POTENSI KONFLIK PILKADA DI INDONESIA

BAB I

PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang Masalah

Bangsa Indonesia merupakan bangsa besar yang memiliki wilayah yang sangat luas, yang terdiri dari ribuan pulau, berbagai suku, agama, ras dan etnis yang didalamnya memiliki kepentingan dan kebutuhan yang berbeda-beda sesuai dengan kondisi alamnya. Oleh karena itu dalam penyelenggaraan negara membutuhkan sistem penyelenggaraan negara yang efektif dan efisien di dalamnya mengandung semangat demokrasi sehingga akan tercapai suatu keadilan bagi seluruh rakyat. Di samping Negara Republik Indonesia adalah Negara yang berbentuk kesatuan (pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, (UUD 1945), Negara Republik Indonesia adalah negara hukum (pasal 1 ayat (3) UUD 1945) sehingga dalam pembentukan negara harus berdasarkan pada bentuk negara kesatuan, yang di dalamnya memiliki ikatan historis dan yuridis, sejak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam dua orientasi tersebut untuk mewujudkan suatu penyelenggaraan negara yang harmonis, maka diperlukan suatu sistem ketatanegaraan yang mampu mengakomodasikan kepentingan dan kebutuhan yang beraneka ragam tersebut dan menjadi ketentuan dalam melaksanakan pembangunan menuju masyarakat yang adil dan makmur. Pembangunan masyarakat adil dan makmur harus dijadikan sebagai parameter dalam mengisi pemerintahan yang demokratis dan aspiratif. Semua itu sudah digariskan dalam konstitusi (UUD-1945).

Dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia dikenal konsep otonomi daerah yang telah ditetapkan di Indonesia. Otonomi daerah adalah salah satu faktor pendorong mengemukakannya ide pemilihan kepala daerah langsung.

Secara filosofi, Pilkada langsung merupakan koreksi dan bahan antitesis akan Pilkada-Pilkada sebelumnya. Perubahan penyelenggaran pemerintah daerah kearah yang lebih demokratis, dimulai dengan perubahan pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan bahwa, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kapubaten dan kota dipilih secara demokratis.

Ketentuan-ketentuan konstitusi ini kemudian diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Awalnya Pilkada langsung menimbulkan pro dan kontra. Kelompok pro berpandangan bahwa Pilkada langsung akan mengeliminasi distorsi-distorsi demokrasi dalam praktek Pilkada sistem perwakilan (DPRD). Pilkada langsung dinilai sebagai jalan masuk (passport) bagi demokrasi politik di daerah, karena dapat mengeliminasi atau mengikis politik uang (money politics), memperkecil peluang intervensi pengurus partai politik, dan memberikan kesempatan kepada rakyat memilih pimpinan daerah secara objektif.

Di lain pihak kelompok kontra berpendapat bahwa Pilkada langsung merupakan keputusan ide dan keputusan yang prematur yang tidak relevan peningkatan kualitas demokrasi karena kualitas demokrasi di daerah lebih ditentukan oleh faktor lain, terutama kualitas anggota DPRD dan kualitas pemilih.

Pilkada langsung berarti mengembalikan “hak-hak dasar” masyarakat di daerah dengan memberikan kewenangan yang utuh dalam rangka rekruitmen politik lokal secara demokratis. Dalam kontek itu, negara memberikan kesempatan kepada masyarakat di daerah untuk menentukan sendiri segala bentuk kebijaksanaan yang menyangkut harkat hidup rakyat daerah.

Kebijaksanaan Pilkada langsung di Indonesia kurang dari satu tahun diimplemetasikan. Jalan menuju perwujudan dalam kebijaksanaan yang baik bukanlah jalan yang mudah dan mulus. Implementasi, sebagaimana halnya dengan pembuatan kebijaksaan publik itu sendiri yang melibatkan berbagai macam kepentingan, apalagi yang membawa perubahan yang begitu besar sebagaimana yang diharapkan oleh kebijaksanaan Pilkada langsung yang dirumuskan dalam UU Pemerintahan Daerah.

Namun kebijaksanaan Pilkada langsung dalam UU Pemerintah daerah tersebut terdapat beberapa ketentuan yang menimbulkan polemik, yaitu mengenai penyelesaian sengketa Pilkada dalam Undang-Undang tersebut. Ketentuan yang menimbulkan polemik tersebut dapat dilihat dalam ketentuan pasal 106 ayat (7) UU Pemerintahan Daerah bahwa keputusan Pengadilan Tinggi dalam sengketa Pilkada tersebut final dan mengikat. Artinya Mahkamah Agung sebagai “atasan” Pengadilan Tinggi pun tidak bisa menganulir putusan tersebut.

Namun dalam pesta rakyat atau pemilihan umum  (sistem demokrasi) yang biasanya diselenggarakan lima tahun sekali, sebentar lagi akan berlangsung di Kabupaten Sampang. Tonggak sejarah baru muncul di Sampang ditengah-tengah masyarakat masih disibukkan dengan pembenahan peningkatan sumber daya privasinya. Pemilihan bupati dengan wakil bupati secara langsung yang menurut Komisi Pemilihan Umum Daerah Kabupaten Sampang akan berlangsung sekitar September 2006, merupakan momentum dan peristiwa awal dan permulaan bagi masyarakat Sampang. Masyarakat akan memberi pilihan dan menentukan pilihannya sendiri secara langsung. Masyarakat diberi kebebasan calon mana dan siapa yang akan di pilih menurut hati nuraninya.

Masayarakat Sampang akan di uji sekaligus harus membuktikan terhadap pilihan-pilihan aspirasi privasinya berkaitan dengan kesadarannya dalam berpolitik akan pilihan politiknya. Dengan demikian pemilihan kepala daerah (bupati dan wakil bupati) secara langsung tersebut, tidak berlebihan manakala ada beberapa kekhawatiran dan  presepsi dari pihak-pihak tertentu akan terjadinya konflik dalam Pilkada nanti. Anggapan atau presepsi seperti itu tidak berlebihan, mengingat kabupaten Sampang merupakan salah satu daerah di Nusantara yang notabennya rentan untuk mendatangkan konflik. Sejarah di Sampang sudah mengukir, bahwa di Sampang sering terjadi konflik baik antar masyarakat dengan masyarakat maupun masyarakat dengan penguasa, dan elit antar elit (elit politik).

Banyak kejadian-kejadian yang berbau konflik di Sampang yang menarik untuk dipelajari dan di analisa secara ilmiah. Pristiwa itu tidak hanya muncul belakangan ini, melainkan tindakan kekawatiran berbau konflik itu muncul sejak lama, Misalnya konflik yang terjadi baru-baru ini, dimana sejak pemilu legislatif tahun 2004, baru sekitar bulan Maret 2006 pimpinan DPRD dan kelengkapan-kelengkapan lainnya terbentuk. Ini menunjukkan konflik elit yang terjadi di Sampang bukan hal yang ringan, mudah diperbaiki, cepat selesai dan lain sebagainya. Kebiasaan sulitnya mencari jalan keluar dari masalah-masalah sosial (termasuk elit-elit politik) akan menambah keresehan di ditengah-tengah masyarakat.

Akibat dari konflik elit dari tahun 2004 sampai Maret 2006, membawa konsekuensi APBD tahun 2005 tidak dapat digunakan. Sehingga ujung-ujungnya masyarakat juga yang dirugikan. Dan sebenarnya masih banyak rentetan masalah-masalah yang diterjadi di Sampang.

Sampang yang kita kenal dengan daerah rawan konflik (khususnya antar elit), sering dijadikan parameter/ukuran oleh daerah-daerah lain khususnya tiga kabupaten yang ada di pulau Madura. Hal demikian saat ini adalah merupakan tindakan yang tidak perlu dibesar-besarkan, tentunya dengan tidak menafikan hal-hal yang sifatnya antisipasi.

Pemilihan bupati dan wakil bupati secara langsung yang pertama kali di selenggarakan di Sampang harus dipandang sebagai anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa sekaligus pembelajaran untuk menata pemerintahan yang lebih demokratis. Pemilihan bupati dan wakil bupati secara langsung ini jangan dianggap sebagai sumber atau indikasi akan adanya konflik apalagi dipandang/dianggap sebagai beban. Justru pemilihan secara langsung ini yang akan menunjukkan sekaligus menyuarakan pilihan masyarakat secara benar.

Masyarakat akan memilih jagonya sendiri tidak melalui perwakilan seperti dulu. Oleh karena kesiapan hak pemilih harus benar-benar dimatangkan. Tidak hanya masyarakat yang harus siap dalam menyongsong Pilkada langsung nanti, yang tidak kalah pentingnya lagi adalah kesiapan para calon/kandidat peserta lomba mengejar jabatan Sampang I yang harus dimatangkan, para calon harus mengetahui dan sadar atas perlombaan yang akan diikuti, dengan segala akibatnya. Begitu pula masyarakat, juga harus berfikiran yang masuk akal dalam menerima dan menyaksikan calonnya baik yang menang maupun yang kalah. Karena kecenderungan konflik yang terjadi di daerah akibat Pilkada langsung di sebabkan adanya salah satu kelompok atau pihak yang tidak menerima dengan lapang dada dari kekalahan calon yang dijagokan, terlepas apakah kekecewaan itu ditumpangi oleh para elit.

Baru-baru ini di Tuban peristiwa yang sebelumnya tidak diduga-duga oleh masyarakat terjadi, bagaimana hampir semua aset pemerintah daerah termasuk harta milik pribadi dari calon bupati yang kelihatannya menang di musnahkan dan dirusak oleh elemen masyarakat padahal perhitungan belum semuanya selesai.

Ini menunjukkan grafik, bahwa Pilkada secara langsung selain merupakan pesta rakyat yang sebenarnya, tetapi juga membawa konsekuensi politik dan keamanan yang serius. Dalam artinya dalam pemilihan kepala daerah perlu kiranya untuk menjaga stabilitas keamanan yang lain dari sebelumnya. Hal ini sebagai antisipasi dalam perjalanan berlangsungnya Pilkada akan membawa kerusuhan. Pemilihan Pilkada secara langsung memang secara teoritis rentan dengan adanya gesekan-gesekan sosial, baik dari satu orang ke orang yang lain, namun dari itu nantinya akan merembet ke suatu kelompok ke lompok lainnya. Juga pernah terjadi akibat hasil Pilkada di Depok Jawa Barat, pasangan yang sudah di umumkan menang oleh KPUD setempat, mendapat reaksi negatif dari rivalnya. Ditambah gugatan pihak yang kalah di Pengadilan Tinggi dimenangkan, sehingga kekecewaan komunitas/elemen masyarakat yang kalah menurut keputusan KPUD bertambah pula.

Pada masa-masa sekarang sistem demokrasi tidak dapat dihindari, disini sebenarnya pendewasaan politik masyarakat sangat menentukan dan kerelaan para calon yang kalah sangat diharapkan. Bila semua pihak menyadari itu, mustahil kejadian-kejadian yang berbau konflik akan terjadi. Dengan kata lain pendewasaan berpolitik serta kerelaan dan menerima konsekuensi apapun (termasuk kekalahan) adalah merupakan kunci kesuksesan masyarakat semua. Posisi para calon dan pemilih (masyarakat) adalah merupakan sistem yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya, mereka bagaikan satu mata uang yang saling melengkapi. Mereka seperti sistem yang tidak dapat di pisahkan antara yang satu dengan lainnya.

Adanya kesadaran secara komprehensif dan menyeluruh antara para calon dan para pendukungnya, akan membawa konsekusni positif pada perjalanan dan perkembangan pemerintahan yang demokrasi di Sampang. Sebaliknya, ketidak sadaran dan tidak peduli dengan kepedulian politik oleh semua elemen akan membawa dampak yang tidak baik (anarkis) dan dapat mencederai perjalanan perkembangan pemerintah demokrasi di Sampang.

Kesadaran berpolitik dari masyarakat yang kita harapkan serta kerelaan para calon untuk “siap menang dan siap kalah” adalah hal yang sangat membantu kelancaran jalannya Pilkada di Sampang. Kitapun dari semua pihak akan pula membuktikan dan menuai hasil yang diinginkan oleh kita semua. Namun demikian, kita tentunya jangan sampai terbuai apalagi menafikan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi baik pra dan pasca Pilkada (khususnya). Karena pada lazimnya perselisihan dalam Pilkada cenderung ada dan terjadi di pertengahan atau sesudah perhitungan  suara berlangsung, seperti hal yang terjadi di Tuban (Jatim) dan Depok (Jabar).

Untuk mengatasi atau mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan atau hal-hal yang tidak diiinginkan oleh semua pihak (baik para calon maupun pemilih), dalam pilkada Sampang, maka kami sebagai putra Sampang yang sangat peduli dan simpati dengan Sampang, mencoba untuk meneliti, menulis, memaparkan  dan selanjutnya mengidentifikasi potensi-potensi konflik yang biasa terjadi pada pesta-pesta melalui pemilihan kepala daerah.

  1. Rumusan Masalah

Dari paparan singkat diatas, maka masalah yang dapat di tarik dan membutuhkan jawaban atau jalan keluarnya adalah:

  1. Apa saja yang memungkinkan menimbulkan potensi konflik pilkada Sampang 2006 ?
  2. Bagaimana strategi dan antisipasi konflik Pilkada Sampang 2006 ?
  1. Tujuan dan Manfaat Penelitian
  2. Tujuan penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk melihat, menganalisis dan memahami dan kesiapan masyarakat kabupaten Sampang terhadap pelaksanaan pilkada secara langsung, selain itu juga bertujuan mengetahui lebih jauh, apakah para kandidat maupun masyarakat  sudah siap dengan berlangsungnya pemilihan kepala daerah secara langsung.

  1. Manfaat penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada pihak-pihak berwenang (khususnya pihak keamanan) sebagai antisipasi kemungkinan-kemungkinan konflik yang akan terjadi baik pra, proses dan pasca pilkada. Selain itu, diharapkan dengan penelitian dan penulisan ini mengehui lebih awal gejala-gejala yang berpotensi untuk menjadi konflik dalam Pilkada.

Metodologi Penelitian

  1. Lokasi Penelitian

Penentuan lokasi penelitian di dasarkan pada moment yang berlangsung, (Pilkada) Sampang.

  1. Pengumpulan Data
  2. Data primer

Data dalam penelitian ini diambil langsung dengan menggunakan metode wawancara dengan beberapa orang penting di Sampang, di samping pula wawancara dilakukan dengan kalangan masyarakat umum dan akademis. Selanjutnya hasil wawancara yang sudah dikumpulkan di analisa secara deskriptif kualitatif.

  1. Data Sekunder

Data sekunder di dapat dengan cara mengumpulkan kepustakaan-kepustakaan, baik buku, artikel, makalah yang ada kaitannya dengan bahasan maupun penelitian ini.

