ANALISIS PENYELESAIAN PIUTANG BUMN DI INDONESIA

PIUTANG BUMN BUKANLAH PIUTANG NEGARA

  1. PENGERTIAN KEUANGAN NEGARA

–          Ketentuan Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara adalah adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Sedangkan keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam penjelasan pasal 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena (a) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga negara, baik tingkat pusat maupun di daerah. (b) berada dalam penguasan, pengurusan dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjan dengan negara

–          Kedua pengertian keuangan negara dalam dua undang-undang yang berbeda pada hakekatnya adalah sama dan tidak bertentangan satu sama lain. Pengertian ini sudah jelas dan tidak terlalu sulit unutk membuktikan adanya unsur yang merugikan keuangan negara. Berbeda dengan hal ini, perekonomian negara memiliki arti yang masih kabur sehingga sangat sulit untuk menentukan apa yang dimaksud unsur perekonomian negara dibandingkan dengan unsur keuangan negara seperti yang disebutkan dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

–          Dipeerlukan suatu formulasi hukum yang baru bagi penegak hukum, khususnya hukum pidana korupsi di Indonesia berkaitan dengan aspek kerugian negara. Penerapan asas-asas hukum pidana korupsi yang demikian mengaburkan dan tidak membedakan bentuk kerugian negara seperti dalam undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi merupakan penyimpangan hukum. Sebagai bukti terpisahnya negara sebagai badan hukum publik dengan keuangannya dalam bentuk saham dalam PERSERO, akan jelas terlihat bilamana PERSERO tersebut mengalami kerugian dan dinyatakan pailit maka pernyataan pailit tersebut tidak mengakibatkan negara pailit juga. Perlu juga dilakukan pemisahan antara negara berdasarkan peranan dan statusnya sebagai badan hukum publik dan badan hukum perdata.

  1. BUMN SEBAGAI BADAN HUKUM

Dalam ilmu hukum pendukung hak dan kewajiban disebut subyek hukum. Subyek hukum ada dua macam yaitu orang dan badan hukum. Badan hukum adalah sekumpulan orang yang terikat oleh suatu organisasi yang dapat bertindak seperti manusia pada umumnya. Badan hukum memiliki harta kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan pendiri maupun pengurusnya. Dalam melaksanakan kegiatannya badan hukum dapat bertindak berhubungan dengan pihak lain seperti mengadakan perjanjian atau membayar pajak dilakukan oleh pengurusnya.

Menurut teori von Gierke keberadaan badan hukum berada di lapangan hukum harta kekayaan. Sejalan dengan teori tersebut Brinz mengatakan, adanya suatu badan hukum dikarenakan ditentukan negara. Di Indonesia suatu organisasi disebut sebagai badan hukum diatur oleh suatu undang-undang dan untuk memperoleh status badan hukum dilakukan pengesahan dari pemerintah.

Sejalan dengan teori tersebut  BUMN  sebagai badan hukum juga ditetapkan oleh undang-undang. Ada dua macam BUMN yaitu Persero dan Perum.  Terhadap Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip perseroan terbatas sebagaimana diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (Pasal 11 UU BUMN). UU Perseroan Terbatas yang berlaku sekarang adalah UU No. 40 Tahun 2007. Persero memperoleh status badan hukum setelah akta pendirian  disahkan oleh Menteri Hukum dan HAM.

Sedangkan untuk Perum berlaku ketentuan Pasal 35 UU BUMN yang menyebutkan, Perum didirikan dengan Peraturan Pemerintah,   dan memperoleh status badan hukum sejak diundangkannya Peraturan Pemerintah tentang pendiriannya. Dengan demikian akta pendirian Perum tidak perlu dilakukan pengesahan seperti Persero.

  1. MODAL BUMN BERASAL DARI NEGARA

Setiap perusahaan didirikan untuk mencari keuntungan sehingga dipastikan memerlukan modal  untuk menjalankan kegiatan usahanya. Modal BUMN berasal dari negara dari kekayaan negara yang dipisahkan (Pasal 4 ayat (1) UU BUMN). Arti dipisahkan  tersebut sesuai dengan penjelasan Pasal 4 ayat (1), pemisahan kekayaan kekayaan dari APBN untuk dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem APBN, Namur pembinaan dan pengelolaannya didasarkan pada prinsip-prinsip pengelolaan preusan yang sehat.

