1. Konsep Organ Negara
a. Hans Kelsen
memberikan definisi tentang Konsep organ Negara ditinjau dari fungsinya.
Fungsi itu terbagi menjadi 2 (dua) bagian yakni sebagai menciptakan norma (norm creating) dan menjalankan norma (norm applaying). K.C. Wheare juga
membagi organ Negara dalam konstitusi dalam bentuk institusi-institusi uatama
Pemerintah, seperti legislative, ekskutif dan Yudikatif, sedangkan penentuan
komposisi dan cara pengangkatannya lembaga tersebut, seringkali diserahkan pada
hukum biasa (ordinary law). Selanjutnya
beberapa pakar dan pendapat ahli berkenaan dengan konsepsi lembaga Negara pasca
amandemen konstitusi (Undang-Undang Dasar 1945 amandemen) di Indonesia
diantanya :
–
Prof. Dr. T. Sri
Soemantri, SH.
Beberapa
perubahan dalam UUD 1945 menurut Sri Soemantri adalah Pembatasan kekuasaan
Presiden, Pemisahan kekuasaan, Pengauran Pemerintahan Daerah, selanjutnya
mengenai Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD 1945,
kemudian dinyatakan dengan tegas bahwa Indonesia adalah Negara Hukum, adanya
lembaga-lembaga Negara baru seperti DPD, KY dan MK, kemudian DPA dilakukan
penghapusan, dan yang terakhir adalah adanya ketentuan bahwa anggaran
pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN. Akibat dari diubahnya pasal 1
tentang kedaulatan, maka MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi Negara,
dengan demikian kedudukan MPR sederajat dengan lembaga-lembaga yang lain,
seperti DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, Mahkamah Agung, Mahkamah
Konstitusi, Komisi Yudisial dan Badan Pemeriksa Keuangan.
–
Prof. Dr. Bagir
Manan, SH., L.LM.
Dorongan
memperbaharui dan mengubah UUD 1945 sesuai dengan kenyataan bahwa sebagai
subsistem tatanan konstitusi dalam pelaksanaannya tidak berjalan sesuai dengan staatside mewujudkan Negara berdasarkan
konstitusi seperti tegaknya tatanan demokrasi, Negara berdasarkan atas hukum
yang menjadmin hal-hal seperti Hak Asasi Manusia, kekuasaan kehakiman yang
merdeka, serta keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia, yang terjadi
adalah etatisme, otoriterisme atau kediktatoran yang menggunakan UUD 1945
sebagai sandaran.
Sedangkan tujuan dari adanya Amandemen UUD 1945 menurut Bagir Manan adalah Pertama, mewujudkan kembali pelaksanaan
demokrasi dalam segala peri kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, Kedua, mewujudkan kembali pelaksanaan
prinsip Negara yang berdasarkan hukum, ketiga,
pemberdayaan rakyat dibidang politik, ekonomi, social dan lain-lain, kempat, mewujudkan kesejahteraan umum
dan sebesar-besarnya kemakmuran atas dasar keadilan social bagi seluruh rakyat
Indonesia.
–
Prof. Dr. Jimly
Asshiddiqie.
Menurut Jimly Asshiddiqie
ada beberapa hal yang melatarbelakangi adanya amandemen Undang-Undang Dasar
1945, yang salah satunya berakibat terhadap pergeseran format kelembagaan
negara, diantaranya, Pertama,
Mengenai peralihan fungsi kekuasaan untuk membentuk Undang-Undang, Kedua, perumusan pasal-pasal Hak Asasi
Manusia, Ketiga, pencantuman
ketentuan mengenai keanggotaan unsur TNI dan POLRI yang bersifat sementara, Keempat, pencantuman DPD, Kelima, perkembangan pemilihan Presiden
dan Wakil Presiden secara langsung, Keenam,
Kekuasaan Kehakiman yang mandiri, Ketujuh,
Pemisahan Kekuasaan, Kedelapan,
kurangnya disadari pentingnya paradigm
pemikiran konseptual kenegaraan yang seharusnya melandasi perumusan perubahan
terhadap materi UUD.
–
Prof. Dr. Moh. Mahfud
MD, SH., SU.
Menurut Mahfud
tujuan diadakannya amandemen UUD 1945 adalah agar hubungan kerja antara lembaga
Negara yang jauh lebih mencerminkan check
and balance sehingga Negara Indonesia menjadi lebih demokratis. Presiden
dan DPR sudah diposisikan secara sejajar, dan tidak ada kooptasi dan dominasi
dari yang satu terhadap yang lain, lembaga legislative tak bisa bermain-main
membuat Undang-Undang, karena jika itu terjadi bisa diuji (dibatalkan) oleh
Mahkamah Konstitusi, untuk menjaga keluhuran martabat hakim-hakim diawasi oleh
Komisi Yudisial.
Selain itu kemajuan besar terhadap UUD 1945 amandemen adalah terutama
menguatnya format dan mekanisme check and balanceoleh lembaga yudisial dan
pengaturan lebih rinci tentang perlindungan Hak Asasi Manusia.
–
Prof. Abdul
Muktie Fadjar, SH., MS.
