TEORI HUKUM MURNI DAN PERMASALAHANNYA

  1. Perkembangan Aliran Positivisme

Lahirnya teori hukum ini sebenarnya diawali oleh berkembangnya pemikiran hukum Legisme yang berbentuk in optima forma[1]. Perkembangan Teori hukum ini berkembang semenjak abad pertengahan[2] dan perbengaruh terhadap semua lapisan Negara-negara yang ada di dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Posivisme Hukum ini untuk pertama kalinya dikukuhkan dalam bentuk rumusan yang sistematikal dan konseptual oleh John Austin dalam The Province of jurisprudence (1832) melalui pernyataan atau klaim positif mengenai hukum bahwa :

“hukum dalam tema yang paling generic dan menyeluruh… diartikan sebagai aturan yang diterbitkan untuk member pedoman perilaku kepada seseorang manusia selaku makhluk intelegen… dari seorang manusia lainnya (makhluk intelegen lain) yang ditangannya ada kekuasaan (otoritas) terhadap makhluk intelegen pertama itu”[3]

Selain itu Austin mengatakan bahwa hukum merupakan perintah penguasa-dalam arti bahwa perintah dari mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan.[4] Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa teori ini hanya bersumber pada hukum yang tertulis yang disahkan oleh kekuasaan pemerintahan atau suatu Negara. Untuk itu kemudian muncul unsur-unsur hukum menurut Austin diantaranya :[5]

  1. Adanya penguasa (souvereghnity)
  2. Suatu perintah (command)
  3. Kewajiban untuk menaati (duty)
  4. Sanksi bagi mereka yang tidak taat (sanction)

Aliran hukum ini pada intinya adalah mengidentikkan hukum dengan undang-undang, tidak ada hukum diluar undang-undang. Di Jerman pandangan ini dianut oleh Paul Laband, Jellineck, Rudolf von Jering, Han Naviasky, Hans Kelsen dan lain-lain. Sedangkan di Inggris dikenal dengan aliran hukum positif yang pelopori oleh John Austin seperti telah dijabarkan diatas.

Pada tahun 1798 hingga 1857 teori ini juga dikembangkan oleh August Comte yakni seorang sarjana Perancis yang hidup pada jaman itu. August Comte[6] menyatakan bahwa positivism merupakan sebuah sikap ilmiah, yang menolak spekulasi-spekulasi apriori dan berusaha membangun dirinya pada data pengalaman. Untuk itu filsafat menurut mazhab ini adalah suatu system filsafat yang mengakui hanya fakta-fakta positif dan fenomena-fenomena yang dapat diobservasi.

Pada abad Pertengahan kedua (abad ke-19) positivism menjalar kedalam segala cabang ilmu pengetahuan social, termasuk ilmu hukum, ia berusaha mendepak pertimbangan-pertimbangan nilai-nilai dari yurisprudensi dan membatasi tugas ilmu-ilmu ini pada analisa, dan mendobrak tatanan hukum positif. Pada saat itu diajarkan bahwa hukum positiflah yang merupakan hukum yang berlaku, dan hukum positif adalah norma-norma yang diakui oleh Negara. Sehingga dapat dikatakan bahwa teori hukum ini hanya merupakan Ilmu Hukum dalam arti sempit, yang hanya mempelajari hal-hal yang bersifat normative saja.[7] Untuk itu yang terpenting dalam teori ini adalah Undang-undang.[8]

Pada abad ke-19 pula muncul sikap kritis masyarakat terhadap masalah-masalah yang dihadapi, apalagi pada saat itu tradisi keilmuan baru berkembang, yang semula bersifat tertutup dan tradisionil berubah menjadi sedikit terbuka sehingga menghasilkan pandangan-pandangan kritis terhadap pandangan hukum alam yang dianggap tidak memiliki dasar dan merupakan hasil dari penalaran yang bersifat palsu belaka. Hukum diartikan sebagai perintah dari kekuasaan politik yang berdaulat dalam suatu Negara.[9]

Franz Magnis Suseno[10] mengatakan bahwa adanya hubungan hukum kodrat dan hukum positif yang saling berhubungan karena keabsahan social menempatkan hukum positif dalam kodrat manusia, artinya produk hukum positif hanya sah kalau sesuai dengan tuntunan-tuntunan dasar dan kecenderungan kodrati manusia. Berawal dari Pendapat hukum kodrat bahwa manusia dibangun dengan berbagai struktur social, hal ini sejalan dengan kebutuhan masyarakat yang semakin kompleks, beserta kelemahan-kelemahan yang terjadi dalam hukum kodrat. Tiga kelemahan mendasar hukum kodrat adalah kekaburan paham kodrat, dualism metodis dan masalah kepastian.[11] Dalam upaya mengantisipasi kelemahan tersebut, maka hukum positif mengambil peranan yang sangat penting, bahwa hukum positif sesungguhnya adalah pengalihan terhadap positivasi hukum kodrat terhadap manusia. Artinya dengan demikian hukum positif dapat mencerminkan dan mendasarkan hukum kodrat dalam tatanan hukum positif.[12]

