengandalkan pendekatan sistem ekonomi yang mengakomodasi kompetisi kepentingan diri, plus dukungan dari sistem politik yang mendalilkan negara mesti berjarak, hak ‘setiap’ individu untuk terbebas dari situasi scarcity tidak lantas terpenuhi—bahkan dengan faktor kemajuan teknologi sekalipun. Situasi naratif ini pada akhirnya membawa filsafat pada perenungan mendalam untuk kembali mempertanyakan presisi dari bermacam pendekatan sistemik yang dasarnya normativitas supremasi hak individual tadi.

Sejauh yang bisa kita ikuti, kritik akademis terhadap adaptability dari sistem pikir liberalisme pertama-tama datang dari sosialisme. Secara filosofis, kalangan sosialis memulai kritiknya dengan menyebut bahwa manusia memiliki dimensi kualitatif lain, yaitu bahwa secara sosial manusia tak mungkin terus menerus hidup secara solitary.[8] Di sini, berbeda dengan liberalisme yang memandang individualisme sebagai ‘the highest truth’, maka sosialisme melihat kolektivitas didalam masyarakat manusia sebagai ‘axiomatic truth’. Dua titik berangkat mengenai siapa itu manusia yang saling berlainan (yang secara naratif terlanjur diceraikan ini) pada gilirannya turut membentuk suatu kontras ideal kemasyarakatan yang berbeda, dengan pendekatan sistem ekonomi politik yang juga saling berseberangan. Ideal kemasyarakat versi sosialisme itu ialah suatu konfigurasi masyarakat tanpa kelas, yang bertumpu pada prinsip kolektivitas, terarah perwujudan cita-cita keadilan sosial. Adapun sistem ekonomi-politik yang dipilih sebagai pendekatan ialah sistem ekonomi sosialis. Yaitu sistem ekonomi non-kapitalis yang bertumpu pada peran negara, yang merencanakan ekonomi secara terpusat.

Pilihan pendekatan sistemik sebenarnya didasari oleh satu pandangan spesifik mengenai asal usul situasi kemiskinan dalam tradisi pikir marxisme klasik. Karl Marx meyakini bahwa alienasi merupakan sumber utama ketimpangan sosial dan kemiskinan.[9] Lokasi alienasi berada didalam momen produksi, dimana para pekerja tereksklusi dari mode produksi dominan. Kondisi alienasi merujuk pada terkucil atau terasingnya seorang pekerja dari hasil kerjanya. Sebagai akibat dari keterasingan itu seluruh surplus value dari hasil kerja yang dihasilkan kelas pekerja mengalir ke kelas borjuis yang menguasai alat produksi. Dengan demikian penyebab utama alienasi, dan pada gilirannya kemiskinan, sebenarnya tersembunyi dalam konsepsi ‘hak milik pribadi’. Inilah yang dimaksud marxisme dengan structural roots of poverty, yaitu kemiskinan yang pertama-tama lebih banyak disebabkan struktur ekonomi dalam mode produksi historis tertentu. Sebagai jalan keluarnya, sosialis umumnya setuju dengan konsensus yang menganjurkan penghapusan institusi hak milik pribadi. Penghapusan hak milik pribadi diandaikan akan memungkinkan distribusi sumber daya berlangsung secara lebih merata, sehingga jurang ketimpangan sosial bisa dikikis, yang dengan itu agenda keadilan sosial dilanjutkan. Bertumpu pada bangunan naratif seperti itu maka kita bisa memahami alasan sosiologis dibalik mengapa kalangan sosialis pada akhirnya menjatuhkan pilihan pada sistem ekonomi yang mengedepankan metode kepemilikan kolektif. Di ranah politik, kaum sosialis memposisikan negara sebagai perencana yang mengorganisir ekonomi secara terpusat.

Dalam praktiknya, sistem ekonomi sosialisme mengalami kegagalan yang pahit. Ironisnya, sumber utama kegagalan itu disebut-sebut terletak pada kelebihan utamanya, yaitu metode central planning itu sendiri. Perencanaan terpusat ditujukan untuk menciptakan kesamaan dan mempersempit jurang ketimpangan sosial. Hal ini dilakukan dengan mendalilkan bahwa properti dan seluruh means of production harus dikuasai secara kolektif.[10] Negara sendiri merupakan representasi resmi dari yang-kolektif ini. Namun, alih-alih tercipta keadilan sosial, yang justru terjadi adalah raibnya kebebasan individu, tirani, kediktatoran dan inefiensi. Di ranah ekonomi, perencanaan terpusat menyebabkan hilangnya sistem insentif yang dibutuhkan bagi kemajuan ekonomi. Sebagai perbandingan, dalam sistem ekonomi kapitalistik, insentif memainkan peranan yang sangat besar. Insentif tersebut antara lain muncul dari sistem harga, untung-rugi dan hak kepemilikan pribadi. Harga pasar memberi informasi tentang kelangkaan relatif dan secara efisien mengkoordinasikan aktivitas ekonomi. Sistem untung-rugi membuat kompetisi terjadi, dan menghasilkan mekanisme disiplin yang mendorong efisiensi ekonomi. Sementara hak kepemilikan pribadi memberi insentif yang dibutuhkan agar ekonomi terus tumbuh. Sebaliknya, di bawah sistem ekonomi sosialisme, peranan insentif sepenuhnya diabaikan. Hilangnya berbagai insentif ini sebenarnya merupakan implikasi dari pandangan antropologis sosialisme yang menganut ordoksi bahwa manusia adalah mahluk kolektif. Dengan kalimat lain, fundamentalisme pada normativitas kolektif inilah yang secara naratif ‘membunuh’ individualisme dan seluruh sistem ekonomi politik yang berakar pada pandangan itu. Di titik ini, kritik mendalam terhadap kegagalan sistem ekonomi sosialisme mestilah dipusatkan pada fundamentalisme kolektivitas, atau kecenderungan sistem ini yang memberi perhatian terlalu besar pada kolektivitas sehingga menafikan seluruh pembawaan individualistik manusia. Pendeknya, sistem ini gagal mengakomodir nature atau kecenderungan alamiah dari manusia itu sendiri. Kendati demikian, ada satu hal yang nampak begitu jelas dari sosialisme, yaitu bahwa isu pemerataan dan keadilan sosial membutuhkan keterlibatan negara.

Di titik ini kita sudah menemukan, bahwa baik competitive market economy maupun sistem central planning pada dasarnya sama-sama berusaha melayani kecenderungan alamiah manusia. Sistem ekonomi kapitalistik memberi kemanusiaan peluang untuk bersaing di dalam kerangka kerja pasar ekonomi dalam usaha untuk keluar dari situasi kemiskinan.[11] Sementara sistem ekonomi sosialistik hadir dengan skema perencanaan ekonomi yang terpusat, dengan tujuan penciptaan keadilan sosial. Namun, sebagaimana juga kita saksikan, competitive market economy membuat kemanusiaan jatuh pada persaingan individu yang menyebabkan kendurnya ikatan solidaritas sesama manusia, sementara central planning memang menguatkan solidaritas namun kehilangan berbagai insentif yang dibutuhkan ekonomi agar bisa bekerja menciptakan keadilan sosial.

Merespons situasi ini, sosial demokrasi menawarkan pendekatan baru dalam menangani kemiskinan. Berdasar sekuens waktunya sosial demokrasi pertama-tama merupakan respon kritis terhadap dua rumpun penjelasan sebelumnya. Di tahap berikutnya sosial demokrasi berusaha mengajukan jalan keluar yang bersifat eclectic. Dilakukan dengan menyandingkan dua kelebihan utama dari dua pendekatan paradigmatik yang nampak tak terdamaikan ini. Ringkasnya, sosial demokrasi mengakomodir competitive market economy (yang dasarnya tak lain dari doktrin kebebasan individual) sembari dalam saat yang sama berusaha menunjukkan keutamaan ‘peran negara’ dalam menciptakan keadilan sosial dengan cara mengorganisir dan mengarahkan yang-ekonomi supaya berperan efektif sebagai pasok kesejahteraan bagi segenap warganya. Dalam praktiknya, sosial demokrasi sebagai sistem ekonomi politik bertumpu pada peranan pasar yang dibarengi dengan peranan aktif negara dalam meregulasi pasar dan dengan mempromosikan program-program welfare yang bersifat universal. Sosial demokrasi memahami pemberantasan kemiskinan tidak bisa hanya melibatkan pasar atau negara saja. [12]

Dalam pandangan sosial demokrasi, utamanya dalam jalur pikiran Pierro Straffa (1926), kemiskinan memang merupakan perjuangan kelas, namun lokusnya sendiri terletak pada sirkulasi alih-alih didalam momen produksi. Pandangan Straffa ini sendiri sebenarnya dibangun dari model ekonomi politik David Ricardo, yang dikombinasikan dengan pandangan Marxist dan Neo-Klasik sekaligus. Disini Straffa meyakini bahwa teori ekploitasi buruh memang benar, namun ia juga memandang keliru asumsi neo-klasik yang mengandaikan tidak adanya koersi di dalam transaksi pasar. Di sisi lain, berbanding terbalik dengan Marx, ia berpandangan bahwa perjuangan kelas tidak terletak pada antagonisme di dalam momen produksi, melainkan pada proses distribusi. Dengan susunan argumen ini, apa yang sebenarnya dimaksud oleh Straffa adalah bahwa perjuangan kelas kini tidak lagi hanya bisa dilakukan didalam momen produksi, namun juga bisa diperluas ke ranah perjuangan politik dimana proses distribusi atas komoditi dimediasi. Implikasi terpenting dari cara pandang tersebut adalah tata produksi kapitalisme tidak perlu ditinggalkan sebab kemiskinan bisa dieliminasi melalui perjuangan di ranah politik. Secara paradigmatik, sosial demokrasi berpandangan bahwa kemampuan kelas pekerja dalam meraih bagian yang fair dari total produksi sosial merupakan kunci yang menentukan peningkatan mutu kualitas hidupnya.

Selain Straffa, di jalur pikir ini ada beberapa pemikir lain, salah satunya Amrtya Sen. Sen secara umum mengajukan pikiran bahwa social entitlement merupakan metode untuk mereduksi kemiskinan. Ia percaya bahwa pasar tidak dapat melakukan tugas untuk mendistribusikan kemakmuran sendirian. Oleh karena itu negara perlu turut serta mengambil peran. Hal ini terutama dibasiskan pada pandangannya bahwa didalam masyarakat modern negara bersifat terbuka bagi seluruh warga. Sebagai implikasinya, bagi Sen, tidak terlampau penting mendiskusikan kelas, yang lebih penting ialah membicarakan akses ke dalam negara itu sendiri. Dalam mereduksi kemiskinan, Sen berargumen bahwa tekanan terhadap negara yang dilakukan oleh kelompok yang secara formal tidak berada di dalam lingkup kekuasaan sangat menentukan keberhasilan agenda pengentasan kemiskinan. Di titik ini, sama halnya dengan kalangan sosial demokrat, Sen percaya bahwa struktur masyarakat modern yang telah sedemikian terbuka bisa dimanfaatkan untuk memitigasi dampak kemiskinan dengan cara menciptakan lebih banyak social entittlement untuk seluruh warga negara.

Mahatma Gandhi pernah merumuskan tujuh dosa sosial. Salah satunya adalah kekayaan, tanpa kerja keras, misalnya karena warisan, menipu, atau korupsi. Saya ingin menambahkan setidaknya satu dosa sosial lainnya, yakni kemiskinan, walaupun orang sudah bekerja keras. Kemiskinan struktural adalah dosa sosial yang harus diakhiri.

Cara paling ampuh untuk memerangi kemiskinan adalah menciptakan kesamaan kesempatan untuk setiap orang (die gleichen Gelegenheiten). Artinya, setiap orang, apapun ras, jenis kelamin, agama, ataupun latar belakangnya, berhak untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu dan tanpa biaya, atau setidaknya amat murah. Disini, pendidikan, seperti dinyatakan oleh Anies Baswedan, adalah tangga sosial untuk naik ke tingkat ekonomi maupun sosial yang lebih tinggi. Kesetaraan kesempatan bukanlah kesetaraan mutlak (absolute Gleichheit), dimana setiap orang diperlakukan secara sama, tanpa peduli perbedaan mereka.

Untuk memerangi kemiskinan, pemerintah, bekerja sama dengan seluruh bagian masyarakat, harus berusaha untuk menciptakan kesetaraan kesempatan bagi setiap warganya, supaya bisa meningkatkan dirinya melalui kerja keras. Inilah, pada hemat saya, hal yang paling penting di dalam politik.

 

  • Pastur

Melalui sikap yang ditunjukkan oleh seorang pastur yang berusaha membantu Jean Valjean, meskipun sempat dicuri barang-barang berharganya oleh Jean Valjean, aka tetapi pastur menunjukkan kearifan dan kebijakannya. Dia sangat matang sekali melihat fenomena hidup dan kehidupan sehingga mampu memberikan efek yang signifikan terhadap kesadaran hidup seorang manusia. Sang Jean Valjean yang awalnya memiliki sikap yang tidak baik dikarenakan factor-faktor sosial ekonomi mampu diretas oleh usaha-usaha dan pendidikan karakter oleh sang Pastur, hingga pada akhirnya Jean Valjean tersadarkan dan mampu kembali pada fitrah hidup yang sebenarnya.

Pastur memberikan gambaran akan esensi hidup dan kehidupan yang sebenarnya. Di dalam proses kehidupan manusia pasti terjadi beberapa fenomena alam yang terjadi.[13] manusia akan dihadapkan dengan beberapa masalah hidup yang kian terus menerus menghadangnya. Seperti diketahui semesta alam yang begitu luas dan mungkin tak terbatas tidaklah mudah untuk dipahami, belum lagi manusia akan dihadapkan oleh beberapa masalah hidup dalam mempertahankan hidupnya di dunia sebagai makhluq hidup yang mempunyai berbagai kepentingan dan mempunyai berbagai kebutuhan yang kompleks.

Manusia pada dasarnya dilahirkan ke dunia sebagai bayi yang tidak dapat berbuat apa-apa tanpa pertolongan orang lain.mereka memerlukan bantuan orang lain untuk dapat memepertahankan hidupnya. Dalam hidupnya manusia akan dihadapkan kepada beberapa kemungkinan. Apa yan dibawanya sejak lahir merupakan potensi dasar yang masih harus dikembangkan dalam lingkungan melalui bantuan pihak lain, berupa pendidikan. Untuk dapat memilih dan melaksanakan cara-cara hidup yang baik dalam berbagai masalah kehidupan,manusia harus mendapatkan pendidikan. Oleh karena itu, pendidikan merupakan suatu keharusan bagi manusia.

Dengan pendidikan manusia akan berkembang menjadi manusia yang lebih dewasa. Karena pendidikan merupakan suatu upaya mendewasakan manusia yaitu membimbing agar menjadi manusia yang bertanggungjawab. Dengan tanggungjawab manusia akan menunjukkan adanya kesadaran normatif pada dirinya, dimana dia menyadari dan membedakan mana perbuatan yang baik dan buruk.dengan itu mereka telah membuktikan akan adanya kata hati dan hati nurani mereka.

Proses kehidupan manusia juga tidak bisa lepas dari pemikiran-pemikiran manusia akan suatu hal atau fenomena yang terjadi. Di dalam diri manusia terdapat akal pikiran yang senantiasa bergolak dan berpikir, karena akal pikiran tersebut dan dikarenakan oleh situasi dan kondisi alam dimana dia hidup selalu berubah-ubah dan penuh dengan peristiwa-peristiwa penting bahkan terjadi dengan dahsyat, yang kadang-kadang tidak kuasa untuk menentang dan menolaknya, menyebabkan manusia itu tertegun, termenung, memikirkan segala hal yang terjadi disekitar dirinya. Dan disini pemikiran secara filsafati akan membawa manusia iti menuju kesuatu keputusan yang bijaksana. Karena filsafat melatih kita untuk menjadi manusia yang bijaksana, arif dan percaya diri. Dalam kompleksnya kehidupan manusia, manusia dituntut untuk menjadi manusia yang bijaksana dan bertanggungjawab. Oleh karena itu tidak kita pungkiri tentang adanya hubungan yang erat anatara manusia, filsafat dan pendidikan dalam kehidupan manusia untuk tetap dapat mempertahankan hidupnya di dunia.

Kondisi geografi yang tenang, keadaan sosial-ekonomi dan politik yang damai memungkinkan orang berpikir bijak, memunculkan filsuf yang memikirkan bagaimana keadilan itu sebenarnya, akan kemana hokum diberlakukan bagi seluruh anggota masyarakat, bagaimana ukuran objektif hukum berlaku secara universal yang berlaku untuk mendapatkan penilaian yang tepat dan pasti. Perkembangan filsafat hukum di Romawi tidak sepesat di Yunani, karena filosof tidak hanya memikirkan bagaimana ketertiban harus berlaku tetapi juga karena wilayah Romawi sangat luas serta persoalan yang dihadapi cukup rumit.[14] Untuk membangun kondisi ini diperlukan pemikiran yang mendalam “apakah keadilan, dimana letak keadilan serta bagaimana membangun keadilan itu? Keadilan dibentuk oleh pemikiran yang benar, dilakukan secara adil dan jujur serta bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan. Rasa keadilan dan hukum harus ditegakkan berdasarkan Hukum Positif untuk menegakkan keadilan dalam hukum sesuai dengan realitas masyarakat yang menghendaki tercapainya masyarakat yang aman dan damai.

Keadilan harus dibangun sesuai dengan cita hukum (rechtidee) dalam Negara hukum (rechtsstaat), bukan negara kekuasaan (machtsstaat). Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia, penegakkan hukum harus memperhatikan 4 unsur :

  1. Kepastian hukum (rechtssicherkeit)
  2. Kemanfaat hukum (zeweckmassigkeit)
  3. Keadilan hukum (gerechtigkeit)
  4. Jaminan hukum (doelmatigkeit)[15]

Penegakan hukum dan keadilan harus menggunakan jalur pemikiran yang tepat dengan alat bukti dan barang bukti untuk merealisasikan keadilan hokum dan isi hukum harus ditentukan oleh keyakinan etis, adil tidaknya suatu perkara. Persoalan hukum menjadi nyata jika para perangkat hukum melaksanakan dengan baik serta memenuhi, menepati aturan yang telah dibakukan sehingga tidak terjadi penyelewengan aturan dan hukum yang telah dilakukan secara sistematis artinya menggunakan kodifikasi dan unifikasi hukum demi terwujudnya kepastian hukum dan keadilan hokum.

Pada dasarnya manusia menghendaki keadilan, manusia memiliki tanggung jawab besar terhadap hidupnya, karena hati nurani manusia berfungsi sebagai index, ludex, dan vindex.[16] Proses reformasi menunjukkan bahwa hukum harus ditegakkan demi terwujudnya supremasi hukum dalam rangka menegakkan kebenaran dan keadilan sesuai dengan tujuan hukum: Ketertiban, keamanan, ketentraman, kedamaian, kesejahteraan, kebenaran dan keadilan. Pemikiran filosofis keadilan yang berkaitan dengan filsafat hukum berkaitan erat dengan pemikiran John Rawls mengungkapkan 3 faktor utama yaitu :

  1. perimbangan tentang keadilan (Gerechtigkeit)
  2. kepastian hukum (Rechtessisherkeit)
  3. kemanfaatan hukum (Zweckmassigkeit).[17]

Keadilan berkaitan erat dengan pendistribusian hak dan kewajiban, hak yang bersifat mendasar sebagai anugerah Ilahi sesuai dengan hak asasinya yaitu hak yang dimiliki seseorang sejak lahir dan tidak dapat diganggu gugat. Keadilan merupakan salah satu tujuan sepanjang perjalanan sejarah filsafat hukum. Keadilan adalah kehendak yang ajeg, tetap untuk memberikan kepasa siapapun sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat dan tuntutan jaman.

