SEJUMLAH PROBLEM DALAM REKRUTMEN HAKIM

Jakarta – Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi telah memberikan persetujuan prinsip formasi untuk calon hakim tahun 2017 sebanyak 1.684. Hal itu merupakan respons atas Ketua Mahkamah Agung (MA) maupun Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) yang sering mengeluhkan perihal kurangnya jumlah sumber daya hakim, baik di lingkungan Pengadilan Negeri (PN), Pengadilan Agama (PA) dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Tidak hanya kepada media, IKAHI juga pernah menemui Presiden Jokowi guna menyampaikan aspirasinya perihal minimnya jumlah hakim dikarenakan sudah tujuh tahun tidak ada penerimaan hakim di Indonesia.

Kondisi yang demikian tentu tidak terhindarkan, mengingat apabila melihat beban kerja dan volume perkara MA pada 2016 yang mencapai 12 ribu lebih, maka tidak terelakkan apabila kebutuhan hakim pada tingkat pertama dan banding mencapai sekitar 12.847 orang, sementara jumlah hakim yang ada saat ini hanya berkisar 7.989 orang. Artinya, MA masih kekurangan sebanyak 4.858 orang hakim.

Guna merespons kekurangan hakim tersebut, baru-baru ini MA mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 2 tahun 2017 tentang Pengadaan Hakim. Peraturan tersebut mengatur tentang tahapan pengadaan hakim yang diawali dengan Perencanaan, Pengumuman Pengadaan Hakim, Pelamaran, Pelaksanaan Seleksi, Pengumuman Hasil Seleksi, Pengangkatan sebagai CPNS/Calon Hakim, Pendidikan Calon Hakim dan Pengangkatan sebagai Hakim.

Sedangkan, pelaksanaan seleksinya terdiri atas Seleksi Administrasi, Seleksi Kompetensi Dasar, Seleksi Kompetensi Bidang, Seleksi Substansi Hukum, Psikotes, dan Wawancara. Khusus calon hakim Pengadilan Agama wajib bisa baca kitab.

Atas dikeluarkannya Perma tentang Pengadaan Hakim tersebut, muncul berbagai perdebatan publik, baik yang bernada setuju ataupun yang tidak setuju. Menurut perspektif dan pandangan penulis setidaknya memang terdapat beberapa problem atas disahkannya Perma tersebut.

Pertama, kedudukan hakim sebagai Pejabat Negara tidak cukup dalam hal pengaturan mengenai rekrutmen dan pengadaannya diatur hanya dengan ketentuan peraturan perundang-undangan berupa atau setingkat Perma. Meskipun tidak dilarang, hal itu tentu akan menjadi preseden yang kurang baik dalam rangka tertib penyelenggaraan asas pembentukan peraturan perundang-undangan. Utamanya, berkaitan dengan asas kesesuaian antara jenis, hierarki dan materi muatan peraturan perundang-undangan.

Sudah semestinya posisi dan kedudukan hakim sebagai Pejabat Negara dalam hal rekrutmennya diatur melalui undang-undang sebagai bagian dari pengaturan lebih lanjut perihal kekuasaan kehakiman yang tertuang dalam UUD 1945.

Kedua, MA yang memposisikan calon hakim sebagai calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) dan/atau Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebelum diangkat menjadi hakim, menurut hemat penulis berlebihan serta telah mengurangi wibawa dan kedudukan hakim sebagai Pejabat Negara.

Mestinya hakim sebagai Pejabat Negara tidak dipandang sebagai CPNS atau PNS meskipun belum diangkat sebagai hakim sekalipun. Akan tetapi, kedudukannya tetap sebagai Calon Pejabat Negara. Hal itu dikarenakan posisi dan kedudukan antara CPNS, PNS dan Pejabat Negara sangatlah jauh berbeda dalam struktur organisasi Sistem Penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan di Indonesia.

Ketiga, sistem pengadaan hakim tentu sangat berbeda dengan sistem pengadaan CPNS atau PNS pada umumnya. Hakim yang berkedudukan sebagai Pejabat Negara tidak mungkin disamakan dalam hal rekrutmentnya dengan CPNS atau PNS yang selama ini telah sering dilakukan dalam upaya menjaring calon hakim di Indonesia.

Cara pandang MA yang demikian tentu merupakan cara pandang lama. Di masa lampau, sistem rekrutmen hakim mengikuti sistem rekrutmen CPNS pada umumnya, sebab pada waktu itu kedudukan hakim belum secara tegas diakui sebagai Pejabat Negara.

Keempat, Perma tentang Pengadaan Hakim telah menegasikan peran serta dan partisipasi masyarakat dalam rekrutmen hakim. Hal itu dapat tercermin dalam ketentuan yang mengatur tentang pelaksanaan Pengadaan Hakim dalam Perma yang cenderung tertutup, yang hanya dilakukan oleh internal MA.

Tidak terdapat ruang publik bagi upaya berpartisipasi guna menjaring calon hakim dan hakim yang diharapkan dapat berperilaku adil, jujur, arif dan bijaksana, serta berintegritas tinggi, bertanggung jawab, menjunjung tingi harga diri, berdisiplin tinggi, rendah hati, serta bersikap professional sesuai dengan kode etik dan pedoman perilaku hakim.

Kelima, pengaturan pengadaan hakim oleh MA yang hanya dapat dilaksanakan apabila telah mendapat penetapan kebutuhan CPNS oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara merupakan bagian pengkerdilan posisi dan kedudukan MA sebagai lembaga yudikatif dalam menjalankan peran dan fungsinya sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman.

Mestinya sebagai organ negara yang bersifat yudisial, MA tidak perlu meminta persetujuan apalagi meminta penetapan lembaga atau kementerian terkait lainnya. Kalaupun diperlukan, sifatnya hanya sebatas koordinasi, bukan meminta penetapan yang seolah-seolah MA berada di bawah lembaga/kementerian lainnya.

Keenam, problem berkaitan dengan calon hakim yang dinyatakan tidak lulus dalam pendidikan calon hakim, akan diberhentikan dengan hormat sebagai pegawai negeri sipil. Pengaturan yang demikian tentu bukan tidak mungkin akan banyak calon hakim yang tidak lulus ujian profesi hakim. Hal itu mengingat kedudukan hakim selain sebagai Pejabat Negara juga sebagai Pejabat Profesi.

Posisi hakim sebagai Pejabat Profesi sangat menuntut adanya profesionalisme di bidang tertentu yang harus dikuasai oleh calon hakim. Ini sangat berhubungan dengan mekanisme rekrutmen yang menyamaratakan antara rekrutmen hakim dengan rekrutmen CPNS pada umumnya. Tentu bukan tidak mungkin dengan sistem yang demikian akan banyak PNS yang akan diberhentikan secara dini dikarenakan tidak lulus pendidikan profesi hakim.

Ketujuh, problem berkaitan dengan tingkat kematangan berpikir dan berperilaku hakim. Hal ini berkaitan erat dengan syarat usia calon hakim sebagaimana diatur dalam beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan yakni paling rendah 25 tahun.

Meskipun tidak selamanya kedewasaan dapat ditentukan dengan umur, akan tetapi juga akan memperngaruhi tingkat emosi dan pengambilan keputusan dalam menyelesaikan berbagai macam masalah hukum yang harus diselesaikan oleh hakim yang bersangkutan.

Seperti dalam negara-negara yang menganut sistem hukum common law, profesi hakim memang dijabat oleh praktisi atau akademisi hukum yang berpengalaman. Sebelum menjadi hakim, mereka biasanya malang-melintang terlebih dahulu di profesi hukum. Sehingga tidak salah apabila salah satu syarat untuk menjadi hakim harus berusia minimal 40 tahun.

Tuntaskan RUU Jabatan Hakim

Dengan berdasar pada beberapa problem rekrutmen hakim seperti yang telah penulis urai di atas, seyogyanya MA dengan arif dan bijak tidak terburu-terburu memutuskan dan melaksanakan Perma Pengadaan Hakim yang baru dibuatnya. Dengan berbagai macam pertimbangan tentang konsekuensi yang akan dihadapi, diharapkan MA dapat menunda pelaksanaan Perma Pengadaan Hakim hingga RUU Jabatan Hakim disahkan dan diundangkan oleh Pemerintah bersama DPR.

Di sisi lain, juga muncul harapan publik utamanya bagi Pemerintah dan DPR untuk dapat segera menuntaskan pembahasan RUU Jabatan Hakim, sehingga masyarakat pencari keadilan tidak terkena imbas akibat dari kurangnya jumlah hakim di Indonesia. Sehingga pada akhirnya akses warga negara terhadap kebutuhan akan keadilan sebagaimana tertuang dalam Pancasila dan UUD 1945 dapat tercapai dengan optimal.

Selain itu, diharapkan MA juga intensif melakukan koordinasi dan komunikasi baik dengan Pemerintah dan DPR guna mengupayakan dan memprioritaskan pembahasan RUU Jabatan Hakim untuk dapat segera diselesaikan dan dituntaskan. Sehingga, kebutuhan penambahan sumber daya hakim yang saat ini sudah sangat penting dan mendesak dapat segera terselesaikan dengan diundangkannya UU Jabatan Hakim.

Tentunya UU tersebut telah dengan optimal diperhitungkan dari segala kemungkinan jalan keluar atas problem berkaitan dengan rekrutmen hakim yang berkualitas dan berintegritas, sesuai dengan tugas pokok dan fungsi hakim. Sehingga pada akhinya benar-benar dapat memberikan keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat pencari keadilan.

 

Link : SEJUMLAH PROBLEM DALAM REKRUTMEN HAKIM

Continue Reading

DISKURSUS PEMBATALAN PERDA DAN SOLUSINYA

Mahkamah Konstitusi (MK) kembali membuat putusan yang menimbulkan kontroversi. Publik kembali dikejutkan dengan adanya pemangkasan kewenangan Mendagri dan Gubernur dalam upaya pengawasan terhadap peraturan daerah (perda) yang bermasalah.

Melalui Putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015 pada tanggal 5 April 2017, MK Mengabulkan permohonan untuk sebagian berkaitan dengan kewenangan Pembatan Perda Kabupaten/Kota oleh Gubernur/Menteri sebagaimana tertuang dalam Pasal 251 ayat (2) dan ayat (3) UU Pemda yang dinyatakan bertentangan (inkonstitutional) dengan Undang-Undang Dasar 1945. Sehingga apabila berdasar pada putusan tersebut, baik Gubernur/Mendagri tidak lagi memiliki kewenangan dalam hal pembatan Perda didaerah.

Apabila kita melihat dan memahami dari pertimbangan hakim dalam Putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015, tampak terlihat terdapat perbedaan pendapat (dissenting opinion) yang bersifat substantif dan signifikan, dimana terdapat empat hakim konstitusi yang menyatakan perbedaan pendapatnya berkaitan dengan Putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015. Artinya putusan tersebut juga terjadi perdebatan yang serius dikalangan hakim konstitusi sendiri.

Dalam pertimbangannya, MK menyatakan keberadaan Pasal 251 ayat (2) dan ayat (3) UU Pemda telah menegasikan peran dan fungsi Mahkamah Agung sebagai lembaga yang berwenang melakukan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, dalam hal ini Perda Kabupaten/Kota, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 24A ayat (1) UUD 1945.

Selain itu MK menyatakan bahwa Keputusan Gubernur bukanlah bagian dari tata urutan dalam hirarki peraturan perundang-undangan, sehingga tidak dapat dijadikan produk hukum untuk membatalkan Perda Kabupaten/Kota. Dengan kata lain, Perda Kabupaten/Kota yang berbentuk peraturan (regeling) tidak dapat dibatalkan dengan Keputusan Menteri/Keputusan Gubernur yang berbentuk keputusan (beschikking).

Namun disisi yang lain, terdapat perspektif dan pandangan empat Hakim Konstitusi yang berbeda (dissenting opinion) terhadap pandangan dan argumentasi hukum lima Hakim Konstitusi lainnya, diantaranya Pertama menyatakan bahwa Indonesia selain sebagai negara hukum juga sebagai negara kesatuan. Untuk itu dalam konsep negara kesatuan akan berlaku pula satu sistem hukum baik bagi pemerintah di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Sehingga kewenangan Pembatalan Perda oleh Pemerintah pusat melalui Kemendagri merupakan bagian dari perwujudan pelaksanaan pemerintahan dalam konsep negara kesatuan.

Kedua, Kewenangan Kepala Daerah dan DPRD dalam pembentukan Perda harus dipandang sebagai kewenangan yang bersifat Atributif (attributie van wetgevingsbevoegheid) yang berasal dari UU maupun yang langsung dari UUD 1945.  Sedangkan Perda bukanlah peraturan yang bersifat delegatif dari UU Pemda, sehingga apabila Perda dianggap bersifat delegatif dari UU Pemda, maka yang demikian akan menyalahi prinsip pelimpahan kewenangan yang tidak berjenjang dalam pemebentukan peraturan perundang-undangan yang melampaui Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri.

Ketiga, hakikat pembatalan Perda pada dasarnya dilakukan dikarenakan tidak memenuhi syarat formal dan substantif untuk melindungi masyarakat atau pihak-pihak yang dirugikan. Pembatalan tersebut dapat dilakukan oleh pejabat pembuat keputusan, atasan pembuat keputusan atau Pengadilan. Secara konstitusional Presidenlah yang bertanggung jawab atas pemerintahan tertinggi, sehingga dengan demikian benar apabila Presiden melalui Mendagri/Gubernur mengambil tindakan pembatalan terhadap Perda yang bertentangan dengan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum dan/atau kesusilaan.

Perdebatan tentu tidak hanya selesai dimeja hakim konstitusi, dalam penerapan dan penegakannya dilapangan juga menimbulkan pro dan kontra, baik pada tataran pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Seperti yang dapat kita lihat dalam beberapa pemberitaan beberapa hari terakhir ini, Kemendagri tampak masygul melihat dan mendengar adanya Putusan MK yang memangkas kewenangannya yang selama ini telah berjalan dengan baik guna mengantisipasi terhadap adanya Perda-perda yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan serta asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Namun, terhadap beberapa perbedaan pendapat hakim (dissenting opinion) sebagaimana tersebut diatas, tidaklah mengurangi nilai keberlakuan dan mengikatnya Putusan MK. Karena sebagaimana diketahui Putusan MK bersifat final dan mengikat (final and binding), artinya putusan langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan. Selain itu Putusan MK juga bersifat Erga Omnes, yakni putusan tersebut merupakan Putusan Publik, yang berarti putusan tersebut berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia. Selain itu Putusan MK berlaku asas res judicata pro veritate habetur, yang berarti apa yang diputus hakim harus dianggap benar dan harus dilaksanakan. Sehingga dengan demikian tidak ada alasan untuk tidak melaksanakan Putusan MK (Asas Self Respect).

Solusi Efektif

Dengan berdasar pada Putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015 sebagaimana telah diurai diatas, maka akan berlaku era baru dalam mekanisme Pembatalan Perda, yakni pembatalan Perda hanya dapat dilakukan oleh lembaga peradilan, dalam hal ini melalui Pengujian Peraturan Perundang Undangan dibawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang.

