PIMPINAN DPR DALAM SISTEM PRESIDENSIL

PIMPINAN DPR DALAM SISTEM PRESIDENSIL

Sejarah membuktikan bahwa the founding fathers telah mengidealkan sistem pemerintahan Presidensil, hal itu dapat tercermin dalam perumusan UUD 1945 yang menyatakan bahwa kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar dipegang oleh seorang Presiden dengan dibantu oleh satu orang Wakil Presiden selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan (Pasal 4 ayat (1) dan (2) jo. Pasal 7 UUD 1945). Selain itu apabila mendasarkan pada Undang-Undang Dasar yang dirancang oleh BPUPKI (Badan Usaha Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia) yang kemudian disahkan oleh PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada tanggal 18 Agustus 1945, dalam sistem pemerintahan yang diidealkan, juga tidak dikenal dengan adanya jabatan Perdana Menteri dalam pemerintahan Indonesia merdeka. Itulah kemudian yang menjadi alasan mendasar dalam agenda Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, yakni mengupayakan penguatan sistem presidensil secara murni, dengan cara Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat. Hal itulah yang merupakan ciri penting dalam upaya penguatan sistem pemerintahan Presidensil, dimana Presiden dan Wakil Presiden hanya tunduk dan bertanggung jawab kepada rakyat yang memilihnya.

Dalam beberapa hari terakhir muncul aspirasi yang berkembang salah satunya guna memperkuat sistem pemerintahan presidensil, maka terdapat wacana penambahan atau perubahan struktur pimpinan DPR, yang mana PDIP notabene fraksi terbesar di parlemen, justeru tidak terwakilkan kadernya pada posisi jabatan Pimpinan DPR. Terhadap wacana tersebut, setidaknya Penulis terdapat 3 (tiga) pandangan, Pertama, secara hukum, wacana penambahan pimpinan DPR bukan merupakan isu konstitusional, hal itu dikarenakan tidak ada dalam Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatur struktur dan komposisi susunan Pimpinan DPR, Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 hanya mengatur susunan DPR diatur dengan Undang-Undang, artinya pengaturan perihal struktur dan komposisi susunan Pimpinan DPR merupakan open legal policy atau bergantung pada pembentuk Undang-Undang untuk mengaturnya. Kedua, dalam praktek ketatanegaraan yang ada didunia (comparative research study), tidak pernah terjadi Negara yang memilih sistem pemerintahan Presidensil, pimpinan parlemenya tidak dikendalikan atau dipegang oleh partai penguasa atau pemenang pemilu, hal ini tentu selaras dengan tujuan sistem pemerintahan Presidensil yakni menciptakan pemerintahan (executive) yang relatif stabil, yang jauh dari ancaman kekuasaan parlemen. Ketiga, secara sosio politik apabila benar terjadi keinginan untuk penambahan kursi pimpinan DPR, maka tentu yang demikian kemungkinan akan menjadi isu kurang baik bagi publik, dan akan menimbulkan kesan atau persepsi publik bahwa penambahan pimpinan DPR hanya merupakan bagian dari bagi-bagi kekuasaan di parlemen, meskipun mungkin tujuannya tidak demikian. Selain itu penambahan kursi pimpinan DPR juga berpeluang terhadap adanya perubahan UU Susduk secara periodik, yakni bergantung pada jumlah komposisi kekuatan fraksi yang berkuasa di DPR setiap 5 (lima) tahun sekali. Untuk membendung hal-hal nengatif tersebut, maka perlu dicarikan solusi jalan tengah guna mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan sebagaimana tersebut pada alinea sebelumnya.

POLARISASI SISTEM DUA POROS

Ada sebagian yang menyatakan bahwa upaya penambahan pimpinan DPR merupakan akibat dari dianutnya sistem multi partai di Indonesia, namun Penulis kurang sependapat dengan pendapat yang demikian, mengingat pembatasan jumlah partai politik merupakan bagian dari pelanggaran terhadap prinsip kemerdekaan berserikat (freedom of association), selain itu biarlah sejarah yang menseleksi partai politik mana yang survive dan mendapat mandat dari rakyat, tanpa membatasi jumlah partai politik di Indonesia. Selain itu perlu dikenalkan sistem baru dalam upaya penyederhanaan pengambilan Keputusan di DPR, yakni dengan melembagakan dari berbagai fraksi dan partai politik menjadi 2 (dua) poros kekuatan, poros pertama merupakan himpunan fraksi dan partai politik pendukung pemerintah, sedangkan poros kedua merupakan kumpulan fraksi dan partai politik non-pemerintahan, sehingga dalam pengambilan keputusan jauh lebih mudah, sederhana dan cepat.

Kedua poros itu juga harus terlembagakan dalam unsur pimpinan DPR, yakni terdapat 2 (dua) unsur pimpinan DPR, unsur pimpinan DPR pertama adalah mewakili partai dan fraksi pendukung pemerintah, sedangkan unsur pimpinan kedua adalah mewakili partai dan fraksi non-pemerintahan. Sehingga hal demikian akan mencerminkan 2 (dua) kelompok kekuatan seperti yang biasa kita lihat dalam tradisi Kongres di Amerika Serikat, yakni Speaker of the House atau pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat, yakni cukup terdiri dari 2 (dua) orang saja, yakni pertama mewakili partai dan fraksi pendukung pemerintah, sedangkan yang kedua mewakili partai dan fraksi non-pemerintahan, perwakilan dari kelompok mayoritas sebagai Ketua DPR, sedangkan kelompok yang lebih sedikit sebagai Wakil Ketua DPR. Selain itu apabila kita pahami mendalam, maka sebenarnya tugas dari Ketua dan Wakil Ketua DPR hanya sebagai pimpinan sidang paripurna dan sebagai juru bicara lembaga DPR di muka Publik, sehingga Pimpinan DPR tidak perlu terlalu banyak, cukup 2 (dua) perwakilan yang mencerminkan keterwakilan parlemen dalam upaya menjalankan fungsinya. Untuk itu tidak perlu penambahan anggota Pimpinan DPR sebagaimana pemberitaan dalam beberapa berita melalui media massa pada akhir-akhir ini.

Sehingga dengan demikian melalui sistem ini diharapkan mekanisme pengambilan keputusan di DPR akan lebih sederhana, efektif dan efisien, tujuannya adalah tercipta hubungan antara cabang kekuasaan ekskutif dan legislatif lebih maksimal, sehingga pada akhirnya tujuan Negara sebagaimana tertuang dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dapat tercapai sesuai yang diharapkan.

Link : Pimpinan DPR Dalam Sistem Presidensil

Continue Reading

KONSTITUSI AMERIKA SERIKAT (BAHASA INDONESIA)

MUKADIMAH

Kami Rakyat Amerika Serikat, agar dapat membentuk suatu Perserikatan yang lebih sempurna, membangun Keadilan, menjamin Kententraman domestik, menetapkan pertahanan bersama, memajukan Kesejahteraan umum, dan mengamankan Berkah Kemerdekaan bagi diri kita dan Keturunan, mengesahkan dan menetapkan Konstitusi Amerika Serikat.

Pasal I

Ayat 1.

Semua kekuasaan legislatif yang ditetapkan di sini akan diberikan kepada sebuah Kongres Amerika Serikat, yang akan terdiri dari sebuah Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat.

Ayat 2.

Dewan Perwakilan Rakyat akan terdiri dari para anggota yang dipilih setiap Tahun kedua oleh Rakyat di beberapa Negara Bagian, dan para Pemilih di setiap Negara Bagian harus memenuhi Persyaratan yang diperlukan untuk menjadi Pemilih bagi Cabang dari Bagan Legislatif Negara Bagian yang terbanyak.

Tak seorang pun dapat menjadi Wakil Rakyat bila belum mencapai umur duapuluh-lima tahun, dan belum tujuh tahun menjadi warga negara Amerika Serikat, dan, jika terpilih, bukan penduduk Negara Bagian di mana ia terpilih.

Wakil Rakyat dan Pajak langsung akan dibagi di antara semua Negara Bagian [yang mungkin dimasukan ke dalam Perserikatan ini, sesuai dengan jumlah masing-masing, yangakan ditentukan dengan menambahkan pada seluruh Jumlah Orang bebas, termasuk mereka yang terikat untuk mengabdi selama jangka waktu Beberapa Tahun, dan tidak termasuk orang Indian yang tidak dikenai pajak, tiga-perlima dari semua Orang lainnya.] Penghitungan yang sebenarnya akan dilakukan dalam tiga Tahun sesudah Sidang pertama Kongres Amerika Serikat, dan dalam setiap Masa sepuluh tahun berikutnya, dengan cara yang akan ditentukan dengan Undang-Undang. Jumlah Wakil Rakyat tidak boleh lebih dari satu untuk setiap tigapuluh ribu orang, tetapi setiap Negara Bagian akan mempunyai paling sedikit satu Wakil Rakyat; dan sampai dilakukannya penghitungan demikian, Negara Bagian New Hampshire berhak untuk memilih tiga orang, Massachusetts delapan, Rhode Island dan Providence Plantation satu, Connecticut lima, New York enam, New Jersey empat, Pennsylvania delapan, Delaware satu, Maryland enam, Virginia sepuluh, North Carolina lima, South Carolina lima, dan Georgia tiga.

Apabila terjadi lowongan dalam perwakilan suatu Negara Bagian, Penguasa Eksekutifnya akan mengeluarkan Perintah Pemilihan untuk mengisi lowongan demikian.

Dewan Perwakilan Rakyat akan memilih Ketuanya dan pejabat-pejabat lainnya dan akan mempunyai Kekuasaan tunggal untuk Mengajukan Dakwaan.

Ayat 3.

Senat Amerika Serikat akan terdiri dari dua Senator dari setiap Negara Bagian, [yang dipilih oleh Badan Legislatif Negara Bagian tersebut,] untuk enam tahun; dan masing masing Senator akan memiliki satu suara.

Segera setelah mereka bersidang Menyusul Pemilihan pertama, mereka akan dibagi serata mungkin ke dalam tiga Kelas. Kedudukan Senator kelas satu akan dilowongkan Sehabis Tahun kedua, kelas dua sehabis tahun keempat, dan kelas tiga sehabis tahun keenam, sehingga sepertiga jumlahnya dapat dipilih tiap Tahun kedua;[ dan apabila terjadi Lowongan karena Pengunduran diri, atau sea lin, selama Reses Badan Legislatif Negara Bagian mana pun, Penguasa Eksekutif Negara Bagian tersebut dapat melakukan pengangkatan sementara sampai sidang Badan Legislatif berikutnya, yang kemudian akan mengisi Lowongan tersebut.

Tak seorang pun dapat menjadi Senator bila elum mencapai Usia tigapuluh tahun, dan belum sembilan Tahun menjadi warga negara Amerika Serikat, dan jika, pada waktu dipilih, bukan penduduk Negara Bagian untuk mana ia dipilih.

Wakil Presiden Amerika Serikat akan menjadi Ketua Senat, akan tetapi tidak mempunyai Hak Suara, kecuali jika jumlah suara terbagi sama.

Senat akan memilih pejabat-pejabatnya yang lain, dan juga Ketua sementara, jika Wakil Presiden tidak ada atau apabila ia harus menjalankan jabatan Presiden Amerika Serikat.

Senat akan mempunyai Wewenang tunggal untuk mengajukan semua Dakwaan. Bila sedang bersidang untuk Tujuan tersebut, mereka akan bertindak di bawah sumpah atau penegasan tugas. Apabila Presiden Amerika Serikat yang diadili, Hakim Ketua Makamah Agung akan mengetuai sidang; Dan tak seorang pun akan dinyatakan bersalah tanpa persetujuan dari dua pertiga anggota yang hadir.

Pengambilan Keputusan dalam erkara Dakwaan Pemecatan (Impeachment) tidak akan lebih daripada emberhentian dari Jabatan, dan penghapusan hak untuk memegang dan menikmati Jabatan apa pun yang merupakan kehormatan, Kepercayaan atau Keuntungan di bawah A.S: namun pihak yang dinyatakan bersalah bagaimanapun bisa dan mungkin dikenai Dakwaan, Diadili, mendapat Keputusan hakim dan Hukuman, sesuai dengan Undang-Undang.

Ayat 4.

Waktu, Tempat, dan Cara menyelenggarakan Pemilihan Senator dan Wakil Rakyat akan ditentukan di setiap Negara Bagian oleh badan Legislatifnya masing-masing; tetapi Konres dapat setiap saat dengan Undang-Undang membuat atau mengubah peraturan demikian, [ kecuali tentang tempat untuk memilih Senator.]

Kongres akan bersidang sedikitnya sekali setiap Tahun, [ dan sidang demikian akan diselenggarakan pada hari Senin pertama bulan Desember,] kecuali jika dengan Undang-Undang mereka menentukan hari lain.

Ayat 5.

Masing-masing Kamar akan menjadi Wasit dalam Pemilihan, Hasil Pemilihan dan Persyaratan bagi para anggotanya sendiri, dan suatu Mayoritas dalam masing-masing kamar akan merupakan Kuorum untuk Bekerja; tetapi satu Jumlah yang lebih kecil boleh menunda sidang hari demi hari, dan dapat diberi wewenang untuk memaksa Kehadiran para anggota yang absen, dengan Cara-cara, dan dengan Sanksi Hukumn yang mungkin ditentukan oleh masing-masing Kamar.

Masing-masing Kamar dapat menentukan Peraturan-Peraturan Acara Kerjanya, menghukum Anggotanya karena Sikap tidak tertib, dan, dengan Persetujuan dua pertiga jumlah anggotanya, mengeluarkan seorang Anggota.

Masing-masing Kamar akan membuat Catatan tentang Acara Kerjanya, dan dari waktu ke waktu menerbitkannya, kecuali Bagian-Bagian tertentu yang menurut penilaian mereka memerlukan Kerahasiaan; dan suara Setuju dan Tidak Setuju dari para Anggota masing-masing Kamar mengenai persoalan apa pun, atas Keinginan seperlima yang hadir; akan dicantumkn dalam catatan itu.

Masing-masing Kamar, selama masa sidang Kongres, tanpa Persetujuan kamar lainnya, tidak akan menangguhkan sidang selama lebih dar tiga ari, atau, pindah ke Tempat lain mana pun selain tempat sidang kedua Kamar tersebut.

Ayat 6

Para Senator dan Wakil Rakyat akan menerima Imbalan untuk Pengabdian mereka, yang akan ditentukan dengan undang-undang, dan dibayarkan dari Kas Negara Amerika Serikat. Dalam segala Hal, kecuali Pengkhianatan, Kejahatan, dan Pelanggaran Ketentraman, mereka akan terbebas dari Penangkapan selama Kehadiran mereka dalam Sidang Dewan mereka masing-masing, dan tatkala berangkat dan kembali dari sana; dan atas Pidato atau Perdebatan apa pun dalam Kamar masing-masing, merea tidak akn ditanyai di Temat lain mana pun.

Tak seorang pun Senator dan Wakil Rakyat, selama masa mereka terpilih, akan diangkat untuk menduduki Jabatan Sipil apa pun di bawah Kekuasaan Amerika Serikat, yang akan diciptakan, atau Imbalannya akan ditingkatkan di masa tersebut; dan tak seorang pun yang memegang jabatan apa saja di bawah hukum Amerika Serikat akan menjadi Anggota salah satu Kamar selama ia memegang jabatan tersebut.

Ayat 7.

Semua Rancangan Undang-Undang untuk meningkatkn Pendapatan akan berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat, akan tetapi Senat boleh mengusukan atau menyetujui Perubahan-Perubahan, seperti halnya denan Rancangan Undang-Undang yang lain.

Setiap Rancangan Undang-Undang yang harus melalui Dewan Perwakilan Rakyat dan senat, sebelum menjadi Undang-Undang akan disampaikan kepada Presiden Amerika Serikat; jika ia setuju, ia akan menandatanganinya, tetapi jika tidak, ia akan mengembalikannya, disertai dengan Keberatan-Keberatannya, ke Kamar asal rancangan itu, yang akan mencantumkan keberatan-keberatan itu seluruhnya ke dalam catatannya, dan kemudian mempertimbangkannya. Jika setelah dipertimbangkan kembali dua pertiga anggota Kamar itu setuju untuk meloloskan Rancangan tersebut, rancangan itu akan disampaikan bersama-sama dengan Keberatan-Keberatannya, ke Kamar lainnya, yang juga akan mempertimbangkan kembali, dan bilamana disetujui oleh dua pertiga anggota Kamar ini, rancangan tersebut akan menjadi Undang-Undang . Akan tetapi dalam semua Kasus demikian hasil suara akan ditentukan dengan kata-kata ya dan tidak, dan Nama orang-orang yang memberi suara setuju dan suara menolak rancangan undang-undang tersebut akan dimasukkan ke dalam catatan masing-masing Kamar. Jika suatu Rancangan Undang-Undang tidak dikembalikan oleh Presiden dalam waktu sepuluh Hari (kecuali Hari Minggu) setelah disampaikan kepadanya, rancangan itu akan menjadi Undang-Undang seperti halnya bila ia menandatanganinya, kecuali jika Kongres dengan penundaan sidangnya mencegah pengembaliannya, dalam hal mana rancangan itu tidak akan menjadi Undang-Undang.

Setiap Perintah, Resolusi atau Suara yang mungkin memerlukan persetujuan Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat (kecuali mengenai penundaan sidang) harus disampaikan kepada Presiden Amerika Serikat; dan sebelum bisa berlaku, Tindakan tersebut harus disetujuinya, atau bila tidak disetujuinya, haruslah diloloskan lagi oleh dua pertiga anggota Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat, sesuai dengan Aturan-Aturan dan Pembatasan-Pembatasan yang ditetapkan dalam hal Rancangan Undang-Undang.

Ayat 8

Kongres akan mempunyai Kekuasaan Untuk mengenakan dan memungut Pajak, Bea, Pungutan, dan Cukai, untuk membayar Htang dan menyelenggarakan Pertahanan bersama dan Kesejahteraan umum Amerika Serikat; tetapi semua Pajak, Pungutan, dan Cukai harus seragam di seluruh Amerika Serikat;

Untuk meminjam Uang atas Kredit Amerika Serikat;

Untuk mengatur Perdagangan dengan Bangsa Bangsa asing, dan antara berbagai Negara Bagian, dan dengan suku-suku Indian;

Untuk membuat Peraturan yang seragam mengenai Naturalisasi, dan Undang-Undang yang seragam mengenai Kebangkrutan di seluruh Amerika Serikat;

Untuk mencetak Uang, menentukan Nilainya, dan nilai Mata uang asing, dan menentukan Standar Berat dan Ukuran;

Untuk menetapkan Hukuman bagi pemalsuan Surat berharga dan Mata uang Amerika Serikat yang sedang berlaku;

Untuk mendirikan Kantor Pos dan Jaringan Pos;

Untuk mendorong Kemajuan Ilmu dan Seni yang berguna, dengan cara menjamin untuk jangka Waktu terbatas bagi para Pengarang dan Penemu Hak eksklusif atas Tulisan dan Penemuan mereka masing-masing;

Untuk mendirikan Pengadilan-Pengadilan di bawah Makamah Agung;

Untuk mendefinisi dan menghukum Pembaakan dan Kejahatan-Kejahatan yang dilakukan di Lautan bebas, dan Pelanggaran terhadap Hukum Bangsa-Bangsa;

Untuk mengumumkan Perang, mengeluarkan Surat Sita Jaminan dan Pembalasan, dan membuat Peraturan mengenai Penangkapan di Darat dan di Laut;

Untuk membentuk dan membiayai Tentara, tetapi Alokasi Dana untuk keperluan tersebut tidak boleh berlaku untuk Masa lebih dari Dua Tahun;

Untuk membentuk dan memelihara sebuah Angkatan Laut;

Untuk mengatur pemanggilan Milisi untuk melaksanakan Hukum Perserikatan, menindas Pemberontakan dan menangkal Invasi;

Untuk mengatur pengorganisasian, persenjataan dan pendisiplinan Milisi, dan pengaturan Sebagian dari mereka yang dapat diperkerjakan dalam Dinas Amerika Serikat, dengan menyerahkan kepada masing-maing Negara Bagian, hak Mengangkat para perwiranya, dan Wewenang untuk melatih Milisi sesuai dengan disiplin yang ditentukan oleh Kongres;

Untuk menjalankan Perundang-undangan eksklusif dalam Hal apa pun, atas suatu Distrik tertentu (yang tidak lebih dari sepuluh mil persegi) yang mungkin, melalui Penyerahan oleh Negara-Negara Bagian tertentu, dan Penerimaan oleh Kongres, menjadi tempat kedudukan Pemerintah Amerika Serikat, dan untuk melaksanakan Wewenang yang sama atas semua Tempat yang dibeli dengan Persetujuan Badan Legislatif dari Negara Bagian di mana tempat-tempat itu akan berada, untuk Pembangunan Benteng, Gudang Peluru, Gudang Senjata, galangan Kapal, dan Bangunan-Bangunan lain yang diperlukan; – Dan

Untuk membuat segala Undang-Undang yang akan diperlukan dan pantas untuk menjalankan Pelaksanaan Wewenang-Wewenang yang tersebut tadi, dan semua Wewenang lainnya yang dilimpahkan oleh Konstitusi ini kepada Pemerintah Amerika Serikat, atau kepada Departemen atau Pejabatnya.

