PELAYANAN PUBLIK YANG BAIK MERUPAKAN CERMIN KINERJA PEMERINTAH DAERAH

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Otonomi daerah merupakan suatu wujud demokrasi yang diberikan Pemerintah Pusat kepada Pemerintah daerah untuk mengurus sendiri rumah tanggannya dengan tetap berpegang kepada peraturan perundangan yang berlaku. Otonomi dijadikan sebagai pembatas besar dan luasnya daerah otonom dan hubungan kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah untuk menghindari daerah otonom menjadi Negara dalam Negara. Daerah otonom adalah batas wilayah tertentu yang berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ada dua tujuan yang ingn dicapai melalui kebijakan desentralisasi yaitu tujuan politik dan tujuan administrative. Tujuan Politik akan memposisikan Pemda sebagai medium pendidikan politik bagi masyarakat di tingkat local dan secara nasional unutk mempercepat terwujudnya civil society. Sedangkan tujuan administrative akan memposisikan Pemda sebagai unit pemerinthan di tingkat local yang berfungsi untuk menyediakan pelayanan masyarakat secara efektif dan ekonomis.

Pelayanan yang disediakan Pemda kepada masyarakat ada yang bersifat regulative(pengaturan) seperti mewajibkan penduduk untuk mempunyai KTP, KK. IMB, dsb. Sedangkan bentuk pelayanan lainnya adalah yang bersifat penyediaan public goods yaitu barang-barang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat seperti jalan, pasar, rumaha sakit, terminal dsb. Apapun barang dan regulasi yang disediakan oleh Pemda haruslah menjawab kebutuhan riil warganya. Tanpa itu, pemda akan kesulitan dalam memberikan akuntabilitas atas legitimasi yang telah diberikan kepada pemda untuk mengatur dan  mengurus masyarakat.

Misi keberadaan Pemda adalah begaimana mensejahterahkan masyarakat melalui penyediaan pelayanan public secara efektif, efisien, dan ekonomis serta melalui cara-cara yang demokratis. Demokrasi pada pemda berimplikasi bahwa pemda dijalankan oleh masyarakat sendiri melalui wakil-wakil rakyat yang dipilih secara demokratis dan dalam menjalankan misinya mensejahterahkan rakyat, wakil-wakil rakyat tersebut akan selalu menyerap, mengartikulasikan serta meng-agregasikan aspirasi rakyat tersebut kedalam kebijakan-kebijakan public tingkat local. Namun, kebijakan public di tingkat local tidak boleh bertentangan dengan kebijakan public nasional dan diselenggarakan dalam koridor-koridor norma, nilai dan hukum positif yang berlaku pada Negara dan bangsa tersebut.

Tujuan otonomi daerah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat daerah dengan mendekatkan pelayanan publik masih jauh dari harapan. Rasio daerah penerima transfer dana tertinggi dengan daerah yang menerima transfer terendah berbeda 127 kali lipat. Menurut Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Yuna Farhan “Transfer daerah tidak beranjak dari 31 persen sampai 34 persen dari total belanja negara. Padahal, sudah 70 persen urusan pemerintahan diserahkan ke daerah. Prinsip money follow the function belum dilaksanakan,”

Jenis dana perimbangan pun semakin banyak berkembang di luar yang diatur dalam Undang-Undang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, serta berpotensi merusak sistem dana perimbangan. Dari hanya tiga jenis dana perimbangan dalam komponen dana penyesuaian pada tahun 2009, berkembang menjadi tujuh jenis pada 2011. “Salah satu kasus yang masih hangat adalah dana penyesuaian infrastruktur, yang sarat dengan kepentingan politik dan membuka ruang praktik mafia anggaran. Bahkan, terdapat 10 bidang yang sama pada dana penyesuaian, juga dialokasikan pada dana alokasi khusus.

Kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah baik pusat maupun daerah dalam bentuk barang maupun jasa dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat harus sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tuntutan diatas harus dihadapi setiap pemerintah daerah, terutama pemerinah kabupaten/kota yang merupakan ujung tombak pelaksanaan asas desentralisasi sebagai daerah otonom yang mandiri dan memiliki kewenangan penuh untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Jika tidak mampu beradaptasi dengan perubahan, maka kabupaten/kota tidak akan mampu memenuhi harapan serta kebutuhan rakyat yang berdomisili di wilayahnya.

Semua itu menunjukkan betapa pentingnya penyelenggaraan pelayanan yang baik dan memuaskan diwujudkan dan menjadi perhatian utama pemerintah di era sekarang ini, era reformasi otonomi daerah. Kinerja pelayanan publik menjadi salah satu dimensi yang strategis dalam menilai keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah dan reformasi tata pemerintahan. Semakin tinggi kepedulian tata pemerintah yang baik (good governance), kinerja pelayanan publik akan semakin baik. Untuk menggambarkan bagaimana kapasitas aparatur pemerintah daerah kabupaten/kota dalam memberikan pelayanan kepada publik, untuk itu penulis tertarik untuk meneliti tentang Pelayanan Publik yang ada di Pemerintahan Daerah yang ada di Indonesia pada Umumnya.

I.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian singkat diatas, maka rumusan masalah yang saya ambil diantaranya :

  1. Bagaimana pelaksanaan Good Governace dalam Pemerintahan Daerah ?
  2. Bagaimana upaya optimalisasi fungsi pelayanan pemerintah daerah dalam upaya mencapai Good Governance ?

I.3. Tujuan Penulisan

  1. Untuk Mengetahui pelaksanaan Good Governace dalam Pemerintahan Daerah
  2. Untuk menganalisa upaya optimalisasi fungsi pelayanan pemerintah daerah dalam upaya mencapai Good Governance

I.4. Metode Penulisan

Dalam makalah ini metode yang digunakan adalah metode penulisan studi dokumen, yaitu cara penulisan yang didasarkan pada analisis terhadap beberapa asas hukum dan teori hukum serta peraturan perundang-undangan yang sesuai dan berkaitan dengan permasalahan dalam makalah ini. Penelitian hukum normatif ini adalah suatu prosedur dan cara penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari segi normatifnya.

  1. Bahan Hukum

Bahan hukum merupakan bahan dasar yang akan dijadikan acuan atau pijakan dalam penulisan makalah ini. Adapun yang menjadi bahan hukum dalam penulisan makalah ini terdiri dari 3 (tiga) bagian, yakni bahan hukum primer, skunder dan tersier yang dapat diurai sebagai berikut :

  1. a) Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari  peraturan perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.

  1. Bahan Hukum Skunder

Bahan hukum skunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Adapun bahan hukum skunder yang digunakan untuk memberikan penjelasan mengenai materi yang terdapat dalam bahan hukum primer berasal dari beberapa literatur, buku tesk, jurnal hukum, karangan ilmiah dan buku-buku lain yang berkaitan langsung dengan tema penulisan makalah ini.

  1. b) Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan skunder. Bahan hukum ini sebagai alat bantu dalam penulisan makalah ini. Adapun bahan hukum tersier ini dapat berupa kamus-kamus hukum yang berkaitan langsung dengan makalah ini.

  1. Analisis Bahan Hukum

Dalam makalah ini di gunakan metode analisis induktif kualitatitif, yaitu metode analisa dengan melakukan analisis terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan (rumusan masalah) yang terdapat dalam makalah ini untuk kemudian di korelasikan dengan beberapa asas dan teori yang menjadi landasan atau pisau analisa  dalam penulisan makalah ini sebagai langkah untuk menemukan konklusi, jalan keluar maupun konsepsi ideal tentang hal-hal yang berhubungan

BAB II

LANDASAN TEORI

  1. Otonomi Daerah

Istilah otonomi berasal dari bahasa Yunani autos yang berarti sendiri dan namos yang berarti Undang-undang atau aturan. Dengan demikian otonomi dapat diartikan sebagai kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri (Bayu Suryaninrat; 1985).

Beberapa pendapat ahli yang dikutip Abdulrahman (1997) mengemukakan bahwa :

  1. F. Sugeng Istianto, mengartikan otonomi daerah sebagai hak dan wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah.
  2. Ateng Syarifuddin, mengemukakan bahwa otonomi mempunyai makna kebebasan atau kemandirian tetapi bukan kemerdekaan. Kebebasan yang terbatas atau kemandirian itu terwujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan.
  3. Syarif Saleh, berpendapat bahwa otonomi daerah adalah hak mengatur dan memerintah daerah sendiri. Hak mana diperoleh dari pemerintah pusat.

Pendapat lain dikemukakan oleh Benyamin Hoesein (1993) bahwa otonomi daerah adalah pemerintahan oleh dan untuk rakyat di bagian wilayah nasional suatu Negara secara informal berada di luar pemerintah pusat. Sedangkan Philip Mahwood (1983) mengemukakan bahwa otonomi daerah adalah suatu pemerintah daerah yang mempunyai kewenangan sendiri yang keberadaannya terpisah dengan otoritas yang diserahkan oleh pemerintah guna mengalokasikan sumber sumber material yang substansial tentang fungsi-fungsi yang berbeda.

Dengan otonomi daerah tersebut, menurut Mariun (1979) bahwa dengan kebebasan yang dimiliki pemerintah daerah memungkinkan untuk membuat inisiatif sendiri, mengelola dan mengoptimalkan sumber daya daerah. Adanya kebebasan untuk berinisiatif merupakan suatu dasar pemberian otonomi daerah, karena dasar pemberian otonomi daerah adalah dapat berbuat sesuai dengan kebutuhan setempat.

Kebebasan yang terbatas atau kemandirian tersebut adalah wujud kesempatan pemberian yang harus dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, hak dan kewajiban serta kebebasan bagi daerah untuk menyelenggarakan urusan-urusannya sepanjang sanggup untuk melakukannya dan penekanannya lebih bersifat otonomi yang luas. Pendapat tentang otonomi di atas, juga sejalan dengan yang dikemukakan Vincent Lemius (1986) bahwa otonomi daerah merupakan kebebasan untuk mengambil keputusan politik maupun administrasi, dengan tetap menghormati peraturan perundang-undangan. Meskipun dalam otonomi daerah ada kebebasan untuk menentukan apa yang menjadi kebutuhan daerah, tetapi dalam kebutuhan daerah senantiasa disesuaikan dengan kepentingan nasional, ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Terlepas dari itu pendapat beberapa ahli yang telah dikemukakan di atas, dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 dinyatakan bahwa otonomi daerah adalah kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Beranjak dari rumusan di atas, dapat disimpulkan bahwa otonomi daerah pada prinsipnya mempunyai tiga aspek, yaitu :

  1. Aspek Hak dan Kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
  2. Aspek kewajiban untuk tetap mengikuti peraturan dan ketentuan dari pemerintahan di atasnya, serta tetap berada dalam satu kerangka pemerintahan nasional.
  3. Aspek kemandirian dalam pengelolaan keuangan baik dari biaya sebagai perlimpahan kewenangan dan pelaksanaan kewajiban, juga terutama kemampuan menggali sumber pembiayaan sendiri.

Yang dimaksud dengan hak dalam pengertian otonomi adalah adanya kebebasan pemerintah daerah untuk mengatur rumah tangga, seperti dalam bidang kebijaksanaan, pembiyaan serta perangkat pelaksanaannnya. Sedangkan kewajban harus mendorong pelaksanaan pemerintah dan pembangunan nasional.

Selanjutnya wewenang adalah adanya kekuasaan pemerintah daerah untuk berinisiatif sendiri, menetapkan kebijaksanaan sendiri, perencanaan sendiri serta mengelola keuangan sendiri.

Dengan demikian, bila dikaji lebih jauh isi dan jiwa undang-undang Nomor 23 Tahun 2004, maka otonomi daerah mempunyai arti bahwa daerah harus mampu :

  1. Berinisiatif sendiri yaitu harus mampu menyusun dan melaksanakan kebijaksanaan sendiri.
  2. Membuat peraturan sendiri (PERDA) beserta peraturan pelaksanaannya.
  3. Menggali sumber-sumber keuangan sendiri.
  4. Memiliki alat pelaksana baik personil maupun sarana dan prasarananya.
  1. Prinsip Otonomi Daerah

Otonomi daerah dan daerah otonom, biasa rancu dipahami oleh masyarakat. Padahal sebagaimana pengertian otonomi daerah di atas, jelas bahwa untuk menerapkan otonomi daerah harus memiliki wilayah dengan batas administrasi pemerintahan yang jelas.

Daerah otonomi adalah wilayah administrasi pemerintahan dan kependudukan yang dikenal dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan demikian jenjang daerah otonom ada dua bagian, walau titik berat pelaksanaan otonomi daerah dilimpahkan pada pemerintah kabupaten/kota. Adapun daerah provinsi, berotonomi secara terbatas yakni menyangkut koordinasi antar/lintas kabupaten/kota, serta kewenangan pusat yang dilimpahkan pada provinsi, dan kewenangan kabupaten/kota yang belum mampu dilaksanakan maka diambil alih oleh provinsi.

Secara konsepsional, jika dicermati berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, dengan tidak adanya perubahan struktur daerah otonom, maka memang masih lebih banyak ingin mengatur pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota. Disisi lain, pemerintah kabupaten/kota yang daerah otonomnya terbentuk hanya berdasarkan kesejahteraan pemerintahan, maka akan sulit untuk berotonomi secara nyata dan bertanggungjawab di masa mendatang.