Sebagaimana diketahui pada awalnya hanya berlaku dua mekanisme Pembatalan Perda, yakni melalui melanisme pembatatalan Perda oleh Mendagri/Gubernur, atau sering dikenal dengan istilah Executive Review. Sedangkan yang kedua melalui mekanisme pembatalan perda dengan pengujian oleh lembaga Peradilan dalam hal ini Mahkamah Agung atau yang sering disebut sebagai (Jucial Review).

Terhadap adanya pemberian kewenangan pembatalan Perda yang hanya dapat dilakukan lembaga Peradilan (Judial Review), maka setidaknya menurut analisis dan pandangan penulis terdapat tiga hal yang harus diperhatikan untuk dapat memastikan keberlangsungan pembentukan Perda yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum dan/atau kesusilaan.

Pertama, Pemerintah dalam hal ini melalui Kemendagri dapat mengintensifkan peran dan fungsi pengawasan antisipatif (preventif) terhadap rancangan perda yang belum disahkan oleh Pemerintah daerah atau sering dikenal dengan istilah (executive preview), hal itu dapat dilakukan guna meminimalisir kemungkinan munculnya Perda-perda yang akan bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Seperti halnya sistem yang berlaku di negara Perancis, yakni lebih mengutamakan  Preview daripada Review. Selain itu juga dapat dilakukan dengan mengoptimalkan fungsi Educatif atau pemberian pendidikan tentang mekanisme pembentukan Perda yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Kedua, Pemerintah Daerah baik Kepala Daerah maupun DPRD diharapkan juga dapat menahan diri serta dapat menyaring terhadap kemungkinan pembentukan Perda-perda yang berpeluang bertentangan dengan perarutan perundang-undangan yang lebih tinggi sehingga pada akhirnya dapat diajukan Uji Materi ke Mahkamah Agung.

Ketiga, dengan adanya kewenangan pembatalan perda yang hanya dapat dilakukan melalui mekanisme Yudicial Review, maka tentu akan mempengaruhi terhadap peluang banyaknya Uji Materi ke Mahkamah Agung terhadap Perda-perda yang dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, sehingga dengan demikian juga akan menyebabkan membludaknya perkara permohonan hak uji materi Pembatalan Perda. Untuk itu mau tidak mau juga menuntut adanya profesionalisme hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara yang berkaitan dengan Uji Materi Perda baik yang disahkan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota.

Terakhir yang menjadi harapan penulis semoga dengan adanya pemberian kewenangan pembatalan Perda hanya pada lembaga Peradilan melalui mekanisme Uji Materi, diharapkan tidak menjadikan Pemerintah Daerah untuk bertindak hanya dengan atas dasar kepentingan pribadi atau golongan dalam pembentukan Perda. Untuk itu diperlukan sinergi baik Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan Masyarakat guna bersama-sama berperan aktif dalam pembentukan Perda yang responsif dan populis, tujuannya adalah untuk mengantisipasi terhadap segala kemungkinan munculnya Perda-perda yang tidak sesuai dengan Peraturan perundangan yang lebih tinggi serta asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Link : Diskursus Pembatan Perda dan Solusinya

Continue Reading

PEMBATALAN PERDA PENGHAMBAT INVESTASI

Pemerintah sedang gencar-gencarnya mengoptimalkan peningkatan investasi yang ada didaerah. Adapun salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan mengeluarkan paket kebijakan deregulasi XII yang berkaitan dengan kemudahan memulai usaha serta perbaikan dalam rangka memangkas prosedur yang harus dilalui oleh pelaku usaha.

Ironisnya, di tengah upaya yang dilakukan pemerintah tersebut, justru dalam praktek dilapangan seringkali terkendala oleh banyaknya Peraturan Daerah (Perda) yang ditengarai dapat menghambat peningkatan investasi di daerah. Untuk itu dalam kurun waktu tahun 2016 Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) setidaknya telah membatalkan 3.143 perda yang dianggap dapat menghambat pertumbuhan ekonomi daerah serta memperpanjang jalur birokrasi yang berimbas terhadap terhambatnya investasi dan kemudahan berusaha didaerah.

Namun dalam perjalanannya, niat baik dan keinginan Pemerintah tersebut bukan tanpa halangan. Pada tanggal 5 April 2017 Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015, menyatakan bahwa kewenangan Pembatan Perda Kabupaten/Kota oleh Gubernur/Menteri sebagaimana tertuang dalam Pasal 251 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Pemeritahan Daerah (Pemda) dinyatakan bertentangan (inkonstitutional) dengan Undang-Undang Dasar 1945.

Melalui Putusan MK tersebut, tentu menjadi pukulan keras bagi Pemerintah utamanya Kemendagri yang selama ini diberikan amanat oleh Presiden untuk membenahi peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan peningkatan dan pengembangan iklim investasi yang ada didaerah, salah satu yang dilakukan adalah dengan memangkas dan membatalkan Perda-perda yang dinilai mempersulit serta menghambat proses investasi di daerah.

Apabila kita lihat dan pahami dari pertimbangan hakim dalam Putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015, tampak terlihat terdapat perbedaan pendapat (dissenting opinion) yang bersifat substantif dan signifikan, dimana terdapat empat hakim konstitusi yang menyatakan perbedaan pendapatnya berkaitan dengan Putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015.

Dalam pertimbangannya, MK menyatakan keberadaan Pasal 251 ayat (2) dan ayat (3) UU Pemda telah menegasikan peran dan fungsi Mahkamah Agung sebagai lembaga yang berwenang melakukan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, dalam hal ini pembatalan Perda Kabupaten/Kota oleh Gubernur/Menteri, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 24A ayat (1) UUD 1945.

Selain itu MK menyatakan bahwa Keputusan Gubernur bukanlah bagian dari tata urutan dalam hirarki peraturan perundang-undangan, sehingga tidak dapat dijadikan produk hukum untuk membatalkan Perda Kabupaten/Kota. Dengan kata lain, Perda Kabupaten/Kota yang berbentuk peraturan (regeling) tidak dapat dibatalkan dengan Keputusan Menteri/Keputusan Gubernur yang berbentuk keputusan (beschikking).

Namun hemat penulis, apapun terhadap adanya beberapa perbedaan pendapat hakim (dissenting opinion) sebagaimana tersebut diatas, tentunya tidaklah mengurangi nilai keberlakuan dan mengikatnya Putusan MK. Karena sebagaimana diketahui Putusan MK bersifat final dan mengikat (final and binding), artinya putusan langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan. Selain itu Putusan MK juga bersifat Erga Omnes, yakni putusan tersebut merupakan Putusan Publik, yang berarti putusan tersebut berlaku juga bagi pihak-pihak yang berada diluar sengketa, dalam hal ini bagi seluruh rakyat Indonesia.

Selain itu Putusan MK juga berlaku asas res judicata pro veritate habetur, yang berarti apa yang diputus hakim harus dianggap benar dan harus dilaksanakan. Sehingga dengan demikian tidak ada alasan untuk tidak melaksanakan Putusan MK, meskipun tanpa adanya upaya paksa oleh pihak manapun untuk menjalankan Putusan MK (Asas Self Respect).

Namun yang pasti dengan adanya Putusan MK berkenaan dengan pencabutan kewenangan Kemendagri dalam hal pembatalan perda tersebut, tentu akan memunculkan beberapa problem, utamanya terhadap potensi lahirnya Perda-perda yang dapat menghambat proses investasi yang ada didaerah. Untuk itu diperlukan solusi dan langkah-langkah nyata guna mengantisipasi terhadap adanya kehilangan kontrol Kemendagri terhadap pemerintah daerah dalam hal pembentukan perda yang tidak pro terhadap investasi didaerah.

Langkah Progresif

Dengan berdasar pada Putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015 sebagaimana telah diurai diatas, maka akan berlaku era baru dalam mekanisme Pembatalan Perda, yakni pembatalan Perda hanya dapat dilakukan oleh lembaga peradilan, dalam hal ini melalui Pengujian Perda ke Mahkamah Agung.

Sebagaimana diketahui pada awal sebelum adanya putusan MK, berlaku dua mekanisme Pembatalan Perda, yakni Pertama melalui melanisme pembatatalan Perda oleh Mendagri/Gubernur, atau sering dikenal dengan istilah (Executive Review). Yang kedua, melalui mekanisme pembatalan perda dengan pengujian oleh lembaga Peradilan dalam hal ini Mahkamah Agung atau yang sering disebut sebagai (Jucial Review).

Pasca Putusan MK, dengan adanya pemberian kewenangan pembatalan Perda hanya melalui lembaga Peradilan (Judial Review), maka setidaknya menurut analisis dan pandangan penulis terdapat tiga hal yang harus diperhatikan untuk dapat memastikan keberlangsungan pembentukan Perda yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum dan/atau kesusilaan serta tidak menghambat terhadap proses investasi yang ada didaerah.

Pertama, Pemerintah dalam hal ini melalui Kemendagri dapat mengintensifkan peran dan fungsi pengawasan antisipatif (preventif) terhadap rancangan perda yang belum disahkan oleh Pemerintah daerah atau sering dikenal dengan istilah (executive preview), hal itu dapat dilakukan guna meminimalisir kemungkinan munculnya Perda-perda yang akan bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi serta dapat menghampat proses investasi yang ada didaerah. Selain itu juga dapat dilakukan dengan mengoptimalkan fungsi Educatif atau pemberian pendidikan dan penyadaran tentang mekanisme pembentukan Perda yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik serta sesuai dengan pembangunan perekonomian dan investasi yang ada didaerah.

Kedua, Pemerintah Daerah baik Kepala Daerah maupun DPRD diharapkan juga dapat menahan diri, serta dapat menyaring terhadap kemungkinan pembentukan Perda-perda yang berpeluang bertentangan dengan perarutan perundang-undangan yang lebih tinggi dan dapat menghambat proses investasi yang ada didaerah, sehingga pada akhirnya Pemerintah Daerah juga dapat berperan guna memajukan perekomian dan pembangunan daerah.

Ketiga, dengan adanya kewenangan pembatalan perda yang hanya dapat dilakukan melalui mekanisme Yudicial Review, maka tentu akan berpengaruh terhadap peluang banyaknya Uji Materi Perda-perda yang tidak pro terhadap investasi didaerah ke Mahkamah Agung. Terhadap banyaknya kemungkinan Uji Materi Perda-perda yang dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi serta dianggap tidak pro terhadap pembangunan investasi didaerah, maka akan menyebabkan membludaknya perkara permohonan hak uji materi Pembatalan Perda di Mahkamah Agung. Untuk itu juga diperlukan adanya profesionalisme hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara yang berkaitan dengan Uji Materi Peraturan Perundang-Undangan dibawah Undang-undang terhadap Undang-Undang berkaitan dengan Perda yang ditengarai menghambat peningkatan investasi di daerah.

Terakhir yang menjadi harapan penulis semoga dengan adanya pemberian kewenangan pembatalan Perda hanya pada lembaga Peradilan melalui mekanisme Uji Materi di Mahkamah Agung, diharapkan tidak menjadikan Pemerintah Daerah untuk bertindak hanya dengan atas dasar kepentingan pribadi atau golongan dalam pembentukan Perda yang berkaitan dengan peningkatan pembangunan investasi daerah. Selain itu masyarakat juga diharapkan dapat berperan aktif dalam pembentukan Perda yang tidak menghambat peningkatan investasi di daerah.

Untuk mengantisipasi terhadap segala kemungkinan munculnya Perda-perda yang tidak pro terhadap pembangunan investasi didaerah, diperlukan komitmen bersama, baik Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah serta masyarakat untuk bersama-sama mengawal demi terciptanya Perda-perda yang pro terhadap pembangunan dan pengembangan investasi di daerah. Namun tidak menutup kemungkinan apabila terdapat Perda yang dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi serta tidak pro terhadap pembangunan investasi didaerah, maka demi keadilan masyarakat diharapkan untuk tidak segan-segan guna mengajukan Uji Materi Perda tersebut ke Mahkamah Agung.

Link : Pembatalan Perda Penghambat Investasi

Continue Reading

TAFSIR MA ATAS PEMBATASAN KASASI DALAM PERKARA TUN

Salah satu unsur Negara Hukum (Rechtstaat) adalah adanya Peradilan Tata Usaha Negara, yang tujuannya untuk melindungi rakyat dari Perbuatan Melawan Hukum oleh Penguasa (Onrechtmatige Overheidsdaad). Pembahasan mengenai Perkara dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) selalu menarik untuk dikaji, hal ini mengingat dalam sengketa TUN pihak Tergugat selalu adalah Badan/Pejabat Tata Usaha Negara, sedangkan pihak Penggugat adalah Orang/Badan Hukum Perdata.

Muncul prolematika dan perdebatan hukum pasca diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, utamanya Pasal 45 A ayat (2) huruf c tentang pembatasan hak pengajuan kasasi terhadap perkara tata usaha Negara. Perdebatan itu didasarkan pada Pasal 131 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang masih mengatur upaya hukum Kasasi terhadap Putusan tingkat terakhir Pengadilan.

Terhadap adanya konflik Norma antara Pasal 45 A ayat (2) huruf c UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang MA dengan Pasal 131 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN, pernah dilakukan uji materi yang terregister dengan perkara No. 23/PUU-V/2007. Namun atas uji materi tersebut Mahkamah Konstitusi pada tanggal 14 Januari 2008 menyatakan menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya, dengan pertimbangan dalil pemohon yang menyatakan pemberlakuan pasal itu telah menimbulkan perlakuan diskriminatif adalah tidak tepat, pembatasan kasasi dalam perkara TUN tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai peraturan yang menimbulkan perlakuan diskriminatif, pembatasan perkara TUN yang hanya sampai tingkat banding tidak melanggar hak asasi warga negara untuk mendapat keadilan. Sebab, putusan tingkat banding perkara TUN masih dapat diajukan upaya hukum luar biasa berupa Peninjauan Kembali (PK).

Apabila melihat naskah pembahasan UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang MA utamanya Pasal 45 A ayat (2) huruf c tentang pembatasan hak pengajuan kasasi terhadap perkara Tata Usaha Negara, maka tidak dijelaskan mengenai tafsir terhadap diaturnya ketentuan Pasal 45 A ayat (2) huruf c tersebut, yang ada hanya dasar sosiologis diaturnya atas Pasal tersebut, diantaranya (1) adanya kecenderungan pengajuan upaya hukum ke tingkat kasasi yang tidak diimbangi dengan kecepatan putusan perkara, (2) kelambanan dan kurang profesionalnya aparatur peradilan di MA, (3) terdapatnya indikasi Kolusi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dan (4) belum adanya peraturan yang tegas mengenai pembatasan perkara kasasi.

Terhadap berlakunya ketentuan UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang MA utamanya Pasal 45 A ayat (2) huruf c tentang pembatasan hak pengajuan kasasi terhadap perkara Tata Usaha Negara, dalam praktik hukum setidaknya terdapat 3 (tiga) tafsir hukum. Pertama, terhadap Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh Pejabat Daerah dalam hal ini Gubernur/Bupati/Walikota beserta struktural dibawahnya, maka berlakulah ketentuan Pasal 45 A ayat (2) huruf c UU No. 5 Tahun 2004, artinya menganut sistem 2 (dua) tingkat yakni tingkat Pertama dan Banding, sedangkan dalam hal Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh Pejabat Pusat (Nasional) maka ketentuan Pasal 45 A ayat (2) huruf c UU No. 5 Tahun 2004 tidak dapat diterapkan, artinya tetap berlaku 3 (tiga) tingkat yakni Pertama, Banding dan Kasasi.

