Pasca Undang-Undang Dasar Amandemen, terdapat beberapa pergeseran lembaga Negara yang semula terdapat lembaga tertinggi Negara dalam hal ini adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), kini lembaga Negara yang ada memiliki kedudukan yang sama sebagai lembaga yang memiliki tugas dan fungsi yang berbeda. Hal itu sesuai dengan prinsip ‘check and balance’ dimana berfungsi sebagai pengontrol terhadap kewenangan regulatif baik yang dimiliki oleh Presiden/Pemerintah serta lembaga-lembaga lain yang mendapat kewenangan regulatif dari Undang-Undang.[1]
Mahkamah Konstitusi yang merupakan lembaga baru pasca UUD 1945 amandemen memiliki kedudukan yang strategis dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, selain berkedudukan sebagai lembaga kekuasaan kehakiman serta memiliki kedudukan terhadap Mahkamah Agung dan lembaga Negara lainnya.[2] Mahkamah Konstitusi dikatakan sebgai salah satu kekuasaan kehakiman sebagaimana tertuang dalam Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 amandemen yang berbunyi:
“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan sebuah Mahkamah Konstitusi” (kursif dari penulis)
Adapun yang menjadi kewenangan mahkamah Konstitusi adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 sebagimana disebutkan dibawah ini:
- Mahkamah Knsitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
- Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
- Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
- Memutus pembubaran partai politik;dan
- Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
- Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presidendiduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindk pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana diamksud dalam Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Mahkamah Konstitusi juga memiliki kedudukan terhadap lembaga Negara yang lain, diantaranya dengan Mahkamah Agung (MA), Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Yang kesemuanya saling melengkapi sehingga akan tercipta suasana pemerintahan yang yang saling melengkapi antara fungsi lembaga Negara yang satu dengan yang lainnya.[3]
a.1.Kedudukan Mahkamah Konstitusi Terhadap Mahkamah Agung
Sepintas dapat dipastikan bahwa kedua lembaga ini merupakan dua lembaga yang merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman, namun tentunya kedua lembaga ini memiliki kewenangan yang berbeda. Dalam pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa:
“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan sebuah Mahkamah Konstitusi” (kursif dari penulis)
Ketika melihat bunyi pasal diatas, maka jelas bahwa antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi merupakan sama-sama kekuasaan kehakiman, namun perlu dilihat pula tentang kewenangan dari Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam Pasal 24A ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa:
“Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan undang-undang ”
Sedangkan wewenang Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.
Selain kewenangan diatas, Mahkamah konstitusi memiliki kewengan satu lagi yang sangat urgen yakni sebagaimana diatur dalam pasal 24C ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa:
“Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar”
Berdarsakan bunyi Pasal-Pasal dalam Undang-Undang Dasar diatas, maka antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung adalah sama-sama sebagai pelaku kekuasaan kehakiman di Indonesia. Maka dengan demikian pula dapat disimpulkan bahwa kekuasaan kehakiman di Indonesia menganut sistem bifurkasi (bifurcation system), dimana kekuasaan kehakiman terbagi dalam 2 (dua) cabang, yaitu cabang peradilan biasa (ordinary court) yang berpuncak pada Mahkamah Agung dan cabang peradilan Konstitusi yang dijalankan oleh Mahkamah Konstitusi.[4]
Dengan demikian jelas bahwa antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung merupakana 2 (dua) lembaga tinggi negara yang sejajar yang sama-sama sebagai pelaku kekuasaan kehakiman dalam sistem Kekuasaan di Negara Republik Indonesia.[5] Namun tentunya antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung memiliki perbedaan baik dari segi yrisdiksi maupun dari segi kompetensinya. Meskipun jika dilihat secara politis dari kewenangan Mahkamah Konstitusi, maka Mahkamah Konstitusi relatif lebih tinggi dari Mahkamah Agung.
a.2. Kedudukan Mahkamah Konstitusi Terhadap Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
Dengan diamandemennya Undang-Undang Dasar 1945 maka telah terjadi pergesesan kekuasaan lembaga Negara, salah satunya adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang sebelum amandemen merupakan lembaga tertinggi Negara, namun setelah amandemen Undang-Undang Dasar 1945, maka kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tidak lagi sebagai penjelmaan dari seluruh rakyat Indonesia dan pelaku sepenuhnya kedaulatan rakyat. Oleh karena itu dalam Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa kedaulatan derada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar (Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945), sehingga penumpukan kekuasaan di satu lembaga dapat diminimalisir.
