Salah satu unsur Negara Hukum (Rechtstaat) adalah adanya Peradilan Tata Usaha Negara, yang tujuannya untuk melindungi rakyat dari Perbuatan Melawan Hukum oleh Penguasa (Onrechtmatige Overheidsdaad). Pembahasan mengenai Perkara dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) selalu menarik untuk dikaji, hal ini mengingat dalam sengketa TUN pihak Tergugat selalu adalah Badan/Pejabat Tata Usaha Negara, sedangkan pihak Penggugat adalah Orang/Badan Hukum Perdata.
Muncul prolematika dan perdebatan hukum pasca diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, utamanya Pasal 45 A ayat (2) huruf c tentang pembatasan hak pengajuan kasasi terhadap perkara tata usaha Negara. Perdebatan itu didasarkan pada Pasal 131 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang masih mengatur upaya hukum Kasasi terhadap Putusan tingkat terakhir Pengadilan.
Terhadap adanya konflik Norma antara Pasal 45 A ayat (2) huruf c UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang MA dengan Pasal 131 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN, pernah dilakukan uji materi yang terregister dengan perkara No. 23/PUU-V/2007. Namun atas uji materi tersebut Mahkamah Konstitusi pada tanggal 14 Januari 2008 menyatakan menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya, dengan pertimbangan dalil pemohon yang menyatakan pemberlakuan pasal itu telah menimbulkan perlakuan diskriminatif adalah tidak tepat, pembatasan kasasi dalam perkara TUN tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai peraturan yang menimbulkan perlakuan diskriminatif, pembatasan perkara TUN yang hanya sampai tingkat banding tidak melanggar hak asasi warga negara untuk mendapat keadilan. Sebab, putusan tingkat banding perkara TUN masih dapat diajukan upaya hukum luar biasa berupa Peninjauan Kembali (PK).
Apabila melihat naskah pembahasan UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang MA utamanya Pasal 45 A ayat (2) huruf c tentang pembatasan hak pengajuan kasasi terhadap perkara Tata Usaha Negara, maka tidak dijelaskan mengenai tafsir terhadap diaturnya ketentuan Pasal 45 A ayat (2) huruf c tersebut, yang ada hanya dasar sosiologis diaturnya atas Pasal tersebut, diantaranya (1) adanya kecenderungan pengajuan upaya hukum ke tingkat kasasi yang tidak diimbangi dengan kecepatan putusan perkara, (2) kelambanan dan kurang profesionalnya aparatur peradilan di MA, (3) terdapatnya indikasi Kolusi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dan (4) belum adanya peraturan yang tegas mengenai pembatasan perkara kasasi.
Terhadap berlakunya ketentuan UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang MA utamanya Pasal 45 A ayat (2) huruf c tentang pembatasan hak pengajuan kasasi terhadap perkara Tata Usaha Negara, dalam praktik hukum setidaknya terdapat 3 (tiga) tafsir hukum. Pertama, terhadap Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh Pejabat Daerah dalam hal ini Gubernur/Bupati/Walikota beserta struktural dibawahnya, maka berlakulah ketentuan Pasal 45 A ayat (2) huruf c UU No. 5 Tahun 2004, artinya menganut sistem 2 (dua) tingkat yakni tingkat Pertama dan Banding, sedangkan dalam hal Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh Pejabat Pusat (Nasional) maka ketentuan Pasal 45 A ayat (2) huruf c UU No. 5 Tahun 2004 tidak dapat diterapkan, artinya tetap berlaku 3 (tiga) tingkat yakni Pertama, Banding dan Kasasi.
Tafsir Kedua, didasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, apabila Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh Pejabat Daerah dalam hal ini Gubernur/Bupati/Walikota dengan mendasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Daerah dalam hal ini Peraturan Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota atau Peraturan Kepala Daerah lainnya, maka berlakulah ketentuan Pasal 45 A ayat (2) huruf c UU No. 5 Tahun 2004, artinya menganut sistem 2 (dua) tingkat yakni tingkat Pertama dan Banding, sedangkan dalam hal Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh Pejabat Daerah atau Pejabat Pusat (Nasional) yang mendasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat dalam hal ini Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Peraturan Perundang-Undangan lainnya yang dikelurkan oleh Pejabat Pusat (tingkat Nasional) maka ketentuan Pasal 45 A ayat (2) huruf c UU No. 5 Tahun 2004 tidak dapat diterapkan, artinya tetap berlaku 3 (tiga) tingkat yakni Pertama, Banding dan Kasasi.
