ANALISIS TERHADAP PASAL 45 A AYAT (2) HURUF C UU NO. 5 THN 2004 MENGENAI PEMBATASAN UPAYA HUKUM KASASI PERKARA TUN

ANALISIS TERHADAP PASAL 45 A AYAT (2) HURUF C

UU NO. 5 THN 2004 MENGENAI PEMBATASAN

UPAYA HUKUM KASASI PERKARA TUN

Untuk mematahkan bahwa Mahkamah telah khilaf menerapkan Pasal 45 A ayat (2) huruf c UU No. 5 thn 2004, maka yang harus menjadi pegangan dan ukuran, bukannya jangkauan KTUN yang dikeluarkan oleh Badan/pejabat TUN Daerah dalam wilayah yang bersangkutan, tetapi ditekankan pada urusan pemerintahan apa yang dilaksanakannya pada waktu mengeluarkan KTUN itu. Apabila pada saat mengeluarkan KTUN itu yang dilaksanakannya adalah urusan pemerintahan yang telah didesentralisasikan berdasarkan perundang-undangan (vide Pasal 13 dan Pasal 14 UU no.32 Tahun 2004 jo. Pasal 7 PP No.38 Tahun 2007), maka pada saat itu segala kebijakan yang diambil oleh Badan/Pejabat TUN Daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan dilapangan (taak vervulling), termasuk penyelenggaraan pelayanan publik (bestuurszorg) dan perbuatan-perbuatan menerbitkan KTUN (beschikkingsdaad van de administratie) yang menimbulkan sengketa tata usaha negara dengan orang atau badan hukum perdata sebagai akibat dikeluarkannya KTUN di daerah otonom adalah perkara Tata usaha Negara yang dibatasi pengajuan kasasinya sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 45A Ayat (2) huruf c UU MA. Oleh karena urusan-urusan pemerintahan yang telah diserahkan kepada daerah dalam rangka pelaksanaan asas desentralisasi pada dasarnya telah menjadi wewenang dan tanggungjawab pemerintah daerah sepenuhnya dan jangkauan KTUN yang dikeluarkan hanya berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan.

Selanjutnya, Apabila pada saat mengeluarkan KTUN itu yang dilaksanakannya adalah urusan pemerintahan dalam pelaksanaan asas dekonsentrasi dan tugas pembantuan (medebewind) berdasarkan perundang-undangan yang berlaku, maka pada saat itu segala kebijakan yang diambil oleh Badan/Pejabat TUN Daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan dilapangan (taak vervulling), termasuk penyelenggaraan pelayanan publik (bestuurszorg) dan perbuatan-perbuatan menerbitkan KTUN (beschikkingsdaad van de administratie) yang menimbulkan sengketa tata usaha negara dengan orang atau badan hukum perdata sebagai akibat dikeluarkannya KTUN di daerah otonom adalah perkara Tata usaha Negara yang bisa dikasasi. Oleh karena Kebijaksanaan pelaksanaan urusan dekonsentrasi dan tugas pembantuan (medebewind) sepenuhnya ditentukan oleh Pemerintah Pusat, sehingga wewenang dan tanggung jawab sepenuhnya berada di pusat, sedangkan Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota dan Desa hanya sebagai Koordinator dalam kedudukannya selaku perangkat Pemerintah Pusat yang bertugas mengkoordinasikan unsur-unsur pelaksana yakni instansi-instansi vertical, yang mana jangkauan KTUN yang dikeluarkan dalam rangka pelayanan penyelenggaraan urusan dapat melampaui satu wilayah administrasi Pemerintahan.

 

Apabila KTUN objek sengketa yg dikeluarkan oleh Badan/Pejabat TUN Daerah in casu merupakan kewenangan dalam rangka pelaksanaan asas desentralisasi sebagaimana yang terangkum dalam Pasal 13 dan Pasal 14 UU No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah jo. Pasal 7 PP No. 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Maka KTUN objek sengketa tersebut TIDAK BISA DIKASASI, oleh karena penyerahan kewenangan urusan pemerintahan secara desentralisasi berlangsung secara delegasi yang mana wewenang dan tanggungjawab beralih kepada pemerintah daerah sepenuhnya dan jangkauan KTUN yang dikeluarkan hanya berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan.

Apabila KTUN objek sengketa yg dikeluarkan oleh Badan/Pejabat TUN in casu merupakan kewenangan dalam rangka pelaksanaan asas dekonsentrasi dan pelaksanaan asas tugas pembantuan (medebewind). Maka KTUN objek sengketa tersebut BISA DIKASASI, oleh karena pelimpahan kewenangan pemerintahan secara dalam konteks dekonsentrasi dan tugas pembantuan (medebewind) ini dilakukan secara mandatum, dimana mandator (pemerintah pusat) tidak kehilangan kewenangan yang dilimpahkannya namun justru mandataris (Gubernur, Bupati dan Walikota pada posisi ini bukan sebagai kepala daerah melainkan sebagai sebagai Kepala wilayah yang mengkoordinir instasi-instasi vertikal) bertindak untuk dan atas nama mandator, dan Mandataris bertanggung jawab kepada mandator. Atau dengan kata lain Urusan-urusan yang dilimpahkan oleh Pemerintah Pusat kepada Pejabat-pejabatnya di Daerah menurut asas dekonsentrasi dan tugas pembantuan (medebewind) ini tetap menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat.

