Kesan pertama yang didapat dari penelitian ilmu-ilmu sosial adalah keragaman yang ada pada kelompok-kelompok dan budaya sosial. Para ahli antropologi menjelaskan secara luas tentang praktek-praktek yang berbeda-beda yang menentukan hubungan keluarga, para ahli sosiologi menjelaskan perbedaan yang substansial di dalam keyakinan moral pada berbagai kelompok sosial yang berbeda-beda, para ahli ethnografi dan sejarawan menjelaskan kerangka yang berbeda pada keyakinan akan dunia di dalam pengaturan sosial, dan lain sebagainya di dalam berbagai karakteristik-karakteristik sosial. Beberapa filsuf dan para ahli sosial telah mengambil kesimpulan dari bukti akan keberagaman sosial. Mereka berpendapat bahwa relativisme budaya merupakan ciri yang mendalam dan melekat di dalam masyarakat manusia. Kebudayaan yang berbeda-beda memiliki cara yang unik di dalam mengatur hubungan manusia, memunculkan keyakinan tentang dunia, dan mengevaluasi tindakan manusia, serta tidak ada standar trans-budaya untuk melakukan penjelasan dan pengevaluasian kerangka-kerangka yang berbeda-beda ini. Perspektif ini secara khusus diterima oleh para ahli sosial untuk diinterpretasikan, dimana perspektif ini memvalidasi pandangan mereka bahwa tiap budaya adalah suatu hal yang unik dan penelitian sosial harus dimulai dengan pendefinisian-diri yang berarti akan budaya yang diteliti.
Temuan ini memunculkan paradoks bagi para ahli sosial dan bagi kita hal ini adalah salah satu tujuan ilmu pengetahuan adalah penemuan penggeneralisasian, dan keberagaman ini muncul sebagai hambatan yang berarti di dalam kemajuan ilmu-ilmu sosial. Namun, banyak argumen/ pendapat pada bab-bab sebelumnya yang memberikan dasar untuk mengerucutkan kesimpulan para relativis. Khususnya, kerangka penjelasan tentang teori pilihan rasional dan materialisme dimaksudkan untuk menawarkan dasar untuk menjelaskan perilaku manusia melalui keumuman lintas-budaya (ide yang menyatakan bahwa masyarakat manusia harus mengadopsi tatanan sosial yang berfungsi untuk memuaskan kebutuhan material dan kepentingan pribadi). Dan sepanjang konsep-konsep ini dapat memberikan suatu dasar untuk mendapatkan penjelasan yang utuh di dalam beragam lingkungan sosial, klaim yang kuat akan relativisme sosial pun semakin terkikis. Pendapat ini dijelaskan pada Bab 2, 6, dan 8.
Di dalam bab ini, saya akan membahas beberapa versi relativisme budaya: relativisme konseptual, relativisme keyakinan, dan relativisme normatif. Relativisme konseptual (mengikuti beberapa alur pemikiran saat ini di dalam filsafat budaya dan ilmu pengetahuan) berkutat pada ide yang menyatakan bahwa perbedaan bahasa mewujudkan sistem konseptual yang tidak dapat dibandingkan, yang dimana kelompok atau budaya yang berbeda-beda dapat memiliki cara yang tidak dapat dibandingkan akan pengkategorisasian dunia. Keyakinan relativisme menekankan bahwa perbedaan budaya memiliki standar penilaian keyakinan yang berbeda-beda dan tidak dapat dipecahkan, akibatnya, mereka memiliki sistem keyakinan yang tidak dapat dibandingkan satu sama lain; secara rasional hal tersebut merupakan keterikatan budaya. Relativisme normatif menyatakan bahwa budaya yang berbeda-beda mewujudkan sistem nilai yang berbeda-beda, sehingga ilmu sosial harus melakukan pembaharuan untuk setiap kelompok budaya untuk mengidentifikasi norma dan nilai-nilai yang mendasari kehidupan sehari-hari dari tiap-tiap kelompok ini. Pada tiap kasus, ide inti nya adalah bahwa terdapat teori atau standar evaluasi yang umum untuk membandingkan atau menjelaskan konsep, standar rasionalitas, atau norma. Pada bab ini, saya akan melakukan survey dan meneliti pendapat-pendapat dalam ketiga area ini dan berusaha untuk memberikan batasan-batasan pada pendapat para relativis untuk tiap area ini. Secara umum, saya akan berargumen bahwa klaim para relativis secara umum bisa dikatakan terlalu dibesar-besarkan dan rasionalitas manusia memberikan derajat yang lebih besar akan pembandingan, pengevaluasian, dan komunikasi, tentu saja argumen saya sangat berbeda dibandingkan dengan klaim yang diutarakan oleh para relativis.
Permasalahan yang dimiliki oleh relativisme terletak pada pencarian universal atau keumuman lintas-budaya – ciri penerimaan, pemikiran, atau tindakan yang ditemukan di hampir seluruh masyarakat. Jika universal atau keumuman ini ada, maka akan sangat menggoda untuk menyimpulkan bahwa keumuman-keumuman ini muncul dari sifat manusia, yang dimana munculnya terjadi sebelum munculnya budaya dan kemasyarakatan. Dan pendapat-pendapat di bab-bab sebelumnya telah mengembangkan model pilihan rasional akan penjelasan sosial, dan hal ini memberikan indikasi tentang beberapa keumuman, yaitu: kepedulian akan kesejahteraan individu, keterikatan beberapa batasan normatif, kapasitas untuk mendapatkan keyakinan yang benar tentang lingkungan, kapasitas untuk mempertimbangkan, dan kapasitas untuk meregulasi tindakan yang sesuai dengan rencana yang ada. (Hal-hal ini merupakan “ciri inti” dari manusia yang dijelaskan dalam Bab 7). Bab ini, akan mulai membahas fakta tentang keberagaman sosial dan upaya untuk mempersempit cakupan relativisme budaya. Adalah benar bahwa terdapat adanya keberagaman yang melekat didalam budaya yang beranekaragam, namun disini saya akan berpendapat bahwa terdapat sejumlah ciri inti dari masyarakat manusia yang mendasari seluruh budaya – bahkan jika budaya-budaya tersebut menemukan ekspresi di dalam bentuk yang berbeda-beda.
RELATIVISME KONSEPTUAL
Relativisme konseptual menyatakan bahwa terdapat perbedaan-perbedaan yang tidak dapat dibandingkan satu sama lain antara konsep “punya kita” dan “punya mereka” dan tidak adanya landasan rasional untuk memilih sistem-sistem ini. Kita dapat memformulasikan posisi ini dalam istilah-istilah berikut ini:
- Budaya yang berbeda-beda menggunakan skema konseptual yang berbeda-beda untuk mendefinisikan apa yang ada atau mawujud di dunia, bagaimana semua hal diorganisir di dalam ruang dan waktu, jenis hubungan apa yang didapat dari hal-hal yang ada, dan bagaimana beberapa hal mempengaruhi hal-hal lainnya.
- Tidaklah mungkin untuk memberikan landasan rasional untuk menyimpulkan bahwa satu skema tersebut bersifat lebih kongruen dengan realitas daripada skema lainnya.
Tesis pertama mengkhususkan asumsi yang paling dasar yaitu bahwa suatu masyarakat memandang dunia disekitar nya. Di dalam pandangan dunia keilmiahan kita, kita mengidentifikasi objek-objek dengan sifat kausal yang tetap, berada di ruang dan waktu, dan kita menetapkan bahwa setiap kejadian memiliki penyebabbya. Namun, para relativis budaya tetap berpandangan bahwa hal ini merupakan satu skema konseptual yang bersifat parokial, dan berbagai alternatif dapat diestimasi melalui penelitian sejumlah budaya di dunia yang bersifat non-Barat.
Contoh 10.1. Ruang dan waktu di dalam pandangan dunia masyarakat Hopi
Benjamin Whorf merupakan seorang ahli bahasa dan etnografi yang berfokus pada hal ini selama tahun 1930an untuk mempelajari bahasa Hopi. Melalui penelitiannya, beliau berkesimpulan bahwa konsepsi masyarakat Hopi tentang waktu, ruang, sebab-akibat, dan kategori-kategori metafisik dasar lainnya tampaknya sangat berbeda dengan konsep di bahasa-bahasa yang digunakan di Eropa. Seorang filsuf yang bernama Kant berpendapat bahwa pada abad ke-18, pemikiran rasional bergantung pada keberadaan rangkaian universal/ keumuman konsep dalam hal seseorang menganalisis dunia empiris; objek fisik, ruang, waktu, dan kausasi/ sebab-akibat yang kesemuanya ini merupakan ide yang diyakini oleh Kant sebagai sesuatu yang fundamental dan universal. Namun Whorf berpendapat bahwa skema konseptual masyarakat Hopi secara fundamental berbeda dengan kerangka Laplacean Euclidian. Beliau berpendapat; “Bahasa Hopi sepertinya tidak memiliki kata, bentuk tata-bahasa, konstruksi atau ekspresi yang mengacu secara langsung pada apa yang kita kenal dengan istilah “waktu”, atau masa lampau, masa sekarang, atau masa depan, atau menunda atau memperlama … Pada saat yang sama, bahasa masyarakat Hopi mampu menjelaskan semua fenomena alam semesta yang dapat diobservasi dengan tepat di dalam arti pragmatis atau operasional (Whorf, 1956:57-58). Belaiu menyimpulkan bahwa berbagai budaya dapat mewujudkan sistem konseptual yang berbeda dimana mereka mengkategorisasikan dunia dengan cara yang sama sekali berbeda.
Data: data etnografik dan liguistik yang menjelaskan bahasa masyarakat Hopi
Model Eksplanatori: untuk memahami pandangan dunia masyarakat Hopi, maka dibutuhkan untuk merekonstruksikan serangkaian konsep yang sama sekali berbeda mengenai cara masyarakat Hopi untuk memandang dunia.
