CALON INDEPENDEN SEBAGAI SOLUSI ALTERNATIF

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Semangat amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang diusung Indonesia adalah diantaranya terciptanya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Resstrukturisasi kelembagaan Negara merupakan agenda penting amandemen demi terciptanya pemerintahan yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (Good Governant). Aspek penting lainnya dari amandemen Undang-Undang Dasar 1945 adalah hal yang berkaitan dengan Pemilu, Hak Asasi Manusia dan Pemerintah Daerah yang masih menjadi perdebatan. Pada aspek kelembagaan Negara dapat dilihat dalam konstitusi bahwa terdapat lembaga-lembaga seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daearah (DPD), Presiden, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY) serta lembaga-lembaga Negara lainnya seperti Bank Indonesia (BI) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Kesemuanya itu merupakan pemisahan kekuasaan yang bersifat horizontal dalam arti kekuasaan dipisah-pisahkan kedalam fungsi-fungsi yang tercermin dalam lembaga Negara yang sederajat yang saling mengimbangi (check and balance).[1]

Pada aspek HAM dalam konstitusi adalah dicantumkannya pasal-pasal yang berkaitan dengan Hak-hak dasar manusia yang sebelumnya masih belum diatur secara spesifik dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen.[2] Hal ini berkaitan dengan pemenuhan hak-hak dasar manusia yang sebelumnya kurang mendapatkan perlindungan hukum oleh pemerintah, sehingga banyak sekali pelanggaran-pelanggaran HAM di Indonesia. Dalam konteks itu akan menjadi penting kepastian hukum tentang HAM, meskipun pada dasarnya HAM adalah hak yang telah melekat dalam setiap diri manusia sejak dia dilahirkan atau sejak berada dalam kandungan.

Yang tak kalah pentingnya adalah permasalahan otonomi daerah yang kian menjadi perhatian terutama hal yang berkaitan dengan pemilihan Kepala/Wakil Kepala Daerah secara langsung yang sampai hari ini sudah dilaksanakan di beberapa Kabupaten/Kota yang ada di Indonesia. Pemilihan Kepala/Wakil Kepala Daerah secara langsung merupakan amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang dalam hal ini tidak sama dengan amanat Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen yang mana tidak mensyaratkan adanya pemilihan pemilihan Kepala/Wakil Kepala Daerah secara langsung, akan tetapi mensyaratkan pemilihan Gubernur, Buapati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala daerah propinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Hal ini sebenarnya merupakan politik hukum pemerintah dalam proses amandemen yang mana pada saat itu belum dapat dipastikan bahwa pada akhirnya pemilihan Kepala/wakil Kepala Daerah dapat dipilih secara langsung. Akhirnya dipilihlah redaksional “Demokratis” .

Dari ketentuan dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 yang terdapat perbedaan dalam penentuan redaksional mengenai sifat pemilihan umum khususnya tentang pemilihan Kepala/Wakil Kepala Daerah membuktikan bahwa sistem dan pengaturan hukum dalam rangka pemilihan umum di Indonesia belum mantap dan stsbil. Salah satu penyebabnya adalah ketentuan dalam pemilihan umum itu tidak diperinci dan tegas pengaturannya dalam Undang-Undang Dasar 1945, sehingga pengaturannya diserahkan dan sangat tergantung pada dinamika pertarungan antar kepentingan politik.[3]

Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia sebagaimana terjewantahkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 seringkali bukan malah menjadi jembatan menuju demokratisasi pelaksanaan pemerintahan di daerah, namun seringkali otonomi daerah menjadi momok yang dapat memunculkan konflik-konflik baru yang ada di setiap daerah terutama hal yang berkaitan dengan pelaksanaan Pemilihan Kepala/wakil Kepala Daerah secara langsung, yang mana konflik tersebut bukan hanya diakibatkan oleh hal-hal yang bersifat teknis, akan tetapi juga diakibatkan hal-hal yang bersifat normatif yang kurang jelas pengaturannya, sehingga akan menimbulkan interpretasi yang berbeda dikalangan ahli-ahli hukum.[4] Interpretasi bisa dilakukan dikarenakan memang terdapat kepentingan kelompok dan golongan tertentu, sehingga kadangkala suatu bunyi Peraturan Perundang-Undangan dapat dimaknai sesuai dengan kebutuhan kelompok atau golongan tertentu.

Potensi konflik juga diakibatkan oleh beberapa hal[5] yang bersifat teknis. Pertama, politik uang (money politik) yang dilakukan oleh calon kepala/wakil kepala daerah kepada pemilih dengan harapan dapat memilih figur yang memberikan imbalan. Kedua, intervensi Penguasa, dalam hal ini terdapat keberpihakan penguasa terhadap salah satu calon tertentu, sehingga dapat mempengruhi hasil pemilihan. Ketiga, Manipulasi data, ini dapat dilakukan baik dalam hal pendataan penduduk maupun penggelembungan suara. Keempat, Mobilisasi massa yang dilakukan calon tertentu dalam hal terdapat sesuatu yang diinginkan oleh calon terentu. Kelima, fanatikme kepartaian, ini sebenarnya yang selama ini terdapat pada masyarakat kalangan bawah bahwa kalau bukan partai yang diidealkan, maka dapat dikatakan partai lain adalah musuh untuk dilawan.

Permasalahan normatifme hukum juga seringkali yang kerap dijadikan senjata oleh kalangan dan kelompok tertentu. Untuk hal ini terdapat dua kemungkinan, pertama adalah memang peraturan perundang-undangan yang ada tidak mengatur sebagaimana mestinya, sehingga ini yang dijadikan senjata oleh kelompok tertentu dalam setiap momen kepentingan. Yang kedua adalah permasalahan redaksional yang kurang tepat dan jelas, artinya peraturan perundang-undangan sudah ada, akan tetapi masih terdapat multi tafsir, yang pada akhirnya tafsiran yang paling menguntungkan digunakan oleh kelompok tertentu.

Kabupaten Sampang dalam hal ini yang sebelumnya telah dijadwalkan akan melaksanakan pemilihan Kepala dan Wakil kepala daerah (Pilkada) pada tahun 2006[6], akan tetapi dikarenakan sejak awal permasalahan normatif hukum telah dijadikan senjata oleh politisi Kabupaten Sampang, sehingga sampai saat hari inipun pelaksanaan Pilkada di Kabupaten Sampang belum jelas kapan akan digelar. Alasan demi alasanpun yang dijadikan opini untuk menutupi permasalahan yang sebenarnya terjadi, sehingga permasalahan normatifme hukum dapat dijadikan senjata dengan alibi-alibi dan alasan politik.

Permasalahan pilkada Sampang sebenarnya permasalahan hukum yang di politisasi, yang mana diawali dengan hanya terdapat 1 (satu) pasangan calon yang mendaftarkan diri ke KPUD Sampang (calon dari FPP), padahal setidaknya masih terdapat 2 (dua) pasangan calon yang secara hukum dapat mendaftarkan pasangan calonnya ke KPUD (calon dari FKB dan F Gabungan). Akan tetapi dua fraksi tersebut (FKB dan F Gabungan) telah sepakat untuk berkoalisi dan ingin mengajukan 1 (satu) pasangan calon. Di kemudian hari ternyata dalam koalisi yang dibangun antara FKB dan F Gabungan terdapat konflik internal, yakni masih terdapat tarik-menariknya calon yang akan di usung, sehingga belum mendaftarkan calonnya ke KPUD. Daerah pemilihan 4 (DP-4) pun dijadikan alasan bahwa masih terdapat kekeliruan dalam pendataannya.

Secara yuridis Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tidak mengatur adanya calon tunggal seperti yang terjadi di Kabupaten Sampang, sehingga setiap dibuka pendaftaran calon Kepala/wakil Kepala Daerah oleh KPUD hanya terdapat I (satu) pasangan calon yang mendaftarkan diri, akibatnya jadwal pelaksanaan Pilkada Sampang selalu diundur, hingga terakhir ini Mendagri dalam surat keputusannya Pilkada Sampang dapat dilaksanakan sampai dengan batas waktu yang tidak ditentukan sampai Partai politik yang dapat mengajukan calonnya siap untuk mendaftarkan diri calon yang diusungnya, artinya KPUD harus menunggu kesiapan dari partai politik untuk mengajukan masing-masing calonnya sehingga dapat dikasanakan Pilkada.

Dampak dari diundurnya Pilkada Sampang tentunya akan sangat signifikan terhadap kondisi sosial, budaya, ekonomi dan pemerintahan.[7] Pertama, terkurasnya APBD Kabupaten Sampang, mengingat PPK, PPS dan KPPS telah terbentuk yang keberadaannya membutuhkan biaya operasional baik untuk menjalankan kewenanganya maupun biaya yang harus dibayarkan setiap bulannya. Belum lagi form-form yang sudah di buat tahun 2006, maka secara otomatis harus dicetak lagi, mengingat Pilkada sampai tahun 2007 belum pasti pelaksanaannya. Dampak yang kedua adalah adanya penilaian negatif baik dari Pemerintah Pusat maupun dari masyarakat, bahwa Pemerintah Kabupaten Sampang tidak dapat melaksanakan konsep Otonomi Daerah yang diamanatkan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, karena pada setiap pergantian jabatan struktural sangat rentan dengan adanya konflik. Dampak ketiga adalah tidak stabilnya kondisi pemerintahan, mengingat berlarut-larutnya kekosongan pimpinan kepala daerah di Kabupaten Sampang, karena harus diingat bahwa Kepala Daerah memiliki tugas dan wewenang yang sangat urgen, yakni sebagai penyelenggara pemerintahan di daerah yang mempunyai tugas dan wewenang memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD. Sedangkan pengganti sementara Bupati Sampang hanya bersifat administratif, artinya tidak bisa mengeluarkan kebijakan-kebijakan strategis di daerah, kecuali atas dasar perintah atau delegasi wewenang dari Gubernur maupun Mendagri.

Permasalahan sebenarnya adalah terletak pada leading sektor pencalonan Kepala/wakil Kepala daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 yang hanya memberikan kesempatan kepada Partai Politik untuk mencalonkan Kepala/wakil Kepala daerah. Tidak dapat tempat kemudian bagi calon independen yang memang secara kemampuan serta mendapat dukungan dari masyarakat luas untuk mencalonkan diri sebagai calon Kepala/wakil Kepala daerah. Sehingga tidak salah kemudian kalau diasumsikan bahwa demokrasi yang ada di Indonesia adalah demokrasi Partai, bukan atas dasar demokrasi yang berasal dari rakyat dan untuk rakyat.[8]

Berdasarkan asumsi-asumsi logis diatas, maka Penulis ingin membedah dan mengkaji Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 terutama pasal-pasal yang berhubungan dengan Pencalonan Kepala/wakil Kepala Daerah terkait dengan kebuntuan politik yang terjadi di Kabupaten Sampang, karena sampai saat ini sedikit sekali pembahasan-pembahasan yang mengkaji masalah pencalonan Kepala/Wakil Kepala Daerah dalam Pilkada, sehingga pada akhirnya dapat dicarikan pemecahan, jalan keluar maupun Problem Solving yang baik terkait pemecahan kebuntuan politik di Kabupaten Sampang khususnya dan Indonesia pada umumnya.

I.2 Rumusan Masalah

Dari berbagai uraian diatas, maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih jauh tentang (Politik Hukum Alternatif Pemecahan Kebuntuan Politik “Studi Hukum Normatif Proses Pilkada di Kabupaten Sampang”). Untuk perlu dirumuskan beberapa pokok permasalahan, diantaranya:

  1. Partai politik sebagai satu-satunya pintu mencalonkan diri sebagai Kepala/wakil Kepala Daerah
  2. Pengertian calon independen yang selama ini di pahami masyarakat
  3. Calon independen sebagai alternatif solusi kebuntuan politik di Kabupaten Sampang
  4. Keuntungan dan kerugian calon independen ketika terpilih ditinjau dari perspektif hukum

I.3 Tujuan Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan karya tulis ini diantaranya:

  1. Untuk memperjelas bahwa tidak terdapat ruang bagi calon perorangan atau independen untuk mencalonkan sebagai Kepala/wakil Kepala daerah dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005
  2. Untuk mengetahui calon independen yang selama ini dipahami masyarakat
  3. Untuk memaparkan bahwa calon independen sebagai alternatif solusi kebuntuan politik di Kabupaten Sampang
  4. Untuk mengetahui keuntungan dan kerugian calon independen ketika terpilih ditinjau dari perspektif hukum

I.4 Manfaat Penulisan

Adapun manafat yang dapat diperoleh penulis dalam pembuatan karya tulis ini, yakni:

  1. Secara teoritis dapat menambah keilmuan dalam bidang Hukum Tata Negara yang berkaitan dengan Hukum Pemerintahan daerah dan Politik Hukum di indonesia
  2. Manfaat praktis adalah untuk membangun kesadaran dan pemahaman kepada publik bahwa calon independent sebagai alternative solusi kebuntuan politik di Kabupaten Sampang khususnya dan Indonesia pada umumnya

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 TEORI DEMOKRASI

  1. Latar Belakang Demokrasi

Perdebatan masalah demokrasi merupakan perdebatan yang cukup panjang. Perdebatan dimulai dari jaman Yunani Kuno sampai saat sekarang masih saja Demokrasi menjadi perdebatan yang cukup alot. Perdebatan dimulai antar filsuf Yunani kuno, yang kemudian dilanjutkan oleh para sarjana yang lahir pada abad-abad berikutnya seperti Socrates, Plato, Thomas Aquinas, Polybius, dan Cicero.[9]

Dari berbagai konsep yang diajukan, paling tidak terdapat pengaruh yang tidak sedikit terhadap perkembangan dan esensi pemerintahan demokrasi pada saat ini. Contoh kecil adalah Socrates, walaupun beliau tidak mewariskan karya yang berupa tulisan sebagai media penyebarluasan gagasannya, akan tetapi melalui dialektika (tanya jawab) yang dia praktekkan, ternyata menghasilkan pemerintahan yang ideal, yakni bentuk pemerintahan Demokrasi. Hal itu terangkum dalam dari pernyataannya yang mengatakan bahwa Negara yang dicita-citakan tidak hanya melayani kebutuhan penguasa, tetapi Negara yang berkeadilan bagi warga masyarakat umum.[10]

Pendapat Plato yang paling dikenal adalah bahwa ada lima macam bentuk pemerintahan, yakni:[11]

  • Aristokrasi

Disinilah para para cendikia memerintah sesuai dengan pikiran keadilan. Segala sesuatu ditujukan untuk kepentingan sesama agar keadilan merata.

