REFLEKSI PERKEMBANGAN DINAMIKA PERAN DAN FUNGSI KOMISI YUDISIAL MENUJU PERADILAN YANG BERSIH DAN BERWIBAWA

  

  1. PENDAHULUAN

Pemikiran tentang pemisahan kekuasaan dipengaruhi oleh teori John Locke (1632-1704) seorang filosof Inggris yang pada tahun 1690 menerbitkan buku “Two Treties on Civil Government”. Dalam bukunya itu John Locke mengemukakan adanya tiga macam kekuasaan di dalam Negara yang harus diserahkan kepada badan yang masing-masing berdiri sendiri, yaitu kekuasaan legislative (membuat Undang-Undang), kekuasaan eksekutif (melaksanakan Undang-Undang atau yang merupakan fungsi pemerintahan) dan kekuasaan federatif (keamanan dan hubungan luar negeri).[1]

Negara republik indonesia mengenal adanya lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif dalam UUD 1945 dengan melaksanakan pembagian kekuasaan (distribution of power) antara lembaga-lembaga negara. Kekuasaan lembaga-llembaga negara tidaklah di adakan pemisahan yang kaku dan tajam, tetapi ada koordinasi yang satu dengan yang lainnya.

Sebagai negara demokrasi, pemerintahan Indonesia menerapkan teori trias politika. Trias politika adalah pembagian kekuasaan pemerintahan menjadi tiga bidang yang memiliki kedudukan sejajar. Ketiga bidang tersebut yaitu :[2]

  1. Legislatif bertugas membuat undang undang. Bidang legislatif adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
  2. Eksekutif bertugas menerapkan atau melaksanakan undang-undang. Bidang eksekutif adalah presiden dan wakil presiden beserta menteri-menteri yang membantunya.
  3. Yudikatif bertugas mempertahankan pelaksanaan undang-undang. Adapun unsur yudikatif terdiri atas Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK).

Mahkamah Agung memiliki perananan yang sangat vital di sistem peradilan Indonesia. Peranan tersebut ialah Mahkamah Agung memegang kekuasaan kehakiman bagi badan peradilan yang berada di bawahnya. Pada Undang Undang Dasar 1945 Amandemen ke – IV Pasal 24 memberikan kekuatan bagi Mahkamah Agung, bahwa sejatinya “ Mahkamah Agung adalah sebagai penguasa kekuasaan kehakiman disamping Mahkamah Konstitusi, bagi 4 Peradilan di Indonesia, Peradilan Umum, Peradilan Negara, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Dijelaskan selanjutnya pada Pasal 24 A ayat (1) , Mahkamah Agung memiliki peranan mengadili pada tingkat kasasi ; menguji peraturan perundang-undangan terhadap undang-undang. Sedangkan pada pasal 14 ayat (1), Mahkamah Agung memberikan pertimbangan perihal grasi dan rehabilitasi yang diajukan oleh Presiden.

Kekuasaan kehakiman tidak lagi menjadi satu-satunya pelaku kekuasaan kehakiman (judicial power), karena di sampingnya ada Mahkamah Konstitusi yang juga berfungsi sebagai pelaku kekuasaan kehakiman. Ketiga, adanya lembaga baru yang bersifat mandiri dalam struktur kekuasaan kehakiman, yaitu Komisi Yudisial yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Keempat, adanya wewenang kekuasaan kehakiman dalam hal ini dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi untuk melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar (UUD), memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemiliham umum (pemilu).

Dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 disebutkan bahwa “Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.” Dari pasal tersebut, dapatlah kita lihat kewenangan yang dimiliki oleh Komisi Yudisial yang merupakan konteks reformasi peradilan, yakni pertama, mengusulkan pengangkatan hakim agung, yang sebelumnya pengangkatan hakim agung tidak melalui mekanisme yang transparan dan melibatkan masyarakat serta cenderung sesuai dengan selera penguasa, kedua, wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, yang intinya adalah merupakan bagian dari proses pengawasan kekuasaan kehakiman agar mampu juga mempertanggungjawabkan kemandirian dan indepensi yang dimilikinya.

 

  1. KEDUDUKAN KOMISI YUDISIAL DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA

Komisi Yudisial  adalah lembaga Negara yang dibentuk dalam rumpun kekuasaan kehakiman yang ditetapkan oleh undang-undang dasar 1945 yang telah diamandemen yaitu  pada bab kekuasaan kehakiman yaitu pasal 24B UUD 1945. ide pembentukan  lembaga yang berfungsi mengawasi kekuasaan kehakiman sebenarnya sudah lama muncul. Berawal dari tahun 1968 muncul ide pembentukan Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH). Namun ide tersebut tidak berhasil dimasukkan dalam undang-undang tentang Kekuasaan Kehakiman. Baru pada tahun 1998 muncul kembali dan menjadi wacana yang semakin kuat dan solid sejak adanya desakan penyatuan atap bagi hakim, yang tentunya memerlukan pengawasan eksternal dari lembaga yang mandiri agar cita-cita untuk mewujudkan peradilan yang jujur, bersih, transparan dan profesional dapat tercapai. Atas dasar itulah pada amandemen UUD 1945 yang ketiga munculah pasal yang menjelaskan komisi yudisial pada bab kekuasaan kehakiman.

Walaupun berada dalam satu rumpun kekuasaan kehakiman, komisi yudisial bukan lembaga pemegang kekuasaan kehakiman melainkan hanya sebagai lembaga yang menunjang tehadap pelaksanaan tugas kekuasaan kehakiman atau dapat disebut sebagai supporting institution.