Sumber: Benjamin Whorf, Language Thought and Reality: Selected Writings of Benjamin Lee Whorf (1956)
Kita memulai pembahasan kita tentang tesis ini dengan contoh yang tepat – yaitu hipotesis Whorf (Contoh 10.1). Ahli bahasa yang bernama Benjamin Whorf mengembangkan teori bahasa masyarakat Hopi yang mewakili versi yang kuat dari relativisme konseptual. Seorang ahli antropologi modern yang bernama Gary Witherspoon telah mengambil serangkaian ide ini untuk dikembangkan di dalam penelitiannya tentang bahasa Navajo dan metafisika (Contoh 10.2). Di dalam pandangan Witherspoon, terdapat perbedaan yang mendalam di dalam cara Navajo dan Masyarat Eropa di dalam mendivisikan dunia menjadi benda-benda yang terpisah, dan hal ini menjadi bahan investigasi etnografi untuk menemukan skema konseptual dasar Navajo. Baik Whorf maupun Witherspoon berpandangan budaya-budaya non-Barat mewujudkan skema konseptual yang berbeda di dalam hal penganalisaan dan pengkategorian realitas sehari-hari, dan keduanya memiliki pandangan bahwa sangat lah sulit atau tidaklah mungkin untuk menerjemahkan skema-skema ini kedalam pandangan keilmiahan dunia Barat.
Para peneliti modern membahas relativisme konseptual dalam hal ide inkomensurabilitas (hal yang tidak dapat dibandingkan). Dalam hal ini, hipotesis Whorf menyatakan bahwa budaya yang berbeda-beda mungkin memiliki skema konseptuan yang berbeda-beda yang tidak dapat dibandingkan satu sama lain. Ide yang umum adalah bahwa dua skema konseptual tidaklah mungkin dapat dibandingkan jika tidaklah mungkin bagi kita untuk menciptakan ekuivalensi definisional antara konsep individu di dalam dua skema. Mari kita contohnya bahwa saya dan anda berjalan di hutan, dan munculah kenyataan bahwa skema konseptual saya lebih bagus dari pada skema konseptual anda: Saya membedakan binatang-binatang yang ada; yaitu pohon elm, oak, dan pohon beech, sedangkan anda hanya mengacu pada “pohon”; Saya membedakan antara tupai dan kelinci, dan anda hanya menyebut keduanya sebagai “binatang hutang yang kecil”. Selanjutnya, mari kita anggap bahwa saya tidak memiliki kategori abstrak yang lebih akan “pohon”, “binatang”, dan lain sebagainya. Kedua skema ini adalah berbeda namun bukan berarti tidak dapat dibandingkan/ diukur; namun, akan mungkin untuk menciptakan ekuivalensi/ persamaan untuk gabungan konsep-konsep saya tentang “pohon elm”, “pohon oak”, dan “pohon beech”. Salah satu cara untuk menempatkan poin ini adalah dalam hal cara dimana kita memecahkan “dunia” kedalam entitas-entitas pecahannya. Dalam kasus ini, saya dan anda mengidentifikasi entitas yang sama – yaitu pohon dan binatang tertentu – namun menempatkannya kedalam kategori-kategori yang kurang komprehensif. Dua struktur konseptual dapat disejajarkan sehingga akan menjadi tumpang tindih; “pohon” dalam skema anda adalah pohon oak, pohon elm, atau pohon beech dalam skema saya dan begitu pula sebaliknya untuk semua konsep-konsep yang lainnya.
Contoh 10.2. Sintaks dan semantik Navajo
Gary Witherspoon berpendapat bahwa para masyarakat yang berbicara bahasa Navajo menggunakan skema konseptual yang terorganisir dalam dualisme bentuk aktif dan statik dan bahwa skema klasifikasi benda-benda dalam bahasa Navajo (kekerabatan, binatang, objek-objek alam) mencerminkan dualisme ini (Witherspoon 1977:179). Konsep pengendalian adalah suatu hal yang sentral: Objek-objek diurutkan menurut peringkatnya di dalam sebuah hirarki dengan mengacu pada tipe suatu hal yang dapat mengendalikan atau mempengaruhi tipe-tipe yang lainnya (Witherspoon 1977:71). Beliau mendukung pendapat ini melalui analisis sintaks dan semantik dalam bahasa Navajo. “Kuda ditendang oleh anak kedelai” adalah kalimat yang secara gramatikal dapat diterima, sedangkan “kuda ditendang oleh orang” adalah kalimat yang bersifat lelucon ketika diucapkan. Analisis Witherspoon akan ketidaksimetrian ini adalah bahwa kalimat-kalimat telah disalah artikan oleh orang-orang Barat, dan bahwa arti dari konstruksi dasar adalah “disebabkan oleh dirinya untuk ditendang oleh.” Kuda dan keledai adalah istilah yang berbeda satu sama lain dalam hal kekuatan kendali yang aktif, yang dimana kuda adalah binatang yang inferior dibandingkan dengan manusia. Dan hal ini lah yang menjadi sebuah kelucuan hirarki kendali untuk mengatributkan pengendalian untuk kuda terhadap manusia (Witherspoon 1977: 75-76).
Data: Penelitian etnografi bahasa dan budaya Navajo
Model Eksplanatori: struktur konseptual bahasa Navajo adalah hal yang sangat berbeda dengan skema konseptual bahasa masyarakat Eropa.
Sumber: Gary Witherspoon, Language and Art in the Navajo Universe (1977).
Lalu, apakah hal diatas merupakan inkomensurabilitas asli? Pendapat yang terbaru mengenai inkomensurabilitas konseptual (konseptual yang tidak dapat dibandingkan satu sama lain) datang dari analisis-nya Thomas Kuhn tentang perubahan konseptual di dalam sejarah ilmu pengetahuan. Kuhn berpendapat bahwa penelitian ilmiah diorganisir disekitar sebuah paradigma: “jaringan komitmen yang kuat – konseptual, teoretikal, instrumental, dan metodologi” (T. Khun 1970:42). Kuhn berpendapat tentang tesis inkomensurabilitas akan konsep didalam paradigma-paradigma (T. Kuhn 1970: 148-50). Suatu paradigma merupakan suatu serangkaian model penjelasan ilmiah, eksperimen yang menjadi contoh, asumsi latar belakang tentang dunia, dan persamaan di dalam konteks dimana peneliti merumuskan permasalahan-permasalahan penelitian yang lebih spesifik. Paradigma mewujudkan pandangan dunia yang komprehensif, paradigma-paradigma ini menentukan kategori-kategori dalam hal pengorganisasian yang dilakukan oleh penginvestigasi akan data yang tersedia bagi mereka, dan paradigma-paradigma yang saling bersaing secara implisit membentuk sistem konsep dan keyakinan yang tidak bisa untuk di-inter-terjemahkan. Arti dari istilah teoretikal, penginterpretasian data empiris, asersi teoretikal, dan standar-standar inferensi adalah tidak bisa dibandingkan satu sama lain diseluruh paradigma. Walaupun para ahli fisika klasik dan para ahli fisika relativitas keduanya mengacu pada istilah “masa”, pada kenyataannya istilah “masa” tidaklah menjadi suatu hal yang perbedaannya signifikan, namun hanya sekedar perbedaan homofon; arti dari istilah ini di dalam dua sistem sangatlah berbeda dan tidak dapat dipahami satu sama lain. Pendapat-pendapat ini menawarkan dukungan bagi skeptisisme Kuhn tentang metode keilmiahan transenden, yaitu jika perselisihan teoretikal tidak dapat ditempatkan di dalam suatu bahasa yang dipahami dengan cara yang mengabur bagi kedua pihak, maka tidaklah akan ada resolusi logis akan masalah ini.
Pendapat penting yang lain tentang inkomensurabilitas dapat didapatkan dari teori nya W.V.O. Quine yang berfokus pada kemungkinan penerjemahan dari satu bahasa ke bahasa lainnya. Beliau berpendapat tentang “indeterminasi penerjemahan” (Quine 1960:26-79). Menurut pandangan ini tidak ada fakta tentang kebenaran ekuivalensi kalimat-kalimat ketika kita menerjemahkan satu bahasa ke bahasa lain; namun, dengan merubah pasangan kalimat-kalimat lain dengan tepat, kita dapat memberikan skema penerjemahan secara keseluruhan yang sesuai dengan seluruh disposisi para pembicaranya. “Petunjuk untuk menerjemahkan satu bahasa ke bahasa lainnya dapat disusun dengan cara yang berbeda, yang seluruhnya sesuai dengan totalitas disposisi bahasa, dan juga tidak sesuai dengan satu sama lain.” Di tempat yang jumlahnya tidak terbatas mereka akan berbeda di dalam memberikan – seperti penerjemahan mereka akan kalimat satu bahasa – kalimat kedalam bahasa lain yang saling berdiri satu sama lain di dalam ekuivalensi yang masuk akal” (Quine 1960:27). Menurut pendapat ini, untuk setiap pasangan bahasa terdapat skema penerjemahan alternatif yang sama konsisten dengan seluruh bukti yang ada namun sebenarnya hal ini tidaklah ekuivalen. Dampak dari pendapat ini untuk relativisme konseptual ada pada kalimat ini: Jika penerjemahan antara bahasa kita dan bahasa mereka adalah hal yang tidak menentu, maka terdapat hipotesa yang terjustifikasi dengan baik yang tersedia bagi kita tentang konsep-konsep mereka, dan tidak ada cara untuk kita untuk memilih diantara hipotesa-hipotesa ini. (Hookway 1978 mengeksplorasi dampak dari tesis ini dalam bidang antropologi).
Kita kembali ke contoh diatas. Umpamakan bahwa konsep anda dan konsep saya terasa sangat berbeda satu salam lain daripada yang ditentukan disini. Saya memandang dunia sebagai suatu hal yang dipenuhi oleh hal-hal individual – gumpalan gula, kelinci, pohon – namun anda memandang dunia sebagai kuantitas benda yang ada – hal yang berkaitan dengan gula, hal yang berkaitan dengan kelinci, dan hal yang berkaitan dengan pohon. Maka dari itu, anda tidak memiliki konsep akan hal-hal yang bersifat individual namun memiliki konsep akan jenis-jenis benda yang berbeda-beda di dunia dalam suatu kumpulan. Ketika saya mengatakan “ada kelinci”, yang saya maksudkan adalah “terdapat suatu hal yang bernama kelinci.” Ketika anda mengatakan “ada kelinci”, maka yang anda maksud adalah “ada suatu hal yang berhubungan dengan kelinci.” (Contoh ini diambil dari contoh “gavagai” dalam karnya-nya Quine di dalam pembahasannya tentang indeterminasi penerjemahan). Terakhir, kita umpamakan bahwa anda berbicara bahasa Alien; maka kalimat anda adalah “gavagai” yang saya korelasikan dengan “ada kelinci”. Dalam kasus ini anda dan saya memiliki cara mendasar yang berbeda akan memecahkan dunia menjadi beberapa bagian entitas – Saya memecahkannya kedalam hal-hal dan anda memecahkan kedalam kuantitas benda – dan juga tidak ada cara bagi saya untuk menemukan perbedaan dengan cara bertanya kepada anda.