Bertolak pada kelemahan-kelemahan hukum kodrat yang telah diurai tadi, serta meningkatnya kebutuhan dalam masyarakat sipil yang memerlukan perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan yang bersifat invidu, maka diperlukan hukum positif yang didukung oleh kekuasaan yang memaksa dalam suatu Negara. Dalam karakter hukum kodrat bahwa manusia ditempatkan sebagai makhluk yang bermoral, padahal dalam tataran social manusia lebih merupakan makhluk ekonomi, dan dalam hal tertentu dan terdesak akan menggunakan akal budinya yang justru berseberangan dengan akal budinya. Sehingga konsep Utility Bentham[13] dapat dilaksanakan dengan baik dalam bingkai hubungan Negara dengan masyarakatnya.

  1. Terminologi dan Dasar Pemikiran Positivisme

Sebelum membahas lebih jauh tentang pemahaman legal positivism, Hans Kelsen menegaskan bahwa terdapat 3 (tiga kemungkinan) interpretasi terhadap istilah itu, diantaranya :[14]

  1. Legal Positivisme Sebagai Metode

Cara mempelajari hukum sebagai fakta yang kompleks, fenomena atau data social dan bukan sebagai system nilai, sebagai metode yang minsetting pusat inquiri problem-problem formal dari keabsahan hukum, bukan aksiologi suatu keadilan dari suatu konten norma/aturan.

  1. Legal Positivisme yang dipahami sebagai Teori

Teori legal positivism berkembang pada era kodifiakasi sampai pada abad ke-19. Dalam konsepsi ini dikembangkan dari ecole de l’exegese sampai ke Jerman Rechtwissenschaft, hukum dikemas sempurna dengan positive order yang berasal dari kegiatan legislative suatu Negara. Paham ini merupakan disebut kelompok imperativist, coercivis, legalis conception yang ditegakkan melalui hukum yang literal (tertulis), interpretasi norma tertulis secara mekanis oleh penerjemah, khususnya hakim.

  1. Legal Positivisme sebagai ideology

Merupakan ide bahwa hukum Negara ditaati secara absolute yang disimpulkan kedalam suatu statement gesetz ist gesetz atau the law is the law. Hans Kelsen selalu menolak positivism, khususnya dalam konteks teoritikal dan aspek ideology walaupun saya telah menerimanya dari pandangan metodologis.[15]

Seperti yang telah dijelaskan diatas, bahwa aliran positivism merupakan aliran yang mencoba melakukan kritik terhadap kelemahan-kelemahan hukum kodrat. Dalam aliran ini terdapat berbagai cabang pemahaman positivism berlainan antar satu dengan yang lainnya. Namun pada dasarnya yang diangkat tema sentralnya adalah :[16]

Issues of legal validity must be strictly separated from question of morality what the law ought to be has nothing to do with what the law actually is. There are irreducible fact about political society can only be expressed in the vocabulary of the law. The study of law is autonomous

Dalam perkembangannya terdapat 2 (dua) aliran positivism, yakni hard positivism dan soft positivism, yang membedakan antara keduanya adalah : Hard positivism : There is only the positive law : There are no objective, universal fact about morality, about what law ought to be like (Hans Kelsen)[17]

Soft Positivism : In addition to positive law, objective morals fact do exist

Selanjutnya positivism lunak terbagi lagi menjadi dua golongan yaitu utilitarian positivism dan Non utilitarian positivism. Menurut kelompok utilitarian bahwa : There are no natural human right, nothing like a natural law. The only moral standard is one of the desirebelity of the concequences of the law (Betham). Sedangkan menurut paham kedua (non utilitarian) adalah, There is something like natural law (universal human rights, universal moral principles)[18]

Walaupun terdapat perbedaan internal dalam pemahamannya, positivism memiliki kesamaan dasar fundamental, yakni :

  1. A positive law is binding even if it is supremely immoral
  2. No principle of morality is legally binding until is has been enacted into moral law
  3. That a statute is legally binding does not settle the moral question of wether we ought (morally speaking) to obey or disobey the law

Aliran positivism ini banyak dipengaruhi oleh dua ahli hukum terkemuka, yakni Jeremy Bentham[19] dan John Austin[20] yang mengemukakan Command Theory, serta teori konvensi social oleh Hans Kelsen[21] dan Hart[22].

  1. Teori Hukum Murni menurut Hans Kelsen

Dua teori besar Hans Kelsen, pertama ajaran yang bersifat murn, sedangkan yang kedua adalah berasal dari muridnya Adolf Merkl adalah Stufenbau des Recht yang mengutakan adanya hierarkis dari perundang-undangan. Dari unsur etis Hans Kelsen tidak memberikan tempat bagi berlakunya suatu hukum alam, etika memberikan penilaian tentang baik dan buruk, Kelsen menghindari diri dari yang demikian itu. Dari unsur sosiologis ajaran Kelsen tidak memberik tempat bagi hukum kebiasaan yang hidup dan berkembang di masyarakat.