Dari ketentuan Pasal tersebut, tampak jelas dengan dipisahkannya dari APBN maka modal/kekayaan negara menjadi “putus” hubungannya dengan APBN, sehingga ketika harta kekayaan itu dimasukkan/disetor lepada BUMN membawa akibat, yaitu peralihan hak milik menjadi kekayaan BUMN. Harta kekayaan tersebut bukan lagi milik negara. Hal ini señalan dengan teori badan hukum di atas, bahwa badan hukum memiliki harta kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan pendiri maupun pengurusnya. Oleh karena pengelolaannya sudah tidak mengikuti APBN, di dalam BUMN tidak mengenal adanya DIPA.

Untuk BUMN pendirinya ádalah negara. Sebagai penyerta/pemasok modal BUMN, negara statusnya sebagai pemodal atau pemegang saham. Negara tidak dapat lagi campur tangan atau mengutak-utik modal yang telah dimasukkan BUMN karena sudah menjadi milik BUMN. Selaku pemegang saham mempunyai kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan direksi dan komisaris BUMN.

Dengan kedudukannya sebagai pemegang saham, negara berhak memperoleh pembagian keuntungan atau deviden dari BUMN setiap tahunnya. Sebaliknya apabila BUMN menderita kerugian, negara bertanggung jawab hanya terbatas sebesar modal yang dimasukkan ke dalam BUMN. Bagi persero, pemegang saham tidak bertanggung jawab atas kerugian PT yang melebihi saham yang dimiliki (Pasal 3 ayat (1) UUPT). Untuk Perum Pasal 39 huruf a UU BUMN menyatakan, bahwa pemodal (Menteri) tidak bertanggung jawab atas kerugian Perum  yang melebihi penyertaan modal yang dimasukkannya.

  1. KEUANGAN NEGARA

Keuangan negara diatur dalam UU No. 17 tahun 2003  tentang Keungan Negara. Yang dimaksud keuangan negara ádalah semua hak dan kewajiban negara yang dapatdinilai dengan uang serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut (Pasal 1 angka 1).

Ruang lingkup pengertian keuangan negara berdasarkan Pasal 2 meliputi hal-hal sebagai berikut:

  1. hak negara untuk memungut pajak, mengluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman,
  2. kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara  dan membayar tagihan pihak ketiga,
  3. penerimaan negara,
  4. pengeluaran negara,
  5. penerimaan daerah,
  6. pengeluaran daerah,
  7. kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah,
  8. kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum.
  9. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.

Memperhatikan ketentuan Pasal 2 huruf g UU Keuangan Negara di atas dihubungkan dengan ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU BUMN tampak terjadi perbenturan kepentingan, di satu pihak kekayaan BUMN sebagai kekayaan BUMN sendiri sedangkan di lain pihak kekayaan BUMN sebagai kekayaan negara, sehingga berkibat menimbulkan ketidakpastian hukum yang membingungkan penegak hukum.

 

  1. PENGARUH KEUANGAN NEGARA TERHADAP BUMN
  2. Perbedaan prinsip UU

Di atas telah diketahui bahwa ruang lingkup keuangan negara yang pada prinsipnya meliputi penerimaan dan pengeluaran negara maupun daerah. Dengan prinsip tersebut ruang lingkup keuangan negara diperluas terutama yang menyangkut kekayaan negara yang dikelola pihak lain termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara sebagaimana Pasal 2 huruf g UU Keuangan negara.

Di lain pihak BUMN yang diatur dalam UU No. 19 Tahun 2003, memang benar modal BUMN berasal dari kekayaan yang dipisahkan bersumber dari APBN, kapitalisasi cadangan, atau sumber lainnya. Dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1) disebutkan, yang dimaksud dengan dipisahkan adalah pemisahan kekayaan negara dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem APBN, namun pembinaan dan pengelolaannya didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat. Dengan prinsip ini, BUMN pengelolaan tidak mengikuti keuangan negara dan akibat pemisahan tersebut harta kekayaan BUMN bukan sebagai kekayaan negara melainkan sebagai kekayaan BUMN sendiri.

Dari adanya perbedaan prinsip tersebut yang menjadi permasalahan adalah sampai sejauhmana pemberlakuan keuangan negara terhadap BUMN?