Tafsir Kedua, didasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, apabila Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh Pejabat Daerah dalam hal ini Gubernur/Bupati/Walikota dengan mendasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Daerah dalam hal ini Peraturan Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota atau Peraturan Kepala Daerah lainnya, maka berlakulah ketentuan Pasal 45 A ayat (2) huruf c UU No. 5 Tahun 2004, artinya menganut sistem 2 (dua) tingkat yakni tingkat Pertama dan Banding, sedangkan dalam hal Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh Pejabat Daerah atau Pejabat Pusat (Nasional) yang mendasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat dalam hal ini Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Peraturan Perundang-Undangan lainnya yang dikelurkan oleh Pejabat Pusat (tingkat Nasional) maka ketentuan Pasal 45 A ayat (2) huruf c UU No. 5 Tahun 2004 tidak dapat diterapkan, artinya tetap berlaku 3 (tiga) tingkat yakni Pertama, Banding dan Kasasi.

Tafsir Ketiga, yang juga merupakan tafsir Penulis pada saat itu adalah didasarkan pada kewenangan dalam hal menjalankan urusan Pemerintahan, apabila Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh Badan/Pejabat Pejabat TUN didasarkan pada kewenangan yang bersifat Desentralisasi, maka berlakulah ketentuan Pasal 45 A ayat (2) huruf c UU No. 5 Tahun 2004, artinya menganut sistem 2 (dua) tingkat yakni tingkat Pertama dan Banding, sedangkan dalam hal Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh Badan/Pejabat TUN dalam rangka menjalankan kewenangan Dekonsentrasi atau Tugas Pembantuan, maka ketentuan Pasal 45 A ayat (2) huruf c UU No. 5 Tahun 2004 tidak dapat diterapkan, artinya tetap berlaku 3 (tiga) tingkat yakni Pertama, Banding dan Kasasi.

Ketiga tafsir itulah yang terjadi dilapangan, tidak hanya bagi Penggugat dalam hal ini Orang/Badan Hukum Perdata, maupun Tergugat dalam hal ini Badan/Pejabat Tata Usaha Negara, Hakimpun dalam Putusannya tidak jarang sering berbeda pandangan mengenai Pemberlakukan ketentuan Pasal 45 A ayat (2) huruf c UU No. 5 Tahun 2004. Hingga pada akhirnya terdapat Putusan Mahkamah Agung Nomor 213 K/TUN/2007 tertanggal 6 November 2007 mengenai Pembatasan Upaya Hukum Kasasi berdasarkan Pasal 45A ayat (2) huruf c UU No. 5 Tahun 2004, yang pada intinya dalam pertimbangannya menyatakan Bahwa untuk menetukan apakah suatu Keputusan Pejabat jangkauannya berlaku hanya pada daerah yang bersangkutan atau tidak, haruslah dilihat dari kasus demi kasus, apabila kewenangan Pejabat yang bersangkutan a quo memang didasarkan pada suatu peraturan yang murni bersifat regional (daerah) atas dasar desentralisasi dan otonomi daerah yang secara atributif memberikan kewenangan pada daerah yang bersangkutan, misalnya berdasarkan kepada Peraturan Daerah, maka dalam hal tersebut Keputusan Pejabat yang bersangkutan memang hanya menjangkau daerahnya, sehingga kasus demikian Pasal 45A ayat (2) huruf c UU No. 5 tahun 2004 dapat diterapkan.

Akan tetapi sebaliknya apabila kewenangan pejabat yang bersangkutan itu bersifat derivative (turunan) dari peraturan yang berlaku nasional, tidak hanya bersifat regional, maka jangkauan tidak bersifat terbatas dalam daerahnya saja, tetapi juga bersifat keluar melampaui batas-batas wilayah daerahnya. Maka dalam hal demikian Pasal 45A ayat (2) huruf c tersebut tidak dapat diterapkan, sehingga ukuran tidak hanya dilihat bahwa pejabat yang menerbitkan Keputusan itu adalah seorang Bupati atau Walikota atau Gubernur, yang kewenangannya hanya mempunyai jangkauan daerah saja, tetapi dilihat dari sumber kewenangannya, apakah berdasarkan pada Peraturan daerah atau yang setingkat, ataukah pada suatu peraturan yang dapat menjangkau wilayah Nasional. Bahwa untuk menentukan objek Gugatan berupa Keputusan Pejabat Daerah tersebut memenuhi syarat untuk diajukan upaya hukum kasasi, pada prinsipnya adalah apabila keputusan pejabat daerah dalam rangka melaksanakan kewenangan Pemerintah Pusat, hal ini harus dilihat pada peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Keputusan Pejabat Daerah yang merupakan objek gugatan tersebut.

Akan tetapi dengan adanya Putusan Mahkamah Agung Nomor 213 K/TUN/2007 tertanggal 6 November 2007 mengenai Pembatasan Upaya Hukum Kasasi berdasarkan Pasal 45A ayat (2) huruf c UU No. 5 Tahun 2004 masih dirasa tidak cukup, mengingat tetap saja dilapangan timbul persoalan hukum utamanya berkaitan dengan prosedur dan tata cara pelaksanaan Pasal 45A ayat (2) huruf c UU No. 5 Tahun 2004 berkaitan dengan pembatasan upaya hukum kasasi Perkara TUN tersebut. Yang mana sebelumnya ketentuan mengenai Permohonan Kasasi yang tidak memenuhi syarat formal, tidak diatur secara secara seragam dan tepat oleh Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan, untuk menjawab keraguan itulah kemudian Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penjelasan Ketentuan Pasal 45A Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung dan Surat Edaran Nomor 08 tahun 2011 tentang Perkara Yang Tidak Memenuhi Syarat Kasasi dan Peninjauan Kembali, yang pada intinya mengatur teknis prosedur dan tata cara Permohonan Kasasi yang tidak memenuhi syarat formal yakni dengan dikeluarkan Surat Penetapan Pengadilan Tingkat Pertama yang menyatakan bahwa Permohonan Kasasi tersebut tidak diterima dan berkas perkara tidak dikirim ke Mahkamah Agung. Tentunya Penulis disini tidak atau tanpa mempersoalkan kedudukan Surat Edaran dalam hierarki Peraturan Perundang-Undangan, mengingat pada kenyataan dilapangan produk Surat Edaran Mahkamah Agung jauh lebih dipatuhi oleh segenap lembaga Peradilan dalam setiap tingkatan.

Apabila melihat ketentuan sebagaimana Surat Edaran Nomor 11 Tahun 2010 dan Surat Edaran Nomor 08 tahun 2011, maka dapat disimpulkan belum menentukan batas-batas pemaknaan atau tafsir terhadap Pasal 45A ayat (2) huruf c UU No. 5 Tahun 2004, sehingga dalam praktek dilapangan masih sering dijumpai baik Penggugat maupun Tergugat masih menggunakan argumentasi hukum Pasal 45A ayat (2) huruf c UU No. 5 Tahun 2004 untuk dijadikan senjata pamungkas guna mengganjal upaya hukum Kasasi yang diajukan oleh salah satu pihak.

Kemudian di akhir tahun 2016 Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran Nomor 4 tahun 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung tahun 2016 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan, yang salah satunya memberikan Tafsir terhadap Pasal 45A ayat (2) huruf c UU No. 5 Tahun 2004, yang berdasarkan Rumusan Hukum Kamar Tata Usaha Negara angka 6 pada halaman 14 memberikan kriteria terhadap Pembatasan Upaya Hukum Kasasi dalam Pasal 45A ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 adalah bagi Keputusan pejabat daerah yang berasal dari sumber kewenangan desentralisasi. Tetapi terhadap Keputusan Pejabat daerah yang bersumber dari kewenangan dekonsentrasi ataupun bersumber dari kewenangan pembantuan terhadap pemerintah pusat (medebewin) tetap bisa dilakukan upaya hukum kasasi.

Dengan berdasar pada Surat Edaran Nomor 4 tahun 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung tahun 2016 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan tersebut, maka berakhirlah tafsir liar yang selama ini berlaku di masyarakat, sehingga perdebatan mengenai makna atas Pasal 45 A ayat (2) huruf c UU No. 5 tahun 2004 tentang MA, mengenai pembatasan hak pengajuan kasasi terhadap perkara Tata Usaha Negara menjadi jelas dan tidak dapat ditafsirkan secara parsial. Meskipun hemat penulis hal tersebut perlu dituangkan dalam sebuah dasar hukum yang tegas dan jelas yakni berupa Undang-Undang, sehingga keberlakuannya dapat mengikat secara umum, hal itu dikarenakan tafsir yang dilakukan Mahkamah Agung bukan merupakan tafsir konstitutional ataupun Penafsiran Autentik yang resmi diberikan oleh pembuat undang-undang. Penafsiran Mahkamah Agung hanya merupakan Penafsiran sistematis atas persoalan hukum (question of laws), yang merupakan hasil dari menghubungkan pasal yang satu dengan pasal-pasal yang lain dalam suatu perundang-undangan yang bersangkutan atau pada perundang-undangan hukum lainnya. Namun yang pasti semoga dengan adanya tafsir atas Pasal 45 A ayat (2) huruf c UU No. 5 tahun 2004 tentang MA tersebut kepastian dan keadilan hukum dapat ditegakkan, utamanya dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.

Link : Tafsir MA Atas Pembatasan Kasasi Dalam Perkara TUN

Continue Reading

CONTOH PERMOHONAN UJI MATERI DI MAHKAMAH AGUNG (UJI MATERI PERATURAN DIBAWAH UU TERHADAP UU)

Jakarta,  … Februari   2016

Nomor                        :   …………………………..

Perihal                       :  Permohonan Pengujian Peraturan Kementerian

  Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia

  Nomor 2 /Permen KP/2015 tentang Larangan

  Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela

  (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah

   Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia

   TERHADAP Undang-Undang Republik Indonesia

   Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

Lampiran                    : ………………….

 

Kepada Yth.

Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia

Di

Jakarta

Dengan Hormat,

Perkenankanlah kami :

  1. (can) SAIFUL ANAM, SH., MH. adalah Advocate & Legal Consultant pada “SAIFUL ANAM & PARTNERS” yang beralamat di Jl. HR. Rasuna Said, Kawasan Epicentrum Utama, Mall Epicentrum Walk, Office Suites A529, Kuningan – Jakarta Selatan 12940, HP. 08128577799, Website : www.saplaw.top Email : saifulanam@lawyer.com, berdasarkan surat kuasa khusus Nomor ……………… tertanggal ….. Februari 2016, dalam hal ini bertindak bersama-sama ataupun sendiri-sendiri untuk dan atas nama:
  1. …………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………

Untuk selanjutnya disebut sebagai —————————– Pemohon I

  1. ………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………

Untuk selanjutnya disebut sebagai —————————– Pemohon II

  1. ………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………

Untuk selanjutnya disebut sebagai —————————- Pemohon III

Untuk selanjutnya secara keseluruhan Pemohon tersebut disebut sebagai PARA PEMOHON

Dengan ini Para Pemohon memohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Agung untuk melakukan Pengujian Peraturan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 2/Permen KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia Terhadap Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan;

Bahwa selanjutnya perkenankanlah kami mengemukakan dalil-dalil diajukannya  permohonan pengujian Peraturan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 2/Permen KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia Terhadap Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, yakni sebagai berikut :

  1. PENDAHULUAN

Pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya perikanan pada dasarnya memiliki tujuan untuk meningkatkan kesejahtreraan seluruh masyarakat.  Oleh karena itu kelestarian sumber daya harus dipertahankan sebagai landasaan utama untuk mencapai kesejahteraan tersebut. Dalam konteks otonomi daerah Pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya perikanan diharapkan juga mampu memberikan kontribusi terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah dan pendapatan asli daerah (PAD) sehingga mampu mewujudkan kemandirian dan keadilan ekonomi.  Berkembangnya kemandirian dan keadilan ekonomi di daerah merupakan perwujudan demokrasi ekonomi.  Hal ini akan tercermin pada pemerataan alokasi dan distribusi sumber daya ikan secara efisien dan berkelanjutan kepada masyarakat tanpa memprioritaskan suatu kelompok masyarakat dengan memarginalkan kelompok lainnya. Untuk mendukung hal ini, pemerintah diharapkan mampu memperbaiki aspek kelembagaan. Misalkan, penetapan kebijakan publik, insentif, disinsentif, peraturan yang kondusif bagi pengembangan kegiatan ekonomi perikanan di daerah yang berbasis pada keterlibatan masyarakat setempat dalam pemanfaatan sumber daya alam lokal.

Pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya perikanan akan dapat berjalan dengan baik jika melibatkan partisipasi semua pihak yang terkait, yaitu pemerintah daerah, kalangan dunia usaha, serta masyarakat nelayan kecil didaerah. Adanya partisipasi seluruh pemangku kepentingan akan mewujudkan rasa memiliki dan tanggung jawab untuk bersama-sama menjaga kelestarian sumber daya perikanan tersebut.  Dengan demikian, aspek pengelolaan, pemanfaatan, pengawasan, dan kelestarian menjadi tanggungjawab bersama dari semua komponen masyarakat. Pengelolaan dan pemanfatan sumber daya perikanan harus memperhatikan juga aspek akuntabilitas dan transparansi dalam pelaksanaannya.  Arti prinsip akuntabilitas adalah segala kebijakan dan pengaturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan harus dapat dipertanggungjawabkan kepada publik sehingga masyarakat dapat memberikan penilaian dan evaluasi.  Adapun prinsip transparansi adalah segala keputusan politik, kebijakan publik dan peraturan yang dibuat Pemerintah dan Pemerintah Daerah, diketahui dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam seluruh lapisan masyarakat dilapangan, khususnya yang berkaitan dengan distribusi dan alokasi pemanfaatan sumber daya perikanan.  Hal ini penting agar terwujud pemerintahan yang bersih, bebas kolusi, korupsi dan nepotisme, serta mendapatkan dukungan dari masyarakat luas dalam pelaksanaan otonomi daerah di wilayah laut.

Dalam pelaksanaanya di Indonesia, pemerintah mempunyai peranan yang sangat penting untuk mengelola sumberdaya ikan, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 (Pasal 33) maupun Undang-Undang Perikanan No. 31 tahun 2004, yang intinya memberikan mandat kepada Pemerintah didalam mengelola sumberdaya perikanan untuk kesejahteraan rakyat. Keterlibatan pemerintah didalam pengelolaan sumberdaya ikan ini, menurut (Nikijuluw, 2002) diwujudkan dalam 3 (tiga fungsi), yaitu :

  1. Fungsi Alokasi, yang dijalankan melalui regulasi untuk membagi sumberdaya sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.
  2. Fungsi Distribusi, dijalankan oleh pemerintah agar terwujud keadilan dan kewajaran sesuai pengorbanan dan biaya yang dipikul oleh setiap orang, disamping adanya keberpihakan pemerintah kepada mereka yang tersisih atau yang lemah.
  3. Fungsi Stabilisasi, ditujukan agar kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan tidak berpotensi menimbulkan instabilitas yang dapat merusak dan menghancurkan tatanan social ekonomi masyarakat.