  • Timokrasi

Golongan yang memerintah itu lebih ingin mencapai kemashuran daripada keadilan. Tindakan dalam timokrasi hanya ditujukan pada kepentingan penguasa sendiri.

  • Oligarchi

Dalam pemerintahan ini yang memegang kekuasaan adalah golongan hartawan, sehingga tumbuhlah milik partikelir yang menyebabkan kekuasaan pemerintah jauh kedalam tangan golongan hartawan.

  • Demokrasi

Dalam pemerintahan Oligarchi menimbulkan kemelaratan umum, orang-orang menjadi miskin. Tekanan dari penguasa makin berat. Rakyat miskin bersatu dan memberontak melawan para hartawan yang memegang pemerintahan. Pemerintahan lalu dipegang rakyat dan kepentingan umum diutamakan, dinamakan demokrasi. Demokrasi yang diutamakan adalah kemerdekaan dan kebebasan.

  • Tyrani

Pemerintahan ini dipegang oleh seorang saja. Bentuk pemerintaham ini yang paling jauh dari cita-cita keadilan. Sebab seorang tiran menelan rakyat.

 

Dari kelima bentuk Negara tersebut, maka aristokrasilah yang merupakan bentuk pemerintahan terbaik dan bahwasanya hanya keadilanlah, yaitu susunan dari dan oleh orang-orang yang merdeka, yang menguasai dirinya sendiri, yang dapat membawa kebahagiaan.[12] Karena Demokrasi ternyata mempunyai kelemahan karena dapat memberikan peluang kepada masyarakat bertindak sebebas-bebasnya tanpa batas yang akhirnya terjadi kekacauan atau anarkisme.[13] Dalam keadaan yang demikian, maka diperlukan seorang yang kuat agar dapat mengtasi keadaan, sehingga tampillah seorang raja yang penindas, kejam dan tidak berkeadilan dengan sebutan pemerintahan Tyrani.

Selain itu Plato juga mengakui bentuk pemerintahan Monarki dan Mobokrasi sebagaimana terurai dalam pemikirannya yang membagi pemerintahan (negara) menjadi dua jenis yaitu the ideal form[14] (bentuk cita) dan the corruption form[15] (bentuk pemerosotan).

Ketika berbicara tentang the ideal form dan corruption form, Aristoteles sebagai murid Plato mengelompokkan bentuk pemerintahan yang dicitakan diantaranya Monarki, Aristokrasi, dan Republik, sedang pemerinahan yang termasuk pemerintahan pemerosotan (korup) adalah Tyrani, Oligarchi dan Demokrasi. Pengelompokan tersebut didasarkan pada kriteria kuantitatif, yakni pemerintahan itu dipegang oleh satu orang, segolongan kecil saja dan banyak orang serta disandarkan pada kepentingan yang dilindungi, apakah kepentingan pribadi, kepentingan segolongan kecil dan bukan untuk seluruh rakyat.

Dari pemikiran filsuf diatas, maka tercatatat keduanya antara Plato dan Aristoteles tidak hanya mampu mengembangkan konsep, tetapi juga meletakkan landasan dan semangat perbedaan tentang masalah demokrasi, khususnya dalam hal pengelompokan demokrasi. Plato menempatkan demokrasi pada bentuk pemerintahan yang dicitakan, sementara Aristoteles menempatkan demokrasi pada kelompok pemerintahan yang korup. Yang lainnya juga yang merupakan perbedaan antara Plato dan Aristoteles terletak pada penggunaan kriteria masing-masing. Plato menggunakan indikator kualitatif dan kuantitatif sedangkan Aristoteles kuantitatif semata.

Tokoh lain yang pernah membedah konsep demokrasi adalah Polybius. Pakar yang terkenal dengan teori siklus yang menyatakan, bahwa pemerintahan yang pertama adalah Monarki, karena pemerintahan Monarki mudah diselewengkan, maka muncullah Tyrani. Karena pemerintahan Tyrani memakai kekerasan dan menguntungkan diri sendiri dalam melaksanakan pemerintahan, maka terbentuklah pemerintahan Aristokrasi. Aristokrasipun belum juga membawa perubahan yang berarti bagi rakyat, sehingga pemerintahan tersebut diganti Oligarki. Karena Oligarki semakin menyengsarakan rakyat maka muncullah Demokrasi yang dalam esensi penyelenggaraannnya kepentingan rakyatlah yang diutamakan. Hanya saja dikarenakan pemerintahan yang menjalankan orang-orang yang tidak berpendidikan, maka muncullah pemimpin yang ideal dan responsif sebagaimana diharapkan, sehingga muncullah Okhlokrasi. Setelah Okhlokrasi dijalankan ternyata banyak penyimpangan-penyimpangan yang apada akhirnya kembalilah ke Monarki. Sistem ini yang kemudian dikatakan sebagai teori sistem.

Terilhami dari teori Polybius tersebut, secara diam-diam menggugah Aristoteles untuk melakukan studi perbandingan terhadap 158 konstitusi.[16] Dari hasil penyelidikannya itu dalam bentuk “cycle revolution”.[17] Namun teori siklus tersebut secara teoritik dan praktik sampai sekarang masih diragukan kebenarannya, karena secara fakta belum ada satu Negara pun yang dapat dijadikan contoh dari teori tersebut.

  1. Jenis-Jenis Demokrasi

Sri Soemantri mengetengahkan kembali pendapat Richard Butwel[18] yang menyatakan bahwa dalam perkembangan demokrasi kemudian timbul bermacam-macam predikat seperti “social dmocracy, liberal democracy people democrasi, guided democracy,” dan lain-lain. Indonesia sendiri setelah terjadinya peristiwa G30S PKI mempergunakan istilah demokrasi Pancasila, sedang sebelumnya demokrasi terpimpin.[19]

Dalam hal yang sama Miriam Budiardjo[20] menguraikan bahwa ada bermacam-macam atribut demokrasi yaitu demokrasi konstitusional, demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, demokrasi pancasila, demokrasi rakyat, demokrasi Soviet, demokrasi nasional dan sebagainya. Oleh karena Heywood membaginya menjadi ke dalam empat jenis; “classical democracy, protective democrasi, development democracy, people’s democracy” ada pula yang membegi demokrasi menjadi Westminster Model dan Consessus model.

  1. Unsur dan Syarat Demokrasi

            Menurut A. Dahl yang diperkenalkan ulang oleh Arend Lijphart bahwa suatu Negara dapat dikatakan sebagai Negara demokrasi bila memenuhi unsur-unsur:[21]

  1. Freedom to form and join organization (ada kebebasan untuk membentuk dan menjadi anggota perkumpulan);
  2. Freedom of exspression (ada kebebasan menyatakan pendapat);
  3. The Right to vote (ada hak memberikan suara dalam pemungutan suara);
  4. Eliqibility of public office (ada kesempatan untuk dipilih atau menduduki berbagai jabatan pemerintahan negara);
  5. The Right of Political Leader to compete for support and votes (ada hak bagi pemimpin politik berkampanye untuk memperoleh dukungan suara);
  6. Alternative sources of information (terdapat beberapa sumber informasi)
  7. Free and fair election (adanya pemilihan yang jujur dan bebas);
  8. Institution for making government politics depend on votes and other exspression of preference (Lembaga-lembaga yang membuat kebijaksanaan bergantung kepada pemilih).

Sementara Sigmund Neuman[22] membagi sistem demokrasi menjadi 6 (enam) unsur pokok, yaitu:

  1. kedaulatan masional di tangan rakyat
  2. memilih alternatif dengan bebas
  3. kepemimpinan yang dipilih secara demokratis
  4. Rule of Law
  5. adanya Partai Politik
  6. kemajemukan (pluralisme)

Sebagai pakar ilmu politik Indonesia, Affan Gaffar menyadarkan demokrasi sebagai suatu paham yang universal. Atas keuniversalan itu demokrasi mengandung elemen-elemen sebagai berikut:[23]

  1. penyelenggaraan kekuasaan berasal dari rakyat
  2. yang menyelenggarakan kekuasaan secara bertanggung jawab
  3. diwujudkan secara langsung ataupun tidak langsung
  4. rotasi kekuasaan dari seorang atau kelompok ke orang atau kelompok yang lainnya
  5. adanya proses pemilu
  6. adanya kebebasan sebagai HAM

Berdasarkan para pendapat para ahli diatas, maka unsur-unsur demokrasi adalah:

  1. adanya kekuasaan bagi rakyat untuk ikut serta menentukan arah dan kepentingannya sendiri dalam penyelenggaraan pemerintah.
  2. adanya kebebasan yang bertanggung jawab untuk menetukan hak-haknya.
  3. adanya pemilu yang kompetitif
  4. adanya perangkat hukum yang demokratis dan penegasan hukum non diskriminatif
  5. adanya pengawasan yang fair, jujur dan adil

Ditinjau dari syarat demokrasi, Sri Soemantri M. telah memberikan pandangan seperti yang diajukan oleh International Commission of Jurist di Bangkok tahun 1965 yaitu:[24]

  1. adanya proteksi konstitusional
  2. adanya kekuasaan peradilan yang bebas dan tidak memihak
  3. adanya pemilihan umum yang bebas
  4. adanya kebebasan untuk menyatakan pendapat dan berserikat
  5. adanya tugas-tugas oposisi
  6. adanya pendidikan civis

Sementara Suhartono mengajukan dua syarat dasar, yakni:[25]

  1. syarat internal bagi kehidupan masyarakat, demokrasi dapat terlaksana apabila terdapat kesadaran politik masyarakat yang mandiri.
  2. syarat eksternal, berupa adanya kondisi yang mendukung posisi rakyat sebagai pemegang kedaulatan.

David Held mengemukakan ada 5 sysrat untuk dikatakan sebagai Negara demokrasi, yaitu:

  1. Effective participation (partisipasi yang efektif)
  2. Enlightened understanding (pengertian yang jelas)
  3. Voting equality at the decisive stage (kesamaan dalam pemungutan suara)
  4. Control of The Agenda (adanya pengawsan yang terjadwal)
  5. Inclusivenes (sifat terbuka)

Dalam konteks yang sama Arief Budiman[26] menyatakan bahwa demi terbentuknya sebuah demokrasi sejati yang bukan pinjaman dari pemerintah, syarat minimalnya adalah; kekuatan politik masyarakat yang seimbang plus faktor-faktor yang lain seperti ideologi, sistem ekonomi, sistem sosial, sistem budaya, dan teknologi. Sedangkan kalau mengacu pada Dohrendorf atau Carter dan Henz[27] demokrasi suatu Negara dilihat dari jarak anatara realita dan idealita pada pluralisme liberal. Semakin liberal pluralistik suatu Negara, maka akan dianggap demokratis. Secara konvensional liberal suatu Negara biasanya diukur dari kehidupannya atas pilar-pilar demokrasi, yaitu kehidupan partai-partai dan lembaga perwakilannya, peranan ekskutifnya, dan kehidupan persnya.

Berdasarkan unsur-unsur yang dipaparkan oleh tokoh, maka setidaknya demokrasi mengandung unsur-unsur dan syarat-syarat pokok yaitu:

  1. kedaulatan ditangan rakyat
  2. adanya mekanisme pemilu yang fair
  3. adanya partai politik yang kompetitif
  4. adanya rotasi kekuasaan yang teratur dan terbatas
  5. adanya lembaga legislative sebagai control lembaga lain
  6. adanya kebebasan warga Negara dalam semua aspek kehidupan
  7. berfungsinya lembaga penegak hukum yang netral dan tidak diskriminatif
  8. berfungsinya pers sebagai control Negara
  9. adanya ruang gerak masyarakat untuk mengontrol lembaga Negara
  10. adanya pertanggung jawaban kepada rakyat.

II.2 PEMILU DAN SISTEM KETERWAKILAN

Salah satu syarat untuk mewujudkan esensi demokrasi salah satunya adalah dengan adanya pemilihan umum (Pemilu). Walaupun masih terdapat perdebatan apakah Pilkada merupakan pemilu atau bukan, akan tetapi pada dasarnya adalah bagaimana rakyat dapat menentukan calon yang di idealkan sehingga akan mampu membawa aspirasi rakyat secara keseluruhan pada akhirnya.

Pemilihan umum yang demokratis merupakan satu-satunya jaminan untuk mewujudkan tujuan pemilu itu sendiri, yakni antara lain:[28]

  1. membuka peluang untuk terjadinya pergantian pemerintahan sekaligus momen untuk menguji dan mengevaluasi kualitas dan kuantitas dukungan rakyat terhadap keberhasilan dan kekurangan pemerintah yang sedang berkuasa.
  2. sebagai sarana menyerap dinamika aspirasi rakyat untuk diindetifikasi, diartikulasi dan di agregasikan selama jangka waktu tertentu
  3. yang paling pokok adalah untuk menguji kualitas pelaksanaan kedaulatan rakyat itu sendiri.

Pentingnya pemilu yang demokratis sebagai sarana demokrasi dalam sistem perwakilan setidaknya menjamin terbentuknya representative government.[29] Kata “Perwakilan” (representation) adalah konsep seorang atau suatu kelompok yang lebih besar. Dewasa ini anggota Dewan Perwakilan Rakyat pada umumnya mewakili rakyat melalui partai politik. Pada hal pada dasarnya setiap jabatan politik dalam hal ini pemilihan Presiden, Gubernur, Wali Kota maupun Bupati pada tataran teoritis bukan hanya melalui partai politik, akan tetapi seperti yang ada di Amerika Serikat, bahwa calon House of Representative maupun senat tidak harus berangkat dari Partai Politik, akan tetapi meskipun misalkan yang bersangkutan tidak mendaftarkan diri ke Komisi Pemilihan, akan tetapi terdapat orang yang memilih, maka tetap dikatakan sah. Sehingga benar kalau di Indonesia dikatakan sebagai perwakilan yang bersifat politik (political representation)[30]

Perwakilan politik bagi beberapa kalangan dirasakan sebagai pengbaian terhadap kepentingan-kepentingan dan kekuatan-kekuatan lain yang ada didalam masyarakat.[31] Oleh karena itu, di beberapa Negara mencoba mengatasi persoalan tersebut dengan cara mengikutsertakan wakil dari golongan perseorangan atau yang dianggap memerlukan perlindungan khusus. Seperti di India mengangkat beberapa orang wakil dari golongan Anglo-Indian sebagai anggota Majelis Rendah, sementara golongan kesusestraan, kebudayaan, dan pekerja sosial diangkat menjadi anggota Majelis Tinggi. Lain halnya dengan Amerika yang memberikan peluang bagi calon independent untuk bertarung dalam setiap event pemilihan jabatan politik. Sehingga dapa dikatakan bahwa demokrasi yang dibangun di Indonesia adalah demokrasi partai politik, yang tidak dapat memberikan kesempatan kepada perorangan atau lembaga non partai politik untuk dapat mencalonkan apalagi menjabat sebagai jabatan politik.