Sesuai dengan UU No. 19 Tahun 2003 BUMN adalah perusahaan yang berbadan hukum yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Untuk Persero (Perusahaan Perseroan) berlaku UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, sehingga badan hukum Persero diperoleh setelah akta pendiriannya disahkan oleh Menteri Hukum dan HAM. Sedangkan untuk Perum (Perusahaan Umum) dengan Peraturan Pemerintah tentang pendirian Perum disahkan dan diundangan dalam Tambahan Berita Negara RI memperoleh status badan hukumnya.

Dalam teori badan hukum merupakan kumpulan sejumlah orang yang dipandang sebagai subyek hukum. Suatu organisasi disebut badan hukum apabila ditentukan oleh negara yang dalam hal ini disebutkan dalam sebuah undang-undang badan hukum keberadaannya di lapangan hukum harta kekayaan. Oleh karena itu badan hukum memiliki kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan pendiri maupun pengurusnya. Kekayaan badan hukum digunakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Sehubungan dengan teori tersebut, BUMN sebagaimana di atas adalah badan hukum. BUMN mempunyai kekayaan sendiri yang terpisah dari pendiri maupun pengurusnya. Kekayaan BUMN pada awalnya berasal dari modal pendirinya yaitu negara. Modal tersebut dari kekayaan negara yang dipisahkan, sehingga tidak berlaku sitem APBN melainkan memberlakukan prinsip-prinsip perusahaan yang sehat. Modal yang dimasukkan ke dalam BUMN menjadi milik BUMN untuk kepentingan usaha dalam mencari keuntungan.

Sebelum pemerintah melakukan pemisahan kekayaan negara dalam rangka penyertaan BUMN, uang tersebut masih berstatus uang publik, karena sebelum penyertaan modal terjadi, negara masih berstatus sebagai badan hukum publik yang tunduk dengan hukum publik. Namun setelah BUMN berdiri, kedudukan negara sebagai badan hukum publik seketika bertransformasi menjadi badan hukum privat, yaitu melakukan pendirian badan hukum BUMN, sehingga terjadilah transformasi dari uang publik menjadi uang privat (Djalil, 2007).

Kedudukan negara terhadap BUMN adalah sebagai pendiri BUMN. Di samping itu negara juga sebagai penyerta modal (pemegang saham). Selaku penyerta modal memiliki hak untuk mengendalikan BUMN melalui keputusan-keputusannya (keputusan RUPS). Tanggung jawab negara terbatas kepada besarnya modal yang dimasukkan. Apabila BUMN menderita kerugian yang melebihi modalnya maka negara tidak ikut bertanggung jawab untuk menanggung kerugian tersebut.

Keberadaan  BUMN bukan termasuk lembaga negara atau lembaga pemerintah, karena BUMN tidak berada pada struktur organisasi negara maupun pemerintah, dan seperti telah disebutkan di atas bahwa BUMN adalah perusahaan yang statusnya sebagai badan hukum perdata. Dengan statusnya tersebut harta kekayaan BUMN bukan merupakan kekayaan Negara.

  1. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 77/PUU-IX/2011

Isi dari Putusan Mahkamah Konstitusi No. 77/PUU-IX/2011 tanggal 25 September 2012 pada intinya memuat bahwa Piutang BUMN bukanlah termasuk piutang negara, sebagaimana Mahkamah Konstitusi dalam amarnya sebagai berikut :

  1. Frasa “atau Badan-badan yang dimaksudkan dalam Pasal 8 Peraturan ini” dalam Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 49 Tahun 1960 adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
  2. Frasa “/Badan-badan Negara” dalam Pasal 4 ayat (4) UU Nomor 49 Tahun 1960 adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
  3. Frasa “atau Badan-badan yang baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh negara” dalam Pasal 8 UU Nomor 49 Tahun 1960 adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
  4. Frasadan Badan-badan Negara” dalam Pasal 12 ayat (1) UU Nomor 49 Tahun 1960 adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat

Dengan demikian, pasca putusan MK, ketentuan tersebut harus dibaca menjadi

Pasal 4

Panitya Urusan Piutang Negara bertugas:

  1. Mengurus piutang Negara yang berdasarkan Peraturan telah diserahkan pengurusannya kepadanya oleh Pemerintah (atau Badan-badan yang dimaksudkan dalam pasal 8 Peraturan ini, –frasa ini dihilangkan karena bertentangan dengan konstitusi-);
  2. tetap/tidak berubah;
  3. tetap/tidak berubah;
  4. Melakukan pengawasan terhadap piutang-piutang/kredit-kredit yang telah dikeluarkan oleh Negara (/Badan-badan Negara, frasa ini dihilangkan karena bertentangan dengan konstitusi-) apakah kredit itu benar-benar dipergunakan sesuai dengan permohonan dan/atau syarat-syarat pemberian kredit dan menanyakan keterangan-keterangan yang berhubungan dengan itu kepada Bank-bank dengan menyimpang dari ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 23 tahun 1960 tentang Rahasia Bank.