Dalam diktum menimbang huruf (b) Undang-undang Nomor 22 tahun 1999, dikatakan bahwa dalam penyelenggaraan otonomi daerah, dipandang perlu untuk lebih menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta mempertimbangkan potensi dan keanekaragaman daerah.

Otonomi daerah dalam Undang-Undang Nomor 22  tahun 1999 adalah otonomi luas yaitu adanya kewenangan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup semua bidang pemerintahan kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal,  agama serta kewenangan-kewenangan bidang lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Di samping itu, keleluasaan otonomi maupun kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraannya, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi.

Dalam penjelesan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, dikatakan bahwa yang dimaksud dengan otonomi nyata adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintah di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh, hidup dan berkembang di daerah. Sedangkan yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggung jawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Atas dasar pemikiran di atas¸ maka prinsip-prinsip pemberian otonomi daerah dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 adalah sebagai berikut :

  1. Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan serta potensi dan keanekaragaman daerah yang terbatas.
  2. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.
  3. Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah Kabupaten dan daerah kota, sedang otonomi daerah provinsi merupakan otonomi yang terbatas.
  4. Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan kontibusi negara sehingga tetap terjalin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah.
  5. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah otonom, dan karenanya dalam daerah Kabupaten/daerah kota tidak ada lagi wilayah administrasi.
  6. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah, baik fungsi legislatif, fungsi pengawas maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan pemerintah daerah.
  7. Pelaksanaan azas dekonsentrasi diletakkan pada daerah provinsi dalam kedudukannya sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan sebagai wakil daerah.
  8. Pelaksanaan azas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari pemerintah kepada daerah, tetapi juga dari pemerintah dan daerah kepada desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggung jawabkan kepada yang menugaskannya.

Adapun tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan guna meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.

Sejalan dengan pendapat di atas, The Liang Gie dalam Abdurrahman (1987) mengemukakan bahwa tujuan pemberian otonomi daerah adalah :

  1. Mengemukakan kesadaran bernegara/berpemerintah yang mendalam kepada rakyat diseluruh tanah air Indonesia.
  2. Melancarkan penyerahan dana dan daya masyarakat di daerah terutama dalam bidang perekonomian.
  1. Good Governance dan Pemerintahan Daerah

Kata governance kini menjadi satu idiom yang dipakai secara luas, sehingga dapat dikatakan juga menjadi konsep payung dari sejumlah terminologi dalam kebijakan dan politik, kata ini acapkali digunakan secara serampangan untuk menjelaskan :  jaringan kebijakan  (policy networks, Rhodes: 1997), manajemen publik (public management, Hood: 1990), koordinasi antar sektor ekonomi (Cambell el al, 1991), kemitraan publik-privat (Pierre, 1998), corporate governance (Williamson, 1996) dan good govenance yang acapkali menjadi syarat utama yang dikemukakan oleh lembaga-lembaga donor asing (Lefwich, 1994)

Istilah governance dalam nomenclature ilmu politik  berasal dari bahasa Prancis gouvernance sekitar abad 14. Pada saat itu istilah ini lebih banyak merujuk pada pejabat-pejabat kerajaan yang menyelenggarakan tata kelola pemerintahan dibanding bermakna proses untuk memerintah atau lebih populer disebut “steering”. Perdebatan sejenis juga terjadi dalam wacana bahasa Jerman sekitar tahun 1970-an, untuk menunjuk pada persoalan efektivitas atau kegagalan fungsi kontrol politik -yang oleh Kooiman disebut sebagai governing- atau dalam bahasa Jerman “Steuerung” (steering). Perdebatan kosa ini makin populer diawal tahun 80-an, istilah “Steuerung” dipergunakan dalam perdebatan sosiologi makro yang merupakan terjemahan dari kontrol sosial. Akhirnya dalam wacana politik Jerman istilah ini dipopulerkan dalam perbincangan politik, Steuerung, dipergunakan untuk menunjukan kemampuan atoritas politik dalam menghela lingkungan sosialnya, misal sejauh mana politik mempunyai kepekaan untuk memerintah (governing) . Terakhir kosa ini juga diidentikkan sinonim dari kata governence. Perdebatan terhadap terminologi ini  terus berkembang, dan diperluas wacananya oleh Kaufmann (1985) yang memberikan limitasi governance sebagai ” successful coordination of behavior

Hingga kini perdebatan terhadap terminologi ini tetap terbuka lebar, apalagi interpretasi terhadapnya seringkali dilakukan secara longgar. Muhadjir Darwin (2000) misalnya, menjelaskan kesulitan untuk menemukan padanan makna yang memadai, acapkali penggunaan istilah ini dibiarkan apa adanya, karena sulit dicari padanannya dalam bahasa Indonesia. Bondan Winarno  pernah menawarkan sinomim istilah ini dengan “penyelenggaraan”. Muhadjir Darwin juga menegaskan bahwa notion ini tidak semata-mata menjelaskan fungsi pemerintah untuk menjalankan fungsi governing, tetapi juga aktor-aktor lain diluar negara dan pemerintah. Pemerintah adalah salah satu institusi saja yang menjalankan peran ini. Bahkan dapat terjadi peran pemerintah dalam fungsi governing ini digantikan dan dipinggirkan  oleh aktor-aktor lain, akibat bekerjanya elemen-elemen diluar pemerintah.  Hal ini sejalan dengan pemaknaan yang dilakukan oleh Pierre dan Peters (2000) yang menyatakan governance sebagai : “thinking about governance means thinking about how to steer the economy and society and how to reach collective goals

Sementara itu dalam konteks reposisi administrasi publik Frederickson memberikan interpretasi governance dalam empat terminologi   :

Pertama, Governance, menggambarkan bersatunya sejumlah organisasi atau institusi baik itu dari pemerintah atau swasta yang dipertautkan (linked together) secara bersama untuk mengurusi kegiatan-kegiatan publik. Mereka dapat bekerja secara bersama-sama dalam sebuah jejaring antar negara. Karenanya terminologi pertama ini, governance menunjuk networking dari sejumlah himpunan-himpunan entitas yang secara mandiri mempunyai kekuasaan otonom. Atau dalam ungkapan Frederickson adalah perubahan citra sentralisasi organisasi menuju citra organisasi yang delegatif dan terdesentralisir. Mereka bertemu untuk malakukan perembugan, merekonsiliasi kepentingan sehingga dapat dicapai tujuan secara kolektif atau bersama-sama. Kata kunci terminologi pertama ini adalah networking, desentralisasi.

Kedua, Governance sebagai tempat berhimpunnya berbagai pluralitas pelaku – bahkan disebut sebagai hiper pluralitas – untuk membangun sebuah konser antar pihak-pihak yang berkaitan secara langsung atau tidak (stake holders) dapat berupa : : partai politik, badan-badan legislatif dan divisinya, kelompok kepentingan, untuk menyusun pilihan-pilihan kebijakan seraya mengimplementasikan. Hal penting dalam konteks ini adalah mulai hilangnya fungsi kontrol antar organisasi menjadi, menyebarnya berbagai pusat kekuasaan pada berbagai pluralitas pelaku, dan makin berdayanya pusat-pusat pengambilan keputusan yang makin madiri. Sebagaimana dijelaskan Muhadjir Governance dalam konteks kebijakan adalah “… kebijakan publik tidak harus berarti kebijakan pemerintah, tetapi kebijakan oleh siapapun  (pemerintah, semi pemerintah, perusahaan swasta, LSM, komunitas keluarga) atau jaringan yang melibatkan seluruhnya tersebut untuk mengatasi masalah publik yang mereka rasakan. Kalaupun kebijakan publik diartikan sebagai apa yang dilakukan pemerintah , kebijakan tersebut  harus diletakkan sebagai bagian dari network kebijakan yang melibatkan berbagai komponen masyarakat tersebut..”.

Dengan demikian terminologi kedua ini menekankan, governance dalamm konteks pluralisme aktor dalam proses perumusan kebijakan dan implementasi kebijakan. Beberapa pertanyaan kunci yang penting : seberapa jauh kebijakan yang dilakukan pemerintah merespon tuntutan masyarakat, seberapa jauh masyarakat dilibatkan dalam proses tersebut, seberapa jauh masyarakat dilibatkan dalam proses implementasi, seberapa besar inisiatif dan kreativitas masyarakat tersalurkan, seberapa jauh masyarakat dapat mengakses informasi menyangkut pelaksanaan kebijakan tersebut, seberapa jauh hasil kebijakan tersebut memuaskan dan dapat dipertanggungjawabkan. Kata kunci dalam terminologi kedua ini adalah pluralitas aktor, kekuasaan yang makin menyebar, perumusan dan implementasi kebijakan bersama.

Ketiga, Governance berpautan dengan kecenderungan kekinian dalam literatur-literatur manajemen publik utamanya spesialisasi dalam rumpun kebijakan publik, dimana relasi multi organisasional antar aktor-aktor kunci terlibat dalam implementasi kebijakan. Kerjasama para aktor yang lebih berwatak politik, kebersamaan untuk memungut resiko, lebih kreatif dan berdaya, tidak mencerminkan watak yang kaku utamanya menyangkut : organisasi, hirarki, tata aturan. Dalam makna lebih luas governance merupakan jaringan (network) kinerja diantara organisasi-organisasi lintas vertikal dan horisontal untuk mencapai tujuan-tujuan publik. Kata kuncinya jaringan aktor lintas organisasi secara vertikal dan horisontal.

Keempat, terminologi Governance dalam konteks administrasi publik kental dengan sistem nilai-nilai kepublikan. Governance menyiratkan sesuatu hal yang sangat penting. Governance menyiratkan sesuatu keabsahan. Governance menyiratkan sesuatu yang lebih bermartabat, sesuatu yang positif untuk mencapai tujuan publik. Sementara terminologi pemerintah (government) dan birokrasi direndahkan, disepelekan mencerminkan sesuatu yang lamban kurang kreatif. Governance dipandang sebagai sesuatu yang akseptabel, lebih absah, lebih kreatif, lebih responsif dan bahkan lebih baik segalanya.

Dari keempat terminologi tersebut dapat ditarik pokok pikiran bahwa governance dalam konteks administrasi publik adalah merupakan proses perumusan dan implementasi untuk mencapai tujuan-tujuan publik yang dilakukan oleh aktor : pluralitas organisasi, dengan sifat hubungan yang lebih luwes dalam tataran vertikal dan horisontal, disemangati oleh nilai-nilai kepublikan antara lain keabsahan, responsif, kreatif. Dilakukan dalam semangat kesetaraan dan netwoking yang kuat untuk mencapai tujuan publik yang akuntabel.

Berdasarkan pemikiran ini governance adalah merupakan sebuah ekspansi notion dari makna administrasi publik yang semula hanya diartikan sebagai hubungan struktural antara aktor-aktor yang ada dalam mainstream negara. Secara tegas Milward dan O’Toole memberikan interpretasi governance dalam dua aras penting : Pertama, governance sebagai studi tentang konteks struktural dari organisasi atau institusi pada berbagai level (multi layered structural contex). Kedua, governance adalah studi tentang network yang menekankan pada peran beragam aktor sosial dalam sebuah jejaring negosiasi, implementasi, dan pembagian hasil. Merupakan konser social melibatkan pelaku-pelaku untuk mengakselerasikan kepentingan publik secara lebih adil dan menebarnya peran lebih merata sesuai dengan realitas pluralitas kepentingan dan aktor yang ada.

BAB III

PEMBAHASAN

  1. Penyelenggaraan Pelayanan Publik Pemerintahan Daerah

Tujuan pendirian Negara Republik Indonesia, seperti tertuang dalam Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, antara lain adalah untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Amanat tersebut mengandung makna negara berkewajiban memenuhi kebutuhan setiap warga negara melalui suatu sistem pemerintahan yang mendukung terciptanya penyelenggaraan pelayanan yang prima kepada masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar dan hak sipil setiap warga negara atas barang publik, jasa publik, dan pelayanan administratif.

Sementara itu kondisi saat ini seringkali masih menunjukkan bahwa penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat publik masih minim kualitas. Pelayanan kepada masyarakat  dihadapkan pada kondisi yang belum sesuai dengan kebutuhan dan perubahan di berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hal tersebut bisa disebabkan oleh ketidaksiapan untuk menanggapi terjadinya transformasi nilai yang berdimensi luas serta dampak berbagai masalah pembangunan yang kompleks. Sementara itu, tatanan baru masyarakat Indonesia dihadapkan pada harapan dan tantangan global yang dipicu oleh kemajuan di bidang ilmu pengetahuan, informasi, komunikasi, transportasi, investasi, dan perdagangan.

Kondisi tersebut memacu perubahan yang semakin cepat yang perlu disikapi secara bijak oleh Pemerintah melalui langkah-langkah pengambilan kebijakan, penciptaan program dan kegiatan yang berkesinambungan dalam berbagai aspek pembangunan untuk membangun kepercayaan masyarakat guna mewujudkan tujuan pembangunan nasional melalui perwujudan pelayanan yang prima kepada masyarakat. Perubahan tersebut juga telah menempatkan pelayanan kepada masyarakat sebagai ukuran utama kinerja pemerintah.

Otonomi daerah merupakan strategi yang digunakan Pemerintah agar pelayanan kepada masyarakat benar-benar menjadi jiwa manajemenen pemerintahan sehingga kesejahteraan masyarakat dapat semakin meningkat melalui pemberian kewenangan yang luas kepada Pemerintah Daerah (Pemda) untuk mengurus sendiri urusan pemerintahannya menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Untuk itu maka maksud utama dari otonomi daerah ini adalah untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan kualitas pelayanan, pemberdayaan dan peningkatan peran masyarakat. Pemerintah daerah diasumsikan sebagai bagian birokrasi pemerintahan yang paling dekat dengan masyarakat didaerahnya sehingga paling mengerti apa yang dibutuhkan oleh masyarakatnya.

Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah yang berlaku saat ini mendorong berbagai upaya untuk menciptakan good governance melalui penciptaan proses check and balances penyelenggaraan Pemerintah Daerah yang lebih berimbang. Hal ini tercermin dari tuntutan untuk terus meningkatkan akuntabilitas publik yang salah satunya adalah akuntabilitas publik dalam  hal penyediaan layanan kepada masarakat.

Untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat Pemerintah telah mengambil langkah dengan mewajibkan Pemerintah Daerah untuk mencapai Standar Pelayanan Minimal (SPM), yang ditetapkan oleh setiap Menteri terkait, dalam penyelenggaraan pelayanan dasar yang merupakan bagian dari pelaksanaan urusan wajib untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat.

Selain itu, SPM juga diposisikan untuk menjawab isu-isu krusial dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, khususnya dalam penyediaan pelayanan dasar yang bermuara pada penciptaan kesejahteraan rakyat. Upaya ini sangat sesuai dengan apa yang secara normatif dijamin dalam konstitusi sekaligus untuk menjaga kelangsungan kehidupan berbangsa yang serasi, harmonis dan utuh dalam koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Standar Pelayanan Minimal (SPM) pada dasarnya adalah merupakan bagian dari pelayanan kepada masyarakat dalam bentuk Pelayanan Publik. Sesuai dengan urusan kepemerintahan daerah yang terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan maka Standar Pelayanan Minimal (SPM) merupakan bagian dari pelaksanaan urusan wajib dalam hal penyelenggaraan pelayanan dasar. Sementara diluar pelayanan dasar terdapat pelayanan lainnya yang merupakan bagian dari urusan pilihan yang dituangkan  dalam bentuk standar pelayanan. Kedua standar pelayanan ini diharapkan dapat menjadi pondasi bagi Pemerintah Daerah dalam menyusun dan membangun Standar Pelayanan Prima (SPP).

Kondisi penyelenggaraan pelayanan publik saat ini masih belum memadai, karena masih banyaknya keluhan dan pengaduan dari masyarakat baik secara langsung maupun melalui media massa, seperti: prosedur yang berbelit-belit, tidak ada kepastian jangka waktu penyelesaian, tidak jelas berapa biaya yang harus dikeluarkan, persyaratan yang tidak transparan, sikap petugas yang kurang responsif dan lain-lain, sehingga menimbulkan citra yang kurang baik terhadap citra pemerintah dan pemerintah daerah.

Menurut Ismail Mohamad (2003:2) bahwa:

“…permasalahan utama pelayanan publik pada dasarnya adalah berkaitan dengan peningkatan kualitas pelayanan itu sendiri. Pelayanan yang berkualitas sangat tergantung pada berbagai aspek, yaitu bagaimana pola penyelenggaraannya (tata laksana), dukungan sumber daya manusia, dan kelembagaan. Dilihat dari sisi pola penyelenggaraannya, pelayanan publik masih memiliki berbagai kelemahan antara lain: kurang responsif, kurang informatif, kurang accessible, kurang koordinasi, birokratis, kurang mau mendengar keluhan/saran/aspirasi masyarakat, dan in-efisien.”

Senada dengan hal tersebut di atas, Feisal Tamin (2004:4) mengatakan: “…kita sungguh menyadari bahwa jajaran aparatur pemerintah memang masih mempunyai berbagai kelemahan dalam penyelenggaraan pelayanan publik dalam berbagai sektor pelayanan. Kelemahan-kelemahan tersebut dapat diketahui melalui pengaduan dan keluhan yang disampaikan masyarakat, baik secara langsung maupun melalui media massa, antara lain menyangkut sistem dan prosedur pelayanan yang berbelit-belit, tidak transparan, kurang informatif, kurang akomodatif, dan tidak konsisten, sehingga tidak menjamin kepastian hukum, waktu dan biaya serta masih adanya praktek percaloan dan pungutan tidak resmi”.

Pelayanan publik yang ada selama ini memang selalu dihadapkan pada masalah-masalah seperti dikemukakan di atas. Survey yang dilakukan oleh Litbang Kompas terhadap 885 responden dengan tingkat kepercayaan 95% pada tanggal 28 Februari sampai dengan 1 Maret 2007, terungkap bahwa birokrasi Indonesia gagal menjalankan fungsi pelayanan publiknya. Ketidakpastian waktu menjadi problem bagi masyarakat ketika berurusan dengan birokrasi. Urusan kecil bisa makan waktu yang lama. Inilah fenomena yang dirasakan sebagian besar (62,9%) responden. Menurut mereka, berurusan dengan aparat birokrasi selalu makan waktu lama. Selain ketidakpastian waktu, ketidakpastian biaya menjadi keluhan warga ketika berurusan dengan birokrasi. Tidak sedikit warga yang menyogok aparat birokrasi demi kelancaran urusannya. Dari fenomena ini, lebih dari separuh (58%) responden menganggap aparat birokrasi gampang disuap. Pencitraan tersebut, bisa jadi, dipicu juga oleh ketidakpuasan responden terhadap etos kerja birokrasi selama ini. Sebagian besar responden menyatakan tidak puas dengan kelambatan birokrasi dalam melayani urusan publik. Penilaian yang sama juga diungkapkan 65,3% responden terhadap efektivitas kerja birokrasi. Sementara untuk kedisiplinan, kecermatan, dan kesigapan kerja, sebagian besar responden masih kecewa.

  1. Upaya Penyelenggaraan Pemerintahan daerah Sesuai dengan Prinsip Good Governance

Sistem penyelenggaraan pemerintahan negara merupakan unsur penting dalam suatu negara. Oleh karena itu, maka tidak berlebihan apabila salah satu faktor penentu krisis nasional dan berbagai persoalan yang melanda bangsa Indonesia bersumber dari kelemahan di bidang manajemen pemerintahan, terutama birokrasi, yang tidak mengindahkan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik (good governance). Memasuki era reformasi, hal tersebut diakui, sehingga melalui TAP MPR RI No. XI/MPR/1999 tentang Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas KKN, dan Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme bangsa Indonesia menegaskan tekad untuk senantiasa bersungguh-sungguh mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan negara dan pembangunan yang didasarkan pada prinsip-prinsip good governance.

Jika kita melihat bagian-bagian dari partisipasi yang dapat dilakukan oleh publik atau masyarakat diatas, maka dapat disimpulkan bahwa partisipasi publik dalam pengambilan suatu keputusan sangatlah penting. Partisipasi publik menjadi sangat penting urgensinya dalam proses pengambilan keputusan setelah dikampanyekannya good governance oleh Bank Dunia maupun United Nations Development Program (UNDP). Mengenai good governance, Hetifah Sj. Sumarto berpendapat:

“Salah satu karakteristik dari good governance atau tata kelola pemerintahan yang baik atau kepemerintahan yang baik adalah partisipasi. Selanjutnya UNDP mengartikan partisipasi sebagai karakteristik pelaksanaan good governance adalah keterlibatan masyarakat dalam pembentukan keputusan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui lembaga perwakilan yang dapat menyalurkan aspirasinya. Partisipasi tersebut dibangun atas dasar kebebasan bersosialisasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif”.

Menurut T. Gayus Lumbuun, dalam kepustakaan Hukum Administrasi Negara asas-asas umum pemerintahan yang baik telah disistematisasi oleh para ahli terkemuka dan dianut di beberapa negara, antara lain seperti di Belanda dikenal dengan “Algemene Beginselen van Behoorllijke Bestuur” (ABBB), di Inggris dikenal “The Principle of Natural Justice”, di Perancis dikenal “Les Principaux Generaux du Droit Coutumier Publique”, di Belgia dikenal “Aglemene Rechtsbeginselen”, di Jerman dikenal “Verfassung Sprinzipien” dan di Indonesia “Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik” (AUPB). Untuk mengenal asas-asas umum pemerintahan yang baik menurut pendapat ahli maupun yang berkembang di Peradilan Administrasi, akan diuraikan berikut ini:

  1. Menurut sistematisasi van Wijk/Konijnenbel yang dikutip oleh Indroharto dalam bukunya berjudul “Usaha memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara” tahun 1994, Asas-asas umum Pemerintahan yang Baik dikelompokkan:
  2. Asas-asas formal mengenai pembentukan keputusan yang meliputi Asas kecermatan formal dan Asas “fair play”.
  3. Asas-asas formal mengenai formulasi keputusan yang meliputi Asas Pertimbangan dan Asas kepastian Hukum formal.
  4. Asas-asas Meterial mengenai isi Keputusan yang meliputi Asas kepastian hukum material, Asas kepercayaan atau asas harapan-harapan yang telah ditimbulkan, Asas persamaan, Asas kecermatan material dan Asas keseimbangan.
  5. Di Belanda Asas-asas umum pemerintahan yang baik dipandang sebagai norma hukum tidak tertulis, namun harus ditaati oleh pemerintah, sehingga dalam Wet AROB (Administrative Rechtspraak Overheidsbeschikkingen) yaitu Ketetapan-ketetapan Pemerintahan dalam Hukum Administrasi oleh Kekuasaan Kehakiman “Tidak bertentangan dengan apa dalam kesadaran hukum umum merupakan asas-asas yang berlaku (hidup) tentang pemerintahan yang baik”. Hal itu dimaksudkan bahwa asas-asas itu sebagai asas-asas yang hidup, digali dan dikembangkan oleh hakim. Asas-asas umum pemerintahan yang baik, yang terkenal dan dirumuskan dalam Yurisprudensi AROB sebagai berikut:
  6. Asas pertimbangan (motiveringsbeginsel)
  7. Asas kecermatan (zorgvuldigheidsbeginsel)
  8. Asas kepastian hukum (rechtszekerheidsbeginsel)
  9. Asas kepercayaan (vertrouwensbeginsel of beginsel van opgewekte verwachtingen)
  10. Asas persamaan (gelijkheidsbeginsel)
  11. Asas keseimbangan (evenredigheidsbeginsel)
  12. Asas kewenangan (bevoegheidsbeginsel)
  13. Asas fair play (beginsel van fair play)
  14. Larangan “detournement de pouvoir” atau penyalahgunaan wewenang (het verbod detournement de pouvoir)
  15. Larangan bertindak sewenang-wenang (het verbod van willekeur).
  16. Di Perancis Asas-asas umum pemerintahan yang baik (Les Principaux Generaux du Droit Coutumier Publique) dirumuskan:
  17. Asas persamaan (egalite).
  18. Asas tidak boleh mencabut keputusan bermanfaat (intangibilite de effects individuels des actes administratifs). Dengan asas ini keputusan yang regelmatig (teratur/sesuai dengan peraturan) tidak boleh dicabut apabila akibat hukum yang bermanfaat telah terjadi.
  19. Asas larangan berlaku surut (principe de non retroactivite des actes administratifs).
  20. Asas jaminan masyarakat (garantie des libertes publiques).
  21. Asas keseimbangan (proportionnalite).
  22. Dalam kepustakaan Hukum Administrasi di Indonesia, Prof. Kuntjoro Purbopranoto dalam bukunya yang berjudul “Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Negara” menguraikan asas-asas umum pemerintahan yang baik dalam 13 asas, yaitu:
  23. Asas kepastian hukum (principle of legal security);
  24. Asas keseimbangan (principle of proportionality);
  25. Asas kesamaan (dalam pengambilan keputusan pangreh) – principle of equality;
  26. Asas bertindak cermat (principle of carefuleness);
  27. Asas motivasi untuk setiap keputusan pangreh (principle of motivation);
  28. Asas jangan mencampuradukkan kewenangan (principle of non misuse of competence);
  29. Asas permainan yang layak (principle of fair play);
  30. Asas keadilan atau kewajaran (principle of reasonableness or prohibition of arbitrariness);
  31. Asas menanggapi pengharapan yang wajar (principle of meeting raised expectation);
  32. Asas meniadakan akibat-akibat suatu keputusan yang batal (principle of undoing the consequences of an annulled decision);
  33. Asas perlindungan atas pandangan hidup (cara hidup) pribadi (principle of protecting the personal way of life);
  34. Asas kebijaksanaan (sapientia);
  35. Asas penyelenggaraan kepentingan umum (principle of public service).
  36. Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999, maka asas-asas umum pemerintahan yang baik di Indonesia diidentifikasikan dalam Pasal 3 dan Penjelasanya yang dirumuskan sebagai asas umum penyelenggaraan negara. Asas ini terdiri dari:
  37. Asas Kepastian Hukum;

Adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggara Negara.

  1. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara;

Adalah asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan negara.

  1. Asas Kepentingan Umum;

Adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif.

  1. Asas Keterbukaan;

Adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara.

  1. Asas Proporsionalitas;

Adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban Penyelenggara Negara.