Yang terjadi adalah orng-orang yang dianggap loyal terhadap partai yang pada akhirnya diproyeksikan sebagai calon dalam setiap momen pergantian jabatan politik dimanapun. Peraturan perundang-undangan pun yang di cari kekurangannya, agar tujuan dari golongannya dapat tercapai dengan tanpa memikirkan dampak negative yang akan terjadi baik dalam internal pemerintahan maupun eksternal pemerintahan. Contohnya kecilnya adalah Kabupaten Sampang seperti yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya.

II.3 TEORI HIERARKI NORMA HUKUM

Teori perundang-undangan (gezetsgebungstheori)[32] pada dasarnya merupakan bagian dari ilmu pengetahuan perundang-undangan (gezetsgebugswissenschaft)[33] yang berupaya mencari kejelasan makna atau pengertian-pengertian hukum dan peraturan perundang-undangan.

Pelopor norma hukum adalah Hans Kelsenyang mengemukakan teorinya mengenai jenjang norma hukum (stufentheorie), dimana ia berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif, yaitu norma dasar (Grundnorm).[34]

Dalam teori perundang-undangan (gesetsgebungstheori) yang dipelopori oleh Hans Kelsen dan selanjutnya ditambahkan oleh Hans Nawiasky yang dikenal dengan theori von stfennaufbau de rechtsordnung[35] menyatakan bahwa norma Hukum dari suatu Negara itu selain berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang tetapi bahwa norma Hukum itu juga berkelompok-kelompok. Hans Nawiasky mengelompokkan norma-norma Hukum dalam suatu Negara itu menjadi empat kelompok besar yang terdiri atas : [36]

Kelompok I                 : Staatsfundamentalnorm (Norma fundamental Negara)

Kelompok II               : Staatgrundgesetz ( Aturan dasar/pokok Negara)

Kelompok III              : Formell Gesetz ( Undang-undang)

Kelompok IV           : Verordnung dan Autonome Satzung (aturan pelaksana dan aturan otonom).

            Staatsfundamentalnorm merupakan norma yang bersifat fundamental (tertinggi), artinya adalah norma yang tidak dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi, tetapi juga bersifat pre-supposed atau ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat dalam suatu negara dan merupakan suatu norma yang menjadi tempat bergantungnya norma hukum di bawahnya.

Staatgrundgesetz merupakan aturan yang masih bersifat pokok dan merupakan aturan-aturan umum yang bersifat garis besar, sehingga masih merupakan norma tunggal yang masih belum diikuti oleh norma skunder.

Formell Gesetz merupakan turunan dari Staatgrundgesetz dikatakan demikian karena Formell Gesetz bukan merupakan norma tunggal lagi, karena telah diikuti norma skunder didalamnya. Norma-norma skunder itu dapat berupa sanksi, baik sanksi pidana, perdata maupun administrasi.

Verordnung dan Autonome Satzung memiliki sifat atau kewenangan yang berbeda dalam pembentukannya, Verordnung bersumber dari kewenangan delegasi, yaitu pelimpahan kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. Berlainan dengan Autonome Satzung yang memiliki sifat atau kewenanngan atribusi, yaitu pemberian kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan yang diberukan oleh Groundwet (UUD) atau Wet (UU) kepada suatu lembaga negara atau pemerintahan.

            Berdasarkan teori penggolongan norma hukum diatas, maka akan memunculkan beberapa prinsip hukum yang oleh Amieroedin Sjarif sebagai berikut:[37]

  1. Perundang-undangan yang lebih rendah derajatnya tidak dapat mengubah atau mengenyampingkan ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi tetapi yang sebaliknya dapat.
  2. Perundang-undangan hanya dapat dicabut, diubah atau ditambah oleh atau dengan Perundang-undangan yang sederajat atau lebih tinggi tingkatannya
  3. Ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak mengikat apabila bertentangan dengan Perundang-undangan yang lebih tinggi tetap berlaku dan mempunyai kekuatan hukum serta mengikat walaupun diubah dan ditambah, diaganti atau dicabut oleh Perundang-undangan yang lebih rendah
  4. Materi yang seharusnya diatur oleh Perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya tidak dapat diatur oleh Perundang-undangan yang lebih rendah.

Dari penjelasan diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa norma yang lebih tinggi dalam hal ini adalah Staatsfundamentalnorm akan selalu diikuti oleh norma-norma dibawahnya, diantaranya Staatgrundgesetz, Formell Gesetz, Verordnung dan Autonome Satzung, Sehingga norma-norma yang ada di bawahnya tidak boleh bertentangan dengan norma di atasnya. Dimana prinsip itu akan mengarah pada asas-asas hukum seperti lex specialist derogat legi generalis, lex post teori derogat legi priori.

BAB III

METODOLOGI PENULISAN

III.1 Pendekatan Masalah

Metode penulisan yang digunakan dalam penulisan karya tulis ini adalah menggunakan yuridis normatif yaitu cara penulisan yang didasarkan pada analisis terhadap beberapa asas hukum dan beberapa teori hukum serta peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan dalam karya tulis ini. Sedangkan metode pendekatan masalahnya adalah melalui statute approach, yakni dengan melakukan pendekatan atau analisis terhadap persoalan hukum ketatanegaraan yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 junto Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah juncto Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, pengesahan, dan pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah.

III.2 Bahan Hukum

Adapun yang menjadi bahan hukum yang dipergunakan dalam penulisan karya tulis ini meliputi:

  1. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang berupa peraturan perundang-undangan seperti Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 junto Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah juncto Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, pengesahan, dan pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah

  1. Bahan Hukum Skunder

Bahan hukum skunder adalah bahan hukum yang berupa buku-buku referensi, media-media informasi yang berkaitan langsung maupun tidak dengan pembahasan.

III.3 Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan adalah teknik dokumentasi yakni mengumpulkan dan mengkaji bahan-bahan hukum yang ada baik hukum primer maupun bahan hukum skunder. Sedangkan pengolahan bahan hukum yang digunakan adalah dengan menginventarisasi bahan-bahan hukum yang ada kemudian disinkronkan dengan permasalahan-permasalahan yang berkembang terutama hal-hal yang berkaitan dengan Pemerintahab daerah.

III.4 Metode Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan dalam penulisan karya tulis ini adalah metode induksi, yakni mengkaji dari hal-hal yang bersifat khusus untuk menghasilkan kesimpulan yang bersifat umum.

BAB IV

PEMBAHASAN

IV.1 Kebuntuan Politik Proses Pilkada Kabupaten Sampang

Sampai sekarang ini udah beberapa kali Pilkada di Kabupaten Sampang jadwal pelaksanaannya harus diundur.[38] Alasan yang menjadi permasalahan adalah belum terpenuhinya dua pasangan calon yang mendaftarkan diri ke KPUD Sampang, padahal masih terdapat partai politik yang dapat mengajukan pasangan calon. Permasalahan pilkada Sampang sebenarnya permasalahan hukum yang di politisasi, yang mana diawali dengan hanya terdapatnya 1 (satu) pasangan calon yang hanya mendaftarkan diri ke KPUD Sampang (calon dari FPP), padahal setidaknya masih terdapat 2 (dua) pasangan calon yang secara hukum dapat mendaftarkan pasangan calonnya ke KPUD (calon dari FKB dan F Gabungan). Akan tetapi dua fraksi tersebut (FKB dan F Gabungan) telah sepakat untuk berkoalisi dan ingin mengajukan 1 (satu) pasangan calon. Di kemudian hari ternyata dalam koalisi yang dibangaun antara FKB dan F Gabungan masih terdapat konflik internal, yakni masih terdapat tarik-menariknya calon yang akan di usung, sehingga belum mendaftarkan calonnya. Permasalahan Ekternal adalah permasalahan DP 4 yang masih dianggap bermasalah.

Secara yuridis Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tidak mengatur adanya calon tunggal seperti yang terjadi di Kabupaten Sampang, sehingga setiap dibuka pendaftaran calon Kepala/wakil Kepala Daerah oleh KPUD hanya terdapat I (satu) pasangan calon yang mendaftarkan diri, akibatnya jadwal pelaksanaan Pilkada Sampang selalu diundur, hingga terakhir ini Mendagri dalam surat keputusannya Pilkada Sampang dapat dilaksanakan sampai dengan batas waktu yang tidak ditentukan sampai Partai politik yang dapat mengajukan calonnya siap untuk mendaftarkan diri calon yang diusungnya, artinya KPUD harus menunggu kesiapan dari partai politik untuk mengajukan masing-masing calonnya sehingga dapat dikasanakan Pilkada.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tidak mengatur tentang adanya calon tunggal, dapat dicontohnkan dalam pasal 61 ayat (1) yang berbunyi:

Pasal 61

  • berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud dalam pasal 60 ayat (2) dan ayat (4), KPUD menetapkan pasangan calon paling kurang 2 (dua) pasangan calon yang dituangkan dalam berita acara penetapan pasangan calon.

Penjelasan: Cukup Jelas

Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang pemilihan, pengesahan, pengangkatan dan pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah juga tidak mengatur tentang adanya calon tunggal, yang dijelaskan dalam Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2), yang berbunyi:

Pasal 50

  • berdasarkan hasil penelitian, KPUD menetapkan nama-nama pasangan calonyang memenuhi syarat sebagai peserta pemilihan sekurang-kurangnya 2 (dua) pasangan calonyang dituangkan dalam berita acara penetapan pasangan calon

Penjelasan: Cukup Jelas

  • dalam hal tidak dipenuhi 2 (dua) pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), KPUD mengembalikan kepada partai politik atau gabungan partai politik yang mencalonkan dan partai politik atau gabnungan partai politik yang memenuhi persyaratan mengajukan kembali pasangan calon hingga terpenuhi sekurang-kurangnya 2 (dua) pasangan calon

Penjelasan: Cukup Jelas

Berdasarkan pasal 61 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah juncto pasal 50 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang pemilihan, pengesahan, pengangkatan dan pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah maka tidak terdapat redaksional atau bahasa hukum[39] yang menyatakan adanya calon tunggal seperti yang terjadi di Kabupaten Sampang. Taruhlah misalkan kasus yang terjadi di Kabupaten Sampang merupakan kasus hukum yang di politisasi dikarenakan sebenarnya masih terdapat 2 (dua) partai politik yang masih dapat mengajukan pasangan calonnya, akan tetapi dikarenakan kondisi politik yang belum pas, sehingga mengakibatkan partai politik yang ada malah mengambil celah dari Peraturan Perundang-Undangan, akibatnya sampai sekarang pilkada belum jelas pelaksanaannya.

Pertanyaannya adalah bagaimana apabila pasangan calonnya cuma terdapat satu dikarenakan di satu wilayah tertentu hanya terdapat 1 (satu) partai politik yang berkuasa, sedangkan partai yang yang lain tidak mendapat tempat atau suara, sehingga mengakibatkan hanya terdapat 1 (satu) pasangan calon saja yang mendaftarkan diri ke KPUD, apakah secara otomatis pasangan calon yang bersangkutan dinyatakan sebagai pemenang pilkada atau seperti apa?, ini sebenarnya yang kurang terpikirkan oleh pembentuk dan perancang Undang-Undang khususnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah juncto Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang pemilihan, pengesahan, pengangkatan dan pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

            Dampak dari diundurnya Pilkada Sampang tentunya akan sangat signifikan terhadap kondisi sosial, budaya, ekonomi dan pemerintahan.[40] Pertama, terkurasnya APBD Kabupaten Sampang, mengingat PPK, PPS dan KPPS telah terbentuk yang keberadaannya membutuhkan biaya operasional baik untuk menjalankan kewenanganya maupun biaya yang harus dibayarkan setiap bulannya. Belum lagi form-form yang sudah di buat tahun 2006, maka secara otomatis harus dicetak lagi, mengingat Pilkada sampai tahun 2007 belum pasti pelaksanaannya. Dampak yang kedua adalah adanya penilaian negatif baik dari Pemerintah Pusat maupun dari masyarakat, bahwa Pemerintah Kabupaten Sampang tidak dapat melaksanakan konsep Otonomi Daerah yang diamanatkan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, karena pada setiap pergantian jabatan struktural sangat rentan dengan adanya konflik. Dampak ketiga adalah tidak stabilnya kondisi pemerintahan, mengingat berlarut-larutnya kekosongan pimpinan kepala daerah di Kabupaten Sampang, karena harus diingat bahwa Kepala Daerah memiliki tugas dan wewenang yang sangat urgen, yakni sebagai penyelenggara pemerintahan di daerah yang mempunyai tugas dan wewenang memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD. Sedangkan pengganti sementara Bupati Sampang hanya bersifat administrative, artinya tidak bisa mengeluarkan kebijakan-kebijakan strategis di daerah, kecuali atas dasar perintah atau delegasi wewenang dari Gubernur maupun Mendagri.

Berdasarkan dampak-dampak yang ada diatas, maka siapa yang paling dinggap berdosa terkait penundaan pilkada Di Kabupaten Sampang. Hemat penulis yang paling bisa disalahkan adalah partai politik, karena partai politiklah yang memformat Sampang seperti ini, juga dari aspek peraturan perundang-undangan yang tidak mengatur tentang adanya calon tunggal seperti yang terjadi di Kabupaten Sampang. Namun bisa saja kemudian masyarakat maupun pihak-pihak yang dirugikan melakukan upaya hukum melalui gugatan Class Action [41]terkait dengan penundaan Pilkada Sampang yang diakibatkan oleh partai politik.

