PENGISIAN JABATAN YANG KORUPTIF

PENGISIAN JABATAN YANG KORUPTIF

Beberapa waktu yang lalu ramai pemberitaan tentang adanya jual beli jabatan di lingkungan jabatan publik dalam pemerintahan. Apabila menengok kebelakang, tentu hal itu bukanlah suatu hal yang baru, mengingat dalam beberapa kasus yang pernah terjadi, banyak motif dan cara yang digunakan dalam upaya memperdagangkan jabatan publik di pemerintahan.

Mengutip seperti yang dikatakan oleh Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarief, bahwa perdagangan jabatan hampir terjadi di setiap level pemerintahan. Meskipun tidak mudah untuk membongkar praktik ilegal itu, salah satu kesulitan mendasar dalam membongkar kejahatan itu dikarenakan pihak pemberi maupun penerima suap saling berjanji untuk menutupi kejahatan masing-masing. Pejabat yang berkeinginan untuk mendapatkan promosi jabatan atau ditempatkan di jabatan strategis tertentu harus menyetor sejumlah uang. Tentunya semakin tinggi dan strategis jabatan, semakin tinggi dan besar pula uang yang harus disetorkan.

Motif dan cara jual beli pengisian jabatan dalam pemerintahan dapat terjadi tidak hanya pada saat promosi jabatan, akan tetapi juga terjadi pada tahapan awal rekrutmen, pengangkatan, penempatan dan mutasi jabatan. Menjadi sangat miris sekali apabila hal demikian berulangkali terjadi, karena tidak mungkin dengan harga jabatan yang diperoleh, seseorang yang duduk dalam jabatan tersebut dapat menjalankan amanah dengan atau tanpa melakukan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Tentu pejabat yang demikian akan berfikir tentang untung rugi atas jabatan yang disandangnya.

Kondisi yang demikian sungguh sangat memprihatinkan, mengingat dengan adanya praktik jual beli jabatan, maka selamanya tidak akan dapat memutus mata rantai perilaku koruptif yang nyata-nyata bertentangan dengan semangat agenda Reformasi Birokrasi, utamanya dalam upaya membangun Aparatur Sipil Negara yang berintegritas, professional, netral dan bebas dari intervensi politik, bersih dari KKN serta mampu menyelenggarakan pelayanan publik dengan baik sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.

Sehingga tidak salah apabila Pemerintah melalui agenda Reformasi Birokrasi yang tertuang dalam Roadmap Reformasi Birokrasi yang disusun dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) hingga 2024, Reformasi Birokrasi periode 2004-2014 adalah menekankan pada penegakan Hukum dan Disiplin PNS, perbaikan sistem kepegawaian dan tata kelola Pemerintahan yg baik. Periode 2014-2019, menekankan pd sistem rekruitmen dan Promosi Jabatan ASN yang bersih/profesional, SDM aparatur yg Berkualitas dan Bebas KKN. Periode 2019-2024, menekankan kemapanan bisnis proses penyelenggaraan Pemerintahan/Clean & Good Governance, penggunaan E-Govermant yang terintegrasi.

Tiga Problem

Persoalan tentang adanya jual beli jabatan merupakan satu dari sekian banyak problem pengisian jabatan di pemerintahan. Melalui tulisan ini penulis setidaknya mencatat terdapat 3 (tiga) problem besar dalam pengisian jabatan di pemerintahan. Pertama, problematika prosedur, model dan tata cara seleksi, dimana belum ada aturan baku yang mengatur mengenai standar prosedur dan mekanisme seleksi yang rinci dan komprehensif, sehingga dalam setiap pengisian jabatan publik cenderung ditafsirkan secara otoriter oleh pemegang otoritas kekuasaan dalam pemerintahan.

Kedua, problem berkenaan dengan lembaga yang berwenang melakukan seleksi pejabat dalam pemerintahan, hal ini dapat terlihat dalam setiap proses pengisian jabatan dalam pemerintahan yang selalu berbeda-beda dan berubah-ubah antar periode yang satu dengan yang lainnya, padahal rujukan pengaturannya sama atau belum terdapat perubahan.

Ketiga, problem pengawasan dalam pengisian jabatan dalam pemerintahan. Problem ini pada tingkatan pemerintah pusat sering difungsikan oleh lembaga Parlemen/DPR, akan tetapi dalam pelaksanaanya justeru banyak menuai kritik terhadap adanya campur tangan DPR dalam proses pengisian jabatan dalam pemerintahan. Pada tingkatan daerah juga menganut sistem pengawasan berlapis, yakni pengawasan internal yang dilakukan oleh inspektorat dan pengawasan eksternal yang dilakukan oleh Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN). Namun dalam perkembangannya baik inspektorat maupun KASN dinilai kurang begitu berfungsi optimal dalam usaha pengawasan dalam pengisian jabatan dalam pemerintahan.

Tiga Pilar

Dalam setiap Negara tentunya berkeinginan untuk mencapai tujuan-tujuan bernegara, untuk itulah sangat dibutuhkan suatu Aparatur Pemerintahan yang kompeten, sehingga dengan adanya Aparatur Pemerintahan yang baik, maka kelancaran dan penjewantahan tujuan-tujuan Negara dapat berjalan dengan maksimal.

Untuk mencapai tujuan bernegara itulah maka perlu diprioritaskan terhadap pembangunan 3 (tiga) Pilar kekuatan, yakni Hukum (rule), Jabatan  (ambt) dan Pemegang Jabatan (ambtsdrager). Hukum (rule) bertujuan untuk mengatur hubungan antara kelembagaan  dalam Negara berserta fungsi hubungan Negara dengan rakyatnya, sedangkan Jabatan (ambt) dan Pemegang Jabatan (ambtsdrager) bertujuan untuk mengatur batas-batas kewenangan dan tanggung jawab jabatan yang diemban. Untuk itu menjadi sangat penting sekali Pejabat dalam Pemerintahan untuk dapat membedakan antara Hukum (rule), Jabatan (ambt) dan Penjabat/Pemegang Jabatan (ambtsdrager).

Dalam konsep penyelenggaraan Birokrasi yang ideal, Hukum harus dijadikan panglima dalam dinamika kehidupan kenegaraan, bukan Jabatan (ambt) apalagi Penjabat/Pemegang Jabatan (ambtsdrager). Sehingga dengan demikian seseorang yang memegang jabatan dalam pemerintahan menjadi paham dan sadar tentang batas-batas kewenangan dan apa yang harus dilakukan serta tidak boleh dikerjakan.

Untuk itu sangat penting sekali bagi Pemegang Jabatan dalam Pemerintahan untuk merefleksikan kembali semangat ‘the rule of law and ethics, not of man’, yakni hukum dan etika sebagai suatu sistem, bukan orang per orang (jabatan atau penjabat) yang mengaturnya. Sehingga apabila hukum dan etika dijadikan ukuran dan pijakan dalam setiap pelaksanaan kewenangan dalam Pemerintahan, maka akan sangat kecil kemungkinan terjadinya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dalam penyelenggaran Pemerintahan, utamanya dalam upaya memperkecil kemungkinan adanya jual beli jabatan dalam pemerintahan.

Link : Pengisian Jabatan Yang Koruptif

Continue Reading