Mengenai kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), maka dapat dilihat dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa:
“Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar”
Dalam ayat (2) disebutkan bahwa:
“Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden”
Dalam ayat (3) disebutkan bahwa:
“Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang dasar”
Berdasarkan bunyi Pasal-pasal diatas, maka antara Mahkamah Konstitusi dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) adalah sama-sama sebagai lembaga negara yang sejajar, yakni lembaga yang satu tidak lebih tinggi (subordinat) terhadap lembaga Negara lainnya.
a.3Kedudukan Mahkamah Konstitusi Terhadap Presiden
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 4 ayat (1) menyebutkan bahwa:
“Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”
Sedangkan Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku sekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung sebagaimana tertuang dalam Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 terdapat banyak pasal yang mengatur tentang keberadaaan Presiden. Namun dari sekian banyak pasal tersebut tidak satupun yang mengatur kedudukan Presiden terhadap Mahkamah Konstitusi. Namun hal yag penting adalah sebagimana tertuang dalam Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa:
“Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”
Dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 22 tahun 2003 tentang Susunan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat ditegaskan bahwa:
“Majelis Permusyawaratan Rakyat merupakan lembaga permusyawaratan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara”
Berdasarkan penjelasan pasal diatas, maka dapat diartikan bahwa semua lembaga negara termasuk Presiden tidak dapat melakukan intervensi terhadap Mahkamah Konstitusi selaku kekuasaan kehakiman di Indonesia. Untuk itu, maka dapat disimpulkan bahwa antara Presiden dan Mahkamah Konstitusi adalah sama-sama lembaga Negara yang memiliki tugas dan wewenang yang berbeda namun memiliki kedudukan yang sejajar.
a.4.Kedudukan Mahkamah Konstitusi Terhadap Dewan Perwakilan Rakyat
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 20 ayat (1) disebutkan bahwa:
“Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang”
Undang-Undang Dasar 1945 tidak dijelaskan tentang kedudukan Mahkamah Konstitusi terhadap Dewan Perwakilan Rakyat. Namun, dalam Pasal 24 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat ditegaskan bahwa:
“Dewan Perwakilan Rakyat merupakan lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara”
Dari penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kedudukan antara Mahkamah Konstitusi dan Dewan Perwakilan Rakyat adalah sejajar dan kedua-duanya adalah lembaga Negara.
a.5.Kedudukan Mahkamah Konstitusi Terhadap Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
Keberadaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam sistem ketatanegaraan Indonesia merupakan lembaga baru pasca amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Dalam Pasal 40 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat ditegaskan bahwa:
“Dewan Perwakilan Dakyat merupakan lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara”
Berdasarkan pasal diatas, maka jelas bahwa Mahkamah Konstitusi dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sama-sama sebagai lembaga negara, sehingga kedudukan kedua lembaga tersebut adalah sederajat, namun tentunya memiliki kewenangan yang berbeda.
a.6.Kedudukan Mahkamah Konstitusi Terhadap Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
Tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) diatur dalam Pasal 23E ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa:
“untuk melaksanakan pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan Negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas mandiri”
Mengenai kedudukan Mahkamah Konstitusi terhadap Badan Pemeriksa Keuangan tidak terdapat satu pasalpun dalam peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Namun karena antara Mahkamah Konstitusi dan Badan Pemeriksa Keuangan adalah sama-sama lembaga negara, maka kedudukan kedua lembaga tersebut adalah sejajar.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kedudukan Mahkamah Konstitusi terhadap lembaga negara yang lainnya yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 amandemen, maka tidak terdapat satu lembagapun secara hukum yang dapat dikatakan (subordinat) lebih tinggi atau lebih rendah, walaupun terdapat sebagian yang mengatakan secara politis masih terdapat lembaga yang paling tinggi apabila dilihat dari segi kewenangan yang dimiliki.
- FUNGSI DAN TUGAS MAHKAMAH KONSTITUSI MENURUT UNDANG-UNDANG DASAR 1945
Menurut Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1974, istilah fungsi berarti adalah sekelompok pekerjaan, kegiatan, dan usaha yang satu sama lainnya ada hubungan erat untuk melaksanakan suatu tugas pokok. Dari sudut bahasa, fungsi (Belanda=functie, Inggris=function) berarti jabatan, atau kerja.[6] Jadi berdasarkan pengertian diatas, maka fungsi adalah salah satu peran yang dapat dilaksanakan untuk melaksanakan salah satu wewenang yang melekat pada suatu kelompok/lembaga.