Kebuntuan politik di Kabupaten Sampang yang diakibatkan oleh permainan politik oleh partai politik dan akan berdampak seperti yang disebutkan diatas sampai sekarang belum menemukan formula untuk menyelesaikan konflik yang saling berseteru diantara partai politik yang ada, sehingga sampai saat ini pun Pilkada Sampang belum jelas kapan akan digelar. Tidak adanya kesempatan bagi calon independent merupakan permasalahan yang mengakibatkan Kabupaten Sampang sampai sekarang belum melaksanakan Pilkada langsung. Alhasil masyarakat selalu menjadi bulan-bulanannya partai politik, contohnya adalah penundaan Pilkada, padahal banyak kerugian yang diderita akibat dari penundaan pilkada Sampang. Sehingga konsep demokrasi yang gembar-gemborkan pemerintah seringkali di potong oleh kesewenang-wenangan pemerintah.[42]

 

IV.2 Partai Politik Sebagai Satu-Satunya Pintu Mencalonkan Diri Sebagai Kepala/Wakil Kepala Daerah

Secara yuridis normatif Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tidak memberi kesempatan kepada calon independen untuk mencalonkan atau bertarung dalam momen pemilihan Kepala/wakil Kepala Daerah. Undang-Undang Dasar 1945 amandemen memang tidak mengatur tentang pengajuan calon dalam Pilkada, namun Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah mengatur beberapa pasal tentang pencalonan sebagai Kepala/wakil Kepala Daerah diantaranya:

Pasal 56

  • kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil

Penjelasan: Cukup Jelas

  • pasangan calon sebagaimana dimaksud ayat (1) diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik

Penjelasan: Cukup Jelas

Pasal 59

  • peserta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah pasangan calon yang diusulkan secara berpasangan oleh partai politik atau gabungan partai politik

Penjelasan: Partai politik atau gabungan partai politik dalam ketentuan ini adalah partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki kursi di DPRD

Hal yang sama juga diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang pemilihan, pengesahan, pengangkatan dan pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah diantaranya:

Pasal 1 angka 9

  1. pasangan calon Kepala daerah dan calon Wakil Kepala Daerah yang selanjutnya disebut pasangan calon adalah peserta pemilihan yang diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik yang telah memenuhi persyaratan

Penjelasan: Cukup Jelas

Pasal 36

  • Peserta pemilihan adalah pasangan calon yang diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik secara berpasangan.

Penjelasan: Cukup Jelas

 

Begitu pula dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi dengan Nomor Perkara 006/PUU-III/2005[43] yang pada intinya Pokok perkara yang diajukan Pemohon adalah sebagai berikut:

  1. Masih banyak terdapat materi muatan dalam UU Pemda tidak sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam UUD 1945;
  2. Ketidaksesuaian sebagaimana dimaksud pada poin (3) meliputi:
    1. Menetapkan hanya Partai Politik atau gabungan Partai Politik yang dapat mengusulkan secara berpasangan calon Kepala Daerah;
      • Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 berbunyi:

”Peserta Pemilihan Umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah Partai Politik.***)”;

  • Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 berbunyi:

”Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan.***)”;

  • Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 berbunyi:

”Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”;

  • Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 berbunyi:

”Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.**)”;

  • Pasal 59 ayat (1) dan (3) UU Nomor 32 Tahun 2004 berbunyi:

Ayat (1):

”Peserta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah pasangan calon yang diusulkan secara berpasangan oleh partai politik atau gabungan partai politik“;

Ayat (3):

”Partai politik atau gabungan partai politik wajib membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi bakal calon perseorangan yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 dan selanjutnya memproses bakal calon dimaksud melalui mekanisme yang demokratis dan transparan“;

Oleh karenanya, menetapkan hanya Partai Politik atau gabungan Partai Politik yang dapat mengusulkan calon kepala daerah, sehingga menghilangkan peluang perseorangan untuk mengajukan diri secara langsung dan mandiri sebagai calon kepala daerah dalam Pilkada sebagaimana tercantum dalam Pasal 59 ayat (1) dan ayat (3) UU Pemda, menurut Pemohon merupakan sebuah ketetapan yang tidak sesuai dengan BAB VII B***) PEMILIHAN UMUM,   Pasal 22E ayat (3) dan ayat (4), BAB X WARGA NEGARA DAN PENDUDUK**), Pasal 27 ayat (1), dan BAB XA**) HAK ASASI MANUSIA Pasal 28D ayat (3) UUD 1945;

  1. Persyaratan pengajuan calon Kepala Daerah
    • Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 berbunyi:

”Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”;

  • Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 berbunyi:

”Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.**)”;

  • Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 berbunyi:

”Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.**)”;

  • Pasal 59 ayat (2) UU Nomor 32 Tahun 2004 berbunyi:

”Partai politik atau gabungan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mendaftarkan pasangan calon apabila memenuhi persyaratan perolehan sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPRD atau 15% (lima belas persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam Pemilihan Umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan“;

Inti dalam Petitum Pemohon adalah sebagai berikut:

  1. Menyatakan: membatalkan Pasal 59 ayat (1) dan ayat (3) UU Pemda, karena menetapkan hanya partai politik atau gabungan partai politik yang berhak mengajukan calon kepala daerah, yang itu berarti menutup peluang calon perseorangan untuk mengajukan diri secara langsung dan mandiri, serta menyatakan ayat (1) dan ayat (3) Pasal sebagaimana tersebut di atas tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat;

Untuk menguatkan Permohonannya, Pemohon Mengajukan Saksi Ahli, yakni Prof. Dr. Harun Alrasid, di bawah sumpahnya memberikan keterangan yang pada pokoknya sebagai berikut:

  • Soal pengisian jabatan kepala daerah diatur dalam Perubahan Kedua UUD, yaitu dalam Pasal 18 ayat (4) yang berbunyi sebagai berikut:

“Gubernur, bupati, dan walikota, masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota, dipilih secara demokratis”;

  • Nyatalah bahwa pembuat UUD menghendaki agar pengisian jabatan kepala pemerintahan daerah/Gubernur, Bupati, dan Walikota, tidak diisi melalui pengangkatan tetapi melalui pemilihan. Tidak ada restriksi bahwa pemilihan harus dilakukan secara langsung atau tidak langsung oleh badan yang mewakili rakyat (DPRD);
  • Pembuat UU menentukan bahwa kepala pemerintahan daerah (selanjutnya disebut “kepala daerah”, vide Pasal 24 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah) dipilih berdasarkan asas luber dan jurdil bersama-sama dengan wakil kepala daerah dalam satu pasangan (Pasal 56 ayat (1));
  • Timbul pertanyaan: apakah pembuat UU boleh membentuk jabatan wakil kepala daerah? Jawabannya: Tidak boleh! Pembuat UUD hanya membentuk jabatan kepala daerah (Gubernur, Bupati, Walikota) seperti yang dicantumkan dalam Pasal 18 ayat (4). Jadi, pasal-pasal dalam UU No. 32 Th. 2004 yang mengatur jabatan wakil kepala daerah adalah tidak konstitusional;
  • Selanjutnya pembuat UU menentukan bahwa calon kepala daerah (dan wakil kepala daerah) diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik (Pasal 59 ayat (1)). Hal ini juga tidak konstitusional karena pembuat UUD tidak menutup kemungkinan bagi calon independen (perseorangan). Vide Pasal 18 ayat (4);

Adapun Pertimbangan Mahkamah Konstitusi adalah sebagai berikut:

  1. Semangat perumusan Pasal 59 UU Pemda adalah untuk membangun mekanisme demokrasi di Indonesia, dimana mekanisme demokrasi yang dibangun dalam pemilihan kepala daerah adalah mekanisme demokrasi partai;
  2. Dalam menjalankan mekanisme demokrasi partai tetap harus memperhatikan atau mengakomodasi aspirasi yang berkembang di masyarakat dan harus menghindarkan perilaku yang diskriminatif dengan jalan perekrutan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah harus melalui mekanisme yang demokratis dan transparan;
  3. Partai politik adalah sarana memperjuangkan kehendak masyarakat dan penyalur aspirasi politik masyarakat secara konstitusional, sekaligus sebagai sarana kaderisasi dan rekruitmen politik dalam pengisian jabatan politik melalui mekanisme yang demokratis;

Menimbang bahwa yang perlu dipertimbangkan sekarang apakah pengaturan mekanisme rekrutmen jabatan politik yang dilakukan berdasarkan Pasal 59 ayat (1) harus melalui pengusulan partai politik melanggar Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 terhadap mana Mahkamah akan memberikan pertimbangan sebagai berikut;

Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 berbunyi:

“Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu, dengan tidak ada kecualinya;

Pasal 28D ayat (3) berbunyi:

“Setiap warga Negara memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan;

Persamaan kedudukan dan kesempatan dalam pemerintahan yang diartikan juga tanpa diskriminasi adalah merupakan hal yang berbeda dengan mekanisme rekrutmen dalam jabatan pemerintahan yang dilakukan secara demokratis. Adalah benar bahwa hak setiap orang untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan dilindungi oleh Konstitusi sepanjang orang tersebut memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam undang-undang yang berkenaan dengan itu, antara lain syarat usia, pendidikan, kesehatan jasmani dan rohani serta syarat-syarat lainnya. Persyaratan tersebut akan berlaku sama terhadap semua orang, tanpa membeda-bedakan orang baik karena alasan agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa dan keyakinan politik. Sementara itu pengertian diskriminasi yang dilarang dalam Pasal 27 ayat (1) dan 28D ayat (3) tersebut telah dijabarkan lebih jauh dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;

Menimbang bahwa persyaratan pengusulan calon pasangan kepala daerah/wakil kepala daerah harus melalui pengusulan partai politik, adalah merupakan mekanisme atau tata cara bagaimana pemilihan kepala daerah dimaksud dilaksanakan, dan sama sekali tidak menghilangkan hak perseorangan untuk ikut dalam pemerintahan, sepanjang syarat pengusulan melalui partai politik dilakukan, sehingga dengan rumusan diskriminasi sebagaimana diuraikan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 maupun Pasal 2 International Covenant on Civil and Political Rights, yaitu sepanjang pembedaan yang dilakukan tidak didasarkan atas agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa dan keyakinan politik, maka pengusulan melalui partai politik demikian tidak dapat dipandang bertentangan dengan UUD 1945, karena pilihan sistem yang demikian merupakan kebijakan (legal policy) yang tidak dapat diuji kecuali dilakukan secara sewenang-wenang (willekeur) dan melampaui kewenangan pembuat undang-undang (detournement de pouvoir);

Menimbang bahwa pembatasan hak-hak politik seperti itu dibenarkan oleh Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, sepanjang pembatasan dimaksud dituangkan dalam undang-undang;

Menimbang bahwa lagi pula diberikannya hak konstitusional untuk mengusulkan pasangan calon kepala daerah/wakil kepala daerah kepada partai politik, tidaklah diartikan bahwa hal itu menghilangkan hak konstitusional warga negara, in casu Pemohon untuk menjadi kepala daerah, sepanjang Pemohon memenuhi syarat Pasal 58 dan dilakukan menurut tata cara yang disebut dalam Pasal 59 ayat (1) dan ayat (3) UU Pemda, persyaratan mana merupakan mekanisme atau prosedur mengikat setiap orang yang akan menjadi calon kepala daerah/wakil kepala daerah;

Sehingga Putusan Mahkamah Konstitusi pada pokoknya adalah sebagai berikut:

Menolak permohon Pemohon mengenai pengujian Pasal 59 ayat (1) dan ayat (3) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 125 Tahun 2004, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437);

Berdasarkan bunyi dari ketiga produk hukum, baik produk hukum yang berupa Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, produk hukum yang berupa Peraturan Pemerintah Nomor Nomor 6 Tahun 2005 tentang pemilihan, pengesahan, pengangkatan dan pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah maupun Produk Hukum yang berupa Putusan Mahkamah Konstitusi[44] yakni dengan Register Perkara Nomor 006/PUU-III/2005, maka semakin jelas bahwa tidak terdapat ruang bagi calon independen untuk mencalonkan diri dalam pilkada atau lain kata adalah hanya partai politik sebagai satu-satunya pintu mencalonkan diri sebagai kepala/wakil kepala daerah, sehingga kasus seperti yang terjadi di Kabupaten Sampang tidak dapat terpecahkan.

IV.3 Pengertian Calon Independen Yang Selama Ini Di Pahami Masyarakat

            Terdapat berbagai macam penafsiran maupun perbedaan tentang calon independen yang selama ini berkembang di masyarakat. Namun paling tidak terdapat beberapa macam penafsiran masyarakat tentang calon independent yang dapat diuraikan sebagai berikut:

  1. Calon Perseorangan

            Pemahaman calon independen sebagian besar yang dipahami masyarakat adalah calon yang berasal dari non parpol dan mendaftarkan diri untuk dan atas nama pribadi atau personal sebagai Kepala/Wakil Kepala daerah. Tidak terkecuali dari etnis, suku manapun yang penting yang bersangkutan masih termasuk penduduk daerah yang akan melaksanakan pilkada, semua dapat mendaftarkan diri serta dapat bertarung dalam Pilkada.

  1. Calon Yang Berasal Dari Organisasi Kemasyakatan

Pemahaman yang kedua adalah bahwa calon independen merupakan calon yang berasal dari organisasi kemasyarakatan yang syah baik secara hukum maupun telah mendapatkan pengakuan dari masyarakat luas. Organisasi kemasrakatan ini bisa berasal dari organisasi yang berbadan hukum publik maupun orgaisasi yang berbadan hukum privat, semua dapat mendafkan diri untuk bertarung dalam Pemilu.