Dalam menjalankan fungsi-fungsi diatas, maka kiranya pemerintah perlu mempertimbangkan cara pandang teleologik sebagaimana diungkapkan oleh Hull dalam Nasoetion (1999), yaitu dengan selalu melihat tujuan atau akibat dari suatu tindakan. Dengan demikian, dalam etika teleologi suatu tindakan dinilai baik apabila tindakan tersebut mempunyai tujuan baik dan mendatangkan akibat yang baik pula (Keraf, 2002). Etika teleology sendiri dikelompokkan menjadi 2 (dua), dimana salah satunya adalah utilitarianisme yang banyak dipergunakan sebagai pegangan didalam menilai sebuah kebijakan yang bersifat public. Selanjutnya (Keraf, 2002) juga mengemukakan terdapat 3 (tiga) kriteria yang dipergunakan dalam teori utilitarianisme sebagai dasar tujuannya, yaitu :

  1. Manfaat, yaitu kebijakan atau tindakan itu mendatangkan manfaat tertentu.
  2. Manfaat terbesar, yaitu kebijakan atau tindakan tersebut mendatangkan manfaat lebih besar atau terbesar bila dibandingkan dengan kebijakan atau tindakan alternatif lain. Dalam kaitan ini, apabila semua alternatif yang ada ternyata sama-sama mendatangkan kerugian, maka tindakan atau kebijakan yang baik adalah yang mendatangkan kerugian terkecil.
  3. Manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang, artinya suatu kebijakan atau tindakan dinilai baik apabila manfaat terbesar yang dihasilkan berguna bagi banyak orang. Semakin banyak orang yang menikmati akibat baik tadi, maka semakin baik kebijakan atau tindakan tersebut.

Di Indonesia pada dasarnya pengelolaan perikanan lebih berkaitan dengan masalah manusia (people problem) dari pada masalah sumberdaya (resources problem). Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa lebih dari 60% produksi perikanan Indonesia dihasilkan oleh perikanan skala kecil, yang banyak menyerap tenaga kerja yang dikenal dengan nelayan kecil. Kaiser dan Forsberg (2001) memberikan beberapa hal yang harus diperhatikan didalam pengelolaan perikanan, yaitu :

  1. Jumlah stakeholder perikanan adalah banyak
  2. Kebijakan pengelolaan harus dapat diterima oleh semua masyarakat
  3. Hormati sebanyak mungkin nilai-nilai yang berkembang di masyarakat
  4. Kebijakan harus mempertimbangkan aspek social, politik dan ekonomi

Cara pandang pengelolaan sumberdaya perikanan seperti ini pada hakekatnya telah dipahami oleh sebagian besar masyarakat perikanan Indonesia. Hanya saja, pada saat ini sebagian besar daerah di Indonesia pengelolaan sumberdaya perikanan lautnya masih berbasis pada campur tangan pemerintah pusat (Government Based Management). Apabila dihubungkan Peraturan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 2/Permen KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia, maka kebijakan tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) tidak sesuai dengan nilai-nilai dan perkembangan masyarakat yang terjadi sesungguhnya dilapangan, mengingat dalam kenyataannya masyarakat sangat berkeberatan dengan adanya pelarangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) seperti dalam Peraturan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 2/Permen KP/2015 tersebut. Sehingga konsep sumberdaya perikanan yang dimaknai sebagai kekayaan alam milik bersama (common property) dan siapapun boleh memanfaatkannya (open access) belum tercapai. Yang apabila dipahami secara utuh, paradigma ini menginginkan dipahaminya pengelolaan sumberdaya perikanan yang bersifat tidak terbatas, sehingga fungsi sumber daya perikanan sebagai tujuan untuk peningkatan taraf hidup masyarakat nelayan kecil dapat diimplementasikan dengan baik sesuai dengan asas pengelolaan perikanan yang berdasarkan pada asas kemanfaatan, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, efisiensi dan kelestarian yang berkelanjutan sesuai dengan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.

  1. KEWENANGAN MAHKAMAH AGUNG
  2. Perubahan UUD NRI 1945 telah menciptakan sebuah kewenangan baru bagi Mahkamah Agung yang berfungsi untuk menguji peraturan perundang-undangan dibawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang, sebagaimana tertuang dalam Pasal 24A Undang-Undang Dasar Negara RI 1945, yang diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Selain itu juga diatur lebih lanjut melalui Undang-Undang nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
  1. Bahwa salah satu kewenangan yang dimiliki oleh MA adalah menguji peraturan perundang-undangan dibawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang sebagaimana diatur dalam Pasal 24A Ayat (1) UUD NRI 1945 yang berbunyi:

Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat Kasasi, menguji peraturan perundang-undangan dibawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang…

  1. Selanjutnya, Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung menyatakan:

“ (1) Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji peraturan perundang-undangan dibawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang.

  (2) Mahkamah Agung menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan dibawah Undang-Undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku…”

Pasal 20 ayat (2) huruf b Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, menyatakan:

“(2) Mahkamah Agung berwenang :

  1. menguji peraturan perundang-undangan dibawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang; dan…”
  1. Bahwa ketentuan Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyatakan “Dalam hal suatu Peraturan Perundang-undangan dibawah Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung”;
  2. Berdasarkan uraian angka 1 sampai 4  di atas, maka tidak ada keraguan sedikitpun bagi para Pemohon  menyimpulkan, bahwa Mahkamah Agung berwenang untuk mengadili permohonan pengujian Peraturan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 2/Permen KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia Terhadap Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final.
  1. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING)
  1. Bahwa Pasal 31A ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung mengatakan bahwa :

“(1) Permohonan pengujian peraturang perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang diajukan langsung oleh pemohon atau kuasanya kepada Mahkamah Agung dan dibuat secara tertulis dalam Bahasa Indonesia

 (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh pihak yang menganggap haknya dirugikan oleh berlakunya peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang, yaitu :

  1. Perorangan Warga Negara Indonesia
  2. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; atau
  3. badan hukum publik atau badan hukum privat
  1. Bahwa sebagai perorangan warganegara Republik Indonesia, Pemohon mempunyai hak-hak konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945, baik yang bersifat tidak langsung seperti hak untuk tidak diperlakukan sewenang-wenang sebagai konsekuensi dari pernyataan bahwa Negara Republik Indonesia adalah sebuah “negara hukum” sebagaimana  normanya diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, maupun hak-hak konstitusional yang bersifat langsung yang normanya dirumuskan dalam Bab XA yang diberi judul “HAK ASASI MANUSIA”,  dan secara spesifik dirumuskan dalam Pasal 28D ayat (1) yang bunyinya “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum” dan Pasal 28E ayat (1), khususnya frasa yang mengatakan “setiap orang bebas…memilih tempat tinggal di wilayah  negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali”.
  1. Bahwa para Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia yang  berprofesi sebagai Nelayan Kecil ……………………….   yang mempunyai kepentingan hukum dalam permohonan ini karena para Pemohon menganggap hak Pemohon dirugikan oleh berlakunya Peraturan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 2/Permen KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia;
  2. Bahwa dengan berlakunya Peraturan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 2/Permen KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia telah menimbulkan kerugian bagi para pemohon, dimana para pemohon tidak lagi dapat menjalankan aktifitas mencari ikan sebagai mata pencaharian sehari-hari dengan dibatasinya hak Para pemohon dengan adanya Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.
  3. Bahwa Pemohon sangat dirugikan dengan pemberlakukan Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia, mengingat selama ini yang Pemohon lakukan dengan melakukan penangkapan ikan menggunakan alat-alat yang sangat sederhana, sehingga hasilnyapun juga hanya untuk dapat menghidupi keluarga masyarakat kecil nelayan, bukan untuk mendapatkan keuntungan yang besar sehingga dapat mensejahterakan masyarakat nelayan kecil di lapangan.
  4. Bahwa dengan diberlakukan Peraturan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 2/Permen KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia, maka sebagian besar masyarakat kecil nelayan yang selama ini menggantungkan diri hidupnya dari hasil nelayan, terancam akan kehilangan mata pencahariannya, sehingga dapat mengganggu kelangsungan kehidupan masyarakat nelayan yang selama ini telah hidup dibawah standart layak, apalagi dengan adanya pembatasan-pembatasan penggunaan alat tangkap dengan tanpa mempertimbangkan aspek daya guna dan aspirasi masyarakat kecil nelayan dilapangan.
  5. Bahwa apabila Pemerintah tetap akan memberlakukan Peraturan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 2/Permen KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia, maka akan mengakibatkan jumlah pengangguran akan bertambah, mengingat mata pencaharian masyarakat kecil perikanan bertumpu pada hasil laut serta menjadi tulang punggung keluarga untuk dapat hidup dan menghidupi seluruh sanak keluarga masyarakat nelayan di lapangan.
  6. Bahwa berdasarkan uraian di atas, kedudukan hukum dan kepentingan hukum atau legal standing Para Pemohon di dalam permohonan pengujian Peraturan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 2/Permen KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia terhadap Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan adalah sudah sesuai dengan ketentuan Pasal 31A Undang-Undang Nomor 3 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung;
  1. ALASAN PERMOHONAN PENGUJIAN

Ø PENGUJIAN FORMIL

  1. Bahwa dalam pembentukan suatu peraturan perundang-undangan, selain harus memenuhi syarat materiil juga harus memenuhi syarat formil. Secara umum konsepsi pengujian secara formil (formele toetsing) dapat dimaknai sebagai sejauh mana peraturan perundang-undangan tersebut ditetapkan dalam bentuk yang tepat (appropriate form), oleh institusi yang tepat (appropriate institution), dan menurut prosedur yang tepat (approtiate prosedure). Dengan demikian sebuah produk peraturan perundang-undangan wajib dengan bentuk yang tepat, institusi yang tepat dan prosedur yang tepat.
  2. Bahwa sesuai Pasal 31A ayat (3) huruf b Undang-Undang Nomor 3 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung menyatakan:
  3. Uraian mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan dan menguraikan dengan jelas bahwa :
  4. materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; dan/atau
  5. pembentukan peraturan perundang-undangan tidak memenuhi ketentuan yang berlaku; dan
  6.     hal-hal yang diminta untuk diputus

Bahwa berdasar pada Pasal 31A ayat (3) huruf b Undang-Undang Nomor 3 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung diatas, maka pengujian secara formil juga diakui dan menjadi bagian dari objek kewenangan pengujian oleh Mahkamah Agung RI

  1. Bahwa selain itu dalam Asas-asas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik salah satunya harus sesuai dengan asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat. Hal itu sebagaimana tertuang dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Yang dimaksud dengan asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-Undangan harus dibuat oleh lembaga Negara atau pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang. Apabila terdapat peraturan perundang-undangan yang dalam pembentukannya tidak sesuai dengan lembaga atau pejabat pembentuk yang tepat, maka peraturan perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat oleh lembaga Negara atau pejabat yang tidak berwenang.
  2. Bahwa apabila dihubungkan dengan Peraturan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 2/Permen KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia, maka bertentangan dengan Pasal 8 ayat (6) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang menyatakan :

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat/dan atau cara, dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), diatur oleh Peraturan Pemerintah.

Berdasarkan Pasal 8 ayat (6) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan diatas, maka tidak tepat Kementerian Kelautan dan Perikanan mengatur tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) melalui norma hukum berupa Peraturan Kementerian Kelautan dan Perikanan, akan tetapi sesuai dengan perintah Pasal 8 ayat (6) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, sesungguhnya pengaturan mengenai Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan harus diatur melalui norma hukum berupa Peraturan Pemerintah. Sehingga dengan demikian secara formil Peraturan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 2/Permen KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia dapat dikatakan cacat Formil dikarenakan dikeluarkan melalui institusi yang tidak tepat (appropriate institution), sehingga Peraturan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 2/Permen KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia dapat dibatalkan.

  1. Bahwa selain itu sesuai dengan asas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, maka juga harus sesuai dengan asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan dalam peraturan perundang-undangan. Seperti diketahui bersama Peraturan Pemerintah merupakan Peraturan Perundang-Undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang-Undang dengan sebagaimana mestinya. Dengan demikian jelas bahwa Kementerian Kelautan dan Perikanan tidak berhak secara yuridis mengeluarkan produk hukum berupa Peraturan Kementerian Kelautan dan Perikanan tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan.
  2. Bahwa berdasarkan argumentasi hukum diatas, maka cukup alasan bagi Majelis Hakim dalam memeriksa dan memutus Permohonan Pengujian Peraturan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 2/Permen KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia secara formil tidak sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan jo Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Ø PENGUJIAN MATERIIL