Secara filosofis ide dasar gagasan pembentukan Mahkamah Knstitusi adalah untuk menciptakan sebuah sistem ketatanegaraan di Indonesia yang menganut sistem pemisahan kekuasaan (separation of power) serta inginmenerapkan konsep “check and balance” untuk secara bertahap menggantikan asas pendistribusian kekuasaan (distribution of power), dengan alasan bahwa: [7]
- Negara Indonesia merupakan negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, bertujuan untuk mewujudkan tata kehidupan bangsa dan negara yang tertib, bersih, makmur, dan berkeadilan.
- Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman mempunyai peranan penting dalam usaha menegakkan konstitusi dan prinsip negara hukum sesuai dengan tugas dan wewenagnya yang ditentukan dalam UUD 1945.
- Berdasarkan ketentuan yang termuat dalam UUD 1945 (Pasal 24C) pengaturan tentang pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara, dan ketentuan lainnya diatur dalam undang-undang.
- Fungsi Mahkamah Konstitusi Sebagai Lembaga Kekuasaan Kehakiman
Format awal dibentuknya Mahkamah Konstitusi adalah semangat membangun lembaga kekuasaan Kehakiman yang tugas dan wewenangnya berkaitan dengan peran dan tugas konstitusionalitas dari Undang-Undang Dasar 1945.
Kekuasaan Kehakiman setelah UUD 1945 diubah, tetap menjadi kekuasaan yang sangat fundamental dan sebagai bagian dari poros kekuasaan yang memiliki fungsi menegakkan keadilan.[8] Kekuasaan kehakiman dalam susunan kekuasaan negara menurut UUD 1945 setelah perubahan tetap ditempatkan sebgai kekuasaan yang mandiri, bebas campur tangan dari kekuasaan lain, hal itu sesuai dengan bunyi Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa:
“Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”
Dalam susunan kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Agung (MA), badan-badan peradilan lain dibawah MA (Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Militer, Peradilan Agama) serta Mahkamah Konstitusi (pasal 24 ayat (2) UUD 1945). Untuk menjaring hakim-hakim yang profesional dan mempunyai integritas terhadap profesinya sebagai penegak hukum dan keadilan, terdapat lembaga khusus diadakan untuk rekrutmen calon-calon Hakim Agung yaitu Komisi Yudisial (Pasal 24B UUD 1945).
Dengan demikian maka Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, perlu memperhatikan mengenai asas-asas hukum umum kekuasaan kehakiman/peradilan yang baik (Algemene Rechtsbeginsellen van Behorrrlijk Rechtspraak). Asas hukum (Rechtsbeginsellen) adalah pokok pikiran yang bersifat umum yang menjadi latar belakang dari peraturan hukum yang konkret (hukum positif).[9] Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH mengatakan bahwa asas hukum adalah jiwanya peraturan hukum, karena ia merupakan dasar lahirnya peraturan hukum, ialah rasio legisnya peraturan hukum.[10] Asas hukum ini dapat ditemukan dan disimpulkan langsung ataupun tidak langsung dala peraturan-peraturan hukum yang pada hakikatnya mengandung unsur-unsur asas-asas hukum yang bersangkutan.[11]
Seperti asas-asas hukum lainnya, kekuasaan kehakiman juga memiliki beberapa asas yang menjadi dasar dari ketentuan-ketentuan dalam kekuasaan kehakiman secara umum. Adapun asas-asas hukum kekuasaan kehakiman yang baik diantaranya:[12]
- Asas kebebasan hakim
- Hakim bersifat menunggu
- Pemeriksaan berlangsung terbuka
- Hakim aktif
- Asas hakim bersifat pasif (Tut Wuri)
- Asas kesamaan (Audi et Alteram Partem)
- Asas objektivitas
- Putusan disertai alasan (Motiverings Plicht)
- Fungsi Mahkamah Konstitusi Sebagai Penjaga Konstitusi
Ketika melihat wewenang Mahkamah konstitusi dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.
