DISKURSUS PEMBATALAN PERDA DAN SOLUSINYA

Mahkamah Konstitusi (MK) kembali membuat putusan yang menimbulkan kontroversi. Publik kembali dikejutkan dengan adanya pemangkasan kewenangan Mendagri dan Gubernur dalam upaya pengawasan terhadap peraturan daerah (perda) yang bermasalah.

Melalui Putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015 pada tanggal 5 April 2017, MK Mengabulkan permohonan untuk sebagian berkaitan dengan kewenangan Pembatan Perda Kabupaten/Kota oleh Gubernur/Menteri sebagaimana tertuang dalam Pasal 251 ayat (2) dan ayat (3) UU Pemda yang dinyatakan bertentangan (inkonstitutional) dengan Undang-Undang Dasar 1945. Sehingga apabila berdasar pada putusan tersebut, baik Gubernur/Mendagri tidak lagi memiliki kewenangan dalam hal pembatan Perda didaerah.

Apabila kita melihat dan memahami dari pertimbangan hakim dalam Putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015, tampak terlihat terdapat perbedaan pendapat (dissenting opinion) yang bersifat substantif dan signifikan, dimana terdapat empat hakim konstitusi yang menyatakan perbedaan pendapatnya berkaitan dengan Putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015. Artinya putusan tersebut juga terjadi perdebatan yang serius dikalangan hakim konstitusi sendiri.

Dalam pertimbangannya, MK menyatakan keberadaan Pasal 251 ayat (2) dan ayat (3) UU Pemda telah menegasikan peran dan fungsi Mahkamah Agung sebagai lembaga yang berwenang melakukan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, dalam hal ini Perda Kabupaten/Kota, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 24A ayat (1) UUD 1945.

Selain itu MK menyatakan bahwa Keputusan Gubernur bukanlah bagian dari tata urutan dalam hirarki peraturan perundang-undangan, sehingga tidak dapat dijadikan produk hukum untuk membatalkan Perda Kabupaten/Kota. Dengan kata lain, Perda Kabupaten/Kota yang berbentuk peraturan (regeling) tidak dapat dibatalkan dengan Keputusan Menteri/Keputusan Gubernur yang berbentuk keputusan (beschikking).

Namun disisi yang lain, terdapat perspektif dan pandangan empat Hakim Konstitusi yang berbeda (dissenting opinion) terhadap pandangan dan argumentasi hukum lima Hakim Konstitusi lainnya, diantaranya Pertama menyatakan bahwa Indonesia selain sebagai negara hukum juga sebagai negara kesatuan. Untuk itu dalam konsep negara kesatuan akan berlaku pula satu sistem hukum baik bagi pemerintah di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Sehingga kewenangan Pembatalan Perda oleh Pemerintah pusat melalui Kemendagri merupakan bagian dari perwujudan pelaksanaan pemerintahan dalam konsep negara kesatuan.

Kedua, Kewenangan Kepala Daerah dan DPRD dalam pembentukan Perda harus dipandang sebagai kewenangan yang bersifat Atributif (attributie van wetgevingsbevoegheid) yang berasal dari UU maupun yang langsung dari UUD 1945.  Sedangkan Perda bukanlah peraturan yang bersifat delegatif dari UU Pemda, sehingga apabila Perda dianggap bersifat delegatif dari UU Pemda, maka yang demikian akan menyalahi prinsip pelimpahan kewenangan yang tidak berjenjang dalam pemebentukan peraturan perundang-undangan yang melampaui Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri.

Ketiga, hakikat pembatalan Perda pada dasarnya dilakukan dikarenakan tidak memenuhi syarat formal dan substantif untuk melindungi masyarakat atau pihak-pihak yang dirugikan. Pembatalan tersebut dapat dilakukan oleh pejabat pembuat keputusan, atasan pembuat keputusan atau Pengadilan. Secara konstitusional Presidenlah yang bertanggung jawab atas pemerintahan tertinggi, sehingga dengan demikian benar apabila Presiden melalui Mendagri/Gubernur mengambil tindakan pembatalan terhadap Perda yang bertentangan dengan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum dan/atau kesusilaan.