Para ilmuwan dan filosof memberikan pengertian keadilan berbeda-beda sesuai dengan pandangan dan tujuannya:

  1. Aristoteles, keadilan adalah kebajikan yang berkaitan dengan hubungan antar manusia: keadilan legalis, distributif dan komutatif.
  2. Thomas Aquinas, keadilan terbagi 2 yaitu keadilan umum (justitia generalis) dan keadilan khusus (justitia specialis)
  3. Friedmann, keadilan yang diformulasikan Aristoteles merupakan kontribusi pengembangan filsafat hukum, beliau membedakan keadilan menjadi tiga: keadikan hukum, keadilan alam dan keadilan abstrak dan kepatutan.
  4. Notohamidjojo, membagi keadilan menajdi 3 yaitu keadilan kreatif (iustitia creativa), keadilan protektif (iustitia protetiva) dan keadilan sosial (iustitia socia)
  5. Rouscoe Pound, keadilan 2 bagian : keadilan bersifat yudicial dan keadilan administrative
  6. John Rawl, keadilan adalah keadaan keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan bersama
  7. Paul Scholten, keadilan tidak boleh bertentangan dengan hati nurani, hokum tanpa keadilan bagaikan badan tanpa jiwa.[18]

Penerapan Filsafat Hukum dalam kehidupan bernegara mempunyai variasi yang beraneka ragam tergantung pada filsafat hidup bangsa (Wealtanchauung) masing-masing. Di dalam kenyataan suatu negara jika tanpa ideologi tidak mungkin mampu mencapai sasaran tujuan nasionalnya sebab negara tanpa ideologi adalah gagal, negara akan kandas di tengah perjalanan. Filsafat Hidup Bangsa (Wealtanchauung) yang lazim menjadi filsafat atau ideologi negara, berfungsi sebagai norma dasar (groundnorm) (Hans Kelsen, 1998: 118). Nilai fundamental ini menjadi sumber cita dan asas moral bangsa karena nilai ini menjadi cita hukum (rechtidee) dan paradigma keadilan, makna keadilan merupakan substansi kebermaknaan keadilan yang ditentukan oleh nilai filsafat hidup (wealtanchauung) bangsa itu sendiri (Soeryono S., 1978: 19).

Permasalahan Filsafat hukum yang muncul dalam kehidupan tata Negara yang berkaitan dengan Hukum dan Kekuasaan bahwa hukum bersifat imperatif, agar hukum ditaati, tapi kenyataannya hukum dalam kehidupan masyarakat tidak ditaati maka hukum perlu dukungan kekuasaan, seberapa dukungan kekuasaan tergantung pada tingkat “kesadaran masyarakat”, makin tinggi kesadaran hokum masyarakat makin kurang dukungan kekuasaan yang diperlukan. Hukum merupakan sumber kekuasaan berupa kekuatan dan kewibawaan dalam praktek kekuasaan bersifat negatif karena kekuasaan merangsang berbuat melampaui batas, melebihi kewenangan yang dimiliki. Hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah dholim. Hukum mempunyai hubungan erat dengan nilai sosial budaya. Hukum yang baik adalah hukum yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, masyarakat berubah tak dapat dielakkan dan perubahan itu sendiri dipertanyakan nilai-nilai mana yang dipakai

Di dalam perubahan pasti ada hambatan antara lain: (a) nilai yang akan dirubah ternyata masih relevan dengan kepribadian Nasional, (b) adanya sifat heterogenitas dalam agama dan kepercayaan yang berbeda, (c) adanya sikap masyarakat yang tidak menerima perubahan dan tidak mempraktekkan perubahan yang ada. Penegakan hukum dan keadilan harus menggunakan jalur pemikiran yang tepat dengan alat bukti dan barang bukti untuk merealisasikan keadilan hokum dan isi hukum harus ditentukan oleh keyakinan etis, adil tidaknya suatu perkara. Persoalan hukum menjadi nyata jika para perangkat hukum melaksanakan dengan baik serta memenuhi, menepati aturan yang telah dibakukan sehingga tidak terjadi penyelewengan aturan dan hukum yang telah dilakukan secara sistematis, artinya menggunakan kodifikasi dan unifikasi hukum demi terwujudnya kepastian hukum dan keadilan hukum.

Kasus yang menimpa Jean Valjean, terjadi karena aparat hukum terlalu berpatokan pada teks yang tertulis dalam Peraturan. Hal ini tidak salah, namun berisiko mencederai rasa keadilan di masyarakat. Aparat seharusnya tak hanya mengeja atau membaca teks Peraturan. Aparat mestinya juga menggunakan pendekatan hati nurani dan akal sehat. Sebab, ketika aparat hanya mengacu pada teks undang-undang, keadilan yang didapat masyarakat hanya bersifat formal. Berbeda dengan ketika menggunakan akal sehat dan hati nurani, yang didapat adalah keadilan substansial. Penggunaan akal sehat dan hati nurani dalam hukum. Aparat hukum bisa menghentikan suatu kasus jika merasa, ketika kasus dibawa ke tingkat lebih tinggi, justru akan melukai rasa keadilan. Di kepolisian dikenal adanya diskresi, yakni penghentian perkara pidana selama penyidikan. Adapun di kejaksaan dikenal istilah deponering atau penghentian perkara demi kepentingan umum.

Jadi memang korelasi antara filsafat hukum dan keadilan sangat erat, karena terjadi tali temali antara kearifan, norma dan keseimbangan hak dan kewajiban. Hukum tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat dan negara, materi hukum digali, dibuat dari nilai-nilai yang terkandung dalam bumi pertiwi yang berupa kesadaran dan cita hukum (rechtidee), cita moral, kemerdekaan individu dan bangsa, perikemanusiaan, perdamaian, cita politik dan tujuan negara. Hukum mencerminkan nilai hidup yang ada dalam masyarakat yang mempunyai kekuatan berlaku secara yuridis, sosiologis dan filosofis. Hukum yang hidup pada masyarakat bersumber pada Hukum Positif, yaitu :

  1. Undang-undang (Constitutional)
  2. Hukum kebiasaan (Costumary of law)
  3. Perjanjian Internasional (International treaty)
  4. Keputusan hakim (Jurisprudence)
  5. Doktrin (Doctrine)
  6. Perjanjian (Treaty)
  7. Kesadaran hukum (Consciousness of law).[19]

Tata rakit antara filsafat hukum dan keadilan, dengan filsafat sebagai induk ilmu (mother of science), adalah untuk mencari jalan keluar dari belenggu kehidupan secara rational dengan menggunakan hukum yang berlaku untuk mencapai keadilan dalam hidupnya. Peranan filsafat Hukum tak pernah selesai, tidak pernah berakhir karena filsafat Hukum tidak menyelidiki satu segi tetapi tidak terbatas objeknya, namun filsafat Hukum tetap setia kepada metodenya sendiri dengan menyatakan semua di dunia ini tidak ada yang abadi yang tetap hanya perubahan.

 

  • Javert (Inspektur Polisi)

Jevert terjebak pada sebuah penegakan hukum normative, ambisi untuk menaklukkan hukum normative dengan menjalankan sepenuhnya perintah Undang-Undang terbukti dengan konsisten melakukan penangkapan terhadap Jean Valjean dan berusaha secara keras untuk dapat menaklukkan sesuai dengan perintah Undang-Undang dan atasan. Hukum normative bagi Jevert merupakan suatu keharusan yang harus dilaksanakan. Untuk itu dia berjuang dengan sekuat tenaga apapun rintangan yang dihadapinya. Akan tetapi pada akhirnya Jevert merasa sadar bahwa hukum normative tidak mampu mengalahkan hati nuraninya yang terus berkecamuk melihat realitas yang tidak sesuai dengan pengertian hukum dalam perundang-undangan, hingga pada akhirnya dia merasa tidak mampu menahan pertentangan antara hukum dan logika moral nurani dalam jiwanya, sehingga menceburkan diri kedalam sungai Seine.

Apabila dihubungkan dengan metode filsafat, maka Jevert dapat dikategorikan penganut positivisme. Aliran positivisme ini sebenarnya banyak dipengaruhi oleh dua ahli hukum terkemuka, yakni Jeremy Bentham[20] dan John Austin[21] yang mengemukakan Command Theory, serta teori konvensi social oleh Hans Kelsen[22] dan Hart[23]. Namun pada tulisan ini akan lebih banyak dibahas dari perspektif Positivisve yang diajarkan Hans Kelsen dan muridnya Adolf Merkl dan Hans Nawiasky.

Dua teori besar Hans Kelsen, pertama ajaran yang bersifat murni, sedangkan yang kedua adalah berasal dari muridnya Adolf Merkl adalah Stufenbau des Recht yang mengutakan adanya hierarkis dari perundang-undangan. Dari unsur etis Hans Kelsen tidak memberikan tempat bagi berlakunya suatu hukum alam, etika memberikan penilaian tentang baik dan buruk, Kelsen menghindari diri dari yang demikian itu. Dari unsur sosiologis ajaran Kelsen tidak memberik tempat bagi hukum kebiasaan yang hidup dan berkembang di masyarakat.

Hans Kelsen dalam teorinya yakni teori hukum Murni adalah keinginan untuk membebaskan ilmu hukum dari anasir-anasir atau unsur-unsur social, ekonomi, politik, budaya dan lain sebagainya. Hukum diwajibkan bebas nilai, dan harus terbebas dan tidak tercemari oleh unsur-unsur yang bersifat ideologis. Keadilan menurut Kelsen dipandang sebuah konsep ideologis. Ia melihat dalam keadilansebuah ide yang tidak rasional dan teori hukum murnitidak dapat menjawab tentang pertanyaan apa yang membentuk keadilan, karena pertanyaan ini tidak dapat dijawab secara ilmiah. Jika keadilan harus diidentikkan dengan legalitas, dalam arti tempat, keadilan berarti memelihara sebuah tatanan (hukum) positif melalui aplikasi kesadaran atasnya.

Teori hukum murni ini menurut Kelsen adalah sebuah teori hukum yang bersifat positif. Sehingga kemudian dapat disimpulkan bahwa teori hukum ini ingin berusaha menjawab pertanyaan tentang “apa hukum itu?” tetapi bukan pertanyaan “apa hukum itu seharusnya”. Teori ini mengkonsentrasikan pada hukum saja dan menginginkan lepas dengan ilmu pengetahuan yang lainnya, dengan atas dasar bahwa ilmu hukum berdiri sendiri dan merupakan sui generis.[24] Kelsen sekali lagi ingin memisahkan pengertian hukum dari segala unsur yang berperan dalam pembentukan hukum seperti unsur-unsur psikologi, sosiologi, sejarah, politik, dan bahkan juga etika.[25] Semua unsur ini termasuk ide hukum atau isi hukum. Isi hukum tidak pernah lepas dari unsur politik, psikis, social budaya dan lain-lain. Sehingga pengertian hukum menurut Hans Kelsen adalah hukum dalam konteks formalnya, yaitu sebagai peraturan yang berlaku secara yuridis, itulah hukum yang benar menurut perspektif teori hukum murni (das reine Recht)

Pandangan positivism juga menganggap bahwa kewajiban yang terletak pada kaidah hukum adalah kewajiban yang bersifat yuridis, hal itu dikarenakan karena kaidah hukum termasuk pada keharusan ekstern, yaitu karena ada paksaan atau ancaman apabila tidak mentaati, dikarenakan dasar dari hukum adalah undang-undang dasar negara, dalam relasi itulah maka terdapat ada yang memberi perintah dan ada yang mentaati perintah.

Pandangan kedua adalah kewajiban dari ektern, yakni dorongan dari batin bahwa yang demikian itu merupakan kewajiban yang harus ditaati. Kewajiban yuridis itulah dianggap sebagai dorongan kewajiban yang tidak dapat terelakkan. Han Kelsen juga mengatakan bahwa hukum dapat mewajibkan secara batin, hal itu dikarenakan adanya kewajiban yuridis, dan memang demikian pengertian hukum. Sehinga peraturan yang tidak normative tidak masuk akal maka tidak dapat dikatakan hukum.[26] Immamuel Kant mengatakan bahwa kelsen berpendapat bahwa kewajiban hukum termasuk dalam pengertian transedental-logis[27]. Menurut Kant ada norma dasar (grundnorm)[28] bagi moral (yang berbunyi : berlakulah sesuai dengan suara hatimu), maka menurut Hans Kelsen dalam hukum juga terdapat norma dasar yang harus dianggap sebagai sumber keharusan dibidang hukum. Norma dasar (grundnorm) tersebut berbunyi : orang-orang harus menyesuaikan dirinya dengan apa yang telah ditentukan.

Ajaran yang kedua menurut Hans Kelsen adalah ajaran tentang norma hukum (stufentheori)[29], dimana ia berpendapat bahwa norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi. Demikian seterusnya sampai pada suatu norma dasar (Grundnorm). Teori jenjang norma hukum Hans Kelsen ini diilhami oleh seorang muridnya yang bernama Adolf Merkl yang mengemukakan bahwa suatu norma hukum harus selalu mempunyai dua wajah (das Doppelte Rechtsanlitz), yakni norma hukum itu keatas ia bersumber dan berdasar pada norma diatasnya, tetapi kebawah juga menjadi dasar bagi norma yang ada dibawahnya.

[1] Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Renungan Tentang Filsafat Hukum, Jakarta, Rajawali, 1982, hlm.83.

[2] Andi Hamzah memberikan pengertian tentang factor-faktor seseorang melakukan perbuatan pidana. Lihat, Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Di Indonesia, Edisi Revisi, Jakarta, Sinar Grafika, , 1996, hlm. 251.

 

[3] Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum, Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum,  Bandung, Alumni, 2000, hlm.  4.

[4] Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Bandung, Nuansa dan  Nusamedia, 2004, hal 239.

 

[5] Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam lintasan sejarah, cet VIII, Yogyakarta: kanisius, 1995 hlm. 196

[6] Pan Mohamad Faiz, Teori Keadilan John Rawls, dalam Jurnal Konstitusi, Volue 6 Nomor 1 (April 2009), hlm. 135.

 

[7] John Rawls, A Theory of Justice, London: Oxford University press, 1973, yang sudah diterjemahkan dalam bahasa indonesia oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori Keadilan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2006.

 

[8] Kahar Masyhur, Membina Moral dan Akhlak, Jakarta, Kalam Mulia, 1985, hlm.71.

[9] David L. Harvey dan Michael Reed, “Paradigms of Poverty: a Critical Assessment of Contemporary Perspective”, dalam International Journal of Politics, Culture and Society, Volume 6, No 2, 1992, hal: 283

[10] Pierro Straffa, Production of Commodities by Commodities: Prelude to a Critique of Economic Theory, (Cambridge: Cambridge University Press, 1960).

[11] Amartya Sen, Freedom and Famine, (The New York Review Book: 1990).

[12] Adam Smith, An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations, (New York: Modern Library, 1776);  David Ricardo, On the Principles of Political: Economy and Taxation, (Cambridge: Cambridge University Press, 1917); Robet M. Solow, “Technical Change and the Aggregate Production Function”, dalam Review of Economics and Statistics, 1957.

[13] Simon Kuznets lebih dikenal dengan penemuannya tentang efek pertumbuhan ekonomi terhadap distribusi pendapatan (kurva U terbalik), dimana pada negara yang relatif miskin pertumbuhan ekonomi akan menambah disparitas antara orang kaya dan orang miskin, dan sebaliknya di negara maju, dalam Simon Kuznets, Modern Economic Growth,  (New Haven: Yale University Press, 1966).

[14] Theo Huijbers, Lintasan Filsafat Hukum, Liberty, Yogyakarta : 1982: 31

[15] Dardji Darmodihardjo, Ilmu Hukum, Sinar Harapan, 2002: hal 36

 

[16] Poedjawijatna, Hukum dalam Pembangunan, Bulan Bintang, 1978: 12

[17] Soetandyo, Hukum dan Metode, Pustaka Huma, Jakarta 2002: 18

[18] Tasrif, Filsafat Ilmu, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1987: 39

[19] Sudikno M, Mengenal Hukum, Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1988: 28

[20] Dalam bukunya yang terkenal Jeremy Bentham, The Theory of Legislation, NM Tripathi Private Limited, Bombay, 1979

 

[21] Buku yang terkenal adalah Austin, The Province of Jurisprudence Determined, (1832) Lecture VI (edisi 1954)

 

[22] Buku yang spektakuler dari Hans Kelsen, Pure Theori of Law, Berkely: University California Press, 1978. Atau ada lagi Hans Kelsen, Geberal Theory Law And State, The School of Law of The New York University, 1937

[23] Karya agung H.L.A Hart, The Concept of Law, New York: Clanrendon Press-Oxford, 1997

[24] Dikatakan sui generis dikarenakan Ilmu Hukum adalah merupakan ilmu jenis sendiri, diakatakan jenis sendiri dikarenakan ilmu hukum dengan kualitas ilmiah sulit dikelompokkan dalam salah satu cabang pohon ilmu. Untuk mengetahui lebih lanjut masalah ini, sialakan baca Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, Hal 1-3

 

[25] Untuk memperjelas masalaha ini, baca : Hans Kelsen, Pure Theori of Law, Berkely: University California Press, 1978, Hal 5-13

 

[26] Pandangan itulah yang kemudian menjadi dasar dalam teori ini yang kemudian disebutkan sebagai teori hukum Murni, karena hukum adalah undang-undang, dan bukan yang lain.

 

[27] Yaitu mewajibkan harus diterima sebagai syarat yang tidak dapat dielakkan untuk mengerti hukum sebagai hukum

[28] Grundnorm merupakan norma dasar yang menjadi pijakan oleh norma-norma yang ada dibawahnya. Lebih lanjut baca : Benyamin Akzin, Law, State, and International Legal Order: Essays in Honor of Kelsen, Knokville, The University of Tennesse, 1964, Hal 3-5

 

[29] Stufentheori adalah menyatakan bahwa norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi.

Continue Reading

REFLEKSI PERKEMBANGAN DINAMIKA PERAN DAN FUNGSI KOMISI YUDISIAL MENUJU PERADILAN YANG BERSIH DAN BERWIBAWA

  

  1. PENDAHULUAN

Pemikiran tentang pemisahan kekuasaan dipengaruhi oleh teori John Locke (1632-1704) seorang filosof Inggris yang pada tahun 1690 menerbitkan buku “Two Treties on Civil Government”. Dalam bukunya itu John Locke mengemukakan adanya tiga macam kekuasaan di dalam Negara yang harus diserahkan kepada badan yang masing-masing berdiri sendiri, yaitu kekuasaan legislative (membuat Undang-Undang), kekuasaan eksekutif (melaksanakan Undang-Undang atau yang merupakan fungsi pemerintahan) dan kekuasaan federatif (keamanan dan hubungan luar negeri).[1]

Negara republik indonesia mengenal adanya lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif dalam UUD 1945 dengan melaksanakan pembagian kekuasaan (distribution of power) antara lembaga-lembaga negara. Kekuasaan lembaga-llembaga negara tidaklah di adakan pemisahan yang kaku dan tajam, tetapi ada koordinasi yang satu dengan yang lainnya.

Sebagai negara demokrasi, pemerintahan Indonesia menerapkan teori trias politika. Trias politika adalah pembagian kekuasaan pemerintahan menjadi tiga bidang yang memiliki kedudukan sejajar. Ketiga bidang tersebut yaitu :[2]

  1. Legislatif bertugas membuat undang undang. Bidang legislatif adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
  2. Eksekutif bertugas menerapkan atau melaksanakan undang-undang. Bidang eksekutif adalah presiden dan wakil presiden beserta menteri-menteri yang membantunya.
  3. Yudikatif bertugas mempertahankan pelaksanaan undang-undang. Adapun unsur yudikatif terdiri atas Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK).

Mahkamah Agung memiliki perananan yang sangat vital di sistem peradilan Indonesia. Peranan tersebut ialah Mahkamah Agung memegang kekuasaan kehakiman bagi badan peradilan yang berada di bawahnya. Pada Undang Undang Dasar 1945 Amandemen ke – IV Pasal 24 memberikan kekuatan bagi Mahkamah Agung, bahwa sejatinya “ Mahkamah Agung adalah sebagai penguasa kekuasaan kehakiman disamping Mahkamah Konstitusi, bagi 4 Peradilan di Indonesia, Peradilan Umum, Peradilan Negara, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Dijelaskan selanjutnya pada Pasal 24 A ayat (1) , Mahkamah Agung memiliki peranan mengadili pada tingkat kasasi ; menguji peraturan perundang-undangan terhadap undang-undang. Sedangkan pada pasal 14 ayat (1), Mahkamah Agung memberikan pertimbangan perihal grasi dan rehabilitasi yang diajukan oleh Presiden.