Ayat 9

Pepindahan atau Pemasukan Orang-Orang yang oleh Negara-Negara Bagian yang ada sekarang dianggap pantas untuk diizinkan, tidak akan dilarang oleh Kongres sebelum tahun seribu delapan ratus delapan, tetapi suatu Pajak atau Bea dapat dikenakan Pada Pemasukan demikian, yang tidak lebih dari sepuluh dolar untuk setiap Orang.

Hak Istimewa atas Dokumen abeas Corpus tidak akan ditangguhkan, kecuali dalam Kasus Pemberontakan atau Invasi di mana keamanan umm mungkin mengharuskannya.

Tidak ada Rancangan Undang-Undang Penghapusan Hak atau Undang-Undang ex post pacto boleh diloloskan.

Tidak ada pajak atau bea akan dikenakan pada barang-barang yang diekspor dari Negara Bagian mana pun.

Tidak ada Preferensi akan diberikan oleh Peraturan Perdagangan atau Pendapatan apa pun kepada Pelabuhan salah satu Negara Bagian di atas Pelabuhan di Negara Bagian mana pun.

Tidak akan ada uang yang ditarik dari Kas Negara kecuali sebagai konsekuensi Alokas berdasarkan Undang-Undang; dan satu Keterangan serta Lapoan teratur tentang Penerimaan dan Pengeluaran seluruh Uang negara akan diteritkan dari waktu ke waktu.

Tidak ada Gelar Kebangsawanan akan diberikan oleh Amerika Serikat: Dan tidak ada Orang yang memegang Jabatan yang memberi Keuntungan atau Kepercayaan padanya, akan, tanpa persetujuan Kongres, menerima hadiah, Imbalan, Jabatan, atau Gelar pa pun dari Raja, Pangeran, atau Negara asing.

Ayat 10

Tak satu pun Negara Bagian boleh mengadakan Perjanjian, Persekutuan, atau Konfederasi, mengeluarkan Surat Sita Jaminan atau Pembalasan, mencetak Uang, menerbitkan Surat Hutang, membuat Apa pun kecuali Uang emas dan perak sebagai Alat Pembayaran Hutang, meloloskan Rancangan Undang-Undang Penghapusan hak, Undang-Undang ex post facto, atau Undang-Undang yang menghalangi Kewajiban Kontrak atau memberikan Gelar Kebangsawanan apa pun.

Tak satu pun Negara Bagian, tanpa Persetujuan Kongres, akan mengenakan Pungutan atau Bea apa pun pada Impor atau Ekspor, kecuali yang mungkin mutlak perlu untuk melaksanakan Undang-Undang pemeriksaannya, dan Hasil bersih semua Bea dan Pungutan, yang dikenakan oleh Negara Bagian mana pun pada Impor atau Ekspor, akan diperuntukkan bagi Penggunaan oleh Kas Negara Amerika Serikat; dan semua Undang-Undang demikian akan tunduk pada Revisi dan Pengawasan oleh Kongres.

Tak satu pun Negara Bagian, tana Persetuuan Kongres, akan mengenakan Bea atas Tonase Muatan, memelihara Pasukan, atau Kapal Perang di masa Damai, mengadakan Persetujuan atau Ikatan apa pun dengan Negara Bagian lain, atau dengan Negara asing, atau ikut Perang, kecuali bila benar-benar diserbu, atau dalam bahaya yang demikian Gawat sehingga tidak dapat ditunda lagi.

Pasal. II.

Ayat I

Kekuasaan eksekutif akan diberikan kepada seorang Presiden Amerika Serikat. Ia akan memangku Jabatannya dalam Jangka Waktu empat tahun, dan bersama-sama dengan Wakil Presiden, yang dipilih untuk Jangka Waktu yang sama, dipilih, dengan cara berikut:

Masing-masing Negara Bagian, dengan Cara yang ditentukan oleh Bagan Legislatifnya, akan menunjuk Sejumlah Pemilih (Electors), yang sama dengan seluruh Jumlah Senator dan Wakil Rakyat yang menjadi hak Negara Bagian itu dalam Kongres; tetapi tak seorang pun Senator atau Wakil Rakyat, atau orang yang memegang Jabatan Kepercayaan atau yang memberi Untung di bawa pemerintahan Amerika Serikat, akan diangkat sebagai Pemilih.

Para Pemilih akan bertemu di Negara Bagian masing-masing, dan dengan Kartu Suara memilih dua Orang, paling sedkit satu diantaranya bukan penduduk Negara Bagian yang sama dengan mereka. Dan mereka akan membuat Daftar semua Orang yang dipilih, dan daftar Jumlah Suara yang diperoleh masing-masing. Daftar ini akan mereka tanda-tangani dan sahkan, dan mereka sampaikan dalam keadaan disegel ke tempat Kedudukan Pemerintah Amerika Serikat, dialamatkan kepada Ketua Senat. Ketua Senat, di hadapan Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat, akan membuka semua surat yang sudah Disahkan itu, dan jumlah Suara akan dihitung. Orang yang mendapat Jumlah Suara terbanyak akan menjadi Presiden, bila Jumlah tersebut merpakan mayoritas dari seluruh Jumlah Pemilih yang ditunjuk; dan bila ada lebih dari seorang yang memperoleh Mayoritas demikian, dan mendapat Jumlah Suara yang sama, maka Dewan Perwakilan Rakyat akan segera dengan Pemungutan Suara memilih salah seorang menjadi Presiden; dan bila tidak seorang pun memperoleh suara Mayoritas, maka dari lima orang yang tercantum paling tinggi dalam Daftar Dewan ini akan memilih Presiden dengan cara yang sama. Tetapi dalam memilih Presiden, pemungutan suara akan dilakukan per Negara Bagian, dengan Perwakilan dari masing-masing Negara Bagian memiliki satu Suara; Kuorum untuk Tujuan ini akan terdiri dari satu Anggota atau Anggota-Anggota dari dua pertiga jumlah Negara Bagian, dan suatu Mayoritas dari seluruh Negara Bagian akan dibutuhkan untuk menentukan Pilihan. Dalam Kasus mana pun, setelah Terpilihnya Presiden, orang yang mendapat jumlah terbesar suara Pemilih akan menjadi Wakil Presiden. Akan tetapi bila masih ada dua orang atau lebih suara mendapat Suara yang sama, maka Senat akan memilih dengan Pemungutan Suara salah seorang diantara mereka untuk menjadi Wakil Presiden.

Kongres dapat menentukan Waktu untuk memilih para Pemilih, dan Hari kapan mereka akan memberikan Suara; Hari tersebut haruslah sama di seluruh A.S.

Tak seorang pun kecuali yang terlahir sebagai Warga Negara, atau seorang Warga Negara Amerika Serikat pada saat Konstitusi ini Disahkan, akan berhak atas jaatan Presiden; uga tak seorang pun berhak atas Jabatan tersebut bila ia belum mencapai umur tiga puluh lima tahun, dan belum empat belas tahun menjadi penduduk di wilayah Amerika Serikat.

Dalam hal Presiden Dibebaskan dari Jabatanna, atau Meninggal, atau Mengundurkan diri, atau tidak Mampu melaksanakan Wewenang dan Tugas Jabatan tersebut, maka Jabatan itu akan berpindah ke Wakil Presiden, dan Kongres dengan Undang-Undang dapat mengadakan Pengaturan dalam hal Pembebasan, Kematian, Pengunduran diri, atau Ketidakmampuan, baik Presiden maupun Wakil Presden, dengan menentukan Pejabat mana yang kemudian akan bertindak sebagai Presiden, dan Pejabat demikan akan bertugas sebagaimana mestina sampai Ketidakmampuan itu dihilangkan atau seorang Presiden baru terpilih.

Presiden, pada Waktu-Waktu yang ditentukan, akan menerima atas Dinasnya, suatu Imbalan yang tidak akan ditambah atau dikurangi selama Masa jabatannya, dan selama Masa itu ia tidak akan menerima Imbalan lain dari Amerika Serikat, ataupun Negara Bagian mana pun.

Sebelum ia mulai Menjalankan Jabatannya, ia kan mengucapkan Sumpah atau Penegasannya sebagai berikut: -“Dengan khidmat saya bersumpah (atau berjani) bawa saya akan melaksanakan dengan setia Jabatan Presiden Amerika Serikat, dan akan, sejauh Kemampuan saya, memeihara, melindungi, dan mempertahankan Konstitusi Amerika Serikat.”

Ayat 2.

Presiden adalah Panglima Tertinggi Angkatan Darat dan Angkatan Laut Amerika Serikat, dan Milisi beberapa Negara Bagian, jika sedang dipanggil untuk Tugas nyata Amerika Serikat; ia dapat meminta Pendapat, secara tertulis, dari Pejabat utama dalam masing-masing Departemen Pemerintah, mengenai Masalah apa pun yang berhubungan dengan Kantor mereka masing-masing, dan ia akan mempunya Wewenang untuk memberikan Penangguhan hukuman dan Pengampunan untuk kejahatan terhadap Amerika Serikat, kecuali dalam Kasus Pendakwaan pertanggungjawaban (Impeachment).

Ia akan mempunyai Wewenang, atas dan dengan Nasihat dan Persetujuan Senat, untuk membuat Perjanjian, asal dua pertiga anggota Senat yang hadir setuju; dan ia akan mencalonkan, dan atas dan dengan Nasihat dan Persetujuan Senat, mengangkat Duta Besar, Duta-Duta lain dan Konsul, Hakim Makamah Agung, dan semua pejabat lain Amerika Serikat, yang Pengangkatannya belum disebut disini, dan yang akan ditentukan dengan Undang-Undang; tetapi Kongres dengan Undang-Undang dapat menyerahkan pengangkatan Pejabat-Pejabat yang lebih rendah, yang mereka anggap pantas, kepada Presiden sendiri, kepada Pengadilan, atau kepada Kepala-Kepala Departemen.

Presiden akan mempunyai Wewenang untuk mengisi semua Lowongan yang mungkin terjadi selama Reses Senat dengan cara memberikan Penugasan yang akan berakhir pada Akhir masa Sidang berikutnya.

Ayat 3.

Ia dari waktu ke waktu akan memberikan kepada Kongres Informasi tentang Keadaan Negara, dan menganjurkan untuk Pertimbangan mereka Tindakan-Tindakan yang dinilainya perlu dan bijaksana; ia, dalam Keadaan luar biasa, dapat mengumpulkan kedua Kamar, atau salah satunya, dan dalam hal Ketidaksepakatan di kedua Kamar mengenai Waktu Penundaan sidang, ia dapat menundanya sampai waktu yang dianggapnya pantas; ia akan menerima para Duta Besar dan Duta-Duta lain; ia akan menjaga agar hukum diaksanakan dengan patuh dan akan mengangkat semua pejabat Amerika Serikat.

Ayat 4.

Presiden, Wakil Preside, dan Pegawai negeri sipil Amerika Serikat, akan diberhentikan dari jabatan apabila terkena dakwaan Pertanggungjawaban (Impeachment), karena, dan dinyatakan Bersalah dalam hal Penghianatan, Suap, atau Kejahatan-Kejahatan besar dan Pelanggaran-Pelanggaran lain.

Pasal. III

Ayat 1.

Kekuasaan peradilan Amerika Serikat akan berada pada satu Makamah Agung, dan pada Pengadilan-Pengadilan lebih rendah yangdari waktu ke waktu mungkin ditentukan dan dibentuk oleh Kongres. Para Hakim, baik dari Makamah Agung maupun Pengadilan lebih rendah, akan memegang Jabatan mereka selama mereka berkelakuan baik, dan akan, pada Waktu-Waktu yang ditentukan, menerima atas Jasa mereka Imbalan yang tidak akan dikurangi selama mereka Memegang Jabatan.

Ayat 2.

Kekuasaan peradilan akan menjangkau semua Perkara dalam Hukum dan Keadilan, yang timbul di bawah Konstitusi ini, Undang-Undang Amerika Serikat, ert Perjanjian yang dibuat, atau akan dibuat, di bawah Kekuasaan merek; – semua Perkara yang menyangkut hukum laut dan Yuridiksi maritim; – Sengketa yang salah satu pihaknya adalah Amerika Serikat; sengketa antara dua Negara Bagian atau lebih; – [ antara sebuah Negara Bagian dan warga negara Bagian lan;]– antara warga Negara-Negara Bagian, atau para warganya, dan Negara asing, [Warganya, atau Rakyatnya.]

Dalam semua Perkara menyangkut Duta Besar, Duta lain dan Konsul, dan yang menyangkut sebuah Negara Bagian sebagai salah satu pihaknya, Makamah Agung akan memiliki Yuridiksi aslinya. Dalam semua Perkara lain yang disebut tadi, Makamah Agung akan memiliki Yuridiksi banding, baik mengenai Hukum maupun Fakta, dengan Perkecualian, serta di bawah Peraturan yang akan dibuat Kongres.

Pengadilan semua bentuk Kejahatan, kecuali dalam Perkara Impeachment, akan dilakukan oleh Juri, dan Pengadilan demikian akan dilaksanakan di Negara Bagian tempat Kejahatan itu dilakukan; akan tetapi bila tidak dilakukan di Negara Bagian manapun , Pengadilannya akan dilaksanakan di Tempat atau Tempat-Tempat yang mungkin akan ditunjuk oleh Kongres dengan Undang-Undang.

Ayat 3.

Penghianatan terhadap Amerika Serikat hanya akan berupa melakukan Perang terhadap Amerika Serikat, atau mengikuti Musuh-Musuhnya, dengan memberi mereka Bantuan dan Kemudahan. Tak seorangpun akan dinyatakan melakukan Penghianatan kecuali atas kesaksian dua orang Saksi dalam Tindakan kejahatan yang sama, atau atas Pengakuan di Pengadilan terbuka.

Kongres akan memiliki Wewenang untuk menentukan Hukuman atas Pengkhianatan, tetapi tidak ada Penghapusan hak karena Pengkhianatan akan menyebabkan Derita pada Keluarga, atau Hilangnya hak kecuali selama orang yang dikenai penghapusan itu masih hidup.

Pasal. IV.

Ayat 1.

Kepercayaan dan Penghargaan penuh akan diberikan dalam setiap Negara Bagian kepada Tindakan resmi, Catatan dan Proses peradilan semua Negara Bagian lainnya. Dan dengan Undang-Undang umum Kongres dapat menetapkan Cara untuk membuktikan Tindakan, Catatan, dan Proses itu, serta efeknya.

Ayat 2.

Warga setiap Negara Bagian akan berhak mendapat semua Hak, Keistimewaan (Previlledge) dan Kekebalan yang dimiliki Warga di semua Negara Bagian.

Seseorang yang didakwa di suatu Negara Bagian dengan Pengkhianatan, Tindak Pidana atau Kejahatan lain, yang lari dari Pengadilan, dan ditemukan di Negara Bagian lain, atas Permintaan Penguasa eksekutif Negara Bagian tepat asal dia elarikan diri, akan diserahkan untuk dikembalikan ke Negara Bagian yang memegang Yuridiksi atas Kejahatannya.

[Tak Seorang pun yang sedang terikat untuk Mengabdi atau Bekerja di suatu Negara Bagian di bawah Undang-Undangnya, yang melarikan diri ke Negara Bagian lain, akan dibebaskan dari Pengabdian atau Pekerjaan demikian, sebagai Akibat dari Undang-Undang atau Peraturan Negara Bagian ini, melainkan harus diserahkan atas Tuntutan pihak untuk siapa Pelayanan atau Pekerjaan demikian wajib dilakukan.]

Ayat 3.

Negara-Negara Bagian baru dapat diterima oleh Kngres ke dalam Perserikatan ini; tetapi tidak ada Negara bagian baru boleh dibentuk atau didirikan di dalam Yuridiksi Negara Bagian lain mana pun; juga tidak boleh dibentuk Negara Bagian apa pun melalui Gabungan dua atau lebih Negara Bagian, atau Bagian dari Negara-Negara Bagian, tanpa Persetujuan Badan Legislatif Negara Bagian yang bersangkutan maupun dari Kongres.

Kongres mempunyai Wewenang untuk memberikan dan membuat segala Pedoman dan Peraturan yang diperlukan mengenai Wilayah atau Tanah milik Amerika Serikat yang lain: dan tiada sesuatu pun di dalam Konstitusi ini akan diartikan demikian rupa sehingga akan Merugikan Tuntutan apa pun dari Amerika Serikat, atau dari Negara Bagian tertentu manapun.

Ayat 4.

Amerika Serikat akan menjamin bagi setiap Negara Bagian dalam Perserikatan ini suatu Bentuk Pemerintahan Republik, dan akan melindungi masing-masing Negara Bagian itu terhadap Serbuan; dan, atas Permintaan Badan Legislatifnya, atau Eksekutifnya (jika Badan Legislatifnya tidak dapat bersidang), terhadap Kekerasan di dalam negeri.

Pasal.V.

Apabila dua pertiga anggota kedua Kamar menganggap perlu, Kongres akan mengusulkan Amandemen terhadap Konstitusi ini, atau atas Permintaan badan Legislatif dari dua pertiga jumlah Negara Bagian, akan menggelar Sidang untuk mengusulkan Amandemen, yag, dalam hal yang mana pun dan keduanya, akan berlaku untuk segala Maksud dan Tujuan, sebagai bagian dari Konstitusi ini, apabila disahkan oleh Badan Legislatif tiga perempat dari beberapa Negara Bagian, atau oleh Konvensi dari jumlah tiga perempat itu, sebagai saa satu dari dua Cara Ratifikasi yang mungkin diusulkan oleh Kongres; Asalkan [tidak ada Amandemen yang mungkin dibuat sebelum tahun seribu delapanratus delapan akan mempengaruhi dengan Cara apapun Ayat pertama dan Ayat keempat dalam Bagian Sembiln Pasal Satu; dan] bahwa tidak ada Negara Bagian, tanpa Persetujuannya, akan dicabut haknya atas Suara yang sederajat di Senat.

Pasal.VI

Semua Hutang yang didapat dan Perjanjian yang dilakukan sebelum Penerimaan Konstitusi ini akan sama berlakunya terhadap Amerika Serikat dibawah Konstitusi ini maupun dibawah Konfederasi.

Konstitusi ini, maupun Undang-Undang Amerika Serikat yang akan dibuat berdasarkan Konstitusi tersebut; dan semua Perjanjian yang suda, atau akan dibuat, dibawah Wewenang Amerika Serikat, akan menjadi Hukum tertinggi Negeri ini; dan para Hakim di setiap Negara Bagian akan terikat padanya, pada apa pun yang ada dalam Konstitusi atau Undang-Undang Negara Bagian mana pun yang mungkin berlawanan dengannya.

Para Senator dan Wakil Rakyat tersebut di muka, dan para anggota Badan Legislatif Negara-Negara Bagian, akan terikat oleh Sumpah atau Janji untuk mendukung Konstitusi ini; akan tetapi tidak akan diperlukan adanya Ujian keagamaan sebagai Syarat untuk memegang Jabatan atau Kepercayaan umum di Amerika Serikat.

Pasal. VII.

Pengesahan Sidang-Sidang sembilan Negara Bagian, akan cukup untuk menetapkan Konstitusi ini diantara Negara-Negara Bagian yang mengesahkannya.

Tanda tangan

Menegaskan kebenarannya:

  • William Jackson, Sekertaris

Ditetapkan dalam Sidang dengan Persetujuan Bulat Negara-Negara Bagian yang hadir pada Hari Ketujuh Belas bulan September dalam Tahun Masehi seribu tujuh ratus Delapan puluh tujuh, dan tahun kedua belas Kemerdekaan Amerika Serikat. Sebagai tanda Kesaksian semua di bawah ini kami cantumkan nama kami.