Kemudian, kita sampai pada ide yang paling penting yang mendasari istilah skema konseptual yang tidak bisa dibandingkan: Dua budaya dapat memiliki kerangka yang sangat berbeda satu sama lain akan penganalisaan dunia – jenis hal apa yang ada, bagaimana hal-hal diindividualisasikan satu sama lain, apa struktur ruang dan waktu – dan juga hal tersebut tidak mungkin untuk menemukan perbedaan melalui penelitian etnografi.
Didalam penelitian, pendapat tentang relativisme konseptual terbagi kedalam dua tipe. Pertama, terdapat beberapa argumen aprioris tentang dampak yang memungkinkan bahwa komunitas bahasa yang berbeda dapat menggunakan skema konseptual yang bersifat inkomensurabel (tidak dapat dibandingkan). Indeterminasi Quine akan penerjemahan dan pendapat Kuhn tentang inkomensurabilitas pun mendukung kesimpulan ini. Pendapat yang ada di dalam kelompok kedua adalah bersifat empiris; pendapat-pendapat ini merepresentasikan serangkaian klaim tentang dampak dimana kelompok bahasa tertentu pada dasarnya menggunakan skema konseptual yang bersifat inkomensurabel bagi kelompok bahasa kita. Dan kekuatan dari kedua pendapat ini adalah cukup berbeda: Kemungkinan apriori akan skema konseptual yang berbeda akan cukup sulit untuk dibantahkan, namun upaya-upaya empiris untuk mengidentifikasi skema yang ada yang bersifat inkomensurabel bagi kita sepertinya mengalami kegagalan. Hal ini memunculkan kesimpulan bahwa tesis akan relativisme konseptual secara logis koheren namun hal ini tidaklah benar didalam budaya manusia yang ada.
Pertama, kita mempertimbangkan kekuatan argumen atau pendapat apriori tentang kemungkinan skema konseptual yang bersifa inkomensurabel. Beberapa filsuf ada yang berpendapat bahwa pendapat tentang inkomensurabilitas radikal tidak lah dapat didukung karena hal tersebut membuat tujuan untuk menerjemahkan bahasa yang dimana hal ini tidak dapat dimengerti. William Newton-Smith berpendapat bahwa pendapat-pendapat tentang relativisme konseptual seperti dipaksakan untuk menghilangkan kebenaran akan keberadaan “benar untuk mereka” dan “benar untuk kami.” Namun beliau berpendapat bahwa kemungkinan penerjemahan tergantung pada ketersediaan kondisi kebenaran dalam hal pembandingan kalimat kedalam dua bahasa. Jadi, jika kita menghilangkan gagasan kebenaran, maka kita dipaksa untuk menghilangkan harapan penerjemahan disepanjang skema konseptual (Newton-Smith 1982:110-13). Donald Davidson mengeluarkan kritik yang sama akan relativisme konseptual melalui tulisannya yang berjudul “Gagasan Skema Konseptual” (1974). Beliau berpendapat bahwa ide tentang skema konseptual yang tidak dapat dibandingkan runtuh akibat beban nya sendiri: Jika skema bersifat tidak bisa dibandingkan, maka semua komunikasi akan menjadi tidak mungkin antar skema. Ketidakmungkinan ini adalah hal yang tidak ada; dengan demikian tidaklah benar bahwa budaya manusia memiliki skema konseptuan yang bersifat inkomensurabel (tidak bisa diukur dan dibandingkan).
Begitu juga, beberapa filsuf ilmu pengetahuan telah meragukan pendapat yang diutarakan oleh Kuhn tentang inkomensurabilitasan skema konseptual ilmu pengetahuan. Pendapat yang paling meyakinkan ada pada realisme keilmiahan – suatu pandangan yang memandang bahwa konsep ilmu pengetahuan mengacu pada entitas nyata di dunia. Apa yang membuat komunikasi diseluruh skema konseptual di dalam ilmu pengetahuan menjadi layak, di dalam pendekatan ini, adalah kemungkinan preferensi bersama akan objek-objek fisik yang nyata dan sifat-sifatnya. Konsepsi Newtonian akan masa berfokus pada kuantitas ini sebagai suatu hal yang invarian atau tidak berubah, sedangkan konsepsi relativistik masa adalah berubah. Bagi Kuhn, hal ini merupakan perbedaan konseptual yang tidak dapat dijembatani. Namun bagi realis keilmuan, para ahli fisika klasik dan ahli fisika relativistik keduanya mengacu pada kuantitas fisik yang sama dan memiliki sejumlah teknik eksperimental yang sama dalam hal dimana mereka dapat mengidentifikasi dan mengukur kuantitas ini. Referensi bersama memungkinkan tiap ilmuwan untuk menerjemahkan keyakinan dan asersi/ pendapat pihak lain kedalam klaim tandingan di dalam teori yang dimilikinya dan untuk mengidentifikasi ketidaksetujuan tertentu akan sifat dari objek-objek ini yang memisahkan kedua teori. (Untuk mendapatkan penjelasan tentang pendapat ini, anda bisa melihat bagian Newton-Smith 1981:164 ff). Dengan demikian, adalah mungkin untuk menyerap banyak dari pandangan Kuhn yang penting tentang karakter perubahan konseptual di dalam ilmu pengetahuan dan keilmiahan tanpa menerima kesimpulan Kuhn tentang inkomensurabilitas. Saya menyimpulkan bahwa sangatlah mungkin bagi komunikasi yang berarti untuk memunculkan batasan-batasan paradigma, yang dimana juga sangatlah mungkin bagi metode-metode empiris untuk mempersempit rentang pertikaian pendapat antar paradigma, dan bahwa standar internal bagi suatu disiplin tertentu dapat dievaluasi dalam hal kecocokan rasionalnya bagi masalah penyingkapan kebenaran empiris.
Pendapat-pendapat ini yang menentang relativisme konseptual memiliki semacam kekuatan, namun pendapat-pendapat ini tidak bisa diambil sebagai refutasi definit akan kemungkinan inkomensurabilitas konseptual. Apa yang ditunjukan oleh pendapat-pendapat ini adalah bahwa pendapat filosofis yang ada yang mendukung inkomensurabilitas adalah lebih lemah daripada yang sering mereka munculkan.
Kekuatan apapun pada pendapat-pendapat apriori ini, namun fokus yang utama bagi kita adalah permasalahan keempirisan yang ada pada relativisme konseptual. Dengan demikian, mari kita kembali ke pendapat-pendapat Whorf dan Witherspon – pendapat-pendapat empiris yang dimana terdapat kasus-kasus tertentu yang didapat melalui relativisme konseptual. Whorf dan Witherspoon tetap mengindentifikasi komunitas bahasa yang struktur konseptual dasarnya sangat berbeda dengan struktur konseptual dasar kita. Apakah ini merupakan kesimpulan yang masuk akal untuk mendasarkan pada bukti apa apa yang kedua peneliti ini kemukakan? Tampaknya terdapat landasan persuasif untuk meragukan hal ini. Pertama, terdapat masalah akan interpretasi lintas-budaya yang dikemukakan oleh Davidson dan Newton-Smith diatas. Jika konsep Hopi tidak dapat dibandingkan (bersifat inkomensurabel) dengan konsep masyarakat Eropa, maka akanlah sulit untuk melihat bagaimana para ahli etnografi memahaminya. Komunikasi membutuhkan suatu susunan inti akan keyakinan dan konsep bersama; jika hal ini kurang, maka tidaklah mungkin untuk menginterpretasikan arti dalam kelompok-kelompok bahasa. Pendapat ini muncul untuk membuat para ahli antropologi berada dalam dilema. Dimana para ahli antropologi ini juga tidak dapat memelihara relativisme mereka dan meninggalkan harapan dalam hal penginterpretasian tuturan budaya yang lain, atau mereka dapat mempersempit cakupan dari klaim-klaim kaum relativis untuk menciptakan dasar bagi penginterpretasian lintas-budaya. Pendekatan yang paling alami untuk penginterpretasian di dalam batasan-batasan budaya melibatkan ide bahwa para ahli etnografi mengidentifikasi objek-objek biasa dan sifat-sifatnya dan lalu kemudian mulai mengkonstruksi petunjuk penterjemahan untuk konsep-konsep yang lebih abstrak. Namun jika kita menghipotesa bahwa kebudayaan yang lain menerima objek-objek biasa dengan cara yang sama sekali berbeda dari cara yang kita lakukan, maka kita akan kekurangan titik awal di dalam proses penginterpretasian ini.
Kedua, terdapat masalah terkait dalam evaluasi empiris hipotesis tentang inkomensurabilitas. Hal inilah yang dapat digunakan untuk mempelajari bahwa budaya asing memiliki konsep jenis tentang suatu hal yang dimana kita tidak memiliki konsep tersebut – seperti contohnya, unicorn. Kategori-kategori metafisikal yang paling dasar berbeda di dalam dua budaya untuk permasalahan tentang bagaimana kita memberikan dukungan empiris untuk keyakinan yang belum pasti merupakan hal yang membingungkan. Disini kita dapat kembali ke pendapatnya Quine tentang indeterminasi penerjemahan. Bukti apapun yang ditawarkan untuk mendukung inkomensurabilitas dapat ditafsirkan sebagai pendukung skema penerjemahan alternatif dimana dua kelompok bahasa memiliki konsep yang sama tentang objek-objek.