Beberapa alasan
dikemukakan Muktie Fadjar, diantaranya alasan
Historis, bahwa dalam sejarahnya UUD 1945 memang didesain sifatnya hany
sementara, alasan Filosofis terdapat
percampuradukan seperti faham kedaulatan rakyat dengan faham integralistik dan
faham Negara hukum dengan faham Negara kesatuan, alasan Teoritis keberadaan konstitusi seyogyanya untuk membatasi
kekuasaan agar tidak sewenang-wenang, akan tetapi UUD 1945 sebelum amandemen
tidak mencerminkan hal tersebut, alasan
yuridis terdapat pengaturan mengenai perubahan UUD 1945 sebagaimana Pasal
37, alasan politis praktis bahwa
secara sadar maupun tidak sadar UUD 1945 sebelum amandemen dalam praktek
politik sering menyimpang dari teks aslinya.
b. Apabila dilihat
dari aspek dasar hukum pembentukannya di Indonensia, maka terdapat beberapa
organ yang dapat dikatakan sebagai lembaga Negara, seperti yang dapat
digambarkan berikut ini :
2. Urgensi Amandemen Kelima
a. Saya setuju dengan
Amandemen Kelima terhadap UUD 1945
b. Alasan terhadap
urgensi Amandemen Kelima
terhadap UUD 1945
–
Konstitusi
merupakan produk kesepakatan politik (resultante),
sehingga diadalamnya juga berisi kepentingan-kepnetingan yang ingin dicapai pada
masanya.
–
Dalam
beberapa pengaturan UUD 1945 terdapat beberapa Pasal yang dari segi
pengaturannya belum jelas, sehingga perlu penegasan kembali, baik dari segi
bahasa maupun penegasan mengenai makna dan artinya.
–
Masih
terdapatnya konsentrasi kekuasaan yang mengakibatkan terjadinya kewenangan yang
bersifat otoriter, sehingga sangat memungkinkan adanya abuse of power
–
Terdapat
beberapa lembaga Negara yang dari segi kewenangannya masih sangat lemah,
sehingga kedudukannya perlu ditambah untuk optimalisasi peran dan fungsinya.
–
Penghapusan
beberapa pasal yang bersifat konkrit, seperti lumrahnya suatu konstitusi
mengatur hal yang bersifat asas atau pokok-pokok serta yang bersifat umum dalam
suatu Negara.
c. Mekanisme Perubahan UUD 1945 di Indonesia setelah amandemen UUD 1945 tergolong rijid,
hal itu didasarkan pada tingkat kesulitan untuk merubah UUD 1945. Adapun
cirri-ciri khusus konstitusi fleksibel menurut Bryce adalah : elastic,
diumumkan dan dirubah dengan cara yang sama seperti Undang-Undang, berbeda
dengan cirri-ciri pokok dari konstitusi rigid, meliputi : memiliki derajat yang
lebih tinggi dari derajat peraturan perundang-undangan yang lain dan hanya
dapat diubah dengan cara yang khusus dengan syarat-syarat yang berat. Untuk
mengenai proses atau tata cara Perubahan UUD 1945, sebenarnya ada beberapa
Disertasi dari beberapa Pakar Hukum sejauh yang penulis Ketahui, diantaranya
Sri Soemantri,
Taufiqurrahman Sahuri
dan Budiman NPD Sinaga,
yang pada dasarnya proses perubahan UUD 1945 dapat dilakukan melalui Pasal 37
ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 amandemen, dapat
dijelaskan diantaranya :
–
Usul
perubahan pasalpasal UndangUndang Dasar dapat diagendakan dalam sidang Majelis
Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurangkurangnya 1/3 dari jumlah
anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
–
Setiap
usul perubahan pasalpasal UndangUndang Dasar diajukan secara tertulis dan
ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya.
–
Untuk
mengubah pasalpasal UndangUndang Dasar, Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat
dihadiri oleh sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan
Rakyat.
–
Putusan
untuk mengubah pasalpasal UndangUndang Dasar dilakukan dengan persetujuan
sekurangkurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota
Majelis Permusyawaratan Rakyat.
–
Khusus
mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan
perubahan.
Dengan demikian
menjadi jelas mengenai tata cara dan prosedur mengenai perubahan UUD 1945.
d. Beberapa yang
perlu dirubah
serta keuntungan dan kerugian apabila dilaksanakan atau tidak dilaksanakan
Kelima terhadap UUD 1945, diantaranya :
No.
|
JENIS
|
KEUNTUNGAN
|
KERUGIAN
|
KETERANGAN
|
1.
|
Penguatan system Presidensial
|
Sehingga
Presiden dapat melaksanakan kebijakan dengan leluasa, dengan tidak merasa
takut dengan DPR
|
–
|
Dapat menambah
ayat dalam Bab III UUD 1945
|
2.
|
Penguatan DPD
|
Fungsi
dan peran DPD dapat optimal sebagai bagian dari perwakilan rakyat
|
–
|
Penambahan Kewenangan
|
3.
|
Penggantian Presiden
|
Antisipasi terhadap macetnya
penggantian Presidendalam masa jabatannya (Pasal 8 ayat (3))
|
–
|
Lebih
spesifik dapat terjadi jika belum ada Presiden/Wapres terpilih pada saat
habisnya tenggat pengisian kedua jabatan tersebut
|
4.
|
Penegasan Kewenangan KY
|
Jangkauan
objek yang diawasi dan objek pengawasannya
|
–
|
Dipertegas
|
5.
|
Penambahan kewenangan MK
|
Constitutional
complain dan constitutional question
|
–
|
Penambahan
kewenangan
|
6.
|
Anggaran Pendidikan 20%
|
–
|
Apabila dirasa
memberatkan, dan tidak sesuai dengan perkembangan
|
Dihapus/Diganti
|
3. Prinsip Demokrasi
a. Dalam buku Jimly
Asshiddiqie yang berjudul “Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia”
menyebutkan terdapat prinsip pokok sebagai pilar-pilar utama yang menyangga
Negara modern yang layak menyandang gelar sebagai Negara hukum, diantanya :
1.
Supremasi
Hukum (supremacy of law)
2.
Persamaan
dalam hukum (equality before the law)
3. Asas legalitas (due process of law)
4.
Pembatasan
kekuasaan
5. Organ-organ ekskutif Independen
6.
Peradilan
bebas dan tidak memihak
7.
Peradilan
tata usaha Negara
8.