  1. Asas Profesionalitas;

Adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

  1. Asas Akuntabilitas.

Adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Penyelenggara Negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Disamping itu, Pasal 5 Undang-undang Nomor 28 tahun 1999 dan Pasal 3 ayat (1) TAP MPR XI/MPR/1998 Tentang Penyelenggaraan Nagara Yang Bersih dan Bebas KKN menentukan untuk menghindari segala bentuk KKN, seseorang yang dipercaya menjabat suatu jabatan dalam penyelenggaraan negara harus bersumpah sesuai dengan agamanya dan harus mengumumkan dan bersedia diperiksa kekayaannya sebelum dan setelah menjabat, melaksanakan tugas tanpa membedakan suku, agama, ras dan golongan, melaksanakan tugas dengan penuh rasa tanggung jawab, tidak melakukan perbuatan tercela, melaksanakan tugas tanpa pamrih baik untuk kepentingan pribadi, keluarga, maupun kelompok dan tidak mengharapkan imbalan dalam bentuk apapun yang bertentangan dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku serta bersedia menjadi saksi dalam perkara KKN dan perkara lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik yang berlaku secara universal dibeberapa negara sebagai hukum tidak tertulis, di Indonesia dengan berlakunya Undang-undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN merumuskan asas-asas umum penyelenggaraan negara tersebut secara formal mengikat penyelenggara negara untuk dilaksanakan dalam tugas dan fungsinya.

BAB IV

PENUTUP

IV.1. Kesimpulan

  1. Pelaksanaan Good Governance di Daerah masih jauh dari prinsip-prinsip yang ada dalam Undang-Undang Pelayanan Publik
  2. Upaya untuk mencapai Pelayanan Prima didaerah dapat dilakukan baik oleh tingkatan internal pemerintah daerah atau eksternal daerah yang dapat melalui masyarakat yang ada di daerah

IV.2. Saran

  1. Diharapkan Good Governace pada pemerintahan daerah dapat diupayakan dan dioptimalisasikan, mengingat tujuan dari aparatur pemerintahan sebagai abdi masyarakat.
  2. Upaya pencapaian Good Governance pada pemerintahan daerah harus dioptimalisasikan, baik dari tingkatan internal aparatur pemerintahan, maupun dari eksternal pemerintahan.

DAFTAR PUSTAKA

Box, Richard C., 1998, Citizen Governance : Leading American Communities into the 21st Century, Sage Publications, London

Dahl, Robert A. 1998, On Democracy, Yale University Press, London

Darwin, Muhadjir, 2000, Akuntabilitas Pelayanan Publik, makalah disampaikan dalam Seminar Sehari FISIPOL UGM Yogyakarta

Darwin, Muhadjir, 2000, Good Governance dan Kebijakan Publik,  Makalah disampaikan dalam Forum Seminar Forum LSM Yogyakarta bertema : Mewujudkan Good Governance sebagai Agenda Sebuah Negara Demokrasi , tanggal 30 September 2000, Yogyakarta,

Frederickson, H. George, 1997, The Spirit of Public Administration, Jossey-Bass Publishers, San Francisco.

Frederickson, H. George, 2000, The Repositioning of American Public Administration, American Political Science Association, available at APSANET 18p.

Fukuyama, Francis, 1996, Trust : The Social Virtues and The Creation of Prosperity, Free Press Paperback Book, Simon  and Schuster, New York

Fukuyama, Francis, 1999, Social Capital and Civil Society, Paper for delivery at the IMF Conference on Second Generations Reforms, The Institute of Public Policy, George Mason University. Available at http//www.imf.com. 21 p.

Fukuyama, Francis, 1999, The Great Disruption : Human nature and the Reconstitution of Social Order, Free Press Paperback Book, Simon  and Schuster, New York

Hardin, Russell, 1997, Distrust, New York University, New York, 21 p.

Knack, Stephen, 2000, Social Capital and the Quality of Government : Evidence from the U.S. States, World Bank Paper, available at http://www1.worldbank. org/publicsector/

Kobrak, Peter, 1996, The Social Responsibilities of A Public Entrepreneur, dalam Administration and Society Vol. 28 No. 2 Ausgust 1996

Kooiman, Jan, 1993, Modern Governance : New Government-Society Interaction, Sage Publication, London

Levi, Margaret,  1999, When Good Defenses Make Good Neighbors : A Transaction Cost Approach to Trust and Distrust, Paper originally prepared for presentation at the 2nd Annual Meeting of the International Society for the New Institutional Economic (ISNIE), Paris September, 17-19, 1998 and at the Conference on Social Networks and Social capital, Duke University, October 30 November 1, 1998. Revised at January, 1999, Published by Department of Political Science,, University of Washington

Lynch, Thomas D. dan Cynthia E. Lynch, 2000, A Theory of  Soul, Lousiana State University Amerika, availabe on http://www.uwf.edu/whitcntr/clynch.htm.

Pierre, Jon and B. Guy Peters, 2000, Governance, Politics and The State, Macmillan Press Ltd, London

Rothstein, Bo, 1998, The Universal Welfare State as a Social Dilemma, Department of Political Science, University of Goteborg, Swedia. 16 p.

Rothstein, Bo, 1998, Trust, Social Dilemmas and Strategic Construction of Collective Memories, Department of Political Science, University of Goteborg, Swedia. 26

Seligman, Adam B., 1998, Between Public and Private : Towards a Sociology of Civil Society dalam Robert W. Hefner (eds), 1998, Democratic Civility : The History and Cross-Cultural Possibility of a Modern Political Ideal, Transaction Publishers, New Brunswick (USA).

Shah, Anwar, 1997, Balance, Accountability, and Responsiveness : Lessons about Decentralization, paper presented in the World Bank Conference on Evaluation and Development, April 1-2, 1997. Available at Ashah@WORLDBANK.ORG@INTERNET

Suhardono, Edy, 2000, Good Governance dan (versus) Demokrasi Liberal, makalah disampaikan dalam seminar (nasional) sehari bertema  “Mewujudkan Good Governance sebagai Agenda Sebuah negara Demokrasi”, Forum LS DIY

Thoha, Miftah, 2000, Peran Ilmu Administrasi Publik dalam Mewujudkan Tata Kepemerintahan yang Baik, Orasi Ilmiah, Disampaikan pada pembukaan Kuliah PPS UGM tahun Akademik 2000/2001, 4 September 2000

Continue Reading

PELAKSANAAN PROGRAM LEGISLASI DAERAH DI INDONESIA

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Permasalahan

Gelombang otonomi daerah yang mulai didengungkan setelah tumbangnya kekuasaan orde baru telah menghasilkan beberapa perubahan mendasar terhadap beberapa kewenangan baik yang berupa atribusi, delegasi maupun mandat kepada daerah, sehingga daerah mulai menggeliat untuk berupaya membangun daerahnya sesuai dengan potensi daerah yang ada, yang salah satu tujuannya adalah terciptanya iklim sosial politis, sosial ekonomi, sosial kultural dan kamtibnas yang sesuai dengan kearifan lokal daerah.[1]

Lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah merupakan awal eksistensi pemerintah daerah dalam membangun serta menciptakan pelayanan, peran serta masyarakat, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang pada akhirnya bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah yang lainnya.[2]

Terdapat beberapa isu utama yang dijadikan dasar arah kebijakan politik hukum pemerintahan daerah diarahkan untuk sebesar-besarnya untuk kepentingan dan kesejahteraan daerah lokal. Pertama adalah untuk meningkatkan kwalitas pelayanan bidang pemerintahan, kemasyarakatan dan pembangunan daerah, kedua ditujukan untuk memberdayakan peran serta masyarakat baik dalam proses pembentukan, maupun pelaksanaan kebijakan publik di daerah, ketiga untuk meningkatkan daya saing daerah guna tercapainya keunggulan lokal dan apabila dipupuk kekuatan lokal akan terwujud resultant keunggulan daya saing nasional.[3]

Secara umum dapat diurai tentang urusan yang menjadi urusan pemerintahan daerah. Pertama dalam bidang legislasi yakni atas prakarsa sendiri membuat Peraturan Daerah (Perda) dan Peraturan Kepala Daerah yang meliputi Perda Propinsi, Kabupaten/Kota, sedangkan Peraturan Kepala Daerah meliputi Peraturan Gubernur dan/atau Peraturan Bupati/Walikota, kedua masalah perimbangan keuangan antara pusat dan daerah merupakan suatu sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis, transparan dan bertanggung jawab dalam rangka pendanaan penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan, dan ketiga dalam perencanaan APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang ditetapkan dengan peraturan daerah. Dengan demikian dapat dikatakan betapa luasnya cakupan urusan yang menjadi prioritas daerah.[4]

            Terdapat beberapa permasalahan terutama berkaitan dengan kewenangan pemerintah daerah dalam program legislasi daerah atau pembentukan Peraturan Daerah (Perda). Permasalahan-permasalahan terutama berkaitan dengan proses pengajuan, perencanaan, persiapan pembentukan, pembahasan, pengesahan maupun dalam pelaksanaan Peraturan Daerah (Perda). Kerancuan yang ada bukan hanya dipicu oleh peraturan perundang-undangan yang kurang memberikan pengertian dan respon bagi legislator di daerah, akan tetapi juga dipicu oleh kurangnya pemahaman legislator daerah dalam mengartikan perundang-undangan atau bahkan mempolitisasi makna/arti ketentuan perundang-undangan yang ada, disamping karena memang kurangnya pengetahuan tentang teknik pembentukan peraturan perundang-undangan.

Peraturan Daerah (Perda) merupakan produk perundang-undangan daerah yang dibentuk oleh legislatif maupun ekskutif daerah yang bertujuan mengatur hal-hal yang perlu atau belum diatur dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 memberikan pemaparan tentang jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan, yang mana perda merupakan produk hukum (regeling)[5] yang urutannya berada paling bawah. Adapun perda yang dimaksud dapat dibuat oleh DPRD Propinsi bersama dengan Gubernur, DPRD Kabupaten/Kota bersama dengan Bupati/Wali Kota.

Dalam Undang-Undang 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah disebutkan bahwa leading sector (pengajuan) Perda terdapat dua pintu, pintu yang pertama dapat berasal dari legislatif daerah (DPRD) sebagai pemegang kedaulatan sebenarnya dalam membentuk peraturan daerah, sedangkan pintu kedua dapat berasal dari ekskutif daerah (Bupati/Walikota), namun apabila pada saat sidang antara DPRD dan Bupati/Walikota menyampaikan rancangan perda dengan materi yang sama, maka yang dibahas adalah rancangan Perda yang bersal dari DPRD, sedangkan rancangan Perda yang berasal dari Bupati/Walikota digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan.

Dalam hal pengajuan, perencanaan, persiapan pembentukan, pembahasan, pengesahan Peraturan Daerah (Perda) seringkali terdapat dominasi kepentingan yang saling menguntungkan para pihak. Tidak jarang politik justru lebih dominan daripada hukum.[6] Lebih parah dari itu adalah adanya dominasi kekuatan yang dimiliki baik dari ekskutif maupun dari legislatif sendiri sebagai pemegang kedaulatan pembentukan peraturan daerah yang sebenarnya. Sehingga apabila oleh kekuatan yang ada dirasa tidak layak atau tidak pantas secara pribadi/subjektif ataupun kelompok, maka sudah barang tentu kebijakan publik yang akan dikeluarkan akan terhambat atau malah tidak jadi.

Permasalahan tidak hanya terjadi pada saat pengajuan, perencanaan, persiapan pembentukan, pembahasan, pengesahan Peraturan Daerah (Perda), namun juga lembaga yang berwenang membatalkan peraturan daerah. Menurut Undang-Undang 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah yakni agar berlaku mengikat untuk umum, rancangan Perda yang telah mendapatkan persetujuan bersama, harus diajukan kepada Menteri dalam Negeri untuk dinilai sebagai mana mestinya. Dilain pihak Mahkamah Agung juga berhak menguji peraturan perundang-undangan terhadap Undang-Undang, disini terdapat dualisme lembaga yang dapat menguji, namun perlu dipahami bahwa pembatalan perda oleh Pemerintah pusat melalui peraturan presiden, dan apabila propinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan perda, kepala daerah dapat mengajukan keberatan terhadap Mahkamah Agung, itu berarti MA bukanlah menguji Perda, akan tetapi menguji Peraturan Presiden.

Kabupaten Bangkalan yang juga merupakan bagian teritorial Indonesia tentunya juga terdapat beberapa permasalahan baik yang terjadi pada saat pengajuan, perencanaan, persiapan pembentukan, pembahasan, pengesahan Peraturan Daerah (Perda) maupun pada saat diajukan kepada Menteri dalam Negeri untuk dilakukan proses penilaian. Tentunya permasalahan itu dapat berasal dari dalam maupun luar institusi lembaga pemerintahan daerah, baik yang berasal dari ekskutif daerah, maupun legslatif daerah ataupun dari masyarakat daerah dan pihak yang bersinggungan langsung ataupun tidak. Namun yang pasti tentunya permasalahan-permasalahan yang ada akan mengganggu proses berjalannya pemerintahan yang ada di Kabupaten Bangkalan, dan pada akhirnya masyarakatlah yang akan dirugikan.

Berdasarkan sedikit pemaparan diatas, maka penulis tertarik untuk meneliti kondisi objektif pelaksanaan program legislasi daerah di Kabupaten Bangkalan melalui dua metode, metode pertama adalah berusaha memahami tentang ketentuan-ketentuan maupun tata cara pembentukan peraturan daerah sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah juncto Undang-Undang nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, sedangkan metode kedua dengan melakukan magang di instansi terkait sekaligus terjun langsung serta berusaha mencari data-data valid sebagai bahan pembanding dengan ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan apakah sudah sesuai atau belum.