Didalam UUD 1945 komisi yudisial terdapat dalam pasal 24B UUD 1945 yang mempunyai wewenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Dalam masalah pengawasan hakim dilihat posisi KY yang terdapat pada pasal 24B UUD 1945 yang dipandang hanya terkait dengan ketentuan pasal 24A UUD 1945 yang jadi dapat dikatakan maksud pengawasan hakim disini ialah pengawasan terhadap hakim agung. Namun, didalam undang-undang nomor 22 tahun 2004 tentang komisi yudisial hakim konstitusi juga dimasukkan kedalamnya. Ketentuan ini mengakibatkan lumpuhnya kedudukan Mahkamah Konstitusi dalam menghadapi kenyataan timbulnya persengketaan kewenangan konstitusional antara Mahkamah Agung dan KY. Oleh karena itu diadakanlah judicial review oleh MK yang menghasilkan putusan MK No. 005/PUU-IV/2006 yang memangkas kewenangan KY tersebut menyatakan perilaku hakim konstitusi tidak lagi menjadi objek pengawasan oleh komisi yudisial. Disamping itu, dipastikan pula bahwa komisi yudisial sebagai supporting institution. Pandangan MK dari putusan tersebut bahwa KY hanyalah supporting institution dapat diterima dalam kaitannya dengan kekuasaan kehakiman dalam artian KY bukanlah lembaga pemegang kekuasaan kehakiman seperti MA dan MK. Akan tetapi, dapatlah ditegaskan bahwa sebagai lembaga pengawas eksternal kedudukan KY bukan supporting melainkan dapat juga disebut sebagai main institution. Oleh sebab itu,sebagai lembaga Negara kedudukan KY tidaklah di bawah MA maupun MK,tetapi tugas dan wewenangnya tetaplah bersifat penunjang bagi kekuasaan kehakiman.

Pengawasan KY terhadap para hakim dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,keluhuran dan martabat para hakim mempunyai peranan penting dalam membangun system peradilan yang baik. Menurut Prof. Jimly ashidiqie Demokrasi tidak mungkin dapat tumbuh dan berkembang tanpa diimbangi dan dikontrol oleh rule of law yang bertumpu pada system kekuasaan kehakiman yang dapat dipercaya, Untuk menjaga dan membangun kepercayaan atau confidence building itu maka diperlukan satu lembaga tersendiri yang menjalankan upaya luhur itu.

Peranan KY disini ialah sebagai lembaga pengawas kode etik hakim atau lembaga penegak kode etik hakim bukan sebagai lembaga pengawas peradilan atau lembaga kekuasaan kehakiman. Karena kekuasaan kehakiman itu bersifat bebas dan merdeka jadi KY tidak dapat mengawasi sampai ke ranah teknis yustisialnya hal ini sesuai dengan pasal 22 ayat (3)  UU No 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Jadi KY bertugas mengawasi para pelaksanaan kode etik dan perilaku menyimpang dari para hakim dari standart kode etik sebelum pelanggaran kode etik itu berkembang menjadi pelanggaran hukum sehingga terciptanya system peradilan yang baik tanpa adanya unsur judicial corruption.

Kita juga dapat melihat wewenang lain dari KY yaitu mengusulkan pengangkatan hakim agung kepada DPR. Dalam melaksanakan wewenang itu  KY menurut pasal 14 UU No 2 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial mempunyai tugas : a. melakukan pendaftaran calon hakim agung, b. melakukan seleksi terhadap calon hakim agung, c. menetapkan calon hakim agung, d. mengajukan calon hakim agung ke DPR. Dari tugas KY ini berpengaruh terhadap terciptanya system peradilan yang bersih apabila dalam seleksi pencalonan hakim agung tersebut berjalan benar-benar dengan baik.karena dengan hakim agung yang berkualitas tentu dapat peradilan dapat berjalan dengan baik, bersih, dan terpercaya.insya Allah.

Oleh karena kedudukan Komisi Yudisial sebagai lembaga Negara mempunyai peranan penting yang secara tidak langsung pasti akan berpengaruh terhadap upaya membangun system peradilan yang baik yang dapat dipercaya dan terbebas dari praktik KKN serta masalah-masalah mafia peradilan. Maka keberhasilan Komisi Yudisial dalam menjalankan tugasnya juga penting dalam memberantas mafia peradilan. Oleh karena itu dibutuhkan pimpinan dan anggota KY yang benar-benar terkualifikasi dan memliki integritas untuk menjalankan tugas Komisi Yudisial ini dengan baik. Maka dalam seleksi pimpinan Komisi Yudisial sebaiknya panitia seleksi (Pansel) dan DPR benar-benar serius dalam melakukan pemilihan calon pimpinan Komisi Yudisial,Calon pimpinan Komisi Yudisial harus benar-benar orang yang terseleksi karena kualitas dan integritasnya bukan karena ada kepentingan-kepentingan lain.

  • KOMISI YUDISIAL SEBAGAI BENTENG PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA

Negara Indonesia adalah negara hukum, demikian bunyi Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Konsekwensi pernyataan itu menunjukkan bahwa hakim sebagai pejabat negara dalam mengemban tugasnya haruslah juga didasarkan kepada aturan-aturan hukum yang berklaku. Dalam menyelesaikan perkara melalui pengadilan tentunya harus mempedomani ketentuan-ketentuan hukum acara yang berlaku di Pengadilan,  baik  itu yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Segala alur proses pemeriksaan harus pula sesuai dengan hukum. Hakim tidak boleh menyimpangi ketentuan-ketentuan hukum acara kecuali yang dibenarkan oleh hukum itu sendiri.

