PERLUKAH PRESIDEN MENGELUARKAN PERPU NO. 1 TAHUN 2013

PERLUKAH PRESIDEN MENGELUARKAN PERPU NO. 1 TAHUN 2013

Oleh :

Saiful Anam, SH., MH.

Pada tanggal 17 Oktober 2013 Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono menandatangani naskah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia  nomor 1 tahun 2013 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dengan ditandanganinya Perpu tersebut tentu menjadi hukum positif yang wajib dihargai dan dijalankan oleh semua kalangan. Akan tetapi perlu mendapat sorotan tentang urgensi serta muatan yang tertuang dalam Perpu Nomor 1 Tahun 3013 menuai problematika hukum, sehingga dalam pelaksanaannya terdapat problem hukum apakah Perpu Nomor 1 Tahun 3013 dapat menjadi solusi alternatif bagi keberlangsungan Pemerintahan atau justeru menambah problem baru bagi penyelenggaraan Pemerintahan.

Secara konstitutional berdasarkan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 Presiden berwenang menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Tentunya kewenangan tersebut terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi, yakni harus terdapat kondisi hal ihwal kegentingan yang memaksa. Dengan demikian terdapat suatu keadaan dimana kondisi dan suasananya dalam keadaan tidak umum, sehingga Presiden mengambil sikap harus dibentuk suatu produk hukum untuk mengantisipasi keadaan yag tidak umum tersebut. Untuk itu hal yang demikian sering disebut sebagai hak perogratif Presiden. Untuk menentukan suatu keadaan dimana dapat dikategorikan sebagai kondisi ihwal kegentingan yang memaksa tentu Presiden harus menggunakan hak perogratif yang bersifat objektif dan sukjektif. Objektifitas dalam menentukan kondisi tersebut diharapkan menjadi ukuran yang dominan sehingga hal-hal yang menjadi kepentingan subjektif seorang Presiden dapat diminimalisir.

Apabila dihubungkan dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia  nomor 1 tahun 2013 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, maka harus diketahui latar belakang dikeluarkannya Perpu tersebut. Seperti diketahui bahwa Perpu tersebut dilatarbelakangi oleh tertangkap tangannya Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar bersama 4 orang lainnya dalam operasi tangkap tangan di rumah dinas kawasan Widya Chandra. Kondisi yang demikian dianggap bertentangan dengan Pasal 24C ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yakni hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, dan negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap jabatan sebagai pejabat Negara. Selain itu untuk menyelamatkan demokrasi dan negara hukum Indonesia, serta untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang menjalankan fungsi menegakkan Undang-Undang Dasar akibat adanya kemerosotan integritas dan kepribadian yang tercela dari hakim konstitusi. Berdasarkan alasan-alasan singkat diatas maka kemudian Presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia  nomor 1 tahun 2013 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Analisis selanjutnya adalah benarkah kondisi tersebut dikatakan dan merupakan kondisi hal ihwal kegentingan yang memaksa, sehingga kemudian Presiden mengeluarkan Perlu Nomor 1 tahun 2013. Tentu hal itu harus dibandingkan dengan beberapa kasus hukum yang beberapa periode waktu yang lalu pernah menggemparkan bangsa ini. Contoh misalnya yang terjadi pada ditetapkannya Andi Mallaranggeng selaku Menteri Pemuda dan Olahraga pada saat itu, juga kasus korupsi Simulator SIM yang menimpa Djoko Soesilo, Korupsi Pengadaan Al-Qur’an Zulkarnaen Djabar, Korupsi daging impor yang melibatkan Lutfi Hasan Ishaq dan Achmad Fathonah dan kasus-kasus korupsi lainnya yang melibatkan pejabat publik belakangan ini. Tentu apabila dihubungkan dengan perkara-perkara korupsi lain diatas, tertangkap tangannya Akil Mochtar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan hal yang biasa-biasa saja, dan merupakan perkara yang hampir sama terjadi pada kasus-kasus lainnya yang menimpa pada lembaga Negara lainnya. Akan tetapi dengan dikeluarkannya Perpu Nomor 1 Tahun 2013 seolah perkara yang menimpa Akil Mochtar merupakan perkara yang menyebabkan kegentingan yang memaksa menurut versi Presiden, sehingga kemudian dikeluarkan Perpu untuk mengatasi itu. Kriteria kegentingan Presiden ini yang menyebabkan kebingungan publik, apalagi tenggang waktu Presiden dalam mengeluarkan Perpu Nomor 1 tahun 2013 sangat lama yakni 15 (lima belas) hari sejak tertangkapnya Akil Mochtar, sehingga Perpu penyelamatan MK dianggap kehilangan momentum. Selain itu terdapat beberapa usulan dari berbagai kalangan kenapa Presiden hanya terfokus pada perkara yang menimpa Akil mochtar, kenapa Perpu tidak ditujukan pada keseluruhan lembaga Negara yang semakin hari semakin banyak yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi.