 

1.2. Rumusan Permasalahan

Berdasarkan latar belakang belakang tersebut diatas, maka terdapat 2 (dua) rumusan permasalahan yang menjadi fokus kajian, yakni :

  1. Bagaimana tata cara dan alur pembentukan Peraturan Daerah Di Kabupaten Bangkalan?
  1. Bagaimana tata cara atau proses pembentukan Peraturan Daerah yang baik?

1.3. Tujuan

Adapun yang menjadi tujuan dalam program magang ini, sesuai permasalahan diatas diantaranya :

  1. Untuk mengkaji dan mengetahui tata cara dan alur pembentukan Peraturan Daerah di Kabupaten Bangkalan
  2. Untuk mengetahui tata cara atau proses pembentukan Peraturan Daerah yang baik sehingga dapat diterapkan pada pemerintah Daerah di Kabupaten Bnagkalan.

1.4. Kegunaan

Adapun yang menjadi kegunaan dalam program magang ini diantaranya:

  1. Secara teoritis dapat mengetahui dan mendalami bidang kajian Ilmu Hukum Hukum Tata Negara terutama yang berkaitan dengan Ilmu Perundang-Undangan dan Hukum Pemerintahan daerah.
  2. Secara praktis dapat mengetahui serta dapat dijadikan masukan bagi para pihak yang bersinggungan langsung dalam pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten Bangkalan pada khususnya dan Indonesia pada umumnya.

1.5 Data dan Fakta

            Mengenai susunan organisasi dan tata kerja sekretariat daerah kabupaten Bangkalan diatur dalam peraturan daerah kabupaten Bangkalan nomor 23 tahun 2000. Susunan organisasi sekretariat daerah, terdiri dari :

  1. Sekretriat daerah
  2. Asisten, terdiri dari :

1        Asisten tata praja

2        Asisten ekonomi dan pembangunan

3        Asisten administrasi

  1. Kelompok jabatan fungsional

Asisten tata praja sebagaimana dimaksud membawahi :

  1. Bagian tata pemerintahan, terdiri dari:

1        Sub bagian tata pemerintahan umum

2        Sub bagian otonomi daerah

3        Sub bagian perangkat daerah

4        Sub bagian perangkat dan administrasi desa

5        Sub bagian pendapatan dan kekayaan desa

  1. Bagian hukum, terdiri dari:

1      Sub bagian peraturan perundang-undangan

2      Sub bagian bantuan hukum

3      Sub bagian dokumentasi hukum

  1. Bagian organisasi, terdiri dari:

1        Sub bagian kelembagaan

2        Sub bagian ketatalaksanaan

3        Sub bagian analisis dan formasi jabatan

Asisten ekonomi dan pembangunan sebagaimana dimaksud membawahi:

  1. Bagian perekonomian, terdiri dari :

1        Sub bagian sarana perekonomian

2        Sub bagian peningkatan kegiatan perekonomian

3        Sub bagian pengendalian kegiatan perekonomian

4        Sub bagian pembangunan

  1. Bagian sosial, terdiri dari:

1        Sub bagian kesejahteraan

2        Sub bagian kerukunan umat beragam

3        Sub bagian pemuda dan olahraga

4        Sub bagian pemberdayaan perempuan

  1. Bagian inventaris kekayaan milik daerah (IKMD) terdiri dari:

1        Sub bagian analisa kebutuhan

2        Sub bagian pengadaan

3        Sub bagian penyimpanan dan distribusi

Asisten administrasi sebagaimana dimaksud membawahi:

  1. Bagian kepegawaian, terdiri dari :

1        Sub bagian umum

2        Sub bagian mutasi I

3        Sub bagian mutasi II

4        Sub bagian pengembangan pegawai

5        Sub bagian pendidikan dan latihan pegawai

  1. Bagian keuangan, terdiri dari:

1        Sub bagian anggaran

2        Sub bagian pembukuan

3        Sub bagian perbendaharaan

4        Sub bagian verifikasi

  1. Bagian umum terdiri dari:

1        Sub bagian tata usaha sekretariat daerah

2        Sub bagian rumah tangga

3        Sub bagian humas dan protokol

4        Sub bagian sandi dan telekomunikasi

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Teori Otonomi Daerah

Penyelenggaraan pemerintahan daerah melalui sistem desentralisasi yang berinti pokok atau bertumpu pada otonomi sangat mutlak diperlukan dalam negara demokrasi. Otonomi tidak hanya dapat diartikan sebagai pemencaran wewenang (spreding van bevoegdheid), tetapi mengandung juga pembagian kekuasaan (scheiding van machten) unutk mengatur susunan pemerintahan antara pemerintah pusat dan daerah. Hal itu disebabkan desentralisasi senantiasa berkaitan dengan status mandiri atau otonom sehingga setiap pembicaraan mengenai desentralisasi akan selalu dipersamakan atau dengan sendirinya berarti membicarakan otonomi.[7]

Desentralisasi merupakan pengotomian yakni proses pemberian otonomi kepada masyarakat dalam wilayah tertentu. Kaitan desentaralisasi dan otonomi daerah seperti itu terlukis dalam pernyataan Genald Maryanov, yang mengatakan desentralisasi dan otonomi daerah merupakan dua sisi mata uang.[8]

Istilah otonomi atau “autonomy” secara etimologis berasal dari kata Yunani “autos” yang berarti sendiri dan “nomous” yang berarti hukum dan peraturan. Menurut encyclopedia of social science, bahwa otonomi dalam pengertian orisinil adalah the legal self sufficiency of social body and its actual independence. Dalam kaitan dengan dengan politik dan pemerintahan, otonomi daerah berarti self government atau condition of living under one’s own laws. Dengan demikian otonomi daerah yang memiliki  legal self sufficiency yang bersifat self government yang diatur dan diurus oleh own laws.

Dalam literatur Belanda otonomi berarti pemerintahan sendiri (zelfregering) yang oleh Van Vollenhoven dibagi atas zelfwetgwving (membuat undang-undang sendiri), zelfrechtspraak (mengadili sendiri), dan zelfpolitie (menindaki sendiri).[9]

Istilah otonomi mempunyai makna kebebasan atau kemandirian (zelfstandingheid) tetapi bukan kemerdekaan (onafhankelijkheid). Kebebasan yang terbatas atau kemandirian itu adalah wujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggung jawabkan. Dalam pemberian tanggung jawab terkandung dua unsur yaitu:[10]

  1. pemberian tugas dalam arti sejumlah pekerjaan yang harus diselesaikan serta kewenangan untuk melaksanakannya
  2. pemberian kepercayaan berupa kewenagan untuk memikirkan dan menetapkan sendiri bagaimana menyelesaikan tugas itu.

Pada bagian lain Bagir Manan[11] menyatakna otonomi adalah kebebasan dan kemandirian (vrijheid dan zelfsatndigheid) satuan pemerintahan lebih rendah untuk mengatur da mengurus sebagian urusan pemerintahan. Urusan pemerintahan yang boleh diatur dan diurus secara bebas dan mandiri itu menjadi atau merupakan urusan rumah tangga satuan pemerintahan yang lebih rendah tersebut. Kebebasan dan kemandirian merupakan hakikat isi otonomi.

Sementara Bhenyamin Hoessein[12] mengartikan otonomi hampir paralel dengan pengertian “demokrasi”, yaitu pemerintahan oleh, dari, dan untuk rakyat di bagian wilayah nasional suatu negara melalui lembaga-lembaga pemerintahan yang secara formal berada diluar pemerintah pusat. Bahkan otonomi dapat diberi arti luas atau dalam arti sempit. Dalam arti luas, otonomi mencakup pula tugas pembantuan (medebehind, coadministration), sebab baik otonomi maupun tugas pembantuan sama-sama mengandung kebebasan dan kemandirian. Pada otonomi, kebebasan dan kemandirian hanya terbatas pada cara menjalankannya.[13]

Apabila otonomi diartikan sebagai segala tugas yang ada pada daerah atau dengan kata lain apa yang harus dikerjakan oleh pemerintah daerah, di dalamnya melekat kewenangan yang meliputi kekuasaan (macht, bevoegdheiden), hak (rech), atau kewajiban (plicht) yang diberikan kepada daerah dalam menjalankan tugasnya.

Secara teoritik dan praktik dijumpai lima jenis sistem otonomi atau sistem rumah tangga yaitu:[14]

  1. Otonomi organik (rumah tangga organik)
  2. Otonomi formal (rumah tangga formal)
  3. Otonomi Material (rumah tangga materiil/subtantif)
  4. Otonomi riil (rumah tangga riil)
  5. Otonomi nyata, bertanggung jawab dan dinamis.

2.2. Teori Hierarki Norma Hukum

Teori perundang-undangan (gezetsgebungstheori)[15] pada dasarnya merupakan bagian dari ilmu pengetahuan perundang-undangan (gezetsgebugswissenschaft)[16] yang berupaya mencari kejelasan makna atau pengertian-pengertian hukum dan peraturan perundang-undangan.

Pelopor norma hukum adalah Hans Kelsenyang mengemukakan teorinya mengenai jenjang norma hukum (stufentheorie), dimana ia berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif, yaitu norma dasar (Grundnorm).[17]

Dalam teori perundang-undangan (gesetsgebungstheori) yang dipelopori oleh Hans Kelsen dan selanjutnya ditambahkan oleh Hans Nawiasky yang dikenal dengan theori von stfennaufbau de rechtsordnung[18] menyatakan bahwa norma Hukum dari suatu Negara itu selain berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang tetapi bahwa norma Hukum itu juga berkelompok-kelompok. Hans Nawiasky mengelompokkan norma-norma Hukum dalam suatu Negara itu menjadi empat kelompok besar yang terdiri atas : [19]

Kelompok I                 : Staatsfundamentalnorm (Norma fundamental Negara)

Kelompok II               : Staatgrundgesetz ( Aturan dasar/pokok Negara)

Kelompok III              : Formell Gesetz ( Undang-undang)

Kelompok IV            : Verordnung dan Autonome Satzung (aturan pelaksana dan aturan otonom).

            Staatsfundamentalnorm merupakan norma yang bersifat fundamental (tertinggi), artinya adalah norma yang tidak dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi, tetapi juga bersifat pre-supposed atau ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat dalam suatu negara dan merupakan suatu norma yang menjadi tempat bergantungnya norma hukum di bawahnya.

Staatgrundgesetz merupakan aturan yang masih bersifat pokok dan merupakan aturan-aturan umum yang bersifat garis besar, sehingga masih merupakan norma tunggal yang masih belum diikuti oleh norma skunder.

Formell Gesetz merupakan turunan dari Staatgrundgesetz dikatakan demikian karena Formell Gesetz bukan merupakan norma tunggal lagi, karena telah diikuti norma skunder didalamnya. Norma-norma skunder itu dapat berupa sanksi, baik sanksi pidana, perdata maupun administrasi.

Verordnung dan Autonome Satzung memiliki sifat atau kewenangan yang berbeda dalam pembentukannya, Verordnung bersumber dari kewenangan delegasi, yaitu pelimpahan kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. Berlainan dengan Autonome Satzung yang memiliki sifat atau kewenanngan atribusi, yaitu pemberian kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan yang diberukan oleh Groundwet (UUD) atau Wet (UU) kepada suatu lembaga negara atau pemerintahan.

            Berdasarkan teori penggolongan norma hukum diatas, maka akan memunculkan beberapa prinsip hukum yang oleh  Amieroedin Sjarif  sebagai berikut:[20]

  1. Perundang-undangan yang lebih rendah derajatnya tidak dapat mengubah atau mengenyampingkan ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi tetapi yang sebaliknya dapat.
  2. Perundang-undangan hanya dapat dicabut, diubah atau ditambah oleh atau dengan Perundang-undangan yang sederajat atau lebih tinggi tingkatannya
  3. Ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak mengikat apabila bertentangan dengan Perundang-undangan yang lebih tinggi tetap berlaku dan mempunyai kekuatan hukum serta mengikat walaupun diubah dan ditambah, diaganti atau dicabut oleh Perundang-undangan yang lebih rendah
  4. Materi yang seharusnya diatur oleh Perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya tidak dapat diatur oleh Perundang-undangan yang lebih rendah.

Dari penjelasan diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa norma yang lebih tinggi dalam hal ini adalah Staatsfundamentalnorm akan selalu diikuti oleh norma-norma dibawahnya, diantaranya Staatgrundgesetz, Formell Gesetz, Verordnung dan Autonome Satzung, Sehingga norma-norma yang ada di bawahnya tidak boleh bertentangan dengan norma di atasnya. Dimana prinsip itu akan mengarah pada asas-asas hukum seperti lex specialist derogat legi generalis, lex post teori derogat legi priori.

2.3. Landasan dan Asas-Asas Peraturan Perundang-Undangan

Paling tidak peraturan perundang-undangan yang baik sekurang-kurangnya harus memiliki tiga landasan, yakni landasan filosofis (filosofische grondslag), landasan sosiologis (sosiologische grondslag), dan landasan yuridis (juridische grondslag ).[21] Adapun mengenai pengertian dari masing-masing landasan diantaranya:

  1. Landasan filosofis (filosofische grondslag) merupakan landasan dan dasar yang berisi nilai-nilai yang baik dan yang tidak baik. Nilai yang baik adalah pandangan dan cita-cita yang dijunjung tinggi. Moral dan etika pada dasarnya berisi nilai-nilai yang baik dan yang tidak baik. Intinya hukum yang dibentuk harus mengandung nilai-nilai kebenaran, keadilan, keksusilaan, dan berbagai nilai lainnya yang dinaggap baik.
  2. Landasan sosiologis (sosiologische grondslag), suatu peraturan perundang-undangan dikatakan mempunyai landasan sosiologis apabila ketentuan-ketentuannya sesuai dengan kenyataan umum atau kesadaran hukum masyarakat. Hal ini penting agar perundang-undangan yang dibuat ditaati oleh masyarakat, tidak menjadi huruf-huruf mati belaka.[22]
  3. Landasan yuridis (juridische grondslag ) adalah landasan hukum (yudische gelding) yang menjadi dasar kewenangan (belvoegdheid, competentie) pembuatan peraturan perundang-undangan. Apakah kewenangan seorang pejabat atau badan mempunyai dasar hukum yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan atau tidak.