Setiap perkara yang diajukan oleh masyarakat ke pengadilan tidak ada alasan bagi hakim untuk menolaknya, disamping itu hakim diwajibkan pula untuk membantu masyarakat pencari keadilan agar proses pemeriksaan perkaranya dapat dilakukan dengan lancar, tanpa berpihak kepada salah satu pihak yang berperkara. Seperti membantu pembuatan dan penyusunan surat gugatan. Keberadaan peradilan bertujuan untuk menyelesaikan sengketa yang timbul di antara anggota masyarakat. Sengketa yang terjadi, berbagai ragam. Ada yang berkenaan dengan pengingkaran atau pemecahan perjanjian (breach of contract), perceraian, pailit, sengketa perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad), sengketa hak milik (property right), penyalahgunaan wewenang oleh penguasa yang merugikan pihak-pihak tertentu. Semuanya ini mengharapkan suatu penyelesaian dari hakim agar dapat memberikan suatu putusan yang adil dan dapat diterima oleh semua pihak.

Untuk memberikan suatu putusan dalam suatu perkara tidak semudah membalikkan telapak tangan, sebelum pengambilan putusan hakim haruslah terlebih dahulu melakukan proses pemeriksaan perkara sesuai dengan ketentuan hukum acara, yang salah satunya adalah acara pembuktian. Proses pembuktian adalah sangat menentukan dalam hakim untuk sampai pada kesimpulannya dalam hal pengambilan suatu  putusan, mulai dari beban pembuktian sampai alat-alat bukti yang dikemukakan oleh para pihak adalah merupakan persoalan hukum, yang harus diperhatikan oleh hakim karena beban pembuktian itu merupakan persoalan yang tidak mudah, karena tidak ada satu pasal pun di dalam hukum acara yang mengatur secara tegas tentang pembagian beban pembuktian.

Dalam praktek, para hakim memerlukan ketelitian dan kebijaksanaan untuk menentukan pihak mana yang perlu diberi beban pembuktian lebih dahulu dan selanjutnya. Ada satu pasal yang mengatur beban pembuktian, yaitu pasal 163 HIR, 283 RBg. Tetapi ketentuan pasal ini tidak begitu jelas, karena itu sulit untuk diterapkan secara tegas, apakah beban pembuktian itu ada pada pihak penggugat atau pada pihak tergugat. Kesalahan dalam memberikan beban pembuktian adalah menjerumuskan pihak yang dibebani pembuktian  kejurang kekalahan, hal ini pasti keadilan tidak akan pernah tercapai, akibatnya putusan hakim menjadi putusan yang tidak adil.

Kesalahan-kesalahan hakim dalam pengambilan putusan dalam suatu perkara mengakibatkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan sangat rendah. Banyak sekali putusan hakim yang sudah memiliki kekuatan pasti tidak dapat dilaksanakan eksekusinya, karena mendapat perlawanan dari masyarakat. Kridibilitas lembaga peradilan kita dalam pandang masyarakat memang sangat rendah dalam beberapa tahun belakang ini, ini disebabkan oleh beberapa paktor, antara lain yang sangat dominan adalah faktor perilaku penegak hukum itu sendir termasuk di dalamnya hakim itu sendiri disamping penegak hukum yang lainnya, baik hakim pada tingkat Pengadilan Negeri maupun ditingkat tertinggi sekali yaitu Mahkamah Agung.

Mafia peradilan tidak asing lagi bagi telinga masyarakat, kepercayaan terhadap keadilan yang diciptakan melalui badan peradilan yang dinamakan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung itu terasa sirna bila kita mendengar, melihat dan mebaca berita yang disuguhkan melalui masmedia. Mahkamah Agung sebagai tameng terakhir untuk mendapat keadilan tercemar oleh sekelompok pedagang keadilan yang tidak bertanggung jawab. Kesadaran hukum adalah suatu tuntutan dalam penegakan hukum, tidak hanya tuntutan ini ditujukan kepada masyarakat saja,  tetapi juga kepada penegak hukum itu sendiri. Kesadaran hukum masyarakat tidak ada gunanya bila tidak diimbangi dengan pengetahuan hukum itu sendiri, demikian pula sebaliknya pengetahuan hukum sudah cukup dan kesadaran hukum sudah tinggi tidak ada artinya kalau tidak dimbangi oleh perilaku yang tidak manis dari petugas hukum itu sendiri.

Kita menyadari bahwa kesadaran dan pengetahuan hukum masyarakat kita sangat rendah, terutama di daerah-daerah. Terlepas dari itu seyogianya setiap aparatur hukum yang terkait di dalam penegakan hukum haruslah memberikan penjelasan yang benar atas setiap persoalan hukum yang terjadi di dalam masyarakat yang awam akan mengerti serta memahami tentang hukum yang mengikat setiap tingkah laku mereka sehari-hari. Pekerjaan ini tidak mudah dan tidak pula murah.Tetapi  masyarakat harus diberikan penyuluhan terhadap hukum, agar rakyat tahu tentang hukum itu.

Dalam suatu lingkungan masyarakat tidak jarang para anggotanya memiliki berbagai kepentingan yang satu sama lain saling bertentangan, sehingga dalam mempertahankan kepentingannya itu mereka dapat terlibat dalam pertentangan-pertentangan yang dapat membahayakan ketertiban dan keamanan masyarakat. Dengan begitu eksistensi, dan pengetahuan hukum masyarakat  diperlukan untuk mencegah timbulnya bahaya-bahaya yang mampu meresahkan kehidupan masyarakat sehingga setiap anggota masyarakat merasa aman dan tentram karena memperoleh suatu perlindungan hukum.

