PELAYANAN PUBLIK YANG BAIK MERUPAKAN CERMIN KINERJA PEMERINTAH DAERAH

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Otonomi daerah merupakan suatu wujud demokrasi yang diberikan Pemerintah Pusat kepada Pemerintah daerah untuk mengurus sendiri rumah tanggannya dengan tetap berpegang kepada peraturan perundangan yang berlaku. Otonomi dijadikan sebagai pembatas besar dan luasnya daerah otonom dan hubungan kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah untuk menghindari daerah otonom menjadi Negara dalam Negara. Daerah otonom adalah batas wilayah tertentu yang berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ada dua tujuan yang ingn dicapai melalui kebijakan desentralisasi yaitu tujuan politik dan tujuan administrative. Tujuan Politik akan memposisikan Pemda sebagai medium pendidikan politik bagi masyarakat di tingkat local dan secara nasional unutk mempercepat terwujudnya civil society. Sedangkan tujuan administrative akan memposisikan Pemda sebagai unit pemerinthan di tingkat local yang berfungsi untuk menyediakan pelayanan masyarakat secara efektif dan ekonomis.

Pelayanan yang disediakan Pemda kepada masyarakat ada yang bersifat regulative(pengaturan) seperti mewajibkan penduduk untuk mempunyai KTP, KK. IMB, dsb. Sedangkan bentuk pelayanan lainnya adalah yang bersifat penyediaan public goods yaitu barang-barang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat seperti jalan, pasar, rumaha sakit, terminal dsb. Apapun barang dan regulasi yang disediakan oleh Pemda haruslah menjawab kebutuhan riil warganya. Tanpa itu, pemda akan kesulitan dalam memberikan akuntabilitas atas legitimasi yang telah diberikan kepada pemda untuk mengatur dan  mengurus masyarakat.

Misi keberadaan Pemda adalah begaimana mensejahterahkan masyarakat melalui penyediaan pelayanan public secara efektif, efisien, dan ekonomis serta melalui cara-cara yang demokratis. Demokrasi pada pemda berimplikasi bahwa pemda dijalankan oleh masyarakat sendiri melalui wakil-wakil rakyat yang dipilih secara demokratis dan dalam menjalankan misinya mensejahterahkan rakyat, wakil-wakil rakyat tersebut akan selalu menyerap, mengartikulasikan serta meng-agregasikan aspirasi rakyat tersebut kedalam kebijakan-kebijakan public tingkat local. Namun, kebijakan public di tingkat local tidak boleh bertentangan dengan kebijakan public nasional dan diselenggarakan dalam koridor-koridor norma, nilai dan hukum positif yang berlaku pada Negara dan bangsa tersebut.

Tujuan otonomi daerah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat daerah dengan mendekatkan pelayanan publik masih jauh dari harapan. Rasio daerah penerima transfer dana tertinggi dengan daerah yang menerima transfer terendah berbeda 127 kali lipat. Menurut Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Yuna Farhan “Transfer daerah tidak beranjak dari 31 persen sampai 34 persen dari total belanja negara. Padahal, sudah 70 persen urusan pemerintahan diserahkan ke daerah. Prinsip money follow the function belum dilaksanakan,”

Jenis dana perimbangan pun semakin banyak berkembang di luar yang diatur dalam Undang-Undang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, serta berpotensi merusak sistem dana perimbangan. Dari hanya tiga jenis dana perimbangan dalam komponen dana penyesuaian pada tahun 2009, berkembang menjadi tujuh jenis pada 2011. “Salah satu kasus yang masih hangat adalah dana penyesuaian infrastruktur, yang sarat dengan kepentingan politik dan membuka ruang praktik mafia anggaran. Bahkan, terdapat 10 bidang yang sama pada dana penyesuaian, juga dialokasikan pada dana alokasi khusus.

Kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah baik pusat maupun daerah dalam bentuk barang maupun jasa dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat harus sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tuntutan diatas harus dihadapi setiap pemerintah daerah, terutama pemerinah kabupaten/kota yang merupakan ujung tombak pelaksanaan asas desentralisasi sebagai daerah otonom yang mandiri dan memiliki kewenangan penuh untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Jika tidak mampu beradaptasi dengan perubahan, maka kabupaten/kota tidak akan mampu memenuhi harapan serta kebutuhan rakyat yang berdomisili di wilayahnya.

Semua itu menunjukkan betapa pentingnya penyelenggaraan pelayanan yang baik dan memuaskan diwujudkan dan menjadi perhatian utama pemerintah di era sekarang ini, era reformasi otonomi daerah. Kinerja pelayanan publik menjadi salah satu dimensi yang strategis dalam menilai keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah dan reformasi tata pemerintahan. Semakin tinggi kepedulian tata pemerintah yang baik (good governance), kinerja pelayanan publik akan semakin baik. Untuk menggambarkan bagaimana kapasitas aparatur pemerintah daerah kabupaten/kota dalam memberikan pelayanan kepada publik, untuk itu penulis tertarik untuk meneliti tentang Pelayanan Publik yang ada di Pemerintahan Daerah yang ada di Indonesia pada Umumnya.

I.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian singkat diatas, maka rumusan masalah yang saya ambil diantaranya :

  1. Bagaimana pelaksanaan Good Governace dalam Pemerintahan Daerah ?
  2. Bagaimana upaya optimalisasi fungsi pelayanan pemerintah daerah dalam upaya mencapai Good Governance ?

I.3. Tujuan Penulisan

  1. Untuk Mengetahui pelaksanaan Good Governace dalam Pemerintahan Daerah
  2. Untuk menganalisa upaya optimalisasi fungsi pelayanan pemerintah daerah dalam upaya mencapai Good Governance

I.4. Metode Penulisan

Dalam makalah ini metode yang digunakan adalah metode penulisan studi dokumen, yaitu cara penulisan yang didasarkan pada analisis terhadap beberapa asas hukum dan teori hukum serta peraturan perundang-undangan yang sesuai dan berkaitan dengan permasalahan dalam makalah ini. Penelitian hukum normatif ini adalah suatu prosedur dan cara penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari segi normatifnya.

  1. Bahan Hukum

Bahan hukum merupakan bahan dasar yang akan dijadikan acuan atau pijakan dalam penulisan makalah ini. Adapun yang menjadi bahan hukum dalam penulisan makalah ini terdiri dari 3 (tiga) bagian, yakni bahan hukum primer, skunder dan tersier yang dapat diurai sebagai berikut :

  1. a) Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari  peraturan perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.

  1. Bahan Hukum Skunder

Bahan hukum skunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Adapun bahan hukum skunder yang digunakan untuk memberikan penjelasan mengenai materi yang terdapat dalam bahan hukum primer berasal dari beberapa literatur, buku tesk, jurnal hukum, karangan ilmiah dan buku-buku lain yang berkaitan langsung dengan tema penulisan makalah ini.

  1. b) Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan skunder. Bahan hukum ini sebagai alat bantu dalam penulisan makalah ini. Adapun bahan hukum tersier ini dapat berupa kamus-kamus hukum yang berkaitan langsung dengan makalah ini.

  1. Analisis Bahan Hukum

Dalam makalah ini di gunakan metode analisis induktif kualitatitif, yaitu metode analisa dengan melakukan analisis terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan (rumusan masalah) yang terdapat dalam makalah ini untuk kemudian di korelasikan dengan beberapa asas dan teori yang menjadi landasan atau pisau analisa  dalam penulisan makalah ini sebagai langkah untuk menemukan konklusi, jalan keluar maupun konsepsi ideal tentang hal-hal yang berhubungan

BAB II

LANDASAN TEORI

  1. Otonomi Daerah

Istilah otonomi berasal dari bahasa Yunani autos yang berarti sendiri dan namos yang berarti Undang-undang atau aturan. Dengan demikian otonomi dapat diartikan sebagai kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri (Bayu Suryaninrat; 1985).

Beberapa pendapat ahli yang dikutip Abdulrahman (1997) mengemukakan bahwa :

  1. F. Sugeng Istianto, mengartikan otonomi daerah sebagai hak dan wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah.
  2. Ateng Syarifuddin, mengemukakan bahwa otonomi mempunyai makna kebebasan atau kemandirian tetapi bukan kemerdekaan. Kebebasan yang terbatas atau kemandirian itu terwujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan.
  3. Syarif Saleh, berpendapat bahwa otonomi daerah adalah hak mengatur dan memerintah daerah sendiri. Hak mana diperoleh dari pemerintah pusat.

Pendapat lain dikemukakan oleh Benyamin Hoesein (1993) bahwa otonomi daerah adalah pemerintahan oleh dan untuk rakyat di bagian wilayah nasional suatu Negara secara informal berada di luar pemerintah pusat. Sedangkan Philip Mahwood (1983) mengemukakan bahwa otonomi daerah adalah suatu pemerintah daerah yang mempunyai kewenangan sendiri yang keberadaannya terpisah dengan otoritas yang diserahkan oleh pemerintah guna mengalokasikan sumber sumber material yang substansial tentang fungsi-fungsi yang berbeda.