Kekuasaan kehakiman tidak lagi menjadi satu-satunya pelaku kekuasaan kehakiman (judicial power), karena di sampingnya ada Mahkamah Konstitusi yang juga berfungsi sebagai pelaku kekuasaan kehakiman. Ketiga, adanya lembaga baru yang bersifat mandiri dalam struktur kekuasaan kehakiman, yaitu Komisi Yudisial yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Keempat, adanya wewenang kekuasaan kehakiman dalam hal ini dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi untuk melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar (UUD), memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemiliham umum (pemilu).

Dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 disebutkan bahwa “Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.” Dari pasal tersebut, dapatlah kita lihat kewenangan yang dimiliki oleh Komisi Yudisial yang merupakan konteks reformasi peradilan, yakni pertama, mengusulkan pengangkatan hakim agung, yang sebelumnya pengangkatan hakim agung tidak melalui mekanisme yang transparan dan melibatkan masyarakat serta cenderung sesuai dengan selera penguasa, kedua, wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, yang intinya adalah merupakan bagian dari proses pengawasan kekuasaan kehakiman agar mampu juga mempertanggungjawabkan kemandirian dan indepensi yang dimilikinya.

 

  1. KEDUDUKAN KOMISI YUDISIAL DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA

Komisi Yudisial  adalah lembaga Negara yang dibentuk dalam rumpun kekuasaan kehakiman yang ditetapkan oleh undang-undang dasar 1945 yang telah diamandemen yaitu  pada bab kekuasaan kehakiman yaitu pasal 24B UUD 1945. ide pembentukan  lembaga yang berfungsi mengawasi kekuasaan kehakiman sebenarnya sudah lama muncul. Berawal dari tahun 1968 muncul ide pembentukan Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH). Namun ide tersebut tidak berhasil dimasukkan dalam undang-undang tentang Kekuasaan Kehakiman. Baru pada tahun 1998 muncul kembali dan menjadi wacana yang semakin kuat dan solid sejak adanya desakan penyatuan atap bagi hakim, yang tentunya memerlukan pengawasan eksternal dari lembaga yang mandiri agar cita-cita untuk mewujudkan peradilan yang jujur, bersih, transparan dan profesional dapat tercapai. Atas dasar itulah pada amandemen UUD 1945 yang ketiga munculah pasal yang menjelaskan komisi yudisial pada bab kekuasaan kehakiman.

Walaupun berada dalam satu rumpun kekuasaan kehakiman, komisi yudisial bukan lembaga pemegang kekuasaan kehakiman melainkan hanya sebagai lembaga yang menunjang tehadap pelaksanaan tugas kekuasaan kehakiman atau dapat disebut sebagai supporting institution.

Didalam UUD 1945 komisi yudisial terdapat dalam pasal 24B UUD 1945 yang mempunyai wewenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Dalam masalah pengawasan hakim dilihat posisi KY yang terdapat pada pasal 24B UUD 1945 yang dipandang hanya terkait dengan ketentuan pasal 24A UUD 1945 yang jadi dapat dikatakan maksud pengawasan hakim disini ialah pengawasan terhadap hakim agung. Namun, didalam undang-undang nomor 22 tahun 2004 tentang komisi yudisial hakim konstitusi juga dimasukkan kedalamnya. Ketentuan ini mengakibatkan lumpuhnya kedudukan Mahkamah Konstitusi dalam menghadapi kenyataan timbulnya persengketaan kewenangan konstitusional antara Mahkamah Agung dan KY. Oleh karena itu diadakanlah judicial review oleh MK yang menghasilkan putusan MK No. 005/PUU-IV/2006 yang memangkas kewenangan KY tersebut menyatakan perilaku hakim konstitusi tidak lagi menjadi objek pengawasan oleh komisi yudisial. Disamping itu, dipastikan pula bahwa komisi yudisial sebagai supporting institution. Pandangan MK dari putusan tersebut bahwa KY hanyalah supporting institution dapat diterima dalam kaitannya dengan kekuasaan kehakiman dalam artian KY bukanlah lembaga pemegang kekuasaan kehakiman seperti MA dan MK. Akan tetapi, dapatlah ditegaskan bahwa sebagai lembaga pengawas eksternal kedudukan KY bukan supporting melainkan dapat juga disebut sebagai main institution. Oleh sebab itu,sebagai lembaga Negara kedudukan KY tidaklah di bawah MA maupun MK,tetapi tugas dan wewenangnya tetaplah bersifat penunjang bagi kekuasaan kehakiman.

Pengawasan KY terhadap para hakim dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,keluhuran dan martabat para hakim mempunyai peranan penting dalam membangun system peradilan yang baik. Menurut Prof. Jimly ashidiqie Demokrasi tidak mungkin dapat tumbuh dan berkembang tanpa diimbangi dan dikontrol oleh rule of law yang bertumpu pada system kekuasaan kehakiman yang dapat dipercaya, Untuk menjaga dan membangun kepercayaan atau confidence building itu maka diperlukan satu lembaga tersendiri yang menjalankan upaya luhur itu.

Peranan KY disini ialah sebagai lembaga pengawas kode etik hakim atau lembaga penegak kode etik hakim bukan sebagai lembaga pengawas peradilan atau lembaga kekuasaan kehakiman. Karena kekuasaan kehakiman itu bersifat bebas dan merdeka jadi KY tidak dapat mengawasi sampai ke ranah teknis yustisialnya hal ini sesuai dengan pasal 22 ayat (3)  UU No 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Jadi KY bertugas mengawasi para pelaksanaan kode etik dan perilaku menyimpang dari para hakim dari standart kode etik sebelum pelanggaran kode etik itu berkembang menjadi pelanggaran hukum sehingga terciptanya system peradilan yang baik tanpa adanya unsur judicial corruption.

Kita juga dapat melihat wewenang lain dari KY yaitu mengusulkan pengangkatan hakim agung kepada DPR. Dalam melaksanakan wewenang itu  KY menurut pasal 14 UU No 2 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial mempunyai tugas : a. melakukan pendaftaran calon hakim agung, b. melakukan seleksi terhadap calon hakim agung, c. menetapkan calon hakim agung, d. mengajukan calon hakim agung ke DPR. Dari tugas KY ini berpengaruh terhadap terciptanya system peradilan yang bersih apabila dalam seleksi pencalonan hakim agung tersebut berjalan benar-benar dengan baik.karena dengan hakim agung yang berkualitas tentu dapat peradilan dapat berjalan dengan baik, bersih, dan terpercaya.insya Allah.

Oleh karena kedudukan Komisi Yudisial sebagai lembaga Negara mempunyai peranan penting yang secara tidak langsung pasti akan berpengaruh terhadap upaya membangun system peradilan yang baik yang dapat dipercaya dan terbebas dari praktik KKN serta masalah-masalah mafia peradilan. Maka keberhasilan Komisi Yudisial dalam menjalankan tugasnya juga penting dalam memberantas mafia peradilan. Oleh karena itu dibutuhkan pimpinan dan anggota KY yang benar-benar terkualifikasi dan memliki integritas untuk menjalankan tugas Komisi Yudisial ini dengan baik. Maka dalam seleksi pimpinan Komisi Yudisial sebaiknya panitia seleksi (Pansel) dan DPR benar-benar serius dalam melakukan pemilihan calon pimpinan Komisi Yudisial,Calon pimpinan Komisi Yudisial harus benar-benar orang yang terseleksi karena kualitas dan integritasnya bukan karena ada kepentingan-kepentingan lain.

  • KOMISI YUDISIAL SEBAGAI BENTENG PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA

Negara Indonesia adalah negara hukum, demikian bunyi Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Konsekwensi pernyataan itu menunjukkan bahwa hakim sebagai pejabat negara dalam mengemban tugasnya haruslah juga didasarkan kepada aturan-aturan hukum yang berklaku. Dalam menyelesaikan perkara melalui pengadilan tentunya harus mempedomani ketentuan-ketentuan hukum acara yang berlaku di Pengadilan,  baik  itu yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Segala alur proses pemeriksaan harus pula sesuai dengan hukum. Hakim tidak boleh menyimpangi ketentuan-ketentuan hukum acara kecuali yang dibenarkan oleh hukum itu sendiri.

Setiap perkara yang diajukan oleh masyarakat ke pengadilan tidak ada alasan bagi hakim untuk menolaknya, disamping itu hakim diwajibkan pula untuk membantu masyarakat pencari keadilan agar proses pemeriksaan perkaranya dapat dilakukan dengan lancar, tanpa berpihak kepada salah satu pihak yang berperkara. Seperti membantu pembuatan dan penyusunan surat gugatan. Keberadaan peradilan bertujuan untuk menyelesaikan sengketa yang timbul di antara anggota masyarakat. Sengketa yang terjadi, berbagai ragam. Ada yang berkenaan dengan pengingkaran atau pemecahan perjanjian (breach of contract), perceraian, pailit, sengketa perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad), sengketa hak milik (property right), penyalahgunaan wewenang oleh penguasa yang merugikan pihak-pihak tertentu. Semuanya ini mengharapkan suatu penyelesaian dari hakim agar dapat memberikan suatu putusan yang adil dan dapat diterima oleh semua pihak.

Untuk memberikan suatu putusan dalam suatu perkara tidak semudah membalikkan telapak tangan, sebelum pengambilan putusan hakim haruslah terlebih dahulu melakukan proses pemeriksaan perkara sesuai dengan ketentuan hukum acara, yang salah satunya adalah acara pembuktian. Proses pembuktian adalah sangat menentukan dalam hakim untuk sampai pada kesimpulannya dalam hal pengambilan suatu  putusan, mulai dari beban pembuktian sampai alat-alat bukti yang dikemukakan oleh para pihak adalah merupakan persoalan hukum, yang harus diperhatikan oleh hakim karena beban pembuktian itu merupakan persoalan yang tidak mudah, karena tidak ada satu pasal pun di dalam hukum acara yang mengatur secara tegas tentang pembagian beban pembuktian.

Dalam praktek, para hakim memerlukan ketelitian dan kebijaksanaan untuk menentukan pihak mana yang perlu diberi beban pembuktian lebih dahulu dan selanjutnya. Ada satu pasal yang mengatur beban pembuktian, yaitu pasal 163 HIR, 283 RBg. Tetapi ketentuan pasal ini tidak begitu jelas, karena itu sulit untuk diterapkan secara tegas, apakah beban pembuktian itu ada pada pihak penggugat atau pada pihak tergugat. Kesalahan dalam memberikan beban pembuktian adalah menjerumuskan pihak yang dibebani pembuktian  kejurang kekalahan, hal ini pasti keadilan tidak akan pernah tercapai, akibatnya putusan hakim menjadi putusan yang tidak adil.

Kesalahan-kesalahan hakim dalam pengambilan putusan dalam suatu perkara mengakibatkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan sangat rendah. Banyak sekali putusan hakim yang sudah memiliki kekuatan pasti tidak dapat dilaksanakan eksekusinya, karena mendapat perlawanan dari masyarakat. Kridibilitas lembaga peradilan kita dalam pandang masyarakat memang sangat rendah dalam beberapa tahun belakang ini, ini disebabkan oleh beberapa paktor, antara lain yang sangat dominan adalah faktor perilaku penegak hukum itu sendir termasuk di dalamnya hakim itu sendiri disamping penegak hukum yang lainnya, baik hakim pada tingkat Pengadilan Negeri maupun ditingkat tertinggi sekali yaitu Mahkamah Agung.

Mafia peradilan tidak asing lagi bagi telinga masyarakat, kepercayaan terhadap keadilan yang diciptakan melalui badan peradilan yang dinamakan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung itu terasa sirna bila kita mendengar, melihat dan mebaca berita yang disuguhkan melalui masmedia. Mahkamah Agung sebagai tameng terakhir untuk mendapat keadilan tercemar oleh sekelompok pedagang keadilan yang tidak bertanggung jawab. Kesadaran hukum adalah suatu tuntutan dalam penegakan hukum, tidak hanya tuntutan ini ditujukan kepada masyarakat saja,  tetapi juga kepada penegak hukum itu sendiri. Kesadaran hukum masyarakat tidak ada gunanya bila tidak diimbangi dengan pengetahuan hukum itu sendiri, demikian pula sebaliknya pengetahuan hukum sudah cukup dan kesadaran hukum sudah tinggi tidak ada artinya kalau tidak dimbangi oleh perilaku yang tidak manis dari petugas hukum itu sendiri.

Kita menyadari bahwa kesadaran dan pengetahuan hukum masyarakat kita sangat rendah, terutama di daerah-daerah. Terlepas dari itu seyogianya setiap aparatur hukum yang terkait di dalam penegakan hukum haruslah memberikan penjelasan yang benar atas setiap persoalan hukum yang terjadi di dalam masyarakat yang awam akan mengerti serta memahami tentang hukum yang mengikat setiap tingkah laku mereka sehari-hari. Pekerjaan ini tidak mudah dan tidak pula murah.Tetapi  masyarakat harus diberikan penyuluhan terhadap hukum, agar rakyat tahu tentang hukum itu.

Dalam suatu lingkungan masyarakat tidak jarang para anggotanya memiliki berbagai kepentingan yang satu sama lain saling bertentangan, sehingga dalam mempertahankan kepentingannya itu mereka dapat terlibat dalam pertentangan-pertentangan yang dapat membahayakan ketertiban dan keamanan masyarakat. Dengan begitu eksistensi, dan pengetahuan hukum masyarakat  diperlukan untuk mencegah timbulnya bahaya-bahaya yang mampu meresahkan kehidupan masyarakat sehingga setiap anggota masyarakat merasa aman dan tentram karena memperoleh suatu perlindungan hukum.

Hukum yang baik belum tentu dapat dilaksanakan dengan baik apabila pelaksana hukumnya tidak menguasai hukum dengan baik, demikian juga jika pelaksana hukum memiliki penguasaan hukum yang sangat baik juga tidak akan menghasilkan keputusan hukum yang baik jika mental atau moral penegak hukumnya tidak baik. Akan sempurna jika penegak hukum menguasai materi hukum dengan baik dan memiliki moral yang baik, inilah hakim yang didambakan oleh masyarakat.

Kemampuan untuk menguasai hukum akan terpenuhi jika pelaksana hukum dalam kehidupan sehari-harinya selalu mentaati hukum. Ketidak taatan kepada hukum hanya akan menghasilkan penegak-penegak hukum yang otoriter, yang dengan kekuasaannya menekan anggota masyarakat untuk mentaati hukum menurut seleranya sendiri. Sikap yang demikian jelas bertentangan dengan hukum. Oleh karena itu untuk meningkatkan citra dan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan ditanah air ini, penegak-penegak hukum haruslah orang-orang yang mengusai hukum sendiri, dan juga bermoral  dan beriman. Sehingga dalam penerapan hukum ia dapat berlaku adil jujur serta mau mengindahkan hukum yang berlaku.

Akan tetapi dalam kenyataannya, keinginan masyarakat untuk mendapatkan keadilan dan perlindungan hukum sering merasa kecewa karena apa yang diharapkan melalui lembaga peradilan tidak mencerminkan lembaga peradilan, tetapi tidak lain dari lembaga jual beli hukum. Untuk memperbaiki citra badan peradilan ini tentu tidak mudah, harus dilakukan perbaikan-perbaikan dalam segala hal, seperti gaji, sarana dan prasarana penunjang dan terutama adalah sumber daya manusianya. Kesejahteraan adalah merupakan kambing hitam yang utama yang dijadikan alasan mengapa para penegak hukum menjadi tidak bermoral. Di samping itu tentu juga adalah pembenahan lembaga peradilan itu sendiri, agar menjadi lembaga yang mandiri terlepas dari pengaruh kekuasaan negara lainnya, yang mempengaruhi kemandirian hakim dalam melaksanakan tugasnya sebagai hakim.

Di dalam dunia peradilan, prinsip-prinsip dasar kekuasaan kehakiman yang mandiri yang harus dihormati oleh setiap negara yang melakukan rule of law, adalah  meliputi:[3]

  1. Judicial Indefendence, lembaga peradilan harus merupakan suatu lembaga yang memberikan manfaat sangat besar bagi setiap masyarakat, dimana setiap orang berhak untuk mendapatkan peradilan yang terbuka untuk umum yang dilaksnakan oleh pengadilan yang berwenang, adil dan tidak memihak. Peradilan yang mandiri merupakan syarat mutlak untuk melaksanakan hak tersebut yang mensyaratkan bahwa peradilan akan memeriksa perkara dengan adil dan menerapkan hukum yang baik.
  2. Objectieve of the judiciary, tujuan peradilan adalah :
  3. Menjamin setiap orang dapat hidup dengan aman di bawah the rule of law.
  4. Meningkatkan penghormatan dan pelaksanaan hak asasi manusia.
  5. Melaksanakan hukum secara adil dalam sengketa antara sesama warga masyarakat dan antar warga masyarakat dengan negara.
  6. Appoinment of judges. Para hakim harus diangkat berdasarkan kemampuannya yang nyata, integritas yang tinggi dan mandiri, dan harus dilaksanakan sedemikian rupa sehingga akan menjamin bahwa hanya yang terbaik yang dapat menduduki jabatan tersebut. Prosedur pengangkatannya harus transparan dan tanpa diskriminasi (suku, warna kulit, agama, gender, aliran politik, dan sebagainya).
  7. Tenure, yaitu bahwa masa jabatan hakim harus dijamin, baik melalui pemilihan kembali atau prosedur resmi lainnya. Tetapi diusulkan agar Hakim hanya akan pensiun/diberhentikan setelah mencapai usia tertentu dan ketentuan batas usia tersebut tidak boleh dirubah sehingga merugikan Hakim yang sedang melaksanakan tugasnya. Hakim hanya boleh diberhentikan  sebelum batas usia pensiun karena terbukti tidak mampu, dijatuhi pidana, atau mempunyai kelakuan yang tidak sesuai dengan kedudukannya sebagai Hakim, dan harus berdasarkan prosedur yang jelas.
  8. Judicial Condition, yaitu para hakim harus menerima penggajian yang memadai dan diberikan persyaratan kerja dan jaminan yang wajar.
  9. Jurisdiction, dimana kewenangan penyerahan perkara kepada hakim merupakan administrasi pengadilan dan pengawasan utama berada pada ketua pengadilan yang bersangkutan.
  10. Judicial Administration, yaitu bahwa administrasi pengadilan yang meliputi pengangkatan, pengawasan, dan penjatuhan disiplin kepada pejabat administrasi dan petugas pengadilan lainnya, serta anggaran pengadilan haruslah diberikan tanggung jawabnya kepada badan peradilan, atau oleh suatu badan di mana judiciary mempunyai peranan penting.
  11. Realitionship with the executive, yaitu bahwa kewenangan yang dimiliki oleh Eksekutif yang berdampak terhadap Hakim dalam melaksanakan tugasnya, gaji atau sumber pendapatannya, tidak boleh digunakan untuk mengancam atau menekan para Hakim, perlindungan Hakim dan keluarganya.
  12. Recources, yaitu bahwa agar para hakim dapat melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya, kepada mereka harus diberikan jaminan yang cukup.
  13. Emergency, bahwa dalam hal sedang terjadi kesulitan/krisis ekonomi di mana negara tidak memungkin memberi biaya yang memadai bagi Hakim, tetapi untuk tegaknya the rule of law dan perlindungan hak asasi manusi, pengadilan harus diberikan prioritas dalam pembiayaan.