  1. Calon Yang Berasal Dari Partai Politik Yang Memperoleh Suara Minoritas

Calon independen versi pemahaman masyarakat juga berkaitan dengan Partai Politik yang memperoleh suara minoritas baik secara internal parpol mendaftarkan diri, atau menggabungkan diri dan mendaftarkan diri untuk bertarung dalam panggung Pilkada. Hal ini yang menurut Kacung Marijan[45] dikatakan sebagai kendaraan yang cukup efektif untuk dapat memenangkan Pilkada, mengingat calon independen yang berasal dari berbagai Parpol cukup dapat diterima di semua lapisan masyarakat. Contoh kecilnya seperti yang terjadi di Kabupaten Tuban yang justru dari gabungan Parpol kecil yang dapat memenangkan Pilkada. Hal itu tidak dapat dipungkiri karena dalam Pilkada bukan Parpol yang dapat dilihat oleh masyarakat, akan tetapi lebih watak dan karakter dari calon.[46]

Berbeda dengan calon independen yang ada dalam Pemilu di Amerika Serikat. Pemilihan Senat di Amerika Serikat tidak harus berasal dari Partai Politik akan tetapi dapat berasal dari perorangan maupun calon yang diusung dari organisasi kemasyarakatan maupun partai-partai kecil yang ada yang bukan termasuk partai Demokrat maupun partai Republik. Anehnya lagi senat yang ada tidak harus mendaftarkan diri, meskipun tidak terdaftar akan tetapi dipilih oleh masyarakat, maka dapat dikatakan syah, dan apabila memperoleh suara sesuai jumlah suara kursi yang ditetapkan, maka dapat menduduki jabatan Senat.[47]

  1. 4 Calon Independen Sebagai Alternatif Solusi Kebuntuan Politik Di Kabupaten Sampang

Ketika melihat kenyataan sosiologis kebuntuan politik di Kabupaten Sampang, apalagi ditambah dengan beberapa dampak yang timbul dari diundur-undurkannya Pilkada Sampang, maka pertanyaan besar yang harus dijawab adalah problem solving seperti apa yang dapat memecahkan persoalan kebuntuan politik di Kabupaten Sampang.

Hemat penulis cara yang efektif sekaligus sebagai alternatif solusi kebuntuan politik di Kabupaten Sampang adalah dengan memberikan ruang maupun jalan bagi calon independen baik berupa calon perorangan, organisasi kemasrakatan maupun dari partai politik yang memperoleh suara minoritas dalam pemilu, dikarenakan jalur-jalur lainnya seperti mempertemukan elit-elit parpol yang ada sudah pernah dilakukan, namun hasilnya nihil. Desakan dari berbagai elemen masyarakat, mahasiswa, dan LSM berulang kali dilakukan, namun tidak mendapatkan hasil yang signifikan.

Yang menjadi permasalahan adalah dasar hukum apa yang dapat melegalkan atau dapat diakuinya calon independen secara hukum. Dalam hal ini paling tidak terdapat 2 (dua) kemungkinan, yang pertama adalah dengan merubah Undang-Undang 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah 2004 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 yakni Pasal-pasal yang berkaitan dengan hanya partai politik yang dapat mengajukan calon dalam Pilkada. Namun hal ini dapat dikatakan sulit, dikarenakan pembahasan mengenai perubahan Undang-Undang memakan waktu yang cukup lama, hal ini tidak dapat dipungkiri, karena konfigurasi politik atas hukum sangat dominan dalam setiap program legislasi.[48]

Yang kedua adalah produk hukum yang berupa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU), yakni Pasal-pasal yang berkaitan dengan tidak diberikannya ruang bagi calon independen untuk maju dalam Pilkada. Perpu pada dasarnya adalah suatu Peraturan Pemerintah yang disederajatkan dengan Undang-Undang. Pemberian kesederajatan ini, karena materi muatannya semestinya diatur dalam Undang-Undang, tetapi karena suatu kegentingan yang memaksa terpaksa terpaksa dikeuarkan Perpu.[49] Hanya saja harus diperhatikan bahwa badan pembuatannya dan tata cara pembuatannya berbeda, dan karena itu Perpu harus memenuhi kriteria sebagai berikut:[50]

  1. Perpu ditetapkan oleh Presiden tanpa dengan persetujuan DPR terlebih dahulu
  2. Hanya dikeluarkandalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa
  3. Perpu tidak boleh mengatur mengenai hal-hal yang diatur dalam UUD atau TAP MPR
  4. Perpu tidak boleh mengetur mengenai keberadaan dan tugas wewenang Lembaga Negara. Tidak boleh ada Perpu yang dapat menunda atau menghapuskan kewenangan Lembaga Negara.
  5. Perpu hanya boleh mengatur ketentuan Undang-Undang yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan

Alasan dikeluarkannya Perpu adalah keadaan darurat yang memaksa (emergensi), baik karena keadaan bahaya maupun karena sebab lain yang sungguh-sungguh memaksa. Jadi tidak benar jika dikatakan bahwa dasar hukumnya hanya keadaan darurat menurut ketentuan keadaan bahaya yang dikaitkan dengan pemberlakuan keadaan staatsnoodrecht (hukum Negara dalam keadaan berbahaya) atau mengenai (noodverordeningrecht) Presiden.[51] Di samping keadaan bahaya itu, dapat saja terjadi krena alasan-alasan yang mendesak, misalnya untuk memelihara keselamatan Negara dari ancaman-ancaman yang tidak boleh di biarkan berlarut-larut.[52]

Permasalahannnya sekarang adalah dapatkah kebuntuan politik yang terjadi di Kabupaten Sampang dikategorikan sebagai hal ikhwal maupun merupakan kegentingan yang memaksa, mengingat tidak disebutkan batasan-batasan tentang kriteria hal ikhwal dan kegentingan yang memaksa. Namun paling tidak terdapat beberapa kerugian yang diderita sebagai akibat dari diundurnya Pilkada Sampang seperti yang telah diuraikan sebelumnya.

  1. 5 Keuntungan dan Kerugian Calon Independen Ketika Terpilih Ditinjau Dari Perspektif Hukum
  1. Keuntungan Calon Independen Ketika Terpilih

Paling tidak terdapat beberapa keuntungan calon independen apabila terpilih dalam Pilkada diantaranya:

  • Lebih sedikit terhadap kepentingan-kepentingan dalam mengeluarkan kebijakan, mengingat yang bersangkutan tidak berangkat dari unsur partai politik yang sarat dengan kepentingan politik.
  • Dapat secara leluasa dalam mengambil kebijakan tanpa adanya intervensi dari partai politik
  • Kondisi pemerintahan (ekskutif) dimungkinkan lebih kondusif, hal ini dikarenakan dengan adanya kebijakan yang populis di mata masyarakat karena sebagian besar kebijakan yang dikeluarkan mencerminkan keinginan masyarakat.
  • Dapat secara netral dalam melaksanakan pemerintahan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada.
  • Dapat melaksanakan Hak dan Kewajibannya sebagai kepala daerah sebagaimana tertuang dalam Pasal 21 dan Pasal 22 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004
  • Jauh lebih dapat melaksanakan asas-asas umum pemerintahan yang baik, mengingat lebih sedikit unsur kepentingan politik dalam setiap kebijakannya
  • Calon terpilih benar-benar berkwalitas, karena paling tidak telah dipilih oleh sebagian besar masyarakat.
  • Tercipta suasana Pemerintahan yang kondusif, dikarenakan DPDRD selalu akan melakukan kontrol terhadap segala kebijakan yang diambil Kepala Daerah
  1. Kerugian Calon Independen Ketika Terpilih
  • Penyelenggaraan pemerintahan daerah tumpang tindih antara DPRD dan kepala daerah, mengingat dalam Undang-Undang 32 Tahun 2004 Pasal 19 ayat (2) menyatakan “Penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah Pemerintah dan DPRD”, bagaimana kemudian pemerintah yang berasal dari unsur non parpol atau dari parpol minoritas akan mampu menjalankan pemerintahan dengan baik, kalau parpol dalam hal ini yang menduduki di bangku dewan cukup signifikan, yang jelas akan selalu ditentang oleh legislatif daerah, mengingat posisinya adalah opsisi atau berada pihak yang kalah.
  • Sulit untuk mengoptimalkan tugas dan dan wewenagnya sebagai Kepala Daerah sebagaimana tertuang dalam Pasal 25 Undang-Undang 32 Tahun 2004.
  • Sulit melaksanakan kewajiban-kewajiban yang melekat pada Kepala Daerah sebagai penyelenggara pemerintahan sebagaimana tertuang dalam Pasal 27 Undang-Undang 32 Tahun 2004.
  • Terdapat dinamika politik yang memanas antara Kepala Daerah dengan DPRD, sehingga ajang penjatuhan (Impeachment) Kepala daerah selalu menjadi isu penting atau bahkan dibuat-buat oleh DPRD bagaimana agar supaya Kepala Daerah yang berasal dari dari calon independen dapat dijatuhkan/diberhentikan sebagaimana termuat dalam Paragraf Keempat tentang Pemberhentian Kepala Daearah dan Wakil Kepala Daerah Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, pasal 32, Pasal 33, Pasal 34 dan Pasal 35 Undang-Undang 32 Tahun 2004.
  • Terjadi penyalahgunaan Hak dan Kewajiban DPRD dalam hal ini hak untuk interpelasi, angket dan menyatakan pendapat.

Berdasarkan ulasan singkat diatas, maka dapat diketahui bahwa terdapat beberapa keuntungan dan kerugian dari adanya calon independen, namun harus dilihat bahwa dari beberapa kekurangan yang ada merupakan bagian dari dinamika politik dalam pemerintahan. Namun yang harus digaris bawahi calon undependen merupakan problem solving guna memecahkan masalah yang terjadi di Kabupaten Sampang khususnya dan Indonesia pada umumnya.

Kekurangan-kekurangan yang ada dari adanya calon independen dapat diminimalisir dengan adanya kedewasaan politik lembaga pemerintahan yang ada di daerah, bahwa walau bagaimanapun calon independen yang sudah terpilih merupakan penjewantahan dari rakyat, sehingga keberadaannya harus didukung dengan apresitif dan partisipatif asalkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada. Bagaimana kemudian diantara lembaga pemerintahan daerah yang ada dapat sinergi dalam membangun daerahnya guna mencapai tujuan pemerintahan yang bersih dan bebas dari Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (Good Governant). Tidak malah sebaliknya terjadi seperti yang di Tuban, yakni adanya saling menjatuhkan antara DPRD dan Kepala daerah.

BAB V

PENUTUP

V.1 Simpulan

  1. Dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 maupun dalam putusan Mahkamah Konstitusi bahwa tidak terdapat ruang atau menutup celah bagi adanya calon independen untuk dapat bertarung dalam momen Pilkada, padahal dampak dengan tidak terdapatnya ruang bagi calon independen sangat signifikan dampaknya, seperti yang terjadi di Kabupaten Sampang, atau bisa jadi di kemudian hari hanya terdapat satu pasangan calon yang mendaftar diri ke KPUD.
  2. Pengertian calon independen yang selama ini berkembang di masyarakat adalah hanya terbatas kepada calon perorangan, calon yang berasal dari organisasi kemasrakatan, serta dari calon independen yang berasal dari partai politik yang mendapat suara minoritas seperti yang terjadi di Tuban. Namun tidak terlihat adanya calon independen seperti yang ada di Amerika Serikat, meskipun tidak mendaftarkan diri dalam pemilihan Senat, namun apabila dipilih oleh masyarakat dan suaranya memenuhi, maka secara otomatis dia dapat menduduki jabatan senat. Di Amerika Serikat hal seperti itu juga dikatakan sebagai calon independen.
  3. Ketika yang terjadi seperti di Kabupaten Sampang, maka harus ada solusi bagaimana caranya calon independen dapat diakui secara hukum oleh pemerintah. Hal ini dapat dilakukan dengan mengeluarkan produk hukum yang berupa PERPU untuk mengantisipasi adanya dampak yang semakin meluas, seperti yang terjadi di Kabupaten Sampang. Walaupun kriteria kegentingan dan keadaan bahaya bersifat objektif dan subjektif di tangan Presiden.
  4. Yang jelas dengan adanya calon independen dan misalkan terpilih sebagai Kepala Daerah, maka akan ada dua kemungkinan, yang pertama suasana maupun iklim pemerintahan semakin kondusif, dengan adanya check and balances baik dari pihak ekskutif maupun legislatif. Kemungkinan yang kedua adalah sebaliknya, adalah terciptanya dinamika politik yang memanas antara ekskutif dan legislative, hal ini dapat terjadi karena belum dewasanya elit politik untuk siap kalah dan menang dalam berpolitik

V.2 Saran

  1. Pemerintah pusat dalam hal ini harus melihat kenyataan yang terjadi di masyarakat, banyak kemudian ketentuan yang ada dalam Peraturan Perundang-Undangan dapat dijadikan senjata oleh elit yang berkepentingan, alhasil seperti yang terjadi di Kabupaten Sampang. Kedepan diharapkan calon independen dapat di legalkan dalam bentuk Peraturan Perundang-Undangan, sehingga tidak ada lagi stigma lagi bahwa demokrasi yang dibangun Indonesia adalah merupakan demokrasi parpol.
  2. Calon independen tidak hanya dipahami sebatas calon perorangan, calon yang berasal dari organisasi kemasyarakatan maupun calon yang berasal dari parpol minoritas, namun seperti yang dipahami Amerika bahwa calon independen juga dapat dipahami sebagai calon yang meskipun tidak mendaftar dalam pemilu, dan di pilih oleh masyarakat, maka suara yang didapat/diraih adalah syah, dan apabila sesuai dengan batasan jumlah suara yang ditetapkan untuk dapat menduduki suatu jabatan, maka secara hukum dia berhak untuk menduduki jabatan yang bersangkutan.
  3. Pemerintah dalam hal kasus yang terjadi di Kabupaten Sampang harus objektif dalam menilai apakah termasuk kategori genting atau tidak, pemerinatah harus melihat dari segi dampak yang ada, akibat dari diundur-undurnya Pilkada di Kabupaten Sampang. Untuk itu PERPU merupakan produk hukum yang ideal untuk memecahkan permasalahan yang terjadi di Kabupaten Sampang.
  4. Dampak negatif dari adanya calon independen apabila terpilih sebagai Kepala Daerah harus dilihat sebagai pendewasaan dan pendidikan politik, bagaimana agar supaya partai politik yang ada dapat menerima bahwa sesungguhnya demokrasi tidak hanya dapat dibangun berdasarkan demokrasi partai politik, akan tetapi demokarasi dapat dibangun atas dasar demokrasi yang sesungguhnya, yakni demokrasi dari rakyat, dan untuk rakyat.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Kadir, Bahasa Hukum, Alumni, Bandung, 2003, hal.5

Abdul Latief, Hukum dan Peraturan Kebijaksanaan (Bleleidsregel) Pada Pemerintahan Daerah, UII Press, Yogyakarta, 2006

Arief Budiman, Teori Negara, Kekuasaan, dan Ideologi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2002

Bagir Manan, Kedaulatan Rakyat Hak Asasi Manusia dan Negara Hukum, Kumpulan Esai Guna Menghormati Prof. Dr. R. Sri Soemantri M, S.H., Gajah Media Pratama, Jakarta, 2000