Hans Kelsen dalam teorinya yakni teori hukum Murni adalah keinginan untuk membebaskan ilmu hukum dari anasir-anasir atau unsur-unsur social, ekonomi, politik, budaya dan lain sebagainya. Hukum diwajibkan bebas nilai, dan harus terbebas dan tidak tercemari oleh unsur-unsur yang bersifat ideologis. Keadilan menurut Kelsen dipandang sebuah konsep ideologis. Ia melihat dalam keadilansebuah ide yang tidak rasional dan teori hukum murnitidak dapat menjawab tentang pertanyaan apa yang membentuk keadilan, karena pertanyaan ini tidak dapat dijawab secara ilmiah. Jika keadilan harus diidentikkan dengan legalitas, dalam arti tempat, keadilan berarti memelihara sebuah tatanan (hukum) positif melalui aplikasi kesadaran atasnya.

Teori hukum murni ini menurut Kelsen adalah sebuah teori hukum yang bersifat positif. Sehingga kemudian dapat disimpulkan bahwa teori hukum ini ingin berusaha menjawab pertanyaan tentang “apa hukum itu?” tetapi bukan pertanyaan “apa hukum itu seharusnya”. Teori ini mengkonsentrasikan pada hukum saja dan menginginkan lepas dengan ilmu pengetahuan yang lainnya, dengan atas dasar bahwa ilmu hukum berdiri sendiri dan merupakan sui generis.[23] Kelsen sekali lagi ingin memisahkan pengertian hukum dari segala unsur yang berperan dalam pembentukan hukum seperti unsur-unsur psikologi, sosiologi, sejarah, politik, dan bahkan juga etika.[24] Semua unsur ini termasuk ide hukum atau isi hukum. Isi hukum tidak pernah lepas dari unsur politik, psikis, social budaya dan lain-lain. Sehingga pengertian hukum menurut Hans Kelsen adalah hukum dalam konteks formalnya, yaitu sebagai peraturan yang berlaku secara yuridis, itulah hukum yang benar menurut perspektif teori hukum murni (das reine Recht)

Pandangan positivism juga menganggap bahwa kewajiban yang terletak pada kaidah hukum adalah kewajiban yang bersifat yuridis, hal itu dikarenakan karena kaidah hukum termasuk pada keharusan ekstern, yaitu karena ada paksaan atau ancaman apabila tidak mentaati, dikarenakan dasar dari hukum adalah undang-undang dasar negara, dalam relasi itulah maka terdapat ada yang memberi perintah dan ada yang mentaati perintah.

Pandangan kedua adalah kewajiban dari ektern, yakni dorongan dari batin bahwa yang demikian itu merupakan kewajiban yang harus ditaati. Kewajiban yuridis itulah dianggap sebagai dorongan kewajiban yang tidak dapat terelakkan. Han Kelsen juga mengatakan bahwa hukum dapat mewajibkan secara batin, hal itu dikarenakan adanya kewajiban yuridis, dan memang demikian pengertian hukum. Sehinga peraturan yang tidak normative tidak masuk akal maka tidak dapat dikatakan hukum.[25] Immamuel Kant mengatakan bahwa kelsen berpendapat bahwa kewajiban hukum termasuk dalam pengertian transedental-logis[26]. Menurut Kant ada norma dasar (grundnorm)[27] bagi moral (yang berbunyi : berlakulah sesuai dengan suara hatimu), maka menurut Hans Kelsen dalam hukum juga terdapat norma dasar yang harus dianggap sebagai sumber keharusan dibidang hukum. Norma dasar (grundnorm) tersebut berbunyi : orang-orang harus menyesuaikan dirinya dengan apa yang telah ditentukan.

Ajaran yang kedua menurut Hans Kelsen adalah ajaran tentang norma hukum (stufentheori)[28], dimana ia berpendapat bahwa norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi. Demikian seterusnya sampai pada suatu norma dasar (Grundnorm). Teori jenjang norma hukum Hans Kelsen ini diilhami oleh seorang muridnya yang bernama Adolf Merkl yang mengemukakan bahwa suatu norma hukum harus selalu mempunyai dua wajah (das Doppelte Rechtsanlitz), yakni norma hukum itu keatas ia bersumber dan berdasar pada norma diatasnya, tetapi kebawah juga menjadi dasar bagi norma yang ada dibawahnya.

