Terdapat pemahaman yang salah dari kesekian banyak Mahasiswa Fakultas Hukum mengenai pola pemikiran yang digunakan. Mengedepankan logika merupakan konsumsi sehari-hari dalam menafsirkan hukum. Padahal logika tidak selamanya digunakan dalam hukum, malah justru logika akan mengantarkan Mahasiswa Hukum kepada suatu kesesatan. Karena hukum merupakan logika, tapi jangan dilogikakan.
Ada salah satu dalil yang berpengaruh, bahwa suatu argumentasi bermakna hanya dibangun atas dasar logika. Dengan kata lain agar suatu keputusan/argumentasi dapat diterima apabila didasarkan pada proses nalar atau logika. Secara sepintas dapat dibenarkan, akan tetapi hukum bukan logika dan tidak selamanya dapat dilogikakan.
Permasalahan sekarang yang muncul dari dalam pikiran Mahasiswa (khususnya Fakultas Hukum) adalah bahwa dalam memahami hukum adalah hanya dengan logika tanpa didasari oleh konsep dan teori (baik berupa peraturan perundang-undangan ataupun pendapat pakar). Padahal yang perlu diingat adalah bahwa tidak semua hukum dapat “DILOGIKAKAN”. Artinya untuk mendukung “kebenaran” logika/nalar itu perlu didasari atas konsep atau teori yang jelas dan sistematis.
Banyak kemudian Mahasiswa yang belum pernah memahami dan mengkaji dan membaca tentang teori hukum akan tetapi dengan menggunakan logika yang dimilikinya kemudian mengemukakan pendapatnya dengan penuh percaya diri seakan apa yang dikatakan merupakan argumentasi yang paling benar. Dengan tanpa menafikan ini, hal itu telah merebak dan menjadi Virus Akut di Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo.
Misal : dalam BW (KUH Perdata) Pasal 1865 beban pembuktian suatu gugatan adalah ada pada penggugat, tetapi dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) Pasal 107 Hakimlah yang menentukan beban pembuktian.
Jika dilogikakan, seakan-akan ada 2 (dua) norma hukum yang berseberangan (conflic of norm), akan tetapi jika dianalisis secara mendalam, maka sebenarnya itu adalah ada pada koridor atau lapangan hukum yag berbeda, yakni hukum publik dan hukum privat. Maka untuk itu perlu adanya logika yang didasari atas konsep/tepri yang jelas untuk menghindari sebuah Fallacy (kesesatan) dalam memahami hukum.
Untuk memiliki “logika yang runtut dan mendasar” agar menghasilkan sebuah argumen yang benar-benar “argumentasi hukum”, maka perlu diketahui tentang model logika, yakni logika silogistis, proposisi dan predikat. Dimana untuk mengetahui ini perlu di budayakan untuk membaca, mengkaji dan menganalisis tentang permasalahan hukum agar diperoleh konsep yang jelas dan mendasar.
Apakah anda seperti itu ??? tentunya sudah saatnya anda berubah mulai saat ini, penting untuk kalian memperbanyak membaca referensi untuk kemudian melontarkan argumentasi hukum, sehingga argumen anda terdapat dasar yang jelas, bukan atas dasar nalar dan peran logika dalam menjawab permasalahan hukum.
Ingat pepatah, Tantum Valet Auctoritas, Quantum Valet Argumentatio, artinya (nilai wibawa seseorang setinggi nilai argumentasinya).