  1. Bahwa pada hakekatnya tujuan dan fungsi Negara Republik Indonesia adalah menghendaki kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. Fungsi ini sangat penting, hal ini tercermin dalam usaha pemerintah untuk membangun kehidupan bangsa dan negara. Setiap negara, termasuk Indonesia mencoba untuk melaksanakan dan mempertinggi taraf hidup rakyatnya, memperluas taraf ekonomi dan kehidupan masyarakat. Selain menjaga ketertiban pemerintah juga mengusahakan agar setiap anggota masyarakat dapat menikmati kemakmuran secara adil dan merata. Tak terkecuali dalam setiap kebijakan yang diambil oleh Pemerintah harus mampu dan mempertimbangkan aspek tujuan bernegara, yakni mengupayakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
  2. Bahwa sesuai dengan asas pengelolaan perikanan sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan adalah dilakukan berdasarkan asas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, efisiensi dan kelestarian yang berkelanjutan. Makna asas manfaat adalah asas yang menunjukkan bahwa pengelolaan perikanan harus mampu memberikan keuntungan dan manfaat yang sebesar-besarnya bagi peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Sedangkan asas keadilan bahwa pengelolaan perikanan harus mampu memberikan peluan dan kesempatan yang sama secara proporsional bagi seluruh warga tanpa kecuali. Asas kemitraan berarti Pengelolaan perikanan dilakukan dengan mengggunakan jaringan pelaku usaha dan sumber daya yang ada dengan menonjolkan aspek kesetaraan dalam melakukan usaha. Yang dimaksud dengan asas pemerataan adalah pengelolaan perikanan dilakukan secara seimbang dan merata, dengan memperhatikan nelayan kecil dan pembudi daya ikan kecil. Untuk asas keterpaduan dikehendaki, bahwa pengelolaan perikanan dilakukan secara terpadu dari hulu sampai hilir dalam upaya meningkatkan efesiensi dan produktivitas. Asas efesiensi, mengkhendaki bahwa pengelolaan perikanan dilakukan dengan tepat, cermat dan berdaya guna untuk memperoleh hasil yang maksimal. Mengenai masalah efesiensi dalam pengelolaan perikanan sebenarnya sudah tercakup di dalam asas keterpaduan diatas, karena keterpaduan tidak dapat dilepaskan dari efesiensi. Sedangkan Asas kelestarian menginginkan bahwa pengelolaan perikanan dilakukan seoptimal mungkin dengan tetap memperhatikan aspek kelestarian sumber daya alam. Bahwa selain terdapat asas pengelolaan perikanan, juga terdapat tujuan pengelolaan perikanan, utamanya berdasarkan pada Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan adalah untuk meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil.
  3. Bahwa berdasar pada asas dan tujuan pengelolaan perikanan sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, maka sesungguhnya pengelolaan perikanan merupakan penjewantahan dari nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, dimana posisi Negara mengutamakan kepentingan rakyatnya diatas kepentingan kelompok atau golongan. Hal itu dapat dibuktikan dengan adanya kesesuaian tujuan Pengusaan sumber daya dalam oleh Negara yakni dengan mendayagunakan hasil perikanan untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat, dalam hal ini masyarakat nelayan kecil. Untuk itu secara filosofis nilai-nilai yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan telah sejalan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, sehingga harus didukung dan dipertahankan keberadaannya. Berbeda dengan Peraturan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 2/Permen KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia yang cenderung tidak sejalan dengan asas dan tujuan pengelolaan perikanan sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dimana menjauhkan posisi rakyat (masyarakat nelayan) sebagai bagian terpenting guna mencapai hakekat tujuan Negara. Untuk itu terdapat disparitas dan pertentangan antara asas dan tujuan pengelolaan perikanan sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dengan Peraturan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 2/Permen KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.
  4. Bahwa dengan adanya Peraturan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 2/Permen KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia, maka akan mengganggu tingkat perekonomian masyarakat mikro utamanya masyarakat nelayan kecil, yang selama ini hidup dari sector perikanan, sehingga apabila dipaksakan terhadap pemberlakuan Peraturan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 2/Permen KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia, maka akan berimbas pada hilangnya beribu-ribu mata pencaharian masyarakat nelayan kecil.
  5. Bahwa apabila dipahami secara seksama dan telah diakui oleh Pemerintah bahwa potensi hilang dan rusaknya sumber daya hayati laut dan perikanan sebenarnya lebih besar volumenya disebabkan oleh adanya illegal fishing yang banyak dilakukan oleh kalangan pemilik modal atau oleh pencuri-pencuri ikan yang berasal dari luar daerah territorial Indonesia, untuk itu kebijakan dengan mengeluarkan Peraturan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 2/Permen KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia dirasa kurang tepat, mengingat nilai kemanfaatannya lebih kecil daripada akibat yang akan diderita oleh masyarakat nelayan kecil.
  6. Bahwa secara sosiologis, Pemerintah dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan tidak pernah melakukan audit dan terjun langsung ke lapangan terkait dengan alat yang digunakan oleh nelayan kecil. Dalam kenyataannya nelayan dalam upaya melakukan penangkapan ikan tidak pernah menggunakan alat-alat secanggih seperti yang dimaksud dalam Peraturan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 2/Permen KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia, akan tetapi dengan kreatifitas nelayan kecil memodifikasi alat-alat sederhana sehingga memungkinkan untuk membantu dalam melakukan aktifitas penangkapan ikan. Namun melalui Peraturan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 2/Permen KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia, Kementerian kelautan dan Perikanan memperluas cakupan, jenis alat yang dimaksud Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) dengan memasukkan beberapa alat yang sebenarnya telah sejak lama digunakan oleh para nelayan kecil dalam menjalankan aktifitasnya sebagai nelayan serta tidak pernah sekalipun dapat merusak sumber daya hayati laut dan perikanan.
  7. Bahwa upaya memaksimalkan peran pemerintah dalam membantu masyarakat nelayan kecil untuk peningkatan ekonomi masyarakat nelayan, seyogyanya tidak dengan membatasi penggunaan alat penangkapan ikan seperti yang tertuang dalam Peraturan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 2/Permen KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Akan tetapi secara komprehensif melihat akar persoalan dari keseluruhan simpul permasalahan dari berbagai aspek tingkat kebutuhan masyarakat nelayan kecil, sehingga kebijakan yang diambil justeru akan memberikan kemanfaatan bagi seluruh kalangan utamanya masyarakat nelayan kecil yang hidup dan kehidupannya sangat tergantung pada sumber daya hayati laut dan perikanan.
  8. Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, maka Peraturan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 2/Permen KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia bertentangan dengan asas dan tujuan pengelolaan perikanan sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, oleh karena itu harus dibatalkan dan tidak mempunyai kekuatan   mengikat ;
  1. PETITUM

Bahwa selanjutnya  berdasarkan alasan-alasan hukum di atas, maka mohon kiranya Majelis Hakim Mahkamah Agung berkenan memutuskan :

  1. Menerima seluruh permohonan para Pemohon;
  2. Menyatakan Peraturan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 2/Permen KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan;
  3. Menyatakan Peraturan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 2/Permen KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia tidak mempunyai kekuatan   mengikat ;
  4. Menyatakan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) dapat digunakan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia;
  5. Memerintahkan untuk memuat putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;

Atau mohon putusan yang seadil-adilnya  (Ex Aquo et Bono);

Bahwa selanjutnya untuk menguatkan dalil-dalil permohonan, para Pemohon telah mengajukan barang bukti berupa naskah UU, Permen dan surat-surat  yang diberi tanda P- 1 sampai dengan P…………..  sebagaimana terlampir ;

Demikian Permohonan Kami, atas perhatian dan kerjasamanya, kami ucapkan terima kasih.

Hormat Kami

Kuasa Hukum Para Pemohon:

1. 

 

……………………………………….
2.         

             

……………………………………….
3.                      ……………………………………….
4.          ……………………………………….
5.                           ……………………………………….

Lampiran:  DAFTAR  ALAT BUKTI

No. DAFTAR ALAT BUKTI KETERANGAN
1. (P – 1)
2. (P –  2)
3. (P –  3)
4. (P –  4)
5. (P – 5 )
Continue Reading

URGENSI LEMBAGA PERADILAN PEMILU DI INDONESIA

PERAN MAHKAMAH AGUNG DALAM PENYELESAIAN PERSELISIHAN HASIL PILKADA DI INDONESIA

  1. PENDAHULUAN

Pemilu merupakan hal memiliki resistensi tinggi dan memiliki peluang untuk memecah persatuan dan kesatuan dalam tataran masyarakat, meski bersifat parsial. Kondisi seperti ini secara otomatis mewarnai even 5 tahunan di Indonesia. Tidak terkecuali pilkada, meski hanya lingkup daerah tetapi gesekan-gesekan horisontal antar calo dan pendukung kerap terjadi. Implementasi demokrasi belum seutuhnya merepresentasikan keadilan yang seadil-adilnya bagi semua pihak malah justru merusak tatanan demokrasi yang sedang dibangun oleh bangsa Indonesia.

Demokrasi sejatinya mampu merepresentasikan keadilan yang seadil-adilnya bagi semua lapisan masyarakat Indonesia. Konteks demokrasi yang begitu luas dan mampu diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan benegara memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk memahami dan mengkontemplasikan demokrasi sebagai isu fundamental bagi integrasi bangsa. Pemilihan kepala daerah merupakan salah satu implementasi demokrasi meski hanya normatif dan prosedural.[1] Dibalik semua itu demokrasi justru berjalan beriringan dengan pelanggaran HAM dan konflik. Hal ini mengakibatkan pilkada tidak merepresentasikan demokrasi yang sejalan dengan cita-cita demokrasi yang ada dimana keadilan dan HAM menjadi unsur terpenting dalam mewujudkan demokrasi konstitusional.

Suasana pilkada saat ini yang sedang marak di beberapa daerah belum merepresentasikan demokrasi yang seutuhnya. Kecurangan-kecurangan dalam pilkada dilakukan berdasarkan kondisi psikis calon pemimipn daerah hanya untuk meraih jabatan dan mayoritas dilakukan dengan money poltics. Cerminan demokrasi yang ada selain pemilihan kepala daerah secara langsung adalah terbukanya kesempatan bagi siapapun untuk maju menjadi calon kepala daerah. Ini membuktikan adanya aprsiasi dan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Meski berefek positif terhadap demokrasi, tetapi implementasi Pilkada sendiri masih jauh dari cita-cita demokrasi yang sehat.[2] Jabatan telah menjadi incaran siapapun dan pihak-pihak yang cenderung pragmatis menghalalkan segala cara agar menjadi pemimpin di daerahnya. Money politics, black champaign, kolusi dsb kerap mewarnai pilkada di sejumlah daerah. Melihat cara-cara yang seperti ini, demokrasi hanya akan melahirkan pemimpin karbitan yang memenangkan pilkada bukan karena kapabilitas dan kompetensinya melainkan uang yang berbicara. Black champaign yang sering kali menjatuhkan pesiang dalam pilkada juga merepresentasikan persaingan yang tidak sehat dan menimbulkan konflik horizontal antar masing-masing calon. Konflik yang dikarenakan perebutan jabatan ini seperti psy war (perang urat syaraf) demi jabatan yang temporer dan berefek luas terhadap suasana daerah karena bukan hanya masing-masing calon saja yang berkonflik tetapi juga para pendukung mereka yang mengakibatkan konflik horizontal di masyarakat.[3] Untuk perlu kepastian hukum untuk mengatur tata cara dan mekanisme penyelesaian perselisihan hasil pilkada di Indonesia.

  1. PILKADA BUKANLAH SEBAGAI REZIM PEMILU

Sesungguhnya kalau kita lihat keputusan MK No.97/PUU-XI/2013 yang telah mengabulkan semua permohonan Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) tentang kewenangan Mahkama Konstitusi sudah sangat jelas dan gamblang. Diperkuat lagi komentar anggota Hakim konstitusi Patrialis “RUU Pilkada sesungguhnya sudah sangat jelas di Putusan MK No.97 yakni MK tidak berhak menangani perkara Pilkada karena Pilkada bukan pemilihan UMUM seperti yang diamanatkan didalan UUD 1945.

Jika kita kembali melihat awal pembentukan Mahkamah Konstitusi, sangat jelas bahwa yang menjadi tugasutama Mahkamah Konstitusi adalah menguji Undang-Undang (UU) yang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), dan kewenangan-kewenangan lainnya ialah memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, seperti yang di atur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum Berdasarkan amanat Konstitusi pada BAB VIIB tentang Pemilihan Umum, Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 dikatakan bahwa: “Pemilihan Umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presidendan Dewan Perwakilan Daerah”,dalam hal ini penyelenggaraan Pemilu yangdiatur dalam konstitusi tidak menyebutkan untuk memilih kepala daerah.

Sementara tentang pemilihan kepala daerah dalam UUD 1945, dituliskan pada BAB yang berbeda, yaitu BAB IV tentangPemerintahan Daerah, pada Pasal 18 ayat (4) yang berbunyi: “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemeintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis”. Artinya konstitusi sendiri tidak memasukkan Pemilihan KepalaDaerah kedalam bab yang mengatur tentang Pemilu.Dapat dikatakan pemilihan kepala daerah (Pemilukada) tidak tergolong dalam rezim Pemilu.Itu sebabnya dalam Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 tidak memasukan frasa kepala daerah dalam BAB Pemilihan Umum.Sehinggapada awal penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pemilukada) kewenangan untuk menangani sengketa Pemilukada diserahkan kepada Mahkamah Agung, dan saat itu Mahkamah Konstitusi masih terus fokus pada kewenangannya dalam menguji UU terhadap UUD 1945.

Baru kemudian, setelah munculnya UU Nomor 22 Tahun 2007 sebagaimana telah dirubah dengan UU Nomor15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, menggolongkan Pemilihan Kepala Daerah ke dalam rezim Pemilu yang terdapat pada Pasal1 ayat (4) Ketentuan Umum berbunyi: “Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Pemilu untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Kemudian dilakukanlah perubahan hingga munculah UU Nomor12Tahun 2008 tentang Perubahan Atas UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Undang-Undang ini penanganan sengketa pemilukada telah dialihkan dari Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi. Peralihan kewenangan penyelesaian sengketa tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 236C yang menyatakan bahwa: Penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan”. Yang ditindaklanjuti dengan dibuatnya nota kesepahaman (MoU) pada tahun 2008 tentang pelimpahan kewenangan penanganan penyelesaian sengketa Pemilukadadari Mahkamah Agung kepada Mahkamah Konstitusi. Sementara dalam UU Mahkamah Konstitusi (UU Nomor 24 Tahun 2003 dan perubahannya UU Nomor8 Tahun 2011), tidak ada frasa yang menambahkan kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam mengadili terhadap perkara sengketa pemilihan kepala daerah. Namun penambahan kewenangan itu diatur dalam Pasal29 ayat (1) huruf e UU Nomor48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dikatakan bahwa “kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang”. Kemudian terdapat frasa tentang penambahan kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam penjelasan dari Pasal 29 ayat (1) huruf e yang mengatakan bahwa kewenangan memeriksa, dan memutus sengketa hasil pemilihan kepala daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”,yang menjadi legal standingpara Pemohon perselisihan hasil kepala daerah. Implikasi dari pengalihan kewenangan itulah yang kemudian memaksa Mahkamah Konstitusi berbagi fokus antara wewenang yang diberikan UUD 1945, terutama pengujian Undang-Undang, dengan ketatnya batas waktu penyelesaian sengketa Pemilukadayang diatur dalam UU Nomor24 Tahun 2003 pada Pasal78 huruf ayaitu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Mahkamah Konstitusi.

Awalnya Mahkamah Konstitusi hanya cukup menangani sengketa Pemilu Presiden dan DPR, DPD dan DPPRD untuk 5 (lima) tahun sekali, semenjak dilimpahkannya kewenangan terhadap penyelesaian perselisihan tentang hasil pemilihan umum tersebut, saat ini Mahkamah Konstitusi jadi disibukan oleh penanganan penyelesaian PHPU secara rutin terus menerus. Banyaknya gugatan yang masuk, akibat penyelenggaraan pemilihan kepala daerahyang tidak serentak yang membuat Mahkamah Konstitusi disibukan oleh perkara Pemilukadadan sempitnya waktu sidang 14 (empat belas) hari membuat Mahkamah Konstitusi tidak dapat maksimal secara cermat memeriksa kasus sengketa Pemilukada, dan menjadi celah dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk memainkan kepada kepala daerah yang berambisi untuk bisa menang di Mahkamah Konstitusi, karena itu akan menjadi upayanya yang pertama dan yang terakhir dalam mencari keadilan.[4]

Runtuhnya keadilan hukum kita akibat perilaku corrupt yang dilakukan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi harus kita jadikan momentum untuk mengevaluasi perjalanan Mahkamah Konstitusi 10 tahun terakhir. Jika kita kembali melihat awal pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK), sangat jelas bahwa yang menjadi tugas utama MK adalah menguji Undang-Undang (UU) yang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945), dan kewenangan-kewenangan lainnya ialah memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, seperti yang di atur dalam pasal 24C ayat (1) UUD 1945.

Mencermati kewenangan MK dalam memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum (PHPU), berdasarkan amanat Konstitusi pada BAB VIIB tentang Pemilihan Umum,  pasal 22E ayat (2) UUD 1945 dikatakan bahwa : “Pemilihan Umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Daerah”, tidak ada dalam BAB VIIB tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum soal pemilihan Kepala Daerah. Sementara tentang pemilihan Kepala Daerah dalam UUD 1945, dituliskan pada bab yang berbeda, yaitu BAB IV tentang Pemerintahan Daerah, pada pasal 18 ayat (4) yang berbunyi : “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemeintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis”.