Ajaran Hans Kelsen tersebut kemudian disempurnakan oleh seorang muridnya, yakni Hans Nawiasky dalam bukunya Allgemeine Rechtslehre yang mengatakan bahwa selain norma hukum itu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, norma hukum dari suatu Negara juga berkelompok-kelompok. Hans Nawiasky mengelompokkan norma-norma hukum dalam suatu Negara itu menjadi empat kelompok besar, yang terdiri atas :

Kelompok 1   : Staatfundamentalnorm (norma fundamental negara)

Kelompok 2   : Staatsgrundgesetz (aturan dasar/pokok Negara)

Kelompok 3   : Formell Gesetz (Undang-undang “formal”)

Kelompok 4   : Verordnung & Autonome Satzung (aturan pelaksana &

aturan otonom)[29]

  1. Perkembangan Teori Hukum Murni di Indonesia

Mengenai perkembangan Teori Hukum murni di Indonesia ini, saya akan lebih spesifik pada penggunaan dan perdebatan mengenai penggunaan penelitian hukum di Indonesia, yang mengalami perbedaan antara pakar yang satu dengan pakar hukum yang lainnya. Dalam metode penelitian hukum menurut Prof. Dr. Soerjono Soekanto, SH., MA[30] terdiri dari penelitian hukum normatif dan penelitian hukum sosiologis atau empiris. Penelitian hukum normatif terdiri dari penelitian terhadap azas-azas hukum, sistematika hukum, sinkronisasi hukum dan perbandingan hukum. Sedangkan penelitian hukum sosiologis atau empiris merupakan penelitian terhadap identifikasi hukum dan efektifitas hukum dalam dinamika sosial kemasyarakatan. Untuk itu hukum seringkali dihubungkan dengan dinamika kemasyarakatan yang sedang dan akan terjadi.

Namun berbeda menurut Prof. Dr. Peter Mahmud Marzuki, SH., MS., LLM[31] yang menyatakan bahwa penelitian socio-legal research (penelitian hukum sosiologis) bukan penelitian hukum. Menurut beliau penelitian hukum sosiologis maupun penelitian hukum hanya memiliki objek yang sama, yakni hukum. Penelitian hukum sosiologis hanya menempatkan hukum sebagai gejala sosial, dan hukum hanya dipandang dari segi luarnya saja, dan yang menjadi topik seringkali adalah efektifitas hukum, kepatuhan terhadap hukum, implementasi hukum, hukum dan masalah sosial atau sebaliknya. Untuk itu hukum selalu ditempatkan sebagai variabel terikat dan faktor-faktor non-hukum yang mempengaruhi hukum dipandang sebagai variabel bebas.[32] Dalam Penelitian hukum sosiologis untuk menganalisis hipotesa diperlukan data, sehingga hasil yang diperoleh adalah menerima atau menolak hipotesis yang diajukan.

Berbeda menurut beliau dengan penelitian hukum, yang bukan mencari jawaban atas efektifitas hukum, oleh sebab itu beliau menyatakan bahwa dalam penelitian hukum tidak dikenal istilah hipotesis, variabel bebas, data, sampel atau analisis kualitatif dan kuantitatif, yang diperlukan hanya pemahaman tentang Undang-Undang yang ditelaah. Penelitian hukum dilakukan untuk memecahkan isu hukum yang diajukan sehingga hasilnya memberikan preskripsi mengenai apa seyogianya.

Hemat saya tidak perlu harus saling menyalahkan antar satu dan yang lainnya. Namun yang pasti perdebatan tentang Teori Hukum Murni dan Sosiological Yurisprudance (hukum sosiologis) bukan hanya terjadi belakangan ini dan hanya di Indonesia saja. Yang pasti aliran hukum diatas merupakan 2 (dua) pandangan besar yang satu sama lain memiliki cara pandang yang berbeda.[33] Itulah yang kemudian berdampak kepada perdebatan masalah penelitian hukum sebagaimana di jelaskan oleh pakar hukum terkemuka yang ada di Indonesia yang saling berbeda pandangan mengenai metode dalam penelitian hukum.

Aliran hukum positif juga dikenal sebagai aliran legisme. Aliran ini selalu mengidentikkan hukum dengan Undang-Undang, tidak ada hukum di luar Undang-Undang, satu-satunya sumber hukum adalah Undang-Undang. Pandangan-pandangan hukum positif ini dipertahankan oleh Paul Laband, Jellineck, Rudolf von Jherings, Hans Nawiasky, Hans Kelsen dan lain-lain.[34] Aliran hukum positif mulai berkembang di Jerman pada abad pertengahan dan telah banyak berpengaruh di berbagai negara, tidak terkecuali di Indonesia.

John Austin memberikan pengertian dan batasan tentang cakupan ilmu hukum. Pertama, hukum merupakan perintah penguasa, kedua, hukum merupakan sistem logika yang bersifat tetap dan tertutup, ketiga, hukum positif terdiri dari unsur-unsur perintah, sanksi, kewajiban dan kedaulatan, di luar itulah hanyalah moral positif (positive morality).[35]

Pendapat lain lain datang dari Hans Kelsen yang menyatakan ”hukum haruslah dibersihkan dari anasir-anasir bukan hukum, seperti anasir etika, sosiologi, politik dan sebagainya”.[36] Kelsen juga menerangkan bahwa hukum sebagai (sollenskatagori), yaitu hukum sebagai keharusan bukan sebagai (seinskategori) yakni sebagai kenyataan,[37] yakni orang menaati hukum karena sudah perintah negara, untuk itu pelalaian terhadap itu maka akan dikenakan sanksi. Sedangkan ajaran yang juga terkenal dari Hans Kelsen dan sering dijadikan rujukan dalam teori hierarki (tingkatan) norma hukum adalah ajaran ”stufentheory”[38], yakni sistem hukum pada haikatnya merupakan sistem hierarkis yang tersusun dari peringkat terendah hingga peringkat tertinggi.