Selain kewenangan diatas, Mahkamah konstitusi memiliki kewengan satu lagi yang sangat urgen yakni sebagaimana diatur dalam pasal 24C ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa:
“Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar”
Berdasarkan kewenanagan diatas, maka dalam segala apapun untuk menjalankan kewenangannya, maka Mahkamah Konsitusi selalu mengatasdasarkan Undang-Undang Dasar sebagai (staatsfundamentalnorm)[13]. Untuk itu sering dikatakan bahwa fungsi dari Mahkamah Konstitusi adalah berfungsi sebagai The Guardian of Constitution (penjaga konstitusi).
Sejalan dengan prinsip ketatanegaraan diatas maka salah satu subtansi penting perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga Negara yang berfungsi menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan, dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita demokrasi.
Dasar yang dapat dikatakan bahwa Mahkamah Konstitusi adalah berfungsi sebagai The Guardian of Constitution (penjaga konstitusi) adalah bahwa Mahkamah konstitusi merupakan lembaga peradilan dalam bidang Tata Negara yang dalam segala kewenangannya harus berdasarkan atas Undang-Undang Dasar 1945, baik dalam menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, maupun dalam memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
Sebagai The Guardian of Constitution (penjaga konstitusi), maka Mahkamah Konstitusi diharapkan dapat memutus segala wewenang yang melekat padanya harus berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, bukan berdasarkan atas pertimbangan-pertimbangan yang lainnya seperti politik, ekonomi, sosial dan lain sebagainya. Untuk itu juga sangat diperlukan dalam segala pertimbangan yang dilakukan hakim konstitusi adalah pertimbangan hukum, bukan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang lainnya.[14]
- Fungsi Mahkamah Konstitusi Sebagai Penafsir Konstitusionalitas Undang-Undang Terhadap Undang-Undang Dasar 1945
Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar (judicial reviuw) merupakan tugas yang mendominasi kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana tampak dari putusan yang telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi.[15] Secara teoritis terdapat 2 (dua) pengujian norma hukum, yakni pengujian secara formal (formele toetsingrecht) dan pengujian secara materiil (materiele toetsingrecht).[16]
Pengujian secara formal adalah wewenang untuk menilai apakah suatu produk hukum legislatif dibuat sesuai prosedur ataukah tidak. Serta apakah lembaga tertentu berhak atau tidak dalam mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Sedangkan pengujian secara materiil adalah wewenang untuk menyelidiki dan menilai apakah suatu peraturan perundang-undangan bertentangan atau tidak dengan peraturan yang lebih tinggi.[17]
Berdasarkan kewenangannya untuk menguji konstitusionalitas Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, Mahkamah Konstitusi melalui putusannya dapat menyatakan bahwa materi rumusan dari suatu Undang-Undang tidak mempunyai kekuatan hukum karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Begitupun terhadap suatu Undang-Undang, Mahkamah Konstitusi dapat membatalkan keberlakuannya karena tidak sesuai dan tidak berdasar terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Melalui penafsiran ataupun interpretasi terhadap Undang-Undang Dasar 1945, Mahkamah Konstitusi berfungsi sebagai peradilan yang secara positif mengoreksi Undang-Undang yang dihasilkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama-sama Presiden dalam penyelenggaraan negara yang berdasarkan hukum yang mengatur perikehidupan masyarakat bernegara. Dengan demikian Undang-Undang yang dihasilkan oleh legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden) diimbangi oleh pengujian (formal dan materiil) dari cabang yudisial yakni Mahkamah Konstitusi.[18]
Contoh kecil dalam hal kewenangan formal dalam menguji Undang-Undang misalkan dalam bidang legislasi adalah Mahkamah konstitusi dapat mendorong efektifitas penyelenggaraan fungsi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang dikerdilkan. Artinya Maahkamah Konstitusi dapat menyatakan bahwa pembentukan suatu Undang-Undang adalah tidak sah menurut Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat karena tidak melibatkan atau mengabaikan peranan, pertimbangan, maupun pandangan dari Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Konteks diatas berarti Mahkamah Konstitusi mempunyai fungsi sebagaiKonstitusionalitas Undang-Undang Terhadap Undang-Undang Dasar 1945, baik melalui pengujian secara materiil dan formal terhadap suatu Undang-Undang mempunyai fungsi control dalam suatu sistem hukum yang mengatur kehidupan bernegara. Hal itu terwujud dalam bentuk pengujian (materiil dan formal) terhadap Undang-Undang oleh Mahkamah konstitusi.
- HUBUNGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN LEMBAGA TINGGI NEGARA LAINNYA
Seperi pembahasan sebelumnya bahwa Mahkamah Konstitusi selain berkedudukan yang sejajar dan tidak (subordinat) terhadap lembaga tinggi negara lainnya, maka selain itu juga Mahkamah Konstitusi juga memiliki hubungan dengan lembaga tinggi lainnya, baik dengan Mahkamah Agung (MA), Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Badan Pemeriksa Keuangan.
- Hubungan Mahkamah Konstitusi Dengan Mahkamah Agung
Pasal 24C ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa Mahkamah Konstitusi terdiri tersiri 9 (sembilan) orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden. Aturan peralihan Pasal III Mahkamah Konstitusi selambat-lambatnya dibentuk pada 17 Agustus 2003, sebelum Mahkamah konstitusi terbentuk segala kewenangannya dilakukan oleh Mahkamah Agung. Mahkamah Konstitusi memberitahukan kepada Mahkamah Agung adanya permohonan pengujian Undang-Undang dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari sejak permohonan di catat dalam buku register perkara konstitusi.
Pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang yang sedang dilakukan Mahkamah Agung wajib dihentikan apabila Undang-Undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi (Pasal 55 UU No. 23 Tahun 2003). Begitupun juga Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden, dan Mahkamah Agung (MA) (Pasal 59 UU No. 23 Tahun 2003).
Berdasarkan bunyi pasal diatas, maka hubungan kedua lembaga negara ini telah dimulai sebelum dibentuknya Mahkamah Konstitusi. Dalam rangka mengisi jabatan hakim konstitusi, maka Mahkamah Agung berhak mengajukan 3 (tiga) orang hakim konstitusi dari 9 (sembilan) orang hakim konstitusi yang nantinya ditetapkan oleh Presiden.
Dalam menjalankan tugasnya pun Mahkamah Konstitusi melakukan hubungan denga Mahkamah Agung seperti ketika Mahkamah Konstitusi menangani Judicial Reviuw. Mahkamah Konstitusi memberitahukan kepada Mahkamah Agung adanya permohonan pengujian Undang-Undang dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam buku register perkara konstitusi.
Pengujian peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang yang sedang dilakukan Mahkamah Agung wajib dihentikan apabila Undang-Undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah KOnstitusi sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi. Putusan Mahkamah Konstitusi disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden, dan Mahkamah Agung (MA).
Dari itu, maka dapat dilihat terdapat hubungan antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung, hal itu merupakan konsekwensi dari lembaga yang sama-sama berwenang melakukan judicial reviuw terhadap peraturan perundang-undangan.
- Hubungan Mahkamah Konstitusi Dengan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Reduksi pergeseran kekuasaan lembaga negara ternyata juga berimplikasi terhadap bergesernya hubungan antar lembaga negara negara, begitu pula dengan hubungan antara Mahkamah Konstitusi dengan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Mengenai kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), maka dapat dilihat dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa:
“Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar”
Dalam ayat (2) disebutkan bahwa:
“Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden”
Dalam ayat (3) disebutkan bahwa:
“Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang dasar”
Pasal 10 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang susunan kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
“Majelis Permusyawaratan Rakyat Merupakan lembaga permusyawaratan rakyat ysngs berkududukan sebagai lembaga Negara”
Karena kedua lembaga baik Mahkamah Konstitusi maupun Majelis Permusyawaratan Rakyat sama-sama sebagai lembaga Negara, maka dalam menjalankan tugas dan wewenangnya kedua lembaga tersebut terdapat hubungan. Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindakpidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau wakil Presiden (pasal 7A Undang-Undang Dasar 1945). Lembaga yang memiliki kewajiban untuk memeriksa, mengadili, dan memutus dugaan bahwa Presiden dan/atau wakil Presiden telah melakukan pelanggagaran hukum sebagai mana diamksud diatas adalah Mahkamah Konstitusi (Pasal 24C ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945)
Dalam penyelesaian sengketa pemilu Presiden dan wakil Presiden, Mahkamah Konstitusi menyampaikan putusan hasil perhitungan suara kepada MPR, dalam hal MPR menjadi para pihak dalam peradilan Konstitusi, Mahkamah Konstitusi dapat memanggil dan mendengar keterangan MPR dalam persidangan.