  • George Washington – Ketua dan Wakil dari Virginia.
  • John Langdon, Nicholas Gilman – New Hampshire.
  • Nathaniel Gorham, Rufus King – Massachusetts.
  • Wm Saml Johnson, Roger Sherman – Connecticut
  • Alexander Hamilton – New York
  • Wil Livingston, David Brearley, Wm Paterson, Jona. Dayton – New Jersey
  • B Franklin, Thomas Mifflin, Robt Morris, Geo. Clymer, Thos FitzSimons, Jared Ingersoll, James Wilson, Gouv Morris – Pensylvania
  • Geo. Read, Gunning Bedford jun, John Dickinson, Richard Bassett, Jaco. Broom – Delaware
  • James McHenry, Dan of St Tho Jenifer, Danl Carroll – Maryland
  • John Blair, James Madison Jr. – Virginia
  • Wm Blount, Richd Dobbs Spaight, Hu Williamson – North Carolina
  • J. Rutledge, Charles Cotesworth Pinckney, Charles Pinckney, Pierce Butler – South Carolina
  • William Few, Abr Baldwin – Georgia

Mukadimah Piagam Hak-Hak Azasi

Kongres Amerika Serikat Dimulai dan diselenggarakan di Kota New-York, pada

Rabu, 4 Maret 1789.

Konvensi dari sejumlah Negara Bagian, pada saat menerima Konsttusi, mengungkapkan keinginan, agar dapat mencegah salah pemahaman atau penyalahgunaan kekuasaannya, bahwa klausul-klausul deklaratif dan rekstriktif harus ditambahkan: Dan untuk memperluas landasan dari kepercayaan pubik pada Pemeerntah, akan memastikan tujuan-tujuan bermanfaat bagi lembagana.

DIPUTUSKAN oleh Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat Amerika Serikat, di Kongres yang bersidang, dua pertiga dari kedua Kamar setuju bahwa Pasal-Pasal berikut ini diusulkan kepada Badan-Badan Legislatif beberapa Negaa Bagian, sebagai amandemen pada Konstitusi Amerika Serikat, Semua atau, bagian dari Pasal-Pasal ketika diratifikasi oleh tiga perempat dari Badan-Badan Legislatif tersebut, menjadi sah untuk semua maksud dan tujuan, sebagai bagian dari Konstitusi; yakni,

PASAL-PASAL di samping, dan Amandemen Konstitusi Amerika Serikat, yang diusulkan oleh Kongres, dan diratifikasi oleh Badan Legislatif di beberapa Negara Bagian, sesua dengan Pasal kelima Konstitusi asli.

Amandemen I

Kongres tidak akan membuat undang-undang mengenai pembentukan agama, atau yang melarang dijalankannya agama secara bebas; atau menghambat kebebasan berbicara, atau kebebasan pers; atau hak rakyat untuk berkumpul secara damai, dan untuk menyampaikan petisi kepada Pemerintah untuk ganti rugi atas keluhan-keluhan mereka.

Amandemen II

Suatu pasukan Milisi yang teratur baik, karena penting demi keamanan suatu Negara Bagian yang bebas, hak rakyat untuk menyimpan dan membawa Senjata, tidak boleh dilangar.

Amandemen III

Tidak ada prajurit, di masa damai, boleh ditempatkan di dalam rumah mana pun, tapa persetuuan Pemiliknya, jug tidak di masa perang, kecuali dengan cara yang akan diatur dengan undang-undang.

Amandemen IV

Hak rakyat untuk merasa aman atas diri, rumah, surat-surat, dan surat-surat berharga mereka, dari penggeledahan dan penahanan yang masuk akal, tidak boleh dilangar,a tidak ada Surat Perintah akan dikeluarkan, kecuali karena sebab yang kuat, yang didukung oleh Sumpah atau Janji, dan secara khusus menyebut tempat yang akan digeledah, dan orang atau barang yang akan ditahan.

Amandemen V

Tidak ada orang boleh ditahan untuk mempertanggungjawabkan suatu kejahatan yang dianca dengan hukuman mati, atau kejahatan keji lainnya, kecuali atas pengajuan atau tuntutan dari suatu Juri Agung, kecuali dalam perkara-perkara yang timbul di dalam angkatan darat atau laut, atau di kalangan Milisi, ketika benar-benar dalam dinas, di masa perang atau bahaya umum; juga tidak ada orang akan dikenai ancaman jiwa atau anggota badan dua kali untuk tindak pidana yang sama; juga tidak akan dipaksa menjadi saksi melawan dirinya sendiri dalam suatu perkara kejahatan; juga tidak akan dihilangkan jiwanya, kebebasannya, atau miliknya, tanpa proses hukum yang semestinya; juga milik pribadi tidak akan diambil untuk dipakai untuk keperluan umum, tanpa penggantian yang adil.

Amandemen VI

Dalam semua tuntutan atas kejahatan, tertuduh akan memiliki hak untuk mendapat pengadilan yang cepat dan terbuka, dilakukan oleh suatu juri yang tidak memihak dari Negara Bagian dan distrik dimana kejahatan itu dilakukan; distrik tersebut harus sudah ditentukan terebih dulu dengan undng-undang, dan untuk diberitahu tentang sifat dan sebab tuduhannya; untuk dikonfrontasikan dengan saksi yang melawannya; untuk mendapatkan proses yang wajib untuk memperoleh saksi yang meringankannya, dan untuk mendapat bantuan pengacara untuk pembelaannya.

Amandemen VII

Dalam hal Tuntutan berdasarkan hukum perdata, di mana nilai yang dipersengketakan lebih dari dua puluh dolar, hak diadili oleh juri akan diperiksa lagi di Pengadilan mana pun di Amerika Serikat dengan cara lain selain berdasarkan hukum perdata.

Amandemen VIII

Uang tanggungn yang berlebihan tidak akan diminta, denda yang berlebihan pun tidak akan dibebankan, hukuman kejam dan tidak biasa juga tidak akan dikenakan.

Amandemen IX

Perincian di dalam Konstitusi, mengenai hak-hak tertentu tidak akan diartikan untuk mengingkari atau meremehkan hak-hak lain yang dimiliki rakyat.

Amandemen X

Kekuasaan yang tidak diserahkan kepada Amerika Serikat oleh Konstitusi, atau yang tidak dilarangnya bagi Negara Bagian, dipegang oleh masing-masing Negara Bagian, atau oleh rakyat.

Amandemen XI (1795)

Kekuasaan Yudikatif Amerika Serikat tidak akan diartikan untuk mencakup setiap tuntutan hukum atau keadilan,yang dilancarkan atau ditujukan terhadap salah satu Negara Bagian dari Amerika Serikat oleh warga Negara Bagian lain, atauole warga atau kaula Negara asing mana pun.

Amandemen XII (1804)

Para anggota Dewan Pemilih (Electors) akan bersidang di Negara Bagian masing-masing, dan memberkan suara dengan kartu suara untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, sedikitnya salah satu di antara keduanya harus bukan penduduk Negara bagian yang sama dengan mereka sendiri; mereka akan menyebutkan pada kartu suara mereka nama orang yang mereka pilih sebagai Presiden, dan pada kertas suara yang berbeda nama orang yang mereka pilih sebagai Wakil Presiden, dan mereka akan menyusun daftar tersendiri untuk semua orang yang dipilih sebagai Presiden , dan untuk semua orang yang dipilih sebagai Wakil Presiden, dan untuk jumlah suara untuk masing-masing, daftar-daftar tersebut akan mereka tandatangani dan sahkan, dan kirimkan secara tersegel ke tempat kedudukan Pemerntah Amerika Serikat, dialamatkan kepada Ketua Senat; _Ketua Senat dengan dihadiri oeh Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat, akan membuka semua kartu suara kemudian akan dihitung;_ Orang yang mendapat jumlah suara terbesar untuk Presiden, akan menjadi Presiden jika jumlah tersebut merupakan mayoritas dari seluruh jumlah anggota dewan pemilih yang diangkat; dan bila tidak ada orang mendapat mayoritas demikian, maka dari antara orang-orang yang mencapai jumlah terbesar yang tidak melebihi tiga dalam daftar mereka yang dipilih sebagai Presiden, Dewan Perwakian segera akan memilih Presiden, lewat pemungutan suara. Akan tetapi dalam memilih Presiden, suara akan dihitung menurut Negara Bagian, dengan perwakilan masing-masing Negara Bagian memiliki satu suara; Suatu kuorum untuk tujuan ini akan terdiri dari seorang anggota atau anggota-anggota dari dua pertiga Negara Bagian, mayoritas terdiri dari semua Negara Bagian akan diperlukan untuk menetapkan pilihan. [ Dan apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak memilih Presiden manakala hak untuk memilih tersebut bepindah kepada mereka, sebelum hari keempat bulan Mei berikutnya tiba, maka Wakil Presiden akan bertindak sebagai Presiden, seperti dalam kematian atau ketidakmampuan konstitusional lainnya dari Presiden ]* Orang yang mendapat jumlah suara terbesar sebagai Wakil Presiden, akan menjadi Wakil Presiden, apabila jumlah tersebut merupakan mayoritas dari seluruh jumlah Pemilih yang diangkat, dan bila tidak ada yang mencapai mayoritas, maka dari antara dua yang mencapai jumlah-jumlah tertinggi dalam daftar, Senat akan memilih Wakil Presiden; kuorum untuk ini akan terdiri dari dua pertiga dari seluruh jumlah Senator, dan suatu mayoritas dari seluruh jumlah itu akan diperlukan untuk menetapkan pilihan. Namun tidak ada orang yang menurut konstitusi tidak berhak memegang jaatan Presiden akan berhak memegang jabatan Wakil Presiden.

* Diganti oleh Ayat 3 Amandemen ke-20′

Amandemen XIII (1865)

Ayat 1.

Tidak akan ada perbudakan atau pengabdian tidak sukarela, kecuali sebagai hukuman bagi kejahatan yang pelakunya sudah dijatuhi hukuman dengan semestinya di dalam Amerika Serikat, atau tempat mana pun yang tunduk pada yuridiksinya.

Ayat 2

Kongres akan mempunyai wewenang untuk memberlakukan pasal ini dengan perundang-undangan yang sesuai.

Amandemen XIV (1868)

Ayat 1

Semua orang yang lahir atau dinaturalisasi di Amerika Serikat, dan tunduk pada yuridiksinya, adalah warga negara Amerika Serikat dan Negara Bagian tempat tinggal mereka. Tidak ada Negara Bagian akan membuat atau memberlakukan undang-undang apa pun yang akan membatasi keistimewaan-keistimewaan atau pun kekebalan-kekebalan warga negara Amerika Serikat;juga tidak ada Negara Bagian mana pun akan mengambi jiwa, kebebassan, atau milik siapa pun, tanpa proses hukum yang semestinya; atau pun mengingkari hak siapa pun di dalam yuridiksinya akan perlindungan hukum yang sama.

Ayat 2

Wakil Rakyat akan dijatahkan kepada Negara-Negara Bagian menurut jumlah masing-masing, dengan menghitung seluruh jumlah orang di dalam setiap Negara Bagian, kecuali kaum Indian yang tidak dikenai pajak. Akan tetapi bila hak untuk memberi suara dalam pemilihan anggota dewan Pemilih Presiden dan Wakil Presiden Amerika Serikat, para wakil di Kongres, para pejabat Eksekutif dan Yudikatif Negara Bagian, atau anggota-anggota Badan Legislatifnya, diingkari bagi siapa pun di antara warga pria Negara Bagian demikian, yang sudah berumur dua pulu satu tahun*, dan warga negara Amerika Serikat, atau dibatasi denan cara apa pun, kecuali karena ikut dalam pemberontakan, atau kejahatan ain maka dasar perwakilan di situ akan dikurangi menurut proporsi yang akan ditanggung oleh jumlah warga pria demikian terhadap seluruh jumlah warga pria berumur dua puluh satu tahun di Negara Bagian seperti itu.

*Diubah oleh Ayat 1 Amandemen ke-26

Ayat 3

Tidak seorang pun akan menjadi Senator atau Wakil Rakyat dalam Kongres, atau Pemilih Presiden dan Wakil Presiden, atau memangku jabatan apa pun, sipil atau militer, dibawah Amerika Serikat, atau di bawah Negara Bagian mana pun, yang setelah sebelumnya mengambil sumpah sebagai anggota Kongres, atau sebagai pejabat Amerika Serikat, atau sebagai anggota Badan Legislatif Negara Bagian mana pun, atau sebagai Eksekutif atau pejabat Yudikatif Negara Bagian mana pun, untuk mendukung Konstitusi Amerika Serikat, melakukan pembangkangan atau pemberontakan terhadapnya, atau memberi bantuan dan kemudahan kepada musuh-musuhnya. Akan tetapi, dengan suara dua pertiga masing-masing Kamar, Kongres dapat menyingkirkan larangan demikian.

Ayat 4

Keabsahan hutang umum Amerika Serikat, yang diizinkan dengan undang-undang, termasuk hutang yang ditimbulkan oleh pembayaran pensium dan hadiah untuk jasa-jasa dalam penindasan pembangkangan dan pemberontakan, tidak akan dipertanyakan. Akan tetapi baik Amerika Serikat maupun Negara Bagian mana pun tidak akan menanggung atau pun membayar hutang atau kewajiban apa pun yang ditimbulkan oleh pemberian bantuan pada pembangkang atau pemberontakan terhadap Amerika Serikat, atau pun tuntutn karena hilangnya atau emansipasi seseorang budak; namun segala hutang, kewajiban, dan tuntutan demikian kan dianggap tidak sa dan tidak berlaku.

Ayat 5

Kongres akan miliki wewenang untuk memberlakukan dengan perundang-undangan yang sesuai ketentuan-ketentuan dalam pasal ini.

Amandemen XV (1870)

Ayat 1

Hak para warga negara Amerka Serikat untuk memilih tidak akan diingkari atau dibatasi oleh Amerika Serikat atau oleh Negara Bagian manapun karena ras, warna kulit, atau pernah menjadi budak.

Ayat 2

Kongres akan memiliki wewenang untuk memberlakukan pasal ini dengan perundang-undangan yang sesuai.

Amandemen XVI (1913)

Kongres akan mempunyai wewenang untuk mengenakan dan menarik pajak pendapatan, dari sumber apa pun asalnya, tanpa penjatahan di antara Negara-Negara Bagian, dan tanpa memperhatikn sensus atau penghitungan apa pun.

Amandemen XVII (1913)

Senat Amerika Serikat akan terdiri dari dua senator dari tiap-tiap Negara Bagian, yang dipilih oleh warga Negara Bagian bersangkutan, untuk waktu enam tahun; dan tiap Senator akan mempunyai satu suara. Anggota Dewan Pemilih (Electors) di tiap Negara Bagian harus memenuhi syarat-syarat yang diperlukan untuk para anggota pemilih bagi caang yang paling besar dalam badan Legislatif Negara Bagian.

Jika terjadi lowongan dalam pewakilan suatu Negara Bagian dalam Senat, maka penguasa Eksekutif Negara Bagian demikian akan mengeluarkan surat perintah pemilihan untuk mengisi lowongan tersebut: Asalkan, Badan legislatif Negara Bagian mana pun dapat memberi kuasa kepada Eksekutifnya untuk melakukan pengangkatan sementara sampai rakyat mengisi lowongan tersebut lewat pemilihan seperti yang diatur oleh badan legislatif.

Amandemen ini tidak akan diartikan demikian rupa sehingga akan mempengaruhi pemilihan atau masa jabatan Senator mana pun yang dipilih sebelum amandemen ini berlaku sebagai bagian dari Konstitusi.

Amandemen XVIII (1919, dicabut oleh Amandemen XXI)

Ayat 1

Satu tahun setelah pengesahan asal ini, pembuatan, penjualan, atau pengangkutan minuman keras yang memabukkan di dalam, pengimporannya ke dalam, atau pengeksporannya ke luar Amerika Serikat dan semua wilayah yang berada di bawah yuridiksinya untuk keperluan minuman dengan ini dilarang.

Ayat 2

Kongres dan Negara-Negara Bagian akan memiliki kekuasaan bersama untuk memberakukan pasal ini dengan perundang-undangn yang sesuai.

Ayat 3

Pasal ini akan tidak berlaku kecuali bila sudah disahkan ebagai amandemen pada Konstitusi oleh Badan Legislatif Negara-Negara Bagian, sebagaimana dicantumkan dalam Konstitus, di dalam jangka waktu tujuh tahun sejak tanggal diserahkannya kepada Negara-Negara Bagian oleh Kongres.

Amandemen XIX (1920)

Hak warga negara Amerika Serikat untuk memilh tidak akan diingkari atau dibatasi oleh Amerika Serikat atau oleh Negara Bagian mana pun berdasarkan jenis kelamin.

Kongres akan mempunyai wewenang untuk memberlakukan pasal ini denan perundang-undangan yang sesuai.

Amandemen XX (1933)

Ayat 1

Masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden akan berakhir pada tengah hari tanggal 20 Januari, dan masa jabatan para Senator dan Wakil Rakyat pada tengah hari tanggal 3 Januari, pada tahun-tahun di mana masa jabatan demikian akan berakhir seandainya pasal ini tidak disahkan; dan masa jabatan para penerusnya akan mulai.

Ayat 2

Kongres akan bersidang sedikitnya satu kali tiap tahun, dan sidang demikian akan mulai pada tengah hari tanggal 3 Januari, kecuali bila dengan undang-undang menetapkan tanggal lain.

Ayat 3

Jika, pada waktuyangsdah ditentukan untuk permulaanmasa jabatan Presiden, Presiden terpilh meninggal, maka Wakil Presiden terpilih akan menjadi Presiden. Jika seorang Presiden belum terpilih sebelum saat yang ditetapkan untuk permulaan masa jabatannya, atau jika Presiden terpilih ternyata tidak memenuhi syarat, maka Wakil Presiden akan ertindak seagai Presiden sampai seorang Presiden memenui syarat; dan Kongres dengan undang-undang boleh mengadakan aturan dalam hal baik Presiden terpilih maupun Wakil Presiden terpilih tidak memenuhi syarat, dengan menyatakan siapa yang selanjutnya akan bertindak sebagai Presiden, atau bagaimana seseorang yang akan bertindak demikian akan dipilih, dan orang itu akan bertindak demikian sampai seorang Presidenatau Wakil Presiden memenuhi syarat.

Ayat 4

Kongres dengan undang-undang dapat mengadakan aturan dalam hal kematian orang yang mungkin oleh Dewan Perwakilan Rakyat dipilih sebagai Presiden apabila hak memilih itu beralih kepada Dewan, dan dalam hal kematian orang yang oleh Senat mungkin dipilih sebagai Wakil Presiden apabila hak memilih itu beralih kepada Senat.

Ayat 5

Bagian 1 dan 2 akan berlaku pada tanggal 15 Oktober sesuadah pengesahan pasal ini.

Ayat 6

Pasal ini tidak akan berlaku kecuali bila sudah disahkan sebagai suatu amandemen pada Konstitusi oleh badan-badan legislatif dari tiga perempat jumlah Negara Bagian dalam waktu tujuh tahun sejak tanggal penyerahannya.

Amandemen XXI

Ayat 1

Pasal delapan belas Amandemen pada Konstitusi Amerika Serikat dengan ini dicabut.

Ayat 2

Pengangkutan atau pengimporan ke dalam Negara Bagian, Wilayah, atau daerah milik Amerika Serikat untuk penyerahan atau penggunaan di sana atas minuman yang memabukkan dengan melanggar undang-undangnya, dengan ini dilarang.

Ayat 3

Pasal ini tidak akan berlaku kecuali bila sudah disahkan sebagai suatu amandemen pada Konstitusi oleh sidang-sidang di Negara-Negara Bagian, sebagaimana tercantum dalam Konstitusi, dalam jangka waktu tujuh tahun sejak tanggal diserahkannya kepada Negara-Negara Bagian oleh Kongres.

Amandemen XXII (1951)

Ayat 1

Tidak ada orang akan dipilih untuk jabatan Presiden lebih dari dua kali, dan tidak ada orang yang telah memegang jabatan Presiden, akan bertindak sebagai Presiden, selama lebih dari dua tahun dari suatu masa jabatan yang untuk itu orang lain telah dipilih menjadi sebagai Presiden, akan dipilih untuk jabatan Presiden lebih dari satu kali. Akan tetapi Pasal ini tidak berlaku bagi siapapun yang memegang jabatan Presiden, atau bertindak sebagai Presiden, dalam masa jabatan ketika Pasal ini mulai berlaku, untuk memegang jabatan Presiden atau bertindak sebagai Presiden selama sisa masa jabatan tersebut.