  1. Waktu Penelitian

Waktu penelitian/penulisan ini ditentukan dua bulan lima belas hari, terhitung 1 Mei 2006 sampai 15 juli 2006.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Sejarah telah menunjukkan dan membeli pelajaran kepada penerus bangsa yang sampai saat ini tidak akan pernah terlupakan dan dilupakan, yaitu adanya berbagai konflik di tengah-tengah masyarakat kita, apalagi dengan kondisi masyarakat yang plural dan majemuk. Sejak zaman kolonial masyakarat kita memang sering kali diwarnai aneka konflik horizontal, yang penyebabnya sangat beragam. Suatu ketika konflik terjadi dengan basis agama sebagai objek penyebabnya, muslim versus non muslim, seperti yang terjadi di Poso, Ambon, Mataram dan mungkin di daerah-daerah lain, yang sulit atau sengaja tidak dipublikasikan ke ruang publik.

Saat lain, konflik terjadi antar etnis suku pendatang dengan suku penduduk asli, seperti misalnya di Sampit (antara suku Madura dengan suku Dayak), dan kemungkinan juga konflik seperti itu terjadi di daerah-daerah lain. Juga suatu ketika konflik juga dapat terjadi antara penduduk pribumi versus non pribumi. Dan yang paling tidak disangka, dan diluar dugaan sekarang konflik sudah merambah antar sesama. Konflik orang muslim versus muslim, konflik penduduk pribumi versus pribumi yang semua itu setelah ditelaah bersumber pada kepentingan baik kepentingan pribadi maupun kelompok.

Semua rentetan konflik yang terjadi dan pernah terjadi di tanah nusantara ini, konflik terjadi dengan tingkat kekerasan dan kebuasan yang bukan main-main. Kekerasan dan kebuasan yang dilakukan oleh masyarakat yang sedang mengalami konflik itu hampir memutuskan dan menghilangkan salah satu pasword negara yaitu Bhinneka Tunggal Ika yang semestinya harus dijaga dan dilestarikan eksistensinya.

Lambang Garuda yang terdiri dari lima panca semestinya dijadikan sebagai rujukan awal dalam berkehidupan di negara yang katanya telah demokratis. Sikap kepentingan-kepentingan pribadi maupun kelompok  seharusnya ditinggalkan untuk mencapai kehidupan dan kepentingan bersama.

Sejarah juga mengukir sejak tahun 1998, mungkin sudah lebih dari 10 ribu anak banyak yang terbunuh akibat konflik horizontal jenis diatas. Mereka terbunuh tidak dengan  cara biasa. Banyak kejadian mereka terbunuh dengan cara yang luar biasa kejamnya. Seperti di bakar massal, atau dipancung secara massal sambil keliling-keliling jalan disekitar peristiwa-peristiwa yang sangat menyedihkan dan sampai saat ini belum hilang dari ingatan kita, betapa besarnya implikasi sentuhan-sentuhan sosial yang tidak dapat dikontrol, sehingga bukan harta saja yang menjadi korban melainkan nyawa juga menjadi tumbal.

Sungguh Maha Adil Pencipta Alam Semesta Segala Isinya. Setiap individu mengetahui alam ini diciptakan sepasang-sepasang, dimana ada laik-laki disitu ada perempuan, siang dan malam, ada positif dan negatif, langit dan bumi, dan begitu pula ada konflik juga ada perdamaian. Seperti inilah isi dalam kehidupan semesta ini.

Dalam sebuah tulisan yang ditulis oleh I Nyoman Naya Sujana, tidak ada masyarakat yang bebas dari konflik, konflik adalah realitas, bahkan dikatakan konflik itu indah. Karena konflik tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan, maka integrasi/perdamaian juga demikian adanya, tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan umat.

Karena konflik merupakan realita dan perhiasan dalam kehidupan umat, maka janganlah konflik itu dianggap sebagai sumber kehancuran kehidupan manusia dan masyarakat. Konflik harus dilihat dan dianggap sebagai salah satu sumber dinamika sosial untuk membangun kerukunan dan integritas masyarakat. Kesadaran diri bahwa konflik tidak akan punah dan habis dalam permukaan, sebab konflik merupakan dinamika sosial seperti adanya kebaikan.

Secara teoritis dan realita yang kerap terjadi sumber konflik sangatlah bervariasi dan kompleks, adanya konflik sosial kerap terjadi, misalnya dari kehidupan ekonomi, pendidikan, hukum, pemerintahah, budaya, kehidupan beragama, politik, lingkungan, sumber daya alam, ketertiban dan kemanan serta unsur-unsur kepentingan lainnya.

Walaupun konflik itu merupakan hal yang tidak dapat habis dan bahkan juga dikatakan sebagai perhiasan dinamika sosal. Namun demikian banyak orang / masyarakat menghindari dari konflik-konflik sosial tersebut, karena akan menimbulkan berbagai bentuk kerusuhan, kekerasan dan bahkan pembunuhan.

Dilain pihak juga tidak sedikit orang mendekati bahkan memakai konflik sosial sebagai cara atau jalan untuk mencapai apa yang diinginkan. Dalam hubungan begini bagi orang yang menggunakan konflik sebagai cara untuk mencapai tujuan, cenderung untuk menyatakan tindak kekerasan itu hal yang wajar dan syah adanya.

Ada yang menarik dari pendapat seorang ahli filsafat hukum Universitas Airlangga Surabaya, konflik sosial politik dapat berasal (bersumber) dari Tuhan yang berfungsi untuk menguji ketabahan diri manusia dapat berasal dari negara (state) terutama negara otoritas dan fasis yang cenderung bertindak refresif dalam menghadapi rakyat juga dapat berasal dari masyarakat yang kacau dan tidak tertib sehingga tidak ada kekuatan sosial yang mengendalikan warganya, dapat juga dari ormas dan parpol yang tidak mampu mengendalikan anggotanya, dapat juga dari institusi dan pranata sosial yang tidak lagi mampu menyatukan perilaku warganya, dan akhirnya dapat berasal manusia sendiri yang secara psikologis mengalami mental frustasi dan kegagalan.

Satu hal lagi yang perlu mendapat perhatikan pihak pemerintah maupun masyarakat itu sendiri, adanya ruang publik terpecahkan sifat diskriminatif diantara tengah-tengah masyarakat juga cenderung mendatangkan konflik perpecahan retaknya sosial kemasyarakatan pada akhirnya juga rentan dengan adanya konflik sosial. Sebagai contoh nyata yang sampai saat ini telah kita lupakan adalah peristiwa Sampit yang memakan korban ratusan jiwa anak bangsa. Terpecah-pecahnya antara etnis Madura dan Dayak yang diindikasikan salah satu etnis dari sudut ekonomi diunggulkan dan dipihak lain kalah.

Warga Madura yang kecenderungannya sebagai pekerja yang gigih dan ulet lagi bekerja di luar Madura, disinyalir banyak yang berhasil alias kaya. Sedangkan masyarakat lokal justru tidak ada kemajuan dalam hal eknominya. Sehingga kabar yang berkembang adanya sentimen sosial itulah, yang mengakibatkan pecahnya permusuhan kedua etnis yang sampai ratusan jiwa melayang cuma-cuma.

Bhinneka Tunggal Ika, yang menjadi penghalang untuk terjadi perpecahan dan konflik-konflik sosial hanya diharapkan akan selalu eksis sepanjang hayat. Karena konsep Bhinneka Tunggal Ika merupakan alat yang boleh dikatakan alat pemersatu bangsa, selain alat-alat yang lain.

Menurut “Zawawi Imron” perbedaan kebudayaan antar etnis sebenarnya adalah kekayaan bangsa ini. Malahan seperti tercantum dalam penjelasan UUD 1945 bahwa kebudayaan nasional adalah puncak-puncak dari kebudayaan daerah. Maka, dalam masyarakat Indonesia yang majemuk dan plural itu, tidak salah kalau para pemimpin saat ini menggali pegangan dari buku Sutasoma yang berbunyi Bhinneka Tunggal Ika.

Ada hal yang menarik seputar penyebab konflik sosial politik dalam sebuah teori sosial yang dikemukakan oleh Karl Marx yang menyatakan bahwa dalam masyarakat manusia, khususnya dalam dunia politik, tidak ada kebenaran dan keadilan, yang ada sesungguhnya dalam masyarakat kekuasaan (power).

Secara teoritis dan kenyataan penulis menerima pendapat Karl Marx tersebut. Kebenaran dan keadilan hanya milik satu, yaitu milik Tuhan Yang Maha Esa. Kebenaran dan keadilan berpangkal pada aturan-aturan dari langit, sedangkan di dunia hanya kekuasaan sementara yang sering di perebutkan oleh orang-orang. Persepsi atau anggapan bahwa dalam masyarakat yang ada hanyalah kekuasaan, maka cukup beralasan siapa yang kuat maka ia akan menang, kuat berarti menang kekuatan seseoarng disini harus diartikan, kekuatan dari berbagai hal, misalnya seorang yang mempunyai massa, banyak uang, mempunyai pengaruh dan lain sebagainya yang mendekati dengan hal-hal tersebut, kekuatan tidak dilihat besar kecilnya bahan atau alat-alat yang dimiliki seseorang.

Power begitu penting bagi manusia karena power itu dinobatkan diatas yang lain. Powerlah yang biasanya menentukan dan mengkonstruksi keadilan dan kebenaran. Siapa saja yang menguasai power maka, dialah yang akan membuat dan mensyahkan instruksi keadilan dan kebenaran, dan aneka pola kehidupan manusia lainnya.

Banyak hal yang dapat dilakukan dan direbut oleh orang yang memegang dan mempunyai power. Seorang dapat melakukan suatu tindakan baik yang terpuji dengan power, justru yang akan menjagi problem adalah ketika seseorang yang berpower akan melakukan tindakan negatif dan bahkan merusak lebih jauh saling membunuh hanya untuk mencari apa yang menjadi tujuannya. Seorang yang berpower dapat berpotensi melakukan tindakan jelek  juga dapat memberantas dan menjadi pahlawan.

Konsep yang terakhir inilah yang semestinya dimiliki dan diserahi oleh semua lapisan masyarakat lebih-lebih bagi mereka yang mempunyai power. Power yang aplikasinya positif akan membawa dan menuju kemaslahatan dalam kedamaian bagi masyarakat, sebaliknya apabila alur power yang negatif cenderung merusak dan meresahakan masyarakat. Disinilah pada dasarnya secara teoritis eksistensi kekuasaan / power.

Masyarakat (manusia) tidak pernah tenang dan mencapai titik kesimbangan, karena selalu terjadi “Persaingan dan perlombaan/kompetisi” baik satu individu dengan individu, maupun antar para kelompok dan komunitas masyarakat. Dalam kasus seperti ini mereka yang mempunyai power lebih dari yang lain, maka otomatis dia akan menjadi pemenang. Bila sudah menjadi pemenang, maka secara teoritis, ia akan lebih mengusai masyarakat. Sebab itulah kelompok-kelompok selalu ingin menysusun kekuatan besar agar dapat menguasai power dalam masyarakat.

Dalam paham materialisme kedudukan etika tidak begitu penting, sebab etika hanya cocok dengan masyarakat yang lemah (a weak society). Hanya kelompok sosial lemah yang membutuhkan etika dan moral, dan kelompok sosial yang kuat tidak lagi membutuhkan etika dan moral. Karena itu paham materialisme mengembangkan azas etika bahwa segala corak atau jalan dapat dihalalkan untuk mencapai tujuan.

Pemikiran tersebut sangat dan akan menjadikan bumerang dalam membangun dan menempuh rasa persatuan anak bangsa, paham matrialisme tersebut memberi pelajaran dan kesan bahwa setiap tindakan yang dilakukan oleh siapapun dan dengan cara serta model apapun dapat di benarkan dan dihalalkan. Bila paham tersebut menjadi serta dijadikan rujukan kaitannya dengan Pilkada yang akan berlangsung di Kabupaten Sampang, maka akan menjadi penyakit yang sangat ganas, dan membunuh prinsip-prinsip demokrasi.

Menghalalkan tindakan segala cara dalam paham materialistime sangat bertentangan dengan nilai-nilai dan adat kebiasaan bangsa Indonesia. Secara teoritis maupun praktisnya, paham tersebut tidak dapat dibenarkan walaupun juga tidak dapat dinafikan begitu saja.

Justru paham yang menghalalkan setiap cara inilah yang selain bertentangan dengan hukum positif juga sangat berpotensi terjadinya kesenjangan dan konflik sosial, khususnya dalam pesta rakyat atau Pilkada yang akan berlangsung di kota kesayangan masyarakat kabupaten Sampang.

Contoh kasus dari ruwetnya pemilihan kepala daerah secara langsuang seperti misalnya kasus sengketa yang terjadi di kabupaten Tuban dan Depok.  Sengketa Pilkada di kabupaten Tuban yang di sinyalir bukan hanya karena faktor adanya kekecewaan dari salah satu calon, mungkin ada benarnya. Tapi bagaimana dengan sengketa yang terjadi di Depok? Sengketa Pilkada Depok yang semula semula versi KPUD dimenangkan oleh pihak Nur Mahmudi, namun di tingkat pengadilan justeru berbalik arah, artinya kemenangan di tangan lawannya. Pilkada Kota Depok ternyata tidak berhenti dengan keluarnya putusan Pengadilan Tinggi Bandung. Bahkan Mahkamah Agung melalui putusan peninjauan kembali yang diajukan KPUD Kota Depok menganulir putusan Pengadilan Tinggi Bandung.

Acuan normatif kompetensi penyelesaian sengketa Pilkada, merupakan kewenangan Pengadilan Tinggi, berdasarkan ketentuan pasal 106 ayat (2) UU pemerintahan daerah kewenangan Pengadilan Tinggi hanya sebatas mengenai hasil perhitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon, yaitu suara yang dihitung KPUD. Namun dalam putusan Pengadilan Tinggi Bandung dalam sengketa Pilkada Kota Depok, yang dijadikan pertimbangan majelis hakim tidak hanya suara yang dihitung KPUD bahkan suara yang tidak dihitung KPUD juga dijadikan pertimbangan. Hal itulah yang membuat putusan kontroversial.

Mulai bulan Juni 2005 Kepala daerah dan wakil kepala daerah, baik Gubernur dan wakil Gubernur, Bupati dan wakil Bupati maupun walikota dan Wakil Walikota, dipilih secara langsung oleh rakyat. Peristiwa itu merupakan babakan baru dalam sejarah dunia politik daerah di Indonesia. Pilkada langsung diatur dalam UU Pemerintahan daerah pasal 56 sampai dengan pasal 109 dan PP Pilkada. Secara eksplisit ketentuan tentang Pilkada langsung tercermin dalam cara pemilihan dan asas-asas yang digunakan dalam penyelenggaraan Pilkada. Berdasarkan ketentuan pasal 56 ayat (1) UU Pemerintahan daerah “Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.