Peradilan
Tata Negara (constitutional court)
9.
Perlindungan
Hak Asasi Manusia
10. Bersifat
demokratis (democratiche rechtsstaat)
11. Berfungsi
sebagai sarana mewujudkan tujuan berbegara (welfare
state)
12. Transparansi dan
kontrol sosial
Adapun maksud
dari organ-organ ekskutif independen
tersebut adalah independen tersebut dalam artian lembaga ekskutif tersebut
bebas dari kekuasaan ekskutif, independensi lembaga ekskutif tersbut sangat
penting untuk menjamin demokrasi, karena fungsinya dapat disalahgunakan oleh
Pemerintah untuk melanggeng kekuasaan.
Contoh lembaga-lembaga ekskutif yang independen seperti adalah Bank Central,
organisasi tentara, organisasi kepolisian dan kejaksaan, selain itu juga
lembaga-lembaga baru seperti Komnas HAM, KPU, Ombudsman, Komisi Penyiaran dan
sebagainya.
Sedangkan
prinsip-prinsip Negara hukum menurut ahli yang lain diantaranya :
1.
Hak
asasi manusia
2.
Pemisahan
atau pembagian kekuasaan
3.
Pemerintah
berdasarkan peraturan-peratuan
4.
Peradilan
administrasi dalam perselisihan
1.
Supremacy
of law
2.
Equlity
before the law
3.
Terjaminnya
HAM
1.
Konstitusionalisme
2.
Badan
kehakiman yang independen
3.
Pemilu
yang bebas
4.
Kebebasan
menyatakan pendapat
5.
Kebebasan
berserikat dan berorganisasi
6.
Civic
education
1.
Menyelesaikan
perselisihan antara damai dan sukarela melembaga
2.
Menjamin
terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang sedang
berubah
3.
Menyelenggarakan
pergantian pemimpin secara teratur
4.
Membatasi
pemakain kekerasan secara minimum
5.
Menganggap
wajar keanekaragaman
6.
Menjamin
tegaknya keadilan
1.
Pemerintahan
yang bertanggung jawab
2.
System
perwakilan yang dipilih melalui pemilu
3.
Adanya
partai politik
4.
Pers
dan media massa yang bebas menyatakan pendapat
5.
System
peradilan yang bebasuntuk menjamin HAM
–
Nomokrasi Islam (Muhammad
Tahir Azhari)
1.
Prinsip
kekuasaan sebagai amanah
2.
Prinsip
musyawarah
3.
Prinsip
keadilan
4.
Prinsip
persamaan
5.
Prinsip
pengakuan dan persamaan terhadap HAM
6.
Prinsip
peradilan bebas
7.
Prinsip
perdamaian
8.
Prinsip
kesejahteraan
9.
Prinsip
ketaan rakyat
–
International
Commission of Jurist
1.
Keamanan
pribadi harus dijamin
2.
Tidak
ada hak-hak fundamental dapat ditafsirkan
3.
Penjaminan
terhadap kebebasan mengeluarkan pendapat
4.
Kehidupan
pribadi orang harus tidak dilanggar
5.
Kebebasan
beragama harus dijamin
6.
Hak
untuk mendapatkan pengajaran
7.
Hak
untuk berkumpul dan berserikat
8.
Peradilan
bebas dan tidak memihak
9.
Kebebasan
memilih dan dipilih dalam politik
–
Negara Hukum
Indonesia (Azhari)
1.
Hukumnya
bersumber pada Pancasila
2.
Berkedaulatan
rakyat
3.
System
konstitusi
4.
Persamaan
kedudukan dalam hukum dan pemerintahan
5.
Kekuasaan
kehakiman yang independen
6.
Pembentuk
UU adalah Presiden bersama DPR
7.
Dianutnya
system MPR
Pendapat saya
terhadap beberapa perkembangan dan pendapat dari ahli mengenai Negara hukum
pada intinya menginginkan adanya tujuan dan fungsi yang lebih baik, pada
dasarnya konsep teoritis demokrasi menawarkan prinsip-prinsip umum untuk
menjalankan pemerintahan yang baik, yaitu pemerintahan senantiasa dalam kontrol
dan partisipasi masyarakat.
b. Lembaga Negara
yang melakukan fungsi penegakan hukum diantaranya :
–
Kepolisian
Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di
bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakkan hukum,
perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Kepolisian
Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang
meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya
hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat,
serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia. Kinerja lembaga
ini cukup memprihatinkan, hal itu dikarenakan kinerja yang ditunjukkan tidak
cukup signifikan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.
–
Kejaksaan
Kejaksaan R.I.
adalah lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara, khususnya di bidang
penuntutan. Sebagai badan yang berwenang dalam penegakan hukum dan keadilan,
Kejaksaan dipimpin oleh Jaksa Agung yang dipilih oleh dan bertanggung jawab
kepada Presiden.
Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan Negeri merupakan kekuasaan
negara khususnya dibidang penuntutan, dimana semuanya merupakan satu kesatuan
yang utuh yang tidak dapat dipisahkan. Kinerja Kejaksaan juga kurang begitu
signifikan dalam melakukan pembongkaran terhadap perkara-perkara besar yang ada
di Indonesia
–
Kehakiman
Perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah membawa
perubahan dalam kehidupan ketatanegaraan khususnya dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman.
Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan kehakiman dilakukan
oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan
militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi. Kinerja Badan peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung tidak
menunjukkan kinerja yang baik, akan tetapi lembaga Mahkamah Konstitusi sangat
memberikan contoh dan sangat diharapkan oleh masyarakat.