Ayat 2

Pasal ini tidak akan berlaku kecuali setelah disahkan sebagai suatu amandemen pada Konstitusi oleh badan-badan legislatif dari tiga perempat jumlah Negara Bagian dalam waktu tujuh tahn sejak tanggal diserahkannya kepada Negara-Negara Bagian oleh Kongres.

Amandemen XXIII (1961)

Ayat 1

Distrik yang menjadi tempat kedudukan Pemerintah Amerika Serikat akan mengangkat menurut cara yang akan ditentukan oleh Kongres:

Sejumlah pemilih Presiden dan Wakil Presiden (Electors) yang sama dengan seluruh jumlah Senator dan Wakil Rakyat dalam Kongres yang menjadi hak Distrik itu seandainya Distrik itu adalah sebuah Negara Bagian, akan tetapi bagaimana pun tidak lebih banyak daripada pemilih Negara Bagian yang paling sedikit penduduknya; mereka akan merupakan tambahan pada jumlah pemilih yang diangkat oleh Negara-Negara Bagian, akan tetapi mereka akan dianggap, untuk maksud pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, sebagai pemilih yang diangkat oleh Negara Bagian; dan mereka akan bertemu di Distrik tersebt dan menjalankan tugas-tugas sebagaimana ditetapkan dalam pasal dua belas dari amandemen ini.

Ayat 2

Kongres akan mempunyai wewenang memberlakukan pasal ini dengan perundang-undangan yang sesuai.

Amandemen XXIV (1964)

Ayat1

Hak warga negara Amerika Serikat untuk memberikan suara dalam pemilihan pendahuluan atau pemilihan lainnya untuk memilih Presiden atau Wakil Presiden, anggota dewan pemilih (electors) Presiden atau Wakil Presiden, atau Senator atau Wakil Rakyat dalam Kongres, tidak akan diingkari atau dibatasi oleh Amerika Serikat atau Negara Bagian mana pun dengan alasan mereka tidak membayar pajak orang dewasa atau pajak lainnya.

Ayat 2

Kongres akan mempunyai wewenang untuk memberlakukan pasal ini dengan perundang-perundangan yang sesuai.

Amandemen XXV (1967)

Ayat 1

Dalam hal Presiden tersingkir dari jabatannya atau meninggal atau mengundurkan diri, Wakil PResden akan menjadi Presiden.

Ayat 2

Apabila terjadi lowongan dalam jabatan Wakil Presiden, Presiden akan mencalonkan seorang Wakil Presiden yang akan memegang jabatan itu setelah ada pengukuhan dengan suara mayoritas dari kedua Kamar di Kongres.

Ayat 3

Bilamana Presiden menyampaikan kepada Ketua sementara Senat dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat pernyataan tertulisnya bahwa ia tidak dapat menjalankan kekuasaan dan tugas jabatannya, sampai saat ia menyampaikan kepada mereka pernyataan tertulis yang berlawanan dengan itu, maka kekuasaan dan tugas demikian akan dijalankan oleh Wakil Presiden selaku Pejabat Presiden.

Ayat 4

Bilamana Wakil Presiden dan mayoritas pejabat utama departemen – departemen eksekuti, atau badan lain yang oleh Kongres dapat ditetapkan dengan undang-undang, menyampaikan kepada Ketua sementara Senat dan Ketua Dewan Pewakilan Rakyat pernyataan tertulis mereka bahwa Presiden tidak mampu menjalankan kekuasaan dan tugas jaatannya, maka Wakil Presiden akan segera memikul kekuasaan dan tugas jabatan tersebut sebagai Pejabat Presiden. Setelah tu, apabila Presiden menyampaikan kepada Ketua sementara Senat dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat pernyataan tertulisnya bahwa ia bukan tidak mamu, maka ia akan kembali menjalankan kekuasaan dan tugas jabatannya kecuali jika Wakil Presiden dan mayoritas pejabat utama departemen-departemen eksekutif, atau badan lain yang ditetapkan oleh Kongres dengan undang-undang menyampaikan dalam waktu empat hari kepada Ketua sementara Senat dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat pernyataan tertulis mereka bahwa Presiden tidak mampu menjalankan kekuasaan dan tugas jabatannya. Kemudian Kongres akan memutuskan masalah itu, dengan bersidang dalam waktu 48 jam untuk keperluan tersebut, bila tidak sedang bersidang. Jika Kongres, dalam waktu 21 hari setelah menerima pernyataan tertuli syang disebut belakangan, atau, bila Kongres sedang tidak bersidang, dalam waktu 21 hari setelah Kongres diminta bersidang, memutuskan dengan dua pertiga suara kedua Kamar bahwa Presiden tidak mampu menjalankan kekuasaan dan jug tugas jawabannya, maka Wakil Presiden akan meneruskan menjalankannya selaku Pejabat Presiden; kalau tidak, Presden akan kembali menjalankan kekuasaan dan tugas jabatannya.

Amandemen XXVI (1971)

Ayat 1

Hak warga negara Amerika Serikat, yang sudah berumur delapan belas tahun atau lebih, untuk memilih, tidk akan diingkari atau dibatasi oleh Amerika Serikat atau oleh Negara Bagian mana pun berdasarkan pada usia.

Ayat 2

Kongres akan memiliki wewenang untuk memberlakukan pasal ini denan perundang-undangan yang sesuai.

Amandemen XXVII (1992)

Tidak ada undang-undang, yang membeda-bedakan imbalan bagi pengabdian para Senator dan Wakil Rakyat, boleh berlaku, sampai suatu pemungutan suara oleh Wakil Rakyat dilakukan untuk tujuan itu.

Continue Reading

PERADILAN KONSTITUSI DI SEPULUH NEGARA (RESUME)

BAB I

MAHKAMAH KONSTITUSI AUSTRIA

Sejarah Ketatanegaraan

Negara ini adalah pertama kali di Eropa yang membentuk Mahakamah Konstitusi adalah Austria. Konstitusi 1920 juga sebagai tonggak awal pembentukan Mahkamah Konstitusi di Austria, meskipun sebelumnya pada konstitusi 1848 telah mengatur tentang Hak Asasi Manusia. Selain itu Austria telah terbentuk suatu system pemerintahan monarki konstitusional. Sedangkan pada tahun 1849 Reich Constitution dibentuk untuk menggantikan Konstitusi 1848. Konstitusi 1849 didesain untuk Negara federalism, yang mengedepankan pada prinsip-prinsip kesetaraan.

Warisan Konstitusi 1867

Dalam bangsa Eropa revolusi terdiri dari 2 peristiwa, Pertama revolusi Perancis mengakibatkan revolusi Austria, kedua telah melahirkan demokratisasi dan kebebasan hak-hak sipil. Konstitusi 1867 menganut model kerajaan konstitusional ganda, yang juga mengatur tentang Hak Asasi Manusia. Namun konstitusi 1867 tidak bersifat tunggal, melainkan kombinasi dari konstitusi lama. Konstitusi ini menciptakan ketatanegaraan yang lebih demokratis, yang terjewantahkan melalui demokrasi perwakilan. Konstitusi ini juga menjalankan system uji administrative oleh Pengaddilan Tata Usaha Negara. Baru kemudian pada tahun 1920 lahirlah konstitusi yang dibentuk oleh Hans Kelsen, dan konstitusi ini yang dianggap paling memenuhi syarat dari konstitusi yang berlaku sebelumnya, dikarenakan menganut prinsip demokrasi perwakilan, jaminan Hak Asasi Manusia, dan pemisahan kekuasaan, oleh sebab itu kemudian memunculkan gagasan tentang dibentuknya suatu organ penegak konstitusi yang pada saat itu disebut sebagai Vervassungsgericht.

Komposisi Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Komstitusi terdiri dari Presiden dan wakil Presiden dan dua belas hakim anggota lainnya. Selain itu juga memiliki tujuh orang hakim sebagai hakim pengganti. Pengangkatan Presiden dan wakil Presiden beserta 7 hakim anggota ditambah tiga hakim pengganti setelah memperoleh rekomendasi dari pemerintahan federal. Sedangkan tujuh angota sisanya dan tiga anggota pengganti diangkat berdasarkan rekomendasi dari 2 kamar parlemen.

“Constitutional Review”

Sistem Negara demokratis pasti menggunakan system constitutional review. Karena system yang digunakan adalah konsep Negara hokum yang menjamin terhadap prinsip-prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat. Pada hal yang demikian Hakim Mahkamah Konstitusi kemudian dijadikan sebagai pengawal terhadap tegaknya konstitusi yang terjewantahkan melalui legislator konstitusional.

Kekuasaan mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi di Austria adalah peradilan tertinggi. Adapaun kekuasaannya adalah menentukan kadar konstitusionalitas Undang-Undang Federal, Negara bagian da peraturan perundang-undangan yang letaknya dibawah Undang-Undang, menguji perjanjian Internasional secara umum, menyelesaikan sengketa Pemilihan Umum Presiden dan Pemilihan Umum Parlemen, kewenangan memutus sengketa kompetensi yang terjadi diantara peradilan Umum dengan Peradilan Administratif atau Peradilan Administratif terhadap seluruh jenis peradilan lainnya, dan memutus perkara Impeachment terhadap pejabat tinggi Negara yang diduga melakukan pelanggaran hokum. Pada perkembangannya pada tahun 1975 baru di Austria dikenal dengan istilah individual complain, yakni perorangan dapat mengajukan gugatan constitutional ke Mahkamah.

“Preventif review”

Di Austria juga dikenal dengan yang dinakan sebagai preventif Review, dimana mahkamah dapat menguji rancangan Peraturan Perundang-Undangan sebelum disahkan, untuk itu Mahkamah Konstitusi di Austria sering disebut sebagailegislator Konstitutional.

Uji Konstitusionalitas Undang-Undang (“Gesetzesprufung”)

Mahkamah juga dapat juga melakukan pengujian terhadap undang-undang Federal ataupun Negara bagian. Pengujian model ini dapat diajukan oleh Mahkamah Agung, Peradilan Tata Usaha Negara dan Pemerintah Federal maupun Pemerintah Negara bagian.

Uji Legalitas Peraturan Pemerintah (“Verordnungsprufung”)

Mahkamah juga dapat menguji legalitas Peraturan Pemerintah yang dikeluarkan oleh Negara Federal dan bagian, aka tetapi pengujia baru dapat dilakukan setelah mahkamah menerima permohonan dari pengadilan. Perorangan dapat juga melakukan permohonan dan dapat menunda berlakunya peraturan pemerintah.

Dikotonomi Putusan

Dalam hal Mahkamah membatalkan sebagia atau keseluruhan dari peraturan perundang-undangan, maka dapat memberikan kesempatan kepada legislatur untuk memperbaiki kesalahan da mahkamah dapat memberikan waktu untuk memperbaikinya. Pentingnya dialog konstitusional antara hakim pengadilan negeri dengan peradilan konstitusi terkait dengan suatu undang-undang yang sedang diterapkan pada perkara umum.

Uji Formal Konstitusi

Mahkamah juga berwenang menguji terhadap proses perubahan konstitusi (formal), namun tidak secara materiil.

Kewenangan Khusus Administratif

Dalam permohonan ke Mahkamah, dpat kemudian menyatakan keberatan yang diderita, untuk itu seringkali sebab dimohonkannya perkara ke mahkamah dikarenakan terdapat rendahnya tingkat validitas produk regulasi yang diberlakukan oleh otoritas birokrasi administrative. Permohonan yang seperti itu dapat dilakukan setelah semua upaya telah dilakukan.

Gugatan Peroragan (“Constitutional Complaint”)

Gugata ini tujuan awalnya adalah untuk mempertahankan hak asazi manusia, dan langkah ini dipandang sebagai langkah terakhir dalam upaya hokum luar biasa. Melalui mekanisme ini secara individual atau kelompok masyarakat dapat mempertahankan hak-hak sipil mereka. Namun yang seringkali dimohonkan adalah permohonan ketidak puasan terhadap putusan peradilan umum. Tidak hanya itu sebenarnya Mahkamah Austria dapat mengajukan terkait kewenangan pemerintah yang dianggap menciderai yang bersangkutan.

Penyerahan Perkara dari Peradilan Umum

Apabila peradilan umum menduga terhadap perkara tertentu tidak konstitusional, maka secara langsung peradilan umum dapat menghentikan proses persidangan dan dapat diajukan secara langsung kepada mahkamah Konstitusi. Hal itu bertujuan untuk potensi hakim beralasan bahwa terjadi kekosongan hokum. Namun dalam praktek perkara yang diajukan di Austria oleh Peradilan Umum mayoritas tidak diterima oleh Mahkamah konstitusi.

Penanganan Perkara

Sebenarnya mahkamah sama saja dalam memutus perkara yang berlaku di Peradilan umum. Dalam memutus perkara hakim mahkamah menggunakan sumber hokum materiil dan sumber hokum berupa preseden mahkamah serta berbagai literature mutakhir yang berkaitan. Dalam merancang putusan, hanya wakil ketua dan empat hakim yang lain memiliki hak suara, ketua mahkamah dapat memimpin siding, dan suara diambil berdasarka suara terbanyak, dengan tidak melibatkan ketua, namun ketua Mahkamah dapat memberikan suaranya apabila terdapat suara yang seimbang, maka ketua dapat memberikan putusa akhir.


BAB 2

Mahakamh Konstitusi Republik Federal jerman (Bundesverfassungsgericht)

Sejarah Ketatanegaraan

Mahkamah Konstitusi dibentuk berdasarkan diterapkannya basic law. Menyadari pentingnya Mahkamah Konstitusi, maka berdasarkan kewenangan yang dimilikinya, perbuatan actor actor politik dapat dievaluasi serta ditentukan kadar konstitusionalitasnya. Dua gambaran mengenai perkembangan Mahkamah Konstitusi Jerman, Pertama keunggulan kaum bangsawan saat itu memproduksi system monarchi konstitusional, kedua dalam periode tersebut yurisdiksi dualistic sepakat membatasi konsep supremasi konstitusi dan kewenangan Peradilan konstitusi.

Organisasi mahkamah Konstitusi Federal Jerman

Hakim Federal jerman terdiri dari 16 hakim, delapan mengisi panel pertama, dan delapan hakim lainnya menempati panel kedua.

Kompetensi mahkamah Konstitusi Federal Jerman

Kompetensi Mahkamah Konstitusi Federal Jerman adalah :

  1. Perselisihan lembaga tinggi Negara
  2. Pengujian norma hokum abstrak dan konkrit
  3. Hak mengajukan petisi yang dimiliki secara perorangan atau kelompok
  4. Menyelesaikan Sengketa pemilihan Umum

Perselisihan Konstitusional (“Constitutional Dispute”)

Tidak terdapat prosedur yang secara institusional membatasi penyelesaian sengketa konstitusional. Untuk itu pihak yang bersengketa dapat langsung mengajukan ke Mahkamah Konstitusi.

Pengendalian Norma Abstrak (“Abstraktes Normenkontrolverfahren”)

Pengujian Norma Abstrak adalah mekanisme preventif bagi masa depan produk legislasi yang diprediksi tidak konstitusional.

Pengendalian Norma Konkrit (konkretes Normenkontrol verfahren)

Model pengujian ini dapat dilaksanakan pada saat terdapat penyerahan dari peradilan umum, penyerahan dikarenakan adanya keragu-raguan hakim atas makna konstitusionalitas suatu undang-undang, peraturan perundang-undangan, peraturan pemerintah maupun putusan peradila umum.

Gugatan Peroragan (“Constitutional Complaint”)

Gugatan perorangan dapat dilakukan apabila terdapat kerugian oleh pemohon terkait pelanggaran hak Asasi manusia. Namun tindakan hokum itu sebelumnya tidak melakukan upaya hokum di peradilan umum. Namun apabila terdapat kerugian yang sungguh-sungguh, maka dapat diajukan ke mahkamah konstitusi.


BAB 3

Mahkamah konstitusi Italia

Sejarah Ketatanegaraan

Sebelum Perang Dunia I italia pernah memiliki system pemerintahan yang demokratis. Namun pada masa pemerintahan Mussolini italisa agak korup, namun pada saat sekarang sudah mulai demokratis dengan system parlementer yang mapan.

Pembentukan Mahkamah Konstitusi

Badan perancang Konstitusi Italia merancang Constitutional review yang bergerak pada, pertama kesadaran membentuk satu organ kekuasaan yang terpusat, sedang yang kedua dilandasi oleh realitas bahwa peradilan umum dapat menanyakan konstitusionalitas Undang-undang kepada mahkamah Konstitusi.

Organisasi dan mekanisme Pengangkatan hakim

Mahkamah Konstitus Italia terdiri dari 15 hakim, dalam masa Sembilan tahun dan tidak dapat dipilih kembali. 5 hakim ditentukan oleh Presiden setelah berkonsultasi dengan Perdana Menteri, dan 5 hakim lainnya ditentukan oleh Parlemen berdasarkan tiga perlima suara dalam siding bersama.

Kewenangan mahkamah Konstitusi Italia

Kewenangan Mahkamah Konstitusi italia adalah memutus konstitusionalitas suatu undang-undang maupun rancangan undang-undang yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah, menyelesaikan sengketa lembaga Negara, melaksanakan dakwaan impeachment terhadap Presiden berkenaan dengan pelanggaran konstitusi.

“Abstract Review”

Pengujian abstrak adalah pengujian terhadap seluruh yang terdapat dalam suatu rancangan undang-undang yang belum diundangkan. Pemohon diberikan tenggang waktu 60 hari semenjak undang-undang diadopsi secara final oleh pemerintah nasional atau daerah.

“Concrete Review”

Di Italia kewenangan ini yang digunakan untuk menguji undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya. Hans kelsen memberikan solusi yakni Undang-undang yang sudah berlaku tidak dapat dimohonkan langsung ke mahakamah konstitusi, akan tetapi diajukan kepada Pengadilan umum terlebih dahulu.

Putusan Interpretatif

Mahkamah dapat menolak pengajuan Peradilan Umum, penolakan tersebut tidak haya karena pernyataan tidak konstitusional, akan tetapi juga tidak memiliki landasan konstitusional. Apabila tidak terdapat dasar yang memadai dalam konstitusi, maka kondisi yang demikian disebut sebagai putusan interpretative. Interpretasi dilakukan oleh hakim mahkamah dalam rangka menemukan fakta hokum.

“Rapporteur” Perkara

Seorang hakim yang ditunjuk sebagai Rappourteur adalah bagaimana caranya suatu perkara terregistrasi, kemudian dapat ditangani secara baik oleh para hakim. Pemilihan itu pada akhirnya akan dipilih secara bergantian. Penentuan seorang hakim menjadi Rappourteur persoalan internal, karena ia akan mengambil kesimpulan setelah melakukan kajian secara mendalam terhadap aspek dari perkara.

BAB 4

Council of Grand Justices Taiwan

Sejarah Ketatanegaraan

Dalam sejarah ketatanegaraan Taiwan, banyak dipengaruhi oleh campur tangan politik kekuasaan kehakiman di china dan Taiwan. Secara kelembagaan struktur kekuasaan kehakiman mengalami perpecahan menjadi 2 cabang, yang satu kekuasaan pengujian hokum dan interpretasi konstitusi, sedangka yang lain sebagai yurisdiksi kasasi perdata, pidana dan administrasi Negara.

Formasi “Council of Grand justices”

Komposisi Council of Grand justices terdiri dari 15 orang anggota, jabatannya 8 tahun dan tidak dapat dipilih lagi. Waktu pemilihan hakimnya juga bertepatan dengan siklus empat tahunan Pemilihan Presiden. Dari ke 15 hakim dipilih oleh Presiden, meskipun diusulkan oleh komite Pencalonan.

Kewenangan “Council of Grand justices”

Kewenangan Council of Grand justices adalah melakukan tafsir makna atas kaidah-kaidah konstitusi, melaksanakan kesatuan penafsiran terhadap peratura perundang-Undangan dan peraturan pemerintah.

Pengujian Konstitusional oleh Grand justices

Di China Taiwan hanya lembaga pemerintah yang dapat memohon kesatuan penafsiran terhadap undang-undang dan peraturan pemerintah. Penafsiran atas kaidah-kaidah konstitusi juga dapat dimohonkan secara perorangan setelah yang bersangkutan menganggap bahwa hak-hak konstitusionalnya telah dizalimi. Selama beberapa tahun grand justices maka menghasilkan hak standing dan yurisdiksi yang diperluas seiring dengan berlangsungny proses demokratisasi di Negara itu.