Berdasarkank pemaparan diatas, maka jelas bahwa kedua lembaga negara merupakan lembaga yang sejajar yang memiliki hubungan tata kerja antar lembaga negara yang ada.
- Hubungan Mahkamah Konstitusi Dengan Presiden
Sama halnya dengan Mahkamah Agung, maka Presiden juga berhak mengajukan 3 (tiga) orang Hakim Konstitusi dari 9 (sembilan) orang Hakim Konstitusi, dan Presiden berwenang menetapkan 9 (sembilan) orang Hakim Konstitusi tersebut (Pasal 24C ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945)
Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana lainnya atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau wakil Presiden (pasal 7A Undang-Undang Dasar 1945). Lembaga yang memiliki kewajiban untuk memeriksa, mengadili, dan memutus dugaan bahwa Presiden dan/atau wakil Presiden telah melakukan pelanggagaran hukum sebagai mana diamksud diatas adalah Mahkamah Konstitusi (Pasal 24C ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945)
Mahkamah Konstitusi berwenang melakukan Judicial Reviuw terhadap Undang-Undang yang merupakan produk yang dibuat DPR dan Presiden (Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945). Mahkamah Konstitusi menyampaikan permohonan yang sudah dicatat dalam buku registrasi perkara konstitusi kepada DPR dan Presiden untuk diketahui dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari. Mahkamah Konstitusi dapa tmeminta risalah dan keterangan yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada MPR, DPR, DPD, dan/atau Presiden. Mahkamah Konstitusi menyampaikan kepada DPR, DPD, Presiden, dan Mahkamah Agung terhadap putusan mengenai pengujian Undang-Undang Dasar 1945 (pasal 59 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003).
Dalam hal penyelesaian sengketa pemilu Presiden dan Wakil Presiden, Mahkamah Konstitusi menyampaikan putusan hasil perhitungan suara kepada Presiden (Pasal 68 ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden). Hakim Konstitusi mengucap sumpah dihadapan Presiden (Pasal 21 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003). Pemberhentian hakim konstitusi ditetapkan dengan Keputusan Presiden atas permintaan Ketua Mahkamah Konstitusi. Dalam hal Presiden menjadi para pihak dalam peradilan Konstitusi, Mahkamah Konstitusi dapat memanggil dan mendengar keterangan Presiden dalam persidangan.
Berdasarkan ulasan singkat diatas, maka jelas terdapat hubungan tata kerja antara Mahkamah Konstitusi dengan Presiden. Juga terdapat hubungan protokoler dalam hal Hakim Konstitusi mengucap sumpah.
- Hubungan Mahkamah Konstitusi Dengan Dewan Perwakilan Rakyat
Mahkamah Konstitusi berwenang melakukan Judicial Reviuw terhadap Undang-Undang yang merupakan produk yang dibuat DPR dan Presiden (Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945). Mahkamah Konstitusi menyampaikan permohonan yang sudah dicatat dalam buku registrasi perkara konstitusi kepada DPR dan Presiden untuk diketahui dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari. Mahkamah Konstitusi dapa tmeminta risalah dan keterangan yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada MPR, DPR, DPD, dan/atau Presiden. Mahkamah Konstitusi menyampaikan kepada DPR, DPD, Presiden, dan Mahkamah Agung terhadap putusan mengenai pengujian Undang-Undang Dasar 1945 (pasal 59 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003).
Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar (Pasal 24C ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945). DPR berhak mengajukan 3 (tiga) orang hakim konstitusi dari sembilan orang hakim konstitusi yang nantinya ditetapkan oleh Presiden (pasal 24C ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 ). Dalam hal DPR menjadi para pihak dalam peradilan konstitusi, Mahkamah Konstitusi dapat memanggil dan mendengar keterangan DPR dalam persidangan.
Sedikit berdasarkan rumusan pasal-pasal diatas, maka dapat menunjukkan dalam hal-hal tertentu terdapat hubungan tata kerja lembaga antara Mahkamah Konstitusi dan Dewan Perwakilan Rakyat.
- Hubungan Mahkamah Konstitusi Dengan Dewan Perwakilan Daerah
Mahkamah Konstitusi dapa tmeminta keterangan dan/atau risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Presiden.Mahkamah Konstitusi menyampaikan permohonan yang sudah dicatat dalam buku registrasi perkara konstitusi kepada DPR dan Presiden untuk diketahui dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari. Mahkamah Konstitusi dapa tmeminta risalah dan keterangan yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada MPR, DPR, DPD, dan/atau Presiden. Mahkamah Konstitusi menyampaikan kepada DPR, DPD, Presiden, dan Mahkamah Agung terhadap putusan mengenai pengujian Undang-Undang Dasar 1945 (pasal 59 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003).