–
Lembaga Penegak
Hukum Lainnya
Lembaga-lembaga
Negara lain yang ruang lingkup fungsinya sebagai aparat penegak hukum, akan
tetapi bersifat khusus terhadap beban kerja yang tidak bersifat umum. Lembaga
penegak hukum seperti ini seperti KPK, Komnas HAM, Komisi Informasi,Ombudsman
dan lain sebagainya. Mengenai kinerja lembaga baru ini dapat dikatakan
menunjukkan angka yang signifikan. Mengingat lembaga ini menunjukkan
eksistensinya dalam mewujudkan penegakan hukum yang sesuai dengan kaidah-kaidah
keadilan masyarakat.
c. Secara logika
hukum Indonesia belum menerapkan rule of
law dengan baik, mengingat secara filosofis Indonesia menganut system
Negara berdasarkan Hukum, untu itu seharusnya dalam segala bidang mampu
memberikan rasa keadilan dalam masyarakat, kemudian secara yuridis normatif
Indonesia merupakan Negara yang berdasarkkan hukum, dengan demikian harusnya
rul of law tumbuh dan berkembang secara pesat di Indonesia, dikarenakan sudah
tertuang dalam UUD 1945. Kemudian secara sosiologis belum mencerminkan
signifikansi terhadap penerapan rule of law secara baik, banyak beberapa kasusu
baik korupsi kolusi dan nepotisme yang dilakukan aparat dan pejabat Negara
mencerminkan ketidak mampuan atau rendahnya rasa dan cinta tanah air dan
bangsa, sehingga memberikan efek buruk terhadap penegakan hukum di Indonesia.
Kemudian secara politis sebenarnya Indoensia mengakui adanya persamaan didepan
hukum, akan tetapi dalam tataran pelaksanaan masih terdapat beberapa orang atau
oknum yang diberlakukan secara berbeda di depan hukum , dikarenakan hal
tertentu, dapat berupa memiliki jabatan, harta atau kedekatan kerabat dan lain
sebagainya.
4. A.B. Kusuma
dalam bukunya “Sistem Pemerintahan
Pendiri Bangsa versus Sistem Presidensial orde reformasi” menyatakan bahwa
Presiden Susilo bambang Yudhoyono tidak melaksanakan system Presidensial murni
dan konsekuen.
Hal itu tentunya didukung dengan beberapa hal yang terjadi dilapangan ketika
Presiden SBY mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang masih merasa ketakutan
terhadap lembaga parlemen. Dengan demikian tentunya sangat disayangkan
mengingat Presiden secara langsung dipilih oleh rakyat, akan tetapi dalam
menjalankan pemerintahannya Preisden SBY seakan-akan menjalankan pemerintahan
dalam system Pemerintahan Parlementer, yang masih harus disetir oleh Parlemen.
Diketahui bersama bahwa secara
teori sistem pemerintahan terbagi menjadi 2 (dua), yaitu sistem
pemerintahan parlementer (
parliamentary system) dan sistem pemerintahan
presidensial (
presidential system ). Walaupun dalam tatanan
implementasinya ada sistem pemerintahan yang bersifat campuran
(hybrid
system). Pada prinsipnya sistem pemerintahan itu mengacu pada bentuk
hubungan antara lembaga legislatif dengan lembaga eksekutif.
Pemberlakuan sistem pemerintahan terhadap suatu negara tergantung pada
kebutuhan, faktor sejarah dan kondisi sosio-politik suatu negara.
Sistem parlementer adalah sistem yang menekankan parlemen sebagai subjek
pemerintahan, sementara sistem presidensial menekankan peran presiden
(eksekutif) sebagai subjek pemerintahan.
Keduanya memiliki latar belakang berbeda yang menyebabkan berbeda pula dalam
norma dan tatacara penyelenggaraan pemerintahannya. Karakter pemerintahan
parlementer adalah pada dasarnya dominannya posisi parlemen terhadap eksekutif.
sementara karakter sistem presidensial adalah pada dominannya peran presiden
dalam sistem ketatanegaraan. Sistem parlementer dan sistem presidensial adalah
dua hal yang berbeda, bukan merupakan tesis ataupun antitesa yang melahirkan
sintesa.
Terkhusus untuk indonesia
sendiri, menjadi suatu perdebatan sampai sekarang dikalangan para pakar hukum
tata negara dan politik bahwa sistem pemerintahan indonesia menganut sistem
pemerintahan yang berbentuk apa. Hanta yuda, mengemukakan bahwa ketika UUD 1945
belum diamandemen, corak pemerintahan indonesia sering dikatakan sebagai sistem
semipresidensial. Namun dalam prakteknya sistem pemerintahan indonesia justru
lebih mendekati corak parlementer.
Dan setelah amandemen UUD 1945 sistem pemerintahan indonesia menjadi sistem
presidnesial murni.
Sedangkan Bagir manan menyebutkan bahwa sistem pemerintahan indonesia menganut
sistem pemerintahan presidensial karena berpendapat pertanggungjawaban presiden
kepada MPR bukan merupakan pertanggungjawaban kepada badan legeslatif. dalam
hal ini menambahkan, petanggungjawaban Presiden kepada MPR tidak boleh
disamakan dengan pertanggungjawaban kabinet kepada parlemen (dalam sistem
parlementer).
Berbeda pendapat dengan apa
yang dijelaskan Sri Soemantri bahwa sistem pemerintahan indonesia menganut
sistem campuran. Karasteristik campuran didasarkan pada kesimpulan yang ditarik
dari penjelasan UUD 1945, yaitu (1) presiden dipilih dan diangkat oleh MPR, (2)
Presiden mandataris MPR, (3) MPR pemegang kekuasaan negara tertinggi, (4)
Presiden tunduk dan bertanggungjawab kepada MPR, dan (5) Presiden untergroentet
kepada MPR. jadi esensi dari kelima hal itu, presiden sebagai badan eksekutif
mendapat pengawasan langsung dari badan legeslatif. apabila eksekutif mendapat
pengawasan langsung dari badan legeslatif, maka hal itu menunjukkan adanya segi
pemerintahan parlementer.