Dengan otonomi daerah tersebut, menurut Mariun (1979) bahwa dengan kebebasan yang dimiliki pemerintah daerah memungkinkan untuk membuat inisiatif sendiri, mengelola dan mengoptimalkan sumber daya daerah. Adanya kebebasan untuk berinisiatif merupakan suatu dasar pemberian otonomi daerah, karena dasar pemberian otonomi daerah adalah dapat berbuat sesuai dengan kebutuhan setempat.

Kebebasan yang terbatas atau kemandirian tersebut adalah wujud kesempatan pemberian yang harus dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, hak dan kewajiban serta kebebasan bagi daerah untuk menyelenggarakan urusan-urusannya sepanjang sanggup untuk melakukannya dan penekanannya lebih bersifat otonomi yang luas. Pendapat tentang otonomi di atas, juga sejalan dengan yang dikemukakan Vincent Lemius (1986) bahwa otonomi daerah merupakan kebebasan untuk mengambil keputusan politik maupun administrasi, dengan tetap menghormati peraturan perundang-undangan. Meskipun dalam otonomi daerah ada kebebasan untuk menentukan apa yang menjadi kebutuhan daerah, tetapi dalam kebutuhan daerah senantiasa disesuaikan dengan kepentingan nasional, ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Terlepas dari itu pendapat beberapa ahli yang telah dikemukakan di atas, dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 dinyatakan bahwa otonomi daerah adalah kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Beranjak dari rumusan di atas, dapat disimpulkan bahwa otonomi daerah pada prinsipnya mempunyai tiga aspek, yaitu :

  1. Aspek Hak dan Kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
  2. Aspek kewajiban untuk tetap mengikuti peraturan dan ketentuan dari pemerintahan di atasnya, serta tetap berada dalam satu kerangka pemerintahan nasional.
  3. Aspek kemandirian dalam pengelolaan keuangan baik dari biaya sebagai perlimpahan kewenangan dan pelaksanaan kewajiban, juga terutama kemampuan menggali sumber pembiayaan sendiri.

Yang dimaksud dengan hak dalam pengertian otonomi adalah adanya kebebasan pemerintah daerah untuk mengatur rumah tangga, seperti dalam bidang kebijaksanaan, pembiyaan serta perangkat pelaksanaannnya. Sedangkan kewajban harus mendorong pelaksanaan pemerintah dan pembangunan nasional.

Selanjutnya wewenang adalah adanya kekuasaan pemerintah daerah untuk berinisiatif sendiri, menetapkan kebijaksanaan sendiri, perencanaan sendiri serta mengelola keuangan sendiri.

Dengan demikian, bila dikaji lebih jauh isi dan jiwa undang-undang Nomor 23 Tahun 2004, maka otonomi daerah mempunyai arti bahwa daerah harus mampu :

  1. Berinisiatif sendiri yaitu harus mampu menyusun dan melaksanakan kebijaksanaan sendiri.
  2. Membuat peraturan sendiri (PERDA) beserta peraturan pelaksanaannya.
  3. Menggali sumber-sumber keuangan sendiri.
  4. Memiliki alat pelaksana baik personil maupun sarana dan prasarananya.
  1. Prinsip Otonomi Daerah

Otonomi daerah dan daerah otonom, biasa rancu dipahami oleh masyarakat. Padahal sebagaimana pengertian otonomi daerah di atas, jelas bahwa untuk menerapkan otonomi daerah harus memiliki wilayah dengan batas administrasi pemerintahan yang jelas.

Daerah otonomi adalah wilayah administrasi pemerintahan dan kependudukan yang dikenal dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan demikian jenjang daerah otonom ada dua bagian, walau titik berat pelaksanaan otonomi daerah dilimpahkan pada pemerintah kabupaten/kota. Adapun daerah provinsi, berotonomi secara terbatas yakni menyangkut koordinasi antar/lintas kabupaten/kota, serta kewenangan pusat yang dilimpahkan pada provinsi, dan kewenangan kabupaten/kota yang belum mampu dilaksanakan maka diambil alih oleh provinsi.

Secara konsepsional, jika dicermati berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, dengan tidak adanya perubahan struktur daerah otonom, maka memang masih lebih banyak ingin mengatur pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota. Disisi lain, pemerintah kabupaten/kota yang daerah otonomnya terbentuk hanya berdasarkan kesejahteraan pemerintahan, maka akan sulit untuk berotonomi secara nyata dan bertanggungjawab di masa mendatang.

Dalam diktum menimbang huruf (b) Undang-undang Nomor 22 tahun 1999, dikatakan bahwa dalam penyelenggaraan otonomi daerah, dipandang perlu untuk lebih menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta mempertimbangkan potensi dan keanekaragaman daerah.

Otonomi daerah dalam Undang-Undang Nomor 22  tahun 1999 adalah otonomi luas yaitu adanya kewenangan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup semua bidang pemerintahan kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal,  agama serta kewenangan-kewenangan bidang lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Di samping itu, keleluasaan otonomi maupun kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraannya, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi.

Dalam penjelesan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, dikatakan bahwa yang dimaksud dengan otonomi nyata adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintah di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh, hidup dan berkembang di daerah. Sedangkan yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggung jawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Atas dasar pemikiran di atas¸ maka prinsip-prinsip pemberian otonomi daerah dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 adalah sebagai berikut :

  1. Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan serta potensi dan keanekaragaman daerah yang terbatas.
  2. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.
  3. Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah Kabupaten dan daerah kota, sedang otonomi daerah provinsi merupakan otonomi yang terbatas.
  4. Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan kontibusi negara sehingga tetap terjalin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah.
  5. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah otonom, dan karenanya dalam daerah Kabupaten/daerah kota tidak ada lagi wilayah administrasi.
  6. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah, baik fungsi legislatif, fungsi pengawas maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan pemerintah daerah.
  7. Pelaksanaan azas dekonsentrasi diletakkan pada daerah provinsi dalam kedudukannya sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan sebagai wakil daerah.
  8. Pelaksanaan azas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari pemerintah kepada daerah, tetapi juga dari pemerintah dan daerah kepada desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggung jawabkan kepada yang menugaskannya.

Adapun tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan guna meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.

Sejalan dengan pendapat di atas, The Liang Gie dalam Abdurrahman (1987) mengemukakan bahwa tujuan pemberian otonomi daerah adalah :

  1. Mengemukakan kesadaran bernegara/berpemerintah yang mendalam kepada rakyat diseluruh tanah air Indonesia.
  2. Melancarkan penyerahan dana dan daya masyarakat di daerah terutama dalam bidang perekonomian.
  1. Good Governance dan Pemerintahan Daerah

Kata governance kini menjadi satu idiom yang dipakai secara luas, sehingga dapat dikatakan juga menjadi konsep payung dari sejumlah terminologi dalam kebijakan dan politik, kata ini acapkali digunakan secara serampangan untuk menjelaskan :  jaringan kebijakan  (policy networks, Rhodes: 1997), manajemen publik (public management, Hood: 1990), koordinasi antar sektor ekonomi (Cambell el al, 1991), kemitraan publik-privat (Pierre, 1998), corporate governance (Williamson, 1996) dan good govenance yang acapkali menjadi syarat utama yang dikemukakan oleh lembaga-lembaga donor asing (Lefwich, 1994)

Istilah governance dalam nomenclature ilmu politik  berasal dari bahasa Prancis gouvernance sekitar abad 14. Pada saat itu istilah ini lebih banyak merujuk pada pejabat-pejabat kerajaan yang menyelenggarakan tata kelola pemerintahan dibanding bermakna proses untuk memerintah atau lebih populer disebut “steering”. Perdebatan sejenis juga terjadi dalam wacana bahasa Jerman sekitar tahun 1970-an, untuk menunjuk pada persoalan efektivitas atau kegagalan fungsi kontrol politik -yang oleh Kooiman disebut sebagai governing- atau dalam bahasa Jerman “Steuerung” (steering). Perdebatan kosa ini makin populer diawal tahun 80-an, istilah “Steuerung” dipergunakan dalam perdebatan sosiologi makro yang merupakan terjemahan dari kontrol sosial. Akhirnya dalam wacana politik Jerman istilah ini dipopulerkan dalam perbincangan politik, Steuerung, dipergunakan untuk menunjukan kemampuan atoritas politik dalam menghela lingkungan sosialnya, misal sejauh mana politik mempunyai kepekaan untuk memerintah (governing) . Terakhir kosa ini juga diidentikkan sinonim dari kata governence. Perdebatan terhadap terminologi ini  terus berkembang, dan diperluas wacananya oleh Kaufmann (1985) yang memberikan limitasi governance sebagai ” successful coordination of behavior

Hingga kini perdebatan terhadap terminologi ini tetap terbuka lebar, apalagi interpretasi terhadapnya seringkali dilakukan secara longgar. Muhadjir Darwin (2000) misalnya, menjelaskan kesulitan untuk menemukan padanan makna yang memadai, acapkali penggunaan istilah ini dibiarkan apa adanya, karena sulit dicari padanannya dalam bahasa Indonesia. Bondan Winarno  pernah menawarkan sinomim istilah ini dengan “penyelenggaraan”. Muhadjir Darwin juga menegaskan bahwa notion ini tidak semata-mata menjelaskan fungsi pemerintah untuk menjalankan fungsi governing, tetapi juga aktor-aktor lain diluar negara dan pemerintah. Pemerintah adalah salah satu institusi saja yang menjalankan peran ini. Bahkan dapat terjadi peran pemerintah dalam fungsi governing ini digantikan dan dipinggirkan  oleh aktor-aktor lain, akibat bekerjanya elemen-elemen diluar pemerintah.  Hal ini sejalan dengan pemaknaan yang dilakukan oleh Pierre dan Peters (2000) yang menyatakan governance sebagai : “thinking about governance means thinking about how to steer the economy and society and how to reach collective goals