Perdebatan tentu tidak hanya selesai dimeja hakim konstitusi, dalam penerapan dan penegakannya dilapangan juga menimbulkan pro dan kontra, baik pada tataran pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Seperti yang dapat kita lihat dalam beberapa pemberitaan beberapa hari terakhir ini, Kemendagri tampak masygul melihat dan mendengar adanya Putusan MK yang memangkas kewenangannya yang selama ini telah berjalan dengan baik guna mengantisipasi terhadap adanya Perda-perda yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan serta asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Namun, terhadap beberapa perbedaan pendapat hakim (dissenting opinion) sebagaimana tersebut diatas, tidaklah mengurangi nilai keberlakuan dan mengikatnya Putusan MK. Karena sebagaimana diketahui Putusan MK bersifat final dan mengikat (final and binding), artinya putusan langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan. Selain itu Putusan MK juga bersifat Erga Omnes, yakni putusan tersebut merupakan Putusan Publik, yang berarti putusan tersebut berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia. Selain itu Putusan MK berlaku asas res judicata pro veritate habetur, yang berarti apa yang diputus hakim harus dianggap benar dan harus dilaksanakan. Sehingga dengan demikian tidak ada alasan untuk tidak melaksanakan Putusan MK (Asas Self Respect).

Solusi Efektif

Dengan berdasar pada Putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015 sebagaimana telah diurai diatas, maka akan berlaku era baru dalam mekanisme Pembatalan Perda, yakni pembatalan Perda hanya dapat dilakukan oleh lembaga peradilan, dalam hal ini melalui Pengujian Peraturan Perundang Undangan dibawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang.

Sebagaimana diketahui pada awalnya hanya berlaku dua mekanisme Pembatalan Perda, yakni melalui melanisme pembatatalan Perda oleh Mendagri/Gubernur, atau sering dikenal dengan istilah Executive Review. Sedangkan yang kedua melalui mekanisme pembatalan perda dengan pengujian oleh lembaga Peradilan dalam hal ini Mahkamah Agung atau yang sering disebut sebagai (Jucial Review).

Terhadap adanya pemberian kewenangan pembatalan Perda yang hanya dapat dilakukan lembaga Peradilan (Judial Review), maka setidaknya menurut analisis dan pandangan penulis terdapat tiga hal yang harus diperhatikan untuk dapat memastikan keberlangsungan pembentukan Perda yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum dan/atau kesusilaan.

Pertama, Pemerintah dalam hal ini melalui Kemendagri dapat mengintensifkan peran dan fungsi pengawasan antisipatif (preventif) terhadap rancangan perda yang belum disahkan oleh Pemerintah daerah atau sering dikenal dengan istilah (executive preview), hal itu dapat dilakukan guna meminimalisir kemungkinan munculnya Perda-perda yang akan bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Seperti halnya sistem yang berlaku di negara Perancis, yakni lebih mengutamakan  Preview daripada Review. Selain itu juga dapat dilakukan dengan mengoptimalkan fungsi Educatif atau pemberian pendidikan tentang mekanisme pembentukan Perda yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Kedua, Pemerintah Daerah baik Kepala Daerah maupun DPRD diharapkan juga dapat menahan diri serta dapat menyaring terhadap kemungkinan pembentukan Perda-perda yang berpeluang bertentangan dengan perarutan perundang-undangan yang lebih tinggi sehingga pada akhirnya dapat diajukan Uji Materi ke Mahkamah Agung.

Ketiga, dengan adanya kewenangan pembatalan perda yang hanya dapat dilakukan melalui mekanisme Yudicial Review, maka tentu akan mempengaruhi terhadap peluang banyaknya Uji Materi ke Mahkamah Agung terhadap Perda-perda yang dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, sehingga dengan demikian juga akan menyebabkan membludaknya perkara permohonan hak uji materi Pembatalan Perda. Untuk itu mau tidak mau juga menuntut adanya profesionalisme hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara yang berkaitan dengan Uji Materi Perda baik yang disahkan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota.

Terakhir yang menjadi harapan penulis semoga dengan adanya pemberian kewenangan pembatalan Perda hanya pada lembaga Peradilan melalui mekanisme Uji Materi, diharapkan tidak menjadikan Pemerintah Daerah untuk bertindak hanya dengan atas dasar kepentingan pribadi atau golongan dalam pembentukan Perda. Untuk itu diperlukan sinergi baik Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan Masyarakat guna bersama-sama berperan aktif dalam pembentukan Perda yang responsif dan populis, tujuannya adalah untuk mengantisipasi terhadap segala kemungkinan munculnya Perda-perda yang tidak sesuai dengan Peraturan perundangan yang lebih tinggi serta asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Link : Diskursus Pembatan Perda dan Solusinya

Continue Reading

PEMBATALAN PERDA PENGHAMBAT INVESTASI

Pemerintah sedang gencar-gencarnya mengoptimalkan peningkatan investasi yang ada didaerah. Adapun salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan mengeluarkan paket kebijakan deregulasi XII yang berkaitan dengan kemudahan memulai usaha serta perbaikan dalam rangka memangkas prosedur yang harus dilalui oleh pelaku usaha.