Dalam hal Dewan Perwakilan Daerah menjadi para pihak dalam sengketa kewenangan lembaga Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, Mahkamah Konstitusi dapat memanggil dan meminta keterangan Dewan Perwakilan Daerah dalam persidangan (pasal 41 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003)
Sama halnya dengan lembaga yang lainnya, berdasarkan penjelasan diatas, maka hubungan antara Mahakamah Konstitusi dan Dewan Perwakilan Daerah adalah hubungan tata kerja antar lembaga negara.
- Hubungan Mahkamah Konstitusi Dengan Badan Pemeriksa Keuangan
Badan Pemeriksa Keuangan merupakan lembaga negara yang memiliki wewenang untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara (Pasal 23E ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945).
Menurut Pasal 12 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 bahwa:
“Mahkamah Konstitusi bertanggung jawab untuk mengatur organisasi, administrasi, personalia, dan keuangan sesuai dengan prinsip pemerintahan yang bersih”
Sehingga dalam hal ini, Badan Pemeriksa Keuangan berwenang untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Mahkamah Konstitusi sesuai dengan prinsip pemerintahan yang bersih (good governnance). Begitupun juga dalam hal Badan Pemeriksa Keuangan menjadi pihak dalam sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, Mahkamah Konstitusi dapat memanggil dan mendengar keterangan Badan Pemeriksa Keuangan dalam persidangan.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka terdapat hubungan antara Mahkamah konstitusi dan Badan Pemeriksa Keuangan adalah hubungan tata kerja antar lembaga negara.
DAFTAR PUSTAKA
Arinanto, Satya, Politik Hukum 1, Program Pascasarjana UI, Jakarta, 2001
Arinanto, Satya, Politik Hukum 2, Program Pascasarjana UI, Jakarta, 2001
Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara Dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, UII Press, Yogyakarta, 2005,
Fatkhurohman, et.al, Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004
Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2005
Ikhsan Rosyada Parluhutan Daulay, Mahkamah Konstitusi (Memahami keberadaannya Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia), PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2006,
J.H.A. Logeman, Tentang Teori Suatu Tata Hukum Positif, Ichtiar Baru, Jakarta
Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasi Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 2002
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 2004
Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Hukum, Pustaka Kartini, Jakarta, 1991
Maria Farida Indarti, Pengantar Ilmu Perundang-Undangan, Kanisius, Jakarta, 1998
Maruar Sihaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Konsitusi Press, Jakarta, 2005
Bambang Sutiyoso, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung
Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta, 2006
Sri Soemantri, Hak Menguji Materiil di Indonesia, Alumni, Bandung 1986
Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi, Pradnya Paramita, Jakarta, 2006
[1] Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara Dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, UII Press, Yogyakarta, 2005, Hal. 21
[2] Fatkhurohman, et.al, Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, Hal. 59
[3] Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2005, Hal. 27
[4] Fatkhurohman, et.al, Opcit, Hal. 62
[5] Ikhsan Rosyada Parluhutan Daulay, Mahkamah Konstitusi (Memahami keberadaannya Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia), PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2006, Hal. 44
[6] J.H.A. Logeman, Tentang Teori Suatu Tata Hukum Positif, Ichtiar Baru, Jakarta, Hal.104
[7] Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasi Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, Hal. 167-168
[8] Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, Opcit, Hal. 26
[9] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 2002, Hal. 32
[10] Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 2004, Hal. 85
[11] Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Hukum, Pustaka Kartini, Jakarta, 1991, Hal. 138
[12] Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, Opcit, Hal. 66
[13] Maria Farida Indarti, Pengantar Ilmu Perundang-Undangan, Kanisius, Jakarta, 1998, Hal.47
[14] Maruar Sihaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Konsitusi Press, Jakarta, 2005, Hal 138
[15] Bambang Sutiyoso, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, Hal.38
[16] Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta, 2006. Hal 5
[17] Sri Soemantri, Hak Menguji Materiil di Indonesia, Alumni, Bandung 1986, Hal. 5-12
[18] Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi, Pradnya Paramita, Jakarta, 2006, Hal. 276