Sengketa Antar Lembaga Negara

Kewenangan ini sebenarnya tidak ditentukan secara eksplisit. Namun pada kenyataannya grand justices dapat melakukan penyelesaian terhadap sengketa lembaga Negara. Di Taiwan kewenagan ini sangat krusial, dikarenakan system multi partai sehingga meyebabkan kekuasaan politik juga beragam.

Hubungan Council dan Supreme Court

Dalam structural grand justices tidak diposisikan pada puncak hierarki system peradilan, melainkan sebagai lembaga koordinat Mahkamah Agung dan Pengadilan Tata Usaha Negara. Dan ketiga-tiganya setara dalam structural kekuasaan kehakiman.

BAB 5

Dewan Konstitusi Perancis

Sejarah Ketatanegaraan

Ide pembentukan Dewan Konstitusi Perancis adalah untuk melucuti kekuasaan parlemen. Namun dalam perkembangannya Dewan Konstitusi tidak hanya melaksanakan kewenangan mengwasi aktivitas parlemen, juga ikut serta dalam menentukan arah kebijaksanaan Negara. Kalau melihat asal usul pengujian terhadap rancangan undang-undang maupun kepada rancangan tata tertib parlemen. Kronologis pembentukan lembaga ini juga dilatarbelakangi terhadap ketidak puasan terhadap situasi masa lalu, yang pada saat itu lembaga senat bersifat otoratif, sehingga segala produk yang dikeluarkan bersifat tetap tidak dapat diuji oleh lembaga manapun.

Hierarki Norma hokum dan Pelaksanaan “Constitutional review”

Di Negara Perancis Hierarki norma hokum dilaksanakan secara baik dan konsisten. Hal itu dikarenakan kedaulatan hokum dapat mengatur pembentukannya sendiri karena norma hokum dapat menentukan cara untuk membuat suatu norma hokum yang lain. Sebagai penentu kata akhir makna kaidah konstitusi berada di puncak kewenangan mahkamah konstitusi atau organ lembaga Negara yang lain. Lembaga diluar judicial juga dipersepsi sebagai pelindung konstitusi. Meskipun Dewan Konstitusi secara implicit telah ditugaskan untuk menjaga konstitusi, namuan lembaga judicial yang lain juga dapat bertugas mewujudkan norma-norma konstitusi.

Dewan konstitusi di Bawah Konstitusi Republik Kelima (1958)

System parlementer dalam republic kelima sudah mengalami rasionalisasi. Demi efektivitas dan efisiensi system ketatanegaraan yang pada masa sebelumnya tidak pernah dicapai, karena itu adalah hal yang akut yang diderita oleh system parlementer tradisional. Konstitusi 1958 menjmin ekskutif sebagai satu-satunya lembaga Negara yang dapat mengendalikankalender legislative. Meskipun demikian kekuasaan yang dimiliki Dewan bukan berarti berjalan tanpa kecaman, dikarenakan lembaga dewan konstitusi lebih menitikberatkan pada lembaga politis.

Komposisi dan Metode Rekrutment

Komposisi terdiri dari, tiga orag diangkat oleh Presiden, tiga orang diangkat oleh Ketua majelis Nasional, dan tiga orang diangkat oleh Ketua Senat. Keanggotaan mantan Presiden dalam Dewan Konstitusi adalah seumur hidup, sedangkan masa jabatan Sembilan orang hakim Dewan konstitusi tidak boleh lebih dari Sembilan tahun, dan diangkat dalam satu kali masa jabatan. Namun pemberhentian dewan tidak dilakukan secara bersamaan, melainkan sepertiga dari anggota berhenti setiap tiga tahun sekali.

Kewenangan Dewan konstitusi

Disamping pengujian juga dapat meratifikasi perjanjian internasional. Dan putusan dewan KOnstitusi bersifat final dan mengikat terhadap seluruh kekuasaan public, kewenangan administrative maupun badan peradilan umum lainnnya.

“A Priori Abstract Review”

Tugas utama Dewan Konstitusi Perancis adalah menyelenggarakan pengujian Konstitusional atas rancangan legislasi yang dapat ditetapkan oleh parlemen. Secara konstitusional Dewan bukanlah satu-satunya organ penjamin konstitusi, Presiden juga ditugasi sebagai menegakkan dan menghormati konstitusi. Rancangan Undang-undang yang dinyatakan bertentangan dengan konstitusi maka dianggap tidak berlaku, dan memiliki kekuatan hokum mengikat terhadap seluruh kewenangan administrative dan organ peradilan umum.

Mekanisme Internal dalam Menangani Perkara

Pada tahap awal perkara yang teregister kemudian diadakan penunjukan oleh Presiden terhadap Repporteur. Tanggung jawab dari repporteur adalah 1, mengumpulkan sejumlah data yang terkait dengan perkara, 2, menyiapkan draf putusan, 3, mengadakan pleno.

Gradasi Konstitusionalitas

Dalam mendesain putusan dapat kemudian Dewan Konstitusi dapat secara objective mendasari masing-masing putusannya. Dewan memberikan alas an-alasan esensial terhadap putusan yang diputuskan. Hal itu berakibat terhadap dikotonomi putusan yang sudah sejak lama diselenggarakan oleh mahkamah konstitusi Austria dan Jerman sebagai grand design yang mempengaruhi bentuk putusan Mahkamah Konstitusi Negara-negara lain.

 

BAB 6

Mahkamah Konstitusi Hungaria

Sejarah Ketatanegaraan

berbagai perkembangan penting terjadi di Hngaria, yakni berakhirnya rezim fasis sejalan berdirinya gagasan Negara demokratis. berawal dari kekuasaan absolute dibawah kerajaan conservative, namun kemudian berubah seiirng dengan kemajuan zaman. munculnya sistem konstitusional yang tercantum dalam perubahan Konstitusi Hungaria memperkuat beralihnya dari sistem totaliter manjdi sistem yang demokratik. semakin diperkuat bahwa peraturan perundang-undangan yang berlaku pada masa komunis tetap berlaku, namun apabila bertentangan dengan konstitusi baru, maka dianggap tidak berlaku.

Pembentukan Mahkamah Konstitusi

pada bulan januari 1989 parlemen Hungaria mencapai kesepakatan untuk membentuk badan peradilan yang terlepas dari cabang peradilan umum. lembaga ini bersifat sui generis yang terpisah dari segi kewenangan dan kelembagaan. untuk itu kedian lembaga ini memiliki otoritas melakukan constitutional review. namun kekuasaan yang paling menonjol adalah kekuasaan menguji undang-undang in abstracto.

Organisasi dan Prosedur Mahkamah Konstitusi

pada mahakamah konstitusi Hungria kewenangan yang diberikan konstitusi hanya kewenangan utama saja, sedangkan kewenangan yang lain secara terpisah diatur melalui peratura yang dibentuk oleh parlemen. Mahkamah konstitusi Hungaria terdiri dari 11 orang anggota. Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah dipilih dari dan oleh hakim konstitusi untuk masa jabatan 3 tahun. pengajuan konstitusional bagi di Hungria akses melakukan uji konstitusionalitas kepada mahkamah konstitusi terbuka bagi siapa saja.

Kewenangan Mahkamah Konstitusi

Dapaun kewenangan mahkamah Konstitusi Hungaria adalah :

  1. menguji rancangan Undang-Undang
  2. menguji undang-undang
  3. menguji perselisihan perjanjian internasional
  4. memutus pelanggaran hak-hak konstitusional
  5. menyisihkan hal yang tidak konstitusional akibat kelalaian
  6. sengketa antar lembaga Negara
  7. interpretasi konstitusi
  8. memeriksa seluruh perkara terkait dengan pelanggaran konstitusi

“A Posteriori review”

Mahkamah Konstitusi dapat membatalkan Undang-Undang baik sebelum dan sesudah disahkan yang diajukan oleh perorangan dan kelompok. pengujian juga tidak terbatas pada norma abstrak, juga dapat menguji terhadap norma konkrit. Pada saat undang-undang sedang diuji di Mahakamah Konstitusi, maka hakim peradilan umum dapat menghentikan perkara yang sedang ditangani.

“Preventive review (a priori abstract review)”

Di Hungaria juga diatur masalah pengujian terhadap rancangan undang-undang. Hanya saja permohonan ini dapat diajukan oleh Presiden dan organ pemerintah lainnya. Disini sama halnya Presiden memiliki hak veto terhadap undang-undang yang akan disahkan, yakni melalui jalur mahkamah konstitusi. Preventive review juga dapat diajukan oleh 50 anggota parlemen.

Uji Undang-Undang Guna Menyesuaikan dengan Perjanjian internasional

Di Hungaria juga diatur mengenai Undang-undang yang bertentangan dengan Perjanjian Internasional, artinya ketika terdapat yang demikian maka perorangan atau kelompok dapat mengajukan bahwa Undang-undang tersebut dapat dianggap bertentangan dengan Perjanjian Internasional.

Menentukan Tidak Konstitusional dalam Membentuk Undang-Undang

Mahkamah Konstitusi Hungaria dapat menyatakan bahwa parlemen tidak dapat menciptakan situasi yang tidak konstitusional dengan kegagalannya menjalankan tugas membentuk Undang-Undang.

Gugatan Konstitusional

kewenangan ini adalah dapat digunakan apabila perorangan atau kelompok orang merasa hak-hak konstitusionalnya dilanggar dan tidak sesuai dengan konstitusi. Pelanggaran yang dimaksud pada umumnya diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang.

Interpretasi konstitusi

Mahkamah Konstitusi Hungaria dapat melakukan interpretasi terhadap ketentuan- ketentuan konstitusi melalui pendapat hukum.

 

BAB 7

Mahkamah Konstitusi Federasi Rusia

Sejarah Ketatanegaraan

Rezim totaliter yang dilihatkan oleh Uni Soviet yang kemudian berubah menjdi rezim demokratis dibawah Negara Federasi Rusia. hal itu yang kemudian menjadi latar belakang dibnetuknya lembaga pengawal konstitusi di Negara federasi Rusia. Sebenarnya dalam rezim awal pemerintahan Uni Soviet telah ada pengujian hukum, hanya dalam jangka waktu yang tidak lama. Kondisi itu tidak terlepas dari kondisi masyarakat yang semakin hari semakin cerdas yang menginginkan kemakmuran dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Komite Supervisi Konstitusional

Melalui Komite ini Federasi Rusia mencetak reputasi yang cemerlang, yakni mencetak kemandirian kekuasaan kehakiman dan proteksi terhadap hak-hak asasi manusia. untuk itu dapat dikatakan lembaga ini dapat dikatakan merupakan awal terbentuk lembaga kekuasaan Yudicial.

Pembentukan mahkamah Konstitusi

Pembentukan Mahkamah Konstitusi Federasi Rusia dapat dikatakan lahir melalui dibentuknya Komite Supervisi Konstitusional, namun memang komite ini hanya memfokuskan pada pelanggaran-pelanggaran terhadap hak Asasi manusia.

Organisasi dan Prosedur dalam mahkamah Konstitusi

Struktur Mahkamah Konstitusi Federasi Rusia terdiri dari dua kamar, kamar pertama oleh sepuluh hakim, dan kamar kedua oleh sembilan orang hakim. kenaggotaannya ditentukan melalui jalur pengundian. sedangkan tata carauntuk melakukan pengundian diatur melalui peraturan yang dibuat mahkamah konstitusi sendiri.

Kewenangan mahkamah Konstitusi

Adapun kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah :

  1. Menguji rancangan Undang-undang dan Undang-undang terhadap Konstitusi
  2. Menutus sengketa antar lembaga Negara

“Abstrak review”

Abstrak review dalam juga diakui di mahkamah Konstitusi Federasi Rusia, hal itu sebagaimana termaktub dalam Pasal 84 Federal Law on Constitutional Court.

Dikotonomi Putusan

Mahakamah Konsttusi dalam putusannya dapat menentukan dua jenis tingkat konstitusionalitas. pembedaan kedua jenis sifat putusan tersebut seperti yang sejak lama telah dipraktekkan oleh mahkamah konstitusi Federal jerman. pertama menyatakan bahwa Undang-Undang dianggap bertentangan dengan konstitusi, dan yang kedua diatur dengan ketentuan butir 1 pasal 87 UU Federal Mahkamah Konstitusi Rusia.

Koreksi atas ketidaktelitian Putusan Mahkamah

Koreksi disini bersifat hanya sebatas kepada redaksi yang sifatnya teknis administratif, tidak menyentuh kepada substansi isi dati amar putusan.

Gugatan Perorangan (“Constitutional Complain”)

Gugatan Perorangan dalam Mahkamah Konstitusi Federasi Jerman harus memenuhi 2 syarat criteria :

  1. Keberadaan UU melanggar hak dan kebebasan konstitusional yang bersangkutan
  2. Suatu Undang-undang yang telah berlaku atau sedang diterapkan pada perkara tertentu.

Hak Untuk Mengajukan Permohonan Interpretasi Konstitusi

Mahkamah Konstitusi Federasi Rusia juga dapat melakukan interpretasi terhadap Konstitusi, hal itu apabila terdapat permohonan dari perorangan atau badan hukum terkait dengan makna dan arti konstitusi yang dianggap multi tafsir.

 

BAB 8

MAHKAMAH KONSTITUSI KOREA SELATAN

Sejarah Ketatanegaraan

Secara historis mahkamah Konstitusi Korea Selatan banyak dipengaruhi oleh sistem hukum jepang dan Eropa Kontinental. Meskipun Korea Selatan pernah tergelincir dalam kekuasaan militeristik, namun pada akhirnya menganut sistem demokratisasi. Secara konseptual rancangan draf konstitusi baru memuat sistem penjaminan atas Hak Asasi Manusia.

Organisasi Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi Korea Selatan terdiri dari sembilan orang hakim konstitusi, dan masing harus berkualifikasi sebagai hakim dan memahami persoalan hukum. Presiden mengusulkan, Majelis nasional Mengusulkan dan Mahkamah Agung juga mengusulkan. Masa jabatan seorang hakim adalah sembilan tahun, dan diangkat oleh Presiden.

Kewenangan Mahkamah Konstitusi

Adapun kewenangannya adalah:

  1. Mengadili konstitusionalitas suatu undang-undang
  2. Pemakzulan
  3. Pembubaran partai politik
  4. sengketa kewenangan lembaga Negara
  5. Memutus permohonan individual

Gradasi Putusan Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi di Korea Selatan memungkinkan organ tersebut melahirkan putusan yang bersifat dikotonomis, pembedaan itu sendiri merupakan gradasi konstitusionalitas produk hukum. Dengan demikian mahkamah konstitusi Korea Selatan hanya dapat membatalkan undang-undang setelah terlebih dahulu menerima penyerahan dari peradilan umum atau permohonan langsung perorangan setelah peradilan umum menolak untuk menyerahkan perkara ke mahkamah.

Permohonan Individual (“Constitutional Complain”)

Mahkamah Konstitusi korea selatan mengenal Permohonan Individual setelah yang bersangkutan selesai menempuh seluruh upaya hukum biasa guna memperoleh kembali hak-haknya.

Hubungan Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung

Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung adalah sama-sama lembaga Negara yang tingkatannya sejajar dan saling memiliki kewenangan yang independen sesuai dengan tugas dan wewenangnya masing-masing.

Perkara Chun Doo-Hwan dan Roh Tae-Woo

Penerapan asas retroaktif juga menjadi persoalan di Korea Selatan dalam insiden pada bulan mei 1980 personil militer Korea Selatan secara keji telah membunuh ratusan jiwa para demonstran. peristiwa ini berlangsung ketika otoritas militer mengerahkan pasukan elite ke wilayah Kwangju yang merupakan basis utama opsisi veteran pimpinan kim-Dae-jung.

Mahkamah konstitusi dan “Rule Of Law”

Pada awalnya masyarakat skeptis terhadap kemampuan mahkamah konstitusi dalam menyelesaikan sejumlah tugas konstitusional, namun setelah terbentuk maka jumlah perkara yang masuk meningkat dan kepercayaan masyarakat Korea Selatan semakin meningkat dan mendapat apresiasi positif dari berbagai kalangan.

 

BAB 9

Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan

Sejarah Ketatanegaraan

Sejarah Ketatanegaraan di Afrika Selatan cukup diwarnai penindasan, dimana pada saat masa totaliter masih menjadi panglima, namun pada akhirnya dikarenakan terdapat desakan dari masyarakat yang semakin kritis, untuk itu rezim demokratisasi mulai berkembang di Afrika Selatan.

Mahkamah Konstitusi di Bawah Konstitusi Sementara

Dalam Konstitusi Sementara menyatakan bahwa Konstitusi Afrika Selatan dapat membatalkan Undang-Undang ataupun tindakan pemerintah jika dinilai telah membatasi kebebasan dasar umat manusia. Jika ditelaah sebenarnya yang diinginkan adalah terjaminnya hak Azasi manusia.

Konstitusi Final

Melalui konstitusi final ini kemudian dimuat 47 prinsip fundamental dalam bernegara. Pada masa Konstitusi final ini juga dianut terbentuknya mahkamah Konstitusi, sehingga Mahkamah Konstitusi dibentuk berdasarkan perintah konstitusi.

Organisasi Mahkamah Konstitusi

Komposisi hakim terdiri dari Presiden, Deputi Presiden dan Sembilan hakim anggota, dengan demikian terdapat 11 orang anggota. Presiden dan Deputi diangkat oleh Presiden Afrika Selatan, sedangkan sembilan hakim lainnya diangkat oleh Presiden setelah berkonsultasi dengan Presiden Mahkamah Konstitusi dan Pemimpin Partai Politik dalam Majelis Nasional.

Kewenangan Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi bertindak sebagai pengadilan banding khusus terhadap perkara yang berhubungan dengan pelanggaran konstitusi,memutus final konstitusionalitas undang-undang yang diproduksi oleh Parlemen, member jawaban definitive atas permintaan pembatalan suatu ketentuan hukum yang dimohonkan oleh Mahkamah Agung.

“Abstract Review”

Pengujian terhadap rancangan Undang-undang hanya dapat dilakukan oleh pemohon Majelis nasional setelah mendapat minimal dukungan 1/3 dari anggota majelis nasional.

Permohonan dari Pengadilan Umum selain Mahkamah Agung

Pengujian undang-undang secara umum sebenarnya memiliki karakter politis dan berpotensi menimbulkan pertanyaan fundamental tentang legitimasi demokratisk Mahkamah dalam melaksanakan kewenangan ini. Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan hanya dapat memulai suatu pengujian pasca terbitnya permohonan dari pihak yang merasa hak-haknya dirugikan.

Banding atas Putusan “Supreme Court”

Di Afrika selatan mahkamah Konstitusi ditempatkan pada posisi puncak piramida kekuasaan kehakiman. Untuk itu putusan yang telah diputuskan oleh Supreme Court dapat kemudian diajukan upaya hukum luar biasa kepada Mahkamah Konstitusi.

Sertifikasi Konstitusi Propinsi

Afrika Selatan produk perubahan Konstitusi propinsi juga harus memperoleh sertifikasi dari mahkamah konstitusi. Agar memperoleh validitas harus diserahkan ke mahkamah Konstitusi.

Pengajuan Konstitusional (“Constitusional Complain”)

di Afrika Selatan Mahkamah Konstitusi juga dapat memeriksa terkait dengan pengaduan konstitusional yang dilakukan oleh perorangan atau kelompok.

 

BAB 10

Mahkamah konstitusi Thailand

Sejarah Ketatanegaraan

Tarik menarik antara paham totaliterisme dan paham demokratik terjadi selama kurun waktu tahun 1930-an. Sejarah mencatat Negara ini pernah melakukan pemilihan secara langsung.Sejak saat itu gagasan rule of law pada kenyaataannya tak lebih rule by law, korup dan sewenang-wenang. Baru pada tahun 1946 angin segar demokratisai mulai berkembang seiring dengan tidak puasnya masyarakat dengan rejim totaliterisme.

Pembentukan Mahkamah Konstitusi

Pembentukan Mahkamah Konstitusi dilandasi dengan perdebatan terkait proses pengujian konstitusional itu apa tersentralisasi atau terdesentralisasi. Persoalan itu juga muncul di Thailan, yang akhirnya berkesimpulan tersentralisasi.

Kewenangan Mahkamah Konstitusi

Secara umum kewenangan Mahkamah Konstitusinya :

  1. Menetapkan kewenangan lembaga Negara
  2. menetapkan peraturan procedural yang menetukan produksi norma hukum
  3. menentukan tata cara dalam melaksanakan perubahan konstitusi
  4. mempertahankan superioritas normative konstitusi vis-à-vis peraturan perundangan lainnya.