Dari pemeparan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pada prinsipnya aliran hukum positif adalah aliran pemikiran hukum yang memberikan penegasan terhadap bentuk hukum (Undang-Undang), isi hukum (perintah penguasa), ciri hukum (sanksi, perintah, kewajiban, dan kedaulatan) dan sistematisasi norma hukum (hierarki norma hukum Kelsen). Secar implisit aliran ini hakikatnya juga menegaskan beberapa hal:

Pertama, bahwa pembentuk hukum adalah penguasa

Kedua,   bahwa bentuk hukum adalah Undang-Undang; dan

Ketiga      hukum diterapkan terhadap pihak yang di kuasai.

Sangat berbeda dengan sosiological jurisprudence yang merupakan aliran filsafat hukum yang memberi perhatian sama kuatnya terhadap masyarakat dan hukum, sebagai dua unsur utama hukum dalam penciptaan dan pemberlakuan hukum.[39] Itulah yang menyebabkan perbedaan yang tajam antara kalangan pemikir hukum normatif dan kalangan pemikir hukum sosiologis. Karena pemikir hukum sosiologis mendasarkan hukum pada teori tentang hubungan antara kaidah-kaidah hukum dengan kenyataan masyarakat.[40]

Pendasar mazhab ini dapat disebutkan, misalnya Roscoe Pound, Eugen ehrlich, Benyamin Cardozo, Kantorowics, Gaurvitch dan lain-lain.[41] Mazhab ini lebih mengarah pada kenyataan daripada kedudukan dan fungsi hukum dalam masyarakat. Inti dasar prinsip pemikiran mazhab ini adalah hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.[42] Hukum lahir dan berkembang seiring dengan kemajuan zaman, sehingga hukum tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat. Seperti gejala-gejala peradaban lain, hukum juga dapat ditinjau secara sosiologis, dapat diteliti hubungan ekonomis dan kemasyarakatan apa, aliran bidang kejiwaan kejiwaan apa yang telah menimbulkan pranata hukum tertentu.[43]

Pada prinsipnya ialah sosiological jurisprudence menekankan pada masalah-masalah evaluasi hukum (kualisifikasi hukum yang baik), kedudukan hukum tertulis dan tidk tertulis, fungsi hukum sebagai sarana rekayasa sosial,[44] dengan cara pembentukan hukum yang baik (yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat), dan cara penerapan hukum.

Dari perbedaan dua pandangan besar antara paradigma hukum positif dengan hukum sosiologis, tidak perlu untuk saling menjatuhkan dengan saling menyalahkan antara teori yang satu dengan teori yang lainnya, mengingat kedua-duanya sama-sama memiliki kelebihan dan kekuarangan. Paradigma hukum positif dapat di gunakan untuk mempelajari tentang bentuk hukum (Undang-Undang), isi hukum (perintah penguasa), ciri hukum (sanksi, perintah, kewajiban, dan kedaulatan) dan sistematisasi norma hukum (hierarki norma hukum) sedangkan paradigma hukum sosiologis dapat digunakan untuk mengevaluasi hukum (kualisifikasi hukum yang baik), kedudukan hukum tertulis dan tidk tertulis, sebagai sarana rekayasa sosial, cara pembentukan hukum yang baik (yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat), dan cara penerapan hukum yang efektif.

  1. Kritik Terhadap Teori Hukum Murni

Pada dasarnya Kelsen hanya mempertimbangkan aspek hukum positif saja, tanpa mempertimbangkan keadilan atau ketidakadilannya. Padahal menurut Stammer kemurnian mutlak bagi teori hukum apapun adalah tidak mungkin. Kelsen harus mengakui manakala teori memasuki pertanyaan-pertanyaan tentang norma fundamental yang bertentangan. Pertanyaan yang merupakan norma fundamental yang valid, dimana teori murninya tidak dapat dihindari, karena tanpa itu maka keseluruhan bangunan akan runtuh.[45] Dari sisi yang lain Lauterpacht seorang pengikut Kelsen mempertanyakan apakah teori hierarki tidak menyatakan secara langsung sebuah pengakuan akan prinsip-prisnsip hukum alam.[46]

Selain itu peraturan-peraturan hukum dibuat supaya ada hukum, bukan berarti supaya ada hukum. Dengan demikian maka dengan adanya hukum maka perlu untuk menegakkan kemanusiaan, dengan demikian hukum tidak identik dengan undang-undang. Di sisi yang lain hukum diperlukan penggarapan terus-menerus, dikarenakan hukum dalam hal ikhwal juga terdapat peraturan hukum yang melawan hukum karena bertentangan dengan kemanusiaan. Untuk itu tidak dapat kemudian teori hukum murni ini digunakan sepenuhnya dalam konteks bernegara, sehingga Konsep hukum responsive yang diajarkan oleh Philippe Nonet and Philip Selznick[47] tidak dapat diterapkan dengan baik.