Disamping sistem pemerintahan parlementer, UUD 1945 juga mengandung
anasir sistem presidensial. Anasir itu dapat dilihat dari adanya ketentuan
bahwa presiden merupakan pemegang kekuasaan pemrintahan. Dengan posisi seperti
begitu, UUD 1945 menyatakan bahwa menteri-menteri diangkat dan diberhentikan
oleh presiden. Selain kedua hal itu, dalam sistem ketatanegaraan indonesia, di
samping sebagai kepala pemerintahan yang mempunyai kekuasaan riil, presiden
juga sebagai kepala negara
(nominal head of state).
Sedangkan Jimly asshiddiqie,
mengemukakan bahwa setelah UUD 1945 diubah maka dalam hal ini, yang lebih dekat
dengan sistem yang dipakai di indonesia adalah sistem Amerika Serikat,
yaitu sistem presidensial murni.
Sedangkan ditambahkan lagi bahwa sistem pemerintahan Republik Indonesia
bersadarkan UUD 1945 yang disahkan PPKI pada 18 Agustus 1945, juga menganut
sistem campuran.
Tetapi pada pokoknya, sistem yang dianut adalah sistem presidensial, tetapi
presiden ditentukan tunduk dan bertanggungjawab kepada lembaga MPR yang terdiri
atas anggota DPR dan ditambah utusan-utusan golongan fungsional.
Perdebatan dikalangan
akademisi terhadap sistem pemerintahan indonesia itu terjadi diakibatkan bapak
pendiri bangsa ini yang mengiingkan memakai sistem pemerintahan yang bersifat
“Sistem sendiri” sesuai dengan usul Dr. Soekiman, BPUPK dari Yogyakarta, dan
Prof. Soepomo Ketuan Panitia Kecil BPUPK. Pada rapat panitia hukum dasar,
bentukan BPUPKI, tanggal 11 Juni 1945 dicapai kesepakatan bahwa indonesia tidak
akan menggunakan sistem parlementer seperti inggris karena karena merupakan
penerapan dari pandangan individualisme. Sistem tersebut juga tidak mengenal
pemisahan kekuasaan yang tegas. Antara cabang legisltatif dan eksekutif
terdapat
fusion of power karena kekuasaan eksekutif sebenarnya adalah
„bagian“ dari kekuasaan legislatif. Perdana Menteri dan para menteri sebagai
kabinet yang kolektif adalah anggota parlemen. Sebaliknya, sistem
Presidensial dipandang tidak cocok untuk Indonesia yang baru merdeka
karena sistem tersebut mempunyai tiga kelemahan. Pertama, sistem presidensial
mengandung resiko konflik berkepanjangan antara legislatif – eksekutif. Kedua,
sangat kaku karena presiden tidak dapat diturunkan sebelum masa jabatannya
berahir. Ketiga, cara pemilihan “
winner takes all” seperti
dipraktekkan di Amerika Serikat bertentangan dengan semangat bemokrasi.
Hemat penulis, bahwa sistem pemerintahan
indonesia setelah reformasi telah mengalami purifikasi sangat menonjol. Saat
ini sistem pemerintahan indonesia cenderong kepada sistem pemerintahan yang
bersifat presidensial. Ini dapat dilihat dari beberapa ketentuan didalam UUD
NRI 1945 yang telah mengalami purifikasi. Ada 2 (dua) Pasal dalam UUD NRI 1945
yang mejadi dasar
(basic) sehingga indonesia dapat dikatakan
telah menganut sistem presidensial.
Pertama, akibat diubahya sistem
kedaulatan MPR mejadi sistem Kedaulatan Rakyat, dimana sesuai Pasal 1 ayat (2)
UUD NRI 1945 (Pasca amandemen)
menyebabkan sistem demokratisasi dinegara ini lebih baik. Terbukti pada tahun
2004 menjadi sejarah dalam sistem ketatanegaraan indonesia dimana
dilangsungkannya pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat. Ini akibat
dari hasil amandemen UUD NRI Tahun 1945 Pasal 6A ayat
(1) “Presiden dan
Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.”
SBY-JK merupakan Presiden pertama yang merasakan hasil amanedem tersebut dengan
berhasil menjadi Presiden Periode 2004-2009 dan kembali terpilih SBY-Boediono
sebagai Presiden 2009-2014.
Kedua, kita dapat melihat indonesia
menganut sistem presidensial pada Pasal 4 ayat (1) “
Presiden Republik
Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar 1945.”
Sebenarnya Pasal ini bersifat tetap. Baik sebelum amandemen UUD NRI Tahun 1945
Pasal ini tidak mengalami perubahan. Tetapi menurut hemat penulis, Pasal ini
tetap memberikan sebuah pengertian bahwa di indonesia hanya mengenal sistem
eksekutif tunggal
(single executive), yaitu antara kepala pemerintahan
(chief executive) dan kepala negara
(head of State) sama
yaitu seorang Presiden sehingga sistem pemerintahan indonesia cenderong kepada
sistem pemerintahan yang bersifat Presidensial
Sebenarnya masih banyak
Pasal-pasal didalam UUD NRI 1945 yang membenarkan bahwa sistem pemerintahan
indonesia lebih cenderong kepada sistem pemerintahan presidensial setelah
amandemen UUD NRI 1945. Seperti bagaimana jabatan presiden bersifat tetap
(position
is fixed). Pasal 7 “
Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan
selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang
sama, untuk satu kali masa jabatan.” Perlu dipahami bahwa dalam sistem
presidensial dimana presidennya dipilih secara langsung oleh rakyat, secara
tidak langsung legitimasi yang diberikan juga sangat kuat
(strong
legitimacy), sehingga dalam proses penjatuhannya juga harus didasarkan
pada keinginan rakyat semata atau diasarkan pada masa jabatan presiden telah
berakhir sesuai amanat konstitusi atau praktek ketatanegaraannya. Tetapi dalam
praktek sistem pemerintahan presidensial juga membenarkan adanya penjatuhan
presiden dalam masa jabatan, tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang telah
ditentukan, yaitu apabila Presiden dan Wakil Presiden tersebut melakukan sebuah
pelanggaran hukum yang secara tegas diatur dalam konstitusi dan inilah dikenal
dengan nama Pemakzulan
(impechment)
Khusus diindonesia sebelum dan
setelah amandemen UUD 1945 ada sebuah praktek ketatanegaraan yang berbeda dalam
proses pemberhentian Presiden dalam masa jabatan. Ketika Orde baru, kedudukan
Presiden sebagai presiden sangatlah kuat dan sangat sulit untuk dijatuhkan.