Ironisnya, di tengah upaya yang dilakukan pemerintah tersebut, justru dalam praktek dilapangan seringkali terkendala oleh banyaknya Peraturan Daerah (Perda) yang ditengarai dapat menghambat peningkatan investasi di daerah. Untuk itu dalam kurun waktu tahun 2016 Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) setidaknya telah membatalkan 3.143 perda yang dianggap dapat menghambat pertumbuhan ekonomi daerah serta memperpanjang jalur birokrasi yang berimbas terhadap terhambatnya investasi dan kemudahan berusaha didaerah.

Namun dalam perjalanannya, niat baik dan keinginan Pemerintah tersebut bukan tanpa halangan. Pada tanggal 5 April 2017 Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015, menyatakan bahwa kewenangan Pembatan Perda Kabupaten/Kota oleh Gubernur/Menteri sebagaimana tertuang dalam Pasal 251 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Pemeritahan Daerah (Pemda) dinyatakan bertentangan (inkonstitutional) dengan Undang-Undang Dasar 1945.

Melalui Putusan MK tersebut, tentu menjadi pukulan keras bagi Pemerintah utamanya Kemendagri yang selama ini diberikan amanat oleh Presiden untuk membenahi peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan peningkatan dan pengembangan iklim investasi yang ada didaerah, salah satu yang dilakukan adalah dengan memangkas dan membatalkan Perda-perda yang dinilai mempersulit serta menghambat proses investasi di daerah.

Apabila kita lihat dan pahami dari pertimbangan hakim dalam Putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015, tampak terlihat terdapat perbedaan pendapat (dissenting opinion) yang bersifat substantif dan signifikan, dimana terdapat empat hakim konstitusi yang menyatakan perbedaan pendapatnya berkaitan dengan Putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015.

Dalam pertimbangannya, MK menyatakan keberadaan Pasal 251 ayat (2) dan ayat (3) UU Pemda telah menegasikan peran dan fungsi Mahkamah Agung sebagai lembaga yang berwenang melakukan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, dalam hal ini pembatalan Perda Kabupaten/Kota oleh Gubernur/Menteri, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 24A ayat (1) UUD 1945.

Selain itu MK menyatakan bahwa Keputusan Gubernur bukanlah bagian dari tata urutan dalam hirarki peraturan perundang-undangan, sehingga tidak dapat dijadikan produk hukum untuk membatalkan Perda Kabupaten/Kota. Dengan kata lain, Perda Kabupaten/Kota yang berbentuk peraturan (regeling) tidak dapat dibatalkan dengan Keputusan Menteri/Keputusan Gubernur yang berbentuk keputusan (beschikking).

Namun hemat penulis, apapun terhadap adanya beberapa perbedaan pendapat hakim (dissenting opinion) sebagaimana tersebut diatas, tentunya tidaklah mengurangi nilai keberlakuan dan mengikatnya Putusan MK. Karena sebagaimana diketahui Putusan MK bersifat final dan mengikat (final and binding), artinya putusan langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan. Selain itu Putusan MK juga bersifat Erga Omnes, yakni putusan tersebut merupakan Putusan Publik, yang berarti putusan tersebut berlaku juga bagi pihak-pihak yang berada diluar sengketa, dalam hal ini bagi seluruh rakyat Indonesia.

Selain itu Putusan MK juga berlaku asas res judicata pro veritate habetur, yang berarti apa yang diputus hakim harus dianggap benar dan harus dilaksanakan. Sehingga dengan demikian tidak ada alasan untuk tidak melaksanakan Putusan MK, meskipun tanpa adanya upaya paksa oleh pihak manapun untuk menjalankan Putusan MK (Asas Self Respect).

Namun yang pasti dengan adanya Putusan MK berkenaan dengan pencabutan kewenangan Kemendagri dalam hal pembatalan perda tersebut, tentu akan memunculkan beberapa problem, utamanya terhadap potensi lahirnya Perda-perda yang dapat menghambat proses investasi yang ada didaerah. Untuk itu diperlukan solusi dan langkah-langkah nyata guna mengantisipasi terhadap adanya kehilangan kontrol Kemendagri terhadap pemerintah daerah dalam hal pembentukan perda yang tidak pro terhadap investasi didaerah.