Menurut Friedmann, hukum sebagai suatu sistem terdiri dari sub-sub sistem yang saling bergerak yang tidak dapat terpisahkan dan terpengaruh satu dengan lainnya. Sub-sub sistem itu terdiri dari: Substansi Hukum (legal substance), Struktur Hukum (legal structure), dan Kultur Hukum (legal culture). Adapun budaya hukum yang baik akan terbentuk apabila semua pihak secara sungguh-sungguh dilibatkan untuk berpartisipasi secara penuh dalam proses pembentukan hukum, agar semua orang benar-benar merasa memiliki hukum itu. Karena begitu besarnya peran budaya hukum itu, maka ia dapat menutupi kelemahan dari legal substance dan legal structure.[48]

Jadi menurut Friedmann hukum memiliki ruang lingkup yang sangat luas, tidak terbatas pada tekstual berupa peraturan perundang-undangan. Dalam berfungsinya hukum ditengah masyarakat tidak saja membutuhkan undang-undang belaka tetapi membutuhkan hal-hal lainnya seperti budaya masyarakat, aparat penegak hukum maupun sarana dan prasarana. Dari sini kita bisa melihat bahwa aliran positivisme berusaha memahami hukum hanya sebatas tekstual.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Achmad, Menguak Teori Hukum (Tegal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, Cet ke-3 2010

Anshori, Abdul Ghofur, Filsafat Hukum, Gajah Mada University Press, 2009.

Austin, The Province of Jurisprudence Determined, (1832) Lecture VI (edisi 1954)

Akzin, Benyamin, Law, State, and International Legal Order: Essays in Honor of Kelsen, Knokville, The University of Tennesse, 1964

Ardhiwisastra, Yudha Bhakti, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, PT. Alumni, Bandung, 2000.

Bakir, Herman, Filsafat Hukum, desain dan arsitektur kesejarahan, Refika Adhitama, Bandung, Cet ke-2 2009

Bentham, Jeremy, The Theory of Legislation, NM Tripathi Private Limited, Bombay, 1979.

___________, Austin and Classical English Positivism, Cambride University. TT

Bruggink, J.J.H., Rechts Reflekties, Kluwer, Nederland, 1995.

Curson, L.B., Jurisprudence, Cet. 1, London : Cavendish Publishing, 1993.

Dicey, AV, Introduction to the Study of The Law of The Constitution, McMillan and CO, Limited St. Martin Street, London, 1952

Dimyati, Khudzaifah, Teorisasi Hukum, studi tentang perkembangan pemikiran hukum di Indonesia 1945-1990, Genta Publishing, Yogyakarta, Cet ke-5, 2010

Drury, S.B, Law and Politics Reading in Legal and Political Though, Detselig Interprises Ltd Calgary, Alberta, 1980

Fuady, Munir, Perbandingan Ilmu Hukum, Refika Adhitama, Bandung, 2007.

Friedmann, Legal Theory, Steven & Son, London, 1960

___________, Theori and Philosophy of Law, Universiy of Paris, 1973

Friedrich, Carl Joachim, The Philosopy of Law in Historical Perspective, The University Chicago Press, 1969

Hadjon, Philipus M. dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005.

Hart H.L.A, The Concept of Law, New York: Clanrendon Press-Oxford, 1997

Irianto, Sulistyowati & Sidharta, Metode Penelitian Hukum, konstelasi dan refleksi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, Cet ke-2, 2011

Kelsen, Hans, Introduction to The Problem of Legal Theory, Clarendon Press-Oxford, 1996.

____________, The Theory of Law and The International Legal System – A Talk. Diakses dari European Journal of International Law. Artikel ini dapat diakses pada: http:www.ejil.org/journal/vol9/No2/art8-02.html

____________, Pure Theori of Law, Berkely: University California Press, 1978.

____________, Geberal Theory Law And State, The School of Law of The New York University, 1937

Kusumaatmadja, Mochtar, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan, PT. Alumni, Bandung, Cet ke-2, 2006

Manan, Abdul, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Prenada Media, Jakarta, 2005

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta, 2005.

Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum suatu pengantar, Penerbit Liberty, Yogyakarta, Cet ke-2, 2005

____________, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, PT. Aditya Bakti, Jakarta, 2003

Muuwissen, D.H.M., Rechtwentenschap, Koninkrijk der Nederlanden, 1982.

Nawiasky, Hans, Allgemeine Rechtslehre als System lichen Grundbegriffe, Einsiedenln/Zurich/Koln, Benziger, cet 2, 1948.

Nonet, Philippe and Philip Selznick, Law and Society in Transition: To Reward Responsive Law, Harper and Row, New York, 1978

Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2000.

Rasjidi, Lili, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004.

Rasjidi Lily dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004.

Rasjidi, Lily dan I.B Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, CV. Mandar Maju, Bandung 2003.

Salman, Otje, Filsafat Hukum perkembangan & dinamika masalah, Refika Adhitama, Bandung, Cet ke-2, 2010

Salman Otje dan F. Susanto, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung, 2005.

