SOLUSI PENGISIAN JABATAN HAKIM KONSTITUSI
Publik kembali dikejutkan atas adanya penangkapan salah satu Hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar oleh Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Menurut informasi yang beredar Patrialis Akbar diduga telah menerima pemberian suap terkait pengurusan perkara Judicial Review (Uji Materi) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, yang menurut pemeriksaan awal KPK telah menemukan indikasi bahwa Patrialis menyetujui untuk membantu agar permohonan uji materi perkara nomor 129/PUU/XII/2015 tersebut dapat dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Apabila melihat kebelakang, Patrialis Akbar merupakan Hakim Konstitusi dari unsur pemerintah, yang ditunjuk oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berdasarkan Keputusan Presiden No 87/P Tahun 2013 tentang pemberhentian Maria Farida Indrati dan Achmad Sodiki sebagai hakim konstitusi sekaligus mengangkat Maria Farida Indrati dan Patrialis Akbar menjadi hakim konstitusi untuk masa jabatan lima tahun hingga 2018.
Atas peristiwa tersebut muncul beberapa kritik terhadap sistem dan mekanisme rekrutment Patrialis Akbar sebagai hakim konstitusi yang dinilai syarat dengan persoalan. Persoalan itu muncul atas proses seleksi Patrialis yang dinilai tidak dilakukan secara transparan dan mengabaikan peran serta masyarakat.
Hingga pada akhirnya muncullah Gugatan Tata Usaha Negara terhadap Keppres 87/P Tahun 2013 oleh Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan Mahkamah Konstitusi yang diwakili oleh (ICW dan YLBHI).
Atas gugatan tersebut, Pengadilan Tata Usaha Negara DKI Jakarta mengabulkan gugatan terhadap Keppres 87/P Tahun 2013, karena dianggap bertentangan dengan Pasal 19 UU Mahkamah Konstitusi yang mensyaratkan pemilihan secara transparan dan partisipatif.
Kemudian Pemerintah mengajukan banding atas putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) DKI Jakarta mengabulkan banding Pemerintah dan membatalkan keputusan PTUN Jakarta, dengan dalil Penggugat tidak memiliki legal standing (tidak mempunyai kepentingan) untuk melakukan gugatan dikarenakan kerugian yang dialami Penggugat tidak bersifat langsung dan secara objektif tidak dapat ditentukan bentuk kerugiannya.
Penggugat dalam hal ini ICW dan YLBHI mengajukan Kasasi atas putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) DKI Jakarta, akan tetapi Majelis Hakim tingkat Kasasi menguatkan Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) DKI Jakarta.
Namun hal yang menarik dalam Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) DKI Jakarta dan Putusan Mahkamah Agung dalam perkara A Quo adalah Majelis Hakim baik pada tingkat banding dan kasasi tidak mempertimbangkan aspek yang menjadi pokok persoalan yang sebenarnya dalam gugatan yang diajukan oleh ICW dan YLBHI tersebut, majelis hakim hanya mempertimbangkan Eksepsi yang diajukan oleh Pemerintah perihal legal standing Penggugat.
Artinya Majelis Hakim pada tingkat banding dan kasasi belum menilai perihal keabsahan Keppres 87/P Tahun 2013 apakah telah sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik, atau malah sebaliknya. Dengan demikian makna Pasal 19 UU Mahkamah Konstitusi hingga saat ini masih multitafsir dan selalu diperdebatkan.
Problem Yuridis
Secara konstitusional Undang-Undang Dasar 1945 tidak mengatur tentang mekanisme Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim Konstitusi. Undang-Undang Dasar 1945 hanya mengatur bahwa Mahkamah Konstitusi memiliki Sembilan orang anggota hakim yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh DPR dan tiga orang oleh Presiden. Selain itu Hakim Konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tercela, adil, negarawan yang menguasasi konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat Negara.