Langkah Progresif

Dengan berdasar pada Putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015 sebagaimana telah diurai diatas, maka akan berlaku era baru dalam mekanisme Pembatalan Perda, yakni pembatalan Perda hanya dapat dilakukan oleh lembaga peradilan, dalam hal ini melalui Pengujian Perda ke Mahkamah Agung.

Sebagaimana diketahui pada awal sebelum adanya putusan MK, berlaku dua mekanisme Pembatalan Perda, yakni Pertama melalui melanisme pembatatalan Perda oleh Mendagri/Gubernur, atau sering dikenal dengan istilah (Executive Review). Yang kedua, melalui mekanisme pembatalan perda dengan pengujian oleh lembaga Peradilan dalam hal ini Mahkamah Agung atau yang sering disebut sebagai (Jucial Review).

Pasca Putusan MK, dengan adanya pemberian kewenangan pembatalan Perda hanya melalui lembaga Peradilan (Judial Review), maka setidaknya menurut analisis dan pandangan penulis terdapat tiga hal yang harus diperhatikan untuk dapat memastikan keberlangsungan pembentukan Perda yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum dan/atau kesusilaan serta tidak menghambat terhadap proses investasi yang ada didaerah.

Pertama, Pemerintah dalam hal ini melalui Kemendagri dapat mengintensifkan peran dan fungsi pengawasan antisipatif (preventif) terhadap rancangan perda yang belum disahkan oleh Pemerintah daerah atau sering dikenal dengan istilah (executive preview), hal itu dapat dilakukan guna meminimalisir kemungkinan munculnya Perda-perda yang akan bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi serta dapat menghampat proses investasi yang ada didaerah. Selain itu juga dapat dilakukan dengan mengoptimalkan fungsi Educatif atau pemberian pendidikan dan penyadaran tentang mekanisme pembentukan Perda yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik serta sesuai dengan pembangunan perekonomian dan investasi yang ada didaerah.

Kedua, Pemerintah Daerah baik Kepala Daerah maupun DPRD diharapkan juga dapat menahan diri, serta dapat menyaring terhadap kemungkinan pembentukan Perda-perda yang berpeluang bertentangan dengan perarutan perundang-undangan yang lebih tinggi dan dapat menghambat proses investasi yang ada didaerah, sehingga pada akhirnya Pemerintah Daerah juga dapat berperan guna memajukan perekomian dan pembangunan daerah.

Ketiga, dengan adanya kewenangan pembatalan perda yang hanya dapat dilakukan melalui mekanisme Yudicial Review, maka tentu akan berpengaruh terhadap peluang banyaknya Uji Materi Perda-perda yang tidak pro terhadap investasi didaerah ke Mahkamah Agung. Terhadap banyaknya kemungkinan Uji Materi Perda-perda yang dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi serta dianggap tidak pro terhadap pembangunan investasi didaerah, maka akan menyebabkan membludaknya perkara permohonan hak uji materi Pembatalan Perda di Mahkamah Agung. Untuk itu juga diperlukan adanya profesionalisme hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara yang berkaitan dengan Uji Materi Peraturan Perundang-Undangan dibawah Undang-undang terhadap Undang-Undang berkaitan dengan Perda yang ditengarai menghambat peningkatan investasi di daerah.

Terakhir yang menjadi harapan penulis semoga dengan adanya pemberian kewenangan pembatalan Perda hanya pada lembaga Peradilan melalui mekanisme Uji Materi di Mahkamah Agung, diharapkan tidak menjadikan Pemerintah Daerah untuk bertindak hanya dengan atas dasar kepentingan pribadi atau golongan dalam pembentukan Perda yang berkaitan dengan peningkatan pembangunan investasi daerah. Selain itu masyarakat juga diharapkan dapat berperan aktif dalam pembentukan Perda yang tidak menghambat peningkatan investasi di daerah.

Untuk mengantisipasi terhadap segala kemungkinan munculnya Perda-perda yang tidak pro terhadap pembangunan investasi didaerah, diperlukan komitmen bersama, baik Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah serta masyarakat untuk bersama-sama mengawal demi terciptanya Perda-perda yang pro terhadap pembangunan dan pengembangan investasi di daerah. Namun tidak menutup kemungkinan apabila terdapat Perda yang dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi serta tidak pro terhadap pembangunan investasi didaerah, maka demi keadilan masyarakat diharapkan untuk tidak segan-segan guna mengajukan Uji Materi Perda tersebut ke Mahkamah Agung.

Link : Pembatalan Perda Penghambat Investasi

Continue Reading