Pilihan terhadap sistem pemilihan langsung merupakan koreksi atas Pilkada terdahulu yang menggunakan sistem perwakilan oleh DPRD, sebagaimana tertuang dalam UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan daerah dan PP No. 151/2000 tentang Tata Cara Pemilihan, Pengesahan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Digunakannya sistem pemilihan langsung menunjukkan perkembangan penataan format demokrasi daerah yang berkembang dalam kerangka liberalisasi politik.

Berdasarkan ketentuan pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2005 tentang pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, (PP Pilkada).

Pemilihan Kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan / atau kabupaten atau kota berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Berdasarkan  ketentuan pasal 1 ayat (2) PP Pilkada “Kepala Daerah dan Wakil Kepala daerah adalah Gubernur dan Wakil gubernur untuk provinsi, Bupati atau Wakil Bupati unutk kabupaten serta Walikota dan Wakil Walikota untuk kota. Jadi Pilkada langsung merupakan rekruitmen politik, yaitu penyeleksian rakyat terhadap tokoh-tokoh yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah, baik gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati atau walikota dan wakil walikota.

Kepala daerah adalah jabatan politik dan jabatan publik yang bertugas memimpin birokrasi menggerakkan jalannya roda pemerintahan. Fungsi pemerintah terbagi menjadi perlindungan, pelayanan publik dan pembangunan. Kepala daerah menjalankan fungsi pengambil kebijakan atas tiga fungsi pemerintah itu. Dalam konteks struktur kekuasaan kepala daerah adalah kepala eksekutif di daerah. Istilah jabatan publik mengandung pengertian bahwa kepala daerah menjalankan fungsi pengambilan kebijakan yang terkait langsung dengan kebijakan rakyat, berdampak pada rakyat dan dirasakan oleh rakyat. Oleh sebab itu kepala daerah harus dipilih oleh rakyat dan wajib dipertanggungjawabkan kepercayaannya yang telah diberikan kepada rakyat. Adapun pejabat publik terkandung maksud bahwa mekanisme rekruitmen kepala daerah dilakukan dengan mekanisme politik, yaitu melalui pemilihan yang melibatkan elemen-elemen politik, seperti rakyat dan partai-partai politik.

UU Pemerintah Daerah merupakan landasan yuridis pelaksaaan Pilkada langsung yang pertama dalam sejarah politik di indonesia. UU Pemerintahan daerah yang mengatur tentang Pilkada langsung itu, menggunakan rujukan atau konsideran antara lain pasal 1 ayat (1) dan (2) serta pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Berdasarkan ketentuan pasal 1 ayat (1) UUD 1945 : Negara Indonesia adalah Negara kesatuan yang berbentuk Republik”. Berdasarkan ketentuan pasal 1 ayat (2) UUD 1945 “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Berdasarkan ketentuan pasal 18 ayat (4) UUD 1945 “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis”.

Frase “Kedaulatan berada ditangan rakyat” dan “dipilih secara demokratis” itulah yang mendorong pembuat UU N0/ 32/2004 merumuskan diterapkannya Pilkada yang melibatkan rakyat secara langsung untuk menggantikan sistem pemilihan perwakilan melalui DPRD (UU No. 22 / 1999). Dari itu sebenarnya terlihat kesadaran bahwa untuk menerapkan sistem Pilkada langsung harus ditemukan landasan konstitusional dari materi UUD 1945. Landasan konstitusional dalam UUD 1945 itu sangat penting karena sistem Pilkada langsung sesungguhnya tidak lazim diterapkan di Indonesia yang menganut sistem pemerintahan negara kesatuan (Pasal 1 ayat (1) UUD 1945), lazimnya rekruitmen kepala daerah di negara kesatuan menggunakan sistem pengangkatan dan / atau penunjukkan atau sistem pemilihan perwakilan oleh DPRD. Sebaliknya, rekruitmen kepala daerah dengan sistem pemilihan langsung oleh rakyat hampir selalu digunakan negara-negara federasi murni.

Jadi fakta yuridisnya adalah bahwa penyelenggaran Pilkada langsung berdasarkan UU Pemerintahah daerah berdasarkan UUD 1945, dalam arti memiliki kekuatan konstitusional dan bahkan wajib hukumnya untuk dilaksanakan. Dengan demikian, tafsir terhadap istilah “Kedaulatan berada ditangan rakyat” dalam pasal 1 ayat (2) UUD 1945 dan “demokrasi” dalam pasal 18 ayat (4) UUD 1945 merupakan dasar konstitusi yang kuat bagi Pilkada langsung.

Pilkada langsung merupakan implementasi demokrasi partisipatori, maka nilai-nilai demokrasi menjadi parameter keberhasilan pelaksanaan proses kegiatan. Nilai-nilai tersebut diwujudkan melalui asas-asas Pilkada langsung. Salah satu ciri sistem Pilkada demokrasi dapat dilihat dari asas-asas yang dianut. Asas adalah suatu pangkal tolak pikiran untuk sesuatu kasus atau suatu jalan dan sarana untuk menciptakan sesuatu tata hubungan atau kondisi yang kita kehendaki.

Asas yang dipakai dalam Pilkada langsung sama persis dengan asas yang dipakai dalam pemilu 2004, yakni langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Rumusan mengenai asas-asas Pilkada langsung tertuang dalam pasal 56 ayat (1) UU Pemerintahan daerah dan ditegaskan kembali dalam pasal 4 ayat (3) PP Pilkada. Selengkapnya berbunyi pasal 56 ayat (1) UU Pemerintahan daerah “Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanaakn secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil”.

Dengan asas-asas tersebut, dapat dikatakan bahwa Pilkada langsung di Indonesia telah menggunakan prinsip-prinsip yang berlaku umum dalam rekruitmen pejabat publik atau pejabat politik yang terbuka. Adapun pengertian asas-asas tersebut sebagai berikut :

  1. Langsung

Rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara.

  1. Umum

Pada dasarnya semua warga negara yang memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan perundangan berhak untuk mengikuti Pilkada. Pemilihan yang bersifat umum mengandung makna menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga, tanpa diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, pekerjaan dan status sosial.

  1. Bebas

Setiap warga negara berhak memilih bebas menentukan pilihan tanpa tekanan dari siapa pun. Dalam melaksanakan haknya, setiap warga negara dijamin keamanannya sehingga dapat memilih sesuai kehendak hati nurani dan kepentingannya.

  1. Rahasia

Dalam memberikan suaranya, pemilihan dijamin dan pilihannya tidak diketahui oleh pihak mana pun dan dengan jalan apapun. Pemilih memberikan suaranya pada surat suara dengan tidak dapat diketahui oleh orang lain kepada siapapun suaranya diberikan.

  1. Jujur

Dalam penyelenggaraan Pilkada, setiap penyelenggaraan Pilkada, aparat pemerintah, calon atau peserta Pilkada, pengawas Pilkada, pemantau Pilkada, pemilih serta semua pihak yang terkait harus bersikap dan bertindak jujur. Sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

  1. Adil

Dalam penyelenggaraan Pilkada, setiap pemilih dan calon atau peserta Pilkada mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak manapun.

Asas Pilkada adalah pangkal tolak untuk melaksakan Pilkada. Dengan kata lain asas Pilkada merupakan prinsip-prinsip atau pedoman yang harus mewarnai proses penyelenggaraan. Asas Pilkada juga berarti jalan atau sarana agar Pilkada terlaksana secara demokrasi. Dengan demikian, asas Pilkada harus tercermin dalam tahapan-tahapan kegiatan atau diterjemahkan secara teknis dalam elemen-elemen kegiatan Pilkada.

Penyelenggaraan menentukan kualitas pelaksanaan Pilkada langsung. Pilkada langsung yang berkualitas umumnya diselenggarakan oleh lembaga yang independen, mandiri dan non partisan. Dengan kelembagaan penyelenggaraan yang demikian, obyektifitas dalam arti transparan dan keadilan bagi pemilih dan peserta Pilkada relatif bisa dioptimalkan. Pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wkil presiden tahun 2004 merupakan bukti keinerja kelembagaan penyelenggaraan yang independen, mandiri dan non-partisan.

Fungsi utama penyelenggaraan adalah merencanakan dan menyelenggaran tahapan-tahapan kegiatan. Fungsi tersebut bisa optimal apabila dilengkapi mekanisme kontrol dan pertanggungjawaban sehingga dibutuhkan pengawasan. Fungsi utama lembaga pengawas adalah mengoptimalkan penyelenggaraan tahapan-tahapan kegiatan.

Berbeda dengan penyelenggaraan pemilu legislatif dan pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang memposisisikan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bersifat nasional, tetap dan mandiri, sebagai pemegang mandat tunggal penyelenggaraan, UU Pemerintahan daerah membagi kewenangan penyelenggaraan Pilkada langsung kepada tiga institusi, yakni Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Komisi pemilihan Umum Daerah (KPUD) dan Pemerintah Daerah.

  1. DPRD merupakan pemegang otoritas politik

Tugas dan tanggung jawab DPRD menunjukkan sebagai pemegang otoritas politik di daerah. DPRD merupakan representasi rakyat yang memberikan mandat penyelenggaraan Pilkada langsung, berupa pemberitahuan mengenai berakhirnya masa jabatan kepala daerah kepada kepala daerah dan KPUD. Selain hal tersebut, DPRD juga menjalankan fungsi-fungsi yang melekat sebagai lembaga legislatif, khususnya pengawasan (kontrol) dan budgeting. Berdasarkan ketentuan pasal 66 ayat (3) UU Pemerintahan daerah :

Tugas dan wewenang DPRD dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah adalah :

  1. memberitahukan kepada kepala daerah mengenai akan berakhirnya masa jabatan;
  2. mengusulkan pemeberitahuan kepala daerah dan wakil kepala aerah yang berakhir masa jabatannya dan mengusulkan pengangkatan kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih;
  3. melakukan pengawasan pada semua tahapan pelaksanan pemilihan;
  4. memebtuk panita pengawas
  5. menyelenggarakan rapat paripurna untuk mendengarkan penyampaian visi, misi dan program dari pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah.

Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi, gugatan pasal yang menyangkut pertanggungjawaban KPUD ke DPRD, yakni pasal 57 ayat (1), pasal 66 ayat (3) huruf eksternal, pasal 67 ayat (1) huruf eksternal, dan pasal 82 ayat (2), dikabulkan sehingga KPUD bertanggung jawab kepada publik.

Namun demikian, KPUD tetap bertanggungjawab memberikan laporan penyelenggaraan Pilkada kepada DPRD kewajiban tersebut tertuang dalam tugas dan wewenang DPRD dalam pasal 42 ayat (1) huruf (j), yang tidak ikut dimohonkan sebagai materi gugutan judical review. Berdasarkan ketentuan pasal 42 ayat (1) huruf (j) UU Pilkada oleh sejumlah LSM pemantau dan KPUD provinsi, yang berbunyi:

“Melakukan pengawasan dan meminta laporan KPUD dalam penyelenggaran pemilihan kepala daerah”.

Laporan tersebut merupakan bentuk pertanggungjawaban politis KPUD kepada publik karena mandat yang telah diterimanya. Terhadap laporan tersebut DPRD dapat memeberikan penilaian politis sebagai masyarakat terwakil. Jika pertanggungjawaban hukum, penilaian DPRD memiliki implikasi hukum, misalnya, tahapan kegiatan yang dinilai DPRD menyalahi atau tidak sesuai prosedur dan ketentuan perundangan harus diulang atau dibatalkan. Pertanggungjawaban politis berarti penilaian DPRD hanya untuk memperbaiki kinerja KPUD, yang tidak dapat menghentikan penyelenggaraan tahapan-tahapan kegiatan Pilkada langsung.

  1. KPUD Sebagai pelaksana teknis

KPUD dalam Pilkada langsung merupakan lembaga yang bertanggungjawab terhadap berbagai bidang dan aspek perencanaan, penyelenggaraan, pengendalian Pilkada langsung. Berdasarkan ketentuan pasal 66 ayat (1) UU Pemerintahan daerah:

Tugas dan wewenang KPUD dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adaah :

  1. Merencanakan penyelenggaran pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah.
  2. Menetapkan tata cara pelaksanaan pemilihan kepala daaerah dan wakil kepala daerah sesuai dengan tahapan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan;
  3. Mengoordinasikan, meyelenggaran dan mengendalikan semua tahapan pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah;
  4. Menetapkan tanggal dan tata ara pelaksanaan kampanye, serta pemungutan suara pemilihan kepal daerah dan wakil kepala daerah;
  5. Meneliti persyaratan partai atau gabungan partai politik yang mengusulkan calon;
  6. Meneliti persyaratan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang diusulkan;
  7. Menetapkan pasangan calon yang telah memenuhi persyaratan;
  8. Menerima pendaftaran dan mengumumkan tim kampanye;
  9. Mengumumkan laporan sumbangan dana kampanye;
  10. Menetapkan hasil rekapitulasi perhitungan suara dan mengumumkan hasil pemilihan kepala daerah dan pelaporan pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah;
  11. Melakukan evaluasi dan pelaporan pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah;
  12. Melaksanakan tugas danwewenang lain yang diatur oleh peraturan perundang-undangan;
  13. Menetapkan kantor akuntan publik untuk mengaudit dana kampanye dan mengumumkan hasil audit.

Berdasarkan ketentuan pasal 5 PP Pilkada:

KPUD sebagai penyelenggaraan pemilihan mempunyai tugas dan kewenangan:

  1. Merencanakan penyelenggaraan pemilihan;
  2. Menetapkan tata cara pelaksanaan pemilihan sesuai dengan tahapan yang diatur dalam perundang-undangan;
  3. Mengkoordinasikan, menyelenggarakan dan mengendalikan semua tahapan pelaksanaan pemilihan;
  4. Menetapkan tanggal dan tata cara pelaksanaan kampanye, serta pemungutan suara pemilihan;
  5. Meneliti persyaratan partai politik atau gabungan partai politik yang mengusulkan calon;
  6. Meneliti persyaratan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang diusulkan;
  7. Menetapkan pasangan calon yang telah memenuhi persyaratan;
  8. Menerima pendaftaran dan mengumumkan tim kampanye;
  9. Mengumumkan laporan sumbangan dana kampanye;
  10. Menetapkan hasil rekapitulasi perhitungan suara dan mengumumkan hasil pemilihan ;
  11. Melakukan evaluasi dan pelaporan pelaksanaan pemilihan;
  12. Melaksanakan PPK, PPS dan KPPS dalam wilayah kerjanya; dan;
  13. Menetapkan kantor akuntan publik untuk mengaudit dana kampanye dan mengumumkan hasil audit.