Pasal 8

Yang dimaksud dengan piutang Negara atau hutang kepada Negara oleh Peraturan ini, ialah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Negara (atau Badan-badan yang baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh Negara, frasa ini dihilangkan karena bertentangan dengan konstitusi-) berdasarkan suatu Peraturan, perjanjian atau sebab apapun.

Pasal 12

(1)  Instansi-instansi Pemerintah (dan Badan-badan Negara, frasa ini dihilangkan karena bertentangan dengan konstitusi-) yang dimaksudkan dalam pasal 8 Peraturan ini diwajibkan menyerahkan piutang-piutangnya yang adanya dan besarnya telah pasti menurut hukum akan tetapi penanggung hutangnya tidak mau melunasi sebagaimana mestinya kepada Panitya Urusan Piutang Negara.

Mengapa MK sampai pada kesimpulan diatas? Pada bagian ini akan dibahas mengenai alasan-alasan yang menjadi pertimbangan MK hingga sampai memutus hal diatas.

Para pemohon, yang terdiri dari 7 (tujuh) perusahaan/badan hukum privat, mengajukan permohonan perkara pengujian UU (judicial review) ke MK. Para pemohon merupakan debitur PT. Bank Negara Indonesia Tbk. Pada saat terjadi krisis moneter yang termasuk sebagai suatu  peristiwa diluar kekuasaan (force majeure), pemohon tidak mendapatkan bantuan berupa pemberian keringanan kewajiban pembayaran termasuk pemotongan hutang (hair cut). Disisi lain, debitur-debitur bermasalah yang tidak kooperatif yang menyelesaikan kreditnya melalui Lembaga BPPN, telah menikmati pengurangan hutang pokok (hair cut) hingga mencapai diatas 50% dari hutang pokoknya. Akan tetapi, para Pemohon yang direstrukturisasi kreditnya melalui Panitia Urusan Piutang Negara ternyata hutang pokoknya semakin bertambah besar. Adanya perbedaan perlakuan ini disebabkan  karena masih berlakunya ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara. Bank-bank BUMN (termasuk PT. BNI Tbk.) hanya dapat menyelesaikan utang tidak tertagih melalui PUPN tanpa memiliki keleluasaan untuk adanya restrukturisasi utang ataupun penundaan utang.

Terhadap kerugian pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan bahwa UU nomor 49 tahun 1960 mengenal 2 (dua) jenis piutang, yaitu (i) piutang negara dan (ii) piutang badan-badan yang baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh negara, dalam hal ini termasuk piutang Bank-Bank BUMN yang langsung atau tidak langsung dikuasai oleh negara. Pengaturan penyelesaian piutang terhadap 2 (dua) jenis piutang ini diperlakukan sama menurut UU Nomor 49 Tahun 1960.

Namun demikian, telah terjadi perubahan dalam politik hukum pengaturan tata cara penyelesaian piutang negara. Hal ini dikarenakan terdapat “UU baru” yang membedakan antara piutang negara dan piutang badan-badan yang dikuasai negara.

Berdasarkan Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara pengertian piutang negara adalah

“jumlah uang yang wajib dibayar kepada Pemerintah Pusat dan/atau hak Pemerintah Pusat yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau akibat lainnya yang sah”.