Ini dapat dilihat dari bunyi UUD 1945 “
Jika Presiden mangkat, berhenti,
atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya,ia diganti oleh
Wakil Presiden sampai habis waktunya”. Dalam Penjelasan Undang-Undang
Dasar 1945 angka VII Alinea ketiga, menentukan :
“ Jika Dewan menganggap
bahwa Presiden sungguh melanggar haluan negara yang telah ditetapkan oleh
Undang-Undang Dasar atau oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, maka majelis itu
dapat diundang untuk persidangan istimewa agar supaya bisa meminta
pertanggungjawaban Presiden.” Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan
Sidang Istimewa ini diatur dalam ketetapan Majelis Permuswaratan Rakyat Nomor
III Tahun 1978 Jo. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No.VII Tahun 1973.
Jadi, berdasarkan ketentuan tersbut, Presiden dapat diberhentikan dalam masa
jabatannya karena alasan “Presiden sungguh melanggar haluan negara yang telah
ditetapkan oleh Undang-Undang Dasar atau oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Tetapi persoalannya apakah tindak pidana dapat dianggap sebagai salah satu
pelanggaran terhadap haluan negara sebagaimana dimaksud dalam penjelasan UUD
1945 dan Majelis Permusyawaratan rakyat.
Ini berbeda setelah Amandemen
UUD 1945 dimana sistem Pemberhentian Presiden dalam masa jabatannya telah
diubah dan diperbaruhi.
Saat ini untuk memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden sangatlah sulit
karena harus melalui beberapa tahap yaitu melalui Usul Dewam Perwakilan Rakyat
(DPR) apabila menganggap Presidan dan/Wakil Presiden Melakukan Pelanggaran
Hukum yang berupa Penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak
pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti
tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/Wakil Presiden, maka dapat
mengajukan usul kepada MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) untuk diputus
apakah Presiden Melanggar haluan negara ataukah tidak. Tetapi sebelum itu DPR
harus meminta kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili dan memutus
DPR tersebut.
Tetapi menurut penulis bahwa pemberhentian Presiden dan/Wakil Presiden saat ini
untuk dipraktekkan diindonesia sangatlah sulit walaupun didalam Konstitusi ada
yang mengaturnya. Ada beberapa alasan saya.
Pertama, Penafsiran
terhadap makna pelanggaran hukum tersebut yang diatur dalam UUD NRI 1945
masihlah abstrak.
Kedua, Sistem pemberhentian presiden yang
dikehendaki oleh konstitusi yang rumit sehingga sangat sulit terjadi
pemberhentian Presiden dalam masa jabatan.
Ketiga, konstitusi telah
mengamanahkan dengan jabatan tetap 5 (lima) tahun untuk Presiden
dan/Wakil Presiden.
Keempat, dipilihnya sistem pemerintahan yang lebih
cenderong kepada Presidensial sebagai sistem pemerintahan indonesia dimana
Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat, maka secara tidak langsung maka
tidak lembaga yang dapat menjatuhkan Presiden secara langsung kecuali rakyat
yang memilihnya.
Kembali kepada sistem
pemerintahan. Dibandingkan dalam sistem pemerintahan parlementer, kepala
pemerintahan (chief executive) cenderung mendapat tekanan politis dari
Parlemen, sehingga apabila kepala pemerintahan (chief excecutive)
berbeda pendapat dengan Parlemen maka ancaman Mosi tidak percaya selalu
dilontarkan oleh parlemen terhadap kepala pemerintahan yaitu perdana menteri,
sehingga jalannya roda pemerintahan dalam sistem parlementer relatif terganggu
akibat seringnya ganti-ganti kepala pemerintahan akibat perdana menterinya
berbeda pendapat dengan parlemen.
Selanjutnya dalam Sistem
Presidensial Presiden yang menentukan sendiri Kabinet yang dipimpinnya.
Dalam sistem pemerintahan indonesia demikian juga dimana dalam UUD NRI Tahun
1945 Pasal 17 ayat (2) “ Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan
oleh Presiden.” Sama halnya dengan beberapa Pasal dalam UUD 1945 bahwa
Pasal ini bersifat tetap, tidak ada perubahan dari sebelum amandemen sampai
sekarang. Dibawah ini akan dapat dilihat sejauhmana perbandingan Kewenangan dan
Kedudukan yang menguatkan Posisi Presiden sebagai Pemegang kekuasaan Eksekutif
dan Posisi DPR Sebagai Pemegang Kekuasaan Legeslasi diindonesia.
Kewenangan dan
Kedudukan Presiden dan DPR menurut UUD NRI Tahun 1945 (setelah amandemen)
No.
|
PRESIDEN
|
DPR
RI
|
1.
|
- Pasal 4 Ayat (1) “ Presiden
Republik Indonesia memegang Kekuasaan Pemerintahan menurut
Undang-Undang Dasar.
|
- Pasal 7C “Presiden tidak
dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat”.
|
2.
|
- Pasal 5 Ayat (1) “ Presiden
berhak mengajukan rancangan undang- undang kepada Dewan Perwakilan
Rakyat.