Terakhir, terdapat penginterpretasian situasi alternatif tentang bahasa Hopi dan Navajo yang menghindari relativisme konseptual dan pada saat bersamaan hal tersebut menjaga pandangan sentral yang ditawarkan oleh Whorf dan Witherspoon. Pilihan ini membutuhkan pembedaan konsep yang menentukan objek-objek dan keyakinan yang lebih tinggi tentang sifat-sifat dari objek-objek ini. Dari sudut pandang ini, kita harus mempostulasikan bahwa dua budaya yang memiliki dunia objek yang sama – pohon, binatang, bukit, bangunan, dan orang. Tiap budaya memiliki inti susunan konsep dalam hal pembicaranya mengindividualkan suatu hal – konsep ruang, waktu, hubungan kausal, objek dan sifat. Selain itu, tiap budaya memiliki suatu susunan inti keyakinan tentang objek-objek yang sama disepanjang batasan budaya – seperti contohnya, “benda ini berat”, “roti dapat menghilangkan lapar”, atau “kuda memiliki empat kaki.” Terakhir, tiap budaya bisa memiliki aturan keyakinan umum yang berbeda tentang dunia yang bisa dianggap asing oleh budaya lain – seperti contohnya, keyakinan kita bahwa “alam semesta mengembang”, “materi dan energi merupakan dua hal yang sama,” atau “planet bumi memiliki inti yang cair”, atau keyakinan mereka, seperti “hal-hal yang memiliki tingkatan yang lebih tinggi harus mengendalikan hal-hal yang berada di tingkatan yang lebih rendah”, “pohon memiliki jiwa,” atau “sejarah adalah hal yang berulang.” Keyakinan yang disebutkan kedua adalah suatu hal yang bersifat “metafisikal” – dimana keyakinan-keyakinan tersebut mencerminkan asumsi yang dalam bahwa tiap budaya memandang dunia dan menuju kesimpulan yang muncul bagi individu dari budaya yang berbeda. Ketika asumsi-asumsi ini diidentifikasi, kemunculan relativisme konseptual akan digantikan dengan pemahaman ketidaksepakatan bersama yang dalam tentang cara dunia bekerja.
Dengan demikian, saya menyimpulkan bahwa bukanlah pendapat apriori dan juga bukanlah pendapat empiris yang melahirkan relativisme konseptual; namun, terdapat alasan yang baik untuk memiliki pandangan bahwa budaya manusia memiliki rangkaian inti bersama tentang konsep dan keyakinan yang menentukan struktur dunia – jenis objek apa yang ada dan keyakinan yang menciptakan kemungkinan penginterpretasian disepanjang batasan budaya, dan hal ini sesuai dengan karakteristik-karakteristik nyata dari objek-objek yang diobservasi. Keberadaan dunia bersama yang bersifat objektif dengan sifat yang dapat diobservasi dapat memberikan landasan bagi inti konsep dan keyakinan diseluruh budaya yang ada. Dan sangatlah jelas bahwa inti ini dikelilingi oleh jaringan-jaringan konsep dan asumsi yang tidak sama di budaya yang lain. Ini merupakan inti bersama dari konsep yang melahirkan kemungkinan penginterpretasian; ini merupakan asumsi dan konsep yang muncul dengan tingkat abstrak yang lebih tinggi yang menghasilkan keberagaman pandangan dunia di beberapa budaya yang berbeda-beda.
Kesimpulan apa yang dapat kita ambil tentang tesis akan relativisme konseptual? Pembahasan ini melahirkan beberapa poin yang jelas. Adalah benar diragukan lagi bahwa budaya yang berbeda-beda memiliki aturan konsep yang berbeda-beda bahwa budaya-budaya ini mengkhususkan tipe-tipe suatu hal yang berbeda-beda dan mengklasifikasikannya dengan cara yang berbeda-beda juga. Sebagai contohnya, masyarakat yang hidup di pantai mungkin akan memiliki cara yang lebih artikulatif di dalam pengklasifikasian kerang jika dibandingkan dengan masyarakat yang tinggal di pedalaman. Lebih jauh lagi, tidak ada pendapat empiris yang tersedia untuk menyimpulkan bahwa budaya manusia yang berbeda-beda memiliki konsepsi yang berbeda tentang apa dari suatu hal/ objek – bagaimana objek diidentifikasi dan diindividualisasikan. Navajo, Penduduk Kepulauan Andaman, dan penduduk Manhattan akan sama dalam membedakan antara satu tiang lentera dengan yang lainnya; maksudnya disini adalah; mereka memiliki metafisika objek dan sifat-sifatnya yang sama. Adalah mungkin, walaupun tidak memiliki bukti, bahwa beberapa budaya memiliki konsepsi yang berbeda-beda tentang hubungan kausal jika dibandingkan dengan pandangan dunia yang modern.
Sedangkan ilmu pengetahuan barat modern tidak memperbolehkan untuk menggaibkan penyebab atau tindakan, beberapa budaya malah ada yang memperbolehkan untuk memagiskan hubungan kausal antar kejadian-kejadian yang terjadi. Dalam kasus ini, konsepsi “mereka” tentang cara dunia bekerja sangatlah berbeda dibandingkan dengan konsepsi yang kita miliki. Argumen yang lebih bersifat metafisik yang dikembangkan oleh Whorf tentang masyarakat Hopi yang memiliki perbedaan konsepsi dengan konsepsi kita tentang ruang dan waktu adalah hal yang tidak dapat dijamin kebenarannya. Sangatlah sulit untuk memahami bagaimana bukti dapat ditawarkan untuk menjustifikasi kesimpulan tersebut. Dan terakhir, tidak ada argumen yang dapat memberikan landasan yang meyakinkan untuk meyakini bahwa perbedaan konseptual yang dijelaskan disini dapat merepresentasikan perbedaan inkomensurabel dalam budaya yang berbeda-beda. Namun, melalui pembahan lanjutan, adalah mungkin bagi individu-individu di dalam kedua skema untuk mengidentifikasi perbedaan antara keduanya. Kita dapat membandingkan skema klasifikasi dengan mempertimbangkan entitas konsep tertentu, kita dapat membandingkan teori kausal dengan mencatat tipe entitas yang dianggap memiliki pengaruh kausal terhadap entitas lainnya, dan lain sebagainya. Saya menyimpulkan bahwa relativisme konseptual merupakan posisi filosofis tanpa dukungan empirisme di dalam ilmu-ilmu sosial.
RASIONALITAS DAN RELATIVISME
Klaim yang paling menantang akan relativisme budaya adalah; bahwa tidak adanya standar budaya-netral tentang rasionalitas keyakinan. Namun, beragam budaya yang memunculkan standar yang berbeda-beda dalam hal pengevaluasian keyakinan “faktual”, dan tidaklah masuk akal untuk meyakini bahwa satu susunan lebih bersifat superior jika dibandingkan dengan susunan lainnya. Masalah ini diangkat oleh banyak sistem keyakinan yang melibatkan suatu hal yang magis, sihir, kekuatan spiritual, dan hal-hal lain yang terkait di berbagai budaya. Banyak dari masyarakat yang “primitif” yang menginterpretasikan kegagalan panen, keberuntungan, jatuh bangunnya pemimpin, dan ketidakberuntungan kesehatan sebagai dampak dari berbagai kekuatan gaib. Dan beberapa filsuf telah meragukan bahwa terdapat cara netral-budaya untuk beranggapan bahwa satu cara pemahaman dunia ada yang lebih rasional dibandingkan dengan yang cara yang lainnya. Dengan demikian, Peter Winch menyatakan; “Kita mulai dari posisi yang beranggapan bahwa standar rasionalitas di masyarakat yang berbeda-beda tidak selalu terjadi bersamaan dari kemungkinan, dengan demikian, bahwa standar arus rasionalitas dalam simbol S berbeda dari standar kita. Sehingga kita tidak dapat berasumsi bahwa hal tersebut akan menjadi hal yang masuk akal untuk membicarakan anggota S ketika menemukan suatu hal yang juga telah kita temukan; penemuan ini mengandaikan persetujuan konseptual awal.” (Winch, 1970:97).
Sebagai contohnya, kita meyakini bahwa penyakit disebabkan oleh virus dan bakteri – yaitu organisme mikroskopis yang mengganggu fungsi normal tubuh. Hal ini sangat berbeda dengan berbagai budaya Afrika barat yang meyakini bahwa penyakit disebabkan oleh sihir atau roh nenek moyang yang jahat. Keyakinan kita didasari oleh ilmu pengetahuan empiris, dan keyakinan mereka didasari oleh kosmogoni relijius tradisional. Dan beberapa ahli antropologi telah bersikukuh untuk berpandangan bahwa sistem keyakinan yang sangat berbeda tersebut bukan berati adanya sistem yang superior terhadap sistem lainnya dalam hal rasionalitas. Tesis relativisme rasionalitas mungkin dapat ditempatkan dalam istilah-istilah ini. Budaya-budaya yang berbeda-beda akan melahirkan sistem validasi keyakinan yang berbeda-beda juga, yang dimana hal ini akan melahirkan perbedaan keyakinan tentang cara dunia bekerja, dan tidak terdapat landasan rasional untuk menyimpulkan bahwa satu sistem lebih superior terhadap satu sistem lainnya. Pihak yang tidak sependapat adalah dalam hal ini mereka yang memberikan prioritas khusus terhadap standar penalaran ilmiah: observasi, deduksi, konstruksi teori, pengujian, dan lain sebagainya. Hal ini akan tetap memelihara bahwa metode keilmiahan dunia barat adalah hal yang superior terhadap metode reliji yang magis dan tradisional dengan tujuan untuk tiba di keyakinan yang benar. Hal ini merupakan hasil dari pengaplikasian metode evaluasi keyakinan yang lebih bersifat benar dibandingkan dengan sistem keyakinan yang didasari keghaiban dan ketradisionalan. Hal ini dapat disebut sebagai posisi “rasionalis”, walaupun hal ini tidak terlalu berkaitan dengan rasionalisme nya Descartes ataupun Spinoza. Sebaliknya, ini merupakan pandangan bahwa praktek-praktek keilmuan empiris sesuai dengan standar universal akan pembentukan keyakinan: dan praktek-praktek ini akan melahirkan rasionalitas.