Artinya konstitusi sendiri tidak memasukan Pemilihan Kepala Daerah kedalam BAB yang mengatur tentang PEMILU. Artinya Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tidak tergolong dalam Rezim Pemilu. Itu sebabnya dalam pasal 22E ayat (2) UUD 1945 tidak memasukan frasa Kepala Daerah dalam BAB Pemilihan Umum. Sehingga pada awal penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) kewenangan untuk menangani sengketa pilkada diserahkan kepada Mahkamah Agung, dan saat itu Mahkamah Konstitusi masih terus fokus pada kewenangannya dalam menguji UU terhadap UUD 1945.

Kemudian  setelah munculnya UU No. 22 Tahun 2007 sebagaimana telah dirubah dengan UU No. 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum (UU 22 Tahun 2007 sudah dinyatakan tidak berlaku lagi), menggolongkan Pemilihan Kepala Daerah ke dalam Rezim Pemilu yang terdapat pada pasal 1 ayat (4) Ketentuan Umum berbunyi : “Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Pemilu untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.

Dimasukannya Pilkada dalam rezim pemilu menjadi Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) oleh UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum jelas bertentangan dengan Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 yang secara eksplisit menyatakan bahwa Pemilihan Umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Daerah.

Implikasi dimasukannya Pilkada kedalam rezim pemilihan umum oleh UU No. 22 Tahun 2007 adalah terjadinya pelimpahan kewenangan terhadap perselisihan tentang hasil pemilihan umum dari MA cq PT ke MK. Pengalihan kewenangan itu kemudian memaksa MK berbagi fokus antara wewenang yang diberikan UUD 1945, terutama pengujian UU, dengan ketatnya batas waktu penyelesaian sengketa pilkada yang diatur dalam UU No. 24 Tahun 2003 pada pasal 78 huruf (a) yaitu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi. Awalnya MK Konstitusi hanya cukup menangani sengketa pemilu Presiden dan DPR, DPD dan DPPRD untuk 5 (lima) tahun sekali, semenjak dilimpahkannya kewenangan terhadap Penyelesaian Perselisihan tentang Hasil Pemilihan Umum tersebut, saat ini fokus MK menjadi teralihkan oleh penanganan penyelesaian sengketa Pilkada secara rutin terus menerus.

Selain itu permasalahan lainnya akibat pelimpahan kewenangan ini adalah putusan MK yang bersifat final dan mengikat (upaya pertama dan terakhir) dalam penyelesaian perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Artinya setelah MK memutus tidak ada lagi upaya lain yang dapat ditempuh. Banyaknya gugatan yang masuk, sempitnya waktu penyelenggaraan (14 hari), dan sifat putusan yang final dan mengikat inilah yang membuat MK tidak dapat maksimal secara cermat memeriksa kasus sengketa pemilukada, dan menjadi celah dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk memainkan kepada kepala daerah yang berambisi untuk bisa menang di MK, karena itu akan menjadi upayanya yang pertama dan yang terakhir dalam mencari keadilan.[5] Posisi inilah yang mengakibatkan potensi terjadinya tindakan Corupt dari oknum hakim Konstitusi semakin besar, di dukung dengan tidak adanya lembaga pengawas yang mengawasi jalannya setiap persidangan perselisihan tentang hasil pemilihan umum di MK. Akhirnya masyarakat yang kembali menjadi korban dibawah kepemimpinan daerah dari produk putusan MK yang sudah terpengaruh dengan tindakan Corupt hakim konstitusi selama 5 (lima) tahun. dan berpotensi menjadikan MK menjadi peradilan yang tidak dapat diharapkan sebagai tempat pencari keadilan.

III.   URGENSI PEMBENTUKAN PERADILAN KHUSUS PEMILU DI INDONESIA

Alangkah eloknya gagasan Pembentukan Pengadilan Khusus Pemilu dapat segera diimplemantasikan untuk menangani persoalan pelik yang selalu diahadapi dalam penyelesaian sengketa Pilkada di Indonesia.[6] Pemasalahan-Permasalahan Pemilu yang sekarang ini terjadi tidak diselesaikan begitu saja di melalui lembaga yang sudah ada, karena bukan ranah hukum yang ditangani oleh lembaga tersebut telah banyak sekali. Melihat beban berat Pengadilan Negeri dalam menangani perkara pidana dan perdata, seyogyanya dibentuk Pengadilan Khusus Pemilu yang bersifat add hoc di bawah kewenangan Mahkamah Agung Republik Indonesia tentunya dengan format sistem peradilan yang Lex Specialis.  Dengan melihat format sistem Pengadilan add hoc Tindak Pidana Korupsi. Kedudukan Hukum Peradilan Khusus Pemilu dapat dibentuk ditingkatan Ibukota Propinsi

Jika Pengadilan Khusus Pemilu dapat dilaksanakan, Mahkamah Agung sebagai lembaga Peradilan tertinggi, seharusnya dapat  menyiapkan hakim-hakim Pengadilan Khusus Pemilu yang handal   dan memiliki kompetensi dalam bidang kepemiluan dan hukum adminitrasi pemilu. Hakim-hakim tersebut dapat diambilkan dari hakim karier dan non karier, untuk hakim karier dapat diambilkan dari hakim-hakim peradilan umum yang sudah memiliki sertifikat pendidikan dan pelatihan yang diadakan oleh Mahkamah Agung sedangkan hakim non karier harus dipersyaratkan khusus misalnya : Sarjana Hukum dan Magister Hukum, berumur sekurang-kurangnya 35 Tahun, serta memiliki pengalaman dibidang kepemiluan sekurang-kurangnya 10 Tahun. Kemudian hakim-hakim non karier tersebut harus mendapat sertifikasi Pendidikan dan Latihan dari Mahkamah Agung, untuk hakim non karier memiliki masa tugas selama 5 (lima) Tahun dan dapat dipilih kembali satu periode.

Disamping penyiapan hakim pengadilan khusus Pemilu, juga sangat penting adalah Hukum Acara Pengadilan Khusus Pemilu, dimana Pengadilan Khusus Pemilu hanya memutuskan sengketa tindak pidana pemilu pada proses tahapan, program dan jadwal waktu oleh Penyelenggara Pemilu dalam hal ini KPU, tidak memutuskan persengketaan hasil pemilu. Dalam Hukum Acara Pengadilan Khusus Pemilu proses penyelesaiannya lebih cepat, mudah dan murah  dibandingkan dengan perkara lain. Dengan tetap memberikan azas kepastian hukum, kepada para pihak yang sedang berperkara dalam penyelenggaran Pemilu

Kemudian timbul suatu pertanyaan, bagaimana khusus untuk administrasi kepemiluan, misalnya: KPU Kabupaten melakukan penetapan Daftar Calon Tetap sesuai dengan Tahapan Pemilu Legislatif, kemudian ada di lain pihak memprotes keputusan KPU Kabupaten tersebut mengenai salah satu Caleg yang menurut bersangkutan ijazah yang digunakan palsu. Tapi KPU Kabupaten sebelumnya sudah mengklarifikasi kepada Dinas Pendidikan Kabupaten dan ternyata ijazah tersebut benar-benar asli, akantetapi dari pihak memprotes tersebut tidak puas, kemudian dari persoalan tersebut, apakah ranah hukum Pengadilan Khusus Pemilu mengadili hal tersebut diatas? Padahal sah dan tidak sahnya suatu ijazah yang menentukan hanya Pengadilan Tata Usaha Negara.

Bisa saja peranan dan wewenang Pengadilan Khusus Pemilu, ditambah mengenai persoalan-persoalan administratif Pemilu, karena Pengadilan Khusus Pemilu berhubungan erat dengan permasalahan-permasalahan kepemiluan termasuk persoalan administratif Pemilu.[7] Kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara menurut SEMA  RI No 11 Tahun 2010 seyogyanya dapat diubah, ketika Pengadilan Khusus Pemilu diberlakukan.  Jika SEMA RI No 11 Tahun 2010 masih berlaku, maka akan terjadi tumpang tindih dalam kewenangan penanganan kasus kepemiluan, dimana akan terjadi dua institusi hukum yang akan menangani kasus pemilu yang sama. Yaitu Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Khusus Pemilu.

Sistem demokrasi tanpa ada kepastian hukum, akan menimbulkan anarkisme demokrasi. Anarkisme demokrasi akan mengakibatkan kesengsaraan rakyat dan berakibat perang saudara, oleh karena itu demokrasi harus memberikan kepastian hukum kepada semua pihak yang terlibat dalam proses demokrasi.  Pemilu sebagai sarana kedaulatan rakyat, dan sebagai salah satu prasyarat sebagai Negara Demokrasi, maka rule of law harus di kedepankan. Tidak ada salahnya jika Pengadilan Khusus Pemilu merupakan  bagian terpenting dalam mengawal proses demokrasi, disamping Mahkamah Konstitusi

Pengadilan khusus Pemilu sebenarnya salah satu komponen terpenting dalam azas-azas penyelengaran pemilu diantaranya adalah  “kepastian hukum”. Dalam konteks kepastian hukum, adalah bahwa antara penyelenggara pemilu, pengawas pemilu, pemantau pemilu dan peserta pemilu menerima secara baik dari proses tahapan, program dan jadwal waktu penyelenggaran pemilu. Apabila ada pihak-pihak yang belum puas atas hasil kerja yang diberikan oleh Komisi Pemilihan Umum sebagai Penyelenggara Pemilu, dapat mengajukan sengketanya di Pengadilan Khusus Pemilu .[8]

Adapun dampak yang dapat dilihat secara signifikan Pengadilan Khusus Pemilu adalah memberikan ruang hukum kepada pihak-pihak yang dirugikan dalam penyelenggaraan Pemilu untuk mendapatkan kepastian hukum dalam kehidupan negara demokrasi. Memang didalam Hukum Ketatanegeraan Republik Indonesia sekarang ini,

Oleh Karena itu diperlukan Pengadilan Khusus Pemilu yang dalam penanganan hukumnya berbeda dengan tugas dan kewenangan Mahkamah Konstitusi, dimana Pengadilan Pemilu dapat memberikan pencerahan hukum ketata negaraan di republik indonesia. Oleh karena itu menurut hemat penulis, Pertama solusi Pengadilan Khusus Pemilu ditingkat Ibukota Kabupaten/Kota tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Khusus Pemilu pada tingkat banding yang berkedudukan di Ibukota Propinsi merupakan solusi tepat, dalam menangani setiap sengketa Pemilu di tingkat daerah, karena Mahkamah Konstitusi dalam kewenanganya hanya sebatas sengketa Perselisihan Hasil Pemilu, bukan sengketa pidana pemilu dan administrasi pemilu pada proses Tahapan, Program dan Jadwal Waktu Penyelenggaraan Pemilu.[9] Kedua dengan dibentuknya Pengadilan Khusus Pemilu ditingkat Ibukota Kabupaten/Kota tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Khusus Pemilu pada tingkat banding yang berkedudukan di Ibukota Propinsi  maka para pencari keadilan yang berasal di daerah luar jawa, tidak berbondong-bondong ke Ibukota Jakarta, akantetapi cukup di Ibukota Kabupaten/kota atau Propinsi yang akan menjadikan Pengadilan Khusus Pemilu lebih efektif dan efisien dalam mengadili kasus-kasus Pemilu, Ketiga Pembentukan Pengadilan Khusus Pemilu memang membutuhkan investasi yang cukup besar, akantetapi dilihat investasi hukum jangka panjang, maka Pengadilan Khusus Pemilu akan memberikan alternatif hukum dalam menangani kasus-kasus pemilu agar  lebih cepat, murah dan mudah serta memberikan kepastian hukum kepada semua pihak, keempat  Pengadilan Khusus Pemilu merupakan salah satu komponen dasar terciptanya kepastian hukum menuju negara demokrasi yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dibawah naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia .

  1. PERAN MAHKAMAH AGUNG DALAM PENYELESAIAN PERSELISIHAN HASIL PILKADA DI INDONESIA

Badan Yudikatif Indonesia berfungsi menyelenggarakan kekuasaan kehakiman dengan tujuan menegakkan hukum dan keadilan.[10] Kekuasaan kehakiman di Indonesia, menurut konstitusi, berada di tangan Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya (peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, peradilan tatausaha negara) serta sebuah Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Agung – sesuai Pasal 24A UUD 1945 – memiliki kewenangan mengadili kasus hukum pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lain yang diberikan oleh undang-undang. Sebagai sebuah lembaga yudikatif, Mahkamah Agung memiliki beberapa fungsi. Fungsi-fungsi tersebut adalah:

  1. Fungsi Peradilan (Yustiele Fungctie). Pertama, membina keseragaman dalam penerapan hukum melalui putusan kasasi dan peninjauan kembali. Kedua, memeriksa dan memutuskan perkara tingkat pertama dan terakhir semua sengketa tentang kewenangan mengadili, permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, sengketa akibat perampasan kapal asing dan muatannya oleh kapal perang RI. Ketiga, memegang hak uji materiil, yaitu menguji ataupun menilai peraturan perundangan di bawah undang-undang apakah bertentangan dengan peraturan dari tingkat yang lebih tinggi. Sebagai Pengadilan Negara Tertinggi, Mahkamah Agung merupakan pengadilan kasasi yang bertugas membina keseragaman dalam penerapan hukum melalui putusan kasasi dan peninjauan kembali menjaga agar semua hukum dan undang-undang diseluruh wilayah negara RI diterapkan secara adil, tepat dan benar.
  2. Fungsi Pengawasan (Toeziende Fungctie). Pertama, Mahkamah Agung adalah pengawas tertinggi terhadap jalannya peradilan di semua lingkungan peradilan. Kedua, Mahkamah Agung adalah pengawas pekerjaan pengadilan dan tingkah laku para hakim dan perbuatan pejabat pengadilan dalam menjalankan tugas yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pokok kekuasaan kehakiman, yaitu menerima, memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan. Ketiga, Mahkamah Agung adalah pengawas Penasehat Hukum (Advokat) dan Notaris sepanjang yang menyangkut peradilan.
  3. Fungsi Mengatur (Regelende Fungctie). Dalam fungsi ini, Mahkamah Agung mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum diatur dalam Undang-undang tentang Mahkamah Agung.
  4. Fungsi Nasehat (Advieserende Fungctie). Pertama, Mahkamah Agung memberikan nasehat ataupun pertimbangan dalam bidang hukum kepada Lembaga Tinggi Negara lain. Kedua, Mahkamah Agung memberi nasehat kepada Presiden selaku Kepala Negara dalam rangka pemberian/penolakan Grasi dan Rehabilitasi.
  5. Fungsi Administratif (Administrative Fungctie). Pertama, mengatur badan-badan Peradilan (Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara) sesuai pasal 11 ayat 1 Undang-undang nomor 35 tahun 1999. Kedua, mengatur tugas dan tanggung jawab, susunan organisasi dan tata kerja Kepaniteraan Pengadilan.