- Pasal 5 Ayat (2) “Presiden
menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang
sebagaimana mestinya
|
- Pasal 11 Ayat (1) “ Presiden
dengan Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan
perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.
- Pasal 11 Ayat (2) “Presiden
dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat
yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban
keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan
undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
|
3.
|
- Pasal 7 “Presiden dan
Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya
dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali
masa jabatan.
|
- Pasal 13 Ayat (2) “Dalam hal
mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan
Rakyat.
|
4.
|
- Pasal 10 “ Presiden
memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat,
Angkatan laut dan Angkatan Udara.
|
- Pasal 20 Ayat (2) “Setiap
rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan
Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
|
5.
|
- Pasal 11 Ayat (1) “ Presiden
dengan Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan
perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.
- Pasal 11 Ayat (2) “Presiden
dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat
yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban
keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan
undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
|
- Pasal 20A Ayat (1) “Dewan
Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan
fungsi pengawasan.”
- Pasal 20A Ayat (2) “Dalam
melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain
Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak
interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.
- Pasal 20 Ayat (3) “Selain hak
yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, setiap
anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan pertanyaan,
menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas.
|
6.
|
- Pasal 12 “Presiden
menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan
bahaya ditetapkan dengan undang-undang.
|
- Pasal 21 “Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan usul rancangan
undang-undang”.
|
7.
|
- Pasal 13 Ayat (1) “ Presiden
mengangkat duta dan konsul.
- Pasal 13 Ayat (2) “Dalam hal
mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan
Rakyat.
|
- Pasal 22 Ayat (2)
“Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat dalam persidangan yang berikut
|
8.
|
- Pasal 14 Ayat (1) “Dalam hal
mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan
Rakyat.
- Pasal 14 Ayat (2) “Presiden
memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan
Dewan Perwakilan Rakyat.
|
- Pasal 23 Ayat (3) “Apabila Dewan
Perwakilan Rakyat tidak menyetujui rancangan anggaran pendapatan dan belanja
negara yang diusulkan oleh Presiden, Pemerintah menjalankan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang lalu.
|
9.
|
- Pasal 15 “Presiden memberi
gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan yang diatur dengan
undang-undang.
|
- Pasal 23E Ayat (2)
“Hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
sesuai dengan kewenangannya
|
10.
|
- Pasal 16 “Presiden
membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat
dan pertimbangan kepada Presiden, yang selanjutnya diatur dalam
undangundang.
|
- Pasal 23F Ayat (1)
“Anggota Badan Pemeriksa Keuangan dipilih oleh Dewan Perwakilan
Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah dan
diresmikan oleh Presiden.
|
11.
|
- Pasal 17 Ayat (2)
“Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
|
- Pasal 24A Ayat (3) “Calon
hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk
mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung
oleh Presiden.
|
12.
|
- Pasal 20 Ayat (2) “Setiap
rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden
untuk mendapat persetujuan Bersama.
|
- Pasal 24B Ayat (3)“ Anggota
Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat.”
|
13.
|
- Pasal 22 Ayat (1) “Dalam hal
ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan
pemerintah sebagai pengganti undang-undang.”
|
- Pasal 24C Ayat (3)
“Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi
yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang
oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan
tiga orang oleh Presiden.
|
14.
|
- Pasal 23F Ayat (1) “Anggota
Badan Pemeriksa Keuangan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan
memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah dan diresmikan
oleh Presiden.
|
|
15.
|
- Pasal 24A Ayat (3) “Calon
hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat
untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai
hakim agung oleh Presiden.
|
|
16.
|
- Pasal 24B Ayat (3)“ Anggota
Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”.
|
|
17.
|
- Pasal 24C Ayat (3) “Mahkamah
Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan
oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah
Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh
Presiden.
|
|
5. Objectum litis dikenal dengan istilah objek
perkara atau objek sengketa. Dalam perkara yang menjadi kewenangan pengadilan
di dibawah Mahkamah Agung memiliki objek perkara atau objectum litis yang berbeda-beda. Untuk perkara “sengketa kewenangan lembaga Negara yang
dikewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar” (SKLN), objectum litis-nya
adalah kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar. Jika terdapat
sengketa kewenangan yang bukan kewenangan yang diberikan Undang-Undang Dasar
(UUD), maka bukan menjadi kewenangan MK untuk mengadilinya. Jika sampai pekara
tersebut dimasukkan, maka hakim konstitusi harus menyatakan tidak berwenang.
Dalam putusan mengenai perkara SKLN, MK pernah membuat pertimbangan bahwa
kewenangan lembaga negara tidak cukup hanya dilihat secara tekstual saja, akan
tetapi kewenangan implisit dan kewenangan yang diperlukan (necessary and proper) untuk melaksanakan kewenangan pokok yang
pengaturannya dapat saja dimuat dalam undang-undang. (Putusan MK No.
004/SKLN-IV/2006). Tidak terpenuhinya objectum litis, menjadikan sebuah perkara
akan diputus tidak dapat diterima oleh Mahkamah Konstitusi, karena tidak
memenuhi syarat pemohon berhak mengajukan permohonan (legal standing).
Subjectum litis lebih
dikenal sebagai pihak-pihak berperkara atau bersengketa. Untuk perkara Sengketa
Kewenangan Lembaga Negara (SKLN), lembaga negara yang dapat menjadi pemohon
atau termohon dalam perkara SKLN sebagaimana lebih rinci sudah dijabarkan dalam
PMK, yaitu: DPR, DPD, MPR, Presiden, BPK, Pemda, dan lembaga negara lain yang
kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. (Pasal 2 ayat (1) PMK No. 8/PMK/2006).