Posisi yang paling radikal pada relativisme budaya akan standar rasionalitas muncul dari Peter Winch, yang dimana beliau meyakini bahwa proses pembentukan keyakinan bukanlah praktek-praktek sosial karena tidak adanya dasar kritisisme atau justifikasi yang menyeluruh. Dan dasar utama dari posisi Winch adalah penolakannya bahwa terdapat dunia objektif yang dimana sistem keyakinan dapat sesuai atau tidak sesuai; artinya tidak ada yang namanya “kebenaran”. Malahan, sistem-sistem konseptual menyusun dunia dimana sistem tersebut diaplikasikan, dan tidak adanya kemungkinan untuk membandingkan kebenaran atau kesalahan di semua sistem konseptual (Winch, 1970).
Apakah data antropologis berfokus pada perbedaan sistem keyakinan dapat mendukung ide tentang relativitas standar rasionalitas? Atau apakah hal tersebut dapat dijustifikasi untuk menjaga ide bahwa metode-metode ilmiah merupakan lebih benar dibandingkan dengan metode-metode tradisional atau relijius? Steven Lukes mempertahankan ide bahwa terdapat standar universal tentang rasionalitas yang berlaku bagi seluruh budaya (Lukes 1970). “Saya berpendapat …. keyakinan-keyakinan tersebut tidak hanya dievaluasi oleh kriteria yang ditemukan di dalam konteks dimana mereka dianut; keyakinan-keyakinan juga harus dievaluasi dengan menggunakan kriteria rasionalitas.” (Lukes 1970:208). Pendapatnya berfokus pada pandangan bahwa sebenarnya terdapat kesamaan antara kita dengan budaya alien/ asing – atau yang lainnya, dan komunikasi antara kita dan mereka merupakan hal yang mungkin. Kita pun me-re-identifikasi objek yang sama dalam bahasa dan membuat prediksi tentang perilaku mereka. (Perhatikanlah ke-pararel-an antara pandangan ini dan kesimpulan dari bagian sebelumnya). Kita tidak memiliki keyakinan yang sama tentang dunia ini, namun hal tersebut memungkinkan adanya komunikasi yang dapat menembus batas-batas budaya. Hal ini melahirkan kemungkinan akan kebenaran – bukan kebenaran-bagi-kita dan kebenaran-bagi-mereka namun kebenaran sebagai korespondensi dengan cara dunia ini (Lukes 1970:210). Kebenaran merupakan hal yang bersifat lintas-budaya, dan standar rasionalitas merupakan hal yang menjadikan keyakinan menjadi lebih reliabel. Disini, argumen dapat diciptakan pada kesimpulan bagian sebelumnya: Ketika kita menciptakan landasan untuk membandingkan skema konseptual dalam hal entitas sebenarnya yang berada pada konsep, kita dapat bergerak kedepan menuju penalaran kausal dan empirisme dengan beberapa keyakinan untuk dapat diterima.
Lalu apa standar-standar rasionalitas itu? Tidak ada jawaban yang bersifat komprehensif untuk pertanyaan ini, karena standar ini sangat tumpang tindih dengan konsepsi metode keilmiahan yang terus berubah. Namun, untuk tujuan kita, kita dapat mengidentifikasi sejumlah kecil prinsip-prinsip inferensi/ dugaan yang muncul secara sentral. Pertama, terdapat prinsip kesimpulan deduktif: Jika anda meyakini serangkaian kaliman Si, dan P secara logika didapat dari Si , kemudian juga menerima P (atau juga meyakini pada sebagian Si). Prinsip ini mengikuti seluruh logika deduktif; dimana hal ini mengenakan semua persyaratan umum akan konsistensi logis pada penalaran ilmiah. Kedua, terdapat sejumlah prinsip kesimpulan induktif terbuka – contohnya, metode Mill akan inferensi kausal, inferensi pada penjelasan terbaik, inferensi pada penggeneralisasian yang didasarkan pada banyak observasi, atau inferensi pada hipotesis yang didasarkan pada pengujian konsekuensi deduktifnya.
Prinsip-prinsip induktif ini secara substansial lebih lemah jika dibandingkan dengan prinsip inferensi deduktif. Karena prinsip-prinsip ini bersifat bisa saja salah: adalah mungkin bahwa seseorang meneliti 1.000 angsa dan menemukan fakta bahwa seluruh angsa tersebut berwarna putih, dan hal ini masih menyisakan kemungkinan pengecualian terhadap penggeneralisasian yang diberlakukan untuk angsa. Demikian juga, bahwa penjelasan terbaik akan anomali empiris tersedia pada waktu yang ditentukan adalah E, sedangkan Ei merupakan penjelasan yang benar, dan seterusnya untuk tiap prinsip-prinsip induktif ini. Tiap prinsip merupakan preskripsi syarat-pengecualian tentang bagaimana untuk menghubungkan bukti dengan keyakinan; namun secara keseluruhan semuanya merepresentasikan batasan empiris yang kuat pada formasi keyakinan. Dan menurut saya, hal ini merupakan prinsip dari inferensi. Bisa dikatakan hal ini sebagai penguat kebenaran: Jika kita mengadopsi prinsip-prinisip ini dan melibatkannya di dalam observasi empiris, sistem keyakinan kita akan cenderung meningkatkan di dalam korespondensinya pada dunia.
Mari kita pertimbangkan contoh yang lebih luas. Umpamakan bahwa “mereka” meyakini bahwa penyakit tertentu (malaria) disebabkan oleh mantera/ guna-guna oleh musuh, sedangkan “kita” percaya bahwa penyakit tersebut disebabkan oleh nyamuk malaria. Keyakinan kita dapat dituangkan didalam istilah-istilah ini: Kapanpun nyamuk malaria ada, insiden malaria akan menjadi lebih tinggi; ketika nyamuk malaria benar-benar tidak ada, maka insiden malaria akan menurun sampai titik nol. Keyakinan mereka dapat dituangkan pada istilah berikut ini: Maliara muncul hanya sebagai akibat dari mantera; jika tidak ada mantera, maka tidak akan ada penyakit malaria, dan jika mantera/ guna-guna ada, makan akan mengakibatkan penyakit malaria pada sebagian orang. Melalui observasi dan percobaan yang dikendalikan, akan sangat mungkin untuk membujuk ahli sihir yang berfikiran terbuka tentang beberapa hal: (1) Ketika nyamuk dibasmi di suatu wilayah tertentu, malaria akan hilang; (2) Ketika tindakan guna-guna/ sihir dilakukan di sebuah wilayah yang tidak ada nyamuk malaria nya, malaria pun tetap tidak akan muncul; (3) ketika tidak ada tindakan sihir/ guna-guna di daerah yang banyak nyamuk malaria nya, maka malaria akan tetap muncul. Kita dapat berasumsi bahwa keyakinan faktual tingkat-rendah dianut di semua budaya. Keyakinan faktual tingkat-rendah ini secara bersama-sama menyiratkan kesalahan pada tesis kedua. Hal ini sesuai dengan temuan bahwa terdapat malaria di wilayah yang tidak ada tindakan guna-guna, dan ada tindakan guna-guna di wilayah yang bebas malaria. Dan fakta-fakta ini sesuai dengan kebenaran tesis pertama, walaupun fakta-fakta ini tidak terlalu berhasil di dalam menciptakan kebenaranya (karena tidak ada rangkaian observasi yang terbatas yang dapat melahirkan kebenaran dari pernyataan universal). Skenario ini muncul untuk melemahkan relativisme keyakinan, karena hal ini akan memunculkan kesimpulan bahwa keyakinan akan mengalami konvergensi disekitar hipotesis kausal ketika fakta-fakta yang relevan telah disetujui.
Kesimpulan ini bersifat terlalu dini, karena inferensi terhadap hipotesis nyamuk tidak muncul secara langsung akibat fakta-fakta yang disetujui tentang insiden nyamuk, guna-guna, dan malaria. Malahan, fakta-fakta ini dapat digabungkan dengan serangkaian prinsip-prinsip deduktif dan induktif inferensi. Dengan demikian keyakinan faktual secara sendirinya tidak memaksakan satu hipotesa kausal atau lainnya (nyamuk atau guna-guna); hiptesis kausal hanya dapat didukung jika kita berpegang pada beberapa prinsip logika deduktif dan logika induktif (inferensi pada penjelasan terbaik, asumsi-asumsi tentang hubunan antara kausasi dan hugungan reguler, dan lain sebagainya). Ketika kita mengaplikasikan prinsip-prinsip terhadap fakta tentang keberadaan dan ketiadaan tindakan guna-guna, nyamuk, dan kasus-kasus malaria, kita pun bisa menyimpulkan bahwa nyamuk dapat menyebabkan penyakit malaria dan tindakan guna-guna tidak. Lalu para relativis dapat menjawa prinsip-prinisip inferensi mendukung kesimpulan ini yang secara tepat mengenai permasalahan ini: Budaya yang lain tidak memiliki prinsip-prinisip “kita” akan inferensi kausal ilmiah, dan hasilnya mereka memiliki keyakinan yang sangat berbeda tentang sutruktur kausal dunia.
Secara khusus, para ahli sihir dapat menghindari kesimpulan kita dengan beberapa cara. Akan selalu mungkin untuk menolak kontradiksi dengan memunculkan karakteristik proses-proses sihir/ guna-guna (contohnya; jenis sihir terkait berhubungan dengan nyamuk; ketika nyamuk tidak ada, maka mantera guna-guna akan kehilangan efisiensinya). Pemodifikasian tersebut adalah bersifat sementara. Atau para ahli sihir dapat saja menolak untuk terlibat di dalam proses penalaran bersama; mereka mungkin saja tidak mengakui legitimasi upaya ini untuk mendapatkan kebenaran melalui logika dan percobaan. Dan mereka akan terus beranggapan bahwa konsep kita akan “nyamuk malaria” adalah secara logika dapat ditolak, yang dimana bagi kita penjelasan munculnya penyakit sebagai faktor dampak yang memiliki disposisi untuk menimbulkan malaria (nyamuk malaria). Hal ini terdengar sebagai sesuatu yang mencurigkan bagi para ahli sihir kita.