Adapun kewajiban KPUD mencakup kegiatan-kegiatan, berdasarkan ketentuan pasal 67 UU Pemrintahan daerah :

KPUD berkewajiban :

  1. memperlakukan pasangan calon secara adil;
  2. menetapkan standarisasi serta kebutuhan barang dan jasa yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah berdasarkan peraturan peraturan perundang-undangan;
  3. menyimpan laporan kepada DPRD untuk setiap tahap pelaksanaan pemilihan dan penyampaian informasi kegiatannya kepada masyarakat;
  4. memelihara arsip dan dokumen pemilihan serta mengelola barang inventarisasi milik KPUD berdasarkan peraturan perundang-undangan;
  5. mempertanggung jawabkan penggunaan anggaran kepada DPRD;
  6. melaksanakan tahapan pemilihan kepal daerah dan wakil kepala daerah secara tepat waktu.

Berdasarkan ketentuan pasal 6 PP Pilkada:

  1. Memperlakukan penyelenggaraan pemilihan berkewajiban
  2. Menetapkan standarisasi serta kebutuhan barang dan jasa yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilihan berdasarkan peraturan perundang-undangan;
  3. Menyampaikan laporan kepada DPRD untuk setiap tahap pelaksanaan pemilihan dan menyampaikan informasi kegiatannya kepada masyarakat;
  4. Memelihara arsip dan dokumen pemilihan serta mengelola barang inventarisasi milik KPUD berdasarkan peraturan perundang-undangan;
  5. Mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran kepada DPRD;
  6. Melaksanakan semua tahapan pemilihan tepat waktu.

Sebagai pemegang mandat penyelenggaraan, KPUD secara teknis bertugas melaksanakan tahapan-tahapan kegiatan, dari tahapan pendaftaran pemilih sampai penetapan pasangan calon terpilih. KPUD juga pembuat regulasi (aturan), mengambil keputusan dan membuat kebijakan yang harus sesuaid engan koridor hukum dan ketentuan perundang-undangan.

  1. Pemerintah daerah menjalankan fungsi fasilitasi.

Hal ini berarti pemerintah daerah dapat mengambil langkah-langkah yang diminta KPUD atau inisiatif yang harus dikoordinasikan dengan KPUD. Sebagai disinggung di muka, tugas dan wewenang tersebut mencakup beberapa aspek.

  1. Anggaran

Pemerintah daerah menerima rancangan anggaran dari KPUD dan memproses sesuai dengan mekanisme dan prosedur pengelolaan keuangan daerah.

  1. Personalia

Pemerintah daerah memfasilitasi kebutuha personalia untuk kebutuhan tenaga sekretaris dan staf sekretaris KPUD, PPK dan PPS.

  1. Kebijakan

Pemerintah daetah mengambil kebijakan atau keputusan dalam rangka pelaksanaan tahapan kegiatan Pilkada, seperti penetapan lokasi pemasangan alat peraga kampanye, penetapan hari libur untuk pemungutan suara, penyediaan informasi dan data tentang daerah untuk bahan kampanye dan sebagainya.

  1. Penunjang Kegiatan Pilkada

Pemerintah daerah melakukan tugas-tugas sebagai penunjang pelaksanaan tahapan kegiatan Pilkada, seperti pemutakhiran dan validasi daftar pemilihan oleh dinas kependudukan dan catatan sipil, pemrosesan visi, misi dan progran kerja calon sebagai dokumen daerah, penyideaan informasi dan lain-lain.

Berdasarkan deskripsi tugas dan kewenangan di atas, peran da fungsi DPRD, KPUD dan pemerintah daerah dalam Pilkada langsung tidak dapat dipisah-pisahkan. Masing-masing institusi saling melengkapi dan memiliki relasi yang bersifat koordinatif.

Berdasarkan uraian diatas Pilkada langsung merupakan rekruitmen politik yaitu penyeleksian rakyat terhadap tokoh-tokoh yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Asas yang digunakan dalam Pilkada adalah langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Penyelenggraan Pilkada langsung adalah KPUD dan sebagai institusi pendukung adalah DPRD dan pemerintah daerah.

Berdasarkan ketentuan pasal 1 ayat (91) peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2005 tentang tata cara pengajuan upaya hukum keberatan terhadap penetapan hasil Pilkada dan Pilwakada dari KPUD provinsi dan KPUD kabupaten atau kota, (PERMA) sengketa Pilkada “Keberatan adalah upaya hukum bagi pasangan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah, yang tidak menyetujui penetapan hasil penghitungan suara tahap akhir pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dari KPUD”.

Jadi sengketa Pilkada adalah upaya hukum bagi pasangan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah, yang tidak menyetujui penetapan hasil penghitungan suara tahap akhir pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dari KPUD.

Sengketa Pilkada mengacu pada hukum acara perdata  jadi para pihak dalam sengketa Pilkada disebut pemohon dan termohon. Berdasarkan ketentuan pasal 1 ayat (4) PERMA Sengketa Pilkada “Pemohon adalah pasangan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah tingkat provinsi maupun tingkat kapupaten / kota”.

Berdasarkan ketentuan diatas para pihak dalam sengketa Pilkada adalah pemohon (pasangan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah) dan termohon (KPUD).

Berdasarkan ketentuan pasal 106 ayat (2) UU pemerintahan daerah “keberatan yang dimaksud pada ayat (1) hanya keberatan dengan hasil penghitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon”. Berdasarkan ketentuan pasal 94 ayat (2) PP Pilkada “keberatan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), hanya keberatan dengan hasil penghitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon”. Berdasarkan ketentuan pasal 2 ayat (1) PERMA Sengketa Pilkada “Mahkamah Agung berwenang memeriksa keberatan terhadap penetapan hasil penghitungan suara tahap akhir dari KPUD tentang pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah”.

Obyek sengketa dalam Pilkada adalah penetapan hasil penghitungan suara tahap akhir pemilihan kepala daerah dari KPUD dalam hal ini adalah SK KPUD tentang penetapan hasil perhitungan suara tahap akhir dalam Pilkada. Sengketa Pilkada itu ada apabila ada pasangan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah yang tidak menyetujui terhadap penetapan hasil perhitungan suara tahap akhir pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang telah ditetepkan oleh KPUD.

BAB III

ANALISIS POTENSI KONFLIK PILKADA 2006

DI KABUPATEN SAMPANG

Kita sering mendengar dari berbagai perbincangan-perbincangan yang di lakukan oleh masyarakat, perbincangan itu tidak hanya dibicarakan oleh masyarakat Sampang saja, melainkan perbicaraan itu justru kita dengar dari masyakarat di luar pulau Madura, yaitu pulau Jawa, yang menyimpulkan bahwa masyarakat Sampang adalah masyakarat yang mempunyai tipe keras tentunya. Dibandingkan juga kabupaten lain di Madura, masyarakat Sampang menempati urutan pertama dari faktor kekerasannya padahal persepsi atau anggapan-anggapan seperti itu tidak semuanya dapat dibenarkan. Artinya memang kadangkala ada beberapa komunitas masyarakat Sampang itu yang mempunyai karakter keras, namun juga tidak seedikit mereka mempunyai hati lembut dan sangat sopan santun itu dapt dibuktikan secara nyata.

Kesan masyarakat Sampang mempunyai dan berkarakter keras, tentunya tidak pula dibiarkan begitu saja, disini kiranya perlu tindakan-tindakan atau jalan keluar untuk menghapus anggapan tersebut. Pihak-pihak yang mempunyai kompetensi kekuasaan, seperti pula pejabat daerah, para kyai, tokoh masyarakat dan lain-lain diharapkan dapat berbuat mementahkan anggapan-anggapan serta masyarakat membuktikan bahwa dirinya adalah masyarakat yang anti kekerasaan.

Pada dasarnya konflik soal itu tidak hanya terjadi pada saat akan berlangsungnya atau pasca pemilihan kepala daerah. Namun jauh-jauh sebelum itu konflik sosial itu terjadi manakala penguasa saat itu melakukan tindakan-tindakan seperti misalnya KKN dan diskriminasi terhadap para warga. Dampak dari KKN dan diskriminasi itu telah menimbulkan kesengsaraan masyarakat dan bahkan memecahkan kesenjangan antara miskin dan kaya dalam masyarakat. Akibat dari semua itu nilai-nilai kedalian, kesamarataan, keseimbangan dan kebenaran dalan idealisme sosial semakin lemah dan jatuh. Jika terjadi kecemburuan dan ketidakpuasan sosial yang luas dalam masyarakat sebagai akibat makin meluasnya kesenjangan sosial, politk, ekonomi dan hukum atau kondisi ini akan muncul menjadi sumber konflik sosial dengan kekerasan dalam tatanan hidup masyarakat.

Banyak faktor yang menjadi penyebab konflik sosial, bukan datang dari hal-hal yang prinsip, melainskan sumber itu dari hal-hal yang sebelumnya tidak begitu dipedulikan atau sepele. Misalnya salah paham dalam menyapa salah satu teman wanitanya di jalan, atau kesenggol waktu berjalan, atau adanya rasa cemburu yang babi buta. Hal-hal seperti disebutkan diatas cenderung menimbulkan malapetaka yang ujung-ujungnya terjadi konflik sosial dalam tenga-tengah masyarakat.

Konflik sosial juga dapat disebabkan misalnya anaknya desa bagong menabrak salah satu warga desa sebelahnya dalam kecelakaan itu menyebabkan terlukanya salah satu pihak dan bahkan merenggut nyawanya, lalu masa melakukan beberapa tindakan kekerasan tidak menerima warganya di tabrak  kendaraan, dengan kekerasan yang tidak terkendali akibat luapan emosi yang berlebihan. Penghinaan atau pelecehan terhadap simbol-simbol sosial terutama ideologi kepartaian salah satu komunitasnya. Juga dapat dan rentan menimbulkan konflik antara dua kelompok massa atau lebih. Apalagi kondisi masayarkat dalam hal tingkat pendidikannya masih relatif rendah, tingkat pendidikan dalam masyarakat dapat dijadikan sebagai pertimbangan untuk meredam tingkat konflik sosial antara masyarakat dengan pendidik yang lebih tinggi.

Dapat menekan rasa emosional yang tinggi, logika berfikir difungsikan sebagaimana mestinya. Dari sebagain rentetan penyebab konflik sosial di luar agenda / elemen-elemen seperti pemilihan kepala daerah secara langsung khususnya, sebenarnya bermuara kepada sikap pemerintah, baik pusat, propinsi dan daerah. Pemerintah dapat dikatakan belum berhasil mengakkan keadilan, kemerataan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat secara komperehsif dan menyeleuruh tanpa diskriminasi.

Lahirnya UU No. 22 tahun 1999 yang kemudian diubah dengan UUD No. 32 Tahun 2004 tantenag pemerintahan daerah sepertinya tidak ada artinya bagi masyarakat di daerah. Pemberlakukan UU tersebut yang semestinya dapat dan berfungsi untuk meningkatkan keejahteraan dan tingkat-tingkatan yang lain masyarakat, justru sampai saat ini belum dapat dirasakan oleh masyarakat. Sebaliknya para pejabat dan kroni-kroninya yang merasakan dan menggunakan perlindungan tersebut untuk kepentingan personil dan kelompoknya.

Pemberlakuan UU No 32 tahun 2004 sepintas sangat menguntungkan sisi kehidupan daerah dan masyarakat untuk hidup layak dan mandiri. Justru paradigma yang semestinya membangun itu cenderung dibolak balik. Di daerah muncul raja-raja kecil sebagai tampuk penguasa yaitu pihak-pihak eksekutif dan legislatif.

Jalan seperti itu perlu untuk dipupuk, ditumbuhkembangkan bilamana menginginkan citra masyarakat Sampang selama ini kekerasan yang terjadi di Sampang baik antaar amsyarakat dengan masyarakat, masyarakat dengan kekuasaan birokrasi, maupun antar elit, cendrung disebabkan adanya rasa egoisme dan idealisme yang berlebihan. Unsur-unsur tertentu yang tidak membolehkan kekerasan dan sentuhan-sentuhan sosial yang tidak sehat terjadi. Akibatnya muncul anggapan masyarakat Sampang mudah tersinggung dan marah. Padahal tidak semua itu dapat dibenarkan. Artinya banyak masyarakat yang benci dengan menggunakan jalan kekerasan walaupun juga kadangkala ada, itu perlu kita akui bersama.

Menjelang penghelatan pemilihan Bupati dan wakil Bupati secara langsung, yang akan dilaksanakan sekitar bulan September nanti, merupakan pesta dan tonggak sejarah baru bagi Sampang dan menyarakatnya. Masyarakat diuji dengan pesta tersebut, sekaligus itu adalah acara pembuktian kepada masyarakat luar Sampang bahwa masyarakat Sampang sngat mencintai perdamaian dan kerukunan, ketertiban, keamanan dan lain-lain. Namun demikian antisipasi dari semua pihak tentunya jangan begitu saja diabaikan apalagi menafikan. Pihak-pihak berwenang, baik kalangan penyelenggaran pemilu, pengawas, kepolisian kalangan birokrasi termasuk masyarakat sendiri harus mampu membaca dan mereka-reka akan terjadinya konfilk yang bisa muncul dalam setiap waktu pemilihan daerah.

Kabupaten Tuban salah satu contoh kecil yang mungkin kita anggap sebagai cerminan dalam menyelenggaran pemilihan bupati dan wakil bupati nanti. Semua orang tidak mengira Tuban sampai terjadi malapetaka, besar pendukung, calon yang kalah tidak ikhlas dan menerima jagonya kalah. Padahal perhitungan belum selesai. Ini menunjukkan bahwa para calon bupati dan wakil bupati nanti cukup tegar dalam menahan atau menghambat, membendung terjadinya konflik sosial antar masyarakat. Secara umum konflik terjadi pada setiap penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah biasanya terjadi sebelum pemungutan suara (pra Pilkada) pada proses pemungutan berlangsung (tengah jalan) dan seteleh perhitungan suara selesai (pasca Pilkada).

Dari ketiga proses yang cenderung menimbulkan konflik dalam Pilkada, yang biasa terjadi selama ini adalah pasca perhitungan suara. Sedngkan pada pra dalam proses Pilkada berlangsung hampir berjalan lancar dan terkendali.