Kemudian apabila melihat ketentuan dalam Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) UU MK, tata cara seleksi, pemilihan dan pengajuan Hakim Konstitusi diatur oleh masing-masing lembaga yang berwenang, namun harus dilaksanakan secara obyektif dan akuntabel. Apabila dicermati mekanisme seleksi hakim konstitusi dalam Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) UU MK diserahkan sepenuhnya kepada masing-masing lembaga pengaju, dalam hal ini Mahkamah Agung, DPR dan Presiden. Namun tetap harus dilaksanakan secara transparan dan partisipatif sebagaimana Pasal 19 UU Mahkamah Konstitusi.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa UU MK tidak mengatur secara tegas dan jelas tentang mekasnisme pengisian jabatan Hakim Konstitusi, UU MK menyerahkan sepenuhnya kepada masing-masing lembaga untuk menerapkan metodenya sendiri tanpa mendalami potensi masalah yang terjadi.
Sehingga dalam praktik dilapangan, penerapan mekanisme seleksi hakim konstitusi seringkali menimbulkan sejumlah kelemahan dan menuai persoalan, hal itu dipengaruhi oleh belum adanya aturan teknis yang mengatur mengenai standar seleksi dan mekanisme seleksi yang mengatur secara rinci dan komprehensif tentang rekrutmen hakim konstitusi, sehingga mekanisme dan tata cara seleksi hakim konstitusi cenderung ditafsirkan secara berbeda-beda sesuai dengan lembaga pengaju yang menafsirkannya.
Shared Responsibility System
Menurut Logemann Pengisian jabatan (staatsorganen, staatsambten) merupakan salah satu unsur penting dalam mempelajari Hukum Tata Negara. Hal itu dikarenakan tanpa adanya pejabat (ambtsdrager), fungsi-fungsi jabatan (ambt) negara tidak mungkin dapat dijalankan sebagaimana mestinya. Untuk itu diperlukan sistem mekanisme dan tata cara pengisian jabatan yang mengatur secara rinci dan komprehensif, sehingga pejabat (ambtsdrager) yang menduduki jabatan (ambt) benar-benar dapat diandalkan.
Pengisian jabatan hakim konstitusi tidak dapat diserahkan sepenuhnya kepada lembaga pengaju dalam hal ini Mahkamah Agung, DPR dan Presiden. Akan tetapi diperlukan panitia seleksi yang secara adil dan terbuka melakukan menyaringan secara ketat terhadap calon hakim konstitusi baik yang melamar maupun yang diundang untuk melamar.
Panitia seleksi juga dapat meminta lembaga-lembaga terkait seperti Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Masyarakat Umum atau lembaga lainnya guna memastikan calon hakim konstitusi benar-benar berintegritas dan berkepribadian yang tercela, adil, negarawan yang menguasasi konstitusi dan ketatanegaraan.
Untuk menjawab tuntutan tersebut, maka sangat diperlukan sebuah sistem rekrutmen yang berbasis Shared Responsibility System, artinya terdapat komposisi panitia seleksi yang terdiri dari berbagai kalangan, seperti misalnya Mantan Hakim MK, Komisi Yudisial, Akademisi, Praktisi Hukum dan Tokoh Masyarakat, sebelum diajukan dan ditentukan oleh lembaga pengusul.
Kedukan Panitia Seleksi tentunya hanya sebatas membantu tugas lembaga pengusul untuk dapat memberikan gambaran terhadap beberapa calon untuk selanjutnya yang menentukan atas beberapa orang tersebut sepenuhnya menjadi hak perogratif lembaga pengusul.
Sistem pengisian jabatan yang demikian tentunya hanya satu dari sekian cara untuk menjamin kwalitas dan integritas hakim konstitusi terpilih. Pada akhirnya adalah bergantung pada komitmen dan integritas personal hakim konstitusi sejauh mana dapat menjalankan tugas dan wewenangnya sesuai sumpah jabatan hakim konstitusi.
Harapan besar penulis, melalui Shared Responsibility System dalam rekrutmen hakim konstitusi, semoga hakim konstitusi terpilih benar-benar memiliki kualifikasi, kompetensi dan kinerja sesuai dengan yang diharapkan. Sehingga kasus Akil Mochtar dan Patrialis Akbar merupakan kasus terakhir yang akan menimpa MK. Semoga…