 

  1. MENINGKATKAN KEPERCAYAAN MASYARAKAT TERHADAP LEMBAGA PERADILAN.

Untuk memulihkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan dan aparatur penegak hukum, tentu tidak mudah perlu pembenahan dan pembinaan, baik institusi, sumberdaya manusia serta sarana-sarana yang sangat diperlukan sebagai penunjang pelaksanaan penegakan hukum itu sendiri. Adapun langkah-langkah yang harus ditempuh atau dilakukan adalah sebagai berikut :

  1. Meningkatkan Mutu Putusan.

Menurut Bagir Manna Ketua Mahkamah Agung, orasi dalam pencalonan sebagai Hakim Agung, menyebutkan ada beberapa komponen yang mempengaruhi mutu putusan, Pertama telah menjadi wacana umum “putusan itu dapat dibeli”, tingkat integritas dan kejujuran Hakim (tentu tidak semua) sangat diragukan. Hal ini secara berangsur-angsur dapat diatasi dengan dua cara yaitu: tindakan represif dan preventif. Secara represif harus diadakan penyelidikan dan pemeriksaan umum untuk memperoleh fakta mengenai segala persangkaan tersebut. Untuk itu perlu dibentuk fact finding commission untuk dijadikan dasar penindakan baik terhadap hakim maupun karyawan. Bagi yang terbukti, maka diambil tindakan baik administrative dan atau penindakan secara hukum. Secara prepentif dilakukan dengan meningkatkan system pengawasan,  melakukan perobahan system kerja dan semangat kerja baru, melarang adanya kunjungan dari pihak-pihak yang berperkara, kecuali memang ada panggilan. Proses perkar harus lebih terbuka sehingga yang berkepentingan setiap saat dapat mengetahui perkaranya tanpa harus terpaksa berhubungan atau dikunjungi orang tertentu, dan tidak adanya pungutan langsung terhadap pihak yang berperkara yang menyangkut biaya perkara. Kedua, yang berkaitan dengan pengetahuan Hakim. Hal ini dilakukan dengan beberapa cara, antara lain memberikan keleluasaan pemikiran suatu putusan harus menjadi penilaian bagi promosi hakim, memberikan kesempatan bagi hakim untuk mengikuti program pendidikan ditingkat lanjut, dengan membantu segala fasilitasnya. Ketiga rekrutmen hakim baru haruslah melalui mekanisme yang jelas transparan, dengan melibatkan tim indefenden. Keempat promosi tidak hanya terpatok masalah masa kerja dan pangkat, tetapi juga didasarkan kepada kemampuan, kejujuran, moral tanpa melihat usia dari hakim itu sendiri. Sehingga menjadikan persaingan karier yang positif sesama hakim.

 

  • Penataan Administrasi Badan Peradilan

Dalam penataan administrasi peradilan ini perlu adanya pemisahan antara fungsi, jabatan dan organisasi administrasi umum dengan administrasi peradilan, dengan tidak menempatkan hakim sebagai pejabat administrasi, meningkatkan disiplin hakim dan pegawai administrasi. Dalam tugas peradilan hakim tidak dibenarkan memperlambat proses pelaksanaan penyelesaian perkara sesuai dengan asas hukum beracara di pengadilan itu biaya murah dan cepat.

  1. Melaksanakan Independensi Hakim

Kekuasaan kehakiman harus berdiri sendiri, tidak masuk dalam lembaga atau badan kekuasaan lainnya. Dalam wujud yang lebih mikro adalah kebebasan hakim. Hakim harus terjamin bebas dan tidak memihak dalam memutus perkara. Sebaliknya, hakim yang bebas diharuskan ada konsistensi dalam mengambil putusan. Dalam kenyataannya ada beberapa hal yang mempengaruhi indefendensi kebebasan hakim, yang antara lain tekanan dari cabang kekuasan lain, seperti apa yang diungkapkan oleh Hakim Pengadilan Negeri jambi Muchtar Agus Chalif dalam pembacaan putusan kasus water boom dengan tersangka Samawi Darahim, bahwa perkara sudah terkontaminasi dari tekanan pihak luar yaitu Kejati Jambi untuk tetap menghukum tersangka bersalah telah melakukan tindak pidana korupsi, kalau tidak Pengadilan Negeri dianggap telah menghambat program pemerintah untuk memberantas tindak pidana korupsi. Tekanan dari sesama hakim, yaitu hakim yang kedudukannya lebih tinggi terhadap hakim yang lebih rendah. Tekanan dari pihak-pihak yang berperkara itu sendiri, dengan menggunakan hubungan kekuasaan atau dengan menggunakan uang untuk membeli putusan. Tekanan publik yang mengerahkan massa yang berlebihan untuk memaksa hakim mengikuti kemauannya. Semua keadaan seperti yang diutarakan diatas haruslah diberantas habis, sehingga hakim dalam melaksanakan tugas peradilan terbebas dari tekanan-tekanan yang dapat mempengaruhi putusannya, serta memberikan perlindungan hukum bagi hakim dan keluarganya, dari ancaman orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

  • Perbaikan Fasilitas

Untuk terlaksananya tugas yang baik tentu harus pula didukung dengan pasilitas yang memadai termasuk didalamnya, aparat-aparat penegak hukum seperti Hakim. Kalau dilihat Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang kekuasaan Kehakiman, bahwa hakim itu adalah pejabat negara, sama kedudukannya dengan pejabat-pejabat negara diluar badan peradilan, seperti pejabat dilembaga birokrat, tetapi yang membedakan adalah pasilitas untuk pendukung pekerjaan dalam tugas jabatannya. Dalam jabatan birokrat pasilitasnya jauh lebih baik dan sempurna dari pejabat penegak hukum, kecuali ketua Pengadilan dan Mahkamah Agung. Fasilitas pada badan peradilan sangat minim, keadaan yang demikian itu tentu akan mempengaruhi produktivitas kerja dari lembaga itu. Untuk itu haruslah dilengkapi dengan pasilitas yang cukup, modern. Serta kesejahteraan pegawai dan hakim juga harus diperhatikan, hal ini sangat mempengaruhi dari produktivitas kerja lembaga. Produktivitas kerja lembaga peradilan tentu terukur dari minimnya penunggakan perkara yang akan diselesaikan di lembaga itu.. Sudah menjadi rahasia umum bahwa proses perkara`di pengadilan itu memakan waktu yang cukup lama, sehingga masyarakat enggan untuk menggunakan lembaga peradilan ini, di samping itu tentu menghabiskan biaya yang tidak sedikit.

 

  1. Adanya Kepastian Hukum

Setiap putusan hakim haruslah terhindar dari inkonsistensi substantif  dengan putusan-putusan hakim lainnya dalam tingkat peradilan yang sama, untuk itu perlu adanya langkah-langkah dari lembaga peradilan itu sendiri untuk:

  1. Melakukan inventarisasi perkara yang sama, dan diusahakan diperiksa oleh majelis hakim yang sama.
  2. Mewajibkan majelis hakim untuk memeriksa putusan terdahulu untuk mengetahui kalau-kalau pernah ada perkara yang serupa.
  • Apabila akan ada perbedaan, diwajibkan untuk diuraikan sebagai pertimbangan dalam putusan. Sepanjang tidak ada paktor pembeda yang substantif dan tidak melanggar rasa keadilan yang mendasar, pada dasarnya perkara yang serupa diputus dengan cara yang sama.

Hakim dalam memberikan putusan tidak perlu terpaku dengan hukum yang tertulis saja, jika putusannya kurang mempertimbangkan rasa keadilan dan hanya  sebagai mulut hukum positif saja, undang-undang dan doktrin memberikan peluang kepada hakim dalam melaksanakan tugasnya untuk menciptakan hukum, untuk mewujudkan rasa keadilan dalam masyarakat, seperti yang diamanatkan oleh pasal 29 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman.

Jika Hakim dalam melaksanakan tugasnya sebgai pelaksana kekuasaan kehakiman yang steril dari pengaruh kekuasaan lain, baik dari eksekutif, legislative maupun dari interen lembaga peradilan itu sendiri, serta tekanan dari masyarakat Insya Allah Hakim akan terhindar dari perbuatan yang salah, melalui putusan yang benar dan adil masyarakat  merasa diayomi, tentu dengan sendirinya kepercayaan masyarakat terhadap badan-badan peradilan akan pulih kembali.

Untuk dapat menilai sejauh mana mutu layanan aparat penegak hukum yang diberikan, perlu ada kriteria yang menunjukkan apakah suatu pelayanan publik yang diberikan dapat dikatakan baik atau buruk.[4] Zethmel  mengemukakan tolok ukur kualitas pelayanan publik dapat dilihat dari sepuluh dimensi, antara lain meliputi :[5]

  1. Tangiable, terdiri atas fasilitas fisik, peralatan, personil, dan komunikasi;
  2. Reliable, terdiri dari kemampuan unit pelayanan dalam menciptakan layanan yang dijanjikan dengan tepat;
  3. Responsiveness, kemauan untuk membantu konsumen bertanggung jawab terhadap mutu layanan yang diberikan;
  4. Competence, tuntutan yang dimilikinya, pengetahuan, dan keterampilan yang baik oleh aparatur dalam memberikan layanan;
  5. Courtesey, Sikap atau perilaku ramah tamah, bersahabat, tanggap terhadap keinginan konsumen, serta mau melakukan kontak atau hubungan pribadi;
  6. Credibility, sikap jujur dalam setiap upaya untuk menarik kepercayaan masyarakat;
  7. Security, Jasa pelayanan yang diberikan harus dijamin bebas dari berbagai bahaya dan resiko;
  8. Access, terdapat kemudahan untuk mengadakan kontak dan pendekatan;
  9. Communication, kemauan pemberi layanan untuk mendengarkan suara, keinginan atau aspirasi pelanggan, sekaligus kesediaan untuk selalu menyampaikan informasi baru kepada masyarakat;
  10. Understanding The Customer, Melakukan segala usaha untuk mengetahui kebutuhan pelanggan;

Lembaga Administrasi Negara (1998) membuat beberapa kriteria pelayanan publik yang baik, antara lain meliputi, kesederhanaan, kejelasan dan kepastian, kemauan, keterbukaan, efisiensi, ekonomis, dan keadilan yang merata, ketepatan waktu, serta kriteria kuantitatif. Hatry lebih merinci mengenai prosedur untuk mengukur kualitas pelayanan. Walaupun diakui bahwa untuk melakukan pengukuran kualitas pelayanan banyak dihadapkan kepada banyak masalah dan hambatan (obstacle), terutama berkaitan dengan keyakinan bahwa kualitas pelayanan tidak dapat diukur secara tepat dan reliable.[6] Keyakinan ini tentu saja benar bahwa tidak semua aspek dari kualitas layanan dapat diukur secara lengkap untuk setiap program sebagaimana dapat diukur secara lengkap untuk setiap program sebagaimana apa yang dikemukakan oleh Hatry, “That not all aspects of service quality can be measured perfectly for any programme”,[7] namun demikian terdapat teknik untuk melakukan pengukuran kualitas dari setiap aspek program pelayanan pemerintah. Setidaknya terdapat tiga kunci untuk melakukan pengukuran, yaitu:[8]

  1. How to Measure service quality realibly at specific point in time;
  2. How to determine the extent to which the agency programme has caused the measured service quality (that is, would the result have accured without that agency programme?);
  3. How to assess whether the measured performance is good or bad. This inevitably requires comparison of actual performance with something else.

Dalam penegakan hukum terdapat pergeseran paradigm antara dahulu dan sekarang, yang digambarkan oleh Richard Suaskind dalam bukunya yang berjudul “The Shift in Legal Paradigm“, dengan penjelasan yang sangat rinci sebagai berikut :[9]

 

 

Today’s Legal Paradigm Tomorrow’s Legal Paradigm
No Legal Service No Legal Service
1 Advisory service 1 Information service
2 One to One 2 One to Many
3 Reactive Service 3 Proactive Service
4 Time-Based Billing 4 Commodity Pricing
5 Restrictive 5 Empowering
6 Defensive 6 Pragmatic
7 Legal Focus 7 Business Focus
No Legal Process No Legal Process
1 Legal Problem solving 1 Legal Risk Management
2 Dispute Resolution 2 Dispute Pre-Emotion
3 Publiocation of Law 3 Promulgation of Law
4 Dedicated LEGAL Profession 4 Legal Specialist & Info-Engineers
5 Print-Based 5 IT-Based Legal Systems
Diolah dari figure 8.1 “The Shift in Legal Paradigm
Karya Richard Susskind, 1996.

 

 

 

  1. PENUTUP

Dalam pembangunan hukum yang modern diharapkan mampu mengembangkan penegakan hukum terpadu yang modern yang berbasis pada teknologi informasi. Selain itu dibutuhkan professionalism dalam menjalankan sistem dan subsistem hukum, yakni dengan bekerja secara transparan, akuntabel efektif dan efisien. Peranan Komisi Yudisial dalam menjaga kekuasaan kehakiman meliputi pengusulan dan pengangkatan Hakim Agung, dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim. Peranan pengusulan dan pengangkatan Hakim Agung meliputi pendaftaran, penseleksian, penetapan dan pengajuan calon Hakim Agung ke Dewan Perwakilan Rakyat. Sedangkan peranan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim adalah pengawasan terhadap perilaku hakim dimana akan menghasilkan dua hal yang berbeda yaitu hal yang negatip berupa pengusulan penjatuhan sanksi, sebaliknya yang positip adalah pengusulan pemberian penghargaan terhadap hakim atas prestasi dan jasanya menegakkan kerhormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim. Mengingat begitu singkatnya waktu, besarnya beban, dan luasnya cakupan yang diberikan untuk melakukan perannya tersebut diatas diharapkan anggota Komisi Yudisal terdiri dari anggota yang potensial, berkualitas, energik dan berpengalaman. Sehingga anggota Komisi Yudisial dapat menjalankan perannya menjaga kekuasaan kehakiman seperti yang diamanatkan dalam Undang-undang Dasar 1945 dan UU nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Kencana, Jakarta, 2005

 

Aidul Fitriciada Azhari, Penafsiran Konstitusi Dan Implikasinya Terhadap Pembentukan Sistem Ketatanegaraan Demokrasi Atau Otokrasi (Studi Tentang Penafsiran UUD NRI 1945 dan Pergulatan Mewujudkan Demokrasi di Indonesia), Disertasi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2005.

 

Arend Lijhpart, Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial . Terjemahan oleh R. Ibrahim, dkk, PT. Raja Grafindo Persada, 1995.

 

Asep Warlan Yusuf, Memuliakan Hukum Yang Berkeadilan Dalam Alam Demokrasi Yang berkeadilan, Dalam Butir-Butir Pemikiran Dalam Hukum, memperingati 70 Tahun Prof Dr. Arief Sidharta, SH, PT.Refika Aditama,2008

 

Ateng Syafrudin, Catatan Kecil Tentang Pemerintahan, Pendidikan Dan Hukum, Dalam Butir-Butir Pemikiran Dalam Hukum, memperingati 70 Tahun Prof Dr. Arief Sidharta, SH, PT.Refika Aditama,2008

 

A.S. Hikam, Negara, Masyarakat Sipil dan Gerakan Keagamaan dalam Politik Indonesia, Prisma No 3 Tahun 1991

 

Bagir Manan , Teori dan Politik Konstitusi ,Yogyakarta: FH UII Press, 2003. Hal. 81

 

Bagir Manan, Peranan Pedoman Tingkah Laku Hakim Sebagai Penjaga Kekuasaan kehakiman Yang Merdeka, Disajikan Pada Acara Memperingati hari Jadi IKAHI, di Jakarta, 22 April 2009;

 

Bagir Manan, Sambutan Ketua Mahkamah Agung RI pada Peresmian Pengadilan Tinggi Agama Ternate, 18 April 2006, Dalam Kumpulan Naskah Pidato Ketua Mahkamah Agung RI, Mahkamah Agung RI,2007

 

Bagir Manan, Kedudukan Penegak Hukum Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Varia Peradilan No. 243 Februari 2006.

 

 

Cornelis Lay, ― Sector Publik , Pelayanan Public dan Governance‖, dalam Terobosan dan Inovasi Manajemen Pelayanan Publik, Fisipol UGM, 2005.

Moh.Mahfud MD., Amandemen Konstitusi Menuju Reformasi Tata Negara Yogyakarta: UII Press,1999.

 

C.A.J.M. Kortman, Constitutioneel Recht, Deventer: Kluwer, 1990.

 

 

Departemen Hukum Tata Negara Universitas Airlangga, Dinamika Perkembangan Hukum Tata Negara dan Hukum Lingkungan, Airlangga University Press, Surabaya.

 

Duto Sosialismanto, Hegemoni Negara, Ekonomi Politik Penguasa Jawa, Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta, 2001.

 

 

Djokosetono, Ilmu Negara, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UI, Jakarta , 1984

 

Ismail Suny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Aksara Baru, Jakarta, 1986; Jimly Ashiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Kostitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, 1994.

 

Jimly Asshiddiqie, “Struktur Ketatanegraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar 1945”, Makalah disampaikan dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasioanal VIII dengan tema penegakan Hukum dalam Era Pembangunan Berkelanjutan, diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum NASIONAL Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Denpasar.

 

John Alder, Constitutional & Administrative Law, London: Macmillan Profes-sional Masters 1989.

 

J.C.T. Simorangkir, Penetapan UUD Dilihat Dari Segi Hukum Tata Negara Indonesia, Gunung Agung, Jakarta, 1984.

 

  1. Scheltema, De Rechtsstaat, dalam J.W.M. Engels (et.al), 1989, De Rechtsstaat Herdacht, Zwolle:TjeenWillink

 

  1. Tolchah Mansoer , Pembahasan beberapa Aspek Kekuasaan Eksekutif dan Legislatif di Indonesia, Jakarta : Pradnya Paramita, 1983.

 

Ofer Raban, Modern Legal Theory and Judicial Impartiality, 2003

 

Padmo Wahjono, Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984.

 

Pergulatan Tanpa Henti Menabur Benif Reformasi (Jakarta: Otoboigrafi , Aksara Karunia ,2004

 

Refly Harun ,dkk Menjaga Denyut Konstitusi: Refleksi Satu Tahun Mahkamah Konstitusi , Jakarta; Konstitusi Pers.

 

Romi Librayanto, 2008, Trias Politica Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia, PuKAP-Indonesia, Makassar.

 

Richard Susskind, The future of law, facing the challenges of information technology. New Russel.

 

Sri Soemantri, Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD NRI 1945, Cetakan VI, Bandung: Citra Aditya Bakti,1989.

 

Syahran Basah, Fungsi Hukum Dalam Kehidupan Masyarakat, Dalam Tiga Tulisan Tentang Hukum, Amrico, 1986

 

Satjito Raharjo, Membedah Hukum Progresif, Alumni, Bandung, 2008

T.M. Luthfi Yazid, “ Komisi-komisi Nasional dalam Konteks Cita-cita Negara Hukum”, Makalah disampaikan dalam Diskusi Terbatas dengan tema: „Eksistensi Sistem Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD NRI 1945, diselenggarakan oleh Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, di Hotel Aryaduta, Jakarta, 9 September 2004.

 

Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Tata Negara di Indonesia, Cet. VI, Penerbit Dian Rakyat, Jakarta, 1989.

 

Yusril Ihza Mahendra, Politik dan Perubahan Tafsir atas Konstitusi, Pidato Pengukuhan Guru Besar Madya Hukum Tata Negara pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, Sabtu 25 April 1998.

 

Laporan Tahunan Mahkamah Agung R.I. periode Tahun 2009.