Scholten, Paul, De Struktuur Der Rechtswetenschap, Alih Bahasa B. Arief Sidharta, P.T Alumni, Bandung, 2005.

Soeprapto, Maria Farida, Ilmu Perundang-undangan, dasar-dasar dan Pembentukannya, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, Cet ke-11, 2006

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 2000.

Suherman, Ade Maman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, Civil Law, Common Law dan Hukum Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.

Suseno, Franz Magnis, Etika Politik, Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Gramedia, Jakarta, 1987.

Strong, CF, Modern Political Constitution, An Introduction to the Comparative Studyof Their History and Existing Form, The English Book Society and Sidgwick & Jackson, Limited London, 1966

Suhelmi, Ahmad, Pemikiran Politik Barat, kajian sejarah, perkembangan pemikiran Negara, masyarakat dan kekuasaan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2007.

Wheare, KC, Modern Constitution, Oxford University Press, 1996

Wignjosoebroto, Soetandyo, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional, dinamika social politik dalam perkembangan hukum di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.

[1] In optima forma adalah dalam bentuknya yang optional, ia dapat juga dinamakan “Dokmatika Hukum” Bahasa Jerman : “Rechtsdogmatik Jurisprudenz”. Untuk mengetahui lebih lanjuttentang ini baca D.H.M. Muuwissen, Rechtwentenschap, Koninkrijk der Nederlanden, 1982, Hal. 54

[2] Pada abad pertengahan ini dibagi menjadi 2 (dua) bagian yaitu Masa Gelap dan Masa Scholastik. Pada masa Gelap ditandai dengan adanya runtuhnya Kekaisaran Romawi akibat serangan bangsa lain yang dianggap terbelakang, yaitu suku Germania. Sedangkan Masa Scholastik ditandai dengan bermunculannya teori-teori hukum yang bercorak khusus, yakni ajaran Ketuhanan, yakni ajaran Kristen.

[3] L.B. Curson, Jurisprudence, Cet. 1, London : Cavendish Publishing, 1993, Hal. 93

[4] Pada yang demikian itu termaktub bahwa kekuasaan adalah melahirkan hukum positif yang kemudian diterapkan kepada masyarakat yang menjadi bagian kekuasaan pemerintahan dalam suatu kekuasaan suatu wilayah tertentu. Untuk lebih mengetahui masalah yang berkaitan dengan itu, baca Lili Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, Hal. 56

[5] Unsur-unsur hukum yang disebutkan diatas merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, yang menjadi suatu ikatan antar satu dengan yang lainnya. Untuk mengkaji lebih lanjut mengenai unsur-unsur Hukum menurut Austin, silakan baca Bentham, Austin and Classical English Positivism, Hal. 214 – 229

[6] Comte melihat satu hukum universal dalam semua ilmu pengetahuan yang kemudian ia sebut sebagai ‘hukum tiga fase’. Melalui hukumnya ia mulai dikenal di seluruh wilayah berbahasa Inggris (English-speaking world); menurutnya, masyarakat berkembang melalui tiga fase: Teologi, Metafisika, dan tahap positif (atau sering juga disebut “tahap ilmiah”). Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum, Gajah Mada University Press, 2009, Hal. 94

[7] Bruggink menyebutkan demikian, Bruggink juga menuliskan tentang Pohon/Skema Hukum dogmatic dalam arti sempit dan dalam arti luas. Untuk dapat memahami teori ini baca : J.J.H. Bruggink, Rechts Reflekties, Kluwer, Nederland, 1995, Hal. 167

[8] Munir Fuady, Perbandingan Ilmu Hukum, Refika Adhitama, Bandung, 2007, Hal 65

[9] Dasar-dasar sejarah itu dapat dilihat dan dibaca secara singkat dalam bukunya : Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2000, Hal. 269

[10] Franz Magnis Suseno, Etika Politik, Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Gramedia, Jakarta, 1987, hal. 87-88

[11] Selain itu disebutkan kenapa dibutuhkan aliran hukum positif, diantaranya (1) kelemahan dalam system hukum kodrat, (2) tidak adanya definisi yang jelas mengenai hukum kodrat itu sendiri, (3) Kepastian hukum hukum kodrat yang lemah, padahal masyarakat sipil membutuhkan kepastian, (4) Hukum kodrat tidak memberikan ketentuan praktis, dan (5) Ketaatan pada hukum kodrat lebih tergantung pada nurani individu. Untuk lebih memantapkan terhadap pengetahuan akan kelemahan-kelemahan yang dimiliki oleh Hukum Kodrat ini silakan baca : Ade Maman Suherman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, Civil Law, Common Law dan Hukum Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, Hal. 35-36

[12] Ade Maman Suherman, Ibid

[13] Teori Utility ini adalah dimana hukum haruslah memberikan kepuasan yang sebesar-besarnya (greates happines) bagi sebanyak-banyaknya manusia. Untuk membahas masalah ini sialakan baca : Jeremy Bentham, The Theory of Legislation, NM Tripathi Private Limited, Bombay, 1979, Hal 37