Sehubungan dengan itu penulis mencoba untuk mereka-reka dan menganalisa adanya kemungkinan-kemungkinan atau potensi konflik dalam Pilkada nanti. Secara sederhana penulis sebutkan sebagai berikut :

  1. Money Politic ( Politik Uang)

Money politic pada dasarnya adalah sebuah tindakan yang sangat melanggar hukum dan bertindak sebagai racun. Yang sewaktu-waktu dapat mewabah dan menjalar kita menjadikan masyakarat menjadi manja, karena money politik perbuatan penyerahan uang oleh seorang yang mempunyai angenda kepentingan kepada banyak atau orang yang beri uang, bahkan lebih dari itu, orang yang sudah di pandang serba berkecukupan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya kadangkala masih terjebak dengan pemberian-pemberian yang melanggar norma itu.

Perbuatan money politik cenderung dilakukan ketika ada elemen-elemen misalnya pemilihan kepala desa sampai pemilihan presiden. Tidak hanya itu sehingga terjadi perbuatan money politik itu terjadi dan dapat juga  dilakukan membela perbuatan jurkam-jurkam seperti misalnya, pemilihan komisi-komisi dan bahkan pimpinan DPR-DPRD. Bila hanya dalm konteks seperti ini mungkin tidak seberapa besar implikasi horizontal yang akan muncul, bahkan bisa terjadi tidak membawa imbas sama sekali. Dampak negatif perbuatan-perbuatan money politik hanya berkutat pada insatansi-instansi yang bersangkutan saja, lebih jauh dari itu akan berimplikasi tentunya pada perbutan korupsi.

Dalam hal money politic perbuatan tampuk kekuasaan/tahta seperti yang akan terjadi di Sampang nanti semestinya perlu dihindari oleh para kandidat ataupun tim-tim sukses dan orang-orang dekat dari kandidat.

Namun sampai saat ini isue-isue adanya permainan money politik yang dilakukan oleh pihak-pihak yang menginginkan menjadi pemenang dalam sebuah kompetisi atau perebuatan kekuasaan belum terbukti secara hukum, apalagi sampai di jatuhi hukuman dan denda sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pelik dan sulitnya untuk membuktikan perbuatan money politic tersebut karena faktor-faktor :

  1. Isue money politic dalam perebutan kekuasaan dilakukan secara diam-diam, dan pelakunya orang lain, bukan kandidat secara langsung.
  2. Isue atau kabar adanya tindakan money politic tersebut lazim dilakukan oleh pihak-pihak yang merasa atau kalah dalam perhitungan suara.
  3. Lahirnya money politic dilakukan beberapa hari sebelum acara pemilihan berlangsung atau paling tidak satu hari sebelum hari-H.

Sehingga demikian perbuatan money politic yang semestinya di respon dengan serius dan sungguh-sungguh  kenyataannya money politic hanya sebatas isue yang selalu menghiasi pergulatan pemilihan kepala-kepala daerah.

Ada anggapan pada masa orde baru money politik biasa dilakukan pada H-1 atau habis subuh,  atau sering disebut dengan istilah “serangan fajar” jadi tindakan atau perbuatan money politiic itu sudah ada dan biasa dilakukan oleh pihak-pihak yang mempunyai kepentingan  saja pada orde reformasi.

Perbuatan pemberian  sejumlah uang (money politik) dalam pemilihan Bupati dan wakil bupati di Sampang kepada masyarakat, dapat di prediksi akan berhasil dalam operasionalnya. Secara sederhana masyarakat sampang saat ini yang masih dalam keadaan dan kondisi tidak stabil khususnya dibidang pemenuhan kebutuhan sehari-hari terjadi akan menyediakan apalagi menolak bilamana ada yang memberikan uang, apalagi sekarang masyarakat sudah tidak sebodoh sepuluh tahun yang lalu. Para calon perebut kekuasaan biasanya dalam pra memangku jabatan tidak akan bicara yang tidak baik, mereka akan selalu mengunggul-unggulkan dan selalu berjanji dengan syarat-syarat manis untuk kepentingan masyarakat, mereka bahkan sering menjelek-jelekkan sistem pemerintahan yang lalu. Ditengah-tengah masyarakat Sampang sekarang sudah mulai berkembang, pikiran bahwa masyarakat akan datang ketempat TPS bilama disediakan uang dan akan memilih mereka yang memberikan uang. Pandangan masyarakat yang seperti itu, kiranya jangan semuanya disalahkan juga tidak berarti dibutuhkan. Kita harus mencari apa yang menjadi alur permasalahan kenapa sampai memunculkan pemahaman-pemahaman yang demikian. Semua mengetahui bahwa masyarakat Sampang yang ada saat ini dalam keadaan labil dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari (ekonomi), sehiongga akan mudah di pengaruhi dengan janji-janji maupun embel-embel pemberian sejumlah uang. Sedangkan pihak pemberi nantinya akan lebih mudah memuluskan sepak terjangnya, yaitu memberikan sejumlah uang dengan harapan dan kompensasi  untuk dipilih dalam Pilkada.

Dalam kondisi perekonomian tidak terarah dan masyarakat belum semuanya dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya inilah, nantinya rentan untuk dipengaruhi dan dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu berkaiatan dengan money politic atau memberi uang dengan tujuan untuk dipilih dalam pemilihan kepala daerah.

Sebagaimana lazimnya setiap pesta demokrasi, tidak semua calon atau kandidat memilih kemampuan yang sama. Kadangkala satu calon ia karena kaya, ada yang memang cerdas, mempunyai kemampuan dibidang pemerintahan, baik, jujur dan sebagainya. Yang jelas antara calon satu dengan lainnya tidak mungkin mempunyai kesamaan dalam berbagai hal. Bagi calon yang hanya dapat mengandalkan kekayaan disamping kemampuan lainnya biasanya dapat memanfaatkan apa yang dimiliki, termasuk juga memberikan sejumlah uang pada para pemilih. Bilamana indikasi pemberian uang nantinya justru yang malah memenangkan dalam perebutan memburu jabatan Sampang  satu. Adalah mereka yang membagi-bagikan uang, maka pihak-pihak yang dikalahkan tidak akan menerima. Dalam posisi seperti inilah money politic itu dapat memunculkan dan menjadikan salah satu sumber yang dapat berpotensi menjadi konflik sosial dalam masyarakat.

  1. Intervensi Penguasa

Pemberlakuan UU No. 22 tahun 1999 yang kemudian diganti dengan UU No. 30 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah yang pada dasarnya merupakan pengejaran kekuasaan semula tersentralisasi menjadi desentralisasi. Kekuasaan yang desentralisasi itu diharapkan menjadi ispirasi membangun tatanan pemerintahan dan masyarakat yang demokratis. Tatanan yang demokratis itulah yang pada dasarnya menjadi tujuan pokok dari sebuah tatanan pemerintahan.

Pemerintah  daerah yang diberi kesempatan untuk membangun dan mengembangkan daerahnya atas dasar pemberlakuan azas desentralisasi mempunyai peran dan fungsi yang sangat startegis. Artinya kemajuan dan bahkan kemunduran sebuah pemerintah daerah terrgantung siapa yang menjadi pimpinan. Tugas penting itulah yang kadangkala mengundang banyak orang untuk berbondong-bondong memenangkan jabatan startegis itu. Jabatan kepala daerah merupakan jabatan yang sangat strategis dalam sebuah peemrintahan daerah. Namun kecenderungan memihak dan diskriminasi yang dilakukan oleh seorang pemimpin daerah pada warganya disebabkan karena proses pemilihannya yang terus berangkat dari partai politik.

Jadi salah satu syarat mutlak untuk menjadi seorang bupati dan wakilnya ia harus berangkat atau diberangkatkan melalaui partai politik, disinilah sebenarnya yang menjadi salah satu dari sekian banyaknya tahapan-tahapan bagi calon atau seseorang yang ingin menjadi bupati dan wakilnya.

Bila proses rekruitmen calon bupati dan wakil bupati harus melalui partai politik tidak mustahil partai yang melakukan jagonya itu mempunyai kepentingan dan itu patut dipahami oleh semua pihak. Kepentingan-kepentingan dalam berpolitik lumrah adanya. Justru yang dikhawatirkan adalah calon yang diberangkatkan oleh salah satu partai itu menang dan menjadi penguasa selama kurun waktu yang sudah ditentukan. Kecenderungan bupati itu pasti ingin membalas jasa terhadap partai yang telah memberangkatkan sebagai penguasa.

Dilain pihak partai yang mencalonkan jagonya dalam posisi dan dengan masih berkuasa, maka kecenderungan penguasa itu untuk melakukan intervensi para kalangan-kalangan tertentu misal : camat harus mengkoordinasikan warganya untuk memilihnya atau dengan menggunakan jabatan sebagai kepala desa sebagian anak buahnya langsung dan lain sebagainya. Jabatan yang masih di pangku sebagai penguasa, akan cenderung di salahgunakan untuk melakukan manufer-manufer, baik untuk kepentingan dan kelanggengan posisinya, maupun untuk berjasa pada partai politik yang telah mengusungnya dulu menjadi penguasa.

Kadangkala intervensi penguasa terhadap jalannya proses pemilihan kepala daerah tidak hanya melalui intruksi-intruksi pada bawahannya malainkan berbagai jalan dapat dilakukan.

Misalnya:

Mempunyai kepentingan pribadi

Intervensi penguasa

Menyangkut jago yang diusung/balas jasa

Demi mempertahankan nama baik

Intervensi penguasa

Kepentingan politik (jangka pendek/panjang)

Bilamana proses pra dan pasca berlangsungnya pemilihan kepala daerah itu tidak dimasuki penguasa dalam artian adanya intervensi maupun terjadinya indikasi intervensi dari pihak penguasa, maka hampir dapat dipastikan hasil pemilihan tersebut sesuai dengan harapan masyarakat yaitu memilih kepala daerah yang demokratis, transparansi, jujur dan adil.

Kecendrungan pihak penguasa dalam melakukan intervensi pesta pemilihan kepala daerah itu akan dan atau menguntungkan pihak-pihak yang dibantu dan biasanya pihak yang dibantu oleh penguasa kemungkinan besar memenangkan kompetensi tahta penguasa di daerah. Keterlibatan atau campur tangan dalam pemilihan kepala daerah yang kecenderungan memihak salah satu pihak sangat mempengaruhi jalannya pesta demokrasi daerah yang sesungguhnya. Bagaimana tidak seorang penguasa, memiliki uang yang berlimpah, akan mudah untuk melakukan campur tangan. Dan dapat melakukan apa yang diinginkan sesuai dengan yang diinginkan. Bila ini terjadi kemungkinan pihak-pihak yang merasa dirugikan akan melakukan perlawanan. Dan yang dikuatirkan massa pihak yang kalah juga tersinggung. Dan bila ini terjadi konflik antara pendukung akan terjadi.

Banyak cara dan pola bagi penguasa untuk melakukan intervensi maupun campur tangan. Pemberian kemudahan dan penggunaan fasilitas milik pemerintah, adalah merupakan salah satu cara yang sering dilakukan oleh penguasa untuk memihak pada salah satu calon/partai. Jabatan juga dapat dimanfaatkan oleh pejabat untuk mempengaruhi pihak-pihak lain , dan masih banyak peluang-peluang kesempatan bagi penguasa untuk melakukan intervensi dalam setiap perhelatan pemilihan kepala daerah dan wakilnya. Dan itu semua apapun yang dilakukan penguasa, dalam intervensi dengan keperpihakannya pada salah satu calon akan rentan menimbulkan konflik horizontal.

  1. Manipulasai Data (Kertas Suara)
  2. Penggelembungan Kertas Suara

Diantara sekian banyaknya hal-hal/faktor-faktor yang berpotensi bahkan menimbulkan terjadinya konflik sosial dalam pemilihan kepala daerah dan wakilnya adalah tindakan bermain curang dalam perhituangan kertas suara yang sengaja dilakukan oleh pihak-pihak tertentu dan/atau panitia penyelenggara pemilihan, baik tingkat desa/kelurahan, kecamatan dan bahkan tingkat kabupaten yang sebelumnya sudah bekerja sama dengan salah satu calon, sehingga dijadikan kesempatan wewenang yang dimiliki.

Kecurangan yang semestinya tidak perlu dilakukan itu disebabkan pada umumnya untuk membalas jasa pada salah satu calon,  karena proses rekrutmen yang akhirnya terpilih menjadi panitia pemilihan bupati dan wakilnya cenderung merupakan titipan pihak-pihak yang sedang berkompetisi. Sehingga kecurangan-kecurangan menggelembungkan suara itu dilakukan pada saat pesta demokrasi itu berlangsung atau pada saat proses perhitungan suara dilakukan, disini dapat kita lihat betapa mahalnya ongkos yang harus dibayar oleh para panitia yang pengangkatannya melalui titipan seseorang. Ongkos yang begitu mahalnya, sehingga melakukan tindakan-tindakan yang pada dasarnya melampaui hak-hak rakyat. Hak rakyat di manipulasi, dirampas oleh mereka dengan cara memanipulasi data (kertas suara). Semestinya rakyat memilih salah satu calon yang di dambakan, namun oleh pihak-pihak tertentu kertas yang seharusnya sah dijadikan tidak sah.

Bila terjadi penggelembungan suara nantinya, maka sudah jelas pihak-pihak yang merasa dirugikan tidak terima begitu saja. Boleh saja para kandidat akan dapat memaklumi tindakan-tindakan seperti itu, karena saling memahami dan pengertian serta adanya kedewasaan dalam berpolitik, namun bagaimana dengan pendukung calon yang di merasa dirugikan? Disinilah kadangkala konflik itu sangat mungkin terjadi antara pihak yang dirugikan dengan pihak-pihak yang menang. Tindakan penggelembungan suara yang mengakibatkan terjadi pihak-pihak yang merasa dirugikan berbeda sekali dengan dengan tindakan money politik.

Money politic perbuatan yang sepintas masih menguntungkan masyarakat karena masyarakat menerima sejumlah uang yang kemungkinan dapat dimanfaatkan oleh warga yang merasa dibawah himpitan ekonomi, sedangkan tindakan penggembangan suara, masyarakat sama sekali tidak dapat secara langsung merasakan keuntungan. Karena bentuknya hanya merupakan tindakan strategi memenangkan salah satu pihak dengan menggunakan metode penggelembungan suara, tentunya penggelembungan kertas suara hanya di nikmati oleh segelintir orang saja.

  1. Pendataan Pemilih Yang Tidak Akurat

Pada  menjelang pemilihan umum, baik Presiden, gubernur maupun bupati/wali kota sampai level terendah yaitu pemilihan kepala desa, hal penting yang rentan terjadi konflik dalam masyarakat adalah mengabaikan tentang data-data para pemilih terutama pemilih pemula.