 

Undang-Undang Dasar 1945 (amandemen);

 

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung;

 

Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung R.I. dan Komisi Komisi Yudisial R.I. Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan Nomor : 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang   Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim;

 

Laporan Tahunan Mahkamah Agung R.I. periode Tahun 2009

 

[1] C.A.J.M. Kortman, Constitutioneel Recht, Deventer: Kluwer, 1990. Hal. 51

 

[2] M. Tolchah Mansoer , Pembahasan beberapa Aspek Kekuasaan Eksekutif dan Legislatif di Indonesia, Jakarta : Pradnya Paramita, 1983. Hal. 83

[3] M. Scheltema, De Rechtsstaat, dalam J.W.M. Engels (et.al), 1989, De Rechtsstaat Herdacht, Zwolle:TjeenWillink, Hal.15-17)

[4] AV Dicey, Introduction to the Study of The Law of The Constitution, McMillan and CO, Limited St. Martin Street, London, 1952, Hal. 223

 

[5] Friedrich, Carl Joachim, The Philosopy of Law in Historical Perspective, The University Chicago Press, 1969, Hal 27

[6] Mustamin DG. Matutu. dkk, Mandat, Delegasi, Atribusi dan Implementasinya di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2004, Hal. 47

 

[7] William David Thomas, What is Constitution, Gareth Stevent Publishing, USA, 2008, Hal. 291

[8] Jimly Asshiddiqie, Agenda Pembangunan Hukum di Abad Globalisasi, Balai Pustaka, Jakarta, 1997. Hal 74

 

[9] Richard Suaskind, The Shift in Legal Paradigm, 1997

Continue Reading

CONTOH LEGAL OPINION

 

PENDAPAT HUKUM (LEGAL OPINION)
TENTANG KETENTUAN MASA STUDI PENYELENGGARAAN PROGRAM PENDIDIKAN SARJANA (S-1)
DAN DIPLOMA EMPAT (D-IV)
PADA PTN DAN PTS DI INDONESIA

Oleh :

DR. (cand) Saiful Anam, SH., MH.
———————————————————————————————

Kepada Yth.
Dekan
Fakultas ……………………………
Universitas ………………………………….
di
Tempat

 

Dengan Hormat,
Bersama saya DR. (cand) Saiful Anam, SH., MH., menyampaikan Pendapat Hukum (Legal Opinion) tentang ketentuan masa studi penyelenggaraan program sarjana (S-1) dan diploma empat (D-IV) pada PTN dan PTS di Indonesia, sebagai berikut :

A. KASUS POSISI (Case Position)
Adapun kronologis singkat tentang adalah sebagai berikut :
1. Bahwa berdasarkan Pasal 17 ayat (3) Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 49 tahun 2014 tentang Standart Nasional Pendidikan Tinggi, masa studi untuk program diploma empat dan program sarjana adalah 4 (empat) sampai 5 (lima) tahun.
2. Bahwa …………………….. merupakan mahasiswa Fakultas …………………… Universitas ……………………….. dengan Nomor Induk Mahasiswa ………………
3. Bahwa ………………………. tercatat sebagai mahasiswa Fakultas ……………………… Universitas ………………………….. sejak tahun ……………
4. Bahwa ………………………….. telah berupaya dengan sekuat tenaga guna mengikuti proses akademik pada Fakultas ……………………. Universitas …………………………………….
5. Bahwa ………………………… terancam Drop Out Study (Putus studi atau dikeluarkan) atas berlakunya Pasal 17 ayat (3) Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 49 tahun 2014 tentang Standart Nasional Pendidikan Tinggi.

B. ISU HUKUM (Legal Issues)
Adapun yang menjadi permasalahan hukum antara lain :
1. Bagaimana Penerapan Pasal 17 ayat (3) Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 49 tahun 2014 tentang Standart Nasional Pendidikan Tinggi di Fakultas ……………… Universitas …………….. ?
2. Bagaimana Penerapan Surat Edaran No. 01/M/SE/V/2005 tentang Evaluasi Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Jo. surat No. 390/B/HK/2015 Perihal Uji Publik Perubahan Permendikbud Nomor 49 tahun 2014 tentang Standart Nasional Pendidikan Tinggi?

C. SUMBER HUKUM (Source of Law)
Adapun yang menjadi sumber hukum dalam opini hukum (legal opinion) adalah sebagai berikut :
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
b. Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi
c. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 49 tahun 2014 tentang Standart Nasional Pendidikan Tinggi
d. Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 232/U/2000 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa
e. SURAT EDARAN No. 01/M/SE/V/2005 tentang Evaluasi Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
f. Surat No. 390/B/HK/2015 Perihal Uji Publik Perubahan Permendikbud Nomor 49 tahun 2014 tentang Standart Nasional Pendidikan Tinggi (beserta lampirannya).

 

D. ARGUMENTASI HUKUM (Legal Arguments)
 MAHASISWA LAMA TIDAK DAPAT DITERAPKAN PERATURAN YANG BERSIFAT RETROAKTIF (BERLAKU SURUT)
1. Bahwa Secara istilah asas retroaktif pada dasarnya mengandung dua kata pokok, yaitu “asas” dan “retroaktif”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “asas” diartikan sebagai hukum dasar atau dasar (sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat ). Sedangkan kata “retroaktif” berasal dari bahasa latin “rectroactus” yang artinya adalah “to drive back” yang berarti “bersifat surut berlakunya”. Dengan demikian, pengertian asas retroaktif dari segi etimologi adalah dasar yang menjadi tumpuan pemberlakuan suatu aturan secara surut terhitung sejak tanggal diundangkannya.
2. Bahwa pada Pasal 28 I Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) dikatakan bahwa “Hak untuk hidup hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”. Hal ini menunjukkan bahwa konstitusi Indonesia melindungi hak seseorang untuk tidak dituntut atau dihukum atau diterapkan dengan cara penerapan aturan yang berlaku surut. Asas retroaktif memiliki arti penting untuk melindungi warga negara dari kesewenang-wenangan penguasa dan menjaga undang-undang tidak diberlakukan surut sehingga ada jaminan kepastian hukum.
3. Bahwa selain itu berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, hak pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun”. Dengan demikian semakin memperjelas bahwa oleh siapapun dan kepada siapapun dilarang pemberlakuan ketentuan yang bersifat berlaku surut (retroaktif).
4. Bahwa …………………… merupakan mahasiswa Fakultas ……………………. Universitas ………………………… dengan Nomor Induk Mahasiswa ……………… dan tercatat sebagai mahasiswa Fakultas …………………… Universitas ……………………… sejak tahun ……………
5. Bahwa sebagaimana diketahui berdasarkan Pasal 65 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 49 tahun 2014 tentang Standart Nasional Pendidikan Tinggi, disebutkan mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Dengan demikian Permendagri tersebut mulai berlaku sejak tanggal 11 Juni 2014.
6. Bahwa ketentuan mengenai masa studi untuk program diploma empat dan program sarjana adalah sebelum adanya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 49 tahun 2014 tentang Standart Nasional Pendidikan Tinggi, diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 232/U/2000 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa, yang berbunyi “Beban Studi Program Sarjana sekurang-kurangnya 144 (seratus empat puluh empat) SKS dan sebanyak-banyaknya 160 (seratus enam puluh) SKS yang dijadwalkan untuk 8 (delapan) semester dan dapat ditempuh dalam waktu kurang dan 8 (delapan) semester dan selama-lamanya 14 (empat belas) semester setelah pendidikan menengah”.
7. Bahwa dengan demikian mestinya peraturan yang dipakai untuk mahasiswa yang masuk dan terdaftar sebagai mahasiswa sebelum adanya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 49 tahun 2014 tentang Standart Nasional Pendidikan Tinggi, adalah Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 232/U/2000 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa beserta turunannya yang menjadi pedoman, petunjuk atau peraturan yang dibentuk untuk melaksanakan ketentuan tersebut, baik yang dibuat oleh Universitas maupun Fakultas pada perguruan tinggi manapun termasuk Fakultas ……………….. Universitas …………………, atas dasar ketentuan dan asas hukum yang melarang adanya pemberlakuan hukum secara retroaktif atau berlaku surut.
8. Dengan demikian sudah selayaknyalah Fakultas …………………… Universitas ………………… memberikan kesempatan kepada ………………………….. untuk berusaha memperbaiki nilai atas studinya dan memberikan kesempatan sampai dengan paling lama 14 semester sesuai ketentuan Pasal 5 ayat (1) Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 232/U/2000 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa.

 PEMBERLAKUKAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2014 TENTANG STANDART NASIONAL PENDIDIKAN TINGGI TIDAK RESPONSIF
9. Bahwa sebagaimana diketahui secara sosiologis gelombang penolakan tidak hanya oleh Mahasiswa akan tetapi oleh para kalangan kalangan Akademisi terhadap perberlakuan Pasal 17 ayat (3) Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 49 tahun 2014 tentang Standart Nasional Pendidikan Tinggi, yang membatasi masa studi untuk program diploma empat dan program sarjana adalah 4 (empat) sampai 5 (lima) tahun, terjadi dimana-mana.
10. Bahwa hal itu tidak hanya mengekang Mahasiswa untuk dapat ikut dan berperan aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler dan mengasah soft skill mahasiswa dari berbagai macam organisasi guna menunjang proses perkuliahan sebagai bekal dikehidupan masyarakat nantinya, akan tetapi juga yang tidak kalah pentingnya adalah adanya penyamarataan terhadap bidang studi rumpun ilmu-ilmu social dengan ilmu-ilmu kesehatan atau ilmu eksakta yang dalam praktek membutuhkan waktu cukup lama untuk dapat mengetahui dan mempelajari secara mendalam mengenai rumpun ilmu-ilmu kesehatan atau ilmu eksakta dengan membatasi dengan jangka waktu 5 (lima) tahun.
11. Bahwa gelombang penolakan tersebut juga telah teraspirasikan kepada Presiden Republik Indonesia Ir. Jokowi melalui perwakilan BEM seluurh Indonesia pada tanggal 5 Mei 2015, dan Presiden berjanji akan menyelesaikan secepatnya memanggil Menteri terkait, dan berjanji pada tanggal 19 Mei sudah ada penyelesaian.

 PEMBERLAKUKAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2014 TENTANG STANDART NASIONAL PENDIDIKAN TINGGI DITUNDA
12. Bahwa buah hasil dari kajian dan penolakan oleh beberapa element terhadap perberlakuan Pasal 17 ayat (3) Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 49 tahun 2014 tentang Standart Nasional Pendidikan Tinggi, yang ditindaklanjuti dengan adanya pertemuan antara perwakilan BEM se Indonesia dengan Presiden Jokowidodo, akhirnya pada tanggal 20 Mei 2015 Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia Mohammad Nasir mengeluarkan SURAT EDARAN No. 01/M/SE/V/2005 tentang Evaluasi Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang ditujukan kepada Pimpinan Perguruan Tinggi Negeri di lingkungan Kemenristekdikti, coordinator Kopertis I s/d XIV dan dan Pimpinan Perguruan Tinggi di Kementerian dan Lembaga lain, yang pada intinya adalah MENUNDA INPLEMENTASI Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 49 tahun 2014 tentang Standart Nasional Pendidikan Tinggi, berdasarkan masukan dari Pemangku Kepentingan, Pengguna dan Masyarakat.
13. Bahwa selain itu untuk menindaklanjuti perubahan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 49 tahun 2014 tentang Standart Nasional Pendidikan Tinggi, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia pada tanggal 7 september 2015 melalui surat No. 390/B/HK/2015 Perihal Uji Publik Perubahan Permendikbud Nomor 49 tahun 2014 tentang Standart Nasional Pendidikan Tinggi, yakni meminta masukan dan saran kepada Pimpinan Perguruan Tinggi Negeri di lingkungan Kemenristekdikti, coordinator Kopertis I s/d XIV yang pada kolom No. 2 huruf d Rancangan Perubahan Permendikbud Nomor 49 tahun 2014 tentang Standart Nasional Pendidikan Tinggi menyatakan salah satunya adalah “4 (empat) tahun akademik untuk program sarjana, program diploma empat/sarjana terapan, yang dapat ditempuh maksimum dalam 7 (tujuh) tahun akademik, dengan beban belajar mahasiswa minimum 144 (seratus empat puluh empat) SKS”
14. Dengan demikian semakin jelas bahwa perberlakuan Pasal 17 ayat (3) Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 49 tahun 2014 tentang Standart Nasional Pendidikan Tinggi tidak sesuai dengan fungsi dan tujuan Perguruan Tinggi sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Untuk itu sudah selayaknyalah Fakultas …………….. Universitas ………………….. untuk mematuhi SURAT EDARAN No. 01/M/SE/V/2005 tentang Evaluasi Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Jo. surat No. 390/B/HK/2015 Perihal Uji Publik Perubahan Permendikbud Nomor 49 tahun 2014 tentang Standart Nasional Pendidikan Tinggi.

E. KESIMPULAN dan REKOMENDASI (Conclusions and Recommendations)
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Diharapkan Fakultas ……………………… Universitas …………………….. tidak menerapkan Peraturan yang bersifat RETROAKTIF (berlaku surut) terhadap mahasiswa lama (sebelum diundangkannya Permendagri Nomor 49 tahun 2014), dalam hal ini tidak menerapkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 49 tahun 2014 tentang Standart Nasional Pendidikan Tinggi, beserta peraturan perundang-undangan turunannya yang dibentuk baik oleh Fakultas maupun Rektorat Universitas ………………….., akan tetapi dapat menerapkan Ketentuan dalam Pasal 5 ayat (1) Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 232/U/2000 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa, yang pada intinya menyatakan “Beban Studi Program Sarjana dapat ditempuh selama-lamanya 14 (empat belas) semester”.
2. Diharapkan Fakultas ……………………… Universitas …………………….. tidak menerapkan Peraturan yang TIDAK RESPONSIF, yang cenderung bertentangan dengan fungsi dan tujuan Perguruan Tinggi sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
3. Diharapkan Fakultas ………………………. Universitas ……………………… untuk mematuhi SURAT EDARAN No. 01/M/SE/V/2005 tentang Evaluasi Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Jo. surat No. 390/B/HK/2015 Perihal Uji Publik Perubahan Permendikbud Nomor 49 tahun 2014 tentang Standart Nasional Pendidikan Tinggi.

 

F. PENUTUP
Demikian legal opinion ini dibuat, untuk dipergunakan sebagaimana mestinya. Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.

 

Jakarta, 21 Agustus 2017
Hormat kami,
PENULIS PENDAPAT HUKUM (LEGAL OPINION)

DR. (cand) SAIFUL ANAM, SH., MH.

 

 

Tembusan :

1. Pembantu Dekan 1 ………………….
2. Pembantu Dekan 2 ……………………
3. Pembantu Dekan 3 …………………………
4. Ketua Program Studi ………………………..

 

Continue Reading

IRONI PERSEKUSI

SEJALAN dengan kemajuan teknologi dan perkembangan zaman, persekusi tak hanya dapat dilakukan di dunia nyata. Perbuatan itu kini bisa dilakukan kapanpun dan oleh siapapun di dunia maya melalui media sosial. Karena itu tindakan persekusi telah terjadi dimana-mana. Meski begitu, dilihat dari perspektif hukum perbuatan itu belum memadai untuk ditindak.

Apalagi, tindakan persekusi banyak yang tidak dilaporkan kepada kepolisian. Hal itu dikarenakan belum banyak yang memahami tentang pasal-pasal dalam perundangan yang dapat menjerat seseorang pelaku persekusi. Persekusi berasal dari bahasa Inggris, persecution yang berarti penganiayaan.

Namun dalam perkembangannya, persekusi mengalami perkembangan signifikan, dimana makna dan cakupannya tak terbatas lagi pada makna dan arti penganiayaan yang dapat menimbulkan kelukaan secara nyata.

Dalam Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional pergeseran makna persekusi diartikan sebagai salah satu jenis kejahatan kemanusiaan yang dilakukan secara sewenang-wenang yang dapat menimbulkan penderitaan, menimbulkan pelecehan, terjadi penahanan, serta menimbulkan ketakutan bagi seseorang yang dijadikan target persekusi.

Dalam KUHP kita, banyak dipahami masyarakat awam bahwa tindak pidana penganiayaan hanya terbatas pada perbuatan yang sengaja dan menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit yang disebabkan luka fisik sebagaimana diatur dalam pasal 352 (penganiayaan ringan) dan pasal 354 KUHP(penganiayaan berat).

Namun perlu dipahami, terhadap perbuatan atau tindakan berupa ancaman, pemerasan atau bahkan pengeroyokan yang tergolong tindakan persekusi tentu dapat dikenakan seperti bunyi KUHP pasal 368, yakni pengancaman, pasal 351 penganiayaan dan pasal 170 pengeroyokan.

Dengan demikian tidak hanya tindakan penganiayaan saja yang dapat diancam pidana, tapi juga terhadap tindakan dan perbuatan persekusi.

Tindakan persekusi banyak terjadi akibat kesewenang-wenangan dengan menggunakan atas nama kekuatan dan kekuasaan dengan cara main hakim sendiri baik oleh seseorang maupun sekelompok orang maupun sebuah organisasi kemasyarakatan.

Tindakan semacam ini tentu meresahkan masyarakat, dimana pada akhirnya masyarakat berpikir bahwa institusi hukum sudah tidak berdaya lagi atas kekuatan dan kekuasaan orang per orang maupun organisasi tertentu yang secara kewenangan tidak sah dan secara hukum dilarang oleh ketentuan peraturan perundang-undangan.

Persekusi bukan hanya melanggar hukum, tetapi juga telah menafikan tegaknya HAM yang secara konstitusional telah menjamin, menghormati, menjunjung tinggi dan melindungi HAM. Tidak hanya bagi orang perorang ataupun kelompok tertentu, akan tetapi bagi segenap rakyat Indonesia berhak atas perlindungan hukum yang sama.

Hal itu sebagaimana ditegaskan oleh Franklin D Roosevolt (1941) dalam The Four of Freedom, di antaranya setiap manusia memiliki kebebasan berbicara (the freedom of speech), kebebasan beragama (the freedom of religion), kebebasan dari kemiskinan (the freedom from want), dan kebebasan dari rasa takut (the freedom of fear).

Ketegasan Polri

Oleh karena itu diperlukan ketegasan Polri agar lebih responsif untuk dapat mengusut dengan tuntas dan tegas terhadap keseluruhan sikap dan perbuatan yang mengarah kepada tindakan persekusi.

Bagi pihak-pihak yang merasakan adanya tindakan yang mengarah kepada tindakan bersifat persekusi untuk tidak segan melaporkan kepada kepolisian setempat.

Adanya sinergitas antara aparat penegak hukum dengan pihak-pihak yang dirugikan tindakan persekusi, diharapkan makin membudayakan masyarakat sadar hukum, sehingga segala apapun seharusnya dapat diselesaikan melalui jalur hukum yang ada, tidak dengan main hakim sendiri.

Selain itu juga diharapkan ada sosialisasi dan pencegahan terhadap segala kemungkinan berkembangnya gejala persekusi di Indonesia.

Untuk itu tidak hanya penindakan, melainkan juga upaya-upaya preventif juga perlu digalakkan. Tidak hanya oleh pemerintah, tapi oleh semua kalangan untuk bersama-sama melawan tindakan persekusi yang mengancam tegaknya negara hukum dan keutuhan NKRI.

 

Link : IRONI PERSEKUSI

Continue Reading

DISKURSUS PEMBATALAN PERDA DAN SOLUSINYA

Mahkamah Konstitusi (MK) kembali membuat putusan yang menimbulkan kontroversi. Publik kembali dikejutkan dengan adanya pemangkasan kewenangan Mendagri dan Gubernur dalam upaya pengawasan terhadap peraturan daerah (perda) yang bermasalah.

Melalui Putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015 pada tanggal 5 April 2017, MK Mengabulkan permohonan untuk sebagian berkaitan dengan kewenangan Pembatan Perda Kabupaten/Kota oleh Gubernur/Menteri sebagaimana tertuang dalam Pasal 251 ayat (2) dan ayat (3) UU Pemda yang dinyatakan bertentangan (inkonstitutional) dengan Undang-Undang Dasar 1945. Sehingga apabila berdasar pada putusan tersebut, baik Gubernur/Mendagri tidak lagi memiliki kewenangan dalam hal pembatan Perda didaerah.

Apabila kita melihat dan memahami dari pertimbangan hakim dalam Putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015, tampak terlihat terdapat perbedaan pendapat (dissenting opinion) yang bersifat substantif dan signifikan, dimana terdapat empat hakim konstitusi yang menyatakan perbedaan pendapatnya berkaitan dengan Putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015. Artinya putusan tersebut juga terjadi perdebatan yang serius dikalangan hakim konstitusi sendiri.

Dalam pertimbangannya, MK menyatakan keberadaan Pasal 251 ayat (2) dan ayat (3) UU Pemda telah menegasikan peran dan fungsi Mahkamah Agung sebagai lembaga yang berwenang melakukan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, dalam hal ini Perda Kabupaten/Kota, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 24A ayat (1) UUD 1945.

Selain itu MK menyatakan bahwa Keputusan Gubernur bukanlah bagian dari tata urutan dalam hirarki peraturan perundang-undangan, sehingga tidak dapat dijadikan produk hukum untuk membatalkan Perda Kabupaten/Kota. Dengan kata lain, Perda Kabupaten/Kota yang berbentuk peraturan (regeling) tidak dapat dibatalkan dengan Keputusan Menteri/Keputusan Gubernur yang berbentuk keputusan (beschikking).