Sementara itu dalam konteks reposisi administrasi publik Frederickson memberikan interpretasi governance dalam empat terminologi   :

Pertama, Governance, menggambarkan bersatunya sejumlah organisasi atau institusi baik itu dari pemerintah atau swasta yang dipertautkan (linked together) secara bersama untuk mengurusi kegiatan-kegiatan publik. Mereka dapat bekerja secara bersama-sama dalam sebuah jejaring antar negara. Karenanya terminologi pertama ini, governance menunjuk networking dari sejumlah himpunan-himpunan entitas yang secara mandiri mempunyai kekuasaan otonom. Atau dalam ungkapan Frederickson adalah perubahan citra sentralisasi organisasi menuju citra organisasi yang delegatif dan terdesentralisir. Mereka bertemu untuk malakukan perembugan, merekonsiliasi kepentingan sehingga dapat dicapai tujuan secara kolektif atau bersama-sama. Kata kunci terminologi pertama ini adalah networking, desentralisasi.

Kedua, Governance sebagai tempat berhimpunnya berbagai pluralitas pelaku – bahkan disebut sebagai hiper pluralitas – untuk membangun sebuah konser antar pihak-pihak yang berkaitan secara langsung atau tidak (stake holders) dapat berupa : : partai politik, badan-badan legislatif dan divisinya, kelompok kepentingan, untuk menyusun pilihan-pilihan kebijakan seraya mengimplementasikan. Hal penting dalam konteks ini adalah mulai hilangnya fungsi kontrol antar organisasi menjadi, menyebarnya berbagai pusat kekuasaan pada berbagai pluralitas pelaku, dan makin berdayanya pusat-pusat pengambilan keputusan yang makin madiri. Sebagaimana dijelaskan Muhadjir Governance dalam konteks kebijakan adalah “… kebijakan publik tidak harus berarti kebijakan pemerintah, tetapi kebijakan oleh siapapun  (pemerintah, semi pemerintah, perusahaan swasta, LSM, komunitas keluarga) atau jaringan yang melibatkan seluruhnya tersebut untuk mengatasi masalah publik yang mereka rasakan. Kalaupun kebijakan publik diartikan sebagai apa yang dilakukan pemerintah , kebijakan tersebut  harus diletakkan sebagai bagian dari network kebijakan yang melibatkan berbagai komponen masyarakat tersebut..”.

Dengan demikian terminologi kedua ini menekankan, governance dalamm konteks pluralisme aktor dalam proses perumusan kebijakan dan implementasi kebijakan. Beberapa pertanyaan kunci yang penting : seberapa jauh kebijakan yang dilakukan pemerintah merespon tuntutan masyarakat, seberapa jauh masyarakat dilibatkan dalam proses tersebut, seberapa jauh masyarakat dilibatkan dalam proses implementasi, seberapa besar inisiatif dan kreativitas masyarakat tersalurkan, seberapa jauh masyarakat dapat mengakses informasi menyangkut pelaksanaan kebijakan tersebut, seberapa jauh hasil kebijakan tersebut memuaskan dan dapat dipertanggungjawabkan. Kata kunci dalam terminologi kedua ini adalah pluralitas aktor, kekuasaan yang makin menyebar, perumusan dan implementasi kebijakan bersama.

Ketiga, Governance berpautan dengan kecenderungan kekinian dalam literatur-literatur manajemen publik utamanya spesialisasi dalam rumpun kebijakan publik, dimana relasi multi organisasional antar aktor-aktor kunci terlibat dalam implementasi kebijakan. Kerjasama para aktor yang lebih berwatak politik, kebersamaan untuk memungut resiko, lebih kreatif dan berdaya, tidak mencerminkan watak yang kaku utamanya menyangkut : organisasi, hirarki, tata aturan. Dalam makna lebih luas governance merupakan jaringan (network) kinerja diantara organisasi-organisasi lintas vertikal dan horisontal untuk mencapai tujuan-tujuan publik. Kata kuncinya jaringan aktor lintas organisasi secara vertikal dan horisontal.

Keempat, terminologi Governance dalam konteks administrasi publik kental dengan sistem nilai-nilai kepublikan. Governance menyiratkan sesuatu hal yang sangat penting. Governance menyiratkan sesuatu keabsahan. Governance menyiratkan sesuatu yang lebih bermartabat, sesuatu yang positif untuk mencapai tujuan publik. Sementara terminologi pemerintah (government) dan birokrasi direndahkan, disepelekan mencerminkan sesuatu yang lamban kurang kreatif. Governance dipandang sebagai sesuatu yang akseptabel, lebih absah, lebih kreatif, lebih responsif dan bahkan lebih baik segalanya.

Dari keempat terminologi tersebut dapat ditarik pokok pikiran bahwa governance dalam konteks administrasi publik adalah merupakan proses perumusan dan implementasi untuk mencapai tujuan-tujuan publik yang dilakukan oleh aktor : pluralitas organisasi, dengan sifat hubungan yang lebih luwes dalam tataran vertikal dan horisontal, disemangati oleh nilai-nilai kepublikan antara lain keabsahan, responsif, kreatif. Dilakukan dalam semangat kesetaraan dan netwoking yang kuat untuk mencapai tujuan publik yang akuntabel.

Berdasarkan pemikiran ini governance adalah merupakan sebuah ekspansi notion dari makna administrasi publik yang semula hanya diartikan sebagai hubungan struktural antara aktor-aktor yang ada dalam mainstream negara. Secara tegas Milward dan O’Toole memberikan interpretasi governance dalam dua aras penting : Pertama, governance sebagai studi tentang konteks struktural dari organisasi atau institusi pada berbagai level (multi layered structural contex). Kedua, governance adalah studi tentang network yang menekankan pada peran beragam aktor sosial dalam sebuah jejaring negosiasi, implementasi, dan pembagian hasil. Merupakan konser social melibatkan pelaku-pelaku untuk mengakselerasikan kepentingan publik secara lebih adil dan menebarnya peran lebih merata sesuai dengan realitas pluralitas kepentingan dan aktor yang ada.

BAB III

PEMBAHASAN

  1. Penyelenggaraan Pelayanan Publik Pemerintahan Daerah

Tujuan pendirian Negara Republik Indonesia, seperti tertuang dalam Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, antara lain adalah untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Amanat tersebut mengandung makna negara berkewajiban memenuhi kebutuhan setiap warga negara melalui suatu sistem pemerintahan yang mendukung terciptanya penyelenggaraan pelayanan yang prima kepada masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar dan hak sipil setiap warga negara atas barang publik, jasa publik, dan pelayanan administratif.

Sementara itu kondisi saat ini seringkali masih menunjukkan bahwa penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat publik masih minim kualitas. Pelayanan kepada masyarakat  dihadapkan pada kondisi yang belum sesuai dengan kebutuhan dan perubahan di berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hal tersebut bisa disebabkan oleh ketidaksiapan untuk menanggapi terjadinya transformasi nilai yang berdimensi luas serta dampak berbagai masalah pembangunan yang kompleks. Sementara itu, tatanan baru masyarakat Indonesia dihadapkan pada harapan dan tantangan global yang dipicu oleh kemajuan di bidang ilmu pengetahuan, informasi, komunikasi, transportasi, investasi, dan perdagangan.

Kondisi tersebut memacu perubahan yang semakin cepat yang perlu disikapi secara bijak oleh Pemerintah melalui langkah-langkah pengambilan kebijakan, penciptaan program dan kegiatan yang berkesinambungan dalam berbagai aspek pembangunan untuk membangun kepercayaan masyarakat guna mewujudkan tujuan pembangunan nasional melalui perwujudan pelayanan yang prima kepada masyarakat. Perubahan tersebut juga telah menempatkan pelayanan kepada masyarakat sebagai ukuran utama kinerja pemerintah.

Otonomi daerah merupakan strategi yang digunakan Pemerintah agar pelayanan kepada masyarakat benar-benar menjadi jiwa manajemenen pemerintahan sehingga kesejahteraan masyarakat dapat semakin meningkat melalui pemberian kewenangan yang luas kepada Pemerintah Daerah (Pemda) untuk mengurus sendiri urusan pemerintahannya menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Untuk itu maka maksud utama dari otonomi daerah ini adalah untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan kualitas pelayanan, pemberdayaan dan peningkatan peran masyarakat. Pemerintah daerah diasumsikan sebagai bagian birokrasi pemerintahan yang paling dekat dengan masyarakat didaerahnya sehingga paling mengerti apa yang dibutuhkan oleh masyarakatnya.

Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah yang berlaku saat ini mendorong berbagai upaya untuk menciptakan good governance melalui penciptaan proses check and balances penyelenggaraan Pemerintah Daerah yang lebih berimbang. Hal ini tercermin dari tuntutan untuk terus meningkatkan akuntabilitas publik yang salah satunya adalah akuntabilitas publik dalam  hal penyediaan layanan kepada masarakat.

Untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat Pemerintah telah mengambil langkah dengan mewajibkan Pemerintah Daerah untuk mencapai Standar Pelayanan Minimal (SPM), yang ditetapkan oleh setiap Menteri terkait, dalam penyelenggaraan pelayanan dasar yang merupakan bagian dari pelaksanaan urusan wajib untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat.

Selain itu, SPM juga diposisikan untuk menjawab isu-isu krusial dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, khususnya dalam penyediaan pelayanan dasar yang bermuara pada penciptaan kesejahteraan rakyat. Upaya ini sangat sesuai dengan apa yang secara normatif dijamin dalam konstitusi sekaligus untuk menjaga kelangsungan kehidupan berbangsa yang serasi, harmonis dan utuh dalam koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Standar Pelayanan Minimal (SPM) pada dasarnya adalah merupakan bagian dari pelayanan kepada masyarakat dalam bentuk Pelayanan Publik. Sesuai dengan urusan kepemerintahan daerah yang terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan maka Standar Pelayanan Minimal (SPM) merupakan bagian dari pelaksanaan urusan wajib dalam hal penyelenggaraan pelayanan dasar. Sementara diluar pelayanan dasar terdapat pelayanan lainnya yang merupakan bagian dari urusan pilihan yang dituangkan  dalam bentuk standar pelayanan. Kedua standar pelayanan ini diharapkan dapat menjadi pondasi bagi Pemerintah Daerah dalam menyusun dan membangun Standar Pelayanan Prima (SPP).

Kondisi penyelenggaraan pelayanan publik saat ini masih belum memadai, karena masih banyaknya keluhan dan pengaduan dari masyarakat baik secara langsung maupun melalui media massa, seperti: prosedur yang berbelit-belit, tidak ada kepastian jangka waktu penyelesaian, tidak jelas berapa biaya yang harus dikeluarkan, persyaratan yang tidak transparan, sikap petugas yang kurang responsif dan lain-lain, sehingga menimbulkan citra yang kurang baik terhadap citra pemerintah dan pemerintah daerah.

Menurut Ismail Mohamad (2003:2) bahwa:

“…permasalahan utama pelayanan publik pada dasarnya adalah berkaitan dengan peningkatan kualitas pelayanan itu sendiri. Pelayanan yang berkualitas sangat tergantung pada berbagai aspek, yaitu bagaimana pola penyelenggaraannya (tata laksana), dukungan sumber daya manusia, dan kelembagaan. Dilihat dari sisi pola penyelenggaraannya, pelayanan publik masih memiliki berbagai kelemahan antara lain: kurang responsif, kurang informatif, kurang accessible, kurang koordinasi, birokratis, kurang mau mendengar keluhan/saran/aspirasi masyarakat, dan in-efisien.”

Senada dengan hal tersebut di atas, Feisal Tamin (2004:4) mengatakan: “…kita sungguh menyadari bahwa jajaran aparatur pemerintah memang masih mempunyai berbagai kelemahan dalam penyelenggaraan pelayanan publik dalam berbagai sektor pelayanan. Kelemahan-kelemahan tersebut dapat diketahui melalui pengaduan dan keluhan yang disampaikan masyarakat, baik secara langsung maupun melalui media massa, antara lain menyangkut sistem dan prosedur pelayanan yang berbelit-belit, tidak transparan, kurang informatif, kurang akomodatif, dan tidak konsisten, sehingga tidak menjamin kepastian hukum, waktu dan biaya serta masih adanya praktek percaloan dan pungutan tidak resmi”.

Pelayanan publik yang ada selama ini memang selalu dihadapkan pada masalah-masalah seperti dikemukakan di atas. Survey yang dilakukan oleh Litbang Kompas terhadap 885 responden dengan tingkat kepercayaan 95% pada tanggal 28 Februari sampai dengan 1 Maret 2007, terungkap bahwa birokrasi Indonesia gagal menjalankan fungsi pelayanan publiknya. Ketidakpastian waktu menjadi problem bagi masyarakat ketika berurusan dengan birokrasi. Urusan kecil bisa makan waktu yang lama. Inilah fenomena yang dirasakan sebagian besar (62,9%) responden. Menurut mereka, berurusan dengan aparat birokrasi selalu makan waktu lama. Selain ketidakpastian waktu, ketidakpastian biaya menjadi keluhan warga ketika berurusan dengan birokrasi. Tidak sedikit warga yang menyogok aparat birokrasi demi kelancaran urusannya. Dari fenomena ini, lebih dari separuh (58%) responden menganggap aparat birokrasi gampang disuap. Pencitraan tersebut, bisa jadi, dipicu juga oleh ketidakpuasan responden terhadap etos kerja birokrasi selama ini. Sebagian besar responden menyatakan tidak puas dengan kelambatan birokrasi dalam melayani urusan publik. Penilaian yang sama juga diungkapkan 65,3% responden terhadap efektivitas kerja birokrasi. Sementara untuk kedisiplinan, kecermatan, dan kesigapan kerja, sebagian besar responden masih kecewa.

  1. Upaya Penyelenggaraan Pemerintahan daerah Sesuai dengan Prinsip Good Governance

Sistem penyelenggaraan pemerintahan negara merupakan unsur penting dalam suatu negara. Oleh karena itu, maka tidak berlebihan apabila salah satu faktor penentu krisis nasional dan berbagai persoalan yang melanda bangsa Indonesia bersumber dari kelemahan di bidang manajemen pemerintahan, terutama birokrasi, yang tidak mengindahkan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik (good governance). Memasuki era reformasi, hal tersebut diakui, sehingga melalui TAP MPR RI No. XI/MPR/1999 tentang Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas KKN, dan Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme bangsa Indonesia menegaskan tekad untuk senantiasa bersungguh-sungguh mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan negara dan pembangunan yang didasarkan pada prinsip-prinsip good governance.

Jika kita melihat bagian-bagian dari partisipasi yang dapat dilakukan oleh publik atau masyarakat diatas, maka dapat disimpulkan bahwa partisipasi publik dalam pengambilan suatu keputusan sangatlah penting. Partisipasi publik menjadi sangat penting urgensinya dalam proses pengambilan keputusan setelah dikampanyekannya good governance oleh Bank Dunia maupun United Nations Development Program (UNDP). Mengenai good governance, Hetifah Sj. Sumarto berpendapat:

“Salah satu karakteristik dari good governance atau tata kelola pemerintahan yang baik atau kepemerintahan yang baik adalah partisipasi. Selanjutnya UNDP mengartikan partisipasi sebagai karakteristik pelaksanaan good governance adalah keterlibatan masyarakat dalam pembentukan keputusan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui lembaga perwakilan yang dapat menyalurkan aspirasinya. Partisipasi tersebut dibangun atas dasar kebebasan bersosialisasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif”.

Menurut T. Gayus Lumbuun, dalam kepustakaan Hukum Administrasi Negara asas-asas umum pemerintahan yang baik telah disistematisasi oleh para ahli terkemuka dan dianut di beberapa negara, antara lain seperti di Belanda dikenal dengan “Algemene Beginselen van Behoorllijke Bestuur” (ABBB), di Inggris dikenal “The Principle of Natural Justice”, di Perancis dikenal “Les Principaux Generaux du Droit Coutumier Publique”, di Belgia dikenal “Aglemene Rechtsbeginselen”, di Jerman dikenal “Verfassung Sprinzipien” dan di Indonesia “Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik” (AUPB). Untuk mengenal asas-asas umum pemerintahan yang baik menurut pendapat ahli maupun yang berkembang di Peradilan Administrasi, akan diuraikan berikut ini:

  1. Menurut sistematisasi van Wijk/Konijnenbel yang dikutip oleh Indroharto dalam bukunya berjudul “Usaha memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara” tahun 1994, Asas-asas umum Pemerintahan yang Baik dikelompokkan:
  2. Asas-asas formal mengenai pembentukan keputusan yang meliputi Asas kecermatan formal dan Asas “fair play”.
  3. Asas-asas formal mengenai formulasi keputusan yang meliputi Asas Pertimbangan dan Asas kepastian Hukum formal.
  4. Asas-asas Meterial mengenai isi Keputusan yang meliputi Asas kepastian hukum material, Asas kepercayaan atau asas harapan-harapan yang telah ditimbulkan, Asas persamaan, Asas kecermatan material dan Asas keseimbangan.
  5. Di Belanda Asas-asas umum pemerintahan yang baik dipandang sebagai norma hukum tidak tertulis, namun harus ditaati oleh pemerintah, sehingga dalam Wet AROB (Administrative Rechtspraak Overheidsbeschikkingen) yaitu Ketetapan-ketetapan Pemerintahan dalam Hukum Administrasi oleh Kekuasaan Kehakiman “Tidak bertentangan dengan apa dalam kesadaran hukum umum merupakan asas-asas yang berlaku (hidup) tentang pemerintahan yang baik”. Hal itu dimaksudkan bahwa asas-asas itu sebagai asas-asas yang hidup, digali dan dikembangkan oleh hakim. Asas-asas umum pemerintahan yang baik, yang terkenal dan dirumuskan dalam Yurisprudensi AROB sebagai berikut:
  6. Asas pertimbangan (motiveringsbeginsel)
  7. Asas kecermatan (zorgvuldigheidsbeginsel)
  8. Asas kepastian hukum (rechtszekerheidsbeginsel)
  9. Asas kepercayaan (vertrouwensbeginsel of beginsel van opgewekte verwachtingen)
  10. Asas persamaan (gelijkheidsbeginsel)
  11. Asas keseimbangan (evenredigheidsbeginsel)
  12. Asas kewenangan (bevoegheidsbeginsel)
  13. Asas fair play (beginsel van fair play)
  14. Larangan “detournement de pouvoir” atau penyalahgunaan wewenang (het verbod detournement de pouvoir)
  15. Larangan bertindak sewenang-wenang (het verbod van willekeur).
  16. Di Perancis Asas-asas umum pemerintahan yang baik (Les Principaux Generaux du Droit Coutumier Publique) dirumuskan:
  17. Asas persamaan (egalite).
  18. Asas tidak boleh mencabut keputusan bermanfaat (intangibilite de effects individuels des actes administratifs). Dengan asas ini keputusan yang regelmatig (teratur/sesuai dengan peraturan) tidak boleh dicabut apabila akibat hukum yang bermanfaat telah terjadi.
  19. Asas larangan berlaku surut (principe de non retroactivite des actes administratifs).
  20. Asas jaminan masyarakat (garantie des libertes publiques).
  21. Asas keseimbangan (proportionnalite).
  22. Dalam kepustakaan Hukum Administrasi di Indonesia, Prof. Kuntjoro Purbopranoto dalam bukunya yang berjudul “Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Negara” menguraikan asas-asas umum pemerintahan yang baik dalam 13 asas, yaitu:
  23. Asas kepastian hukum (principle of legal security);
  24. Asas keseimbangan (principle of proportionality);
  25. Asas kesamaan (dalam pengambilan keputusan pangreh) – principle of equality;
  26. Asas bertindak cermat (principle of carefuleness);
  27. Asas motivasi untuk setiap keputusan pangreh (principle of motivation);
  28. Asas jangan mencampuradukkan kewenangan (principle of non misuse of competence);
  29. Asas permainan yang layak (principle of fair play);
  30. Asas keadilan atau kewajaran (principle of reasonableness or prohibition of arbitrariness);
  31. Asas menanggapi pengharapan yang wajar (principle of meeting raised expectation);
  32. Asas meniadakan akibat-akibat suatu keputusan yang batal (principle of undoing the consequences of an annulled decision);
  33. Asas perlindungan atas pandangan hidup (cara hidup) pribadi (principle of protecting the personal way of life);
  34. Asas kebijaksanaan (sapientia);
  35. Asas penyelenggaraan kepentingan umum (principle of public service).
  36. Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999, maka asas-asas umum pemerintahan yang baik di Indonesia diidentifikasikan dalam Pasal 3 dan Penjelasanya yang dirumuskan sebagai asas umum penyelenggaraan negara. Asas ini terdiri dari:
  37. Asas Kepastian Hukum;

Adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggara Negara.

  1. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara;

Adalah asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan negara.

  1. Asas Kepentingan Umum;

Adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif.

  1. Asas Keterbukaan;

Adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara.

  1. Asas Proporsionalitas;

Adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban Penyelenggara Negara.

  1. Asas Profesionalitas;

Adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

  1. Asas Akuntabilitas.

Adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Penyelenggara Negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Disamping itu, Pasal 5 Undang-undang Nomor 28 tahun 1999 dan Pasal 3 ayat (1) TAP MPR XI/MPR/1998 Tentang Penyelenggaraan Nagara Yang Bersih dan Bebas KKN menentukan untuk menghindari segala bentuk KKN, seseorang yang dipercaya menjabat suatu jabatan dalam penyelenggaraan negara harus bersumpah sesuai dengan agamanya dan harus mengumumkan dan bersedia diperiksa kekayaannya sebelum dan setelah menjabat, melaksanakan tugas tanpa membedakan suku, agama, ras dan golongan, melaksanakan tugas dengan penuh rasa tanggung jawab, tidak melakukan perbuatan tercela, melaksanakan tugas tanpa pamrih baik untuk kepentingan pribadi, keluarga, maupun kelompok dan tidak mengharapkan imbalan dalam bentuk apapun yang bertentangan dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku serta bersedia menjadi saksi dalam perkara KKN dan perkara lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik yang berlaku secara universal dibeberapa negara sebagai hukum tidak tertulis, di Indonesia dengan berlakunya Undang-undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN merumuskan asas-asas umum penyelenggaraan negara tersebut secara formal mengikat penyelenggara negara untuk dilaksanakan dalam tugas dan fungsinya.

BAB IV

PENUTUP

IV.1. Kesimpulan

  1. Pelaksanaan Good Governance di Daerah masih jauh dari prinsip-prinsip yang ada dalam Undang-Undang Pelayanan Publik
  2. Upaya untuk mencapai Pelayanan Prima didaerah dapat dilakukan baik oleh tingkatan internal pemerintah daerah atau eksternal daerah yang dapat melalui masyarakat yang ada di daerah

IV.2. Saran

  1. Diharapkan Good Governace pada pemerintahan daerah dapat diupayakan dan dioptimalisasikan, mengingat tujuan dari aparatur pemerintahan sebagai abdi masyarakat.
  2. Upaya pencapaian Good Governance pada pemerintahan daerah harus dioptimalisasikan, baik dari tingkatan internal aparatur pemerintahan, maupun dari eksternal pemerintahan.

DAFTAR PUSTAKA

Box, Richard C., 1998, Citizen Governance : Leading American Communities into the 21st Century, Sage Publications, London

Dahl, Robert A. 1998, On Democracy, Yale University Press, London

Darwin, Muhadjir, 2000, Akuntabilitas Pelayanan Publik, makalah disampaikan dalam Seminar Sehari FISIPOL UGM Yogyakarta

Darwin, Muhadjir, 2000, Good Governance dan Kebijakan Publik,  Makalah disampaikan dalam Forum Seminar Forum LSM Yogyakarta bertema : Mewujudkan Good Governance sebagai Agenda Sebuah Negara Demokrasi , tanggal 30 September 2000, Yogyakarta,

Frederickson, H. George, 1997, The Spirit of Public Administration, Jossey-Bass Publishers, San Francisco.

Frederickson, H. George, 2000, The Repositioning of American Public Administration, American Political Science Association, available at APSANET 18p.

Fukuyama, Francis, 1996, Trust : The Social Virtues and The Creation of Prosperity, Free Press Paperback Book, Simon  and Schuster, New York

Fukuyama, Francis, 1999, Social Capital and Civil Society, Paper for delivery at the IMF Conference on Second Generations Reforms, The Institute of Public Policy, George Mason University. Available at http//www.imf.com. 21 p.

Fukuyama, Francis, 1999, The Great Disruption : Human nature and the Reconstitution of Social Order, Free Press Paperback Book, Simon  and Schuster, New York

Hardin, Russell, 1997, Distrust, New York University, New York, 21 p.

Knack, Stephen, 2000, Social Capital and the Quality of Government : Evidence from the U.S. States, World Bank Paper, available at http://www1.worldbank. org/publicsector/

Kobrak, Peter, 1996, The Social Responsibilities of A Public Entrepreneur, dalam Administration and Society Vol. 28 No. 2 Ausgust 1996

Kooiman, Jan, 1993, Modern Governance : New Government-Society Interaction, Sage Publication, London

Levi, Margaret,  1999, When Good Defenses Make Good Neighbors : A Transaction Cost Approach to Trust and Distrust, Paper originally prepared for presentation at the 2nd Annual Meeting of the International Society for the New Institutional Economic (ISNIE), Paris September, 17-19, 1998 and at the Conference on Social Networks and Social capital, Duke University, October 30 November 1, 1998. Revised at January, 1999, Published by Department of Political Science,, University of Washington

Lynch, Thomas D. dan Cynthia E. Lynch, 2000, A Theory of  Soul, Lousiana State University Amerika, availabe on http://www.uwf.edu/whitcntr/clynch.htm.

Pierre, Jon and B. Guy Peters, 2000, Governance, Politics and The State, Macmillan Press Ltd, London

Rothstein, Bo, 1998, The Universal Welfare State as a Social Dilemma, Department of Political Science, University of Goteborg, Swedia. 16 p.

Rothstein, Bo, 1998, Trust, Social Dilemmas and Strategic Construction of Collective Memories, Department of Political Science, University of Goteborg, Swedia. 26

Seligman, Adam B., 1998, Between Public and Private : Towards a Sociology of Civil Society dalam Robert W. Hefner (eds), 1998, Democratic Civility : The History and Cross-Cultural Possibility of a Modern Political Ideal, Transaction Publishers, New Brunswick (USA).