Budiman N.P.D Sinaga, Ilmu Pengetahuan Perundang-Undangan, UII Press, Yogyakarta, 2004

C.F. Strong, Modern Political Constitution: An Introduction To the Comparative Study of Their History and existing Form, The English Book Society and Sidgwick and Jackson, Limited London, 1966

El-Mahtaj, Hak Asasi Manusia Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen, Pustaka Kencana, Jakarta, 2005

Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Russell & russel, New York, 2006

Hendra Nurtjahya, Filsafat Demokrasi, Bumi Aksara, Jakarta, 2006

Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, Rajawali Press, Jakarta, 2004

Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara Dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, FH UII Press, Yogyakarta, 2005

———————–, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta, 2006

———————–, Perihal Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta, 2006

———————–, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, 2006

———————–, Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, PT. Buana Ilmu Populer Kelompok Gramedia, Jakarta, 2007

Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah (Pasang Surut Kewenangan DPRD dan Kepala daerah),   Alumni, Bandung, 2004

KPUD Kab. Sampang, Pedoman pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Sampang Tahun 2006, Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kabupaten Sampang

Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan Dasar-dasar dan pembentukannya, Penerbit Kanisius, Yogyakarta 1998

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2006

Moh. Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2003

———————-, Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 2006

———————-, Pergulatan Politik dan Hukum, Gema Media, Yogyakarta, 1999

Nurus Zaman, Potensi Konflik Pilkada 2006 di Kabupaten Sampang, Citra Mentari, Malang, 2006

Rosjidi Ranggawidjaja, Pengantar Ilmu Perundang-Undangan Indonesia, CV. Mandar Maju, Bandung, 1998

Riswanda Imawan, Profil Legislator di Masa Depan, Dalam Miriam Budiardjo dan Ibrahim Ambong, Fungsi Legislatif dalam SistemPolitik Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, 1993

Sigmund Neuman, diangkat kembali oleh andi Pangerang, Prinsip-Prinsip Permusyawaratan Rakyat Berdasarkan Pasal 18 UUD 1945 dan Implementasinya Dalam Sistem Pemerintahan di Daerah, Disertasi, Unpad, Bandung, 1999

Soehino, Ilmu Negara, Lyberty, Yogyakarta, 2000

——————–, Hukum Tata Negara: Teknik Perundang-Undangan, Liberty, Yogyakarta, 2004

Soetomo, Ilmu Negara, Usaha Nasional, Surabaya, 2002

Soetjipto Wirosardjono, Dialog dengan Kekuasaan, Esai-Esai Tentang Agama, Negara, dan Rakyat, Mizan, Bandung, 1995

Sri Soemantri M, Perngantar Perbandingan Hukum Tata Negara, Rajawali Pers, Jakarta 1998

Suhartono, et.al, Politik Lokal Parlemen Desa; Awal Kemerdekaan Sampai Jaman Otonomi Daerah, Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta, Edisi Revisi, 2000

Sumali, Reduksi Kekuasaan Ekskutif di Bidang Peraturan Pengganti Undang-Undang (PERPU), UMM Press, Malang, 2003

Syahran Basah, Ilmu Negara, Pengantar, Metode dan Sejarah Perkembangan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992

Makalah Dan Jurnal Ilmiah

Bagir Manan, Fungsi dan Materi Peraturan Perundang-Undangan (Makalah), Jakarta, 1994

Jimly Asshiddiqie, Demokratisasi Pemilihan Presiden di Indonesia, Makalah Pada Seminar DPR-RI tanggal 2 Juni 2000

Kacung Marijan, Calon Independen dan Permasalahannya, Harian Jawa Pos, Tanggal 15 Nopember 2006

Lutfi J Kurniawan, Lembaga Bantuan Hukum Struktural, Makalah yang disampaikan pada Pelatihan KALABAHU LBH Surabaya bekerja sama dengan LBH Pos Malang 16-20 Februari 2007

Saiful Anam, Dampak Penundaan Pilkada sampang, Opini yang ditulis untuk Harian Radar Madura, 12 Januari 2007

Syafi’, Mengelola Potensi Konflik Pilkada, Makalah yang disampaikan Latihan Kader II (Intermediate Training) Tingkat Nasional HMI Cabang Bangkalan, 03-10 Desember 2006

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang nomor 22 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD

Peraturan Pemerintah Nomor Nomor 6 Tahun 2005 tentang pemilihan, pengesahan, pengangkatan dan pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 tahun 2005 Tentang pedoman bagi Pemerintah Daerah Dalam pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan Terhadap Penetapan Hasil pilkada dan Pilwakada dari KPUD Propinsi dan KPUD Kabupaten/Kota

Putusan Mahkamah Konstitusi

Putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor Perkara 006/PUU-III/2005

BIODATA PENULIS

SAIFUL ANAM dilahirkan di Sampang tanggal 01 Juni 1986, melanjutkan Sekolah Dasar Negeri Paseyan II Sampang (SDN Paseyan II Sampang), kemudian melanjutkan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 2 sampang (SLTPN 2 Sampang) dan melanjutkan ke Sekolah Menengah Umum Negeri 1 Sampang (SMUN 1 Sampang) kemudian melanjutkan ke Fakultas Hukum Konsentrasi Hukum Pemerintahan [HTN-HAN] Universitas Trunojoyo.

            KHRISTIAWAN WIJAYANTO dilahirkan di Nganjuk pada tanggal 8 Oktober 1986. Menempuh pendidikan TK Aisyah Bustanul atfal 1990 -1991, SDN Kauman I Nganjuk 1992-1998, SMPN I Nganjuk 1999-2001, SMAN 2 Nganjuk tahun 2002-2005, dan sekarang berstatus sebagai mahasiswa aktif Universitas Trunojoyo Bangkalan, Madura, Fakultas Hukum Jurusan Ilmu Hukum dan mengambil Konsentrasi Hukum bisnis.

[1] Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara Dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, FH UII Press, Yogyakarta, 2005, hal. 35

[2] El-Mahtaj, Hak Asasi Manusia Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen, Pustaka Kencana, Jakarta, 2005, hal 15

[3] Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, PT. Buana Ilmu Populer Kelompok Gramedia, Jakarta, 2007, hal.781

[4] Syafi’, Mengelola Potensi Konflik Pilkada, Makalah yang disampaikan Latihan Kader II (Intermediate Training) Tingkat Nasional HMI Cabang Bangkalan, 03-10 Desember 2006, hal.3

[5] Nurus Zaman, Potensi Konflik Pilkada 2006 di Kabupaten Sampang, Citra Mentari, Malang, 2006, hal.33-52

[6] Pedoman pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Sampang Tahun 2006, Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kabupaten Sampang, hal.6

[7] Saiful Anam, Dampak Penundaan Pilkada sampang, Opini yang ditulis untuk Harian Radar Madura, 12 Januari 2007

[8] Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2003, hal. 25

[9] Soehino, Ilmu Negara, Lyberty, Yogyakarta, 2000, hal. 14-61

[10] Syahran Basah, Ilmu Negara, Pengantar, Metode dan Sejarah Perkembangan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hal.86

[11] Soetomo, Ilmu Negara, Usaha Nasional, Surabaya, 2002, hal. 41-42

[12] Soetomo, Ibid

[13] Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah (Pasang Surut Kewenangan DPRD dan Kepala daerah),   Alumni, Bandung, hal.55

[14] Syahran Basah, Opcit, hal.95

[15] Syahran Basah, Ibid, hal.96

[16] Juanda, Opcit. Hal.58

[17] C.F. Strong, Modern Political Constitution: An Introduction To the Comparative Study of Their History and existing Form, The English Book Society and Sidgwick and Jackson, Limited London, 1966.Hal.59

[18] Sri Soemantri M, Perngantar Perbandingan Hukum Tata Negara, Rajawali Pers, Jakarta 1998, hal.27

[19] Moh. Mafud MD, Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 2006, hal. 67

[20] Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2006, hal.50

[21] Soetjipto Wirosardjono, Dialog dengan Kekuasaan, Esai-Esai Tentang Agama, Negara, dan Rakyat, Mizan, Bandung, 1995

[22] Sigmund Neuman, diangkat kembali oleh andi Pangerang, Prinsip-Prinsip Permusyawaratan Rakyat Berdasarkan Pasal 18 UUD 1945 dan Implementasinya Dalam Sistem Pemerintahan di Daerah, Disertasi, Unpad, Bandung, 1999, hal.59

[23] Bagir Manan, Kedaulatan Rakyat Hak Asasi Manusia dan Negara Hukum, Kumpulan Esai Guna Menghormati Prof. Dr. R. Sri Soemantri M, S.H., Gajah Media Pratama, Jakarta, hal.238-239

[24] Sri Seomantri, Loc Cit, hal. 43

[25] Suhartono, et.al, Politik Lokal Parlemen Desa; Awal Kemerdekaan Sampai Jaman Otonomi Daerah, Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta, Edisi Revisi, 2000, hal.24

[26] Arief Budiman, Teori Negara, Kekuasaan, dan Ideologi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2002, hal.40

[27] Diketengahkan kembali oleh Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum, Gema Media, Yogyakarta, 1999, hal.53

[28] Juanda, Loc Cit, Hal.96-97

[29] Riswanda Imawan, Profil Legislator di Masa Depan, Dalam Miriam Budiardjo dan Ibrahim Ambong, Fungsi Legislatif dalam SistemPolitik Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, 1993, hal.75

[30] Miriam Budiardjo, Loc Cit, hal.175

[31] Juanda, Opcit, hal.175

[32] Rosjidi Ranggawidjaja, Pengantar Ilmu Perundang-Undangan Indonesia, CV. Mandar Maju, Bandung, 1998, hal. 13

[33] Rosjidi Ranggawidjaja, Ibid

[34] Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Russell & russel, New York, 2006, hal. 113

[35] Sumali, Reduksi Kekuasaan Ekskutif di Bidang Peraturan Pengganti Undang-Undang (PERPU), UMM Press, Malang, 2003

[36] Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan Dasar-dasar dan pembentukannya, Penerbit Kanisius, Yogyakarta 1998, hal.27.

[37] Budiman N.P.D Sinaga, Ilmu Pengetahuan Perundang-Undangan, UII Press, Yogyakarta, 2004, hal. 19-20.

[38] Pedoman pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Sampang Tahun 2006, Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kabupaten Sampang, hal.47

[39] Bahasa hukum dapat diartikan sebagai bahasa yang dipakai dalam peraturan perundang- undangan, lihat Abdul Kadir, Bahasa Hukum, Alumni, Bandung, 2003, hal.5

[40] Saiful Anam, Opcit, Hal.1

[41] Class Action adalah gugatan yang dilakukan oleh kelompok masyarakat tertentu atau organisasi masyarakat dikarenakan terdapat kerugian yang berdampak luas bagi masyarakat, Lihat Lutfi J Kurniawan, Lembaga Bantuan Hukum Struktural, Makalah yang disampaikan pada Pelatihan KALABAHU LBH Surabaya bekerja sama dengan LBH Pos Malang 16-20 Februari 2007, hal.5

[42] Hendra Nurtjahya, Filsafat Demokrasi, Bumi Aksara, 2006, Jakarta, hal.37

[43] Sebagian Besar diambil dari Putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor Perkara 006/PUU-III/2005

[44] Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Pengujian Undang-Undang dapat digolongkan Produk Hukum, hal ini berkaitan dengan sifatnya yang dapat dijadikan rujukan bagi seseorang apakah suatu Undang-Undang masih berlaku atau sudah dibatalkan. Baca Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta, 2006, hal 3. Baca juga Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta, 2006, hal. 34. Hal itu juga dipertegas dengan pernyataan Abdul Latief, Hukum dan Peraturan Kebijaksanaan (Bleleidsregel) Pada Pemerintahan Daerah, UII Press, Yogyakarta, 2006, hal 76

[45] Kacung Marijan, Calon Independen dan Permasalahannya, Harian Jawa Pos, Tanggal 15 Nopember 2006

[46] Kacung Marijan, Ibid

[47] Jimly Asshiddiqie, Demokratisasi Pemilihan Presiden di Indonesia, //http//www. thecheli.com//

[48] Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, Rajawali Press, Jakarta, 2004, hal. 5. Sebagai perbandingan baca Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 2006, hal. 3

[49] Abdul Latief, Hukum dan Peraturan Kebijaksanaan (Bleleidsregel) Pada Pemerintahan Daerah, UII Press, Yogyakarta, 2006, hal 131

[50] Bagir Manan, Fungsi dan Materi Peraturan Perundang-Undangan (Makalah), Jakarta, 1994, hal. 28

[51] Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, 2006, hal. 348

[52] Baca analisis Soehino, Hukum Tata Negara: Teknik Perundang-Undangan, Liberty, Yogyakarta, 2004, hal. 21

Continue Reading

TINJAUAN KEDUDUKAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM SISTEM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA

Pasca Undang-Undang Dasar Amandemen, terdapat beberapa pergeseran lembaga Negara yang semula terdapat lembaga tertinggi Negara dalam hal ini adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), kini lembaga Negara yang ada memiliki kedudukan yang sama sebagai lembaga yang memiliki tugas dan fungsi yang berbeda. Hal itu sesuai dengan prinsip ‘check and balance’ dimana berfungsi sebagai pengontrol terhadap kewenangan regulatif baik yang dimiliki oleh Presiden/Pemerintah serta lembaga-lembaga lain yang mendapat kewenangan regulatif dari Undang-Undang.[1]

Mahkamah Konstitusi yang merupakan lembaga baru pasca UUD 1945 amandemen memiliki kedudukan yang strategis dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, selain berkedudukan sebagai lembaga kekuasaan kehakiman serta memiliki kedudukan terhadap Mahkamah Agung dan lembaga Negara lainnya.[2] Mahkamah Konstitusi dikatakan sebgai salah satu kekuasaan kehakiman sebagaimana tertuang dalam Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 amandemen yang berbunyi:

“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan sebuah Mahkamah Konstitusi (kursif dari penulis)

Adapun yang menjadi kewenangan mahkamah Konstitusi adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 sebagimana disebutkan dibawah ini:

  • Mahkamah Knsitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
    • Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
    • Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
    • Memutus pembubaran partai politik;dan
    • Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
  • Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presidendiduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindk pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana diamksud dalam Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

Mahkamah Konstitusi juga memiliki kedudukan terhadap lembaga Negara yang lain, diantaranya dengan Mahkamah Agung (MA), Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Yang kesemuanya saling melengkapi sehingga akan tercipta suasana pemerintahan yang yang saling melengkapi antara fungsi lembaga Negara yang satu dengan yang lainnya.[3]

a.1.Kedudukan Mahkamah Konstitusi Terhadap Mahkamah Agung

Sepintas dapat dipastikan bahwa kedua lembaga ini merupakan dua lembaga yang merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman, namun tentunya kedua lembaga ini memiliki kewenangan yang berbeda. Dalam pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa:

“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan sebuah Mahkamah Konstitusi (kursif dari penulis)

Ketika melihat bunyi pasal diatas, maka jelas bahwa antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi merupakan sama-sama kekuasaan kehakiman, namun perlu dilihat pula tentang kewenangan dari Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam Pasal 24A ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa:

“Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan undang-undang ”

Sedangkan wewenang Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa:

“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.