Sedangkan kewenangan Mahkamah Konstitusi secara Khusus adalah :

  1. Kewenangan memutus Konstitusionalitas Undang-Undang dan rancangan Undang-Undang Organik
  2. Menetukan Konstitusionalitas sebelum Undang-Undang ditetapkan
  3. Memutus Konstitusionalitas rancangan undang-Undang Organik
  4. Mahkamah Konstitusi Thailand dapat Memutus Konstitusionalitas rancangan undang-Undang Organik
  5. memutus Konstitusionalitas Peraturan Darurat sebelum ditetapkan oleh Dewan Kementerian
  6. memutus Konstitusionalitas Peraturan Darurat Sebelum ditetapkan oleh Dewan Kementerian
  7. memutus Konstitusionalitas Undang-Undang atau rancangan Undang-undang Organik yang diusulkan kembali oleh dewan Kemeterian atau anggota hose or representative
  8. memutus Konstitusionalitas Setelah rancangan Undang-Undang diundangkan
  9. memutus Konstitusionalitas Perkara yang diserahkan oleh Pengadilan Umum
  10. memutus Konstitusionalitas Undang-Undang atas penyerahan dari Ombudsment
  11. mempertimbangkan dan Memutus Kualifikasi Anggota HOR, Anggota Senat, kemeterian, KPU, dan setiap pejabat yang memangku Jabatan Politik terkait dengan Laporan tentang harta kekayaannya
  12. Mempertimbangkan usul pemberhentian Anggota Kabinet Kementerian
  13. Kewenangan MK dalam menimbang dan memutus perselisihan antar Lembaga Negara
  14. Hak mengajukan Petisi kepada MK
  15. Gugatan Konstitusional
Continue Reading

ORGAN NEGARA HUKUM INDONESIA

1.      Konsep Organ Negara
a.      Hans Kelsen
memberikan definisi tentang Konsep organ Negara ditinjau dari fungsinya.[1]
Fungsi itu terbagi menjadi 2 (dua) bagian yakni sebagai menciptakan norma (norm creating) dan menjalankan norma (norm applaying). K.C. Wheare juga
membagi organ Negara dalam konstitusi dalam bentuk institusi-institusi uatama
Pemerintah, seperti legislative, ekskutif dan Yudikatif, sedangkan penentuan
komposisi dan cara pengangkatannya lembaga tersebut, seringkali diserahkan pada
hukum biasa (ordinary law).[2] Selanjutnya
beberapa pakar dan pendapat ahli berkenaan dengan konsepsi lembaga Negara pasca
amandemen konstitusi (Undang-Undang Dasar 1945 amandemen) di Indonesia
diantanya :

Prof. Dr. T. Sri
Soemantri, SH.
Beberapa
perubahan dalam UUD 1945 menurut Sri Soemantri adalah Pembatasan kekuasaan
Presiden, Pemisahan kekuasaan, Pengauran Pemerintahan Daerah, selanjutnya
mengenai Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD 1945,
kemudian dinyatakan dengan tegas bahwa Indonesia adalah Negara Hukum, adanya
lembaga-lembaga Negara baru seperti DPD, KY dan MK, kemudian DPA dilakukan
penghapusan, dan yang terakhir adalah adanya ketentuan bahwa anggaran
pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN. Akibat dari diubahnya pasal 1
tentang kedaulatan, maka MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi Negara,
dengan demikian kedudukan MPR sederajat dengan lembaga-lembaga yang lain,
seperti DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, Mahkamah Agung, Mahkamah
Konstitusi, Komisi Yudisial dan Badan Pemeriksa Keuangan.[3]

Prof. Dr. Bagir
Manan, SH., L.LM.
Dorongan
memperbaharui dan mengubah UUD 1945 sesuai dengan kenyataan bahwa sebagai
subsistem tatanan konstitusi dalam pelaksanaannya tidak berjalan sesuai dengan staatside mewujudkan Negara berdasarkan
konstitusi seperti tegaknya tatanan demokrasi, Negara berdasarkan atas hukum
yang menjadmin hal-hal seperti Hak Asasi Manusia, kekuasaan kehakiman yang
merdeka, serta keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia, yang terjadi
adalah etatisme, otoriterisme atau kediktatoran yang menggunakan UUD 1945
sebagai sandaran.[4]
Sedangkan tujuan dari adanya Amandemen UUD 1945 menurut Bagir Manan adalah Pertama, mewujudkan kembali pelaksanaan
demokrasi dalam segala peri kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, Kedua, mewujudkan kembali pelaksanaan
prinsip Negara yang berdasarkan hukum, ketiga,
pemberdayaan rakyat dibidang politik, ekonomi, social dan lain-lain, kempat, mewujudkan kesejahteraan umum
dan sebesar-besarnya kemakmuran atas dasar keadilan social bagi seluruh rakyat
Indonesia.[5]

Prof. Dr. Jimly
Asshiddiqie.
Menurut Jimly Asshiddiqie
ada beberapa hal yang melatarbelakangi adanya amandemen Undang-Undang Dasar
1945, yang salah satunya berakibat terhadap pergeseran format kelembagaan
negara, diantaranya, Pertama,
Mengenai peralihan fungsi kekuasaan untuk membentuk Undang-Undang, Kedua, perumusan pasal-pasal Hak Asasi
Manusia, Ketiga, pencantuman
ketentuan mengenai keanggotaan unsur TNI dan POLRI yang bersifat sementara, Keempat, pencantuman DPD, Kelima, perkembangan pemilihan Presiden
dan Wakil Presiden secara langsung, Keenam,
Kekuasaan Kehakiman yang mandiri, Ketujuh,
Pemisahan Kekuasaan, Kedelapan,
kurangnya  disadari pentingnya paradigm
pemikiran konseptual kenegaraan yang seharusnya melandasi perumusan perubahan
terhadap materi UUD.[6]

Prof. Dr. Moh. Mahfud
MD, SH., SU.
Menurut Mahfud
tujuan diadakannya amandemen UUD 1945 adalah agar hubungan kerja antara lembaga
Negara yang jauh lebih mencerminkan check
and balance
sehingga Negara Indonesia menjadi lebih demokratis. Presiden
dan DPR sudah diposisikan secara sejajar, dan tidak ada kooptasi dan dominasi
dari yang satu terhadap yang lain, lembaga legislative tak bisa bermain-main
membuat Undang-Undang, karena jika itu terjadi bisa diuji (dibatalkan) oleh
Mahkamah Konstitusi, untuk menjaga keluhuran martabat hakim-hakim diawasi oleh
Komisi Yudisial.[7]
Selain itu kemajuan besar terhadap UUD 1945 amandemen adalah terutama
menguatnya format dan mekanisme check and balanceoleh lembaga yudisial dan
pengaturan lebih rinci tentang perlindungan Hak Asasi Manusia.[8]

Prof. Abdul
Muktie Fadjar, SH., MS.
Beberapa alasan
dikemukakan Muktie Fadjar, diantaranya alasan
Historis
, bahwa dalam sejarahnya UUD 1945 memang didesain sifatnya hany
sementara, alasan Filosofis terdapat
percampuradukan seperti faham kedaulatan rakyat dengan faham integralistik dan
faham Negara hukum dengan faham Negara kesatuan, alasan Teoritis keberadaan konstitusi seyogyanya untuk membatasi
kekuasaan agar tidak sewenang-wenang, akan tetapi UUD 1945 sebelum amandemen
tidak mencerminkan hal tersebut, alasan
yuridis
terdapat pengaturan mengenai perubahan UUD 1945 sebagaimana Pasal
37, alasan politis praktis bahwa
secara sadar maupun tidak sadar UUD 1945 sebelum amandemen dalam praktek
politik sering menyimpang dari teks aslinya.[9]
b.      Apabila dilihat
dari aspek dasar hukum pembentukannya di Indonensia, maka terdapat beberapa
organ yang dapat dikatakan sebagai lembaga Negara, seperti yang dapat
digambarkan berikut ini :[10]
2.       Urgensi Amandemen Kelima
a.      Saya setuju dengan
Amandemen Kelima terhadap UUD 1945
b.      Alasan terhadap
urgensi
Amandemen Kelima
terhadap UUD 1945

Konstitusi
merupakan produk kesepakatan politik (resultante)[11],
sehingga diadalamnya juga berisi kepentingan-kepnetingan yang ingin dicapai pada
masanya.

Dalam
beberapa pengaturan UUD 1945 terdapat beberapa Pasal yang dari segi
pengaturannya belum jelas, sehingga perlu penegasan kembali, baik dari segi
bahasa maupun penegasan mengenai makna dan artinya.

Masih
terdapatnya konsentrasi kekuasaan yang mengakibatkan terjadinya kewenangan yang
bersifat otoriter, sehingga sangat memungkinkan adanya abuse of power[12]

Terdapat
beberapa lembaga Negara yang dari segi kewenangannya masih sangat lemah,
sehingga kedudukannya perlu ditambah untuk optimalisasi peran dan fungsinya.

Penghapusan
beberapa pasal yang bersifat konkrit, seperti lumrahnya suatu konstitusi
mengatur hal yang bersifat asas atau pokok-pokok serta yang bersifat umum dalam
suatu Negara.[13]
c.       Mekanisme Perubahan UUD 1945 di Indonesia setelah amandemen UUD 1945 tergolong rijid,[14]
hal itu didasarkan pada tingkat kesulitan untuk merubah UUD 1945. Adapun
cirri-ciri khusus konstitusi fleksibel menurut Bryce adalah : elastic,
diumumkan dan dirubah dengan cara yang sama seperti Undang-Undang, berbeda
dengan cirri-ciri pokok dari konstitusi rigid, meliputi : memiliki derajat yang
lebih tinggi dari derajat peraturan perundang-undangan yang lain dan hanya
dapat diubah dengan cara yang khusus dengan syarat-syarat yang berat.[15] Untuk
mengenai proses atau tata cara Perubahan UUD 1945, sebenarnya ada beberapa
Disertasi dari beberapa Pakar Hukum sejauh yang penulis Ketahui, diantaranya
Sri Soemantri[16],
Taufiqurrahman Sahuri[17]
dan Budiman NPD Sinaga[18],
yang pada dasarnya proses perubahan UUD 1945 dapat dilakukan melalui Pasal 37
ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 amandemen, dapat
dijelaskan diantaranya :

Usul
perubahan pasalpasal UndangUndang Dasar dapat diagendakan dalam sidang Majelis
Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurangkurangnya 1/3 dari jumlah
anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Setiap
usul perubahan pasalpasal UndangUndang Dasar diajukan secara tertulis dan
ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya.

Untuk
mengubah pasalpasal UndangUndang Dasar, Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat
dihadiri oleh sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan
Rakyat.

Putusan
untuk mengubah pasalpasal UndangUndang Dasar dilakukan dengan persetujuan
sekurangkurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota
Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Khusus
mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan
perubahan.
Dengan demikian
menjadi jelas mengenai tata cara dan prosedur mengenai perubahan UUD 1945.
d.      Beberapa yang
perlu dirubah

serta keuntungan dan kerugian apabila dilaksanakan atau tidak dilaksanakan
Kelima terhadap UUD 1945, diantaranya :
 No.
JENIS
KEUNTUNGAN
KERUGIAN
KETERANGAN
1.
Penguatan system Presidensial
Sehingga
Presiden dapat melaksanakan kebijakan dengan leluasa, dengan tidak merasa
takut dengan DPR
Dapat menambah
ayat dalam Bab III UUD 1945
2.
Penguatan DPD
Fungsi
dan peran DPD dapat optimal sebagai bagian dari perwakilan rakyat
Penambahan Kewenangan
3.
Penggantian Presiden
Antisipasi terhadap macetnya
penggantian Presidendalam masa jabatannya (Pasal 8 ayat (3))
Lebih
spesifik dapat terjadi jika belum ada Presiden/Wapres terpilih pada saat
habisnya tenggat pengisian kedua jabatan tersebut
4.
Penegasan Kewenangan KY
Jangkauan
objek yang diawasi dan objek pengawasannya
Dipertegas
5.
Penambahan kewenangan MK
Constitutional
complain dan constitutional question
Penambahan
kewenangan
6.
Anggaran Pendidikan 20%
Apabila dirasa
memberatkan, dan tidak sesuai dengan perkembangan
Dihapus/Diganti
3.       Prinsip Demokrasi
a.      Dalam buku Jimly
Asshiddiqie yang berjudul “Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia”[19]
menyebutkan terdapat prinsip pokok sebagai pilar-pilar utama yang menyangga
Negara modern yang layak menyandang gelar sebagai Negara hukum, diantanya :
1.
Supremasi
Hukum (supremacy of law)
2.
Persamaan
dalam hukum (equality before the law)
3.      Asas legalitas (due process of law)
4.
Pembatasan
kekuasaan
5.      Organ-organ ekskutif Independen
6.
Peradilan
bebas dan tidak memihak
7.
Peradilan
tata usaha Negara
8.
Peradilan
Tata Negara (constitutional court)
9.
Perlindungan
Hak Asasi Manusia
10.  Bersifat
demokratis (democratiche rechtsstaat)
11.  Berfungsi
sebagai sarana mewujudkan tujuan berbegara (welfare
state)
12.  Transparansi dan
kontrol sosial
Adapun maksud
dari organ-organ ekskutif independen
tersebut adalah independen tersebut dalam artian lembaga ekskutif tersebut
bebas dari kekuasaan ekskutif, independensi lembaga ekskutif tersbut sangat
penting untuk menjamin demokrasi, karena fungsinya dapat disalahgunakan oleh
Pemerintah untuk melanggeng kekuasaan.[20]
Contoh lembaga-lembaga ekskutif yang independen seperti adalah Bank Central,
organisasi tentara, organisasi kepolisian dan kejaksaan, selain itu juga
lembaga-lembaga baru seperti Komnas HAM, KPU, Ombudsman, Komisi Penyiaran dan
sebagainya.
Sedangkan
prinsip-prinsip Negara hukum menurut ahli yang lain diantaranya :

Stahl[21]
1.
Hak
asasi manusia
2.
Pemisahan
atau pembagian kekuasaan
3.
Pemerintah
berdasarkan peraturan-peratuan
4.
Peradilan
administrasi dalam perselisihan

AV. Dicey[22]
1.
Supremacy
of law
2.
Equlity
before the law
3.
Terjaminnya
HAM

Konsep Rule of
Law[23]
1.
Konstitusionalisme
2.
Badan
kehakiman yang independen
3.
Pemilu
yang bebas
4.
Kebebasan
menyatakan pendapat
5.
Kebebasan
berserikat dan berorganisasi
6.
Civic
education

Henry B. Mayo[24]
1.
Menyelesaikan
perselisihan antara damai dan sukarela melembaga
2.
Menjamin
terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang sedang
berubah
3.
Menyelenggarakan
pergantian pemimpin secara teratur
4.
Membatasi
pemakain kekerasan secara minimum
5.
Menganggap
wajar keanekaragaman
6.
Menjamin
tegaknya keadilan

Miriam Budiardjo[25]
1.
Pemerintahan
yang bertanggung jawab
2.
System
perwakilan yang dipilih melalui pemilu
3.
Adanya
partai politik
4.
Pers
dan media massa yang bebas menyatakan pendapat
5.
System
peradilan yang bebasuntuk menjamin HAM

Nomokrasi Islam (Muhammad
Tahir Azhari)[26]
1.
Prinsip
kekuasaan sebagai amanah
2.
Prinsip
musyawarah
3.
Prinsip
keadilan
4.
Prinsip
persamaan
5.
Prinsip
pengakuan dan persamaan terhadap HAM
6.
Prinsip
peradilan bebas
7.
Prinsip
perdamaian
8.
Prinsip
kesejahteraan
9.
Prinsip
ketaan rakyat

International
Commission of Jurist
1.
Keamanan
pribadi harus dijamin
2.
Tidak
ada hak-hak fundamental dapat ditafsirkan
3.
Penjaminan
terhadap kebebasan mengeluarkan pendapat
4.
Kehidupan
pribadi orang harus tidak dilanggar
5.
Kebebasan
beragama harus dijamin
6.
Hak
untuk mendapatkan pengajaran
7.
Hak
untuk berkumpul dan berserikat
8.
Peradilan
bebas dan tidak memihak
9.
Kebebasan
memilih dan dipilih dalam politik

Negara Hukum
Indonesia (Azhari)[27]
1.
Hukumnya
bersumber pada Pancasila
2.
Berkedaulatan
rakyat
3.
System
konstitusi
4.
Persamaan
kedudukan dalam hukum dan pemerintahan
5.
Kekuasaan
kehakiman yang independen
6.
Pembentuk
UU adalah Presiden bersama DPR
7.
Dianutnya
system MPR
Pendapat saya
terhadap beberapa perkembangan dan pendapat dari ahli mengenai Negara hukum
pada intinya menginginkan adanya tujuan dan fungsi yang lebih baik, pada
dasarnya konsep teoritis demokrasi menawarkan prinsip-prinsip umum untuk
menjalankan pemerintahan yang baik, yaitu pemerintahan senantiasa dalam kontrol
dan partisipasi masyarakat.[28]
b.      Lembaga Negara
yang melakukan fungsi penegakan hukum diantaranya :

Kepolisian
Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di
bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakkan hukum,
perlindungan, pengayoman d
an pelayanan kepada masyarakat. Kepolisian
Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang
meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya
hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat,
serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia.[29]
Kinerja lembaga
ini cukup memprihatinkan, hal itu dikarenakan kinerja yang ditunjukkan tidak
cukup signifikan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.

Kejaksaan
Kejaksaan R.I.
adalah lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara, khususnya di bidang
penuntutan. Sebagai badan yang berwenang dalam penegakan hukum dan keadilan,
Kejaksaan dipimpin oleh Jaksa Agung yang dipilih oleh dan bertanggung jawab
kepada Presiden.[30]
Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan Negeri merupakan kekuasaan
negara khususnya dibidang penuntutan, dimana semuanya merupakan satu kesatuan
yang utuh yang tidak dapat dipisahkan. Kinerja Kejaksaan juga kurang begitu
signifikan dalam melakukan pembongkaran terhadap perkara-perkara besar yang ada
di Indonesia

Kehakiman
Perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah membawa
perubahan dalam kehidupan ketatanegaraan khususnya dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman.[31]
Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan kehakiman dilakukan
oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan
militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi. Kinerja Badan peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung tidak
menunjukkan kinerja yang baik, akan tetapi lembaga Mahkamah Konstitusi sangat
memberikan contoh dan sangat diharapkan oleh masyarakat.