Tafsir Ketiga, yang juga merupakan tafsir Penulis pada saat itu adalah didasarkan pada kewenangan dalam hal menjalankan urusan Pemerintahan, apabila Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh Badan/Pejabat Pejabat TUN didasarkan pada kewenangan yang bersifat Desentralisasi, maka berlakulah ketentuan Pasal 45 A ayat (2) huruf c UU No. 5 Tahun 2004, artinya menganut sistem 2 (dua) tingkat yakni tingkat Pertama dan Banding, sedangkan dalam hal Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh Badan/Pejabat TUN dalam rangka menjalankan kewenangan Dekonsentrasi atau Tugas Pembantuan, maka ketentuan Pasal 45 A ayat (2) huruf c UU No. 5 Tahun 2004 tidak dapat diterapkan, artinya tetap berlaku 3 (tiga) tingkat yakni Pertama, Banding dan Kasasi.
Ketiga tafsir itulah yang terjadi dilapangan, tidak hanya bagi Penggugat dalam hal ini Orang/Badan Hukum Perdata, maupun Tergugat dalam hal ini Badan/Pejabat Tata Usaha Negara, Hakimpun dalam Putusannya tidak jarang sering berbeda pandangan mengenai Pemberlakukan ketentuan Pasal 45 A ayat (2) huruf c UU No. 5 Tahun 2004. Hingga pada akhirnya terdapat Putusan Mahkamah Agung Nomor 213 K/TUN/2007 tertanggal 6 November 2007 mengenai Pembatasan Upaya Hukum Kasasi berdasarkan Pasal 45A ayat (2) huruf c UU No. 5 Tahun 2004, yang pada intinya dalam pertimbangannya menyatakan Bahwa untuk menetukan apakah suatu Keputusan Pejabat jangkauannya berlaku hanya pada daerah yang bersangkutan atau tidak, haruslah dilihat dari kasus demi kasus, apabila kewenangan Pejabat yang bersangkutan a quo memang didasarkan pada suatu peraturan yang murni bersifat regional (daerah) atas dasar desentralisasi dan otonomi daerah yang secara atributif memberikan kewenangan pada daerah yang bersangkutan, misalnya berdasarkan kepada Peraturan Daerah, maka dalam hal tersebut Keputusan Pejabat yang bersangkutan memang hanya menjangkau daerahnya, sehingga kasus demikian Pasal 45A ayat (2) huruf c UU No. 5 tahun 2004 dapat diterapkan.
Akan tetapi sebaliknya apabila kewenangan pejabat yang bersangkutan itu bersifat derivative (turunan) dari peraturan yang berlaku nasional, tidak hanya bersifat regional, maka jangkauan tidak bersifat terbatas dalam daerahnya saja, tetapi juga bersifat keluar melampaui batas-batas wilayah daerahnya. Maka dalam hal demikian Pasal 45A ayat (2) huruf c tersebut tidak dapat diterapkan, sehingga ukuran tidak hanya dilihat bahwa pejabat yang menerbitkan Keputusan itu adalah seorang Bupati atau Walikota atau Gubernur, yang kewenangannya hanya mempunyai jangkauan daerah saja, tetapi dilihat dari sumber kewenangannya, apakah berdasarkan pada Peraturan daerah atau yang setingkat, ataukah pada suatu peraturan yang dapat menjangkau wilayah Nasional. Bahwa untuk menentukan objek Gugatan berupa Keputusan Pejabat Daerah tersebut memenuhi syarat untuk diajukan upaya hukum kasasi, pada prinsipnya adalah apabila keputusan pejabat daerah dalam rangka melaksanakan kewenangan Pemerintah Pusat, hal ini harus dilihat pada peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Keputusan Pejabat Daerah yang merupakan objek gugatan tersebut.