Para panitia penyelenggara pemilihan (pilkada) kadangkala hanya mengandalkan data-data yang hanya diserahkan oleh pihak birokrasi saja, padahal data-data tersebut belum tentu seakurat dan seriil kenyataannya. Badan pusat statistik dan kependudukan daerah yang menjadi sentral berapa jumlah penduduk beserta klasifikasinya. Kadangkala tidak lengkap dalam pendataannya, apalagi yang menyangkut hak-hak pemilih pemula, yang cenderung hak-hak mereka selalu di identikkan dengan pemberi jasa bagi salah satu calon, yang pada akhirnya dapat memenangkan pemilihan. Adanya pendataan yang dikuatirkan kurang akurat itu, panitia penyelenggara pemilihan bupati dan wakil bupati dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) harus menata ulang siapa saja, dan berapa jumlah terbaru menyangkut yang mempunyai hak pilih.

Dalam tahun 2006 ini sering terjadi masyarakat yang semestinya sudah mempunyai hak pilih justru mereka tidak diberi hak untuk memilih, misalnya yang terjadi di daerah Papua, banyak masyarakat yang sangat kecewa terhadap proses pemilihan kepala daerah. Hak suara mereka dirampas, aspirasi masyarakat dibungkam oleh pihak-pihak yang bila mana mereka diberi hak suara akan mengancam calon yang tidak merasa memilih mereka, yang pada akhirnya salah calon akan kalah dalam pemilihan.

Khusus untuk daerah Sampang, peristiwa-peristiwa seperti itu diharapkan tidak terjadi, karena sekecil apapun yang menjadi titik hitam dalam Pilkada nanti cenderung dapat menimbulkan konflik, lebih-lebih partai yang berkompetisi hanya dua partai besar yang selama ini kedua partai tersebut sulit di pertemukan dalam satu meja untuk membahas format sampang ke depan yang lebih baik. Apalagi selama ini pertarungan dua partai besar itu di tengah-tengah masyarakat terkesan partai debutan yang tidak pernah bersahabat apalagi menyatu.

  1. Pelanggaran Terhadap Aturan Yang Sudah Ditentukan

Pokok penting dalam setiap moment pemilihan kepala daerah dan wakil kelapa daerah pertama adalah harus mematuhi standarisasi aturan yang sudah ditentukan, misalnya pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang akan berlangsung di kabupaten Sampang harus berpedoman pada UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan peraturan-peraturan lainnya yang mengatur hal yang sama. Dalam pasal 58 UU No 32 tahun 2004 disebutkan dengan tegas: Calon kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah warga negara Republik Indonesia yang memenuhi syarat :

  1. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
  2. Setia kepada pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang dasar 1945, dan kepada negara kesatuan Republik Indonesia serta pemerintah.
  3. Berpendidikan sekurang-kurangnya sekolah lanjutan tingkatan atas dan/atau sederajat.
  4. Berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun.
  5. Sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari dokter.
  6. Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hokum tetap karena melakukan tindan pidana yang di ancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima ) tahun.
  7. Tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hokum tetap.
  8. Mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di daerahnya.
  9. Menyerahkan daftar kekayaan pribadi dan bersedia untuk diumumkan.
  10. Tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara badan hukum yang menjadi tanggungjawabnya yang merugikan keuangan Negara.
  11. Tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
  12. Tidak pernah melakukan perbuatan tercela.
  13. Memiliki Nomer Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau bagi yang belum mempunyai NPWP wajib mempunyai bukti pembayaran pajak.
  14. Menyerahkan daftar riwayat hidup lengkap yang memuat aturan lain riwayat pendidikan dan pekerjaan serta keluarga kandung, suami atau istri.
  15. Belum pernah menjabat sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama.
  16. Tidak dalam status sebagai pejabat kepala daerah.

Pasal 58 UU No. 32 tahun 2004 adalah syarat objektif dan subyektif yang tidak dapat ditinggalkan apalagi dinafikan walaupun satu point oleh para calon. Semua para calon harus memenuhi persyaratan dalam pasal tersebut. Bila sudah terpenuhi syarat tersebut, tinggal bagaimana para calon untuk mengatur strategi-strategi yang dianggap jitu dalam kompetisi, apakah itu strategi pribadi ataupun strategi dari partai yang mencalonkan, sehingga akhirnya memenangkan pertandingan. Salah satu point yang terdapat dalam pasal 58 UU No 32 tahun 2004, misalnya dilanggar pada tahap seleksi di Komisi Pemilihan Umum Daerah, apabila KPUD tidak hati-hati atau bahkan ada main dengan salah satu calon, maka ada kemungkinan calon yang melanggar salah satu poin pasal 58 UU nomoer 32 Tahun 2004 lolos tahapan penyeleksian administrasi pendaftaran, dan apabila lawan politiknya mengetahui tidak mustahil pihak-pihak yang merasa dirugikan atas lolosnya calon itu membawa implikasi politik negatif, yang pada ujungnya terjadi sentuhan-sentuhan dan pergeseran-pergeseran sosial yang tidak sehat antara para pendukung yang merasa dirugikan dengan calon yang di untungkan. Gesekan-gesekan sosial yang demikian tidak hanya terjadi pada penetapan calon saja, melainkan kadangkala pada tahap akhir atau perhitungan suara.

Konflik sosial dalam masyarakat juga bisa terjadi misalnya melanggar pasal 78,  79, 83 UU No 30 tahun 2004. Pasal-pasal tersebut rentan disalahgunakan oleh para calon/kandidat untuk memenangkan ambisinya menjadi kepala daerah. Disetiap pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan oleh para pihak akan berpotensi menimbulkan konflik Sehingga konflik dalam pilkada itu tidak hanya berlangsung pada selesainya perhitungan suara saja (pasca pemilihan), melainkan konflik juga dapat timbul dan muncul pada saat pra pemilihan dan proses pemilihan.

  1. Mobilisasi Massa

Dua pandangan yang bertolak belakang antara yang suka dan yang tidak suka adanya partai. Satu isi banyak kalangan yang mengkritisi dengan partai politik, persoalan kerap muncul di latar belakangi kepentingan-kepentingan yang terakomodasi dalam sebuah partai dan banyak kritik-kritik yang lebih tajam tentang eksistensi sebuah partai politik. Pada sisi yang lain keberadaan partai politik tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan sebuah negara, pada pola pikir seperti ini, partai politik dianggap sebagai lambang sebuah bentuk lambang demokrasi. Partai politik sebagai kekuatan politik merupakan gejala modern. Partai, sebuah organisasi dalam pengertian modern bertujuan untuk merebut kedudukan negara didalam persaingan melalui pemilu. Bahkan kekuatan politik yang terhimpun atau terakomodasi melalui partai itu juga dikatakan bentuk negara ke II, karena politik sangat identik dengan kekuasaan dan kekuasaan korelasinya dengan negara.

Sebuah partai dikatakan sebuah persaingan dalam pemilu karena suatu partai harus berkompetisi dengan partai lain untuk meraih kepercayaan masyarakat dengan meraup suara terbanyak melalui proses pemilu. Untuk itu semua partai harus mempunyai organisasi yang kuat dan mantap, didukung oleh flatform dan program yang jelas, baik menyangkut, serta soliditas antara partai dengan konstituennya.

Namun demikian, soliditas yang seyogyanya dibangun, dipertahankan oleh partai dengan pemilihnya tidak selalu berjalan dengan baik apalagi kontinyu Kadangkala partai dapat memperhatikan dan bersikap baik pada masyarakat pemilihnya bilamana sudah ada kepentingan yang harus mendekati masyarakat pemilih. Misalnya dalam pemilihan bupati dan wakil bupati yang akan dilaksanakan di Sampang pada saat pilkada nanti, seorang untuk dapat dicalonkan ataupun mencalonkan untuk menjadi kepala daerah harus melalui partai.

Seorang yang menginginkan untuk menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah harus melewati partai dalam tahapan seperti ini, partai mempunyai nilai tawar yang cukup tinggi. Dalam artian partai dapat menolak atau menerima setiap orang yang ingin menjadi sebagai bupati harus lewat dari partai tersebut. Ketika kebutuhan seperti inilah, partai biasanya mulai bersikap baik pada konstituennya. Partai mulai memperhatikan, bahkan mulai memberikan sesuatu pada masyarakat pemilihnya.

Masyarakat saat ini masih dalam keadaan yang sangat memprihatinkan, atau  membutuhkan untuk memenuhi hidupnya rentan sangat untuk diajak dan dipengaruhi oleh para elit partai, untuk melakukan sesuatu, iming-iming imbalan atau semacam hadiah apapun akan merangsang masyarakat untuk dapat melakukan segala sesuatu sesuai kehendak para elit (partai), misalnya partai politik menghendaki pemilihnya harus berkumpul di tempat tertentu dan lain sebagainya. Bila pengumpulan-pengumpulan massa dilakukan dengan tujuan yang tidak jelas, diluar agenda rapat resmi, tidak menutup kemungkinan terjadinya penafsiran yang tidak benar dan menimbulkan saling kecurigaan antara anggota masyarakat, unjuk kekuatan seperti pergerakan-pergerakan massa sangat berpotensi untuk mendatangkan konflik sosial di tengah-tengah masyarakat.

Adanya pengerahan massa oleh pihak-pihak tertentu tidak hanya dilakukan dan melibatkan masyarakat kelas bawah menengah saja, adanya kecenderungan dan kekawatiran dengan pengerahan massa itu manakala sampai melibatkan para preman-preman kampung yang pekerjaannnya memang cenderung selalu mencari masalah dan keributan. Kalau tindakan-tindakan diatas di lakukan oleh para calon, tim sukses maupun partai politik, maka sudah dapat di prediksi bahwa konflik akan terjadi.

  1. Sentimen Sosial

Setiap konflik sosial yang terjadi disaat pra, proses maupun pasca dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) tidak hanya bersumber pada element tersebut di atas. Dalam artian konflik antar masyarakat yang terjadi bukan disebabkan karena adanya ketidakpuasan dari pihak-pihak yang kalah maupun pihak yang merasa dirugikan dalam pilkada. Namun adanya konflik dalam masyarakat itu juga dapat disebabkan karena adanya sentimen sosial diantara para warga yang jauh-jauh sebelum pilkada berlangsung sudah berindikasi akan adanya konflik. Pilkada hanya dianggap moment yang pas/cocok untuk melakukan berbagai macam tindakan-tindakan emosional antara warga masyarakat.

Sentimen sosial yang terjadi ditengah-tengah masyarakat yang sampai berpotensi konflik tidak hanya menimpa antara warga yang mempunyai pandangan ideologi yang berbeda saja, melainkana adanya perbedaan status sosial yang sangat mencolok antara warga yang satu dengan lainnya juga berpotensi terjadi menimbulkan konflik, apalagi sampai saling mencemooh dan mengejek-ngejek. Misalnya ditengah-tengah kehidupan bermasyarakat tidak terlepas dengan kondisi si miskin dan si kaya. Warga yang kebetulan mempunyai harta lebih jangan memandang sinis apalagi meremehkan mereka yang kebetulan masih miskin. Orang yang berpendidikan tinggi juga jangan melihat dan memandang mereka yang tidak berpendidikan dengan anggapan mereka bodoh, juga bagi warga yang kebetulan menjadi pejabat, tokoh masyarakat dan lain sebagainya.

Terlalu membeda-bedakan status sosial antara warga akan mudah menimbulkan sentimen sosial, dan pada akhirnya juga akan mengarah pada tingkat yang lebih parah yaitu konflik sosial. Jadi konflik social juga dapat disebabkan karena adanya gesekan-gesekan antara pribadi yang satu dengan lainnya, maupun satu kelompok warga dengan kelompok warga lain yang jauh-jauh sebelumnya sudah mengalami kesalah pahaman maupun benturan social.

  1. Fanatikme Kepartaian

Pemikiran bahwa konflik itu merupakan aktifitas dan keajdian yang negatif ternyata tidak semuanya benar. Menurut Bambang K dalam kadar tertentu konflik sangat dibutuhkan dalam masyarakat. Bersama konflik akan terjadi dinamika progresif menuju perubahan dan perkembangan.

Dapat dikatakan tanpa adanya konflik suatu masyarakat akan mengalami situasi stagnan dan statis. Dengan demikian pada konflik pada kadar tertentu bila dapat dilakukan dan diberdayakan akan berdampak positif tehadap dinamika masyarakat karena akan selalu hidup dengan dilahirkannya alternatif-alternatif baru.

Sebaliknya bila kadar konflik pada tingkatan yang tinggi. Maka itu jelas-jelas potensial masalah, dan akan sulit dikendalikan. Pada tingkatan yang demikian ini dapat merusak strutur masyarakat sangat sangat kuat.

Pendapat diatas yang menggambarkan konflik sosial dimasyarakat dengan syarat bukan konflik tingkat atas kadangkala dibutuhkan, tidak semuanya harus dijadikan wacana yang dikembangkan karena pada lazimnya, kerusuhan yang terjadi biasanya bermula pada hal-hal yang kecil dan sepele. Akar permasalahan yang saling terjadi dibelahan tanah air, berasal dari permasalahan yang sebelumnya tidak diperhitungkan dan bersumber pada sesuatu yang amat kecil. Penulis justru istilah yang lebih cocok untuk terciptanya dinamika masyarakat yang dinamis adalah adanya perbedaan pandangan dan pendapat antara masyarakat yang satu dengan lainnya dalam menyikapi suatu permasalahan atau dalam menciptakan sesuatu. Perbedaan pendapat ditengah-tengah masyarakat harus dianggap sebuah pembelajaran untuk mencari pendewasaan berpola pikir dan terjadinya perubahan-perubahan sosial secara positif.

Kenyataan konflik yang terjadi tidak mengenal waktu dan ruang. Artinya dalam suatu tatanan masyarakat yang semula dalam keadaan tenang, adem ayem, bisa saja menjadi brutal dan lain sebagainya. Hal yang demikian tidak hanya terjadi pada komunitas masyarakat di kota saja, melainkan juga dapat terjadi pada komunitas di desa.

Lain halnya, silang pendapat yang terjadi dimasyarakat antara warga yang berorientasi kepentingan kelompok sudah pada tingkatan sulit untuk dipertemukan. Bagi mereka muncul pendapat, “Bahwa kami berbeda dengan kalian dan kalian berbeda dengan kami” dengan intensitas yang tajam. Dalam posisi demikian komunitas masyarakat sudah mulai berkelas-kelas, perbedaan di antara mereka sudah dianggap mereka yang paling benar dan betul. Kondisi yang seperti inilah yang selalu akan dapat memunculkan gerakan-gerakan dalam masyarakat. Prinsip benar diantara kelompok cenderung menjadi akar dan berpotensi terjadinya perpecahan dalam kehidupan bermasyarakat.

Cuman yang sangat diharapkan ketika masyarakat sudah saling mengklaim bahwa mereka saling membenarkan eksistensinya masing-masing, para elit politik justru cenderung pasif. Para elit mungkin akan lebih tenang dan senang bila ada masyarakat terutama mereka yang dibawah kekuasaannya, selalu mengumandangkan bahwa dia yang paling benar.