Lembaga Penegak
Hukum Lainnya
Lembaga-lembaga
Negara lain yang ruang lingkup fungsinya sebagai aparat penegak hukum, akan
tetapi bersifat khusus terhadap beban kerja yang tidak bersifat umum. Lembaga
penegak hukum seperti ini seperti KPK, Komnas HAM, Komisi Informasi,Ombudsman
dan lain sebagainya. Mengenai kinerja lembaga baru ini dapat dikatakan
menunjukkan angka yang signifikan. Mengingat lembaga ini menunjukkan
eksistensinya dalam mewujudkan penegakan hukum yang sesuai dengan kaidah-kaidah
keadilan masyarakat.
c.       Secara logika
hukum Indonesia belum menerapkan rule of
law
dengan baik, mengingat secara filosofis Indonesia menganut system
Negara berdasarkan Hukum, untu itu seharusnya dalam segala bidang mampu
memberikan rasa keadilan dalam masyarakat, kemudian secara yuridis normatif
Indonesia merupakan Negara yang berdasarkkan hukum, dengan demikian harusnya
rul of law tumbuh dan berkembang secara pesat di Indonesia, dikarenakan sudah
tertuang dalam UUD 1945. Kemudian secara sosiologis belum mencerminkan
signifikansi terhadap penerapan rule of law secara baik, banyak beberapa kasusu
baik korupsi kolusi dan nepotisme yang dilakukan aparat dan pejabat Negara
mencerminkan ketidak mampuan atau rendahnya rasa dan cinta tanah air dan
bangsa, sehingga memberikan efek buruk terhadap penegakan hukum di Indonesia.
Kemudian secara politis sebenarnya Indoensia mengakui adanya persamaan didepan
hukum, akan tetapi dalam tataran pelaksanaan masih terdapat beberapa orang atau
oknum yang diberlakukan secara berbeda di depan hukum , dikarenakan hal
tertentu, dapat berupa memiliki jabatan, harta atau kedekatan kerabat dan lain
sebagainya.
4.      A.B. Kusuma
dalam bukunya “Sistem Pemerintahan
Pendiri Bangsa versus Sistem Presidensial orde reformasi
” menyatakan bahwa
Presiden Susilo bambang Yudhoyono tidak melaksanakan system Presidensial murni
dan konsekuen[32].
Hal itu tentunya didukung dengan beberapa hal yang terjadi dilapangan ketika
Presiden SBY mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang masih merasa ketakutan
terhadap lembaga parlemen. Dengan demikian tentunya sangat disayangkan
mengingat Presiden secara langsung dipilih oleh rakyat, akan tetapi dalam
menjalankan pemerintahannya Preisden SBY seakan-akan menjalankan pemerintahan
dalam system Pemerintahan Parlementer, yang masih harus disetir oleh Parlemen.
Diketahui bersama bahwa secara
teori sistem pemerintahan  terbagi menjadi 2 (dua), yaitu sistem
pemerintahan parlementer (parliamentary system) dan sistem pemerintahan
presidensial (presidential system ). Walaupun dalam tatanan
implementasinya ada sistem pemerintahan yang bersifat campuran (hybrid
system)
. Pada prinsipnya sistem pemerintahan itu mengacu pada bentuk
hubungan antara lembaga legislatif dengan lembaga eksekutif.[33]
Pemberlakuan sistem pemerintahan terhadap suatu negara tergantung pada
kebutuhan, faktor sejarah dan kondisi sosio-politik suatu negara.[34]
Sistem parlementer adalah sistem yang menekankan parlemen sebagai subjek
pemerintahan, sementara sistem presidensial menekankan peran presiden
(eksekutif) sebagai subjek pemerintahan.[35]
Keduanya memiliki latar belakang berbeda yang menyebabkan berbeda pula dalam
norma dan tatacara penyelenggaraan pemerintahannya. Karakter pemerintahan
parlementer adalah pada dasarnya dominannya posisi parlemen terhadap eksekutif.
sementara karakter sistem presidensial adalah pada dominannya peran presiden
dalam sistem ketatanegaraan. Sistem parlementer dan sistem presidensial adalah
dua hal yang berbeda, bukan merupakan tesis ataupun antitesa yang melahirkan
sintesa.[36]
Terkhusus untuk indonesia
sendiri, menjadi suatu perdebatan sampai sekarang dikalangan para pakar hukum
tata negara dan politik bahwa sistem pemerintahan indonesia menganut sistem
pemerintahan yang berbentuk apa. Hanta yuda, mengemukakan bahwa ketika UUD 1945
belum diamandemen, corak pemerintahan indonesia sering dikatakan sebagai sistem
semipresidensial. Namun dalam prakteknya sistem pemerintahan indonesia justru
lebih mendekati corak parlementer.[37]
Dan setelah amandemen UUD 1945 sistem pemerintahan indonesia menjadi sistem
presidnesial murni.[38]
Sedangkan Bagir manan menyebutkan bahwa sistem pemerintahan indonesia menganut
sistem pemerintahan presidensial karena berpendapat pertanggungjawaban presiden
kepada MPR bukan merupakan pertanggungjawaban kepada badan legeslatif. dalam
hal ini menambahkan, petanggungjawaban Presiden kepada MPR tidak boleh
disamakan dengan pertanggungjawaban kabinet  kepada parlemen (dalam sistem
parlementer).[39]
Berbeda pendapat dengan apa
yang dijelaskan Sri Soemantri bahwa sistem pemerintahan indonesia menganut
sistem campuran. Karasteristik campuran didasarkan pada kesimpulan yang ditarik
dari penjelasan UUD 1945, yaitu (1) presiden dipilih dan diangkat oleh MPR, (2)
Presiden mandataris MPR, (3) MPR pemegang kekuasaan negara tertinggi, (4)
Presiden tunduk dan bertanggungjawab kepada MPR, dan (5) Presiden untergroentet
kepada MPR. jadi esensi dari kelima hal itu, presiden sebagai badan eksekutif
mendapat pengawasan langsung dari badan legeslatif. apabila eksekutif mendapat
pengawasan langsung dari badan legeslatif, maka hal itu menunjukkan adanya segi
pemerintahan parlementer.[40]
Disamping sistem pemerintahan parlementer,  UUD 1945 juga mengandung
anasir sistem presidensial. Anasir itu dapat dilihat dari adanya ketentuan
bahwa presiden merupakan pemegang kekuasaan pemrintahan. Dengan posisi seperti
begitu, UUD 1945 menyatakan bahwa menteri-menteri diangkat dan diberhentikan
oleh presiden. Selain kedua hal itu, dalam sistem ketatanegaraan indonesia, di
samping sebagai kepala pemerintahan yang mempunyai kekuasaan riil, presiden
juga sebagai kepala negara (nominal head of state).[41]
Sedangkan Jimly asshiddiqie,
mengemukakan bahwa setelah UUD 1945 diubah maka dalam hal ini, yang lebih dekat
dengan sistem yang dipakai di indonesia  adalah sistem Amerika Serikat,
yaitu sistem presidensial murni.[42]
Sedangkan ditambahkan lagi bahwa sistem pemerintahan Republik Indonesia
bersadarkan UUD 1945 yang disahkan PPKI pada 18 Agustus 1945, juga menganut
sistem campuran.[43]
Tetapi pada pokoknya, sistem yang dianut adalah sistem presidensial, tetapi
presiden ditentukan tunduk dan bertanggungjawab kepada lembaga MPR yang terdiri
atas anggota DPR dan ditambah utusan-utusan golongan fungsional.[44]
Perdebatan dikalangan
akademisi terhadap sistem pemerintahan indonesia itu terjadi diakibatkan bapak
pendiri bangsa ini yang mengiingkan memakai sistem pemerintahan yang bersifat
“Sistem sendiri” sesuai dengan usul Dr. Soekiman, BPUPK dari Yogyakarta, dan
Prof. Soepomo Ketuan Panitia Kecil BPUPK. Pada rapat panitia hukum dasar,
bentukan BPUPKI, tanggal 11 Juni 1945 dicapai kesepakatan bahwa indonesia tidak
akan menggunakan sistem parlementer seperti inggris karena karena merupakan
penerapan dari pandangan individualisme. Sistem tersebut juga tidak mengenal
pemisahan kekuasaan yang tegas. Antara cabang legisltatif dan eksekutif
terdapat fusion of power karena kekuasaan eksekutif sebenarnya adalah
„bagian“ dari kekuasaan legislatif. Perdana Menteri dan para menteri sebagai
kabinet yang kolektif adalah anggota parlemen.  Sebaliknya, sistem
Presidensial dipandang  tidak cocok untuk Indonesia yang baru merdeka
karena sistem tersebut mempunyai tiga kelemahan. Pertama, sistem presidensial
mengandung resiko konflik berkepanjangan antara legislatif – eksekutif. Kedua,
sangat kaku karena presiden tidak dapat diturunkan sebelum masa jabatannya
berahir. Ketiga, cara pemilihan “winner takes all” seperti
dipraktekkan di Amerika Serikat bertentangan dengan semangat bemokrasi.[45]
Hemat penulis, bahwa sistem pemerintahan
indonesia setelah reformasi telah mengalami purifikasi sangat menonjol. Saat
ini sistem pemerintahan indonesia cenderong kepada sistem pemerintahan yang
bersifat presidensial. Ini dapat dilihat dari beberapa ketentuan didalam UUD
NRI 1945 yang telah mengalami purifikasi. Ada 2 (dua) Pasal dalam UUD NRI 1945
yang mejadi dasar  (basic) sehingga indonesia dapat dikatakan
telah menganut sistem presidensial. Pertama, akibat diubahya sistem
kedaulatan MPR mejadi sistem Kedaulatan Rakyat, dimana sesuai Pasal 1 ayat (2)
UUD NRI 1945 (Pasca amandemen)[46]
menyebabkan sistem demokratisasi dinegara ini lebih baik. Terbukti pada tahun
2004 menjadi sejarah dalam sistem ketatanegaraan indonesia dimana
dilangsungkannya pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat. Ini akibat
dari hasil amandemen UUD NRI Tahun 1945 Pasal 6A ayat (1) “Presiden dan
Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.”

SBY-JK merupakan Presiden pertama yang merasakan hasil amanedem tersebut dengan
berhasil menjadi Presiden Periode 2004-2009 dan kembali terpilih SBY-Boediono
sebagai Presiden 2009-2014. Kedua, kita dapat melihat indonesia
menganut sistem presidensial pada Pasal 4 ayat (1) “Presiden Republik
Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar 1945.

Sebenarnya Pasal ini bersifat tetap. Baik sebelum amandemen UUD NRI Tahun 1945
Pasal ini tidak mengalami perubahan. Tetapi menurut hemat penulis, Pasal ini
tetap memberikan sebuah pengertian bahwa di indonesia hanya mengenal sistem
eksekutif tunggal (single executive), yaitu antara kepala pemerintahan
(chief executive) dan kepala negara (head of State) sama
yaitu seorang Presiden sehingga sistem pemerintahan indonesia cenderong kepada
sistem pemerintahan yang bersifat Presidensial[47]
Sebenarnya masih banyak
Pasal-pasal didalam UUD NRI 1945 yang membenarkan bahwa sistem pemerintahan
indonesia lebih cenderong kepada sistem pemerintahan presidensial setelah
amandemen UUD NRI 1945. Seperti bagaimana jabatan presiden bersifat tetap (position
is fixed)
. Pasal 7 “ Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan
selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang
sama, untuk satu kali masa jabatan
.” Perlu dipahami bahwa dalam sistem
presidensial dimana presidennya dipilih secara langsung oleh rakyat, secara
tidak langsung legitimasi yang diberikan juga sangat kuat (strong
legitimacy)
, sehingga dalam proses penjatuhannya juga harus didasarkan
pada keinginan rakyat semata atau diasarkan pada masa jabatan presiden telah
berakhir sesuai amanat konstitusi atau praktek ketatanegaraannya. Tetapi dalam
praktek sistem pemerintahan presidensial juga membenarkan adanya penjatuhan
presiden dalam masa jabatan, tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang telah
ditentukan, yaitu apabila Presiden dan Wakil Presiden tersebut melakukan sebuah
pelanggaran hukum yang secara tegas diatur dalam konstitusi dan inilah dikenal
dengan nama Pemakzulan (impechment)[48]
Khusus diindonesia sebelum dan
setelah amandemen UUD 1945 ada sebuah praktek ketatanegaraan yang berbeda dalam
proses pemberhentian Presiden dalam masa jabatan. Ketika Orde baru, kedudukan
Presiden sebagai presiden sangatlah kuat dan sangat sulit untuk dijatuhkan.[49]
Ini dapat dilihat dari bunyi UUD 1945 “Jika Presiden mangkat, berhenti,
atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya,ia diganti oleh
Wakil Presiden sampai habis waktunya”
. Dalam Penjelasan Undang-Undang
Dasar 1945 angka VII Alinea ketiga, menentukan : “ Jika Dewan menganggap
bahwa Presiden sungguh melanggar haluan negara yang telah ditetapkan oleh
Undang-Undang Dasar atau oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, maka majelis itu
dapat diundang untuk persidangan istimewa agar supaya bisa meminta
pertanggungjawaban Presiden.”
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan
Sidang Istimewa ini diatur dalam ketetapan Majelis Permuswaratan Rakyat Nomor
III Tahun 1978 Jo. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No.VII Tahun 1973.
Jadi, berdasarkan ketentuan tersbut, Presiden dapat diberhentikan dalam masa
jabatannya karena alasan “Presiden sungguh melanggar haluan negara yang telah
ditetapkan oleh Undang-Undang Dasar atau oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Tetapi persoalannya apakah tindak pidana dapat dianggap sebagai salah satu
pelanggaran terhadap haluan negara sebagaimana dimaksud dalam penjelasan UUD
1945 dan Majelis Permusyawaratan rakyat.[50]
Ini berbeda setelah Amandemen
UUD 1945 dimana sistem Pemberhentian Presiden dalam masa jabatannya telah
diubah dan diperbaruhi.[51]
Saat ini untuk memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden sangatlah sulit
karena harus melalui beberapa tahap yaitu melalui Usul Dewam Perwakilan Rakyat
(DPR) apabila menganggap Presidan dan/Wakil Presiden Melakukan Pelanggaran
Hukum yang berupa Penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak
pidana  berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti
tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/Wakil Presiden, maka dapat
mengajukan usul kepada MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) untuk diputus
apakah Presiden Melanggar haluan negara ataukah tidak. Tetapi sebelum itu DPR
harus meminta kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili dan memutus
DPR tersebut.[52]
Tetapi menurut penulis bahwa pemberhentian Presiden dan/Wakil Presiden saat ini
untuk dipraktekkan diindonesia sangatlah sulit walaupun didalam Konstitusi ada
yang mengaturnya. Ada beberapa alasan saya. Pertama, Penafsiran
terhadap makna pelanggaran hukum tersebut yang diatur dalam UUD NRI 1945
masihlah abstrak. Kedua, Sistem pemberhentian presiden yang
dikehendaki oleh konstitusi yang rumit sehingga sangat sulit terjadi
pemberhentian Presiden dalam masa jabatan. Ketiga, konstitusi telah
mengamanahkan dengan jabatan  tetap 5 (lima) tahun untuk Presiden
dan/Wakil Presiden. Keempat, dipilihnya sistem pemerintahan yang lebih
cenderong kepada Presidensial sebagai sistem pemerintahan indonesia dimana
Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat, maka secara tidak langsung maka
tidak lembaga yang dapat menjatuhkan Presiden secara langsung kecuali rakyat
yang memilihnya.
Kembali kepada sistem
pemerintahan. Dibandingkan dalam sistem pemerintahan parlementer, kepala
pemerintahan (chief executive) cenderung mendapat tekanan politis dari
Parlemen, sehingga apabila kepala pemerintahan (chief excecutive)
berbeda pendapat dengan Parlemen maka ancaman Mosi tidak percaya selalu
dilontarkan oleh parlemen terhadap kepala pemerintahan yaitu perdana menteri,
sehingga jalannya roda pemerintahan dalam sistem parlementer relatif terganggu
akibat seringnya ganti-ganti kepala pemerintahan akibat perdana menterinya
berbeda pendapat dengan parlemen.
Selanjutnya dalam Sistem
Presidensial  Presiden yang menentukan sendiri Kabinet yang dipimpinnya.
Dalam sistem pemerintahan indonesia demikian juga dimana dalam UUD NRI Tahun
1945 Pasal 17 ayat (2) “ Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan
oleh Presiden.”
Sama halnya dengan beberapa Pasal dalam UUD 1945 bahwa
Pasal ini bersifat tetap, tidak ada perubahan dari sebelum amandemen sampai
sekarang. Dibawah ini akan dapat dilihat sejauhmana perbandingan Kewenangan dan
Kedudukan yang menguatkan Posisi Presiden sebagai Pemegang kekuasaan Eksekutif
dan Posisi DPR Sebagai Pemegang Kekuasaan Legeslasi diindonesia.
Kewenangan  dan
Kedudukan Presiden dan DPR menurut UUD NRI Tahun 1945 (setelah amandemen)
No.
PRESIDEN
DPR
RI
1.
  • Pasal 4 Ayat (1) “ Presiden
    Republik Indonesia memegang Kekuasaan Pemerintahan
    menurut
    Undang-Undang Dasar.
  •  Pasal 7C “Presiden tidak
    dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat
    ”.
2.
  • Pasal 5 Ayat (1) “ Presiden
    berhak mengajukan rancangan undang- undang
    kepada Dewan Perwakilan
    Rakyat.
  • Pasal 5 Ayat (2) “Presiden
    menetapkan peraturan pemerintah
    untuk menjalankan undang-undang
    sebagaimana mestinya
  • Pasal 11 Ayat (1) “ Presiden
    dengan Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan
    perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.
  • Pasal 11 Ayat (2) “Presiden
    dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat
    yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban
    keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan
    undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
3.
  • Pasal 7 “Presiden dan
    Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun
    , dan sesudahnya
    dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali
    masa jabatan.
  • Pasal 13 Ayat (2) “Dalam hal
    mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan
    Rakyat
    .
4.
  • Pasal 10 “ Presiden
    memegang  kekuasaan yang tertinggi
    atas Angkatan Darat,
    Angkatan laut dan  Angkatan Udara.
  •  Pasal 20 Ayat (2) “Setiap
    rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat
    dan
    Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
5.
  • Pasal 11 Ayat (1) “ Presiden
    dengan Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan
    perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.
  • Pasal 11 Ayat (2) “Presiden
    dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat
    yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban
    keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan
    undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
  • Pasal 20A Ayat (1) “Dewan
    Perwakilan Rakyat memiliki fungsi
    legislasi, fungsi anggaran, dan
    fungsi pengawasan.”
  • Pasal 20A Ayat (2) “Dalam
    melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain
    Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak
    interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat
    .
  • Pasal 20 Ayat (3) “Selain hak
    yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, setiap
    anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak
    mengajukan pertanyaan,
    menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas.
6.
  • Pasal 12 “Presiden
    menyatakan keadaan bahaya
    . Syarat-syarat dan akibatnya keadaan
    bahaya ditetapkan dengan undang-undang.
  •  Pasal 21 “Anggota
    Dewan Perwakilan Rakyat berhak
    mengajukan usul rancangan
    undang-undang”.
7.
  • Pasal 13 Ayat (1) “ Presiden
    mengangkat duta dan konsul.
  • Pasal 13 Ayat (2) “Dalam hal
    mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan
    Rakyat
    .
  •  Pasal 22 Ayat (2)
    “Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan
    Rakyat
    dalam persidangan yang berikut
8.
  • Pasal 14 Ayat (1) “Dalam hal
    mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan
    Rakyat
    .
  • Pasal 14 Ayat (2) “Presiden
    memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan  pertimbangan
    Dewan Perwakilan Rakyat.
  • Pasal 23 Ayat (3) “Apabila Dewan
    Perwakilan Rakyat tidak menyetujui rancangan anggaran pendapatan dan belanja
    negara
    yang diusulkan oleh Presiden, Pemerintah menjalankan Anggaran
    Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang lalu.
9.
  • Pasal 15 “Presiden memberi
    gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan yang diatur dengan
    undang-undang.
  •  Pasal 23E Ayat (2)
    “Hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada Dewan Perwakilan
    Rakyat,
    Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
    sesuai dengan kewenangannya
10.
  • Pasal 16 “Presiden
    membentuk suatu dewan pertimbangan
    yang bertugas memberikan nasihat
    dan pertimbangan kepada Presiden, yang selanjutnya diatur dalam
    undangundang.
  •  Pasal 23F Ayat (1)
    “Anggota Badan Pemeriksa Keuangan dipilih oleh Dewan Perwakilan
    Rakyat
    dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah dan
    diresmikan oleh Presiden.
11.
  • Pasal 17 Ayat (2)
    “Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
  •  Pasal 24A Ayat (3) “Calon
    hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat
    untuk
    mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung
    oleh Presiden.
12.
  • Pasal 20 Ayat (2) “Setiap
    rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden
    untuk mendapat persetujuan Bersama
    .
  • Pasal 24B Ayat (3)“ Anggota
    Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan
    Dewan Perwakilan Rakyat.”
13.
  • Pasal 22 Ayat (1) “Dalam hal
    ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan
    pemerintah sebagai pengganti undang-undang.”
  •  Pasal 24C Ayat (3)
    “Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi
    yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang
    oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan
    tiga orang oleh Presiden.
14.
  • Pasal 23F Ayat (1) “Anggota
    Badan Pemeriksa Keuangan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan
    memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah dan diresmikan
    oleh Presiden.
15.
  • Pasal 24A Ayat (3) “Calon
    hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat
    untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai
    hakim agung oleh Presiden
    .
16.
  • Pasal 24B Ayat (3)“ Anggota
    Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden
    dengan
    persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”.
17.
  • Pasal 24C Ayat (3) “Mahkamah
    Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan
    oleh Presiden
    , yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah
    Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh
    Presiden.
5.      Objectum litis dikenal dengan istilah objek
perkara atau objek sengketa. Dalam perkara yang menjadi kewenangan pengadilan
di dibawah Mahkamah Agung memiliki objek perkara atau objectum litis yang berbeda-beda.[53]
Untuk perkara “sengketa kewenangan lembaga Negara yang
dikewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar” (SKLN), objectum litis-nya
adalah kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar. Jika terdapat
sengketa kewenangan yang bukan kewenangan yang diberikan Undang-Undang Dasar
(UUD), maka bukan menjadi kewenangan MK untuk mengadilinya. Jika sampai pekara
tersebut dimasukkan, maka hakim konstitusi harus menyatakan tidak berwenang.
Dalam putusan mengenai perkara SKLN, MK pernah membuat pertimbangan bahwa
kewenangan lembaga negara tidak cukup hanya dilihat secara tekstual saja, akan
tetapi kewenangan implisit dan kewenangan yang diperlukan (necessary and proper) untuk melaksanakan kewenangan pokok yang
pengaturannya dapat saja dimuat dalam undang-undang. (Putusan MK No.
004/SKLN-IV/2006). Tidak terpenuhinya objectum litis, menjadikan sebuah perkara
akan diputus tidak dapat diterima oleh Mahkamah Konstitusi, karena tidak
memenuhi syarat pemohon berhak mengajukan permohonan (legal standing).
Subjectum litis lebih
dikenal sebagai pihak-pihak berperkara atau bersengketa. Untuk perkara Sengketa
Kewenangan Lembaga Negara (SKLN), lembaga negara yang dapat menjadi pemohon
atau termohon dalam perkara SKLN sebagaimana lebih rinci sudah dijabarkan dalam
PMK, yaitu: DPR, DPD, MPR, Presiden, BPK, Pemda, dan lembaga negara lain yang
kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. (Pasal 2 ayat (1) PMK No. 8/PMK/2006).
Oleh karena itu untuk dapat memenuhi syarat subjectum litis-nya untuk membubarkan
partai politik adalah enam lembaga negara diatas dan lembaga negara lain yang
kewenangannya diberikan UUD 1945. Sebagaimana syarat objectum litis
diatur dalam peraturan perundang-undangan, maka begitu pula jika subjectum
litis
berdasarkan jenis perkara tidak terpenuhi, maka menjadikan sebuah
perkara diputus tidak dapat diterima oleh Mahkamah Konstitusi, karena permohon
tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan (legal standing).[54]
Objectum litis sengketa
kewenangan lembaga negara, akan membatasi siapa pihak yang dapat menjadi
pemohon dan termohon didepan persidangan Mahkamah Konstitusi. Kewenangan
lembaga negara yang dapat menjadi objek sengketa hanyalah menyangkut kewenangan
yang diberikan oleh UUD 1945 kepada lembaga negara tertentu. Oleh karenanya
tidaklah tiap lembaga negara, yang memenuhi kriteria sebagai organ, badan atau
lembaga negara yang menjalankan fungsi penyelenggaraan negara dan pemerintahan,
yang bersengketa dengan lembaga negara lain dapat dengan sendirinya menjadi
pihak dalam sengketa kewenangan dimaksud. Jikalau kita meneliti UUD 1945
setelah perubahan, dapat dinventarisasi 28 lembaga negara yang disebut secara
eksplisit maupun secara tidak langsung disebut tetetapi kemudian diperintahkan
akan diatur dalam undang-undang. Menurut Jimly Asshidiqie, ada 28 lembaga
negara, organ atau jabatan yang disebut dalam UUD 1945 tetapi
kewenangannya  dirujuk akan diatur lebih
lanjut, atau lembaga negara yang diatur secara jelas kewenangannya dalam UUD
1945 maupun yang sekedar disebut saja,yaitu :
  1. Majelis
    Permusyawaratan Rakyat.(MPR).
  2. Dewan Perwakilan
    Rakyat (DPR).
  3. Dewan Perwakilan
    Daerah (DPD).
  4. Presiden.
  5. Wakil Presiden.
  6. Dewan Pertimbangan
    Presiden.
  7. Kementerian Negara.
  8. Duta.
  9. Konsul.
  10. Pemerintahan Daerah
    Propinsi, yang mencakup
  11. Jabatan Gubernur.
  12. DPRD Propinsi
  13. Pemerintahan Daerah
    Kabupaten, yang mencakup
  14. Jabatan Bupati
  15. DPRD Kabupaten
  16. Pemerintahan Daerah
    Kota, yang mencakup
  17. Jabatan Walikota
  18. DPRD Kota.
  19. Komisi Pemilihan
    Umum)KPU), yang akan diatur lebih lanjut dalam undang-undang.
  20. Bank Sentral, yang
    akan diatur lebih lanjut dalam undang-undang.
  21. Badan Pemeriksa
    Keuangan (BPK).
  22. Mahkamah Agung (MA)
  23. Mahkamah Konstitusi
    (MK).
  24. Komisi Yudisial.(KY)
  25. Tentara Nasional
    Indonesia(TNI).
  26. Kepolisian Negara
    Republik Indonesia.
  27. Pemerintah Daerah
    Khusus atau istimewa.
  28. Kesatuan Masyarakat
    hukum adat.[55]
      