Hukum yang baik belum tentu dapat dilaksanakan dengan baik apabila pelaksana hukumnya tidak menguasai hukum dengan baik, demikian juga jika pelaksana hukum memiliki penguasaan hukum yang sangat baik juga tidak akan menghasilkan keputusan hukum yang baik jika mental atau moral penegak hukumnya tidak baik. Akan sempurna jika penegak hukum menguasai materi hukum dengan baik dan memiliki moral yang baik, inilah hakim yang didambakan oleh masyarakat.

Kemampuan untuk menguasai hukum akan terpenuhi jika pelaksana hukum dalam kehidupan sehari-harinya selalu mentaati hukum. Ketidak taatan kepada hukum hanya akan menghasilkan penegak-penegak hukum yang otoriter, yang dengan kekuasaannya menekan anggota masyarakat untuk mentaati hukum menurut seleranya sendiri. Sikap yang demikian jelas bertentangan dengan hukum. Oleh karena itu untuk meningkatkan citra dan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan ditanah air ini, penegak-penegak hukum haruslah orang-orang yang mengusai hukum sendiri, dan juga bermoral  dan beriman. Sehingga dalam penerapan hukum ia dapat berlaku adil jujur serta mau mengindahkan hukum yang berlaku.

Akan tetapi dalam kenyataannya, keinginan masyarakat untuk mendapatkan keadilan dan perlindungan hukum sering merasa kecewa karena apa yang diharapkan melalui lembaga peradilan tidak mencerminkan lembaga peradilan, tetapi tidak lain dari lembaga jual beli hukum. Untuk memperbaiki citra badan peradilan ini tentu tidak mudah, harus dilakukan perbaikan-perbaikan dalam segala hal, seperti gaji, sarana dan prasarana penunjang dan terutama adalah sumber daya manusianya. Kesejahteraan adalah merupakan kambing hitam yang utama yang dijadikan alasan mengapa para penegak hukum menjadi tidak bermoral. Di samping itu tentu juga adalah pembenahan lembaga peradilan itu sendiri, agar menjadi lembaga yang mandiri terlepas dari pengaruh kekuasaan negara lainnya, yang mempengaruhi kemandirian hakim dalam melaksanakan tugasnya sebagai hakim.

Di dalam dunia peradilan, prinsip-prinsip dasar kekuasaan kehakiman yang mandiri yang harus dihormati oleh setiap negara yang melakukan rule of law, adalah  meliputi:[3]

  1. Judicial Indefendence, lembaga peradilan harus merupakan suatu lembaga yang memberikan manfaat sangat besar bagi setiap masyarakat, dimana setiap orang berhak untuk mendapatkan peradilan yang terbuka untuk umum yang dilaksnakan oleh pengadilan yang berwenang, adil dan tidak memihak. Peradilan yang mandiri merupakan syarat mutlak untuk melaksanakan hak tersebut yang mensyaratkan bahwa peradilan akan memeriksa perkara dengan adil dan menerapkan hukum yang baik.
  2. Objectieve of the judiciary, tujuan peradilan adalah :
  3. Menjamin setiap orang dapat hidup dengan aman di bawah the rule of law.
  4. Meningkatkan penghormatan dan pelaksanaan hak asasi manusia.
  5. Melaksanakan hukum secara adil dalam sengketa antara sesama warga masyarakat dan antar warga masyarakat dengan negara.
  6. Appoinment of judges. Para hakim harus diangkat berdasarkan kemampuannya yang nyata, integritas yang tinggi dan mandiri, dan harus dilaksanakan sedemikian rupa sehingga akan menjamin bahwa hanya yang terbaik yang dapat menduduki jabatan tersebut. Prosedur pengangkatannya harus transparan dan tanpa diskriminasi (suku, warna kulit, agama, gender, aliran politik, dan sebagainya).
  7. Tenure, yaitu bahwa masa jabatan hakim harus dijamin, baik melalui pemilihan kembali atau prosedur resmi lainnya. Tetapi diusulkan agar Hakim hanya akan pensiun/diberhentikan setelah mencapai usia tertentu dan ketentuan batas usia tersebut tidak boleh dirubah sehingga merugikan Hakim yang sedang melaksanakan tugasnya. Hakim hanya boleh diberhentikan  sebelum batas usia pensiun karena terbukti tidak mampu, dijatuhi pidana, atau mempunyai kelakuan yang tidak sesuai dengan kedudukannya sebagai Hakim, dan harus berdasarkan prosedur yang jelas.
  8. Judicial Condition, yaitu para hakim harus menerima penggajian yang memadai dan diberikan persyaratan kerja dan jaminan yang wajar.
  9. Jurisdiction, dimana kewenangan penyerahan perkara kepada hakim merupakan administrasi pengadilan dan pengawasan utama berada pada ketua pengadilan yang bersangkutan.
  10. Judicial Administration, yaitu bahwa administrasi pengadilan yang meliputi pengangkatan, pengawasan, dan penjatuhan disiplin kepada pejabat administrasi dan petugas pengadilan lainnya, serta anggaran pengadilan haruslah diberikan tanggung jawabnya kepada badan peradilan, atau oleh suatu badan di mana judiciary mempunyai peranan penting.
  11. Realitionship with the executive, yaitu bahwa kewenangan yang dimiliki oleh Eksekutif yang berdampak terhadap Hakim dalam melaksanakan tugasnya, gaji atau sumber pendapatannya, tidak boleh digunakan untuk mengancam atau menekan para Hakim, perlindungan Hakim dan keluarganya.
  12. Recources, yaitu bahwa agar para hakim dapat melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya, kepada mereka harus diberikan jaminan yang cukup.
  13. Emergency, bahwa dalam hal sedang terjadi kesulitan/krisis ekonomi di mana negara tidak memungkin memberi biaya yang memadai bagi Hakim, tetapi untuk tegaknya the rule of law dan perlindungan hak asasi manusi, pengadilan harus diberikan prioritas dalam pembiayaan.