Namun disisi yang lain, terdapat perspektif dan pandangan empat Hakim Konstitusi yang berbeda (dissenting opinion) terhadap pandangan dan argumentasi hukum lima Hakim Konstitusi lainnya, diantaranya Pertama menyatakan bahwa Indonesia selain sebagai negara hukum juga sebagai negara kesatuan. Untuk itu dalam konsep negara kesatuan akan berlaku pula satu sistem hukum baik bagi pemerintah di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Sehingga kewenangan Pembatalan Perda oleh Pemerintah pusat melalui Kemendagri merupakan bagian dari perwujudan pelaksanaan pemerintahan dalam konsep negara kesatuan.

Kedua, Kewenangan Kepala Daerah dan DPRD dalam pembentukan Perda harus dipandang sebagai kewenangan yang bersifat Atributif (attributie van wetgevingsbevoegheid) yang berasal dari UU maupun yang langsung dari UUD 1945.  Sedangkan Perda bukanlah peraturan yang bersifat delegatif dari UU Pemda, sehingga apabila Perda dianggap bersifat delegatif dari UU Pemda, maka yang demikian akan menyalahi prinsip pelimpahan kewenangan yang tidak berjenjang dalam pemebentukan peraturan perundang-undangan yang melampaui Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri.

Ketiga, hakikat pembatalan Perda pada dasarnya dilakukan dikarenakan tidak memenuhi syarat formal dan substantif untuk melindungi masyarakat atau pihak-pihak yang dirugikan. Pembatalan tersebut dapat dilakukan oleh pejabat pembuat keputusan, atasan pembuat keputusan atau Pengadilan. Secara konstitusional Presidenlah yang bertanggung jawab atas pemerintahan tertinggi, sehingga dengan demikian benar apabila Presiden melalui Mendagri/Gubernur mengambil tindakan pembatalan terhadap Perda yang bertentangan dengan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum dan/atau kesusilaan.

Perdebatan tentu tidak hanya selesai dimeja hakim konstitusi, dalam penerapan dan penegakannya dilapangan juga menimbulkan pro dan kontra, baik pada tataran pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Seperti yang dapat kita lihat dalam beberapa pemberitaan beberapa hari terakhir ini, Kemendagri tampak masygul melihat dan mendengar adanya Putusan MK yang memangkas kewenangannya yang selama ini telah berjalan dengan baik guna mengantisipasi terhadap adanya Perda-perda yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan serta asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Namun, terhadap beberapa perbedaan pendapat hakim (dissenting opinion) sebagaimana tersebut diatas, tidaklah mengurangi nilai keberlakuan dan mengikatnya Putusan MK. Karena sebagaimana diketahui Putusan MK bersifat final dan mengikat (final and binding), artinya putusan langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan. Selain itu Putusan MK juga bersifat Erga Omnes, yakni putusan tersebut merupakan Putusan Publik, yang berarti putusan tersebut berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia. Selain itu Putusan MK berlaku asas res judicata pro veritate habetur, yang berarti apa yang diputus hakim harus dianggap benar dan harus dilaksanakan. Sehingga dengan demikian tidak ada alasan untuk tidak melaksanakan Putusan MK (Asas Self Respect).

Solusi Efektif

Dengan berdasar pada Putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015 sebagaimana telah diurai diatas, maka akan berlaku era baru dalam mekanisme Pembatalan Perda, yakni pembatalan Perda hanya dapat dilakukan oleh lembaga peradilan, dalam hal ini melalui Pengujian Peraturan Perundang Undangan dibawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang.

Sebagaimana diketahui pada awalnya hanya berlaku dua mekanisme Pembatalan Perda, yakni melalui melanisme pembatatalan Perda oleh Mendagri/Gubernur, atau sering dikenal dengan istilah Executive Review. Sedangkan yang kedua melalui mekanisme pembatalan perda dengan pengujian oleh lembaga Peradilan dalam hal ini Mahkamah Agung atau yang sering disebut sebagai (Jucial Review).

Terhadap adanya pemberian kewenangan pembatalan Perda yang hanya dapat dilakukan lembaga Peradilan (Judial Review), maka setidaknya menurut analisis dan pandangan penulis terdapat tiga hal yang harus diperhatikan untuk dapat memastikan keberlangsungan pembentukan Perda yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum dan/atau kesusilaan.

Pertama, Pemerintah dalam hal ini melalui Kemendagri dapat mengintensifkan peran dan fungsi pengawasan antisipatif (preventif) terhadap rancangan perda yang belum disahkan oleh Pemerintah daerah atau sering dikenal dengan istilah (executive preview), hal itu dapat dilakukan guna meminimalisir kemungkinan munculnya Perda-perda yang akan bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Seperti halnya sistem yang berlaku di negara Perancis, yakni lebih mengutamakan  Preview daripada Review. Selain itu juga dapat dilakukan dengan mengoptimalkan fungsi Educatif atau pemberian pendidikan tentang mekanisme pembentukan Perda yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Kedua, Pemerintah Daerah baik Kepala Daerah maupun DPRD diharapkan juga dapat menahan diri serta dapat menyaring terhadap kemungkinan pembentukan Perda-perda yang berpeluang bertentangan dengan perarutan perundang-undangan yang lebih tinggi sehingga pada akhirnya dapat diajukan Uji Materi ke Mahkamah Agung.

Ketiga, dengan adanya kewenangan pembatalan perda yang hanya dapat dilakukan melalui mekanisme Yudicial Review, maka tentu akan mempengaruhi terhadap peluang banyaknya Uji Materi ke Mahkamah Agung terhadap Perda-perda yang dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, sehingga dengan demikian juga akan menyebabkan membludaknya perkara permohonan hak uji materi Pembatalan Perda. Untuk itu mau tidak mau juga menuntut adanya profesionalisme hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara yang berkaitan dengan Uji Materi Perda baik yang disahkan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota.

Terakhir yang menjadi harapan penulis semoga dengan adanya pemberian kewenangan pembatalan Perda hanya pada lembaga Peradilan melalui mekanisme Uji Materi, diharapkan tidak menjadikan Pemerintah Daerah untuk bertindak hanya dengan atas dasar kepentingan pribadi atau golongan dalam pembentukan Perda. Untuk itu diperlukan sinergi baik Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan Masyarakat guna bersama-sama berperan aktif dalam pembentukan Perda yang responsif dan populis, tujuannya adalah untuk mengantisipasi terhadap segala kemungkinan munculnya Perda-perda yang tidak sesuai dengan Peraturan perundangan yang lebih tinggi serta asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Link : Diskursus Pembatan Perda dan Solusinya

Continue Reading

CONTOH PENGADUAN PELANGGARAN KODE ETIK KE DKPP

PENGADUAN PELANGGARAN KODE ETIK

DALAM

PEMILIHAN KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH

KABUPATEN/KOTA …………. TAHUN …………………

 

Antara :

 

……………………………………….

Calon Bupati & Wakil Bupati Kabupaten ……………………

Pasangan Calon No. Urut ………………….

………………………………………………………………   selaku PENGADU

 

T E R H A D A P :

 

KETUA DAN ANGGOTA KPU Kabupaten ………………………..

DAN

KETUA DAN ANGGOTA PANWAS Kabupaten ………………………..

 ……………………………………………………………..…. selaku TERADU

Di

DEWAN KEHORMATAN PENYELENGGARA PEMILU (DKPP)

 

Jakarta,  ……… Februari 2016

 

 

 

 

 

 

Kepada Yth,

Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu

di-

Jl. MH. Thamrin No. 14
Jakarta Pusat

 

 

Perihal:

Pengaduan Pelanggaran Kode Etik oleh Ketua dan Anggota KPU Kabupaten ……………………….. dan Ketua dan Anggota Panwas Kabupaten …………………………

————————————————————————————————–

 

Dengan hormat,

Bersama ini identitas Pengadu sebagai berikut :

  1.   N a m a   : …………………………………………..

Tempat/Tgl Lahir            : …………………………………………..

Pekerjaan                        : Calon Bupati ……………………….. Nomor Urut 4

Alamat                              : …………………………………………..

 

  1. N a m a : …………………………………………..

Tempat/Tgl Lahir            : …………………………………………..

Pekerjaan                        : Calon Wakil Bupati ………………. Nomor Urut 4

Alamat                              : …………………………………………..

 

  1. N a m a : …………………………………………..

Tempat/Tgl Lahir            : …………………………………………..

Pekerjaan                        : Tim Kampanye Pasangan Nomor Urut 4

Alamat                              : …………………………………………..

 

  1. N a m a : …………………………………………..

Tempat/Tgl Lahir            : …………………………………………..

Pekerjaan                        : Tim Kampanye Pasangan Nomor Urut 4

Alamat                              : …………………………………………..

 

  1. N a m a : …………………………………………..

Tempat/Tgl Lahir            : …………………………………………..

Pekerjaan                        : Tim Kampanye Pasangan Nomor Urut 1

Alamat                              : …………………………………………..

adalah Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten ……………………….. masa jabatan 2015 – 2020  dan Tim Kampanye Nomor Urut 4 (empat) dalam Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilukada) Kabupaten ……………………….. Tahun 2015 selanjutnya disebut sebagai …………………………………………………………….…….….. PENGADU.

Pengadu berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal …………… Februari 2016 memberikan Kuasa kepada DR. (can) Saiful Anam, SH., Zenuri Makhrodji, SH., dan Fuad Abdullah, SH. adalah para advokat dan konsultan hukum pada “SAIFUL ANAM & PARTNERS”, yang beralamat di Jl. HR. Rasuna Said, Mall Epicentrum Walk, Office Suites A529, Kuningan – Jakarta Selatan 12940, HP. ………………., Website : www.saplaw.top Email : saifulanam@lawyer.com., baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama bertindak untuk dan atas kepentingan Pengadu sepakat untuk memilih domisili hukum dalam mengajukan Pengaduan ini di Jl. HR. Rasuna Said, Mall Epicentrum Walk, Office Suites A529, Kuningan – Jakarta Selatan 12940, HP. ………………….., Website : www.saplaw.top Email : saifulanam@lawyer.com..

Pengadu mengajukan Pengaduan Pelanggaran Kode Etik Terhadap :

  1.   N a m a   : ………………………………..

Pekerjaan                        : Ketua KPU Kabupaten ………………………..

Alamat                              : ………………………………..

Selanjutnya disebut sebagai ……………………………………….TERADU 1

 

  1.   N a m a   : ………………………………..

Pekerjaan                        : Anggota KPU Kabupaten ………………………..

Alamat                              : ………………………………..

Selanjutnya disebut sebagai ……………………………………….TERADU 2

 

  1.   N a m a   : ………………………………..

Pekerjaan                        : Anggota KPU Kabupaten ………………………..

Alamat                              : ………………………………..

Selanjutnya disebut sebagai ……………………………………….TERADU 3

 

  1.   N a m a   : ………………………………..

Pekerjaan                        : Anggota KPU Kabupaten ………………………..

Alamat                              : ………………………………..

Selanjutnya disebut sebagai ……………………………………….TERADU 4

 

  1.   N a m a   : ………………………………..

Pekerjaan                        : Anggota KPU Kabupaten ………………………..

Alamat                              : ………………………………..

Selanjutnya disebut sebagai ……………………………………….TERADU 5

 

  1.   N a m a   : ………………………………..

Pekerjaan                        : Ketua Panwas Kabupaten ………………………..

Alamat                              : ………………………………..

Selanjutnya disebut sebagai ……………………………………….TERADU 6

 

  1.   N a m a   : ………………………………..

Pekerjaan                        : Anggota Panwas Kabupaten ………………………..

Alamat                              : ………………………………..

Selanjutnya disebut sebagai ……………………………………….TERADU 7

 

  1.   N a m a   : ………………………………..

Pekerjaan                        : Anggota Panwas Kabupaten ………………………..

Alamat                              : ………………………………..

Selanjutnya disebut sebagai ……………………………………….TERADU 8

 

 

 

Adapun alasan dan argumen hukum Pengaduan a quo sebagaimana terurai di bawah ini :

  1.    KEWENANGAN DKPP
  2. Secara Filosofis, DKPP memiliki tugas dan wewenang untuk menegakkan dan menjaga martabat kemandirian, integritas, dan kredibelitas penyelenggara Pemilu.
  3. Bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum Pasal 1 angka 32 Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Nomor 1 Tahun 2013 tentang Pedoman Beracara Kode Etik Penyelenggara Pemilihan Umum Jo. Pasal 1 angka 22 Peraturan Bersama Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilihan Umum dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Nomor 13 Tahun 2012, Nomor 11 Tahun 2012 Nomor 1 Tahun 2012 Tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilihan Umum, meyatakan :

Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu selanjutnya disingkat DKPP, adalah lembaga yang bertugas menangani pelanggaran kode etik Penyelenggara pemilu dan merupakan satu kesatuan fungsi Penyelenggaraan Pemilu.

 

  1. Bahwa tugas dan wewenang DKPP berdasarkan Pasal 111 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum adalah sebagai berikut :

Tugas DKPP meliputi:

  1. menerima pengaduan dan/atau laporan dugaan adanya pelanggaran kode etik oleh Penyelenggara Pemilu;
  2. melakukan penyelidikan dan verifikasi, serta pemeriksaan atas pengaduan dan/atau laporan dugaan adanya pelanggaran kode etik oleh Penyelenggara Pemilu;
  3. menetapkan putusan; dan
  4. menyampaikan putusan kepada pihak-pihak terkait untuk ditindaklanjuti.

 

DKPP mempunyai wewenang untuk:

  1. memanggil Penyelenggara Pemilu yang diduga melakukan pelanggaran kode etik untuk memberikan penjelasan dan pembelaan;
  2. memanggil pelapor, saksi, dan/atau pihak-pihak lain yang terkait untuk dimintai keterangan, termasuk untuk dimintai dokumen atau bukti lain; dan
  3. memberikan sanksi kepada Penyelenggara Pemilu yang terbukti melanggar kode etik.
  4. Bahwa Pengadu merupakan (Peserta Pemilukada) Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten ……………………….. masa jabatan 2015 – 2020  Nomor Urut 4 (empat) dalam Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilukada) Kabupaten ……………………….. Tahun 2015.
  5. Bahwa Pengaduan yang diajukan Pengadu merupakan perkara Pelanggaran Etik oleh Penyelenggara Pemilu dalam pemilihan Calon Bupati dan Wakil Bupati ……………………….. tahun 2015.
  6. Bahwa berdasarkan uraian tersebut diatas, maka Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu berwenang menangani pelanggaran kode etik Penyelenggara pemilu dalam pemilihan Calon Bupati dan Wakil Bupati ……………………….. tahun 2015 yang diajukan oleh Pengadu.

 

  1. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING)
  2. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, meyatakan :

Pengaduan tentang dugaan adanya pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu diajukan secara tertulis oleh Penyelenggara Pemilu, peserta Pemilu, tim kampanye, masyarakat, dan/atau pemilih dilengkapi dengan identitas pengadu kepada DKPP.

 

  1. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 109 ayat (2) Undang-Undang Nomor 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, meyatakan :

DKPP dibentuk untuk memeriksa dan memutuskan pengaduan dan/atau laporan adanya dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh anggota KPU, anggota KPU Provinsi, anggota KPU Kabupaten/Kota, anggota PPK, anggota PPS, anggota PPLN, anggota KPPS, anggota KPPSLN, anggota Bawaslu, anggota Bawaslu Provinsi dan anggota Panwaslu Kabupaten/Kota, anggota Panwaslu Kecamatan, anggota Pengawas Pemilu Lapangan dan anggota Pengawas Pemilu Luar Negeri.

  1. Bahwa berdasar pada Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Nomor 1 Tahun 2013 tentang Pedoman Beracara Kode Etik Penyelenggara Pemilihan Umum menyatakan :
  • Dugaan Pelanggaran Kode Etik dapat diajukan kepada DKPP berupa pengaduan dan/atau laporan dan/atau Rekomendasi DPR.
  • Pengaduan dan/atau laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh :
  1. Penyelenggara Pemilu;
  2. Peserta Pemilu;
  3. Tim kampanye;
  4. Masyarakat; dan/atau

 

  1. Bahwa Pengadu merupakan (Peserta Pemilukada) Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten ……………………….. masa jabatan 2015 – 2020  Nomor Urut 4 (empat) dalam Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilukada) Kabupaten ……………………….. Tahun 2015.
  2. Bahwa Teradu merupakan Penyelenggara Pemilu, yakni Ketua dan Anggota KPU Kabupaten ……………………….. dan Ketua dan Anggota Panwas Kabupaten …………………………
  3. Bahwa sesuai dengan uraian sebagaimana tersebut diatas, maka Pengadu memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan pengaduan dan/atau laporan adanya dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Teradu.

 

III. POKOK PENGADUAN:

  1. Bahwa, berdasarkan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara di Tingkat Kabupaten dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Tahun 2015 Jo. Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten ……………………….. Nomor 020/Kpts/KPU.KAB.032-436631/XII/2015 tentang Penetapan Rekapitulasi Hasil Perhitungan Perolehan Suara dan Hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati ……………………….. Tahun 2015 (Bukti P-1), telah menetapkan Hasil Pemilihan Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten ……………………….. Tahun 2015, berdasarkan peringkat perolehan suara sebagai berikut:
NO. NAMA PASANGAN PEROLEHAN SUARA
1. ………………………………..dan

………………………………..

5.970 suara
2. ……………………………….. dan

………………………………..

2.028 suara
3. ……………………………….. dan

………………………………..

13.225 suara
4. ……………………………….. dan

………………………………..

8.832 suara
  1. Bahwa, pelaksanaan pemungutan suara Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilukada) Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Bupati Kabupaten ……………………….. Periode 2015-2020 telah dilaksanakan oleh Teradu pada hari  rabu tanggal 9 Desember 2015;
  2. Bahwa Pengadu mengajukan Pengaduan dan permohonan Penegakan Kode Etik yang dilakukan oleh Teradu, atas hasil penghitungan suara berdasarkan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah oleh Komisi Pemilihan Umum Kabupaten ……………………….. yang kemudian ditetapkan oleh Teradu dengan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di Tingkat Kabupaten oleh Komisi Pemilihan Umum Kabupaten ……………………….. Nomor 020/Kpts/KPU.KAB.032-436631/XII/2015 tentang Penetapan Rekapitulasi Hasil Perhitungan Perolehan Suara dan Hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati ……………………….. Tahun 2015;
  3. Bahwa alasan Pengadu mengajukan Pengaduan ini disebabkan adanya pelanggaran Etika dan Hukum secara Terstruktur, Sistematis dan Masif baik yang dilakukan oleh Teradu maupun yang dilakukan oleh Pasangan Nomor Urut 3 (Tiga).
  4. Bahwa, pelanggaran-pelaranggaran tersebut telah dipersiapkan secara terencana sejak awal, mulai dari proses pembuatan Daftar Pemilih Tetap, proses kampanye dan masa tenang, saat pencoblosan hingga proses rekapitulasi penghitungan suara di tingkat Kabupaten.

 

 

  1. Adanya Upaya Teradu Secara  Secara Sistematis, Terstruktur dan Masif Mengakibatkan Banyak Pemilih Yang Bukan Warga dari Kabupaten ……………………….. dan Tidak Memiliki NIK Kabupaten ……………………….. ikut Mencoblos.

 

  • PELANGGARAN – PELANGGARAN SEBELUM DAN SAAT PENCOBLOSAN.
  1. Adanya penggantian sebagian besar anggota PPS dan KPPS tiga hari sebelum Pemilukada dilaksanakan oleh KPU ……………………….., untuk memenangkan Pasadngan Nomor Urut 3.
  2. Adanya pembiaran oleh panwas terhadap hasil investigasi pelanggaran yang direkomendasikan panwas.
  3. Membiarkan adanya atribut kampanye dari saksi pasangan nomor 3 di seluruh TPS ………………………..
  4. Memilih Ketua KPPS 05 dan 02 Warmasen adalah anggota tim sukses pasangan nomor 3 dan merupakan anggota pengurus partai Demokrat Kabupaten …………………………
  5. Bahwa, Para Teradu bertindak tidak netral (Bukti P-2 dan Bukti P-15) telah memanfaatkan proses pembuatan DPT untuk kepentingan Pasangan Nomor Urut 3 (tiga).