Oleh karena itu untuk dapat memenuhi syarat subjectum litis-nya untuk membubarkan
partai politik adalah enam lembaga negara diatas dan lembaga negara lain yang
kewenangannya diberikan UUD 1945. Sebagaimana syarat objectum litis
diatur dalam peraturan perundang-undangan, maka begitu pula jika subjectum
litis berdasarkan jenis perkara tidak terpenuhi, maka menjadikan sebuah
perkara diputus tidak dapat diterima oleh Mahkamah Konstitusi, karena permohon
tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan (legal standing).
Objectum litis sengketa
kewenangan lembaga negara, akan membatasi siapa pihak yang dapat menjadi
pemohon dan termohon didepan persidangan Mahkamah Konstitusi. Kewenangan
lembaga negara yang dapat menjadi objek sengketa hanyalah menyangkut kewenangan
yang diberikan oleh UUD 1945 kepada lembaga negara tertentu. Oleh karenanya
tidaklah tiap lembaga negara, yang memenuhi kriteria sebagai organ, badan atau
lembaga negara yang menjalankan fungsi penyelenggaraan negara dan pemerintahan,
yang bersengketa dengan lembaga negara lain dapat dengan sendirinya menjadi
pihak dalam sengketa kewenangan dimaksud. Jikalau kita meneliti UUD 1945
setelah perubahan, dapat dinventarisasi 28 lembaga negara yang disebut secara
eksplisit maupun secara tidak langsung disebut tetetapi kemudian diperintahkan
akan diatur dalam undang-undang. Menurut Jimly Asshidiqie, ada 28 lembaga
negara, organ atau jabatan yang disebut dalam UUD 1945 tetapi
kewenangannya dirujuk akan diatur lebih
lanjut, atau lembaga negara yang diatur secara jelas kewenangannya dalam UUD
1945 maupun yang sekedar disebut saja,yaitu :
- Majelis
Permusyawaratan Rakyat.(MPR).
- Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR).
- Dewan Perwakilan
Daerah (DPD).
- Presiden.
- Wakil Presiden.
- Dewan Pertimbangan
Presiden.
- Kementerian Negara.
- Duta.
- Konsul.
- Pemerintahan Daerah
Propinsi, yang mencakup
- Jabatan Gubernur.
- DPRD Propinsi
- Pemerintahan Daerah
Kabupaten, yang mencakup
- Jabatan Bupati
- DPRD Kabupaten
- Pemerintahan Daerah
Kota, yang mencakup
- Jabatan Walikota
- DPRD Kota.
- Komisi Pemilihan
Umum)KPU), yang akan diatur lebih lanjut dalam undang-undang.
- Bank Sentral, yang
akan diatur lebih lanjut dalam undang-undang.
- Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK).
- Mahkamah Agung (MA)
- Mahkamah Konstitusi
(MK).
- Komisi Yudisial.(KY)
- Tentara Nasional
Indonesia(TNI).
- Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
- Pemerintah Daerah
Khusus atau istimewa.
- Kesatuan Masyarakat
hukum adat.
Meskipun disebut dan
diatur dalam UUD 1945, lembaga negara yang memiliki legal standing untuk dapat
menjadi pemohon sengketa kewenangan lembaga negara didepan MK, haruslah secara
eksplisit bahwa kewenangan organ konstitusi tersebut mendapat kewenangannya
tersebut dari UUD 1945. Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi dalam
perkara Nomor /PUU-IV/2006, yang kemudian diadopsi sebagai
syarat legal standing dalam pasal 3 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006, ditetapkan tiga syarat untuk legal standing tersebut yaitu :
1.
Pemohon adalah lembaga negara yang menganggap kewenangan
konstitusionalnya diambil, dikurangi, dihalangi, diabaikan, dan/atau dirugikan
oleh lembaga negara yang lain.
2.
Pemohon harus mempunyai kepentingan langsung terhadap
kewenangan yang dipersengketakan.
3.
Termohon adalah lembaga negara yang dianggap telah
mengambil, mengurangi, menghalangi, mengabaikan, dan/atau merugikan pemohon.
Syarat angka 3 diatas, dapat ditafsirkan sebagai
adanya hubungan kausal kerugian yang dialami kewenangannya dengan kewenangan
yang dilaksanakan oleh lembaga lain.
Dengan kriteria yang demikian maka subjek lembaga negara yang disebut diatas
yang memiliki legal standing untuk dapat menjadi Pemohon
dalam sengketa kewenangan lembaga negara didepan Mahkamah Konstitusi, menjadi
semakin sempit dan berkurang.Hal ini dapat terlihat dengan jelas dalam pasal 2
PMK Nomor 08/PMK/ 2006 tersebut, yang menentukan :
(1)
Lembaga Negara yang dapat menjadi pemohon atau termohon
dalam perkara sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara adalah :
a.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
b.
Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
c.
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
d.
Presiden
e.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) .
f.
Pemerintahan Daerah (Pemda); atau
g.
Lembaga negara lain yang kewenangannya diberikan oleh UUD
1945.
Apabila terdapat lembaga
termohon tetap menjalankan kewenangan yang dipersengketakan, maka pejabat
negara yang bersangkutan dapat dikatakan tidak patuh terhadap hukum, untuk itu
dapat dilakukan upaya-upaya untuk melaporkan kepada atasan yang lebih tinggi,
untuk dilakukan upaya-upaya agar mematuhi putusan pengadilan. apabila masih
tetap bersikukuh tidak melaksanakan putusan pengadilan, maka dengan segala
kerendahan ahti untuk dapat dimintakan pemecatan terhadap pejabat negara yang
bersangkutan.