Sedangkan asas-asas peraturan perundang-undangan Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto memperkenalkan enam asas perundang-undangan:[23]

  1. Undang-Undang tidak berlaku surut
  2. Undang-Undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi, mempunyai kedudukan hukum yang lebih tinggi pula
  3. Undang-Undang yang bersifat khusus mengesampingkan Undang-Undang yang bersifat umum (lex specialis derogate lex generali)
  4. Undang-Undang yang berlaku belakangan membatalkan Undang-Undang yang berlaku terdahulu (lex posteori derogate lex priori)
  5. Undang-Undang tidak dapat diganggu gugat
  6. Undang-Undang sebagai sarana untuk mencapai kesejahteraan spiritual dan material bagi masyarakat maupun individu, melalui pembaharuan atau pelestarian (asas welfaarstaat)

Dalam kaitan ini Amiroedin Syarif menetapkan adanya lima asas perundang-undangan:[24]

  1. Asas tingkatan hirarki
  2. Undang-Undang tak dapat diganggu gugat
  3. Undang-Undang yang bersifat khusus menyampingkan Undang-Undang yang bersifat umum (lex specialis derogate lex generalis)
  4. Undang-Undang tidak berlaku surut
  5. Undang-Undang yag baru mengesampingkan Undang-Undang yang lama (lex posteori derogate lex priori)

BAB III

PEMBAHASAN

3.1. Pembentukan Peraturan Daerah Menurut UU No. 32 Tahun 2004

Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peranserta masyarakat.[25]

Disamping itu melalui otonomi luas, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan, serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peranserta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam melaksanakan tugas, wewenang, kewajiban dan tanggung jawabnya, serta atas kuasa peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat menetapkan kebijakan daerah yang dirumuskan antara lain dalam peraturan daerah, peraturan kepala daerah. Kebijakan daerah dimaksud tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum serta peraturan daerah lain.[26]

Namun dalam perjalanannya, banyak pemerintahan daerah yang kebablasan dalam menggunakan kewenangan yang diamanatkan oleh semangat otonomi daerah. Rakyat menilai bahwa kwalitas kebijakan publik dan kinerja DPRD dan Pemerintah Daerah sebagai Stakeholder utama dalam penyelenggaraan tata pemerintahan (governance) di daerah seringkali menunjukkan hasil sebagai berikut:

  1. Peraturan Daerah belum berorientasi pada masalah utama yang diharapkan masyarakat seperti peningkatan pelayanan kesehatan, pendidikan dan penanggulangan kemiskinan. Sebagai contoh sederhana menurut Pasal 28 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak bahwa pembuatan akta kelahiran yang menjadi tanggung jawab pemerintah harus diberikan paling lambat 30 hari terhitung sejak tanggal pengajuan permohonan dan tidak dikenai biaya. Sampai sekarang masih kurang dari 5 (lima) Peraturan Daerah yang membebaskan biaya pembuatan akta kelahiran.
  2. Dalam penetapan kebijakan publik, unsur-unsur masyarakat belum maksimal dilibatkan.
  3. Dalam menetapkan kebijakan publik, terkadang malah bertentangan dengan kehendak masyarakat.
  4. Adanya Peraturan daerah yang memihak ”pihak-pihak lain” selain masyarakat sehingga merugikan masyarakat.

Berdasarkan pengalaman empirik pemerintahan daerah yang lalu dengan telah dibentuknya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah diharapkan akan lebih mengaktualisasikan peran dan fungsi legislasi peraturan daerah lebih baik sesuai dengan prinsip-prinsip peraturan perundang-undangan.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 ini sendiri dibentuk dalam rangka:[27]

  1. Untuk mendukung salah satu syarat dalam rangka pembangunan hukum nasional yakni adanya cara dan metode yang pasti, baku dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan.
  2. Untuk lebih meningkatkan koordinasi dan kelancaran proses pembentukan peraturan perundang-undangan.
  3. Mengganti ketentuan yang berkaitan dengan pembentukan peraturan perundang undangan termasuk tehnik penyusunannya yang ada selama ini, yang diatur secara tumpang tindih baik peraturan yang berasal dari masa kolonial maupun yang dibuat setelah Indonesia merdeka agar sesuai dengan perkembangan hukum ketatanegaraan Republik Indonesia, pasca amandemen Undang-Undang Dasar 1945.

Dengan adanya Undang-Undang ini telah ada landasan yuridis dalam membentuk peraturan perundang-undangan baik dari tingkat pusat maupun daerah, sekaligus telah ada aturan secara lengkap dan terpadu baik mengenai sistem, asas. jenis dan materi muatan peraturan perundang-undangan, persiapan, pembahasan dan pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan maupun partisipasi masyarakat.

Telah berlakunya Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ini berarti telah ada metode yang pasti, baku dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang baik di pusat maupun di daerah dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Hal ini akan mendukung pembentukan peraturan perundang-undangan yang ideal.

Metoda yang pasti, baku dan standar ini bukanlah sesuatu yang statis, karena pekerjaan perancangan peraturan perundang-undangan bukanlah “tukang” tapi “seni”, maka diperlukan kreatifitas, kualitas, pengalaman dan ketekunan.

Pengertian Peraturan Daerah menurut Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah Peratuuran Perundang-undangan yang dibentuk oleh dewan perwakilan rakyat daerah dengan persetujuan bersama kepala daerah.

Mengenai hierarki peraturan daerah dalam Peraturan Perundang-undangan dapat dilihat dalam Pasal 7 ayat (1) :

  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
  3. Peraturan Pemerintah.
  4. Peraturan Presiden.
  5. Peraturan Daerah.

Peraturan Daerah meliputi :

  1. Peraturan Daerah Provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama dengan gubernur.
  2. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota.
  3. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.

Sebagai suatu manajemen proses pembentukan peraturan daerah dilakukan dengan:

  1. Perencanaan

Perencanaan penyusunan Peraturan Daerah dilakukan dalam suatu Program Legislasi Daerah. Ketentuan Pasal 15 ayat (2) UUP3 mengenai Program Legislasi Daerah merupakan landasan yuridis bagi dibentuknya mekanisme koordinasi baik antara instansi di lingkungan Pemerintah Daerah dalam penyusunan Peraturan Daerah maupun antara Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Khusus untuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pentingnya kedudukan alat perlengkapan Dewan seperti Badan Legislasi DPRD sangat penting, karena badan inilah yang diharapkan dapat menampung aspirasi baik yang berasal dari komisi-komisi, fraksi-fraksi, maupun dari masyarakat berkaitan dengan masalah peraturan daerah.[28]

2.Persiapan pembentukan Perda

Rancangan peraturan daerah dapat berasal dari dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/DPRDKota) atau berasal dari gubernur atau bupati/walikota, masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten atau kota. Rancangan peraturan daerah yang berasal dari inisiatif DPRD dapat disampaikan oleh anggota, komisi, gabungan komisi atau alat kelengkapan dewan perwakilan rakyat daerah yang khusus menangani bidang legislasi. Selanjutnya Raperda inisiatif DPRD ini disampaikan oleh pimpinan dewan perwakilan rakyat daerah kepada gubernur atau bupati/walikota. Agar rancangan peraturan daerah diketahui oleh khalayak ramai dan masyarakat dapat memberikan masukan sehubungan dengan ketentuan Pasal 139 ayat (1) Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah bahwa masyarakat berhak memberikan masukan lisan atau tulisan dalam rangka penyiapan atau pembahasan Raperda, maka rancangan peraturan daerah yang berasal dari DPRD harus disebarluaskan yang pelaksanaannya dilakukan oleh sekretariat dewan perwakilan rakyat daerah. Salah satu wujud nyata berupa peran DPRD dalam melaksanakan fungsi legislasi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 140 ayat (2) Undang-Undang tentang Peraturan Daerah bahwa apabila dalam satu masa sidang, gubernur atau bupati/walikota dan DPRD menyampaikan Raperda mengenai materi yang sama, maka yang dibahas adalah Raperda yang disampaikan oleh DPRD, sedangkan Raperda yang disampaikan oleh gubernur atau bupati/walikota digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan.

  1. Pembahasan Raperda di DPRD

Pembahasan Raperda di DPRD dilakukan oleh DPRD bersama gubernur atau bupati/walikota. Dalam pembahasan ini gubernur atau bupati/walikota dapat diwakilkan, kecuali dalam pengajuan dan pengambilan keputusan. Pembahasan bersama tersebut dilakukan melalui tingkat-tingkat pembicaraan yang dilakukan dalam rapat komisi/panitia/alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang legislasi dan rapat paripurna. Pada tahap pembahasan ini apabila DPRD atau gubernur atau bupati/walikota akan menarik kembali Raperda yang diajukan, maka harus berdasarkan persetujuan bersama DPRD dan gubernur atau bupati/walikota.

  1. Penetapan

Berbeda dengan RUU yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden, disampaikan oleh pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi Undang-Undang, Raperda yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan gubernur atau bupati/walikota disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada gubernur atau bupati/walikota untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah. Penyampaian Raperda tersebut dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama. Agar segera ada kepastian hukum, penetapan Raperda oleh gubernur atau bupati/walikota ditentukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak Raperda disetujui bersama oleh DPRD dan gubernur atau bupati/walikota. Berdasarkan ketentuan Pasal 43 ayat (2) UUP3 dan Pasal 144 ayat (3) Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, apabila Raperda tidak ditandatangani oleh gubernur atau bupati/walikota dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak Raperda disetujui bersama maka Raperda tersebut sah menjadi Peraturan Daerah dan wajib diundangkan dengan memuatnya dalam Lembaran Daerah.

  1. Pengundangan dan Penyebarluasan

Peraturan Daerah yang telah ditetapkan oleh Kepala Daerah agar memiliki kekuatan hukum dan mengikat masyarakat harus diundangkan dalam Lembaran Daerah yang pelaksanaannya dilakukan oleh Sekretaris Daerah.[29] Dengan diundangkannya Peraturan Daerah dalam lembaran resmi (Lembaran Daerah) maka setiap orang dianggap telah mengetahui. Fiksi hukum[30] yang mengatakan bahwa dengan telah diundangkannya peraturan daerah dalam Lembaran Daerah maka setiap orang dianggap telah mengetahui hukum bagi Indonesia yang secara fakta geografis terdiri dari 17.000 pulau lebih dalam satu wilayah yang sangat luas perlu ada upaya penyebarluasan. Pasal 52 UUP3 dan Pasal 147 ayat (3) Rancangan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah menyatakan Pemerintah Daerah wajib menyebarluaskan Peraturan Daerah yang telah diundangkan dalam Lembaran Daerah. Penyebarluasan tersebut dimaksudkan agar khalayak ramai mengetahui isi serta maksud yang terkandung dalam Peraturan Daerah. Penyebarluasan dilakukan melalui media elektronik seperti TVRI, RRI, stasiun daerah, atau media cetak di daerah yang bersangkutan.

Terkait dengan pembentukan peraturan daerah yang baik termasuk tehnik penyusunannya berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.04-PR.07.10 Tahun 2004 tanggal 8 Juni 2004 di lingkungan Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Repubulik Indonesia telah dibentuk Direktorat Fasilitasi Perancangan Peraturan Daerah. Tugas dari Direktorat Fasilitasi Perancangan Peraturan Daerah adalah melaksanakan sebagian tugas Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan standarisasi teknis di bidang peraturan perundang-undangan di bidang fasilitasi perancangan peraturan daerah.

Dengan adanya pengetahuan kita mengenai idealnya suatu Peraturan Daerah ini, bagi masyarakat tentunya akan dapat lebih menilai apakah suatu prodak hukum berupa Peraturan Daerah yang telah diberlakukan maupun yang akan diberlakukan didaerah kita sudah sesuai dengan prosedur-prosedur yang semestinya. Dan bagi Pemerintah Daerah maupun DPRD diharapkan akan selalu ingat bahwa masyarakat kita tak ”sebodoh” seperti yang Pemerintah Daerah maupun DPRD fikirkan, alangkah sangat bijaknya jika hal ini dijadikan acuan dalam pembuatan Peraturan Daerah yang sesuai dengan semestinya dan tentunya harus mengaktualisasi kepentingan-kepentingan masyarakat serta selalu berpihak kepada masyarakat.

3.2. Pelaksanaan Program Legislasi Daerah di Kabupaten Bangkalan

            Sebagai Kabupaten yang berada paling barat di wilayah teritorial Madura tentunya Kabupaten Bangkalan memiliki potensi ekonomi dan potensi-potensi alam lainnya yang perlu diatur dalam suatu peraturan daerah. Begitu juga ditopang dengan adanya semangat otonomi daerah yang secara langsung mewajibkan kabupaten Bangkalan mengurus sendiri urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, sehingga dalam perjalanannya perlu suatu produk hukum dalam menjalankan aktivitas pemerintahan kesehariannya.