Oleh karena itu, piutang negara hanyalah piutang Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah, dan tidak termasuk piutang badan-badan usaha yang secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh negara termasuk piutang Bank-bank BUMN. Hal ini disebabkan, Pasal 1 angka 1 dan angka 10 UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara mengatur bahwa BUMN adalah badan usaha yang memiliki kekayaan terpisah dari kekayaan negara, sehingga kewenangan pengurusan kekayaan, usaha, termasuk penyelesaian utang-utang BUMN tunduk pada hukum Perseroan Terbatas berdasarkan UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Dengan demikian, berlakunya UU nomor 1 tahun 2004, telah mengubah pengertian piutang negara yang dikandung dalam UU nomor 49 tahun 1960. Piutang BUMN adalah piutang perseroan terbatas BUMN atau piutang swasta yang dibedakan dengan piutang negara atau piutang publik. Klasifikasi utang atau piutang BUMN adalah piutang dari perseroan, sehingga mekanisme penyelesaiannya mengikuti mekanisme perseroan. Piutang Bank BUMN bukan lagi piutang negara yang harus dilimpahkan penyelesaiannya ke PUPN. Piutang Bank-Bank BUMN dapat diselesaikan sendiri oleh manajemen masing-masing Bank BUMN berdasarkan prinsip-prinsip yang sehat di masing-masing Bank BUMN dengan melakukan restrukturisasi baik dalam pola hair cut, konversi maupun rescheduling.

Selain itu, terdapat pertimbangan penting Mahkamah yang tidak termasuk dalam bagian amar putusan dimana MK memperhatikan kedudukan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah. Berdasarkan prinsip “undang-undang yang terbaru mengesampingkan undang-undang yang lama” (lex posterior derogat legi priori) dan “peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan yang lebih rendah” (lex superior derogat legi inferiori), maka aturan dalam PP Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 sepanjang merujuk sebagai pelaksanaan UU nomor 49 tahun1960 (yaitu Pasal II ayat (i) huruf b PP 33/2006) merupakan aturan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusi dan prinsip-prinsip hukum yang berlaku umum. Dengan demikian, putusan MK ini memberikan kepastian hukum bagi para pihak sebagaimana dijamin oleh UUD 1945.

Putusan Mahkamah, sejatinya telah seirama dengan beragam peraturan perundang-undangan terkait dengan tata cara pengurusan piutang Negara/Daerah. Tidak hanya seirama dengan peraturan perundang-undangan, putusan MK juga senada dengan Fatwa Mahkamah Agung nomor WKMA/Yud/20/VIII/2006 tanggal 16 Agustus 2006 yang dulu pernah diminta oleh Pemerintah (c.q. Menteri Keuangan).

Salah satu perbedaan yang mencolok adalah bahwa MK secara tegas mempertimbangkan bahwa Pasal II ayat (1) huruf b PP nomor 33 tahun 2006 juga bertentangan dengan konstitusi. Sehingga,

“pengurusan piutang Perusahaan Negara/Daerah yang telah diserahkan kepada Panitia Urusan Piutang Negara c.q. Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara dan usul penghapusan Piutang Perusahaan Negara/Daerah yang telah diajukan kepada Menteri Keuangan melalui Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara,”

harus segera dialihkan kepada masing-masing Perusahaan Negara/Daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang Perseroan Terbatas dan Badan Usaha Milik Negara beserta peraturan pelaksanaannya dan sesuai dengan mekanisme korporasi. Dengan demikian, untuk menunjang pelaksanaan putusan MK, pemerintah (c.q Menteri Keuangan dan/atau Menteri-menteri yang terkait) perlu segera menyusun perubahan peraturan perundang-undangan dalam rangka penyesuaian dengan putusan Mahkamah Konstitusi.

Kendati memperoleh keleluasaan dalam mengelola kredit bermasalah, bank-bank BUMN diharapkan tetap bisa menjaga integritasnya sehingga tidak menimbulkan moral hazard. Oleh karena itu, ketentuan-ketentuan yang memperbolehkan hair cut atau pemotongan pokok dari kredit itu harus dibuat aturan atau prosedur internal masing-masing BUMN yang mengatur tata cara penghapusan piutang yang baik.