Selain kewenangan diatas, Mahkamah konstitusi memiliki kewengan satu lagi yang sangat urgen yakni sebagaimana diatur dalam pasal 24C ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa:

“Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar”

Berdarsakan bunyi Pasal-Pasal dalam Undang-Undang Dasar diatas, maka antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung adalah sama-sama sebagai pelaku kekuasaan kehakiman di Indonesia. Maka dengan demikian pula dapat disimpulkan bahwa kekuasaan kehakiman di Indonesia menganut sistem bifurkasi (bifurcation system), dimana kekuasaan kehakiman terbagi dalam 2 (dua) cabang, yaitu cabang peradilan biasa (ordinary court) yang berpuncak pada Mahkamah Agung dan cabang peradilan Konstitusi yang dijalankan oleh Mahkamah Konstitusi.[4]

Dengan demikian jelas bahwa antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung merupakana 2 (dua) lembaga tinggi negara yang sejajar yang sama-sama sebagai pelaku kekuasaan kehakiman dalam sistem Kekuasaan di Negara Republik Indonesia.[5] Namun tentunya antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung memiliki perbedaan baik dari segi yrisdiksi maupun dari segi kompetensinya. Meskipun jika dilihat secara politis dari kewenangan Mahkamah Konstitusi, maka Mahkamah Konstitusi relatif lebih tinggi dari Mahkamah Agung.

a.2. Kedudukan Mahkamah Konstitusi Terhadap Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)

Dengan diamandemennya Undang-Undang Dasar 1945 maka telah terjadi pergesesan kekuasaan lembaga Negara, salah satunya adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang sebelum amandemen merupakan lembaga tertinggi Negara, namun setelah amandemen Undang-Undang Dasar 1945, maka kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tidak lagi sebagai penjelmaan dari seluruh rakyat Indonesia dan pelaku sepenuhnya kedaulatan rakyat. Oleh karena itu dalam Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa kedaulatan derada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar (Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945), sehingga penumpukan kekuasaan di satu lembaga dapat diminimalisir.

Mengenai kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), maka dapat dilihat dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa:

“Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar”

Dalam ayat (2) disebutkan bahwa:

“Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden”

Dalam ayat (3) disebutkan bahwa:

“Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang dasar”

Berdasarkan bunyi Pasal-pasal diatas, maka antara Mahkamah Konstitusi dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) adalah sama-sama sebagai lembaga negara yang sejajar, yakni lembaga yang satu tidak lebih tinggi (subordinat) terhadap lembaga Negara lainnya.

a.3Kedudukan Mahkamah Konstitusi Terhadap Presiden

Undang-Undang Dasar 1945 pasal 4 ayat (1) menyebutkan bahwa:

“Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”

Sedangkan Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku sekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung sebagaimana tertuang dalam Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 terdapat banyak pasal yang mengatur tentang keberadaaan Presiden. Namun dari sekian banyak pasal tersebut tidak satupun yang mengatur kedudukan Presiden terhadap Mahkamah Konstitusi. Namun hal yag penting adalah sebagimana tertuang dalam Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa:

“Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”

Dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 22 tahun 2003 tentang Susunan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat ditegaskan bahwa:

“Majelis Permusyawaratan Rakyat merupakan lembaga permusyawaratan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara”

Berdasarkan penjelasan pasal diatas, maka dapat diartikan bahwa semua lembaga negara termasuk Presiden tidak dapat melakukan intervensi terhadap Mahkamah Konstitusi selaku kekuasaan kehakiman di Indonesia. Untuk itu, maka dapat disimpulkan bahwa antara Presiden dan Mahkamah Konstitusi adalah sama-sama lembaga Negara yang memiliki tugas dan wewenang yang berbeda namun memiliki kedudukan yang sejajar.

a.4.Kedudukan Mahkamah Konstitusi Terhadap Dewan Perwakilan Rakyat

Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 20 ayat (1) disebutkan bahwa:

“Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang”

Undang-Undang Dasar 1945 tidak dijelaskan tentang kedudukan Mahkamah Konstitusi terhadap Dewan Perwakilan Rakyat. Namun, dalam Pasal 24 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat ditegaskan bahwa:

“Dewan Perwakilan Rakyat merupakan lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara”

Dari penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kedudukan antara Mahkamah Konstitusi dan Dewan Perwakilan Rakyat adalah sejajar dan kedua-duanya adalah lembaga Negara.

a.5.Kedudukan Mahkamah Konstitusi Terhadap Dewan Perwakilan Daerah (DPD)

Keberadaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam sistem ketatanegaraan Indonesia merupakan lembaga baru pasca amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Dalam Pasal 40 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat ditegaskan bahwa:

“Dewan Perwakilan Dakyat merupakan lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara”

Berdasarkan pasal diatas, maka jelas bahwa Mahkamah Konstitusi dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sama-sama sebagai lembaga negara, sehingga kedudukan kedua lembaga tersebut adalah sederajat, namun tentunya memiliki kewenangan yang berbeda.

a.6.Kedudukan Mahkamah Konstitusi Terhadap Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)

Tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) diatur dalam Pasal 23E ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa:

“untuk melaksanakan pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan Negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas mandiri”

Mengenai kedudukan Mahkamah Konstitusi terhadap Badan Pemeriksa Keuangan tidak terdapat satu pasalpun dalam peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Namun karena antara Mahkamah Konstitusi dan Badan Pemeriksa Keuangan adalah sama-sama lembaga negara, maka kedudukan kedua lembaga tersebut adalah sejajar.

Berdasarkan penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kedudukan Mahkamah Konstitusi terhadap lembaga negara yang lainnya yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 amandemen, maka tidak terdapat satu lembagapun secara hukum yang dapat dikatakan (subordinat) lebih tinggi atau lebih rendah, walaupun terdapat sebagian yang mengatakan secara politis masih terdapat lembaga yang paling tinggi apabila dilihat dari segi kewenangan yang dimiliki.

  1. FUNGSI DAN TUGAS MAHKAMAH KONSTITUSI MENURUT UNDANG-UNDANG DASAR 1945

Menurut Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1974, istilah fungsi berarti adalah sekelompok pekerjaan, kegiatan, dan usaha yang satu sama lainnya ada hubungan erat untuk melaksanakan suatu tugas pokok. Dari sudut bahasa, fungsi (Belanda=functie, Inggris=function) berarti jabatan, atau kerja.[6] Jadi berdasarkan pengertian diatas, maka fungsi adalah salah satu peran yang dapat dilaksanakan untuk melaksanakan salah satu wewenang yang melekat pada suatu kelompok/lembaga.

Secara filosofis ide dasar gagasan pembentukan Mahkamah Knstitusi adalah untuk menciptakan sebuah sistem ketatanegaraan di Indonesia yang menganut sistem pemisahan kekuasaan (separation of power) serta inginmenerapkan konsep “check and balance” untuk secara bertahap menggantikan asas pendistribusian kekuasaan (distribution of power), dengan alasan bahwa: [7]

  1. Negara Indonesia merupakan negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, bertujuan untuk mewujudkan tata kehidupan bangsa dan negara yang tertib, bersih, makmur, dan berkeadilan.
  2. Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman mempunyai peranan penting dalam usaha menegakkan konstitusi dan prinsip negara hukum sesuai dengan tugas dan wewenagnya yang ditentukan dalam UUD 1945.
  3. Berdasarkan ketentuan yang termuat dalam UUD 1945 (Pasal 24C) pengaturan tentang pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara, dan ketentuan lainnya diatur dalam undang-undang.

 

  1. Fungsi Mahkamah Konstitusi Sebagai Lembaga Kekuasaan Kehakiman

     Format awal dibentuknya Mahkamah Konstitusi adalah semangat membangun lembaga kekuasaan Kehakiman yang tugas dan wewenangnya berkaitan dengan peran dan tugas konstitusionalitas dari Undang-Undang Dasar 1945.

Kekuasaan Kehakiman setelah UUD 1945 diubah, tetap menjadi kekuasaan yang sangat fundamental dan sebagai bagian dari poros kekuasaan yang memiliki fungsi menegakkan keadilan.[8] Kekuasaan kehakiman dalam susunan kekuasaan negara menurut UUD 1945 setelah perubahan tetap ditempatkan sebgai kekuasaan yang mandiri, bebas campur tangan dari kekuasaan lain, hal itu sesuai dengan bunyi Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa:

“Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”

Dalam susunan kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Agung (MA), badan-badan peradilan lain dibawah MA (Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Militer, Peradilan Agama) serta Mahkamah Konstitusi (pasal 24 ayat (2) UUD 1945). Untuk menjaring hakim-hakim yang profesional dan mempunyai integritas terhadap profesinya sebagai penegak hukum dan keadilan, terdapat lembaga khusus diadakan untuk rekrutmen calon-calon Hakim Agung yaitu Komisi Yudisial (Pasal 24B UUD 1945).

Dengan demikian maka Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, perlu memperhatikan mengenai asas-asas hukum umum kekuasaan kehakiman/peradilan yang baik (Algemene Rechtsbeginsellen van Behorrrlijk Rechtspraak). Asas hukum (Rechtsbeginsellen) adalah pokok pikiran yang bersifat umum yang menjadi latar belakang dari peraturan hukum yang konkret (hukum positif).[9] Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH mengatakan bahwa asas hukum adalah jiwanya peraturan hukum, karena ia merupakan dasar lahirnya peraturan hukum, ialah rasio legisnya peraturan hukum.[10] Asas hukum ini dapat ditemukan dan disimpulkan langsung ataupun tidak langsung dala peraturan-peraturan hukum yang pada hakikatnya mengandung unsur-unsur asas-asas hukum yang bersangkutan.[11]

Seperti asas-asas hukum lainnya, kekuasaan kehakiman juga memiliki beberapa asas yang menjadi dasar dari ketentuan-ketentuan dalam kekuasaan kehakiman secara umum. Adapun asas-asas hukum kekuasaan kehakiman yang baik diantaranya:[12]

  1. Asas kebebasan hakim
  2. Hakim bersifat menunggu
  3. Pemeriksaan berlangsung terbuka
  4. Hakim aktif
  5. Asas hakim bersifat pasif (Tut Wuri)
  6. Asas kesamaan (Audi et Alteram Partem)
  7. Asas objektivitas
  8. Putusan disertai alasan (Motiverings Plicht)
  1. Fungsi Mahkamah Konstitusi Sebagai Penjaga Konstitusi

Ketika melihat wewenang Mahkamah konstitusi dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa:

“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.

Selain kewenangan diatas, Mahkamah konstitusi memiliki kewengan satu lagi yang sangat urgen yakni sebagaimana diatur dalam pasal 24C ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa:

“Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar”

Berdasarkan kewenanagan diatas, maka dalam segala apapun untuk menjalankan kewenangannya, maka Mahkamah Konsitusi selalu mengatasdasarkan Undang-Undang Dasar sebagai (staatsfundamentalnorm)[13]. Untuk itu sering dikatakan bahwa fungsi dari Mahkamah Konstitusi adalah berfungsi sebagai The Guardian of Constitution (penjaga konstitusi).

Sejalan dengan prinsip ketatanegaraan diatas maka salah satu subtansi penting perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga Negara yang berfungsi menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan, dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita demokrasi.

Dasar yang dapat dikatakan bahwa Mahkamah Konstitusi adalah berfungsi sebagai The Guardian of Constitution (penjaga konstitusi) adalah bahwa Mahkamah konstitusi merupakan lembaga peradilan dalam bidang Tata Negara yang dalam segala kewenangannya harus berdasarkan atas Undang-Undang Dasar 1945, baik dalam menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, maupun dalam memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.

Sebagai The Guardian of Constitution (penjaga konstitusi), maka Mahkamah Konstitusi diharapkan dapat memutus segala wewenang yang melekat padanya harus berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, bukan berdasarkan atas pertimbangan-pertimbangan yang lainnya seperti politik, ekonomi, sosial dan lain sebagainya. Untuk itu juga sangat diperlukan dalam segala pertimbangan yang dilakukan hakim konstitusi adalah pertimbangan hukum, bukan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang lainnya.[14]

 

  1. Fungsi Mahkamah Konstitusi Sebagai Penafsir Konstitusionalitas Undang-Undang Terhadap Undang-Undang Dasar 1945

Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar (judicial reviuw) merupakan tugas yang mendominasi kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana tampak dari putusan yang telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi.[15] Secara teoritis terdapat 2 (dua) pengujian norma hukum, yakni pengujian secara formal (formele toetsingrecht) dan pengujian secara materiil (materiele toetsingrecht).[16]

Pengujian secara formal adalah wewenang untuk menilai apakah suatu produk hukum legislatif dibuat sesuai prosedur ataukah tidak. Serta apakah lembaga tertentu berhak atau tidak dalam mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Sedangkan pengujian secara materiil adalah wewenang untuk menyelidiki dan menilai apakah suatu peraturan perundang-undangan bertentangan atau tidak dengan peraturan yang lebih tinggi.[17]

Berdasarkan kewenangannya untuk menguji konstitusionalitas Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, Mahkamah Konstitusi melalui putusannya dapat menyatakan bahwa materi rumusan dari suatu Undang-Undang tidak mempunyai kekuatan hukum karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Begitupun terhadap suatu Undang-Undang, Mahkamah Konstitusi dapat membatalkan keberlakuannya karena tidak sesuai dan tidak berdasar terhadap Undang-Undang Dasar 1945.