 

  1. MENINGKATKAN KEPERCAYAAN MASYARAKAT TERHADAP LEMBAGA PERADILAN.

Untuk memulihkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan dan aparatur penegak hukum, tentu tidak mudah perlu pembenahan dan pembinaan, baik institusi, sumberdaya manusia serta sarana-sarana yang sangat diperlukan sebagai penunjang pelaksanaan penegakan hukum itu sendiri. Adapun langkah-langkah yang harus ditempuh atau dilakukan adalah sebagai berikut :

  1. Meningkatkan Mutu Putusan.

Menurut Bagir Manna Ketua Mahkamah Agung, orasi dalam pencalonan sebagai Hakim Agung, menyebutkan ada beberapa komponen yang mempengaruhi mutu putusan, Pertama telah menjadi wacana umum “putusan itu dapat dibeli”, tingkat integritas dan kejujuran Hakim (tentu tidak semua) sangat diragukan. Hal ini secara berangsur-angsur dapat diatasi dengan dua cara yaitu: tindakan represif dan preventif. Secara represif harus diadakan penyelidikan dan pemeriksaan umum untuk memperoleh fakta mengenai segala persangkaan tersebut. Untuk itu perlu dibentuk fact finding commission untuk dijadikan dasar penindakan baik terhadap hakim maupun karyawan. Bagi yang terbukti, maka diambil tindakan baik administrative dan atau penindakan secara hukum. Secara prepentif dilakukan dengan meningkatkan system pengawasan,  melakukan perobahan system kerja dan semangat kerja baru, melarang adanya kunjungan dari pihak-pihak yang berperkara, kecuali memang ada panggilan. Proses perkar harus lebih terbuka sehingga yang berkepentingan setiap saat dapat mengetahui perkaranya tanpa harus terpaksa berhubungan atau dikunjungi orang tertentu, dan tidak adanya pungutan langsung terhadap pihak yang berperkara yang menyangkut biaya perkara. Kedua, yang berkaitan dengan pengetahuan Hakim. Hal ini dilakukan dengan beberapa cara, antara lain memberikan keleluasaan pemikiran suatu putusan harus menjadi penilaian bagi promosi hakim, memberikan kesempatan bagi hakim untuk mengikuti program pendidikan ditingkat lanjut, dengan membantu segala fasilitasnya. Ketiga rekrutmen hakim baru haruslah melalui mekanisme yang jelas transparan, dengan melibatkan tim indefenden. Keempat promosi tidak hanya terpatok masalah masa kerja dan pangkat, tetapi juga didasarkan kepada kemampuan, kejujuran, moral tanpa melihat usia dari hakim itu sendiri. Sehingga menjadikan persaingan karier yang positif sesama hakim.

 

  • Penataan Administrasi Badan Peradilan

Dalam penataan administrasi peradilan ini perlu adanya pemisahan antara fungsi, jabatan dan organisasi administrasi umum dengan administrasi peradilan, dengan tidak menempatkan hakim sebagai pejabat administrasi, meningkatkan disiplin hakim dan pegawai administrasi. Dalam tugas peradilan hakim tidak dibenarkan memperlambat proses pelaksanaan penyelesaian perkara sesuai dengan asas hukum beracara di pengadilan itu biaya murah dan cepat.

  1. Melaksanakan Independensi Hakim

Kekuasaan kehakiman harus berdiri sendiri, tidak masuk dalam lembaga atau badan kekuasaan lainnya. Dalam wujud yang lebih mikro adalah kebebasan hakim. Hakim harus terjamin bebas dan tidak memihak dalam memutus perkara. Sebaliknya, hakim yang bebas diharuskan ada konsistensi dalam mengambil putusan. Dalam kenyataannya ada beberapa hal yang mempengaruhi indefendensi kebebasan hakim, yang antara lain tekanan dari cabang kekuasan lain, seperti apa yang diungkapkan oleh Hakim Pengadilan Negeri jambi Muchtar Agus Chalif dalam pembacaan putusan kasus water boom dengan tersangka Samawi Darahim, bahwa perkara sudah terkontaminasi dari tekanan pihak luar yaitu Kejati Jambi untuk tetap menghukum tersangka bersalah telah melakukan tindak pidana korupsi, kalau tidak Pengadilan Negeri dianggap telah menghambat program pemerintah untuk memberantas tindak pidana korupsi. Tekanan dari sesama hakim, yaitu hakim yang kedudukannya lebih tinggi terhadap hakim yang lebih rendah. Tekanan dari pihak-pihak yang berperkara itu sendiri, dengan menggunakan hubungan kekuasaan atau dengan menggunakan uang untuk membeli putusan. Tekanan publik yang mengerahkan massa yang berlebihan untuk memaksa hakim mengikuti kemauannya. Semua keadaan seperti yang diutarakan diatas haruslah diberantas habis, sehingga hakim dalam melaksanakan tugas peradilan terbebas dari tekanan-tekanan yang dapat mempengaruhi putusannya, serta memberikan perlindungan hukum bagi hakim dan keluarganya, dari ancaman orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