Mengenai perdebatan substansi hukum tentang Perpu Nomor 1 Tahun 2013 yang berkaitan dengan pembatasan syarat untuk menjadi hakim konstitusi yang sebelumnya berasal dari anggota Partai politik yakni tidak menjadi anggota partai politik  dalam jangka waktu paling singkat 7 (tujuh) tahun sebelum diajukan sebagai calon hakim konstitusi. Syarat tersebut selain menuai pro dan kontra, juga dapat diuji materi ke Mahkamah Konstitusi dengan dasar bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) juncto Pasal 28 C ayat (2) dan Pasal 28 D ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang pada intinya setiap warga Negara bersamaan kedudukannya didepan hukum dan pemerintahan, serta memperoleh kesempatan yang sama dalam Pemerintahan. Untuk itu syarat bagi calon anggota hakim mahkamah konstitusi diwajibkan tidak menjadi anggota partai politik  dalam jangka waktu paling singkat 7 (tujuh) tahun dapat dianggap diskriminatif dan bertentangan dengan konstitusi. Mengingat contoh Akil Mochtar tidak dapat di dramatisir terhadap angota Partai Politik lainnya, contoh misalnya Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, SH., SU yang sebelumnya pernah aktif di Partai Kebangkitan Bangsa, akan tetapi reputasinya dapat dipertanggung jawabkan.

Perdebatan berikutnya adalah kedudukan Panel Ahli yang merupakan perangkat dibentuk oleh Komisi Yudisial untuk menguji kelayakan dan kepatutan calon hakim konstitusi yang diusulkan oleh Mahkamah Agung, DPR, dan Presiden. Panel ahli terdiri dari 7 (tujuh) yang berasal dari, 1 (satu) orang diusulkan oleh Mahkamah Agung,  1 (satu) orang diusulkan oleh DPR, 1 (satu) orang diusulkan oleh Presiden dan 4 (empat) orang dipilih oleh Komisi Yudisial berdasarkan usulan masyarakat yang terdiri atas mantan hakim konstitusi, tokoh masyarakat, akademisi di bidang hukum, dan praktisi hukum. Dalam hal pembentukan Panel ahli menuai kritikan dari berbagai kalangan, Pembentukan panel ahli untuk menguji kelayakan dan kepatutan calon hakim agung oleh Komisi Yudisial dianggap mengambil alih kewenangan yang selama diberikan kepada 3 (lembaga) Negara untuk melakukan fit and proper tes terhadap calon Hakim Mahkamah Konstitusi, selain itu independensi dari Komisi Yudisial dalam rangka pembentukan panel ahli dapat dipersoalkan, mengingat campur tangan Komisi yudisial dalam pembentukan Panel Ahli dianggap sama halnya sebagai cara lama yang pernah dipakai untuk membatasi kewenangan Mahkamah Konstitusi. Untuk itu kedudukan Panel Ahli dapat dipersoalkan keberadaannya, mengingat independensi dan kewenangan sangat besar dalam menetukan anggota Hakim Konstitusi yang akan duduk dalam Mahkamah Konstitusi.

Selain itu perdebatan terletak pada Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi yang merupakan perangkat dibentuk oleh Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial untuk menjaga kehormatan dan perilaku hakim konstitusi. Mahkamah Konstitusi bersama-sama dengan Komisi Yudisial menyusun dan menetapkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi yang berisi norma yang harus dipatuhi oleh setiap hakim konstitusi dalam menjalankan tugasnya untuk menjaga kehormatan dan perilaku hakim konstitusi. Keanggotaan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi berjumlah 5 (lima) orang yang terdiri dari, 1 (satu) orang mantan hakim konstitusi, 1 (satu) orang praktisi hukum, 2 (dua) orang akademisi yang salah satu atau keduanya berlatar belakang di bidang hukum dan 1 (satu) orang tokoh masyarakat. Sama halnya seperti Panel Ahli yang dapat dipersoalkan dari segi kedudukannya, Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi dianggap mengembalikan kewenangan lama yang sebelumnya pernah diajukan uji materi terhadap kewenangan Komisis Yudisial dalam rangka menjaga Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi yang pada akhirnya dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Untuk itu kewenangan ini sangat dilematis, mengingat hal yang hampir sama sebelumnya telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, sehingga keberadaan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi sangat mungkin apabila diajukan uji materi akan dibatalkan oleh MK.

 

Continue Reading