Meskipun disebut dan
diatur dalam UUD 1945, lembaga negara yang memiliki legal standing  untuk dapat
menjadi pemohon sengketa kewenangan lembaga negara didepan MK, haruslah secara
eksplisit bahwa kewenangan organ konstitusi tersebut mendapat kewenangannya
tersebut dari UUD 1945. Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi dalam
perkara  Nomor    /PUU-IV/2006, yang kemudian diadopsi sebagai
syarat legal standing dalam pasal 3 Peratura
n Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006, ditetapkan tiga syarat untuk legal standing tersebut yaitu :
1.
Pemohon adalah lembaga negara yang menganggap kewenangan
konstitusionalnya diambil, dikurangi, dihalangi, diabaikan, dan/atau dirugikan
oleh lembaga negara yang lain.
2.
Pemohon harus mempunyai kepentingan langsung terhadap
kewenangan yang dipersengketakan.
3.
Termohon adalah lembaga negara yang dianggap telah
mengambil, mengurangi, menghalangi, mengabaikan, dan/atau merugikan pemohon.[56]
Syarat  angka 3 diatas, dapat ditafsirkan sebagai
adanya hubungan kausal kerugian yang dialami kewenangannya dengan kewenangan
yang dilaksanakan oleh lembaga lain.[57]
Dengan kriteria yang demikian maka subjek lembaga negara yang disebut diatas
yang memiliki legal standing untuk dapat menjadi Pemohon
dalam sengketa kewenangan lembaga negara didepan Mahkamah Konstitusi, menjadi
semakin sempit dan berkurang.Hal ini dapat terlihat dengan jelas dalam pasal 2
PMK Nomor 08/PMK/ 2006 tersebut, yang menentukan  :
(1)
Lembaga Negara yang dapat menjadi pemohon atau termohon
dalam perkara sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara adalah :
a.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
b.
Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
c.
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
d.
Presiden
e.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) .
f.
Pemerintahan Daerah (Pemda); atau
g.
Lembaga negara lain yang kewenangannya diberikan oleh UUD
1945.

Apabila terdapat lembaga
termohon tetap menjalankan kewenangan yang dipersengketakan, maka pejabat
negara yang bersangkutan dapat dikatakan tidak patuh terhadap hukum, untuk itu
dapat dilakukan upaya-upaya untuk melaporkan kepada atasan yang lebih tinggi,
untuk dilakukan upaya-upaya agar mematuhi putusan pengadilan. apabila masih
tetap bersikukuh tidak melaksanakan putusan pengadilan, maka dengan segala
kerendahan ahti untuk dapat dimintakan pemecatan terhadap pejabat negara yang
bersangkutan.

 

 


                [1] Tidak
hanya itu, Kelsen juga mengemukakan mengenai Konsep lembaga Negara yang
bersifat fomal dan material, konsep formal yakni pengertian organ Negara melalui arti yang luas,
sedangkan arti material merupakan
arti yang sempit. Hans Kelsen, General
Theory of Law and State,
(New York : Russel and Russel, 1973), Hal.
192-194. Hal yang sama juga dibahas Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,
(Jakarta : Konstitusi Press, Cetakan ke-2, oktober 2006), Hal. 36-38
                [2]
Pembagian lembaga Negara menurut K.C. Wheare ditentukan oleh pengaturan
lembaga, yang disebut lembaga Negara adalah lembaga yang diatur dalam
konstitusi suatu Negara. K.C. Wheare, Modern
Constitution
, (Oxford University Press, 1996), Hal.5
                [3] T. Sri
Soemantri, Konstitusi dan sejarah MPR
dalam perkembangan system ketatanegaraan Indonesia,
Makalah untuk menyambut
Mahasiswa Baru Program Doktoral Unpad – Bandung, tanggal 5 agustus 2004, Hal.
4-5
                [4] Bagir
Manan, Teori dan Politik Konstitusi,
(Yogyakarta : FH UII Press, 2003), Hal. 11
                [5] Bagir
Manan, “Kata Pengantar”, dalam buku Slamet Effendy Yusuf dan Umar Basalim, Reformasi Konstitusi Indonesia Perubahan
Pertama UUD 1945
, (Jakarta : Pustaka Indonesia Satu, 2000), Hal. XVIII
                [6]
Disarikan dari buku Jimly Asshiddiqie, Format
Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945
, (Yogyakarta :
FH UII Press, 2004), Hal. 5-7
                [7] Moh. Mahfud
MD, Konstitusi dan Hukum dalam
Kontroversi Isu
, (Jakarta: Rajawali Pers, cetakan ke-2, Januari 2010)
171-172
                [8] Moh.
Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara,
(Jakarta : LP3ES, 2007), Hal. 47
                [9] Abdul
Muktie Fadjar, Hukum Konstitusi dan
Mahkamah Konstitusi
, (Jakarta : Konstitusi Press, 2006), hal. 9-11
                [10]
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Materi Sosialisasi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Indonesia Tahun 1945
, (Jakarta : Sekretariat Jenderal MPR RI, 2007), Hal. 6
                [11]
Produk Resultante adalah merupakan produk kompromi antar pembentuk yang satu
dengan yang lainnya, sehingga juga mengandung beberapa kepentingan yang ingin
dicapai oleh kelompok tertentu. K.C. Wheare, Op Cit, Hal 13
                [12] Abuse
of Power merupakan pemaknaan terhadap kesewenang-wenangan Pemerintah terhadap
masyarakat yang dipimpinnya. Satya Arinanto, Negara Hukum Demokrasi, (Jakarta, Pusat Studi Hukum Tata Negara
Universitas Indonesia, 2001), Hal. 15
                [13] CF.
Strong, Modern Political Constitution :
An Introduction to the Comparative Study of Their History and Existing Form
,
(London : The English Book Society and Sanwick, 1996), Hal. 15
                [14]
Dahlan Thaib dkk, Teori dan Hukum
Konstitusi
, (Jakarta : Rajawali Pres, 2004), hal. 26
                [15] Sri
Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan
Konstitusi
, (Bandung : Alumni, 1987), Hal. 64
                [16]
Merupakan Disertasi Untuk meraih Doktor Program Doktor Ilmu Hukum Unpad
Bandung, yang kemudian diterbitkan. Sri Soemantri, (Edisi Revisi) Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi,
(Bandung : Alumni, 2006)
                [17]
Disertasi Doctoral Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia
yang juga diterbitkan. Taufiqurrahman Syahuri, Hukum Konstitusi, Proses dan Prosedur Perubahan UUD di Indonesia
1945-2002, serta Perbandingannya dengan Konstitusi Negara lain di dunia
,
(Jakarta : Ghalia Indonesia, 2004)
                [18]
Adalah Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum Unpad Bandung, yang dibukukan.
Budiman NPD Sinaga, Hukum Tata Negara,
Perubahan Undang-Undang Dasar
, (Jakarta : Tatanusa, 2009)
                [19] Jimly
Asshiddiqie, Konstitusi dan
Konstitusionalisme Indonesia
, (Jakarta : Konstitusi Press, cetakan ke-2,
2006), Hal. 151-161
                [20] Ibid
                [21] Abdul
Aziz Hakim, Negara Hukum dan Demokrasi di
Indonesia
, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2011), hal. 10
                [22] AV.
Dicey, Introduction to the study of the
law of the constitution
, (London : Mc Millanand CO, 1952), hal. 31
                [23]
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu
Politik
, (Jakarta : Gramedia, edisi revisi, 2010), Hal. 116
                [24] Henry
B. Mayo, An Introduction to Democratic
Theory
, (New York : Oxford University press, 1960), Hal. 70
                [25]
Miriam Budiardjo, opcit, hal. 120
                [26]
Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum suatu
study tentang prinsip-prinsipnya dilihat dari segi hukum Islam, Implementasi
pada periode Negara Madinah
, (Jakarta : Kencana, 2004), hal. 85-86
                [27]
Azhary, Negara Hukum Indonesia, analisis
yuridis normatif tentang unsur-unsurnya
, (Jakarta : UI Press, 1995), hal.
153
                [28]
Hendra Nurtjahjo, Filsafat Demokrasi,
(Jakarta : Bumi Aksara, 2006), Hal. 71
                [29]
Abdussalam, Prospek Hukum Pidana
Indonesia, dalam mewujudkan rasa keadilan masyarakat,
(Jakarta : Restu
Agung, 2006), hal.  717
                [30]
Marwan Effeny, Kejaksaan RI Posisi dan
Fungsinya Dari Perspektif Hukum
, (Jakarta : Gramedia, 2005), hal.72
                [31]
Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, Aspek-aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia,
(Yogyakarta : FH UII Press, 2005), Hal. 25
                [32] A.B.
Kusuma, Sistem Pemerintahan “Pendiri
Bangsa” versus Sistem Presidensial “orde reformasi”
, (Jakarta : Badan
Penerbit Universitas Indonesia, 2011), 155
                [33]
Dijelaskan oleh Sri Soemantri (1971 :76), Lihat Koerniatmanto Soetoprawiro,
                [34] Untuk
mengetahui sistem pemerintahan suatu negara yaitu dengan melihat isi dari
Konstitusi setiap negara, apakah negara tersebut menganut sistem pemerintahan
yang bersifat parlementer (parliamentary system) ataukah sistem
pemerintahan presidensial (presidential system). Khusus untuk negara
inggris yang tidak memiliki konstitusi tertulis (unwritten Constitution) kita
dapat meihat sistem pemerintahannya dengan menganalisa praktek
ketatanegaraannya secara langsung.
                [35]
Hendarman Ranadideksa, Arsitektur konstitusi demokratik mengapa ada negara
yang gagal melaksanakan demokras
i, Fokusmedia, Jakarta, 2007, hal.100
                [36] Ibid.,
hal.101.
                [37]
Dijelaskan lagi bahwa hal tersebut dapat dibuktikan dengan mekanisme
pemberhentian presiden  yang lebih disebabkan atas dasar alasan politis.
Misalnya, diawali dengan permintaan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
kepada Presiden  agar mengundurkan diri.  Saat itu, pimpinan DPR
menganggap tidak perlu menunggu Sidang Istimewa MPR karena DPR sudah dianggap
mewakili DPR. ( Herbert Feith, The Decline of Constitution Democracy,
Ithaca, 1963, hlm. 424-437) Hanta yuda, Op. Cit., Hal.2
                [38]
Dijelaskan MPR bukan lagi pemegang kedaulatan rakyat dan lembaga itu telah
mengalami perubahan komposisi dan konfigurasi. Presiden bukan lagi mandataris
MPR, karena presiden sudah dipilih secara langsung oleh rakyat. Presiden juga
tidak lagi melakukan GBHN, melainkan melaksanakan program-programnya sendiri
yang ditawarkan saat kampanye. Ibid., Hal. 3.
                [39]
Ditambahkan bahwa  Pertanggungjawaban presiden kepada MPR merupakan upaya
konstitusional untuk chaking dan balancing. Dengan demikian Imbuh Manan bahwa
Unsur Parlementer dalam UUD 1945 Tidak ada sama sekali. Liat Saldi Isra,  Ibid.,
Hal. 54.
                [40] Ibid.,
Hal. 57.
                [41] Ibid.,
Hal. 57-58.
                [42]
Sebenarnya banyak juga sarjana yang menganggap sistem  hybrid
seperti yang dipraktekkan di prancis juga baik untuk diterapkan di indonesia.
Sistem prancis ini di anggap merupakan variasi yang menarik, karena dipilih
langsung oleh rakyat dengan pemerintahan kabinet yang bertanggungjawab kepada
parlemen. banyak kalangan menganggap sistem ini lebih realistis untuk
dipraktikkan di indonesia yang sangat majemuk……, Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok
hukum tata negara
, Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2008, Hal. 320.
                [43] Sama
halnya dengan Sri Soemantri, Jimly Asshiddie mengemukakan sistem pemerintahan
indonesia sebelum diamandemen UUD 1945 adalah bersifat campuran. Campuran
menurut penulis  disini berarti bahwa ciri-ciri sistem pemerintahan
parlementer dan sistem pemerintahan presidensial ada dalam sistem pemerintahan
indonesia. Dan ini dapat dilihat dalam UUD 1945 (sebelum amandemen).
                [44] Jimly
Asshiddiqie, Op. Cit., Hal. 320.
                [45]
Sofian Effendi, Mencari Sistem Pemerintahan Negara,
                [46] Pasca
Amandemen UUD 1945 sesuai Pasal 1 ayat (2)  Bahwa Kedaulatan bukan lagi
berada ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat. Tetapi Kedaulatan milik rakyat seutuhnya.
                [47]
Berbeda dengan sistem Parlementer (Parliamentary System) dimana
mengenal dua eksekutif (two executive) yaitu Raja atau Presiden
sebagai Kepala Negara (head of state) yang berfungsi sebagai simbol
negara, dan Perdana Menteri sebagai kepala pemerintahan (Chief Executive)
yang berfungsi sebagai yang menjalankan roda pemerintahan yang dilih oleh
parlemen.
                [48] Bahwa
apabila kita ingin melihat dalam sistem presidensial pastilah melihat sitem
pemerintahan Amerika Serikat (USA). Dalam sistem pemerintahan Amerika mengenal
pemberhentian dalam masa jabatan atau biasa dikenal dengan Impeachment (pemakzulan).
Dalam Article II, Section 4 The United States Constitution disebutkan “The
President, Vice Presiden and all civil officers of the United States, Shall be
removed from Office on Impeachment for, an conviction of, Treason, Bribery, or
other Hight Crimes and Misdemeanors”.
                [49]
Selama 32 Tahun Presiden Soeharto berkuasa, dan ini akibat didalam UUD 1945
tidak mengatur dengan jelas tentang lama masa jabatan untuk menjadi seorang
presiden. Pasal 7 disebutkan “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama
masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali
”.
                [50]
Dijelaskan juga tidak ada satupun ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan  ketatanegaraan indonesia  yang tegas mengatur
tentang apa yang dimaksud dengan melanggar Hukum Negara. Hamdan Zoelfa, Impeachment
Presiden alasan tindak pidana pemberhentian presiden Menurut UUD 1945,

Konstitusi Press, Jakarta, 2005, Hal.5-6
                [51]
Berkaca dalam praktek ketatanegaraan indonesia selama ini dimana hampir semua
Presiden indonesia mengakhirji masa jabatannya secara politis. Sebut saja
Presiden Soekarno berhenti karena diberhentikan dengan Ketetapan MPRS
No.XXXIII/MPRS/1967. Setelah itu Presiden Soeharto diberhentikan secara politis
karena rakyat ingin dia memundurkan diri pada Tanggal 21 Mei 1998. Presiden
B.J.Habibie Pertanggungjawabannya ditolah oleh MPR dan Presiden Abdurrahman
Wahid ditengah masa jabatannya diberhentikan oleh MPR, karena dianggap
melanggar GBHN, ini sesuai dengan Ketetapan MPR-RI No.II/2001 tanggal 23 Juli
2001. Dan hanya Presiden Megawati dan SBY yang tidak mengalami hal yang serupa.
                [52] Liat
UUD NRI Tahun 1945 Pasal 7A dan 7B.
                [53]
Maruar Siahaan, Sengketa Kewenangan antar
Lembaga Negara dan Hukum Acaranya
, Makalah pada presentasi Kuliah Umum MK
di Gedung Mahkamah Konstitusi RI, tanggal 5 agustus 2006
                [54] Ibid
                [55] Jimly Asshidiqie,
Sengketa Kewenangan  Konstitusional Lembaga Negara, Konstitusi
Press & PT Syaamil Cipta Media, 2006 hal 15.
                [56]
Syarat yang disebut pada angka (1) pasal 3 PMK nomor 08/PMK/2006 yang berlaku
mulai tanggal 18 Juli 2006, adalah mengambil alih pasal 61 ayat (1) UU nomor 24
tahun 2003, tentang Mahkamah Konstitusi.
                [57] Periksa lebih lanjut Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah konstitusi Republik
Indonesia
, Edisi Revisi MKRI 2006 hal
195.
Continue Reading