  1. Fatwa MA

Sehubungan dengan itu, pada tahun 2006 Mahkamah Agung pernah mengeluarkan fatwa atas permintaan Menteri Keuangan RI. Fatwa dituangkan dalam surat Mahkamah Agung  Nomor WKMA/Yud/20/VIII/2006 tanggal 16 Agustus 2006 Perihal Permohanan fatwa hukum, berbunyi sebagai berikut :

Menunjuk surat Menteri Keuangan RI Nomor S-324/MK.01/2006 tanggal 26 Juli 2006 perihal tesebut di atas, dan setelah Mahkamah Agung mempelajarinya dengan ini dapat disampaikan hal-hal sebagai berikut:

  1. Bahwa Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara berbunyi: “Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan”.
    Pasal 4 ayat (1) Undang-undang yang sama menyatakan bahwa ”Modal BUMN merupakan dan berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan”.
    Dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1) tersebut dikatakan bahwa “yang dimaksud dengan dipisahkan adalah pemisahan kekayaan negara dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaanya tidak lagi didasarkan pada sistem Anggaran Pendapatan Belanja Negara, namun pembinaan dan pengelolaanya didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat”;
  2. Bahwa dalam pasal-pasal tersebut di atas, yang merupakan undang-undang khusus tentang BUMN, jelas dikatakan bahwa modal BUMN berasal dari kekayaan negara yang telah dipisahkan dari APBN dan selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak didasarkan pada sistem APBN melainkan didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat;
  3. Bahwa pasal 1 angka 6 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara menyebutkan :
    “Piutang Negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Pemerintah Pusat dan/atau hak Pemerintah Pusat yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau akibat lainnya yang sah”;
  4. Bahwa meskipun Pasal 8 Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara menyatakan bahwa “piutang Negara atau hutang kepada Negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Negara atau Badan-badan yang baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh Negara berdasarkan suatu peraturan, perjanjian atau sebab apapun” dan dalam penjelasannya dikatakan bahwa piutang Negara meliputi pula piutang “badan-badan yang umumnya kekayaan dan modalnya sebagian atau seluruhnya milik Negara, misalnya Bank-bank Negara, PT-PT Negara, Perusahaan-perusahaan Negara, Yayasan perbekalan dan persediaan, Yayasan Urusan Bahan Makanan dan sebagainya”, serta Pasal 12 ayat (1) Undang-undang yang sama mewajibkan Instansi-instansi Pemerintah dan Badan-badan Negara seabagaimana dimaksud dalam Pasal 8 untuk menyerahkan piutang-piutang yang adanya dan besarnya telah pasti menurut hukum akan tetapi penanggung hutangnya tidak mau melunasi sebagaimana mestinya kepada Panitia Urusan Piutang Negara, namun ketentuan tentang piutang BUMN dalam Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tersebut tidak lagi mengikat secara hukum dengan adanya Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara yang merupakan undang-undang khusus (lex specialis) dan lebih baru dari Undang-undang Nomor 49 Prp Tahun 1960;
  5. Bahwa begitu pula halnya dengan Pasal 2 huruf g Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 yang berbunyi: Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 meliputi : “g. kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah”, yang dengan adanya Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN maka ketentuan dalam Pasal 2 huruf g khusus mengenai ”kekayaan negara yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah” juga tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum;
  6. Bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, dapat dilakukan perubahan seperlunya atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah.

Dari fatwa Mahkamah Agung di atas dapat disimpulkan bahwa ketentuan Pasal 2 huruf g UU Keuangan Negara tidak mengikat secara hukum kepada BUMN, dengan demikian harta kekayaan BUMN yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan bukan merupakan kekayaan negara.

  1. Pedapat Kemeneg BUMN

Selain fatwa tersebut, ada pendapat dari  Kementerian Negara BUMN yang tertuang dalam suratnya No. S- 298/S.MBU/2007 25 Juni 2007 tertanggal 25 Juni 2007 yang ditujukan kepada Direksi, Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN  tentang hubungan UU Keuangan Negara dengan UU BUMN yang isinya dapat disimpulkan sebagai berikut:

Sesuai dengan UU Keuangan Negara dan UU BUMN, maka kekayaan Negara yang ada pada BUMN hanya sebatas modal/saham, untuk selanjutnya dikelola secara korporasi sesuai dengan kaidah-kaidah hukum korporasi, tidak lagi dikelola berdasarkan kaidahkaidah hukum kekayaan Negara. Berdasarkan kedua undang-undang tersebut, mengingat ruang lingkup Keuangan Negara terdiri dari kekayaan Negara yang tidak dipisahkan dan kekayaan Negara yang dipisahkan, maka dalam pengelolaan keuangan Negara berlaku dua kaidah atau rezim hukum, yaitu kaidah hukum Keuangan Negara yang mengatur pengelolaan kekayaan Negara yang tidak dipisahkan (APBN/APBD), dan kaidah hukum Korporasi yang mengatur pengelolaan kekayaan Negara yang dipisahkan (BUMN/BUMD). Bagi BUMN memang berlaku kedua rezim hukum tersebut, namun rezim hukum Keuangan Negara hanya berlaku bagi BUMN sebatas yang terkait dengan permodalan dan eksistensi BUMN. Misalnya, di dalam UU BUMN diatur bahwa pendirian, penggabungan, peleburan, pengambilalihan, perubahan modal, privatisasi, dan pembubaran BUMN ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah, dan bahkan dalam prosesnya melibatkan Menteri Teknis, Menteri Keuangan, Presiden, dan DPR. Sedangkan tindakan-tindakan operasional (di luar permodalan dan eksistensi BUMN), tunduk sepenuhnya kepada rezim hukum Korporasi. Hal tersebut jelas dinyatakan dalam Pasal 11 UU BUMN yang menyatakan bahwa terhadap Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi perseroan terbatas sebagaimana diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1995 (sekarang UU No. 40 Tahun2007 tentang Perseroan Terbatas).

  1. PP No. 33 Tahun 2006 sebagai regulasi

Dengan adanya fatwa Mahkamah Agung dan pendapat Kementerian Negara BUMN yang isinya sejalan tersebut dapat diketahui bahwa oleh karena Pasal 2 huruf g tidak mengikat BUMN maka pengaruh UU Keuangan Negara terhadap BUMN tidak sampai memasuki “rumah tangga” BUMN. Harta kekayaan BUMN bukan sebagai harta kekayaan negara melainkan sebagai milik BUMN sendiri. Hal ini sesuai dengan teori badan hukum yang memiliki harta kekayaan sendiri yang terpisah dari harta kekayaan pengurus maupun para pendirinya. Negara selaku pendiri BUMN berkedudukan sebagai pemegang saham/pemilik modal BUMN yang berhak atas pembagian deviden atau keuntungan BUMN.

Setelah mengetahui bahwa BUMN mempunyai harta kekayaan sendiri, maka jika BUMN bersengketa di pengadilan sebagai tergugat konsekuensinya harta kekayaannya dapat disita oleh pengadilan  baik sita jaminan atau sita eksekusi. Seandainya di dalam BUMN masih terdapat barang-barang milik negara tidak dapat disita berdasarkan UU Perbendaraan negara.

Kemudian  apabila BUMN mempunyai piutang yang belum dibayar oleh debiturnya meskipun telah jatuh tempo, tidak lagi menyerahkan penyelesaian piutangnya ke Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN). Sebelum belakunya UU No. 19 Tahun 2003 BUMN menyelesaikan piutangnya melalui PUPN dasarnya adalah Pasal 8 UU PUPN karena piutang negara mencakup piutang perusahaan negara yang sekarang disebut BUMN. Berdasarkan UU BUMN pemerintah telah mengeluarkan PP No. 33 Tahun 2006 tentang Perubahan atas PP No. 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah berlaku sejak tanggal diundangkan yaitu 6 Oktober 2006, mengatur sebagai berikut:

Pasal I:

Ketentuan Pasal 19 dan Pasal 20 dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah, dihapus.

Pasal II:

  1. Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku :
  2. Pengurusan Piutang Perusahaan Negara/Daerah untuk selanjutnya dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang Perseroan Terbatas dan Badan Usaha Milik Negara beserta peraturan pelaksanaannya.
  3. Pengurusan Piutang Perusahaan Negara/Daerah yang telah diserahkan kepada Panitia Urusan Piutang Negara c.q. Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara dan usul penghapusan Piutang Perusahaan Negara/Daerah yang telah diajukan kepada Menteri Keuangan melalui Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara tetap dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara dan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah beserta peraturan pelaksanaannya.
  4. Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Dengan adanya UU BUMN dan PP tersebut maka berpengaruh terhadap penyelesaian utang piutang BUMN yang tidak lagi melalui lembaga PUPN berakibat wewenang PUPN hanya menyelesaian piutang-piutang negara yang bukan berasal dari BUMN.  Oleh karena itu sudah waktunya UU PUPN perlu diubah atau diganti dengan mengikuti perkembangan zaman.

  1. PENYELESAIAN PIUTANG BUMN

Dengan keluarnya PP 33 Tahun2006 sebagai peraturan pelaksana UU BUMN yang dilatarbelakangi Fatwa MA dan pendapat Kemeneg BUMN sebagaimana suratnya di atas berpengaruh terhadap penyelesaian utang piutang BUMN, karena sebelumnya BUMN menyerahkan penyelesaian ke PUPN.