  • Perbaikan Fasilitas

Untuk terlaksananya tugas yang baik tentu harus pula didukung dengan pasilitas yang memadai termasuk didalamnya, aparat-aparat penegak hukum seperti Hakim. Kalau dilihat Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang kekuasaan Kehakiman, bahwa hakim itu adalah pejabat negara, sama kedudukannya dengan pejabat-pejabat negara diluar badan peradilan, seperti pejabat dilembaga birokrat, tetapi yang membedakan adalah pasilitas untuk pendukung pekerjaan dalam tugas jabatannya. Dalam jabatan birokrat pasilitasnya jauh lebih baik dan sempurna dari pejabat penegak hukum, kecuali ketua Pengadilan dan Mahkamah Agung. Fasilitas pada badan peradilan sangat minim, keadaan yang demikian itu tentu akan mempengaruhi produktivitas kerja dari lembaga itu. Untuk itu haruslah dilengkapi dengan pasilitas yang cukup, modern. Serta kesejahteraan pegawai dan hakim juga harus diperhatikan, hal ini sangat mempengaruhi dari produktivitas kerja lembaga. Produktivitas kerja lembaga peradilan tentu terukur dari minimnya penunggakan perkara yang akan diselesaikan di lembaga itu.. Sudah menjadi rahasia umum bahwa proses perkara`di pengadilan itu memakan waktu yang cukup lama, sehingga masyarakat enggan untuk menggunakan lembaga peradilan ini, di samping itu tentu menghabiskan biaya yang tidak sedikit.

 

  1. Adanya Kepastian Hukum

Setiap putusan hakim haruslah terhindar dari inkonsistensi substantif  dengan putusan-putusan hakim lainnya dalam tingkat peradilan yang sama, untuk itu perlu adanya langkah-langkah dari lembaga peradilan itu sendiri untuk:

  1. Melakukan inventarisasi perkara yang sama, dan diusahakan diperiksa oleh majelis hakim yang sama.
  2. Mewajibkan majelis hakim untuk memeriksa putusan terdahulu untuk mengetahui kalau-kalau pernah ada perkara yang serupa.
  • Apabila akan ada perbedaan, diwajibkan untuk diuraikan sebagai pertimbangan dalam putusan. Sepanjang tidak ada paktor pembeda yang substantif dan tidak melanggar rasa keadilan yang mendasar, pada dasarnya perkara yang serupa diputus dengan cara yang sama.

Hakim dalam memberikan putusan tidak perlu terpaku dengan hukum yang tertulis saja, jika putusannya kurang mempertimbangkan rasa keadilan dan hanya  sebagai mulut hukum positif saja, undang-undang dan doktrin memberikan peluang kepada hakim dalam melaksanakan tugasnya untuk menciptakan hukum, untuk mewujudkan rasa keadilan dalam masyarakat, seperti yang diamanatkan oleh pasal 29 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman.

Jika Hakim dalam melaksanakan tugasnya sebgai pelaksana kekuasaan kehakiman yang steril dari pengaruh kekuasaan lain, baik dari eksekutif, legislative maupun dari interen lembaga peradilan itu sendiri, serta tekanan dari masyarakat Insya Allah Hakim akan terhindar dari perbuatan yang salah, melalui putusan yang benar dan adil masyarakat  merasa diayomi, tentu dengan sendirinya kepercayaan masyarakat terhadap badan-badan peradilan akan pulih kembali.

Untuk dapat menilai sejauh mana mutu layanan aparat penegak hukum yang diberikan, perlu ada kriteria yang menunjukkan apakah suatu pelayanan publik yang diberikan dapat dikatakan baik atau buruk.[4] Zethmel  mengemukakan tolok ukur kualitas pelayanan publik dapat dilihat dari sepuluh dimensi, antara lain meliputi :[5]

  1. Tangiable, terdiri atas fasilitas fisik, peralatan, personil, dan komunikasi;
  2. Reliable, terdiri dari kemampuan unit pelayanan dalam menciptakan layanan yang dijanjikan dengan tepat;
  3. Responsiveness, kemauan untuk membantu konsumen bertanggung jawab terhadap mutu layanan yang diberikan;
  4. Competence, tuntutan yang dimilikinya, pengetahuan, dan keterampilan yang baik oleh aparatur dalam memberikan layanan;
  5. Courtesey, Sikap atau perilaku ramah tamah, bersahabat, tanggap terhadap keinginan konsumen, serta mau melakukan kontak atau hubungan pribadi;
  6. Credibility, sikap jujur dalam setiap upaya untuk menarik kepercayaan masyarakat;
  7. Security, Jasa pelayanan yang diberikan harus dijamin bebas dari berbagai bahaya dan resiko;
  8. Access, terdapat kemudahan untuk mengadakan kontak dan pendekatan;
  9. Communication, kemauan pemberi layanan untuk mendengarkan suara, keinginan atau aspirasi pelanggan, sekaligus kesediaan untuk selalu menyampaikan informasi baru kepada masyarakat;
  10. Understanding The Customer, Melakukan segala usaha untuk mengetahui kebutuhan pelanggan;