Kita pun kembali ke masalah yang tadi kita mulai: Apakah mungkin untuk menawarkan justifikasi netral-budaya akan prinsip-prinisp deduktif dan induktif dari inferensi? Posisi 1 yang dipertahankan disini adalah bahwa prinsip-prinsip inferensi deduktif dan induktif dapat secara luas menghasilkans standar keyakinan secara rasional dan dijustifikasi dalam hal prinsip veridikalitas: Taat pada prinsip-prinsip inferensi ini dapa meningkatkan veridikalitas keseluruhan sistem keyakinan. Jika posisi ini diterima, maka kita memiliki landasan yang kuat untuk menolak tesis relativisme keyakinan, yang dalam hal ini, terdapat standar independen untuk membandingkan sistem pembentukan keyakinan alternatif – prinsip veridikalitas.
Pembelaan ini tergantung pada dua hal: kesamaan keyakinan faktual biasa di seluruh budaya dan peranan keyakinan tingkat-tinggi di dalam memprediksi keadaan faktual lainnya. Jika kita memiliki keyakinan yang benar tentang proses kausal yang tidak bisa diobservasi, kita akan memiliki landasan untuk prediksi yang benar tentang keadaan di masa mendatang. Jika hipotesa kausal kita salah, prediksi kita akan cenderung salah juga. Kita dapat menggunakan pengujian tingkat-dua pada pasangan “mesin inferensi” (sistem inferensi deduktif dan induktif). Tiap sistem inferensi akan menghasilkan serangkaian keyakinan tentang sifat-sifat kausal lingkungan dan memunculkan serangkaian prediksi tentang masa depan dan keadaan kontrafaktual. Jika terdapat perbedaan yang jelas antara kedua mesin dalam hal kebenaran prediksi, maka serangkaian keyakinan mereka muncul, lalu mesin dengan veridikalitas yang lebih tinggi akan dipilih secara rasional.
Kenapa kita harus mengadopsi kriteria veridikalitas akan rasionalitas? Karena dua alasan: karena preferensi umum untuk kebenaran yang lebih tinggi daripada kesalahan dan karena manfaat yang lebih besar pada keyakinan yang besar di dalam memanipulasi lingkungan. Terdapat hubungan yang erat antara tindakan dan keyakinan yang benar; tindakan-tindakan yang didasarkan pada keyakinan yang salah sepertinya tidak akan memiliki dampak yang dimaksudkan. Kelompok dan individu yang menggunakan “mesin inferensi” yang secara sistematik lebih inferior di dalam menghadapi lingkungan akan cenderung mengalami ketidakberhasilan dibandingkan dengan yang lain: Perahu mereka akan tenggelam, ekspedisi mereka akan tersesat, dan mereka akan cenderung memakan makanan yang beracun. Adalah sulit untuk memikirkan budaya yang menghadapi permasalahan semacam ini, seperti yang saya simpulkan bahwa, di dalam inferensi kausal mereka, tiap budaya menggunakan serangkaian standar induktif seperti yang disebutkan/ dijelaskan di atas.
Ada satu poin final yang dilahirkan di dalam bagian ini. Argumen yang telah saya kembangkan untuk kebenaran standar prinsip-prinsip induktif dan deduktif adalah argumen tentang landasan rasional keyakinan. Saya telah berpendapat bahwa mesin inferensi seperti ini lebih bersifat superior dibandingkan yang lainnya. Dengan demikian, rasionalitas bukan lah sesuatu yang relatif. Kesimpulan ini tidak berarti bahwa seluruh budaya memiliki prinsip-prinsip ini (walaupun pengagungan sosial dan teknis dari masyarakat non-Barat diselurh dunia menyiratkan bahwa mereka memang seperti itu). Hal ini menyiratkan bahwa tiap budaya yang menyimpang dari prinsip-prinsip ini telah juga menyimpang dari rasionalitas dan kebenaran.
RELATIVISME NORMATIF
Sejauh ini kita telah membahas apa yang kita kenal sebagai relativisme kognitif: relativisme bentuk pengetahuan dan validasi pengetahuan. Mari kita berfokus pada relativisme normatif. Status norma dan nilai apa yang ada pada budaya tertentu? Apakah ada yang namanya universal moral yang mendasari seluruh sistem normatif? Atau haruskah? Atau apakah normal-normal moral secara esensi sama dengan nilai-nilai estetika – sangat beragam dan jauh dari landasan rasional?
Topik ini menggerakan kita dari keyakinan ke tindakan dan ke pertimbangan peranan dan keberagaman sistem normal dan nilai di dalam membatasi perilaku individu. Kita telah melihat pada berbagai poin di dalam buku ini bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh pertimbangan moral dan normatif. Dengan demikian para sukarela baik itu laki-laki maupun perempuan yang mengabdikan diri ke dunia militer demi normal patriotisme, Muslim yang taat akan menjaga diri untuk tidak memakan daging bagi karena rasa hormat pada larangan yang diperintahkan oleh agama mereka, para petani terprovokasi karena rasa keadilan mereka terganggu, dan orang tua rela menghemat konsumsi saat sekarang demi kesejahteraan anak-anaknya dimasa mendatang. (Mengulas kembali pembahasan kita pada Contoh 9.2 tentang penelitian yang dilakukan Barrington Moore yang menyoroti keberagaman di dalam perilaku politik di beberapa kelompok yang tereksploitasi dengan didasarkan pada analisis rasa keadilan yang dimunculkan oleh kelompok-kelompok ini). Di dalam tiap kasus kita memiliki contoh tindakan individu yang mendeviasi dari garis lurus akan rasionalitas tujuan-cara dengan menerima batasan moral atau normatif. Terakhir, seringkali diobservasi bahwa komitmen-komitmen normatif ini berbeda dari satu komunitas manusia dengan komunitas manusia yang lainnya. Beberapa masyarakat ada yang memprioritaskan keadilan abstrak, dan ada juga yang menempatkan nilai yang lebih tinggi pada hubungan personal dan keluarga. Ada beberapa budaya yang menganggap pembunuhan anak sebagai sesuatu yang wajib dibenci, dan ada juga budaya yang menganggapnya sebagai suatu bagian praktek dari perencanaan keluarga. Keberagaman-keberagaman ini di dalam komitmen normatif dapat memunculkan tesis relativisme moral.
Relativisme moral adalah pandangan yang menyatakan bahwa budaya yang berbeda-beda akan menghasilkan sistem nilai moral yang berbeda dan tidak terdapat landasan rasional untuk menganggap satu sistem lebih baik dari sistem-sistem yang lain (kecuali dari perspektif sistem nilai tandingan). Kaum relativis tetap berpendapat bahwa setiap masyarakat memiliki serangkaian norma dan nilai dan terdapat keragaman yang fundamental diantara sistem-sistem nilai di berbagai budaya – skema valuasi/ penilaian melalui cara individu mengevaluasi dirinya, teman-teman nya dan musuh-musuhnya, susunan sosialnya, artefaknya, dan lain sebagainya. Sistem-sistem ini akan mengatur konsepsi lokal akan keadilan, kewiraan, kesopanan, dan keindahan. Posisi pandangan ini dapat diekspresikan melalui cara ini: Sistem norma yang mengatur perilaku manusia adalah beragam dari satu budaya dengan budaya yang lain, dan tidak terdapat landasan rasional untuk menganggap bahwa satu sistem lebih baik dari sistem yang lainnya kecuali dari sudut pandang sistem tersebut. Seperti contoh, norma-norma yang mengatur kehidupan keluarga – tanggung jawab apa yang dimiliki oleh orang tua terhadap anaknya, cakupan apa yang berlaku pada kebebasan generasi muda, bentuk-bentuk dominasi apa yang diterima antara laki-laki dan perempuan, dan lain-lain. Kita sangat mengenal bahwa struktur keluarga adalah hal yang beragam dari satu budaya dengan budaya yang lain; di beberapa masyarakat patriarkis, pembuatan keputusan terkonsentrasi pada kaum laki-laki dewasa, namun di kelompok masyarakat lainnya, perempuanlah yang memiiki otoritas utama. Di beberapa budaya ada yang berpandangan bahwa anak-anak harus diberikan cakupan pilihan yang luas, dan di beberapa budaya lainnya, anak-anak harus mengikuti harapan orang tua mereka.
Bagian dari tesis ini bersifat tak tergugat. Norma-norma yang menentukan kehidupan keseharian – hubungan keluarga, hubungan masyarakat-negara, hubungan ekonomi, dan lain sebagainya – adalah hal yang beragam di seluruh budaya di dunia. Hal ini menciptakan fakta bahwa terdapat variasi yang luas di dalam norma sosial. Pertanyaan yang paling sulit adalah; apakah seluruh norma beragam di dalam cara ini. Beberapa pihak ada yang beranggapan bahwa terdapat beberapa prinsip-prinsip normatif yang bersifat universal – baik hal ini disebabkan oleh ciri yang umum dari kondisi manusia ataupun karena manusia memiliki riwayat evolusi yang sama. Teori-teori ini merupakan bentuk naturalisme – yaitu pandangan yang beranggapan bahwa situasi alami dari manusia menentukan setidaknya beberapa prinsip-prinsip moral, teori James Scott tentang ekonomi moral petani merepresentasikan versi teori pertama yang sederhana. Scott beranggapan bahwa kondisi dan situasi produksi petana di berabagai lingkungan budaya memunculkan penekanan etika akan hak seluruh anggota masyarakatnya untuk memiliki kehidupan di dalam tatanan sosial budaya saat ini (Scott 1976). Etika ini dapat dijelaskan sebagai rasa keadilan. Scott beranggapan tentang etika subsistens (penghidupan), “Walaupun keinginan untuk keamanan penghidupan muncul sebagai kebutuhan petani – ekonomi petani – namun hal ini secara sosial dialami sebagai pola hak-hak dan harapan moral …. Etika subsistens kemudian berakar di dalam praktek-praktek ekonomi dan perubahan sosial di dalam masyarakat petani. Sebagai prinsip moral, yaitu hak untuk menjalankan penghidupan, saya meyakini bahwa saya dapat menunjukan bahwa hal tersebut akan membentuk standar untuk menentang keuntungan yang diraih oleh tuan tanah.” (Scott, 1976:6-7).