Shah, Anwar, 1997, Balance, Accountability, and Responsiveness : Lessons about Decentralization, paper presented in the World Bank Conference on Evaluation and Development, April 1-2, 1997. Available at Ashah@WORLDBANK.ORG@INTERNET

Suhardono, Edy, 2000, Good Governance dan (versus) Demokrasi Liberal, makalah disampaikan dalam seminar (nasional) sehari bertema  “Mewujudkan Good Governance sebagai Agenda Sebuah negara Demokrasi”, Forum LS DIY

Thoha, Miftah, 2000, Peran Ilmu Administrasi Publik dalam Mewujudkan Tata Kepemerintahan yang Baik, Orasi Ilmiah, Disampaikan pada pembukaan Kuliah PPS UGM tahun Akademik 2000/2001, 4 September 2000

Continue Reading

KESIAPAN PEMERINTAH KABUPATEN BANGKALAN DI WILAYAH KECAMATAN KAMAL DALAM RANGKA MENINGKATKAN PELAYANAN PUBLIK (PROPOSAL PENELITIAN)

  1. JUDUL PENELITIAN

KESIAPAN PEMERINTAH KABUPATEN BANGKALAN

DI WILAYAH KECAMATAN KAMAL

DALAM RANGKA MENINGKATKAN PELAYANAN PUBLIK

[STUDI YURIDIS SOSIOLOGIS TERHADAP PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PELAYANAN PUBLIK]

  1. LATAR BELAKANG

Reformasi telah menghasilkan perubahan-perubahan baik dalam sistem ketatanegaraan maupun perangkat hukum baik yang ada dipusat maupun didaerah. Konsep otonomi daerah yang tertuang dalam UU No. 22 Tahun 1999 yang kemudian dirubah dengan UU No. 32 Tahun 2004 salah satu nilai filosofinya adalah semakin mendekatnya pelayanan pemerintah kepada masyarakat, oleh karena itu pemerintah tidak hanya dituntut responsif akan tetapi diharapkan sensitif terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat yang ada di daerah tidak terkecuali terhadap hal yang berkaitan dengan pelayanan prima. Responsif dalam artian bahwa Pemerintah diharapkan tanggap terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakat yang telah hangat dibicarakan oleh masyarakat. Sensitif adalah Pemerintah diharapkan dapat mengetahui terhadap keinginan-keinginan masyarakat yang belum menjadi pembicaraan yang belum muncul di ruang publik.

Pelayanan publik merupakan pilar dasar penyelenggaraan Pemerintah yang berbasis kerakyatan.1) Hal ini tidak dapat dipungkiri bahwa pelayanan publik (public service) yang baik merupakan bagian penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance). Semua kalangan masyarakat tentu sangat menginginkan adanya pelayanan prima yang mengedepankan demokrasi, transpransi, akuntabilitas, responsibilitas dengan paradigma baru (the new paradigm) yakni berubahnya birokrasi sebagai pangreh menjadi abdi alias pelayan masyarakat. Apabila birokrasi telah sadar akan kedudukanya sebagai pelayan masyarakat, maka tidak akan ada persoalan yang berkaitan dengan pelayanan serta akan memuaskan pihak-pihak yang dilayani. Tuntutan tersebut semakin berkembang seirama dengan tumbuhnya kesadaran bahwa warga negara memiliki hak untuk dilayani dan kewajiban pemerintah daerah untuk dapat memberikan pelayanan.

Pelayanan publik merupakan aktivitas atau kegiatan organisasi publik yang dilakukan oleh aparaturnya dengan memberikan jasa-jasa atau kemudahan-kemudahan dalam rangka mengmalkan dan mengabdikan diri kepada publik atau masyarakat. Tetapi dalam prakteknya terdapat masalah yang dirasakan masyarakat bahwa saat ini terdapat patologi dan stigma birokrasi pelayanan publik, antara lain: aparat pelayanan lebih menampilkan diri sebagai majikan daripada pelayan, lebih mementingkan diri-sendiri daripada masyarakat yang harus dilayani, lebih berorientasi pada status quo dari pada peningkatan pelayanan, lebih memusatkan pada kekuasaan dan cenderung menolak perubahan serta lebih mementingkan prosedur daripada subtansi.

Format kebijakan otonomi daerah yang ada pada saat ini menandai awal dari suatu perubahan fundamental dalam paradigma penyelenggaraan pemerintahan di negeri ini.2) Kalau pada pemerintahan orde baru, pembangunan menjadi misi terpenting pemerintah (developmentalism) dan pemerintah yang pada masa itu menjadikan dirinya sebagai pusat kendali proses pembangunan (sentralistik), serta sedikit sekali kewenangan yang menjadi kebutuhan pemerintah daerah diberikan kepada daerah, sehingga daerah tidak dapat mengembangkan potensi yang ada, dan pada akhirnya daerah-daerah cenderung stagnan/sulit untuk berkembang. Namun pasca demokrasi digulirkan, maka semua itu harus bereposisi diri yakni diberikannya kewenangan kepada daerah-daerah yang menjadi kebutuhan daerah terutama permasalahan pelayanan dan pemberdaya masyarakat yang ada didaerah. Karena peningkatan pelayanan merupakan hal yang sangat esensial guna mendorong atau menunjang dinamika interaksi kehidupan masyarakat, baik sebagai sarana untuk memperoleh hak-haknya, maupun sebagai sarana kewajiban masyarakat sebagai warga Negara yang baik.3)

Penyeleggaraan pelayanan publik oleh aparatur pemerintah dewasa ini masih ditemukan banyak kelemahan sehingga belum dapat memenuhi kualitas yang diharapkan masyarakat. Diberbagai tempat masih terdapat berbagai macam keluhan-keluhan baik yang dilaporkan secara langsung maupun melalui media-media yang ada sehingga menimbulkan citra yang kurang baik terhadap aparatur pemerintah. Pergeseran fungsi pemerintah yang pada dasarnya sebagai abdi masyarakat cendrung terabaikan, sehingga citra yang digulirkan oleh masyarakat adalah pemerintah sebagai ancaman bagi kehidupan masyarakat. Padahal harus diingat bahwa fungsi pemerintah yakni adalah melayani masyarakat maka pemerintah perlu terus berupaya meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat.4)

Suatu penerintahan akan berjalan dengan baik apabila dikontrol oleh kekuatan-kekuatan politik atau organisasi massa.5) Namun, bila kekuatan-kekuatan politik dan organisasi massa tersebut kurang mampu menjalankan fungsi-fungsi artikulasi dan agregasi kepentingan masyarakat, apalagi tidak ditunjang dengan adanya proses pengambilan keputusan (rule making) dan pengontrolan pelaksanaan keputusan yang baik, maka hal ini dapat mengakibatkan kekuasaan birokrasi menjadi semakin besar. Apabila kekuasaan birokrasi lebih besar, akan memungkinkan aparat birokrasi dapat dengan leluasa mengendalikan lingkungan luar birokrasi, sehingga dapat mengokohkan kedudukannya dalam tatanan organisasi pemerintahan negara. Oleh karena itu, perlu adanya alat pengendali bagi aparat birokrasi dalam menggunakan dan menjalankan kekuasaannya baik yang bersifat normatif maupun yang bersifat legalistik. Akan tetapi alat pengendali yang berupa legalistic dan normative (peraturan perundang-undangan) harus juga sesuai dengan yang diharapkan bersama, yakni masyarakat dan aparat pemerintah pada umumnya.

Di Jawa Timur perdebatan pengaturan tentang pelayanan publik sangat alot dan relatif memakan waktu yang cukup lama.6) Berbagai macam pandangan bermunculan, ada yang mengatakan bahwa pengaturan tentang pelayanan publik tidak perlu diatur dalam bentuk peraturan daerah, alasannya belum adanya payung hukum yang dapat dijadikan dasar pembentukan peraturan daerah tersebut, serta cukup diatur dalam serpihan dan pecahan Undang-Undang yang terdapat subtansi hukum tentang peran serta masyarakat. Disisi yang lain terdapat desakan untuk segera dibentuknya peraturan daerah tentang pelayanan publik di Jawa Timur yakni untuk meredam kekosongan hukum yang berkaitan dengan pelayanan publik, karena memang belum ada yang mengatur secara spesifik hal yang berkaitan dengan pelayanan publik, sehingga masyarakat dapat berlindung dibawah payung hukum yang jelas apabila terdapat pelayanan yang kurang prima yang dilakukan penyelenggara pelayanan publik. Disisi yang lain ada yang mengatakan keberadaannya tidak perlu berbentuk Peraturan Daerah, akan tetapi cukup dengan Intruksi Gubernur, mengingat Undang-Undang tentang pelayanan publik juga dibahas di DPR, namun sampai hari ini belum disahkan menjadi Undang-Undang (hanya sebatas Rancangan Undang-Undang Pelayanan Publik), bagaimana jikalau nantinya Peraturan Daerah yang disahkan bertentangan dengan Undang-Undang tentang Pelayanan Publik, apakah begitu saja akan menghapus Peraturan Daerah yang telah ada, padahal tidak sedikit dana yang dikeluarkan untuk pembuatan satu produk hukum yang berupa peraturan daerah.