Penyelesaian utang piutang sejak saat itu tidak lagi ke PUPN, karena harta BUMN bukan lagi sebagai kekayaan negara, tetapi kekayaan BUMN sendiri sehingga sesuai PP No. 33 Tahun 2006  piutang BUMN diselesaikan menurut UU Perseroan Terbatas dan UU BUMN.

Berdasarkan hal tersebut, menurut hemat kami BUMN menyelesaikan utang piutangnya dengan mengikuti tata cara ketentuan hukum jaminan yang berlaku, tanpa menutup kemungkin BUMN menggunakan lembaga perdamaian dengan cara mediasi atau lembaga arbitrase.

Apabilan BUMN menyelesaikan piutangnya mengikuti hukum jaminan, maka berlaku ketentuan-ketentuan  yang ada dalam UU sebagai berikut:

  1. UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan (tanah dan bangunan),
  2. UU No. 42 Tahun 1999 tetang Fidusia (barang bergerak),
  3. Buku Kedua Bab Kedua Puluh, dari Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1161 KUH.Perdata tentang gadai (barang bergerak), dan
  4. Pasal 60 s/d Pasal 66 UU No. 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran, Pasal 314 KUHD,  KUH.Perdata Pasal 1168, 1169, 1171 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 1175 dan Pasal 1176 ayat (2), Pasal 1177, Pasal 1178, Pasal 1180, Pasal 1186, Pasal 1187, Pasal 1189, Pasal 1190, Pasal 1193 s/d Pasal 1197, Pasal 1199 s/d Pasal 1205, Pasal 1207 s/d Pasal 1919, Pasal 1224 s/d Pasal 1227 tentang hipotek kapal.

Dari ketentuan-ketentuan hukum jaminan tersebut BUMN mempunyai kebebasan untuk melakukan pilihan hendak menyelesaikan utang piutangnya, melalui lembaga pengadilan atau menyelesaikan sendiri (mengeksekusi sendiri jaminan utang).

Jika BUMN memilih menyelesaikan melalui pengadilan, sesuai hukum acara perdata maka prosedurnya dapat dilakukan dengan:

  1. Mengajukan gugatan perdata kepada debitur/nasabahnya dengan alasan wanprestasi atas utangnya, atau 
  2. Mengajukan permohonan eksekusi terhadap grosse akta hak tanggungan/fidusia/hipotek kapal.

BUMN dapat mengajukan gugatan perdata terhadap nasabah/debiturnya karena wanprtestasi atas utangnya. Gugatan ini di sidangkan dengan acara jawab-menjawab, pembuktian, dan putusan. Setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap, sebagai pihak yang dimenangkan BUMN mengajukan permohonan eksekusi kepada ketua pengadilan negeri, karena pengadilan bersikap pasif. Pengadilan tidak mungkin mengeksekusi putusannya sendiri apabila tidak diminta.

Semua grosse akta yang berkepala Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dapat dimintakan permohonan eksekusi kepada pengadilan karena dengan title eksekutorial tersebut grosse akta memiliki kekuatan yang sama dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan tetap. Pengajuan permohonan eksekusi grosse akta tanpa perlu dilakukan pemeriksaan seperti perkara gugatan perdata. Dengan permohonan eksekusi ketua pengadilan dapat langsung mengeluarkan penetapan eksekusi grosse akta.

Untuk gadai, meskipun dalam gadai tidak dikenal adanya grosse akta, karena gadai dapat dilakukan secara lisan, namun Pasal 1156 KUH.Perdata memungkinkan untuk melakukan eksekusi melalui pengadilan. Pasal tersebut menyebutkan, bahwa bagaimanapun apabila debitur atau pemberi gadai cidera janji, kreditor dapat menuntut di muka Hakim supaya barangnya gadai dijual menurut cara yang ditentukan oleh Hakim untuk melunasi utang beserta bunga dan biaya, ataupun Hakim, atas tuntutan kreditur, dapat mengabulkan bahwa barang gadainya akan tetap pada kreditor untuk suatu jumlah yang akan ditetapkan dalam putusan hingga sebesar utangnya beserta bunga dan biaya.

Continue Reading