Kecenderungan masyarakat akan membenarkan suatu organisasi (partai politik) yang berlebihan atau fanatik terhadap salah satu partai akan selalu menganggap partai itu yang paling benar padahal semestinya ketika pola pikir seperti itu lahir yang ditunjukkan para petinggi partai harus bersikap demi tidak terciptanya penilaian yang terlalu over. Walaupun sikap yang seperti itu juga sangat diperlukan oleh partai. Pemahaman-pemanaham over dari masyarakat harus di luruskan apalagi ditingkat masyarakat pedesaan yang rata-rata tingkat pendidikannya masih rendah. Keinginan yang kuat dari para elit yang ada harus dikedapankan walaupun mengorbankan kepentingan pribadi demi terciptanya suasana yang kondusif, apalagi menjelang pilkada.

BAB IV

KONDISI GEOGRAFIS KABUPATEN SAMPANG

Kabupaten sampang merupakan salah satu kabupaten yang berada di pulau Madura. Selain kabupaten Sumenep, Pamekasan dan Bangkalan. Kabupaten Sampang posisinya berada ditengah atau diapit oleh kabupaten Pamekasan dan Bangkalan. Terletak pada 113o 08’ hingga 113o 39’ bujur Timur dan 06o 05’ hingga 07o 13’ lintang Selatan (Sumber BPS Kabupaten Sampang 2004).

Batas daerah disebelah Utara laut Jawa, sebelah Timur kabupaten Pamekasan, sebelah Selatan selat madura, sebelah barat kabupaten Bangkalan. Secara umum wilayah kabupaten Sampang terdiri dari 14 kecamatan (DDA, 2004  menggunakan 12 Kecamatan), yang terdiri dari 180 desa dan 6 kelurahan yang luasnya 1233,30 km2. Adapun Kecamatan-kecamatan tersebut adalah:

  1. Kecamatan Sampang
  2. Kecamatan Torjun
  3. Kecamatan Sokobanah
  4. Kecamatan Jrengik
  5. Kecamatan Sreseh
  6. Kecamatan Camplong
  7. Kecamatan Omben
  8. Kecamatan Tambelangan
  9. Kecamatan Ketapang
  10. Kecamatan Pangarengan
  11. Kecamatan Robetal
  12. Kecamatan Banyuates
  13. Kecamatan Kadungdung
  14. Kecamatan Karang Penang

Pada saat ini Kecamatan yang ada di kabupaten Sampang bertambah dua Kecamatan seperti yang disebut diatas. Yang secara keseluruhan terdiri dari 180 desa, dan 6 kelurahan yang luasnya 1233,30 KM2 (BPS, 2004)

Data jumlah penduduk dari hasil parposi, berdasarkan SP 2000 yaitu sebesar 787.641 jiwa dengan pertumbuhan sebesar 1.23 persen. Kecamatan Robatal mempunyai penduduk paling besar 118.915 jiwa diikuti kecamatan Sampang 101.544 jiwa dan kecamatan Camplong 71.746 jiwa. Kepadatan penduduk kabupaten Sampang adalah 639 jiwa setiap 1 cm2, kecamatan Sampang mempunyai kepadatan penduduk tertinggi yaitu 450 jiwa / KM2 (BPS, 2004).

Data yang diperoleh dari badan pusat statistik (BPS) kebupaten Sampang bahwa pencari kerja pada tahun 2004,  5001 orang menurun 427 persen dibandingkan tahun 2003.

Sedangkan tujuh kabupaten transmigrasi dari kabupaten Sampang tahun 2004 sebanyak 13 kk atau 44 jiwa. Daerah yang menjadi tujuan para transmigrasi adalah Sulawesi tengah.

Lain halnya dengan jumlah pegawai negeri sipil yang ada dikabupaten Sampang tahun 2004 pegawai negeri jumlah kabupaten Sampang tahun 2004 sebanyak 6240 orang yang terdiri dari laki-laki 3.755 orang dan perempuan 2.485 orang.

  1. Kondisi geografis kabupaten Sampang
  1. Letak  daerah                          113o – 113o39 BT
  2. Batas Daerah                           Sebelah Utara              laut Jawa

Sebelah Timur Kabupaten Pamekasan

Sebelah Selatan

Sebelah Barat Kabupaten Bangkalan

  1. Ketinggian dari 118 meter
  2. Permukaan laut 1,5

Kalau kita melihat langsung bagaimana kondisi objektif masyarakat Sampang, maka akan timbul dalam benak kita, sungguh tidak menduga bahwa ditengah-tengah  peradaban modern seperti ini masih ada masyarakat yang kehidupannya tidak jauh  berbeda dengan masyarakat yang tinggal di luar Jawa.

  1. Mata Pencaharian dan tingkat pendidikan

Mayoritas masyarakat Sampang beraktifitas sebagai petani dan sebagai nelayan. Sebagai petani masyarakat Sampang hanya dapat menikmati hasil tanamananya sesuai dengan kondisi musimnya. Bagi masyarakat yang menanam padi, maka ia harus menunggu musim hujan, ini disebabkan sawah para petani akan cukup airnya bilamana di suplay air dari langit, karena memang sebagian desa dan persawahan di Sampang kadangkala kekurangan air.  Dalam hal mata pencahariannya sebagai petani yang lazimnya hanya dapat menikmati hasil kerjanya setelah masyarakat memanen hasilnya. Itupun kadangkala tidak segampang kehidupan petani diluar Sampang, Misalnya di kabupaten Bangkalan, setiap tahunnya para petani paling tidak dua kali bertanam padi bahkan ada yang tiga kali setahun.

Bagi yang menjadi nelayan mereka bisa saja hampir tiap waktu mereka mengagendakan untuk dating ke laut  maupun pantai untuk mengais rezeqi. Di pihak lain pencaharian masyarakat Sampang juga ada yang menjadi pegawai, pedagang dan pekerjaan yang penting dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Adapun tingkat pendidikan secara umum masyarakat sampang lulus sekolah dasar, mereka biasanya setelah lulus sekolah langsung mondok di pondok pensantren. Pondon pesantren dianggap sebagai tempat yang paling cocok bagi anak-anak mereka untuk menata masa depan yang lebih baik. Sehingga tidak salah bilamana kabupaten sampang di kenal dengan kota santri.

Menurut data yang ada di BPS kabupaten Sampang, tahun 2003/2004 murid sekolah umum di kabupaten Sampang Sekolah Dasar Negeri 92919 siswa, untuk Sekolah Lanjutan Pertama 8045 siswa dan sekolah umum Negeri/Swasta1331 siswa. Sedangkan pada tahun 2004/2005 Sekolah Dasar sebanyak 100165 siswa, Sekolah Menegah Pertama sebanyak 7232 siswa, dan Sekolah Menengah Umum Negeri/Swasta 2374 siswa.

Sedangkan murid sekolah agama di kabupaten Sampang menurut data BPS, tahun 2002/2003 untuk Madrasah Ibtidaiyah Negeri/Swasta sebanyak 251 siswa, untuk sekolah Madrasah Tsanawiyah Negeri/Swasta sebanyak 286 siswa, dan untuk Madrasah Aliyah Negeri/Swasta sebanyak 454 siswa. Sedangkan data tahun 2003/2004, untuk Madrasah Ibtidaiyah Negeri/Swasta sebanyak 244 siswa, untuk Madrasah Tsanawiyah Negeri/Swasta sebanyak 592 siswa, untuk Madrasah Aliyah Negeri/Swasta sebanyak 455 siswa.

Berdasarkan rekapitulasi jumlah tingkat pendidikan masyarakat kabupaten Sampang adalah rata-rata sekolah dasar. Ini berarti tingkat pendidikan masyarakat Sampang masih jauh di bawah standard an cita-cita bangsa Indonesia secara keseluruhan. Kalau boleh dikatakan bahwa sementara ini pemerintah kabupaten Sampang tidak terlalu serius untuk mennagani masalah pendidikan walaupun juga jangan dinafikan bahwa setiap tahunnya sudah ada peningkatan.

  1. Kondisi pra pilkada

Secara umum kondisi masyarakat kabupaten Sampang dalam menyambut pesta demokrasi daerah (Pilkada) dalam keadaan tenang-tenang saja, sepertinya masyarakat tidak terlalu tertarik dan terpengaruh dengan aktifitas-aktifitas para elit yang ada. Masyarakat sepertinya menganggap event pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah di Sampang tidak jauh berbeda dengan pemilihan wakil-wakil daerah (DPRD) tahun 2004 silam. Namun demikian ada beberapa warga masyarakat yang sengaja mengikuti arus permainan para elit dan berlomba-lomba menjadi tim sukses dari para elit.

Keengganan masyarakat kabupaten Sampang untuk mengikuti kemauan para elit dalam mempersiapkan baik untuk kemenangan, menyusun strategi dan lain-lain disebabkan adanya kekawatiran dari masyarakat seperti para ulah para wakil-wakil mereka yang dipilih melalui pemilihan legilatif lalu. Masyarakat menganggap beberapa para elit politik berlaku baik pada masyarakat manakala mereka mempunyai kepentingan, baik itu secara langsung maupun tidak langsung, supaya masyarakat simpatik dan bahkan masyarakat mengikuti apa yang diinginkan para elit politik. Namun setelah target yang diinginkan para elit sudah tercapai, masyarakat yang semula sudah banyak membantu malah ditinggalkan. Secara pribadi penulis sangat memahami kekhawatiran-kekhawatiran yang timbul ditengah-tengah masyarakat itu.

Yang tidak kalah menariknya lagi untuk diperhatikan adalah adanya beberapa warga masyarakat Sampang, yang mempunyai pemikiran bahwa untuk dapatnya memilih salah satu calon,  harus dibayar sebesar Rp. 50.000, per-orang, pikiran-pikiran seperti ini untuk para kandidat yang mempunyai kekuatan uang sangat didukung dan menguntungkan calon yang banyak uang. Karena sudah adanya kejelasan apa yang diinginkan oleh masyarakat. Tetapi disisi lain pikiran ada uang baru dapat memilih, justru dapat mengincar proses kompetisi demokrasi yang sebenarnya. Dalam artian bagi calon yang hanya menggunakan dan memiliki modal pas-pasan, akan mudah tersingkir dan bahkan pesimis sebelum bertanding. Selain itu pikiran ada uang akan memilih merupakan preseden buruk untuk membangun tatanan demokratis dan jujur, yang semua itu akan menjadi kendala dan penghalang terciptanya ”Good Governance” di Sampang.

BAB V

 STRATEGIS ANTISIPASI KONFLIK PILKADA 2006

DI KABUPATEN SAMPANG

Seorang ilmuwan besar yang namanya sudah tidak asing lagi bagi telinga bangsa Indonesia yaitu Aristoteles menyebutkan dengan konsepnya “Zoon politican”. Secara sederhana pemahaman tersebut, bahwa manusia hidup mempunyai kecenderungan untuk berkelompok atau bermasyarakat. Konsep “Zoon Politican” tidak salah adanya, bila kita melihat dan mempelajarinya sejarah keberadaan manusia sejak diciptakannya manusia (Adam), ketika itu Adam diciptakan oleh Tuhannya sendirian yang diberi tempat disurga. Dengan berbagai peringatan atau semacam teguran pada Adam untuk tidak melakukan kesalahan dengan cara memakan salah satu buah pohon  yang ada di surga bila ingin hidup di surga selamanya. Singkat cerita ternyata Adam melanggar apa yang digaris bawahi oleh Tuhannya. Maka diturunkanlah Adam ke bumi, sehingga Adam merasa kesepian hidup sendirian, akhirnya dengan kekuasanNya Tuhan menciptakan lawan jenisnya (Hawa).

Sejarah keberadaan manusia itu yang oleh penulis dijadikan pembenaran bahwa manusia cenderung hidup berkelompok. Hampa rasanya ketika ada orang hidup sendirian, dan bahkan sulit kita temui dibelahan dunia ini orang yang hidup sendirian. Dalam konteks hidup bermasyarakat antara individu yang satu dengan lain saling membutuhkan. Mereka akan saling berinteraksi satu sama lain, bahwa dapat dikatakan antara manusia yang satu dengan lain saling membutuhkan.

Di setiap komunitas masyarakat atau kelompok tentunya antara yang satu dengan lainnya mempunyai tujuan dan keinginan hidup yang berbeda. baik dilihat dari aktifitas sehari-harinya maupun pola perkembangan dari suatu individu/keluarga. Tujuan dan keinginan yang berbeda ini kadangkala saling bersentuhan antara warga masyarakat, bersentuhan dalam arti dimana kepentingan yang satu dengan lain saling bertabrakan atau bahkan bertolak belakang.

Adanya tujuan dan keinginan yang berbeda antara individu yang satu dengan lainnya akan menimbulkan konflik-konflik antara warga masyarakat, manakala mereka semua tidak mampu menyadari tentang eksistensinya ditengah-tengah kehidupan bermasyarakat. Bahkan keinginan yang berbeda itu juga kadangkala bisa menginjak-injak dan bahkan merampas hak-hak orang lain, yang semestinya saling dihormati dan dihargai untuk mencapai kerukunan hidup, inilah pada dasarnya menjadi harapan dari semua pihak, baik masyarakat, pemerintah, negara dan dunia. Dengan kebersamaan dan kerukunan hidup semua masalah akan mudah diatasi dan itulah sebenarnya hidup.

Kebupaten Sampang yang sebentar lagi akan mengadakan sebuah penghelatan akbar dan pertama di Sampang yaitu pemilihan kepala daerah dan wakilnya. Masyarakat Sampang yang pada dasarnya dan umumnya menginginkan pesta demokrasi itu berjalan dengan lancar, tertib, aman dan demokrasi, tentunya harus dilihat dan dipandang baik oleh pemerintah daerah, penyelenggara pemilihan umum, pihak keamanan, para elit politik dan tokoh-tokoh masyarakat harus dijadikan prioritas untuk kepentingan kolektif.

Kekhawatiran banyak orang tentang memanasnya suhu politik di Sampang, terutama menjelang proses dan pasca pemilihan/pencoblosan, harus dibantahkan serta dibuang jauh-jauh. Oleh sebab itu untuk mementahkan dari semua persepsi atau anggapan sementara orang, maka yang paling perlu diperhatikan dan dilakukan oleh pihak-pihak yang mempunyai kepentingan dan berwenang untuk itu adalah adanya kemauan yang kuat dari pihak-pihak :

  1. Pemerintah daerah

Pilkada yang pada dasarnya merupakan pertarungan para kandidat calon bupati dan wakilnya yang ditawarkan oleh partai politik kepada masyarakat, dengan tujuan untuk memenangkan dan bertujuan mempengaruhi pola pikir masyarakat supaya memilihnya. Siapa yang mampu mempengaruhi pola pikir masyarakat yang kemudian di implementasikan memilihnya dialah yang akan menang dalam pertarungan. Sebaliknya, kandidat yang tidak mampu mempengaruhi pola pikir masyarakat untuk memilihnya ia harus siap menanggung kekalahan.