Teori Scott tentang etika subsistens memiliki dua asumsi yang berkaitan: pertama, bahwa terdapat rasa keadilan bersama yang dialami oleh para anggota masyarakat petani dan kedua, bahwa etika ini disebabkan oleh “kondisi dan situasi eksistensial” bersama di masyarakat petani di seluruh dunia. Para petani merupakan subjek bagi pihak yang lebih memiliki kekuasaan tinggi (tuan tanah, petugas pajak, dll), mereka hidup dengan dengan batas subsistens (penghidupan untuk menyambung hidup), dan etika subsistens merupakan skema normatif alami bagi individu di dalam kondisi ini untuk berkembang. Secara jelas, kesimpulan terakhir didukung oleh fungsionalis yang berpandangan bahwa sistem normatif yang memuaskan kebutuhan sosial yang penting akan cenderung berkembang. Seperti yang kita lihat pada Bab 5, hal ini memunculkan asumsi yang sama kecuali kita dapat menetapkan mekanisme sosial yang secara masuk akal memungkinkan keadaan ini. Namun, dalam kasus ini terdapat satu mekanisme yang memungkinkan di dalam bentuk perilaku yang didasari oleh kepentingan-diri petani: Ketika mereka memformulasikan norma-norma untuk disebarkan di dalam kehidupan keseharian mereka, mereka akan cenderung untuk mengadopsi norma-norma yang meningkatkan keamanan dan kesejahteraan mereka, dan etika subsistens dapat memfasilitasinya.
Umpamakan bahwa kita menerima cerita ini tentang asal akan etika subsistens. Apa yang dimunculkan oleh teori ini tentang relativisme normatif? Dengan cara yang kecil, hal ini mempersempit cakupan relativisme dengan menunjukan fakta bahwa terdapa skema-skema normatif yang mengkarakterisasi kelas budaya secara utuh. Apa yang tidak dimunculkan adalah landasan rasional untuk skema normatif kuasi-universal. Penemuan fakta bahwa masyarakat petani yang memiliki sistem moral yang mengizinkan mereka untuk menyalahkan tuan tanah yang menolak untuk memberikan keringanan sewa di masa krisis tidak menunjukan bahwa hal ini adalah sesuatu yang salah bagi mereka untuk memiliki kecenderungan perilaku seperti ini; hal ini hanya menunjukan bahwa banyak budaya yang beranggapan sama.
Mempertimbangkan kemungkinan kedua yang dapat menjawab relativisme moral, yaitu yang lebih mendukung riwayat evolusi manusia dari pada hanya berfokus pada kndisi kehidupan sosial manusia. Hal ini didukung oleh para ahli sosial-biologi yang berharap dapat menunjukan setidaknya beberapa psikologi moral manusia yang memiliki latar belakang evolusi. Disini, pendekatan umum adalah untuk membuat suatu analogi antara perilaku moral dan bentuk-bentuk perilaku manusia lainnya yang didasari oleh riwayat evolusi – seperti contohnya kapasitas kemampuan kognitif. Fakta yang menyatakan bahwa manusia mampu untuk membedakan ribuan wajah manusia merupakan contoh kemampuan kognitif yang secara masuk akal berkembang di dalam repertoar kognisi manusia karena dampak positif nya di dalam keberhasilan reproduksi. Yaitu, terdapat landasan neurofisiologis untuk kemampuan ini; adalah hal yang “alami” bahwa manusia mampu untuk membedakan ribuan wajah manusia yang berbeda-beda.
Para ahli sosiobiologi berusaha untuk memiliki analisis yang sama akan kompetensi etika. Perilaku manusia menunjukan regularitas yang berpola pada norma-norma dasar tertentu – contohnya; rasa benci terhadap perilaku kekerasan pada anak. (Perilaku ini dapat diringkaskan melalui prinsip “adalah hal yang salah untuk menyakit anak kecil”). Para ahli sosiobiologi saat ini berpendapat bahwa terdapat landasan genetik atas regularitas perilaku ini; mereka mengacu pada keuntungan reprodusi yang diberikan pada orang tua yang menciptakan batasan ini dibandingan dengan orang tua yang tidak. Saya tidak akan berusaha untuk mengevaluasi kasus empirik untuk kesimpulan ini (Philip Kitcher menggunakan pendapat ini untuk menangkal kritik [Kitcher, 1985:417-23]). Namun dua observasi pun ada yang menonjol. Pertama, hal ini muncul dengan jelas bahwa yang terbaik yang kita dapat harapkan untuk pendapat ini adalah pentingnya kapasitas/ kemampuan untuk perilaku moral – bukan serangkaian prinsip-prinsip moral ataupun rasa kebenjian terhadap suatu tindakan/ fenomena. Dan kedua, jika hal ini dapat dibuktikan – yang dimana memang tidak mungkin – bahwa seluruh manusia secara genetik memiliki rasa aversi/ benci akan tindakan kekerasan pada anak, hal ini akan mengurangi cakupan relativisme budaya dari sebagian kecil ciri perilaku normatif manusia yang jelas.
Dengan demikian, kita telah berkonsentrasi pada pertanyaan akan apakah terdapat keumuman normatif yang ditemukan di berbagai budaya. Dan saya telah berpendapat bahwa, jika memang ada, maka keumuman normatif ini adalah suatu hal yang jarang dan hal ini tidak akan memberikan informasi yang mendalam tentang prinsip-prinsip moral manusia. Khususnya, hal ini tidak akan menunjukan bahwa universal atau keumuman moral adalah hal yang valid. Mari kita berpindah ke pertanyaan tentang relativisme standar moral. Ini merupakan pendapat atau kajian yang bersifat filosofis – bukanlah permasalahan ilmu sosial. Pendapat ini secara langsung bersifat sejalan dengan permasalahan rasionalitas standar keyakinan di dalam bagian sebelumnya. Bentuk relativisme moral ada pada klaim yang menyatakan bahwa terdapat yang namanya kebenaran moral. Terdapat beragam sistem moral yang tidak kompatibel atau inkomensurabel, dan tidak ada landasan rasional untuk mengklaim bahwa satu sistem moral lebih unggul dari sistem moral lainnya.
Gilbert Harman menawarkan suatu penginterpretasian akan keyakinan moral pada kajian ini. Beliau berpendapat bahwa tanggung jawab moral dibentuk melalui kesepakatan implisit diantara anggota kelompok sosial (Harman, 1975). Hal ini merepresentasikan interpretasi para konvensionalis: Prinsip-prinsip moral mirip dengan konvensi atau kebiasaan sosial yang mengatur perilaku individu melalui penerimaan individu akan norma ini, dengan pemahaman bahwa hampir dari seluruh anggota kelompok sosial yang lain juga memiliki kecenderungan yang sama. Dalam hal ini, persyaratan moral yang harus dianut untuk bertindak terhadap orang lain berasal dari fakta bahwa prinsip ini muncul di dalam tindakan para anggota suatu kelompok sosial; di masyarakat-masyarakat yang dimana norma ini tidak secara konvensional dihargai, maka tidak ada tanggungjawab atau obligasi yang serupa. (J.L. Mackie [1977] memiliki pendapat yang sama di dalam bukunya yang berjudul Ethics: Inventing Right and Wrong). Menurut pendapat ini, prinsip-prinsip moral tidak memiliki landasan namun berperan sebagai fungsi instrumen di dalam kehidupan sosial dengan berdasarkan pada faedah sosial.
Pandangan-pandangan ini merepresentasikan berbagai bentuk relativisme moral filosofis, yaitu suatu posisi yang memperoleh dukungan dari paham antipondasionalisme di dunia filsafat pada abad ke-20. Banyak dari ahli filsafat yang setuju bahwa terdapat landasan mutlak akan keyakinan moral; dimana sistem nilai diwariskan di dalam suatu budaya moral, dan teori moral berperan untuk mengartikulasi dan merasionalisasikan nilai-nilai spesifik budaya ini. Mari kita pertimbangkan seorang ahli filsafat yang mencoba untuk mempersempit rentang perdebatan tentang prinsip-prinsip moral. Di dalam bukunya yang berjudul Theory of Justice (1971), John Rawls mencoba menunjukan bahwa prinsip-prinsip beliau tentang keadilan adalah lebih benar dibandingkan dengan prinsip-prinsip lain (utilitarianisme dan perfeksionisme), pada landasan bahwa individu yang rasional akan memilih prinsip-prinsip nya daripada memilih prinsip-prinsip yang lain di dalam situasi yang memungkinkan untuk memilih. Rawls menyadari bahwa hal ini bukanlah landasan atau justifikasi mutlak untuk teori keadilannya; mungkin terdapat juga prinsip-prinisp yang belum terformulasikan yang akan dia pilih, dan, yang lebih fundamental lagi, seseorang dapat menolak ide bahwa prinsip-prinsip terbaik adalah prinsip-prinsip yang akan dipilih oleh individu dengan pemikiran rasional. Tetap saja, Rawls memberikan dukungan untuk teori moral yang memberikan peran pada argumen yang rasional. Namun sangatlah penting, bahwa beliau telah melemahkan klaim teori ini di karya-karya beliau selanjutnya. Di dalam bukunya yang berjudul “Justice As Fariness: Political Not Metaphysical” (1985), beliau menyimpulkan bahwa argumentasi moral berperan untuk menciptakan konsensus di dalam budaya moral masyarakat dan kita tidak memiliki alasan untuk menganggap bahwa ketidaksetujuan atau perbedaan moral di seluruh budaya dapat dipahami dan diuraikan.
UNIVERSAL/ KEUMUMAN
Apakah terdapat keumuman di seluruh budaya manusia yang ada di muka bumi? Sebelum kita dapat menjawab pertanyaan ini, kita pertama harus sedikit mengklarifikasinya. Terdapat beberapa cara dimana suatu karakteristik dapat dianggap sebagai keumuman manusia. Kita dapat menggunakan konsep ini untuk mengacu penggeneralisasian universal tentang seluruh umat manusia – sebagai contohnya – “semua manusia dapat merasakan rasa sakit.” Kita dapat mengidentifikasi ciri-ciri umum tertentu pada situasi manusia sebagai keumuman – seperti contohnya, “semua manusia membutuhkan makanan dan minuman.” Atau kita dapat mengidentifikasi kemampuan umum tertentu sebagai universal/ keumuman manusia – seperti contohnya, “manusia dapat menguasai aritmatika.” Ciri yang penting akan kemampuan adalah bahwa hal tersebut merepresentasikan suatu potensi bukan lah kompetensi aktual; untuk kemampuan yang teraktualisasikan, beberapa interaksi yang tepat dengan lingkungan pun dibutuhkan. Mari kita ambil sebuah contoh yang jelas: pengakuisisian dan penggunaan bahasa manusia. Para ahli linguistik telah menjelaskan bahwa bahasa manusia tergantung pada kemampuan kognitif yang luas untuk menciptakan dan menggunakan bahasa. Dengan demikian kemampuan untuk menggunakan bahasa adalah merupakan keumuman manusia di dalam indera ketiga; satu ciri dari spesies manusia adalah bahwa manusia biasanya memiliki kapasitas atau kemampuan ini. Namun karena beberapa alasan, penggunaan bahasa bukanlah keumuman yang satu-satunya khusus pada spesies manusia. Karena, terdapat beberapa manusia secara individu yang memiliki kekurangan di dalam kemampuan kognitif untuk menggunakan bahasa.