Saat ini, Mahkamah Agung memiliki sebuah sekretariat yang membawahi Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Tata Usaha Negara, Badan Pengawasan, Badan Penelitian dan Pelatihan dan Pendidikan, serta Badan Urusan Administrasi. Badan Peradilan Militer kini berada di bawah pengaturan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Tata Usaha Negara. Mahkamah Agung memiliki sebelas orang pimpinan yang masing-masing memegang tugas tertentu. Daftar tugas pimpinan tersebut tergambar melalui jabatan yang diembannya yaitu: (1) Ketua; (2) wakil ketua bidang yudisial; (3) wakil ketua bidang non yudisial; (4) ketua muda urusan lingkungan peradilan militer/TNI; (5) ketua muda urusan lingkungan peradilan tata usaha negara; (6) ketua muda pidana mahkamah agung RI; (7) ketua muda pembinaan mahkamah agung RI; (8) ketua muda perdata niaga mahkamah agung RI; (9) ketua muda pidana khusus mahkamah agung RI, dan; (10) ketua muda perdata mahkamah agung RI.

Negara Indonesia adalah negara hukum, demikian bunyi Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Konsekwensi pernyataan itu menunjukkan bahwa hakim sebagai pejabat negara dalam mengemban tugasnya haruslah juga didasarkan kepada aturan-aturan hukum yang berklaku. Dalam menyelesaikan perkara melalui pengadilan tentunya harus mempedomani ketentuan-ketentuan hukum acara yang berlaku di Pengadilan,  baik  itu yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Segala alur proses pemeriksaan harus pula sesuai dengan hukum. Hakim tidak boleh menyimpangi ketentuan-ketentuan hukum acara kecuali yang dibenarkan oleh hukum itu sendiri.

Setiap perkara yang diajukan oleh masyarakat ke pengadilan tidak ada alasan bagi hakim untuk menolaknya, disamping itu hakim diwajibkan pula untuk membantu masyarakat pencari keadilan agar proses pemeriksaan perkaranya dapat dilakukan dengan lancar, tanpa berpihak kepada salah satu pihak yang berperkara. Seperti membantu pembuatan dan penyusunan surat gugatan. Keberadaan peradilan bertujuan untuk menyelesaikan sengketa yang timbul di antara anggota masyarakat. Sengketa yang terjadi, berbagai ragam. Ada yang berkenaan dengan pengingkaran atau pemecahan perjanjian (breach of contract), perceraian, pailit, sengketa perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad), sengketa hak milik (property right), penyalahgunaan wewenang oleh penguasa yang merugikan pihak-pihak tertentu. Semuanya ini mengharapkan suatu penyelesaian dari hakim agar dapat memberikan suatu putusan yang adil dan dapat diterima oleh semua pihak.

Untuk memberikan suatu putusan dalam suatu perkara tidak semudah membalikkan telapak tangan, sebelum pengambilan putusan hakim haruslah terlebih dahulu melakukan proses pemeriksaan perkara sesuai dengan ketentuan hukum acara, yang salah satunya adalah acara pembuktian. Proses pembuktian adalah sangat menentukan dalam hakim untuk sampai pada kesimpulannya dalam hal pengambilan suatu  putusan, mulai dari beban pembuktian sampai alat-alat bukti yang dikemukakan oleh para pihak adalah merupakan persoalan hukum, yang harus diperhatikan oleh hakim karena beban pembuktian itu merupakan persoalan yang tidak mudah, karena tidak ada satu pasal pun di dalam hukum acara yang mengatur secara tegas tentang pembagian beban pembuktian.

Dalam praktek, para hakim memerlukan ketelitian dan kebijaksanaan untuk menentukan pihak mana yang perlu diberi beban pembuktian lebih dahulu dan selanjutnya. Ada satu pasal yang mengatur beban pembuktian, yaitu pasal 163 HIR, 283 RBg. Tetapi ketentuan pasal ini tidak begitu jelas, karena itu sulit untuk diterapkan secara tegas, apakah beban pembuktian itu ada pada pihak penggugat atau pada pihak tergugat. Kesalahan dalam memberikan beban pembuktian adalah menjerumuskan pihak yang dibebani pembuktian  kejurang kekalahan, hal ini pasti keadilan tidak akan pernah tercapai, akibatnya putusan hakim menjadi putusan yang tidak adil.

Kesalahan-kesalahan hakim dalam pengambilan putusan dalam suatu perkara mengakibatkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan sangat rendah. Banyak sekali putusan hakim yang sudah memiliki kekuatan pasti tidak dapat dilaksanakan eksekusinya, karena mendapat perlawanan dari masyarakat. Kridibilitas lembaga peradilan kita dalam pandang masyarakat memang sangat rendah dalam beberapa tahun belakang ini, ini disebabkan oleh beberapa paktor, antara lain yang sangat dominan adalah faktor perilaku penegak hukum itu sendir termasuk di dalamnya hakim itu sendiri disamping penegak hukum yang lainnya, baik hakim pada tingkat Pengadilan Negeri maupun ditingkat tertinggi sekali yaitu Mahkamah Agung.

Mafia peradilan tidak asing lagi bagi telinga masyarakat, kepercayaan terhadap keadilan yang diciptakan melalui badan peradilan yang dinamakan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung itu terasa sirna bila kita mendengar, melihat dan mebaca berita yang disuguhkan melalui masmedia. Mahkamah Agung sebagai tameng terakhir untuk mendapat keadilan tercemar oleh sekelompok pedagang keadilan yang tidak bertanggung jawab. Kesadaran hukum adalah suatu tuntutan dalam penegakan hukum, tidak hanya tuntutan ini ditujukan kepada masyarakat saja,  tetapi juga kepada penegak hukum itu sendiri. Kesadaran hukum masyarakat tidak ada gunanya bila tidak diimbangi dengan pengetahuan hukum itu sendiri, demikian pula sebaliknya pengetahuan hukum sudah cukup dan kesadaran hukum sudah tinggi tidak ada artinya kalau tidak dimbangi oleh perilaku yang tidak manis dari petugas hukum itu sendiri.

Kita menyadari bahwa kesadaran dan pengetahuan hukum masyarakat kita sangat rendah, terutama di daerah-daerah. Terlepas dari itu seyogianya setiap aparatur hukum yang terkait di dalam penegakan hukum haruslah memberikan penjelasan yang benar atas setiap persoalan hukum yang terjadi di dalam masyarakat yang awam akan mengerti serta memahami tentang hukum yang mengikat setiap tingkah laku mereka sehari-hari. Pekerjaan ini tidak mudah dan tidak pula murah.Tetapi  masyarakat harus diberikan penyuluhan terhadap hukum, agar rakyat tahu tentang hukum itu.

Dalam suatu lingkungan masyarakat tidak jarang para anggotanya memiliki berbagai kepentingan yang satu sama lain saling bertentangan, sehingga dalam mempertahankan kepentingannya itu mereka dapat terlibat dalam pertentangan-pertentangan yang dapat membahayakan ketertiban dan keamanan masyarakat. Dengan begitu eksistensi, dan pengetahuan hukum masyarakat  diperlukan untuk mencegah timbulnya bahaya-bahaya yang mampu meresahkan kehidupan masyarakat sehingga setiap anggota masyarakat merasa aman dan tentram karena memperoleh suatu perlindungan hukum.

Hukum yang baik belum tentu dapat dilaksanakan dengan baik apabila pelaksana hukumnya tidak menguasai hukum dengan baik, demikian juga jika pelaksana hukum memiliki penguasaan hukum yang sangat baik juga tidak akan menghasilkan keputusan hukum yang baik jika mental atau moral penegak hukumnya tidak baik. Akan sempurna jika penegak hukum menguasai materi hukum dengan baik dan memiliki moral yang baik, inilah hakim yang didambakan oleh masyarakat.

Kemampuan untuk menguasai hukum akan terpenuhi jika pelaksana hukum dalam kehidupan sehari-harinya selalu mentaati hukum. Ketidak taatan kepada hukum hanya akan menghasilkan penegak-penegak hukum yang otoriter, yang dengan kekuasaannya menekan anggota masyarakat untuk mentaati hukum menurut seleranya sendiri. Sikap yang demikian jelas bertentangan dengan hukum. Oleh karena itu untuk meningkatkan citra dan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan ditanah air ini, penegak-penegak hukum haruslah orang-orang yang mengusai hukum sendiri, dan juga bermoral  dan beriman. Sehingga dalam penerapan hukum ia dapat berlaku adil jujur serta mau mengindahkan hukum yang berlaku.

Akan tetapi dalam kenyataannya, keinginan masyarakat untuk mendapatkan keadilan dan perlindungan hukum sering merasa kecewa karena apa yang diharapkan melalui lembaga peradilan tidak mencerminkan lembaga peradilan, tetapi tidak lain dari lembaga jual beli hukum. Untuk memperbaiki citra badan peradilan ini tentu tidak mudah, harus dilakukan perbaikan-perbaikan dalam segala hal, seperti gaji, sarana dan prasarana penunjang dan terutama adalah sumber daya manusianya. Kesejahteraan adalah merupakan kambing hitam yang utama yang dijadikan alasan mengapa para penegak hukum menjadi tidak bermoral. Di samping itu tentu juga adalah pembenahan lembaga peradilan itu sendiri, agar menjadi lembaga yang mandiri terlepas dari pengaruh kekuasaan negara lainnya, yang mempengaruhi kemandirian hakim dalam melaksanakan tugasnya sebagai hakim.

Di dalam dunia peradilan, prinsip-prinsip dasar kekuasaan kehakiman yang mandiri yang harus dihormati oleh setiap negara yang melakukan rule of law, adalah  meliputi:[11]

  1. Judicial Indefendence, lembaga peradilan harus merupakan suatu lembaga yang memberikan manfaat sangat besar bagi setiap masyarakat, dimana setiap orang berhak untuk mendapatkan peradilan yang terbuka untuk umum yang dilaksnakan oleh pengadilan yang berwenang, adil dan tidak memihak. Peradilan yang mandiri merupakan syarat mutlak untuk melaksanakan hak tersebut yang mensyaratkan bahwa peradilan akan memeriksa perkara dengan adil dan menerapkan hukum yang baik.
  2. Objectieve of the judiciary, tujuan peradilan adalah :
  3. Menjamin setiap orang dapat hidup dengan aman di bawah the rule of law.
  4. Meningkatkan penghormatan dan pelaksanaan hak asasi manusia.
  5. Melaksanakan hukum secara adil dalam sengketa antara sesama warga masyarakat dan antar warga masyarakat dengan negara.
  6. Appoinment of judges. Para hakim harus diangkat berdasarkan kemampuannya yang nyata, integritas yang tinggi dan mandiri, dan harus dilaksanakan sedemikian rupa sehingga akan menjamin bahwa hanya yang terbaik yang dapat menduduki jabatan tersebut. Prosedur pengangkatannya harus transparan dan tanpa diskriminasi (suku, warna kulit, agama, gender, aliran politik, dan sebagainya).
  7. Tenure, yaitu bahwa masa jabatan hakim harus dijamin, baik melalui pemilihan kembali atau prosedur resmi lainnya. Tetapi diusulkan agar Hakim hanya akan pensiun/diberhentikan setelah mencapai usia tertentu dan ketentuan batas usia tersebut tidak boleh dirubah sehingga merugikan Hakim yang sedang melaksanakan tugasnya. Hakim hanya boleh diberhentikan  sebelum batas usia pensiun karena terbukti tidak mampu, dijatuhi pidana, atau mempunyai kelakuan yang tidak sesuai dengan kedudukannya sebagai Hakim, dan harus berdasarkan prosedur yang jelas.
  8. Judicial Condition, yaitu para hakim harus menerima penggajian yang memadai dan diberikan persyaratan kerja dan jaminan yang wajar.
  9. Jurisdiction, dimana kewenangan penyerahan perkara kepada hakim merupakan administrasi pengadilan dan pengawasan utama berada pada ketua pengadilan yang bersangkutan.
  10. Judicial Administration, yaitu bahwa administrasi pengadilan yang meliputi pengangkatan, pengawasan, dan penjatuhan disiplin kepada pejabat administrasi dan petugas pengadilan lainnya, serta anggaran pengadilan haruslah diberikan tanggung jawabnya kepada badan peradilan, atau oleh suatu badan di mana judiciary mempunyai peranan penting.
  11. Realitionship with the executive, yaitu bahwa kewenangan yang dimiliki oleh Eksekutif yang berdampak terhadap Hakim dalam melaksanakan tugasnya, gaji atau sumber pendapatannya, tidak boleh digunakan untuk mengancam atau menekan para Hakim, perlindungan Hakim dan keluarganya.
  12. Recources, yaitu bahwa agar para hakim dapat melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya, kepada mereka harus diberikan jaminan yang cukup.
  13. Emergency, bahwa dalam hal sedang terjadi kesulitan/krisis ekonomi di mana negara tidak memungkin memberi biaya yang memadai bagi Hakim, tetapi untuk tegaknya the rule of law dan perlindungan hak asasi manusi, pengadilan harus diberikan prioritas dalam pembiayaan.
  1. PENUTUP

Berdasarkan uraian singkat diatas, maka sangat perlu dibentuk suatu lembaga yang menangani pelanggaran maupun sengketa Pemilu. Hal itu dikarenakan persoalan pemilu sangat kompleks karena  dalam proses penegakan hukum Pemilu dan Pemilukada yang meliputi berbagai aspek hukum yaitu tata Negara, administrasi Negara, pidana dan  perdata menyebabkan penanganannyapun melibatkan beberapa lembaga peradilan yaitu Mahkamah Konstitusi, Pengadilan Tata Usaha Negara dan Peradilan umum. Hal ini menyebabkan dapat terjadi putusan satu lembaga peradilan bertentangan dengan putusan lembaga peradilan lain atau dapat terjadi juga putusan suatu lembaga peradilan  misalnya putusan MK tentang penggelembungan suara yang melibatkan penyelenggara Pemilu yang jelas juga merupakan tindak pidana pemilu tidak terproses secara pidana.

Dari gambaran tersebut memperlihatkan  betapa rumitnya penegakan hukum dalam proses pemilu dan pemilukada. Dilain sisi lembaga pengawas Pemilu yaitu Bawaslu dan jajarannya tidak lebih dari tukang pos yang tugasnya dalam penegakan hukum pemilu dan Pemilukada  meneruskan kasus yang mengandung unsur pidana ke polisi dan pelanggaran administrasi ke KPU. Hal ini menambah rumit penegakan hukum dalam Pemilu dan Pemilukada.

Dalam rangka memperbaiki dan menata ulang penegakan hukum Pemilu dan Pemilukada dimasa mendatang perlu dipikirkan pembentukan peradilan khusus Pemilu dan Pemilukada atau paling tidak adanya peradilan terpadu  yang  menangani  pelanggaran pemilu baik itu pelanggaran pidana, pelanggaran administrasi serta sengketa TUN. Selain itu Bawaslu dan jajarannya  perlu diberi kewenangan lebih dalam penegakan hukum dalam arti Bawaslu dan jajarannya diberi kewenangan untuk menjatuhkan sanksi administrasi serta perlu adanya aparat kepolisian dan kejaksaan yang bertugas khusus di pengawas pemilu dalam rangka melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap kasus pelanggaran pemilu.

DAFTAR PUSTAKA

Gaffar, Janedjri M., 2013. Politik Hukum Pemilu, cetakan kedua, Jakarta:  Konstitusi Press.