Dari data yang kami dapat dari bagian hukum pemerintah daerah Kabupaten Bangkalan produk hukum daerah dari tahun 2003-2007 adalah sebagai berikut :[31]

TAHUN PERDA KEP. BUPATI

PERATURAN

KEP. BUPATI

PENETAPAN

INSTRUKSI
2003 18 32 625 3
2004 17 39 681 3
2005 13 55 835 5
2006 9 42 983 2
2007 18 42 680 1

Alangkah lebih baiknya apabila dalam pembahasan tentang proses pembentukan perda di Kabupaten Bangkalan dibahas secara rinci berdasarkan mekanisme pembentukan yang terdapat dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 juncto Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 seperti yang telah terurai dalam pembahasan sebelumnya.

  1. Perencanaan Perda di Kabupaten Bangkalan

Pada tahap perencanaan pembentukan peraturan daerah di Kabupaten Bangkalan pada sebelum tahun 2006 tidak dikenal dengan adanya PROLEGDA (Program Legislasi Daerah) yang merupakan susunan rencana perda yang akan di bentuk atau dibahas nantinya, yang disusun berdasarkan tingkat kebutuhan maupun koordinasi dari instansi-instansi maupun perda yang merupakan amanat dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Namun setelah memasuki tahun 2006 di bentuklah PROLEGDA (Program Legislasi Daerah) yang merupakan agenda peraturan daerah yang akan dibentuk tentunya berdasarkan koordinasi antara instansi maupun antara ekskutif dan DPRD yang merupakan kebutuhan pokok masyarakat atau merupakan peraturan daerah yang harus di buat atas dasar perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

PROLEGDA (Program Legislasi Daerah) disusun pada akhir tahun yang kemudian mulai dilaksanakan pada awal tahun sampai akhir tahun berakhir, setelah itu dibentuklah lagi PROLEGDA (Program Legislasi Daerah), begitulah seterusnya. Terkecuali perda-perda yang mendesak harus dibentuk tanpa melalui proses PROLEGDA (Program Legislasi Daerah), biasanya perda-perda yang demikian merupakan perda yang segera dibentuk atas dasar peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang baru disahkan dan membutuhkan peraturan pelaksana maupun harus dijelaskan lebih terperinci lagi melalui perda.

2.Persiapan pembentukan Perda di Kabupaten Bangkalan

Dalam sejarah pembentukan peraturan daerah di Kabupaten Bangkalan hanya terdapat 1 (satu) kali dalam hal ini legislatif daerah (DPRD) kabupaten Bangkalan mengajukan rancangan peraturan daerah yakni Perda tentang “Partisipasi Publik”, itupun merupakan desakan dari beberapa koalisi lembaga swadaya masyarakat (LSM)  yang ada Bangkalan.

Dalam wawancara yang dilakukan dengan salah satu pegawai/staf bagian hukum beliau mengatakan bahwa hak inisiatif yang dilakukan DPRD Kabupaten Bangkalan belum optimal, terbukti dalam perjalanannya belum pernah DPRD Kabupaten Bangkalan melakukan inisiatifnya dalam hal mengajukan draf rancangan peraaturan daerah, kecuali pada akhir bulan september 2007 DPRD Kabupaten Bangkalan menggunakan hak inisiatifnya untuk mengajukan rancangan perda.

  1. Pembahasan Raperda di DPRD Kabupaten Bangkalan

Dalam pembahasan Raperda di DPRD Kabupaten Bangkalan peran Bupati sangat begitu dominant, dapat dikatakan DPRD Kabupaten Bangkalan tidak mampu melawan segala bentuk yang menjadi jawaban Bupati Bangkalan, contoh kecilnya dalam pembahasan draf raperda tentang “Partisipasi Publik” yang mana pada saat itu perda tersebut telah menjadi rencana yang tertuang dalam PROLEGDA (Program Legislasi Daerah), dan sebagian besar pada saat itu DPRD Kabupaten Bangkalan menyatakan setuju dengan perda Partisipasi tersebut, namun atas dasar beberapa alasan Bupati melalui nota penjelasannya yang menyatakan tidak sepakat dengan adanya perda tersebut, maka secara otomatis perda tersebut kandas dan tidak di bahas kembali.

Peran Bupati dalam pembentukan peraturan daerah di Kabupaten Bangkalan sangatlah dominant, sehingga dapat dikatakan keputusan akhir dalam pembentukan perda berada pada tangan Bupati.

  1. Penetapan Rancangan Perda di Kabupaten Bangkalan

Penetapan raperda di kabupaten Bangkalan berlaku seperti sebagaimana mestinya Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 juncto Undang-Undang No. 32 Tahun 2004. Penyampaian Raperda tersebut dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama. Agar segera ada kepastian hukum, penetapan Raperda oleh Bupati ditentukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak Raperda disetujui bersama oleh DPRD dan Bupati. Berdasarkan ketentuan Pasal 43 ayat (2) UUP3 dan Pasal 144 ayat (3) Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, apabila Raperda tidak ditandatangani oleh gubernur atau bupati/walikota dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak Raperda disetujui bersama maka Raperda tersebut sah menjadi Peraturan Daerah dan wajib diundangkan dengan memuatnya dalam Lembaran Daerah.

  1. Pengundangan dan Penyebarluasan Perda di Kabupaten Bangkalan

Mengenai pengundangan perda di Kabupaten Bangkalan sesuai dengan yang diamanatkan dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 juncto Undang-Undang No. 32 Tahun 2004. Yakni peraturan daerah yang telah ditetapkan oleh Kepala Daerah agar memiliki kekuatan hukum dan mengikat masyarakat harus diundangkan dalam Lembaran Daerah yang pelaksanaannya dilakukan oleh Sekretaris Daerah. Dengan diundangkannya Peraturan Daerah dalam lembaran resmi (Lembaran Daerah) maka setiap orang dianggap telah mengetahui.

Mengenai penyebarluasan biasanya dapat dilakukan dengan sosialisasi kepada masyarakat di setiap kecamatan di Bangkalan, atau melalui media cetak, radio, pamphlet dan lain sebagainya, ini bertujuan agar masyarakat mengetahui tentang muatan dan isi perda yang bersangkutan, sehingga masyarakat dianggap fiksi (tahu) hukum.

  1. Partisipasi Masyarakat Dalam Pembentukan Perda di Bangkalan

Dalam kaitan dengan partisipasi masyarakat dalam pembentukan perda sebenarnya telah diatur dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 juncto Undang-Undang No. 32 Tahun 2004. namun tidak diatur secara spesifik tentang tata cara partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan daerah.

Di kabupaten Bangkalan utamanya sangat minim sekali pola-pola yang dilakukan masyarakat dalam melakukan partisipasi dalam pembentukan perda. Dalam wawancara yang dilakukan dengan staf bagian hukum kabupaten Bangkalan hal itu dipengaruhi oleh 2 (dua) faktor, yang pertama karena memang sedikit sekali masyarakat yang peduli terhadap peraturan daerah yang akan dibentuk, sedangkan yang kedua adalah karena memang tidak diatur mekanisme partisipasi masyarakat dalam berpartisipasi dalam pembentukan perda.

3.3. Merancang Perda Partisipatif

Peraturan Daerah (perda) adalah instrument aturan yang secara sah diberikan kepada pemerintah daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan di daerah.[32] Sejak Tahun 1945 hingga sekarang ini, telah berlaku beberapa undang-undang yang menjadi dasar hukum penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan menetapkan Perda  sebagai salah satu instrumen yuridisnya.

Kedudukan dan fungsi perda berbeda antara yang satu dengan lainnya sejalan dengan sistem ketatanegaraan yang termuat dalam UUD/Konstitusi dan UU Pemerintahan Daerahnya. Perbedaan tersebut juga terjadi pada penataan materi muatan yang disebabkan karena luas sempitnya urusan yang ada pada pemerintah daerah.

Demikian juga terhadap mekanisme pembentukan dan pengawasan terhadap pembentukan dan pelaksanaan perda pun mengalami perubahan seiring dengan perubahan pola hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Setiap perancang perda, terlebih dahulu harus mempelajari dan menguasai aturan  hukum positip tentang UU Pemerintahan Daerah, UU tentang Perundang-undangan, Peraturan pelaksanaan yang secara khusus mengatur tentang perda.

Untuk merancang sebuah perda, perancang pada dasarnya harus menyiapkan diri secara baik dan mengusai hal-hal sebagai berikut :[33]

  1. analisa data tentang persoalan sosial yang akan diatur.
  2. kemampuan teknis perundang-undangan
  3. pengetahuan teoritis tentang pembentukan aturan
  4. hukum perundang-undangan baik secara umum maupun khusus tentang perda.

Penyusunan Perda dimulai dengan merumuskan masalah yang akan diatur, untuk itu harus menjawab pertanyaan “apa masalah sosial yang akan diselesaikan” ? Masalah sosial yang akan diselesaikan pada dasarnya akan terbagi dalam dua jenis.[34] Pertama, masalah sosial yang terjadi karena adanya perilaku dalam masyarakat yang bermasalah. Misalnya, banyak masyarakat membuang sampah sembarangan, sehingga menyebabkan lingkungan menjadi kumuh, maka diperlukan perda kebersihan. Banyak orang mabuk karena mengkonsumsi minuman dengan kadar alkohol yang tinggi, maka diperlukan pengaturan tentang peredaran minuman beralkohol. Rusaknya bangunan bersejarah/bangunan kuno karena dirobohkan atau diganti dengan bangunan baru yang menghilangkan ciri khas bangunan lama. Untuk ini, maka diperlukan pengaturan tentang Perda Cagar Budaya. Kedua, masalah sosial yang disebabkan karena aturan hukum yang ada tidak lagi proporsional dengan keadaan masyarakatnya. Misalnya, peraturan daerah tentang retribusi biaya pemeriksaan kesehatan, ternyata memberatkan masyarakat kecil, hingga tidak memperoleh pelayanan kesehatan yang memadai. Perda tentang Pajak Daerah, sudah tidak sesuai dengan UU tentang Pajak Daerah, maka perda tersebut harus diganti dengan yang baru.[35]

Perancang Peraturan Daerah wajib mampu mendiskripsikan masalah sosial tersebut. Salah satu cara untuk menggali permasalah tersebut adalah dengan langkah penelitian. Untuk masalah sosial yang ada dalam masyarakat, maka observasi pada obyek persoalan harus dilakukan. Misalnya mengumpulkan data tentang bangunan kuno yang ada di Kabupaten/Kota dimaksud. Mendiskripsikan siapa pemilik, dan bagaimana keadaan masing-masing bangunan itu selama ini, berapa bangunan yang sudah berubah bentuk atau pun berubah fungsi.

Terhadap situasi seperti ini, oleh Seidman Robert B. ditawarkan sebuah metode ROCCIPI (rule, opportunity, capacity, communication, interest, process, ideology)[36]. Demikian juga terhadap permasalahan sosial akibat penerapan perda, secara khusus ditawarkan metode RIA (regulatory Impact Analysis). Metode ini meliputi analisa cost and benefit system. Artinya Pelaksanaan perda dievaluasi sedemikian rupa, khususnya terhadap dampak yang ditimbulkan terhadap modal sosial yang ada. Hasil analisa akan menjelaskan siginifikansi keberhasilan atau kegagalan penerapan perda dalam masyarakat. Selanjutnya akan diikuti dengan usulan perbaikan yang lebih rasional dan aplikatif.

Perumusan masalah sosial tersebut akan meliputi hal-hal sebagai berikut :

  1. apa masalah sosial yang ada
  2. siapa masyarakat yang perilakunya bermasalah
  3. siapa aparat pelaksana yang perilakunya bermasalah
  4. analisa keuntungan dan kerugian atas penerapan perda
  5. tindakan apa yang diperlukan untuk mengatasi masalah sosial

Draf Raperda pada dasarnya adalah kerangka awal yang dipersiapkan untuk mengatasi masalah sosial yang hendak diselesaikan. Apapun jenis peraturan daerah yang akan dibentuk, maka rancangan perda tersebut harus secara jelas mendiskripsikan tentang penataan wewenang (regulation of authority) bagi lembaga pelaksana (law implementing agency) dan penataan perilaku (rule of conduct /rule of behavior) bagi masyarakat yang harus mematuhinya (rule occupant).[37]

Secara sederhana harus dapat dijelaskan : siapa lembaga pelaksana aturan, kewenangan apa yang diberikan padanya, perlu tidaknya dipisahkan antara organ pelaksana peraturan dengan organ yang menetapkan sanksi atas ketidak patuhan, persyaratan apa yang mengikat lembaga pelaksana, apa sanksi yang dapat dijatuhkan kepada aparat pelaksana jika menyalahgunakan wewenang.  Rumusan permasalahan pada masyarakat akan berkisar pada siapa yang berperilaku bermasalah, jenis pengaturan apa yang proporsional untuk mengendalikan perilaku bermasalah tersebut, jenis sanksi yang akan dipergunakan untuk memaksakan kepatuhan.