Lembaga Administrasi Negara (1998) membuat beberapa kriteria pelayanan publik yang baik, antara lain meliputi, kesederhanaan, kejelasan dan kepastian, kemauan, keterbukaan, efisiensi, ekonomis, dan keadilan yang merata, ketepatan waktu, serta kriteria kuantitatif. Hatry lebih merinci mengenai prosedur untuk mengukur kualitas pelayanan. Walaupun diakui bahwa untuk melakukan pengukuran kualitas pelayanan banyak dihadapkan kepada banyak masalah dan hambatan (obstacle), terutama berkaitan dengan keyakinan bahwa kualitas pelayanan tidak dapat diukur secara tepat dan reliable.[6] Keyakinan ini tentu saja benar bahwa tidak semua aspek dari kualitas layanan dapat diukur secara lengkap untuk setiap program sebagaimana dapat diukur secara lengkap untuk setiap program sebagaimana apa yang dikemukakan oleh Hatry, “That not all aspects of service quality can be measured perfectly for any programme”,[7] namun demikian terdapat teknik untuk melakukan pengukuran kualitas dari setiap aspek program pelayanan pemerintah. Setidaknya terdapat tiga kunci untuk melakukan pengukuran, yaitu:[8]

  1. How to Measure service quality realibly at specific point in time;
  2. How to determine the extent to which the agency programme has caused the measured service quality (that is, would the result have accured without that agency programme?);
  3. How to assess whether the measured performance is good or bad. This inevitably requires comparison of actual performance with something else.

Dalam penegakan hukum terdapat pergeseran paradigm antara dahulu dan sekarang, yang digambarkan oleh Richard Suaskind dalam bukunya yang berjudul “The Shift in Legal Paradigm“, dengan penjelasan yang sangat rinci sebagai berikut :[9]

 

 

Today’s Legal Paradigm Tomorrow’s Legal Paradigm
No Legal Service No Legal Service
1 Advisory service 1 Information service
2 One to One 2 One to Many
3 Reactive Service 3 Proactive Service
4 Time-Based Billing 4 Commodity Pricing
5 Restrictive 5 Empowering
6 Defensive 6 Pragmatic
7 Legal Focus 7 Business Focus
No Legal Process No Legal Process
1 Legal Problem solving 1 Legal Risk Management
2 Dispute Resolution 2 Dispute Pre-Emotion
3 Publiocation of Law 3 Promulgation of Law
4 Dedicated LEGAL Profession 4 Legal Specialist & Info-Engineers
5 Print-Based 5 IT-Based Legal Systems
Diolah dari figure 8.1 “The Shift in Legal Paradigm
Karya Richard Susskind, 1996.

 

 

 

  1. PENUTUP

Dalam pembangunan hukum yang modern diharapkan mampu mengembangkan penegakan hukum terpadu yang modern yang berbasis pada teknologi informasi. Selain itu dibutuhkan professionalism dalam menjalankan sistem dan subsistem hukum, yakni dengan bekerja secara transparan, akuntabel efektif dan efisien. Peranan Komisi Yudisial dalam menjaga kekuasaan kehakiman meliputi pengusulan dan pengangkatan Hakim Agung, dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim. Peranan pengusulan dan pengangkatan Hakim Agung meliputi pendaftaran, penseleksian, penetapan dan pengajuan calon Hakim Agung ke Dewan Perwakilan Rakyat. Sedangkan peranan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim adalah pengawasan terhadap perilaku hakim dimana akan menghasilkan dua hal yang berbeda yaitu hal yang negatip berupa pengusulan penjatuhan sanksi, sebaliknya yang positip adalah pengusulan pemberian penghargaan terhadap hakim atas prestasi dan jasanya menegakkan kerhormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim. Mengingat begitu singkatnya waktu, besarnya beban, dan luasnya cakupan yang diberikan untuk melakukan perannya tersebut diatas diharapkan anggota Komisi Yudisal terdiri dari anggota yang potensial, berkualitas, energik dan berpengalaman. Sehingga anggota Komisi Yudisial dapat menjalankan perannya menjaga kekuasaan kehakiman seperti yang diamanatkan dalam Undang-undang Dasar 1945 dan UU nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Kencana, Jakarta, 2005

 

Aidul Fitriciada Azhari, Penafsiran Konstitusi Dan Implikasinya Terhadap Pembentukan Sistem Ketatanegaraan Demokrasi Atau Otokrasi (Studi Tentang Penafsiran UUD NRI 1945 dan Pergulatan Mewujudkan Demokrasi di Indonesia), Disertasi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2005.

 

Arend Lijhpart, Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial . Terjemahan oleh R. Ibrahim, dkk, PT. Raja Grafindo Persada, 1995.

 

Asep Warlan Yusuf, Memuliakan Hukum Yang Berkeadilan Dalam Alam Demokrasi Yang berkeadilan, Dalam Butir-Butir Pemikiran Dalam Hukum, memperingati 70 Tahun Prof Dr. Arief Sidharta, SH, PT.Refika Aditama,2008

 

Ateng Syafrudin, Catatan Kecil Tentang Pemerintahan, Pendidikan Dan Hukum, Dalam Butir-Butir Pemikiran Dalam Hukum, memperingati 70 Tahun Prof Dr. Arief Sidharta, SH, PT.Refika Aditama,2008

 

A.S. Hikam, Negara, Masyarakat Sipil dan Gerakan Keagamaan dalam Politik Indonesia, Prisma No 3 Tahun 1991

 

Bagir Manan , Teori dan Politik Konstitusi ,Yogyakarta: FH UII Press, 2003. Hal. 81

 

Bagir Manan, Peranan Pedoman Tingkah Laku Hakim Sebagai Penjaga Kekuasaan kehakiman Yang Merdeka, Disajikan Pada Acara Memperingati hari Jadi IKAHI, di Jakarta, 22 April 2009;

 

Bagir Manan, Sambutan Ketua Mahkamah Agung RI pada Peresmian Pengadilan Tinggi Agama Ternate, 18 April 2006, Dalam Kumpulan Naskah Pidato Ketua Mahkamah Agung RI, Mahkamah Agung RI,2007

 

Bagir Manan, Kedudukan Penegak Hukum Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Varia Peradilan No. 243 Februari 2006.