Kedua, terdapat individu-individu yang memiliki kemampuan namun ditolak oleh lingkungan dimana kemampuan ini dikembangkan; mereka terisolasi dari para pengguna bahasa dewasa selama tahun-tahun akuisisi bahasa. Dan terakhir, adalah mungkin (walaupun saya tidak begitu mengetahuinya) bagi tatanan sosial untuk secara sistematis terganggu oleh akuisisi bahasa dengan cara yang mengakibatkan kurangnya kompetensi bahasa di dalam sebuah populasi. Tidak ada dari pengecualian ini yang menunjukan bahwa kemampuan berbahasa bukanlah suatu keumuman manusia, namun pengecualian-pengecualian ini hanya menunjukan bahwa keumuman adalah kemampuan yang membutuhkan isyarat lingkungan untuk diaktifkan dan dikembangkan. Contoh ini mengilustrasikan tiap definisi keumuman manusia diatas, namun yang paling utama nya adalah definisi “kemampuan”. Keumuman yang lebih khusus – “semua manusia dewasa menggunakan bahasa” – merupakan hal yang tidak salah, dan kebenaran akan keumuman ini berasal dari fakta bahwa semua manusia memiliki kemampuan untuk menggunakan bahasa (keumuman kemampuan) dan fakta bahwa seluruh manusia lahir di dalam masyarakat yang menggunakan bahasa (keumuman yang situasional).
Lalu mari kita pertimbangkan, apakah memang terdapat apa yang diistilahkan sebagai keumuman manusia. Dunia biologi pun telah menciptakan satu kelas untuk keumuman ini. Pada tingkatan yang paling mendasar, keumuman manusia adalah bahwa manusia membutuhkan makanan dan tempat tinggal. Begitu juga, terdapat pola lintas budaya akan perilaku seksual dan perilaku reproduksi yang muncul didasarkan di dalam riwayat evolusi spesies manusia (walaupun Michael Foucault beranggapan pada karakter budaya yang mendalam akan seksualitas [Foucault, 1978]). Pada tingkatan yang lebih rumit lagi, ilmu kognitif telah menjelaskan bahwa unsur-unsur yang utama di dalam sistem kognisi manusia secara genetik dapat dideterminasi. Sistem perseptual, pemahaman pola, memori, kompetensi bahasa, kemampuan penggunaan alat, dan kemampuan-kemampuan kognisi lainnya muncul untuk memiliki landasan yang kuat di dalam ilmu neuropsikologi, dan hal ini dijelaskan pada landasan riwayat evolusi organisme manusia. Semua manusia menggunalan bahasa alam, dan para ahli linguistik dari mulai Noam Chomsky telah berupaya untuk mengidentifikasi keumuman linguistik yang mendasari keragaman bahasa manusia.
Pada Bab 3 dan 7, dikatakan bahwa terdapat ciri inti dari penalaran praktikal yang merupakan keumuman di semua budaya. (Temuan ini mendasari pemanfaatan pilihan rasional dan kerangka kaum materialis untuk melakukan penjelasan). Kita dapat berspekulasi bahwa unsur-unsur dan struktur kemampuan manusia untuk mempertimbangkan pilihan merupakan salah satu keumuman manusia dengan riwayat evolusi yang dimilikinya. Kemampuan ini bergantung pada berbagai kemampuan, kognitif dan praktikal. Pada sisi kognisi, kita dapat mengidentifikasi kemampuan untuk memformulasikan keyakinan tentang dunia, untuk menghipotesa tentang hubungan kausalitas, atau untuk membuat prediksi tentang kondisi dunia di masa mendatang. Dan pada sisi praktikal, terdapat kemampuan untuk berfikir tentang tujuan individu, kemampuan moral untuk mempertimbangkan apakan tindakan tertentu sesuai atau tidak dengan norma dan nilai yang telah ditentukan, dan sistem rasa dan emosi yang kompleks yang mendasari tindakan di dalam berbagai situasi sosial yang beragam. Rasionalitas manusia dan emosi manusia merupakan kekhususan spesies manusia. Fitur-fitur ini membutuhkan untuk dipahami sebagai sumber yang tersedia bagi umat manusia yang digunakan dengan cara yang berbeda-beda di berbagai budaya yang ada. Disini, kita coba analogikan dengan bahasa: Semua manusia memiliki kemampuan (dan neuropsikologi untuk mendukung kemampuan) untuk menggunakan bahasa manusia. Namun apakah bahasa yang digunakan tergantung sepenuhnya pada komunitas bahasa dimana mereka lahir atau tidak. Dengan demikian bahasa manusia menunjukan unsur-unsur universalitas atau keumuman dan spesifisitas kultural. Keberagaman di tingkat fonologi, semantik, dan sintaks tidak bertentangan dengan keberadaan kemampuan manusia yang bersifat universal untuk menggunakan bahasa manusia. Terlebih lagi, hal ini bukanlah suatu universal atau keumuman yang hampa namun hal yang membedakan spesies manusia dengan spesies lain (mungkin bahkan spesies yang lain yang memiliki tingkat intelejensia).
Pandangan ini memandang bahwa terdapat kemampuan yang penting, kognitif dan praktikal, yang mendukung seluruh perilaku dan merepresentasikan keumuman manusia. Apakah terdapat skema substantif yang bersifat universal di seluruh budaya manusia? Khususnya, apakah terdapat ciri-ciri skema konseptual manusia, standar penalaran, standar tindakan yang bersifat umum diseluruh budaya yang ada? Di dalam pendapat akan relativisme konseptual, adalah sulit untuk menghindari kesimpulan bahwa terdapat susunan inti dari fitur-fitur konseptual yang mendasari seluruh kognisi manusia. Konsep-konsep pun dibutuhkan untuk membagi pengalaman empiris kedalam objek-objek yang terpisah, pengatribusian sifat-sifat kedalam objek, lokasi objek di dalam ruang dan waktu, dan kerangka sebab dan akibat, semuanya merupakan hal yang tidak bisa dihindari di dalam pengalaman manusia. Dengan hal ini, kita dapat menambahkan konsep-konsep yang dibutuhkan untuk menganalisa fitur-fitur yang umum di dalam pengalaman manusia – warna, suhu, rasa, aroma, dan persepsi ketiga dimensian akan pengalaman visual. Hal ini bukan berarti bahwa seluruh konsep adalah sesuatu yang bersifat seragam – suatu pandangan yang dapat dibantah oleh penelitian budaya lain. Menurut hipotesis Whorf – bahwa terdapat keragaman bahkan pada tingkatan ontologi yang paling mendasar pun (cara dimana dunia dibagi-bagi menjadi bagian-bagian yang lebih kecil).
Ketika kita mengalihkan perhatian kita pada kerangka keyakinan, kita akan mencapai kesimpulan yang serupa: Terdapat susunan inti dari standar empiris dan penalaran kausal yang muncul di seluruh budaya yang ada. Kemampuan untuk memahami bahwa ikan dan burung bermigrasi secara musiman dan mungkin dapat ditemukan di beberapa musim dan tidak dapat ditemukan di musim lainnya, kemampuan untuk memahami sifat dari berbagai biji-bijian dengan tujuan untuk diaplikasikan di dunia pertanian, kemampuan untuk mencatat pergerakan yang teratur dari bintang dan planet, penelitian sifat-sifat medisinal pada tanaman dan rempah-rempah – yang semua kapasitas/ kemampuan ini tergantung pada kemampuan untuk mengobservasi lingkungan dan memunculkan hipotesis serta generalisasi tentang regularitas empiris. Satu lagi, klaim akan relativitas budaya pun muncul secara dilebih-lebihkan (walaupun terdapat variabilitas/ keberagaman budaya yang luas di dalam sitem keyakinan).
Terakhir, ketika kita berfokus ke relativisme normatif, kita akan menemukan bahwa posisi kaum relativis akan terlihat lebih kuat namun tidak sepenuhnya dapat meyakinkan kita. Keberagaman sistem normatif manusia adalah sesuatu yang luas; dan juga secara bersamaan, norma-norma manusia diorientasikan terhadap fitur-fitur sinyal dari situasi eksistensial manusia – ciri khas akan rasa sakit, pentingnya pemenuhan kebutuhan manusia, dan intensitas hubungan orang tua dengan anak. Ciri-ciri ini ditujukan secara berbeda di dalam budaya-budaya yang berbeda-beda pula, namun keberadaannya merupakan hal yang tidak bisa dibantah.
Dengan demikian, ilmu antropologi memberikan sebuah pesan bagi kita untuk berfokus pada keberagaman manusia, namun hal ini tidaklah dapat dipungkiri jika disiplin ini dapat mengkomprehensi relativisme budaya secara radikal. Kesimpulan yang tepat dapat muncul seperti kalimat ini: Terdapat keseragaman dan keberagaman di seluruh budaya manusia yang ada di tingkat konsep, keyakinan, dan norma. Keberagaman menunjukan kreatifitas kemampuan manusia untuk mengembangkan instrumen budaya dan underdeterminasi budaya melalui kebutuhan manusia. Keseragaman mencerminkan tetapan biologis di dalam kehidupan manusia dan ciri-ciri umum situasi eksistensial manusia. Terakhir, fakta bahwa manusia memiliki kemampuan refleksi, pemikiran deliberatif – filsafat, teori ilmiah, keyakinan agama – yang memungkinkan bahwa universal/ keumuman dapat muncul dari penggunaan akal/ nalar manusia.