[14] Termininologi ini disarikan dari tulisan Hans Kelsen, Introduction to The Problem of Legal Theory, Clarendon Press-Oxford, 1996, Hal 53-70

[15] Hans Kelsen, The Theory of Law and The International Legal System – A Talk. Diakses dari European Journal of International Law. Artikel ini dapat diakses pada: http:www.ejil.org/journal/vol9/No2/art8-02.html

[16] Lecture: 23 Legal Positivism,http.www.utexas.edu/ caourses/ ph1347/ lectures/ lec23.html

[17] Mengenai itu dapat dibaca pada Lecture: 23 Legal Positivism, Ibid dan juga pada Hans Kelsen, Introduction to The Problem of Legal Theory, Op Cit, hal 42

[18] Lecture: 23 Legal Positivism, Ibid

[19] Dalam bukunya yang terkenal Jeremy Bentham, The Theory of Legislation, NM Tripathi Private Limited, Bombay, 1979

[20] Buku yang terkenal adalah Austin, The Province of Jurisprudence Determined, (1832) Lecture VI (edisi 1954)

[21] Buku yang spektakuler dari Hans Kelsen, Pure Theori of Law, Berkely: University California Press, 1978. Atau ada lagi Hans Kelsen, Geberal Theory Law And State, The School of Law of The New York University, 1937

[22] Karya agung H.L.A Hart, The Concept of Law, New York: Clanrendon Press-Oxford, 1997

[23] Dikatakan sui generis dikarenakan Ilmu Hukum adalah merupakan ilmu jenis sendiri, diakatakan jenis sendiri dikarenakan ilmu hukum dengan kualitas ilmiah sulit dikelompokkan dalam salah satu cabang pohon ilmu. Untuk mengetahui lebih lanjut masalah ini, sialakan baca Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, Hal 1-3

[24] Untuk memperjelas masalaha ini, baca : Hans Kelsen, Pure Theori of Law, Berkely: University California Press, 1978, Hal 5-13

[25] Pandangan itulah yang kemudian menjadi dasar dalam teori ini yang kemudian disebutkan sebagai teori hukum Murni, karena hukum adalah undang-undang, dan bukan yang lain.

[26] Yaitu mewajibkan harus diterima sebagai syarat yang tidak dapat dielakkan untuk mengerti hukum sebagai hukum

[27] Grundnorm merupakan norma dasar yang menjadi pijakan oleh norma-norma yang ada dibawahnya. Lebih lanjut baca : Benyamin Akzin, Law, State, and International Legal Order: Essays in Honor of Kelsen, Knokville, The University of Tennesse, 1964, Hal 3-5

[28] Stufentheori adalah menyatakan bahwa norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi.

[29] Hans Nawiasky, Allgemeine Rechtslehre als System lichen Grundbegriffe, Einsiedenln/Zurich/Koln, Benziger, cet 2, 1948, Hal. 31 dsb

            [30] Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 2000, Hal.51

            [31] Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta, 2005, Hal. 87 – 91

            [32] Peter Mahmud Marzuki, Ibid, Hal. 87

            [33] Otje Salman dan F. Susanto, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung, 2005, Hal. 46

            [34] Lily Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, Hal. 56

            [35] Lily Rasjidi dan I.B Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, CV. Mandar Maju, Bandung 2003, Hal. 119-120

            [36] Hans Kelsen, Pure Theory Of Law, Berkely: Unibersity California Press 1978, Hal. 1

            [37] Hans Kelsen, General Theory Of Law And State, Terjemahan Somardi, Bee Media Indonesia, Jakarta, 2007, Hal. 202-203

            [38] Hans Kelsen, Op Cit, Hal. 165-169

            [39] Lily Rasjidi dan I.B Wyasa Putra, Op Cit, Hal. 121

            [40] J.J.H. Bruggink, Rechts Refflectie, Grondbegrippen Uit De Rechtstheory, Alih Bahasa B. Arief Sidharta, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, Hal. 163

            [41] Lily Rasjidi, Op Cit, Hal. 66

            [42] Lily Rasjidi,, Ibid, Hal. 66

            [43] Paul Scholten, De Struktuur Der Rechtswetenschap, Alih Bahasa B. Arief Sidharta, P.T Alumni, Bandung, 2005, Hal. 6

            [44] Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Prenada Media, Jakarta, 2005, Hal. 3

[45] Kritik terhadap pandangan Hans Kelsen itu juga dapat dibaca melalui bukunya : Friemann, Theori and Philosophy of Law, Universiy of Paris, 1973, hal. 285

[46] Friedmann, Ibid

[47] Mengenai konsep hukum responsive, otonom dan represif dapat dibaca dan dipahami melalui buku : Philippe Nonet and Philip Selznick, Law and Society in Transition: To Reward Responsive Law, Harper and Row, New York, 1978, hal.

[48] Friedmann, Legal Theory, Steven & Son, London, 1960, Hal. 2-8

Continue Reading