 

 

Cornelis Lay, ― Sector Publik , Pelayanan Public dan Governance‖, dalam Terobosan dan Inovasi Manajemen Pelayanan Publik, Fisipol UGM, 2005.

Moh.Mahfud MD., Amandemen Konstitusi Menuju Reformasi Tata Negara Yogyakarta: UII Press,1999.

 

C.A.J.M. Kortman, Constitutioneel Recht, Deventer: Kluwer, 1990.

 

 

Departemen Hukum Tata Negara Universitas Airlangga, Dinamika Perkembangan Hukum Tata Negara dan Hukum Lingkungan, Airlangga University Press, Surabaya.

 

Duto Sosialismanto, Hegemoni Negara, Ekonomi Politik Penguasa Jawa, Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta, 2001.

 

 

Djokosetono, Ilmu Negara, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UI, Jakarta , 1984

 

Ismail Suny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Aksara Baru, Jakarta, 1986; Jimly Ashiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Kostitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, 1994.

 

Jimly Asshiddiqie, “Struktur Ketatanegraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar 1945”, Makalah disampaikan dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasioanal VIII dengan tema penegakan Hukum dalam Era Pembangunan Berkelanjutan, diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum NASIONAL Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Denpasar.

 

John Alder, Constitutional & Administrative Law, London: Macmillan Profes-sional Masters 1989.

 

J.C.T. Simorangkir, Penetapan UUD Dilihat Dari Segi Hukum Tata Negara Indonesia, Gunung Agung, Jakarta, 1984.

 

  1. Scheltema, De Rechtsstaat, dalam J.W.M. Engels (et.al), 1989, De Rechtsstaat Herdacht, Zwolle:TjeenWillink

 

  1. Tolchah Mansoer , Pembahasan beberapa Aspek Kekuasaan Eksekutif dan Legislatif di Indonesia, Jakarta : Pradnya Paramita, 1983.

 

Ofer Raban, Modern Legal Theory and Judicial Impartiality, 2003

 

Padmo Wahjono, Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984.

 

Pergulatan Tanpa Henti Menabur Benif Reformasi (Jakarta: Otoboigrafi , Aksara Karunia ,2004

 

Refly Harun ,dkk Menjaga Denyut Konstitusi: Refleksi Satu Tahun Mahkamah Konstitusi , Jakarta; Konstitusi Pers.

 

Romi Librayanto, 2008, Trias Politica Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia, PuKAP-Indonesia, Makassar.

 

Richard Susskind, The future of law, facing the challenges of information technology. New Russel.

 

Sri Soemantri, Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD NRI 1945, Cetakan VI, Bandung: Citra Aditya Bakti,1989.

 

Syahran Basah, Fungsi Hukum Dalam Kehidupan Masyarakat, Dalam Tiga Tulisan Tentang Hukum, Amrico, 1986

 

Satjito Raharjo, Membedah Hukum Progresif, Alumni, Bandung, 2008

T.M. Luthfi Yazid, “ Komisi-komisi Nasional dalam Konteks Cita-cita Negara Hukum”, Makalah disampaikan dalam Diskusi Terbatas dengan tema: „Eksistensi Sistem Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD NRI 1945, diselenggarakan oleh Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, di Hotel Aryaduta, Jakarta, 9 September 2004.

 

Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Tata Negara di Indonesia, Cet. VI, Penerbit Dian Rakyat, Jakarta, 1989.

 

Yusril Ihza Mahendra, Politik dan Perubahan Tafsir atas Konstitusi, Pidato Pengukuhan Guru Besar Madya Hukum Tata Negara pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, Sabtu 25 April 1998.

 

Laporan Tahunan Mahkamah Agung R.I. periode Tahun 2009.

 

Undang-Undang Dasar 1945 (amandemen);

 

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung;

 

Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung R.I. dan Komisi Komisi Yudisial R.I. Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan Nomor : 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang   Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim;

 

Laporan Tahunan Mahkamah Agung R.I. periode Tahun 2009

 

[1] C.A.J.M. Kortman, Constitutioneel Recht, Deventer: Kluwer, 1990. Hal. 51

 

[2] M. Tolchah Mansoer , Pembahasan beberapa Aspek Kekuasaan Eksekutif dan Legislatif di Indonesia, Jakarta : Pradnya Paramita, 1983. Hal. 83

[3] M. Scheltema, De Rechtsstaat, dalam J.W.M. Engels (et.al), 1989, De Rechtsstaat Herdacht, Zwolle:TjeenWillink, Hal.15-17)

[4] AV Dicey, Introduction to the Study of The Law of The Constitution, McMillan and CO, Limited St. Martin Street, London, 1952, Hal. 223

 

[5] Friedrich, Carl Joachim, The Philosopy of Law in Historical Perspective, The University Chicago Press, 1969, Hal 27

[6] Mustamin DG. Matutu. dkk, Mandat, Delegasi, Atribusi dan Implementasinya di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2004, Hal. 47

 

[7] William David Thomas, What is Constitution, Gareth Stevent Publishing, USA, 2008, Hal. 291

[8] Jimly Asshiddiqie, Agenda Pembangunan Hukum di Abad Globalisasi, Balai Pustaka, Jakarta, 1997. Hal 74

 

[9] Richard Suaskind, The Shift in Legal Paradigm, 1997

Continue Reading