Kerangka berfikir di atas, akan menghasilkan sebuah draf tentang penataan kelembagaan yang menjadi pelaksana. Pada tingkat Kab/Kota, harus sudah dapat dijelaskan, dinas/kantor mana yang akan bertanggungjawab melaksanakan perda tersebut sesuai dengan tugas pokok dan fungsi (TUPOKSI). Penataan wewenang juga akan menghasilkan herarkhi kewenangan lembaga pelaksana dan lingkup tanggungjawab yang melekat padanya. Misalnya Wewenang menandatangani ijin ada pada Bupati, tetapi lembaga yang memproses adalah Dinas, atau Kepala Dinas berwenang mengeluarkan ijin atas nama Bupati dan sebagainya.[38]

Penataan jenis perilaku akan menghasilkan, perda tentang larangan atau ijin dan perda tentang kewajiban melakukan hal tertentu atau dispensasi. Drafter harus menjelaskan pilihan tentang norma kelakuan yang dipilihnya dengan tujuan yang hendak dicapai. Norma larangan akan menghasilkan bentuk pengaturan yang rinci tentang perbuatan yang dilarang. Jika menginginkan ada perkecualian, maka dirumuskan pula norma ijin. Konsekwensinya adalah merumuskan sistem dan syarat perijinannya. Sistem dan syarat perijinan ini dirumuskan dengan kreteria ijin perorangan atau ijin kebendaan. Demikian juga, syarat-syarat permohonan ijin yang secara proporsional dapat dipenuhi oleh oleh pemohon. Jika norma kelakuan dirumuskan dengan norma perintah, maka eksepsinya adalah dengan merumuskan norma dispensasi.

Terdapat dua tahap penting pembahasan draf raperda, yaitu pada lingkup tim teknis eksekutif dan pembahasan bersama dengan DPRD. Pembahasan pada tim teknis, adalah pembahasan yang lebih merepresentasi pada kepentingan eksekutif. Oleh UU tentang perundang-undangan, diwajibkan bagi pemerintah untuk memberi kesempatan kepada semua masyarakat berpartisipasi aktif baik secara lisan maupun  tulisan.

Pembahasan pada lingkup DPRD sangat sarat dengan kepentingan politis masing-masing fraksi. Tim kerja di lembaga legislative dilakukan oleh komisi ( A s/d E) yang menjadi counterpart eksekutif. Pembahasan di DPRD biasanya diformat dengan tahapan, Pengantar Eksekutif pada sidang Paripurna Dewan, Pemandangan Umum Fraksi, Pembahasan dalam PANSUS (jika diperlukan), Catatan akhir Fraksi, Persetujuan anggota DPRD terhadap draf raperda.

Perjalanan akhir dari perancangan sebuah draf perda adalah tahap pengesahan yang dilakukan dalam bentuk penandatangan naskah oleh pihak pemerintah daerah dengan DPRD. Dalam konsep hukum, perda tersebut telah mempunyai kekuatan hukum materiil (materiele rechtskrach) terhadap pihak yang menyetujuinya.[39] Sejak ditandatangani, maka rumusan hukum yang ada dalam raperda tersebut sudah tidak dapat diganti secara sepihak.

Pengundangan dalam Lembaran Daerah adalah tahapan yang harus dilalui agar raperda mempunyai kekuatan hukum mengikat kepada publik. Dalam konsep hukum, maka draf raperda sudah menjadi perda yang berkekuatan hukum formal (formele-rechtskrach). Secara teoritik, “semua orang dianggap tahu adanya perda” mulai diberlakukan dan seluruh isi/muatan perda dapat diterapkan.[40]

Pandangan sosiologi hukum dan psikologi hukum, menganjurkan agar tahapan penyebarluasan (sosialisasi) perda harus dilakukan.[41] Hal ini diperlukan agar terjadi komunikasi hukum antara perda dengan masyarakat yang harus patuh. Pola ini diperlukan agar terjadi internalisasi nilai atau norma yang diatur dalam perda sehingga ada tahap pemahaman dan kesadaran untuk mematuhinya.

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

  1. Pelaksanaan program legislasi daerah di Kabupaten Bangkalan masih terdapat kekuarangan dan kendala, salah satunya adalah professionalisme anggota DPRD dan peran serta masyarakat dalam pembentukan peraturan daerah.
  2. Mekanime pembentukan perda yang baik adalah pada proses pembuatan dimulai dengan diskusi atau penelitian (metode ROCCIPI), terdapat Perencanaan proses pembuatan (sesuai pembahasan sebelumnya), terdapat Partisipasi masyarakat, sedang isi Perda harus didasarkan pada kebutuhan masyarakat, mengatur urusan yang menjadi wewenang otonomi dan mengatur hak dan kewajiban antara pemerintah dengan masyarakat secara adil, serta Pelaksanaan Perda harus disosialisasikan terlebih dahulu, pelaksanaannya dilakukan secara bertahap, penegakannya harus konsisten, penegakannya didukung semua pihak dan Pelaksanaan Perda didukung aparat yang bersih dan sarana serta prasarana yang memadai

4.2 Saran

  1. Sebaiknya dalam setiap tahapan pembentukan peraturan daerah di Kabupaten Bangkalan diberikan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi aktif baik secara tertulis maupun dengan lisan dan professionalisme anggota DPRD adalah merupakan keharusan sehingga produk daerah yang dihasilkan merupakan produk yang dapat diterima oleh siapun.
  2. Diharapkan dalam pembentukan perda di Kabupaten Bangkalan memperhatikan tata cara pembentukan Peraturan daerah yang baik utamanya metode ROCCIPI dapat dijadikan alternatif dalam pembentukan perda yang partisipatif

DAFTAR PUSTAKA

Buku Referensi

Abdul Atief, Hukum dan Peraturan Kebijaksanaan pada Pemerintahan Daerah, UII Press, 2006

Ahmad Helmy Fuady dkk, 2002, Memahami Anggaran Publik, IDEA Press, Yogyakarta

Amiroedin Syarif, 1987, Perundang-Undangan, Dasar, Jenis dan Teknik Membuatnya, Bina Aksara, Jakarta

Ateng Syarifudin, 1983, Pasang Surut Otonomi Daerah, Orasi Ilmiah UNPAR Bandung

Bagir Manan, 1993, Perjalanan Historis Pasal 18 UUD 1945, UNISIKA, Krawang

—————-, 2001, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, PSHFH UII, Yogyakarta

Benyamin Hoessein, 1998, Membangun Visi dan Persepsi yang Sama AntaraDaerah dan Pusat dalam Memantapkan Otonomi Daerah, Makalah, Bandung

Budiman N.P.D Sinaga, 2004, Ilmu Pengetahuan Perundang-Undangan, UII Press, Yogyakarta

Hans Kelsen, 2006, General Theory of Law and State, Russell & russel, New York

———————-, Teori Hukum Murni, Nusa Media, Bandung, 2006

Jimly Asshiddiqie, 2006, Perihal Undang-Undang, Konpress, Jakarta

———————, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Konpress, Jakarta, 2006

———————, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Konpress, Jakarta, 2006

Josef Riwo Kaho, 1991, Prospek Otonomi Daerah, Rajawali Perss, Jakarta

Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah (Pasang Surut Hubungan Kewenangan Antara DPRD dan Kepala Daerah), Alumni, Bandung, 2004

Mahendra Putra Kurnia, Pedoman Naskah Akademik Perda Partisipatif, Total Media, Yogayakarta, 2007

Mahfud MD, 2006, Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta

Maria Farida Indrati Soeprapto, 1998, Ilmu Perundang-Undangan Dasar-dasar dan pembentukannya, Penerbit Kanisius, Yogyakarta

Otje Salman dan Anthon F Susanto, Teori Hukum (mengingat, mengumpulkan dan membuka kembali), Refika Aditama, Jakarta, 2006

Padmo Wahjono, 1984, Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini, Ghalia Indonesia, Jakarta

Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, 1979, Perundang-Undangan dan Yurisprudensi, Alumni, Bandung

Rosjidi Ranggawidjaja, 1998, Pengantar Ilmu Perundang-Undangan Indonesia, CV. Mandar Maju, Bandung

Sarundajang, 1999, Arus Balik Kekuasaan ke Daerah, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta

  1. Sarundajang, 1999, Arus Balik Kekuasaan ke Daerah, PustakaSinar Harapan, Jakarta

Siswanto Sunarno, 2006, Hukum Pemerintahan Daerah, Sinar Grafika, Jakarta

Soehino, Hukum Tata Negara (Teknik Perundang-Undangan), Liberty, Yogyakarta, 2002

Solly Lubis, Landasan dan Teknik Perundang-Undangan, Mandar Kaju, Bandung, 2003

Sumali, 2003, Reduksi Kekuasaan Ekskutif di Bidang Peraturan Pengganti Undang-Undang (PERPU), UMM Press, Malang

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

Undang-Undnag Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD

[1] M. Solly Lubis, “Otonomi Daerah” dalam Padmo Wahjono, Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984 : Hal. 312

[2]  Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah, Sinar Grafika, Jakarta, 2006 : Hal. 6

[3]  Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

[4] Ahmad Helmy Fuady dkk, Memahami Anggaran Publik, IDEA Press, Yogyakarta, 2002, Hal. 21

[5] Yakni merupakan peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus karena kekhususan wilayah berlakunya, yaitu hanya berlaku didalam wilayah lokal tertentu. Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Konpress, Jakarta, 2006: Hal. 18

[6] Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 2006: Hal. 3

[7]    Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, PSHFH UII, Yogyakarta, 2001: Hal. 174

[8]    Benyamin Hoessein, Membangun Visi dan Persepsi yang Sama Antara Daearah dan Pusat dalam Memantapkan Otonomi Daerah, Makalah, Bandung, 1998: Hal.17

[9]    Sarundajang, Arus Balik Kekuasaan ke Daerah, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1999: Hal. 33

[10]  Ateng Syarifudin, Pasang Surut Otonomi Daerah, Orasi Ilmiah UNPAR Bandung, 1983: Hal.18

[11]  Bagir Manan, Perjalanan Historis Pasal 18 UUD 1945, UNISIKA, Krawang, 1993. Hal.2

[12]  Bhenyamin Hoessein, Op Cit. Hal. 18

[13]  Bagir Manan, Op Cit. Hal. 4

[14] SH. Sarundajang, Arus Balik Kekuasaan ke Daerah, PustakaSinar Harapan, Jakarta, 1999: Hal.38, Bandingkan juga dengan Josef Riwo Kaho, Prospek Otonomi Daerah, Rajawali Perss, Jakarta, 1991: Hal. 15

[15] Rosjidi Ranggawidjaja, Pengantar Ilmu Perundang-Undangan Indonesia, CV. Mandar Maju, Bandung, 1998, hal. 13

[16] Rosjidi Ranggawidjaja, Ibid

[17] Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Russell & russel, New York, 2006, hal. 113

[18] Sumali, Reduksi Kekuasaan Ekskutif di Bidang Peraturan Pengganti Undang-Undang (PERPU), UMM Press, Malang, 2003

[19] Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan Dasar-dasar dan pembentukannya, Penerbit Kanisius, Yogyakarta 1998, hal.27.

[20] Budiman N.P.D Sinaga, Ilmu Pengetahuan Perundang-Undangan, UII Press, Yogyakarta, 2004, hal. 19-20.

[21] Rosjidi Ranggawidjaja, Pengantar Ilmu Perundang-Undangan Indonesia, CV. Mandar Maju, Bandung, 1998: Hal. 43

[22] Amiroedin Syarif, Perundang-Undangan, Dasar, Jenis dan Teknik Membuatnya, Bina Aksara, Jakarta, 1987: hal.92

[23] Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Perundang-Undangan dan Yurisprudensi, Alumni, Bandung, 1979: Hal. 15-19

[24] Amiroedin Syarif, Op Cit. Hal. 39

[25] Siswanto Sunarno, Op Cit, Hal. 5

[26] Soehino, Hukum Tata Negara (Teknik Perundang-Undangan), Liberty, Yogyakarta, 2002, Hal.7

[27] Mahendra Putra Kurnia, Pedoman Naskah Akademik Perda Partisipatif, Total Media, Yogayakarta, 2007, Hal. 54

[28] Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah (Pasang Surut Hubungan Kewenangan Antara DPRD dan Kepala Daerah), Alumni, Bandung, 2004, Hal 273

[29] Juanda, Op Cit, Hal. 285

[30] Solly Lubis, Landasan dan Teknik Perundang-Undangan, Mandar Kaju, Bandung, 2003, Hal. 9

[31] Sumber Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Bangkalan, untuk tahun 2007 data produk hukum daerah sampai bulan Oktober 2007

[32] Jimly Asshiddiqy, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Konpress, Jakarta, 2006, Hal. 65

[33] Mahendra Putra Kurnia, Op Cit, Hal. 36

[34] Mahendra Putra Kurnia, Ibid, Hal. 36

[35] Abdul Atief, Hukum dan Peraturan Kebijaksanaan pada Pemerintahan Daerah, UII Press, 2006, Hal. 48

[36] Metode ROCCIPI lebih mengajak para perancang untuk melakukan penelitian factual/empiris, untuk memperoleh data langsung tentang masalah social yang akan diatur dalam peraturan daerah. Maksudnya adalah, perancang dapat dengan jelas menyebutkan apa masalah sosialnya dan bagaimana hal itu akan diselesaikan.

[37] Hans Kelsen, Teori Hukum Murni, Nusa Media, Bandung, 2006, Hal. 375

[38] Mahendra Putra Kurnia, Op Cit, Hal. 59

[39] Otje Salman dan Anthon F Susanto, Teori Hukum (mengingat, mengumpulkan dan membuka kembali), Refika Aditama, Jakarta, 2006, Hal. 175

[40] Solly Lubis, Op Cit, Hal. 37

[41] Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Konpress, Jakarta, 2006, Hal. 34

Continue Reading