Setelah melalui perbincangan yang cukup lama, akhirnya pemerintah propinsi Jawa Timur bertekad untuk membentuk Peraturan Daerah tentang pelayanan publik dengan segala konsekuensi logis yang akan dihadapi. Konsekuensi yang akan dihadapi adalah salah satunya belum siapnya penyelenggara pelayanan publik untuk melaksanakan asas-asas yang terkandung dalam Peraturan Daerah tentang Pelayanan Publik, mengingat kemampuan yang ada di setiap daerah tidak sama. Alasan yang menjadi dasar dibentuknya Perda pelayanan publik oleh pemerintah Propinsi Jawa Timur adalah bahwa pelayanan merupakan pilar dasar penyelenggaraan pemerintahan yang berbasis kerakyatan.7) Alasan tersebut dijadikan alasan bagi dibentuknya perda pelayanan publik adalah atas berbagai keluhan-keluhan baik langsung maupun tidak yang dilakukan oleh kalangan masyarakat.

Konsekuensi dari dibentuknya Perda Pelayanan Publik, maka dibentuk juga Komisi Pelayanan Publik (KPP) yang merupakan lembaga yang dalam melaksanakan tugas dan fungsinya harus bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Adapun yang menjadi fungsi dari Komisi Pelayanan Publik adalah menerima pengaduan dan bertugas mengadakan verifikasi, memeriksa dan menyelesaikan sengketa pelayanan publik serta memberikan saran atau masukan baik diminta maupun tidak kepada Kepala Daerah dan Penyelenggara Pelayanan Publik dalam rangka memperbaiki kinerja pelayanan melalui DPRD. Untuk itu masyarakat dapat melakukan pengaduan apabila terdapat pelayanan dari pihak penyelenggaraan pelayanan publik yang tidak memuaskan pelanggan untuk mendapat penyelesaian. Disini masyarakat diberikan kelelusaan untuk melaporkan segala pelayanan yang diberikan oleh pemerintah apabila dirasa kurang atau bahkan tidak memuaskan.

Atas dasar itulah maka diharapkan pemerintah propinsi Jawa Timur dapat menuntaskan segala persoalan yang berkaitan dengan pelayanan prima sehingga akan tercipta iklim kualitas pelayanan yang baik yakni mendapatkan pengakuan dari pihak-pihak yang dilayani. Pengakuan ini bukan dari aparatur akan tetapi dari customer/pelanggan.8) Karena harus dipahami bahwa keberhasilan suatu organisasi tidak akan bisa dapat dinilai dari orang dalam struktur organisasi yang bersangkutan, akan tetapi orang diluar organisasi yang bersangkutan yang dapat memberikan penilaian terhadap kinerja yang telah dilakukan. Inilah yang dinamakan check and balance dimana terdapat pihak yang memberikan penilaian terhadap kinerja sutu birokrasi, dimana yang melakukan penilaian adalah masyarakat.

Tidak terkecuali setelah dibentuknya Peraturan Daerah tentang Pelayanan Publik, maka semua daerah yang masih merupakan territorial Jawa Timur diwajibkan melaksanakan konsep pelayanan prima yang sudah digariskan oleh Perda Nomor 11 Tahun 2005 yang dipertegas dengan dikeluarkannya Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 14 Tahun 2006 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Propinsi Jawa Timur Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pelayanan Publik.

Kabupaten Bangkalan yang juga merupakan bagian dari Pemerintah Jawa Timur, maupun daerah-daerah yang lain yang juga masih didalam teritorial Jawa Timur diwajibkan dapat melaksanakan Pelayanan Publik yang sudah digariskan dalam Peraturan Daerah tentang Pelayanan Publik. Namun kendala-kendala yang dihadapi pemerintah daerah tentu masih banyak, mengingat tingkat kesiapan pada masing-masing daerah sangat beragam, untuk itu diperlukan sosialisi yang mantap guna mengantisipasi hal-hal yang dapat menghambat pelaksanaan pelayanan prima di Jawa Timur. Peranserta masyarakat juga akan sangat berarti dalam mengawal era pelayanan yang berbasis kerakyatan seperti yang telah diinginkan bersama.

Pelayanan publik yang diartikan segala kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasar sesuai dengan hak-hak dasar setiap warga Negara dan penduduk atas suatu barang, jasa dan atau pelayanan administrasi yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan yang terkait dengan kepentingan publik harus dapat dilaksanakan di seluruh penjuru Propinsi Jawa Timur. Namun disitu pasti terdapat faktor-faktor penghambat pelaksanaan pelayanan prima yang diharapkan bersama. Untuk itu harus ada semacam perlawanan maupun mencari formula yang tepat guna meminimalisir berbagai macam hambatan, tantangan maupun ancaman yang dapat menghambat terselenggaranya pelayanan publik yang prima di Jawa Timur pada umumnya dan tentunya tidak akan lepas dari peran serta dari semua pihak, baik pemerintah, masyarakat maupun organisasi kemasyarakatan yang ada demi terciptanya pelayanan publik yang prima.

Berdasarkan ilustrasi singkat diatas, maka penulis tertarik untuk meneliti tingkat kesiapan, faktor-faktor penghambat dan cara mengantisipasi ketidaksiapan Pemerintah Kabupaten Bangkalan di wilayah Kecamatan Kamal dalam rangka meningkatkan pelayanan prima seperti yang telah digariskan oleh Peraturan Daerah Propinsi Jawa Timur Nomor 11 Tentang Pelayanan Publik.

  1. RUMUSAN MASALAH

Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam program kreativitas ini diantaranya:

  1. Bagaimana kesiapan Pemerintah Kabupaten Bangkalan di wilayah Kecamatan Kamal dalam rangka meningkatkan Pelayanan Publik?
  2. Faktor apa saja yang menjadi penghambat Pemerintah Kabupaten Bangkalan di wilayah Kecamatan Kamal dalam rangka meningkatkan Pelayana Publik?
  3. Bagaimana cara mengantisipasi ketidaksiapan Pemerintah Kabupaten Bangkalan di wilayah Kecamatan Kamal dalam rangka meningkatkan Pelayana Publik?
  1. TUJUAN

Adapun yang menjadi tujuan dalam penulisan program kreativitas ini adalah:

  1. Untuk menjelaskan kesiapan Pemerintah Kabupaten Bangkalan di wilayah Kecamatan Kamal dalam rangka meningkatkan Pelayanan Publik.
  2. Untuk mengetahui factor-faktor penghambat Pemerintah Kabupaten Bangkalan di wilayah Kecamatan Kamal dalam rangka meningkatkan Pelayanan Publik.
  3. Untuk dapat menjelaskan cara-cara untuk mengantisipasi ketidaksiapan Pemerintah Kabupaten Bangkalan di wilayah Kecamatan Kamal dalam rangka meningkatkan Pelayanan Publik.
  1. MANFAAT

Adapun manfaat dari program kreativitas ini dibagi menjadi dua bagian, diantaranya:

  1. Manfaat Teoritis
    1. Untuk meneliti keefektifan suatu peraturan perundang-undangan yang telah dibuat.
    2. Untuk pengembangan bidang ilmu hukum terutama yang berkaitan dengan Kebijakan Publik
  2. Manfaat Praktis
    1. Agar dapat dijadikan media sosialisasi terhadap PERDA Prop. Jatim No.11 Tentang Pelayanan Publik.
    2. Untuk dijadikan bahan pertimbangan bagi Pemerintah Kabupaten Bangkalan di wilayah Kecamatan Kamal dalam pelaksanaan pelayanan yang prima.
    3. Agar masyarakat sadar akan posisi dan eksistensinya sebagai sarana kontrol bagi pelaksanaan otonomi yang ada di daerah.
  1. TINJAUAN PUSTAKA

Pelayanan publik merupakan issue penting yang berkembang disela-sela persoalan demokratisasi yang bergulir di masa reformasi adalah masalah “kemampuan pemerintah daerah” dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat di daerah. 1) Masalah ini menjadi penting, terutama bila dikaitkan dengan gerak desentralisasi, yang sudah sempat dipicu oleh terbitnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sebagimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Banyak kalangan ragu atau mempersoalkan apakah dengan adanya otonomi daerah maka dengan sendirinya pemerintah daerah akan mampu memberikan layanan yang baik.

Pelayanan yang diartikan sebagai usaha maupun upaya apa saja yang dapat mempertinggi kepuasan pelanggan (whatever echances customer satisfaction).2) selain itu membangun kesan yang dapat memberikan citra positif dimata pelanggan karena jasa pelayanan yang diberikan dengan biaya yang terkendali atau terjangkau bagi pelanggan yang membuat pelanggan terdorong dan termotifasi untuk bekerja sama dan berperan aktif dalam pelaksanaan pelayanan yang prima.

