Perjalanan panjang Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) sejak tahun 2004 hingga saat ini menuai perdebatan serius baik oleh kalangan Praktisi, Akademisi, Aktivis Anti Korupsi maupun antar lembaga Negara yang kian hangat diperbincangkan sehari-hari. Akar persoalannya sebenarnya terletak pada beberapa persoalan yang dianggap atau mampu memberikan efek negatif bagi penegakan hukum, utamanya pemberantasan tindak pidana korupsi yang sedang gencar dilakukan oleh aparat penegak hukum utamanya oleh KPK yang mendapat dukungan massive dari masyarakat luas, hal itu mengingat dampak negatif dari perilaku Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang sangat besar bagi keberlangsungan penyelenggaraan Negara untuk mencapai tujuannya sebagaimana tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Seperti diketahui bersama bahwa sebelumnya komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi melalui Bambang Bambang Widjojanto meminta DPR untuk menghentikan pembahasan RUU KUHAP, paling tidak terdapat 3 (tiga) alasan kenapa pembahasan RUU KUHAP harus dihentikan, pertama, masa jabatan DPR yang tinggal beberapa hari lagi dan tidak sesuai dengan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang harus dibahas, yakni terdapat kurang lebih sekitar 1.169 masalah yang harus dibahas. Kedua, terdapat naskah tandingan yang diajukan KPK, yang dianggap lebih memadai dibandingkan naskah yang diserahkan Kementerian Hukum dan HAM kepada DPR beberapa waktu lalu, yakni Naskah yang diajukan KPK lebih secara utuh menjawab dan menjelaskan masalah fundamental KUHAP mendatang serta solusinya . Ketiga, pembahasan RUU KUHAP di DPR tidak melibatkan KPK sebagai user yang akan menjalankan RUU KUHP setelah disahkan dikemudian hari.
Selain itu terdapat beberapa persoalan fundamental yang hingga kini menuai pro dan kontra, hal itu dikarenakan berhubungan erat dengan kewenangan dari aparat penegak hukum guna melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya yang selama ini telah mendarah daging dan melekat pada aparat penegak hukum dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi utamanya yang dilakukan oleh KPK. Paling tidak terdapat 12 point yang disinyalir berpotensi melemahkan KPK. Diantaranya adalah dihapuskannya ketentuan penyelidikan, KUHAP berlaku terhadap tindak pidana yang diatur di luar KUHP, Penghentian penuntutan suatu perkara, tidak memiliki kewenangan perpanjangan penahanan pada tahap penyidikan, masa penahanan tersangka lebih singkat, Hakim Komisaris dapat menangguhkan penahanan yang dilakukan penyidik dengan jaminan uang atau orang, penyitaan harus seizin dari hakim, penyadapan harus mendapat izin hakim, penyadapan (dalam keadaan mendesak) dapat dibatalkan oleh hakim, putusan bebas tidak dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung, Putusan Mahkamah Agung tidak boleh lebih berat dari putusan Pengadilan Tinggi dan Ketentuan pembuktian terbalik tidak diatur. Berdasarkan point tersebut, maka disinyalir akan melemahkan kewenangan KPK dalam upaya pemberantasan tindak pidana KKN di Indonesia.
Secara sosiologis harus diakui bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 telah tidak sesuai dengan perkembangan zaman dan harus segera dilakukan perubahan, mengingat terdapat beberapa pasal yang masih menimbulkan multitafsir dan terdapat beberapa hal yang belum diatur serta dalam penyelenggaraannya jauh dari rasa keadilan dan kemanfaatan, untuk itu kemudian terdapat keinginan dari pembentuk Undang-Undang dan beberapa kalangan yang berkepentingan untuk segera melakukan perubahan terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tersebut. Tentu perubahan (ius constituendum) kearah yang lebih baik menjadi harapan semua kalangan, untuk itu kemudian sejak 2004 telah dibentuk panitia perumus RUU KUHAP serta berulangkali tertuang dalam Program Legislasi Nasional (Proregnas), namun hingga kini RUU KUHAP belum disahkan oleh DPR, dikarenakan dalam setiap pembahasannya selalu terdapat tarik-menarik kepentingan yang berkaitan dengan kewenangan yang akan diatur dalam RUU KUHAP tersebut.
Apabila diurai, maka terdapat beberapa kepentingan baik dari DPR, Pemerintah maupun KPK dalam hal ini, mengingat terdapat kondisi tidak seperti biasanya, dimana DPR bersama Pemerintah menginginkan agar RUU KUHAP segera dilakukan pembahasan agar segera di sahkan menjadi Undang-Undang, hal itu dikarenakan selain telah menjadi suatu target dalam program legislasi, serta juga menjadi kebutuhan bersama akan hadirnya suatu Hukum Acara Pidana yang mampu memberikan Kepastian, Keadilan dan Kemanfaatan bagi semua kalangan. Sedangkan KPK dalam hal ini merasa dengan adanya percepatan pembahasan RUU KUHAP serta terdapat point-point Pasal yang mengarah pada suatu kondisi yang berpotensi terhadap pelemahan kewenangan KPK dalam upaya pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia. Untuk itu dapat dikatakan disatu sisi secara sosiologis memang RUU KUHAP sudah seharusnyalah dilakukan pembahasan dan segera disahkan, akan tetapi terdapat beberapa persoalan yang membutuhkan pembahasan secara mendalam berkaitan dengan point-point yang disinyalir akan melemahkan kewenangan KPK dalam menyelenggarakan tugas dan wewenangnya.
Dengan demikian dibutuhkan kearifan bersama guna mencari solusi terhadap beberapa point yang disinyalir akan melemahkan kewenangan KPK dalam menyelenggarakan tugas dan wewenangnya. Dibutuhkan partisipasi semua kalangan guna mengkaji, menganalisis serta memberi masukan terhadap draf RUU KUHAP demi terciptanya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang mampu memberikan kepastian Hukum, Keadilan dan Kemanfaatan, serta tidak terdapat suatu lembaga Negara manapun yang merasa dirugikan dengan hadirnya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang akan disahkan nantinya. Terhadap beberapa usulan draft RUU KUHAP yang berasal dari KPK atau lembaga lainnya juga perlu mendapat respon serta tindak lanjut sebagai bahan masukan untuk proses pembahasan pasal demi pasal dengan tanpa menghentikan proses pembahasan RUU KUHAP yang telah berjalan di DPR. Dengan demikian akan tercapai solusi yang baik antar lembaga Negara, bukan saling klaim yang saling memperkeruh suasana tanpa ada jalan keluar yang baik demi tercapainya tujuan program legislasi serta pemantapan kewenangan KPK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya yang sesuai dengan hukum tanpa mengesampingkan Hak Asasi Manusia dalam proses penegakannya.