Para Teradu Tidak Membuat DPT Secara Benar yang Berakibat Banyak Pemilih Yang Bukan Warga dari Kabupaten ……………………….. dan Tidak Memiliki NIK Kabupaten ……………………….. ikut Mencoblos.

  1. Bahwa, Para Teradu sengaja memasukkan hasil pemutakhiran data pemilih yang tidak jelas guna memenangkan Pasangan Nomor Urut 3. Akibatnya, ketika pemilihan berlangsung, banyak penduduk yang tidak memiliki hak pilih namun namanya tercatat dalam DPT dan akhirnya dapat menggunakan hak pilihnya. Selain itu, dalam pelaksanaan Pemilukada, baru kemudian diketahui banyak nama yang dipergunakan namanya oleh orang lain untuk memilih (Bukti P-6 dan P-7).
  2. Banyaknya penduduk yang bukan berasal dari Kabupaten ……………………….. dimobilisasi untuk melakukan pemilihan dalam Pemilukada Kabupaten ……………………….. tahun 2015, untuk itu hasil Pemilukada Kabupaten ……………………….. menjadi cacat.

 

Para Teradu Tidak Pernah Melakukan Rapat Pleno Penetapan DPT dengan Pengadu Sebagai  Peserta Pemilukada.

  1. Para Teradu tidak pernah melakukan pleno dengan Pengadu sebagai  Peserta Pemilukada Kabupaten ……………………….. dalam Menetapkan Daftar Pemilih Tetap ( DPT ).
  2. Bahwa tindakan yang dilakukan Teradu dikualifikasi sebagai pelanggaran yang disengaja karena Teradu memang menghalang-halangi akses Pengadu terhadap DPT.
  3. Bahwa, tindakan Teradu tidak melakukan rapat pleno Penetapan DPT yang dihadiri dan ditandatangani oleh Pengadu dan/atau Tim Sukses Para Pengadu sebagai Peserta Pemilukada adalah merupakan tindakan  awal Teradu yang perlu ditengarai sebagai tindakkan Teradu yang secara sistematis, terstruktur dan massif bermaksud menggelembungkan hak pemilih dengan cara yang tidak transparan dan akuntabel terhadap penetapan DPT sehingga  mengakibatkan  banyak nama-nama yang ada di dalam DPT tidak dapat dikontrol kebenarannya baik oleh peserta Pemilukada maupun para  pemilih, akibatnya banyak pemilih yang tidak memiliki KTP dan Nomor NIK Kabupaten ……………………….. dapat menggunakan hak pilihnya.
  4. Bahwa Pengadu jauh hari sebelum penyelenggaraan Pemilukada Kabupaten ……………………….., Pengadu telah melakukan keberatan atau complain atas ketidakwajaran yang dilakukan oleh Teradu dalam menetapkan DPT, akan tetapi tidak dihiraukan oleh Teradu, dan tetap menyelenggarakan Pemilukada dengan DPT yang cacat (Bukti P-3 dan P-4).
  5. Bahwa atas pelanggaran yang dilakukan oleh Teradu terhadap DPT tersebut mengakibatkan terjadinya ketidakpastian hukum atas DPT yang digunakan sebagai dasar dalam Rekapitulasi Perhitungan Hasil Perolehan Suara Pemilukada Kabupaten ……………………….. oleh Teradu karena faktanya penetapan DPT tidak pernah dilakukan Teradu dengan melibatkan Pengadu sebagai Peserta Pemilukada Kabupaten ……………………….. Tahun 2015.
  6. Bahwa tindakan Teradu melakukan pemutakhiran data a quo adalah merupakan kesengajaan untuk   memasukkan warga yang tidak berasal dari Kabupaten ……………………….. untuk dapat memilih pada pelaksanaan Pemilukada di Kabupaten ……………………….., tindakan Temohon tersebut  telah melanggar dan tidak sesuai dengan Peraturan KPU Nomor  4 Tahun 2015, sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) yang menyatakan :

“Pemilih sebagaimana dimaksud ayat (1) harus memenuhi syarat:

  1. Tidak terganggu jiwa/ingatannya;
  2. Tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
  3. Berdomisili didaerah pemilihan paling kurang 6 (enam) bulan sebelum disahkannya DPS yang dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk atau dokumen Tanda Kependudukan dari instansi yang berwenang; dan
  4. Tidak sedang menjadi Anggota Tentara Nasional Indonesia, atau Kepolisian Negara Republik Indonesia;

 

  1. Bahwa terdapat banyak masyarakat yang namanya tercatat dalam DPT padahal mereka tidak memiliki KTP dan bukan merupakan penduduk yang berdomisili didaerah pemilihan paling kurang 6 (enam) bulan sebelum disahkannya DPS yang dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk atau dokumen Tanda Kependudukan dari instansi yang berwenang.
  2. Bahkan Kandidat Calon Bupati Nomor 4 yakni Drs. Ferdinand Dimara, M.Si juga tidak dapat menggunakan hak pilihnya, karena tidak tercantum dalam DPT. Selain itu Kabid Kominfo, Kadis Catatan Sipil dan Kepala badan Wilayah Perbatasan juga tidak dapat melakukan hak pilihnya, dikarenakan namanya tidak tercantum dalam DPT.
  3. Bahwa banyaknya hak pilih yang bukan berasal dari Penduduk yang berdomisili di Kabupaten ……………………….. terjadi di beberapa TPS, antara lain yang berhasil dicatat :
No. DPT TPS Jumlah Keterangan
1. WAISAI KOTA TPS 1 s/d TPS 8 1400 suara Berdasarkan Wawancara dengan Ketua PPS Kelurahan WAISAI KOTA dan berdasarkan bukti DPT yang nomor NIKnya bukan NIK …………………………*
2. SAPORDANCO TPS s/d TPS 4 600

suara

Berdasarkan Wawancara Ketua PPS Kelurahan SAPORDANCO dan berdasarkan bukti DPT yang nomor NIKnya bukan NIK …………………………*
TOTAL 2000 suara

*Keterangan :

NIK Pendudukan Kabupaten ……………………….. dapat dibuktikan dengan Kode 90 yang merupakan Kode Provinsi Papua Barat, 05 Kode Kabupaten ……………………….., dengan diakhiri sebelum angka terakhir, dengan angka 000. Apabila tidak sesuai dengan Kode sebagaimana dimaksud diatas, maka bukan merupakan Penduduk Kabupaten …………………………

  1. Bahwa terdapat kejanggalan – kejanggalan mengenai DPT yang mana data tersebut tidak diambil dari data sebelumnya yang mencakup data pemilih sementara (DPS) (Bukti P-27), sehingga menyebabkan keanehan berupa banyaknya pemilih yang terdaftar sebagai DPT di Kabupaten ……………………….. namun bukan merupakan penduduk dan tidak memiliki KTP Kabupaten …………………………
  2. Bahwa berkaitan dengan DPT yang bermasalah dan tidak akurat tersebut di atas, ternyata dapat dibuktikan oleh Pengadu bahwa perbuatan tersebut dilakukan secara sengaja oleh Teradu, terstruktur, sistemik  dan secara massif, sangat potensial dan de facto memberikan keuntungan kepada Pasangan Calon Nomor Urut 3 (tiga) karena hal tersebut membuat Pasangan Calon Nomor Urut 3 (tiga) ditetapkan oleh Teradu sebagai Pasangan Calon Terpilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten ……………………….. tahun 2015;
  3. Keberadaan para pemilih banyak yang dapat menggunakan hak pilihnya meskipun tidak berdomisili dan tidak memiliki KTP Kabupaten ……………………….. seperti tersebut di atas, adalah tidak lain campur tangan dari Teradu yang juga sesungguhnya mempunyai ”kedekatan” dan merupakan praktek nepotisme dengan pasangan calon nomor urut 3 (tiga), Pasangan dimaksud karena kapasitas pengaruhnya dapat lebih leluasa berkomunikasi dan mempengaruhi secara langsung dalam pengangkatan aparat penyelenggara pemilu lainnya.
  4. Karena banyaknya pelanggaran yang dilakukan Teradu dalam pengangkatan  aparat penyelenggara pemilukada lainnya di Kabupaten ……………………….., sehingga keberpihakannya sangat kentara, terutama dalam tidak menyebarkan undangan pemilih dan/atau menolak pemilih yang hanya membawa KTP dan pengerahan masa pemilih yang tidak sah.

Terdapat DPT yang Tidak Valid

  1. Bahwa di beberapa TPS, petugas TPS masih menggunakan DPT yang belum diperbaharui dan DPT yang tidak sesuai dengan keadaan di lapangan sehingga terjadi penggelembungan dan pengurangan suara. Sebagai fakta hal ini antara lain terjadi di :
  • Di Distrik Kota Waisai, terdapat pelanggaran yang dilakukan oleh Teradu dimana DPT yang digunakan masih DPT yang berdasarkan pada DPT Pemilu Nasional Pilpres dan Legislatif 2014.
  • Di TPS 04 Distrik Waisai Kota terdaftar di No 12 dengan nama pemilih Benyamin Weror ternyata sudah meninggal pada tahun 2015
  • Di TPS 01 Distrik Waisai Kota terdaftar di No 92 dengan nama pemilih Benny Fakdawer ternyata sudah meninggal
  • Di TPS 01 Distrik Waisai Kota terdaftar di No 546 dengan nama pemilih Sandra Koibur ternyata sudah meninggal
  • Di TPS 01 Distrik Waisai Kota terdaftar di No 179 dengan nama pemilih Nikolas Mampioper ternyata sudah meninggal
  • Asia Gaman TPS 2 Warmasen sudah Almarhum
  • Di TPS 1, Kampung Warsambim Distrik Teluk Mayalibit, dengan pemilih bernama Carolina Amber Baken, ternyata diwakilkan anak yang masih bersekolah di SD, dengan motivasi agar mendapatkan uang dari pasangan No. 3, dikarenakan Ibunya tidak dapat memilih dikarenakan masih sakit.
  • Serta beberapa pelanggaran, yakni 1 orang pemilih terdapat dalam beberapa TPS yang tersebar di 3 Kelurahan Distrik Kota Waisai (Bukti P-18), diantarannya:
  1. Eta Maros TPS 3 Sapordanco 106 – TPS 1 – TPS 2 ( Ganti Tanggal Lahir ) 125&104 Warmasen
  2. Asmani Abdul Rahman Ket. ( TPS 1 Sapordanco 70) & ( TPS 2 Warmasen 67 )
  3. Purnama Sari Wawiyai ( TPS 2 Warmasen 325 ) ( TPS 5 Warmasen 207)
  4. Benny Fakdawer ( TPS 1 Sapordanco) – Almarhum 92
  5. Fitria Rumamora ( TPS 1 Sapordanco 174) ( TPS 5 Warmasen 114)
  6. Hendra Alfiau ( TPS 1 Sapordanco 200 ) ( TPS 2 Warmasen 23) ( Balik Nama )
  7. Mahmud Rumamora ( TPS 1 Sapordanco 323) ( TPS 2 Warmasen 229 )
  8. Mertengis Dawa( TPS 1 Sapordanco 355) ( TPS 2 Warmasen 238)
  9. Diah Rahayu Retnowati ( TPS 7 Waisai 121-122) Ganti TTL & Alamat
  10. Elvira Syukur ( 147 harusnya di Warmasen muncul di Waisai Kota ) TPS 07
  11. Herdianto ( TPS 7 Waisai 208-209) Rubah TTL dan alamat
  12. Laute ( TPS 2 Warmasen 213 ) & ( TPS 3 Warmasen 282)
  13. Hendri ( 226/227 TPS 07 Waisai Kota ) Rubah TTL dan alamat
  14. Safi Wawiyai ( TPS 02 Warmasen 467) ( TPS 5 Warmasen 275)
  15. Mahani Wawiyai ( TPS 02 Warmasen 228) (TPS 5 Warmasen 159)
  16. Maryam Umalian ( TPS 02 Warmasen 244) ( TPS 05 Warmasen 171)
  17. Heri Suwanto ( TPS 02 Warmasen 149) ( tps 01 Warmasen 159)
  18. Gamaria Swara ( TPS 03 Warmasen 140) ( TPS 03 Sapordanco 120) ( TPS 04 Warmasen 209, Main di Umur
  19. Abdul Manan Kaflot ( TPS 01 Sapordanco 05 ) Harusnya di TPS 02 Sapordanco
  20. Usman Laode ( TPS 02 Warmasen 481) ( TPS 02 Sapordanco 576)
  21. Desi Asrawati ( TPS 04 Warmasen 133/134) Ganda
  22. Ahmad Rizal Sangaji ( TPS 03 Waisai 14 ) TPS 01 Sapordanco 27)
  23. Alsa Sangaji ( TPS 03 Waisai 26) ( TPS 01 Sapordanco 36 )
  24. ( TPS 03 Waisai 299/300) Ubah
  25. Darmawati Patiran ( Ibu RT 04 Sapordanco, ternyata nama ada coklit, di DPT tidak ada ) ubah tempat tanggal lahir
  26. Zaelan Hasan ( Ketua RT 04 Sapordanco, ternyata nama ada coklit, di DPT tidak ada )
  27. Aminudin Talafuka ( TPS 02 Sapordanco) ( TPS 03 Sapordanco )
  28. Chaeranitansyah Ashari ( TPS 02 Warmasen ) ( TPS 05 Warmasen )
  1. Bahwa terjadi manipulasi dan praktek rekayasa dalam pembuatan DPT, yang mana data tersebut tidak diambil dari data sebelumnya yang mencakup data pemilih sementara (DPS) Pilkada Kabupaten ……………………….. tahun 2015, DPT Pemilu Legislatif tahun 2014 maupun Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tahun 2014. Akibatnya banyaknya pemilih yang terdaftar pada DPT Pemilu Legislatif tahun 2014 dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tahun 2014 tidak lagi tercantum dalam DPT Pemilukada Kabupaten ……………………….. tahun 2015.
  2. Bahwa berkaitan dengan DPT yang bermasalah dan tidak akurat sebagaimana tersebut di atas, ternyata dapat dibuktikan oleh Pengadu bahwa perbuatan tersebut dilakukan dengan sengaja oleh Teradu secara Terstruktur, Sistemik  dan secara Massif, yang sangat potensial dan de facto memberikan keuntungan kepada Pasangan Calon Nomor Urut 3 (tiga) karena hal tersebut menjadikan Pasangan Calon Nomor Urut 3 (tiga) ditetapkan oleh Teradu sebagai Pasangan Calon ditetapkan sebagai calon dengan suara terbanyak dalam penetapan rekapitulasi hasil perhitungan suara Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten ……………………….. tahun 2015;

Teradu Sengaja Menyampaikan Undangan pada Dini Hari pada Hari Pemilihan.

  1. Adanya kesengajaan dari Teradu untuk  menghalangi  banyak pemilik suara untuk memilih, dilakukan oleh Teradu dan jajaran penyelenggara dibawahnya dengan cara menyampaikan undangan untuk memilih pada para pemilih pada Malam satu hari sebelum hingga Dini Hari pada Hari Pemilihan yakni disampaikan pada pukul 20.00 WIT hingga jam 02.30 WIT. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya undangan dan kartu pemilih yang ditemukan tidak disampaikan pada para pemilih. Beberapa di antaranya bentuk fisiknya berhasil ditemukan oleh warga, antara lain:
No. DPT TPS Jumlah Keterangan
1. WAISAI KOTA TPS 1 s/d TPS 8 381 suara Berdasarkan keterangan Warga
2. SAPORDANCO TPS1 s/d TPS 3 137

suara

Berdasarkan keterangan Warga
3. BONKAWIR TPS 1 s/d TPS 2 93

suara

Berdasarkan keterangan Warga
4. WARMASEN TPS 1 s/d TPS 5 241 suara Berdasarkan keterangan Warga
852 Suara
  1. Bahwa undangan memilih ini sengaja tidak dibagikan kepada simpatisan atau pendukung Para Pengadu. Sebaliknya, Surat undangan memilih ini hanya dibagikan kepada orang-orang yang mendukung Pasangan Nomor Urut 3 (tiga) atau yang dapat diarahkan untuk memilih Pasangan Nomor Urut 3 (tiga).
  2. Bahwa akibat tidak mendapat undangan, calon pemilih yang diketahui merupakan simpatisan Pengadu tidak dapat memilih. Hal ini dapat pula terlihat dari angka partisipasi pemilih dan banyaknya calon pemilih yang tidak jadi memilih karena tidak mendapatkan undangan pemilih.
  3. Bahwa bukti-bukti yang ditemukan oleh Pengadu merupakan sebagian dari bukti-bukti yang berhasil dikumpulkan karena tidak dibagikannya surat undangan merupakan perbuatan yang sudah direncanakan demi kepentingan Pasangan Calon Nomor Urut 3 (tiga).
  4. Adapun data pemilih yang tidak dibagikan undangan pemilih diantaranya :
No. DISTRIK TPS Jumlah Keterangan
1. WAISAI KOTA TPS 1 s/d TPS 8 2010 suara Berdasarkan keterangan Warga
2. SAPORDANCO TPS1 s/d TPS 3 1211

suara

Berdasarkan keterangan Warga
3. BONKAWIR TPS 1 s/d TPS 2 513

suara

Berdasarkan keterangan Warga
4. WARMASEN TPS 1 s/d TPS 5 1623 suara Berdasarkan keterangan Warga
5. WAIGEO TIMUR TPS 1 8 suara Berdasarkan keterangan Warga
6. WAIGEO BARAT DARATAN TPS 1 11 suara Berdasarkan keterangan Warga
7. KOFIAU TPS 1 s/d TPS 5 285 suara Berdasarkan keterangan Warga
8. WAIGEO SELATAN TPS 1 15 suara Berdasarkan keterangan Warga
9. KEPULAUAN SEMBILAN TPS 1 30 suara Berdasarkan keterangan Warga
5.706 Suara

 

Teradu Sengaja Tidak Secara Benar Mensosilisasikan Pemilih Dapat Memilih Dengan Menunjukkan KTP.

  1. Bahwa Pengadu banyak menerima masukan dari masyarakat, di beberapa wilayah banyak undangan untuk memilih tidak disampaikan pada Pemilih. Pengadu telah mengajukan protes dan mendesak Teradu agar Teradu membuat pemberitahuan berupa Surat Edaran   kepada Seluruh petugas penyelenggara Pemilukada di Kabupaten ……………………….. ditingkat PPK dan KPPS, agar pemilih yang tidak dapat undangan memilih tetap datang ke TPS untuk memilih/mencoblos dengan menunjukkan KTP. Permintaan Pengadu tersebut ditolak oleh Teradu dengan alasan yang tidak jelas.
  2. Bahwa pada akhirnya disepakati baik oleh Muspida, Kapolres ……………………….. maupun dari keempat pasangan calon pada tanggal 9 desember 2015 untuk menunda pemilihan kepala daerah Kabupaten ……………………….. tahun 2015 dari jam 07.00 WIT ditunda sampai jam 14.00 WIT.
  3. Tindakan Teradu a quo telah merugikan para pendukung yang akan memilih  Pengadu, karena tidak ada bukti tertulis dari  Teradu yang memperbolehkan pemilih memilih tanpa surat undangan memilih. Akibatnya banyak pemilih tidak bisa menggunakan hak pilihnya. Dan tindakan Teradu tersebut disengaja dengan tujuan untuk memenangkan Pasangan Calon Nomor Urut 3 (tiga).

Pemasangan DPT oleh Teradu yang Tidak Sesuai dengan Ketentuan Perundang – Undangan.

  1. Tindakan sistematis Teradu untuk menghilangkan banyak suara pemilih dilakukan dengan sengaja oleh Teradu hingga  ditingkat TPS banyak yang tidak memasang DPT di TPS –TPS.
  2. Bahwa selain banyaknya masyarakat yang tidak terdaftar dalam DPT, pada saat pencoblosan KPPS tidak membagikan DPT kepada para saksi resmi dari setiap pasangan calon.
  3. Bahwa DPT yang ditempelkan di masing-masing TPS tidak sama dengan DPT yang ditempelkan tiap Kampung sebelum hari pemungutan suara.
  4. Bahwa akibat tidak adanya DPT yang dipegang oleh para saksi resmi maupun yang ditempel akan tetapi berbeda dengan DPT yang ditempel disetiap Kampung sebelum hari pemungutan suara, akibatnya mempersulit para saksi untuk memeriksa dan mengontrol apakah pemilih yang menggunakan hak pilihnya telah sesuai dengan DPT atau tidak.