Adapun yang menjadi tujuan dari pelayanan publik adalah memuaskan dan atau sesuai dengan keinginan masyarakat/pelanggan pada umumnya. Untuk mencapai itu diperlukan kualitas pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat. Kualitas/mutu pelayanan adalah kesesuaian antara harapan dan keinginan dengan kenyataan. Hakekat pelayanan publik adalah pemberian pelayanan prima kepada masyarakat yang merupakan perwujudan dari kewajiban aparatur pemerintah sebagai abdi masyarakat.3)

Ketika kebijakan sudah berpihak pada kepentingan masyarakat termasuk dalam hal pelayanan publik, maka diperlukan perangkat kelembagaan sebagai pelaksana dari kebijakan tersebut. Oleh karenanya perangkkat kelembagaan yang dibentuk oleh pemerintah daerah pun mestinya mengacu pada kebutuhan masyarakat. Peran serta masyarakat ataupun aspirasi masyarakat (termasuk dalam mendapatkan pelayanan publik) dapat tertampung dalam proses penataan organisasi di daerah merupakan hasil dari evaluasi kelembagaan yang dilakukan oleh birokrasi sendiri melalui metode scoring yang dikumpulkan dari masing-masing instansi.

Tidak responsifnya birokrasi pelaksana pelayanan publik akan berdampak pada berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap pelaksanaan pelayanan publik. Pengembangan SDM dituntut untuk menghasilkan aparat-aparat birokrasi yang memiliki kemampuan yang memadai dalam perumusan dan pelaksana kebijakan pemerintah termasuk dalam hal memberikan pelayanan kepada masyarakat. Untuk itu diusahakan peningkatan SDM agar dapat melakukan peningkatan kualitas pelayanan publik merupakan yang sangat mendasar dalam kelangsungan pemerintahan.4)

Untuk dapat menciptakan SDM yang berkualitas dalam memberikan pelayanan publik juga harus diperkuat oleh mekanisme kerja yang adil dan memberikan kesempatan kepada masing-masing pihak untuk berkompetisi dalam memberikan pelayanan yang baik terhadap masyarakat. Mekanisme reward dan punishment mungkin bisa jadi suatu alternatif sehingga aparat yang memang berprestasi dan penuh inisiatif dalam memberikan pelayanan tentu akan mendapat reward yang lebih baik disbanding dengan aparat yang tidak berprestasi.

Birokrasi sebagai wujud organisasi sektor publik tidak terlepas dari prngaruh perubahan paradigma pelayanan. Mutu yang diberikan aparatur birokrasi akan sangat menentukan kelangsungan hidup birokrasinya, dan mutu pelayanan yang diberikan sangat ditentukan oleh pengguna atau yang berkepentingan dengan jasa layanan (stake holders).5) Untuk itu diperlukan suatu kinerja yang berbasis kerakyatan guna menunjang efektifitas birokrasi pemerintahan dalam menjalankan peran dan fungsinya sebagai abdi Negara dan abdi masyararakat.

Ada berbagai pendapat yang mendefinisikan tentang kinerja suatu organisasi, perbedaan mungkin akan mewarnai dan cukup signifikan tentang pengertian dari suatu organisasi, misalnya Jakson dan Mogan (1978) mengemukakan bahwa kinerja kinerja pada umumnya menunjukkan tingkat tujuan yang telah ditentukan sebelumnya yang hendak dicapai. Rule and Byar (dalam Keban6)) menyebutkan bahwa kinerja (performance) didefisikan sebagai tingkat pencapaian hasil atau (the degree of accomplishment) atau kinerja merupakan tingkat pencapaia tujuan organisasi secara berkesinambungan. Sementara itu, Salusu mengatakan bahwa kinerja juga dapat berarti prestasi kerja, prestasi yang penyelenggaraan sesuatu (performance, how well you do a piece of work or activity) serta memberi batasan mengenai performan adalah suatu cara mengukur kontribusi-kontribusi dari individu-individu dari organisasi kepada organisasinya.7)

Cakupan dan cara mengukur indikasi berhasil tidaknya suatu pelayanan sangat diperlukan untuk menetukan apakah suatu pelayanan sudah memenuhi keinginan dan kehendak masyarakat atau bahkan sebaliknya, sehingga ketepatan pengukuran seperti cara atau metode pengumpulan data untuk mengukur kinerja juga sangat menentukan dalam penilaian akhir kinerja. Pengukuran kinerja merupakan suatu alat manajemen untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan akuntabilitas.8) Pengukuran kinerja merupakan jembatan antara perencanaan strategis dengan akuntabilitas, sehingga seuatu pemerintah daerah dapat dikatakan berhasil jika terdapat bukti-bukti atau indikator-indikator atau ukuran-ukuran capaian yang mengarah pada pencapaian misi. Cara yang dapat dipakai adalah dengan melihat sejauh mana adanya kesesuaian antara program dan kegiatannya.

Semakin adanya kejelasan organisasi publik itu dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi dan peraturan organisasi, maka kinerjanya dinilai semakin baik. Akuntabilitas publik menunjuk bahwa seberapa besar kebijakan dan kegiatan organisasi publik tunduk pada para pejabat politik yang dipilih oleh rakyat (elected officials). Konsekwensinya adalah bahwa para pejabat politik tersebut, karena dipilih oleh rakyat, dengan sendirinya akan selalu merepresentasikan kepentingan rakyat.9) Dalam konteks ini maka kinerja organisasi publik dinilai baik apabila seluruhnya atau setidaknya sebagian besar kegiatannya didasarkan pada upaya-upaya untuk memenuhi harapan dan keinginan para wakil-wakil rakyat. Semakin banyak tindak lanjut oragnisasi atas harapan dan aspirasi pejabat politik, maka kinerja organisasi tersebut dinilai makin baik.

  1. METODE PELAKSANAAN
  2. Pendekatan Masalah

Pendekatan yang digunakan dalam program kreativitas ini adalah pendekatan yuridis sosilogis terhadap pelaksanaan Peraturan Daerah Propinsi Jawa Timur Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pelayanan Publik

  1. Sumber Data

Sumber data didapat dari hasil wawancara baik birokrasi yang berkaitan langsung dengan pelayanan publik maupun masyarakat sebagai penerima pelayanan publik.

  1. Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Data
  2. Teknik pengumpulan Data

Teknik yang digunakan dalam penulisan program ini adalah menggunakan teknik wawancara baik terbuka maupun terstruktur terhadap para pemberi pelayanan, masyarakat serta pihak-pihak terkait di wilayah kecamatan Kamal.

  1. Teknik pengolahan Data

Pengolahan data dalam penulisan program ini adalah menggunakan teknik pengolahan dokumentasi, yakni mengumpulkan dokumen-dokumen yang diperlukan sehingga dijadikan rujukan dalam pembuatan tulisan ini.

  1. Metode Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan adalah metode induksi, yakni dengan mnelihat hal-hal yang bersifat khusus kemudian ditarik ke hal-hal yang bersifat umum.

DAFTAR PUSTAKA

Hadjon, Philipus M. 2002. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Yogyakarta: Gajah Mada University Press

Keban, 1994, Pengantar Administrasi Publik, Yogyakarta, UGMP

  1. Dun, Wiliam. 2000. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Gajah Mada University Press

SD, Soenerko. 3003. Public Policy (Pengertian Pokok Untuk memahami dan Analisa Kebijaksanaan Pemerintah). Surabaya: Airlangga University Press

Sunarno, Siswanto. 2006. Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika

Salusu, 1996,Pengambilan Keputusan Startegik Untuk Organisasi Publik Non Profit, Yogyakarta, Garasindo, 1996

Tjandra, W. Riawan, dkk. 2005. Peningkatan Kapasitas Pemerintah Daerah Dalam Pelayanan Publik. Yogyakarta: Pembaruan

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945  Amandemen

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah

Peraturan Daerah Propinsi Jawa Timur Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pelayanan Publik

Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 14 Tahun 2006 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Propinsi Jawa Timur Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pelayanan Publik

1) Penjelasan Umum Perda Jatim Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pelayanan Publik

2) W. Riawan Tjandra, dkk. Peningkatan Kapasitas Pemerintah Daerah Dalam Pelayanan Publik. Yogyakarta. Pembaruan. 2005: Hal. 36

3) Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, 2006:   Hal. 3

4) Soenarko SD, Publik Policy [Pengertian pokok Untuk Memahami dan Analisa Kebijaksanaan Pemerintah], Surabaya, Airlangga University Press, 2003: Hal 23

5) Penjelasan Umum Perda Jatim Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pelayanan Publik

6) Jawa Pos, 5 Juli 2005

7) Penjelasan Umum Perda Jatim Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pelayanan Publik

8) W. Riawan Tjandra, Loc Cit. Hal.12

1) Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, 2006:   Hal. 56

2) W. Riawan Tjandra, dkk. Peningkatan Kapasitas Pemerintah Daerah Dalam Pelayanan Publik. Yogyakarta. Pembaruan. 2005: Hal. 3

3) W. Riawan Tjandra, dkk. Ibid. Hal. 4

4) Soenarko SD, Publik PolicyPengertian pokok Untuk Memahami dan Analisa Kebijaksanaan Pemerintah, Surabaya, Airlangga University Press, 2003: Hal 42

5) W. Riawan Tjandra, dkk. Opcit. Hal. 12

6) Keban, Pengantar Administrasi Publik, Yogyakarta, UGMP,1994: Hal. 56

7) Salusu, Pengambilan Keputusan Startegik Untuk Organisasi Publik Non Profit, Yogyakarta, Garasindo, 1996: Hal. 72

8) W. Riawan Tjandra, dkk. Opcit. Hal.39

9) Siswanto Sunarno, Opcit, Hal. 74

Continue Reading