Selain itu berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor Register 213 K/TUN/2007 tertanggal 6 November 2007 mengenai Pembatasan Upaya Hukum Kasasi berdasarkan Pasal 45A ayat (2) huruf c UU No. 5 Tahun 2004 berkaitan dengan pembatasan upaya hukum kasasi Perkara TUN yang menyatakan “Perkara TUN yang dikecualikan untuk tidak dapat diajukan Kasasi adalah Perkara TUN yang objek gugatannya berupa Keputusan Pejabat Daerah yang jangkauan keputusannya berlaku diwilayah daerah yang bersangkutan”

Bahwa untuk menetukan apakah suatu Keputusan Pejabat jangkauannya berlaku hanya pada daerah yang bersangkutan atau tidak, haruslah dilihat dari kasus demi kasus, apabila kewenangan Pejabat yang bersangkutan a quo memang didasarkan pada suatu peraturan yang murni bersifat regional (daerah) atas dasar desentralisasi dan otonomi daerah yang secara atributif memberikan kewenangan pada daerah yang bersangkutan, misalnya berdasarkan kepada Peraturan Daerah, maka dalam hal tersebut Keputusan Pejabat yang bersangkutan memang hanya menjangkau daerahnya, sehingga kasus demikian Pasal 45A ayat (2) huruf c UU No. 5 tahun 2004 tidak dapat diterapkan.

Tapi sebaliknya apabila kewenangan pejabat yang bersangkutan itu bersifat derivative (turunan) dari peraturan yang berlaku nasional, tidak hanya bersifat regional, maka jangkauan tidak bersifat terbatas dalam daerahnya saja, tetapi juga bersifat keluar melampaui batas-batas wilayah daerahnya .

Maka dalam hal demikian Pasal 45A ayat (2) huruf ctersebut tidak dapat diterapkan; sehingga ukuran tidak hanya dilihat bahwa pejabat yang menerbitkan Keputusan itu adalah seorang Bupati atau Walikota atau Gubernur, yang kewenangannya hanya mempunyai jangkauan daerah saja, tetapi dilihat dari sumber kewenangannya, apakah berdasarkan pada Peraturan daerah atau yang setingkat, ataukah pada suatu peraturan yang dapat menjangkau wilayah Nasional.

Bahwa untuk menentukan objek Gugatan berupa Keputusan Pejabat Daerah tersebut memenuhi syarat untuk diajukan upaya hukum kasasi, pada prinsipnya adalah apabila keputusan pejabat daerah dalam rangka melaksanakan kewenangan Pemerintah Pusat, hal ini harus dilihat pada peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Keputusan Pejabat Daerah yang merupakan objek gugatan tersebut.

Persoalan diatas bermuara pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, yang kemudian dijewantahkan melalui Pasal 2 ayat (3) UUPA yang menyebutkan  “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”  Kemudian dalam penjelasannya menyebutkan “dengan demikian pelimpahan wewenang utk melaksanakan hak penguasaan dari negara atas tanah itu adalah merupakan medebewind. Segaka sesuatu yang akan diselenggarakan menurut keperluannya dan sudah barang tentu tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional. Wewenang dalam bidang agrarian dapat merupakan sumber keuangan bagi daerah itu”.

Dengan demikian kewenangan Pemda dibidang pertanahan bersifat medebewind, untuk itu berdasarkan Yurisprudensi Agung Nomor Register 213 K/TUN/2007 tertanggal 6 November 2007 mengenai Pembatasan Upaya Hukum Kasasi berdasarkan Pasal 45A ayat (2) huruf UU No. 5 Tahun 2004 maka dapat dilakukan kasasi terhadap objek sengketa Surat Keputusan Bupati nomor 7 tahun 2012

Selain itu apabila dilihat dari perspektif UU no. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara maka Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2)  “(1) Mineral atau batu bara sebagai sumber daya alam yang tak terbarukan merupakan kekayaan Nasional yang dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besar Kesejahteraan Rakyat. (2) Pengusaan mineral dan Batubara oleh negara sebagaima dimaksud ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah daerah”

 

Dengan demikian apabila dilihat dalam perspektif Hukum Pertambangan, kewenangan atributif berada pada Pemerintah, dengan demikian Pemerintah daerah hanya melaksanakan kewenangan Delegatie atau Mandat, sehingga untuk itu berdasarkan Yurisprudensi Agung Nomor Register 213 K/TUN/2007 tertanggal 6 November 2007 mengenai Pembatasan Upaya Hukum Kasasi berdasarkan Pasal 45A ayat (2) huruf UU No. 5 Tahun 2004 maka dapat dilakukan kasasi terhadap objek sengketa Surat Keputusan Bupati nomor 7 tahun 2012

Continue Reading