 

  • PELANGGARAN–PELANGGARAN SETELAH PENCOBLOSAN

Banyaknya Pelanggaran Penyalahgunaan Wewenang Dilakukan Oleh Teradu Dalam Penyelenggaraan Pemilukada di Kabupaten ………………………..

 

  1. Bahwa pada saat dilakukannya hasil perhitungan suara pada Rapat Pleno tingkat kabupaten ……………………….. oleh pihak Teradu pada tanggal 17 Desember 2015, terdapat kesalahan – kesalahan dan ketidaksesuaian  penghitungan.
  2. Kesalahan-kesalahan dan ketidaksesuaian ini berulangkali terjadi, terutama yang menjadi masalah krusial di Distrik Waisai Kota yang terdiri dari 4 PPS dan 17 TPS, Setelah mencoba melakukan perbaikan, tidak dapat disepakati oleh saksi-saksi Para Pengadu.
  3. Adapun yang dimaksud 4 PPS dan 17 TPS adalah sebagai berikut :
  • Kelurahan Waisai Kota terdiri dari TPS 01 s/d TPS 07
  • Kelurahan Sapordanco terdiri dari TPS 01 s/d TPS 03
  • Kelurahan Warmasen terdiri dari TPS 01 s/d TPS 05
  • Kelurahan Bon Kawir terdiri dari TPS 01 s/d TPS 02
  1. Bahwa kesalahan yang terjadi diatas karena terdapatnya kesalahan dari penghitungan suara tingkat TPS yang terjadi secara meluas (pengisian form C-1 dan rekapitulasi suara yang tidak sesuai dengan prosedur) di Distrik Waisai Kota, terstruktur dan masif di seluruh kabupaten ……………………….., sehingga pada saat rapat pleno, kesalahan tersebut dilanjutkan dari tingkat TPS sampai ke penghitungan suara di Kabupaten.
  2. Bahwa saksi-saksi Pengadu mengajukan keberatan dan meminta penghitungan suara diulang kembali dari awal untuk Distrik Waisai Kota, karena perbedaan tersebut merugikan Pengadu, namun keberatan tersebut tidak diakomidir sama sekali oleh Teradu.
  3. Bahwa selain keberatan mengenai penghitungan suara Distrik Kota Waisai, saksi-saksi Pengadu juga berkeberatan atas pelanggaran-pelanggaran yang sistematis, terstruktur dan massif yang terjadi di berbagai tempat, diantaranya di Kampung Dibalal, Kampung Kalitoko dan Kampung Yenbekaki.
  4. Proses penghitungan suara yang dipenuhi pelanggaran dan penolakan pendatanganan formulir keberatan oleh Teradu telah merugikan Para Pengadu, dan merupakan pelanggaran serius.
  5. Selain itu pada saat Belum disahkan hasil pleno hasil perhitungan suara ditingkatan distrik, akan tetapi sudah disahkan diambil alih oleh  KPU Kabupaten …………………………

 

 

Tentang Upaya Penghilangan Hak Pilih Secara Sistematis, Terstruktur dan Massif yang dilakukan oleh Teradu

  1. Bahwa terdapat fakta yang ditemukan oleh Pengadu dimana Teradu dengan secara sengaja dan nyata telah melakukan modus lain dalam penghilangan hak pilih pemilih di beberapa TPS di wilayah beberapa distrik dengan cara menempatkan pemilih tersebut untuk memilih di tempat yang jauh dari domisilinya, sehingga Pemilih tidak dapat menggunakan hak pilihnya dikarenakan harus melakukan perjalanan yang cukup jauh dari tempat tinggalnya, padahal terdapat beberapa TPS yang lebih dekat dengan tempat tinggal pemilih tersebut;
  2. Bahwa Pemilih yang tidak dapat memilih dikarenakan sebagaimana tersebut diatas adalah terjadi di Distrik Kota Waisai diantanya :
  • di Kelurahan Waisai Kota dari TPS 05 ke TPS 04,
  • di Kelurahan Waisai Kota dari TPS 08 ke TPS 07,
  • di Kelurahan Waisai Kota dari TPS 07 ke TPS 06,
  • di Kelurahan Waisai Kota dari TPS 06 ke TPS 05,
  • di Kelurahan Waisai Kota sebanyak 7 TPS,
  • di Kelurahan Sapordanco sebanyak 3 TPS,
  • di kelurahan Warmasen sebanyak 5 TPS.
  1. Bahwa perbuatan Teradu tersebut sangat merugikan Pengadu, yaitu hilangnya potensi penambahan suara Pengadu dalam jumlah yang cukup banyak dan mengakibatkan Pengadu kalah selisih suara dengan Pasangan Calon Nomor Urut 3 (tiga) berdasarkan rekapitulasi perhitungan perolehan suara oleh Teradu;
  2. Bahwa perbuatan Teradu tersebut telah melanggar Asas Dalam Penyelenggaraan Pemilukada yakni Pasal 9 ayat (2) Peraturan KPU Nomor  4 Tahun 2015 yang menyatakan : ”TPS ditentukan lokasinya di tempat yang mudah dijangkau, termasuk orang penyandang cacat serta menjamin setiap pemilih dapat memberikan suaranya secara langsung bebas dan rahasia”.
  3. Bahwa berdasarkan Pasal 9 ayat (2) Peraturan KPU Nomor  4 Tahun 2015 Penyusunan Data Pemilih dilakukan dengan mebagi pemilih tiap TPS paling banyak 800 (delapan ratus orang), dengan memperhatikan tidak menggabungkan desa/kelurahan, memudahkan pemilih dan jarak tempuh menuju TPS. Dengan adanya pengacakan TPS maka melanggar Pasal 9 ayat (2) Peraturan KPU Nomor  4 Tahun 2015.
  4. Bahwa dengan demikian upaya pelanggaran terstruktur, sistematis dan massif terbukti dilakukan oleh Teradu selaku Penyelenggara Pemilukada yang seharusnya taat azas dan aturan, serta bersikap profesional, dan menjaga independensi.

Pelanggaran Administrasi  Pemilukada

  1. Bahwa seluruh tindakan atau perbuatan Teradu selaku penyelenggara Pemilukada Kabupaten ……………………….. telah melanggar prinsip penting di dalam pemilu yang meliputi asas LUBER dan JURDIL dan sekaligus telah merusak sendi-sendi demokrasi, yaitu meliputi: melakukan pelanggaran dalam Rapat Pleno Rekapitulasi Pengitungan Perolehan Suara di Tingkat Kabupaten, Perubahan Dokumen Berita Acara, keberpihakan kepada salah satu pasangan calon, khususnya Pasangan Calon Nomor Urut 3 (tiga), dan/atau telah berbuat curang terhadap pembuatan DPT yang menguntungkan kepada salah satu pasangan calon, penghilangan hak pilih dan pelanggaran adminsitratif lainnya. Hal tersebut telah melanggar Pasal 2 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 12 Tahun 2010 menyatakan, ”Penyelenggara Pemilu berpedoman kepada asas, mandiri, jujur, adil, kepastian hukum, tertib penyelenggara pemilu, kepentingan umum, keterbukaan, proposionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, efisien dan ekfektivitas”;

 

  1. Adanya Praktek Politik Uang (Money Politics) yang Dilakukan Oleh Tim Pasangan Calon Nomor Urut 3 (tiga)

 

  1. Bahwa Teradu membiarkan Pasangan Calon Nomor Urut 3 (tiga) melakukan praktek politik uang dalam pelaksanaan Pemilukada di Kabupaten ……………………….. tahun 2015 (Bukti P-5).
  2. Bahwa pola praktek money politics (Bukti P-8, P-9, P-10, P-11 dan P-12) yang dilakukan Pasangan Calon Nomor Urut 3 (tiga) dilakukan sejak sebelum hingga setelah berlangsungnya pemungutan suara, terutama selama masa kampanye dan pada masa tenang serta setelah pencoblosan, dengan cara-cara antara lain sebagai berikut:
  • Tim Pasangan Calon Nomor Urut 3 (tiga) Memberikan uang Rp. 30.000.000 (tiga puluh juta rupiah) di seluruh kampung di Kabupaten ……………………….., untuk dibagikan kepada pemilih di masing-masing kampung.
  • Wakil Calon Bupati Nomor urut 3 (tiga) turun langsung untuk membagi-bagikan uang.
  • Tim Sukses Pasangan Nomor Urut 3 (tiga) membagikan uang dengan jumlah mulai dari Rp. 100.000 (seratus ribu rupiah) sampai dengan Rp 300.000 (tiga ratus ribu rupiah) per orang, dengan cara antara lain membagikan uang dalam amplop pada calon pemilih yang di dalamnya terdapat tulisan “pilih nomor 3 (tiga)” diantaranya di Kampung :
NO. KAMPUNG WAKTU KEJADIAN KETERANGAN
1. Amdui Tanggal 8 Desember 2015 Sebesar Rp. 300.000 (tiga ratus ribu rupiah) per orang
2. Saporkren Tanggal 8 Desember 2015 Sebesar Rp. 30.000.000 (tiga puluh juta rupiah) kemudian dibagi ke masing-masing  pemilih pada tanggal 10 Desember 2015 sebesar Rp. 300.000 (tiga ratus ribu rupiah)
3. Salio Tanggal 9 Desember 2015 Sebesar Rp. 300.000 (tiga ratus ribu rupiah) per orang
4. Wailabu Tanggal 9 Desember 2015 Sebesar Rp. 300.000 (tiga ratus ribu rupiah) per orang
5. Fafanlap Tanggal 8 Desember 2015 Sebesar Rp. 300.000 (tiga ratus ribu rupiah) per orang
6. Rauki Tanggal 8 Desember 2015 Sebesar Rp. 300.000 (tiga ratus ribu rupiah) per orang
7. Waisai (Sapordanco) Tanggal 8 Desember 2015 Sebesar Rp. 300.000 (tiga ratus ribu rupiah) per orang
8. Warsambim Tanggal 8 Desember 2015 Sebesar Rp. 300.000 (tiga ratus ribu rupiah) per orang
9. Yensawai Tanggal 8 dan 9 Desember 2015 Sebesar Rp. 300.000 (tiga ratus ribu rupiah) per orang
10. Yenbeser Tanggal 9 Desember 2015 Sebesar Rp. 400.000 (empat ratus ribu rupiah) per orang
11. Dibalal Tanggal 8 Desember 2015 Sebesar Rp. 900.000 (sembilan ratus ribu rupiah) per orang
12. Deer Tanggal 8 Desember 2015 Sebesar Rp. 300.000 (tiga ratus ribu rupiah) per orang
13. Ayau Tanggal 8 Desember 2015 Sebesar Rp. 300.000 (tiga ratus ribu rupiah) per orang
14. Pam Tanggal 8 Desember 2015 Sebesar Rp. 300.000 (tiga ratus ribu rupiah) per orang
15. Kalobo Tanggal 8 Desember 2015 Sebesar Rp. 300.000 (tiga ratus ribu rupiah) per orang
16. Wauwiyai Tanggal 10 Desember 2015 Sebesar Rp. 300.000 (tiga ratus ribu rupiah) per orang
17. Samate Tanggal 8 Desember 2015 Sebesar Rp. 300.000 (tiga ratus ribu rupiah) per orang
18. Saukabu Tanggal 8 Desember 2015 Sebesar Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah) per orang
19. Dorekar Tanggal 8 dan 9 Desember 2015 Sebesar Rp. 300.000 (tiga ratus ribu rupiah) per orang

 

  1. Bahwa Ketentuan Pasal 73 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang telah menegaskan larangan politik uang, sebagai berikut:

Calon dan/atau Tim Kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk untuk mempengaruhi pemilih”

  1. Bahwa praktek politik uang yang dilakukan secara langsung oleh Tim Sukses Pasangan Nomor Urut 3 (tiga) dan bersama dengan tim pendukungnya tersebut, memang merupakan bagian dari upaya sistematis pemenangan dan dukungan terhadap Pasangan Nomor Urut 3 (tiga) sampai menggunakan cara-cara yang tidak patut yang dapat merusak sendi-sendi demokrasi.

 

 

  1. Adanya Banyak Intimidasi yang Dilakukan oleh Tim Pasangan Calon Nomor Urut 3 (Tiga).

 

  1. Bahwa pada saat pemungutan suara ada beberapa orang yang mengancam pemilih yang hendak mencoblos. Pemilih merupakan pendukung Pasangan Calon Nomor Urut 4 (empat), namun harus memilih Pasangan Calon Nomor Urut 3 (tiga) dan setelah itu akan diberikan uang di Kampung Fafanlap, Kampung Rauki melakukan intimidasi terhadap pendukung Pasangan Calon Nomor 4 (empat) dan Pasangan Nomor urut 1 (satu).
  2. Bahwa selain Pemilukada harus sesuai dengan “asas luber dan jurdil” pelaksanaan Pemilukada juga tidak boleh ada tekanan atau intimidasi dari pihak manapun yang dapat mencederai demokrasi. Masyarakat sebagai warga negara mempunyai hak pilih yang merupakan hak asasi harus terhindar dari rasa takut, tertekan dan terancam dalam mengikuti proses demokrasi, karena hal tersebut sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 45 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”, dan bersesuaian dengan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas rasa aman dan tentram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu”.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, Tindakan Teradu Tidak Membuat DPT Secara Benar yang Berakibat Banyak Pemilih Yang Bukan Warga dari Kabupaten ……………………….. dan Tidak Memiliki NIK Kabupaten ……………………….. ikut Mencoblos, Teradu Tidak Pernah Melakukan Rapat Pleno Penetapan DPT dengan Pengadu Sebagai  Peserta Pemilukada, Teradu Sengaja Menyampaikan Undangan pada Dini Hari pada Hari Pemilihan, Teradu Sengaja Tidak Secara Benar Mensosilisasikan Pemilih Dapat Memilih Dengan Menunjukkan KTP, Pemasangan DPT oleh Teradu yang Tidak Sesuai dengan Ketentuan Perundang – Undangan, Tentang Upaya Penghilangan Hak Pilih Secara Sistematis, Terstruktur dan Massif yang dilakukan oleh Teradu, Adanya Praktek Politik Uang (Money Politics) yang Dilakukan Oleh Tim Pasangan Calon Nomor Urut 3 (tiga) dan Adanya Banyak Intimidasi yang Dilakukan oleh Tim Pasangan Calon Nomor Urut 3 (Tiga) adalah merupakan Tindakan Teradu melanggar azas Pemilu yang LUBER JURDIL terjadi Secara Sistematis, Terstruktur dan Masif  dengan Tujuan Memenangkan Pasangan Calon Nomor Urut 3 (tiga)

  1. Bahwa pelanggaran-pelanggaran (Bukti P-13) tersebut di atas yang dilakukan oleh Teradu sangat serius dan signifikan yang mempengaruhi perolehan suara dan bahkan telah mengingkari prinsip penting dari konstitusi, demokrasi dan hak-hak warga negara (Vide Pasal 18 ayat (4) dan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 serta peraturan perundang-undangan lainnya, yang tidak dibenarkan terjadi di Negara Hukum Republik Indonesia;
  2. Bahwa pelanggaran-pelanggaran yang sangat serius dan signifikan tersebut (Bukti P-14) mempunyai dampak dan pengaruh terhadap perolehan suara, menggelembungkan suara Pasangan Calon Nomor Urut 3 (tiga) dan mengurangi Pasangan Calon Nomor Urut  4 (empat), 1 (satu) dan 2 (dua), sehingga adalah patut dan wajar untuk dilakukan pemungutan suara ulang dan/atau  menetapkan perolehan suara Pasangan calon setidaknya sebagai berikut:*
NO. NAMA PASANGAN PEROLEHAN SUARA
1. ………………………………..

dan

………………………………..

5.970 suara
2. …………………………………

dan

………………………………..

2.028 suara
3. ……………………………….. dan

………………………………..

11.225 suara
4. ……………………………….. dan

………………………………..

15.390 suara

* Akumulasi perhitungan diatas adalah merupakan hasil perhitungan Untuk Nomor Urut 3 adalah dikurangi Jumlah Penduduk yang tidak memiliki KTP dan Bukan Penduduk ……………………….., akan tetapi dimobilisasi untuk ikut mencoblos pasangan Nomor Urut 3 (13.225 – 2.000 = 11.225). Sedangkan Untuk Nomor Urut 4 adalah ditambahkan dengan Undangan yang tidak disampaikan dan diberikan pada dini hari ( 8.832 + 5.706 + 852 = 15.390)

 

  1. Bahwa dengan adanya pelanggaran-pelanggaran yang serius dan signifikan sehingga dapat dikualifikasi sebagai massif, sistematis dan terstruktur yang dilakukan oleh Teradu, DKPP berwenang untuk menyatakan Teradu telah melanggar Kode Etik dan memberikan sanksi baik berupa Pemberhentian tetap, atau pemberhentian sementara atar teguran tertulis terhadap Teradu, serta membatalkan Penetapan Hasil Perolehan Suara yang Diperoleh Setiap Pasangan Calon Atas Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kabupaten ……………………….., Sesuai Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara di Tingkat Kabupaten dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Tahun 2015 Jo. Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten ……………………….. Nomor 020/Kpts/KPU.KAB.032-436631/XII/2015 tentang Penetapan Rekapitulasi Hasil Perhitungan Perolehan Suara dan Hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati ……………………….. Tahun 2015

Berdasarkan seluruh uraian di atas maka sudilah kiranya Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menyatakan dan memutuskan sebagai berikut :

 

  1. PETITUM :
  1. Menerima dan mengabulkan Pengaduan yang diajukan oleh Pengadu untuk seluruhnya;
  2. Menyatakan Para Teradu melanggar Kode Etik;
  3. Memberikan sanksi Pemberhentian tetap kepada Para Teradu;
  4. Menyatakan batal dan tidak sah Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara di Tingkat Kabupaten dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Tahun 2015 Jo. Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten ……………………….. Nomor 020/Kpts/KPU.KAB.032-436631/XII/2015 tentang Penetapan Rekapitulasi Hasil Perhitungan Perolehan Suara dan Hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati ……………………….. Tahun 2015;
  1. Menetapkan perolehan suara Pasangan calon sebagai berikut:
NO. NAMA PASANGAN PEROLEHAN SUARA
1. ……………………………….. dan

………………………………..

5.970 suara
2. ……………………………….. dan

………………………………..

2.028 suara
3. ……………………………….. dan

………………………………..

11.225 suara
4. ……………………………….. dan

………………………………..

15.390 suara

 

  1. Menetapkan Pasangan Calon Nomor Urut 4 (empat) sebagai pemenang dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten ……………………….. Tahun 2015;

ATAU

  1. Memerintahkan Teradu untuk memperbaiki Daftar Pemilih Tetap yang bermasalah atau tidak akurat untuk dimutakhirkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
  2. Menyatakan agar Komisi Pemilihan Umum Kabupaten ……………………….. melakukan Pemungutan Suara Ulang Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten ……………………….. Tahun 2015 di seluruh  Kabupaten ……………………….. dalam waktu selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sejak putusan DKPP ditetapkan;
  3. Memerintahkan Teradu mendiskualifikasi dan mencabut hak Pasangan Calon Nomor Urut 3 (tiga) sebagai Calon Peserta Pasangan Calon Pemilukada dalam pelaksanaan Pemungutan Suara Ulang Pemilukada Kabupaten ……………………….. karena terbukti telah melakukan pelanggaran ketentuan Pemilukada.
  4. Memerintahkan Penyelenggara Pemilu Kabupaten ……………………….. untuk melaksanakan Putusan ini.

 

Atau, apabila Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) berpendapat lain mohon putusan yang seadil-adilnya berdasarkan prinsip ex aequo et bono

 

Demikian Pengaduan ini  atas segenap perhatian Bapak, kami sampaikan terima kasih.

Jakarta, … Februari 2016

Hormat kami

Kuasa Hukum Pengadu

SAIFUL ANAM & PARTNERS

 

 

 

  1. (can) Saiful Anam, SH., MH.

 

Continue Reading