Melalui penafsiran ataupun interpretasi terhadap Undang-Undang Dasar 1945, Mahkamah Konstitusi berfungsi sebagai peradilan yang secara positif mengoreksi Undang-Undang yang dihasilkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama-sama Presiden dalam penyelenggaraan negara yang berdasarkan hukum yang mengatur perikehidupan masyarakat bernegara. Dengan demikian Undang-Undang yang dihasilkan oleh legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden) diimbangi oleh pengujian (formal dan materiil) dari cabang yudisial yakni Mahkamah Konstitusi.[18]

Contoh kecil dalam hal kewenangan formal dalam menguji Undang-Undang misalkan dalam bidang legislasi adalah Mahkamah konstitusi dapat mendorong efektifitas penyelenggaraan fungsi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang dikerdilkan. Artinya Maahkamah Konstitusi dapat menyatakan bahwa pembentukan suatu Undang-Undang adalah tidak sah menurut Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat karena tidak melibatkan atau mengabaikan peranan, pertimbangan, maupun pandangan dari Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Konteks diatas berarti Mahkamah Konstitusi mempunyai fungsi sebagaiKonstitusionalitas Undang-Undang Terhadap Undang-Undang Dasar 1945, baik melalui pengujian secara materiil dan formal terhadap suatu Undang-Undang mempunyai fungsi control dalam suatu sistem hukum yang mengatur kehidupan bernegara. Hal itu terwujud dalam bentuk pengujian (materiil dan formal) terhadap Undang-Undang oleh Mahkamah konstitusi.

  1. HUBUNGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN LEMBAGA TINGGI NEGARA LAINNYA

Seperi pembahasan sebelumnya bahwa Mahkamah Konstitusi selain berkedudukan yang sejajar dan tidak (subordinat) terhadap lembaga tinggi negara lainnya, maka selain itu juga Mahkamah Konstitusi juga memiliki hubungan dengan lembaga tinggi lainnya, baik dengan Mahkamah Agung (MA), Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Badan Pemeriksa Keuangan.

  1. Hubungan Mahkamah Konstitusi Dengan Mahkamah Agung

Pasal 24C ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa Mahkamah Konstitusi terdiri tersiri 9 (sembilan) orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden. Aturan peralihan Pasal III Mahkamah Konstitusi selambat-lambatnya dibentuk pada 17 Agustus 2003, sebelum Mahkamah konstitusi terbentuk segala kewenangannya dilakukan oleh Mahkamah Agung. Mahkamah Konstitusi memberitahukan kepada Mahkamah Agung adanya permohonan pengujian Undang-Undang dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari sejak permohonan di catat dalam buku register perkara konstitusi.

Pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang yang sedang dilakukan Mahkamah Agung wajib dihentikan apabila Undang-Undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi (Pasal 55 UU No. 23 Tahun 2003). Begitupun juga Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden, dan Mahkamah Agung (MA) (Pasal 59 UU No. 23 Tahun 2003).

Berdasarkan bunyi pasal diatas, maka hubungan kedua lembaga negara ini telah dimulai sebelum dibentuknya Mahkamah Konstitusi. Dalam rangka mengisi jabatan hakim konstitusi, maka Mahkamah Agung berhak mengajukan 3 (tiga) orang hakim konstitusi dari 9 (sembilan) orang hakim konstitusi yang nantinya ditetapkan oleh Presiden.

Dalam menjalankan tugasnya pun Mahkamah Konstitusi melakukan hubungan denga Mahkamah Agung seperti ketika Mahkamah Konstitusi menangani Judicial Reviuw. Mahkamah Konstitusi memberitahukan kepada Mahkamah Agung adanya permohonan pengujian Undang-Undang dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam buku register perkara konstitusi.

Pengujian peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang yang sedang dilakukan Mahkamah Agung wajib dihentikan apabila Undang-Undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah KOnstitusi sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi. Putusan Mahkamah Konstitusi disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden, dan Mahkamah Agung (MA).

Dari itu, maka dapat dilihat terdapat hubungan antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung, hal itu merupakan konsekwensi dari lembaga yang sama-sama berwenang melakukan judicial reviuw terhadap peraturan perundang-undangan.

  1. Hubungan Mahkamah Konstitusi Dengan Majelis Permusyawaratan Rakyat

Reduksi pergeseran kekuasaan lembaga negara ternyata juga berimplikasi terhadap bergesernya hubungan antar lembaga negara negara, begitu pula dengan hubungan antara Mahkamah Konstitusi dengan Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Mengenai kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), maka dapat dilihat dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa:

“Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar”

Dalam ayat (2) disebutkan bahwa:

“Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden”

Dalam ayat (3) disebutkan bahwa:

“Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang dasar”

Pasal 10 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang susunan kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Majelis Permusyawaratan Rakyat Merupakan lembaga permusyawaratan rakyat ysngs berkududukan sebagai lembaga Negara”

Karena kedua lembaga baik Mahkamah Konstitusi maupun Majelis Permusyawaratan Rakyat sama-sama sebagai lembaga Negara, maka dalam menjalankan tugas dan wewenangnya kedua lembaga tersebut terdapat hubungan. Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindakpidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau wakil Presiden (pasal 7A Undang-Undang Dasar 1945). Lembaga yang memiliki kewajiban untuk memeriksa, mengadili, dan memutus dugaan bahwa Presiden dan/atau wakil Presiden telah melakukan pelanggagaran hukum sebagai mana diamksud diatas adalah Mahkamah Konstitusi (Pasal 24C ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945)

Dalam penyelesaian sengketa pemilu Presiden dan wakil Presiden, Mahkamah Konstitusi menyampaikan putusan hasil perhitungan suara kepada MPR, dalam hal MPR menjadi para pihak dalam peradilan Konstitusi, Mahkamah Konstitusi dapat memanggil dan mendengar keterangan MPR dalam persidangan.

Berdasarkank pemaparan diatas, maka jelas bahwa kedua lembaga negara merupakan lembaga yang sejajar yang memiliki hubungan tata kerja antar lembaga negara yang ada.

  1. Hubungan Mahkamah Konstitusi Dengan Presiden

     Sama halnya dengan Mahkamah Agung, maka Presiden juga berhak mengajukan 3 (tiga) orang Hakim Konstitusi dari 9 (sembilan) orang Hakim Konstitusi, dan Presiden berwenang menetapkan 9 (sembilan) orang Hakim Konstitusi tersebut (Pasal 24C ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945)

Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana lainnya atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau wakil Presiden (pasal 7A Undang-Undang Dasar 1945). Lembaga yang memiliki kewajiban untuk memeriksa, mengadili, dan memutus dugaan bahwa Presiden dan/atau wakil Presiden telah melakukan pelanggagaran hukum sebagai mana diamksud diatas adalah Mahkamah Konstitusi (Pasal 24C ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945)

Mahkamah Konstitusi berwenang melakukan Judicial Reviuw terhadap Undang-Undang yang merupakan produk yang dibuat DPR dan Presiden (Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945). Mahkamah Konstitusi menyampaikan permohonan yang sudah dicatat dalam buku registrasi perkara konstitusi kepada DPR dan Presiden untuk diketahui dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari. Mahkamah Konstitusi dapa tmeminta risalah dan keterangan yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada MPR, DPR, DPD, dan/atau Presiden. Mahkamah Konstitusi menyampaikan kepada DPR, DPD, Presiden, dan Mahkamah Agung terhadap putusan mengenai pengujian Undang-Undang Dasar 1945 (pasal 59 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003).

Dalam hal penyelesaian sengketa pemilu Presiden dan Wakil Presiden, Mahkamah Konstitusi menyampaikan putusan hasil perhitungan suara kepada Presiden (Pasal 68 ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden). Hakim Konstitusi mengucap sumpah dihadapan Presiden (Pasal 21 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003). Pemberhentian hakim konstitusi ditetapkan dengan Keputusan Presiden atas permintaan Ketua Mahkamah Konstitusi. Dalam hal Presiden menjadi para pihak dalam peradilan Konstitusi, Mahkamah Konstitusi dapat memanggil dan mendengar keterangan Presiden dalam persidangan.

Berdasarkan ulasan singkat diatas, maka jelas terdapat hubungan tata kerja antara Mahkamah Konstitusi dengan Presiden. Juga terdapat hubungan protokoler dalam hal Hakim Konstitusi mengucap sumpah.

  1. Hubungan Mahkamah Konstitusi Dengan Dewan Perwakilan Rakyat

     Mahkamah Konstitusi berwenang melakukan Judicial Reviuw terhadap Undang-Undang yang merupakan produk yang dibuat DPR dan Presiden (Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945). Mahkamah Konstitusi menyampaikan permohonan yang sudah dicatat dalam buku registrasi perkara konstitusi kepada DPR dan Presiden untuk diketahui dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari. Mahkamah Konstitusi dapa tmeminta risalah dan keterangan yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada MPR, DPR, DPD, dan/atau Presiden. Mahkamah Konstitusi menyampaikan kepada DPR, DPD, Presiden, dan Mahkamah Agung terhadap putusan mengenai pengujian Undang-Undang Dasar 1945 (pasal 59 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003).

Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar (Pasal 24C ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945). DPR berhak mengajukan 3 (tiga) orang hakim konstitusi dari sembilan orang hakim konstitusi yang nantinya ditetapkan oleh Presiden (pasal 24C ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 ). Dalam hal DPR menjadi para pihak dalam peradilan konstitusi, Mahkamah Konstitusi dapat memanggil dan mendengar keterangan DPR dalam persidangan.

Sedikit berdasarkan rumusan pasal-pasal diatas, maka dapat menunjukkan dalam hal-hal tertentu terdapat hubungan tata kerja lembaga antara Mahkamah Konstitusi dan Dewan Perwakilan Rakyat.

  1. Hubungan Mahkamah Konstitusi Dengan Dewan Perwakilan Daerah

Mahkamah Konstitusi dapa tmeminta keterangan dan/atau risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Presiden.Mahkamah Konstitusi menyampaikan permohonan yang sudah dicatat dalam buku registrasi perkara konstitusi kepada DPR dan Presiden untuk diketahui dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari. Mahkamah Konstitusi dapa tmeminta risalah dan keterangan yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada MPR, DPR, DPD, dan/atau Presiden. Mahkamah Konstitusi menyampaikan kepada DPR, DPD, Presiden, dan Mahkamah Agung terhadap putusan mengenai pengujian Undang-Undang Dasar 1945 (pasal 59 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003).

Dalam hal Dewan Perwakilan Daerah menjadi para pihak dalam sengketa kewenangan lembaga Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, Mahkamah Konstitusi dapat memanggil dan meminta keterangan Dewan Perwakilan Daerah dalam persidangan (pasal 41 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003)

Sama halnya dengan lembaga yang lainnya, berdasarkan penjelasan diatas, maka hubungan antara Mahakamah Konstitusi dan Dewan Perwakilan Daerah adalah hubungan tata kerja antar lembaga negara.

  1. Hubungan Mahkamah Konstitusi Dengan Badan Pemeriksa Keuangan

Badan Pemeriksa Keuangan merupakan lembaga negara yang memiliki wewenang untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara (Pasal 23E ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945).

Menurut Pasal 12 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 bahwa:

 

“Mahkamah Konstitusi bertanggung jawab untuk mengatur organisasi, administrasi, personalia, dan keuangan sesuai dengan prinsip pemerintahan yang bersih”

Sehingga dalam hal ini, Badan Pemeriksa Keuangan berwenang untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Mahkamah Konstitusi sesuai dengan prinsip pemerintahan yang bersih (good governnance). Begitupun juga dalam hal Badan Pemeriksa Keuangan menjadi pihak dalam sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, Mahkamah Konstitusi dapat memanggil dan mendengar keterangan Badan Pemeriksa Keuangan dalam persidangan.

Berdasarkan penjelasan diatas, maka terdapat hubungan antara Mahkamah konstitusi dan Badan Pemeriksa Keuangan adalah hubungan tata kerja antar lembaga negara.

 

DAFTAR PUSTAKA

Arinanto, Satya, Politik Hukum 1, Program Pascasarjana UI, Jakarta, 2001

Arinanto, Satya, Politik Hukum 2, Program Pascasarjana UI, Jakarta, 2001

Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara Dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, UII Press, Yogyakarta, 2005,

Fatkhurohman, et.al, Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004

Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2005

Ikhsan Rosyada Parluhutan Daulay, Mahkamah Konstitusi (Memahami keberadaannya Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia), PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2006,

J.H.A. Logeman, Tentang Teori Suatu Tata Hukum Positif, Ichtiar Baru, Jakarta

Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasi Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 2002

Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 2004

Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Hukum, Pustaka Kartini, Jakarta, 1991

Maria Farida Indarti, Pengantar Ilmu Perundang-Undangan, Kanisius, Jakarta, 1998

Maruar Sihaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Konsitusi Press, Jakarta, 2005

Bambang Sutiyoso, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung

Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta, 2006

Sri Soemantri, Hak Menguji Materiil di Indonesia, Alumni, Bandung 1986

Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi, Pradnya Paramita, Jakarta, 2006

[1] Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara Dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, UII Press, Yogyakarta, 2005, Hal. 21

[2] Fatkhurohman, et.al, Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, Hal. 59

[3] Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2005, Hal. 27

[4] Fatkhurohman, et.al, Opcit, Hal. 62

[5] Ikhsan Rosyada Parluhutan Daulay, Mahkamah Konstitusi (Memahami keberadaannya Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia), PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2006, Hal. 44

[6] J.H.A. Logeman, Tentang Teori Suatu Tata Hukum Positif, Ichtiar Baru, Jakarta, Hal.104

[7] Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasi Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, Hal. 167-168

[8] Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, Opcit, Hal. 26

[9] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 2002, Hal. 32

[10] Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 2004, Hal. 85

[11] Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Hukum, Pustaka Kartini, Jakarta, 1991, Hal. 138

[12] Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, Opcit, Hal. 66

[13] Maria Farida Indarti, Pengantar Ilmu Perundang-Undangan, Kanisius, Jakarta, 1998, Hal.47

[14] Maruar Sihaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Konsitusi Press, Jakarta, 2005, Hal 138

[15] Bambang Sutiyoso, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, Hal.38

[16] Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta, 2006. Hal 5

[17] Sri Soemantri, Hak Menguji Materiil di Indonesia, Alumni, Bandung 1986, Hal. 5-12

[18] Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi, Pradnya Paramita, Jakarta, 2006, Hal. 276

Continue Reading