Akan tetapi dengan adanya Putusan Mahkamah Agung Nomor 213 K/TUN/2007 tertanggal 6 November 2007 mengenai Pembatasan Upaya Hukum Kasasi berdasarkan Pasal 45A ayat (2) huruf c UU No. 5 Tahun 2004 masih dirasa tidak cukup, mengingat tetap saja dilapangan timbul persoalan hukum utamanya berkaitan dengan prosedur dan tata cara pelaksanaan Pasal 45A ayat (2) huruf c UU No. 5 Tahun 2004 berkaitan dengan pembatasan upaya hukum kasasi Perkara TUN tersebut. Yang mana sebelumnya ketentuan mengenai Permohonan Kasasi yang tidak memenuhi syarat formal, tidak diatur secara secara seragam dan tepat oleh Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan, untuk menjawab keraguan itulah kemudian Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penjelasan Ketentuan Pasal 45A Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung dan Surat Edaran Nomor 08 tahun 2011 tentang Perkara Yang Tidak Memenuhi Syarat Kasasi dan Peninjauan Kembali, yang pada intinya mengatur teknis prosedur dan tata cara Permohonan Kasasi yang tidak memenuhi syarat formal yakni dengan dikeluarkan Surat Penetapan Pengadilan Tingkat Pertama yang menyatakan bahwa Permohonan Kasasi tersebut tidak diterima dan berkas perkara tidak dikirim ke Mahkamah Agung. Tentunya Penulis disini tidak atau tanpa mempersoalkan kedudukan Surat Edaran dalam hierarki Peraturan Perundang-Undangan, mengingat pada kenyataan dilapangan produk Surat Edaran Mahkamah Agung jauh lebih dipatuhi oleh segenap lembaga Peradilan dalam setiap tingkatan.
Apabila melihat ketentuan sebagaimana Surat Edaran Nomor 11 Tahun 2010 dan Surat Edaran Nomor 08 tahun 2011, maka dapat disimpulkan belum menentukan batas-batas pemaknaan atau tafsir terhadap Pasal 45A ayat (2) huruf c UU No. 5 Tahun 2004, sehingga dalam praktek dilapangan masih sering dijumpai baik Penggugat maupun Tergugat masih menggunakan argumentasi hukum Pasal 45A ayat (2) huruf c UU No. 5 Tahun 2004 untuk dijadikan senjata pamungkas guna mengganjal upaya hukum Kasasi yang diajukan oleh salah satu pihak.
Kemudian di akhir tahun 2016 Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran Nomor 4 tahun 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung tahun 2016 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan, yang salah satunya memberikan Tafsir terhadap Pasal 45A ayat (2) huruf c UU No. 5 Tahun 2004, yang berdasarkan Rumusan Hukum Kamar Tata Usaha Negara angka 6 pada halaman 14 memberikan kriteria terhadap Pembatasan Upaya Hukum Kasasi dalam Pasal 45A ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 adalah bagi Keputusan pejabat daerah yang berasal dari sumber kewenangan desentralisasi. Tetapi terhadap Keputusan Pejabat daerah yang bersumber dari kewenangan dekonsentrasi ataupun bersumber dari kewenangan pembantuan terhadap pemerintah pusat (medebewin) tetap bisa dilakukan upaya hukum kasasi.
Dengan berdasar pada Surat Edaran Nomor 4 tahun 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung tahun 2016 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan tersebut, maka berakhirlah tafsir liar yang selama ini berlaku di masyarakat, sehingga perdebatan mengenai makna atas Pasal 45 A ayat (2) huruf c UU No. 5 tahun 2004 tentang MA, mengenai pembatasan hak pengajuan kasasi terhadap perkara Tata Usaha Negara menjadi jelas dan tidak dapat ditafsirkan secara parsial. Meskipun hemat penulis hal tersebut perlu dituangkan dalam sebuah dasar hukum yang tegas dan jelas yakni berupa Undang-Undang, sehingga keberlakuannya dapat mengikat secara umum, hal itu dikarenakan tafsir yang dilakukan Mahkamah Agung bukan merupakan tafsir konstitutional ataupun Penafsiran Autentik yang resmi diberikan oleh pembuat undang-undang. Penafsiran Mahkamah Agung hanya merupakan Penafsiran sistematis atas persoalan hukum (question of laws), yang merupakan hasil dari menghubungkan pasal yang satu dengan pasal-pasal yang lain dalam suatu perundang-undangan yang bersangkutan atau pada perundang-undangan hukum lainnya. Namun yang pasti semoga dengan adanya tafsir atas Pasal 45 A ayat (2) huruf c UU No. 5 tahun 2004 tentang MA tersebut kepastian dan keadilan hukum dapat ditegakkan, utamanya dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.