Dalam kondisi seperti ini, biasanya banyak pihak-pihak yang ingin bergabung dengan para kandidat termasuk kalanagan penguasa yang biasanya di lakukan dengan sembunyi-sembunyi. Keterlibatan pihak lain dalam mendukung para kandidat dilakukan dengan berbagai cara, seprti pemberian sumbangan dana yang berlebihan (melebihi ketentuan yang sudah ditetapkan UU), sebagai pemikir penyusunan strategi, dan lain-lain, sedangkan keterlibatan penguasa/pemerintahan atau kalangan birokrasi biasanya dilakukan dengan pemberian fasilitas dan jabatan dari mereka.

Berkaitan dengan itu semua, pemerintah daerah kabupaten sampang yang bersama-sama dengan DPRD dalam hal pemilihan bupati dan wakil bupati nanti harus bersikap netral.Artinya pemerintah daerah dan DPRD harus berfungsi sebagai fasilitator dalam menyukseskan jalannya pilkada. Bukan sebaliknya, pemerintah daerah maupun DPRD jangan memihak pada salah satu kandidat agar tidak terjadi kesan bahwa pemerintah diskriminatif. Pemerintah daerah maupun DPRD harus menampakkan sikap yang porposional, fair, tanpa harus membeda-bedakan dari mana calon itu berangkat, walaupun penguasa saat itu sudah banyak berhutang budi pada salah satu kandidat maupun partai. Sikap netralitas dari pihak pemerintah daerah maupun DPRD akan sangat membantu kelancaran berlangsungnya jalannya pilkada. Sikap netralitas dari pemerintah harus dibuktikan dan di tumbuhkan dari sekarang, dan semua itu akan terlaksana bilamana pihak pemerintah mempunyai niatan yang kuat.

2.Kemauan Kuat Dari Masyarakat

Masyarakat sebenarnya berfungsi dua hal dalam pilkada yang akan berlangsung nanti. Pertama, masyarakat berfungsi sebagai subyek (pemilih). Kedua, masyarakat berfungsi sebagai obyek. Artinya masyarakat menjadi sasaran para kandidat untuk dipengaruhi supaya mereka memilihnya. Sebagai subyek maupun obyek tentunya masyarakat harus di beri kebebasan untuk memilih dan menyuarakan hak suaranya kepada para calon. Pemaksaan kepada pemilih merupakan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan, dan hak azasi manusia dan semua itu dilarang oleh Undang-undang.

Selain itu fungsi social dari masyarakat harus di rangsang oleh berbagai pihak, khususnya oleh para tokoh agama dan  masyarakat mengingat pengaruh dari kedua unsure tersebut sementara ini disampang cukup dominant, di samping masyarakat sendiri harus menyadari akan eksistensinya. Masyarakat diharapkan proaktif membaca keadaan dan melihat fenomina pilkada langsung ini sebagai pembelajaran politik yang menguntungkan bagi pendewasaan. Sehingga dengan pola pikir seperti rangsangan dan partisipasi masyarakat secara langsung dalam mengiringi pilkada akan tampak dan terasa untuk mewujudkan sampang ke depan yang lebih baik, dan demokratis terutama mencari sosok bupati ideal versi Sampang.

Masyarakat jangan beranggapan bahwa pilkada secara langsung yang akan berlangsung di sampang merupakan  event biasa, sehingga akan menutup mata hati dan pengetahuan politik sampang ke depan. Anggapan yang demikian harus ditinggalkan jauh-jauh. Sikap proaktif dan responsive masyarakat menghadapi pilkada  langsung merupakan salah satu indikasi dan bukti kelangsungan pilkada akan berjalan secara demokratis, tertib, aman yang diinginkan oleh semua pihak.

Rasa kebersamaan antara warga masyarakat, kelompok, dan semua elemen masyarakat lainnya harus di pupuk jauh-jauh sebelum pilkada berlangsung, sehingga diharapkan rasa kebersamaan ini terus berlangsung pada pra, berlangsungnya/ proses maupun pasca pilkada. Cinta Sampang juga harus dijadikan cerminan demi terciptanya suasana yang aman dan tertib pula. Rasa kepemilikan secara kolektif kepada sampang dan rasa persaudaraan antara warga masyarakat merupakan modal pokok bagi terselenggaranya pilkada secara fair dan rukun. Dengan demikian, partisipasi masyarakat di dukung niat yang bulat, kuat dan baik pada pilkada sampang langsung menjadi modal penting.

  1. Kearifan dari semua calon

Satu hal yang penting demi terciptanya pemilihan pilkada langsung yang tertib, aman, dan bahkan demokratis yaitu adanya kesadaran para kandidat akan makna sebanarnya kompetisi perebutan jabatan sampang satu. Para kandidat di tuntut dan harus mempunyai hati yang lapang dan menerima apa saja yang akan terjadi. Dalam artian para calon harus siap “menang” dan siap “kalah” dalam kompetisi pilkada secara langsung.

Modal hati yang besar dan prinsip siap menang siap kalah merupakan bekal utama bagi para calon/kandidat. Ketidaksiapan para calon/kandidat dengan segala resikonya dapat menimbulkan berbagai masalah dalam penyelenggaraan pilkada langsung dan bahkan akan menimbulkan konflik social. Oleh karena, bagi para calon yang tidak siap menang dan tidak siap kalah mungkin lebih baik jauh-jauh sebelumnya lebih baik mengundurkan diri dari pencalonan atau sama sekali tidak mencalonkan.

Prinsip siap menang siap kalah ini tergantung bagaimana para calon mempunyai kearifan dan kebijaksanaan secara privasi. Landasan kearifan dan kebijaksanaan dari para calon yang nantinya akan dapat membangun pesta demokrasi lokal Sampang berjalan dengan aman, tertib, dan lancar. Semua calon harus menampilkan performent yang jentelmen dan penuh dengan rasa tanggungjawab. Peristiwa Tuban dan kota depok jangan sampai terulang di Sampang tercinta.Walaupun Sampang yang selama ini diperkirakan oleh banyak pihak penyelenggaraan pilkada nantinya akan kisruh dan rusuh., mengingat Sampang merupakan daerah yang rentan dengan konflik. Biarlah kejadian yang pernah terjadi di tuban dan kota depok itu dianggap sebagai sejarah yang pernah menodai jalannya demokratisasi yang dibangun dan dibina oleh bangsa dan Negara.

Untuk itu para calon diharapkan dalam mencari dan menentukan tim suksenya yang akan dilibatkan dalam kompetisi pilkada langsung nanti adalah orang-orang yang baik, jujur dan mempunyai tanggungjawab dalam rangka mendahulukan kepentingan-kepentingan kolektif atau bersama dan menjahui kepentingan-kepentingan individu maupun kelompok. Bila kehati-hatian dalam menentukan tim sukses dan kesadaran para calon akan pentingnya kebersamaan dan kerukunan, maka tidak mustahil Sampang akan mengukir sejarah yang pertama dalam menyukseskan keberlangsungan pemilihan kepala daerah dan wakilnya secara demokratis. Dan prinsip demokrasi yang diartikan secara sederhana, yaitu dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat akan di ukir pertama oleh kabupaten Sampang.

  1. Peran pihak keamanan

Pihak keamanan (kepolisian) sebagai instansi Negara yang salah satu fungsi dan tugas pokoknya adalah menjaga keamanan masyarakat, harus mampu membaca situasi dengan cepat dan tepat. Kondisi masyarakat Sampang yang sulit di tebak/dibaca dalam menciptakan hal-hal yang tidak diinginkan (konflik) harus dijadikan patokan, sehingga pihak kepolisian harus mampu dan sensitive membaca gejala-gejala adanya kemungkinan yang dapat menimbulkan konflik social dalam masyarakat, baik pra, proses maupun pasca pilkada khususnya.

Ada hal yang menarik dari pendapat Kompol Sutrisno yang dimuat dalam majalah semiru Polda Jatim edisi 26 juni 2006. Beliau berpendapat untuk mencegah terjadinya konflik social atau anarkis massa dapat dilalui dengan:

  1. mencegah terjadinya unjuk rasa dengan koordinasi dengan para tokoh-tokoh masyarakat.
  2. mendeteksi setiap adanya kegiatan dengan mengumpulkan massa.
  3. pengawasan dan kontrol serta melakukan patroli dan melaksanakan kegiatan opensif kolektif.
  4. ciptakan kondisi tertib dengan cara yang simpatik dengan melakukan koordinasi lintas sektoral aparat keamanan.
  5. cegah timbulnya perbuatan yang mengakibatkan opini publik yang dapat memperkeruh suasana terhadap pro dan kontra pada para calon/bupati terpilih.
  6. memberikan pembinaan dan penyuluhan di wilayah pondok-pondok pesantren.

Jadi yang paling penting untuk menjaga kebersamaan dan keamanan pada dasarnya harus saling komunikasi antar warga masyarakat dan rasa kepemilikan daearah serta rasa tanggungjawab dari semua pihak, baik masyarakat, pemerintah daerah tokoh agama dan elemen masyarakat lainnya.

BAB VI

PENUTUP

  1. Kesimpulan

Dalam bab ini penulis mencoba untuk menarik kesimpulan secara singkat dan sederhana, dengan harapan para pembaca dapat menarik gambaran esensi tulisan ini.

  1. Pilkada langsung yang akan di selengarakan di kabupaten Sampang merupakan tonggak sejarah yang pertama di sampang sejak pemberlakukan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004. Karena masyarakat terlibat secara langsung untuk memilih dan menentukan pilihan politiknya sesuai dengan hati nuraninya. Dengan penyelenggaraan pilkada langsung para calon harus mempunyai prinsip siap menang dan siap kalah sebagai salah satu kunci keberhasilan sebuah penghelatan pilkada langsung.
  2. Presepsi atau anggapan pihak-pihak bahwa pilkada langsung nantinya akan diwarnai dengan konflik dan anarkis lainnya, hal ini karena hanya ada dua kekuatan partai politik yang mungkin bekompetisi, itu semua harus dibantahkan oleh semua pihak, baik pemerintah daerah, elit politik, tokoh masyarakat dan agama dan seluruh lapisan masyarakat, dengan jalan pilkada untuk kepentingan bersama. Selain itu sifat diskriminasi baik dari pihak penyelenggara maupun intervensi pemerintah harus di jauhi. Artinya pemerintah harus bersifat netral dan kalau perlu hanya sebagai fasilitator saja yang tidak berlebihan.
  1. Saran
  2. Diharapkan para semua calon tidak menggunakan jalan-jalan yang melanggar hukum maupun tatakrama dalam berpolitik hanya untuk mementingkan kemenangan pribadi maupun kepuasan kelompok/golongan. Pilkada secara langsung harus dianggap proses pembelajaran bagi masyarakat untuk menata Sampang ke depan yang lebih baik dan demokratis, sehingga semua pihak harus bersikap jujur, adil, dan tidak menggunakan kekuatan-kekuatan fisik dalam setiap menyelesaikan dan menangani masalah kaitannya dengan penyelenggaraan pilkada langsung.
  3. Kenetralan pihak birokrasi dan menjahui sikap diskriminasi terhadap salah satu calon perlu di kedepankan, karena  itu merupakan salah satu kunci keberhasilan pilkada yang aman, tertib, dan lancar. Serta semua pihak harus menjaga keamanan pilkada, selain pihak kepolisian sebagai induk untuk menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Bambang Kusbandrijo, “Partai dan Konflik Sosial” Artikel, 2003

Dany J.A, “Ruang Publik Yang Terpecah”, Jawa Pos, 2002

D.Zawawi Imron, “Virus Kerisuhan di Luar sara”, Artikel Jawa Pos, 2002

Syamsul walidin, “Kerusuhan sampit Dua Sisi Kelemahan Otoda”, Artikel Jawa Pos, 2003

Strisno Kompol, “Majalah Semiru” Polda Jatim, edisi, Juni 2006

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan Terhadap Penetapan Hasil Pilkada.

DAFTAR RIWAYAT HIDUP PENULIS

FOTOKU

Nurus Zaman,SH, MH, adalah Putra dari Bapak Moh. Kultubi Hoddin dan Ibu Siti Munifah Mubassyir, Ia adalah anak yang ketiga dari lima bersaudara,. Di lahirkan di sebuah desa kecil Pangarengan Sampang pada tanggal 21 Oktober 1973, menyelesaikan Sekolah Dasar pada SDN Pangarengan I, Sekolah Tingkat Pertama pada SMPN Torjun I, dan Madrasah Aliyah  Almas’udiyah Sreseh Sampang. Sarjana Hukum Lulus pada tahun 1999 dari Universitas Islam Malang, Magister Ilmu Hukum di tempuh di Universitas Airlangga Surabaya. Sekarang menjadi dosen tetap pada Fakultas Hukum Universitas Trunjoyo Madura, selain itu juga pernah menjadi dosen kehormatan pada Universitas Islam Malang Tahun 2001-2005, dan dosen kehormatan pada Universitas Muhammadiyah Surabaya Tahun 2001-2005. Selain sering menulis di media massa juga aktif mengikuti seminar baik tingkat regional mupun nasional. Buku yang pernah di tulis (1) Upaya Peningkatan Pelayanan Publik Kabupaten Sampang, 2005. (2) Mengenal Lebih Jauh Bupati Sampang, 2005. (3) Potensi Konflik Pilkada Sampang 2006, dan sekarang dalam proses mempersiapkan penulisan buku tentang “Otonomi Daerah antara Kebutuhan dan Kebuntuan”

Pengalaman organisasi.

– Menjadi Pengurus Senat Mahasiswa  FH Universitas Islam Malang

– Menjadi Pengurus Badan Perwakilan Mahasiswa FH Universitas Islam Malang

– Aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Malang tahun 1998-2001

– Menjadi Pengurus Pada Forum Komunikasi Mahasiswa Madura  Malang raya

– Deawan Pakar Pada Jaringan Intelektual Mahasiswa Sampang Malang Raya

– Pengurus Lembaga Advokasi dan Pelayanan Publik Kota Malang tahun 1998-2001

– Peneliti pada Cetre of Public Policy Studies Jawa Timur sampai Sekarang

– Ketua Pusat kajian Kebijakan Publik Kabupaten Sampang sampai Sekarang

– Ketua Bidang Pemerintahan  Lembaga Monitoring Pendidikan dan Pelayanan Publik JawaTimur sampai Sekarang

Continue Reading