Gaffar, Janedjri M., 2013. Demokrasi dan Pemilu di Indonesia, cetakan pertama, Jakarta:  Konstitusi Press.

Indonesia, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.

Lutfi, Mustafa, 2010. Hukum Sengketa Pemilukada di Indonesia- gagasan perluasan kewenangan konstitusinal Mahkamah Konstitusi, cetakan Pertama, Yogyakarta: UII Press.

Mulyadi, Dedi,2013. Perbandingan Tindak Pidana Pemilu Legislatif – dalam perspektif hukum di Indonesia, cetakan Kesatu, Bandung : Refika Aditama.

Santoso, Topo, 2006. Penegakan Hukum Pemilu – praktik Pemilu 2004, kajian Pemilu 2009-2014, Jakarta : Perludem-US AID-DRSP.

Sardini, Nur Hidayat, 2011. Restorasi Penyelenggaraan Pemilu di Indonesia, cetakan Pertama, Yogyakarta : Fajar Media Press

Sahdan, Gregorius dkk, 2008. Politik Pilkada-tantangan merawat demokrasi, Yogyakarta: IPD-Konrad Adenauer Stiftung.

Wibowo, Arif, 2013. Menata ulang Sistem Penyelesaian dan Pelanggaran Pemilukada, dalam buku : Demokrasi Lokal-evaluasi Pemilukada di Indonesia,  cetakan kedua, Jakarta : Konstitusi Press.

Ismail Suny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Aksara Baru, Jakarta, 1986; Jimly Ashiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Kostitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, 1994.

Jimly Asshiddiqie, “Struktur Ketatanegraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar 1945”, Makalah disampaikan dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasioanal VIII dengan tema penegakan Hukum dalam Era Pembangunan Berkelanjutan, diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum NASIONAL Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Denpasar.

John Alder, Constitutional & Administrative Law, London: Macmillan Profes-sional Masters 1989.

J.C.T. Simorangkir, Penetapan UUD Dilihat Dari Segi Hukum Tata Negara Indonesia, Gunung Agung, Jakarta, 1984.

  1. Scheltema, De Rechtsstaat, dalam J.W.M. Engels (et.al), 1989, De Rechtsstaat Herdacht, Zwolle:TjeenWillink
  1. Tolchah Mansoer , Pembahasan beberapa Aspek Kekuasaan Eksekutif dan Legislatif di Indonesia, Jakarta : Pradnya Paramita, 1983.

Ofer Raban, Modern Legal Theory and Judicial Impartiality, 2003

Padmo Wahjono, Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984.

Pergulatan Tanpa Henti Menabur Benif Reformasi (Jakarta: Otoboigrafi , Aksara Karunia ,2004

Refly Harun ,dkk Menjaga Denyut Konstitusi: Refleksi Satu Tahun Mahkamah Konstitusi , Jakarta; Konstitusi Pers.

Romi Librayanto, 2008, Trias Politica Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia, PuKAP-Indonesia, Makassar.

Richard Susskind, The future of law, facing the challenges of information technology. New Russel.

Sri Soemantri, Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD NRI 1945, Cetakan VI, Bandung: Citra Aditya Bakti,1989.

Syahran Basah, Fungsi Hukum Dalam Kehidupan Masyarakat, Dalam Tiga Tulisan Tentang Hukum, Amrico, 1986

Satjito Raharjo, Membedah Hukum Progresif, Alumni, Bandung, 2008

T.M. Luthfi Yazid, “ Komisi-komisi Nasional dalam Konteks Cita-cita Negara Hukum”, Makalah disampaikan dalam Diskusi Terbatas dengan tema: „Eksistensi Sistem Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD NRI 1945, diselenggarakan oleh Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, di Hotel Aryaduta, Jakarta, 9 September 2004.

Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Tata Negara di Indonesia, Cet. VI, Penerbit Dian Rakyat, Jakarta, 1989.

[1] Topo Santoso, Penegakan Hukum Pemilu – praktik Pemilu 2004, Kajian Pemilu 2009-2014 (Jakarta : PerludemUS-AID, DRSP), hlm. 5

[2] Ibid, hlm. 176

[3] Janedjri M. Gaffar, Politik Hukum Pemilu, (Jakarta : Konstitusi Press, 2013), hlm. 77.

[4] Mustafa Lutfi, Hukum Sengketa Pemilukada di Indonesia ( Yogyakarta : UII, 2010) hlm. 113

[5]  Ibid, hlm. 78.

[6] Arif Wibowo, Menata Ulang Sistem Penyelesaian Sengketa dan Pelanggaran Pemilukada- dlm buku Demokrasi local, (Jakarta, Konstitusi Press, 2013) hlm. 117.

[7] Dedi Mulyadi, Perbandingan Tindak Pidana Pemilu Legislatif – dalam perspektif hukum di Indonesia, Cetakan Kesatu, (Bandung : PT Refika Aditama, 2013), hlm. 276.

[8] Janedjri M. Gaffar, Demokrasi dan Pemilu di Indonesia, (Jakarta : Konstitusi Press, 2013) hlm. 175

[9] Nur Hidayat Sardini,  Restorasi Penyelenggaraan Pemiludi Indonesis,  (Yogyakarta : Fajar Media Press, 2011), hlm. 233.

[10] Padmo Wahjono, Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984. Hal 112

[11] M. Scheltema, De Rechtsstaat, dalam J.W.M. Engels (et.al), 1989, De Rechtsstaat Herdacht, Zwolle:TjeenWillink, Hal.15-17)

 

Continue Reading

ANALISIS TERHADAP PASAL 45 A AYAT (2) HURUF C UU NO. 5 THN 2004 MENGENAI PEMBATASAN UPAYA HUKUM KASASI PERKARA TUN

ANALISIS TERHADAP PASAL 45 A AYAT (2) HURUF C

UU NO. 5 THN 2004 MENGENAI PEMBATASAN

UPAYA HUKUM KASASI PERKARA TUN

Untuk mematahkan bahwa Mahkamah telah khilaf menerapkan Pasal 45 A ayat (2) huruf c UU No. 5 thn 2004, maka yang harus menjadi pegangan dan ukuran, bukannya jangkauan KTUN yang dikeluarkan oleh Badan/pejabat TUN Daerah dalam wilayah yang bersangkutan, tetapi ditekankan pada urusan pemerintahan apa yang dilaksanakannya pada waktu mengeluarkan KTUN itu. Apabila pada saat mengeluarkan KTUN itu yang dilaksanakannya adalah urusan pemerintahan yang telah didesentralisasikan berdasarkan perundang-undangan (vide Pasal 13 dan Pasal 14 UU no.32 Tahun 2004 jo. Pasal 7 PP No.38 Tahun 2007), maka pada saat itu segala kebijakan yang diambil oleh Badan/Pejabat TUN Daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan dilapangan (taak vervulling), termasuk penyelenggaraan pelayanan publik (bestuurszorg) dan perbuatan-perbuatan menerbitkan KTUN (beschikkingsdaad van de administratie) yang menimbulkan sengketa tata usaha negara dengan orang atau badan hukum perdata sebagai akibat dikeluarkannya KTUN di daerah otonom adalah perkara Tata usaha Negara yang dibatasi pengajuan kasasinya sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 45A Ayat (2) huruf c UU MA. Oleh karena urusan-urusan pemerintahan yang telah diserahkan kepada daerah dalam rangka pelaksanaan asas desentralisasi pada dasarnya telah menjadi wewenang dan tanggungjawab pemerintah daerah sepenuhnya dan jangkauan KTUN yang dikeluarkan hanya berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan.

Selanjutnya, Apabila pada saat mengeluarkan KTUN itu yang dilaksanakannya adalah urusan pemerintahan dalam pelaksanaan asas dekonsentrasi dan tugas pembantuan (medebewind) berdasarkan perundang-undangan yang berlaku, maka pada saat itu segala kebijakan yang diambil oleh Badan/Pejabat TUN Daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan dilapangan (taak vervulling), termasuk penyelenggaraan pelayanan publik (bestuurszorg) dan perbuatan-perbuatan menerbitkan KTUN (beschikkingsdaad van de administratie) yang menimbulkan sengketa tata usaha negara dengan orang atau badan hukum perdata sebagai akibat dikeluarkannya KTUN di daerah otonom adalah perkara Tata usaha Negara yang bisa dikasasi. Oleh karena Kebijaksanaan pelaksanaan urusan dekonsentrasi dan tugas pembantuan (medebewind) sepenuhnya ditentukan oleh Pemerintah Pusat, sehingga wewenang dan tanggung jawab sepenuhnya berada di pusat, sedangkan Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota dan Desa hanya sebagai Koordinator dalam kedudukannya selaku perangkat Pemerintah Pusat yang bertugas mengkoordinasikan unsur-unsur pelaksana yakni instansi-instansi vertical, yang mana jangkauan KTUN yang dikeluarkan dalam rangka pelayanan penyelenggaraan urusan dapat melampaui satu wilayah administrasi Pemerintahan.

 

Apabila KTUN objek sengketa yg dikeluarkan oleh Badan/Pejabat TUN Daerah in casu merupakan kewenangan dalam rangka pelaksanaan asas desentralisasi sebagaimana yang terangkum dalam Pasal 13 dan Pasal 14 UU No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah jo. Pasal 7 PP No. 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Maka KTUN objek sengketa tersebut TIDAK BISA DIKASASI, oleh karena penyerahan kewenangan urusan pemerintahan secara desentralisasi berlangsung secara delegasi yang mana wewenang dan tanggungjawab beralih kepada pemerintah daerah sepenuhnya dan jangkauan KTUN yang dikeluarkan hanya berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan.

Apabila KTUN objek sengketa yg dikeluarkan oleh Badan/Pejabat TUN in casu merupakan kewenangan dalam rangka pelaksanaan asas dekonsentrasi dan pelaksanaan asas tugas pembantuan (medebewind). Maka KTUN objek sengketa tersebut BISA DIKASASI, oleh karena pelimpahan kewenangan pemerintahan secara dalam konteks dekonsentrasi dan tugas pembantuan (medebewind) ini dilakukan secara mandatum, dimana mandator (pemerintah pusat) tidak kehilangan kewenangan yang dilimpahkannya namun justru mandataris (Gubernur, Bupati dan Walikota pada posisi ini bukan sebagai kepala daerah melainkan sebagai sebagai Kepala wilayah yang mengkoordinir instasi-instasi vertikal) bertindak untuk dan atas nama mandator, dan Mandataris bertanggung jawab kepada mandator. Atau dengan kata lain Urusan-urusan yang dilimpahkan oleh Pemerintah Pusat kepada Pejabat-pejabatnya di Daerah menurut asas dekonsentrasi dan tugas pembantuan (medebewind) ini tetap menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat.

Selain itu berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor Register 213 K/TUN/2007 tertanggal 6 November 2007 mengenai Pembatasan Upaya Hukum Kasasi berdasarkan Pasal 45A ayat (2) huruf c UU No. 5 Tahun 2004 berkaitan dengan pembatasan upaya hukum kasasi Perkara TUN yang menyatakan “Perkara TUN yang dikecualikan untuk tidak dapat diajukan Kasasi adalah Perkara TUN yang objek gugatannya berupa Keputusan Pejabat Daerah yang jangkauan keputusannya berlaku diwilayah daerah yang bersangkutan”

Bahwa untuk menetukan apakah suatu Keputusan Pejabat jangkauannya berlaku hanya pada daerah yang bersangkutan atau tidak, haruslah dilihat dari kasus demi kasus, apabila kewenangan Pejabat yang bersangkutan a quo memang didasarkan pada suatu peraturan yang murni bersifat regional (daerah) atas dasar desentralisasi dan otonomi daerah yang secara atributif memberikan kewenangan pada daerah yang bersangkutan, misalnya berdasarkan kepada Peraturan Daerah, maka dalam hal tersebut Keputusan Pejabat yang bersangkutan memang hanya menjangkau daerahnya, sehingga kasus demikian Pasal 45A ayat (2) huruf c UU No. 5 tahun 2004 tidak dapat diterapkan.

Tapi sebaliknya apabila kewenangan pejabat yang bersangkutan itu bersifat derivative (turunan) dari peraturan yang berlaku nasional, tidak hanya bersifat regional, maka jangkauan tidak bersifat terbatas dalam daerahnya saja, tetapi juga bersifat keluar melampaui batas-batas wilayah daerahnya .

Maka dalam hal demikian Pasal 45A ayat (2) huruf ctersebut tidak dapat diterapkan; sehingga ukuran tidak hanya dilihat bahwa pejabat yang menerbitkan Keputusan itu adalah seorang Bupati atau Walikota atau Gubernur, yang kewenangannya hanya mempunyai jangkauan daerah saja, tetapi dilihat dari sumber kewenangannya, apakah berdasarkan pada Peraturan daerah atau yang setingkat, ataukah pada suatu peraturan yang dapat menjangkau wilayah Nasional.

Bahwa untuk menentukan objek Gugatan berupa Keputusan Pejabat Daerah tersebut memenuhi syarat untuk diajukan upaya hukum kasasi, pada prinsipnya adalah apabila keputusan pejabat daerah dalam rangka melaksanakan kewenangan Pemerintah Pusat, hal ini harus dilihat pada peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Keputusan Pejabat Daerah yang merupakan objek gugatan tersebut.

Persoalan diatas bermuara pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, yang kemudian dijewantahkan melalui Pasal 2 ayat (3) UUPA yang menyebutkan  “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”  Kemudian dalam penjelasannya menyebutkan “dengan demikian pelimpahan wewenang utk melaksanakan hak penguasaan dari negara atas tanah itu adalah merupakan medebewind. Segaka sesuatu yang akan diselenggarakan menurut keperluannya dan sudah barang tentu tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional. Wewenang dalam bidang agrarian dapat merupakan sumber keuangan bagi daerah itu”.

Dengan demikian kewenangan Pemda dibidang pertanahan bersifat medebewind, untuk itu berdasarkan Yurisprudensi Agung Nomor Register 213 K/TUN/2007 tertanggal 6 November 2007 mengenai Pembatasan Upaya Hukum Kasasi berdasarkan Pasal 45A ayat (2) huruf UU No. 5 Tahun 2004 maka dapat dilakukan kasasi terhadap objek sengketa Surat Keputusan Bupati nomor 7 tahun 2012

Selain itu apabila dilihat dari perspektif UU no. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara maka Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2)  “(1) Mineral atau batu bara sebagai sumber daya alam yang tak terbarukan merupakan kekayaan Nasional yang dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besar Kesejahteraan Rakyat. (2) Pengusaan mineral dan Batubara oleh negara sebagaima dimaksud ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah daerah”

 

Dengan demikian apabila dilihat dalam perspektif Hukum Pertambangan, kewenangan atributif berada pada Pemerintah, dengan demikian Pemerintah daerah hanya melaksanakan kewenangan Delegatie atau Mandat, sehingga untuk itu berdasarkan Yurisprudensi Agung Nomor Register 213 K/TUN/2007 tertanggal 6 November 2007 mengenai Pembatasan Upaya Hukum Kasasi berdasarkan Pasal 45A ayat (2) huruf UU No. 5 Tahun 2004 maka dapat dilakukan kasasi terhadap objek sengketa Surat Keputusan Bupati nomor 7 tahun 2012

Continue Reading